You are on page 1of 27

REFLEKSI KASUS

“Kehamilan dengan Human Immunodeficiency Virus (HIV)”

Nama : Dinda Alfatan Sheila Zahra


NIM : H1A014018

PEMBIMBING :
dr. Ario Danianto, Sp.OG

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


DI LAB/SMF OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM/RSUP NTB
2018

0
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini tepat
pada waktunya.Laporan kasus yang berjudul “Kehamilan dengan Human
Imunodeficiency Virus (HIV)” ini disusun dalam rangka mengikuti Kepaniteraan
Klinik Madya di Bagian/SMF Obstetri dan Ginekologi Rumah Sakit Umum
Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah banyak memberikan bimbingan
kepada penulis.
1. dr. Edi Prasetyo Wibowo, Sp.OG, selaku Kepala Bagian/ SMF Obstetri
dan Ginekologi RSUP NTB.
2. dr. H. Doddy Aryo Kumboyo, Sp.OG(K), selaku supervisor.
3. dr. Gede Made Punarbawa, Sp.OG(K), selaku supervisor.
4. dr. I Made Putra Juliawan, Sp.OG selaku supervisor
5. dr. I Md W. Mahayasa, SpOG(K) selaku supervisor
6. dr. Ario Danianto, Sp.OG, selaku supervisor dan pembimbing
7. dr. Windiana Rambu, Sp.OG, selaku supervisor
8. dr. Ratih Barirah, Sp.OG, selaku supervisor
9. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah
memberikan bantuan kepada penulis.
Akhirnya penulis menyadari bahwa dalam penulisan laporan kasus ini
masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat
membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan laporan kasus ini.
Semoga laporan kasus ini dapat memberikan manfaat dan tambahan
pengetahuan khususnya kepada penulis dan kepada pembaca dalam menjalankan
praktek sehari-hari sebagai dokter. Terima kasih.

Mataram, Juli 2018


Penulis

1
DAFTAR ISI

Kata Pengantar _____


Daftar Isi _____
BAB I PENDAHULUAN _____
BAB II TINJAUAN PUSTAKA _____
2.1 Postterm _____
2.2 Obesitas __________
2.3 Diagnosis _____
2.4 Tatalaksana _____
BAB III LAPORAN KASUS OBSTETRI __
3.1 Identitas _____
3.2 Anamnesis ___________
3.3 Pemeriksaan fisik ______
3.4. Pemeriksaan Laboratorium _____
3.5 Diagnosis ___________
3.6 Planning ___________
3.7 Bayi Lahir_______________________________________
3.8 Plasenta_________________________________________
3.9 Follow Up Pasien ___________
BAB IV PEMBAHASAN ___________
DAFTAR PUSTAKA _____

BAB 1
PENDAHULUAN

Human immunodeficiency virus (HIV) menginfeksi sel-sel yang ada di


sistem imun dan menghancurkan fungsi sistem imun. Infeksi dari virus akan
menyebabkan penurunan sistem imun yang akan berakhir pada keadaan
defisiensi imun. Sistem imun disebut mengalami defisiensi ketika tidak mampu
lagi memenuhi perannya dalam mengatasi infeksi dan penyakit.1

HIV pertama kali ditemukan di Amerika saat musim panas tahun 1981,
ketika CDC melaporkan kejadian pneumonia karena Pneumocystis jiroveci (yang
sebelumnya adalah P. carinii) yang tidak lazim pada lima orang homoseksual
yang sebelumnya sehat dan pada pasien homoseksual dengan Kaposi Sarcoma

2
dengan atau tanpa pneumonia dan infeksi oportunistik lainnya di New York, San
Fransisco, dan Los Angeles.2 HIV di Indonesia pertama kali dilaporkan pada
tahun 1987 di Provinsi Bali. Sampai dengan tahun 2012, terdapat 21.511 kasus
baru HIV di Indonesia dan sebanyak 1.329 ibu hamil terdeteksi infeksi HIV.3

Tingkat infeksi HIV pada perempuan hamil di daerah Asia meningkat


secara signifikan seiring bertambahnya waktu. Prevalensi ibu hamil dengan HIV
di Jakarta pada tahun 1999-2001 adalah sebesar 2.86%. Transmisi vertikal dari
ibu ke anak merupakan penyebab tersering infeksi HIV pada bayi dan anak di
Amerika Serikat. Transmisi dapat terjadi di intrauterine (5-10%), saat persalinan
(10-20%), dan paskapersalinan (5-20%). Kelainan yang dapat terjadi pada bayi
adalah berat badan lahir rendah, bayi lahir mati, partus preterm, dan abortus
spontan.4 Pemberian Anti Retrovirus Therapy (ART) pada ibu hamil
memiliki tujuan untuk memaksimalkan keadaan kesehatan ibu dan mengurangi
transmisi antara ibu dan janin dengan menurunkan kadar HIV serendah mungkin.
Persalinan perabdominam (seksio sesarea) dapat menurunkan paparan bayi
dengan cairan servikovaginal yang mengandung HIV, sehingga resiko transmisi
saat persalinan dapat berkurang.5

3
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 HIV

Definisi

HIV merupakan virus yang menginfeksi sel-sel pada sistem imun,


menghancurkan atau mengganggu fungsi dari sistem imun. Kerusakan fungsi pada
sistem imun dapat menyebabkan defisiensi imun, dimana sistem imun tidak lagi
dapat melawan infeksi dan penyakit yang masuk ke tubuh. Infeksi yang berhubungan
dengan imunodefisiensi diketahui sebagai infeksi oportunistik karena mengambil
keuntungan dari sistem imun yang melemah.1

Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah keadaan dimana


infeksi HIV sudah mencapai tahap paling rumit, dimana terjadi lebih dari 20 infeksi
oportunistik atau kanker yang berkaitan dengan infeksi HIV.1 Namun, definisi dan
kriteria staging dari AIDS digunakan untuk keperluan pendataan surveilans
dibandingkan kepentingan klinis pasien. Maka, klinisi harus melihat HIV sebagai
penyakit dengan spectrum luas, mulai dari infeksi primer dengan atau tanpa sindrom
akut, sampai dengan tahap asimtomatis atau tahap lanjut dengan infeksi
oportunistik.2

Etiologi

HIV merupakan agen etiologis dari AIDS dan berasal dari famili Retroviridae
dan subfamili lentivirus. Penyebab HIV tersering adalah dari kelompok HIV-1 yang
memiliki beberapa subtipe dengan distribusi geografis berbeda. HIV-2 pertama kali
diidentifikasi tahun 1986 pada pasien HIV di Afrika Barat dan terbatas di daerah
Afrika Barat saja. HIV-1 (subtipe M, N, O, dan P) dan HIV-2 subtipe A-H berasal
dari transfer terpisah antara manusia dengan primata. Virus HIV-1 ditemukan datang
dari simpanse dan/atau gorilla, dan HIV-2 berasal dari hewan mangabey. Pandemi
AIDS umumnya disebabkan oleh virus HIV-1 grup M. meskipun sudah banyak
ditemukan virus HIV-1 grup O dan virus HIV-2 sebagai penyebab AIDS di banyak
negara, termasuk di negara-negara maju, tetapi kedua virus tersebut cenderung hanya
menyebabkan epidemi di wilayah terbatas.2

4
Virus HIV dapat ditularkan lewat berbagai cara, yaitu melalui kontaminasi
produk darah, lewat transfusi, pemakaian jarum yang sudah terkontaminasi, dan
transmisi dari ibu yang memiliki HIV kepada janin saat periode perinatal ataupun
melalui air susu ibu.6 Istilah yang sering digunakan untuk transmisi dari ibu ke janin
dikenal dengan Mother to Child HIV Transmission.7

Faktor yang dapat mempengaruhi resiko peningkatan transmisi termasuk


faktor virus, seperti genotip dan fenotip, macam strain virus, dan resistensi virus.
Faktor maternal yang dapat mempengaruhi transmisi ibu ke anak adalah status
imunologis dan klinis ibu, status nutrisi, perilaku seksual, dan penggunaan zat-zat
aditif dan narkotika. Faktor obstetric juga dapat mempengaruhi resiko peningkatan
trasnmisi, seperti lama pecahnya ketuban, jenis persalinan, dan perdarahan
intrapartum. Sementara itu, faktor bayi yang dapat berperan yang umumnya
berkaitan dengan transmisi melalui air susu ibu.8

Epidemiologi

Data tahun 2009 menunjukkan terdapat 33,4 juta orang dengan HIV/AIDS di
seluruh dunia. Sebanyak 50% di antaranya adalah perempuan dan sebanyak 2,1 juta
adalah anak-anak berusia <15 tahun.7

Pada tahun 2012, diperkirakan sekitar 35,3 juta penduduk dunia hidup
dengan HIV. Daerah sub-sahara Afrika, terutama Afrika Selatan, memiliki angka
global burden HIV tertinggi, sebesar 70,8%. Epidemiologi HIV secara global banyak
berubah seiring dengan ditemukannya ART. Pada tahun 2012, 9,7 juta orang di
negara dengan pendapatan rendah dan menengah sudah mulai menerima ART.
Prevalensi penduduk yang terkena HIV meningkat dari 31 juta penduduk pada tahun
2001 menjadi 35,3 juta penduduk pada tahun 2012 dikarenakan orang yang terinfeksi
HIV dan mengonsumsi ART dapat hidup lebih lama. Sementara, insidensi kasus baru
HIV menurun, dari 3,3 juta kasus baru pada tahun 2002 menjadi 2,3 juta kasus baru
di tahun 2012.9

Sejak pertama kali ditemukan HIV di Indonesia tahun 1987 sampai dengan
bulan Desember 2017, 421 dari 514 kabupaten/kota di Indonesia telah melaporkan
kasus HIV-AIDS. Pada tahun 2015, diperkirakan ada 613.435 orang yang hidup
dengan HIV (ODHIV) di Indonesia. Akumulasi kasus HIV sampai dengan Maret

5
2018 adalah sebanyak 291.129 kasus, dengan provinsi yang memiliki kasus HIV
tertinggi adalah DKI Jakarta (53.530).10

Umumnya di negara-negara berkembang, HIV merupakan penyebab utama


kematian pada wanita usia reproduksi. Selama tahun 2008 terdapat 1,4 juta ibu hamil
dengan HIV positif dan melahirkan 430.000 anak yang terinfeksi HIV. (PMTCT)
Jumlah transmisi HIV dari ibu ke anak berkisar antara 15-40% pada populasi
terinfeksi tanpa pengobatan ART dan dapat bervariasi di berbagai negara.8

Patogenesis

Siklus hidup HIV dan respon imun pejamu

Target utama dari virus HIV adalah limfosit T CD4 yang teraktivasi. Virus
HIV dapat masuk melalui interaksi dengan CD4 dan ko-reseptor kemokin CCR5
atau CXCR4. Virus HIV akan berikatan dengan protein di reseptor sel CD4 dan
berikatan dengan ko-reseptor CXCR4 ataupun CCR5. Ko-reseptor CCR5 lebih
banyak ditemukan berikatan dengan virus HIV dibandingkan CXCR4. Setelah
berikatan dengan reseptor dan ko-reseptor, virus akan melakukan fusi di membran
sel CD4. 2,9

Virus HIV merupakan jenis virus RNA single stranded dan membutuhkan
enzim reverse transcriptase untuk merubah RNA single stranded menjadi proviral
DNA dan siap menginfeksi DNA pada nucleus sel CD4. Setelah DNA virus
menginvasi DNA dari CD4, virus akan melakukan replikasi diri dan menghasilkan
banyak virus yang siap menginfeksi CD4 lainnya yang berada di fase istirahat
ataupun fase aktif.9

6
Gambar 1. Proses infeksi virus HIV ke dalam CD4

Setelah muncul infeksi, virus akan melakukan replikasi pada sel-sel yang ada
di mukosa, submucosa, dan terkadang sampai jaringan limforetikuler di saluran
pencernaan. Selama beberapa hari virus tidak akan terdeteksi, dan fase ini
dinamakan sebagai fase eclipse. Setelah jumlah virus yang diproduksi makin banyak,
biasanya dalam beberapa hari sampai minggu, virus akan tersebar ke nodus limfatik
dan menyebabkan kenaikan kadar viremia dalam plasma yang dapat mudah
terdeteksi dalam pemeriksaan.2

Target utama dari virus HIV biasanya adalah jaringan limfoid dari saluran
cerna. Maka dari itu, pada pemeriksaan jumlah sel CD4 pasien HIV, kadar CD4 di
saluran cerna paling awal mengalami penurunan jumlah sel, baik karena pengaruh
infeksi sel ataupun karena apoptosis.2

Kadar viral load penderita akan menurun sampai set point, kadar dimana
sebagian besar terdiri dari respon imun innate dan adaptif. Sel CD8-HIV spesifik
akan membunuh sel T yang terinfeksi virus HIV. Tetapi, meskipun ada peran
antibody humoral dalam mengeliminasi sel-sel CD4 yang terinfeksi, ada sel-sel yang
mampu melewati mekanisme respon antibodi humoral yang terjadi. Sel-sel yang
berhasil melewati respon imun ini akan berkumpul membentuk kumpulan sel-sel

7
infeksi laten yang bisa saja tidak mampu dideteksi oleh pemeriksaan serologi. Sel-sel
yang terinfeksi inilah yang nantinya akan teraktivasi lagi dan terus melakukan
replikasi sampai seseorang memasuki tahap kronis dari infeksi HIV.2

Gambar 2. Grafik kenaikan kadar CD4 dan virus HIV

Diagnosis
Diagnosis untuk menegakkan infeksi HIV dapat dilakukan dengan
melakukan skrining antibodi HIV dalam darah. Teknik yang sering digunakan adalah
ELISA atau bisa juga disebut dengan enzyme immunoassay (EIA). Selain dengan
menggunakan ELISA, uji konfirmasi juga dilakukan untuk memastikan hasil yang
dikhawatirkan merupakan positif palsu, caranya adalah dengan melakukan uji
Western blot.2
Pemeriksaan infeksi HIV penting dilakukan pada wanita hamil. Pemeriksaan
HIV dilakukan saat kunjungan antenatal. Setiap wanita hamil wajib melakukan
pemeriksaan uji HIV untuk mencegah penularan ibu dan anak. Selain memeriksakan
diri dengan uji HIV, uji lainnya untuk memastikan ada tidaknya infeksi menular
seksual lainnya dapat dilakukan pada pasien. Pada wanita yang terinfeksi HIV,
jelaskan mengenai infeksi dan bagaimana rencana melahirkan. Wanita hamil yang
memiliki hasil HIV positif harus segera dirujuk ke rumah sakit terdekat untuk
mendapatkan ART.11
Diagnosis yang dapat dilakukan pada bayi dan anak adalah dengan
melakukan uji virologis, biasanya saat bayi berusia 6 minggu. Uji virologis

8
direkomendasikan untuk menguji anak usia <18 bulan. Terapi ART harus diberikan
segera setelah hasil tes keluar. Tetapi, saat kehamilan ibu menginjak trimester ketiga,
antibodi maternal ditransfer secara pasif kepada janin, termasuk antibodi HIV, yang
mampu terdeteksi sampai bayi berusia 18 bulan. Hasil positif terhadap uji antibodi
HIV saat anak berusia kurang dari 18 bulan tidak berarti bahwa anak tersebut
terinfeksi virus HIV.12
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis umum pada pasien yang terkena infeksi HIV bergantung
pada fase yang sedang dialami oleh penderita. Pembagian fase dimulai saat terkena
infeksi primer, dikenal dengan infeksi akut HIV. Penderita biasanya memiliki gejala
seperti flu, demam, limfadenopati, sakit kepala/nyeri retroorbital, arthralgia, myalgia,
malaise, anorexia, dan diare.2
Masa-masa laten, dimana terjadi gejala asimtomatis, saat dimana jumlah
virus dalam darah sangat rendah namun tetap terjadi replikasi virus. Fase ini
berlangsung selama kurang lebih 10 tahun sampai pada tahap fase simtomatis,
dimana terdapat komplikasi penyakit yang terjadi di beberapa organ sekaligus,
seperti Kaposi sarcoma dan oral kandidiasis.2
Penderita HIV yang hamil umumnya tidak memiliki tampakan klinis yang
mencolok. Pengaruh HIV pada janin juga jarang ditemukan, kecuali resiko terpapar
HIV saat persalinan. Pemberian ART pada ibu hamil juga tidak memiliki efek
samping yang dapat mengganggu janin. 5,13
Tatalaksana
Menurut panduan yang dikeluarkan oleh WHO, setiap wanita hamil dan
menyusui yang diketahui memiliki status HIV positif, tanpa melihat kadar CD4 dan
stadium klinis WHO, maka terapi ART kombinasi harus segera diberikan kepada
wanita hamil dan menysui. Terapi ART lini pertama pada wanita hamil dan menyusui
adalah Tenofovir DF+3TC/FTC (Lamivudine)+EFV (Efavirenz). Ketiga obat ini
memiliki kategori FDA B dan C yang berarti dapat diberikan pada ibu hamil dalam
keadaan tertentu.5
Persalinan dilakukan dengan SC elektif saat usia kehamilan 38 minggu.
Beberapa penelitian membandingkan persalinan pada wanita yang terinfeksi HIV
dengan cara SC elektif dan persalinan pervaginam, hasilnya, meskipun SC elektif
mampu mengurangi resiko transmisi HIV pada janin dengan perbandingan
1,8%:10,5%, tetapi tidak terlalu bermakna. Perbandingan yang lebih bermakna
9
ditemukan apabila SC elektif dibandingkan dengan lamanya ketubah pecah sebelum
persalinan, dimana resiko transmisi meningkat apabila ketuban sudah pecah lebih
dari 4 jam. 5,9
Persalinan pervaginam dapat dijadikan pilihan apabila kadar viral load
penderita diketahui <50 kopi/ml atau setidaknya sudah memiliki riwayat konsumsi
ART antepartum. Namun, dalam memilih persalinan pervaginam, segala tindakan
buatan yang berpotensi menimbulkan perlukaan pada janin dilarang untuk dilakukan.
Amniotomi juga dilarang dilakukan karena dapat meningkatkan resiko transmisi.
Penggunaan forsep lebih dianjurkan dibandingkan melahirkan dengan menggunakan
vakum.5,9
Tatalaksana yang dapat diberikan pada neonatus yang lahir dari ibu positif
HIV memiliki resiko besar terkena HIV, walaupun ibu sudah menjalani terapi ART
dan menjalani persalinan melalui SC elektif.5,13 Pemberian ARV pada anak tetap
mengacu pada kombinasi 2 NRTI+1 NNRTI. Pilihan obat utama dari golongan NRTI
adalah Lamivudine, diikuti pilihan lainnya yaitu:12
1. 3TC+AZT/d4T/TDF+NVP/EFV
Pemberian kotrimoksazol pada anak-anak yang lahir dari ibu yang terinfeksi
HIV berfungsi sebagai pencegahan infeksi pneumonia yang mengancam anak.
Profilaksis kotrimoksazol diberikan secara umum diindikasikan pada usia 6 minggu
setelah lahir dan dipertahankan sampai tidak ada resiko transmisi dan infeksi HIV
telah disingkirkan.12

10
BAB 3
LAPORAN KASUS
3.1. IDENTITAS
Nama : Ny. RD
Usia : 13-03-1982 (36 tahun)
Pekerjaan : IRT
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
Suku : Samawa
Alamat : Sumbawa
Rekam Medik : 605017
Tanggal Masuk : 03 Juli 2018

3.2. ANAMNESIS
Keluhan Utama: Pasien tidak memiliki keluhan.
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien merupakan pasien hamil dengan HIV. Rencana melakukan SC
elektif pada tanggal 04 Juli 2018. Pasien awalnya datang dirujuk dari RS
Sumbawa dengan G3P2A0H2 UK 34-35 minggu T/H/IU presentasi kepala
dengan HIV datang ke IGD RSUP NTB pada tanggal 25 Mei 2018. Pasien
mengaku sedang mengonsumsi obat ART 1 tablet/hari sejak bulan April 2018.
Pasien baru mengetahui dirinya positif HIV saat kunjungan ANC ke Puskesmas.
Pasien kemudian dibawa ke RS Sumbawa untuk mendapatkan obat ART. Obat
yang didapat dari RS Sumbawa adalah Nevirapin dengan dosis 1x1. Dari RS
Sumbawa pasien dirujuk ke RSUP NTB. Di RSUP NTB pasien mendapat
penggantian terapi, yaitu kombinasi 2 NRTI + 1 NNRTI. Obat yang dikonsumsi
adalah Tenofovir (NRTI), Lamivudine (NRTI), dan Efaviren (NNRTI) dengan
dosis 1x1. Pasien dijadwalkan untuk melakukan SC elektif pada tanggal 04 Juli
2018.
Riwayat Penyakit Dahulu:
Pasien sebelumnya tidak pernah sakit, dirawat, ataupun menjalani
operasi. Pasien tidak memiliki riwayat hipertensi dan DM. Pasien memiliki
riwayat batuk berdahak lama yang tidak pernah diobati.
Riwayat Penyakit Keluarga:
Suami pertama pasien memiliki riwayat sakit batuk lama dan muncul
banyak sariawan serta nanah di sekitar mulutnya. Penyakit suaminya
menyebabkan tubuh suami pasien menjadi kurus. Suami pertama pasien tidak
11
pernah dibawa ke rumah sakit untuk berobat dan hanya dibawa ke dukun
tradisional.
Tidak didapatkan riwayat penyakit darah tinggi, diabetes, penyakit
jantung, ataupun keganasan.
Riwayat Alergi:
Pasien tidak memiliki riwayat alergi.
Riwayat Sosial:
1. Pekerjaan pasien : ibu rumah tangga
2. Riwayat menikah : menikah 2 kali
- Suami pertama menikah selama 12 tahun (Usia 20
tahun), pekerjaan suami: supir bus antar provinsi.
- Suami kedua menikah selama 1 tahun (usia
menikah 35 tahun), pekerjaan suami: nelayan.

Riwayat Obstetri :
1. 2003/Rumah/aterm/spontan/dukun/Laki-laki/3 kg.
2. 2012/Rumah/aterm/spontan/dukun/Laki-laki/3 kg.
3. Ini
HPHT : 14-10-2017
HTP : 21-07-2018
UK : 37-38 minggu
Riwayat ANC : 7x (1x di Posyandu, 2x di Puskesmas, 4x di RSUP
NTB)
Riwayat USG : 2x di Sp.OG (26/05/2018 dan 08/06/2018)
Hasil USG terakhir : Janin/Tunggal/Hidup/Intra uterine, presentasi kepala,
punggung kanan. BPD: 33 w 4d, AC: 32 w, FL: 30 w 3 d; EFW: 1861 gram
± 279,21 gram. Air ketuban cukup, jernih. DJJ (+).
Riwayat KB : KB suntik 3 bulan. Efek pemakaian: penurunan berat
badan.
Rencana KB : Steril.

3.3 PEMERIKSAAN FISIK


Status Generalis
Keadaan umum : Baik
GCS : E4V5M6
Tanda Vital
- Tekanan darah : 120/80 mmHg
- Frekuensi nadi: 84 x/menit, reguler, kuat angkat
- Frekuensi napas: 20 x/menit
- Suhu aksila : 36,5 oC

12
- BB : 55 kg
- TB : 151 cm
Pemeriksaan Fisik Umum
- Mata : anemis -/-, ikterus -/-
- Jantung : S1S2 tunggal reguler, murmur (-), gallop (-)
- Paru : vesikuler +/+, ronki -/-, wheezing -/-
- Abdomen : luka operasi (-), striae gravidarum (+), linea nigra (+)
- Ekstremitas : edema akral (-/-), akral teraba hangat (+ /+)
Status Obstetri
- Inspeksi: luka operasi (-), striae gravidarum (+), linea nigra (+)
- Palpasi:
Leopold :
L1 : Bokong
L2 : Punggung teraba di kiri ibu
L3 : Kepala
L4 : 5/5
TFU : 31 cm
TBJ : 2945 gr
His : (-)
- Auskultasi: DJJ (+) 12-12-12 (144x/menit)
- Pemeriksaan dalam: Tidak dilakukan.
3.4 PEMERIKSAAN LABORATORIUM (22/06/2018)
 HB : 11.4 g/dl
 RBC : 4.07 juta/uL
 HCT : 35%
 WBC : 10800/uL
 PLT : 220.000/uL
 PT : 14.6 detik
 APTT : 26.4 detik
 HbsAg : (-) non reaktif
 GDS : 83 mg/dL
 Urinalisis : protein (-), keton (-), glukosa (-), bilirubin (-)
 CD4 (26/05/18): 135
3.5 DIAGNOSIS
G3P2A0H2 UK 37-38 minggu T/H/IU presentasi kepala dengan HIV
3.6 PLANNING
 Planning Terapi
Pemberian asam mefenamat 500 mg 3x1, terapi ARV tetap dilanjutkan
1x/hari di jam yang sama
 Planning Monitoring
Monitoring kadar CD4 dan Viral load pasien
 Planning Edukasi
Memberikan ASI pada bayi selama enam bulan pertama
13
Tetap meminum ART 1x/hari di jam yang sama
Periksakan bayi ke dokter spesialis anak.
Pasien sudah disteril, jadi tidak dapat memiliki anak kembali
Menganjurkan berhubungan badan dengan menggunakan kondom
3.7 Bayi Lahir
 Jenis persalinan : perabdominal, SC elektif
 Lahir tanggal, jam : 04 Juli 2018 Pukul 12.35 WITA
 Jenis kelamin : Perempuan
 Apgar Score : 6-8
 Lahir : Hidup
 Berat : 2900 gram
 Panjang : 48 cm
 Amnion : Jernih
 Kelainan kongenital : (-)
 Anus : (+)
3.8 Plasenta
 Lahir : Manual
 Kelengkapan : Lengkap
 Berat : ±500 gram
3.9 Follow-up Pasien
Tanggal Subjektif Objektif Assesment Planning
04/07/2018 Pasien TD: 110/70 mmHg P3A0H3 -Mobilisasi
mengeluhkan N: 88x/menit Post SC pasien
luka bekas RR: 20x/menit hari I -lanjutkan
operasi T: 36,7 C dengan HIV minum ARV
UC: baik -banyak
TFU: sepusat makan dan
Perdarahan aktif: minum
(-)

05/07/2018 Tidak ada TD: 120/70 mmHg P3A0H3 lanjutkan


keluhan N: 96x/menit Post SC minum ARV
RR: 20x/menit hari II -banyak
T: 36,4 C dengan HIV makan dan
UC: baik minum
TFU: dua jari
bawah pusat
Perdarahan aktif:
(-)

14
Kondisi Bayi
Bayi berada di NICU dan sudah mendapatkan terapi infus D10, injeksi
ampicillin sulbactam, gentamicin, terapi ARV Lamivudine, dan konsumsi susu
formula

BAB 4
PEMBAHASAN
Faktor Resiko
Pada kasus ini, Ny. RD usia 36 tahun dengan G3P2A0H2 UK 37-38 minggu
Tunggal/Hidup/Intra uterin presentasi kepala dengan HIV ditegakkan berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Faktor resiko yang dapat
menyebabkan seseorang terkena infeksi HIV misalnya, berhubungan seks dengan
pasangan yang memiliki status infeksi HIV positif, berhubungan seks dengan sesama
jenis, paling banyak berasal dari golongan LSL (laki-laki yang berhubungan seks
dengan laki-laki), penggunaan narkoba suntik, transfusi darah, dan perilaku seks
beresiko. 14,15

Pada kasus ini, faktor resiko yang terdapat pada pasien adalah berhubungan
dengan pasangan yang memiliki infeksi HIV. Anamnesis mengenai status infeksi
suami pertama pasien didapatkan menurut penuturan dari pasien yang mengatakan
bahwa suami pertama pasien pernah sakit sebelum akhirnya meninggal. Suami
pertama pasien adalah mantan supir bus antar provinsi. Selama kurang lebih dua
tahun, suami pasien sakit dan tidak bekerja lagi. Pasien mengatakan bahwa suaminya
menjadi sangat kurus, batuk berdahak lama, mata menjadi cowong, dan timbul
banyak bercak putih seperti sariawan di bagian dalam dan luar mulut suami pasien.
Selama sakit, suami pasien tidak pernah dibawa ke rumah sakit karena masalah
biaya.

Saat ini pasien menikahi suami keduanya. Suami pasien saat ini tidak
mengetahui bahwa pasien menderita infeksi HIV. Pasien menolak untuk memberi
tahu suami dan keluarga pasien. Hal ini dapat meningkatkan tingkat penularan

15
infeksi jika pasien tidak melakukan pencegahan transmisi dengan baik. Bahkan
menurut CDC, resiko penularan infeksi saat berada di fase infeksi akut HIV
mencapai 7.25 kali lebih besar dibandingkan saat pasien berada di fase infeksi
lanjut.14

Meskipun umumnya data menunjukkan bahwa laki-laki lebih banyak terkena


infeksi HIV dibandingkan dengan perempuan, data yang diperoleh selama lima
tahun (2011-2015) menyatakan bahwa rasio kasus HIV pada laki-laki bila
dibandingkan dengan perempuan adalah 1:1,2-1,5. Hal ini berarti bahwa perempuan
lebih terkena dampak HIV dibandingkan dengan laki-laki.15

Resiko transmisi ini dapat diturunkan dengan cara melakukan hubungan


seksual terlindungi, misalnya dengan menggunakan kondom, baik kondom laki-laki
atau perempuan. Namun, pemakaian kondom ini tidak menjamin seseorang bebas
dari transmisi. Cara lainnya adalah dengan menganjurkan pasangan mengunakan
PrEP (Pre-exposure prophylaxis) pada pasien HIV negatif dan beresiko terpapar HIV
atau menggunakan PEP (post-exposure prophylaxis) yang dikonsumsi maksimal 72
jam setelah paparan terhadap HIV.14

Diagnosis HIV, pengaruh HIV terhadap kehamilan, dan pengaruh pengobatan


terhadap kehamilan

Pasien didiagnosis HIV dari pemeriksaan di Sumbawa saat sedang


melakukan ANC. Pasien memiliki riwayat mengonsumsi ART selama kehamilan
berupa Nevirapine 1 kali sehari. Pasien sudah menjalani terapi selama 9 hari. Hasil
pemeriksaan kadar CD4 di RSUDP NTB pada pasien adalah sebesar 135. ART yang
sudah digunakan pasien kemudian diganti menjadi obat kombinasi Tenofovir,
Lamivudine, dan Evafirenz dengan dosis satu kali sehari.

Gejala klinis infeksi HIV seperti gejala flu, pusing, lemas, berat badan susah
bertambah, nafsu makan hilang terdapat pada pasien. Pasien juga mengeluhkan
sudah batuk selama kurang lebih 1 bulan disertai dahak. Suami pasien mengatakan,
selama hamil pasien menjadi kurus dan hampir selalu terlihat lemas. Analisis yang
didapatkan dari buku KIA pasien, didapatkan penambahan berat badan dari awal
kehamilan hanya sebesar 3 kg. Namun pasien tidak pernah mengeluhkan adanya
gangguan buang air besar selama kehamilan. Dilihat dari klinis pasien, menifestasi

16
klinis infeksi HIV terdapat pada pasien dan didukung oleh kadar CD4 yang menurun
pada pasien.

Infeksi HIV memiliki banyak pengaruh terhadap kehamilan, misalnya


peningkatan terjadinya abortus spontan, berat badan lahir rendah, lahir mati,
persalinan preterm, skor Apgar yang rendah (kurang dari 7 dalam 5 menit pertama),
berat badan kurang dari masa kehamilan, defek pada janin, dan kematian janin dalam
rahim. Namun, dari beberapa penelitian, pemberian ART pada ibu hamil secepat
mungkin mampu mengurangi resiko terjadinya gangguan pada kehamilan akibat
infeksi HIV.

Pemberian ART pada kasus ini didapatkan dua jenis terapi ART, yang
pertama merupakan monoterapi Nevirapine, kemudia diganti dengan terapi ART
kombinasi. Pemberian monoterapi Nevirapine sebagai terapi awal HIV pada pasien
ini tidak sesuai dengan pedoman pemberian ART pada ibu hamil. Nevirapine
merupakan obat dari golongan NNRTI yang kerjanya menghambat HIV reverse
transkriptase dengan berikatan pada titik yang jauh dari tempat terjadinya replikasi
genom.14 Pemberian agen terapi dari golongan NNRTI dalam terapi HIV harus
diberikan dalam regimen kombinasi dan tidak dapat diberikan sebagai terapi tunggal
karena dapat menyebabkan tumbuhnya resistensi pengobatan dengan cepat.14

Menurut WHO, ART harus diberikan kepada semua wanita hamil dan
menyusui yang diketahui memiliki HIV tanpa melihat tahap klinis penyakit
berdasarkan WHO atau kadar CD4 pasien (normalnya pada kadar CD4 <300) dan
harus melanjutkan pengobatan seumur hidup.13 Pemberian terapi lini pertama pada
wanita hamil dan menyusui dengan HIV meliputi kombinasi 2 NRTI dan 1 NNRTI,
yaitu Tenofovir DF (TDF)+Lamivudine (3TC)+Efavirenz (EFV). Pemberian terapi
kombinasi pada pasien ini sudah dilakukan sejak kunjungan ke klinik VCT
(Voluntary Counselling and Testing) RSUDP NTB.

Namun dalam beberapa penelitian, dilaporkan adanya efek samping pada


janin berupa defek lahir akibat penggunaan Efavirenz pada ibu hamil dengan HIV
positif. Efavirenz menurut FDA saat ini masih merupakan obat golongan C untuk ibu
hamil. Namun, penelitian lain yang lebih baru menyatakan bahwa penggunaan
Efavirenz sebagai ART pada ibu hamil lebih memberikan efek mengurangi resiko
terjadinya kelainan atau gangguan pada kehamilan dan janin. Studi paling baru

17
menyatakan bahwa paparan Efavirenz di trimester pertama kehamilan tidak
meningkatkan resiko terjadinya kelainan susunan saraf, seperti misalnya Neural Tube
Defect (NTD). 5,17

Selain Efavirenz, obat lain seperti Tenofovir juga memiliki efek samping
pada ibu maupun janin, yaitu efek toksisitas ginjal pada ibu dan adanya penurunan
densitas mineral tulang pada janin. Nevirapine yang merupakan golongan dari
NNRTI tidak ditemukan memiliki efek malformasi terhadap janin, namun mampu
memberikan efek hepatotoksik pada ibu.15

Dengan mempertimbangkan segala efek samping yang dimiliki masing-


masing obat dan membandingkan keuntungan pemberian ART pada ibu hamil, selain
mengurangi angka mortalitas ibu, namun juga memberikan hasil yang baik terhadap
kehamilan, maka pemberian ART saat kehamilan jauh lebih baik dibandingkan ibu
dengan HIV positif yang tidak mendapatkan ART sama sekali. Hal ini dibuktikan
dari penelitian yang dilakukan di Nigeria, bayi yang lahir dari ibu penerima ART ,
92,4% populasi penelitian melahirkan bayi dengan skor Apgar lebih dari sama
dengan 7, dan 90,7% bayi lahir dengan berat lahir >2500 gram.16

Pada pasien ini, pemberian ART yang dimulai sejak trimester ketiga
kehamilan, memberikan hasil yang tergolong baik, dimana tidak didapatkan adanya
persalinan preterm, bayi lahir dengan berat badan > 2500 gram tanpa disertai defek
saat lahir dan memiliki skor Apgar yang baik.

Pemilihan persalinan

Dalam memutuskan persalinan pada pasien hamil dengan status HIV positif,
terdapat dua cara persalinan, baik itu perabdominam (sectio caesarean) ataupun
pervaginam.5,16 Pada penelitian yang dilakukan di Finlandia tahun 1993-2013 dengan
212 wanita dan 290 persalinan, 74,5% pasien melakukan persalinan pervaginam
dengan kadar viral load < 50 kopi/ml, sementara 12,8% pasien melakukan SC elektif
dan 12,8% lainnya melakukan SC emergensi. Indikasi dilakukannya SC pada
penelitian ini, 63,5% adalah indikasi obstetri, sebanyak 28,4% dengan alasan untuk
menghindari transmisi vertikal ibu ke janin, dan 0,7% atas permintaan ibu.17

Melakukan persalinan pervaginam memang memiliki peningkatan resiko


transmisi ibu ke bayi lebih besar dibandingkan melakukan SC elektif. 5 Melakukan

18
persalinan pervaginam pada pasien dengan status infeksi positif juga membutuhkan
pertimbangan, salah satunya adalah pasien harus meminum ART pada masa
kehamilan agar kadar viral load tertekan menjadi setidaknya < 50 kopi/ml. 5,16,17
Persalinan dengan cara SC elektif juga memiliki resiko ketika pasien berada pada
wilayah yang tidak memiliki fasilitas yang memadai.16

ACOG sendiri merekomendasikan melakukan SC elektif hanya jika kadar


viral load pasien > 1000 kopi/ml atau saat kadar viral load pasien tidak diketahui.
Sementara panduan dari Britania Raya merekomendasikan untuk melakukan SC
ketika viral load ada di kadar 50-999 kopi/ml. WHO menyatakan pada tahun 2015
untuk menghindari melakukan SC yang tidak perlu, karena dapat mempengaruhi
kesehatan ibu, bayi, dan kehamilan selanjutnya.17

SC elektif dilakukan untuk melahirkan bayi pada kasus ini. SC elektif


dilakukan pada usia kehamilan 38 minggu, sesuai dengan anjuran yang ditetapkan
pada panduan penanganan kehamilan dengan HIV. Indikasi dilakukannya SC pada
pasien ini kemungkinan karena kadar viral load pasien yang tidak diketahui. Pasien
tidak menjalani pemeriksaan kadar viral load karena menyatakan kurang mampu
untuk melakukan pemeriksaan.

Menurut penelitian dari Eropa, melahirkan melalui prosedur SC elektif benar


mengurangi resiko transmisi pada lebih dari 80% responden wanita. 15 SC elektif
dilakukan dengan memperhatikan universal precaution. Selama proses operasi
berjalan, operator menggunakan gaun anti air, goggle, masker, pelindung kepala,
handscoon steril, dan boots.

Bayi dilahirkan pada pukul 12.35 WITA dengan APGAR skor 6-8. Bayi
dilahirkan dengan berat badan cukup (2900 gram). Bayi kemudian dibawa ke NICU
untuk mendapatkan perawatan lanjutan. Bayi mendapatkan salep mata, injeksi
vitamin K, imunisasi HB0, infus cairan D10, injeksi ampicilin sulbactam,
gentamicin, dan pemberian ART Lamivudine.

Program PMTCT yang dilakukan di RSAB Harapan Kita Jakarta dilakukan


sesuai dengan Pedoman Nasional PMTCT, yang meliputi pemberian ARV pada ibu
dan bayi setelah lahir. Setelah bayi lahir, bayi dikeringkan dan dilakukan standar
pencegahan universal pada bayi. Menurut PMTCT di RSAB Harapan Kita, bayi

19
tidak diberikan ASI, namun diberikan susu formula sesuai kriteria AFASS
(acceptable, feasible, affordable, sustainable, safe) WHO.18

Dua belas jam setelah bayi lahir, bayi diberikan ARV profilaksis yang terdiri
dari Zidovudine 2mg/kgBB tiap 6 jam selama 6 minggu untuk bayi cukup bulan.
Sementara bayi dengan usia gestasi kurang mendapat dosis 1,5 mg/kgBB diberikan 2
kali per hari selama 2 minggu pertama, diikuti dosis yang sama 3 kali/hari selama 2
minggu berikutnya, dan dosis 2mg/kgBB/hari pada 2 minggu terakhir.18

Untuk menentukan bayi tidak mengidap HIV, diperlukan minimal dua kali
pemeriksaan dengan hasil negatif, yaitu saat usia 4 minggu dilakukan pemeriksaan
PRC RNA HIV, jika hasilnya negatif, maka ART dihentikan. Kemudian bayi
diberikan profilaksis kotrimoksazol untuk mencegah adanya infeksi oportunistik,
diberikan sampai usia 4-6 bulan saat pemeriksaan PCR yang kedua.18

Pemberian ampicillin sulbactam pada bayi kasus ini dapat dijadikan obat
untuk mencegah terjadinya infeksi saluran napas sebagai salah satu resiko infeksi
oportunistik yang sering terjadi pada pasien HIV. Ampicillin sulbactam biasanya
diberikan pada pasien yang sedang menjalani rawat intensif (NICU) di rumah sakit.16

Sementara itu, pemberian ART pada bayi kasus ini sedikit berbeda dengan yang
sudah ditetapkan oleh WHO maupun IDAI. Dimana bayi hanya menerima satu obat
dari golongan NRTI, yaitu Lamivudine, tanpa disertai terapi kombinasi dengan NRTI
lainnya dan 1 dari golongan NNRTI. Pemberian monoterapi Lamivudine sebagai
salah satu pencegahan transmisi kurang tepat, meskipun efek sampingnya tidak
menimbulkan resistensi pengobatan seperti monoterapi dengan menggunakan obat
golongan NNRTI.14

Bayi Ny. RD tidak menerima ASI eksklusif selama dirawat di RSUDP NTB.
Beberapa sumber mengatakan bahwa memang kadar virus HIV banyak ditemukan di
dalam air susu ibu, dan transmisi vertikal selain melalui cairan ketuban dan serviks,
adalah melalui air susu ibu.5 Namun, beberapa tahun terakhir WHO telah
merekomendasikan, bahwa meskipun bayi terlahir dari ibu dengan infeksi HIV
positif, bayi tersebut harus mendapatkan ASI eksklusif selama enam bulan pertama
kehidupannya. ASI hanya boleh dihentikan hanya jika bayi sudah memiliki nutrisi

20
yang adekuat dan apabila makanan pendamping sudah tersedia dan mampu
memenuhi kebutuhan nutrisi anak.1

Sebelum teori terbaru muncul, kebanyakan praktisi mengacu pada informasi


WHO dimanaa ibu dengan HIV tidak boleh memberikan ASI kepada bayi karena
kadar virus HIV dalam ASI sangat tinggi. Kriteria AFASS saat itu menjadi acuan,
dimana ketika orang tua mampu menyediakan susu formula, maka pemberian susu
formula adalah yang terbaik. Namun, penelitian baru menyatakan bahwa, ibu yang
memiliki status HIV positif, asalkan salah satu dari ibu maupun bayi, atau keduanya,
menjalani terapi ART, maka pemberian ASI pada enam bulan pertama adalah wajib
diberikan tanpa melihat status infeksi HIV anak. Temuan sebaliknya, pemberian ASI
bersamaan dengan pemberian susu formula justru meningkatkan insidensi HIV 4 klai
lebih besar.1

Kontrasepsi

Pilihan menggunakan kontrasepsi pada ibu dengan HIV penting dilakukan.


Karena sebagian besar wanita dengan status HIV positif kadang mengalami
kehamilan tidak terrencana dan berakhir pada abortus janin. Untuk menghindari hal
tersebut, edukasi penting dilakukan kepada ibu dengan HIV.

Pemilihan kontrasepsi yang paling mudah adalah dengan metode barrier atau
menggunakan alat pelindung, namun tingkat kepatuhan dan keberhasilan sangat
rendah. Biasanya wanita dengan HIV akan dianjurkan untuk menggunakan
kontrasepsi hormonal, baik pil ataupun implan. Meskipun penggunaannya harus
ketat dan tidak boleh terlewat. 19

Penggunaan kontrasepsi IUD kurang dianjurkan, karena resiko terjadi


perlukaan saat melakukan hubungan seksual atau saat pemasangan bisa saja terjadi
dan akan menyebabkan peradangan dan berujung pada infeksi, sedangkan sistem
imun penderita HIV sudah cukup terganggu.19

Kontrasepsi absolut dan paling cost-effective adalah dengan sterilisasi dari


ibu dengan HIV. Namun pilihan ini harus dipertimbangkan dengan baik oleh suami
dan istri, serta mempertimbangkan anak yang sudah dimiliki. Teknik sterilisasi
biasanya dilakukan sekaligus bersama saat dilakukannya SC pada pasien.19 Teknik
kontrasepsi inilah yang digunakan pada kasus ini.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organization. HIV/AIDS. Online Q&A Article;2017 [Accessed


10th June 2018]

2. Kasper, Fauci, Hauser, Longo, Jameson, Loscalzo. Harrison: principal of


internal medicine.19th ed. New York:McGrawHill;2015:1215-1285

3. Kementerian Kesehatan RI. Pedoman pelaksanaan pencegahan penularan


HIV dan sifilis dari ibu ke anak bagi tenaga kesehatan;2015. Jakarta:
Kemenkes RI

4. Ilmu kebidanan Sarwono Prawirohardjo. Edisi keempat. Jakarta: PT Bina


Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2008. p. 115-28.
5. Himpunan Kedokteran Fetomaternal POGI. Panduan klinis praktis:
Tatalaksana kehamilan dengan infeksi HIV. Jakarta: POGI; 2012

6. Cunningham, FG., Leveno KJ., Bloom SL, et al. Williams obstetrics. 24th ed.
New York: McGrawHill; 2014

7. Kementerian Kesehatan RI. Pedoman Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke


Anak. Jakarta: Kemenkes RI; 2011

8. UNAIDS. HIV in pregnancy: a review. South Africa: WHO; 1998: p.1-37

9. Maartens G, Celum C, Lewin SR. HIV infection: epidemiology,


pathogenesis, treatment, and prevention. Seminar;2014: p 1-14

10. Kementerian Kesehatan RI. Laporan situasi perkembangan HIV-AIDS &


PIMS di Indonesia Januari-Maret 2018. Jakarta: Kemenkes RI;2018

22
11. WHO. Pregnancy, childbirth, postpartum and Newborn car: a guide for
essential practice. 3rd ed. Geneva:WHO; 2015: section G

12. IDAI. Pedoman penerapan terapi HIV pada anak. Jakarta: Kemenkes RI;
2014: p.1-96

13. Aniji, CD., Towobola OA., Hoque ME, et al. Impact of antiretroviral therapy
on pregnancy outcomes. S Afr J HIV Med;2013;14(4):176-178

14. CDC. HIV risk behaviors. National Center for HIV/AIDS, Viral hepatiis,
STD, and TB prevention. New York: CDC; 2015

15. Kementerian Kesehatan RI. Kajian epidemiologi HIV Indonesia 2016.


Jakarta: Kemenkes RI; 2017

16. Moore, BM., Tobin-West, CI. Pegnancy outcome of HIV infected women on
ART in a treatment center in Posrt Harcourt, Nigeria: a retrospective analysis;
2017:17(1) ISSN:1597

17. Kennedy CE, Yeh PT, et al. Elective cesarean section for women living with
HIV:a systematic review of risks and benefits. AIDS;2017, 31: 1579-1591

18. Mitchell HS, Stephens E., contraception choice for HIV positive women.
Sex. Transm Infect; 2004;80:167-173

19. WHO. The use of antiretroviral drugs for treating and preventing HIV
infection: recommendations for a public health approach. 2 nd ed. Geneva:
WHO; 2016

20. Maenza J, Flexner C., Combination antiretroviral therapy for HIV infection.
Am Fam Physician. 1998 Jun 1;57(11):2789-2798

23
Lampiran

24
25
26

You might also like