You are on page 1of 23

ASUHAN KEPERAWATAN PADA NY.

K DENGAN STROKE NON HEMORAGIK,


RIWAYAT DIABETUS MELITUS DI BANGSAL ALAMANDA 3 RSUD SLEMAN
Praktik Klinik Keperawatan Medikal Bedah II

Disusun oleh :
1. Niken Anggraini Sri Saputri P07120216042
2. Fahrunnisa Rizki Ananda P07120216043

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES YOGYAKARTA
SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN B
Tahun 2018
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA NY. K DENGAN STROKE NON HEMORAGIK,
RIWAYAT DIABETUS MELITUS DI BANGSAL ALAMANDA 3 RSUD SLEMAN
Praktik Klinik Keperawatan Medikal Bedah II

Di susun oleh :
1. Niken Anggraini Sri Saputri P07120216042
2. Fahrunnisa Rizki Ananda P07120216043

Diajukan untuk memenuhi tugas Praktik Klinik Keperawatan Medikal Bedah II, disetujui
pada:
Hari :
Tanggal :
Tempat :

Sleman, 10 Oktober 2018

Pembimbing Akademik Pembimbing Lapangan


Poltekkes Kemenkes Yogyakarta Bangsal Alamanda 1 RSUD Sleman

Ns. Ida Mardalena, S.Kep.,M.Si Fitri Setiowati, AMK


Mengetahui,
Koordinator PKK KMB II

Dr. Catur Budi Susilo, S.Pd.,S.Kp.,M.Kep

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penyusun panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat
rahmat-Nya maka tugas ini dapat diselesaikan. Tugas yang berjudul Asuhan Keperawatan
pada Ny. K dengan Stroke Hemorogik, Riwayat Diabetus Melitus di Bangsal Alamanda 3
RSUD Sleman yang disusun untuk memenuhi nilai penugasan Praktek Klinik Keperawatan
Medikal Bedah II.
Dalam penyusunan makalah ini banyak kesulitan yang penyusun alami, diantaranya
memperoleh literatur yang terbaru. Berkat bantuan berbagai pihak, kesulitan tersebut dapat
diatasi. Untuk itu penyusun mengucapkan terimakasih kepada :
1. Joko Susilo, SKM, M. Kes. selaku Direktur Poltekkes Kemenkes Yogyakarta.
2. Bondan Palestin, SKM., M.Kep., S.Kom selaku Ketua Jurusan Keperawatan
Poltekkes Kemenkes Yogyakarta.
3. Maryana, S.Psi., S.Kep., Ns., M.Kep selaku Kepala Prodi Sarjana Terapan
Keperawatan yang telah memberikan dorongan dan semangat.
4. Dr. Catur Budi Susilo, S.Pd.,S.Kp.,M.Kep selaku koordinator PKK Medikal
Bedah II yang telah memberikan tempat dan mendukung berjalannya praktik.
5. Ns. Ida Mardalena, S.Kep.,M.Si selaku pembimbing akademik ini yang telah
meluangkan waktunya untuk membimbing sehingga makalah ini dapat
terselesaikan.
6. Fitri Setiowati, AMK selaku pembimbing lapangan di bangsal Alamanda 3
RSUD Sleman yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing sehingga
makalah ini terselesaikan.
7. Orang Tua tercinta yang telah mendorong dan selalu mendoakan sehingga
makalah ini berjalan lancar sampai akhir.
8. Teman - teman yang selalu ada di saat sulit maupun senang dan yang selalu
member suasana mendukung untuk pembuatan makalah.
9. Seluruh pihak yang terkait dalam proses penyelesaian makalah.
Penyusun berharap makalah ini bermanfaat bagi mahasiswa Poltekkes Kemenkes
Yogyakarta dan pembaca, serta dapat bersedia memberikan saran dan kritik terhadap makalah
yang telah disusun ini.

Sleman, 8 Oktober 2018


Penyusun
DAFTAR ISI

HALAMAN DEPAN
LEMBAR PENGESAHAN
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
2. Tujuan Khusus
C. Metode
D. Manfaat
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian
BAB III KASUS
A. Pengkajian
B. Diagnosa Keperawatan
C. Perencanaan
D. Pelaksanaan dan Evaluasi
BAB IV PEMBAHASAN
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Trend penyakit beberapa puluh tahun belakangan ini mengalami perubahan. Dulu di
dominasi oleh penyakit infeksi sekarang cenderung ke arah penyakit metabolik. Panyakit
metabolik yang sering dijumpai saat ini antara lain hipertensi, diabetus melitus, dan
stroke.
Stroke adalah gangguan fungsi otak, fokal maupun global, yang timbul mendadak,
berlangsung lebih dari 24 jam disebabkan kelainan peredaran darah otak. Stroke
merupakan 10% penyebab kematian di seluruh dunia dan penyebab keenam dari
kecacatan (disability), tanpa penanggulangan dan pencegahan yang tepat stroke dapat
menjadi penyebab keempat dari kecacatan pada tahun 2030 (Arofah, 2011).
Penyebab tingginya angka kejadian stroke di Indonesia lebih disebabkan karena
gaya dan pola hidup masyarakat yang tidak sehat, seperti malas bergerak, makanan
berlemak dan kolesterol tinggi, sehingga banyak diantaranya mereka mengidap penyakit
yang memicu timbulnya serangan stroke. Saat ini serangan stroke lebih banyak di picu
oleh adanya hipertensi yang di sebut silent killer, diabetus melitus, obesitas, dan berbagai
gangguan kesehatan yang terkait dengan penyakit degeneratif (Waspadji, 2007).
Diabetus Melitus adalah penyakit hiperglikemia yang ditandai dengan ketidakadaan
absolute insulin atau penurunan relative insensitivitas sel terhadap insuin (Corwin, 2009).
Diabetus Melitus adalah kelainan defisiensi dari insulin dan kehilangan toleransi terhadap
glukosa (Rab, 2008).
Penyebab diabetus melitus menjadi stroke salah satunya adalah proses
aterosklerosis. Terjadi peningkatan menyebabkan kerusakan pembuluh darah besar
maupun pembuluh darah perifer disamping itu juga akan meningkatkan agegrat platelet
dimana kedua proses tersebut dapat menyebabkan aterosklerosis. Hiperglikemia juga
dapat meningkatkan viskositas darah yang kemudian akan menyebabkan naiknya tekanan
darah atau hipertensi dan berakibat terjadinya stroke (Ryden et al, 2007).
Dalam kondisi hiperglikemia, aktivitas Protein Kinase C di sel endotel vaskular
meningkat akibat peningkatan sintesis de novo dari diasilgliserol, yang merupakan suatu
regulator Protein Kinase C dari glukosa. PKC diketahui memiliki pengaruh terhadap
agregasi trombosit, permeabilitas vaskular, sintesis growth factor dan vasokonstriksi.
Peningkatan permeabilitas vaskular akan menyebabkan terjadinya ekstravasasi plasma,
sehingga viskositas darah intravaskular meningkat disertai dengan peningkatan agregasi
trombosit yang saling berinteraksi menyebabkan terjadinya trombosis. Selain itu, sintesis
growth factor akan menyebabkan peningkatan proliferasi sel otot polos vaskular dan
matriks ekstraseluler termasuk jaringan fibrosa, sebagai akibatnya akan terjadi penebalan
dinding vaskular, ditambah dengan aktivasi endotelin-1 yang merupakan vasokonstriktor
sehingga lumen vaskular makin menyempit (Cipolla et al, 2011).
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dirumuskan masalah
seperti berikut : “Bagaimana penatalaksanaan asuhan keperawatan pada klien yang
terkena stroke hemoragik dengan riwayat diabetus melitus di bangsal Alamanda 3 RSUD
Sleman”.

B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk menyelesaikan tugas Praktik Klinik Keperawatan Medikal Bedah II dan
memahami tinjauan teori asuhan keperawatan pada klien yang terkena Stroke
Hemoragik dengan riwayat Diabetus Melitus.
2. Tujuan Khusus
a. Mengerti dan memahami tinjauan teori asuhan keperawatan pada klien yang
terkena Stroke Hemoragik dengan riayat Diabetus Melitus.
b. Mampu melaksanakan asuhan keperawatan (pengkajian, merumuskan
diagnosa, merencanakan tindakan, mengimplementasi dan mengevaluasi) pada
klien yang terkena Stroke Hemoragik dengan riayat Diabetus Melitus.

C. Metode
Dalam menyelesaikan makalah ini, penyusun melakukan pengumpulan data dan
informasi yang sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas dengan metode :
1. Metode Analisis
Pada metode ini, penyusun melakukan beberapa tahapan diantaranya:
a. Analisis dan identifikasi masalah.
b. Mencari dan menentukan perencanaan yang tepat dari permasalahan yang ada.
2. Metode Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data, penyusun melakukan:
a. Wawancara dengan klien dan keluarga.
b. Pemeriksaan fisik pada klien.

3. Metode Kepustakaan
Pada metode ini penyusun mempelajari rekam medis, buku laporan
perkembangan klien, artikel, dan beberapa web site yang berhubungan dengan asuhan
keperawatan pada klien yang terkena Stroke Hemoragik dengan riayat Diabetus
Melitus.

D. Manfaat
Manfaat yang diharapkan penyusun dalam penulisan makalah ini adalah :
1. Dapat membantu penyusun mempelajari dan memahami teori dan kasus yang
didapatkan selama praktik klinik keperawatan.
2. Dapat dijadikan acuan bagi penyusun lain apabila menemukan kasus yang
sama dalam menerapkan asuhan keperawatan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Stroke Non Hemoragik


Stroke adalah penyakit atau gangguan fugsional otak akut fokal maupun global,
akibat terhambatnya aliran darah ke otak karena perdarahan atau sumbatan dengan gejala
dan tanda sesuai bagian otak yang terkena; dapat sembuh sempurna, sembuh dengan
cacat, atau kematian (Junaidi, 2011).
Stroke adalah suatu kondisi yang terjadi ketika pasokan darah ke suatu bagian otak
tiba-tiba terganggu, karna sebagian sel otak mengalami kematian akibat gangguan aliran
darah karena sumbatan atau pecahnya pembuluh darah otak. Kurangnya aliran darah di
dalam jaringan otak menyebabkan serangkaian reaksi biokimia, yang dapat merusak atau
mematikan sel saraf di otak. Kematian jaringan otak juga dapat menyebabkan hilangnya
fungsi yang dikendalikan oleh jaringan itu sendiri. Alirah darah yang berhenti juga dapat
membuat suplai oksigen dan zat makanan ke otak juga berhenti. Stroke mrupakan
penyakit neurogenik yang menyebabkan gangguan fungsi otak baik fokal maupun global
dan penyebab kecacatan paling banyak (Arya, 2011).
Stroke non hemoragik merupakan terhentinya sebagian atau keseluruhan aliran
darah ke otak akibat tersumbatnya pembuluh darah otak (Wiwit, 2010). Stroke non
hemoragik yaitu aliran darah ke otak terhenti karena penompokan kolesterol pada dinding
pembuluh darah (aterosklerosis) atau bekuan darah yang telah menyumbat suatu
pembuluh darah ke otak (Suiroka, 2012).

B. Klasifikasi Stroke Non Hemoragik


Penggolongan stroke non hemoragik atau infark menurut Junaidi (2011),
dikelompokkan sebagai berikut:
1. Transient Ischemic Attack (TIA)
Suatu gangguan akut dari fungsi lokal serebral yang gejalanya berlangsung
kurang dari 24 jam atau serangan sementara dan disebebakan oleh thrombus atau
emboli. Satu sampai dua jam biasanya TIA dapat ditangani, namun apabila sampai
tiga jam juga belum bisa teratasi sekitar 50% pasien sudah terkena infark (Grofir,
2009; Junaidi, 2011).

2. Reversible Ischemic Neurological (RIND)


Gejala neourologis dari RIND akan menghilang kurang lebih 24 jam, biasanya RIND
akan membaik dalam waktu 24 sampai 48 jam.
3. Stroke In Evolution (SIF)
Pada kejadian ini gejala atau tanda neurologis fokal terus berkembang dimana terlihat
semakin berat dan memburuk setelah 48 jam. Defisit neurologis yang timbul
berlangsung bertahap dari ringan sampai menjadi berat.
4. Complete Stroke Non Hemorrhagic
Kelainan neuorologis yang sudah lengkap menetap atau permanen tidak berkembang
lagi bergantung daerah bagian otak mana yang mengalami infark.

Klasifikasi Stroke Non Hemoragik menurut Corwin (2009), sebagai berikut.


1. Trombosis cerebri, terjadi penyempitan lumen pembuluh darah otak perlahan
karena proses arterosklerosis cerebral dan perlambatan sirkulasi cerebral.
2. Embolisme cerebral, penyempitan pmbuluh darah terjadi mendadak akibat
abnormalitas pada jantung.

Klasifikasi menurut Padiastusi (2013), stroke non hemoragik terbagi menjadi:


1. Stroke trombolik, proses terbentuknya thrombus hingga menjadi gumpalan.
2. Stroke embolik, tertutupnya pembuluh darah artei oleh bekuan darah.
3. Hipoperfusi sistemik, alirah darah ke seluruh tubuh berkurang karena adanya
gangguan denyut jantung.

C. Manifestasi Klinis
Menurut Soeharto (2007), menyebutkan bahwa tanda dan gejala dari stroke adalah:
1. Hilangnya kekuatan salsah satu bagian tubuh, terutama di satu sisi, termasuk
wajah, lengan, atau tungkai.
2. Hilangnya sensasi disuatu bagian tubuh, terutama disatu sisi, hilangnya
penglihatan total, tidak mampu berbicara dengan benar, hilangnya keseimbangan.
3. Serangan sementara jenis lain, seperti vertigo, pusing, kesulitan menelan,
kebingungan, gangguan daya ingat, nyeri kepala yang terlalu parah dan perubahan
kesadaran yang tidak dapat dijelaskan atau kejang.

Menurut Setyopranoto (2011), menyebutkan sebagai berikut.


1. Tiba-tiba mengalami kelemahan atau kelumpuhan separo badan.
2. Hilang rasa peka.
3. Bicara cedal.
4. Gangguan bicara dan bahasa.
5. Gangguan pengihatan.
6. Mulut mencong.
7. Gangguan daya ingat.
8. Nyeri pada kepala.
9. Vertigo.
10. Kesadaran menurun.
11. Gangguan fungsi otak.

D. Faktor Resiko
Faktor resiko yang berhubungan dengan kejadian stroke menurut Nastiti (2012)
dibagi menjadi dua, yaitu faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi dan yang dapat
dimodifikasi. Faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi seperti berikut.
1. Usia
Semakin bertamabah tua, semakin tinggi risikonya. Seteah berusia 55 tahun,
resikonya berlipat ganda setiap kurun waktu sepuluh tahun.
2. Ras
Berkaitan dengan lingkungan hidup, pola makan dan sosial ekonomi (Wardhana,
2011).
3. Gender
Pria lebih berisiko terkena stroke daripada wanita. Stroke pada pria terjadi di usia
lebih muda sehingga tingkat kelangsungan hidup juga lebih tinggi. Pada umumnya,
wanita terserang pada usia lebih tua, sehingga kemungkinan meninggal lebih besar.
4. Riwayat keluarga yang menderita stroke
Faktor genetik yang sangat berperan antara lain hipertensi, penyakit jantung, diabetus,
dan cacat pada bentuk pembuluh darah.

Sedangkan faktor resiko yang dapat dimodifikasi seperti berikut.


1. Hipertensi, faktor risiko utama yang menyebabkan pergeseran dan
penyumbatan arteri.
2. Merokok, merupakan faktor resiko yang sebenarnya paling mudah diubah.
Perokok berat menghadapi risiko lebih besar dibandingkan perokok ringan. Pada
perokok, kerusakan yang diakibatkan stroke jauh lebih parah karena dinding bagian
dalam pada sistem pembuluh darah otak sudah menjadi lemah.
3. Penyakit jantung
4. Diabetus melitus
a.Pengertian
Diabetes mellitus merupakan penyakit kronis defisiensi
atau resistensi insulin absolute atau relative yang ditandai
dengan gangguan metabolism karbohidrat,protein,lemak
(Billota,2012). Sedangkan menurut Arisman dan soegondo
Diabetes mellitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul
pada seseorang yang di sebabkan adanya peningkatan kadar
glukosa darah akibat kekurangan insulin baik absolute maupun
relative (Arisman dan soegondo,2009). Dapat terjadi kerusakan
jangka panjang dan kegagalan pada berbagai organ seperti
mata, ginjal, saraf, jantung, serta pembuluh darah apabila
terjadi hiperglikemia kronis (American Diabetes Association,
2013).
b. Klasifikasi
Dokumen konsesus tahun 1997 oleh American Diabetes Association’s
Expert Committee on the Diagnosis and Classification of Diabetes Melitus,
menjabarkan 4 kategori utama diabetes, yaitu: (Corwin, 2009)
1) Tipe I: Insulin Dependent Diabetes Melitus (IDDM)/ Diabetes Melitus
tergantung insulin (DMTI)
2) Tipe II: Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM)/ Diabetes
Mellitus tak tergantung insulin (DMTTI)
3) DM tipe lain
4) Diabetes Kehamilan: Gestasional Diabetes Melitus (GDM)
5) Diabetes yang terjadi pada wanita hamil yang sebelumnya tidak
mengidap diabetes.
c.Etiologi (NANDA, 2015)
1) Diabetes Melitus tergantung insulin (DMTI) sebagai berikut: Genetik,
imunologi, lingkungan.
2) Diabetes Mellitus tak tergantung insulin (DMTTI) sebagai berikut:
Usia (resistensi insulin cenderung meningkat pada usia di atas 65 tahun),
obesitas, riwayat keluarga, kelompok etnik.
d. Manifestasi Klinis
Menurut Newsroom (2009) seseorang dapat dikatakan
menderita Diabetes Melitus apabila menderita dua dari tiga
gejala yaitu:
1) Keluhan TRIAS: Kencing yang berlebihan ( Poliuri ), Rasa
haus yang berlebihan ( Polidipsi ), Rasa lapar berlebihan
( Polifagia ) dan Penurunan berat badan.
2) Kadar glukosa darah pada waktu puasa lebih dari 120
mg/dl.
3) Kadar glukosa darah dua jam sesudah makan lebih dari
200 mg/dl.
e.Pemeriksaan Penunjang
Menurut Sudoyo, ddk (2009), ada beberapa pemeriksaan
penunjang, sebagai berikut.
1) Kadar glukosa darah.
2) Tes laboratorium DM, berupa tes saring, tesdiagnostik,
tes pemantauan terapi, dan tes untuk mendeteksi komplikasi.
f. Pathway (NANDA, 2015)
g. Masalah yang Lazim Muncul
1) Ketidaksimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan gangguan keseimbangan insulin,
makanan dan aktivitas jasmani.
2) Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan
dengan penurunan sirkulasi darah ke perifer, proses
penyakit.
(NANDA, 2015).
h. Patofisiologi Diabetus dengan Komplikasi Stroke
Komplikasi jangka panjang dari diabetes melibatkan
pembuluh kecil (mikroangiopati) dan pembuluh besar
(makroangiopati). Makroangiopayi mempunyai gambaran
histopatologi berupa arterosklerosis. Gabungan dari gangguan
biokimia yang disebabkan oleh defisiensi insulin tidak dapat
mempertahankan kadar glukosa plasma puasa yang normal,
atau toleransi glukosa setelah makan karbohidrat. Ketika tubuh
kehilangan cairan maka darah mengalami kepekatan yang
membuat darah menggumpal yang berhubungan dengan proses
terjadinya thrombosis (NANDA, 2015).
5. Alkohol berlebih. Peningkatan konsumsi alkohol dapat meingkatkan tekanan
darah sehingga memperbesar resiko stroke baik hemoragik maupun non hemoragik.
6. Displipidemia (Kadar kolestrol darah tinggi). Penelitian menunjukkan bahwa
makanan kaya lmak jenuh dan kolestrol seperti daging, telur, dan produk susu dapat
meningkatkan kadar kolestrol dalam tubuh dan berpengaruh pada resiko
aterosklerosis dan penebalan pembuluh.

E. Penyebab Stroke Non Hemoragik


Stroke non hemoragik terjadi karena tersumbatnya pembuluh darah yang
menyebabkan aliran darah ke otak sebagian atau keseluruhan terhenti. Hal ini disebabkan
oleh aterosklerosis yaitu penumpukan kolesterol pada dinding pembuluh darah atau
bekuan darah yang telah menyumbat suatu pembuluh darah ke otak (Pediastuti, 2013).
Stroke non hemoragik terjadi pada pembuluh darah yang mengalami sumbatan
sehingga menyebabkan berkurangnya aliran darah pada jaringan otak, thrombosis otak,
aterosklerosis, dan emboli serebral yang merupakan penyumbatan darah yang timbul
akibat pembentukan plak sehingga terjadi penyempitan pembuluh darah yang dikarenakan
oleh: penyakit jantung, diabetus, obesitas, kolesterol, merokok, stress, gaya hidup, rusak
atau hancurnya neuron motorik, dan hipertensi (Mutaqqin, 2011).

F. Patofisiologis
Infark serebral adalah berkurangnya suplai darah ke area tertentu di otak. Luasnya
infark hergantung pada faktor-faktor seperti lokasi dan besarnya pembuluh daralidan
adekdatnya sirkulasi kolateral terhadap area yang disuplai oleh pembuluh darah yang
tersumbat. Suplai darah ke otak dapat berubah (makin lambat atau cepat) pada gangguan
lokal (trombus, emboli, perdarahan, dan spasme vaskular) atau karena gangguan umum
(hipoksia karena gangguan pant dan jantung). Aterosklerosis sering sebagai faktor
penyebab infark pad-a otak. Trombus dapat berasal dari plak arterosklerotik, atau darah
dapat beku pada area yang stenosis, tempat aliran darah mengalami pelambatan atau
terjadi turbulensi (Muttaqin, 2008).
Trombus dapat pecah dari dinding pembuluh darah terbawa sebagai emboli dalam
aliran darah. Trombus mengakihatkan iskemia jaringan otak yang disuplai oleh pembuluh
darah yang bersangkutan dan edema dan kongesti di sekitar area. Area edema ini
menyebabkan disfungsi yang lebih besar daripada area infark itu sendiri. Edema dapat
berkurang dalam beberapa jam atau kadang-kadang sesudah beberapa hari. Dengan
berkurangnya edema klien mulai menunjukkan perbaikan. Oleh karena trombosis
biasanya tidak fatal„ jika tidak terjadi perdarahan masif. Oklusi pada pembuluh darah
serebral oleh embolus menyebabkan edema dan nekrosis diikuti trombosis. Jika terjadi
septik infeksi akan meluas pada dinding pembuluh darah maka akan terjadi abses atau
ensefalitis, atau jika sisa infeksi berada pada pembuluh darah yang tersumbat .
menyebabkan dilatasi aneurisma pembuluh darah. Hal ini akan menyebabkan perdarahan
serebral, jika aneurisma pecah atau ruptur (Muttaqin, 2008).
Perdarahan pada otak disebabkan oleh ruptur arteriosklerotik clan hipertensi
pembuluh darah. Perdarahan intraserebral yang sangat luas akan lebih sering
menyebabkan kematian di bandingkan keseluruhan penyakit serebro vaskulai; karena
perdarahan yang luas terjadi destruksi massa otak, peningkatan tekanan intrakranial dan
yang lebih berat dapat menyebabkan herniasi otak pada falk serebri atau lewat foramen
magnum (Muttaqin, 2008).
Kematian dapat disebabkan oleh kompresi batang otak, hernisfer otak, dan
perdarahan batang otak sekunder atau ekstensi perdarahan ke batang otak. Perembesan
darah ke ventrikel otak terjadi pada sepertiga kasus perdarahan otak di nukleus kaudatus,
talamus, dan pons (Muttaqin, 2008).
Jika sirkulasi serebral terhambat, dapat berkembang anoksia serebral: Perubahan
yang disebabkan oleh anoksia serebral dapat reversibel untuk waktu 4-6 menit. Perubahan
ireversibel jika anoksia lebih dari 10 menit. Anoksia serebral dapat terjadi oleh karena
gangguan yang bervariasi salah satunya henti jantung (Muttaqin, 2008).

G. Pemeriksaan Penunjang
1. CT Scan
CT Scan kepala merupakan gold standar untuk menegakkan diagnosa stroke
(Rahmawati, 2009).
2. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI mempunyai kelebihan mampu melihat adanya iskemik pada jaringan otak dalam
waktu 2 sampai 3 jam setelah onset stroke non hemoragik. MRI juga digunakan pada
kelainan medulla spinalis (Notosiswoyo, 2007).
3. Pemeriksaan Laboratorium
Parameter pemeriksaan laboratorium meliputi glukosa darah, elektrolit, analisa gas
darah, hematologi lengkap, kadar ureum, cretainin, enzim jantung, PT, dan Aptt
(Rahajuningsih, 2009).

H. Penatalaksanaan Stroke Non Hemoragik


Menurut (Smelter & Bare, 2010) untuk penatalaksanaan penderita stroke fase akut
jika penderita stroke datang dengan keadaan koma saat masuk rumah sakit dapat
dipertimbangkan mempunyai prognosis yang buruk. Penderita sadar penuh saat masuk
rumah sakit menghadapi hasil yang diharapkan. Fase akut berakhir 48 sampai 72 jam
dengan mempertahankan jalan napas dan ventilasi adekuat adalah prioritas pada fase akut
ini. Penatalaksanaan pada fase akut ini meliputi:
1. Penderita ditempatkan pada posisi lateral dengan posisi kepala tempat tidur
agak ditinggikan sampai tekanan vena serebral berkurang.
2. Intubasi endotrakea dan ventilasi mekanik perlu untuk penderita dengan stroke
masif, karena henti napas dapat menjadi faktor yang mengancam kehidupan pada
situasi ini.
3. Pantau adanya komplikasi pulmonal seperti apirasi, atelektasis, pnemonia yang
berkaitan dengan ketidakefektifan jalan napas, imobilitas, atau hipoventilasi.
4. Periksa jantung untuk mengetahui ada tidaknya abnormalitas dalam ukuran dan
irama serta tandagagal jantung kongetif.

Tindakan medis terhadap penderita meliputi:


1. Pemberian diuretik, untuk menurunkan edema serebral yang mencapai tingkat
maksimum tiga sampai lima hari setelah infark serebral.
2. Antikolagen, untuk mencegah terjadinya atau memberatnya thrombosis atau
embolisasi dari tempat lain dalam system kardiovaskuler.
3. Medikasi anti trombosit. Trombosit berperan penting dalam mencegah
pembentukn trombus dan emboli.

I. Komplikasi Stroke Non Hemoragik


Menurut (Smelter & Bare, 2010) komplikasi stroke meliputi hipoksia serebral, penurunan
aliran darah serebral, dan embolisme serebral.
1. Hipoksia serebral
Fungsi otak bergantung pada kesediaan oksigen yang dikirimkan ke jaringan. Hipoksia
serebral diminimalkan dengan pemberian oksigenasi adekuat ke otak. Pemberian
oksigen, mempertahankan hemoglobin serta hematokrit akan membantu dalam
mempertahankan oksigenasi jaringan.
2. Penurunan aliran darah serebral
Aliran darah serebral bergantung pada tekanan darah, curah jantung, dan integrasi
pembuluh darah serebral. Hidrasi adekuat cairan intravena, memperbaiki aliran darah
dan menurunkan viskositas darah. Hipertensi atau hipotensi perlu dihindari untuk
mencegah perubahan pada aliran darah serebral dan potensi meluasnya area cedera.
3. Embolisme serebral
Terjadi setelah infark miokard atau fibrilasi atrium. Embolisme akan menurunkan
alirah darah ke otak dan selanjutnya akan menurunkan alirah darah ke serebral.
Disrtima dapat menimbulkan curah jantung tidak konsisten, distrima dapat
menyebabkan embolus serebral dan harus segera diperbaki.

J. Pengkajian Asuhan Keperawatan


Menurut Muttaqin, (2008) anamnesa pada stroke meliputi identitas klien, keluhan
utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit keluarga,
dan pengkajian psikososial.

1. Identitas Klien
Meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia tua), jenis kelamin, pendidikan,
alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam MRS, nomor register, dan
diagnosis medis.
2. Keluhan utama
Sering menjadi alasan klien untuk meminta pertolongau kesehatan adalah kelemahan
anggota gerak sebelah badan, bicara pelo, tidak dapat berkomunikasi, dan penurunan
tingkat kesadaran.
3. Riwayat penyakit sekarang
Serangan stroke sering kali berlangsung sangat mendadak, pada saat klien sedang
melakukan aktivitas. Biasanya terjadi nyeri kepala, mual, muntah bahkan kejang
sampai tidak sadar, selain gejala kelumpuhan separuh badan atau gangguan fungsi
otak yang lain. Adanya penurunan atau perubahan pada tingkat kesadaran disebabkan
perubahan di dalam intrakranial. Keluhari perubahan perilaku juga umum terjadi.
Sesuai perkembangan penyakit, dapat terjadi letargi, tidak responsif, dan konia.
4. Riwayat penyakit dahulu
Adanya riwayat hipertensi, riwayat stroke sebelumnya, diabetes melitus, penyakit
jantung, anemia, riwayat trauma kepala, kontrasepsi oral yang lama, penggunaan obat-
obat anti koagulan, aspirin, vasodilator, obat-obat adiktif, dan kegemukan. Pengkajian
pemakaian obat-obat yang sering digunakan klien, seperti pemakaian obat
antihipertensi, antilipidemia, penghambat beta, dan lainnya. Adanya riwayat merokok,
penggunaan alkohol dan penggunaan obat kontrasepsi oral. Pengkajian riwayat ini
dapat mendukung pengkajian dari riwayat penyakit sekarang dan merupakan data
dasar untuk mengkaji lebih jauh dan untuk memberikan tindakan selanjutnya.
5. Riwayat penyakit keluarga
Biasanya ada riwayat keluarga yang menderita hipertensi, diabetes melitus, atau
adanya riwayat stroke dari generasi terdahulu.
6. Pengkajian psikososiospiritual
Pengkajian psikologis klien stroke meliputi beberapa dimensi yang memungkinkan
perawat untuk rnemperoleh persepsi yang jelas mengenai status emosi, kognitif, dan
perilaku klien. Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien juga penting
untuk menilai respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan perubahan
peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respons atau pengaruhnya dalam
kehidupan sehari-harinya, baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat.
7. Pemeriksaan fisik
Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan-keluhan klien,
pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data dari pengkajian anamnesis.
Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan secara per sistem (B1-B6) dengan fokus
pemeriksaan fisik pada pemeriksaan B3 (Brain) yang terarah dan dihubungkan dengan
keluhan-keluhan dari klien.
a. B1 (Breathing)
Pada inspeksi didapatkan klien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak
napas, penggunaan otot bantu napas, dan peningkatan frekuensi pernapasan.
Auskultasi bunyi napas tambahan seperti ronkhi pada klien dengan peningkatan
produksi sekret dan kemampuan batuk yang menurun yang sering didapatkan pada
klien stroke dengan penurunan tingkat kesadaran koma.
Pada klien dengan tingkat kesadaran compos mends, pengkajian inspeksi
pernapasannya tidak ada kelainan. Palpasi toraks didapatkan taktil premitus
seimbang kanan dan kiri. Auskultasi tidak didapatkan bunyi napas tambahan.
b. B2 (Blood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskular didapatkan renjatan (syok
hipovolemik) yang sering terjadi pada klien stroke. Tekanan darah biasanya terjadi
peningkatan dan dapat terjadi hipertensi masif (tekanan darah >200 mmHg).
c. B3 (Brain)
Stroke menyebabkan berbagai defisit neurologis, bergantung pada lokasi
lesi (pembuluh darah mana yang tersumbat), ukuran area yang perfusinya tidak
adekuat, dan aliran darah kolateral (sekunder atau aksesori). Lesi otak yang rusak
tidak dapat membaik sepenuhnya. Pengkajian B3 (Brain) merupakan pemeriksaan
fokus dan lebih lengkap dibandingkan pengkajian pada sistem lainnya.
d. B4 (Bladder)
Setelah stroke klien mungkin mengalami inkontinensia urine sementara
karena konfusi, ketidakmampuan mengomunikasikan kebutuhan, dan
ketidakmampuan untuk mengendalikan kandung kemih karena kerusakan kontrol
motorik dan postural. Kadang kontrol sfingter urine eksternal hilang atau
berkurang. Selama periode ini, dilakukan kateterisasi intermiten dengan teknik
steril. Inkontinensia urine yang berlanjut menunjukkan kerusakan neurologis luas.

e. B5 (Bowel)
Didapatkan adanya keluhan kesulitan menelan, nafsu makan menurun, mual
muntah pada fase akut. Mual sampai muntah disebabkan oleh peningkatan
produksi asam lambung sehingga menimbulkan masalah pemenuhan nutrisi. Pola
defekasi biasanya terjadi konstipasi akibat penurunan peristaltik usus. Adanya
inkontinensia alvi yang berlanjut menunjukkan kerusakan neurologis luas.
f. B6 (Bone)
Stroke adalah penyakit UMN dan mengakibatkan kehilangan kontrol
volunter terhadap gerakan motorik. Oleh karena neuron motor atas menyilang,
gangguan kontrol motor volunter pada salah satu sisi tubuh dapat menunjukkan
kerusakan pada neuron motor atas pada sisi yang berlawanan dari otak. Disfungsi
motorik paling umum adalah hemiplegia (paralisis pada salah satu sisi) karena lesi
pada sisi otak yang berlawanan. Hemiparesis atau kelemahan salah satu sisi tubuh,
adalah tanda yang lain. Pada kulit, jika klien kekurangan 02 kulit akan tampak
pucat dan jika kekurangan cairan maka turgor kulit akan buruk. Selain itu, perlu
juga dikaji tanda-tanda dekubitus terutama pada daerah yang menonjol karena
klien stroke mengalami masalah mobilitas fisik.
Adanya kesulitan untuk beraktivitas karena kelemahan, kehilangan sensori
atau paralise/ hemiplegi, serta mudah lelah menyebabkan masalah pada pola
aktivitas dan istirahat.
g. Pengkajian tingkat kesadaran
Pada keadaan lanjut tingkat kesadaran klien stroke biasanya berkisar pada
tingkat letargi, stupor, dan semikomatosa. Jika klien sudah mengalami koma maka
penilaian GCS sangat penting untuk menilai tingkat kesadaran klien dan bahan
evaluasi untuk pemantauan pemberian asuhan.
h. Pengkajian fungsi cerebral
Pengkajian ini meliputi status mental, fungsi intelektual, kemampuan bahasa, lobus
frontal, dan hemisfer.
i. Status mental
Observasi penampilan, tingkah laku, nilai gaya bicara, ekspresi wajah, dan
aktivitas motorik klien. Pada klien stroke tahap lanjut biasanya status mental klien
mengalami perubahan.
j. Fungsi intelektual
Didapatkan penurunan dalam ingatan dan memori, baik jangka pendek maupun
jangka panjang. Penurunan kemampuan berhitung dan kalkulasi. Pada beberapa
kasus klien mengalami brain damage yaitu kesulitan untuk mengenal persamaan
dan perbedaan yang tidak begitu nyata.
k. Kemampuan Bahasa
Penurunan kemampuan bahasa tergantung daerah lesi yang memengaruhi fungsi
dari serebral. Lesi pada daerah hemisfer yang dominan pada bagian posterior dari
girus temporalis superior (area Wernicke) didapatkan disfasia reseptif, yaitu klien
tidak dapat memahami bahasa lisan atau bahasa tertulis. Sedangkan lesi pada
bagian posterior dari girus frontalis inferior (area Broca) didapatkan disfagia
ekspresif, yaitu klien dapat mengerti, tetapi tidak dapat menjawab dengan tepat dan
bicaranya tidak lancar. Disartria (kesulitan berbicara), ditunjukkan dengan bicara
yang sulit dimengerti yang disebabkan oleh paralisis otot yang bertanggung jawab
untuk menghasilkan bicara. Apraksia (ketidakmampuan untuk melakukan tindakan
yang dipelajari sebelumnya), seperti terlihat ketika klien mengambil sisir dan
berusaha untuk menyisir rambutnya.
8. Pengkajian saraf kranial
Menurut Muttaqin, (2008) Pemeriksaan ini meliputi pemeriksaan saraf kranial I-XII.
a. Saraf I: Biasanya pada klien stroke tidak ada kelainan pada fungsi penciuman.
b. Saraf II: Disfungsi persepsi visual karena gangguan jaras sensori primer di
antara mata dan korteks visual. Gangguan hubungan visual-spasial (mendapatkan
hubungan dua atau lebih objek dalam area spasial) sering terlihat pada Mien
dengan hemiplegia kiri. Klien mungkin tidak dapat memakai pakaian tanpa
bantuan karena ketidakmampuan untuk mencocokkan pakaian ke bagian tubuh.
c. Saraf III, IV, dan VI. Jika akibat stroke mengakibatkan paralisis, pada Satu
sisi otot-otot okularis didapatkan penurunan kemampuan gerakan konjugat
unilateral di sisi yang sakit.
d. Saraf V. Pada beberapa keadaan stroke menyebabkan paralisis saraf
trigenimus, penurunan kemampuan koordinasi gerakan mengunyah, penyimpangan
rahang bawah ke sisi ipsilateral, serta kelumpuhan satu sisi otot pterigoideus
internus dan eksternus.
e. Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah asimetris, dan otot
wajah tertarik ke bagian sisi yang sehat.
f. Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi.
g. Saraf IX dan X. Kemampuan menelan kurang baik dan kesulitan membuka
mulut.
h. Saraf XI. Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius.
i. Saraf XII. Lidah simetris, terdapat deviasi pada satu sisi dan fasikulasi, serta
indra pengecapan normal.
9. Pengkajian sistem motoric
a. Inspeksi Umum. Didapatkan hemiplegia (paralisis pada salah satu sisi) karena
lesi pada sisi otak yang berlawanan. Hemiparesis atau kelemahan salah satu sisi
tubuh adalah tanda yang lain.
b. Fasikulasi. Didapatkan pada otot-otot ekstremitas.
c. Tonus Otot. Didapatkan meningkat.

K. Diagnosa Keperawatan yang Lazim Muncul


1. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan imaturitas neurologis (SDKI
D.0005).
2. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan penurunan sirkulasi
serebral (SDKI D.0119).
3. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan neuromuskular
(SDKI D.0054).
4. Resiko perfusi serebral tidak efektif berhubungan dengan embolisme (SDKI
D.0017).
5. Resiko defisit nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan menelan makanan
(SDKI D.0032).
6. Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan penurunan mobilitas
(SDKI D.0139).

L. Intervensi Keperawatan
No Diagnosa Tujuan (NOC) Intervensi (NIC)
Keperawatan
1 Pola nafas tidak Setelah dilakukan tindakan perawatan 1. Buka jalan nafas, guanakan teknik
efektif selama 3 x 24 jam, diharapkan pola chin lift atau jaw thrust bila perlu
berhubungan nafas pasien efektif dengan kriteria 2. Posisikan pasien untuk
dengan imaturitas hasil : memaksimalkan ventilasi
3. Identifikasi pasien perlunya
neurologis (SDKI 1. Menujukkan jalan nafas paten
pemasangan alat jalan nafas buatan
D.0005) ( tidak merasa tercekik, irama nafas
4. Pasang mayo bila perlu
normal, frekuensi nafas 5. Lakukan fisioterapi dada jika perlu
normal,tidak ada suara nafas 6. Keluarkan sekret dengan batuk atau
tambahan suction
2. Mendemonstrasikan batuk 7. Auskultasi suara nafas, catat
efektif dan suara nafas yang bersih, adanya suara tambahan
tidak ada sianosis dan dyspneu 8. Lakukan suction pada mayo
9. Berikan bronkodilator bila perlu
(mampu mengeluarkan sputum,
10. Berikan pelembab udara
mampu bernafas dengan mudah, 11. Kassa basah NaCl Lembab
tidak ada pursed lips). 12. Atur intake untuk cairan
3. Menunjukkan jalan nafas yang mengoptimalkan keseimbangan.
paten (klien tidak merasa tercekik, 13. Monitor respirasi dan status O2
irama nafas, frekuensi pernafasan
Oxygen Therapy
dalam rentang normal, tidak ada
1. Bersihkan mulut, hidung dan secret
suara nafas abnormal
4. Tanda Tanda vital dalam trakea
2. Pertahankan jalan nafas yang paten
rentang normal (tekanan darah,
3. Atur peralatan oksigenasi
nadi, pernafasan 4. Monitor aliran oksigen
5. Pertahankan posisi pasien
6. Onservasi adanya tanda tanda
hipoventilasi
7. Monitor adanya kecemasan pasien
terhadap oksigenasi

2 Gangguan Setelah dilakukan tindakan 1. Dengarkan setiap ucapan klien


komunikasi keperawatan selama 3 x 24 jam, dengan penuh perhatian
verbal diharapkan klien mampu untuk 2. Gunakan kata-kata sederhana dan
berhubungan berkomunikasi lagi dengan kriteria pendek dalam komunikasi dengan klien
3. Dorong klien untuk mengulang
dengan penurunan hasil:
kata-kata
sirkulasi serebral 1. Dapat menjawab pertanyaan
4. Berikan arahan / perintah yang
(SDKI D.0119). yang diajukan perawat
sederhana setiap interaksi dengan klien
2. Dapat mengerti dan
memahami pesan-pesan melalui
gambar
3. Dapat mengekspresikan
perasaannya secara verbal maupun
nonverbal

3 Gangguan Setelah dilakukan tindakan 1. Monitoring vital sign


mobilitas fisik keperawatan selama 3 x 24 jam, sebelm/sesudah latihan dan lihat respon
berhubungan diharapkan klien dapat melakukan pasien saat latihan
dengan gangguan pergerakan fisik dengan kriteria hasil : 2. Konsultasikan dengan terapi fisik
neuromuskular 1. Klien meningkat dalam tentang rencana ambulasi sesuai dengan
(SDKI D.0054) aktivitas fisik kebutuhan
2. Mengerti tujuan dari 3. Bantu klien untuk menggunakan
peningkatan mobilitas tongkat saat berjalan dan cegah terhadap
3. Memverbalisasikan perasaan cedera
dalam meningkatkan kekuatan dan 4. Ajarkan pasien atau tenaga
kemampuan berpindah kesehatan lain tentang teknik ambulasi
4. Memperagakan penggunaan 5. Kaji kemampuan pasien dalam
alat Bantu untuk mobilisasi mobilisasi
6. Latih pasien dalam pemenuhan
(walker)
kebutuhan ADLs secara mandiri sesuai
kemampuan
7. Dampingi dan Bantu pasien saat
mobilisasi dan bantu penuhi kebutuhan
ADLs ps.
8. Berikan alat Bantu jika klien
memerlukan.
9. Ajarkan pasien bagaimana merubah
posisi dan berikan bantuan jika
diperlukan

4 Resiko perfusi Setelah dilakukan tindakan 1. Monitor tekanan perfusi serebral


serebral tidak keperawatan selama 3 x 24 jam, 2. Catat respon pasien terhadap
efektif diharapkan suplai aliran darah ke otak stimuli
3. Monitor tekanan intrakranial pasien
berhubungan lancar dengan kriteria hasil:
dan respon neurology terhadap aktivitas
dengan 1. Tekanan systole dan diastole
4. Monitor jumlah drainage cairan
embolisme (SDKI dalam rentang yang diharapkan
serebrospinal
D.0017). 2. Tidak ada ortostatik hipertensi
5. Monitor intake dan output cairan
3. Tidak ada tanda tanda
6. Restrain pasien jika perlu
peningkatan tekanan intrakranial 7. Monitor suhu dan angka WBC
(tidak lebih dari 15 mmHg) 8. Kolaborasi pemberian antibiotik
4. Berkomunikasi dengan jelas 9. Posisikan pasien pada posisi
dan sesuai dengan kemampuan semifowler
5. Tingkat kesadaran mambaik, 10. Minimalkan stimuli dari
tidak ada gerakan gerakan lingkungan
involunter.

5 Resiko defisit Setelah dilakukan tindakan perawatan 1. Kaji adanya alergi makanan
nutrisi selama 3 x 24 jam, diharapkan pasien 2. Monitor adanya penurunan berat badan
3. Monitor tipe dan jumlah aktivitas yang
berhubungan mampu mengetahui dan mengontrol
biasa dilakukan
dengan resiko defisit nutrisit dengan kriteria
4. Monitor kalori dan intake nutrisi
ketidakmampuan hasil : 5. Monitor pucat, kemerahan, dan
menelan makanan 1. Adanya peningkatan berat badan kekeringan jaringan konjungtiva
(SDKI D.0032) sesuai dengan tujuan 6. Monitor mual dan muntah
2. Mampu mengidentifikasi 7. Monitor kadar albumin, total protein,
kebutuhan nutrisi Hb dan Ht
3. Berat badan ideal sesuai dengan 8. Monitor pertumbuhan dan
tinggi badan perkembangan
4. Tidak ada tanda-tanda malnutrisi 9. Anjurkan klien untuk meningkatkan
5. Tidak terjadi penurunan berat intake Fe
badan yang berarti 10. Anjurkan klien untuk meningkatkan
protein dan vit C
11. Catat adanya edema, hiperemik,
hipertonik papila lidah dan cavitas oral
12. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk
menentukan jumlah kalori dan nutrisi
yang dibutuhkan klien

6 Resiko gangguan Setelah dilakukan tindakan perawatan 1. Anjurkan pasien untuk menggunakan
integritas kulit selama 3 x 24 jam, diharapkan pasien pakaian yang longgar
2. Hindari kerutan padaa tempat tidur
berhubungan mampu mengetahui dan mengontrol 3. Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih
dengan penurunan resiko dengan kriteria hasil : dan kering
mobilitas (SDKI 1. Integritas kulit yang baik bisa 4. Mobilisasi pasien (ubah posisi pasien)
D.0139) dipertahankan (sensasi, elastisitas, setiap dua jam sekali
5. Monitor kulit akan adanya kemerahan
temperatur, hidrasi, pigmentasi)
6. Oleskan lotion atau minyak/baby oil
2. Tidak ada luka/lesi pada kulit
3. Perfusi jaringan baik pada derah yang tertekan
4. Menunjukkan pemahaman dalam 7. Monitor aktivitas dan mobilisasi pasien
8. Monitor status nutrisi pasien
proses perbaikan kulit dan
9. Memandikan pasien dengan sabun dan
mencegah terjadinya sedera
air hangat.
berulang
5. Mampu melindungi kulit dan
mempertahankan kelembaban kulit
dan perawatan alami

NANDA, 2015.

You might also like