You are on page 1of 30

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Akuntansi Perilaku (Behavioral Accounting)

Aspek budaya dalam akuntansi disebut juga behavioral accounting.

Berbagai budaya dapat mempengaruhi peran atau hasil dari interaksi antara

informasi akuntansi dengan perilaku konsumennya atau penyajinya. Berkaitan

dengan hubungan antara perilaku manusia dan sistem akuntansi baik dalam

bidang akuntansi keuangan, auditing maupun akuntansi manajemen. Hal ini juga

dianggap sebagai bidang akuntansi yang khusus (Siegel dan Marconi, 1989).

Menurut Siegel dan Marconi (1989), ada tiga bagian pengaruh perilaku

akuntansi. Pertama, pengaruh perilaku manusia terhadap desain, konstruksi, dan

penggunaan sistem akuntansi. Akuntansi perilaku membahas sikap dan filosofi

manajemen yang dpat mempengaruhi sifat pengawasan akuntansi dan fungsi

organisasi. Misalnya apakah manajemen yang bersifat risk averse. Pengawasan

yang ketat dan yang longgar dapat mempengaruhi desain sistem pengawasan.

Kedua, pengaruh sistem akuntansi terhadap perilaku manusia. Bagaimana sistem

akuntansi mempengaruhi motivasi, produktivitas, pengambilan keputusan,

kepuasan kerja, dan kerja sama. Misalnya bagaimana budget yang dapat

menciptakan produktivitas atau motivasi, budget yang ketat atau longgar. Ketiga,

metode meramalkan dan strategi untuk mengubah perilaku manusia. Bagaimana

sistem akuntansi dapat digunakan untuk mempengaruhi perilaku manusia.

Misalnya memperketat atau memperlonggar sistem pengawasan, memberikan

pola kompensasi yang dapat mempengaruhi perilaku misalnya dengan ESOP

11
12

(Employee Stock Ownership Program), sistem pelaporan prestasi, sistem

pemberian reward and penalties terhadap prestasi.

Schiff dan Lewin (1974), membagi 4 (empat) aplikasi mengenai akuntansi

perilaku dalam organisasi. Planning and Budgeting (Perencanaan dan

Penganggaran), tujuan utama dari bagian ini adalah bagaimana formulasi tujuan

operasional perusahaan dan interaksi perilaku individu dalam proses ini. Decision

Making (Pengambilan Keputusan), tujuan utama bagian ini adalah aspek perilaku

pada pengambilan keputusan oleh individu dan pengambilan keputusan

organisasional. Control (Pengendalian), tujuan bagian ini untuk menyelidiki

permasalahan individual dalam penilaian kinerja dan proses adaptasi individu

terhadap proses pengendalian yang dilakukan oleh organisasi. Financial

Reporting (Pelaporan Keuangan), bagian ini mencakup perilaku perata-labaan

(income smoothing), reliabilitas pelaporan akuntansi dan relevansi informasi

akuntansi terhadap pengguna.

2.2 Motivasi Kerja

Motivasi timbul dalam diri seseorang apabila terdapat dorongan dan

ketegangan dalam dirinya. Motivasi dalam diri seseorang dapat terbentuk melalui

beberapa tahap, maka untuk mengetahui secara jelas proses dari terbentuknya

sebuah motivasi secara umum dapat dijelaskan pada gambar dibawah ini :
13

Unsatisfied

Tension

Drives

Search

Satisfied need

Reduction of

Gambar 2.1
Proses Motivasi
Sumber: Rivai dan Jauvani (2009)

Proses motivasi dapat digambarkan jika seseorang tidak puas akan

mengakibatkan ketegangan, yang pada akhirnya akan mencari jalan atau tindakan

untuk memenuhi dan terus mencari kepuasan yang menurut ukurannya sendiri

sudah sesuai dan harus terpenuhi.

Gambar 2.1 menunjukkan hal-hal mengenai proses motivasi, dalam

kehidupan manusia selalu timbul kebutuhan dan yang bersngkutan merasa perlu

untuk memuaskannya. Dalam kehidupan manusia, selalu timbul kebutuhan dan

yang bersangkutan merasa perlu untuk memuaskannya (unsatisfied). Kebutuhan

itu hanya dapat dikategorikan sebagai kebutuhan apabila menimbulkan

ketegangan dalam diri yang bersangkutan (Tension). Ketegangan itulah yang

menimbulkan dorongan agar yang bersangkutan melakukan sesuatu (Drives).

Sesuatu itu adalah upaya mencari jalan keluar agar ketegangan yang dihadapi

tidak berlanjut (Search). Jika upaya dalam mencari jalan keluar yang diambil

berhasil, berarti kebutuhan terpuaskan (Satisfied need). Kebutuhan yang berhasil

dipuaskan akan menurunkan ketegangan, akan tetapi tidak menghilangkan sama

sekali. Alasannya adalah bahwa kebutuhan yang sama cepat atau lambat akan
14

timbul kemudian, mungkin dalam bentuk yang baru dan mungkin pula dengan

intensitas yang berbeda (Reduction of) (Rivai dan Jauvani, 2009).

Malayu S.P. Hasibuan (2001), mengemukakan bahwa terdapat enam

proses motivasi. Yang pertama, dalam proses motivasi perlu ditetapkan terlebih

dahulu tujuan organisasi, kemudian para karyawan dimotivasi kearah tujuan.

Kedua, dalam komunikasi yang baik tidak hanya dilihat dari sudut kepentingan

pimpinan atau perusahaan, tetapi juga dari keinginan karyawan. Ketiga, dalam

proses motivasi harus dilakukan komunikasi yang yang baik dengan karyawan.

Karyawan harus mengetahui apa yang akan diperolehnya dan syarat apa saja yang

harus dipenuhi secara intensif. Keempat, proses motivasi perlu untuk menyatukan

tujuan perusahaan dan tujuan kepentingan karyawannya. Dimana tujuan karyawan

harus disatukan, untuk itu penting adanya penyesuaian komunikasi. Kelima,

pimpinan penting untuk memberikan bantuan fasilitas kepada organisasi

(perusahaan) dan individu karyawan yang akan mendukung kelancaran

pelaksanaan pekerjaan. Kemudian dalam proses yang terakhir pimpinan harus

membentuk team work yang terkordinir dengan baik untuk mencapai tujuan

perusahaan.

2.2.1 Pengertian Motivasi Kerja

Motivasi merupakan keinginan seseorang melakukan sesuatu akibat

dorongan dari diri sendiri maupun dari luar diri pegawai. Selain itu motivasi dapat

pula diartikan sebagai dorongan pegawai untuk melakukan tindakan karena

mereka ingin melakukannya untuk mencapai suatu tujuan. Menurut A. A. Prabu

Mangkunegara (2009), motivasi adalah yang menggerakan pegawai agar mampu


15

mencapai tujuan dari motifnya. Kemudian menurut Marihot Tua Effendi

Hariandja (2009), motivasi adalah sebagai faktor – faktor yang mengarahkan dan

mendorong perilaku atau keinginan seseorang untuk melakukan suatu kegiatan

yang dinyatakan dalam bentuk usaha yang keras atau lemah. Sedangkan menurut

Wibowo (2010) mengemukakan, motivasi merupakan dorongan terhadap

serangkaian proses perilaku manusia pada pencapaian tujuan. Sedangkan elemen

yang terkandung dalam motivasi meliputi unsur membangkitkan, mengarahkan,

menjaga, menunjukkan intesitas, bersifat terus menerus dan adanya tujuan.

Berdasarkan pengertian tersebut penulis dapat menyimpulkan bahwa

Motivasi merupakan dorongan atau kekuatan yang mendorong seseorang untuk

melakukan tindakan demi tercapainya tujuan yang diinginkan. Motivasi tersebut

dapat timbul dalam diri sendiri atau dari luar.

2.2.2 Teori-Teori Motivasi

Di bawah ini merupakan teori-teori motivasi menurut para ahli, yaitu

sebagai berikut:

Maslow (Robbins, 2006) mengemukakan, manusia mempunyai sejumlah

kebutuhan yang diklasifikasikannya pada lima tingkatan atau lima hierarki

(hierarchy of needs) yaitu:

a. Kebutuhan psikologis (Physicological), antara lain rasa lapar, haus,

perlindungan (pakaian dan perumahan), seks, dan kebutuhan jasmani lain.

b. Kebutuhan akan rasa aman (safety), antara lain keselamatan dan

perlindungan terhadap kerugian fisik dan emosional.


16

c. Kebutuhan sosial (social), mencakup kasih sayang, rasa memiliki, diterima

baik, dan persahabatan.

d. Kebutuhan penghargaan (esteem/respected), mencakup faktor

penghormatan diri seperti harga diri, otonomi, dan prestasi, serta faktor

penghormatan dari luar seperti misalnya status, pengakuan, dan perhatian.

e. Kebutuhan aktualisasi diri (self-fulfillment), dorongan untuk menjadi

seseorang/sesuatu sesuai ambisinya, yang mencakup pertumbuhan,

pencapaian potensi, dan pemenuhan kebutuhan diri.

1. Teori Motivasi Menurut Douglas McGregor (2006)

“Teori ini lebih dikenal dengan teori X dan Y dari McGregor dimana pada
teori tersebut manusia dibedakan kedalam dua kategori yaitu manusia X
dan manusia Y berdasarkan asumsi-asumsi tertentu diantaranya:
Menurut Teori X, empat asumsi yang dipegang para manajer adalah
sebagai berikut:
a. Karyawan secara inheren tidak menyukai kerja dan bila dimungkinkan
akan mencoba menghindarinya
b. Karena karyawan tidak menyukai kerja, mereka harus dipaksa, diawasi,
atau diancam dengan hukuman untuk mencapai sasaran
c. Karyawan akan menghindari tanggung jawab dan mencari pengarahan
formal
d. Kebanyakan karyawan menempatkan keamanan di atas semua faktor lain
yang terkait dengan kerja dan akan menunjukan ambisi yang rendah
Kontras dengan pandangan negatif mengenai kodrat manusia ini,
McGregor mencatat empat asumsi positif yang disebutnya sebagai teori Y:
a. Karyawan dapat memandang kerja sebagai kegiatan alami yang sama
dengan istirahat atau bermain
b. Orang-orang akan melakukan pengarahan diri dan pengawasan diri jika
mereka memiliki komitmen pada sasaran
c. Rata-rata orang dapat belajar untuk menerima bahkan mengusahakan
tanggung jawab
d. Kemampuan untuk mengambil keputusan inovatif menyebar luas ke semua
orang dan tidak hanya milik mereka yang berada dalam posisi manajemen
Motivasi yang diterapkan kepada pegawai yang tergolong dalam kategori
manusia Y ini adalah motivasi positif yaitu dengan member pujian,
penghargaan, dan tindakan lain yang bersifat positif”.
17

2. Teori Motivasi Menurut Frederick Herzberg (2011)

“Teori ini sering disebut juga sebagai Teori Motivasi dan Higiene
(Motivation Hygiene Theory). Penelitian yang dilakukan dalam
pengembangan teori ini dikaitkan dengan pandangan para pegawai tentang
pekerjaannya. Hasil temuannya menunjukan bahwa jika para pegawai
berpandangan positif terhadap pekerjaannya, dalam diri mereka tidak ada
kepuasan, bukan ketidakpuasan seperti umumnya dikemukakan oleh para
pakar motivasi lainnya. Penekanan pada teori ini adalah jika tingkat
kepuasan para pegawai tinggi aspek motivasilah yang penting. Tetapi jika
tidak ada kepuasan, aspek higiene lah yang menonjol. Menurut teori ini
faktor-faktor yang mendorong aspek motivasi adalah:
1. Prestasi atau achievement
2. Pengakuan atau recognition
3. Pekerjaan itu sendiri atau the work in self
4. Tanggung jawab atau responsibility
5. Kemajuan atau advancement
Sedangkan pada faktor-faktor higiene meliputi:
1. Kebijakan dan administrasi perusahaan
2. Supervisi
3. Hubungan dengan para supervisor
4. Kondisi kerja
5. Gaji
6. Kehidupan pribadi
7. Hubungan dengan para bawahan
8. Status dan kepastian”

3. Teori “ERG”

“Clayton Alderfer (Robbins, 2006:221), mengetengahkan teori yang


mengatakan bahwa “manusia mempunyai tiga kelompok kebutuhan „inti‟
(core needs) yang disebutnya eksistensi, hubungan, dan pertumbuhan
(existence, relatedness, and growth – ERG). Sepintas Teori Alderfer ini
mirip dengan teori Maslow, hanya bedanya pada teori Alderfer ketiga
kelompok kebutuhan tersebut dapat timbul secara simultan dan
pemuasannya tidak dapat dilakukan sepotong-sepotong, akan tetapi ketiga-
tiganya sekaligus, meskipun mungkin dengan intensitas yang berbeda-
beda. Dengan kata lain Alderfer menolak pendekatan hierarki yang
dikemukakan Maslow.”

4. Teori Motivasi Menurut David McClelland (1987)

“Salah satu teori yang populer dikalangan praktisi manajemen ialah teori
yang dikembangkan oleh David McClelland seorang ahli psikolog dari
Universitas Harvard. Teori tersebut dikenal dengan Teori Kebutuhan yang
18

isinya menggolongkan kebutuhan kedalam tiga jenis yaitu prestasi,


kekuasaan dan kelompok pertemanan”.

2.2.3 Jenis-Jenis Motivasi

Malayu S.P. Hasibuan (2008), mengemukakan bahwa terdapat dua jenis

motivasi yang digunakan antara lain :

1. Motivasi Positif ( intensif positif )

Dalam motivasi positif pimpinan memotivasi (merangsang)

bawahan dengan memberikan hadiah kepada mereka yang berprestasi

diatas prestasi standar, dengan motivasi positif ini semangat kerja bawahan

akan meningkat. Insentif yang diberikan kepada karyawan diatas standar

dapat berupa uang, fasilitas, barang, dan lain-lain.

2. Motivasi Negatif

Dalam motivasi negatif, pimpinan memotivasi dengan memberikan

hukuman bagi mereka yang bekerja dibawah standar yang ditentukan.

Dengan motivasi negative semangat bawahan dalam jangka waktu pendek

akan meningkat karena takut dihukum, tetapi untuk jangka waktu yang

panjang dapat berakibat kurang baik.

Berdasarkan kedua jenis motivasi diatas, penulis dapat menarik

kesimpulan. Motivasi Positif dapat menimbulkan harapan yang sifatnya

menguntungkan atau menggembirakan bagi pegawai, sedangkan Motivasi Negatif

menimbulkan tekanan atau ancaman.

2.2.4 Prinsip-Prinsip Dalam Motivasi Kerja

Menurut Mangkunegara (2005), terdapat beberapa prinsip dalam

memotivasi kerja pegawai yaitu : prinsip partisipasi, prinsip komunikasi, prinsip


19

mengakui andil bawahan, prinsip pendelegasian wewenang, prinsip memberi

perhatian.

Pertama dalam upaya untuk memotivasi kerja, pegawai perlu diberikan

kesempatan ikut berpartisipasi dalam menentukan tujuan yang akan dicapai oleh

pemimpin. Kedua, pemimpin mengkomunikasikan segala sesuatu yang

berhubungan dengan usaha pencapaian tugas, dengan informasi yang jelas,

pegawai akan lebih mudah dimotivasi kerjanya. Ketiga, pemimpin mengakui

bahwa bawahan (pegawai) mempunyai andil didalam usaha pencapaian tujuan.

Dengan pengakuan tersebut, pegawai akan lebih mudah dimotivasi kerjanya.

Keempat, pemimpin yang memberikan otoritas atau wewenang kepada pegawai

untuk sewaktu-waktu dapat mengambil keputusan terhadap pekerjaan yang

dilakukannya, akan membuat pegawai yang bersangkutan menjadi termotivasi

untuk mencapai tujuan yang diharapkan oleh pemimpin. Kelima, pemimpin

memberikan perhatian terhadap apa yang diinginkan pegawai, akan memotivasi

pegawai bekerja seperti apa yang diharapkan oleh pemimpin.

2.2.5 Indikator Motivasi

Menurut Sondang P.Siagian (2008), motivasi adalah daya pendorong

yang mengakibatkan seseorang anggota organisasi mau dan rela untuk

menggerakkan kemampuan dalam membentuk keahlian dan keterampilan tenaga

dan waktunya untuk menyelenggarakan berbagai kegiatan yang menjadi tanggung

jawabnya dan menunaikan kewajibannya dalam rangka pencapaian tujuan dan

berbagai sasaran organisasi yang telah ditentukan sebelumnya.


20

Menurut definisi tersebut dapat dikemukakan bahwa indikator motivasi

adalah sebagai berikut :

1. Daya pendorong, merupakan semacam naluri, tetapi hanya suatu dorongan

kekuatan yang luas terhadap suatu arah yang umum. Namun, cara-cara

yang digunakan dalam mengejar kepuasan terhadap daya pendorong

tersebut berbeda bagi tiap individu menurut latar belakang kebudayaan

masing-masing.

2. Kemauan, dorongan untuk melakukan sesuatu karena terstimulasi (ada

pengaruh) dari luar diri. Kata ini mengindikasikan ada yang akan

dilakukan sebagai reaksi atas tawaran tertentu dari luar.

3. Kerelaan, suatu bentuk persetujuan atas adannya permintaan orang lain

agar dirinnya mengabulkan suatu permintaan tertentu tanpa merasa

terpaksa dalam melakukan permintaan tersebut.

4. Keahlian, kemahiran dalam suatu ilmu (kepandaian, pekerjaan)

adalah proses penciptaan atau pengubahan kemahiran seseorang dalam

suatu ilmu tertentu.

5. Keterampilan, kemampuan melakukan pola-pola tingkah laku yang

kompleks dan tersusun rapi secara mulus dan sesuai dengan keadaan untuk

mencapai hasil tertentu. Keterampilan bukan hanya meliputi gerakan

motorik melainkan juga penguasaan fungsi mental yang bersifat kognitif.

Konotasinya pun luas sehingga sampai pada mempengaruhi atau

mendayagunakan orang lain. Artinya orang yang mampu mendayagunakan

orang lain secara tepat juga dianggap sebagai orang terampil.


21

6. Tanggung jawab, sebagai suatu akibat lebih lanjut dari pelaksanaan

peranan, baik peranan itu merupakan hak maupun kewajiban ataupun

kekuasaan. Secara umum tanggung jawab diartikan sebagai kewajiban

untuk melakukan sesuatu atau berperilaku menurut cara tertentu (Ridwan

Halim, 1998).

7. Kewajiban, sesuatu yang harus dilaksanakan atas sesuatu yang dibebankan

kepadanya.

8. Tujuan, merupakan pernyataan tentang keadaan yang diinginkan di mana

organisasi atau perusahaan bermaksud untuk mewujudkannya dan sebagai

pernyataan tentang keadaan di waktu yang akan datang di mana organisasi

sebagai kolektivitas mencoba untuk menimbulkannya.

2.3 Pengendalian Internal

2.3.1 Pengertian Sistem Pengendalian Internal

Menurut Romney dan Steinbart (2009), pengendalian internal adalah

rencana organisasi dan metode bisnis yang dipergunakan untuk menjaga asset,

memberikan informasi yang akurat dan andal mendorong dan memperbaiki

efisiensi jalannya organisasi, serta mendorong kesesuaian dengan kebijakan yang

telah ditetapkan. Kemudian menurut penelitian Committee of Sponsoring

Organization (COSO), pengendalian internal merupakan sistem, struktur atau

proses yang diimplementasikan oleh dewan komisaris, manajemen dan karyawan

dalam perusahaan yang bertujuan untuk menyediakan jaminan yang memadai

bahwa tujuan pengendalian tersebut dicapai, meliputi efektifitas dan efisiensi

operasi, keandalan pelaporan keuangan, dan kepatuhan terhadap peraturan


22

perundang-undangan dapat tercapai. Sedangkan menurut Sukrisno Agoes (2008),

pengendalian internal adalah suatu proses yang dijalankan oleh dewan komisaris,

manajemen dan personel lain entitas yang didesain untuk memberikan keyakinan

memadai tentang pencapaian tiga golongan tujuan, seperti keandalan laporan

keuangan, efektifitas dan efisiensi operasi, dan kepatuhan terhadap hukum dan

peraturan yang berlaku.

Berdasarkan ketiga definisi tersebut, penulis dapat menyimpulkan bahwa

sistem pengendalian internal adalah sistem, struktur atau prosedur yang saling

berhubungan memiliki beberapa tujuan pokok yaitu menjaga kekayaan organisasi,

mengecek ketelitian dan keandalan data akuntansi yang dikoordinasikan, dan

mendorong dipatuhinya kebijakan hukum dan peraturan yang berlaku untuk

melaksanakan fungsi utama perusahaan.

2.3.2 Control Objective for Information & Related Technology (COBIT)

COBIT merupakan framework berstandar internasional yang dapat

digunakan untuk proses analisa kebutuhan proses bisnis perusahaan. Proses

analisa kebutuhan didapatkan dari informasi dokumen-dokumen terkait dengan

proses bisnis yang ada pada perusahaan. Fokus utama pada COBIT yaitu

memberikan informasi bisnis yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan bisnis

dengan didukung oleh teknologi informasi (Prasetya I. M. G. I dkk, 2005).

Menurut Sasongko (2009), COBIT adalah sekumpulan dokumentasi best practice

untuk IT Governance yang dapat membantu auditor, pengguna (user), dan

manajemen, untuk menjembatani gap antara resiko bisnis, kebutuhan kontrol dan

masalah-masalah teknis IT. Menurut Tanuwijaya dan Sarno (2010), COBIT


23

mendukung tata kelola TI dengan menyediakan kerangka kerja untuk mengatur

keselarasan TI dengan bisnis. Selain itu, kerangka kerja juga memastikan bahwa

TI memungkinkan bisnis, memaksimalkan keuntungan, resiko TI dikelola secara

tepat, dan sumber daya TI digunakan secara bertanggung jawab.

“COBIT juga menggunakan enam standar teknologi informasi global yang


digunakan sebagai sumber utama agar memastikan ruang lingkup,
konsistensi, dan kesejajaran di dalam pengembangan teknologi informasi.
Keenam standar teknologi informasi ini adalah (Setiawan, 2008):
1. Committee of Sponsoring Organisations of the Treadway Commission
(COSO): Internal Control-Integrated Framework, 1994 Enterprise
Risk Mangement-Integrated Framework, 2004.
2. Office of Government Commerce (OGC®): Information Technology
Infrastructure Library® (ITIL®), 1999-2004.
3. International Organisation for Standardisation: ISO/IEC 17799:2005,
Code of Practice for Information Security Management.
4. Software Engineering Institute (SEI®): SEI Capability Maturity Model
(CMM®), 1993SEI Capability Maturity Model Integration (CMMI®),
2000.
5. Project Management Institute (PMI®): Project Management Body of
Knowledge (PMBOK®, 2000.
6. Information Security Forum (ISF): The Standard of Good Practice for
Information Security, 2003.”
2.3.3 Komponen Pengendalian Internal

Pengendalian internal yang baik harus memenuhi beberapa kriteria atau

unsur- unsur. Menurut Sukrisno Agoes (2008), pengendalian internal terdiri dari

lima komponen yang saling berkaitan. Lima komponen pengendalian internal

tersebut adalah :

1. Lingkungan Pengendalian (Control Environment)

Merupakan suatu suasana organisasi, yang mempengaruhi

kesadaran akan suatu pengendalian dari sikap orang-orangnya.

Lingkungan pengendalian merupakan suattu fondasi dari semua komponen

pengendalian internal lainnya yang bersifat disiplin dan berstruktur.


24

Mengidentifikasikan 7 faktor penting untuk sebuah lingkungan

pengendalian, antara lain :

a. Komitmen kepada intergritas dan nilai etika

b. Filosofi dan gaya operasi manajemen

c. Struktur organisasi

d. Komite audit

e. Metode penerapan wewenang dan tanggung jawab

f. Praktik dan kebijakan tentang sumber daya manusia

g. Pengaruh eksternal

2. Penilaian Resiko (Risk Assessment)

Merupakan suatu kebijakan dan prosedur yang dapat membantu

suatu perusahaan dalam meyakinkan bahwa tugas dan perintah yang

diberikan oleh manajemen telah dijalankan.

3. Aktivitas Pengendalian (Control Activities)

Merupakan suatu kebijakan dan prosedur yang dapat membantu

suatu perusahaan dalam meyakinkan bahwa tugas dan perintah yang

diberikan oleh manajemen telah dijalankan.

4. Informasi dan Komunikasi (Information and Communication)

Merupakan pengidentifikasian, penangkapan dan pertukaran

informasi dalam suatu bentuk dan kerangka waktu yang membuat orang

mampu melaksanakan tanggung jawabnya.


25

5. Pemantauan (Monitoring)

Merupakan suatu proses yang menilai kualitas kerja pengendalian

internal pada suatu waktu. Pemantauan melibatkan penilaian rancangan

dan pengoperasian pengendalian dengan dasar waktu dan mengambil

tindakan perbaikan yang diperlukan.

Gambar 2.2
Model COSO Framework

2.3.4 Unsur Sistem Pengendalian Internal

Menurut Mulyadi (2008), terdapat beberapa unsur pokok pengendalian

internal dalam perusahaan, yaitu :

1. Struktur organisasi yang memisahkan tanggung jawab fungsional secara

tegas.

Struktur organisasi merupakan kerangka (framework) pembagian

tanggung jawab fungsional kepada unit-unit organisasi yang dibentuk

untuk melaksanakan kegiatan pokok perusahaan, seperti pemisahan setiap

fungsi untuk melaksanakan semua tahap suatu transaksi.


26

2. Sistem wewenang dan prosedur pencatatan yang memberikan

perlindungan yang cukup terhadap kekayaan, utang, pendapatan dan biaya.

Dalam setiap organisasi harus dibuat sistem yang mengatur

pembagian wewenang untuk otorisasi atas terlaksananya setiap transaksi.

Prosedur pencatatan yang baik akan menjamin data yang direkam tercatat

ke dalam catatan akuntansi dengan tingkat ketelitian dan keandalan

(reliability) yang tinggi. Dengan demikian sistem otorisasi akan menjamin

masukan yang dapat dipercaya bagi proses akuntansi.

3. Praktik yang sehat dalam melaksanakan tugas dan fungsi setiap unit

organisasi.

Pembagian tanggung jawab fungsional dan sistem wewenang dan

prosedur pencatatan yang telah ditetapkan tidak akan terlaksana dengan

baik jika tidak diciptakan cara-cara untuk menjamin praktik yang sehat

dalam pelaksanaannya. Adapun cara-cara yang umumnya ditempuh oleh

perusahaan dalam menciptakan praktik yang sehat adalah :

a. Penggunaan formulir bernomor urut tercetak yang pemakaiannya

harus dipertanggungjawabkan oleh yang berwenang.

b. Pemeriksaan mendadak (suprised auditing). Pemeriksaan

mendadak dilaksanakan tanpa pemberitahuan terlebih dahulu

kepada pihak yang akan diperiksa, dengan jadwal yang tidak

teratur.

c. Setiap transaksi tidak boleh dilaksanakan dari awal sampai akhir

oleh satu orang atau satu unit organisasi, tanpa ada campur tangan
27

dari yang lain, agar tercipta internal check yang baik dalam

pelaksanaan tugasnya.

d. Perputaran jabatan (job rotating). Perputaran jabatan yang diadakan

secara rutin akan dapat menjaga independensi pejabat, memperluas

wawasan pengetahuan yang mendalam, sehingga persekongkolan

di antara karyawan dapat dihindari.

e. Secara periodik diadakan pencocokan fisik kekayaan dengan

catatannya. Untuk menjaga kekayaan organisasi, mengecek

ketelitian dan keandalan catatan akuntansinya, secara periodik

harus diadakan pencocokan atau rekonsiliasi antara kekayaan fisik

dengan catatan akuntansi yang bersangkutan dengan kekayaan

tersebut.

f. Pembentukan unit organisasi yang bertugas untuk mengecek

efektivitas unsur-unsur sistem pengendalian internal yang lain.

4. Karyawan yang mutunya sesuai dengan tanggung jawabnya.

Untuk mendapatkan karyawan yang kompeten dan dapat dipercaya,

berbagai cara berikut ini dapat ditempuh:

a. Seleksi calon karyawan berdasarkan persyaratan yang dituntut oleh

pekerjaannya.

b. Pendidikan karyawan selama menjadi karyawan perusahaan, sesuai

dengan tuntutan perkembangan pekerjaaannya.


28

2.3.5 Tujuan Sistem Pengendalian Internal

Menurut Arens & Loebbecke (2009), Manajemen dalam merancang

struktur pengendalian internal mempunyai kepentingan-kepentingan sebagai

berikut:

1. Keandalan Laporan Keuangan

Manajemen perusahaan bertanggung jawab dalam menyiapkan

laporan keuangan bagi investor, kreditor dan pengguna lainnya.

Manajemen mempunyai kewajiban hukum dan profesional untuk

menjamin bahwa informasi telah disiapkan sesuai standar laporan, yaitu

prinsip akuntansi yang berlaku umum.

2. Mendorong efektifitas dan efisiensi operasional

Pengendalian dalam suatu organisasi adalah alat untuk mencegah

kegiatan dan pemborosan yang tidak perlu dalam segala aspek usaha, dan

untuk mengurangi penggunaan sumber daya yang tidak efektif dan efisien.

3. Ketaatan pada hukum dan peraturan

Pengendalian internal yang baik tidak hanya menyediakan

seperangkat peraturan lengkap dan sanksinya saja. Tetapi pengendalian

internal yang baik, akan mampu mendorong setiap peronal untuk dapat

mematuhi peraturan yang sudah ditetapkan dan berkaitan erat dengan

akuntansi contohnya adalah UU Perpajakan dan UU Perseroan Terbatas.


29

2.4 Kinerja Karyawan

2.4.1 Pengertian Kinerja

Istilah kinerja berasal dari job performance atau actual performance

(prestasi kerja atau prestasi sesungguhnya yang dicapai oleh seseorang), atau juga

hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang ingin dicapai oleh seorang pegawai

dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan

kepadanya (Mangkunegara, 2007). Arti penting dari kinerja adalah hasil kerja

yang dapat dicapai seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi,

sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing dalam upaya

mencapai tujuan organisasi bersangkutan secara legal, tidak melanggar hukum

dan sesuai dengan moral maupun etika (Sedarmayanti, 2007).

Menurut Hasibuan (2006), kinerja merupakan hasil kerja yang dicapai

seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya

didasarkan atas kecakapan, pengalaman, kesungguhan serta waktu. Kemudian

menurut Prawirosentono (2008), kinerja adalah hasil kerja yang dapat dicapai oleh

seseorang atau kelompok orang dalam suatu organisasi sesuai dengan wewenang

dan tanggung jawab masing-masing dalam rangka upaya mencapai tujuan

orgaisasi bersangkutan secara legal tidak melanggar hukum dan sesuai sengan

moral maupun etika. Sedangkan menurut Simamora (2004), kinerja merupakan

suatu pencapaian persyaratan pekerjaan tertentu yang akhirnya secara nyata dapat

tercermin keluaran yang dihasilkan. Terakhir menurut Rivai (2008), kinerja adalah

perilaku yang nyata yang ditampilkan setiap orang sebagai prestasi kerja yang

dihasilkan oleh karyawan sesuai dengan perannya dalam perusahaan.


30

Berdasarkan beberapa pengertian diatas, penulis dapat menyimpulkan,

kinerja adalah suatu hasil yang dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang

pada periode tertentu berdasarkan alat ukur yang digunakan baik kualitas maupun

kuantitas dengan membandingkan target dan hasil yang dicapai.

2.4.2 Pengertian Karyawan

Karyawan sebagai penjual jasa (pikiran dan tenaga) dan mendapatkan

kompensasi yang besarnya telah ditetapkan terlebih dahulu (Hasibuan, 2008).

Karyawan dan perusahaan merupakan dua hal yag tidak dapat diisahkan karena

karyawan memegang peranan penting dalam menjalankan kegiatan perusahaan.

Karyawan pada semua tingkatan diberi wewenang/kuasa untuk memperbaiki

output melalui kerjasama dalam struktur kerja baru yang luwes (fleksibel) untuk

memecahkan persoalan, memperbaiki proses dan memuaskan pelanggan.

Hasibuan (2008), menjelaskan tentang posisi karyawan dalam suatu

perusahaan, yaitu : karyawan operasional dan karyawan manajerial. Karyawan

operasional adalah setiap yang secara langsung harus mengerjakan sendiri

pekerjaannya sesuai dengan perintah atasan. Kinerja manajerial adalah

kemampuan atau prestasi kerja yang telah dicapai oleh para personil atau

sekelompok orang dalam suatu organisasi, untuk melaksanakan fungsi, tugas dan

tanggung jawab mereka dalam menjalankan operasional perusahaan (Harefa,

2008).
31

2.4.3 Pengertian Kinerja Karyawan

Kinerja karyawan merupakan hasil kerja yang secara kualitas dan kuantitas

yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya dengan

tanggungjawab yang diberikan kepadanya. Menurut Goodhue dan Thomson

(1995), menyatakan bahwa pencapaian kinerja karyawan dinyatakan berkaitan

dengan pencapaian serangkaian tugas-tugas individu dengan dukungan teknologi

informasi yang ada. Pengukuran kinerja karyawan ini melihat dampak sistem

yang baru terhadap efektifitas penyelesaian tugas, membantu meningkatkan

kinerja, penilaian kinerja dan menjadikan pemakai lebih produktif dan kreatif.

Simamora (2004), kinerja karyawan adalah tingkat tingkat terhadapnya

para karyawan mencapai persyaratan pekerjaan. Kinerja karyawan merupakan

hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seseorang karyawan

dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan

kepadanya (Mangkunegara, 2006).

Kinerja karyawan menurut teori-teori diatas dalam penelitian ini dapat

ukur dengan menggunakan indikator menurut Tsui, Anne S., Jone L., Pearce dan

Lyman W. Porter (dalam Mas‟ud, 2004) adalah sebagai berikut:

1. Kuantitas yang melebihi rata-rata.

2. Kualitas yang lebih baik dari karyawan lain.

3. Efisiensi ketelitian dalam melakukan pekerjaan.

4. Standar pegawai yang melebihi standar perusahaan.

5. Pengetahuan yang berkaitan dengan pekerjaan.

6. Ketepatan waktu menyelesaikan pekerjaan.


32

Jadi, kinerja karyawan adalah kemampuan mencapai persyaratan

pekerjaan, dimana suatu target kerja dapat diselesaikan pada waktu yang tepat

atau tidak melampaui batas waktu yang di sediakan sehingga tujuannya akan

sesuai dengan moral maupun etika perusahaan. Dengan demikian kinerja

karyawan dapat memberikan kontribusi bagi perusahaan tersebut.

2.4.4 Faktor-faktor Kinerja Karyawan

Menurut Hasibuan (2006), terdapat tiga faktor penting yaitu kemampuan

dan minat seorang pekerja, kemampuan dan penerimaan atas penjelasan delegasi

tugas dan peran serta tingkat motivasi pekerja. Apabila kinerja tiap individu atau

karyawan baik, maka diharapkan kinerja perusahaan akan baik pula. Kemudian

menurut Soemadji Nitisemito (2001), terdapat enam faktor kinerja karyawan,

yaitu jumlah dan komposisi dari kompensasi yang diberikan, penempatan kerja

yang tepat, pelatihan dan promosi, rasa aman di masa depan (dengan adanya

pesangon dan sebagiannya), hubungan dengan rekan kerja, hubungan dengan

pemimpin.

“Dua faktor yang mempengaruhi pencapaian kinerja karyawan. Pertama


faktor kemampuan, secara psikologis kemampuan dari potensi dan
kemampuan realita, artinya karyawan yang memiliki IQ yang rata-rata (IQ
110-120) dengan memadai untuk jabatannya dan terampil dalam
mengerjakan pekerjaannya sehari-hari, maka akan terasa lebih mudah
dalam mencapai kinerja yang diharapkan oleh karena itu karyawan perlu
ditempatkan pada pekerjaan yang sesuai dengan keahliannya. Kedua faktor
motivasi, motivasi terbentuk dari sikap (attitude) seorang karyawan dalam
menghadapi situasi kerja. Motivasi merupakan kondisi yang
menggerakkan diri karyawan yang terarah untuk mencapai tujuan
organisasi. Sikap mental merupakan kondisi mental yang mendorong diri
karyawan untuk berusaha mencapai prestasi kerja secara maksimal”
(Mangkunegara, 2007:67).
33

Dari penjelasan diatas, penulis dapat menyimpulkan terdapat banyak

faktor yang mempengaruhi kinerja karyawan dan perlu diperhatikan oleh

pemimpin sehingga kinerja karyawan dapat optimal.

2.4.5 Standar Kinerja Karyawan

Menurut Dale Timpe (1999), standar kerja dianggap memuaskan bila

pernyataannya menunjukkan beberapa bidang pokok tanggung jawab karyawan,

memuat bagaimana suatu kegiatan kerja akan dilakukan, dan mengarahkan

perhatian kepada mekanisme kuantitatif bagaimana hasil-hasil kinerja diukur.

Sedangkan menurut Wirawan (2009), standar kinerja adalah target, sasaran, tujuan

upaya kerja karyawan dalam kurun waktu tertentu. Dalam melaksanakan

pekerjaannya, karyawan harus mengarahkan semua tenaga, keterampilan,

pengetahuan dan waktu kerjanya untuk mencapai apa yang ditentukan oleh

standar kinerja.

Pencapaian kinerja karyawan dapat dinilai dari tiga hal, yaitu : penilaian

harus mempunyai hubungan dengan pekerjaan, adanya standar pelaksanaan kerja,

praktis (Mudah dipahami atau dimengerti karyawan atau penilai) (Notoatmodjo,

2003). Kinerja dapat dinilai atau diukur dengan beberapa indikator

(Prawirosentono 2008), yaitu Efektifitas, merupakan tujuan kelompok dapat

dicapai dengan kebutuhan yang direncanakan. Tanggung jawab, merupakan

bagian yang tak terpisahkan atau sebagai akibat kepemilikan wewenang. Disiplin,

merupakan taat hukum dan aturan yang berlaku. Disiplin karyawan adalah

ketaatan karyawan yang bersangkutan dalam menghormati perjanjian kerja


34

dengan perusahaan dimana karyawan bekerja. Inisiatif, merupakan daya pikir,

kreatifitas dalam bentuk suatu ide yang berkaitan dengan tujuan perusahaan.

Uraian di atas menjelaskan bahwa yang memegang peranan penting dalam

suatu organisasi bergantung pada kinerja karyawannya. Agar karyawan dapat

bekerja sesuai yang diharapkan, maka dalam diri karyawan harus ditumbuhkan

motivasi bekerja untuk meraih segala sesuatu yang menjadi tujuan organisasi.

2.4.6 Manfaat Penilaian Kinerja Karyawan

Menurut Dessler (2007), ada lima manfaat penilaian kinerja karyawan.

Pertama, mengelola operasional organisasi secara efektif dan efisien melalui

pemotivasian karyawan secara maksimal. Kedua, membantu pengambilan

keputusan yang bersangkutan dengan karyawan, seperti promosi, transfer dan

pemberhentian. Ketiga, mengidentifikasi kebutuhan pelatihan dan pengembangan

karyawan, serta menyediakan kriteria seleksi dan evaluasi program pelatihan

karyawan. Keempat, menyediakan umpan balik bagi karyawan mengenai

bagaimana atasan menilai kinerjanya. Kelima, menyediakan dasar bagi

pendistribusian penghargaan.

2.5 Hubungan Motivasi Kerja terhadap Kinerja Karyawan

Motivasi merupakan salah satu faktor yang penting dalam mendorong

seorang karyawan untuk bekerja. Motivasi adalah kesediaan individu untuk

mengeluarkan upaya yang tinggi untuk mencapai tujuan organisasi (Stephen P.

Robbins, 2003).

Manfaat utama dari motivasi adalah meningkatkan gairah kerja sehingga

produktivitas kerja tercapai. Sementara itu, manfaat yang diperoleh karena bekerja
35

dengan orang-orang yang termotivasi adalah pekerjaan dapat diselesaikan dengan

tepat. Artinya pekerjaan dilakukan sesuai standar yang benar dan dalam skala

waktu yang ditentukan, serta orang senang melakukan pekerjaannya (Suharto,

2005).

Setiap karyawan mempunyai kebutuhan bersifat material dan non material

yang selalu meningkatkan intensitasnya dan mendorong atau mengarahkan

kinerja. Motivasi merupakan predisposisi psikis bagi perilaku, yakni manusia

berperilaku adalah tergantung pada motivasinya. Dengan terpenuhinya setiap

kebutuhan tersebut akan mendorong motivasi individu untuk mempunyai kinerja

yang lebih baik. Hasil penelitian Sutadji (2008) yang membuktikan bahwa

motivasi kerja berpengaruh signifikan terhadap kinerja karyawan.

Faktor motivasi memiliki hubungan langsung dengan kinerja karyawan.

Sesuai dengan pendapat David Mc. Clelland (2006) yang mengatakan bahwa

motivasi kerja karyawan akan timbul bila ada pemuasan kebutuhan, yaitu:

kebutuhan untuk prestasi, kebutuhan untuk kekuasaan dan kebutuhan untuk

berafiliasi. Dengan terpenuhi kebutuhan tersebut akan meningkat kinerja

karyawan. Semakin tinggi motivasi karyawan akan semakin tinggi pula kinerja

karyawan. Semakin tinggi tingkat intensitas kerjanya, semakin karyawan

memahami tujuan organisasi dan semakin tekun kerjanya maka motivasi

karyawan semakin tinggi.

Penelitian Chawdhury (2007), ditemukan bahwa motivasi kerja memiliki

pengaruh yang besar dalam meningkatkan kinerja karyawan. Untuk menciptakan

suatu hasil kinerja pelayanan pegawai yang baik dan unggul perlu adanya
36

motiovasi. Untuk memberikan motivasi kepada para karyawannya, terlebih dahulu

seorang manajer harus mengetahui dorongan atau kebutuhan karyawannya agar

mau melakukan aktivitas tertentu sehingga kinerja akan menjadi meningkat.

Penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa motivasi dan kinerja sangatlah

berkaitan. Semakin tinggi motivasi yang diberikan, maka semakin tinggi pula

kinerja karyawan. Hubungan antara motivasi dan kinerja berbanding lurus, artinya

bahwa semakin tinggi motivasi karyawan dalam bekerja maka kinerja yang

dihasilkan juga tinggi. Begitu juga sebaliknya ketika motivasi karyawan semakin

rendah dalam bekerja maka kinerja yang dihasilkan akan semakin rendah dan

kurang optimal. Sedangkan karyawan dapat bekerja dengan baik bila memiliki

kinerja yang tinggi sehingga dapat menghasilkan kerja yang baik pula.

Lebih lanjut Hasil penelitian yang dilakukan oleh Listianto dan Setiaji

(2007) menyatakan bahwa motivasi kerja berpengaruh positif dan signifikan

terhadap kinerja karyawan.

Seluruh penjelasan di atas memberikan suatu pemikiran bahwa dalam

penerapan Motivasi Kerja secara memadai dapat memberikan hasil yang baik

dalam meningatkan Kinerja Karyawan. Hasil penelitian Sutadji (2008) yang

membuktikan bahwa motivasi kerja berpengaruh signifikan terhadap kinerja

karyawan.
37

H1
Motivasi Kerja Kinerja Karyawan

X1 Y

Gambar 2.3 Hubungan Motivasi Kerja Terhadap Kinerja Karyawan

H1 : Penerapan Motivasi Kerja berpengaruh terhadap Kinerja Karyawan

2.6 Hubungan Pengendalian Internal terhadap Kinerja Karyawan

Peranan pengendalian internal sangat membantu mewujudkan tercapainya

motivasi pegawai sehingga akan menghasilkan kinerja yang baik, karena kinerja

pegawai memberikan peranan penting bagi organisasi, karena suatu organisasi

bergantung pada kinerja pegawainya. Pelaksanaan pengendalian dapat efektif

apabila ada komitmen diantara pihak-pihak yang terkait dalam organisasi, baik

sebagai individu maupun kelompok (Dettie Adhama, 2014). Hal ini dimaksudkan

agar tujuan organisasi dapat dicapai dengan baik seperti yang dikemukakan oleh

Fogelberg dan Griffith (2000) menyatakan :

“Sistem pengendalian internal digunakan oleh suatu organisasi untuk


menjamin bahwa sumber daya organisasi digunakan secara efektif dan
efisien terhadap pencapaian tujuan organisasi. Pencapaian kinerja yang
tinggi dikarenakan penerapan sistem pengendalian secara efektif.
Kegagalan organisasi dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan dapat
terjadi karena adanya kelemahan pada salah satu atau beberapa tahap
dalam proses pengendalian internal”.
Pengendalian internal mempermudah dan membantu organisasi terhadap

pencapaian tujuan organisasi, kegagalan bisa saja terjadi dikarenakan kelemahan

dalam penerapan/proses pengendalian yang ada di organisasi/instansi.

Kinerja pegawai akan ditunjukkan dengan seberapa besar tujuan dapat

dicapai dan pengendalian internal dapat memberikan keyakinan memadai dalam

mencapai tujuan tersebut, hal ini sejalan dengan pernyataan COSO yang
38

menjelaskan secara tegas pengaruh pengendalian internal terhadap kinerja

instansi/organisasi. Dalam Executive summary tersebut COSO menyebutkan :

“Internal control can help an entity achieve its performance and


profitability targets, and preverent loss of resources. It can help ensure
reliable financial reporting, and it can help ensure that he enterprise
complies with laws and regulations, avoiding damage to its reputation and
other consequence. In sum, it can help an entity get to where it wants to
go, and avoid pitfalls and suprises along the way (www.coso.org)”.
pengendalian internal memberikan keuntungan bagi organisasi/instansi,

memastikan organisasi sesuai dengan tujuan yang diinginkan.

Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Hadi Mutaqin (2015) yang

berjudul Peranan Pengendalian Internal Terhadap Kinerja Karyawan (Studi Kasus

Pada PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. Kantor Wilayah Bandung),

menunjukkan bahwa pengendalian internal cukup berperan dalam menunjang

kinerja karyawan. Penelitian yang dilakukan oleh Sarita Permata (2012) yang

berjudul Pengaruh Pengendalian Internal dan Gaya Kepemimpinan Terhadap

Kinerja Karyawan SPBU Yogyakarta, menunjukkan bahwa pengendalian internal

berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja pegawai.

Seluruh penjelasan diatas memberikan suatu pemikiran bahwa dalam

penerapan pengendalian internal secara memadai dapat memberikan hasil yang

baik dalam meningatkan kinerja karyawan.

Pengendalian Internal H2 Kinerja Karyawan

X2 Y

Gambar 2.4 Hubungan Pengendalian Internal Terhadap Kinerja


Karyawan
H2 : Penerapan Pengendalian Internal berpengaruh terhadap Kinerja
Karyawan
39

2.7 Hubungan Motivasi Kerja dan Pengendalian Internal terhadap


Kinerja Karyawan
Dale Timple (2000), mengatakan bahwa terdapat dua faktor yang

mempengaruhi Kinerja Karyawan yaitu faktor internal dan faktor eksternal.

Faktor internal adalah faktor-faktor yang berhubungan dengan sifat-sifat

seseorang meliputi sikap, sifat kepribadian, sifat fisik, motivasi, umur, jenis

kelamin, pendidikan, pengalaman kinerja, latar belakang budaya, dan variabel

personal lainnya. Faktor eksternal adalah faktor-faktor yang mempengaruhi

kinerja karyawan yang berasal dari lingkungan meliputi kebijakan organisasi,

kepemimpinan, tindakantindakan rekan kerja, pengawasan, sistem upah, dan

lingkungan. Dari teori tersebut jelas gaya kepemimpinan mempengaruhi kinerja

karyawan, sedangkan lingkungan, kebijakan, dan pengawasan merupakan bentuk

dari pengendalian internal yang mempengaruhi kinerja karyawan.

Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Bier Jannah (2010) yang berjudul

Kontribusi Pengendalian Intern, Sistem Informasi Akuntansi, dan Motivasi Kerja

Terhadap Kinerja Organisasi Perusahaan (Studi Kasus: PT. Pasaraya Manggarai

Di Jakarta), menunjukkan bahwa pengendalian intern, sistem informasi akuntansi,

dan motivasi kerja berpengaruh secara simultan dan signifikan terhadap kinerja

organisasi perusahaan. Penelitian yang dilakukan oleh Novelia Trianti (2013)

yang berjudul Pengaruh Motivasi Kerja dan Pengendalian Internal Terhadap

Kinerja Berbasis Good Governance (Studi kasus pada Sekretariat Daerah Provinsi

Jawa Barat), menunjukkan bahwa motivasi kerja dan pengendalian internal

berpengaruh positif signifikan terhadap kinerja berbasis good governance

Sekeretariat Daerah Provinsi Jawa Barat.


40

Motivasi Kerja

X1

Kinerja Karyawan
H3
Y
Pengendalian Internal

X2

Gambar 2.5 Hubungan Motivasi Kerja dan Pengendalian Internal


Terhadap Kinerja Karyawan
H3 : Pengaruh Penerapan Motivasi Kerja dan Pengendalian Internal

berpengaruh terhadap Kinerja Karyawan.

You might also like