You are on page 1of 100

~i~

KATA PENGANTAR

Tim Pelatihan RS Muhammadiyah dibentuk pada awal tahun 2016 sebagai


salah satu upaya tindak lanjut kerjasama antara Pimpinan Wilayah Muhammadiyah
(PWM) Jawa Timur dan Temasek Foundation Singapore dalam meningkatkan
kapasitas dokter umum yang bekerja di rumah sakit Muhammadiyah/ Aisyiah Jawa
Timur.

Sebuah buku saku didefinisikan sebagai panduan lengkap atau buku referensi
yang menyediakan informasi spesifik atau instruksi mengenai subyek atau tempat.
Kami tidak menerbitkan buku teks Advanced Cardiac Life Support (ACLS) lengkap
karena buku yang demikian sudah tersedia dari American Heart Association (AHA)
dan organisasi serupa. Sebaliknya, kami merasa bahwa keberadaan suatu buku
saku menjadi lebih ideal karena mudah dibawa, mudah dibaca, dan mengandung
semua informasi yang merupakan inti dari ACLS dan ditulis dalam bentuk yang lebih
relevan secara lokal.

Langkah pertama pembuatan modul pelatihan ini adalah menerjemahkan dari


buku saku ACLS yang dikeluarkan oleh Tan Tock Seng Hospital, Singapore.
Langkah berikutnya adalah mengedit dan menyesuaikan konten dengan panduan
AHA 2010, masukan dari para peserta pelatihan Training of Trainer (ToT) ACLS,
dan mesin yang dipakai yaitu Zoll R Series. Pembuatan modul pelatihan ini
merupakan suatu pengalaman yang sangat berharga. Dukungan dari teman – teman
sejawat dan para ahli juga sangat berharga bagi kami.

Modul pelatihan ini dibagikan kepada seluruh peserta sebelum pelatihan agar
peserta memiliki waktu yang cukup untuk membaca materi. Seluruh peserta
diharapkan membaca modul pelatihan ini sebelum menghadiri pelatihan ACLS.
Modul pelatihan ini tidak menggantikan buku teks ACLS yang diterbitkan oleh
American Heart Association, ILCOR 2011 atau organisasi sejenis dan kami
mendorong seluruh peserta untuk membaca keseluruhan buku teks untuk detail dan
pemahaman lebih lanjut.

Tim Pelatihan RS Muhammadiyah


Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur

~ ii ~
MODUL PELATIHAN

ADVANCED CARDIAC LIFE SUPPORT 2016

©2016 Tim Pelatihan Rumah Sakit Muhammadiyah Jawa Timur


Cetakan Pertama, Dzulhijjah 1437/ September 2016

Tim Penyusun:
Life Support Training Program Tan Tock Seng Hospital

Tim Editor :
dr. Corona Rintawan
dr. Zuhdiyah Nihayati
Farida Juanita, Ns., M.Kep.

Desain Cover dan Layout :


Hendrix Irawan, SE., MM.

~ iii ~
Kerjasama antara:

Temasek Foundation Singapore dan


Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur

Disponsori oleh:

MAJELIS PEMBINA KESEHATAN UMUM


PWM JAWA TIMUR

~ iv ~
Lampiran Surat Keputusan Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur

Nomor : 224/KEP/II.0/D/2016
Tanggal : 18 Rajab 1437 H / 25 April 2016 M
Tentang : Susunan Personalia Tim Pelatihan Rumah Sakit Muhammadiyah Jawa Timur

SUSUNAN PERSONALIA
TIM PELATIHAN RUMAH SAKIT MUHAMMADIYAH JAWA TIMUR
PERIODE 2015-2018

Ketua : : Drs. Edy Yusuf, M. Kes.


Wakil Ketua : dr. Corona Rintawan
Sekretaris : Mundakir, Ns., M.Kep.
Bendahara : Hendrix Irawan, SE., MM.

Tim Teknis : dr. Tomy Oeky Prasiska


dr. Zuhdiyah Nihayati
Munadi, S.Kep., Ns.
M. Taufik Aini, S.Kep., Ns.
Nanang Abdul Salam, S.Kep., Ns.
Farida Juanita, S.Kep., Ns., M.Kep.

Tim Administrasi : Rudi Utomo, S.KM


Rahmad PG, S.KM., M.Kes.

~v~
Ucapan Terima Kasih

Pedoman dan pelatihan eACLS ini tidak akan dapat terlaksana tanpa dedikasi dan
kerja keras dari rekan – rekan sejawatberikut :
1. Tim Tan Tock Seng Hospital, Singapore
Tim E-learning
Mr Benedict Chia
Mr Nurhazman AA
Instruktur ACLS
Dr Chan Kim Chai, Emergency Medicine
Dr Kenneth Heng, Emergency Medicine
Dr Kwek Tong Kiat, Anestesiologi
Dr Jimmy Lim, Cardiologi
Dr Alan Ng, Respiratory Medicine
Dr Tan Hui Ling, Anestesiologi

Anggota komite life support training


Ms Yeo Ngo Tong, Life Support Training Program Coordinator
Ms Fiona Leong, Life Support Training Program Coordinator
Ms Cecilia James, Human Resource Development Executive
Narator untuk e-Lecture
Dr Gene Chan
Dr Chan Wui Ling
Dr Charmaine Manauis
Dr Don pek
Dr Thian Yee Liang

Dokter dan perawat instalasi gawat darurat, TTSH karena telah melakukan review dan
memberikan masukan berharga, terutama :
Dr Roger Orcino Aguilar
Dr Thomas Catabas
Dr Chew Kuok Ming
Dr Leyland Chuang
Dr Liew Li Lian
Dr Michele Lim

~ vi ~
Dr Lim Wei Kian
Dr Lin Chun Rong
Dr Charmaine Manauis
Dr Tan Chee Seng
Dr Tan Jit Seng

2. Tim Pelatihan RS Muhammadiyah Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur


dr. Corona Rintawan
dr. Zuhdiyah Nihayati
Farida Juanita, Ns., M.Kep.
Mundakir, Ns., M.Kep.
Munadi, S.Kep., Ns.

~ vii ~
DAFTAR ISI

Bab 1. Ringkasan dan Algoritma Universal ............................................................... 1

Bab 2. Manajemen Jalan Nafas ................................................................................. 12

Bab 3. Ventrikel Fibrilasi, Ventrikel Takikardi Tanpa Nadi, Defibrilasi .................... 25

Bab 4. Pulseless Electrical Activity (PEA) dan Asistol .............................................. 37

Bab 5. Sindrom Koroner Akut (SKA) .......................................................................... 42

Bab 6. Hipotensi, Syok, dan Edema Paru Akut ......................................................... 50

Bab 7. Obat – obatan................................................. ................................................... 58

Bab 8. Bradikardia dan Pacing Transkutan ............................................................... 71

Bab 9. Takikardia dan Kardioversi .............................................................................. 75

~ viii ~
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1. Rantai Penyelamatan ............................................................................... 2

Gambar 1.2. Tentukan Respon ..................................................................................... 3

Gambar 1.3. Teriak Untuk Mencari Bantuan ................................................................. 3

Gambar 1.4. Rasakan Denyut Nadi Karotis .................................................................. 3

Gambar 1.5. Kompresi Dada ........................................................................................ 3

Gambar 1.6 Head Tilt (ekstensi kepala), chin lift (angkat dagu) ................................... 4

Gambar 1.7 Jaw thrust untuk pasien dengan kecurigaan cedera servikal .................... 4

Gambar 1.8 Lihat, dengar dan rasakan gerakan udara ................................................ 4

Gambar 1.9 Defibrilator bifasik menunjukkan VF ......................................................... 5

Gambar 1.10 Defibrilasi dalam 3 – 5 menit onset VF/ VT tanpa nadi ............................. 5

Gambar 1.11 Oropharyngeal airway .............................................................................. 6

Gambar 1.12 Nasopharyngeal airway ............................................................................ 6

Gambar 1.13 Peralatan kateter dan suction ................................................................... 7

Gambar 1.14 Jenis-jenis alat bantu airway .................................................................... 7

Gambar 1.15 Algoritme ACLS internasional /universal................................................... 11

Gambar 2.1 Penyebab obstruksi jalan nafas atas ........................................................ 12

Gambar 2.2 Kesejajaran (alignment) 3 aksis................................................................ 13

Gambar 2.3 Ekstensi kepala. letakkan satu tangan di dahi dan bukan di mata, lalu
ekstensikan kepala ke belakang ............................................................... 13

Gambar 2.4 Angkat dagu (chin lift) letakkan jari – jari tangan pada tulang dagu dan
bukan pada jaringan lunak pada tulang rahang, lalu angkat dagu ........... 13

Gambar 2.5 Modifikasi jaw thrust ................................................................................. 14

Gambar 2.6 Jari telunjuk, jari tengah, jari manis dan jari kelingking diletakkan di
belakang tulang rahang, kemudian digerakkan mengangkat rahang ke
atas searah .............................................................................................. 14

Gambar 2.7 Mengukur jarak antara sudut mulut hingga tragus telinga ........................ 14

Gambar 2.8 Mengukur jarak antara mid incisivus hingga sudut rahang ....................... 14

~ ix ~
Gambar 2.9 teknik pemasangan .................................................................................. 15

Gambar 2.10 Pin dipasang melewati ujung atas NPA untuk mencegah NPA tergelincir
ke dalam .................................................................................................. 15

Gambar 2.11 Ventilasi BVM : teknik satu tangan ........................................................... 15

Gambar 2.12 Ventilasi BVM : teknik dua tangan ............................................................ 16

Gambar 2.13 Peralatan intubasi .................................................................................... 17

Gambar 2.14 Preoksigenasi dengan BVM sebelum intubasi dilakukan .......................... 18

Gambar 2.15 Berhati-hatilah jika melakukan penekanan krikoid .................................... 18

Gambar 2.16 Insersi laringoskop ................................................................................... 18

Gambar 2.17 Berhati – hatilah jika melakukan penekanan krikoid ................................. 18

Gambar 2.18 Dasar lidah ............................................................................................... 19

Gambar 2.19 Dorong ujung bilah ke valeculla ................................................................ 19

Gambar 2.20 Visualisasi plica vocalis. Jangan lakukan gerakan dorong ke belakang.
Jangan gunakan gigi atas sebagai tumpuan (fulcrum).............................. 19

Gambar 2.21 a, b ETT ................................................................................................... 20

Gambar 2.22 Keluarkan stylet........................................................................................ 20

Gambar 2.23 Sambungkan ETT ke kantong resusitator ................................................. 21

Gambar 2.24 Auskultasi lima titik untuk konfirmasi posisi ETT ....................................... 21

Gambar 2.25 Lekatkan ETT pada tanda yang telah ditentukan...................................... 21

Gambar 2.26 ETT diikat dengan tali............................................................................... 21

Gambar 2.27 Nasal kanul .............................................................................................. 23

Gambar 2.28 Simpel masker ......................................................................................... 23

Gambar 2.29 Masker non rebreathing ........................................................................... 23

Gambar 2.30 Masker venturi.......................................................................................... 23

Gambar 3.1 VF ............................................................................................................ 25

Gambar 3.2 VT ............................................................................................................ 26

Gambar 3.3 Polimorfik VT (Torsade de Pointe)............................................................ 26

Gambar 3.4 Algoritma Ventrikel Fibrilasi/Ventrikel Takikardia tanpa Nadi .................... 27

~x~
Gambar 3.5 Algoritma VF/VT tanpa nadi refrakter ....................................................... 29

Gambar 3.6 Defibrilator bifasik ..................................................................................... 30

Gambar 3.7 Pilihan lead II............................................................................................ 31

Gambar 3.8 VF ........................................................................................................... 31

Gambar 3.9 VT ............................................................................................................ 31

Gambar 3.10 Tombol metal pada manekin menunjukkan posisi paddle sternum dan
apeks ....................................................................................................... 32

Gambar 3.11 Paddle sternum dan apeks diletakkan di dinding dada ............................. 32

Gambar 3.12 Defibrilator bifasik: pilih energi standar (150 J) ......................................... 32

Gambar 3.13 Tekan tombol charge (pengisian daya)..................................................... 33

Gambar 3.14 Defibrilator bifasik telah diisi daya pada level energi 150 J (tanda panah
merah)...................................................................................................... 33

Gambar 3.15 Tekan tombol charge (pengisian daya)..................................................... 33

Gambar 3.16 Jaga jarak antara paddle yang terisi daya .............................................. 33

Gambar 3.17 Jari telunjuk bersiap untuk menekan tombol discharge sementara ibu jari
dan jari lainnya berada di bawah pegangan ............................................. 34

Gambar 3.18 Pastikan paddle terhubung dengan tombol metal pada manekin, jika
tidak maka akan timbul percikan api ......................................................... 34

Gambar 3.19 Lihat sekeliling, ke belakang dan teriakkan “stand clear” .......................... 34

Gambar 3.20 Pastikan tidak ada satu orangpun, termasuk anda, yang memiliki kontak
dengan tubuh pasien atau bed/troli .......................................................... 34

Gambar 3.21 Tekan tombol oranye secara bersama – sama ......................................... 35

Gambar 3.22 Lakukan defibrilasi dengan aman ............................................................. 35

Gambar 3.23 Pengisian daya (charge) harus dilakukan pada saat paddle masih
terpasang di defibrilator ............................................................................ 35

Gambar 3.24 Garis lurus di bagian kiri layar menunjukkan pelepasan energi ................ 35

Gambar 4.1 Algoritme asistol/ PEA ............................................................................. 39

Gambar 5.1 Gambar ilustrasi plak................................................................................ 42

Gambar 5.2 ST elevasi pada lead V2 – V6 .................................................................. 45

Gambar 5.3 ST elevasi pada II,III, dan aVF ................................................................. 46


~ xi ~
Gambar 5.4 Algoritma ACS.......................................................................................... 49

Gambar 6.1 Algoritma hipotensi dan syok .................................................................... 51

Gambar 6.2 Algoritma edema pulmonum akut ............................................................. 52

Gambar 6.3 AV Block 2o tipe I...................................................................................... 54

Gambar 6.4 ST depresi ................................................................................................ 56

Gambar 6.5 Rontgen dada........................................................................................... 56

Gambar 7.1 Pasien henti jantung ................................................................................. 59

Gambar 7.2 Optimalisasi obat – obatan ....................................................................... 60

Gambar 7.3 Takikardia ventrikel klasik yang merupakan takikardia kompleks lebar
dengan irama regular dan tidak adanya gelombang P .............................. 63

Gambar 7.4 SVT klasik yang merupakan takikardia kompleks sempit dengan interval
RR regular dan tidak adanya gelombang P .............................................. 64

Gambar 7.6 IMA ventrikel kanan, inferior dan AV block 2o (tipe I) ................................ 66

Gambar 7.7 Optimalisasi kasus NN ............................................................................. 67

Gambar 7.8 Edema pulmoner akut .............................................................................. 68

Gambar 7.9 Optimalisasi kasus FEW........................................................................... 68

Gambar 7.10 Pelebaran mediastinum ............................................................................ 69

Gambar 7.11 EKG normal.............................................................................................. 69

Gambar 7.12 Optimalisasi kasus LSW ........................................................................... 69

Gambar 8.1 AV Block .................................................................................................. 71

Gambar 8.2 AV block derajat 3 dengan junctional escape ........................................... 71

Gambar 8.3 AV Block derajat tiga dengan ventricular escape ...................................... 71

Gambar 8.4 Algoritme bradikardia ............................................................................... 72

Gambar 9.1. Algoritme takikardi .................................................................................... 75

Gambar 9.2 SVT pada lead II ...................................................................................... 77

Gambar 9.3 Tombol SYNC .......................................................................................... 78

Gambar 9.4 Lihat sekeliling dan belakang ................................................................... 78

Gambar 9.5 Tekan tombol dengan gambar petir pada layar atau pada paddle jika syn
“ready”...................................................................................................... 78
~ xii ~
Gambar 9.6 Algoritma Takikardia Kompleks Sempit .................................................... 79

Gambar 9.7 atrial flutter : gelombang saw-tooth (gergaji) yang menggantikan


gelombang P pada atrial flutter ................................................................. 81

Gambar 9.8 Atrial Fibrilasi : RR interval yang sangat ireguler. ..................................... 81

Gambar 9.9 SVT : takikardia kompleks sempit, dengan RR interval yang reguler dan
tidak adanya gelombang P ....................................................................... 82

Gambar 9.10 Algoritma Takikardia Kompleks Lebar ...................................................... 83

Gambar 9.11 SVT dengan RBBB : irama reguler, dengan gelombang R bertakik
“rabbit ear” terlihat pada lead V1 – V3, tanpa gelombang P ..................... 84

Gambar 9.12 VT : irama reguler, dengan takikardia kompleks lebar tanpa gelombang
P .............................................................................................................. 85

Gambar 9.13 Torsades de Pointes. Irama dengan bagian yang terpelintir, paling baik
dilihat pada lead II .................................................................................... 85

~ xiii ~
Modul Pelatihan ACLS

BAB I
RANGKUMAN DAN ALGORITME UNIVERSAL

Tujuan
Bab pertama merupakan rangkuman dari Advance Cardiac Life Support (ACLS) dan
algoritma universal
Tujuan bab ini adalah :
 Daftar cakupan ACLS
 Mendeskripsikan A-B-C-D pada survei primer dan sekunder
 Menyatakan algoritma universal untuk orang dewasa

Cakupan ACLS
Basic cardiac life support (bantuan hidup dasar) adalah permulaan ACLS yang akan dinilai
secara singkat. Pelatihan ini mencakup :
 Penggunaan peralatan dan teknik untuk mempertahankan patensi jalan nafas dan
ventilasi
 Monitoring, interpretasi dan pengenalan aritmia pada EKG
 Pemasangan dan mempertahankan akses vena
 Management henti jantung dan pasca henti jantung
 Management penyakit jantung koroner

Pendahuluan
Penyakit kardiovaskular adalah penyebab kematian terbanyak kedua di Indonesia,
sehingga penyakit tersebut penting untuk dipahami oleh tenaga kesehatan. Banyak
penderita serangan jantung koroner mengalami henti jantung dan beberapa diantaranya
dapat selamat dengan resusitasi jantung paru yang segera dan efektif.
ACLS adalah bagian resusitasi jantung paru yang paling sulit dan komprehensif.
Panduan terkini kami berdasarkan rekomendasi American Heart Association (AHA) 2010.
Panduan tersebut diperbarui setiap 5 tahun. Dengan setiap perbaikan, ada perubahan
menuju penyederhanaan dan standarisasi sehingga lebih mudah diingat oleh tenaga
kesehatan dan orang awam.

Rantai Kelangsungan Hidup (Chain of survival)


Ada 4 rantai penyelamatan untuk pasien henti jantung. Agar mencapai hasil yang baik,
semua rantai penyelamatan harus dikerjakan sesuai urutan (timely manner) :
 Akses SPGDT pada awal kejadian

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 1


Modul Pelatihan ACLS

 RJP sejak dini (early CPR)


 Defibrilasi secepatmungkin
 Perawatan lanjutan ( termasuk perawatan pasca henti jantung)

Akses awal CPR awal Defibrilasi awal ACLS awal


Gambar 1.1 Rantai penyelamatan

Survei Primer
Survei primer pada ACLS berfokus pada resusitasi jantung paru (RJP) dasar dan
defibrilasi, dimulai dengan menilai ada tidaknya respon pasien dan memulai CABD pada
survei primer.
Berikut adalah rangkuman langkah – langkah :
 Berfokus pada kualitas CPR dasar yang baik dengan interupsi minimal dan defibrilasi
 Dapat menetapkan tidak adanya respon
 C-A-B-D pertama
Circulation : cek nadi dan mulai kompresi dada
Airway : membuka jalan nafas
Breathing : jika tidak ada nafas atau nafas agonal abnormal
Defibrilasi : “shock” fibrilasi ventrikel (Ventricular Fibrilation, VF) atau takikardi
ventrikel (ventricular tachycardia, VT) tanpa nadi

Survei Primer – Menetapkan Ada Tidaknya Respon


Saat anda dipanggil untuk melihat pasien yang tidak sadar, tepuk pundaknya dan
tanyakan, “halo, halo apakah anda baik-baik saja?”
Jika tidak ada respon, teriak minta tolong dan aktifkan tombol kode biru (code blue).
Anda harus berada bersama pasien sementara asisten anda mengambil troli resusitasi dan
defibrilator. Segera cek nadi, jika tidak ada nadi mulai lakukan RJP.
Saat defibrilator datang, tempelkan lead untuk ritme EKG. RJPhanya bisa diinterupsi
sejenak untuk analisis ritme EKG. Jika didapatkan ritme „shock‟, segera lakukan defibrilasi.

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 2


Modul Pelatihan ACLS

Gambar 1.2 tentukan respon Gambar 1.3 teriak untuk mencari bantuan

Survei Primer – Konfirmasi Tidak Adanya Nadi


Rasakan denyut karotis – jangan habiskan lebih dari 10 detik untuk melakukan
penilaian tersebut. Jika tidak ada nadi, mulai kompresi dada, dengan rasio 30 kompresi dan
2 ventilasi.
Posisi tangan adalah dua jari di atas xipho-chondral junction, dengan kedua tangan
saling mengunci. Ventilasi dapat dilakukan dengan menggunakan Bag Valve Mask melalui
mulut jika belum terintubasi. Penolong harus selalu ingat prinsip RJP kualitas tinggi.

Gambar 1.4 rasakan denyut nadi karotis Gambar 1.5 kompresi dada

Survei Primer – Buka Jalan Nafas


Buka jalan nafas dengan head tilt (ekstensikan kepala) dan chin lift (tarik dagu). Pada
pasien dengan kecurigaan cedera servikal, gunakan modified jaw thrust.

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 3


Modul Pelatihan ACLS

Gambar 1.6head tilt (ekstensi kepala), chin lift (angkat dagu)

Gambar 1.7Jaw thrust untuk pasien dengan kecurigaan cedera servikal

Survei Primer – Penilaian Nafas


Sekali anda telah membuka jalan nafas, lihat, dengar dan rasakan gerakan udara. Jika tidak
ada nafas, atau ditemukan nafas agonal abnormal, segera nilai sirkulasi.

Gambar 1.8 lihat, dengar dan rasakan gerakan udara

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 4


Modul Pelatihan ACLS

Survei Primer – Defibrilasi


Pada saat defibrilator datang, tempelkan lead pada dada pasien. Biasakan diri anda
dengan lead EKG di bangsal dan klinik tempat anda bekerja sehingga anda tidak bingung
dengan lead EKG pada keadaan gawat darurat. Lead II adalah lead yang sesuai untuk
monitoring irama. Kompresi dada dilanjutkan segera setelah lead dipasang. Kompresi dada
hanya berhenti sejenak untuk menganalisa ritme.
Jika VF atau VT terlihat pada monitor, lakukan defibrilasi segera. Harap diingat
dengan setiap menit terlewat pada pasien dengan VF, kemungkinan bertahan hidup
berkurang 10%, sehingga waktu adalah hal yang sangat penting.
Tujuan utamanya ada defibrilasi dalam 3 – 5 menit dari onset VF atau VT tanpa nadi.

Gambar 1.9 defibrilator bifasik menunjukkan VF

Gambar 1.10 Defibrilasi dalam 3 – 5 menit onset VF/ VT tanpa nadi

Survei Sekunder ABCD


Pada survei sekunder, amankan jalan nafas dengan teknik lanjut, lakukan intubasi
jika diperlukan. Kompresi dada merupakan prioritas utama, prosedur intubasi tidak boleh
menghentikan kompresi dada. Jika didapatkan kesulitan pada saat percobaan intubasi,
maka lakukan ventilasi dengan bag-valve mask hingga tenaga kesehatan yang ahli sampai
di tempat. Usaha intubasi berulang yang gagal mengakibatkan interupsi kompresi dada yang
tidak perlu dan dapat mengakibatkan cedera pada orofaring.
Setelah intubasi berhasil, lakukan ventilasi dengan ventilasi tekanan positif.

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 5


Modul Pelatihan ACLS

Sirkulasi terjaga dengan akses vena, RJP, dan penggunaan obat-obatan yang
sesuai. Jika didapatkan nadi, lakukan monitoring EKG, denyut nadi, tekanan darah, dan
oksimetri.
Diagnosis banding pada survei sekunder merujuk pada identifikasi dan terapi
penyebab reversibel dari henti jantung.

Jalan Nafas (airway)


Jika jalan nafas tidak terbuka atau anda tidak dapat melakukan ventilasi, kemungkinan besar
resusitasi akan gagal. Dengan demikian sangat penting untuk membuka dan
mempertahankan patensi jalan nafas untuk memastikan ventilasi yang adekuat.

Survei Sekunder – Airway (Jalan Nafas)


Pada manajemen airway pada survei sekunder, kuncinya adalah untuk menjaga
patensi jalan nafas dengan dukungan manual, dengan memberikan oksigenasi dan
mengamankan jalan nafas melalui intubasi atau pembedahan seperti krikothirotomi atau
trakeostomi.
Pada pasien dengan kemungkinan cedera servikal, tulang servikal perlu dilindungi selama
manuver jalan nafas dan ventilasi.

Survei Sekunder – Alat Bantu Jalan Nafas


Alat bantu jalan nafas seperti oropharyngeal(OPA) dan nasopharyngeal airway (NPA)dapat
digunakan untuk mempertahankan patensi jalan nafas. Pembersihan sekresi dan benda
asing dengan kanul suction dapat membantu mempertahankan patensi jalan nafas.

Gambar 1.11 oropharyngeal airway Gambar 1.12 nasopharyngeal airway

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 6


Modul Pelatihan ACLS

Gambar 1.13 peralatan kateter dan suction

Survei Sekunder – Bantuan Ventilasi


Pada pasien apnea dengan hipoventilasi atau hipoksia atau pasienkelelahan akibat
usaha nafas yang besar,bantuan ventilasi harus dilakukan segera, menggunakan bag valve
mask, laryngeal mask airway (LMA) atau intubasi. Intubasi endoktrakeal dianggap sebagai
airway definitif.
Kita akan mendiskusikan airway definitif dan teknik ventilasi lebih detail pada bab
manajemen jalan nafas.

Gambar 1.14 Jenis-jenis alat bantu airway

Survei Sekunder – Pernafasan


Untuk memeriksa kecukupan pernapasan, lihat pergerakan dinding dada pasien. Jika
intubasi telah dilakukan, periksa kesamaan suara napas di bagian atas apex dan lateral
dinding dada kanan dan kiri. sangat penting untuk mendengarkan di bagian epigastrium
untuk memastikan tidak adanya suara gurgling.
AHA dan ILCOR 2010 merekomndasikan penggunaan end tidal CO2 untuk
mengkonfirmasi penempatan endotracheal tube (ETT). pemeriksaan chest x-ray paska

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 7


Modul Pelatihan ACLS

intubasi sangatlah berguna. Jika ada keragu-raguan mengenai posisi ETT, tarik kembali dan
lakukan ventilasi dengan menggunakan BVM sebelum dilakukan intubasi berikutnya.

Survei sekunder – sirkulasi


Sirkulasi pada survei sekunder artinya memastikan kompresi dada pada pasien tanpa
nadi, memasang akses vena, dan menggunakan cairan dan obat-obatan untuk mendukung
sirkulasi.
Normal salin adalah cairan resusitasi yang sesuai. Setiap pemberian obat resusitasi
lakukan flushing cairan 20 cc disertai elevasi lengan.
Saat pasien kolaps, akses vena menjadi sukar. Dengan demikian, jika anda dipanggil
untuk melakukan penilaian terhadap pasien sakit dalam kondisi pre henti jantung, mintalah
seorang penolong untuk membantu pemasangan akses vena sesegera mungkin.
Ada beberapa pilihan yang tersedia jika akses vena sukar :
1. Kanulasi vena jugular eksterna (vena superfisial ini menjadi lebih nampak dengan
menempatkan kepala pasien lebih rendah dengan posisi Trendelenburg)
2. Kanulasi vena jugularis interna atau vena subklavia dengan menggunakan set kanulasi
vena sentral
3. Akses intra-osseus. Pada orang dewasa dan anak – anak, aspek antero-medial tibia
proksimal dapat digunakan karena letaknya di bawah kulit dan mudah dikenali dan
dipalpasi. Aspek anterior femur, krista iliaka superior dan caput humeri adalah lokasi lain
yang dapat digunakan untuk akses intraoseus.
*obat lewat rute ETT tidak lagi direkomendasikan.

Survei Sekunder – Diagnosis Banding


Sebagai pemimpin tim, anda harus menanyakan ”apa yang menyebabkan henti jantung
pada pasien?” Kuncinya adalah menilai riwayat penyakit, dan kejadian sebelum henti
jantung, serta pemeriksaan fisik, EKG, dan kadang hasil laboratorium. Terkadang, irama
sebelum henti jantung atau EKG dapat memberikan informasi yang berharga

ROSC (Return Of Spontaneous Circulation) – Kembalinya Sirkulasi Spontan


Sekali ditemukan ROSC, lakukan identifikasi dan koreksi penyebab yang reversibel.
Penilaian kembali ABCD, monitoring tekanan darah, denyut nadi, EKG dan saturasi oksigen.
Lakukan pemeriksaan EKG 12 lead dan foto thoraks serta lakukan pemeriksaan ureum
darah, elektrolit, enzim jantung, analisa gas darah, darah lengkap dan pemeriksaan darah
lain yang relevan. Pasang kateter urin dan NGT.

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 8


Modul Pelatihan ACLS

Perawatan Pasca Henti Jantung


1. Hipotermia terapeutik. Hipotermia terkontrol dapat memperbaiki kondisi neurologis dan
kemungkinan bertahan hidup pasca henti jantung. Jika fasilitas dan ahli memadai,pasien
didinginkan pada temperatur 32 – 34 °C selama 24 jam setelah ROSC
2. Hindari hiperventilasi yang berlebihan dan hiperoksia. Pada pasien terintubasi, ventilasi
berlebihan dapat mengakibatkan cedera pada paru. Hiperoksia mengakibatkan
terbentuknya radikal bebas, sindrom reperfusi dan disfungsi multiorgan. Saturasi
oksigen (SaO2) 100% berkorelasi denga PaO2 80 – 500 mmHg. Dengan demikian
lakukan titrasi fraksi oksigen terinspirasi (FiO2 untuk mempertahankan SaO2 antara 94
– 99%).
3. Identifikasi dan terapi sindrom koroner akut. Pasien dengan kecurigaan ACS sebagai
penyebab henti jantung harus dirujuk untuk angiografi koroner segera dan terapi
reperfusi jika perlu
Hubungi ruang rawat intensif yang sesuai untuk rencana transfer. Yang terutama, berikan
informasi kepada keluarga bahwa pasien dalam keadaan kritis dan berikan informasi terbaru
mengenai kondisi pasien.

Henti Jantung Pada Orang Dewasa


Algoritma berikut meringkas pendekatan terhadap henti jantung orang dewasa.
Mulai dengan ABCD survei primer :
1. Lakukan pemeriksaan respon pasien. Jika tidak ada respon, aktifkan code blue dan
telpon bantuan untuk defibrilator dan troli emergensi.
2. Cek nadi karotis. Jika tidak ada nadi, mulai resusitasi jantung paru (RJP).
3. Bila teraba nadi maka buka jalan napas dan cek pernapasan. Jika pasien tidak
bernapas lakukan rescue breathing sebanyak 10x/menit. Jika ditemui kemungkinan
adanya sumbatan jalan napas maka lakukan manajemen sumbatan jalan napas.
4. Saat defibrilator tiba, hubungkan lead EKG dan nilai irama. Jika monitor menunjukkan
VF atau VT tanpa nadi, lakukan defibrilasi, diikuti dengan RJP 1 menit jika tidak
ditemukan irama perfusi sebelum penilaian ulang ritme. Jika monitor menunjukkan
tidak menunjukkan irama yang dapat dilakukan shock (shockable) lanjutkan RJP
selama 2 menit kemudian nilai ulang irama.
5. Survei sekunder mengacu pada penggunaan peralatan dan teknik lanjut untuk
mempertahankan ABC.
6. Alat bantu jalan napas digunakan untuk mempertahankan patensi jalan napas dan
menjaga jalan napas dengan intubasi jika diperlukan.
7. Pernapasan didukung dengan pemberian ventilasi tekanan positif. Jika pasien telah
terintubasi, selalu lakukan pengecekan apakah ETT telah terpasang dengan benar.

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 9


Modul Pelatihan ACLS

8. Kompresi dada membantu mempertahankan komponen sirkulasi. Jika pasien dalam


keadaan tanpa nadi, pasang akses vena dan berikan cairan dan obat-obatan yang
sesuai untuk kondisi klinis dan irama jantungnya.
9. Untuk menegakkan diagnosis yang akurat, mulailah menilai diagnosis yang mungkin,
dan koreksi penyebab yang reversibel. Hal tersebut terangkum dalam 5 H dan 5 T
10. Hipovolemia, Hipoksia, kelebihan ion Hidrogen (seperti pada asidosis), hiperkalemia
dan hipokalemia, serta hipotermia.
11. Tablet (seperti overdosis obat), Tamponade, Tension pneumothoraks, Trombosis
pada arteri koroner (ACS), tromboemboli pembuluh darah pulmonal seperti pada
emboli paru.

Rangkuman
Secara ringkas, prinsip CABD digunakan baik pada Basic Cardiac Life Support (BCLS)
dan ACLS untuk menilai pasien henti jantung. Prioritas utama adalah untuk mencegah
keterlambatan untuk memulai kompresi dada dan untuk mempertahankan kompresi
dengan interupsi seminimal mungkin.
Algoritma universal dimulai dengan Basic Life Support (bantuan hidup dasar) dilanjutkan
dengan bantuan hidup lanjut, hal tersebut menunjukkan tahapan dalam resusitasi yang
mungkin terjadi secara simultan, dan memungkinkan penolong bekerja sebagai tim.
Resusitasi menjadi lebih efektif jika seluruh tim familier dengan prinsip CABD.

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 10


Modul Pelatihan ACLS

Gambar 1 : algoritme ACLS internasional /universal

Henti Jantung Pada Dewasa

Survei ABCD primer :


Fokus : RJP tanpa interupsi dan defibrilasi
 Cek respon
 Aktivasi sistem respon emergensi
 Telepon minta defibrilator
C : circulation : cek nadi (< 10 detik), mulai
kompresi dada
A : airway : buka jalan nafas
B : breathing : lihat, dengar dan rasakan nafas
D : defibrilasi : pasang monitor EKG/defibrilator

Nilai ritme jantung

VF/ VT Survei ABCD sekunder Non-VF/VT


Fokus : penilaian dan terapi lanjutan
CPR tanpa interupsi masih menjadi
prioritas
A Airway
Defibrilasi  Segera pasang alat bantu jalan nafas RJP 1–2 menit
150J bifasik B breathing
 Lakukan konfirmasi pemasangan ETT (contoh
dengan end tidal CO2)
 Amankan ETT
RJP 1 menit  Lakukan ventilasi dan oksigenasi efektif
C circulation
 Pasang akses vena atau intraoseus atau
kanulasi vena sentral
 Berikan obat – obatan yang tepat untuk
kondisi dan irama jantung
D diagnosis banding
 Cari dan terapi penyebab yang reversibel

Pertimbangkan penyebab yang berpotensi reversible


 Hypovolemia ฀“Tablets” (drug OD, accidents)
Hypoksia ฀Tamponade, kardiak
Hidrogen ion - asidosis ฀Tension pneumothoraks
 Hiper-/hipokalemia, metabolik lain ฀ Thrombosis, koroner (ACS)
Hipotermia ฀Thrombosis, pulmonal (embolism)

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 11


Modul Pelatihan ACLS

BAB II
MANAJEMEN JALAN NAPAS

Tujuan
Tujuan bab ini adalah
 Memahami penyebab obstruksi jalan nafas atas
 Menjelaskan teknik dasar untuk membuka jalan nafas dan penggunaan alat bantu jalan
nafas
 Menjelaskan langkah – langkah dalam intubasi endotrakeal
 Menjelaskan pemberian oksigen suplemental menggunakan alat yang berbeda – beda

Penyebab Obstruksi Jalan Nafas Atas


Penyebab paling sering obstruksi jalan nafas adalah lidah yang bergeser ke posterior
pada pasien yang semi sadar atau tidak sadar. Sekret, muntahan, darah dan gigi palsu juga
dapat menyumbat jalan nafas. Obstruksi jalan nafas juga dapat disebabkan oleh edema
struktur jalan nafas atas seperti pada epiglotitis akut dan edema laring.

Gambar 2.1 Penyebab obstruksi jalan nafas atas

Manuver Untuk Membuka Jalan Nafas


Manuver untuk membuka jalan nafas mengikuti prinsip kesejajaran 3 aksis. Saat
aksis laring, faring dan mulut dalam satu garis lurus, aliran oksigen tidak mengalami
hambatan.

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 12


Modul Pelatihan ACLS

Gambar 2.2 kesejajaran (alignment) 3 aksis

Ekstensi kepala (head tilt) dan angkat dagu (chin lift) adalah manuver yang paling
sering digunakan untuk membuka jalan nafas. Ingatlah selalu untuk menghindari penekanan
jaringan lunak di bawah dagu (gambar 2.3-2.4)

Gambar 2.3 ekstensi kepala. Gambar 2.4 angkat dagu (chin lift)
letakkan satu tangan di dahi dan letakkan jari – jari tangan pada
bukan di mata, lalu ekstensikan tulang dagu dan bukan pada jaringan
kepala ke belakang lunak pada tulang rahang, lalu
angkat dagu

Modifikasi jaw thrust dapat digunakan pada pasien dengan kecurigaan cedera
servikal. Letakkan kedua ibu jari pada pipi, sementara jari telunjuk, jari tengah, jari manis
dan kelingking berada di belakang tulang rahang dan mendorong rahang ke atas secara
searah (gambar 2.5-2.6)

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 13


Modul Pelatihan ACLS

Gambar 2.5 modifikasi jaw thrust Gambar 2.6 jari telunjuk, jari tengah, jari
manis dan jari kelingking diletakkan di
belakang tulang rahang, kemudian digerakkan
mengangkat rahang ke atas searah

Alat Bantu Nafas Orofaringeal (Oropharyngeal Airway) (gambar 2.7-2.8)


Oropharyngeal airway (OPA) adalah alat bantu nafas untuk mempertahankan patensi
jalan nafas. OPA memiliki ukuran yang disesuaikan dengan jarak antara sudut mulut dengan
tragus telinga, atau dari mid incisivus hingga sudut rahang. Secara umum, OPA ukuran 2
cocok untuk wanita asia sementara ukuran 3 (oranye) sesuai untuk pria Asia. OPA dapat
dimasukkan dengan kurva menghadap ke atas, dan dirotasikan ke bawah tepat sebelum
batas palatum durum (langit – langit keras) dan palatum mole (lunak).
Cara yang lain, tekan lidah dengan spatel dan langsung masukkan sesuai
bentuknya. Jika pasien semi sadar, OPA dapat mengakibatkan gag refleks dengan demikian
meningkatkan resiko aspirasi.

Gambar 2.7 mengukur jarak antara Gambar 2.8 mengukur jarak antara
sudut mulut hingga tragus telinga mid incisivus hingga sudut rahang

NPA (Nasopharyngeal Airway)


Nasopharyngeal airway lebih sesuai untuk pasien yang semi sadar namun harus
dihindari pada pasien dengan fraktur basis crani. Ukuran yang tepat adalah ukuran yang
sesuai dengan lubang hidung pasien. Sebagai panduan umum, ukuran kecil yang

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 14


Modul Pelatihan ACLS

direkomendasikan untuk orang dewasa adalah 6–7, sedangkan ukuran medium mungkin
memerlukan ukuran 7–8.
Setelah melumasi NPA dengan lubrikan yang larut air, miringkan hidung ke belakang
dan masukkan tegak lurus bed. Pertahankan NPA dekat dengan garis tengah dengan bevel
menghadap ke medial. Jika didapatkan tahanan, sedikit rotasikan NPA, jika perlu ganti ke
lubang hidung lainnya.
Trauma dan perdarahan intranasal adalah komplikasi pemasangan NPA yang paling
sering.

Gambar 2.9 teknik pemasangan Gambar 2.10 pin dipasang melewati


ujung atas NPA untuk mencegah
NPA tergelincir ke dalam

Bag-valve Mask (BVM) Ventilation – Teknik Satu Tangan


Ventilasi dengan BVM memberikan ventilasi tekanan positif non invasif. Salah satu
kunci ventilasi BVM yang efektif adalah memilih ukuran sungkup yang sesuai. Sungkup
harus dapat menutup pangkal hidung hingga dagu dengan apeks sungkup terletak pada
pangkal hidung.
Tahan sungkup ke bawah, melawan wajah, dengan ibu jari dan jari telunjuk. Pada
saat yang sama, buka dan renggangkan jari tengah, jari manis, dan kelingking sepanjang
tulang rahang seperti skup sehingga dapat terkunci dengan baik. Jari kelingking berada di
belakang sudut rahang, tepat di bawah telinga. Tekan kantong resusitator dengan tangan
lainnya.

Gambar 2.11 ventilasi BVM : teknik satu tangan

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 15


Modul Pelatihan ACLS

Ventilasi BVM : Teknik Dua Tangan


Posisi ibu jari dan jari lain serupa dengan teknik satu tangan saat menggunakan
BVM dengan teknik dua tangan. Seorang asisten membantu melakukan kompresi kantong
resusitator. Teknik dua tangan sangat berguna terutama apabila mengunci rapat sungkup
sangat sulit, misalnya pada pasien dengan jenggot atau kumis lebat, atau pada wajah
pasien yang basah karena darah atau sekret.
Ingat untuk selalu memasang reservoir oksigen ke kantong resusitator dan
menghubungkan selang ke tabung oksigen. Pada saat resusitasi, aliran oksigen setidaknya
mencapai 15 liter. Aliran oksigen hanya bisa dikurangi jika pasien sudah stabil, untuk
menghindari penurunan hypoxic drive.

Gambar 2.12 ventilasi BVM : teknik dua tangan

Intubasi Endotrakeal
Pada henti jantung, manajemen jalan nafas lanjut hanya dapat dikerjakan setidaknya
saat dua penolong telah tiba. Intubasi endotrakeal memastikan patensi jalan nafas sehingga
ventilasi dan oksigenasi terkontrol; aspirasi terproteksi; fasilitasi toilet pulmoner.
Kunci intubasi trakeal yang baik adalah penempatan posisi kepala dan leher yang tepat,
kecuali pada pasien dengan kecurigaan cedera servikal. Minimalisir interupsi kompresi dada
selama percobaan intubasi endotrakeal. Dengan demikian, indikasi intubasi endotrakeal
adalah untuk
 Melakukan ventilasi pada pasien henti nafas
 Memberikan oksigen konsentrasi tinggi
 Isolasi dan proteksi jalan nafas terutama pada pasien yang tidak sadar
 Memberikan volume tidal yang sesuai dengan kebutuhan pasien
 Mempermudah suction jalan nafas bawah
Pemberian obat melalui rute endotrakeal tidak lagi direkomendasikan.

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 16


Modul Pelatihan ACLS

Persiapan Alat
Pengetahuan mengenai alat dan persiapan yang memadai adalah cara yang tepat
untuk memulai.
Laringoskop terdiri atas handle (pegangan) dan blade (bilah) dan digunakan untuk
melakukan visualisasi pita suara (plica vocalis) dan glottis. Pada sebagian besar intubasi
dewasa, sangat tepat untuk memulai dengan blade curved E mac ukuran 3. Blade (bilah)
dengan berbagai ukuran dan handle yang terpisah harus tersedia. Baterai untuk handle
harus tersedia setiap saat.
Pipa endotrakeal dengan berbagai ukuran juga harus tersedia. Untuk pasien pria
dewasa, ukuran ETT yang sesuai adalah 8 – 8.5. untuk pasien wanita dewasa, ukuran ETT
yang sesuai adalah 7–7.5.
Kembangkan cuff dengan 5cc udara untuk mengecek patensi cuff, kemudian lumasi
ujung distal ETT untuk membantu mencegak resiko luka di jaringan sekitar serta
mempermudah prosedur intubasi.
Stylet Elastik dapat dimasukkan ke dalam ETT untuk membentuk ETT. Stilet yang
terlubrikasi dimasukkan ke dalam ETT dan pastikan ujungnya tersembunyi setengah inci di
dalam ETT.
Unit suction harus diperiksa untuk memastikan apakah bekerja dengan baik.
Peralatan lain termasuk spuit 10 cc, lubrikan larut air, BVM untuk melakukan preoksigenasi
dan perekat untuk mengamankan posisi ETT.
Seluruh alat harus diperiksa terlebih dahulu sebelum memulai pemasangan.

Gambar 2.13 peralatan intubasi

Preoksigenasi
Jika monitor tanda vital tersedia, letakkan pasien untuk monitoring EKG, nadi dan
oksimetri. Sebelum melakukan intubasi, pastikan seluruh alat yang dibutuhkan dapat
digunakan dengan baik. Anda perlu membuka jalan nafas dan memulai ventilasi dengan

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 17


Modul Pelatihan ACLS

BVM sementara asisten yang terlatih menyiapkan peralatan intubasi. Jika memungkinkan,
capailah target SaO2 > 95% dengan ventilasi BVM sebelum laringoskopi dimulai.
Setiap percobaan intubasi sebaiknya tidak melebihi 30 detik. Jika intubasi tidak dapat
dilakukan dalam 30 detik, maka lakukan ventilasi dengan BVM sebelum percobaan intubasi
selanjutnya.

Gambar 2.14 preoksigenasi dengan BVM sebelum Gambar 2.15 berhati-hatilah jika
intubasi dilakukan melakukan penekanan krikoid

Laringoskopi
 dengan jari tangan kanan buka mulut, kemudian tahan laringoskop dengan tangan
kiri, masukkan bilah dari sisi kanan mulut dan geser lidah ke sebelah kiri. Penekanan
krikoid rutin untuk mencegah aspirasi tidak lagi direkomendasikan.
- Hal tersebut dapat menghambat ventilasi dan mengganggu intubasi
- Jika penekanan krikoid dilakukan, berikan penekanan yang relaks atau lepaskan
jika intubasi atau ventilasi terganggu

Gambar 2.16 insersi laringoskop Gambar 2.17 berhati – hatilah jika


melakukan penekanan krikoid

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 18


Modul Pelatihan ACLS

Visualisasi Pita Suara (Plica Vocalis)


Blade digerakkan menuju garis tengah dan didorong ke dasar lidah. Ujung bilah
harus berada di valeculla..

Gambar 2.18 dasar lidah Gambar 2.19 dorong ujung bilah ke


valeculla

Dengan menggunakan gerakan “up and away” (gerakan ke atas dan menjauh) untuk
menggerakkan handle,manuver tersebut mengangkat epiglottis sehingga plica vocalis dan
glottis nampak. Jika diperlukan, bersihkan sekret dengan suction kateter agar visualisasii
lebih baik.
Anda mungkin perlu memakai tangan kanan anda untuk menstabilkan laring atau
menyesuaikan penekanan krikoid untuk memperbaiki visualisasi glottis.

Gambar 2.20 visualisasi plica vocalis.


Jangan lakukan gerakan dorong ke
belakang. Jangan gunakan gigi atas
sebagai tumpuan (fulcrum)

Jangan lakukan gerakan dorong ke belakang dengan handle dan jangan gunakan gigi atas
sebagai tumpuan (fulcrum).

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 19


Modul Pelatihan ACLS

Insersi Pipa Endotrakeal (ETT) (gambar 2.21)


Saat anda dapat memvisualisasi plica vocalis, masukkan ETT dari sudut mulut
sebelah kanan pasien hingga melewati celah di antara plica vocalis. Ujung ETT diletakkan 2
– 2.5 cm setelah plica vocalis, dan memberikan ukuran kedalaman 21 – 23 cm pada
incisivus.

Gambar 2.21 a, b ETT

Keluarkan Stylet, Kembangkan Pengunci (cuff)


Asisten anda harus menarik stilet keluar dari ETT. Pada saat yang sama, tahan ETT
pada sudut mulut sementara anda mengeluarkan laringoskop. Asisten anda akan
mengembangkan pengunci dengan 8 cc udara.

Gambar 2.22 keluarkan stylet

Pastikan Posisi ETT sudah benar dan Sambungkan ETT ke kantong resusitator
Mulailah ventilasi dengan menghubungkan kantong resusitator dengan ETT. Namun
demikian, sebelum melakukan hal tersebut, anda harus memastikan ETT terpasang dengan
benar, dengan menggunakan auskultasi lima titik, yaitu pada apeks paru bilateral, bagian
lateral dada pada garis mid aksilar bilateral, dan pada regio epigastrik.

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 20


Modul Pelatihan ACLS

Jika anda tidak yakin, gunakan detektor end-tidal CO2 (seperti Easy CapTM) atau
monitoring end-tidal CO2 kontinyu.
Jika penekanan krikoid digunakan lepaskan tekanan hanya setelah posisi ETT telah
terkonfirmasi dengan benar.

Gambar 2.23 sambungkan ETT


ke kantong resusitator Gambar 2.24 auskultasi lima titik
untuk konfirmasi posisi ETT

Amankan Posisi ETT


Pipa diisolasi dengan perekat pada tanda yang sudah ditentukan, yang biasanya 21
– 23 cm pada incisivus. Jika wajah pasien basah, didapatkan darah atau pasien memiliki
kumis atau jenggot, maka ETT harus dipertahankan dengan kain yang diikat melingkar
belakang kepala.

Gambar 2.25 lekatkan ETT pada Gambar 2.26 ETT diikat dengan tali
tanda yang telah ditentukan

Perawatan Pasca Intubasi


Ada beberapa hal yang anda perlu ketahui setelah intubasi dan stabilisasi :
 Tekan kantong resusitator hingga tampak pengembangan dada, dengan target pulsasii
oksimetri di atas 95%
 Ventilasi dengan volume tidal 7 – 10 ml/kg

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 21


Modul Pelatihan ACLS

 Atur kecepatan ventilasi menjadi 10 – 12 kali per menit


 Masukkan OPA setelah mengisolasi ETT
 Masukkan pipa nasogastrik untuk deflasi dan mengosongkan lambung
 Lakukan rontgen dada untuk konfirmasi posisi ujung ETT dan mengksklusi komplikasi.
Ujung ETT harus berada 2 cm di atas karina

Solusi Pada Desaturasi Pasca Intubasi


Jika pasien mengalami desaturasi pada saat dilakukan ventilasi mekanik, lakukan
hall sebagai berikut :
1. Periksa monitor saturasi oksigen pada jari dan pastikan pulsasinya telah benar, dan jika
SaO2 masih rendah, maka
2. Lepas ETT dari sirkuit ventilator, kemudian sambungken ke BVM dan lakukan ventilasi
manual. Jika saturasi O2 membaik, makan problem ada pada sirkuit ventilator. Lakukan
pemeriksaan atau ubah pengaturan. Jika saturasi oksigen tetap tidak membaik, maka
permasalahan yang terjadi dapat berasal dari ETT atau daerah lebih distal.
3. Periksa posisi ETT karena ETT dapat mengalami malposisi hingga mencapai cabang
bronkus kanan atau esofagus. Lakukan auskultasi untuk memastikan ventilasi yang
seimbang. Periksa end-tidal CO2. Lakukan pemeriksaan rontgen dada jika diperlukan
4. Lakukan suction pada ETT dan bersihkan sektret
5. Jika didapatkan hipotensi, deviasi trachea dan penurunan ventilasi pada salah satu sisii
paru, hipersonor pada perkusi, mungkin telah terjadi tension pneumothorax. Lakukan
dekompresi jarum segera pada celah interkosta kedua sejajar mid klavikula. Jika
didapatkan aliran udara, lanjutkan prosedur dengan diikuti pemasangan chest tube
pada regio ipsilateral. Tension pneumothorax adalah diagnosis klinis dan tidak ada
waktu untuk melakukan rontgen dada terlebih dahulu.
6. Nilai apakah pasien telah bangun dan menggigit ETT atau melawan sirkuit ventilator.
Berikan sedasi dan paralisis pada pasien tersebut

Bagaimana jika anda tidak dapat memasang ETT?


Setelah 2 kali percobaan intubasi yang gagal, anda harus BERHENTI dan MINTA
BANTUAN!

Rencana cadangan termasuk :


 Ventilasi dengan BVM karena jika hal tersebut dilakukan dengan benar, maka dapat
memberikan ventilasi adekuat
 Biarkan dokter senior mengambil alih

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 22


Modul Pelatihan ACLS

 Tergantung dari di mana anda bekerja : hubungi team airway. TTSH memiliki team airway
yang terdiri dari dokter anestesi dan terapis respiratorik.
 Alat bantu jalan nafas seperti LMA dapat dipakai sebagai pilihan

Pemberian Oksigen
Untuk pasien yang dapat bernafas sendiri, beberapa di antara mereka mungkin
memerlukan oksigen tambahan untuk meningkatkan oksigenasi. Ada beberapa alat yang
menggunakan oksigen aliran rendah maupun tinggi, yang dapat digunakan untuk
memberikan oksigen tambahan untuk pasien yang tidak memerlukan bantuan ventilasi.
Alat dengan aliran oksigen rendah termasuk nasal kanul dan simple face mask
(simpel masker). Kecepatan aliran oksigen untuk nasal kanul 1 – 4 liter memberikan 24 –
44% oksigen sementara masker sederhana 8 – 10 liter memberikan 40 – 60% oksigen.

Gambar 2.27 nasal kanul Gambar 2.28 simpel masker

Alat dengan oksigen aliran tinggi seperti masker non-rebreathing dengan reservoir
oksigen dan masker venturi. Kecepatan oksigen untuk masker non-rebreathing adalah 12 –
15 liter. Masker venturi memberikan konsentrasi oksigen tetap berkisar antara 24% - 80%
dan sesuai untuk pasien COLD (chronic Obstructive Lung Disease).

Gambar 2.29 masker non Gambar 2.30 masker venturi


rebreathing

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 23


Modul Pelatihan ACLS

Ringkasan
Secara ringkas, dokter harus mengetahui bagaimana cara membuka jalan nafas
dengan menggunakan alat bantu sederhana, cara intubasi, komplikasi yang
berkaitan dengan intubasi dan rencana cadangan yang dibutuhkan jika terjadi
kegagalan intubasi.

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 24


Modul Pelatihan ACLS

BAB 3
VENTRIKEL FIBRILASI, VENTRIKEL TAKIKARDIA TANPA NADI DAN
DEFIBRILASI

Tujuan
Tujuan dari bab ini adalah :
 menjelaskan algoritma terapi pada ventrikel fibrilasi (VF) dan VT tanpa nadi
 menjelaskan algoritma terapi pada VF refrakter dan VT tanpa nadi
 menjelaskan langkah – langkah defibrilasi yang aman

Pendahuluan
Henti jantung merupakan keadaan non sirkulatorik yang pada orang dewasa dapat
disebabkan oleh salah satu aritmia sebagai berikut :
1. VF, merupakan penyebab paling umum
2. VT tanpa nadi
3. PEA
4. Asistole
Sangat penting untuk dapat mengenali penyebab spesifiknya, karena untuk VF dan
VT tanpa nadi, defibrilasi adalah satu – satunya terapi definitif, dan defibrilasi awal memiliki
tingkat keberhasilan resusitasi yang lebih tinggi.

EKG Strip : VF dan VT


Dibawah ini adalah gambaran singkat mengenai penampakan VF dan VT pada
monitor defibrilator. Gambaran VF memiliki gelombang EKG yang kacau tanpa ada pola
yang dapat dikenali. VT adalah takikardia dengan kompleks QRS lebar dengan beberapa
irama regular. Pada VT polimorfik, terdapat kompleks QRS yang terpuntir (twist) di sekitar
garis isoelektrik. Selalu ingat bahwa pasien apapun dengan sindrom koroner akut baik
unstable angina atau ST elevation myocardial infarction (STEMI) memiliki resiko yang sama
untuk menjadi VF dan VT.

Gambar 3.1 VF

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 25


Modul Pelatihan ACLS

Gambar 3.2 VT

Gambar 3.2 polimorfik VT (Torsade de Pointe)

Ventrikel Fibrilasi/ algoritme ventrikel takikardi tanpa nadi


Gambar 3.3 menunjukkan algoritma yang harus diingat setiap peserta ACLS
Dari atas, memulai bantuan hidup dasar dengan menilai respon, mengaktivasi kode,
meminta defibrilator, membuka jalan napas, mengecek nadi dan melakukan kompresi dada.
Pemberian 2 napas sekarang telah dihilangkan dari algoritma untuk mengurangi
keterlambatan memulai kompresi dada.
Pada saat defibrilator datang, tempelkan lead. Hentikan kompresi dada sementara
untuk menilai irama jantung. Jika monitor menunjukkan VF atau VT, lakukan defibrilasi
sekali dengan 150 joule untuk defibrilator bifasik atau 360 joule pada defibrilator monofasik.
Setelah kejut listrik pertama, apapun irama pasien, lanjutkan kompresi dada selama
1 menit. hal ini dikarenakan, segera setelah kardioversi berhasil, kontraksi jantung menjadi
lemah, sehingga pemberian kompresi dada akan memperbaiki curah jantung (cardiac
output) hingga jantung kembali ke kontraksi normal. Setelah 1 menit, atau lebih cepat jika
pasien menunjukkan perbaikan perfusi (seperti mengeluarkan suara atau menggerakkan
anggota badan) hentikan kompresi dada, dan cek irama jantung serta nadi. Jika sirkulasi
spontan telah kembali, nilai tanda – tanda vital pasien, berikan bantuan napas, gunakan
obat – obatan yang sesuai dengan irama dan kondisi pasien, serta lakukan perekaman EKG
12 lead, rontgen dada, dan pemeriksaan lanjutan yang diperlukan. Mulai berikan infus
amiodarone 1 mg/ menit selama 6 jam dilanjutkan 0.5 mg/ menit selama 18 jam (atau infus
lignocaine 1 – 2 mg / menit selama 24 jam). Mulailah perawatan pasca henti jantung jika
fasilitas dan spesialis tersedia (dijelaskan pada rangkuman) dan rencanakan transfer ke
ruang perawatan intensif.

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 26


Modul Pelatihan ACLS

Jika didapatkan PEA atau asistol, mulai resusitasi jantung paru dan lakukan
manajemen segera. Kita akan mendiskusikan keadaan ini pada bab yang berbeda. Ingat :
jangan lakukan defibrilasi jika irama bukan VF atau VT.

Gambar 3.3 Algoritma Ventrikel Fibrilasi/Ventrikel Takikardia tanpa Nadi

Henti jantung pada dewasa

Manajemen jalan napas: Saat defibrilator sudah


Buka jalan napas, RJP tersedia, tempelkan lead
intubasi dan berikan dan segera analisa irama
ventilasi VF/VT tanpa nadi

Defibrilasi 1x (150 J bifasik


atau 360 monofasik)

RJP selama 1 menit


Ritme jantung setelah kejut
listrik pertama?

VF/VT rekuren atau persisten Kembalinya sirkulasi spontan PEA


(ROSC) (lihat kuliah tentang PEA)

Ke gambar 3.4  Nilai tanda vital Catatan :


 Berikan bantuan jalan  RJP harus tetap
napas dan pernapasan diteruskan sepanjang
 Berikan obat – obatan waktu
yang sesuai untuk  Hentikan RJP singkat
tekanan darah, denyut hanya untuk menilai
jantung dan irama irama
 Kirim ke CCU/ICU

Algoritme VF/ VT tanpa nadi refrakter


Gambar 3.4 adalah algoritma untuk manajemen VF/ VT tanpa nadi refrakter. Berikut adalah
prioritas dalam manajemen VF/ VT tanpa nadi refrakter:

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 27


Modul Pelatihan ACLS

1. Siklus shock – RJP


Setelah kejut listrik (shock) pertama lanjutkan kompresi dada selama 1 menit
sebelum menilai ritme jantung. Jika pasient tetap VF atau VT, lakukan shock lagi dan
lanjutkan kompresi dada selama 1 menit. Hal ini seharusnya diulang dalam pola
siklus shock – RJP, shock – RJP hingga sirkulasi spontan kembali atau irama
berubah menjadi PEA atau asistol. Energi untuk kejut listrik tidak perlu ditingkatkan
pada pengulangan selanjutnya dan dapat tetap diberikan pada level 150 joule untuk
defibrilator bifasik dan 360 joule untuk defibrilator monofasik. Kompresi dada harus
dilakukan berkesinambungan dan hanya dihentikan secara singkat untuk menilai
irama dan memberikan kejut listrik.
2. Akses vena dan obat – obatan
Secara bersamaan anggota tim memasang akses vena dan memulai infus NS. Obat
– obatan dapat diberikan segera setelah akses vena terpasang dan tidak perlu
menunggu kejut listrik. Setelah obat – obatan diberikan, kompresi dada harus
dilakukan agar obat tersebut dapat bersirkulasi. Adrenalin diberikan 1 mg (1:10.000)
IV bolus cepat setiap 3 – 5 menit. amiodarone diberikan pada waktu yang sama
dengan dosis adrenalin pertama dan diberikan 300 mg IV bolus cepat. Amiodarone
dapat diulang sekali setelah 3 – 5 menit jika VF atau VT tanpa nadi berulang dan
diberikan dengan dosis 150 mg IV bolus cepat. Lignocaine dapat diberikan sebagai
alternatif amiodarone dengan dosis 50 – 100 mg IV bolus cepat diulang sekali
dengan dosis yang sama setelah 3 – 5 menit jika VF/VT tanpa nadi berulang.
Dengan demikian hanya adrenalin yang diberikan berulang kali. Natrium bikarbonat
dan buffer lainnya tidak lagi direkomendasikan.
Setelah kembalinya sirkulasi spontan, anti aritmia harus dilanjutkan sebagai infus.
Amiodarone IV 1 mg/menit selama 6 jam dilanjutkan 0.5 mg/menit selama 18 jam
ATAU Lignocaine infus IV 1 – 2 mg/menit selama 24 jam.
3. Penatalaksanaan jalan napas definitif
Anggota tim resusitasi yang lain mengamankan jalan napas dan pernapasan dengan
intubasi. Jika tidak dapat melakukan intubasi, lakukan bantuan napas dengan BVM.
Percobaan intubasi sebaiknya tidak menghentikan kompresi dada atau defibrilasi.
Polimorfik VT (Torsade de Pointes) diterapi dengan Magnesium sulfat 1 – 2 mg IV,
dengan terapi elektrik atau overdrive pacing sesuai kebutuhan. Karena Torsade
bersifat polimorfik, kardioversi tersinkronisasi (synchronised cardioversion) mungkin
tidak dapat dilakukan sehingga pasien diberikan kejut listrik nonsinkronisasi
(unsynchronised shock).

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 28


Modul Pelatihan ACLS

Gambar 3.4 Algoritma VF/VT tanpa nadi refrakter

Henti jantung pada dewasa

Survei ABCD Primer


Cek respon
Telepon defibrilator
C : Circulation : Cek nadi, mulai 30 kompresi dada
dan 2 ventilasi
A : Airway, buka jalan napas
B : Breathing : cek pernapasan. Lihat, Dengar, dan
Rasakan
D : Defibrilasi : tempelkan monitor EKG/ Defibrilator

Jika VT/VF
ROSC 
Shock 150J
Cek Irama perawatan
pasca henti
Terapi obat jantung
Saat IV/IO/akses vena sentral terpasang,
Adrenalin 1 mg bolus setiap 3 – 5 menit

RJP kontinyu RJP kontinyu


VT/VF refrakter
Amiodarone 300 mg bolus  ulangi
amiodarone 150 mg bolus Sekali setelah 3 – 5 menit
Pertimbangkan intubasi
Manajemen Penyebab Reversibel
5H dan 5T

Monitor

Kualitas RJP

Catatan :
 Urutan tindakan : shock – RJP, shock – RJP
 Obat-obatan harus diberikan saat akses sentral/IO/IV terpasang dan tidak harus berurutan
dengan shock
 Pemberian obat-obatan harus diikuti RJP untuk memastikan obat dapat bersirkulasi
 Energi defibrilasi tidak perlu ditingkatkan (bifasik 150 J atau monofasik 360 J)
 *alternatif  lignocaine 50 – 100 mg IV bolus, diulangi sekali setelah 3 – 5 menit
 Perawatan pascca henti hantung termasuk : hipotermia terapeutik, hindari hiperoksia, infus
amiodaron 1 mg/menit selama 6 jam, dilanjutkan 0.5 mg/menit selama 18 jam

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 29


Modul Pelatihan ACLS

DEFIBRILASI

Kita berlanjut pada langkah – langkah untuk melakukan defibrilasi yang aman. Saat ini,
sebagian besar defibrilator berjenis bifasik. Defibrilator dapat berfungsi dengan baterai
sehingga tidak memerlukan arus listrik hingga 1 – 2 jam.
Pada pelatihan ini digunakan defibrilator bifasik dimana saat kita menghidupkan maka
secara otomatis akan terpasang pada mode AED (gambar 3.5). Operator harus merubah
sistem ke manual dengan cara menekan tombol “manual mode” kemudian menekan tombol
“confirm”.

Gambar 3.5 defibrilator bifasik

Petunjuk Mengoperasikan Defibrilator


Beberapa defibrilator memiliki paddle yang juga berfungsi sebagai lead monitor. Namun
kami menyarankan anda untuk menempelkan 3 lead EKG dan pilih lead II untuk monitor
irama jantung.

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 30


Modul Pelatihan ACLS

Gambar 3.6 Pilihan lead II

Mengenali irama “Shockable”


Segera setelah lead ditempelkan, lihat monitor. Ada 2 irama jantung yang dapat di”shock”
yang harus dikenali segera yaitu, VF dan VT.

Gambar 3.7 VF Gambar 3.8 VT

Posisi Paddle
Saat irama “shockable” teridentifikasi, bersiaplah untuk prosedur defibrilasi dengan
menempelkan paddle ke dada pasien. Paddle defibrilator didesain dengan label sternum dan
apex.
Paddle sternum diletakkan pada regio infra klavikular, tepat di sebelah sternum dan tepat di
bawah klavikula. Paddle apex diletakkan pada apeks jantung, pada area lateral inferior dari
puting.
Pada manekin, posisi ini ditunjukkan dengan tombol metal (lihat gambar 3.10-11).

Catatan:
Pada alat defibrilator biasanya terdapat pads jelly dalam kemasan satu set. Pads jelly
ini ditempelkan di tubuh pasien dengan posisi yang sama dengan paddle. Tetapi
dalam pelatihan ini tidak dilakukan karena merupakan bahan sekali pakai dan dapat
merusak manikin.

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 31


Modul Pelatihan ACLS

Gambar 3.10 tombol metal pada Gambar 3.11 Paddle sternum dan
manekin menunjukkan posisi apeks diletakkan di dinding dada
paddle sternum dan apeks

Algoritme ACLS VF dan VT tanpa nadi


Untuk memulai defibrilasi, naikkan energi ke 150 joule bifasik dengan menekan
tombol “energy select”. Pada pengaturan standar, tombol SYNC tidak menyala (OFF).

Gambar 3.12 defibrilator bifasik: pilih energi standar (150 J)

Mengisi daya defibrilator (charge)


Untuk mengisi daya defibrilator, tekan tombol kuning bertulisan “charge” atau pada
tombol no 2 pada paddle. Jika pengisian daya sudah selesai, tingkat energi akan tampak di
monitor dan alarm akan berbunyi.

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 32


Modul Pelatihan ACLS

Gambar 3.13 tekan tombol charge Gambar 3.14 defibrilator bifasik


(pengisian daya) telah diisi daya pada level energi
150 J (tanda panah merah)

Cara memegang paddle yang aman

Gambar 3.15 tekan tombol charge Gambar 3.16 jaga jarak antara
(pengisian daya) paddle yang terisi daya

Paddle pada dada pasien


Setelah mengidentifikasi posisi, letakkan dan tahan paddle sternum dan apeks pada
dinding dada dengan kuat. Kami sangat menyarankan anda menggunakan kedua jari
telunjuk untuk menekan tombol discharge (melepas daya) dan tempatkan ibu jari dan jari
lainnya di bawah pegangan paddle.

Posisikan jari anda namun JANGAN lakukan defibrilasi terlebih dahulu. Selama
latihan dengan manekin, pastikan bahwa paddle berhubungan dengan tombol metal pada
manekin, jika tidak maka akan terjadi percikan api.

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 33


Modul Pelatihan ACLS

Gambar 3.17 jari telunjuk bersiap Gambar 3.18 pastikan paddle


untuk menekan tombol discharge terhubung dengan tombol metal
sementara ibu jari dan jari lainnya pada manekin, jika tidak maka
berada di bawah pegangan akan timbul percikan api
paddle

Keselamatan diri dan anggota tim


Untuk memastikan keamanan anda dan anggota tim, lakukan pencegahan sebagai berikut :
 Lihat sekeliling dan ke belakang dan teriakkan “Stand clear”
 Pastikan tidak ada satu orang pun, termasuk anda sendiri, yang kontak dengan
pasien atau bed.
 Lihat kembali pada monitor untuk mengkonfirmasi bahwa VF dan VT masih ada.
Ingat bahwa kadang – kadang irama tersebut dapat berubah, dan anda tidak perlu
melakukan shock pada pasien yang tidak lagi memiliki irama VF atau VT.

Gambar 3. 19 lihat sekeliling, ke Gambar 3. 20 pastikan tidak ada satu


belakang dan teriakkan stand clear orangpun, termasuk anda, yang
memiliki kontak dengan tubuh pasien
atau bed/troli

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 34


Modul Pelatihan ACLS

Defibrilasi
Dengan mata tertuju pada monitor, lakukan defibrilasi dengan menekan tombol
discharge berwarna oranye secara bersama – sama.
Setelah shock pertama, lakukan kompresi dada selama satu menit sebelum menilai irama
atau nadi.

Gambar 3.21 tekan tombol oranye Gambar 3.21 lakukan defibrilasi


secara bersama - sama dengan aman

Saran terakhir mengenai keamanan


Di setiap saat, melakukan pengisian daya (charge) dan defibrilasi harus dilakukan
dengan paddle terpasang di defibrilator atau pada dada pasien. JANGAN menekan
tombol charge atau discharge dengan paddle di udara (tidak menempel).
JANGAN memegang kedua paddle dengan satu tangan.

Berbagai tindakan defibrilasi yang anda lihat di serial televisi dikerjakan dengan tidak aman
dan tidak sesuai prosedur, sebagai contoh, menggosok sisi metal permukaan paddle
bersama untuk membagi jel konduksi, atau memberikan kejut listrik pada pasien asistol.
Jangan tiru tindakan tidak aman tersebut pada pelatihan ACLS anda atau pada saat
resusitasi.

Gambar 3.23 Pengisian daya (charge) Gambar 3.24 garis lurus di bagian kiri
harus dilakukan pada saat paddle layar menunjukkan pelepasan energi
masih terpasang di defibrilator

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 35


Modul Pelatihan ACLS

Catatan:
Setiap kali irama monitor berubah, cek nadi karotis. Irama monitor yang tampak
seperti irama sinus belum tentu didapatkan nadi. Hal ini disebabkan karena jantung
dapat memiliki aktifitas kelistrikan namun tidak menghasilkan nadi, kondisi ini disebut
PEA (pulseless electrical activity).

Rangkuman
Secara ringkas, VF adalah aritmia yang paling sering mengakibatkan henti jantung.
Defibrilasi adalah satu – satunya terapi definitif untuk VF dan VT tanpa nadi. Semakin
cepat defibrilasi dilakukan, semakin tinggi kemungkinan keberhasilan dan kembalinya
sirkulasi spontan.

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 36


Modul Pelatihan ACLS

Bab 4
Pulseless Electrical Activity (PEA) dan Asistol

Tujuan
Tujuan dari bab ini adalah :
 Menjabarkan algoritme untuk PEA dan asistol
 Mengidentifikasi penyebab PEA

Pendahuluan
PEA merupakan irama jantung yang bukan ventrikel fibrilasi (VF), bukan ventrikel
takikardi dan bukan asistol pada pasien tanpa nadi. Bentuk irama PEA dapat berkisar antara
irama sinus, berbagai bentuk takikardi atau bradikardi, hingga irama idioventrikuler pada
pasien tanpa nadi. Adanya aktifitas listrik di jantung namun tidak ada kontraksi jantung atau
curah jantung yang mana hal tesebut dapat menjelaskan mengapa pasien tersebut dalam
kondisi tanpa nadi. Jika PEA tidak ditangani akan mengakibatkan terjadinya asistol.
Kunci manajemen PEA adalah mengkoreksi penyebab reversibel yang harus anda
ketahui. Tanpa adanya penyebab reversibel, PEA, seperti halnya asistol akan memiliki
prognosis yang buruk.

Algoritme Asistol / PEA


Gambar 4.1 pada halaman berikut menunjukkan algoritme pasien asistol/ PEA. Dari
atas dijelaskan, algoritme dimulai dengan bantuan hidup dasar dengan menilai respon,
mengaktifasi tim code blue, meminta defibrilator, membuka jalan nafas, menilai nadi dan
melakukan kompresi dada. Untuk menghindari keterlambatan mulai kompresi dada, 2 kali
nafas bantuan awal dihilangkan dari algoritma.
Pada saat defibrilator telah tersedia, tempelkan lead dan nilai irama dengan segera.
Jika monitor menunjukkan asistol, lakukan konfirmasi dengan mengganti monitor irama ke
lead lainnya dan hindari sentuhan ke tubuh pasien untuk mencegah terjadinya gerakan
artifak. Jika monitor menunjukkan irama yang bukan VT atau VF, dan nadi pasien masih
tidak teraba, maka irama yang menyebabkan pasien kolaps adalah PEA. Lanjutkan kompresi
dada selama 1 – 2 menit.
Akses intravena harus terpasang dan berikan infus NS. Adrenalin 1 mg IV harus
diberikan setelah kompresi dada untuk memastikan obat dapat bersirkulasi. Adrenalin
diulang tiap 3 – 5 menit. Atropine dan natrium bikarbonat IV tidak lagi direkomendasikan
untuk asistol atau PEA.

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 37


Modul Pelatihan ACLS

Amankan jalan nafas dan respirasi pasien dengan intubasi jika diperlukan, dan
berikan dukungan ventilasi tekanan positif. Percobaan intubasi seharusnya tidak
mengganggu kompresi dada.
Setelah RJP selama 1 – 2 menit, nilai kembali irama. Jika masih asistol atau PEA,
ulangi tindakan di atas. Jika terdapat perubahan pada irama, cek nadi dan segera berikan
respon.
Keputusan penghentian resusitasi tergantung pada protokol rumah sakit lokal.

Catatan:
- Defibrilasi TIDAK diindikasikan pada manajemen PEA atau asistol.
- Pemimpin tim mencari penyebab reversibel PEA (5H dan 5T). 5 H adalah
hipovolemia, hipoksia, asidosis, hiper dan hipokalemia, dan hipotermia. 5T
adalah : tablets, tamponade, tension pneumothorax, sindrome koroner akut,
dan emboli pulmonal.

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 38


Modul Pelatihan ACLS

Gambar 4.1 algoritme asistol/ PEA

Algoritma ACLS untuk Asistol/PEA


Henti jantung pada dewasa

Survei ABCD Primer


Cek respon
Minta defibrilator
C : Circulation : Cek nadi, mulai 30 kompresi dada:2ventilasi
A : Airway : buka jalan nafas
B : Breathing : cek pernafasan. Lihat, Dengar, dan Rasakan
D : Defibrilasi : tempelkan monitor EKG/Defibrilator

Protokol penghentian
jika tetap asistol

Cek Irama ROSC 


Asistol perawatan
/PEA pasca henti
jantung
Terapi obat
Saat IV/IO/akses vena sentral terpasang,
RJP kontinyu RJP kontinyu
Adrenalin 1 mg bolus setiap 3 – 5 menit

Pertimbangkan intubasi

Manajemen Penyebab Reversibel


5H dan 5T

Monitor
Kualitas RJP

Tabel 4.1 Pertimbangkan penyebab yang reversibel (4H 5T)


Hipovolemia Tablets (obat – obatan, OD, kecelakaan)
Hidrogen ion – asidosis Tamponade, cardiac
Hiper-/hipokalemia Tension pneumothorax
Hipotermia Thrombosis, koroner (ACS)
Thrombosis, (Emboli pulmonal)

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 39


Modul Pelatihan ACLS

Terapi spesifik
Kunci terapi spesifik pada kasus ini adalah riwayat penyakit, anamnesis kejadian
yang mengarah ke henti jantung, pemeriksaan fisik, EKG dan kadang hasil laboratorium.

Sebagai contoh, apakah pasien yang pucat mengalami perdarahan dari saluran
cerna atau akibat robekan pada aorta atau luka intra abdominal yang mengakibatkan
hipovolemia dan henti jantung? Resusitasi cairan diperlukan pada keadaan tersebut. Apakah
pasien tersebut mengalami distres pernapasan berat dan hipoksia yang memerlukan
ventilasi penyelamatan atau intubasi? Apakah pasien KAD atau gagal ginjal asidotik
memerlukan natrium bikarbonat? Jika didapatkan hipokalemia atau hiperkalemia, lakukan
koreksi secara agresif. Hipotermia kadang terlihat pada pasien tenggelam. Resusitasi dan
penghangatan kembali harus dilanjutkan hingga suhu basal tubuh lebih dari 35 derajat
celsius sebelum resusitasi dihentikan.

Di Singapura, overdosis obat yang paling sering mengakibatkan PEA adalah


antidepresan trisiklik dan zat golongan organofosfat. Selain RJP, berikan antidot yang sesuai
jika tersedia. Di Indonesia belum ada data khusus terkait hal ini.

Tamponade jantung dapat dijumpai pada pasien dengan luka tusuk pada dada kiri
dan juga pasien dengan efusi perikardial yang maligna. Perikardiosentesis dapat
menyelamatkan nyawa pasien.

Tension pneumothorax dapat dijumpai pada pasien trauma dan non trauma. Pada
pasien trauma, cedera dada bagian luar, fraktur costa, dan flail chest adalah kelainan
penyerta pada tension pneumothorax. Pada pasien non trauma, skenario klasiknya adalah
desaturasi, hipotensi, dan kesulitan bagging pada pasien PPOK atau asma yang terintubasi.
Ingat: setelah intubasi pasien, adanya desaturasi yang tidak dapat dijelaskan dan adanya
hipotensi, harus dipikirkan kemungkinan terjadinya pneumothorax. Needle thoracotomy pada
intercostal space (ICS) 2 dapat membantu meringankan tension pneumothorax. Jika
kecurigaan klinik tension pneumothorax sangat kuat dan needle decompression tidak dapat
memberikan perbaikan, pasang chest tube segera karena mungkin jarum tersebut tidak
dapat mencapai pneumothorax.

Jika PEA disebabkan oleh emboli pulmonal akut, selain RJP, peran trombolitik masih
tidak jelas dan penelitian lebih lanjut mungkin dapat mengubah manajemen terapi. Jika
sirkulasi spontan kembali setelah PEA yang diakibatkan sindrom koroner akut, terapi
revaskularisasi harus segera dikerjakan dengan modalitas PCI (percutaneous coronary
intervention).

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 40


Modul Pelatihan ACLS

Hal yang harus diingat


Pada panduan AHA dan ILCOR tahun 2010, obat – obatan berikut ini tidak lagi
direkomendasikan sebagai terapi PEA/ Asistol:
 Atropin
 Natrium bikarbonat (untuk resusitasi yang panjang)

Ringkasan
Sebagai ringkasan, kunci manajemen PEA dan asistol adalah mencari dan
mengkoreksi penyebab yang reversibel. Kompresi dada yang berkualitas sangatlah
penting, keterlambatan dan interupsi pada kompresi dada oleh karena intervensi
lainnya harus diminimalkan.

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 41


Modul Pelatihan ACLS

BAB 5

SINDROM KORONER AKUT

Tujuan
Tujuan bab ini adalah :
 Menjabarkan patofisiologi sindrom koroner akut
 Mengenali perubahan yang terjadi pada EKG
 Mengenali perlunya intervensi awal

Pendahuluan
Acute coronary syndrome (ACS) atau sindroma koroner akut (SKA) mencakup seluruh
nyeri dada iskemik, dari unstable angina, non ST elevation acute myocardial infarction (Non
STEMI) hingga Q-wave Acute Myocardial Infarction (AMI) klasik yang disebut STEMI.

Serangkaian kejadian yang terjadi dalam lumen arteri koroner, mengakibatkan


terjadinya sindrom koroner akut. Pembentukan plak aterosklerotik memerlukan waktu
bertahun – tahun dan pasien dapat hidup dengan arteri koroner yang menyempit tanpa
keluhan dalam waktu yang lama. Agar ACS terjadi dan menimbulkan gejala, plak dalam
arteri koroner harus mengalami erosi atau ruptur mendadak. Platelet segera tertarik dan
menumpuk pada permukaan plak yang terekspos. Hal ini diikuti deposisi fibrin dan
pembentukan bekuan darah. Dalam beberapa menit hingga beberapa jam, seluruh lumen
arteri koroner dapat mendadak tersumbat oleh trombus. Jika agregasi platelet atau deposisi
fibrin lisis spontan atau pembentukan bekuan darah hanya bersifat parsial atau intermiten,
presentasi klinis dapat berupa unstable angina atau Non STEMI. Jika sumbatan bersifat
total, pasien mengalami STEMI.

Gambar 5.1 Gambar ilustrasi plak

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 42


Modul Pelatihan ACLS

Definisi Infark Miokard Akut


IMA didefinisikan sebagai kematian sebagian jaringan jantung dikarenakan
menurunnya suplai oksigen dan darah secara tiba-tiba (akut).

Diagnosis awal sangat penting karena kita dapat mengurangi mortalitas dengan
menyelamatkan jaringan miokard dan mencegah komplikasi, terapi paling efektif diberikan
pada fase awal.

Panduan AHA 2010


Sejak tahun 2000, American Heart Association telah menyarankan protokol – protokol ini.

Untuk mengurangi jumlah miokard yang nekrosis pada pasien dengan IMA, sehingga dapat
mempertahankan fungsi ventrikel kiri dan mencegah terjadinya gagal jantung, diperlukan
perawatan terintegrasi yang melibatkan perawatan pra-rumah sakit, instalasi gawat darurat,
dan fasilitas percutaneous coronary intervention (PCI).

Protokol STEMI telah bergeser dari trombolitik menjadi PCI primer. Jika pasien
dibawa ke rumah sakit oleh paramedik, EKG 12 lead dikirim melalui fax ke IGD dan pada
saat yang sama IGD diaktivasi. Jika pasien datang sendiri ke IGD dengan keluhan nyeri
dada, dilakukan EKG di triase. Jika terdiagnosis STEMI, maka pasien segera dipindahkan ke
ruang resusitasi dan tim PCI diaktifkan. PCI harus mulai dikerjakan dalam 90 menit sejak
pasien datang. Hal ini disebut dengan door to balloon time. Parameter ini salah satu yang
penting untuk indikator performa. Pada rumah sakit yang belum mempunyai fasilitas PCI
maka pasien dapat dirujuk ke rumah sakit yang mempunyai fasilitas tersebut atau jika tidak
memungkinkan, maka dilakukan terapi trombolitik sebagai prioritas alternatif kedua.

Presentasi klinis
Presentasi klinis sering berupa nyeri dada klasik, namun harus kita ketahui bahwa
nyeri dada tersebut tidak selalu merupakan sindrom koroner akut.

Nyeri dada klasik adalah nyeri dada seperti ditekan dan diremas – remas pada
daerah prekordial kiri atau substernal, yang menjalar hingga ke leher, rahang, pundak dan
terus ke lengan. Kadang, nyeri dada bersifat gradual, hingga mencapai maksimum. Pada
pasien dengan penyakit arteri koroner yang mengalami sindrom koroner akut, nyeri dada
menjadi semakin sering dan terjadi pada saat istirahat dan tidak berkurang dengan GTN.
Ingat bahwa beratnya nyeri dan gejala tidak berbanding lurus dengan beratnya sindrom
koroner akut yang diderita.

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 43


Modul Pelatihan ACLS

Pasien dengan toleransi nyeri yang tinggi dapat menyebutkan skala nyeri 5 dari 10 bahkan
pada kondisi infark miokard akut anterior masif. Pasien lain yang memiliki toleransi nyeri
rendah akan berteriak karena nyeri yang dirasakan bahkan jika nyerinya merupakan nyeri
muskuloskeletal setelah evaluasi yang menyeluruh.

Presentasi klinis lainnya dapat berupa nyeri epigastrik, sesak nafas, keringat dingin dan nyeri
pada rahang atau gigi. Orang tua dan pasien dengan diabetes melitus cenderung
memperlihatkan gejala atipikal dengan disertai disorientasi, perubahan kesadaran, atau
bahkan kejang. Ingat bahwa pasien sindrom koroner akut dengan kejang dapat diakibatkan
oleh takidisritmia atau bradidisritmia.

Sebagian besar pasien sindrom koroner akut memiliki pemeriksaan fisik yang normal,
kecuali mereka mengalami komplikasi seperti gagal jantung, edema pulmonum atau syok
kardiogenik.

Evaluasi
Kriteria WHO untuk diagnosis IMA ditetapkan pada tahun 1979. Dua dari tiga kriteria
di bawah ini harus dipenuhi untuk diagnosis IMA :
 Riwayat klinis nyeri dada iskemik
 Perubahan EKG
 Perubahan enzim jantung

Bagaimanapun juga, enzim jantung, baik CKMB maupun troponin mungkin tidak
meningkat pada 4 – 6 jam pertama. Dengan demikian diagnosis awal dalam beberapa jam
pertama berdasar pada anamnesis, riwayat pasien dan perubahan EKG.

Pada tahun 2000, European Society of Cardiology dan American College of Cardiology
menyatakan pendekatan yang sedikit berbeda untuk mendiagnosis sindrom koroner akut.
Mereka menekankan pada fluktuasi enzim jantung dan satu dari poin berikut ini:
 Riwayat gejala jantung iskemik atau perubahan EKG seperti ST elevasi atau depresi, Q
wave, dan bundle branch block onset baru, T wave yang tinggi runcing (hiperakut T) atau
 Penemuan yang didapatkan pada saat intervensi arteri koroner

Diagnosis EKG
Diagnosis STEMI pada EKG berdasarkan adanya ST elevasi, T inversi atau Q patologis.

Dengan adanya edukasi publik, pasien nyeri dada biasanya datang pada fase awal dan
rekaman EKG 12 lead dapat normal atau hanya menunjukkan hiperakut T. Ingat untuk

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 44


Modul Pelatihan ACLS

mengulang EKG 5 – 10 menit kemudian terutama pada pasien dengan nyeri dada atau
gejala yang terus menerus.

Perubahan ST segment pada IMA


Lead yang menunjukkan ST elevasi mengindikasikan lokasi infark
 IMA anterior masif (ekstensif) ST elevasi pada lead V2 – V6
 IMA anteroseptal ST elevasi pada V2 – V4. IMA Anterolateral, ST elevasi di lead V5,V6,
I dan aVL.
 IMA inferior, ST elevasi pada II,III, aVF
 Untuk IMA ventrikel kanan, lead kanan harus diperiksa, dan menunjukkan ST elevasi
pada V4R hingga V6R
 Oklusi arteri koroner kiri cabang utama dapat menunjukkan ST elevasi pada aVR yang
dibandingkan dengan lead V1

IMA Anterior
EKG dibawah menunjukkan IMA anterior dengan ST elevasi pada V2 – V6

Gambar 5.2 ST elevasi pada lead V2 – V6

IMA inferior
EKG pada gambar 5.3 menunjukkan IMA inferior dengan ST elevasi pada II, III, aVF. Pada
lead V2, gelombang R tampak tinggi dan ST segmen mengalami depresi, yang merupakan
bukti tidak langsung adanya IMA posterior. Selalu periksa lead ventrikel kanan karena pada
85% populasi arteri koroner kanan memberi suplai pada dinding inferior dan posterior
ventrikel kiri serta ventrikel kanan.

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 45


Modul Pelatihan ACLS

Gambar 5.3 ST elevasi pada II,III, dan aVF

Manajemen awal
Tindakan segera saat anda mempunyai pasien dengan nyeri dada iskemik adalah
melakukan pemeriksaan EKG, tekanan darah dan monitor denyut jantung.

Akses vena harus dapat terpasang. Pemberian MONA (Morfin, Oksigen, Nitrat, dan
Aspirin) yang banyak tersedia di sarana kesehatan, harus segera dilakukan. Saat STEMI
sudah terdiagnosis, persiapkan rencana reperfusi dengan PCI primer.

Monitoring EKG mempermudah deteksi awal aritmia, karena aritmia yang mematikan
biasanya terjadi pada 4 jam pertama.

Akses vena diperlukan untuk pemberian cairan dan obat – obatan untuk resusitasi.
Kanulasi vena perifer menjadi pilihan pertama untuk hal tersebut.

Oksigen mencegah hipoksia yang dapat memperberat kerusakan miokard dan


meningkatkan resiko komplikasi. Pada pasien dengan pernafasan normal, pemberian
oksigen tambahan dengan nasal kanul sudah cukup untuk mencapai SaO2 ≥ 94%.
Bagaimanapun, pasien dengan gagal jantung akut atau syok kardiogenik, penatalaksanaan
jalan nafas lanjut dan dukungan ventilasi mungkin diperlukan.

Penghilang nyeri dengan morfin IV dan GTN, diberikan dalam sediaan sublingual,
topikal, atau IV. Sangat penting agar pasien terbebas dari nyeri, karena nyeri meningkatkan
sekresi katekolamin endogen yang dapat mengakibatkan aritmia dan dengan demikian,
analgesia yang adekuat sangatlah penting.

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 46


Modul Pelatihan ACLS

Injeksi intramuskular harus dihindari karena didapatkan potensi terjadi hipotensi


akibat efek depot intramuskular, dan resiko hematom serta perdarahan jika kemudian pasien
diberikan terapi antikoagulan atau trombolitik. GTN harus dihindari pada pasien dengan
infark ventrikel kanan karena efek venodilatasi dapat menurunkan pengisian ventrikel kanan,
dan memperburuk curah jantung.

Terapi reperfusi dan terapi lainnya


Yang dimaksud terapi revaskularisasi adalah trombolitik IV atau percutaneous
coronary intervention (PCI).

Kadang – kadang CABG (Coronary artery bypass grafting) emergensi diperlukan saat
terjadi kegagalan terapi trombolitik atau PCI.

Sementara terapi revaskularisasi dipersiapkan, berikan terapi antiplatelet. Untuk


sebagian besar pasien tanpa kontraindikasi, aspirin cukup sesuai namun merupakan agen
antiplatelet yang non spesifik. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa clopidogrel seperti
Plavix, merupakan agen antiplatelet spesifik yang mengurangi mortalitas pada pasien
sindrom koroner akut. Peran glikoprotein IIb – IIIa masih kontroversial karena resiko tinggi
terjadi perdarahan. Heparin IV sering diberikan pasca terapi trombolitik sementara LMWH
(low molecular weight heparin) sangat berguna pada NSTEMI dan onset lama (late
presenters)

Terapi tambahan lainnya dapat berupa beta-bloker, GTN, dan ACE inhibitor.

Terapi trombolitik mungkin masih digunakan di beberapa institusi tanpa fasilitas PCI
24 jam. Terapi trombolitik hanya diindikasikan untuk IMA dengan ST elevasi yang datang
dalam 4 – 6 jam setelah onset gejala.

Trombolisis dikontraindikasikan untuk unstable angina dan non-STEMI. Sementara PCI


dapat digunakan untuk semua jenis sindrom koroner akut. Intinya, trombolitik intravena
hanya melisiskan bekuan darah namun tidak menghilangkan plak aterosklerotik. PCI dapat
menghilangkan semua bekuan darah dan plak, sehingga sesuai terutama untuk pasien yang
lebih muda.

Catatan:
- manajemen awal untuk ACS adalah pemberian MONA (morfin, oksigen, nitrat
dan Aspirin)
- jika terbukti STEMI maka segera rujuk ke rumah sakit dengan fasilitas lebih
lengkap untuk dilakukan revaskularisasi

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 47


Modul Pelatihan ACLS

Algoritma sindrom koroner akut


Algoritma sindrom koroner akut diringkas dalam gambar 5.4. Penjelasan dari atas,
edukasi publik mengajarkan orang awam untuk mengaktifasi pelayanan pra-rumah sakit
(SPGDT) pada saat mereka mengalami nyeri dada. Di ambulans, paramedis memasang
akses vena, memberikan oksigen dan GTN sublingual, kemudian menginformasikan IGD
untuk melakukan persiapan dan mengirimkan faks EKG 12 leadnya.
Pada saat tiba di IGD, penilaian klinis segera termasuk monitoring tanda vital, EKG
12 lead, akses vena, anamnesis dan pemeriksaan fisik yang fokus. Rontgen dada dan
pemeriksaan darah harus dikerjakan sesegera mungkin.
Jika didapatkan IMA dengan ST elevasi, unstable angina, atau non STEMI pada saat
evaluasi, maka putuskan apakah pasien layak menjalani prosedur PCI. Pada pasien STEMI,
masih dapat dilakukan terapi trombolitik. Ingat bahwa waktu door to ballon (waktu dari
datang hingga PCI 90 – 120 menit) sementara door to needle adalah dalam waktu 30 menit.
Saat merencanakan terapi reperfusi, berikan MONA dan terapi tambahan yang sesuai.

Komplikasi ACS
Komplikasi sindrom koroner akut antara lain aritmia, syok kardiogenik, ruptur
miokard, edema pulmonum akut, regurgitasi mitral, sekaligus ruptur septal intraventrikel.
Aritmia akan didiskusikan pada bab terpisah. Jika dinding bebas miokard ruptur,
pasien biasanya hilang kesadaran dan tidak berespon terhadap resusitasi. Pasien dengan
ruptur dinding septal atau regurgitasi mitral datang dengan syok kardiogenik dan murmur
jantung onset baru.
Syok kardiogenik dan edema pulmonum akut akan didiskusikan pada bab terpisah.

Infark ventrikel kanan


Infark ventrikel kanan lebih sering terjadi pada IMA inferior. Pada infark ventrikel
kanan yang berat, didapatkan kegagalan pompa jantung kanan yang mengakibatkan
berkurangnya aliran darah ke sirkulasi pulmoner.
Berkurangnya aliran darah tersebut mengakibatkan turunnya curah jantung kiri, dan
bermanifestasi sebagai hipotensi, distensi vena leher dan auskultasi paru yang bersih. Harus
dicurigai IMA ventrikel kanan pada pasien dengan presentasi klasik di atas.

Manajemen Infark Ventrikel kanan


Pasien dengan infark ventrikel kanan memerlukan challenge cairan untuk
meningkatkan tekanan darah. Hal tersebut berkebalikan dengan infark ventrikel kirid. Pada
pasien yang lebih tua, mulailah dengan 200 – 300 cc NS dan lakukanlah evaluasi respon.
Pada pasien lebih muda 500 cc NS lebih sesuai.

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 48


Modul Pelatihan ACLS

Jika tekanan darah tidak berespon adekuat terhadap pemberian cairan,


pertimbangkan pemberian inotropik seperti Dopamin. Anda harus menghindari pemberian
diuretik dan GTN untuk mencegah penurunan tekanan darah lebih hebat.

Orang Awam Orang dewasa dengan nyeri dada, hubungi 119

EMS Akses vena, oksigen, GTN, kontak IGD, kirim


faks EKG

Triase singkat Segera : rontgen


IGD dada, pemeriksaan
Segera : darah, konsultasi
Tanda tanda vital, EKG 12 lead, IV line
Pemeriksaan fisik dan anamnesis singkat dan
terfokus

IMA dengan ST elevasi Unstable angina, NSTEMI

Putuskan apakah Pilihan terapi : Putuskan apakah


IGD, CVM
pasien layak O2, GTN, aspirin, morfin pasien layak untuk PCI
dilakukan terapi Heparin, GP IIa/IIIb
reperfusi :
Trombolitik vs PCI

Door-to-needle Door-to-balloon
≤30 menit 90 menit

Gambar 5.4 algoritma ACS

Ringkasan
Secara ringkas, sindrom koroner akut merupakan hasil dari ruptur plak aterosklerosis.
Diagnosis awal sangat penting karena akan berpengaruh terhadap mortalitas. Terapi
yang dimulai awal dapat menyelamatkan lebih banyak miokard dan mencegah
komplikasi.

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 49


Modul Pelatihan ACLS

BAB 6
HIPOTENSI, SYOK DAN EDEMA PULMONUM

Tujuan
Tujuan bab ini adalah
Untuk menjabarkan algoritme terapi untuk hipotensi, syok dan edema pulmonum.

Definisi istilah
Definisi hipotensi tidak sama dengan syok meskipun keduanya sering dihubungkan
satu sama lain. Secara sederhana, hipotensi adalah penurunan tekanan darah dan syok
adalah manifestasi klinis dari perfusi jaringan yang tidak adekuat yang muncul sebagai
gangguan kesadaran, dingin, perifer yang basah dan berkeringat, sensasi rasa haus,
berkurangnya produksi urin dan sebagainya.
Syok dapat terjadi meskipun tidak didapatkan hipotensi. Sebagai contoh, pada tahap
awal syok hipovolemik atau septikemik, pasien dapat mengalami disorientasi atau menjadi
gelisah disertai berkurangnya produksi urin namun tekanan darah masih normal sampai
akhirnya terjadi kegagalan mekanisme kompensasi. Secara umum, syok diklasifikasikan
menjadi lima tipe : hipovolemik, septikemik, kardiogenik, neurogenik, dan anafilaktik.
Syok kardiogenik berarti terjadinya penurunan fungsi pompa ventrikel kiri lebih dari
40%, dan tingkat kematiannya 50 - 70 % bahkan di rumah sakit dengan tingkat perawatan
yang canggih.
Di Singapura, penyebab tersering syok kardiogenik adalah sindrom koroner akut dan
miokarditis. Secara klinis, syok kardiogenik dapat muncul pada pasien hipotensi dengan
edema pulmonum.
Edema pulmonum akut sendiri sering dihubungkan dengan peningkatan tekanan darah yang
hebat, sering disebut sebagai gagal jantung dekompensasi akut/ acutely decompensated
heart failure (ADHF).

Algoritma hipotensi, syok, dan edema pulmonum


Gambar 6.1 menunjukkan algoritma hipotensi, syok, dan edema pulmonum. Dari
atas, pasien sadar dilakukan survei primer dan sekunder. Berdasarkan penemuan survei
primer dan sekunder, kita memutuskan apakah pasien memiliki permasalahan fungsi pompa
jantung atau denyut jantung, atau kombinasi keduanya.
Pada sisi kiri, jika didapatkan problem volume, berikan cairan intravena, tranfusikan
darah jika perlu dan pada saat yang sama identifikasi dan terapi penyebab dasarnya.
Kehilangan darah adalah penyebab paling sering, sebagai contoh dari saluran cerna. Jika

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 50


Modul Pelatihan ACLS

tekanan darah tidak memberikan respon meskipun telah diberikan cairan dan darah,
pertimbangkan penggunaan vasopressor.

Pasien sadar
Survei ABCD primer dan sekunder

Apakah sumber permasalahannya?

Volume Pompa Denyut


Termasuk Jantung
problem
resistensi
vaskuler

Berikan cairan, darah Tekanan darah? Bradikardia ATAU


Terapi penyebab dasar Takikardia
Pertimbangkan Lihat bab selanjutnya
penggunaan vasopresor

SBP < 70 mmHg SBP 70 - 100 mmHg SBP 70 – 100 mmHg SBP > 100 mmHg
Tanda dan gejala Tanda dan gejala Tidak ada tanda dan
syok syok gejala syok

GTN IV 10 – 20
Pertimbangkan : Dopamin Dobutamin ug/menit, jika
Norepinefrin (tambahkan tetap nyeri, TD
ATAU Norepinefrin jika meningkat, titrasi
Dopamin Dopamin mencapai ATAU berikan
dosis maksimum Nitroprusid

Jika pada edema


pulmonum,
pertimbangkan langkah
selanjutnya pada
algoritme selanjutnya
Gambar 6.1 algoritma hipotensi dan syok

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 51


Modul Pelatihan ACLS

Jika didapatkan permasalahan fungsi pompa, lihat tekanan darah. Jika tekanan darah
kurang dari 70 mmHg dengan tanda klinis syok, pertimbangkan penggunaan norepinephrine
atau dopamine. Jika tekanan darah antara 70 - 100 mmHg, dengan tanda klinis syok,
gunakan dopamin dan tambahkan norepinephrine jika perlu. Jika tekanan darah antara 70 -
100 mmHg, tanpa tanda syok, gunakan dobutamin. Ingat bahwa inotropik mungkin tidak
memberikan efek yang diharapkan pada pasien tertentu.
Secara umum sebagian besar dokter dan perawat cukup familier dengan dopamin.
Bagaimanapun, norepinephrine dianggap memiliki efek vasopresor yang lebih poten, dan
dianggap sebagai agen pilihan pada pasien syok septik. Dobutamin memiliki efek inotropik
yang lebih besar.
Di sisi lain, jika tekanan darah meningkat dan perlu dilakukan pengontrokan, gunakan
GTN atau nitroprusside. Secara umum, sebagian besar klinisi lebih familier dengan GTN.
Untuk pasien dengan permasalahan denyut jantung, kita akan mendiskusikan
manajemennya pada bab yang berbeda.
Intervensi segera
- Terapi oksigen
- Rontgen dada, EKG, Pulse
oksimetri, akses vena

Gangguan pernafasan (respiratory Ya


distress)

Apakah dukungan jalan nafas


diperlukan?
TIdak
- Gangguan jalan nafas
- Penurunan kesadaran
- Gangguan hemodinamik/syok
- IMA atau iskemia hebat

Ya TIdak

Intubasi endotrakeal Ventilasi non invasif


(Class I) - CPAP/BIPAP (Class I)

Manajemen
Sistem overload Disfungsi diastolik - Vasodilator/Nitrat (class I)
- Diuretik (class II)
Output rendah - Morfin (class III)

Gambar 6.2 algoritma edema pulmonum akut

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 52


Modul Pelatihan ACLS

Algoritma edema pulmonum akut


Gambar 6.2 menunjukkan algoritma edema pulmonum. Gagal jantung dekompensasi
akut yang mengakibatkan edema pulmonum kardiogenik akut adalah bahasan yang
kompleks. Tidak semua kasus edema pulmonum kardiogenik akut disebabkan oleh
redistribusi cairan pada pasien euvolemik atau hipovolemik. Beberapa kasus disebabkan
disfungsi diastolik atau keadaan output yang rendah. Aktivasi neurohormon, sistem renin
angiotensin mengakibatkan peningkatan tonus vaskuler dan afterload yang mengakibatkan
edema pulmonum. Terapi bertujuan untuk menurunkan afterload dengan vasodilator (seperti
infus GTN). Pemberian furosemid diindikasikan jika didapatkan overload cairan.
Bagaimanapun juga, furosemid dapat memperburuk fungsi renal pada pasien euvolemik dan
hipovolemik. Morfin memiliki efek vasodilator ringan dan ansiolitik, namun harus digunakan
dengan hati - hati karena penggunaannya dikaitkan dengan peningkatan kebutuhan ventilasi
mekanik sebagai akibat depresi respiratorik.

Oksigen tambahan penting untuk diberikan jika ada indikasi. Non invasive
ventilation (NIV) dengan continuous positive airway pressure (CPAP) atau biphasic positive
airway pressure (BIPAP) memperbaiki mekanik paru dengan cara mengurangi alveoli yang
mengalami atelektasis, memperbaiki komplians paru, dan mengurangi kerja nafas dan dapat
mencegah dilakukannya intubasi.

Intubasi endotrakeal dan ventilasi mekanik mungkin diperlukan jika NIV tidak
tersedia, gagal, atau tidak sesuai untuk pasien tersebut. Sangat penting untuk mengintubasi
pasien pada saat yang tepat. Ingat bahkan pasien dengan PPOK, oksigen 100% tetap harus
diberikan sampai edema pulmonum akut membaik sehingga konsentrasi oksigen dapat
diturunkan.

Berhati - hati saat memberikan sedatif pada persiapan intubasi. Agen sedatif seperti
midazolam dan propofol dapat menurunkan tekanan darah. Etomidate merupakan agen
induksi yang stabil untuk jantung karena tidak memiliki efek menurunkan tekanan darah.
Dosis etomidate 0.3 mg/kg.

Saat tekanan darah meningkat, gunakan GTN IV atau nitroprusside. Meskipun dobutamin
hanya digunakan pada pasien dengan tekanan darah lebih dari 100, namun harus diberikan
dengan hati - hati karena dapat meningkatkan tekanan darah lebih lanjut. Dopamin berguna
saat tekanan darah rendah dan didapatkan tanda - tanda syok, pada saat anda menghadapi
syok kardiogenik. Rujukan ke kardiologi diperlukan segera untuk intervensi lanjutan seperti
pemasangan intra aortic balloon pump (IABP) atau revaskularisasi dengan PCI.

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 53


Modul Pelatihan ACLS

Skenario
Kita akan menggunakan dua skenario untuk menggambarkan strategi terapi untuk hipotensi
dan syok.

Skenario 1
Skenario pertama adalah laki - laki 40 tahun dengan keluhan nyeri dada dengan durasi 45
menit. Pasien berkeringat dan kesakitan, dengan tekanan darah 65/35 dan denyut jantung
40. Terdengar denyut jantung ganda dan paru - paru bersih. EKG menunjukkan IMA
ventrikel kanan dan inferior dengan total AV blok. Bagaimana pendekatan strategi
penatalaksanaan pasien tersebut?

o
Gambar 6.3 AV Block 2 tipe I

Kita dapat mulai bertanya apakah pasien memiliki masalah volume? Tidak, pasien
tidak memiliki masalah volume.
Apakah pasien memiliki masalah dengan denyut jantungnya? Ya, pasien memiliki
denyut jantung 45 x/ menit. Bradikardia karena total AV blok mungkin berperan
mengakibatkan hipotensi pada pasien ini. Dengan demikian, atropin dan pacing merupakan
terapi yang sesuai.
Apakah pasien mengalami problem pompa jantung? Ya, pasien ini mengalami IMA
ventrikel kanan, ia mungkin mengalami kegagalan pompa jantung kanan, yang berperan
mengakibatkan hipotensi. Penggantian cairan intravena dapat memperbaiki fungsi pompa
jantung kanan. Revaskularisasi untuk IMA ventrikel kanan dan inferior juga akan
membalikkan hemodinamik yang terganggu.

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 54


Modul Pelatihan ACLS

Pertanyaan terakhir apakah pasien dalam keadaan syok kardiogenik? Dengan jelas
jawabannya adalah Tidak, karena syok kardiogenik adalah hilangnya lebih dari 40% miokard
ventrikel kiri yang mengakibatkan kegagalan ventrikel kiri. Kegagalan ventrikel kanan dengan
hipotensi tidak diklasifikasikan sebagai syok kardiogenik.

Skenario 2
Kasus kedua adalah seorang wanita 75 tahun yang tidak menjalani hemodialisis
selama 1 minggu. Pasien mengalami sesak berat pada pukul 2 pagi. Pada saat datang,
pasien sesak, dan berkeringat dingin dengan tekanan darah 221/135, nadi 120, RR
36x/menit, pulsasi oksimetri 90% pada udara ruangan. Didapatkan krepitasi kasar di kedua
lapang paru. EKG menunjukkan sinus takikardia dengan ST depresi pada lead anterior.
Rontgen dada menunjukkan pembesaran jantung dengan kongesti pulmonal sesuai dengan
edema pulmonum akut. Apakah pendekatan yang anda gunakan untuk pasien tersebut?

Gambar 6.4 ST depresi

Gambar 6.5 rontgen dada

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 55


Modul Pelatihan ACLS

Kita mulai dengan pertanyaan apakah pasien mengalami problem volume? Ya,
pasien ini memiliki masalah kelebihan cairan (fluid overload).
Apakah pasien mengalami problem denyut jantung? Tidak
Apakah pasien mengalami problem fungsi pompa? Ya, pasien dengan gagal ginjal
kronik cenderung memiliki penyakit jantung iskemik dan fraksi ejeksi ventrikel kiri yang
buruk. Tekanan darah meningkat, menunjukkan adanya peningkatan tahanan vaskuler, dan
memperparah problem pompa. Terapinya mencakup vasodilator seperti GTN IV, morfin, dan
oksigen tambahan, serta diuretik seperti furosemid.

Selain oksigen 100%, pasien diberikan morfin 3 mg IV, infus GTN IV pada kecepatan
15 mcg per menit selama 30 menit dan furosemid 120 mg IV. meskipun telah diberikan obat
- obatan tersebut, pulsasi oksimetri tidak membaik dan tetap 91%. Pasien juga tampak
kelelahan. Bagaimana anda melakukan manajemen pada pasien tersebut?
Ya, anda perlu melakukan intubasi. Midazolam 5 mg IV diberikan untuk sedasi pasien
dan suksinilkolin 100 mg IV untuk memparalisis. ETT dapat dipasang pada percobaan
pertama. Meskipun demikian, tekanan darahnya turun menjadi 70/56. Mengapa tekanan
darahnya turun?

Mengapa tekanan darahnya turun?


Beberapa alasan menjelaskan mengapa tekanan darah rendah. Pertama, kita perlu
menyingkirkan kemungkinan adanya tension pneumothorax setelah intubasi. Selanjutnya
kita harus mengulangi EKG untuk menyingkirkan kemungkinan adanya penyakit jantung
koroner onset baru atau perburukan.
Untuk obat - obatan yang diberikan pada pasien ini, midazolam menurunkan tekanan
darah dan juga memblok sekresi katekolamin endogen. Suksinilkolin mengakibatkan
paralisis otot, mengakibatkan hilangnya tonus otot dan turunnya venous return. Sebelum
dilakukan intubasi, pasien diberikan furosemid IV, morfin dan GTN, yang kesemuanya
menurunkan tekanan darah.
Jika didapatkan asma kardiale dengan bronkospasme, akibat dari tekanan intra
torakal yang tinggi dan peningkatan tekanan puncak inspirasi juga mengakibatkan
penurunan venous return. Dengan demikian, sekali keputusan telah diambil untuk
mengintubasi pasien dengan edema pulmonum akut, sangat penting untuk menghentikan
infus GTN, tahan dosis furosemid dan morfin dan gunakan midazolam dosis rendah, misal 2
– 3 mg, untuk meminimalkan hipotensi pasca intubasi.

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 56


Modul Pelatihan ACLS

Ringkasan
Secara singkat, saat kita melakukan manajemen pada pasien dengan syok atau
edema pulmonum, penting untuk membedakan apakah pasien memiliki permasalahan
volume, pompa, atau denyut jantung atau kombinasi keduanya atau lebih.
Setiap permasalahan tersebut memiliki pendekatan manajemen yang berbeda.
Pemahaman mengenai cara kerja dan peran vasodilator dan vasopresor sangat
penting untuk membantu anda memilih agen yan tepat untuk memperbaiki status
hemodinamik pasien.

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 57


Modul Pelatihan ACLS

BAB 7
OBAT-OBATAN

Tujuan
Bab ini mendiskusikan beberapa obat yang sering digunakan pada saat resusitasi dan
kegawatdaruratan jantung. Tujuannya adalah:
 Menjabarkan peran obat – obatan pada ACLS
 Menjabarkan penggunaan obat untuk mengoptimalkan fungsi jantung

Dua Pertanyaan Kunci


Ada dua pertanyaan kunci yang harus dijawab jika kita hendak memahami bagaimana
penggunaan obat secara rasional pada kasus kegawatdaruratan:
 Pertama, apa saja satu atau dua proses penyakit primer yang harus diidentifikasi
atau diterapi pada pasien tersebut?
 Kedua, obat apakah, jika ada, yang berguna untuk mengobati proses penyakit primer
tersebut?
Sangat penting untuk diingat bahwa tanpa mengobati proses penyakit primernya, mencoba
untuk mengobati efek sekundernya dapat berbahaya dan tidak berguna untuk pasien.

Prinsip Pemberian Obat


Saat memberikan obat – obatan, ada beberapa prinsip yang harus diingat. Beberapa
pengobatan yang memiliki efek besar terhadap tekanan darah dan denyut jantung harus
diberikan berupa bolus secara perlahan atau infus kecuali pasien mengalami henti jantung.
Jika pengobatan tersebut diberikan dalam infus dengan dosis tinggi, harus diikuti dengan
penurunan dosis secara bertahap, pemantauan EKG, dan tekanan darah sebelum dihentikan
sepenuhnya. Penghentian tiba – tiba obat – obatan tersebut dapat mengakibatkan fenomena
rebound. Dosis paling rendah yang dapat mencapai efek yang diinginkan adalah dosis
optimal untuk pasien.
Pada saat akses vena sulit, akses vena subklavia atau vena sentral jugular interna
atau rute intraoseus merupakan beberapa alternatif. Pemberian obat melalui pipa
endotrakeal tidak lagi direkomendasikan.

Dua skenario
Secara umum, obat – obatan dibutuhkan dalam dua jenis skenario. Pada skenario
henti jantung, obat digunakan untuk membantu kontraksi jantung dan mempertahankan
sirkulasi serebral dan koroner. Bagaimanapun, seperti pernyataan American Heart
Association, penting untuk diketahui bahwa pada pasien henti jantung, pemberian obat –
Tim Pelatihan RSM/A Jatim 58
Modul Pelatihan ACLS

obatan merupakan manajemen sekunder setelah intervensi lain. Sebagai contoh, pada
pasien henti jantung dengan ventrikel fibrilasi, defibrilasi dan kompresi dada adalah
manajemen lini pertama sementara adrenalin merupakan terapi sekunder.
Skenario kedua adalah pasien dengan nadi dan tekanan darah, dimana obat –
obatan digunakan untuk optimalisasi :
1. Curah jantung
2. Sirkulasi koroner
3. Situasi yang mendukung fungsi jantung
Untuk mengoptimalkan curah jantung membutuhkan normalisasi dan optimalisasi volume,
kemampuan memompa, dan denyut jantung.

Obat – obatan henti jantung


 Pada semua henti jantung, Adrenalin diberikan setiap 3 – 5 menit. setelah itu, perhatikan
irama jantung yang muncul.
 Pada VF dan VT tanpa nadi, sebagai tambahan, berikan Amiodaron atau Lignocaine.
Magnesium diindikasikan pada VT polimorfik.
 Pada PEA, selain Adrenalin, obat – obatan lain seperti Kalium diperlukan pada kondisi
hipokalemia, Kalsium diindikasikan pada hiperkalemia, serta pemberian antidot pada
kasus overdosis.
 Pada asistol, hanya Adrenalin yang diindikasikan.

Gambar 7.1 Pasien henti jantung

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 59


Modul Pelatihan ACLS

Optimalisasi obat – obatan


3. Rate
2. Pompa
 Terlalu cepat
 TD terlalu tinggi
- Vasodilator/anti  Terlalu lambat
hipertensi 4. sirkulasi koroner
 TD terlalu rendah  Vasodilator
- Vasopressor  Reperfusi
 Antiplatelet, anticoagulation

1. Volume 5. lingkungan
 Hipervolume  Oksigenasi
- diuretik  Analgesia
 hipovolemia  Asam – basa
- cairan  Metabolik – endokrin
- transfusi darah  Toksin, obat - obatan

Gambar 7.2 optimalisasi obat - obatan

Pada pasien dengan nadi dan tekanan darah, obat – obatan digunakan untuk
mengoptimalkan fungsi jantung (gambar 7.2).
Dari ujung kiri bawah gambar 7.2 volume perlu dioptimalkan untuk curah jantung
optimal. Jika pasien pada keadaan overload cairan, diuretik akan membantu mengeluarkan
kelebihan cairan. Jika pasien dalam keadaan hipovolemik, seperti perdarahan saluran cerna
atau trauma besar, penggantian cairan intravena dan transfusi darah diperlukan.
Kedua, fungsi pompa jantung perlu dioptimalkan untuk curah jantung optimal. Jika
pompa jantung bekerja terlalu keras dan tekanan darah meningkat, vasodilator diperlukan.
Jika pompa tidak bekerja dengan baik dan tekanan darah rendah, vasopresor perlu
digunakan.
Ketiga, denyut jantung perlu dioptimalkan. Obat – obatan dapat digunakan untuk
menaikkan denyut jantung pada bradikardia atau untuk memperlambat denyut jantung pada
takikardia.
Keempat, sirkulasi koroner perlu dioptimalkan dengan penggunaan vasodilator, agen
reperfusi, anti-platelet, dan antikoagulan.
Dan terakhir, kondisi jantung perlu dioptimalkan. Dengan demikian, oksigen,
penghilang nyeri, dan keseimbangan asam – basa, fungsi endokrin dan metabolik yang
utama harus dinilai dan dikoreksi. Jika pasien mengalami overdosisi atau keracunan, hal
tersebut juga harus diatasi.

Obat – obatan Optimalisasi Pompa Jantung : Vasodilator/ Antihipertensi


Di bawah ini adalah vasodilator yang umum digunakan untuk mengoptimalisasi
pompa jantung saat jantung bekerja terlalu keras dan tekanan darah meningkat.

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 60


Modul Pelatihan ACLS

GTN adalah venodilator dan arteriodilator namun lebih kuat bekerja sebagai
venodilator dengan demikian menurunkan preload dan tekanan pengisian ventrikel kiri. GTN
yang diberikan sebagai infus merupakan obat pilihan untuk gagal jantung akut atau edema
paru akut dengan adanya iskemik jantung atau sindrom koroner akut. Sebelum penggunaan
GTN IV pada pasien pria, sangat penting untuk menanyakan apakah pasien telah
menggunakan Sildenafil (Viagra) atau obat – obatan serupa pada beberapa jam
sebelumnya. Interaksi antara Nitrat dan Sildenafil dapat mengakibatkan hipotensi hebat dan
mengakibatkan kematian.
Sodium Nitroprusside bekerja lebih kuat sebagai arteriodilator dibanding venodilator.
Meskipun merupakan obat pilihan pada hipertensi emergensi, Sodium Nitroprusside memiliki
potensi untuk mengakibatkan iskemik jantung. Sebagai tambahan, bahan ini harus terlindung
dari cahaya untuk mencegah degradasi nitroprusid menjadi sianida yang beracun.
Beta bloker dapat juga digunakan karena dapat menurunkan denyut jantung dan mengurangi
kontraktilitas miokard. Untuk pasien asma dan PPOK, beta bloker harus digunakan dengan
hati – hati. Generasi beta bloker terdahulu dikontraindikasikan pada gagal jantung namun
generasi yang baru seperti Bisoprolol dan Metoprolol berguna dalam manajemen gagal
jantung.

Obat – obatan optimalisasi pompa jantung : Vasopresor


Sekarang, perhatikan beberapa vasopresor yang umum digunakan untuk
mengoptimalkan fungsi pompa jantung saat jantung tidak bekerja dengan baik dan tekanan
darah menjadi rendah. Sebagian besar dari agen tersebut adalah katekolamin dengan
kemampuan untuk meningkatkan tekanan darah, denyut jantung dan kontraktilitas miokard.
Karena kemampuan meningkatkan denyut jantung, maka obat – obatan ini memiliki resiko
menyebabkan disritmia, terutama VT dan VF yang mengancam nyawa. Peningkatan
kontraktilitas miokard dapat mengakibatkan perburukan iskemia yang sudah terjadi. Sebelum
memulai vasopresor, sangat penting untuk mengeksklusi atau mengoreksi hipovolemia.
Adrenalin adalah katekolamin yang paling umum dikenal dan pada percobaan
binatang, adrenalin dapat memperbaiki perfusi serebral dan koroner. Pada henti jantung,
adrenalin diberikan berupa bolus cepat. Pada situasi lain, seperti bradikardia simptomatik,
harus diberikan melalui infus.
Untuk pasien dengan syok neurogenik dan septik, noradrenalin adalah vasopresor
pilihan.
Jika adrenalin adalah katekolamin yang paling umum dikenal, maka mungkin
dopamin adalah katekolamin yang paling sering digunakan. Dopamin yang diberikan dalam
infus dosis rendah, berfungsi mendilatasi pembuluh darah mesenterika, renal, dan serebral,
meningkatkan sirkulasi pada ketiga sistem tersebut tanpa mengubah tekanan darah atau

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 61


Modul Pelatihan ACLS

denyut jantung. Pada dosis medium, dopamin mulai meningkatkan tekanan darah dan
denyut jantung. Pada dosis tinggi, didapatkan vasokonstriksi vena dan arteri perifer,
mesenterik, dan renal bersamaan dengan peningkatan tekanan darah dan denyut jantung.
Dopamin merupakan vasopresor yang disarankan untuk hipotensi yang terkait bradikardia
dan hipotensi setelah kembalinya sirkulasi spontan.
Dobutamin juga diberikan sebagai infus dosis rendah, medium dan tinggi. Secara
umum, dobutamin dapat meningkatkan tekanan darah tanpa menginduksi takikardia yang
terlalu hebat seperti pada Dopamin dan Noradrenalin. Dobutamin direkomendasikan untuk
hipotensi yang terkait kongesti pulmonal dan disfungsi ventrikel kiri.
Satu hal penting yang perlu diingat tentang penggunaan vasopresor: Adrenalin
adalah satu – satunya vasopresor yang diberikan pada saat henti jantung. Sementara agen
vasopressor lainnya hanya diindikasikan pada pasien dengan nadi.

Obat – obat optimalisasi denyut jantung pada takikardia dengan QRS lebar
Sekarang, mari perhatikan obat – obat yang memperlambat takikardia dengan QRS
lebar untuk mengoptimalkan denyut jantung. Efek yang sering didapatkan dari obat – obatan
ini adalah penurunan denyut jantung dengan potensi terjadinya bradikardia dan asistol, serta
penurunan tekanan darah.
Amiodaron atau Lignocaine digunakan untuk VF, VT dan takikardia dengan QRS
lebar dengan penyebab yang tidak diketahui. Lignocaine memiliki rentang terapeutik yang
sempit, rasa tebal sekitar mulut dan jari – jari merupakan tanda awal toksisitas.
Sebagai tambahan untuk VF dan VT, amiodarone juga digunakan untuk SVT, atrial
flutter, dan atrial fibrilasi. Karena penurunan klirens, pasien dengan pengobatan Warfarin
yang mendapatkan Amiodaron harus diawasi dengan ketat, terutama profil pembekuan
darah, sementara pasien dengan pengobatan digoksin harus dilakukan monitor EKG yang
ketat.
Magnesium intravena merupakan obat pilihan untuk VT polimorfik (torsades de
pointes).
Ketiga obat – obatan ini dapat diberikan berupa bolus cepat pada henti jantung dengan VF
dan VT, namun harus diberikan berupa bolus pelan atau infus saat digunakan untuk
takikardia dengan nadi.

Takikardia dengan QRS lebar : Lignocaine dan Amiodaron


Baik Amiodaron dan Lignocain cocok digunakan pada pasien VT yang stabil. Jika
anda memilih menggunakan salah satu, tetap gunakan agen yang sama dan jangan berubah
ke agen yang lain untuk mencegah bradikardia dan hipotensi yang hebat.

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 62


Modul Pelatihan ACLS

Gambar 7.3 Takikardia ventrikel klasik yang merupakan takikardia kompleks lebar dengan irama
regular dan tidak adanya gelombang P

Obat – obatan optimalisasi denyut jantung pada Takikardia dengan QRS sempit
Sekarang, perhatikan beberapa obat yang memperlambat denyut jantung pada
takikardia dengan QRS sempit. Adenosin menjadi populer karena tingkat keamanan yang
tinggi. Waktu paruhnya enam detik dan seluruh efek sampingnya seperti bronkospasme,
nyeri dada, flushing, dan hipotensi hanya bersifat sementara.
Berikut di bawah ini adalah tips dalam pemberian adenosin:
 Komunikasikan dengan jelas kepada pasien bahwa ia akan merasakan
ketidaknyamanan di dada pada saat Adenosin mencapai jantung
 Pilihlah vena perifer yang paling dekat dengan jantung, hubungkan dengan threeway
ke kanul intravena, hubungkan Adenosin pada satu lubang dan 20 cc NS ke lubang
yang lain.
 Setelah memasukkan Adenosin dengan cepat, lakukan flush (bolus cepat) NS segera
untuk mempercepat adenosin mencapai jantung.
 Ingat untuk merekam perubahan EKG pada defibrilator.
Verapamil dan Diltiazem merupakan CCB (calcium channel blocker) yang dapat
memperlambat takikardia QRS sempit, selain mendilatasi arteri koroner. Jangan gunakan
obat ini pada pasien dengan sindrom WPW (Wolf-Parkinson-White) karena beresiko terjadi
VT refrakter. Sebisa mungkin, obat – obatan ini harus dihindari pada pasien dengan terapi
beta bloker.
Beta bloker yang telah didiskusikan pada slide sebelumnya, dapat juga digunakan untuk
memperlambat takikardia kompleks sempit.

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 63


Modul Pelatihan ACLS

Takikardia dengan QRS sempit : Adenosin, Verapamil, Diltiazem

Gambar 7.4 SVT klasik yang merupakan takikardia kompleks sempit dengan interval RR regular dan
tidak adanya gelombang P

Obat – obatan optimalisasi denyut jantung pada bradikardia


Sekarang, perhatikan obat – obatan yang meningkatkan denyut jantung pada
bradikardia. Obat pilihan pada bradikardia simptomatik adalah atropin.
Atropin diketahui merupakan agen vagolitik karena obat tersebut bekerja pada nervus
vagus, dengan demikian menghambat aktivitas parasimpatik. Jika digunakan sebagai antidot
pada keracunan organofosfat atau kolinergik yang akut, Atropin diberikan dengan dosis
besar hingga tanda atropinisasi klasik muncul.
Selain mengakibatkan kejang dan gagal nafas pada dosis yang sangat besar, efek
samping lainnya hampir serupa adrenalin, yaitu meningkatkan tekanan darah dan denyut
nadi. Baik infus adrenalin maupun dopamin dapat digunakan untuk terapi bradikardia
simptomatik.
Catatan: Atropin tidak lagi direkomendasikan pada henti jantung dengan asistol dan
PEA

Obat – obatan optimalisasi sirkulasi koroner


Obat – obatan untuk mengoptimalkan sirkulasi koroner dibagi menjadi vasodilator,
agen reperfusi, anti-platelet dan antikoagulan.
GTN merupakan vasodilator koroner kerja cepat dan tersedia dalam bentuk tablet
sublingual dan oral, spray mulut, patch kulit, dan intravena.
Agen reperfusi dalam berbagai generasi seperti Urokinase dan Streptokinase datang
dan pergi sejak trombolitik pertama kali diperkenalkan. Sementara agen reperfusi masih

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 64


Modul Pelatihan ACLS

memiliki peran, PCI menjadi populer sebagai pilihan terapi revaskularisasi dalam berbagai
situasi.
Agen anti-platelet dibagi menjadi tipe spesifik dan non-spesifik. Aspirin merupakan
agen non spesifik yang cukup baik dan murah.
Clopidogrel, juga disebut Plavix, meskipun lebih mahal dibanding aspirin, menjadi
popular sebagai agen anti-platelet karena beberapa penelitian menunjukkan perbaikan hasil
saat diberikan pada pasien IMA. Inhibitor glikoprotein IIa/IIIb sebagai agen antiplatelet
memiliki resiko hemoragik yang tinggi sehingga menjadi tidak populer.

Obat – obatan optimalisasi kondisi jantung


Terakhir, kita melihat pada obat – obatan yang digunakan untuk mengoptimalkan
kondisi agar jantung dapat bekerja.
Oksigen penting untuk mengoreksi atau mencegah hipoksia. Morfin merupakan agen
penghilang nyeri yang berguna.
Saat pasien mengalami hiperkalemia, overdosis trisiklik atau asidosis metabolik,
Natrium Bikarbonat merupakan obat yang dapat digunakan. Akan tetapi natrium bikarbonat
tidak dapat diberikan dalam bentuk infus bersama dengan obat – obatan lainnya. Kalsium
diindikasikan pada hiperkalemia untuk stabilisasi miokard, pada hipokalsemia dan pada
overdosis CCB. Diantara semua elektrolit, hiperkalemia merupakan kasus kegawatan yang
paling sering terjadi. Manajemen hiperkalemia termasuk penggunaan insulin dengan
dekstrosa, kalsium, natrium bikarbonat, salbutamol dan resonium, dan lain – lain.
Natrium bikarbonat dan buffer lainnya tidak lagi diindikasikan pada henti jantung.

Kasus NN
Sekarang kita akan melihat tiga kasus kegawatan kardiovaskular untuk memahami
peran obat – obatan tersebut pada manajemennya.
Kasus pertama adalah seorang laki – laki 53 tahun datang ke IGD dengan nyeri dada
1 jam sebelum masuk rumah sakit. Tekanan darahnya 75/47 mmHg, denyut jantung
45x/menit, sementara tanda – tanda vital lainnya stabil. EKG (gambar 7.6) 12 lead kiri dan
kanan menunjukkan IMA kanan, inferior dan total AV block. Dengan demikian kita
mengetahui proses penyakit primernya adalah IMA dengan total AV block yang
mengakibatkan tekanan darah yang rendah. Obat – obatan apa yang penting pada
manajemennya?

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 65


Modul Pelatihan ACLS

o
Gambar 7.6 IMA ventrikel kanan, inferior dan AV block 2 (tipe I)

Dari gambar 7.7 untuk IMA, kita perlu mengoptimalkan sirkulasi koroner. Karena
pasien tersebut mengalami IMA ventrikel kanan, GTN harus digunakan dengan hati – hati
karena dapat mengakibatkan venodilatasi, dan memperburuk tekanan darahnya yang
rendah. Jika tidak didapatkan kontraindikasi, pasien tersebut dapat dilakukan
revaskularisasi, baik dengan PCI atau trombolitik. Aspirin dan atau klopidogrel harus
diberikan sebagai antiplatelet. Antikoagulan diberikan setelah terapi revaskularisasi. Dan
pastinya, pasien tersebut memerlukan oksigenasi dan penghilang nyeri.
Pada ujung kiri atas, problem selanjutnya adalah manajemen kegagalan pompa
kanan sebagai akibat IMA. Dopamin menjadi pilihan vasopresor yang rasional untuk
memperbaiki pompa jantung
Pada kiri bawah, sangat penting untuk mengenali bahwa pasien ini memiliki problem
volume yang relatif. Sebagai akibat kegagalan pompa ventrikel kanan, venous return menuju
sirkulasi pulmoner menjadi tidak adekuat, sehingga mengakibatkan penurunan curah jantung
kiri dan dengan demikian menurunkan tekanan darah. Penggantian cairan memiliki peran
pada keadaan ini, namun harus diberikan dengan pertimbangan yang matang, terutama
pada pasien usia tua diamana pemberian 200 – 300 cc NS sudah mencukupi.

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 66


Modul Pelatihan ACLS

B. Pompa
D. Denyut jantung
 IMA ventrikel kanan : gagal
pompa ventrikel kanan –  IMA ventrikel kanan : gagal
tekanan darah terlalu rendah pompa ventrikel kanan –
- Dopamin tekanan darah terlalu rendah
- Dopamin

A. Dilatasi koroner
C. Volume  Vasodilator : GTN –
HATI – HATI!
 Gagal pompa ventrikel  Reperfusi : PCI, SK, rTPA
kanan : volume venous  Anti-platelet : aspirin, Plavix
return ke sistem
 Antikoagulasi : heparin
pulmoner tidak
mencukupi –
hipovolemia
Perbaikan kondisi umum
- pemberian cairan hati -
 Oksigenasi
hati
 Analgesia : morfin

Gambar 7.7 Optimalisasi kasus NN

Pada kanan atas, denyut jantung yang lambat diakibatkan oleh total AV block dapat
diterapi dengan infus atropin atau dopamin atau adrenalin. Sementara itu, persiapan untuk
pacing harus segera dilakukan.

Kasus FEW
Kasus kedua adalah wanita usia 19 tahun, datang ke IGD dengan sesak nafas
setelah 3 hari nyeri perut, diare dan muntah – muntah. Sebelumnya pasien diterapi oleh
dokter umum sebagai diare akut.
GCS 3 dengan tekanan darah 68/41 mmHg, dan denyut jantung 100x/menit, dengan
saturasi oksigen 95%, EKG 12 lead menunjukkan sinus takikardia, dan gula darah
meningkat pada 19.8 mmol/L. BGA menunjukkan asidosis metabolik berat.
Foto rontgen dada menunjukkan edema paru akut. Dengan demikian, kita tahu
bahwa proses penyakit primernya adalah syok kardiogenik kemungkinan oleh miokarditis
viral dan ketoasidosis diabetik.

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 67


Modul Pelatihan ACLS

Obat – obatan apa yang sesuai untuk manajemennya?

Gambar 7.8 Edema pulmoner akut

A. Pompa

 Gagal jantung kiri – syok


kardiogenik
C. Kondisi umum
- dopamin
 Oksigenasi : intubasi
 Asam – basa : natrium
B. Volume
bikarbonat
 Dehidrasi akibat GE dan DKA  Metabolik – endokrin :
- Pemberian cairan hati – insulin
hati
- Monitoring CVP

Gambar 7.9 Optimalisasi kasus FEW

Pada kiri atas gambar 7.9, problem utama adalah kegagalan pompa ventrikel kiri
yang mengakibatkan syok kardiogenik. Dopamin merupakan vasopresor rasional untuk
terapi awal.
Pada kiri bawah, pasien mengalami hipovolemia akibat muntah, diare dan KAD. Hal
ini membuat manajemen penyakitnya menantang terutama karena hipovolemia sistemiknya
disertai dengan edema paru akut. Monitoring tekanan vena sentral sangat penting untuk
menyeimbangkan penggunaan cairan intravena untuk mengkoreksi hipovolemia dan tidak
memperberat edema paru.
Dengan GCS rendah dan saturasi oksigen yang suboptimal, pasien ini membutuhkan
intubasi. Natrium bikarbonat berguna untuk koreksi asidosis metabolik berat. Insulin
diperlukan segera untuk mengontrol kadar gula darah.

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 68


Modul Pelatihan ACLS

Kasus LSW
Kasus terakhir adalah seorang laki – laki 72 tahun dengan keluhan nyeri dada kiri
yang tidak menjalar dengan durasi 45 menit saat pasien bermain mahjong. Pasien mengidap
hipertensi dan seorang perokok.
Di IGD, GCS 15 dengan SBP 42 mmHg, denyut jantung 60 dan saturasi oksigen
96%. Pemeriksaan jantung paru dalam batas normal. Satu – satunya kelainan yang
ditemukan adalah pulsasi karotis dan radial kanan lebih lemah dibanding kiri. Pasien tetap
tenang di dalam ruang resusitasi.
EKG 12 lead telah diulang 3 kali dan tetap normal. Rontgen dada menunjukkan
pelebaran mediastinum. Dengan demikian kita mengetahui proses primer penyakitnya
mungkin merupakan diseksi aorta thorasik. Obat apa yang dapat berguna pada manajemen
pasien tersebut?

Gambar 7.10 pelebaran mediastinum Gambar 7.11 EKG normal

B. pompa Sirkulasi koroner


 Pertahankan kontraktilitas
 Vasodilator : GTN, hati –
miokard serendah mungkin
hati!
- Pertahankan tekanan
darah sistolik 90 – 110  Reperfusi : SK, rTPA
 Antiplatelet : aspirin
 Antikoagulan : heparin
A. volume
 Diseksi aorta –
hipovolemia relatif C. kondisi umum
- Pemberian cairan  Oksigenasi
dengan hati - hati  Analgesia : morfin

Gambar 7.12 optimalisasi kasus LSW

Pertama, diseksi aorta mengakibatkan hipovolemia relatif dan dengan demikian


diperlukan pertimbangan dalam pemberian cairan. Untuk mencegah perburukan diseksi
aorta, sangat penting untuk mempertahankan kontraktilitas miokard serendah mungkin,
dengan demikian mempertahankan tekanan darah sistoliknya antara 90 – 110 mmHg.

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 69


Modul Pelatihan ACLS

Oksigen tambahan penting untuk mencegah hipoksia, dan morfin intravena dalam
dosis kecil merupakan analgesia yang sesuai.
Terapi definitif untuk pasien tersebut adalah operasi. Obat – obatan hanya berperan
sebagai tambahan dalam kasus ini. Meskipun pasien ini mengalami nyeri dada kiri, hal
tersebut tidak disebabkan oleh penyakit jantung koroner. Faktanya, vasodilator, reperfusi,
antiplatelet dan antikoagulan dikontraindikasi pada pasien dengan diseksi aorta.

Ringkasan
Sebagai ringkasan, untuk pasien henti jantung, pemberian obat – obatan merupakan
lini kedua setelah intervensi penyelamatan yang lain.
Saat pasien terdeteksi nadi, obat – obatan digunakan untuk optimalisasi curah jantung,
sirkulasi koroner dan kondisi umum agar jantung dapat bekerja. Untuk mengoptimalkan
curah jantung, volume, fungsi pompa dan denyut jantung harus dioptimalkan juga.
Kunci pada manajemen kasus adalah identifikasi proses penyakit primer dan
menggunakan obat – obatan yang sesuai untuk mengoptimalkan fungsi yang
terganggu.

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 70


Modul Pelatihan ACLS

BAB 8
BRADIKARDIA DAN PACING TRANSKUTAN

Tujuan
Bab ini mendiskusikan bradikardia dan pacing transkutan. Tujuannya adalah sebagai berikut
:
 Menjabarkan algoritma bradikardia
 Menjelaskan tahapan dalam melakukan pacing transkutan

Revisi EKG : AV block derajat tinggi


AV block derajat tinggi merupakan penyebab paling sering terjadinya bradikardia
dengan gangguan hemodinamik. Berikut ini adalah gambaran singkat AV block derajat tinggi
pada monitor defibrilator.

Gambar 8.1 AV Block

Gambar 8.2 AV block derajat 3 dengan junctional escape

AV block derajat 3 berarti didapatkan disosiasi antara aktivitas atrial dan ventrikular.
Dengan demikian tidak didapatkan hubungan antara gelombang P dan kompleks QRS. Jika
AV junction memberikan mekanisme escape pada AV block derajat 3, maka akan
didapatkan QRS sempit di antara gelombang P, seperti yang didapatkan pada gambar 8.2

Gambar 8.3 AV Block derajat tiga dengan ventricular escape

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 71


Modul Pelatihan ACLS

Jika salah satu ventrikel memiliki escape mechanism pada total AV block, seperti
gambar 8.3, maka kita dapat melihat gambaran QRS lebar di antara gelombang P.

Pasien sadar
Survei ABCD primer

Nilai irama

Bradikardia
Lambat (bradikardia absolut, dengan
rate < 60 x/menit)
ATAU
Cukup lambat (denyut jantung lebih
rendah dibanding diharapkan relatif
terhadap kondisi yang mendasari atau
penyebab tertentu)

Survei ABCD sekunder

Tanda atau gejala serius? Nyeri dada, dispneu, penurunan


Akibat dari bradikardia? kesadaran, penurunan tekanan darah,
syok, kongesti pulmonum, dll
TIDAK
YA

AV block derajat 2 tipe II atau AV Urutan intervensi


block derajat 3?  Atropine IV, 0,6 mg, diulang 3 –
5 menit
 TCP jika tersedia
 Dopamin 5 – 20 mcg/kg/menit
TIDAK YA  Adrenalin 2 – 10 mg/menit infus

observasi  Persiapkan pacing transkutan


 Jika muncul gejala, gunakan
TCP hingga pacing transvena
dipasang

Gambar 8.4 Algoritme bradikardia

Pada algoritma di atas, kita memiliki pasien yang sadar yang akan dilakukan survei
primer. Penilaian tersebut menemukan adanya bradikardia, yang didefinisikan sebagai

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 72


Modul Pelatihan ACLS

denyut jantung kurang dari 60x/menit atau denyut jantung yang relatif rendah yang berkaitan
dengan kondisi pasien tertentu. Selama survei sekunder, sangat penting untuk melihat
adanya tanda dan gejala serius seperti nyeri dada, perubahan kesadaran, hipotensi, syok,
dan lain – lain, yang mungkin disebabkan oleh bradikardia.
Pada sisi kanan algoritma, jika tanda dan gejala serius ini muncul dan disebabkan
oleh bradikardia, segera lakukan intervensi. Mulai dengan atropine 0.6 mg, diulang setiap 3 –
5 menit jika diperlukan. Pacing transkutan harus juga dipersiapkan jika tersedia. Dopamin
intravena atau infus adrenalin juga dapat dimulai dan dititrasi menurut respon denyut
jantung.
Pada sisi kiri algoritma, jika tidak didapatkan tanda dan gejala serius yang
disebabkan oleh bradikardia, lanjutkan dengan menilai apakah pasien mengalami AV block
derajat 2 tipe II atau AV block derajat III. Jika ada salah satu di antara keduanya, maka anda
harus mempersiapkan pacing transvena dan kontak dokter kardiologi segera. AV block
derajat tinggi merupakan kondisi yang tidak stabil dan dapat terjadi komplikasi seperti henti
jantung, asistol, atau VF. Pacing transkutan mungkin diperlukan selama persiapan pacing
transvena.
Akhirnya, jika bradikardia stabil dan tidak disebabkan oleh AV block derajat tinggi,
lakukan observasi pasien hingga periode waktu tertentu untuk memastikan tidak ada
perburukan lebih lanjut.

Catatan:
Hal penting yang perlu diingat adalah Atropin IV dapat diulang setiap 3 – 5 menit
hingga maksimal 0.04 mg/kg yaitu sekitar 2.4 pada orang dewasa. Meskipun bukan
kontraindikasi absolut, sebagian besar ahli memperingatkan bahwa penggunaan
Atropin pada AV Block tipe II dan AV block derajat 3 dengan kompleks QRS lebar
harus dilakukan dengan hati – hati.

Apa yang anda lakukan saat pasien dengan transplantasi jantung mengalami
bradikardia dengan ketidakstabilan hemodinamik? Selama transplantasi jantung, saraf
nervus vagus dipotong dan dengan demikian Atropin tidak dapat bekerja. Pada pasien
tersebut, pertimbangkan penggunaan Dopamin IV atau infus Adrenalin. Pada bradikardia
yang refrakter, dapat dipertimbangkan penggunaan Isoprenaline, namun hati – hati dengan
efek iskemik terhadap miokard.

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 73


Modul Pelatihan ACLS

Ringkasan
Sebagai ringkasan, pada pasien sadar dengan bradikardia, mulailah menentukan
apakah didapatkan tanda dan gejala serius yang disebabkan oleh bradikardia.
Jika tanda dan gejala serius muncul dan disebabkan oleh bradikardia, mulailah
intervensi. Pada waktu yang sama, periksalah EKG 12 lead dan mungkin lead II
panjang diperlukan untuk mendiagnosis adanya aritmia. Intervensi bradikardia
termasuk TVP, TCP, Atropin IV, infus Dopamin, dan infus Adrenalin. TCP sangat
mudah dilakukan namun kegagalan capture dapat menjadi masalah.

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 74


Modul Pelatihan ACLS

Bab 9
TAKIKARDIA DAN KARDIOVERSI

Tujuan
Bab ini mendiskusikan takikardi dan synchronized kardioversi. Tujuannya adalah sebagai
berikut:
 Menjabarkan algoritma terapi pada takikardia dengan QRS lebar dan sempit
 Mendeskripsikan langkah – langkah dalam melakukan synchronized kardioversi

Pasien sadar
Survei primer ABCD

Nilai irama

Takikardia
Cepat, kecepatan > 100x/menit
 Berikan sedasi +/-
analgesik
 VT, takikardia lain : mulai
Penurunan kesadaran, Survei ABCD sekunder dengan 100 joule
Penurunan tekanan  SVT, atrial flutter : mulai
darah, dengan 50 joule
Syok, Tanda dan gejala serius?  VT polimorfik : mulai
Kongesti pulmonal, Akibat takikardia? dengan 200 joule
Gagal jantung, dll

Tidak Ya
Segera lakukan synchronized
kardioversi

Takikardia Takikardia VT Polimorfik


kompleks sempit kompleks lebar

 Koreksi abnormalitas elektrolit


Lihat gambar 9.6 Lihat gambar 9.10
 Terapi iskemia
 Magnesium sulfat IV
 Pertimbangkan pacing overdrive

Gambar 9.1. Algoritme takikardi

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 75


Modul Pelatihan ACLS

Dari atas, kita memiliki pasien yang sadar yang akan dilakukan survei primer. Saat
penilaian didapatkan irama non-sinus dengan denyut jantung lebih dari 100x/menit,
diagnosisnya adalah takikardia. Selama survei sekunder, sangat penting untuk mencari
tanda dan gejala serius seperti nyeri dada, perubahan kesadaran, hipotensi, syok dan lain-
lain, yang dapat diakibatkan oleh takikardia.

Pada bagian kanan bagan, jika tanda dan gejala serius ini muncul dan diakibatkan
oleh takikardia, segera lakukan synchronized kardioversi jika diperlukan. Sebelum
kardioversi, berikan sedatif dosis kecil seperti midazolam 2 mg IV dengan atau tanpa
analgesik. Mulailah dengan 100 joule pada VT, 50 joule pada SVT dan atrial flutter, dan 200
joule pada VT polimorfik. Tidak seperti defibrilasi, tidak didapatkan perbedaan pilihan tingkat
energi antara monofasik dan bifasik untuk kardioversi pada panduan resusitasi saat ini.

Pada bagian kiri bagan, jika tidak didapatkan tanda dan gejala yang serius yang
dikaitkan dengan takikardia, lanjutkan penilaian apakah pasien memiliki QRS lebar atau
sempit atau VT polimorfik. VT polimorfik jarang didapatkan dan biasanya disebabkan oleh
pemanjangan QT interval, iskemia jantung, atau abnormalitas elektrolit seperti
hipomagnesemia. Pemberian magnesium IV berguna untuk VT polimorfik. Sementara pada
saat yang sama, sangat penting untuk mencari penyebab dan mengoreksi penyebab yang
mendasari. Jika VT polimorfik bersifat refrakter, anda mungkin perlu menghubungi kardiolog
untuk memulai pacing overdrive.

Indikasi Synchronized kardioversi


Synchronized kardioversi diindikasikan pada pasien dengan nadi namun dengan
ketidakstabilan hemodinamik yang disebabkan oleh takikardia berikut ini :
 VT
 SVT
 Paling jarang atrial flutter (AF) dengan rapid ventricular response (RVR)

Kecuali anda yakin bahwa (1) onset pasien dengan AF terjadi dalam 48 jam dan (2)
ketidakstabilan hemodinamik disebabkan oleh AF, sebagian besar ahli tidak
merekomendasikan kardioversi pada AF karena beresiko tinggi terjadi fenomena
tromboembolik karena bekuan intraventrikular.

Synchronized berarti defibrilator akan memberikan shock (kejut listrik) dekat dengan
puncak gelombak R, yang dianggap sebagai periode resiko rendah terjadinya VF. Tanpa
synchronized, kejut listrik yang diberikan dapat mengenai gelombang T, yang merupakan
periode dengan resiko tinggi mengakibatkan VF. Sehingga dengan demikian sangat penting

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 76


Modul Pelatihan ACLS

untuk memilih mode SYNC saat persiapan prosedur kardioversi untuk takikardia dengan
nadi.

Persiapan
Berikut ini adalah langkah – langkah untuk melakukan kardioversi
 Persiapkan pasien dengan menjelaskan prosedur
 Berikan oksigen 100%
 Pastikan monitor EKG, oksimetri, dan denyut jantung terpasang.
 Periksa monitor dan pilih lead dengan gelombang R mencolok
 Pada sebagian besar pasien, lead II merupakan lead dengan gelombang R paling
mencolok (gambar 9.2)
 Berikan sedatif intravena dengan dosis kecil dengan atau tanpa analgesik

Gambar 9.2 SVT pada lead II

Synchronized
Aktifkan tombol synchronized
 Pada layar monitor terdapat tulisan “Sync On/Off” pada bagian kanan bawah. Tekan
tombol dibawah tulisan tersebut.
 Pilih tingkat energi yang sesuai
- 100 joule untuk VT
- 50 joule untuk SVT dan atrial flutter
- 200 joule untuk VT polimorfik
- 100 joule untuk takikardia lainnya
 Jika shock pertama tidak menghilangkan takikardia yang terjadi dan pasien masih
memiliki nadi, tingkatkan level energi 50 joule untuk shock berikutnya.

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 77


Modul Pelatihan ACLS

Gambar 9.3 tombol SYNC

Kardioversi
Pada layar, sebuah titik muncul di dekat puncak gelombang R, mengindikasikan bahwa
tombol synchronized menyala
 Tekan tombol charge untuk pengisian daya pada defibrilator
 Lihat sekeliling dan belakang lalu teriakkan “stand clear”
 Lihat kembali pada monitor untuk memastikan bahwa takikardia tersebut masih ada.
 Lakukan kardioversi dengan menekan kedua tombol oranye secara bersama – sama
dan tahan tombol hingga shock dilepaskan
 Tempatkan paddle kembali pada tempatnya
 Nilai keadaan pasien dan EKG

Gambar 9.5 lihat sekeliling dan Gambar 9.4 Tekan tombol dengan gambar petir
belakang pada layar atau pada paddle jika syn “ready”

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 78


Modul Pelatihan ACLS

Komplikasi
Komplikasi paling penting pada kardioversi adalah VF setelah pemberian
shock. Saat VF terjadi, matikan sinkroniser, dan pilih tingkat energi 360 joule
pada mesin monofasik atau 150joule pada bifasik, dan lakukan defibrilasi
segera. Jangan tunda defibrilasi dengan melakukan kompresi dada atau
ventilasi atau pemberian obat – obatan. Komplikasi lain biasanya memerlukan
terapi simptomatik seperti nyeri, iritasi kulit dan luka bakar pada area paddle

Takikardia Kompleks Sempit

Atrial fibrilasi Paroksismal SVT ~ 25% mengalami


Atrial flutter konversi
Periksa dan
Manuver vagal pastikan tidak ada
bruit pada karotis
sebelum prosedur
Obat untuk kontrol tersebut
rate :
Amiodaron
Diltiazem
Verapamil
Digoxin
Adenosin 6 mg Verapamil 1 mg/min
Pertimbangkan
IV bolus cepat IV bolus pelan, maks
antikoagulan/aspirin
20 mg

Adenosin 12 mg
Semua obat tersebut
IV bolus cepat dapat digunakan,
tergantung pada
pengalaman klinisi dan
ketersediaan obat.
Jika status
hemodinamik
menurun, lakukan
Synchronized
kardioversi

Gambar 9.6 Algoritma Takikardia Kompleks Sempit

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 79


Modul Pelatihan ACLS

Pada sisi kanan algoritma jika pasien mengalami SVT, manuver vagal dapat
dilakukan. Pada pasien dengan usia lebih tua, anda harus melakukan auskultasi untuk
menyingkirkan bruit carotis sebelum melakukan pijat vagal. Letakkan jari telunjuk dan jari
tengah pada nadi carotis dan pijat kuat dengan gerakan sirkuler selama 2 menit sementara
anda melakukan monitoring EKG dan denyut jantung. Manuver vagal berhasil menghentikan
SVT pada 20 -25% pasien. Jika vagal manuver gagal, maka satu atau dua agen
farmakologis dapat digunakan.

Salah satunya adalah adenosin dan verapamil. Sangat disarankan untuk


menggunakan kanul vena yang besar dekat jantung seperti vena pada fossa antecubiti saat
memberikan adenosin. Karena waktu paruhnya yang begitu pendek, pemberian adenosin IV
harus diberikan berupa bolus cepat diikuti bolus NS 20 cc. Mulailah dengan adenosin 6 mg
IV dan diulangi satu kali dengan 12 mg jika diperlukan. Jika adenosin 12 mg gagal, gunakan
verapamil.

Tidak seperti adenosin, verapamil harus diberikan berupa bolus pelan untuk
mencegah penurunan tekanan darah yang drastis. Cara yang aman adalah dengan
mengencerkannya dengan salin untuk mencapai konsentrasi 1 mg per ml. Berikan 1 mg per
menit dengan monitoring EKG, tekanan darah dan denyut jantung. Dosis maksimum
verapamil adalah 20 mg.

Pada sisi kiri algoritma, untuk atrial flutter dan atrial fibrilasi, rekomendasinya adalah
kontrol kecepatan denyut jantung dibanding konversi irama. Berbagai agen seperti
amiodaron, diltiazem, verapamil, digoxin, dll dapat digunakan untuk melakukan kontrol
denyut jantung. Karena resiko fenomena tromboembolik, antikoagulan mungkin perlu
diberikan sebelum intervensi mengontrol kecepatan denyut jantung.

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 80


Modul Pelatihan ACLS

Atrial Flutter

Gambar 9.7 atrial flutter : gelombang saw-tooth (gergaji) yang menggantikan gelombang P pada atrial
flutter

Bagaimana membedakan antara atrial flutter – atrial fibrilasi dan SVT? Anda perlu
melihat EKG 12 lead dan mungkin lead II panjang untuk mengetahui perbedaannya.
Petunjuk pertama adalah lihat RR interval pada lead II pada bagian bawah EKG untuk
menilai apakah irama tersebut regular atau iregular. Jika RR interval iregular, mungkin irama
tersebut merupakan atrial flutter–fibrilasi. Gambaran EKG ini menunjukkan interval RR yang
sedikit ireguler namun memiliki bentuk gelombang gergaji klasik untuk atrial flutter di antara
gelombang R.

Atrial Fibrilasi

Gambar 9.8 Atrial Fibrilasi : RR interval yang sangat ireguler.

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 81


Modul Pelatihan ACLS

Pada EKG ini, tidak didapatkan gelombang gergaji, tidak ada gelombang P namun
tampak dasar yang bergelombang di antara gelombang R. Ini merupakan tipikal atrial
fibrilasi.

SVT

Gambar 9.9 SVT : takikardia kompleks sempit, dengan RR interval yang reguler dan tidak adanya
gelombang P

Deskripsi klasik SVT adalah takikardia komplreks sempit dengan RR interval regular
dan tidak adanya gelombang P, seperti ditunjukkan pada gambaran EKG ini. Bagaimana
anda membedakan antara SVT dan sinus takikardia? Jawabannya terletak pada gelombang
P pada rekaman EKG. Gelombang P dengan defleksi positif di salah satu lead inferior,
lateral atau anterior menunjukkan bahwa irama EKG tersebut adalah sinus takikardia. Pada
SVT anda tidak akan dapat melihat gelombang P dengan defleksi positif pada lead tersebut.

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 82


Modul Pelatihan ACLS

Takikardia kompleks lebar

Jika dicurigai SVT dengan Kecurigaan VT


aberansi

Adenosin 6 mg IV
bolus cepat Amiodaron 150 mg IV Lignokain 50 – 100
selama 10 menit mg IV bolus pelan

Amiodaron 150 mg IV Lignokain 50 – 100


Adenosin 12 mg IV selama 10 menit mg IV bolus pelan
bolus cepat

Jika VT menetap, lakukan Synchronized


kardioversi.
Jika status hemodinamik memburuk,
lakukan Synchronized kardioversi

Gambar 9.10 Algoritma Takikardia Kompleks Lebar

Ini merupakan algoritma pada pasien stabil dengan takikardia kompleks lebar.
Penting untuk diingat bahwa saat dalam keraguan, terapi semua takikardia kompleks lebar
sebagai VT hingga terbukti sebaliknya.

Pada sisi kanan algoritma, jika dicurigai suatu VT, 2 obat yang dapat digunakan
adalah amiodaron dan lignokain. Amiodaron 150 mg IV yang diberikan dalam 10 – 15 menit,
diulang sekali jika perlu. Jika digunakan lignokain, maka lignokain diberikan 50 – 100 mg
dalam 10 menit bolus pelan, juga diulangi sekali jika perlu. Jika pasien tetap dalam keadaan
VT setelah 2 dosis di antara kedua agen tersebut, lakukan synchronized kardioversi.

Ada tiga hal penting yang harus dicatat:


 Pertama, pengobatan apapun yang anda berikan, tetap gunakan obat tersebut. Sebagai
contoh, jika anda telah memulai dengan amiodaron, ulangi dengan amiodaron dan jika
perlu, gunakan infus amiodaron untuk dosis pemeliharaan. Jangan berpindah antara
amiodaron dan lignokain karena beresiko mengakibatkan hipotensi dan bradikardia.

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 83


Modul Pelatihan ACLS

 Kedua, jika status hemodinamik pasien menurun selama pemberian obat – obatan
tersebut, hentikan obat tersebut dan lakukan synchronized kardioversi segera.
 Ketiga, amiodaron dan lignokain dapat mengakibatkan hipotensi hebat jika diberikan
berupa bolus cepat. Dengan demikian, kecuali pasien dalam keadaan henti jantung,
amiodaron dan lignokain harus diberikan berupa bolus pelan atau infus.
 Setelah kardioversi pada kasus VT berhasil, pasien harus diberikan infus anti-aritmia
yang kontinyu untuk mencegah rekurensi. Semua gangguan elektrolit harus dikoreksi
- Amiodaron IV 1 mg/menit selama 6 jam diteruskan 0.5 mg/menit selama 18 jam
ATAU
- Lignokain IV 1 – 2 mg/menit selama 24 jam

Pada sisi kiri algoritma, jika terjadi SVT dengan aberansi yang artinya dicurigai
adanya Bundle Branch Block, berikan adenosin. Jika pasien tidak memberikan respon, maka
ganti dengan salah satu di antara kedua agen ini, amiodaron atau lignokain. Penting diingat
saat menghadapi takikardia kompleks lebar, jangan gunakan verapamil karena verapamil
akan mengakibatkan VF.

SVT dengan aberansi

Gambar 9.11 SVT dengan RBBB : irama reguler, dengan gelombang R bertakik “rabbit ear” terlihat
pada lead V1 – V3, tanpa gelombang P

EKG menunjukkan SVT dengan RBBB (right bundle branch block), dengan
gelombang R bertakik yang terlihat di V1 hingga V3. RBBB memiliki QRS lebar, yang
mengakibatkan takikardia kompleks lebar dengan irama reguler dan tidak adanya
gelombang P.

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 84


Modul Pelatihan ACLS

VT

Gambar 9.12 VT : irama reguler, dengan takikardia kompleks lebar tanpa gelombang P

Gambaran EKG ini menunjukkan VT klasik yang merupakan takikardia kompleks


lebar dengan irama reguler dan tidak adanya gelombang P. Pada EKG ini, tidak didapatkan
gelombang R bertakik pada semua lead.

Torsades de Pointes

Gambar 9.13 Torsades de Pointes. Irama dengan bagian yang terpelintir, paling baik dilihat pada lead
II

Gambaran EKG ini menunjukkan torsades de pointes, yang artinya titik yang
terpelintir. Irama ini adalah suatu bentuk VT polimorfik. Irama ini paling baik dilihat pada lead

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 85


Modul Pelatihan ACLS

II. Pasien tersebut mengalami hipomagnesemia dan juga iskemia jantung yang masih
berlanjut.

Catatan:
Ada dua hal yang perlu diingat.
 Pertama, tidak seperti VF yang mengakibatkan pasien tidak sadar dalam
hitungan detik, VT dapat ditemukan pada pasien yang stabil atau pada pasien
tanpa nadi dan nafas.
 Kedua, sebagian besar pasien SVT memiliki klinis yang baik kecuali didapatkan
penyakit penyerta

Ringkasan
Sebagai ringkasan, pada pasien sadar dengan takikardia, penilaian harus dimulai
dengan menentukan apakah didapatkan tanda dan gejala serius yang disebabkan oleh
takikardia.

Jika didapatkan tanda dan gejala serius yang disebabkan oleh takikardia, lakukan
synchronized kardioversi segera, lebih baik jika pasien sudah diberikan sedasi terlebih
dahulu.

Jika tidak didapatkan tanda dan gejala serius, periksa EKG 12 lead dan mungkin lead
II panjang untuk mendiagnosa aritmia.

Baik takikardia kompleks sempit maupun lebar, obat – obatan dapat digunakan
sebagai lini pertama pada pasien stabil, sementara synchronized kardioversi harus dilakukan
segera pada pasien tidak stabil. Jika pasien menjadi tidak stabil pada saat intervensi
farmakologis, hentikan obat tersebut dan lakukan kardioversi.

Ingat : takikardia dengan QRS kompleks lebar harus dianggap sebagai VT hingga
terbukti bukan.

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 86

You might also like