Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
1.2 Tujuan
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.3 Klasifikasi
Klasifikasi Klinis
Kelompok I miastenia ocular Hanya menyerang otot-otot ocular,
disertasi ptosis dan diplopia sangat singan,
tak ada kasus kematian.
Kelompok miastenia umum
Miastenia umum ringan awitan (onset) lambat, biasanya pada
mata, lambat laun menyebar ke otot-otot
rangka dan bulbar
sistem pernafasan tak terkena. Respon
terhadap terapi obat baik.
angka kematian rendah
Miastenia umum sedang awitan bertahap dan sering disertai
gejala-gejala ocular, lalu berlanjut
semakin berat dengan terserangnya
seluruh otot-otot rangka dan bulbar.
disertai, distagia, dan sukar mengunyah
lebih nyata dibandingkan dengan
miastania gravis umum ringan. Otot-otot
pernafasan tak terkena.
respon terhadap terapi obat kurang
memuaskan dan aktifitas klien terbatas,
tetapi angka kematian rendah.
Miastenia umum berat 1. Fulminan akut:
Awitan yang cepat dengan kelemahan
otot-otot rangka dan bulbar dan mulai
terserangnya otot-otot pernafasan.
Biasanya penyakit berkembang
maksimal dalam waktu 6 bulan.
Respon terhadap obat buruk.
Inside krisis miastenik, kolinergik,
maupun krisis gabungan keduanya
tinggi.
Tingkat kematian tinggi.
1. Lanjut
Miastenia gravis berat timbul paling
sedikit 2 tahun setelah awitan gejala-
gejala kelompok I dan II
Miastenia gravis dapat berkembang
secara perlahan atau tiba-tiba.
Respons terhadap obat dan prognosis
buruk.
2.1.4 Etiologi
Penyebab miastenia gravis masih belum diketahui secara pasti, diduga
kemungkinan terjadi karena gangguan atau destruksi reseptor asetilkolin
(Acetyl Choline Receptor (AChR)) pada persimpangan neoromuskular akibat
reaksi autoimun. Etiologi dari penyakit ini adalah:
1. Kelainan autoimun: direct mediated antibody, kekurangan AChR, atau
kelebihan kolinesterase
2. Genetik: bayi yang dilahirkan oleh ibu MG
Faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya miastenia gravis adalah:
a. Infeksi (virus)
b. Pembedahan
c. Stress
d. Perubahan hormonal
e. Alkohol
f. Tumor mediastinum
g. Obat-obatan
2.1.6 Patofisiologi
Dasar ketidak normalan pada mestenia grafis adalah adanya kerusakan
pada transmisi impuls saraf menuju sel-sel otak karena kehilangan
kemampuanatau hilangnya reseptor normal membran postsinaps pada
sambungan neuro muscular.
Otot kerangka atau otot lurik di persarafi oleh saraf besar bermielin yang
berasal dari sel kornum anterior medula spinalis dan batang otak. Saraf-saraf
ini mengirimkan aksonnya dalam bentuk saraf-saraf spinal dan kranial menuju
ke perifer. Masing-masing saraf memiliki banyak sekali cabang dan mampu
merangsan sekitar 2.000 serabut otot rangka. Gabungan antara saraf motorik
dan serabut-serabut otot yang di persarafi disebut unit motorik. Meskipun
setiap neuron motorik mempersarafi banyak serbut otot, tetapi setiap serabut
otot di persarafi oleh hanya satu neuron motorik(price dan wilson, 1995).
Daerah khusus yang merupakan tempat pertemuan antara saraf motorik dan
serabut otot disebut sinaps neuromuskular dan hubungan neuromuskular.
Hubungan neuromuskukar merupakan suatu sinap kimia antara saraf dan otot
yang terdiri atas tiga komponen dasar, yaitu unsur prasinaps, elemen
postsinaps, dan celah sinaps yang mempunyai lebar sekitar 200 A. Unsur
prasinaps terdiri atas akson terminal dengan vesikel sinaps yang berisi
asetilkolin yang merupakan neurotransmiter.
Asetilkolin disintesis dan disimpan dalam akson terminal. Membran
plasma akson terminal diebut membran prasinaps. Unsur prosinaps terdiri dari
membran membran post sinaps ( post – functional membrane ) atu lempeng
akhir motorik serabut otot.
Membran post sinaps dibentuk oleh invaginasi selaput otot atau sarkolema
yang dinamakan alur atau palung sinaps tempat akson terminal menonjol
masuk ke dalamnya. Bagian ini mempunyai banyak lipatan ( celah- celah
subneular ) yang sangat menambah luas permukaan. Membran post sinaps
memiliki reseptor reseptor asetilkolin dan sanggup menghasilkan potensial
lempeng akhir yang selanjutny dapat mencetuskan potensial aksi otot. pada
membran post sinaps juga terdapat suatu enzim yang dapat menghancurkan
asetilkolin yaitu asetilkolinerase. Celah sinaps adalah ruang yang terdapat
antara membran pra sinaps dan post sinaps. Ruang tersebut terisi macam zat
gelatin dan melalui gelatin ini cairan ekstrasel dapat berdifusi.
Bila impuls saraf mencapai hubungan neuromuskular maka mebran akson
terminal prasinaps mengalami depolaisasi sehingga asetilkolin akan dilepaskan
dalam celah sinaps. Asetilkolin berdifusi melalui celah sinaps dan bergabung
dengan reseptor asetilkolin pada membran postsinaps. Penggabungan ini
menimbulkan perubahan permeabilitas terhadap natrium maupun kalium pada
membran postsinaps.
Infulks ion natrium dan pengeluaran ion kalium secara tiba-tiba
menyebabkan depolarisasi lempeng akhir dikenal sebagai potensial lempeg
akhir (EPP). Jika EPP ini mencapai ambang akan terbentuk potensial aksi
dalam membran otot yang tidak berhubungan dengan sarf, yang akan
disalurkan sepanjang sarkolema. Potensial aksi ini memicu serangkaian reaksi
yang melibatkan kontraksi serabut otot. Setelah transmisi melewati hubungan
neuromuskular terjadi, asetilkolin akan dihancurkan oleh enzim
asetilkolinesterase.
Pada orang normal jumlah asetilkolin yang dilepaskan sudah lebih dari
cukup untuk menghasilkan potensial aksi. Pada miastenia gravis, konduksi
neuromuskular terganggu. Jumlah resiptor asekotilkolin berkurang, mungkin
akibat cidera autoimun. Antibodi terhadap protein reseptor asetilkolin banyak
ditemukan dalam serum penderita miestenia gravis. Akibat dari kerusakan
reseptor primer atau sekunder oleh suatu agen primer yang belum di kenal
merupakan faktor yang penting nilainya dalam penentuan patogenesis yang
tepat dari miastenia gravis.
Pada klien miastenia gravis, secara makroskopis otot-ototnya tampak
normal. Jika ada atrofi, maka itu disebabkan karena otot tidak di pakai.secara
mikroskopis beberapa kasus dapat ditemukan infiltrasi limfosit dalam otot
rangka tidak dapat ditemukan kelainan yang konsisten(price dan Wilson 1995).
Pada orang normal, bila ada impuls saraf mencapai hubungan neuromuskular,
maka membran akson terminal presinaps mengalami depolarisasi sehingga
asetilkolin akan dilepaskan dalam celah sinaps. Asetilkolin berdifusi melalui
celah sinaps dan bergabung dengan reseptor asetilkolin pada membran
postsinaps. Penggabungan ini menimbulkan perubahan permeabilitas terhadap
natrium dan kalium secara tiba-tiba menyebabkan depolarisasi lempeng akhir
dikenal sebagai potensial lempeng akhir (EPP). Jika EPP ini mencapai ambang
akan terbentuk potensial aksi dalam membran otot yang tidak berhubungan
dengan saraf, yang akan disalurkan sepanjang sarkolema. Potensial aksi ini
memicu serangkaian reaksi yang mengakibatkan kontraksi serabut otot.
Sesudah transmisi melewati hubungan neuromuscular terjadi, astilkolin akan
dihancurkan oleh enzim asetilkolinesterase
Pada miastenia gravis, konduksi neuromuskular terganggu. Abnormalitas
dalam penyakit miastenia gravis terjadi pada endplate motorik dan bukan pada
membran presinaps. Membran postsinaptiknya rusak akibat reaksi imunologi.
Karena kerusakan itu maka jarak antara membran presinaps dan postsinaps
menjadi besar sehingga lebih banyak asetilkolin dalam perjalanannya ke arah
motor endplate dapat dipecahkan oleh kolinesterase. Selain itu jumlah
asetilkolin yang dapat ditampung oleh lipatan-lipatan membran postsinaps
motor end plate menjadi lebih kecil. Karena dua faktor tersebut maka kontraksi
otot tidak dapat berlangsung lama.
Kelainan kelenjar timus terjadi pada miastenia gravis. Meskipun secara
radiologis kelainan belum jelas terlihat karena terlalu kecil, tetapi secara
histologik kelenjar timus pada kebanyakan pasien menunjukkan adanya
kelainan. Wanita muda cenderung menderita hiperplasia timus, sedangkan pria
yang lebih tua dengan neoplasma timus. Elektromiografi menunjukkan
penurunan amplitudo potensial unit motorik apabila otot dipergunakan terus-
menerus.
2.1.7 Patoflow
Keusakan pada transmisi impuls saraf menuju sel-sel otot karena kehilangan
kemampuan atau hilangnya resepor normal membrane postsinaps pada
sambungan neuromuskular
Kelemahan otot
Kelemahan Ketidakmampuan
Gangguan Otot
Regurgitas Otot-Otot batuk efektif
Levator Palpebra
Makanan Ke Rangka Kelemahan otot-
Hidung Pada Saat otot pernapasan
Ptosis & Diplopia Menelan Suara
Abnormal Hambatan
Ketidakmampuan mobilitas Ketidakefektifan
Gangguan Citra Menutup Rahang fisik pola nafas
Tubuh
Gangguan
Komunikasi
verbal
2.1.8 Pemeriksaan Penunjang
1. Tes darah dikerjakan untuk menentukan kadar antibody tertentu didalam
serum(mis, AChR-binding antibodies, AChR-modulating antibodies,
antistriational antibodies). Tingginya kadar dari antibody dibawah ini dapat
mengindikasikan adanya MG.
2. Pemeriksaan Neurologis melibatkan pemeriksaan otot dan reflex. MG
dapat menyebabkan pergerakan mata abnormal, ketidakmampuanuntuk
menggerakkan mata secara normal, dan kelopak mata turun. Untuk
memeriksa kekuatan otot lengan dan tungkai, pasien diminta untuk
mempertahankan posisint melawan resistansi selama beberapa periode.
Kelemahan yang terjadi pada pemeriksaan ini disebut fatigabilitas.
3. Foto thorax X-Ray dan CT-Scan dapat dilakukan untuk mendeteksi adanya
pembesaran thymoma, yang umum terjadi pada MG
4. Pemeriksaan Tensilon sering digunakan untuk mendiagnosis MG. Enzim
acetylcholinesterase memecah acetylcholine setelah otot distimulasi,
mencegah terjadinya perpanjangan respon otot terhadap suatu rangsangan
saraf tunggal. Edrophonium Chloride merupakan obat yang memblokir aksi
dari enzim acetylcholinesterase.
5. Electromyography (EMG) menggunakan elektroda untuk merangsang otot
dan mengevaluasi fungsi otot. Kontraksi otot yang semakin melemah
menandakan adanya MG.
2.1.9 Komplikasi
1. Miatenia crisis atau cholinergic crisis akibat terapi yang tidak diawasi.
2. Pneumonia
3. Bollous Death
Tiap obat tentu memiliki efek samping. Sama halnya dengan obat-
obatan myasthenia gravis. Penghambat kolinesterase dan
imunosupresan dapat memicu efek samping seperti diare, kram perut,
mual, dan otot berkedut. Sementara efek samping yang berpotensi
muncul akibat penggunaan kortikosteroid jangka panjang meliputi
diabetes, osteoporosis, serta kenaikan berat badan.
1.2.2 Diagnosa
Diagnosa keperawatan adalah pernyataan yang jelas mengenai status
kesehatan atau masalah aktual atau resiko dalam rangka mengidentifikasi dan
menentukan intervensi keperawatan untuk mengurangi, menhilangkan atau
mencegah masalah keperawatan klien yang ada pada tanggung jawabnya.
Pada tahun 11973, NANDA telah menerbitkan daftar diagnosa
keperawatan yang pertama. Kemudian setiap dua tahun sekali dilakukan
pengembangan atau revisi. Tujuan penggunaan diagnosa adalah sebagai
berikut :
• Memberikan bahasa yang umum bagi perawat sehingga dapat terbentuk
jalinan informasi dalam persamaan persepsi.
• Meningkatkan identifikasi tujuan yang tepat sehingga pemilihan intervensi
lebiha kurat dan menjadi pedoman dalam melakukan intervensi.
• Menciptakan standar praktik keperawatan.
• Memberikan dasar peningkatan kualitas pelayanan keperawatan.
Dalam merumuskan diagnose keperawatan, ada tiga komponen yang perlu
dicantumkan, yaitu problem (P), etiologi (E), dan symptom (S). Dilihat dari
status kesehatan klien, diagnosa dapat dibedakan menjadi aktual, potensial,
resiko, dan kemungkinan.
• Aktual, diagnosa keperawatan yang menggambarkan penilaian klinik yang
harus divalidasi perawat karena adanya batasan karakteristik mayot.
• Potensial, diagnosa keperawatan yang menggambarkan kondisi klien ke
arah yang lebih positif (kekuatan pasien).
• Resiko, diagnosa keperawatan yang menggambarkan kondisi klinis
individu lebih rentan mengalami masalah.
• Kemungkinan, diagnosa keperawatan yang menggambarkan kondisi klinis
individu yang memerlukan data tambahan sebagai faktor pendukung yang
lebih akurat.
1.2.3 Intervensi
Pada tahap perencanaan ada 4 hal yang harus diperhatikan.
1.2.5 Evaluasi
Evaluasi perkembangan kesehatan pasien dapat dilihat dari hasilnya.
Tujuannya adalah untuk mengetahui sejau mana tujuan perawatan dapat
dicapai dan memberikan umpan balik terhadap asuhan keperaawatan yang
diberikan. Langkah-langkah evaluasi adalah sebagai beikut.
• Daftar tujuan-tujuan pasien.
• Lakukan pengkajian apakah pasien dapat melakukan sesuatu.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
3.2 Diagnosa
1. Ketidakefektifan pola nafas yang berhubungan dengan keletihan otot
pernafasan
2. Hambatan komunikasi verbal berhubungan dengan disfonia, gangguan
pengucapan kata, gangguan neuromuskular, kehilangan kontrol tonus otot
fasial atau oral
3. Hambatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kelemahan otot – otot
volunter
3.3 Intervensi
No Diagnosa NOC NIC
1 Ketidakefektifan Respiratory status : Manajemen jalan nafas :
pola nafas ventilation memfasilitasi kepatenan
Respiratory status : jalan napas
airway patency Ventilasi mekanis :
Vital sign status menggunakan alat buatan
Kriteria Hasil : untuk membantu pasien
Mendemonstrasikan bernapas
batuk efektif dan Pemantauan pernapasan :
suara nafas yang mengumpulkan dan
bersih, tidak ada menganalisis data pasien
sianosis dan dyspeu untuk memastikan kepatenan
Menunjukkan jalan jalan nafas dan pertukaran
nafas yang paten gas yang adekuat
Tanda tanda vital Bantuan ventilasi :
dalam rentang meningkatkan pola
normal pernapasan spontan yang
optimal sehingga
memaksimalkan pertukaran
oksigen dan karbondioksida
di dalam paru
Pemantauan tanda vital :
mengumpulkan dan
menganalisis data
kardiovaskuler,pernapasan,
dan suhu tubuh pasien untuk
menentukan dan mencegah
komplikasi
2 Hambatan Anxiety self control Mendengar aktif : hadir
komunikasi Coping secara dekat dengan dan
verbal Sensory funtion : terikat secara bermakna
hearing & vision dengan pasien verbal dan
Fear self control nonverbal pasien
Kriteria Hasil : Penurunan ansietas :
Komunikasi meminimalkan rasa khawati,
ekspresif takut, prasangka, atau
Effendi, Christantie, Niluh Gede Yasmin Asih. Keperawatan Medikal Bedak Klien
Dengan Gangguan Sistem Respirasi. 2004. EGC : Jakarta
Egram, Barbara. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah Vol. 1. EGC
: Jakarta
Mubarak, Iqbal Wahid, Nurul Chayati. 2008. Buku Ajar Kebutuhan Dasar Manusia.
EGC : Jakarta