You are on page 1of 35

Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan PPOK

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Terwujudnya keadaan sehat adalah kehendak semua pihak, tidak hanya oleh perorangan, tetapi juga
oeh kelompok dan bahkan oleh masyarakat. Sehat adalah suatu keadaan sejahtera badan, jiwa dan sosial
yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Status kesehatan dipengruhi
oleh faktor biologik, lingkungan dan pelayanan kesehatan. Faktor biologik merupakan faktor yang berasal
dari dalam individu atau faktor keturunan misalnya pada penyakit alergi (Mansjoer, 2000).
Penyakit Paru Obstruksi Kronis adalah penyakit obstruksi jalan nafas karena bronkitis kronis atau
emfisema. Obstruksi tersebut umumnya bersifat progresif, bisa disertai hiperaktivitas bronkus dan sebagian
bersifat reversible. Bronkitis kronis ditandai dengan batuk-batuk hampir setiap hari disertai pengeluaran
dahak, sekurang-kurangnya 3 bulan berturut-turut dalam satu tahun, dan paling sedikit selama 2 tahun.
Emfisema adalah suatu perubahan anatomis paru yang ditandai dengan melebarnya secara abnormal saluran
udara (Mansjoer, 2000).
Data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan, pada tahun 2010 diperkirakan penyakit
ini akan menempati urutan keempat sebagai penyebab kematian. Prevalensi terjadinya kematian akibat
rokok pada penyakit penyakit paru obstruksi kronis pada tahun 2010 sebanyak 80-90 % (Kasanah, 2011).
Data yang diperoleh di Rekam Medis Rumah Sakit Margono Purwokerto pada bulan Januari sampai
Maret 2014 didapatkan data sebanyak 30 % pasien menderita penyakit paru obstruksi kronis (RS Margono
Soekardjo, 2014).

Maka dari itu, penulis tertarik untuk mengangkat kasus ini dalam suatu asuhan keperawatan yang
berjudul
“Asuhan Keperawatan Pada Tn. B Dengan Gangguan Sistem Pernafasan : Penyakit Paru Obstruksi Kronis
Di Ruang Asoka RS Prof. Dr. Margono Soekardjo Purwokerto”. Alasan penulis tertarik untuk mengambil
kasus ini adalah karena penyakit ini memerlukan pengobatan dan perawatan yang optimal sehingga perawat
memerlukan ketelatenan untuk dapat memelihara, mengembalikan fungsi paru dan kondisi pasien sebaik
mungkin. Penyakit ini akan terus mengalami perkembangan yang progresif dan belum ada penyembuhan
secara total. Maka dari itu, perawat terfokus untuk melakukan perawatan yang meliputi terapi obat,
perubahan gaya hidup, terapi pernafasan dan juga dukungan emosional bagi penderita penyakit paru
obstruksi kronis (Reeves, 2001).

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada laporan kasus ini adalah “Bagaimana Asuhan Keperawatan Pada Tn. B Dengan
Gangguan Sistem Pernafasan : Penyakit Paru Obstruksi Kronis Di Ruang Asoka RS Prof. Dr. Margono
Soekardjo Purwokerto”.

C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk memperoleh gambaran nyata tentang asuhan keperawatan pada pasien dengan Penyakit Paru
Obstruksi Kronis.
2. Tujuan Khusus
a. Mampu melakukan pengkajian keperawatan pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis.
b. Mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis.
c. Mampu merencanakan tindakan keperawatan pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis.
d. Mampu melakukan rencana tindakan keperawatan pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis.
e. Mampu melakukan evaluasi keperawatan pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis.
f. Mampu mendokumentasikan asuhan keperawatan pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis.

D. Manfaat
1. Rumah Sakit
Laporan kasus ini dapat menjadi masukan dalam melakukan pelayanan peningkatan asuhan
keperawatan pada pasien dengan PPOK
2. Institusi Pendidikan
Laporan kasus ini di harapkan dapat menjadi bahan pustaka yang dapat memberikan gambaran
pengetahuan mengenai PPOK.
3. Profesi Perawat
Laporan kasus ini diharapkan dapat dijadikan bahan acuan bagi tenaga kesehatan untuk mengadakan
penyuluhan tentang kesehatan mengenai PPOK dan bahayanya.
BAB II
KONSEP DASAR

A. Definisi
Penyakit Paru Obstruksi Kronis adalah penyakit obstruksi jalan nafas karena bronkitis kronis atau
emfisema. Obstruksi tersebut umumnya bersifat progresif, bisa disertai hiperaktivitas bronkus dan sebagian
bersifat reversible. Bronkitis kronis ditandai dengan batuk-batuk hamper setiap hari disertai pengeluaran
dahak, sekurang-kurangnya 3 bulan berturut-turut dalam satu tahun, dan paling sedikit selama 2 tahun.
Emfisema adalah suatu perubahan anatomis paru yang ditandai dengan melebarnya secara abnormal saluran
udara (Mansjoer, 2000).

B. Etiologi
Faktor – faktor yang menyebabkan timbulnya Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut Mansjoer
(2000) adalah :
1. Kebiasaan merokok.
2. Polusi udara.
3. Paparan debu, asap dan gas-gas kimiawi akibat kerja.
4. Riwayat infeksi saluran nafas.
5. Bersifat genetik yaitu defisiensi alfa satu antitripsin.
Brashers (2007) menambahkan faktor-faktor yang menyebabkan penyakit paru obstruksi kronis adalah
:
1. Merokok merupakan > 90% resiko untuk PPOK dan sekitar 15% perokok menderita PPOK. Beberapa
perokok dianggap peka dan mengalami penurunan fungsi paru secara cepat. Pajanan asap rokok dari
lingkungan telah dikaitkan dengan penurunan fungsi paru dan peningkatan resiko penyakit paru obstruksi
pada anak.
2. Terdapat peningkatan resiko PPOK bagi saudara tingkat pertama perokok. Pada kurang dari 1% penderita
PPOK, terdapat defek gen alfa satu antitripsin yang diturunkan yang menyebabkan awitan awal emfisema.
3. Infeksi saluran nafas berulang pada masa kanak – kanak berhubungan dengan rendahnya tingkat fungsi
paru maksimal yang bisa dicapai dan peningkatan resiko terkena PPOK saat dewasa. Infeksi saluran nafas
kronis seperti adenovirus dan klamidia mungkin berperan dalam terjadinya PPOK.
4. Polusi udara dan kehidupan perkotaan berhubungan dengan peningkatan resiko morbiditas PPOK.

C. Manifestasi klinis
Manifestasi klinis menurut Mansjoer (2000) pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis adalah
:
1. Batuk.
2. Sputum putih atau mukoid, jika ada infeksi menjadi purulen atau mukopurulen.
3. Sesak, sampai menggunakan otot-otot pernafasan tambahan untuk bernafas.
Reeves (2001) menambahkan manifestasi klinis pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis
adalah :
Perkembangan gejala-gejala yang merupakan ciri dari PPOK adalah malfungsi kronis pada sistem
pernafasan yang manifestasi awalnya ditandai dengan batuk-batuk dan produksi dahak khususnya yang
makin menjadi di saat pagi hari. Nafas pendek sedang yang berkembang menjadi nafas pendek akut. Batuk
dan produksi dahak (pada batuk yang dialami perokok) memburuk menjadi batuk persisten yang disertai
dengan produksi dahak yang semakin banyak.
Biasanya pasien akan sering mengalami infeksi pernafasan dan kehilangan berat badan yang cukup
drastis, sehingga pada akhirnya pasien tersebut tidak akan mampu secara maksimal melaksanakan tugas-
tugas rumah tangga atau yang menyangkut tanggung jawab pekerjaannya. Pasien mudah sekali merasa lelah
dan secara fisik banyak yang tidak mampu melakukan kegiatan sehari-hari.
Selain itu pada pasien PPOK banyak yang mengalami penurunan berat badan yang cukup drastis,
sebagai akibat dari hilangnya nafsu makan karena produksi dahak yang makin melimpah, penurunan daya
kekuatan tubuh, kehilangan selera makan (isolasi sosial) penurunan kemampuan pencernaan sekunder
karena tidak cukupnya oksigenasi sel dalam sistem (GI) gastrointestinal. Pasien dengan PPOK lebih
membutuhkan banyak kalori karena lebih banyak mengeluarkan tenaga dalam melakukan pernafasan.

D. Patofisiologi / pathway
Patofisiologi menurut Brashers (2007), Mansjoer (2000) dan Reeves (2001) adalah :
Asap rokok, polusi udara dan terpapar alergen masuk ke jalan nafas dan mengiritasi saluran nafas.
Karena iritasi yang konstan ini , kelenjar-kelenjar yang mensekresi lendir dan sel-sel goblet meningkat
jumlahnya, fungsi silia menurun, dan lebih banyak lendir yang dihasilkan serta terjadi batuk, batuk dapat
menetap selama kurang lebih 3 bulan berturut-turut. Sebagai akibatnya bronkhiolus menjadi menyempit,
berkelok-kelok dan berobliterasi serta tersumbat karena metaplasia sel goblet dan berkurangnya elastisitas
paru. Alveoli yang berdekatan dengan bronkhiolus dapat menjadi rusak dan membentuk fibrosis
mengakibatkan fungsi makrofag alveolar yang berperan penting dalam menghancurkan partikel asing
termasuk bakteri, pasien kemudian menjadi rentan terkena infeksi.

Infeksi merusak dinding bronchial menyebabkan kehilangan struktur pendukungnya dan menghasilkan
sputum kental yang akhirnya dapat menyumbat bronki. Dinding bronkhial menjadi teregang secara
permanen akibat batuk hebat. Sumbatan pada bronkhi atau obstruksi tersebut menyebabkan alveoli yang
ada di sebelah distal menjadi kolaps. Pada waktunya pasien mengalami insufisiensi pernafasan dengan
penurunan kapasitas vital, penurunan ventilasi, dan peningkatan rasio volume residual terhadap kapasitas
total paru sehingga terjadi kerusakan campuran gas yang diinspirasi atau ketidakseimbangan ventilasi-
perfusi.
Pertukaran gas yang terhalang biasanya terjadi sebagai akibat dari berkurangnya permukaan alveoli
bagi pertukaran udara. Ketidakseimbangan ventilasi–perfusi ini menyebabkan hipoksemia atau
menurunnya oksigenasi dalam darah. Keseimbangan normal antara ventilasi alveolar dan perfusi aliran
darah kapiler pulmo menjadi terganggu. Dalam kondisi seperti ini, perfusi menurun dan ventilasi tetap
sama. Saluran pernafasan yang terhalang mukus kental atau bronkospasma menyebabkan penurunan
ventilasi, akan tetapi perfusi akan tetap sama atau berkurang sedikit.
Berkurangnya permukaan alveoli bagi pertukaran udara menyebabkan perubahan pada pertukaran
oksigen dan karbondioksida. Obstruksi jalan nafas yang diakibatkan oleh semua perubahan patologis yang
meningkatkan resisten jalan nafas dapat merusak kemampuan paru-paru untuk melakukan pertukaran
oksigen atau karbondioksida. Akibatnya kadar oksigen menurun dan kadar karbondioksida meningkat.
Metabolisme menjadi terhambat karena kurangnya pasokan oksigen ke jaringan tubuh, tubuh melakukan
metabolisme anaerob yang mengakibatkan produksi ATP menurun dan menyebabkan defisit energi.
Akibatnya pasien lemah dan energi yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi juga menjadi
berkurang yang dapat menyebabkan anoreksia.
Selain itu, jalan nafas yang terhambat dapat mengurangi daerah permukaan yang tersedia untuk
pernafasan, akibat dari perubahan patologis ini adalah hiperkapnia, hipoksemia dan asidosis respiratori.
Hiperkapnia dan hipoksemia menyebabkan vasokontriksi vaskular pulmonari, peningkatan resistensi
vaskular pulmonary mengakibatkan hipertensi pembuluh pulmonary yang meningkatkan tekanan vascular
ventrikel kanan atau dekompensasi ventrikel kanan.
E. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan diagnostik untuk pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut Doenges (2000)
antara lain :
1. Sinar x dada dapat menyatakan hiperinflasi paru-paru, mendatarnya diafragma, peningkatan area udara
retrosternal, penurunan tanda vaskularisasi atau bula (emfisema), peningkatan tanda bronkovaskuler
(bronkhitis), hasil normal selama periode remisi (asma).
2. Tes fungsi paru untuk menentukan penyebab dispnea, untuk menentukan apakah fungsi abnormal adalah
obstruksi atau restriksi, untuk memperkirakan derajat disfungsi dan untuk mengevaluasi efek terapi
misalnya bronkodilator.
3. Peningkatan pada luasnya bronkhitis dan kadang-kadang pada asma, penurunan emfisema.
4. Kapasitas inspirasi menurun pada emfisema.
5. Volume residu meningkat pada emfisema, bronchitis kronis dan asma.
6. Forced Expiratory Volume (FEV1) atau FVC. Rasio volume ekspirasi kuat dengan kapasitas vital kuat
menurun pada bronchitis dan asma.
7. Analisa Gas Darah (AGD) memperkirakan progresi proses penyakit kronis misalnya paling sering PaO 2
menurun, dan PaCO2 normal atau meningkat (bronkhitis kronis dan emfisema) tetapi sering menurun pada
asma, pH normal atau asidosis, alkalosis respiratorik ringan sekunder terhadap hiperventilasi (emfisema
sedang atau asma).
8. Bronkogram dapat menunjukkan dilatasi silindris bronkus pada inspirasi, kolaps bronkhial pada ekspirasi
kuat (emfisema), pembesaran duktus mukosa yang terlihat pada bronkus.
9. Hemoglobin meningkat (emfisema luas), peningkatan eosinofil (asma).
10. Kimia darah antara lain alfa satu antitripsin dilakukan untuk meyakinkan defisiensi dan diagnosa emfisema
primer.
11. Sputum, kultur untuk menentukan adanya infeksi, mengidentifikasi patogen, pemeriksaan sitolitik untuk
mengetahui keganasan atau gangguan alergi.
12. Elektrokardiogram (EKG). Deviasi aksis kanan, peninggian gelombang P (asma berat), disritmia atrial
(bronchitis), peninggian gelombang P pada lead II, III, AVF (bronchitis, emfisema), aksis vertikal QRS
(emfisema).
13. Elaktrokardiogram (EKG) latihan, tes stress membantu dalam mengkaji derajat disfungsi paru,
mengevaluasi keefektifan terapi bronkodilator, perencanaan atau evaluasi program latihan.

F. Komplikasi
Komplikasi Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut Mansjoer (2000) adalah infeksi nafas yang
berulang, pneumotoraks spontan, eritrositosis karena keadaan hipoksia kronik, gagal nafas dan kor
pulmonal.
Reeves (2001) menambahkan komplikasi pernafasan utama yang bisa terjadi pada pasien dengan
Penyakit Paru Obstruksi Kronis yaitu gagal nafas akut (Acute Respiratory Failure), pneumotoraks dan giant
bullae serta ada satu komplikasi kardiak yaitu penyakit cor-pulmonale.
1. Acute Respiratory Failure (ARF).
Acute Respiratory Failure (ARF) terjadi ketika ventilasi dan oksigenasi tidak cukup untuk memenuhi
kebutuhan tubuh saat istirahat. Analisa gas darah bagi pasien penyakit paru obstruksi menahun
menunjukkan tekanan oksigen arterial PaO2 sebesar 55 mm Hg atau kurang dan tekanan karbondioksida
arterial (PaCO2) sebesar 50 mm Hg atau lebih besar. Jika pasien atau keluarganya membutuhkan alat-alat
bantu kehidupan maka pasien tersebut dilakukan intubasi dan diberi sebuah respirator untuk ventilasi secara
mekanik.
2. Cor Pulmonale.
Cor pulmonale atau dekompensasi ventrikel kanan merupakan pembesaran ventrikel kanan yang
disebabkan oleh overloading akibat dari penyakit pulmo. Komplikasi jantung ini terjadi sebagai mekanisme
kompensasi sekunder bagi paru-paru yang rusak pada penderita penyakit paru obstruksi menahun.
Cor pulmonary merupakan contoh yang tepat dari sistem kerja tubuh secara menyeluruh. Apabila terjadi
malfungsi pada satu sistem organ maka hal ini akan merembet ke sistem organ lainnya. Pada penderita
dengan penyakit paru obstruksi menahun, hipoksemia kronis menyebabkan vasokonstriksi kapiler paru-
paru yang kemudian akan meningkatkan resistensi vaskuler pulmonari. Efek domino dari perubahan ini
terjadi peningkatan tekanan dalam paru-paru mengakibatkan ventrikel kanan lebih kuat dalam memompa
sehingga lama-kelamaan otot ventrikel kanan menjadi hipertrofi atau membesar.
Perawatan penyakit jantung paru meliputi pemberian oksigen dosis rendah dibatasi hingga 2 liter per
menit, diuretik untuk menurunkan edema perifer dan istirahat. Edema perifer merupakan efek domino yang
lain karena darah balik ke jantung dari perifer atau sistemik dipengaruhi oleh hipertrofi ventrikel kanan.
Digitalis hanya digunakan pada penyakit jantung paru yang juga menderita gagal jantung kiri.
3. Pneumothoraks.
Pneumotoraks merupakan komplikasi PPOM serius lainnya. Pnemo berarti udara sehingga
pneumotoraks diartikan sebagai akumulasi udara dalam rongga pleural. Rongga pleural sesungguhnya
merupakan rongga yang khusus yakni berupa lapisan cairan tipis antara lapisan viseral dan parietal paru-
paru Fungsi cairan pleural adalah untuk membantu gerakan paru-paru menjadi lancar dan mulus selama
pernafasan berlangsung. Ketika udara terakumulasi dalam rongga pleural, maka kapasitas paru-paru untuk
pertukaran udara secara normal, menjadi melemah dan hal ini menyebabkan menurunnya kapasitas vital
dan hipoksemia.
4. Giant Bullae.
Pneumotoraks seringkali dikaitkan dengan komplikasi PPOM lainnya yaitu pembentukan giant bullae.
Jika pneumotoraks adalah udara yang terakumulasi di rongga pleura. Tetapi bullae adalah timbul karena
udara terperangkap di parenkim paru-paru. Sehingga alveoli yang menjadi tempat menangkapnya udara
untuk pertukaran gas menjadi benar-benar tidak efektif. Bullae dapat menyebabkan perubahan fungsi
pernafasan dengan cara 2 hal yaitu dengan menekan jaringan paru-paru, mengganggu berlangsungnya
pertukaran udara. Jika udara yang terperangkap dalam alveoli semakin meluas maka semakin banyak pula
kerusakan yang terjadi di dinding alveolar.

G. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut Mansjoer (2000) adalah
:
1. Pencegahan yaitu mencegah kebiasaan merokok, infeksi, polusi udara.
2. Terapi eksasebrasi akut dilakukan dengan :
a. Antibiotik, karena eksasebrasi akut biasanya disertai infeksi. Infeksi ini umumnya disebabkan oleh H.
Influenzae dan S. Pneumonia, maka digunakan ampisillin 4 x 0,25-0,5 g/hari atau eritromisin 4 x 0,5 g/hari.
b. Augmentin (amoksisilin dan asam kluvanat) dapat diberikan jika kuman penyebab infeksinya adalah H.
Influenzae dan B. Catarhalis yang memproduksi beta laktamase.
c. Pemberian antibiotik seperti kotrimoksasol, amoksisilin, atau doksisilin pada pasien yang mengalami
eksasebrasi akut terbukti mempercepat penyembuhan dam membantu mempercepat kenaikan peak flow
rate. Namun hanya dalam 7-10 hari selama periode eksasebrasi. Bila terdapat infeksi sekunder atau tanda-
tanda pneumonia, maka dianjurkan antibiotic yang lebih kuat.
d. Terapi oksigen diberikan jika terdapat kegagalan pernafasan karena hiperkapnia dan berkurangnya
sensitivitas terhadap CO2.
e. Fisioterapi membantu pasien untuk mengeluarkan sputum dengan baik.
f. Bronkodilator untuk mengatasi, termasuk didalamnya golongan adrenergik. Pada pasien dapat diberikan
salbutamol 5 mg dan atau ipratorium bromide 250 mikrogram diberikan tiap 6 jam dengan nebulizer atau
aminofilin 0,25-0,5 g iv secara perlahan.
3. Terapi jangka panjang dilakukan dengan :
a. Antibiotik untuk kemoterapi preventif jangka panjang, ampisillin 4 x 0,25-0,5/hari dapat menurunkan
kejadian eksasebrasi akut.
b. Bronkodilator, tergantung tingkat reversibilitas obstruksi saluran nafas tiap pasien maka sebelum
pemberian obat ini dibutuhkan pemeriksaan obyektif dari fungsi faal paru.
c. Fisioterapi.
d. Latihan fisik untuk meningkatkan toleransi aktivitas fisik.
e. Mukolitik dan ekspektoran.
f. Terapi jangka penjang bagi pasien yang mengalami gagal nafas tipe II dengan PaO2<7,3kPa (55 mmHg).
g. Rehabilitasi, pasien cenderung menemui kesulitan bekerja, merasa sendiri dan terisolasi, untuk itu perlu
kegiatan sosialisasi agar terhindar dari depresi. Rehabilitasi pada pasien dengan penyakit paru obstruksi
kronis adalah fisioterapi, rehabilitasi psikis dan rehabilitasi pekerjaan.
Asih (2003) menambahkan penatalaksanaan medis pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis
adalah :
1. Penatalaksanaan medis untuk asma adalah penyingkiran agen penyebab dan edukasi atau penyuluhan
kesehatan. Sasaran dari penatalaksanaan medis asma adalah untuk meningkatkan fungsi normal individu,
mencegah gejala kekambuhan, mencegah serangan hebat, dan mencegah efek samping obat. Tujuan utama
dari berbagai medikasi yang diberikan untuk klien asma adalah untuk membuat klien mencapai relaksasi
bronkial dengan cepat, progresif dan berkelanjutan. Karena diperkirakan bahwa inflamasi adalah
merupakan proses fundamental dalam asma, maka inhalasi steroid bersamaan preparat inhalasi beta dua
adrenergik lebih sering diresepkan. Penggunaan inhalasi steroid memastikan bahwa obat mencapai lebih
dalam ke dalam paru dan tidak menyebabkan efek samping yang berkaitan dengan steroid oral.
Direkomendasikan bahwa inhalasi beta dua adrenergik diberikan terlebih dahulu untuk membuka jalan
nafas, kemudian inhalasi steroid akan menjadi lebih berguna.
2. Penatalaksanaan medis untuk bronkhitis kronis didasarkan pada pemeriksaan fisik, radiogram dada, uji
fungsi pulmonari, dan analisis gas darah. Pemeriksaan ini mencerminkan sifat progresif dari penyakit.
Pengobatan terbaik untuk bronkitis kronis adalah pencegahan, karena perubahan patologis yang terjadi pada
penyakit ini bersifat tidak dapat pulih (irreversible). Ketika individu mencari bantuan medis untuk
mengatasi gejala, kerusakan jalan nafas sudah terjadi sedemikian besar.
Jika individu berhenti merokok, progresi penyakit dapat ditahan. Jika merokok dihentikan sebelum terjadi
gejala, resiko bronkhitis kronis dapat menurun dan pada akhirnya mencapai tingkat seperti bukan perokok.
Bronkodilator, ekspektoran, dan terapi fisik dada diterapkan sesuai yang dibutuhkan. Penyuluhan
kesehatan untuk individu termasuk konseling nutrisi, hygiene respiratory, pengenalan tanda-tanda dini
infeksi, dan teknik yang meredakan dispnea, seperti bernafas dengan bibir dimonyongkan, beberapa
individu mendapat terapi antibiotik profilaktik, terutama selama musim dingin. Pemberian steroid sering
diberikan pada proses penyakit tahap lanjut.
3. Penatalaksanaan medis bronkhiektasis termasuk pemberian antibiotik, drainase postural untuk membantu
mengeluarkan sekresi dan mencegah batuk, dan bronkoskopi untuk mengeluarkan sekresi yang mengental.
Pemeriksaan CT Scan dilakukan untuk menegakkan diagnosa. Terkadang diperlukan tindakan pembedahan
bagi klien yang terus mengalami tanda dan gejala meski telah mendapat terapi medis. Tujuan utama dari
pembedahan ini adalah untuk memulihkan sebanyak mungkin fungsi paru. Biasanya dilakukan
segmentektomi atau lubektomi. Beberapa klien mengalami penyakit dikedua sisi parunya, dalam kondisi
seperti ini, tindakan pembedahan pertama-tama dilakukan pada bagian paru yang banyak terkena untuk
melihat seberapa jauh perbaikan yang terjadi sebelum mengatasi sisi lainnya.
4. Penatalaksanaan medis emfisema adalah untuk memperbaiki kualitas hidup, memperlambat progresi
penyakit, dan mengatasi obstruksi jalan nafas untuk menghilangkan hipoksia. Pendekatan terapeutik
menurut Asih (2003) mencakup tindakan pengobatan dimaksudkan untuk mengobati ventilasi dan
menurunkan upaya bernafas, pencegahan dan pengobatan cepat infeksi, terapi fisik untuk memelihara dan
meningkatkan ventilasi pulmonal, memelihara kondisi lingkungan yang sesuai untuk memudahkan
pernafasan dan dukungan psikologis serta penyuluhan rehabilitasi yang berkesinambungan.

H. Penatalaksanaan Keperawatan
1. Pengkajian
Pengkajian pada pasien dengan Penyakit paru Obstruksi Kronis menurut Doenges (2000) adalah :
a. Aktivitas dan istirahat
1) Gejala :
a) Keletihan, kelemahan, malaise.
b) Ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari karena sulit bernafas.
c) Ketidakmampuan untuk tidur, perlu tidur dalam posisi duduk tinggi.
d) Dispnea pada saat istirahat atau respons terhadap aktivitas atau latihan.
2) Tanda :
a) Keletihan.
b) Gelisah, insomnia.
c) Kelemahan umum atau kehilangan masa otot.

b. Sirkulasi
1) Gejala
a) Pembengkakan pada ekstrimitas bawah.
2) Tanda :
a) Peningkatan tekanan darah.
b) Peningkatan frekuensi jantung atau takikardia berat atau disritmia.
c) Distensi vena leher atau penyakit berat.
d) Edema dependen, tidak berhubungan dengan penyakit jantung.
e) Bunyi jantung redup (yang berhubungan dengan diameter AP dada)
f) Warna kulit atau membrane mukosa normal atau abu-abu atau sianosis, kuku tabuh dan sianosis perifer.
g) Pucat dapat menunjukkan anemia.
c. Integritas ego
1) Gejala :
a) Peningkatan faktor resiko.
b) Perubahan pola hidup.
2) Tanda :
a) Ansietas, ketakutan, peka rangsang.
d. Makanan atau cairan
1) Gejala :
a) Mual atau muntah.
b) Nafsu makan buruk atau anoreksia (emfisema).
c) Ketidakmampuan untuk makan karena distress pernafasan.
d) Penurunan berat badan menetap (emfisema), peningkatan berat badan menunjukkan edema (bronchitis).
2) Tanda :
a) Turgor kulit buruk.
b) Edema dependen.
c) Berkeringat.
d) Penurunan berat badan, penurunan masa otot atau lemak subkutan (emfisema).
e) Palpasi abdominal dapat menyatakan hepatomegali (bronchitis).
e. Hygiene
1) Gejala :
a) Penurunan kemampuan atau peningkatan kebutuhan bantuan melakukan aktivitas sehai-hari.
2) Tanda :
a) Kebersihan buruk, bau badan.
f. Pernafasan
1) Gejala :
a) Nafas pendek, umumnya tersembunyi dengan dispnea sebagai gejala menonjol pada emfisema ,
khususnya pada kerja, cuaca atau episode berulangnya sulit nafas (asma), rasa dada tertekan,
ketidakmampuan untuk bernafas (asma).
b) Lapar udara kronis.
c) Batuk menetap dengan produksi sputum setiap hari terutama saat bangun selama minimal 3 bulan berturut-
turut tiap tahun sedikitnya 2 tahun. Produksi sputum (hijau, putih atau kuning) dapat banyak sekali
(bronkhitis kronis).
d) Episode batuk hilang-timbul, biasanya tidak produktif pada tahap dini meskipun dapat menjadi produktif
(emfisema).
e) Riwayat pneumonia berulang, terpajan oleh polusi kimia atau iritan pernafasan dalam jangka panjang
misalnya rokok sigaret atau debu atau asap misalnya asbes, debu batubara, rami katun, serbuk gergaji.
f) Faktor keluarga dan keturunan misalnya defisiensi alfa antritipsin (emfisema).
g) Penggunaan oksigen pada malam hari atau terus menerus.

2) Tanda :
a) Pernafasan biasanya cepat, dapat lambat, fase ekspirasi memanjang dengan mendengkur, nafas bibir
(emfisema).
b) Lebih memilih posisi 3 titik (tripot) untuk bernafas khususnya dengan eksasebrasi akut (bronchitis kronis).
c) Penggunaan otot bantu pernafasan misalnya meninggikan bahu, retraksi fosa supraklavikula, melebarkan
hidung.
d) Dada dapat terlihat hiperinflasi dengan peninggian diameter AP (bentuk barrel chest), gerakan diafragma
minimal.
e) Bunyi nafas mungkin redup dengan ekspirasi mengi (emfisema), menyebar, lembut, atau krekels lembab
kasar (bronkhitis), ronki, mengi, sepanjang area paru pada ekspirasi dan kemungkinan selama inspirasi
berlanjut sampai penurunan atau tak adanya bunyi nafas (asma).
f) Perkusi ditemukan hiperesonan pada area paru misalnya jebakan udara dengan emfisema, bunyi pekak
pada area paru misalnya konsolidasi, cairan, mukosa.
g) Kesulitan bicara kalimat atau lebih dari 4 sampai 5 kata sekaligus.
h) Warna pucat dengan sianosis bibir dan dasar kuku. Keabu-abuan keseluruhan, warna merah (bronkhitis
kronis, biru menggembung). Pasien dengan emfisema sedang sering disebut pink puffer karena warna kulit
normal meskipun pertukaran gas tak normal dan frekuensi pernafasan cepat.
i) Tabuh pada jari-jari (emfisema).
g. Keamanan
1) Gejala :
a) Riwayat reaksi alergi atau sensitive terhadap zat atau faktor lingkungan.
b) Adanya atau berulangnya infeksi.
c) Kemerahan atau berkeringan (asma).
h. Seksualitas
1) Gejala :
a) Penurunan libido.
i. Interaksi sosial
1) Gejala :
a) Hubungan ketergantungan.
b) Kurang sistem pendukung.
c) Kegagalan dukungan dari atau terhadap pasangan atau orang terdekat.
d) Penyakit lama atau kemampuan membaik.
2) Tanda :
a) Ketidakmampuan untuk membuat atau mempertahankan suara karena distress pernafasan.
b) Keterbatasan mobilitas fisik.
c) Kelalaian hubungan dengan anggota keluarga lain.
j. Penyuluhan atau pembelajaran
1) Gejala :
a) Penggunaan atau penyalahgunaan obat pernafasan.
b) Kesulitan menghentikan merokok.
c) Penggunaan alkohol secara teratur.
d) Kegagalan untuk membaik.
2) Rencana pemulangan :
a) Bantuan dalam berbelanja, transportasi, kebutuhan perawatan diri, perawatan rumah atau
mempertahankan tugas rumah.
b) Perubahan pengobatan atau program terapeutik.
Engram (2000) menambahkan pengkajian data dasar pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi
Kronis adalah :
a. Riwayat atau adanya faktor-faktor penunjang :
1) Merokok produk tembakau (faktor-faktor penyebab utama).
2) Tinggal atau bekerja di area dengan polusi udara berat.
3) Riwayat alergi pada keluarga.
4) Riwayat asma pada masa kanak-kanak.
b. Riwayat atau adanya faktor-faktor yang dapat mencetuskan eksaserbasi, seperti alergen (serbuk, debu,
kulit, serbuk sari, jamur) stress emosional, aktivitas fisik berlebihan, polusi udara, infekasi saluran nafas,
kegagalan program pengobatan yang dianjurkan.
c. Pemeriksaan fisik yang berdasarkan pengkajian sistem pernafasan (Apendiks A) yang meliputi :
1) Manifestasi klasik dari Penyakit Paru Obstruksi Kronis adalah :
a) Peningkatan dispnea (paling sering ditemukan).
b) Penggunaan otot-otot aksesori pernafasan (retraksi otot-otot abdominal, mengangkat bahu saat inspirasi,
nafas cuping hidung).
c) Penurunan bunyi nafas.
d) Takipnea.
e) Ortopnea.
2) Gejala – gejala menetap pada proses penyakit dasar :
a) Asma
(1) Batuk (mungkin produktif atau non produktif) dan perasaan dada
seperti terikat.
(2) Mengi saat inspirasi dan ekspirasi, yang sering terdengar tanpa
stetoskop.
(3) Pernafasan cuping hidung.
(4) Ketakutan dan diaforesis.
b) Bronkitis
(1) Batuk produktif dengan sputum berwarna putih keabu-abuan, yang biasanya terjadi pada pagi hari dan
sering diabaikan oleh perokok (disebut batuk perokok).
(2) Inspirasi ronkhi kasar (crackles) dan mengi.
(3) Sesak nafas.

c) Bronkitis (Tahap Lanjut)


(1) Penampilan sianosis (karena polisitemia yang terjadi akibat dari hipoksemia kronis)
(2) Pembengkakan umum atau penampilan “puffy” (disebabkan oleh udema asistemik yang terjadi sebagai
akibat dari kor pulmonal), secara klinis, pasien ini umumnya disebut “blue bloaters”.
d) Emfisema
(1) Penampilan fisik kurus dengan dada “barrel chest” (diameter toraks anterior posterior meningkat sebagai
akibat hiperinflasi paru-paru).
(2) Fase ekspirasi memanjang.
e) Emfisema (Tahap Lanjut)
(1) Hipoksemia dan hiperkapnia tetapi tak ada sianosis pasien ini sering digambarkan secara klinis sebagai
“pink puffers“.
(2) Jari-jari tabuh.
d. Pemeriksaan diagnostik :
1) Gas darah arteri (GDA) menunjukkan PaO2 rendah dan PaCO2 tinggi.
2) Sinar x dada menunjukkan hiperinflasi paru-paru, pembesaran jantung dan bendungan pada area paru-
paru.
3) Pemeriksaan fungsi pru menunjukkan peningkatan kapasitas paru-paru total (KPT) dan volume cadangan
paru (VC), penurunan kapasitas vital (KV), dan volume ekspirasi kuat (VEK).
4) Jumlah Darah Lengkap menunjukkan peningkatan hemoglobin, hematokrit, dan jumlah darah merah
(JDM).
5) Kultur sputum positif bila ada infeksi.
6) Esei imunoglobin menunjukkan adanya peningkatan IgE serum (Immunoglobulin E) jika asma
merupakan salah satu komponen dari penyakit tersebut.

e. Kaji persepsi diri sendiri tentang mengalami penyakit kronis.


f. Kaji berat badan dan rata-rata masukkan cairan dan diet harian.
2. Fokus Intervensi
Diagnosa Keperawatan pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut Doenges (2000)
adalah :
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan bronkospasma, peningkatan produksi sekret,
sekresi tertahan, tebal, sekresi kental, penurunan energi atau kelemahan.
b. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan ganguan supply oksigen (obstruksi jalan nafas oleh
sekresi, spasma bronkus, jebakan udara), kerusakan alveoli.
c. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan dispnea, kelemahan, efek samping
obat, produksi sputum, anoreksia, mual atau muntah.
d. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan utama (penurunan kerja
silia, menetapnya sekret), tidak adekuatnya imunitas (kerusakan jaringan, peningkatan pemajanan pada
lingkungan), proses penyakit kronis, malnutrisi.
Engram (2000) menambahkan diagnose keperawatan pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi
Kronis adalah :
a. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan supply O2.
b. Gangguan pola tidur berhubungan dengan batuk menetap.
Intervensi Keperawatan pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut Doenges (2000)
adalah :
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan bronkospasma, peningkatan produksi sekret,
sekresi tertahan, tebal, sekresi kental, penurunan energi atau kelemahan.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan pasien akan mempertahankan jalan
nafas yang paten dengan bunyi nafas bersih atau jelas dengan kriteria hasil pasien akan menunjukkan
perilaku untuk memperbaiki bersihan jalan nafas misalnya batuk efektif dan mengeluarkan sekret.
Intervensi :
Mandiri :
1) Auskultasi bunyi nafas. Catat adanya bunyi nafas misalnya mengi, krekels, ronkhi.
2) Kaji atau pantau frekuensi pernafasan. Catat rasio inspirasi atau ekspirasi.
3) Catat adanya derajat dispnea, misalnya keluhan lapar udara, gelisah, ansietas, distress pernafasan,
penggunaan otot bantu.
4) Kaji pasien untuk posisi yang nyaman, misalnya peninggian kepala tempat tidur, duduk pada sandaran
tempat tidur.
5) Dorong atau bantu latihan nafas abdomen atau bibir.
6) Observasi karakteristik batu, misalnya batuk menetap, batuk pendek, basah. Bantu tindakan untuk
memperbaiki keefektifan upaya batuk.
7) Tingkatkan masukan cairan sampai 3000 ml/hari sesuai toleransi jantung. Memberikan air hangat.
Anjurkan masukan cairan antara sebagai pengganti makanan.
Kolaborasi :
1) Berikan obat sesuai indikasi.
a) Bronkodilator misalnya albuterol (ventolin).
b) Analgesik, penekan batuk atau antitusif misalnya dextrometorfan.
c) Berikan humidifikasi tambahan misalnya nebulizer ultranik, humidifier aerosol ruangan.
d) Bantu pengobatan pernafasan misalnya fisioterapi dada.
b. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan ganguan supply oksigen (obstruksi jalan nafas oleh
sekresi, spasma bronkus, jebakan udara), kerusakan alveoli.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan pasien menunjukkan perbaikan
ventilasi dan oksigenasi jaringan adekuat dengan GDA dalam rentang normal dan bebas gejala distress
pernafasan dengan kriteria hasil pasien akan berpartisipasi dalam program pengobatan dalam tingkat
kemampuan atau situasi.
Intervensi :
Mandiri :
1) Kaji frekuensi, kedalaman pernafasan. Catat penggunaan otot aksesori, nafas bibir, ketidakmampuan
berbicara atau berbincang.
2) Tinggikan kepala tempat tidur, bantu pasien untuk memilih posisi yang mudah untuk bernafas. Dorong
nafas dalam perlahan atau nafas bibir sesuai kebutuhan atau toleransi individu.
3) Kaji atau awasi secara rutin kulit dan warna membran mukosa.
4) Dorong mengeluarkan sputum, penghisapan bila di indikasikan.
5) Auskultasi bunyi nafas, catat area penurunan aliran udara dan atau bunyi tambahan.
6) Palpasi fremitus.
7) Awasi tingkat kesadaran atau status mental. Selidiki adanya perubahan.
8) Evaluasi tingkat toleransi aktivitas. Berikan lingkungan tenang dan kalem. Batasi aktivitas pasien atau
dorong untuk tidur atau istirahat di kursi selama fase akut. Mungkinkan pasien melakukan aktivitas secara
bertahap dan tingkatkan sesuai toleransi individu.
9) Awasi tanda vital dan irama jantung.
Kolaborasi :
1) Awasi dan gambarkan seri GDA dan nadi oksimetri.
2) Berikan oksigen tambahan yang sesuai dengan indikasi hasil GDA dan toleransi pasien.
3) Berikan penekan SSP (antiansietas, sedative, atau narkotik) dengan hati-hati.
4) Bantu intubasi, berikan atau pertahankan ventilasi mekanik dan pindahkan ke UPI sesuai instruksi untuk
pasien.
c. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan dispnea, kelemahan, efek samping
obat, produksi sputum, anoreksia, mual atau muntah.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan pasien menunjukkan peningkatan
berat badan menuju tujuan yang tepat dengan kriteria hasil pasien akan menunjukkan perilaku atau
perubahan pola hidup untuk meningkatkan dan atau mempertahankan berat yang tepat.
Intervensi :
Mandiri :
1) Kaji kebiasaan diet, masukan makanan saat ini. Catat derajat kesulitan makanan. Evaluasi berat badan
dan ukuran tubuh.
2) Auskultasi bunyi usus.
3) Berikan perawatan oral sering, buang sekret, berikan wadah khusus untuk sekali pakai dan tisu.
4) Dorong periode istirahat selama 1 jam sebelum dan sesudah makan. Berikan makan porsi kecil tapi sering.
5) Hindari makanan penghasil gas dan minuman karbonat.
6) Hindari makanan yang sangat panas atau yang sangat dingin.
7) Timbang berat badan sesuai indikasi.
Kolaborasi :
1) Konsul ahli gizi atau nutrisi pendukung tim untuk memberikan makanan yang mudah dicerna, secara
nutrisi seimbang, misalnya nutrisi tambahan oral atau selang, nutrisi parenteral.
2) Kaji pemeriksaan laboratorium misalnya glukosa, elektrolit. Berikan vitamin atau mineral atau elektrolit
sesuai indikasi.
3) Berikan oksigen tambahan selama makan sesuai indikasi.

d. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan utama (penurunan kerja
silia, menetapnya sekret), tidak adekuatnya imunitas (kerusakan jaringan, peningkatan pemajanan pada
lingkungan), proses penyakit kronis, malnutrisi.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan pasien menyatakan pemahaman
penyebab atau faktor resiko individu dengan kriteria hasil pasien akan mengidentifikasi intervensi untuk
mencegah atau menurunkan resiko infeksi dan pasien akan menunjukkan teknik, perubahan pola hidup
untuk meningkatkan lingkungan yang aman.
Intervensi :
Mandiri :
1) Awasi suhu.
2) Kaji pentingnya latihan nafas, batuk efektif, perubahan posisi sering, dan masukan cairan adekuat.
3) Observasi warna, karakter, bau sputum.
4) Tunjukkan dan bantu pasien tentang pembuangan tisu dan sputum. Tekankan cuci tangan yang benar
(perawat dan pasien) dan penggunaan sarung tangan bila memegang atau membuang tisu, wadah sputum.
5) Awasi pengunjung, berikan masker sesuai indikasi.
6) Dorong keseimbangan antara aktivitas dan istirahat.
7) Diskusikan kebutuhan masukan nutrisi adekuat.
Kolaborasi :
1) Dapatkan spesimen sputum dengan batuk atau penghisapan untuk pewarnaan kuman gram, kultur atau
sensitivitas.
2) Berikan antimikrobial sesuai indikasi.

Engram (2000) menambahkan intervensi keperawatan pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi
Kronis adalah :
a. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan supply O2.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan pasien menunjukkan peningkatan
toleransi terhadap aktivitas dengan kriteria hasil menurunnya keluhan tentang nafas pendek dan lemah
dalam melaksanakan aktivitas.
Intervensi :
1) Pantau nadi dan frekuensi nafas sebelum dan sesudah beraktivitas.
2) Lakukan penghematan energi dalam melaksanakan prosedur berikut :
a) Berikan bantuan dalam melaksanakan AKS sesuai dengan yang diperlukan.
b) Sediakan interval waktu diantara kegiatan untuk memungkinkan istirahat diantara kegiatan.
c) Tingkatkan aktivitas secara bertahap sejalan dengan peningkatan hasil gas darah arteri dan dapat
diantisipasinya tanda dan gejala dari penekanan pernafasan.
d) Berikan makanan dalam porsi kecil tapi sering dengan makanan yang mudah dikunyah.
b. Gangguan pola tidur berhubungan dengan batuk menetap.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan kebutuhan tidur terpenuhi dengan
kriteria hasil melaporkan perasaan dapat istirahat.
Intervensi :
1) Jika ada pengobatan untuk paru-paru aturlah pemberian obat tersebut untuk diberikan sebelum waktu
tidur. Berikan obat anntitusif yang diprogramkan.
2) Pastikan ventilasi ruangan baik. Atur pengadaan humidifier udara jika diperlukan. Anjurkan penggunaan
oksigen selama tidur jika diperlukan.
3) Pertahankan ruangan bebas dari bahan iritan seperti asap, serbuk bunga dan pengharum ruangan.
4) Pada waktu tidur, ijinkan pasien mandi dengan pancuran air hangat atau mandi biasa.
5) Bantu pasien untuk mnedapatkan posisi yang nyaman, biasanya dengan meninggikan bagian kepala
tempat tidur sekitar 30 derajat.
BAB III
RESUME KEPERAWATAN

A. Pengkajian
Pengkajian dilakukan pada tanggal 4 Februari 2014 pukul 08.00 di Ruang Asoka RS Margono
Soekardjo Purwokerto, sumber data berasal dari pasien, keluarga pasien, perawat dan catatan medis. Data
hasil pengkajian ditemukan sebagai berikut :
Pasien bernama Tn. B berumur 50 tahun, jenis kelamin laki-laki, alamat purwokerto, status sudah
menikah, beragama islam, suku jawa, pendidikan terakhir pasien SMP, pekerjaan buruh. Sedangkan
penanggung jawab pasien adalah adik pasien yang bernama Tn. R, umur 40 tahun, dan beralamat di
purwokerto.
Keluhan utama pasien yaitu pasien mengeluh sesak nafas. Keluhan tambahan yang dirasakan pasien
adalah pasien merasakan dada yang tertekan dan kesulitan bernafas, batuk yang disertai dengan sputum,
warna sputum putih. Pasien mengatakan riwayat merokok, serta bekerja di pabrik pemotongan kayu, pasien
mengatakan sering mengalami pilek dan batuk setelah terpapar serbuk kayu, pasien terlihat kesulitan
berbicara. Pasien mengatakan letih dan lemah setelah melakukan aktivitas sehari-hari karena kesulitan
bernafas, sesak nafas saat istirahat setelah beraktivitas, pasien terlihat letih, pasien dibantu oleh anggota
keluarganya untuk melakukan aktivitas seperti untuk ambulasi atau berpindah tempat, mandi dan toileting.
Pasien mengatakan kesulitan untuk tidur karena batuk yang bertambah di malam hari, pasien mengatakan
tidak dapat beristirahat dengan baik, pasien sering terbangun saat tidur di malam hari, pasien mengatakan
terbangun 4 kali di malam hari, pasien tidur selama 5 jam sehari.
Riwayat penyakit saat ini antara lain pasien dibawa ke IGD RSUD Margono Soekardjo pada hari
minggu tanggal 2 Februari 2014 dengan keluhan sesak nafas dan lemas, di IGD mendapat therapy infuse
RL 10 tpm, injeksi furosemid 2 x 10 mg, O2 3 liter permenit. Pasien dipindah ke ruang soka tanggal 3
februari 2014 dan diberi therapy oksigen 3 liter permenit, injeksi cefotaxime 1 gram, injeksi ranitidine 30
mg, injeksi methylprednisolone 62,5 mg, nebulizer ventolin 2 x 2,5 mg, nebulizer flixotide 3 hari sekali 0,5
mg serta sirup dextromethorphan 3 x 5 ml. Riwayat penyakit dahulu, pasien mengatakan pernah menderita
penyakit yang sama, tetapi belum pernah dirawat dan hanya kontrol saja di RS daerah Karang Jambu.
Pada pola pengkajian aktivitas dan latihan, sebelum sakit pasien mengatakan aktivitas sehari-hari
(Activity Daily Learning) dilakukan secara mandiri seperti untuk berpindah, mandi dan toileting. Sedangkan
saat sakit pasien mengatakan letih dan lemah setelah melakukan aktivitas sehari-hari karena kesulitan
bernafas, sesak nafas saat istirahat setelah beraktivitas, pasien terlihat letih, pasien dibantu oleh anggota
keluarganya untuk melakukan aktivitas seperti untuk ambulasi atau berpindah tempat, mandi dan toileting.
Pada pola aktivitas dan latihan pasien didapatkan hasil sebagai berikut untuk berpindah, mandi dan toileting
pasien di bantu oleh orang lain atau anggota keluarganya dengan skor penilaian 2.
Pada pola istirahat tidur, pasien mengatakan sebelum sakit pasien dapat tidur dengan nyenyak, tidur
selama ± 8 jam, pasien juga dapat tidur siang selama 1 jam. Pasien mengatakan kesulitan untuk tidur karena
batuk yang bertambah di malam hari, pasien mengatakan tidak dapat beristirahat dengan baik, pasien sering
terbangun saat tidur di malam hari, pasien terbangun 4 kali di malam hari, pasien tidur selama 5 jam sehari.
Dari pemeriksaan fisik pada Tn. B ditemukan hasil pemeriksaan tanda-tanda vital meliputi keadaan
umum pasien cukup, GCS15 : E4M5V6, tekanan darah 110/60 mmHg, nadi 88 x/ menit, suhu badan 36,6oc,
respirasi 28 x/menit.
Pada pemeriksaan head to toe diperoleh hasil, pemeriksaan kepala : mesochepal, rambut hitam bersih,
tidak ada ketombe. Pada memeriksaan mata kedua mata sembab, kedua kelopak mata bawah terlihat hitam,
kedua mata simetris, konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, tidak menggunakan alat bantu
penglihatan. Pemeriksaan hidung : lubang hidung simetris, tidak ada polip, bersih, tidak ada sekret, dan
dapat mencim bau dengan baik. Pemeriksaan telinga : simetris, bersih, tidak ada serumen, tidak
menggunakan alat bantu pendengaran. Pemeriksaan leher tidak ada pembesaran kelenjar thyroid.
Pada pemeriksaan paru : inspeksi : simetris, adanya bentuk dada seperti tong, terlihat meninggikan bahu
untuk bernafas, pengembangan dada kanan dan kiri sama, palpasi : vokal fremitus sama kanan dan kiri,
perkusi : bunyi pekak pada paru-paru, auskultasi : bunyi nafas mengi, ronkhi pada paru bagian kanan dan
wheezing pada paru bagian kiri. Pada pemeriksaan jantung : inspeksi : simetris, ictus kordis tidak tampak,
palpasi : ictus cordis teraba, teratur dan tidak terlalu kuat, perkusi : bunyi pekak, tidak ada pelebaran,
auskultasi : bunyi jantung murni, tidak ada suara tambahan.
Pada pemeriksaan abdomen, inspeksi : simetris, tidak ada luka bekas operasi, auskultasi : peristalik
usus 8 x/menit, perkusi : timpani, palpasi : tidak ada nyeri tekan. Pada pemeriksaan genetalia : bersih, tidak
terpasang kateter. Pada pemeriksaan ekstrimitas, ekstrimitas atas kanan dapat bergerak bebas. Kiri :
terpasang infuse RL 20 tpm. Ektrimitas bawah tidak ada udema, pasien dapat bergerak bebas.
Pada pemeriksaan penunjang, hasil pemeriksaan yang dilakukan pada tanggal 2 Februari untuk
pemeriksaan laboratorium meliputi : leukosit 9120/UL, glukosa sewaktu 196 mg/dL, natrium 139 mmol/L,
kalium 3,8 mmol/L, klorida 97 mmol/L. Pada tanggal 3 Februari 2014 untuk pemeriksaan sputum meliputi
: BTA I negative, lekosit positif, epithel positif. Pemeriksaan tanggal 4 Februari 2014 dengan pewarnaan
ZN 2 x BTA II negative, lekosit positif, epithel positif, pewarnaan 3 x, BTA III negative, lekosit positif,
epithel positif. Pada pemeriksaan rontgen didapatkan kesan penyakit paru obstruksi kronis (PPOK).
Terapi yang diperoleh pasien pada tanggal 4-7 Februari 2014 antara lain O2 3 liter permenit, Infus RL
20 tpm, Injeksi Cefotaxime 2 x 1 gr, Injeksi Ranitidine 2 x 30 mg, Injeksi Methylprednisolone 2 x 62,5 mg,
Nebulizer ventolin 2 x 2,5 mg, flixotide 3 hari sekali 0,5 mg, Sirup Dextromethorphan 3 x 5 ml.

B. Analisa Data
1. Analisa Data
Tabel 3.1 Analisa Data
Tangga Data Penyebab Masalah
l
4 DS : pasien mengeluh sesak nafas, Peningkatan Bersihan jalan
Februa pasien merasakan dada yang produksi sekret nafas tidak
ri 2014 tertekan, pasien mengatakan efektif
riwayat merokok, serta bekerja
di pabrik pemotongan kayu,
pasien mengatakan sering
mengalami pilek dan batuk
setelah terpapar serbuk kayu,
DO : pasien terlihat kesulitan bernafas,
batuk yang disertai dengan
sputum, warna sputum putih,
pasien terlihat kesulitan
berbicara, adanya bentuk dada
seperti tong, terlihat
meninggikan bahu untuk
bernafas, pada perkusi
ditemukan bunyi pekak pada
paru, auskultasi : bunyi nafas
mengi, ronkhi pada paru bagian
kanan dan wheezing pada paru
bagian kiri, terpasang O2 3 liter
permenit, respirasi 28 x/menit.
4 DS : pasien mengatakan letih dan Ketidakseimba Intoleransi
Februa lemah setelah melakukan ngan supply O2 aktivitas
ri 2014 aktivitas sehari-hari karena
kesulitan bernafas, sesak nafas
saat istirahat setelah
beraktivitas.
DO : pasien terlihat letih, pasien
dibantu oleh anggota
keluarganya untuk melakukan
aktivitas seperti untuk ambulasi
atau berpindah tempat, mandi
dan toileting.
4 DS : pasien mengatakan kesulitan Batuk Gangguan
Februa untuk tidur karena batuk yang pola tidur
ri 2014 bertambah d malam hari,
pasien mengatakan tidak dapat
beristirahat dengan baik.
DO : pasien sering terbangun saat
tidur di malam hari, pasien
terbangun 4 kali di malam hari,
pasien tidur selama 5 jam
sehari.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Diagnosa keperawatan yang muncul adalah :
1) Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan produksi sekret ditandai dengan :
DS : pasien mengeluh sesak nafas, pasien merasakan dada yang tertekan, pasien mengatakan riwayat
merokok, serta bekerja di pabrik pemotongan kayu, pasien mengatakan sering mengalami pilek dan batuk
setelah terpapar serbuk kayu.
DO : pasien terlihat kesulitan bernafas, batuk yang disertai dengan sputum, warna
sputum putih, pasien terlihat kesulitan berbicara, adanya bentuk dada seperti tong, terlihat meninggikan
bahu untuk bernafas, pada perkusi ditemukan bunyi pekak pada paru, auskultasi : bunyi nafas mengi, ronkhi
pada paru bagian kanan dan wheezing pada paru bagian kiri, terpasang O2 3 liter permenit, respirasi 28
x/menit.
2) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan supply O2 ditandai dengan :
DS : pasien mengatakan letih dan lemah setelah melakukan aktivitas sehari-hari karena
kesulitan bernafas, sesak nafas saat istirahat setelah beraktivitas.
DO : pasien terlihat letih, pasien dibantu oleh anggota keluarganya untuk melakukan
aktivitas seperti untuk ambulasi atau berpindah tempat, mandi dan toileting.
3) Gangguan pola tidur berhubungan dengan batuk ditandai dengan :
DS : pasien mengatakan kesulitan untuk tidur karena batuk yang bertambah di malam
hari, pasien mengatakan tidak dapat beristirahat dengan baik.
DO : pasien sering terbangun saat tidur di malam hari, pasien terbangun 4 kali di malam
hari, pasien tidur selama 5 jam sehari.
b. Diagnosa keperawatan prioritas
1) Diagnosa keperawatan prioritas hari pertama tanggal 4 Februari 2014 adalah diagnosa 1, 2, 3.
2) Diagnosa keperawatan prioritas hari kedua tanggal 5 Februari 2014 adalah diagnosa 1, 2, 3.
3) Diagnosa keperawatan prioritas hari ketiga tanggal 7 Februari 2014 adalah diagnosa 1.

C. Intervensi, Implementasi dan Evaluasi Keperawatan.


1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan produksi sekret.
Tujuan dari diagnosa keperawatan ini adalah setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24
jam diharapkan pasien akan mempertahankan jalan nafas yang paten dengan bunyi nafas bersih atau jelas
dengan kriteria hasil pasien akan menunjukkan perilaku untuk memperbaiki bersihan jalan nafas misalnya
batuk efektif dan mengeluarkan sekret.
Intervensi dari diagnosa keperawatan ini yaitu auskultasi bunyi nafas, catat adanya bunyi nafas
misalnya mengi, krekels, ronkhi. Kaji atau pantau frekuensi pernafasan. Catat adanya penggunaan otot
bantu pernafasan. Kaji pasien untuk posisi yang nyaman, misalnya peninggian kepala tempat tidur, duduk
pada sandaran tempat tidur. Dorong atau bantu latihan nafas abdomen atau bibir. Observasi karakteristik
batuk, misalnya batuk menetap, batuk pendek, basah. Bantu tindakan untuk memperbaiki keefektifan upaya
batuk. Tingkatkan masukan cairan sampai 3000 ml/hari sesuai toleransi jantung. Memberikan air hangat.
Berikan obat sesuai indikasi : bronkodilator misalnya albuterol (ventolin), analgesik, penekan batuk atau
antitusif misalnya dextrometorfan, berikan humidifikasi tambahan misalnya nebulizer, bantu pengobatan
pernafasan misalnya fisioterapi dada.
Implementasi yang dilakukan pada diagnosa keperawatan bersihan jalan nafas tak efektif pada tanggal
4-7 Februari 2014 adalah mengobservasi keadaan pasien, evaluasi respon yang diperoleh adalah pasien
mengatakan sesak nafas berkurang. Mengkaji frekuensi pernafasan, evaluasi respon yang diperoleh adalah
respirasi 24 x/menit. Memberikan posisi semifowler pada pasien, evaluasi respon yang diperoleh adalah
pasien merasa nyaman dengan posisi semifowler. Mencatat adanya penggunaan otot bantu pernafasan,
evaluasi respon yang diperoleh adalah pasien terlihat meninggikan bahu untuk bernafas. Melakukan
auskultasi suara nafas tambahan pada pasien, evaluasi respon yang diperoleh adalah suara nafas mengi,
suara paru ronkhi pada bagian paru kanan. Memberikan terapi nebulizer ventolin 2,5 mg, evaluasi respon
yang diperoleh adalah pasien merasa lega setelah dilakukan nebulizer, nebulizer ventolin masuk 2,5 mg via
inhalasi. Mengoservasi karakteristik batuk, evaluasi respon yang didapat adalah pasien mengalami batuk
basah. Memberikan terapi analgesik dan penekan batuk yaitu sirup dextrometorfan 5 ml, evaluasi respon
yang diperoleh adalah pasien berharap batuk bisa berkurang, pasien minum obat dextrometorfan 5 ml.
Mengajarkan kepada pasien untuk latihan nafas dengan bibir di monyongkan, evaluasi respon yang
diperoleh adalah pasien dapat mempraktekkan latihan nafas dengan bibir yang dimonyongkan. Memberikan
terapi nebulizer flixotide 0,5 mg, evaluasi respon yang diperoleh adalah pasien mengatakan lega setelah
dilakukan nebulizer, nebulizer flixotide 0,5 mg masuk via inhalasi. Mengajurkan untuk minum air matang
hangat saat pagi hari agar dahak dapat keluar, evaluasi respon yang diperoleh adalah pasien mengerti
tentang anjuran yang diberikan. Melakukan fisioterapi dada, evaluasi respon yang diperoleh adalah pasien
berkenan dilakukan fisioterapi dada. Mengajarkan batuk efektif untuk mengeluarkan dahak, evaluasi respon
yang diperoleh adalah pasien mengatakan lega, pasien dapat mempraktekkan batuk efektif, dahak dapat
keluar, warna dahak putih purulen.
Evaluasi untuk diagnosa keperawatan bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan
peningkatan produksi sekret pada hari Jumat, tanggal 7 Februari 2014 pukul 21.00 adalah :
S : Pasien mengatakan sesak nafas berkurang, pasien mengatakan lega setelah dilakukan nebulizer
karena pasien dapat mengeluarkan dahak, pasien mengatakan batuk berkurang setelah minum obat
dextrometorfan sirup, respirasi 24 x/menit.
O : Nebulizer ventolin 2,5 masuk via inhalasi, sekret keluar berwarna putih purulen, suara nafas
mengi dan ronkhi pada paru kanan masih ada, wheezing sudah menghilang, pasien dapat mempraktekkan
batuk efektif.
A : Diagnosa keparawatan bersihan jalan nafas tidak efektif belum teratasi.
P : Lanjutkan intervensi :
a. Auskultasi suara nafas tambahan
b. Berikan terapi nebulizer
c. Anjurkan untuk meningkatkan intake cairan dengan minum air matang hangat agar sekret dapat keluar.
2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan supply O2.
Tujuan dari diagnosa keperawatan ini adalah setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24
jam diharapan pasien menunjukkan peningkatan toleransi terhadap aktivitas dengan kriteria hasil
menurunnya keluhan tentang nafas pendek dan lemah dalam melaksanakan aktivitas.
Intervensi untuk diagnosa keperawatan intoleransi aktivitas berhubungan dengan kerusakan pertukaran
gas adalah pantau frekuensi nafas sebelum dan sesudah beraktivitas, berikan bantuan dalam melaksanakan
aktivitas sesuai yang diperlukan, sediakan waktu untuk istirahat, tingkatkan aktivitas secara bertahap,
berikan makan dalam porsi kecil tapi sering.
Implementasi yang dilakukan untuk diagnosa keperawatan intoleransi aktivitas pada tanggal 4-7
Februari 2014 adalah memantau frekuensi nafas sebelum dan sesudah pasien beraktivitas, evaluasi respon
yang diperoleh adalah respirasi sebelum beraktivitas 26 x/menit, sesudah beraktivitas 24 x/menit.
Membantu pasien untuk berpindah dan untuk toileting dengan kursi roda, evaluasi respon yang diperoleh
adalah pasien mengatakan sesak nafas berkurang apabila beraktivitas menggunakan kursi roda.
Menganjurkan pasien untuk istirahat setelah beraktivitas, evaluasi respon yang diperoleh adalah pasien
mengerti tentang anjuran yang diberikan. Menganjurkan pada pasien untuk meningkatkan aktivitas secara
bertahap dari duduk, berdiri dan berjalan, evaluasi respon yang diperoleh adalah pasien mengerti tentang
anjuran yang diberikan. Menganjurkan pada pasien dan pihak keluarga untuk memberikan makanan dalam
porsi sedikit tetapi sering, evaluasi respon yang diperoleh adalah pasien dan keluarga mengerti tentang
anjuran yang diberikan.
Evaluasi untuk diagnosa keperawatan intoleransi aktivitas berhubungan dengan kerusakan pertukaran
gas pada hari Jumat tanggal 7 Februari 2014 adalah :
S : Pasien mengatakan dapat melakukan aktivitas secara mandiri, pasien mengatakan sesak nafas
berkurang setelah melakukan aktivitas.
O : Pasien dapat melakukan ambulasi, mandi dan toileting secara mandiri, respirasi setelah
beraktivitas 24 x/menit, sesak nafas berkurang, pasien mengerti tentang anjuran untuk melakukan aktivitas
secara bertahap dan makan dengan porsi sedikit tapi sering.
A : Diagnosa keperawatan intoleran aktivitas teratasi
P : Hentikan intervensi.

3. Gangguan pola tidur berhubungan dengan batuk.


Tujuan untuk diagnosa keperawatan ini adalah setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24
jam kebutuhan tidur terpenuhi dengan kriteria hasil melaporkan perasaan dapat istirahat.
Intervensi untuk diagnosa keperawatan gangguan pola tidur adalah berikan obat antitusif yang
diprogramkan, anjurkan penggunaan oksigen selama tidur, anjurkan pada pasien untuk menghindari iritan
atau allergen seperti asap rokok, anjurkan untuk mandi dengan air hangat, bantu pasien untuk mendapatkan
posisi yang nyaman.
Implementasi untuk diagnosa keperawatan gangguan pola tidur pada tanggal 4-7 Februari 2014 adalah
memberikan obat antitusif dextromethorfan, evaluasi respon yang diperoleh pasien berharap batuk dapat
berkurang sehingga pasien dapat tidur. Menganjurkan penggunaan oksigen selama tidur, evaluasi respon
yang diperoleh pasien mengerti tentang anjuran yang diberikan. Menganjurkan untuk mandi dengan air
hangat, evaluasi respon yang diperoleh adalah pasien mengerti tentang anjuran yang diberikan. Membantu
pasien untuk mendapatkan posisi yang nyaman, evaluasi respon yang diperoeh pasien nyaman dengan
posisi tidur semifowler. Menganjurkan pada pasien untuk menghindari iritan atau alergen seperti asap
rokok, evaluasi respon yang diperoleh adalah pasien mengerti tentang anjuran yang diberikan. Menanyakan
pada pasien berapa jam tidur, evaluasi respon yang diperoleh adalah pasien mengatakan tidur selama 7 jam,
terbangun sekali saat akan ke kamar mandi.
Evaluasi pada hari Jumat tanggal 7 Februari 2014 pukul 21.00 untuk diagnosa keperawatan gangguan
pola tidur adalah
S : Pasien mengatakan sudah dapat tidur dengan nyenyak karena batuk sudah berkurang, pasien
mengatakan merasa lebih segar setelah tidur.
O : Tidur semalam 7 jam, dan terbangun sebanyak 1 kali saat toileting.
A : Diagnosa keperawatan gangguan pola tidur teratasi.
P : Hentikan intervensi.
BAB IV
PEMBAHASAN

Pada bab ini penulis akan membahas masalah yang muncul dalam Asuhan Keperawatan pada Tn. B
dengan Gangguan Sistem Pernafasan Penyakit Paru Obstruksi Kronis di Ruang Asoka RS. Prof. Dr.
Margono Soekarjo Purwokerto. Adapun yang menjadi lingkup pembahasan meliputi pengkajian, diagnosa
keperawatan, perencanaan, implementasi dan evaluasi. Penulis mengelola Tn. B selama 3 hari mulai tanggal
4 Februari 2014 sampai tanggal 7 Februari 2014. Penulis melakukan pengkajian dengan metode wawancara,
observasi, pemeriksaan fisik pada Tn. B serta studi dokumentasi dengan pembelajaran rekam medis pasien
dan studi kepustakaan. Penulis menemukan adanya kesenjangan antara teori dan resume kasus yang terjadi
pada klien sebagai berikut :

A. Pengkajian
Pengkajian adalah tahap awal dari proses yang sistematis dalam mengumpulkan data dari berbagai
sumber data untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan klien (Nursalam, 2001).
Dalam pengkajian ini penulis menggunakan beberapa cara untuk memperoleh data menurut, yang
digunakan sebagai berikut :
1. Wawancara
Pengertian wawancara menurut Nazir (2000) adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan
penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara si penanya atau pewawancara dengan si
penjawab atau responden dengan menggunakan alat yang dinamakan interview guide (panduan
wawancara).
Dari hasil pengkajian pada tanggal 4 Februari 2014 dengan metode wawancara penulis mendapatkan
kesulitan karena pasien sulit bicara, sulit mengeluarkan kata atau kalimat, sehingga penulis tidak hanya
melakukan wawancara terhadap pasien, tetapi juga ke anggota keluarga pasien seperti ke adik dan
kakaknya, dan anggota keluarga kooperatif. Saat ditanya diperoleh data yaitu keluhan utama saat dilakukan
pengkajian adalah pasien mengeluh sesak nafas. Keluhan tambahan yang dikeluhkan pasien adalah pasien
merasakan dada yang tertekan, pasien mengatakan riwayat merokok, serta bekerja di pabrik pemotongan
kayu, pasien mengatakan sering mengalami pilek dan batuk setelah terpapar serbuk kayu.
Berdasarkan data diatas terdapat kesamaan antara teori dengan kasus. Menurut teori Doenges (2000)
pada pengkajian pernafasan pasien mengalami rasa dada tertekan, ketidakmampuan untuk bernafas, batuk
yang menetap, adanya produksi sputum (hijau, putih, kuning), adanya penggunaan otot bantu pernafasan
seperti meninggikan bahu. Engram (2000) juga menambahkan pengkajian pada pasien dengan penderita
dengan penyakit paru obstruksi kronis meliputi riwayat merokok produk tembakau, riwayat atau adanya
faktor-faktor yang dapat mencetuskan eksasebrasi seperti alergen (serbuk).
Pada pola fungsional Gordon pada pola akivitas-latihan pasien mengatakan letih dan lemah setelah
melakukan aktivitas sehari-hari karena kesulitan bernafas, sesak nafas saat istirahat setelah beraktivitas.
Menurut teori Doenges (2000) pada pengkajian aktivitas atau latihan pasien mengalami keletihan,
kelemahan, ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari karena sulit bernafas.
Pada pola fungsional Gordon pada pola istirahat-tidur pasien mengatakan kesulitan untuk tidur karena
batuk yang bertambah di malam hari, pasien mengatakan tidak dapat beristirahat dengan baik.
Dari pengkajian pada pola istirahat-tidur terdapat kesamaan antara teori dengan kasus. Menurut teori
Engram (2000) pasien mengalami batuk yang menetap dan bertambah saat malam hari, batuk selama waktu
tidur, keluhan ketidakmampuan untuk tidur karena batuk.

2. Observasi
Pengertian observasi menurut Nursalam (2001) adalah mengamati perilaku dan keadaan pasien untuk
memperoleh data tentang masalah kesehatan dan keperawatan pasien. Kegiatan masalah kesehatan dan
keperawatan pasien, kegiatan tersebut mencangkup aspek fisik mental, sosial dan spiritual. Pedoman
observasi ini penulis mengembangkan dari pola fungsional Gordon.
Dari hasil observasi pada tanggal 4 Februari 2014 penulis mendapatkan data yaitu pasien terlihat
kesulitan bernafas, batuk yang disertai dengan sputum, warna sputum putih, pasien terlihat kesulitan
berbicara. Pasien juga terlihat letih, pasien dibantu oleh anggota keluarganya untuk melakukan aktivitas
seperti untuk ambulasi atau berpindah tempat, mandi dan toileting.
Berdasarkan data diatas terdapat kesamaan antara teori dengan kasus. Menurut teori Doenges (2000)
pada pengkajian pernafasan pasien mengalami batuk dengan produksi sputum (putih, hijau, kuning),
kesulitan bicara kalimat atau lebih dari 4 atau 5 kata sekaligus, pada pengkajian aktivitas atau istirahat
pasien mengalami keletihan dan kelemahan umum.
Dari hasil observasi yang penulis lakukan penulis menemukan pasien sering terbangun saat tidur di
malam hari, pasien terbangun 4 kali di malam hari, pasien tidur selama 5 jam sehari. Berdasarkan data
tersebut terdapat kesamaan antara teori dengan kasus. Menurut teori Engram (2000) pasien mengalami
batuk yang menetap selama waktu tidur.
Dari hasil observasi pada tanggal 4 Februari 2014 penulis juga mendapatkan data yaitu tidak
ditemukannya tanda-tanda anoreksia seperti mual muntah, , nafsu makan buruk, penurunan berat badan
menetap dan turgor kulit buruk.
Berdasarkan data diatas terdapat kesenjangan antara teori dengan kasus. Menurut teori Doenges (2000)
pasien dapat mengalami penurunan berat badan, mengeluh gangguan sensasi pengecap dan keengganan
untuk makan atau kurang tertarik pada makanan. Pada saat dilakukan pengkajian penulis tidak mendapatkan
tanda-tanda tersebut karena pasien mengatakan nafsu makan baik, makan 3 kali sehari, habis 1 porsi, dan
tidak mengalami mual dan muntah, pasien juga diberikan injeksi ranitidine 30 mg untuk mencegah
terjadinya anoreksia.
3. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik menurut Nursalam (2001) adalah melakukan pemeriksaan fisik pasien untuk
menentukan masalah kesehatan pasien. Pemeriksaan fisik dapat dilakukan dengan menggunakan 4 teknik
yaitu :
a. Inspeksi yaitu suatu proses observasi yang dilaksanakan secara sistematik dilaksanakan dengan
menggunakan indera penglihatan, pendengaran dan penciuman.
Dari hasil pengkajian pada tanggal 4 Februari 2014 dengan teknik inspeksi penulis mendapatkan data yaitu
adanya bentuk dada seperti tong, terlihat meninggikan bahu untuk bernafas Berdasarkan data tersebut
terdapat kesamaan antara teori dengan kasus. Menurut teori Doenges (2000) pada inspeksi ditemukan
penggunaan otot bantu pernafasan misalnya meninggikan bahu, dada dapat terlihat hiperinflasi dengan
peninggian diameter AP (barrel chest) atau bentuk seperti tong.
b. Palpasi yaitu suatu teknik yang menggunakan indera peraba, tangan dan jari-jari yang merupakan
instrumen sensitif. Dari hasil pengkajian pada tanggal 4 Februari 2014 dengan teknik palpasi penulis
mendapatkan data yaitu tidak ada nyeri tekan pada daerah dada.
c. Perkusi yaitu pemeriksaan fisik dengan jalan mengetuk untuk membandingkan kiri kanan pada setiap
daerah permukaan tubuh dengan tujuan menghasilkan suara. Dari hasil pengkajian pada tanggal 4 Februari
2014 dengan teknik perkusi penulis mendapatkan data yaitu pada perkusi ditemukan bunyi pekak pada paru.
Berdasarkan data diatas terdapat kesamaan antara teori dengan kasus yaitu pada teori Doenges (2000) pada
pemeriksaan perkusi : bunyi pekak pada area paru misalnya cairan, mukosa.
d. Auskultasi adalah pemeriksaan dengan jalan mendengarkan suara yang dihasilkan oleh tubuh dengan
menggunakan stetoskop. Dari hasil pengkajian pada tanggal 4 Februari 2014 dengan teknik auskultasi
penulis mendapatkan data yaitu terdengar auskultasi : bunyi nafas mengi, ronkhi pada paru bagian kanan
dan wheezing pada paru bagian kiri.
Berdasarkan data diatas terdapat kesamaan antara teori dengan kasus. Menurut teori Doenges (2000) bunyi
nafas mungkin redup dengan ekspirasi mengi, menyebar, lembut atau krekels lembab kasar, ronkhi, mengi
sepanjang area paru pada ekspirasi dan kemungkinan selama inspirasi berlanjut sampai penurunan atau tak
adanya bunyi nafas.
4. Studi Dokumentasi
Studi dokumentasi menurut Arikunto (2002) adalah mencari data mengenai hal-hal atau variable yang
berupa catatan, transkrip, buku dan sebagainya, sebagai data penunjang.
Pada studi dokumentasi diperoleh identitas pasien, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan sputum.
Hasil pemeriksaan yang dilakukan pada tanggal 2 Februari untuk pemeriksaan laboratorium meliputi :
leukosit 9120/UL, glukosa sewaktu 196 mg/dL, natrium 139 mmol/L, kalium 3,8 mmol/L, klorida 97
mmol/L. Hasil pemeriksaan yang dilakukan pada tanggal 3 februari 2014 untuk pemeriksaan sputum
meliputi : BTA I negative, lekosit positif, epithel positif. Pemeriksaan tanggal 4 Februari 2014 dengan
pewarnaan ZN 2 x BTA II negative, lekosit positif, epithel positif, pewarnaan 3 x, BTA III negative, lekosit
positif, epithel positif. Pada pemeriksaan rontgen didapatkan kesan penyakit paru obstruksi kronis (PPOK).
Terapi yang diperoleh pasien pada tanggal 4-7 Februari 2014 selama dirawat di RS Margono antara
lain O2 3 liter permenit, Infus RL 20 tpm, Cefotaxime 2 x 1 gram, Ranitidine 2 x 30 mg, Methylprednisolone
2 x 62,5 mg, Nebulizer ventolin 2 x 2,5 mg, flixotide 3 hari sekali 0,5 mg, Dextromethorphan syrup 3 x 5
ml.
Dalam melakukan pengkajian penulis memperoleh faktor pendukung dalam melakukan pengkajian
yaitu pasien dan keluarga kooperatif dan bersedia menjawab semua pertanyaan penulis, adanya rekam
medis atau status klien yang membantu penulis dalam melengkapi data dan perawat ruangan yang
membantu dalam proses pengumpulan data.
Sedangkan faktor penghambat dalam melakukan pengkajian karena pasien sulit bicara, sulit
mengeluarkan kata atau kalimat, sehingga penulis tidak hanya melakukan wawancara terhadap pasien,
tetapi juga ke anggota keluarga pasien seperti ke adik dan kakaknya.

B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan menurut Doenges (2000) yaitu cara mengidentifikasikan, memfokuskan dan
mengatasi kebutuhan spesifik pasien serta respon terhadap masalah aktual dan resiko tinggi serta untuk
mengekspresikan bagian identifikasi masalah dari proses keperawatan.
Diagnosa keperawatan menurut teori Doenges (2000) untuk kasus penyakit paru obstruksi kronis ada
4 diagnosa keperawatan yaitu bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan produksi
sekret, kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan suplly oksigen, perubahan nutrisi kurang
dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual muntah, resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan
dengan tidak adekuatnya pertahanan utama. Dan teori Engram (2000) ada 2 diagnosa keperawatan yaitu
intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan supply O2 dan gangguan pola tidur
berhubungan dengan batuk menetap. Untuk itu penulis menjelaskan mengapa hal ini terjadi dan diagnosa
keperawatan tersebut diidentfikasi sebagai masalah yang perlu dipecahkan.
1. Diagnosa keperawatan yang tercantum pada teori dan ditemukan pada kasus, yaitu:
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan produksi sekret.
Bersihan jalan nafas tidak efektif adalah ketidakmampuan untuk membersihkan sekresi atau obstruksi
dari saluran pernafasan untuk mempertahankan kebersihan jalan nafas (Amin, 2013). Batasan
karakteristiknya antara lain pernyataan kesulitan bernafas, perubahan kedalaman atau kecepatan
pernafasan, pengunaan otot aksesori, bunyi nafas tak normal misalnya mengi, ronkhi, krekels, batuk
(menetap) dengan atau tanpa produksi sputum (Doenges, 2000).
Diagnosa ini muncul karena adanya data pendukung yaitu pasien mengeluh sesak nafas, pasien
merasakan dada yang tertekan, pasien mengatakan riwayat merokok, serta bekerja di pabrik pemotongan
kayu, pasien mengatakan sering mengalami pilek dan batuk setelah terpapar serbuk kayu, pasien terlihat
kesulitan bernafas, batuk yang disertai dengan sputum, warna sputum putih, pasien terlihat kesulitan
berbicara, adanya bentuk dada seperti tong, terlihat meninggikan bahu untuk bernafas, pada perkusi
ditemukan bunyi pekak pada paru, auskultasi : bunyi nafas mengi, ronkhi pada paru bagian kanan dan
wheezing pada paru bagian kiri, terpasang O2 3 liter permenit, respirasi 28 x/menit.
Penulis memprioritaskan diagnosa keperawatan bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan
peningkatan produksi sekret pada diagnosa pertama karena pasien membutuhkan oksigen dan salah satu
kebutuhan fisiologis manusia menurut Hidayat (2008) adalah oksigen atau bernafas. Dan apabila diagnosa
ini tidak diatasi maka dapat mengancam nyawa pasien.
Tujuan dari rencana tindakan keperawatan menurut Doenges (2000) adalah setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3 x 24 jam, diharapkan mempertahankan jalan nafas paten dengan bunyi nafas bersih
atau jelas dengan kriteria hasil menunjukkan perilaku untuk memperbaiki bersihan jalan misalnya batuk
efektif dan mengeluarkan sekret
Intervensi yang di implementasikan oleh penulis pada tanggal 4-7 Februari 2014 antara lain melakukan
auskultasi bunyi nafas, catat adanya bunyi nafas misalnya mengi, krekels, ronkhi, rasional : obstruksi jalan
nafas ditandai dengan bunyi nafas krekels, bunyi nafas redup dengan ekspirasi mengi. Mengkaji frekuensi
nafas, rasional : takipnea biasanya ada pada beberapa derajat obstruksi jalan nafas, pernafasan dapat
melambat dan frekuensi ekspirasi memanjang dibanding inspirasi. Mencatat adanya penggunaan otot bantu
pernafasan, rasional menandakan adanya infeksi atau reaksi alergi. Memberikan posisi semifowler, rasional
pasien merasa nyaman dan memudahkan pengembangan paru untuk bernafas. Membantu latihan nafas
dengan bibir dimonyongkan, rasional mengatasi sesak nafas. Mengobservasi karakteristik batuk dan
mengajarkan batuk efektif, rasional membantu mengeluarkan sekret. Memberikan air matang hangat,
rasional mengencerkan sekret dan mempermudah pengeluaran sekret. Memberikan terapi nebulizer
ventolin dan flixotide, rasional melonggarkan jalan nafas dan menurunkan produksi mukosa. Memberikan
sirup dextrometorfan, rasional menekan batuk yang terjadi untuk menghemat energi dan pasien dapat
istirahat. Melakukan fisioterapi dada, rasional membuang banyaknya sekret.
Kekuatan dalam pelaksanaan tindakan adalah pasien dan keluarga sangat kooperatif terhadap semua
tindakan keperawatan yang dilakukan untuk mengatasi sesak nafasnya. Kelemahannya adalah penulis
membutuhkan ketelatenan, ketelitian dan kesabaran untuk mengatasi sesak nafas yang dialami pasien.
Evaluasi untuk diagnosa keperawatan bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan
peningkatan produksi sekret pada hari Jumat, tanggal 7 Februari 2014 pukul 21.00 adalah :
S : Pasien mengatakan sesak nafas berkurang, pasien mengatakan lega setelah dilakukan
nebulizer karena pasien dapat mengeluarkan dahak, pasien mengatakan batuk berkurang setelah minum
obat dextrometorfan sirup, respirasi 24 x/menit.
O : Nebulizer ventolin 2,5 masuk via inhalasi, sekret keluar berwarna putih purulen, suara
nafas mengi dan ronkhi pada paru kanan masih ada, wheezing sudah menghilang, pasien dapat
mempraktekkan batuk efektif.
A : Diagnosa keparawatan bersihan jalan nafas tidak efektif belum teratasi.
P : Lanjutkan intervensi :
1) Auskultasi suara nafas tambahan
2) Berikan terapi nebulizer
3) Anjurkan untuk meningkatkan intake cairan dengan minum air matang hangat agar sekret dapat keluar.
b. Intoleransi aktivitas b.d ketidakseimbangan supply O2.
Intoleransi aktivitas adalah ketidakcukupan energi psikologis atau fisiologis untuk melanjutkan atau
menyelesaikan aktivitas kehidupan sehari-hari yang harus atau yang ingin dilakukan (Amin, 2013). Batasan
karakteristik menurut Engram (2000) antara lain nafas pendek, lemah, kelelahan dengan aktivitas fisik
minimal untuk aktivitas sehari-hari dan takipnea dengan aktivitas fisik minimal.
Diagnosa keperawatan ini muncul karena adanya data pendukung antara lain pasien mengatakan letih
dan lemah setelah melakukan aktivitas sehari-hari karena kesulitan bernafas, sesak nafas saat istirahat
setelah beraktivitas, pasien terlihat letih, pasien dibantu oleh anggota keluarganya untuk melakukan
aktivitas seperti untuk ambulasi atau berpindah tempat, mandi dan toileting.
Penulis memprioritaskan diagnosa keperawatan ini pada urutan kedua karena kebutuhan bergerak
sangat dibutuhkan karena pergerakan dapat memenuhi kebutuhan dasar manusia dan melindungi diri dari
kecelakaan seperti jatuh. Dan apabila diagnosa keperawatan ini tidak diatasi maka dapat menyebabkan
berkurangnya kemampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari (Hidayat, 2008).
Tujuan dari rencana tindakan keperawatan menurut Engram (2000) yaitu setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3 x 24 jam, diharapkan pasien menunjukkan peningkatan toleransi terhadap aktivitas
dengan kriteria hasil menurunnya keluhan tentang nafas pendek dan lemah dalam melaksanakan aktivitas.
Intervensi yang diimplementasikan antara lain memantau frekuensi nafas sebelum dan sesudah pasien
melakukan aktivitas, rasional untuk mengidentifikasi kemajuan atau penyimpangan dari sasaran yang
diharapkan. Melakukan penghematan energi meliputi memberikan bantuan dalam melakukan aktivitas,
menyediakan waktu untuk istirahat, meningkatkan aktivitas secara bertahap dan menganjurkan kepada
keluarga untuk memberikan makanan dalam porsi sedikit tetapi sering, rasional istirahat berguna untuk
mengumpulkan energi, makanan dalam porsi besar dan susah dikunyah memerlukan lebih banyak energi.
Kekuatan selama pelaksanaan rencana keperawatan ini adalah pasien memiliki motivasi yang besar
untuk melakukan aktivitas secara mandiri, anggota keluarga juga membantu untuk memenuhi kebutuhan
aktivitas sehari-hari pasien di rumah sakit. Sedangkan kelemahannya apabila pasien sedang sendiri di
rumah sakit (anggota keluarga tidak ada yang menunggu) pasien menggunakan kursi roda secara mandiri
yang dapat menimbulkan masalah keperawatan resiko jatuh karena kondisi pasien yang lemah.
Evaluasi untuk diagnosa keperawatan intoleransi aktivitas berhubungan dengan kerusakan pertukaran
gas pada hari Jumat tanggal 7 Februari 2014 adalah :
S : Pasien mengatakan dapat melakukan aktivitas secara mandiri, pasien mengatakan sesak
nafas berkurang setelah melakukan aktivitas.
O : Pasien dapat melakukan ambulasi, mandi dan toileting secara mandiri, respirasi setelah
beraktivitas 24 x/menit, sesak nafas berkurang, pasien mengerti tentang anjuran untuk melakukan aktivitas
secara bertahap dan makan dengan porsi sedikit tapi sering.
A : Diagnosa keperawatan intoleran aktivitas teratasi
P : Hentikan intervensi.
c. Gangguan pola tidur berhubungan dengan faktor fisiologis (batuk).
Gangguan pola tidur menurut Amin (2013) adalah gangguan kualitas dan kuantitas waktu tidur akibat
faktor eksternal. Batasan karakteristik menurut Engram (2000) adalah batuk menetap selama waktu tidur,
keluhan ketidakmampuan untuk tidur karena batuk atau nyeri menetap.
Diagnosa ini muncul karena adanya data pendukung antara lain pasien mengatakan kesulitan untuk
tidur karena batuk yang bertambah di malam hari, pasien mengatakan tidak dapat beristirahat dengan baik,
pasien sering terbangun saat tidur di malam hari, pasien terbangun 4 kali di malam hari, pasien tidur selama
5 jam sehari.
Penulis memprioritaskan diagnosa ini pada urutan ketiga karena pada saat istirahat atau tidur, tubuh
melakukan proses pemulihan untuk mengembalikan stamina tubuh sehingga berada dalam kondisi yang
optimal. Dan apabila kebutuhan istirahat dan tidur pasien tidak terpenuhi maka dapat berpengaruh pada
tubuh, tubuh tidak dapat berfungsi secara normal (Asmadi, 2008).
Tujuan dari rencana tindakan keperawatan menurut Engram (2000) adalah setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan kebutuhan tidur pasien terpenuhi dengan kriteria hasil
melaporkan perasaan dapat istirahat.
Intervensi yang diimplementasikan antara lain memberikan obat antitusif, rasional menekan batuk dan
memudahkan pengeluaran sekresi dari paru. Menganjurkan penggunaan oksigen selama tidur, rasional
memberikan tambahan supply oksigen ke jaringan tubuh. Menganjurkan untuk menghidari asap rokok,
rasional asap rokok dapat mencetuskan batuk. Menganjurkan pasien mandi dengan air hangat, rasional
meningkatkan relaksasi. Membantu mendapatkan posisi yang nyaman, rasional pasien dapat tidur dengan
nyaman.
Kekuatan selama pelaksanaan perencanaan keperawatan ini adalah pasien dan anggota keluarga pasien
kooperatif. Sedangkan kelemahannya antara lain apabila perencanaan keperawatan ini tidak dilakukan
maka dapat mempengaruhi tanda-tanda vital pasien.
Evaluasi pada hari Jumat tanggal 7 Februari 2014 pukul 21.00 untuk diagnosa keperawatan gangguan
pola tidur adalah
S : Pasien mengatakan sudah dapat tidur dengan nyenyak karena batuk sudah berkurang,
pasien mengatakan merasa lebih segar setelah tidur.
O : Tidur semalam 7 jam, dan terbangun sebanyak 1 kali saat toileting.
A : Diagnosa keperawatan gangguan pola tidur teratasi.
P : Hentikan intervensi.

2. Diagnosa keperawatan yang tercantum dalam teori tetapi tidak muncul dalam kasus adalah :
a. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan supply oksigen (obstruksi jalan nafas oeh
sekresi, spasme bronkus, jebakan udara), kerusakan alveoli.
Kerusakan pertukaran gas adalah kelebihan atau deficit pada oksigenasi dan atau eliminasi
karbondioksida pada membran alveolar-kapiler (Amin, 2013).
Batasan karakteristik menurut Doenges (2000) antara lain dispnea, bingung, gelisah, ketidakmampuan
membuang sekret, nilai GDA tak normal, perubahan tanda vital, penurunan tolernasi terhadap aktivitas
Diagnosa keperawatan ini tidak muncul dalam kasus karena didalam kasus tidak diperoleh data-data
pendukung untuk menegakkan diagnosa ini antara lain pada pasien tidak mengalami bingung dan gelisah,
pasien mampu membuang sekret walaupun dengan usaha minimal, tidak ada perubahan pada tanda-tanda
vital pasien.
b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan dispnea, kelemahan, efek samping
obat, produksi sputum, anoreksia, mual muntah.
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh menurut Amin (2013) adalah asupan nutrisi tidak cukup
untuk memenuhi kebutuhan metabolik. Batasan karakteristik menurut Doenges (2000) adalah penurunan
berat badan, kehilangan masa otot, tonus otot buruk, kelemahan, mengeluh gangguan sensasi pengecap,
keengganan untuk makan, kurang tertarik pada makanan.
Diagnosa keperawatan ini tidak muncul dalam kasus karena tidak ada data pendukung untuk diagnosa
keperawatan ini. Pengkajian yang penulis lakukan diperoleh hasil dalam kasus didapatkan data pasien
mengatakan nafsu makan baik, makan 3 kali sehari, habis 1 porsi, dan tidak mengalami mual dan muntah,
pasien juga diberikan injeksi ranitidine 30 mg untuk mencegah terjadinya anoreksia, pada pemeriksaan
laboratorium juga nilai glukosa dan elektrolit normal, glukosa sewaktu 196 mg/dL, natrium 139 mmol/L,
kalium 3,8 mmol/L, klorida 97 mmol/L.
c. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan utama (penurunan kerja
silia, menetapnya sekret), tidak adekuatnya imunitas (kerusakan jaringan, peningkatan pemajanan pada
lingkungan), proses penyakit kronis, malnutrisi.
Resiko tinggi terhadap infeksi menurut Amin (2013) adalah mengalami peningkatan resiko terserang
organisme patogenik. Batasan karakteristik menurut Doenges (2000) adalah tidak ada tanda-tanda dan
gejala-gejala resiko infeksi.
Diagnosa keperawatan ini tidak muncul dalam kasus karena tidak diperoleh data pendukung untuk
diagnosa keperawatan ini. Pengkajian yang dilakukan penulis yaitu pasien tidak mengalami tanda dan
gejala infeksi, leukosit 9120/UL, suhu tubuh selama 3 hari dalam batas normal (36,5-37,5o c).
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari hasil asuhan keperawatan pada Tn. B dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis, maka dapat diambil
kesimpulan bahwa :
1. Melakukan pengkajian pada Tn. B terkait dengan penyakit paru obstruksi kronis.
Dalam melakukan pengkajian dengan Tn. B, penulis mengalami kesulitan dalam melakukan
komunikasi dengan Tn. B karena Tn. B kesulitan berbicara. Maka dari itu, penulis tidak hanya melakukan
wawancara pada pasien saja, tetapi juga pada anggota keluarga Tn. B.
2. Merumuskan diagnosa keperawatan pada Tn. B.
Dari hasil pengkajian yang dilakukan oleh penulis, penulis memprioritaskan 3 diagnosa yaitu bersihan
jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan produksi sekret, intoleransi aktivitas
berhubungan dengan kerusakan pertukaran gas dan gangguan pola tidur berhubungan dengan batuk.
3. Melakukan perencanaan keperawatan pada Tn. B.
Perencanaan yang dibuat disesuaikan dengan kondisi pasien. Sehingga intervensi yang dilakukan dapat
terlaksana dengan baik berkat dukungan dan kerjasama dari Tn. B dan anggota keluarga Tn. B dalam
mengatasi penyakit yang dideritanya. Saat penulis melakukan kontrak waktu untuk pemberian asuhan
keperawatan yang akan dilakukan selanjutnya, pasien berkenan dan anggota keluarga pasien juga
kooperatif.
4. Melakukan tindakan keperawatan pada Tn. B terkait penyakit paru obstruksi kronis yang dialami Tn. B.
Saat dilakukan tindakan keperawatan, Tn. B sangat kooperatif saat dilakukan injeksi, fisioterapi dada,
diajarkan teknik mengeluarkan sekret dengan batuk efektif dan pasien juga memperhatikan saran yang
diberikan oleh penulis antara lain minum air hangat matang untuk memudahkan keluarnya sekret.
5. Melakukan evaluasi keperawatan pada keluarga Tn. B.
Evaluasi setelah memberikan tindakan keperawatan selama 3 hari, untuk diagnosa pertama belum
teratasi, sedangkan untuk diagnosa kedua dan ketiga sudah teratasi.
6. Melakukan dokumentasi keperawatan pada keluarga Tn. B.
Setelah melakukan tindakan keperawatan, penulis mendokumentasikan tindakan tersebut dalam catatan
keperawatan yang penulis buat.

B. Saran
1. Rumah Sakit
Penulis memberikan saran kepada rumah sakit agar dapat meningkatkan dan mempertahankan standar
asuhan keperawatan sehingga mutu pelayanan rumah sakit dapat terjaga.
2. Institusi Pendidikan
Penulis berharap akademik dapat menyediakan sumber buku dengan tahun dan penerbit terbaru sebagai
bahan informasi yang penting dalam pembuatan karya tulis ilmiah ini dan dapat meningkatkan kualitas
pendidikan terutama dengan pembuatan asuhan keperawatan dalam praktek maupun teori.
3. Profesi Perawat
Penulis berharap agar perawat ruangan dapat meningkatkan mutu pelayanan, lebih ramah lagi terhadap
pasien dan dapat memberikan asuhan keperawatan dengan sebaik-baiknya.

DAFTAR PUSTAKA

Amin, Hardhi. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan berdasarkan Diagnosa Medis NANDA NIC NOC.
Yogyakarta : Media Action.

Arikunto. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Yogyakarta : FIP. IKIP.

Asih, Niluh Gede Yasmin. 2003. Keperawatan Medikal Bedah Klien dengan Gangguan Sistem Pernafasan.
Jakarta : EGC Buku Kedokteran.

Asmadi. 2008. Teknik Prosedural Keperawatan Konsep dan Aplikasi Kebutuhan Dasar Klien. Jakarta : Salemba
Medika.

Brashers, Valentina L. 2007. Aplikasi Klinis Patofisiologi Pemeriksaan dan Manajemen Edisi 2. Jakarta : EGC
Buku Kedokteran.

Doenges, Marilynn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta : EGC Buku Kedokteran.
Engram, Barbara. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah Volume 1. Jakarta : EGC Buku
Kedokteran.

Hidayat, Azis Alimul. 2008. Kebutuhan Dasar Manusia Aplikasi Konsep dan Proses Keperawatan. Jakarta :
Salemba Medika.

Kasanah. 2011. Analisis Keakuratan Kode Diagnosis Penyakit Paru Obstruksi Kronis Eksasebrasi Akut
Berdasarkan ICD 10 Pada Dokumen Rekam Medis Pasien Rawat Inap Di RSUD SRAGEN. Sragen : Jurnal
Keperawatan.

Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : EGC Buku Kedokteran.

Nazir. 2000. Metode Penelitian. Jakarta : EGC Buku Kedokteran.

Nursalam. 2001. Proses dan Prinsip Keperawatan : Konsep dan Praktik. Jakarta : Salemba Medika.

Reeves, Charlene J. 2001. Buku Satu Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : Salemba Medika.

Rumah Sakit Margono Soekardjo Purwokerto. 2014. Data Rekam Medik. Rumah Sakit Margono Soekardjo
Purwokerto : tidak dipublikasikan.

You might also like