You are on page 1of 33

TRAUMA CAPITIS

OLEH:

NURFADILAH

SRI HARTINA HM

ULFA WILDANA HASAN

FIFI LESTARI

NURSAHRATUL HUMAERAH

RADIYA MARDIYA

DOSEN:

Megawati Sibulo, S.Kep., Ns., M.Kep., Sp.KMB

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR

2018
KATA PENGANTAR

Bismillahirrohmanirrohim

Assalamu’alaykum Warohmatullahi Wabarokaatuh

Pertama-tama, marilah senantiasa kita memanjatkan puji dan syukur atas

kehadirat Allah Swt, karena atas berkah limpahan rahmat dan hidayah-Nya,

sehingga kita masih diberikan kekuatan, kesehatan, dan kesempatan untuk masih

dapat bekerja demi dunia dan akhirat kita. Tak lupa pula kita menyampaikan

sholawat dan salam kepada Rosulullah Saw, beserta sahabat dan keluarganya

sekalian, yang sang Murobbi tebaik kita di dunia dan akhirat.

Dalam makalah ini, kami membahas mengenai konsep medis dan konsep

keperawatan yang menitikberatkan pada penyakit mengenai Trauma Capitis.

Makalah ini bersumber dari berbagai referensi berupa buku dan artikel ilmiah.

Semoga makalah ini dapat memberikan pemahaman da bermanfaat bagi

pembaca semua. Terima kasih.

Wassalamu’alaykum warohmatullahi wabarokaatuh.

Samata, 18 September 2018

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman Sampul.................................................................................................

Kata Pengantar....................................................................................................

Daftar Isi.............................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang......................................................................................

B. Rumusan masalah.................................................................................

C. Tujuan penulisan...................................................................................

D. Manfaat penulisan.................................................................................

BAB II PEMBAHASAN

A. Konsep Medis........................................................................................

B. Konsep Asuhan Keperawatan................................................................

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan.............................................................................................

B. Saran.......................................................................................................

Daftar Pustaka
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Trauma capitis adalah suatu gangguaan traumatik dari fungsi otak disertai

perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa terputusnya kontinuitas dari

otak (Purnama Junadi dkk, 1992). Cedera kepala adalah trauma yang mengenai

otak disebabkan oleh kekuatan eksternal yang menimbulkan perubahan tingkat

kesadaran dan perubahan kemampuan kognitif, fungsi fisik, fungsi tingkah

laku dan emosional (Widagdo, Wahyu, 2008).

Trauma capitis atau cedera kepala diakibatkan karena benturan pada kepala,

kecelakaan lalu lintas, berupa tabrakan kendaraan bermotor, terjatuh dari

ketinggian (misalnya pohon, gedung, dan rumah), tertimpa benda (misalnya:

alat-alat berat, batang pohon, kayu, dan sebagainya), olahraga, trauma

kelahiran, dan korban kekerasan (misalnya senjata api, golok, parang, balik,

palu dan sebagainya).

Insiden trauma kapitis karena kecelakaan di Indonesia adalah 30%

meninggal dalam satu minggu perawatan, 40% meninggal dalam satu hari
perawatan dan 50% meninggal sebelum tiba di rumah sakit (Sidharta, 2003).

Penyebab kematian pada pasien trauma kapitis yaitu adanya penekanan pada

otak menyebabkan pembuluh darah pecah sehingga menyebabkan hematoma.

Efek utama sering lambat sampai hematoma tersebut cukup besar dan akan

menimbulkan edema otak. Edema otak ini dapat menyebabkan peningkatan

intracranial yang dapat menyebabkan herniasi dan penekanan batang otak.

Herniasi ini dapat menibulkan iskemik, infark, kerusakan otak irreversible dan

kematian (Selekta Kapita, 2007).

Kasus cedera kepala mempunyai beberapa aspek khusus penyembuhan,

antara lain kemampuan regenerasi sel otak yang sangat terbatas, kemungkinan
komplikasi yang mengancam jiwa atau menyebabkan kecacatan, juga karena

terutama mengenai pria dalam usia produktif yang biasanya merupakan kepala

keluarga. Adanya tingkat kesulitan dalam pengobatan dan penanganan

menyebabkan tingginya angka kematian sehingga pragnosa pasien cedera

kepala akan lebih baik bila penatalaksanaan dilakukan secara tepat dan cepat.

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut.

1. Bagaimanakah defenisi dari trauma capitis ?

2. Bagaimanakah patofisiologi dari trauma capitis ?

3. Bagaimanakah pengobatan dari penyakit trauma capitis ?

4. Apa saja terapi diet yang baik pada penyakit trauma capitis ?

5. Bagaimanakah asuhan keperawatan pada trauma capitis ?

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan dalam makalah ini adalah sebagai berikut.

1. Untuk menjelaskan mengenai konsep dan defenisi dari trauma capitis.

2. Untuk memberikan gambaran mengenai patofisiologi trauma capitis.

3. Untuk menjelaskan pengobatan yang sesuai dengan trauma capitis.


4. Untuk memberikan pemahaman mengenai terapi diet yang tepat pada

trauma capitis.

5. Untuk memberikan pemahaman mengenai asuhan keperawatan pada trauma

capitis.

D. Manfaat Penulisan

Adapun manfaat penulisan makalah ini adalah sebagai berikut.

1. Untuk menambah konsep pengetahuan mengenai penyakit trauma capitis.

2. Sebagai bahan referensi dalam proses pembelajaran.

3. Sebagai bahan pertimbangan dalam penulisan asuhan keperawatan.


BAB II

KONSEP MEDIS

A. Definisi

Cedera kepala (trauma kepala) adalah kondisi dimana struktur kepala

mengalami benturan dari luar dan berpotensi menimbulkan gangguan pada

fungsi otak. Beberapa kondisi pada cedera kepala meliputi luka ringan, memar

di kulit kepala, bengkak, perdarahan, dislokasi, patah tulang tengkorak dan

gegar otak, tergantung dari mekanisme benturan dan parahnya cedera yang

dialami.

Cedera kepala (trauma capitis) adalah cedera mekanik yang secara langsung

atau tidak langsung mengenai kepala yang mengakibatkan Luka di kulit kepala,

fraktur tulang tengkorak, robekan selaput otak, dan kerusakan jaringa otak itu

sendiri, serta mengakibatkan gangguan neurologis.

Cedera Kepala merupakan cedera yang meliputi trauma kulit kepala, tengkorak,

dan otak. (Morton, 2012)

B. Anatomi dan Fisiologi Sistem Neurology

1. Tengkorak
Tulang tengkorak menurut, Evelyn C Pearce (2008) merupakan struktur

tulang yang menutupi dan melindungi

otak, terdiri dari tulang kranium dan

tulang muka. Tulang kranium terdiri dari 3

lapisan :lapisan luar, etmoid dan lapisan

dalam. Lapisan luar dan dalam merupakan

struktur yang kuat sedangkan etmoid

merupakan struktur yang menyerupai

busa. Lapisan dalam membentuk

rongga/fosa; fosa anterior didalamnya terdapat lobus frontalis, fosa tengah


berisi lobus temporalis, parientalis, oksipitalis, fosa posterior berisi otak

tengah dan sereblum.

2. Meningen

Pearce, Evelyn C. (2008) otak dan sumsum tulang belakang diselimuti

meningia yang melindungi syruktur saraf yang halus itu, membawa

pembulu darah dan dengan sekresi sejenis cairan, yaitu: cairan

serebrospinal yang memperkecil benturan atau goncangan. Selaput

meningen menutupi terdiri dari 3 lapisan yaitu:

a. Dura mater

Dura mater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan

endosteal dan lapisan meningeal. Dura mater merupakan selaput yang

keras, terdiri atas jaringan ikat fibrisa yang melekat erat pada permukaan

dalam dari kranium. Karena tidak melekat pada selaput arachnoid di

bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial ruang subdural yang

terletak antara dura mater dan arachnoid, dimana sering dijumpai

perdarahan subdural. Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang

berjalan pada permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis


tengah atau disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan dan

menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan

darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari

sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat . Hematoma

subdural yang besar, yang menyebabkan gejala-gejala neurologis

biasanya dikeluarkan melalui pembedahan.

Petunjuk dilakukannya pengaliran perdarahan ini adalah:

1) Sakit kepala yang menetap

2) Rasa mengantuk yang hilang-timbul

3) Linglung
4) Perubahan ingatan

5) Kelumpuhan ringan pada sisi tubuh yang berlawanan.

Arteri-arteri meningea terletak antara dura mater dan permukaan

dalam dari kranium ruang epidural. Adanya fraktur dari tulang kepala

dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan menyebabkan

perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri

meningea media yang terletak pada fosa media fosa temporalis.

Hematoma epidural diatasi sesegera mungkin dengan membuat

lubang di dalam tulang tengkorak untuk mengalirkan kelebihan darah,

juga dilakukan pencarian dan penyumbatan sumber perdarahan.

b. Selaput Arakhnoid

Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang.

Selaput arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan dura mater

sebelah luar yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari dura mater

oleh ruang potensial, disebut spatium subdural dan dari pia mater oleh

spatium subarakhnoid yang terisi oleh liquor serebrospinalis .

Perdarahan sub arakhnoid umumnya disebabkan akibat cedera kepala.


c. Pia mater

Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater

adalah membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi

gyri dan masuk kedalam sulci yang paling dalam. Membrana ini

membungkus saraf otak dan menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-

arteri yang masuk kedalam su bstansi otak juga diliputi oleh pia mater.

3. Otak

Menurut Ganong, (2002); price, (2005), otak terdiri dari 3 bagian, antara

lain yaitu:

a. Cerebrum
Serebrum atau otak besar

terdiri dari dari 2 bagian,

hemispherium serebri kanan dan

kiri. Setiap henispher dibagi

dalam 4 lobus yang terdiri dari

lobus frontal, oksipital, temporal dan pariental. Yang masing-masing

lobus memiliki fungsi yang berbeda, yaitu:

1) Lobus frontalis.

Lobus frontalis pada korteks serebri terutama mengendalikan

keahlian motorik misalnya menulis, memainkan alat musik atau

mengikat tali sepatu. Lobus frontalis juga mengatur ekspresi wajah

dan isyarat tangan. daerah tertentu pada lobus frontalis bertanggung

jawab terhadap aktivitas motorik tertentu pada sisi tubuh yang

berlawanan. Efek perilaku dari kerusakan lobus frontalis bervariasi,

tergantung kepada ukuran dan lokasi kerusakan fisik yang terjadi.

Kerusakan yang kecil, jika hanya mengenai satu sisi otak, biasanya

tidak menyebabkan perubahan perilaku yang nyata, meskipun kadang


menyebabkan kejang. Kerusakan luas yang mengarah ke bagian

belakang lobus frontalis bisa menyebabkan apati, ceroboh, lalai dan

kadang inkontinensia. Kerusakan luas yang mengarah ke bagian depan

atau samping lobus frontalis menyebabkan perhatian penderita mudah

teralihkan, kegembiraan yang berlebihan, suka menentang, kasar dan

kejam.

2) Lobus parietalis

Lobus parietalis pada korteks serebri menggabungkan kesan dari

bentuk, tekstur dan berat badan ke dalam persepsi umum. Sejumlah

kecil kemampuan matematikan dan bahasa berasal dari daerah ini.


Lobus parietalis juga membantu mengarahkan posisi pada ruang di

sekitarnya dan merasakan posisi dari bagian tubuhnya. Kerusakan

kecil di bagian depan lobus parietalis menyebabkan mati rasa pada

sisi tubuh yang berlawanan. Kerusakan yang agak luas bisa

menyebabkan hilangnya kemampuan untuk melakukan serangkaian

pekerjaan keadaan ini disebut ataksia dan untuk menentukan arah kiri-

kanan. Kerusakan yang luas bisa mempengaruhi kemampuan

penderita dalam mengenali bagian tubuhnya atau ruang di sekitarnya

atau bahkan bisa mempengaruhi ingatan akan bentuk yang

sebelumnya dikenal dengan baik misalnya, bentuk kubus atau jam

dinding. Penderita bisa menjadi linglung atau mengigau dan tidak

mampu berpakaian maupun melakukan pekerjaan sehari-hari lainnya.

3) Lobus temporalis

Lobus temporalis mengolah kejadian yang baru saja terjadi

menjadi dan mengingatnya sebagai memori jangka panjang. Lobus

temporalis juga memahami suara dan gambaran, menyimpan memori

dan mengingatnya kembali serta menghasilkan jalur emosional.


Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kanan menyebabkan

terganggunya ingatan akan suara dan bentuk. Kerusakan pada lobus

temporalis sebelah kiri menyebabkan gangguan pemahaman bahasa

yang berasal dari luar maupun dari dalam dan menghambat penderita

dalam mengekspresikan bahasanya.

Penderita dengan lobus temporalis sebelah kanan yang

nondominan, akan mengalami perubahan kepribadian seperti tidak

suka bercanda, tingkat kefanatikan agama yang tidak biasa, obsesif

dan kehilangan gairah seksual.

4) Lobus Oksipital
Fungsinya untuk visual center. Kerusakan pada lobus ini otomatis

akan kehilangan fungsi dari lobus itu sendiri yaitu penglihatan.

b. Cereblum

Terdapat dibagian belakang kranium menepati fosa serebri posterior

dibawah lapisan durameter. Cereblum mempunyai aski yaitu;

merangsang dan menghambat serta mempunyai tanggunag jawab yang

luas terhadap koordinasi dan gerakan halus. Ditambah mengontrol

gerakan yang benar, keseimbangan posisi dan mengintegrasikan input

sensori.

c. Brainstem

Batang otak terdiri dari otak tengah, pons dan medula oblomata. Otak

tengah midbrain/ ensefalon menghubungkan pons dan sereblum dengan

hemisfer sereblum. Bagian ini berisi jalur sensorik dan motorik, sebagai

pusat reflek pendengaran dan penglihatan. Pons terletak didepan

sereblum antara otak tengah dan medula, serta merupakan jembatan

antara 2 bagian sereblum dan juga antara medula dengan serebrum. Pons

berisi jarak sensorik dan motorik. Medula oblomata membentuk bagian


inferior dari batang otak, terdapat pusatpusat otonom yang mengatur

fungsi-fungsi vital seperti pernafasan, frekuensi jantung, pusat muntah,

tonus vasomotor, reflek batuk dan bersin.

4. Syaraf-Syaraf Otak

Suzanne C Smeltzer, (2001) Nervus kranialis dapat terganggu bila

trauma kepala meluas sampai batang otak karena edema otak atau

pendarahan otak. Kerusakan nervus yaitu:

a. Nervus Olfaktorius (Nervus Kranialis I)

Saraf pembau yang keluar dari otak dibawa oleh dahi, membawa

rangsangan aroma (bau-bauan) dari rongga hidung ke otak.


b. Nervus Optikus (Nervus Kranialis II)

Mensarafi bola mata, membawa rangsangan penglihatan ke otak.

c. Nervus Okulomotorius (Nervus Kranialis III)

Bersifat motoris, mensarafi otot-otot orbital (otot pengerak bola mata)

menghantarkan serabut-serabut saraf para simpati untuk melayani otot

siliaris dan otot iris.

d. Nervus Trokhlearis (Nervus Kranialis IV)

Bersifat motoris, mensarafi otot-otot orbital. Saraf pemutar mata yang

pusatnya terletak dibelakang pusat saraf penggerak mata.

e. Nervus Trigeminus (Nervus Kranialis V)

Sifatnya majemuk (sensoris motoris) saraf ini mempunyai tiga buah

cabang. Fungsinya sebagai saraf kembar tiga, saraf ini merupakan saraf

otak besar, sarafnya yaitu:

1) Nervus oftalmikus: sifatnya sensorik, mensarafi kulit kepala bagian

depan kelopak mata atas, selaput lendir kelopak mata dan bola mata.

2) Nervus maksilaris: sifatnya sensoris, mensarafi gigi atas, bibir atas,

palatum, batang hidung, ronga hidung dan sinus maksilaris.


3) Nervus mandibula: sifatnya majemuk (sensori dan motoris) mensarafi

otot-otot pengunyah. Serabut-serabut sensorisnya mensarafi gigi

bawah, kulit daerah temporal dan dagu.

f. Nervus Abducens (Nervus Kranialis VI)

Sifatnya motoris, mensarafi otot-otot orbital. Fungsinya sebagai saraf

penggoyang sisi mata

g. Nervus Fasialis (Nervus Kranialis VII)

Sifatnya majemuk (sensori dan motori) serabut-serabut motorisnya

mensarafi otot-otot lidah dan selaput lendir ronga mulut. Di dalam saraf

ini terdapat serabut-serabut saraf otonom (parasimpatis) untuk wajah dan


kulit kepala fungsinya sebagai mimik wajah untuk menghantarkan rasa

pengecap.

h. Nervus Akustikus (Nervus Kranialis VIII)

Sifatnya sensori, mensarafi alat pendengar, membawa rangsangan dari

pendengaran dan dari telinga ke otak. Fungsinya sebagai saraf pendengar.

i. Nervus Glosofaringeus (Nervus Kranialis IX)

Sifatnya majemuk (sensori dan motoris) mensarafi faring, tonsil dan

lidah, saraf ini dapat membawa rangsangan cita rasa ke otak.

j. Nervus Vagus (Nervus Kranialis X)

Sifatnya majemuk (sensoris dan motoris) mengandung saraf-saraf

motorik, sensorik dan parasimpatis faring, laring, paru-paru, esofagus,

gaster intestinum minor, kelenjar-kelenjar pencernaan dalam abdomen.

Fungsinya sebagai saraf perasa.

k. Nervus Aksesorius (Nervus Kranialis XI),

Saraf ini mensarafi muskulus sternokleidomastoid dan muskulus

trapezium, fungsinya sebagai saraf tambahan

l. Nervus Hipoglosus (Nervus Kranialis XII)


Saraf ini mensarafi otot-otot lidah, fungsinya sebagai saraf lidah. Saraf

ini terdapat di dalam sumsum penyambung.

C. Klasifikasi

Menurut, Brunner dan Suddarth, (2001) cedera kepala ada 2 macam yaitu:

1. Cedera kepala terbuka

Luka kepala terbuka akibat cedera kepala dengan pecahnya tengkorak

atau luka penetrasi, besarnya cedera kepala pada tipe ini ditentukan oleh

massa dan bentuk dari benturan, kerusakan otak juga dapat terjadi jika

tulang tengkorak menusuk dan masuk kedalam jaringan otak dan melukai

durameter saraf otak, jaringan sel otak akibat benda tajam/tembakan, cedera
kepala terbuka memungkinkan kuman pathogen memiliki abses langsung ke

otak.

2. Cedera kepala tertutup

Benturan kranial pada jaringan otak didalam tengkorak ialah goncangan

yang mendadak. Dampaknya mirip dengan sesuatu yang bergerak cepat,

kemudian serentak berhenti dan bila ada cairan akan tumpah. Cedera kepala

tertutup meliputi: kombusio gagar otak, kontusio memar, dan laserasi.

Menurut Rosjidi (2007), trauma kepala diklasifikasikan menjadi derajat

berdasarkan nilai dari Glasgow Coma Scale ( GCS ) nya, yaitu;

1. Ringan

a. GCS = 13 – 15

b. Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30

menit.

c. Tidak ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur cerebral, hematoma.

2. Sedang

a. GCS = 9 – 12

b. Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang
dari 24 jam.

c. Dapat mengalami fraktur tengkorak.

3. Berat

a. GCS = 3 – 8

b. Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam.

c. Juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma intrakranial.

D. Etiologi

Secara umum penyebab trauma capitis dapat dibagi menjadi 2 yaitu:

1. Trauma oleh benda tajam


Seperti luka karena peluru, benda tajam menyebabkan cedera setempat

dan menimbulkan cedera lokal. Kerusakan lokal meliputi Contusio serebral,

hematom serebral, kerusakan otak sekunder yang disebabkan perluasan

masa lesi, pergeseran otak atau hernia.

2. Trauma oleh benda tumpul

Trauma oleh benda tumpul menyebabkan cedera menyeluruh (difus).

kerusakan terjadi ketika kekuatan diteruskan ke substansi otak, dimana

energi diserap oleh lapisan pelindung yaitu rambut, kulit kepala dan

tengkorak, sehingga menyebabkan kerusakan dan gangguan sepanjang

perjalanan kejaringan otak. Kerusakannya menyebar secara luas dan terjadi

dalam 4 bentuk yaitu cedera akson, kerusakan otak hipoksia, pembengkakan

otak menyebar, dan hemoragi kecil multiple pada otak. Koma terjadi karena

cedera menyebar hemisfer cerebral, batang otak atau kedua-duanya.

Adapun etiologi lainnya yaitu:

1. Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaran bermotor atau sepeda, dan mobil

2. Kecelakaan pada saat olahraga dan anak dengan ketergantungan

3. Cedera akibat kekerasan


E. Patofisiologi

Cedera memang peranan yang sangat besar dalam menentukan berat

ringannya konsekuensi patofisiologis dari suatu kepala. Cedera percepatan

aselerasi terjadi jika benda yang sedang bergerak membentur kepala yang

diam, seperti trauma akibat pukulan benda tumpul, atau karena kena lemparan

benda tumpul. Cedera perlambatan deselerasi adalah bila kepala membentur

objek yang secara relatif tidak bergerak, seperti badan mobil atau tanah. Kedua

kekuatan ini mungkin terjadi secara bersamaan bila terdapat gerakan kepala

tiba-tiba tanpa kontak langsung, seperti yang terjadi bila posisi badan diubah

secara kasar dan cepat. Kekuatan ini bisa dikombinasi dengan pengubahan
posisi rotasi pada kepala, yang menyebabkan trauma regangan dan robekan

pada substansi alba dan batang otak. (Soetomo, 2002).

Berdasarkan patofisiologinya, kita mengenal dua macam cedera otak, yaitu

cedera otak primer dan cedera otak sekunder. Cedera otak primer adalah cedera

yang terjadi saat atau bersamaan dengan kejadian trauma, dan merupakan suatu

fenomena mekanik. Umumnya menimbulkan lesi permanen. Tidak banyak

yang bisa kita lakukan kecuali membuat fungsi stabil, sehingga sel-sel yang

sedang sakit bisa mengalami proses penyembuhan yang optimal. Cedera

primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar pada

permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera robekan atau hemoragi karena

terjatuh, dipukul, kecelakaan dan trauma saat lahir yang bisa mengakibatkan

terjadinya gangguan pada seluruh sistem dalam tubuh. Sedangkan cedera otak

sekunder merupakan hasil dari proses yang berkelanjutan sesudah atau

berkaitan dengan cedera primer dan lebih merupakan fenomena metabolik

sebagai akibat, cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi

serebral dikurangi atau tak ada pada area cedera. Cidera kepala terjadi karena

beberapa hal diantanya, bila trauma ekstra kranial akan dapat menyebabkan
adanya leserasi pada kulit kepala selanjutnya bisa perdarahan karena mengenai

pembuluh darah. Karena perdarahan yang terjadi terus- menerus dapat

menyebabkan hipoksia, hiperemi peningkatan volume darah pada area

peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua

menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan

intrakranial (TIK), adapun, hipotensi (Soetomo, 2002).

Namun bila trauma mengenai tulang kepala akan menyebabkan robekan dan

terjadi perdarahan juga. Cidera kepala intra kranial dapat mengakibatkan

laserasi, perdarahan dan kerusakan jaringan otak bahkan bisa terjadi kerusakan
susunan syaraf kranial tertama motorik yang mengakibatkan terjadinya

gangguan dalam mobilitas (Brain, 2009).

F. Manifestasi Klinis

1. Skull Fracture

Gejala yang didapatkan CSF atau cairan lain keluar dari telinga dan

hidung (orthorrea, rhinorhea), darah dibelakang membran timphani,

periobital ecimus (brill haematoma), memar didaerah mastoid (battle sign),

perubahan penglihatan, hilang pendengaran, hilang indra penciuman, pupil

dilatasi, berkurangnya gerakan mata, dan vertigo.

2. Concussion

Tanda yang didapat adalah menurunnya tingkat kesadaran kurang dari 5

menit, amnesia retrograde, pusing, sakit kepala, mual, dan muntah.

Contusins dibagi menjadi 2 yaitu cerebral contusion, brainsteam contusion.

Tanda yang terdapat adalah :

a. Pernafasan mungkin normal, hilang keseimbangan secara perlahan atau

cepat

b. Pupil biasanya mengecil, equal, dan reaktif jika kerusakan sampai batang
otak bagian atas (saraf kranial ke III) dapat menyebabkan keabnormalan

pupil. (Judha. 2011)

G. Komplikasi

Rosjidi (2007), kemunduran pada kondisi klien diakibatkan dari perluasan

hematoma intrakranial edema serebral progresif dan herniasi otak, komplikasi

dari cedera kepala adalah;

1. Edema pulmonal

Komplikasi yang serius adalah terjadinya edema paru, etiologi mungkin

berasal dari gangguan neurologis atau akibat sindrom distress pernafasan

dewasa. Edema paru terjadi akibat refleks cushing/perlindungan yang


berusaha mempertahankan tekanan perfusi dalam keadaan konstan. Saat

tekanan intrakranial meningkat tekanan darah sistematik meningkat untuk

memcoba mempertahankan aliran darah keotak, bila keadaan semakin kritis,

denyut nadi menurun bradikardi dan bahkan frekuensi respirasi berkurang,

tekanan darah semakin meningkat. Hipotensi akan memburuk keadan, harus

dipertahankan tekanan perfusi paling sedikit 70 mmHg, yang membutuhkan

tekanan sistol 100-110 mmHg, pada penderita kepala. Peningkatan

vasokonstriksi tubuh secara umum menyebabkan lebih banyak darah

dialirkan ke paru, perubahan permiabilitas pembulu darah paru berperan

pada proses berpindahnya cairan ke alveolus. Kerusakan difusi oksigen akan

karbondioksida dari darah akan menimbulkan peningkatan TIK lebih lanjut.

(Rosjidi 2007)

2. Peningkatan TIK

Tekanan intrakranial dinilai berbahaya jika peningkatan hingga 15

mmHg, dan herniasi dapat terjadi pada tekanan diatas 25 mmHg. Tekanan

darah yang mengalir dalam otak disebut sebagai tekan perfusi rerebral. yang

merupakan komplikasi serius dengan akibat herniasi dengan gagal


pernafasan dan gagal jantung serta kematian. (Rosjidi 2007)

3. Kejang

Kejang terjadi kira-kira 10% dari klien cedera otak akut selama fase akut.

Perawat harus membuat persiapan terhadap kemungkinan kejang dengan

menyediakan spatel lidah yang diberi bantalan atau jalan nafas oral

disamping tempat tidur klien, juga peralatan penghisap. Selama kejang,

perawat harus memfokuskan pada upaya mempertahankan, jalan nafas paten

dan mencegah cedera lanjut. Salah satunya tindakan medis untuk mengatasi

kejang adalah pemberian obat, diazepam merupakan obat yang paling

banyak digunakan dan diberikan secara perlahan secara intavena. Hati-hati


terhadap efek pada system pernafasan, pantau selama pemberian diazepam,

frekuensi dan irama pernafasan.( Rosjidi 2007)

4. Kebocoran cairan serebrospinalis

Adanya fraktur di daerah fossa anterior dekat sinus frontal atau dari

fraktur tengkorak basilar bagian petrosus dari tulangan temporal akan

merobek meninges, sehingga CSS akan keluar. Area drainase tidak boleh

dibersihkan, diirigasi atau dihisap, cukup diberi bantalan steril di bawah

hidung atau telinga. Instruksikan klien untuk tidak memanipulasi hidung

atau telinga.( Rosjidi 2007)

H. Pemeriksaaan Penunjang

1. Pemeriksaan darah tepi lengkap

2. Pemeriksaan protein S 100 B (bila tersedia fasilitas pemeriksaan), bertujuan

untuk menilai adakah indikasi pemeriksaan CT-scan dan untuk menentukan

prognosis.

3. Pemeriksaan CT scan kepala (lihat algoritme) (Mangunatmadja dkk, 2006)

4. MRI. Sama dengan scan CT dengan atau tanpa kontras.

5. Angiografi serebral. Menunjukan kelainan sirkulasi serebral, seperti


pengeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan, trauma

6. EEG. Untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang

patologis.

7. Sinar X Mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur), pergeseran

struktur dari garis tengah (karena perdarahan, edema), adanya fragmen

tulang.

8. BAER (Brain Auditory Evoked Respons). Menentukan fungsi korteks dan

batang otak.

9. PET (Positron Emission Tomography). Menunjukan perubahan aktifitas

metabolisme pada otak.


10. Fungsi lumbal, CSS. Dapat menduka kemungkinan adanya perdarahan

subarachnoid.

11. GDA (Gas Darah Artery). Mengetahui adanya masalah ventilasi atau

oksigenasi yang akan dapat meningkatkan TIK.

12. Kimia /elektrolit darah. Mengetahui ketidak seimbangan yang berperan

dalam peningkatan TIK/perubahan mental.

13. Pemeriksaan toksikologi. Mendeteksi obat yang mungkin bertanggung

jawab terhadap penurunan kesadaran.

14. Kadar antikonvulsan darah. Dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat

terapi yang cukup fektif untuk mengatasi kejang. (Doenges, 1999)

I. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pada cedera kepala memiliki prinsip penanganan untuk

memonitor tekanan intrakranial pasien. Terapi medika mentosa digunakan

untuk menurunkan oedem otak bila terdapat oedem pada gambaran profil CT

Scan pada pasien .Penurunan aktifitas otak juga dibutuhkan dalam prinsip

penatalaksanaan pada cedera kepala agar dapat menurunkan hantaran oksigen

dengan induksi koma.Pasien yang mengalami kejang diberikan terapi


profilaksis.

1. Terapi Farmakologi

Terapi farmakologi menggunakan cairan intravena ditujukan untuk

mempertahankan status cairan dan menghindari dehidrasi.Bila ditemukan

peningkatan tekanan intracranial yang refrakter tanpa cedera difus,

autoregulasibaik dan fungsi kardiovaskular adekuat, pasien bisa diberikan

barbiturat. Mekanisme kerja barbiturat adalah dengan menekan metabolisme

serebral, menurunkan aliran darah ke otak dan volume darah serebral,

merubah tonus vaskuler, menahan radikal bebas dari peroksidasi lipid

mengakibatkan supresi burst. Kureshi dan Suarez menunjukkan penggunaan


saline hipertonis efektif pada neuro trauma dengan hasil pengkerutan otak

sehingga menurunkan tekanan intrakranial, mempertahankan volume

intravaskular volume. Dengan akses vena sentral diberikan NaCl 3% 75

cc/jam dengan Cl 50%, asetat 50% target natrium 145-150 dengan monitor

pemeriksaan natrium setiap 4-6 jam. Setelah target tercapai dilanjutkan

dengan NaCl fisiologis sampai 4-5 hari.

2. Terapi Nutrisi

Dalam 2 minggu pertama pasien mengalami hipermetabolik, kehilangan

kurang lebih 15% berat badan tubuh per minggu. Penurunan berat badan

melebihi 30% akan meningkatkan mortalitas. diberikan kebutuhan

metabolism istirahat dengan 140% kalori/ hari dengan formula berisi protein

> 15% diberikan selama 7 hari. Pilihan enteral feeding dapat mencegah

kejadian hiperglikemi, infeksi.

3. Terapi Prevensi Kejang

Pada kejang awal dapat mencegah cedera lebih lanjut, peningkatan TIK,

penghantaran dan konsumsi oksigen, pelepasan neuro transmiter yang dapat

mencegah berkembangnya kejang onset lambat (mencegah efek


kindling).Pemberian terapi profilaksis dengan fenitoin, karbamazepin efektif

pada minggu pertama.Faktor-faktor terkait yang harus dievaluasi pada terapi

prevensi kejang adalah kondisi pasien yang hipoglikemi, gangguan

elektrolit, dan infeksi.

4. Penanganan Cedera Kepala Ringan

Pasien dengan CT Scan normal dapat keluar dari UGD dengan

peringatan apabila : mengantuk atau sulit bangun (bangunkan setiap 2 jam),

mual dan muntah, kejang, perdarahan/keluar cairan dari hidung atau telinga,

nyeri kepala hebat, kelemahan/gangguan sensibilitas pada ekstrimitas,


bingung dan tingkah laku aneh, pupil anisokor, penglihatan dobel/gangguan

visus, nadi yang terlalu cepat/terlalu pelan, pola nafas yang abnormal.

5. Penanganan Cedera Kepala Sedang

Beberapa ahli melakukan skoring cedera kepala sedang dengan Glasgow

Coma Scale Extended (GCSE) dengan menambahkan skala Postrauma

Amnesia(PTA) dengan sub skala 0-7 dimana skore 0 apabila mengalami

amnesia lebih dari 3 bulan,dan skore 7 tidak ada amnesia.

Bachelor (2003) membagi cedera kepala sedang menjadi :

a. Risiko ringan : tidak ada gejala nyeri kepala, muntah dan dizziness

b. Risiko sedang : ada riwayat penurunan kesadaran dan amnesia post

trauma

c. Risiko tinggi : nyeri kepala hebat, mual yang menetap dan muntah.

Penanganan cedera kepala sedang sering kali terlambat mendapat

penanganan karena gejala yang timbul sering tidak dikenali . Gejala

terbanyak antara lain : mudah lupa, mengantuk, nyeri kepala, gangguan

konsentrasi dan dizziness. Penatalaksanaan utamanya ditujukan pada

penatalaksanaan gejala, strategi kompensasi dan modifikasi lingkungan


(terapi wicara dan okupasi) untuk disfungsi kognitif ,dan psiko edukasi.

6. Penanganan Cedera Kepala Berat

Diagnosis dan penanganan yang cepat meliputi:

a. Primary survey : stabilisasi cardio pulmoner

b. Secondary survey : penanganan cedera sistemik, pemeriksaan mini

neurologi dan ditentukan perlu penanganan pembedahan atau perawatan

di ICU.

J. Medikasi

1. Dexamethason/ kalmetason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis

sesuai dengan berat ringannya trauma.


2. Therapi hiperventilasi (trauma kepala berat) untuk mengurangi vasodilatasi.

3. Pemberian analgetik.

4. Pengobatan antiedema dengan larutan hipertonis yaitu; manitol 20%,

glukosa 40% atau gliserol.

5. Antibiotik yang mengandung barier darah otak (pinicilin) atau untuk infeksi

anaerob diberikan metronidazole.

6. Makanan atau caioran infus dextrose 5%, aminousin, aminofel (18 jam

pertama dari terjadinya kecelakaan) 2-3 hari kemudian diberikan makanan

lunak.

7. Pembedahan. (Smelzer, 2001)


BAB II

KONSEP KEPERAWATAN

A. Pengkajian

1. Biodata :

a. Lebih sering terjadi pada remaja dan dewasa.

b. Pekerjaan mobilitas tinggi.

c. Pada anak-anak terjadi akibat bermain.

2. Keluhan Utama :

Umumnya MRS dengan gejala : kesadaran menurun, luka di kepala,

muntah, sakit kepala.

3. Riwayat Kesehatan :

a. Akibat kecelakaan lalu lintas, tertimpa benda keras.

b. Waktu dan tempat terjadinya cedera kepala.

c. Pertolongan yang telah diberikan.

d. Kesadaran saat kecelakaan.

e. Penyakit yang diderita klien dan keluarga sebelumnya.

4. Pemeriksaan Fisik
a. Neurologis

1) Tingkat kesadaran

2) Disorientasi waktu, tempat dan orang

3) Reflex babinski

4) Perubahan TTV

5) Adanya gerakan yang tak terkoordinasi

6) Tidak dapat membedakan rangsangan

7) Didapatkan gerakan involunter

8) Kejang
9) Bila terjadi kerusakan sampai batang otak nervus kranialis I s.d XII

terganggu.

5. Kardiovaskuler

a. TD menurun, bila TIK meningkat tekanan darah meningkat.

b. Bradikardia, takikardi.

6. Pernapasan

Perubahan pola napas :

a. Cepat dangkal

b. Irama tak teratur

c. Ronkhi

d. Wheezing

e. Stidor

7. Eliminasi

a. Retensi/inkontinesia urine/alvi

b. Hiponatremia, hipokalemia

c. Mual muntah

d. Bising usus melemah


8. Integumen

a. Adanya luka di kepala dan tubuh lain

b. Adanya perdarahan

c. Kebersihan daerah luka dan sekitarnya.

9. Pemeriksaan Psikososial

a. Pada klien dengan gejala sisa: emosi labil, apatis kecemasan.

b. Masalah social semakin menonjol bila cacat sisa berat: gangguan

interaksi dan peran.

10. Pemeriksaan Diagnostik

a. Sinar x cranium
b. CT Scan

c. Angiografi.

B. Diagnosa Keperawatan

1. Pola napas tidak efektif b.d kerusakan pusat pernapasan di medulla

oblongata.

2. Perubahan persepsi sensori b.d defisit neurologis.

3. Kerusakan mobolitas fisik b.d imobilitas.

C. Intevensi

1. Pola napas tidak efektif b.d kerusakan pusat pernapasan di medulla

oblongata.

Tujuan: Setelah dilakuka asuhan keperawatan selama 3X24 jam,

diharapkan klien mempunyai pola pernapasan yang efektif.

Kriteria hasil : Pola napas normal, tidak ada pernapasan cuping

hidung, dan pergerakan dada simetris.

Intervensi Rasional

1. Pantau frekuensi, irama 1. Perubahan dapat

dan kedalaman menandakan awitan

pernapasan. Catat komplikasi pulmo atau

ketidakteraturan menandakan luasnya

pernapasan. keterlibatan otak.

2. Tinggikan kepala 2. Untuk memudahkan ekspansi

tempat tidur sesuai paru dan menurunkan adanya

indikasi. kemungkinan lidah jatuh

3. Anjurkan klien untuk menutupi jalan napas.

bernapas dalam dan 3. Mencegah atau menurunkan

batuk efektif. atelectasis.

2. Perubahan persepsi sensori b.d defisit neurologis.


Tujuan: klien mengalami perubahan persepsi sensori

Kriteria hasil:

a. Tingkat kesadaran normal

b. Fungsi alat-alat indra baik

c. Klien kooperatif kembali dan dapat berorientasi pada orang, waktu, dan

tempat

Intervensi Rasional

1. Kaji respon sensori 1. Informasi yang penting

terhadap panas atau untuk keamanan klien, semua

dingin, raba atau sistem sensori dapat

sentuhan. Catat terpengaruh dengan adanya

perubahan-perubahan perubahan yang melibatkan

yang terjadi. kemampuan untuk menerima

2. Kaji persepsi klien, dan berespon sesuai stimulus.

baik respon balik dan 2. Hasil pengkajian dapat

koneksi kemampuan menginformasikan susunan

klien berorientasi fungsi otak yang terkena dan

terhadap orang, tempat, membantu intervensi

dan waktu. sempurna.

3. Berikan stimulus yang 3. Merangsang kembali

berarti saat penurunan kemampuan persepsi sensori

kesadaran. 4. gangguan persepsi sensori

4. Berikan keamanan dan buruknya keseimbangan

klien dengan dapat meningkatkan

pengamanan sisi terjadinya resiko injury.

tempat tidur, bantu

latihan jalan dan


lindungi dari cedera.

3. Kerusakan mobolitas fisik b.d imobilitas.

Tujuan: Klien mampu melakukan aktifitas fisik

Kriteria Hasil:

a. Klien mampu pulih kembali pasca akut dalam mempertahankan fungsi

gerak

b. Tidak terjadi komplikasi seperti dekubitus, bronkopnemonia

tromboplebitis, dan kontraktur sendi

c. Mampu mempertahankan keseimbangan fungsi tubuh

Intervensi Rasionalisasi

1.Periksa kembali 1. Mengidentifikasi kemungkinan

kemampuan dan keadaan kerusakan yang terjadi secara

secara fungsional pada fungsional dan mempengaruhi

kerusakan yang terjadi. pilihan intervensi yang akan

dilakukan.

2. Kaji tingkat kemampuan 2. Seseorang dalam setiap

mobilitas dengan skala 0- kategori mempunyai resiko

4. kecelakaan, namun dengan

0: klien tidak bergantung kategori nilai 2-4 mempunyai

pada orang lain. resiko yang terbesar untuk

1: klien butuh sedikit terjadinya bahaya.

bantuan

2: klien butuh bantuan

sederhana

3: klien butuh bantuan atau

peralatan yang banyak

4: klien sangat bergantung


pada orang lain

3. Atur posisi klien dan ubah 3. Dapat meningkatkan sirkulasi

posisi secara teratur tiap seluruh tubuh dan mencegah

dua jam sekali bila tidak adanya tekanan pada organ

ada kejang atau setelah yang menonjol.

empat jam pertama.

4. Bantu klien melakukan 4. Mempertahankan fungsi sendi

gerakan sendi secara dan mencegah resiko

teratur. tromboplebitis.

5. Pertahankan linen tetap 5. Meningkatkan sirkulasi dan

bersih dan bebas kerutan. meningkatkan elastisitas kulit

dn menurunkan resiko

terjadinya ekskariasi kulit

6. Bantu klien untuk 6. Mempertahankan mobilisasi

melakukan latihan dan fungsi sendi atau posisi

rentang gerak aktif atau normal ekstremitas dan

pasif. menurunkan terjadinya vena

statis.

K. Evaluasi

1. Pola pernapasan yang efektif dengan kriteria hasil :

a. Pola napas normal

b. Tidak ada pernapasan cuping hidung

c. Pergerakan dada simetris.

2. Perubahan persepsi sensori kembali normal dengan kriteria hasil:

a. Tingkat kesadaran normal

b. Fungsi alat-alat indra baik


c. Klien kooperatif kembali dan dapat berorientasi pada orang, waktu, dan

tempat

3. Klien mampu melakukan aktifitas fisik dengan kriteria hasil:

a. Klien mampu pulih kembali pasca akut dalam mempertahankan fungsi

gerak

b. Tidak terjadi komplikasi seperti dekubitus, bronkopnemonia

tromboplebitis, dan kontraktur sendi

c. Mampu mempertahankan keseimbangan fungsi tubuh


BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Trauma kepala terdiri dari trauma kulit kepala, tulang kranial dan otak.

Klasifikasi cedera kepala meliputi trauma kepala tertutup dan trauma kepala

terbuka yang diakibatkan oleh mekanisme cedera yaitu cedera percepatan

(aselerasi) dan cedera perlambatan (deselerasi).

Cedera kepala primer pada trauma kepala menyebabkan edema serebral,

laserasi atau hemorragi. Sedangkan cedera kepala sekunder pada trauma kepala

menyebabkan berkurangnya kemampuan autoregulasi pang pada akhirnya

menyebabkan terjadinya hiperemia (peningkatan volume darah dan PTIK).

Selain itu juga dapat menyebabkan terjadinya cedera fokal serta cedera otak

menyebar yang berkaitan dengan kerusakan otak menyeluruh.

Komplikasi dari trauma kepala adalah hemorragi, infeksi, odema dan

herniasi. Penatalaksanaan pada pasien dengan trauma kepala adalah dilakukan

observasi dalam 24 jam, tirah baring, jika pasien muntah harus dipuasakan

terlebih dahulu dan kolaborasi untuk pemberian program terapi serta tindakan
pembedahan.

B. Saran

Dalam pembuatan makalah ini kelompok masih jauh dari sempurna. Oleh

karena itu kelompok meminta kritik dan saran yang membangun dari pembaca.

Semoga makalah yang kami buat dapat bermanfaat bagi pembaca.


DAFTAR PUSTAKA

Ariani, Tutu April. (2013). Sistem Neurobehaviour. Jakarta : Salemba Medika

Arif Mansjoer,dkk. 2014. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius

Bare BG. smeltzer SC. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta:

EGC

Brain. And Spinal Cord Organization (2009)

Brunner dan Suddarth, (2001). Buku Saku Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta:

EGC

Doenges Marlyn E, 1999. Rencana Asuhan Keperawatan Untuk Perencanaan dan

Pendokumentasian Perawatan Pasien, (Edisi 3), (Alih Bahasa 1 Made


Kriase). Jakarta: EGC.

Evelyn C.Pearce. 2008. Anatomi dan fisiologi untuk para medis. Jakarta: PT

Gramedia.

Ganong W.F. 2005. Review of medical physiology. 22nd ed. Singapore : Mc Graw

Hill. p. 192-201.

Mangunatmadja, Irawan. Handryastuti, Setyo. Dewi, Rita. (2006). Rekomendasi

Penatalaksanaan Trauma Kepala. Jakrta:Ikatan Dokter Anak Indonesia.

Musliha,S.Kep.,Ns.2014.Keperawatan Gawat Darurat.Yogyakarta:Nuha Medika

Retnaningsih (2008).Cedera Kepala Traumatik. Diakses pada 22 Mei 2012

Rosjidi, C.H. (2007). Asuhan Keperawatan Klien dengan Cedera Kepela.

Yogyakarta: Ardana Media

Sidharta, priguna. (2003). Neurologi klinik dasar. Dian Rakyat:Jakarta

Soetomo. (2002), Buku Ajar Asuhan Keperawatan Pasien Trauma Kepala,

Jakarta: EGC.

Suzanne, C. Smeltzer. (2001). Keperawatan medikal bedah, edisi 8. Jakarta :EGC

Widagdo, Wahyu. (2008). Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Persyarafan.

Wk:Jakarta

You might also like