You are on page 1of 15

Cachexia

Cachexia merupakan sindrom pembuangan kronik yang komplek (complex chronic


wasting syndrome)dimana otot dan jaringan lemak hilang sebagai akibat dari gangguan
metabolik yang disebabkan oleh interaksi antara host dan tumor (McDonald, Easson, Mazurak,
et al., 2003, dalam Reid et al., 2009).Penurunan berat badan pada cachexia berbeda dengan
penurunan berat badan yang disebabkan oleh masalah nutrisi lain seperti pada kelaparan dan
anorexia,. Adanya penurunan massa otot merupakan hal yang khusus dan spesifik pada
cachexia yang membedakannya dengan yang lain (O’ Goman, 1999)

Selain itu, pada cachexia yang parah seperti yang terdapat pada pasien kanker stadium
lanjut yang ditandai dengan penurunan berat badan lebih dari 10 %, CRP lebih dari 10 mg/dL
dan adanya penurunan nafsu makan, pemberian terapi nutrisi sendiri tidak secara signifikan
dapat meningkatkan status nutrisi pasien (Tisdale, 2002). Berbeda dengan masalah nutrisi lain
seperti kelaparan, dimana pemberian terapi nutrisi sudah cukup untuk meningkatkan status
nutrisi pasien (Inui, 2002)

Cachexia memberikan dampak yang serius pada pasien. Dari segi fisik, cachexia
menyebabkan pasien menjadi mudah lemas, kurang bergairah serta mudah letih. Sehingga
menimbulkan penurunan kualitas hidup (quality of life ) pada pasien yang menderita kanker
sebanyak 30 % (Whindholm et al., 2007). Masalah psikologis akibat dari cachexia juga terlihat
jelas mempengaruhi kehidupan pasien. Pasien dengan cachexia menggambarkan dirinya
semakin berbeda dengan orang lain, terlihat aneh, semakin tua, seperti tengkorak dan menjadi
kurang menarik serta sex appeals yang semakin menghilang (Hinsley, & Hughes, 2007). Selain
itu, pasien juga merasa bahwa ketika berat badannya semakin jauh berkurang, pasien menjadi
semakin cemas dan berfikir bahwa penyakit mereka semakin memburuk. Pasien menjadi lebih
mudah frustasi, karena tidak mampu menghentikan kehilangan berat badan serta efek samping
yang ditimbulkannya.

Dari segi sosial pasien harus beradaptasi dengan diri mereka sendiri. Pasien merasa
kehilangan otonomi dan menjadi beban bagi orang lain karena membutuhkan bantuan ekstra
ketika ingin melakukan sesuatu. Selain itu, terjadinya perubahan ritme kehidupan yang
disebabkan oleh kelemahan akibat dari cachexia menyebabkan waktu pasien untuk
bersosialisasi dengan orang sekitarnya menjadi lebih sedikit, sehingga terjadilah perubahan
interaksi sosial dalam kehidupan pasien (Reid et al, 2009).
Penyakit pada salah satu anggota keluarga akan mempengaruhi anggota keluarga
lainnya. Pada keluarga dengan anggota keluarga yang menderita kanker stadium lanjut,
keluarga berfungsi tidak hanya sebagai support system untuk membantu yang sakit tetapi juga
sebagai salah satu unit yang menghadapi penyakit kanker tersebut. Pada masa ini integritas
sistem dan fungsi keluarga terancam atau dengan kata lain keluarga dan seluruh anggota
keluarga berada dalam krisis (Christ, 1983; GrayPrice, & Szczecsny, 1985, di dalam
McCorckle et al., 1991). Akibatnya akan terjadi gangguan pola komunikasi, pola peran, dan
perubahan kedinamisan dalam keluarga.

Oleh karena itu, intervensi yang diberikan untuk meningkatkan mekanisme koping
harusnya tidak hanya diberikan kepada individu saja tapi seharusnya juga diberikan kepada
seluruh anggota keluarga terutama istri (Northouse,1984; Oberst, dan James, 1985 dalam
McCorcle et al., 1991). Dilihat dari sisi keluarga,makanan merupakan simbol kasih sayang dan
perhatian yang lebih terhadap kesehatan dan kesejahteraan pasien. Penolakan pasien terhadap
makanan yang telah dipersiapkan menimbulkan stress dan kecemasan tersendiri kepada
keluarga. Keluarga merasa bahwa adanya korelasi antara penurunan berat badan pasien dengan
prognosis penyakit. Keluarga beranggapan semakin kurus pasien, semakin jelek prognosis
penyakitnya. Untuk mengatasi hal tersebut keluarga merasa bahwa pasien harus makan lebih
banyak dari sebelumnya dan keluarga akan terus mengawasi jumlah intake makanan yang
dimakan oleh pasien sampai keluarga merasa bahwa kalori yang dibutuhkan pasien telah
mencukupi. Hal ini menimbulkan konflik antara pasien dan keluarga serta menimbulkan krisis
dalam keluarga.

Keluarga dengan kanker stadium lanjut menghadapi masalah sosial dan psikologikal
serta keuangan yang komplek selama masa perjalanan penyakit terutama bagi seorang istri.
Mereka melaporkan bahwa mereka mengalami kesukaran untuk memberikan dukungan kepada
anggota keluarga yang sakit terutama pada anggota keluarga yang sekarat. Tetapi sayangnya,
permasalahan mereka tersebut kurang mendapatkan perhatian dari tenaga kesehatan, sehingga
pada akhirnya mereka mencari sumber koping sendiri. Koping dan adaptasi yang biasa
digunakan me- 27 reka peroleh dari teman atau anggota keluarga lain serta dari berbagai
pemuka agama

Pada keluarga dengan kanker stadium lanjut diharapkan bisa menerapkan koping yang positif
dalam penanganan masalah mereka baik masalah fisik maupun masalah psikososial.
Penggunaan koping yang positif dapat meningkatkan kemampuan keluarga dalam perawatan
pasien dan bagi keluarga sendiri juga terhindar dari efek negatif dari masalah-masalah fisik dan
psikologis yang timbul selama merawat anggota keluarga Keterlibatan keluarga dalam
perawatan pasien merupakan hal yang penting, karena keluarga mempunyai peran yang sangat
besar dalam upaya peningkatan kesehatan fisik serta pemberian dukungan psikologis (Aoun et
al., 2005). Selain itu, komunikasi dan rasa terikat antara keluarga dengan pasien dapat
meningkatkan kesejahteraan psikososial pasien (Lin & Bauer-Wu, 2003, di dalam Hopkinson,
Wright & Corner, 2006). Oleh karena itu, pasien dan keluarga harus saling bekerjasama dan
memberikan dukungan satu dengan yang lainnya, sehingga terbentuk suatu kesinergisan dalam
perawatan pasien, sehingga pada akhirnya pasien dapat meningkatkan kemampuan
personalnya untuk hidup secara positif dan mempunyai kehidupan yang lebih berarti dalam
akhir kehidupannya dirawat di RS Kanker Dharmais. tidak mempunyai gangguan kognitif,
mampu berkomunikasi verbal dengan menggunakan bahasa Indonesia yang dapat dimengerti
oleh peneliti serta bersedia menjadi partisipan yang dibuktikan dengan bersedia
menandatangani informed concent yang diberikan.

Setelah dilakukan proses analisis tematik, maka didapatkan tujuh tema pada keluarga yaitu;
1) pengetahuan yang kurang tentang cachexia, 2) gangguan biopsikososial, 3) perubahan pola
makan, 4) perhatian perawat yang dirasakan kurang oleh pasien, 5) kebutuhan akan pendidikan
kesehatan dan 6) kebutuhan akan peningkatan fasilitas kesehatan, dan 7) adanya konflik dalam
keluarga.

1) Pengetahuan yang Kurang tentang Cachexia Pengetahuan awal pasien tentang


cachexia merupakan informasi penting untuk melihat sejauh mana pandangan keluarga
tentang permasalahan cachexia. Partisipan pada umumnya tidak tahu bahkan tidak
pernah mendengar sama sekali tentang cachexia.
2) Gangguan psikologis Cachexia mempunyai dampak psikologis terhadap keluarga.
Bagi keluarga penurunan berat badan dianggap sebagai penurunan keadaan fisik pasien
dan identik dengan kematian yang sudah dekat, sehingga terdapat rasa ketakutan,
cemas, dan khawatir jika kematian sang suami sudah dekat. Selain itu beban mereka
juga bertambah dengan masalah finansial. Hal ini membuat keluarga menjadi stress
dalam merawat suaminya.
3) Perubahan Pola Makan Dalam keluarga dengan adanya permasalahan cachexia ini,
keluarga menjadi lebih perhatian dalam merawat anggota keluarga yang mengalami
cachexia. Keluarga juga mencoba mengatur perubahan pola makan pada pasien.
Perubahan pola makan pasien dilakukan keluarga dengan cara meningkatkan jumlah
dan jenis makanan yang disediakan serta memberlakukan pantangan makan bagi
pasien.
4) Perhatian Perawat yang Dirasakan Kurang oleh Pasien Dari hasil penelitian
didapatkan data bahwa keluarga berpendapat bahwa selama ini perawat tidak pernah
menanyakan secara menyeluruh mengenai masalah berat badan kepada mereka.
Padahal perawat seharusnya menanyakan masalah berat badan dan asupan nutrisi yang
selama ini dimakan oleh pasien supaya didapatkan data tentang permasalahan pasien
yang akurat sehingga nantinya bisa diberikan asuhan keperawatan yang tepat. Keluarga
juga menyatakan bahwa selama ini pengukuran berat badan pasien hanya dilakukan
diawal masuk saja, setelah itu tidak pernah ada lagi kelanjutan (follow up). Dari data
juga didapatkan informasi bahwa untuk mengetahui penurunan berat badannya
keluarga berusaha untuk melakukan penimbangan sendiri.
5) Kebutuhan akan Pendidikan Kesehatan Kebutuhan akan pendidikan kesehatan juga
ditemukan pada keluarga, dari wawancara yang dilakukan didapatkan data bahwa
keluarga menginginkan pendidikan kesehatan terkait dengan perjalanan penyakit dan
pendidikan kesehatan tentang nutrisi.
6) Kebutuhan akan Peningkatan Fasilitas Kesehatan, Fasilitas yang diinginkan oleh
pasien antara lain peningkatan prasarana, adanya variasi makanan, peningkatan
kenyamanan dan kebersihan sehingga meningkatkan nafsu makan pasien. Hal ini
diungkapkan oleh pasien dengan cara. Taraf makanannya lebih diperbaiki.
7) Konflik dalam Keluarga, Konflik dalam keluarga merupakan analisis tematik terakhir
yang ditemukan. Konflik dalam keluarga ini disebabkan oleh keinginan keluarga untuk
meningkatkan berat badan anggota keluarganya dengan cara memberikan makanan
yang lebih banyak dan sering kepada pasien, akibatnya pasien merasa tertekan dan
merasa seperti diperlakukan seperti anak kecil. Selain itu konflik juga disebabkan
karena rasa tidak senang keluarga ketika pasien tidak menghabiskan makanan yang
telah disediakan. Keluaga merasa sedih jika makanan tidak dihabiskan, karena ini
merupakan wujud kasih sayang mereka.
Pada umumnya keluarga tidak menyadari telah terjadinya permasalahan
cachexia pada anggota keluarga mereka. Mereka menganggap bahwa penurunan berat
badan yang terjadi hanya disebabkan oleh penurunan nafsu makan. Padakeluarga juga
sering terdapat pemahaman yang salah tentang cachexia. Mereka beranggapan bahwa
cachexia itu terjadi karena kanker memakan makanan yang dimakan oleh pasien.
Padahal sebenarnya yang terjadi adalah pasien kanker mempunyai resting energy
expenditure yang lebih tinggi daripada seseorang yang tidak menderita kanker
(Holmes, 2001).
Tumor sendiri menghasilkan suatu produk yang mengganggu perbaikan
jaringan normal dengan cara meningkatkan proses metabolisme dan menghambat
proses anabolisme, sehingga terjadilah kehilangan jaringan yang signifikan. (Holmes,
2009; Hopkinson & Fosfer, 2008). Maka tidaklah mengherankan jika seseorang pasien
kanker mempunyai nafsu makan yang baik tapi tetap saja mengalami penurunan berat
badan. Manajemen penatalaksanaan cachexia biasanya kombinasi antara pemberian
terapi farmasi, suplementasi nutrisi, dan konservasi energi serta pemberian dukungan
kepada pasien dan keluarga (Brown, 2002, Stresser, 2002, Hopkinson, Wright & Foster,
2008).
Cachexia mempunyai dampak yang serius tidak hanya bagi pasien tapi juga bagi
keluarga yang merawat terutama seorang istri. Keluarga juga mengalami gangguan
psikologis dimana keluarga merasa cemas akan terjadinya penurunan berat badan pada
pasien yang diasosiasikan dengan prognosis yang buruk. Rasa cemas merupakan hal
yang wajar terjadi pada keluarga, mengingat keluarga mempunyai tanggungjawab yang
besar untuk membantu anggota keluarga melewati fase-fase dalam menghadapi
penyakit kanker. Penyakit pada salah satu anggota keluarga akan mempengaruhi
anggota keluarga yang lainnya. Pada masa ini integritas sistem dan fungsi keluarga
terancam atau dengan kata lain keluarga dan seluruh anggota keluarga berada dalam
krisis (Christ, 1983; GrayPrice, & Szczecsny, 1985, dalam McCorckle et al., 1996).
Keluarga juga beresiko memiliki negatif outcome yang Pengalaman Keluarga Merawat
Pasien Cachexia pada Kanker Stadium Lanjut (Huda, Sitorus, dan Waluyo) disebabkan
oleh peranan dan pengalaman mereka untuk merespon penyakit dari anggota
keluarganya. Adapun masalah psikologis yang sering muncul pada keluarga antara lain
cemas, depresi dan gangguan pola tidur serta finansial stress (Meeker, 2010).
Nutrisi yang bagus akan memberikan perbedaan pada pasien dengan kanker.
Keuntungan dari menjaga status nutrisi pada pasien kanker adalah menurunkan resiko
terjadinya komplikasi, meyakinkan bahwa pasien mampu untuk memenuhi
peningkatan energi dan kebutuhan protein, membantu untuk memperbaiki dan
membangun jaringan normal yang rusak akibat terapi antineoplastik, meningkatkan
toleransi pasien terhadap terapi, menjaga dan meningkatkan kualitas dari kehidupan
(Grodner et al., 2007). Hopkinson, Wright & Corner (2006) yang mengatakan bahwa
keluarga menganggap bahwa pasien harus makan lebih banyak dari sebelumnya dan
keluarga akan terus mengawasi jumlah intake makanan yang dimakan oleh pasien
sampai keluarga merasa kalori yang dibutuhkan telah mencukupi.Intervensi yang
dilakukan keluarga seharusnya adalah memberikan nutrisi yang sesuai yang dapat
meningkatkan respon imun serta menbantu untuk mencegah cachexia (Merkadante,
1998, di dalam Holmes, 2010). Konsumsi makanan yang tepat dapat mengurangi efek
samping dari terapi kanker yang dijalani pasien, mengurangi fatique serta
meningkatkan kemampuan aktifitas fisik pasien. Pemberian nutrisi ini juga harus
memperhatikan tipe, jumlah, dan waktu pemberian makan (Dimeo et al., 1997 dalam
Holmes, 2010).

KWASHIORKOR

1. Definisi kwarshiorkor

Definisi kwashiorkor adalah satu bentuk malnutrisi yang disebabkan oleh defisiensi
protein yang berat bisa dengan konsumsi energi dan kalori tubuh yang tidak mencukupi
kebutuhan. Kwashiorkor atau busung lapar adalah salah satu bentuk sindroma dari gangguan
yang dikenali sebagai Malnutrisi Energi Protein (MEP) dengan beberapa karakteristik berupa
edema dan kegagalan pertumbuhan, depigmentasi, hyperkeratosis.

Penyakit ini merupakan bentuk malnutrisi paling banyak didapatkan di dunia ini,pada dewasa
ini,terutama sekali pada wilayah-wilayah yang masih terkebelakangan bidang industrinya.
Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Cicely D. Williams pada rangkaian saintifik
internasional melalui artikelnya Lancet 1935. Beliau pada tahun 1933 melukiskan suatu
sindrom tersebut berhubungan dengan defisiensi dari nutrien apa. Akhirnya baru diketahui
defisiensi protein menjadi penyebabnya. Walaupun sebab utama penyakit ini ialah defisiensi
protein, tetapi karena biasanya bahan makanan yang dimakan itu juga kurang mengandung
nutrien lainnya, maka defisiensi protein disertai defisiensi kalori sehingga sering penderita
menunjukkan baik gejala kwashiorkor maupun marasmus.

2. Penyebab penyakit kwarshiorkor


Kwashiorkor paling seringnya terjadi pada usia antara 1-4 tahun ,namun dapat pula
terjadi pada bayi .Kwashiorkor yang mungkin terjadi pada orang dewasa adalah sebagai
komplikasi dari parasit atau infeksi lain.

Penyakit ini banyak terdapat anak dari golongan penduduk yang berpenghasilan rendah. Ini
dapat dimengerti karena protein yang bermutu baik terutama pada bahan makanan yang berasal
dari hewan seperti protein, susu, keju, telur, daging, dan ikan. Bahan makanan tersebut cukup
mahal , sehingga tidak terjangkau oleh mereka yang berpenghasilan rendah. Akan tetapi faktor
ekonomi bukan merupakan satu-satunya penyebab penyakit ini. Ada berbagai protein nabati
yang bernilai cukup baik, misalnya kacang kedele, kacang hijau, dan sebagainya, akan tetapi
karena tidak diketahui atau tidak disadari, bahan makanan tersebut tidak digunakan
sebagaimana mestinya. Pengetahuan yang kurang tentang nilai bahan makanan, cara
pemeliharaan anak, disamping ketakhyulan merupakan faktor tambahan dari timbulnya
penyakit kwashiorkor. Keadaan higiene yang buruk, sehingga mereka mudah dihinggapi
infeksi dan infestasi parasit dan timbulnya diare mempercepat atau merupakan trigger
mechanisme dari penyakit ini.

Banyak hal yang menjadi penyebab kwashiorkor, namun faktor paling mayor adalah menyusui,
yaitu ketika ASI digantikan oleh asupan yang tidak adekuat atau tidak seimbang. Setelah usia
1 tahun atau lebih ,kwashiorkor dapat muncul bahkan ketika kekurangan bahan pangan
bukanlah menjadi masalahnya, tetapi kebiasaan adat atau ketidak tahuan (kurang nya edukasi)
yang menyebabkan penyimpangan keseimbangan nutrisi yang baik.

Walaupun kekurangan kalori dan bahan-bahan makanan yang lain memepersulit pola-pola
klinik dan kimiawinya, gejala-gejala utama malnutrisi protein disebabkan oleh kekurangan
pemasukan protein yang mempunyai nilai biologik yang baik.Bisa juga terdapat gangguan
penyerapan protein,misalnya yang dijumpai pada keadaan diare kronik,kehilangan protein
secara tidak normal pada proteinuria (nefrosis), infeksi,perdarahan atau luka-luka bakar serta
kegagalan melakukan sintesis protein , seperti yanga didapatkan pula pada penyakit hati yang
kronis.

3. Metabolisme protein pada penderita kwashiorkor

Ada tiga kemungkinan mekanisme pengubahan protein , yaitu (Poejdiadi, 1994):

 Sel-sel mati, lalu komponennya mengalami proses penguraian atau katabolisme dan
dibentuk sel-sel baru
 Masing-masing protein mengalami proses penguraian dan terjadi sintesis protein baru,
tanpa ada sel yang mati .
 Protein dikeluarkan dari dalam sel diganti dengan sinteis protein baru Pada penderita
Kwashiorkor, asupan protein dari makanan kurang sehingga menyebabkan neraca
protein negatif (keluaran>masukan) sehingga asam amino dalam darah, hati dan
intrasel mengalami defisiensi yang menyebabkan proses metabolisme selanjutnya
terganggu

4. GEJALA-GEJALA PENGIDAP KWASHIORKOR

Pada kwashiorkor, terjadi edema dan perlemakan hati yang disebabkan gangguan
metabolik dan perubahan sel. Kelainan ini merupakan gejala yang menyolok. Pada penderita
defisiensi protein, tidak terjadi katabolisme jaringan yang berlebihan, karena persediaan energi
dapat dipenuhi oleh jumlah kalori yang cukup. Namun, kekurangan protein akan menimbulkan
kekurangan berbagai asam amino esensial yang dibutuhkan untuk sintesis.

Oleh karena dalam diet terdapat cukup karbohidrat, maka produksi insulin akan meningkat
dan sebagian asam amino dalam serum yang jumlahnya sudah kurang tersebut akan disalurkan
ke otot. Berkurangnya asam amino dalam serum merupakan penyebabnya kurang
pembentukan albumin oleh hepar, sehingga kemudian timbul edema . Perlemakan hati
disebabkan gangguan pembentukan lipoproteinbeta sehingga transportasi lemak dari hati ke
depot lemak juga terganggu dan akibatnya terjadi akumulasi lemak dalam hepar. Manifestasi
dini pada kwashiorkor cukup samar-samar mencakup letargi,apati, dan iritabilitas. Manifestasi
lanjut yang berkembang dapat berupa pertumbuhan yang tidak memadai, kurangnya stamina,
hilangnya jaringan otot, menjadi lebih peka terhadap serangan infeksi dan edema. Nafsu makan
berkurang ,jaringan bawah kulit mengendor dan lembek serta ketegangan otot menghilang.
Pembesaran hati dapat terjadi secra dini atau kalau sudah lanjut, infiltrasi lemak lazim
ditemukan. Edema biasanya terjadi secara dini,kegagalan mencapai penambahan BB ini dapat
terselubungi oleh edema yang terjadi ,yang kerap kali telah terdapat pada organ-organ
dalam,sebelum ia dapat terlihat pada muka dan anggota gerak.

a. Wujud Umum Secara umumnya penderita kwashiorkor tampak pucat, kurus, atrofi
pada ekstremitas, adanya edema pedis dan pretibial serta asites. Muka penderita ada
tanda moon face dari akibat terjadinya edema.
b. Retardasi Pertumbuhan Gejala penting ialah pertumbuhan yang terganggu. Selain
berat badan, tinggi badan juga kurang dibandingkan dengan anak sehat.
c. Perubahan Mental Biasanya penderita cengeng, hilang nafsu makan dan rewel. Pada
stadium lanjut bisa menjadi apatis. Kesadarannya juga bisa menurun, dan anak menjadi
pasif.
d. Edema
Pada sebagian besar penderita ditemukan edema baik ringan maupun berat. Edemanya
bersifat pitting. Edema terjadi bisa disebabkan hipoalbuminemia, gangguan dinding
kapiler, dan hormonal akibat dari gangguan eliminasi ADH.
e. Kelainan Rambut Perubahan rambut sering dijumpai, baik mengenai (texture),
maupun warnanya. Sangat khas untuk penderita kwashiorkor ialah rambut kepala yang
mudah tercabut tanpa rasa sakit. Pada penderita kwashiorkor lanjut, rambut akan
tampak kusam, halus, kering, jarang dan berubah warna menjadi putih. Sering bulu
mata menjadi panjang.
f. Kelainan Kulit Kulit penderita biasanya kering dengan menunjukkan garis-garis kulit
yang lebih mendalam dan lebar. Sering ditemukan hiperpigmentasi dan persisikan kulit.
Pada sebagian besar penderita dtemukan perubahan kulit yang khas untuk penyakit
kwashiorkor, yaitu crazy pavement dermatosis yang merupakan bercak-bercak putih
atau merah muda dengan tepi hitam ditemukan pada bagian tubuh yang sering
mendapat tekanan. Terutama bila tekanan itu terus-menerus dan disertai kelembapan
oleh keringat atau ekskreta, seperti pada bokong, fosa politea, lutut, buku kaki, paha,
lipat paha, dan sebagainya. Perubahan kulit demikian dimulai dengan bercak-bercak
kecil merah yang dalam waktu singkat bertambah dan berpadu untuk menjadi hitam.
Pada suatu saat mengelupas dan memperlihatkan bagian-bagian yang tidak
mengandung pigmen, dibatasi oleh tepi yang masih hitam oleh hiperpigmentasi.
g. Kelainan Gigi dan Tulang Pada tulang penderita kwashiorkor didapatkan
dekalsifikasi, osteoporosis, dan hambatan pertumbuhan. Sering juga ditemukan caries
pada gigi penderita.
h. Kelainan Hati Pada biopsi hati ditemukan perlemakan, bisa juga ditemukan biopsi hati
yang hampir semua sela hati mengandung vakuol lemak besar. Sering juga ditemukan
tanda fibrosis, nekrosis, da infiltrasi sel mononukleus. Perlemakan hati terjadi akibat
defisiensi faktor lipotropik.
i. Kelainan Darah dan Sumsum Tulang Anemia ringan selalu ditemukan pada
penderita kwashiorkor. Bila disertai penyakit lain, terutama infestasi parasit (
ankilostomiasis, amoebiasis) maka dapat dijumpai anemia berat. Anemia juga terjadi
disebabkan kurangnya nutrien yang penting untuk pembentukan darah seperti Ferum,
vitamin B kompleks (B12, folat, B6). Kelainan dari pembentukan darah dari hipoplasia
atau aplasia sumsum tulang disebabkan defisiensi protein dan infeksi menahun.
Defisiensi protein juga menyebabkan gangguan pembentukan sistem kekebalan tubuh.
Akibatnya terjadi defek umunitas seluler, dan gangguan sistem komplimen.
j. Kelainan Pankreas dan Kelenjar Lain Perlemakan banyak terjadi pada pankreas dan
kebanyakan kelenjar lain seperti parotis, lakrimal, saliva dan usus halus.
k. Kelainan Jantung Bisa terjadi miodegenerasi jantung dan gangguan fungsi jantung
disebabkan hipokalemi dan hipmagnesemia.
l. Kelainan Gastrointestinal Gejala gastrointestinal merupakan gejala yang penting.
Anoreksia kadang-kadang demikian hebatnya, sehingga segala pemberian makanan
ditolak dan makanan hanya dapat diberikan dengan sonde lambung. Diare terdapat pada
sebagian besar penderita. Hal ini terjadi karena 3 masalah utama yaitu berupa infeksi
atau infestasi usus, intoleransi laktosa, dan malabsorbsi lemak. Intoleransi laktosa
disebabkan defisiensi laktase. Malabsorbsi lemak terjadi akibat defisiensi garam
empedu, konyugasi hati, defisiensi lipase pankreas, dan atrofivilli mukosa usus halus.
Dermatitis juga lazim ditemukan.Penggelapan kulit terjadi pada tempat-tempat yang
mengalami iritasi,namun tidak pada daerah-daerah yang terkena sinar matahari..
Rambutnya biasanya jarang dan halu-halus serta kehilangan elastisitasnya. Pada anak-
anak yang berambut gelap dapat terlihat jalur-jalur rambut berwarna merah atau abu-
abu.Otot-otonya tampak lemah dan atrofi,tetapi sesekali dapat ditemukan lemak
dibawah kulit yang berlebihan.

5. ANALISIS MEDIS PENYAKIT KWASHIORKOR


a. Hampir semua kasus kwashiokor memperlihatkan penurunan kadar albumin,
kolesterol, dan glukosa dalam serum.
b. Kadar globulin dapat normal atau meningkat, sehingga perbandingan albumin
dan globulin serum dapat terbalik, yaitu kurang dari satu.
c. Kadar asam amino esensial dalam plasma relatif lebih rendah daripada asam
amino non esensial.
d. Umumnya kadar imunoglobulin serum normal, bahkan dapat meningkat.
Meskipun kadar IgA serum normal, namun kadar IgA sekretori merendah.
e. Gangguan imunitas selular, khususnya jumlah populasi sel T, merupakan
kelianan imunologik yang paling sering dijumpai pada MEP berat. Penetapan
komplemen menunjukkan penuruna kadar beberapa jenis komplemen dalam
serum.
f. Uji toleransi glukosa menunjukkan gambaran tipe diabetik.
g. Begitu pula terdapat penurunan kadar berbagai enzim dalam serum, seperti
amilase, esterase, kolin esterase, transaminase, dan fosfatase alkali; aktivitas
enzim pankreas dan xantin oksidase juga berkurang karena seringkali disertai
defisiensi vitamin dan mineral, maka kadar vitamin dan mineral dalam serum
merendah, diantaranya vitamin A, asam folat, riboflavin, fosfor, magnesium,
besi dan kalium.
h. Anemia yang timbul dapat disebabkan oleh defisiensi besi, protein, atau asam
folat dengan jenis yang paling sering ditemukan adalah anemia normokromik
normositik.
i. Pertumbuhan tulang juga mengalami hambatan, sedangkan sekresi hormon
pertumbuhan meningkat.
j. Pemeriksaan air kemih menunjukkan peningkatan ekskresi hidroksiprolin dan
adanya amino asidulia.
k. Pada biopsi hati ditemukan perlemakan ringan sampai berat, fibrosis, nekrosis,
dan infiltrasi sel mononuklear. Pada perlemakan berat hampir semua sel hati
mengandung vakuol lemak yang besar.
l. Pemeriksaan autopsi penderita kwashiorkor menunjukkan kelainan pada hampir
semua organ tubuh, seperti degenerasi otot jantung, osteoporosis tulang, atrofi
vilus usus, atrofi sistem limfoid, dan atrofi kelenjar timus.

6. KOMPLIKASI KWASHIORKOR

Komplikasi Kwashiorkor Anak dengan kwashiorkor akan lebih mudah untuk terkena infeksi
dikarenakan lemahnya system imun. Tinggi maksimal dan kemampuan potensial untuk tumbuh
tidak akan pernah dapat dicapai oleh anak dengan riwayat kwashiorkor. Bukti secara statistic
emngemukakan bahwa kwashiorkor yang terjadi pada awal kehidupan (bayi dan anank-anak)
dapat menurunkun IQ secara permenen.

a. Komplikasi jangka pendek :


1) Hipoglikemia
2) Hipotermi
3) Dehidrasi
4) Gangguan funfsi vital
5) Gangguan keseimbangan elektrolit asam-basa
6) Infeksi berat
7) Hambatan penyembuhan penyakit penyerta

b. Komplikasi jangka panjang :


1) Tubuh pendek
2) Berkurangnya potensi tumbuh kembang

7. PENCEGAHAN PENYAKIT KWASHIORKOR

Pencegahannya dapat berupa diet adekuat dengan jumlah-jumlah yang tepat dari
karbohidrat, lemak (minimal 10% dari total kalori), dan protein (12 % dari total kalori).
Sentiasa mengamalkan konsumsi diet yang seimbang dengan cukup karbohidrat, cukup lemak
dan protein bisa mencegah terjadinya kwashiorkor. Protein terutamanya harus disediakan
dalam makanan. Untuk mendapatkan sumber protein yang bernilai tinggi bisa didapatkan dari
protein hewan seperti susu, keju, daging, telur dan ikan. Bisa juga mendapatkan protein dari
protein nabati seperti kacang ijo dan kacang kedelai.

Penyakit gondong

Penyakit gondok adalah kondisi pembesaran kelenjar gondok (kelenjar tiroid) yang
diakibatkan oleh meningkatnya aktivitas kelenjar tersebut dalam upaya meningkatkan produksi
hormon tiroksin maupun triiodotironin. Secara morfologi penyakit ini dapat dikenali dari
adanya benjolan di leher bagian depan bawah. Kelenjar gondok berupa kelenjar berbentuk
kupu-kupu yang terdapat di leher. Kelenjar ini membentuk hormon tiroksin dan triiodotironin
dari bahan baku iodium.

Iodium merupakan mineral yang terdapat di alam, baik di dalam tanah maupun air. Mineral
ini merupakan zat gizi mikro yang diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan makhluk
hidup. Apabila makanan dan air yang dikonsumsi kurang mengandung iodium maka kelenjar
tiroid akan bekerja keras untuk mencukupi kebutuhan hormon tiroksin tubuh sehingga lama-
kelamaan akan terjadi pembesaran kelenjar tersebut, yang kita kenal sebagai penyakit gondok.
Hormon tiroksin berperan penting dalam metabolism dan pertumbuhan, serta memacu
perkembangan dan pematangan sistem saraf.

Penyakit gondok sudah sangat dikenal di kalangan masyarakat. Penyakit ini bukan
penyakit menular dan sering dianggap sebagai penyakit yang tidak berbahaya karena tidak
mengancam jiwa. Penanganan gondok lebih dikarenakan alasan estetika. Akan tetapi hasil
penelitian medis menunjukkan bahwa penyakit gondok dapat menimbulkan efek yang
merugikan bagi janin (Sulistyowati et a1.,2000; Duarsa 2013; ), anak-anak (Satriono et
a1.,2010), remaja (Budiman dan Sunnarno, 20A7) maupun orang dewasa. Sehubungan dengan
itu, informasi mengenai gejala, penyebab dan konsekuensi penyakit gondok perlu diberikan
kepada masyarakat wax pencegahan dan penangarumnya dapat dilakukan dengan baik.

Gejala penyakit gondok

Penyakit gondok biasanya dapat dilihat secara kasat mata dengan munculnya
pembengkakan pada leher bagian depan bawah, pada posisi dimana kelenjar tiroid berada Pada
bayi dan anak- anak gejala tambahan yang dapat dilihat adalah gangguan tumbuh kembang dan
kretinisme (kekerdilan). Gejala yang timbul akibat kekurangan iodium seciua terus-menerus
dalam jangka waktu lama disebut sebagai GAKY (Gangguan Akibat Kurang Iodium).
Penderita kurang iodium ringan dapat tidak mentrnjukkan gejala apa-apa sehingga sering tidak
disadari. Disamping itu karena tak terasa sakit, kadang penyakit gondok ini sering diabaikan.
Padahal hasil penelitian di berbagai daerah di Indonesia menunjukkan bahwa sekitar 42 juta
penduduk di Indonesia tinggal di daerah endemis gondok, yaitu daerah yang tanahnya
kekurangan iodium.

Perkembangan penyakit gondok dapat dikategorikan dalam lima tahapan yaitu:

a. Grade0: Normal Dengan inspeksi tidak terlihat, baik datar maupun


tengadah maksimal, dan dengan palpasi tidak teraba.
b. Grade IA Kelenjar Gondok tidak terlihat, baik datar maupun penderita
tengadah maksimal, dan palpasi teraba lebih besar dari ruas terakhir ibu jari
penderita.
c. Grade IB Kelenjar Gondok dengan inspeksi datar tidak terlihat, tetapi
terlihat dengan tengadah maksimal dan dengan palpasi teraba lebih besar
dari Grade IA.
d. Grade II Kelenjar Gondok dengan inspeksi terlihat dalam posisi datar dan
dengan palpasi teraba lebih besar dari Grade IB.
e. Grade III Kelenjar Gondok cukup besar, dapat terlihat pada jarak 6 meter
atau lebih.

PENANGANAN DAN PENCEGAHAN PENYAKIT GONDOK

Istilah Gangguan Akibat Kekurangan Iodium (GAKI), diperkenalkan sejak tahun


l97Aan untuk menggantikan istilah Gondok Endemik (GE), dan digunakan untuk mencakup
semua akibat kekurangan iodium terhadap pertumbuhan dan perkembangan yang dapat
dicegah dengan pemulihan kekurangan iodium (Djokomoeljanto, 2002). GAKI adalah
sekumpulan gejala klinis yang timbul karena tubuh seseorang kekurangan (defisiensi) unsur
iodium secara terus menerus dalam jangka waktu yang cukup lama (WHO, 2001).
Penanggulangan masalah GAKI secara nasional sudah dilalcukan sejak tahun 1975.
Departemen Kesehatan melaporkan penurunan endemisitas GAKI secara drastis melalui
program penggunaan gaftrm KIO3 di atas 30 ppm. Melalui progfitm tersebut tatal goiter
prevalence (TGR) menurun dan 27 menjadi 9,8Yo. Pada survei evaluasi GAKI oleh Intensified
Project-Iodine Deficiency Disorder Control (IP-IDDC), Departemen Kesehatan secara
nasional tahun 2003 menunjukkan TGR I l,lYo dan median iodium dalam urin dan proporsi
ekskresi iodium dalam.

Penyakit gondok tersebut dapat dicegah, salah satu cara pencegahannya adalah dengan
peningkatan konsumsi garam beriodium. Garam beriodium yang digunakan harus memenuhi
Standar Nasional yakni mengandung iodium sebesar 30-80 ppm. Dianjurkan setiap orang
mengkonsumsi garam beriodium sekitar 6 g atau I sendok teh setiap hari. Kebutuhan ini dapat
terpenuhi dari makanan sehari-hari yang diolah dengan menggunakan gartrm sebagai
penambah rasa dalam hidangan. Selain itu setiap oftmg dianjurkan mengkonsumsi makanan
yang kaya akan iodium.

Daftar pustaka

1. Dorland, Newman. 2000. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. Jakarta : EGC
Ethel, Sloane.2003.Anatomi Dan Fisiologi Untuk Pemula.Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran (EGC)
2. Nency,Y. 2005. Gizi Buruk Ancaman Generasi Yang Hilang.http://io.ppi
jepang.org/article.php?id=113. Diakses tanggal 2 April 2013 Ngastiyah. 1997.
Perawatan Anak Sakit. Jakarta : (EGC)
3. Meeker, M.A. (2010). Steadying oneself : Reflection of family care managers in
advanced cancer. Journal of Hospice and Palliative Nursing. 12(4), 236-244
4. Millar, C. (2009). The challenges of managing cachexia in advanced cancer. Cancer
Nursing Practice, 8(4), 24-27
5. Reid, J., McKenna, H.P., Fitzsimons, D.,& McCance, T.V. (2009). The experience
ofcancer cachexia: a qualitative study ofadvanced cancer patients and their
familymembers. International Journal ofNursing Studies. 46 (5), 606-616
6. Holmes, S. (2009). Nutrition in the care of patient with cancer cachexia. British Journal
of Community Nursing. 16(7), 314-323
7. Holmes, S. (2011). Understanding cachexia in patient with cancer. Nursing Standard.
25(21), 47-55
8. Hopkinson, J.B., Wright, D.N.M., & Foster, C. (2008). Management of weight loss and
anorexia.Annals of Oncology. 19(7), 289- 293

9. Budiman B dan I. Sumarno . 2007. Hubungan antara konsumsi iodium dan gondok pada
siswi berusia 15-17 tahun. (Jniversa Medica26e): g0-99 Duars4 A.B. 2013.
Perkembangan neurologik bayi dari umur 0 - 6 bulan dari ibu hamil dengan defisiensi
Yodium yang mendapat kapsul yodiol pada trimrster I, II dan III di daerah gondok
endemik kecamatan Kendal, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur. Tesis.

10. Satriono, R., D. Daud dan Yulius. 2010. Pengaruh Pemberian Hormon Tiroksin
Terhadap Intelligence Quotient pada Anak Sekolah yang Menderita Gondok di Daerah
Endemik : Penelitian Terkontrol Acak Tersamar Ganda. Sari Pediatri 12 (2):124-127
11.

You might also like