You are on page 1of 12

ANALISA JURNAL HELMINTOLOGI BERHUBUNGAN

DENGAN IMUNITAS DAN

MAKALAH

oleh
KELOMPOK C
JUWARTI 142310101007
NOVELA IMANIA ROSA 142310101031
LAILYNANGGRAINI 142310101058
FARIDA NUR QOMARIYAH 142310101071
MUSRIFAH 142310101088
NITA RATNADEWI 142310101099
NILAM GANUNG P. M. 142310101129

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


UNIVERSITAS JEMBER
2014
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Helminthologi merupakan suatu bidang ilmu tentang cacing yang berperan
sebagai parasit. Jika ditinjau dari klasifikasi hewan, helmin termasuk salah satu
golongan invertebrata yaitu hewan yang tak bertulang belakang. Infeksi helmin
yang disebabkan oleh soil-transmitted helminths (STH) banyak ditemukan pada
masyarakat yang bertempat tinggal di negara berkembang, terutama di pedesaan.
Empat jenis STH yang paling sering ditemukan adalah cacing gelang
(roundworm/Ascaris lumbricoides), cacing cambuk (Trichuris trichiura), dan
cacingtambang (Necator americanus dan Ancylostoma duodenale). Laporan
terakhir memperkirakan infeksi A. Lumbricoidesbesarnya 1,221 miliar, T.
trichiura 795 juta dan cacing tambang 740 juta.Diperkirakan lebih dari dua
miliyar orang mengalami infeksi di seluruh dunia di antaranya sekitar 300 juta
menderita infeksi helmin yang berat dan sekitar 150.000 kematian terjadi setiap
tahun akibat infeksi STH. Pada lima tahun terakhir, Badan Kesehatan Sedunia
(World Health Organization/WHO), Bank Dunia (World Bank) dan lembaga-
lembaga Perserikatan Bangsa Bangsa (United Nations) dan masyarakat lainnya
secara bersama-sama melaksanakan pengendalian terhadap infeksi helminth
melalui program pengobatan anthelmintik pada murid-murid sekolah.
Sedangkan imunitas atau kekebalan adalah sistem mekanisme pada
organisme yang melindungi tubuh terhadap pengaruh biologis luar dengan
mengidentifikasi dan membunuh patogen. Sistem ini mendeteksi berbagai macam
pengaruh biologis luar yang luas, organisme akan melindungi tubuh
dari infeksi, bakteri, virus sampai cacing parasit, serta menghancurkan zat-zat
asing lain dan memusnahkan mereka dari sel organisme yang sehat dan jaringan
agar tetap dapat berfungsi seperti biasa.
Sedangkan istilah alergi pertama kali digunakan oleh Clemens von Pirquet
tahun 1906 diartikan sebagai “reaksi pejamu yang berubah” bila terpajan dengan
bahan yang sama untuk kedua kalinya atau lebih. Reaksi alergi terjadi jika
seseorang yang telah memproduksi antibodi IgE akibat terpapar suatu antigen
(alergen), terpapar kembali oleh antigen yang sama. Alergen memicu terjadinya
aktivasi sel mast yang mengikat IgE pada jaringan. IgE merupakan antibodi yang
sering terlihat pada reaksi melawan parasit, terutama untuk melawan cacing
parasit yang umumnya mewabah pada negara yang masih terbelakang.
Melihat dari berbagai gambaran tentang infeksi cacing, imunitas, serta alergi
diatas maka kelompok kami akan menganalisis jurnal Helminth infection,
immunity, and allergy untuk melihat bagaimana hubungan dari ketiga hal
tersebut.

1.2 Rumusan masalah


1. Bagaimana gambaran etiologi infeksi cacing?
2. Bagaimana sistem kekebalan tubuh terhadap infeksi cacing?
3. Bagaimana keterkaitan antara alergi dan infeksi cacing?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Untuk mengetahui dan memahami gambaran etiologi infeksi cacing;
2. Untuk mengetahui serta memahami tentang sistem kekebalan tubuh
terhadap infeksi cacing;
3. Untuk mengetahui serta memahami keterkaitan antara alergi dengan
infeksi cacing.

1.4 Manfaat Penulisan


1. Dapat memahami gambaran etiologi infeksi cacing;
2. Dapat mengetahui serta memahami sistem kekebalan tubuh terhadap
infeksi cacing;
3. Dapat mengetahui dan memahami keterkaitan antara alergi dengan infeksi
cacing.
BAB 2. JURNAL

2.1 Judul Jurnal:


“Infeksi Cacing, Imunitas dan Alergi”

2.2 Resume Jurnal


Kemampuan tubuh dalam menanggapi sekresi antigen yang dikeluarkan
oleh cacing bergantung kepada respon sistem kekebalan, lamanya infeksi dan
berat ringannya suatu infeksi cacing. Proses interaksi antara sistem kekebalan dan
infeksi cacing akan mengakibatkan gejala inflamasi dan alergi yang dipicu oleh
aktivitas sitokin Th2 yang mendorong produksi lgE oleh sel limfosit B, kemudian
mendorong pertumbuhan dan degranulasi dari sel mast. Alergi, menurut European
Academy of Allergology and Clinicial Immunology (EAACI) adalah sebuah
respon hipersensitivitas yang diinisiasi oleh pajanan alergen atau antigen pada
dosis yang masih dapat ditoleransi oleh individu normal. Alergi dapat ditimbulkan
oleh atopi yaitu keadaan yang memperlihatkan lgE yang sangat responsif, namun
atopi sendiri belum tentu dapat menimbulkan gejala alergi.

2.2.1 Infeksi Cacing ( Sebuah Gambaran Etiologi )


Infeksi cacing yang sering menyebabkan reaksi hipersensitivitas adalah
filariasis dan infeksi cacing pencernaan. Kedua penyakit ini memberikan respon
kekebalan yang bervariasi menurut siklus hidup dan cara parasit tersebut
menginfeksi hospesnya.
a. Filariasis
Tiga spesies utama yang menyebabkan filariasis pada manusia adalah
Wuchereria bancrofti, brugia timori, dan Brugia malayi.Cacing filaria
membutuhkan serangga serangga sebagai vektor, misalnya nyamuk Anopheles,
Aedes Mansonia, Culex bisa juga Simulium, Chrysops atau Culicoides, tergantung
spesiesnya. Manusia mendapat infeksi melalui gigitan vektor yang mengandung
miklofilaria infektif. Wuchereria bancrofti, brugia timori, dan Brugia malayi
memiliki sifat nokturnal, yaitu mikrofilaria hanya ditemukan dalam darah perifer
hospes pada malam hari saja. Periode laten atau prepaten adalah waktu yang
diperlukan antara seseorang mendapatkan sampai ditemukannya miklofilaria
dalam darahnya. Miklofilaria yang dilahirkan masuk ke dalam darah perifer
dengan menembus dinding saluran limfe ke dalam darah perifer dengan
menembus dinding saluran limfe ke dalam pembuluh darah kecil yang berdekatan
atau melalui ductus thoracicus. Cacing dewasa inilah yang dapat menyebabkan
kelainan patologis pada kelenjar limfatik penderitanya melalui hasil metabolisme
cacing yang dapat menyebabkan keradangan pada kelenjar maupun pembuluh
limfe. Filaria Brugia memberikan kerusakan kronis pada jaringan lokal yang
berbeda dengan cacing Filaria jenis Bancrofti.
b. Helminthiasis pencernaan
Infeksi cacing saluran pencernaan merupakan parasit yang paling sering
terjadi di Negara berkembang termasuk Indonesia. Nematoda merupakan spesies
terbnayak yang hidup sebagai parasit terhadap hospes baik hewan maupun
manusia. Kasus infeksi cacing memang lebih sering terjadi jenis soil Transmitted
Helminthiasi (STH) karena cacing jenis in itidak membutuhkan hospes perantara
untuk melanjutkan siklus hidupnya dan menginfeksi hospesnya, STH juga masih
banyak ditemukan misalnya enterobiasis, teaniasis, dan hymenolephiasis. STH
disebut juga geohelminth terdiri atas ascaris lumbricoides, trichuristrichiura, dan
hookworm.Infeksi hookworm dimulai dengan penetrasi aktif larva filariform
melalui kulit dengan bantuan enzim larva lhydrolintic. Larva akan masuk kapiler
dan terbawa aliran darah menuju paru dan selanjutnya pola perjalanan larva
menjadi dewasa hamper sama dengan ascaris lumbricoides yang dengan tujuan
akhir usushalus. Cacing STH dewasa mengeluarkan telurnya didalam saluran
pencernaan dan terbawa keluar melalui fases dan seterusnya hingga menginfeksi
hospes yang lain.
2.2.2 Sistem Kekebalan Tubuh terhadap Infeksi Cacing
Secara umum, tubuh manusia memiliki sistem pertahan tubuh yang
berfungsi untuk mencegah tubuh dari berbagai serangan infeksi yang masuk.
Sistem imunitas tubuh manusia dibedakan menjadi 2, yaitu sistem imunitas
alamiah/non spesifik dan sistem imunitas spesifik/adaptif. Apabila ada infeksi
patogen yang masuk, seperti bakteri, virus dan berbagai macam patogen lain,
secara otomatis tubuh akan merespon yang pertama kali yaitu dengan mengenali
patogen dengan tujuan untuk memberikan kesempatan pada tubuh melakukan
respon imunitas secara spesifik.
Parasit cacing disini juga merupakan patogen yang dapat masuk
menginfeksi tubuh manusia. Parasit cacing merupakan organisme yang kompleks
dan memiliki multiphase dalam siklus hidupnya dan berbeda dari setiap spesies,
namun respon imun hospes terhadap infeksi cacing pada umumnya hampir sama,
yaitu dengan mengaktifkan Th2 yang ditandai dengan meningkatnya IL-4, IL-5,
IL-9, IL-10 dan IL-13 yang menimbulkan respon yang kuat dari IgE, Eosinofil
dan sel mast. Pada penderita infeksi cacing serum IgE sangat tinggi, sehingga hal
ini dapat dijadikan penanda ada tidaknya infeksi cacing dalam tubuh.
Induksi poliklonal IgE oleh cacing dapat melindungi parasit dari pertahanan
hospesnya dengan cara menghambat pengikatan antigen dari cacing dengan IgE
spesifik ke sel mast atau basofil. Hal ini juga menjelaskan mengapa cacing
meninduksi produksi IgE non spesifik dalam jumlah besar ditempat pertama dia
masuk ke tubuh hospes. Namun hingga kini belum diketahui mengapa dan
bagaimana cacing menginduksi produksi poliklonal IgE non spesifik.

2.2.3 Keterkaitan Alergi dan Infeksi Cacing


Ada kemiripan jalur imunologis antara infeksi cacing dan atopi yang
ditandai dengan tingginya eosonofil, igE dalam serum dan basofil serta sel mast
yang memungkinkan terjadinya respon hipersensitivitas tipe cepat. Pada tahap
awal infeksi menampakkan gejala hipersensitivitas pada hospesnya. Infeksi awal
atau akut melibatan sel-sel inflamasi misal basofil, dan sel mast yang teraktifasi
oleh kompleks antigen-IgE sehingga menimbulkan respon inflamasi dan
sensitivitas jaringan lokal yang terkena meningkat. Sebaliknya, pada infeksi
kronis cacing yang merupakan organisme multiseluler yang memicu tubuh hospes
memproduksi IgE poliklonal sehingga menyebabkan tidak teraktifasinya sel mast
untuk mengeluarkan granula histamin sehingga tidak terjadi hiperresponsive pada
hospes. Jalan lain yang dilakukan oleh tubuh hospes untuk respon infeksi cacing
yaitu dengan cara membentuk IgG Blocking antibodi.
Antibodi IgG4 berkaitan dengan infeksi cacing yang tidak menimbulkan
gejala, memblok igE yang memediasi respon alergi terhadap antigen parasit.
Isotipe IgG4 diproduksi selama imunoterapi dengan alergen dan keberhasilan
imunoterapi ditandai dengan produksi IgG4 walaupun pada saat yang sama
memproduksi IgE spesifik terhadap alergen. Infeksi cacing mampu mereduksi
efek atopi pada hospes dan dengan mekanisme tersebut cacing dapat hidup lama
dan berkembang biak dengan aman dalam tubuh hospes tanpa menimbulkan
gejala pada hospes.
BAB 3. ANALISA JURNAL

3.1 Hasil Diskusi


Sistem kekebalan tubuh merupakan suatu sistem pertahanan tubuh terhadap
suatu patogen yang masuk ke dalam tubuh kemudian sistem pertahanan tubuh ini
dibedakan menjadi dua sistem pertahanan yaitu sistem pertahanan alamiah atau
non spesifik dan sistem pertahanan tubuh secara spesifik atau adaptif. Untuk garis
pertahanan pertama apabila ada patogen yang masuk kedalam tubuh contohnya
seperti infeksi cacing maka yang berfungsi pertama kali yaitu kulit dan membran
mukosa yang berfungsi untuk mencegah sebagian besar pathogen atau mikroba
kemudian garis pertahanan kedua yaitu sistem pertahanan tubuh menggunakan sel
fagosit, sel-sel natural killer, peradangan, dan berbagai bentuk protein anti
mikroba.
Pada jurnal di atas disebutkan bahwa infeksi cacing yang terjadi
mengakibatkan adanya respon imunitas yang sangat sensitive dalam merespon
masuknya infeksi cacing tersebut. Dalam hal ini imunitas yang paling berperan
ialah IgE yang aktif dalam respon alergi. Sehingga dapat dikatakan ketika cacing
masuk kemudian direspon oleh system imunitas akan dikeluarkan dalam bentuk
respon sebagai alergi. Hal ini terbukti dengan adanya peningkatan interleukin-
interleukin dalam tubuh seperti IL4, IL5, IL9, IL10 dan IL13 pada tubuh hospes
yang terserang infeksi cacing.
Pada awal infeksi cacing sering kali menampakkan gejala hipersensitivitas
terhadap hospesnya. Hal ini juga dikarenakan adanya sel-sel yang mengalami
inflamasi seperti eosinophil, basophil, dan sel mast yang teraktivasi oleh antigen
IgE sehingga menimbulkan reaksi seperti alergi pada tubuh hospes yang terserang
infeksi. Namun sebaliknya apabila infeksi tersebut terlalu kronis selimunitas
dalam tubuh terutama IgE poliklonal tidak mampu merespon infeksi cacing
tersebut secara spesifik karena cacing tersebut mampu memblocking
responsitivitas yang diaktifkan oleh IgE tersebut. Akibatnya, respon imunitas
tidak tampak dan infeksi cacing terus menyebar atau menginvasi system-sistem
tubuh yang lain, terutama system yang pertama kali diinfeksi yaitu system limfosit
yang menjadi system utama dalam pertahanan tubuh. Dengan cara inilah cacing
mampu hidup dan bertahan dalam tubuh hospes tanpa adanya penyerangan dari
system imunitas secara spesifik. Dengan kata lain, infeksi cacing akan mampu
mereduksi efek atopi pada hospes dengan mekanisme tersebut, akibatnya cacing
dapat hidup lama dan berkembangbiak dengan aman dalam tubuh hospes tanpa
menimbulkan gejala pada hospes sekaligus tanpa membahayakan cacing itu
sendiri.
Respon hipersensitivitas adalah suatu respon imun yang kuat pada alergen
(suatu alergen yang menghasilkan alergi). Saat pajanan awal ke alergen, individu
menjadi peka terhadapnya, dan pada pajanan kedua serta pajanan selanjutnya,
jumlah sistem imun memberikan respon yang proporsinya berlebihan terhadap
ancaman yang diterima. Pada jurnal ini disebutkan bahwa tinggi eosonofil, IgE
dalam serum dan basofil serta sel mast memungkinkan terjadinya respon
hipersensitivitas tipe cepat. Pada teori dijelaskan bahwa pada hipersensitivitas tipe
cepat ini terjadi pada individu yang mengalami penurunan kadar jenis antibodi
yang sangat tinggi. Jika terpajang alergi, antibodi mengaktivasi sel mast dan
basofil, yang melepaskan kandungan granularnya. Zat terpenting yang dilepaskan
adalah histamin, yang mengonstriksi beberapa otot polos (misalnya: otot polos
jalan napas), menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas pembuluh
darah. Sintesis antibodi igE memerlukan induksi sel T helper CD4+ tipe Th2; sel
tipe Th2 ini menghasilkan lebih dari satu sitokin yang memberikan kontribusi
pada berbagai aspek respon hipersensitivitas tipe I. Antibodi IgE yang disintesis
sebagai respon terhadap pajanan alergen terdahulu secara normal akan terikat
pada sel mast dan basofil melalui reseptor Fc permukaan yang spesifik.
Anifilaksis melibatkan respons cepat IgE sel mast setelah pajanan ke suatu
antigen. Dapat tejadi dilatasi seluruh sistem pembuluh akibat histamin sehingga
tekanan darah kolaps. Penurunan hebat tekanan darah, sistemik selama reaksi
anafilaktik disebut syok anafilatik atau syok sirkulasi. Anafilaksis mengacu pada
reaksi akut yang biasanya dihubungkan dengan tipe reaksi kulit betupa bentol, dan
merah serta vasodilatasi yang dapat mencetuskan syok sirkulasi. Sedangkan atopi,
yang diakibatkan oleh mekanisme yang sama, terjadi secara menahun pada respon
yang bergantung pada antigen, frekuensi kontak, rute kontak, dan sensitivitas
sistem organ pada antigen.

3.2 Kelebihan dan Kekurangan Jurnal


Kelebihan dari jurnal ini adalah jurnal ini menjabarkan apa kaitan hubungan
antara kekebalan tubuh atau sistem imun dengan infeksi cacing. Dalam jurnal ini,
penjelasan apa saja cacing-cacing yang dapat menginfeksi manusia yaitu filariasis
dan helminthiasis pencernaan dijelaskan secara umum dan jelas. Dan juga terdapat
survey mengenai infeksi cacing tersebut di Indonesia serta bagaimana cacing-
cacing itu menginfeksi manusia. Penjelasan mengenai kekebalan tubuh terhadap
infeksi cacing dan keterkaitan antara infeksi cacing dengan kekebalan tubuh
dijabarkan dengan rinci.
Kekurangan dari jurnal ini adalah didalam jurnal ini tidak terdapat
penelitian mengenai keterkaitan antara infeksi cacing dengan sistem imun
sehingga dalam jurnal ini terkesan hanya teori saja, tidak ada pembuktian dalam
jurnal ini. Lalu, survey yang terdapat dalam jurnal ini tidak jelas sumbernya
darimana karena tidak dijabarkan mengenai hasil survey tersebut didapatkan dan
cara pendekatannya. Dan juga didalam jurnal ini terdapat istilah-istilah asing dan
diberi nomor, namun istilah-istilah tersebut tidak dijelaskan dan dijabarkan pada
akhir jurnal ini.
BAB 4. PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Prinsip dasar sistem kekebalan tubuh adalah bagaimana tubuh merespon
masuknya antigen dan menghancurkannya. Efek samping yang ditimbulkan bisa
bervariasi tergantung agen penyakit dan macam antibodi yang menghadapinya.
Hipersensitivitas bisa merupakan efek perubahan kimia tubuh dalam menghadapi
infeksi parasit. Namun demikian parasit juga mampu menurunkan reaksi
hipersensitivitas dengan beberapa mekanisme yang telah dijelaskan sebelumnya.
Infeksi cacing yang terjadi mengakibatkan adanya respon imunitas yang
sangat sensitive dalam merespon masuknya infeksi cacing tersebut. Dalam hal ini
imunitas yang paling berperan ialah IgE yang aktif dalam respon alergi. Sehingga
dapat dikatakan ketika cacing masuk kemudian direspon oleh system imunitas
akan dikeluarkan dalam bentuk respon sebagai alergi. Hal ini terbukti dengan
adanya peningkatan interleukin-interleukin dalam tubuh seperti IL4, IL5, IL9,
IL10 dan IL13 pada tubuh hospes yang terserang infeksi cacing.
Sehingga ketika seseorang telah terinfeksi cacing sehingga menyebabkan
penurunan sistem imunitas, hal tersebut tidak boleh dianggap remeh. Adanya
penurunan imunitas tersebut merupakan salah satu respon hipersensitivitas yang
tubuh berikan dan menjadi sebuah kode bahwa tubuh memerlukan penanganan
serius. Misal saja dengan memberikan obat oles ataupun obat os oral yang
diberikan oleh anjuran dokter dengan dosis tertentu.

4.2 Saran
Analisis yang kami lakukan masih jauh dari sempurna, untuk itu analisis
yang lebih mendalam dan lebih luas akan mendukung kesempurnaan analisis ini.
Demikian semoga analisis jurnal ini dapat membantu para pembaca untuk
mendapatkan sebuah wawasan baru.
DAFTAR PUSTAKA

Brooker, Chris. 2005. Ensiklopedia Keperawatan: Churcill Livingstone’s


Encyclopaedia of Nursing, 1st Edition. Jakarta: EGC
Tambayong, Jan. 1999. Patofisiologi untuk Keperawatan. Jakarta: EGC
Robbins & Coran [et al.]. 2008. Buku Saku Dasar Patologis Penyakit Robbins &
Cotran. Jakarta: EGC
Sutanto, Inge, Is Suhariah Ismid, dkk. 2008. Parasitologi Kedokteran. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Hart, Tony dan Paul Shears. 1997. Atlas Berwarna Mikrobiologi Kedokteran.
Jakarta: Hipokrates

You might also like