Professional Documents
Culture Documents
PEMPHIGUS VULGARIS
Disusun oleh:
MARYUDELA AFRIDA
20080320155
2013
PEMFIGUS VULGARIS
I. KONSEP DASAR
A. PENGERTIAN
1. Pemfigus berasal dari kata Yunani pemphix yang berarti gelembung atau melepuh.
Pemfigus menggambarkan sekelompok penyakir bulosa kronis yang awalnya
diseskripsian oleh Wichman tahun 1791. Pemfigus Vulgaris merupakan penyakit
serius pada kulit yang ditandai timbulnya bula (lepuh) dengan berbagai ukuran pada
kulit yang tampak normal dan membran mukosa (misalnya : mulut, vagina). (Arif
Mutakin, 2011, hal:104).
2. Pemfigus adalah kumpulan penyakit kulit autoimun terbuka kronik, menyerang kulit
dan membran mukosa yang secara histologik ditandai dengan bula intra spidermal
akibat proses ukontolisis (pemisahan sel-sel intra sel) dan secara imunopatologi
ditemukan antibody terhadap komponen dermosom pada permukaan keratinosis
jenis Ig G, baik terikat mupun beredar dalam sirkulasi darah ( Djuanda 2001, hal
:186)
3. Pemfigus adalah penyakit kulit yang ditandai dengan timbulnya sebaran gelembung
secara berturut-turut yang mengering dengan meninggalkan bercak-bercak berwarna
gelap, dapat diiringi dengan rasa gatal atau tidak dan umumnya mempengaruhi
keadaan umum si penderita. (Laksman, 1999, hal:261).
B. ETIOLOGI
1. Genetik
2. Penyakit autoimun
3. Obat-obatan (Penisilin dan captopril)
4. Sebagai penyakit penyerta seperti neoplasma.
(Smeltzer dan Bare, 2002, hal:1879).
C. PATOFISIOLOGI
Bukti yang ada menunjukan bahwa pemfigus merupakan penyakit autoiun
yang melibatkan IgG, suatu immunoglobin. Diperkirakan bahwa antibodi pemfigus
ditujukan langsung kepada antigen permukaan sel yang spesifik dalam sel-sel
epidermis. Bula terbentuk akibat reaksi antigen-antibodi. Kadar antibodi dalam serum
merupakan petunjuk untuk memprediksikan intenstas penyakit. Faktor-faktor genetik
dapat memainkan peranan dalam perkembangan penyakit. Kelainan ini biasanya terjadi
pada laki-laki dan wanita usia pertengahan, serta akhir usia dewasa.
Komplikasi yang paling sering pada pemfigus vulgaris terjadi ketika proses
penyakit tersebut menyebar luas. Sebelum ditemukan kortikosteroid dan terapi
immunosupresif, pasien sangat rentan terhadap infeksi bakteri sekunde. Bakteri kulit
relatif mudah mencapai bula karena bula mengalami perembesan cairan, pecah, dan
meninggalkan daerah-daerah terkelupas yang terbuka terhadap lingkungan.
Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit terjadi akibat kehilangan cairan,
serta protein ketika bula mengalami ruptur. Hipoalbuminema lazim dijumpai kalau
proses penyakitnya mencakup daerah permukaan kulit tubuh dan membran mukosa
luas. Adanya kerusakan jaringan kulit pada pemfigus vulgaris memberikan manifestasi
pada berbagai masalah keperawatan. (Arif Mutakin, 2011, hal:105).
D. MANIFESTASI KLINIK
1. Pemfigus Vulgaris
a. Kulit berlepuh, Ø 1-10 cm, bula kendur, mudah pecah, nyeri pada kulit yang
terkelupas, erosi
b. Krusta bertahan lama, hiperpigmentasi
c. Tanda nikolsky ada
d. Kelamin, mukosa mulut 60%
e. Biasanya usia 30-60 tahun
f. Bau specifik
2. Pemfigus eritematosus
a. Biasanya pada usia 60-70 tahun
b. Lesi awal : daerah wajah, kulit kepala, punggung, seluruh tubuh berupa bercak,
eritematosa batas tegas ( seperti kupu-kupu pada wajah) , krusta sifatnya kronis
residif
c. Dinding bula kendur, mudah pecah, erosif yang dikelilingi dasar eritematosa,
krusta dan skuama krusta basah, bau khas
d. Tanda nikolsky ada
e. Mukosa mulut terkena
3. Pemfigus bullosa
a. Biasanya usia 50-70 tahun
b. Dinding bula tegang berisi cairan jernih/ hemoragic diatas kulit yang tampak
normal atau eritema
c. Diameter bula bervariasi
d. Lesi mulut / genitalis ( 20 – 40 %)
e. Tidak ada tanda nikolsky
4. Pemfigus vegetans
a. pada usia lebih muda dibandingkan dengan pemfigus vulgaris
b. lesi awal dimukosa mulut berbulan-bulan
c. lesi kulit : lokasi inter triginose, wajah, kepala, hidung, extremitas, selluruh tubuh
berupa bula kendur, mudah pecah, erosi vegetans, bau amis, hiperpigmen
d. tanda nikolsky ada.
(Mansjoer,1999)
E. KOMPLIKASI
1. Secondary infection
Salah satunya mungkin disebabkan oleh sistemik atau lokal pada kulit. Mungkin
terjadi karena penggunaan immunosupresant dan adanya multiple erosion. Infeksi
cutaneus memperlambat penyembuhan luka dan meningkatkan resiko timbulnya
scar.
2. Malignansi dari penggunaan imunosupresif
Biasanya ditemukan pada pasien yang mendapat terapi immunosupresif.
3. Growth retardation
Ditemukan pada anak yang menggunakan immunosupresan dan kortikosteroid.
4. Supresi sumsum tulang.
Dilaporkan pada pasien yang menerima imunosupresant. Insiden leukemia dan
lymphoma meningkat pada penggunaan imunosupresif jangka lama.
5. Osteoporosis
Terjadi dengan penggunaan kortikosteroid sistemik
6. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
Erosi kulit yang luas, kehilangan cairan serta protein ketika bulla mengalami rupture
akan menyebabkan gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit. Kehilangan cairan
dan natrium klorida ini merupakan penyebab terbanyak gejala sistemik yang
berkaitan dengan penyakit dan harus diatasi dengan pemberian infuse larutan salin.
Hipoalbuminemia lazim dijumpai kalau proses mencapai kulit tubuh dan membrane
mukosa yang luas. (Price, 2002).
F. PENATALAKSANAAN
1. Pemfigus vulgaris
a. Umum
1) Perbaiki keadaan umum
2) Atasi keseimbangan cairan ( input atau output ), elektrolit, tanda-tanda vital
b. Sistemik
1) Kortikosteroid : Prednison 60-150 mg/hr ( tergantung berat ringannya penyakit
2) Tapering off disesuaikan dengan kondisi klinis dan kadar IgG dalam darah
sampai dosis pemeliharaan
3) Dapat dikombinasikan kortikosteroid dan sitostatika (Azotlapin 1-3 mg/kg BB
) untuk sparing efek.
4) Antibiotika bila ada infeksi sekunder
5) KCL 3x500 mg/ hari
6) Anabolik ( Anabolene 1x1 tablet/ hari )
c. Topikal
1) Eksudatif : kompres
2) Darah erosif :
- Silver sulfadiazine
- Krim antibiotik bila ada infeksi
3) Kortikosteroid lemah untuk lesi yang tidah eksudatif
G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Pemfigus vulgaris biasanya terjadi pada usia lanjut dan disertai dengan keadaan umum
yang lemah. Selain itu diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan:
1. Gambaran klinis yang khas dan tanda dari nikolsky positip
2. Tes tzanck positip. Pemeriksaan cairan dari bulla (melepuh) untuk mencari sel
tzanck dengan membuat apusan dari dasar bula dan dicat dengan giemsa, akan
terlihat sel tzanck atau sel akantolitik yang berasal dari spinosum berbentuk agak
bulat dan berinti besar dengan dikelilingi sitoplasma jernih (halo).
3. Pemeriksaan histopatogenik: terlihat gambar yang khas, yaitu bula yang terletak
suprabasal dan adanya akontolisis.
4. Pemeriksaan imunofluorensi.
a. Immunofluorescen langsung
Menunjukan endapan antibodi IgG, C3, di substansi interselluler epidermis
b. Immunofluorescen tidak langsung
Serum : dideteksi sirkulasi antibodi IgG interseluler, terdapat pada 80-90%
penderita.
(Harahap, 2000, hal : 136)
C. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Resiko tinggi ketidakseimbangan cairan dan elektolit b.d hilangnya cairan pada
jaringan, penurunan intake cairan, pengeluaran cairan berlebih dengan peningkatan
terbentuknya bula dan ruptur bula.
2. Resiko tinggi infeksi b.d penurunan imunitas, adanya port de entree pada lesi.
3. Nyeri b.d kerusakan jaringan lunak erosi jaringan lunak.
4. Kerusakan integritas kulit b.d lesi dan raksi inflamasi lokal.
5. Defisit perawatan diri b.d kelemahan fisik, penurunan kemampuan aktivitas umum
sekunder dari adanya nyeri, kerusakan luas kulit.
6. Kecemasan b.d kondisi penyakit, kerusakan luas pada jaringan kulit.
D. INTERVENSI
Resiko tinggi ketidakseimbangan cairan dan elektolit b.d hilangnya cairan pada jaringan,
penurunan intake cairan, pengeluaran cairan berlebih dengan peningkatan terbentuknya
bula dan ruptur bula.
Tujuan : dalam waktu 1 x 24 jam tidak terjadi syok hipovolemik.
Kriteria evaluasi :
- Tidak terdapat tanda-tanda syok : pasien tidak mengeluh pusing, TTV dalam batas normal,
kesadaran optimal, urine >600 ml/hari.
- Membran mukosa lembab, turgor kulit normal, CRT >3detik.
- Laboratorium : nilai elektrolit normal, nilai hematokrit dan protein serum meningkat, BUN/
kreatinin meurun.
Intervensi Rasional
Intervensi pemenuhan cairan :
Identifikasi faktor penyebab, awitan (onset), Parameter dalam menentukan intervensi
spesifikasi usia dan adanya riwayat penyakit kedaruratan. Adanya usia anak atau lanjut
lain. usia memberikan tingkat keparahan dari
kondisi ketidakseimbangan cairan dan
elektrolit.
3. Berikan cairan oral sedikit demi sedikit Pembrian cairan oral sedikit demi sedikit
untuk mencegah terjadinya muntah apabila
diberikan secara stimultan.
Lakukan pemasangan intravenus fluid drops
(IVFD) Apabila kondisi diare dan muntah berlanjut,
maka lakukan pemasangan IVFD. Pemberian
cairan intravena disesuaikan dengan derajat
dehidrasi.
Pemberian 1-2 L cairan RL secara tetesan
cepat sebagai kompensasi awal hidrasi cairan
diberikan untuk mencegah syok hipovolemik
(lihat intervensi kedaruratan syok
hipovolemik).
Dokumentasi dengan akurat tentang input
output cairan Sebagai evaluasi penting dari intervensi
hidrasi dan mencegah terjadinya over hidrasi.
Anjurkan pasien untuk minum dan makan Pemberian cairan dan makanan tinggi
makanan yang banyak mengandung natrium natrium dilakukan sesuai dengan tingkat
seperti susu, telur, daging , dsb. toleransi. Meskipun kekurangan natrium
menyebabkan gejala serius yang perlu
pemberian intravenus segera, pasien
dianjurkan juga untuk mencoba intake
natrium peroral dan hindari pembatasan
Monitor khusus ketidakseimbangan garam.
elektrolit pada lansia Individu lansia dapat dengan cepat
mengalami dehidrasi dan menderita kadar
kalium rendah (hipokalemia) sebagai akibat
dari ruptur bulla. Individu lansia yang
menggunakan digitalis harus waspada
terhadap cepatnya dehidrasi dan hipokalemia
pada penurunan cairan pada pemfigus.
Individu ini juga dintruksikan untuk
mengenali tanda-tanda hipokalemia karena
kadar kalium rendah dapat memperberat
kerja digitalis yang dapat menimbulkan
toksisitas digitalis.
Resiko tinggi infeksi b.d penurunan imunitas, adanya port de entree pada lesi.
Tujuan : Dalam waktu 7 x 24 jam tidak terjadi infeksi, terjadi perbaikan pada integritas
jaringan lunak.
Kriteria evaluasi :
- Lesi akan menutup pada hari ke 7 tanpa adanya tanda-tanda infeksi dan peradangan pada
area lesi.
- Leukosit dalam btas normal, TTV dalam batas normal.
Intervensi Rasional
Kaji kondisi lesi, banyak dan besarnya bula, Mengidentifikasi kemajuan atau
serta apakah adanya order khusus dari tim penyimpangan dari tujuan yang diharapkan.
dokter dalam melakukan perawatan luka.
Buat kondisi balutan dalam keadaan bersih Kondisi bersih dan kering akan menghindari
dan kering. kontaminasi komensal, serta akan
menyebabkan respons inflamasi lokal dan
akan memperlambat penyembuhan luka.
Lakukan perawatan luka :
Lakukan perawatan luka steril setiap hari. Perawatan luka sebaiknya dilakukan setiap
hari untuk membersihkan debris dan
menurunkan kontak kuman masuk kedalam
lesi. Intervensi dilakukan dalam kondisi steril
sehingga mencegah kontaminasi kuman ke
Bersihkan luka dan drainase dengan cairan lesi pemfigus.
Nacl 0,9% atau antiseptik jenis iodine Pembersihan debris (sisa fagosit, jaringan ati)
providum dengan cara swabbing dari arah dan kuman sekitar luka dengan
dalam ke luar. mengoptimalkan kelebihan dari iodine
providum sebagai antisepti dengan arah dari
dalam keluar dapat mencegah kontaminasi
Tutup luka dengan kassa steril dan jangan dengan alkohol atau normal saline.
menggunakan dengan plester adhesif Penutupan secara menyeluruh dapat
menghindari kontaminasi dari benda atau
udara yang bersentuhan dengan lesi
pemfigus.
Kolaborasi penggunaan anibiotik Anibiotik injeksi diberikan untuk mencegah
aktivasi kuman yang bisa masuk. Peran
perawat mengkaji adanya reaksi dan riwayat
alergi antibiotik, serta memberikan antibiotik
sesuai pesanan dokter.
Kerusakan integritas jaringan kulit b.d nekrosis local sekunder dari akumulasi pus pada
jaringan folikel rambut
Tujuan: Dalam 5 x 24 jam integritas kulit membaik secara optimal.
Kriteria evaluasi:
Pertumbuhan jaringan meningkat, keadaan luka membaik, pengeluaran pus pada luka tidak
ada lagi, luka menutup.
Intervensi Rasional
Kaji kerusakan jaringan lunak yang terjadi Menjadi data dasar untuk memberikan
pada klien. informasi intervensi perawatan luka, alat apa
yang akan dipakai, dan jenis larutan apa yang
akan digunakan.
Lakukan perawatan bula. Pasien dengan daerah bula yang luas
memiliki bau yang khas yang akan berkurang
setelah infeksi sekunder terkendali. Sesudah
kulit pasien dimandikan, kulit tersebut
dikeringkan dengan hati-hati dan ditaburi
bedak yang tidak iritatif agar pasien dapat
bergerak lebih bebas ditempat tidurnya.
Jumlah bedak yang cukup banyak mungkin
diperlukan untuk menjaga agar kulit pasien
tidak lengket pada seprei. Plester sama sekali
tidak boleh digunakan pada kulit karena
dapat menimbulkan lebih banyak bullae .
hipotermi sering terjadi dan tindakan untuk
menjaga agar pasien tetap hangat serta
nyaman merupakan prioritas dalam aktivitas
keperawatan.
Lakukan perawatan luka:
Lakukan perawatan luka dengan teknik Perawatan luka dengan teknik steril dapat
steril. mengurangi kontaminasi kuman langsung ke
area luka.
Kaji keadaan luka dengan teknik membuka Manajemen membuka luka dengan
balutan dengan mengurangi stimulus nyeri. mengguyur larutan NaCl ke kasa dapat
Bila melekat kuat, kasa diguyur dengan mengurangi stimulus nyeri.
NaCl.
Lakukan pembilasan luka dari arah dalam Teknik membuang jaringan dan kuman di
keluar dengan cairan NaCl. area luka dan diharapkan keluar dari area
E. EVALUASI
1. Tidak terjadi syok hipovolemik.
2. Tidak terjadi infeksi.
3. Terjadi penurunan respons nyeri.
4. Peningkatan integritas jaringan kulit.
5. Perawatan aktivitas dapat terlaksana.
6. Tingkat kecemasan berkurang.
(Arif Mutakin, 2011, hal.111).
PATOFISIOLOGI PEMFIGUS VULGARIS
Penyakit autoimun
Obat-obatan genetik
PEMFIGUS
Kulit mengelupas
Gangguan rasa Takut beraktifitas
nyaman : Nyeri
Gangguan
Intoleransi aktivitas Barier keseimban
proteksi gan cairan
kulit dan dan
membran elektrolit
mukosa
kulit
DAFTAR PUSTAKA
Mutakin, Arif. 2011. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Integumen. Jakarta : Salemba Medika
Mansjoer, Arif, Dkk. 1999. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Medikal Aesculapis
Sylvia, A. Price. 2002. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. EGC : Jakarta.
Harahap, Marwali. 2000. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta: Hipokretes.