You are on page 1of 15

TUGAS

MATRILINEL DALAM PANDANGAN PENDIDIKAN

DI BUAT OLEH
OLEH KELOMPOK 8

OTFA ZELFINA 1510013411033


FARA HANIM NOFITA 1510013411033
RETNO MUNDASARI 1510013411033

PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS BUNG HATTA
PADANG
2017
MATRILINEAL DARI PANDANGAN
PENDIDIKAN

A. Sumber Sistem Kekerabatan di Minangkabau

Sistem kekerabatan matrilineal bersumber dari filsafat adat


Minangkabau, Alam takambang jadi guru. Dasarnya adat basandi syarak,
syarak basandi kitabullah. Maksudnya, segala sesuatu yang terjadi di alam,
merupakan petunjuk diberikan Allah SWT untuk makhluk yang berakal.
Oleh karena itu, prilaku alam dapat dijadikan sebagai pedoman dalam
menentukan sikap pada kehidupan sehari-hari.

Hal ini sesuai dengan ajaran syarak (islam). Menurut syarak. Ayat-
ayat Allah SWT tidak hanya meliputi apa yang tertulis di Al- Qur’an,
tetapi juga hikmah yang di balik itu, diantaranya alam takambang. Untuk
inilah manusia diberi akal dan pikiran. Dengan akal dan pikiran inilah
manusia dapat mengembangkan yang terkandung dalam ayat-ayat Allah
SWT. Itulah sebabnya, siapa yang paling mampu mengembangkan akal
dan pikiranya, dialah yang paling berhasil dalam hidupnya. Inilah yang
mendorong orang minangkabau berguru kepada islam.

Sistem kekerabatan Minangkabau adalah salah satu contoh dari


hasil belajar dari alam. Sistem ini berasal dari petunjuk Allah lewat
pergaulan hidup alam binatang. Salah satu binatangnya adalah ayam
kampung. Ayam kampung adalah hewan peliharaan, sehingga ia sangat
dekat dengan kehidupan manusia. Oleh karena ayam lebih banyak berada
dan bermain di pekarangan rumah pemiliknya, kehidupan ayam menjadi
renungan dan kajian, yang akhirnya menjadi dasar nenek moyang
minangkabau dalam menetapkan sistem kekerabatanya.
Apabila kita perhatikan kehidupan ayam dengan sungguh-sungguh,
banyak pelajaran yang dapat kita petik untuk diteladani. Anak ayam
misalnya, anak ayam selalu mengikuti induknya. Karena induknyalah
yang memiliki naluri keibuan. Artinya secara naluriah, induk ayamlah
yang merasa paling bertanggung jawab untuk mencarikan, mengasuh dan
mendidik anak-anaknya.

Perhatikan lagi tabiat ayam dalam mencari makanan. Dalam


mencari makan mereka tidak hanya menunggu tetapi mereka mengais
tanah dan bepergian ke tempat yang mungkin ada makanan. Untuk
mendapatkan sesuatu mereka berusaha terlebih dahulu. Ini sesuai dengan
kata-kata adat Minangkabau, “ Nak Kayo Kuek Mancari”.

Dalam soal kasih sayang, induk ayam tidak membeda-bedakan


kasih sayang kepada anak-anaknya. Baik anak yang jantan atau betina.
Yang gagah ataupun yang jelek. Dalam mengerami telur, induk ayam tidak
membedakan telur ia sendiri atau telur orang lain. Telur ayam atau telur
itik. Bila anak itik itu lahir, induk ayam tetap menyayanginya, sama seperti
kepada anak kandungnya sendiri. Ia pun tidak iri meskipun anak itik itu
kemudian mampu berenang. Setelah itik itu besar, induk ayam juga
merelakan si itik untuk menentukan sendiri jalan hidupnya, tanpa
sedikitpun mengharapkan balas jasa.

Naluri keibuan tidak hanya terdapat pada ayam. Pada hewan lain
juga demikian. Berdasarkan itu semua. Orang minangkabau
berkesimpulan, bahwa secara alamiah. Ikatan batin makhluk hidup lebih
dekat kepada induknya atau ibunya disbanding kepada bapaknya.

Pertimbangan lain, dengan sistem kekrabatan yang didasarkan pada


garis keturunan ibu, diharapkan agar urusan kekerabatan tidak menjadi
salah urus, baik terhadap anak, maupun terhadap kebendaan yang
memenuhi hajat hidupnya. Sekiranya anak-anak diserahkan
pengurusannya kepada ayahnya, dikhawatirkan kehidupana si anak tidak
terurus. Karean si ayah waktunya habis untuk mencari nafakah atau
bekerja. Begitu pula harta benda bila diserahkan pengurusanya kepada
pihak laki-laki, dikhawatirkan harta itu tidak terpelihara dengan baik
bahkan mungkin akan habis terjual, apalagi bila si laki-laki itu memiliki
istri lebih dari satu.

Selain dari itu, tidak diberikanya warisan harta benda kepada pihak
laki-laki. Secara kodratynya, laki-laki memiliki tubuh yang kuat. Laki-laki
punya kemampuan untuk berusaha atau mencari, sedangkan wanita
mempunyai fisik yang lemah, tidak mampu berusaha seperti laki-laki.
Laki-laki juga suka bepergian.

Seorang laki-laki tidak boleh hanya menerima tanggung jawab


untuk mengelola tanah, sawah, dan barang-barang lainya, sehingga bisa
mendatangkan penghasilan. Inilah tanggungjawab laki-laki di
minangkabau, ia berperan sebagai pengelola harta benda untuk
memperkuat ekonomi kaumnya. Di samping bekerja untuk kesejahteraan
anak-anaknya sendiri, sesuai dengan ungkapan adat anak dipangku,
kemenakan dibimbing.

Sigoto (2004: 6) Menyebutkan sistem kekerabatan di minangkabau


sebagai berikut :

1) Kekerabatan karena bertali darah

Pada umumnya setiap ornag minangkabau hidup berdasarkan


kelompok sukunya. Awalnya di minangkabau, menurut tambo sejarah
hanya ada empat suku yang diciptakan oleh dua orang datuk, yaitu
datuk katumanggungan dengan suku koto piliang yang berasal dari
kata pilihan, dan datuk parpatiah nan sabatang dengan suku bodi
caniago, berasal dari kata budi nan baharago.

Yang menjadi inti dari sistem kekerabatan matrilineal adalah


kaum atau paruik, pecahan dari kaum/paruik adalah jurai, pecahan
jurai adalah samandel seibu yang terdiri dari nenek, ibu, dan anak-
anaknya.

Setiap suku terdiri dari beberapa paruik dipilih seseorang yang


berwibawa untuk jadi pimpinan paruik. Ada kalangan saparuik yang
disebut juga sekaum. Ikatan batin anggota sekaum di minangkabau
sangatlah besar, ini disebabkan karena:

a) Orang sekaum seketurunan


b) Orang sekaum sehina-semalu.
c) Orang sekaum sedancing bak basi, saciok bak ayam, tibo di
kaba baiak baimbauan, tibo dikaba buruak dihambauan.
d) Orang sekaum sapandam sapasukuan.
e) Orang sekaum saharato sa pasukuan.

2) Kekerabatan bukan bertali darah/perkawinan.

Menurut Sigoto (2004: 7) tali kekerabatan itu adalah sebagai berikut :

a) Hubungan kekerabatan induak bako dan anak pisang.

Hubungan kekerabatan induak bako adalah sebagai berikut :


anak saudara perempuan dari pihak ayah atau kemenakan ayah
adalah induak bako bagi anak-anak ayah/bapak. Hubungan
kekerabatan anak pisang adalah sebagai berikut : anak-anak ayah/
bapak adalah anak pisang bagi kemenakan ayah/bapak.
Azrial (2008: 10) menyatakan bahwa Hubungan
kekerabatan induak bako dan anak pisang adalah hubungan
kekerabatan antara seorang anak dengan saudara-saudara
perempuan bapaknya. Atau sebaliknya, hubungan antara seorang
perempuan dengan anak-anak saudara laki-lakinya.

Seorang perempuan di minangkabau adalah induak bako


dari anak saudara laki-lakinya. Sebaliknya, anak dari saudara laki-
laki seorang perempuan adalah anak pisang dari perempuan
tersebut.sedangkan ibu dari seorang perempuan tersebut atau ibu
dari bako disebut induak bako.

Dengan demikian, seorang perempuan diminangkabau bisa


sekaligus berfungsi sebagai kemenakan bagi saudara laki-laki
ibunya, dan menjadi anak bako dari anak saudara laki-laki
ibunya.dan bakonya. Jadi, seorang wanita biasanya, anak
perempuan di minangkabau, disamping diasuh oleh ibunya, ia juga
di asuh oleh induak bako dan baakonya. Jadi, seorang wanita bisa
mendapatkan pendidikan dari dua buah rumah gadang, rumah
gadang ibunya dan rumah gadang bapaknya.

b) Kekrabatan ipar-bisan

Hubungan kekerabatan ipar adalah hubungan antara


ayah/bapak dengan saudara laki-laki dari pihak ibu. Hubungan
kekerabatan bisan adalah hubungan antara ayah/bapak dengan
saudara perempuan dari pihak ibu. Demikian juga sebaliknya,
saudara ayah/bapak yang laki-laki merupakan ipar bagi ibu dan
saudara ayah/bapak yang merupakan bisan bagi ibu.
c) Kekrabatan sumando- mamak rumah- pasumandan

Kekrabatan sumando adalah hubungan antara seluruh


keluarga pihak perempuan dengan suami. Dengan kata lain
ayah/bapak di rumah ibu merupakan urang sumando. Sedangkan
saudara laki-laki ibu merupaka mamak rumah bagi ayah/bapak.
Hubungan pasumandan adalah hubungan pihak perempuan/ibu
pihak keluarga ayah/bapak di rumah keluarga ayah/bapak.

d) Kekerabatan minantu-mintuo

Hubungan kekerabatan minatu adalah hubungan orang tua


pihak ibu terhadap suaminya atau dengan kata lain, ayah/bapak
kita/kamu adalah menantu orang tua ibu, sebaliknya ibu juga
menantu bagi orang tua ayah/bapak. Kekerabatan mintuo adalah
hubungan antara ayah/bapak kepada orang tua ibu, sebaliknya ibu
dengan orang tua ayah/bapak. Dengan kata lain mintuo adalah
orang tua kedua belah pihak dari ayah dan ibu.

B. Hubungan Mamak dan Kemenakan

a. Peran mamak di Minangkabau

Hubungan mamak dan kemenakan bukanlah hubungan sekedar


panggilan terhadap saudara laki-laki ibu, tapi mamak mengandung
pengertian sebagai pemimpin, pelindung, dan pengayom dalam
kehidupan kemenakannya serta masyarakat minangkabau. Pada masa
dahulu peranan atau fungsi mamak sangatlah berat, seorang mamak
harus bertanggung jawab sepenuhnya atas kepentingan kemenakan dan
kaumnya., ditambah tanggung jawab terhadap istri dan anak-anaknya.
Sesuai kata pepatah kita Minangkabau “baban barek, singguluang
batu.”

Fungsi mamak tidak hanya sebatas memelihara anak


kemenakannya, baik kemenakan yang laki-laki dan perempuan, tetapi
sebagai seorang pemimpin juga harus menjaga kampong dan nagari,
serta adat istiadat yang telah digariskan oleh nenek moyang. Ajaran
adat tentang tanggung jawab memelihara kemenakan:

Kok hanyuik bapinteh, hilang bacari


Tarapung bakaik, tabanam basilami
Usua dipamain, cabua dibuang
Siang dicaliak-caliak, malam didanga-danga
Kamanakan disambah bathin, mamak disambah lahie
Lupo baingekkan, talalok bajagokan
Senteng babilia, kurang batukuak
Panjang bakarek, singkek bauleh
Jauh dikunjungi, dakek basilau

Dan tak kalah pentingnya tugas seorang mamak terhadap anak


kemenakannya adalah membina prilaku kearah yang lebih baik, terpuji,
dan disenangi orang banyak dalam bergaul dengan sesama masyarakat,
seperti pepatah:
Nan kuriak iyolah kundi
Nan sirah iyolah sago
Nan baiak iyolah budi
Nan indah iyolah baso

b. Fungsi kemenakan di Minangkabau


Kamanakan laki-laki sebagai calon pemimpin dan penerima
waris sako jo pusako, atau penerima pusako batolon.g, ako turun
temurun, sebagai calon pemimpin kepada kemenekan oleh mamak
diturunkan dasar-dasar kepemimpinan yang adil, bijaksana dan mampu
mengarifi keadaan lingkungan, serta bertanggung jawab, maka
kemenakan punya kewajiban menuntut ilmu pengetahuan dunia
akhirat. Tidak jarang dalam mencari ilmu pengetahuan kemenakan
laki-laki harus meninggalkan kampong halamannya.

Kemenakan perempuan, sebagai penerus garis keturunan,


panarimo warih bajawek kajadi limpapeh rumah nan gadang dan
sebagai ibu bundo kanduang amban puruak pumpunan jalo pegangan
kunci biliak dalam juga berkewajiban untuk menuntut ilmu
pengetahuan, namun dalam menuntut ilmu pengetahuan pada
umumnya jarang yang pergi merantau jauh.

Seorang mamak harus selalu mengawasinya, seperti kata-kata


adat, kok siang maliek-like, manguruang patang mangaluakan pagi.
Artinya siang hari dilihat, malam diawasi, jelas waktu dan kemana
perginya, dengan maksud tidak lepas dari pengawasan mamaknya.
Selanjutnya kemenakan dalam batas yang telah digariskan dalam adat
minangkabau harus patuh pada mamaknya:

Kok dihimbau lakeh datang


Disuruah lakeh pai
Pai tampek batanyo
Pulang tampek babarito

Maksudnya, jika mamak yang menyuruh atau memanggil


kemenakan harus cepat-cepat melaksanakan, dan kalau ingin
berpergian atau mengerjakan sesuatu yang menyangkut kepentingan
bersama kepada mamaklah tempat kemenakan bertanya dan
memberitahu kalau kita sudah kembali dengan pekerjaan tersebut.
Satu hal lagi kewajiban kemenakan yang pada era sekarang mungkain
sudah terlupakan yaitu, kemenakan harus menolong mamaknya jika
mamaknya dalam kesukaran; dan kalau makak dihina orang, maka
kemenakanlah yang menuntut balas.

c. Tali kekerabatan mamak dan kemenakan di Minangkabau

Ada empat macam tali kekerabatan mamak dan kemenakan, yaitu


sebagai berikut:

1) Kemenakan batali darah, artinya semua anak-anak saudara


perempuan pihak laki-laki menurut garis keturunan ibu.
2) Kemenakan batali adat, artinya orang lain yang datang barmamak
kepada seorang datuk penghulu kaum. Dengan mengisi adat jo
limbago, namun statusnya tidak sasako dan pusako atau tidak
dapat mewarisi sako jo pusako. Suku orang yang datang
bermamak ini sama dengan suku kaum yang menerima. Dalam hal
ini pepatah mengatakan hinggok mancakam, tabang basitumpu.
Sako yang dipakai adalah sako asal kampuangnyo.
3) Kemenakan batali buek, artinya seseorang yang diangkat atas
kesepakatan datuk penghulu kaum, bersama dengan anggota
kaumnya. Seseorang diangkat menjadi kemenakan karena orang
ini memiliki tingkah laku dan budi pekerti yang jujur tetapi berasal
dari kampong atau nagari yang berbeda walaupun sukunya sama
dengan kaum datuk tersebut. Orang ini juga mengisi adat dengan
limbago. Status menurut adat adalah tidak dapat mewarisi sako jo
pusako.
4) Kemenakan batali ameh, artinya orang yang diangkat jadi
kemenakan dalam satu pesukuan, tapi pendatang ini tidak sama
sukunya dengan suku yang diikuti. Orang ini dinamakan mengisi
adat dan mengisi limbago dan statusnya tidak sama dalam kaum
penghulu tersebut. Juga tidak dapat mewarisi sako jo pusako.

C. Matrilineal dari Pandangan Pendidikan

Sejarah matrilineal secara turun-temurun berdasarkan cerita para


tokoh di Minangkabau berawal pada masa kepemimpinan Datuk
Katumanggungan dan Datuak Parpatiah Nan Sabatang. Masyarakat
Minangkabau menganut sistem kekerabatan matrilineal, yakni kekerabatan
yang menarik garis keturunan menurut garis ibu. Jadi suku seseorang di
Minangkabau mengikuti suku ibunya.

Seorang perempuan memiliki kedudukan istimewa di dalam kaum.


Orang sesuku tidak boleh menikah. Yang menguasai harta pusaka adalah
ibu dan yang mengikat tali kekeluargaan rumah gadang adalah hubungan
dengan harta pusaka dan sako (gelar). Wanita tertua di kaum dijuluki
limpapeh atau amban puruak. Ia mendapat kehormatan sebagai penguasa
seluruh harta kaum. Pembagian harta diatur olehnya. Sedangkan laki-laki
tertua di kaum dijuluki tungganai. Ia bertugas sebagai mamak kapalo
warih. Ia hanya berkuasa untuk memelihara, mengolah, dan
mengembangkan harta milik kaum, tapi tidak untuk menggunakannya.

Minangkabau adalah salah satu masyarakat yang masih tetap


memegang matrilineal (sistem kekerabatan menurut garis ibu). Para
Antropolog mencatat saat ini, suku bangsa yang masih memegang sistem
matrilineal, kurang dari 10 suku bangsa, di antaranya, Minangkabau
(Sumatera Barat, Indonesia), Campa (Vietnam), Muangthai (segitiga emas
Thailand), suku bangsa di India, Afrika, dan Badui (Timur Tengah).

Untuk mengkaji sistem masyarakat di Minangkabau yang


berdasarkan garis keturunan ibu, orang-orang akademis memberi suatu
istilah yaitu Matrilineal untuk mempermudah pemaknaannya terhadap
garis keturunan ibu ini. Matrilineal berasal dari kata ‘matri’ artinya (ibu)
dan ‘lineal’ (garis). Jadi, berarti ‘garis ibu’. Maksudnya adalah istilah
untuk menyebutkan sistem kekerabatan yang mengacu pada garis
keturunan ibu.

Adapun karakteristik dari sistem kekerabatan matrilineal dalam


kebudayaan Minangkabau adalah sebagai berikut:
1. Keturunan diurutkan berdasarkan garis darah ibu, seorang
Minangkabau akan masuk ke dalam suku dimana ibunya berasal.
2. Suku terbentuk menurut garis ibu. Seorang laki-laki di Minangkabau
tidak bisa mewariskan sukunya kepada anaknya. Jadi jika tidak ada
anak perempuan dalam satu suku maka dapat dikatakan bahwa suku itu
telah punah.
3. Tiap orang diharuskan menikah dengan orang luar sukunya (atau
dikenal sebagai sistem eksogami). Menurut aturan adat Minangkabau
seseorang tidak dapat menikah dengan seseorang yang berasal dari
suku yang sama. Apabila hal itu terjadi maka ia dapat dikenakan
hukum adat, seperti dikucilkan dalam pergaulan.
4. Meskipun perempuan memegang seluruh kekayaan keluarga, pihak
yang sebenarnya berkuasa dalam penentuan keputusan hal dalam
keseharian dan lingkungan adalah saudara laki-laki tertua dalam
keluarga tersebut, yang disebut sebagai mamak. Yang menjalankan
kekuasaan di Minangkabau adalah laki-laki, sedangkan kaum
perempuan di Minangkabau di posisikan sebagai pengikat, pemelihara,
dan penyimpan harta pusaka.
5. Perkawinan bersifat matrilokal, yaitu suami mengunjungi rumah
istrinya.
6. Hak-hak dan pusaka diwariskan oleh mamak kepada kemenakannya
dan dari saudara laki-laki ibu kepada anak dari saudara perempuan.
Adat Minangkabau bersifat matrilineal. Dalam menentukan tempat
tinggal suami-istri, adat Minangkabau menganut sistem matrilokal. Dalam
adat Minangkabau, yang berkuasa dan bertanggung jawab dalam sebuah
rumah tangga adalah ibu yang didampingi oleh mamak (saudara laki-laki
ibu), sedangkan ayah hanya sebagai tamu. Dalam perkawinan, menurut
adat Minangkabau yang meminang bukan laki-laki atau keluarganya, akan
tetapi pihak perempuan. Dalam pembagian harta warisan kaum/suku jatuh
pada kepada perempuan, sementara kaum laki-laki tidak mendapatkan
bagian apa-apa. Perempuan menempati kedudukan yang istimewa (Ilyas,
2006: 47-49).

Garis keturunan menurut ibu, menimbulkan kecenderungan negatif


bagi laki-laki di Minangkabau. Mereka dianggap hanyalah sebagai
“pejantan”, yang dinikahi oleh perempuan untuk menjaga eksistensi suku
sang perempuan. Tapi sisi lain, matrilineal telah memberikan status yang
jelas bagi seorang anak, bahwa ia adalah anak dari ibunya. Di
Minangkabau, perempuan diperbolehkan untuk memasuki wilayah publik.
Perempuan Minang tidak dikurung di rumah dan hanya berkecimpung di
dunia rumah tangga saja. Perempuan memegang peranan dalam
pengambilan keputusan politik dalam kaum/suku dan diperbolehkan untuk
menduduki jabatan publik. Dalam sejarah, Kerajaan Minangkabau pernah
dipimpin oleh raja Perempuan, yang bernama “Bundo Kanduang”. Hanya
tiga posisi yang tidak boleh ditempati perempuan, yaitu Manti (pemimpin
adat), Malin (pemimpin agama), dan Dubalang (pemimpin keamanan
suku). Selain dari tiga posisi ini, perempuan dipersilahkan untuk berkiprah
dan mendudukinya.

Kedudukan dan posisi perempuan yang kuat, terutama berkaitan


dengan persoalan warisan menjadikan posisi perempuan memiliki
kedudukan yang kuat dalam lingkungan sosial kemasyarakatan
dikarenakan perempuan yang dianggap memiliki harta dalam keluarga.
Kekuatan materi tersebut yang menjadikan perempuan di Minangkabau
memiliki kepercayaan diri untuk bisa menduduki posisi yang penting di
ranah publik. Kedudukan perempuan sebagai kekuatan adat yang memiliki
hak pewarisan yang berbeda dengan laki-laki juga menjadikan perempuan
Minangkabau memiliki kekuatan materi apabila mendapati suaminya
berpoligami.

Adat Minangkabau sangat kokoh menetapkan laki-laki yang


sebagai seorang pemimpin bagi aanak, kamanakan, istri, dan lingkungan
sosial secara luas, Syarak manyatatakan falsafah adat ini di dalam Al-
Qur'an (QS An-Nisa ayat 34). Adat di Minangkabau tidak melanggar
hukum syarak, aplikasi ini bisa ditemui ketika pengangkatan penghulu,
salah satu syarat manjadi pangulu adalah Laki-laki nan Baligh jo Baraka
Lalu sifat pangulu adolah sifat Rasulullah SAW (Siddik, Amanah, Tabliq,
Fathonah). Dalam membahas adat jo syarak tidak perlu diperdebatkan.
Terkecuali adat jo syarak kok bacarai, inilah yang perlu dikokohkan sebab
adaik dan syarak sandar menyadar, keduanya tidak bisa dipisahkan.
Perdebatan bukanlah sifat orang Minang sebab perdebatan akan
mengundang perpecahan.

Sehingga menurut pandangan pendidikan jika kekuatan posisi


perempuan dalam budaya matrilineal dan posisi laki-laki yang juga sangat
berpengaruh dalam kebudayaan Minangkabau, menjadikan perempuan
Minangkabau memiliki hak-hak yang proporsional berdasarkan
kedudukannya sebagai bagian dari umat manusia. Posisi perempuan
menjadi posisi yang kuat karena memiliki nilai tawar yang tinggi,
sedangkan posisi perempuan juga bukan merupakan posisi yang mutlak
yang bisa mengalahkan kedudukan laki-laki dalam lingkungan dan
pergaulan sosial.
Kondisi seperti ini dirasa menjadi sangat cocok apabila
dipergunakan menjadi pijakan dan landasan bagi pengembangan hak-hak
perempuan di Indonesia yang sesuai dengan adat dan budaya Indonesia.
Berdasarkan pemahaman tentang kedudukan dan posisi perempuan
Minangkabau dalam budaya matrilineal inilah, maka gerakan perempuan
di Indonesia tidak lagi didominasi oleh gerakan-gerakan dan pemikiran
feminis Barat (kesetaraan gender) yang belum tentu sesuai dengan alam
pikir dan budaya Indonesia, akan tetapi didasari dan dilandasi oleh tata
pikir dan alam pikiran khas Indonesia.

You might also like