You are on page 1of 29

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Miastenia gravis adalah kelemahan otot yang cukup berat di dalam terjadi
kelelahan otot-otot secara cepat dengan lamatnya pemulihan (dapat memakan
waktu 10 hingga 20 kali lebih lama dari normal). Miastenia gravis
mempengaruhi sekitar 400 per 1 jua orang. Kelemahan otot yang parah
menyebabkan oleh penyakit tersebut membawa sejumlah komplikasi lain,
termasuk kasulitan bernapas, kesulitan mengunyah dan menelan, bicara cadel,
kelopak mata murung dan kabur atau penglihatan ganda.
Miatenia gravis dapat mempengaruhi orang-orang dari segala umur. Namun
lebih sering terjadi pada parah wanita, yaitu wanita berusia antara 20 dan 40
tahun. Pada laki-laki dari 60 tahun. Dan jarang terjadi selama masa kanak-
kanak.
Siapapun bisa mewarisi kecenderungan terhadap kelainan autoimun ini.
Sekitar 65% orang yang mengalami miastenia gravis pembesaran kelenjar
hymus. Dan sekitar 10% memiliki tumor pada kelenjar tymus (thymoma).
Sekitar setengah rhymoma adalah kanker (malignant). Beberapa orang dengan
gangguan tersebut tidak memiliki antibodi untuk reseptor acetylcholine tetapi
memiliki antibodi terhadap enzim yang berhubungan dengan pembentukan
persimpangan neuromuskular sebagai pengganti. Orang ini bisa memerlukan
pengobatan berbeda.
Pada 40% orang dengan miastenia gravis, otot mata terlebih dahulu terkena,
tetapi85% segera mengalami masalah ini. Pada 15% orang, hanya otot-otot
mata ang terkena, tetapi pada kebanyakan orang, kemudian seluruh tubuh
terkena, kesulitan berbicara, menelan dan kelemahan pada lengan dan kaki
sering tejadi. Pegangan tangan bisa berubah-ubah antara lemah dan normal.
Otot leher bisa menjadi lemah. Sensasi tidak terpengaruh.
Ketika orang dengan miastenia gravis menggunakan otot secara berulang-
ulang, otot tersebut biasanya menjadi lemah. Misalnya, orang yang dahulu bisa
menggunakan palu dengan baik menjadi lemah setelah beberapa menit.
Meskipun begitu, kelemahan otot bervariasi dalam intensitas dari jam ke jam
dan dari hari ke hari, dan rangkaian penyakit tersebut bervariasi secara luas.
Sekitar 15% orang mengalami peristiwa berat (disebut miastenia crisis),
kadangkala dipicu oleh infeksi.

1.2 Tujuan

1.2.1 Tujuan Umum


Untuk memahami tentang 5 Asuhan Keperawan
1.2.2 Tujuan Khusus
 Untuk mengetahui definisi Miastenia Gravis.
 Untuk mengetahui anatomi fisiologi Miastenia Gravis.
 Untuk mengetahui klasifikasi Miastenia Gravis.
 Untuk mengetahui etiologi dari Miastenia Gravis.
 Untuk mengetahui manifestasi klinis Miastenia Gravis.
 Untuk mengetahui patofisiologi Miastenia Gravis.
 Untuk mengetahui patway Miastenia Gravis.
 Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang Miastenia Gravis.
 Untuk mengetahui komplikasi Miastenia Gravis.
 Untuk mengetahui penatalaksanaan Miastenia Gravis.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep penyakit


2.1.1 Definisi
Miastenia gravis merupakan bagian dari penyakit neuromuskular.Miastenia
gravis adalah gangguang yang memengaruhi transmisineuromuskular pada
otot tubuh yang kerjanya di bawah kesadaran seseorang(volunter). Miastenia
gravis merupakan kelemahan otot yang parah dan satu-satunya penyakit
neuromuskular dengan gabungan antara cepatnya terjadikelelahan otot-otot
volunter dan lambatnya pemulihan (dapat memakan waktu10-20 kali lebih
lama dari normal). (Srice dan Wilson, 1995).
Myastenia gravis merupakan gangguan yang mempengaruhi trasmisi
neuromuskuler pada otot tubuh yang kerjanya dibawah kesadaran seseorang
(volunteer) . Karakteristik yang muncul berupa kelemahan yang berlebihan dan
umumnya terjadi kelelahan pada otot-otot volunter dan hal itu dipengaruhi oleh
fungsi saraf cranial (Brunner and Suddarth 2002)
Karakteristik yang muncul berupa kelemahan yang berlebihan umumnya
terjadi kelelahan pada otot-otot volunter yang dipengaruhi oleh fungsi saraf
kranial. Serangan dapat terjadi pada beberapa usia, ini terlihat paling sering
pada wanita antara 15-35 tahun dan pada pria 40 tahun.

2.1.2 Anatomi Fisiologi


Tiap-tiap serat saraf secara normal bercabang beberapa kali dan merangsang
tiga hingga beberapa ratus serat otot rangka motor end-plate. Ujung-ujung saraf
membuat suatu sambungan yang disebut neuromuscular junction atau
sambungan neuromuskular.
Membran presinaptik (membran saraf), membran post sinaptik (membran
otot), dan celah sinaps merupakan bagian-bagian pembentuk neuromuscular
junction. Bagian terminal dari saraf motorik melebar pada bagian akhirnya
yang disebut terminal bulb, yang terbentang diantara celah-celah yang terdapat
di sepanjang serat saraf. Terminal Bulb ini memiliki membran yang disebut
juga membran pre-synaptic, struktu ini bersama dengan membran post-
synpatic (pada sel otot) dan celah synaptic (celah antara 2 membran)
membentuk Neuro Muscular Junction.
Membran Pre-Synaptic mengandung asetilkolin (ACh) yang disimpan
dalam bentuk vesikel-vesikel. Jika terjadi potensial aksi, maka Ca+ Voltage
Gated Channel akan teraktivasi. Terbukanya channel ini akan mengakibatkan
terjadinya influx Calcium. Influx ini akan mengaktifkan vesikel-vesikel
tersebut untuk bergerak ke tepi membran. Vesikel ini akan mengalami docking
pada tepi membran. Karena proses docking ini, maka asetilkolin yang
terkandung di dalam vesikel tersebut akan dilepaskan ke dalam celah synaptic.
ACh yang dilepaskan tadi, akan berikatan dengan reseptor asetilkolin (AChR)
yang terdapat pada membran post-synaptic. AChR ini terdapat pada lekukan-
lekukan pada membran post-synaptic. AChR terdiri dari 5 subunit protein,
yaitu 2 alpha, dan masing-masing satu beta, gamma, dan delta. Subunit-subunit
ini tersusun membentuk lingkaran yang siap untuk mengikat ACh.
Ikatan antara ACh dan AChR akan mengakibatkan terbukanya gerbang
Natrium pada sel otot, yang segera setelahnya akan mengakibatkan influx Na+.
Influx Na+ ini akan mengakibatkan terjadinya depolarisasi pada membran
post-synaptic. Jika depolarisasi ini mencapai nilai ambang tertentu (firing
level), maka akan terjadi potensial aksi pada sel otot tersebut. Potensial aksi ini
akan dipropagasikan (dirambatkan) ke segala arah sesuai dengan karakteristik
sel eksitabel, dan akhirnya akan mengakibatkan kontraksi.
ACh yang masih tertempel pada AChR kemudian akan dihidrolisis oleh
enzim Asetilkolinesterase (AChE) yang terdapat dalam jumlah yang cukup
banyak pada celah synaptic. ACh akan dipecah menjadi Kolin dan Asam
Laktat. Kolin kemudian akan kembali masuk ke dalam membran pre-synaptic
untuk membentuk ACh lagi. Proses hidrolisis ini dilakukan untuk dapat
mencegah terjadinya potensial aksi terus menerus yang akan mengakibatkan
kontraksi terus menerus.

2.1.3 Klasifikasi

Klasifikasi Klinis
Kelompok I miastenia ocular Hanya menyerang otot-otot ocular,
disertasi ptosis dan diplopia sangat singan,
tak ada kasus kematian.
Kelompok miastenia umum
Miastenia umum ringan  awitan (onset) lambat, biasanya pada
mata, lambat laun menyebar ke otot-otot
rangka dan bulbar
 sistem pernafasan tak terkena. Respon
terhadap terapi obat baik.
 angka kematian rendah
Miastenia umum sedang  awitan bertahap dan sering disertai
gejala-gejala ocular, lalu berlanjut
semakin berat dengan terserangnya
seluruh otot-otot rangka dan bulbar.
 disertai, distagia, dan sukar mengunyah
lebih nyata dibandingkan dengan
miastania gravis umum ringan. Otot-otot
pernafasan tak terkena.
 respon terhadap terapi obat kurang
memuaskan dan aktifitas klien terbatas,
tetapi angka kematian rendah.
Miastenia umum berat 1. Fulminan akut:
 Awitan yang cepat dengan kelemahan
otot-otot rangka dan bulbar dan mulai
terserangnya otot-otot pernafasan.
 Biasanya penyakit berkembang
maksimal dalam waktu 6 bulan.
 Respon terhadap obat buruk.
 Inside krisis miastenik, kolinergik,
maupun krisis gabungan keduanya
tinggi.
 Tingkat kematian tinggi.
1. Lanjut
 Miastenia gravis berat timbul paling
sedikit 2 tahun setelah awitan gejala-
gejala kelompok I dan II
 Miastenia gravis dapat berkembang
secara perlahan atau tiba-tiba.
 Respons terhadap obat dan prognosis
buruk.

2.1.4 Etiologi
Penyebab miastenia gravis masih belum diketahui secara pasti, diduga
kemungkinan terjadi karena gangguan atau destruksi reseptor asetilkolin
(Acetyl Choline Receptor (AChR)) pada persimpangan neoromuskular akibat
reaksi autoimun. Etiologi dari penyakit ini adalah:
1. Kelainan autoimun: direct mediated antibody, kekurangan AChR, atau
kelebihan kolinesterase
2. Genetik: bayi yang dilahirkan oleh ibu MG
Faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya miastenia gravis adalah:
a. Infeksi (virus)
b. Pembedahan
c. Stress
d. Perubahan hormonal
e. Alkohol
f. Tumor mediastinum
g. Obat-obatan

2.1.5 Manifestasi Klinis


1. Ptosis dan diplopia
Pada 90% penderita, gejala awal berupa gangguan otot-otot okular yang
menimbulkan kelopak mata turun (ptosis) dan diplopia (penglihatan
ganda) ini karena otot mata lemah.
2. Kesulitan berbicara (dysarthria) & kesulitan menelan (dsyphagia)
Miastenia gravis menyerang otot-otot wajah, laring, dan faring.Pada
pemeriksaan dapat ditemukan paresis N VII bilateral atau unilateral,
kelemahan otot pengunyah, paresis palatum mol/arkus
faringeus/uvula/otot-otot farings dan lidah. Keadaan ini dapat
menyebabkan regurgitasi dan tersedak melalui hidung jika pasien
mencoba menelan, menimbulkan suara yang abnormal, atau suara nasal,
dan pasien tidak mampu menutup mulut yang dinamakan sebagai tanda
rahang yang menggantung
3. suara parau ( disfonia ) dan otot leher yang lemah yang selalu membuat
kepala cenderung jatuh jatuh kedepan atau ke belakang miastenia gravis
menyerang otot-otot leher sehingga kepala harus ditegakkan dengan
tangan. Kemudian otot-otot anggota gerak berikut otot-otot interkostal.
Atrofi otot ringan dapat ditemukan pada permulaan, tetapi selanjutnya
tidak lebih memburuk lagi.
4. Kelemahan diafragma dan otot-otot interkosal progressif menyebabkan
gawat napas.Terserangnya otot-otot pernapasan terlihat dari adanya batuk
yang lemah, dan akhirnya dapat berupa serangan dispnea dan pasien tidak
mampu lagi membersihkan lendir. gejala berat berupa melemahnya otot
pernapasan (respiratory paralysis), yang biasanya menyerang bayi yang
baru lahir
5. Kelemahan menyeluruh biasanya bermula pada batang tubuh, lengan,
tungkai dalam satu tahun pertama onset
6. Otot lengan biasanya yang paling parah. Kelemahan otot cenderung
memburuk setiap harinya, terutama setelah aktivitas

Gejala-gejala ringan biasanya akan membaik setelah beristirahat, dengan


memberikan obat antikolinesterase. tetapi bisa muncul kembali bila otot
kembali beraktifitas Penyakit miastenia gravis ini bisa disembuhkan tergantung
kerusakan sistem saraf yang dialami.

2.1.6 Patofisiologi
Dasar ketidak normalan pada mestenia grafis adalah adanya kerusakan
pada transmisi impuls saraf menuju sel-sel otak karena kehilangan
kemampuanatau hilangnya reseptor normal membran postsinaps pada
sambungan neuro muscular.
Otot kerangka atau otot lurik di persarafi oleh saraf besar bermielin yang
berasal dari sel kornum anterior medula spinalis dan batang otak. Saraf-saraf
ini mengirimkan aksonnya dalam bentuk saraf-saraf spinal dan kranial menuju
ke perifer. Masing-masing saraf memiliki banyak sekali cabang dan mampu
merangsan sekitar 2.000 serabut otot rangka. Gabungan antara saraf motorik
dan serabut-serabut otot yang di persarafi disebut unit motorik. Meskipun
setiap neuron motorik mempersarafi banyak serbut otot, tetapi setiap serabut
otot di persarafi oleh hanya satu neuron motorik(price dan wilson, 1995).
Daerah khusus yang merupakan tempat pertemuan antara saraf motorik dan
serabut otot disebut sinaps neuromuskular dan hubungan neuromuskular.
Hubungan neuromuskukar merupakan suatu sinap kimia antara saraf dan otot
yang terdiri atas tiga komponen dasar, yaitu unsur prasinaps, elemen
postsinaps, dan celah sinaps yang mempunyai lebar sekitar 200 A. Unsur
prasinaps terdiri atas akson terminal dengan vesikel sinaps yang berisi
asetilkolin yang merupakan neurotransmiter.
Asetilkolin disintesis dan disimpan dalam akson terminal. Membran
plasma akson terminal diebut membran prasinaps. Unsur prosinaps terdiri dari
membran membran post sinaps ( post – functional membrane ) atu lempeng
akhir motorik serabut otot.
Membran post sinaps dibentuk oleh invaginasi selaput otot atau sarkolema
yang dinamakan alur atau palung sinaps tempat akson terminal menonjol
masuk ke dalamnya. Bagian ini mempunyai banyak lipatan ( celah- celah
subneular ) yang sangat menambah luas permukaan. Membran post sinaps
memiliki reseptor reseptor asetilkolin dan sanggup menghasilkan potensial
lempeng akhir yang selanjutny dapat mencetuskan potensial aksi otot. pada
membran post sinaps juga terdapat suatu enzim yang dapat menghancurkan
asetilkolin yaitu asetilkolinerase. Celah sinaps adalah ruang yang terdapat
antara membran pra sinaps dan post sinaps. Ruang tersebut terisi macam zat
gelatin dan melalui gelatin ini cairan ekstrasel dapat berdifusi.
Bila impuls saraf mencapai hubungan neuromuskular maka mebran akson
terminal prasinaps mengalami depolaisasi sehingga asetilkolin akan dilepaskan
dalam celah sinaps. Asetilkolin berdifusi melalui celah sinaps dan bergabung
dengan reseptor asetilkolin pada membran postsinaps. Penggabungan ini
menimbulkan perubahan permeabilitas terhadap natrium maupun kalium pada
membran postsinaps.
Infulks ion natrium dan pengeluaran ion kalium secara tiba-tiba
menyebabkan depolarisasi lempeng akhir dikenal sebagai potensial lempeg
akhir (EPP). Jika EPP ini mencapai ambang akan terbentuk potensial aksi
dalam membran otot yang tidak berhubungan dengan sarf, yang akan
disalurkan sepanjang sarkolema. Potensial aksi ini memicu serangkaian reaksi
yang melibatkan kontraksi serabut otot. Setelah transmisi melewati hubungan
neuromuskular terjadi, asetilkolin akan dihancurkan oleh enzim
asetilkolinesterase.
Pada orang normal jumlah asetilkolin yang dilepaskan sudah lebih dari
cukup untuk menghasilkan potensial aksi. Pada miastenia gravis, konduksi
neuromuskular terganggu. Jumlah resiptor asekotilkolin berkurang, mungkin
akibat cidera autoimun. Antibodi terhadap protein reseptor asetilkolin banyak
ditemukan dalam serum penderita miestenia gravis. Akibat dari kerusakan
reseptor primer atau sekunder oleh suatu agen primer yang belum di kenal
merupakan faktor yang penting nilainya dalam penentuan patogenesis yang
tepat dari miastenia gravis.
Pada klien miastenia gravis, secara makroskopis otot-ototnya tampak
normal. Jika ada atrofi, maka itu disebabkan karena otot tidak di pakai.secara
mikroskopis beberapa kasus dapat ditemukan infiltrasi limfosit dalam otot
rangka tidak dapat ditemukan kelainan yang konsisten(price dan Wilson 1995).
Pada orang normal, bila ada impuls saraf mencapai hubungan neuromuskular,
maka membran akson terminal presinaps mengalami depolarisasi sehingga
asetilkolin akan dilepaskan dalam celah sinaps. Asetilkolin berdifusi melalui
celah sinaps dan bergabung dengan reseptor asetilkolin pada membran
postsinaps. Penggabungan ini menimbulkan perubahan permeabilitas terhadap
natrium dan kalium secara tiba-tiba menyebabkan depolarisasi lempeng akhir
dikenal sebagai potensial lempeng akhir (EPP). Jika EPP ini mencapai ambang
akan terbentuk potensial aksi dalam membran otot yang tidak berhubungan
dengan saraf, yang akan disalurkan sepanjang sarkolema. Potensial aksi ini
memicu serangkaian reaksi yang mengakibatkan kontraksi serabut otot.
Sesudah transmisi melewati hubungan neuromuscular terjadi, astilkolin akan
dihancurkan oleh enzim asetilkolinesterase
Pada miastenia gravis, konduksi neuromuskular terganggu. Abnormalitas
dalam penyakit miastenia gravis terjadi pada endplate motorik dan bukan pada
membran presinaps. Membran postsinaptiknya rusak akibat reaksi imunologi.
Karena kerusakan itu maka jarak antara membran presinaps dan postsinaps
menjadi besar sehingga lebih banyak asetilkolin dalam perjalanannya ke arah
motor endplate dapat dipecahkan oleh kolinesterase. Selain itu jumlah
asetilkolin yang dapat ditampung oleh lipatan-lipatan membran postsinaps
motor end plate menjadi lebih kecil. Karena dua faktor tersebut maka kontraksi
otot tidak dapat berlangsung lama.
Kelainan kelenjar timus terjadi pada miastenia gravis. Meskipun secara
radiologis kelainan belum jelas terlihat karena terlalu kecil, tetapi secara
histologik kelenjar timus pada kebanyakan pasien menunjukkan adanya
kelainan. Wanita muda cenderung menderita hiperplasia timus, sedangkan pria
yang lebih tua dengan neoplasma timus. Elektromiografi menunjukkan
penurunan amplitudo potensial unit motorik apabila otot dipergunakan terus-
menerus.
2.1.7 Patoflow

Gangguan autoimun yang merusak reseptor asetikolin

Jumlah reseptor asetilkolin berkuang pada membrane postsinaps

Keusakan pada transmisi impuls saraf menuju sel-sel otot karena kehilangan
kemampuan atau hilangnya resepor normal membrane postsinaps pada
sambungan neuromuskular

Penurunan hubungan neuromuscular

Kelemahan otot

Otot-otot okular Otot wajah, Otot volunter Otot Pernapasan


laring, faring

Kelemahan Ketidakmampuan
Gangguan Otot
Regurgitas Otot-Otot batuk efektif
Levator Palpebra
Makanan Ke Rangka Kelemahan otot-
Hidung Pada Saat otot pernapasan
Ptosis & Diplopia Menelan Suara
Abnormal Hambatan
Ketidakmampuan mobilitas Ketidakefektifan
Gangguan Citra Menutup Rahang fisik pola nafas
Tubuh

Gangguan
Komunikasi
verbal
2.1.8 Pemeriksaan Penunjang
1. Tes darah dikerjakan untuk menentukan kadar antibody tertentu didalam
serum(mis, AChR-binding antibodies, AChR-modulating antibodies,
antistriational antibodies). Tingginya kadar dari antibody dibawah ini dapat
mengindikasikan adanya MG.
2. Pemeriksaan Neurologis melibatkan pemeriksaan otot dan reflex. MG
dapat menyebabkan pergerakan mata abnormal, ketidakmampuanuntuk
menggerakkan mata secara normal, dan kelopak mata turun. Untuk
memeriksa kekuatan otot lengan dan tungkai, pasien diminta untuk
mempertahankan posisint melawan resistansi selama beberapa periode.
Kelemahan yang terjadi pada pemeriksaan ini disebut fatigabilitas.
3. Foto thorax X-Ray dan CT-Scan dapat dilakukan untuk mendeteksi adanya
pembesaran thymoma, yang umum terjadi pada MG
4. Pemeriksaan Tensilon sering digunakan untuk mendiagnosis MG. Enzim
acetylcholinesterase memecah acetylcholine setelah otot distimulasi,
mencegah terjadinya perpanjangan respon otot terhadap suatu rangsangan
saraf tunggal. Edrophonium Chloride merupakan obat yang memblokir aksi
dari enzim acetylcholinesterase.
5. Electromyography (EMG) menggunakan elektroda untuk merangsang otot
dan mengevaluasi fungsi otot. Kontraksi otot yang semakin melemah
menandakan adanya MG.

2.1.9 Komplikasi
1. Miatenia crisis atau cholinergic crisis akibat terapi yang tidak diawasi.
2. Pneumonia
3. Bollous Death

Faktor-faktor yang dapat memicu komplikasi pada pasien termasuk riwayat


penyakit sebelumnya (misalnya, infeksi virus pada pernapasan), pasca
operasi, pemakaiaan kortikosteroid yang secara cepat, aktivitas berlebih
(terutama pada cuaca yang panas) dan stress emosional (Widagdo, 2009).
2.1.10 Penatalaksanaan
Myasthenia gravis tidak dapat disembuhkan. Tetapi sejumlah
penanganan bisa dilakukan untuk mengendalikan gejala-gejalanya, terutama
mengurangi kelemahan otot.
Penanganan myasthenia gravis untuk tiap penderita berbeda-beda.
Penentuan jenisnya tergantung pada usia pasien, tingkat keparahan kondisi,
lokasi otot yang diserang, serta penyakit-penyakit lain yang diidap pasien.
Bagi pengidap myasthenia gravis ringan, gejala-gejalanya dapat
dikurangi dengan banyak istirahat. Sebagian pengidap ada yang mengalami
masa perbaikan sementara maupun permanen sehingga tidak mengalami
gejala-gejala lagi dan bisa berhenti menjalani pengobatan.
Langkah penanganan myasthenia gravis memiliki tiga kategori, yaitu melalui
obat-obatan, terapi, dan operasi.
1. Terdapat beberapa obat yang bisa digunakan untuk meningkatkan
kekuatan otot. Jenis-jenis obat tersebut meliputi:
 Penghambat kolinesterase, seperti pyridostigmine dan neostigmine.
Obat ini berfungsi memperbaiki komunikasi antara saraf dan otot.
Hasilnya, kontraksi dan kekuatan otot menjadi lebih baik.
 Imunosupresan. Obat ini akan menekan kinerja sistem kekebalan
tubuh sehingga mengendalikan produksi antibodi yang abnormal.
Contohnya adalah azathioprine, methotrexate, atau mycophenolate.
 Kortikosteroid, misalnya prednison, digunakan untuk menekan
kekebalan tubuh dalam memproduksi antibodi.

Pemberian penghambat kolinesterase umumnya dilakukan sebagai


langkah penanganan awal untuk menangani myasthenia gravis dengan
gejala-gejala yang ringan hingga menengah. Sedangkan kortikosteroid
dan imunosupresan digunakan ketika gejala-gejala tetap bertambah
parah.

Pengobatan myasthenia gravis juga cenderung lebih efektif jika


dilakukan dengan kombinasi kortikosteroid dan imunosupresan.
Kebutuhan kortikosteroid umumnya bisa dikurangi jika dokter
menambahkan imunosupresan.

Tiap obat tentu memiliki efek samping. Sama halnya dengan obat-
obatan myasthenia gravis. Penghambat kolinesterase dan
imunosupresan dapat memicu efek samping seperti diare, kram perut,
mual, dan otot berkedut. Sementara efek samping yang berpotensi
muncul akibat penggunaan kortikosteroid jangka panjang meliputi
diabetes, osteoporosis, serta kenaikan berat badan.

2. Pengidap myasthenia gravis yang parah berisiko mengalami komplikasi


yang dapat mengancam jiwa. Karena itu, ada dua langkah terapi yang
dibutuhkan untuk menangani pelemahan otot dengan tingkat keparahan
tinggi ini. Jenis-jenis terapi tersebut meliputi:
 Plasmaferesis. Dalam prosedur yang mirip dengan dialisis ini, darah
Anda dialirkan ke dalam mesin yang akan menyingkirkan antibodi
penghalang sinyal dari saraf ke otot.
 Terapi imunoglobulin. Proses ini dilakukan melalui infus untuk
memasukkan antibodi normal dari darah pendonor sehingga kinerja
sistem kekebalan tubuh penderita berubah.

Meski sangat efektif, kedua terapi ini tidak disarankan untuk


menangani myasthenia gravis dalam jangka panjang. Manfaat jenis
pengobatan ini pada umumnya hanya bertahan untuk jangka pendek,
yaitu hingga beberapa minggu.

3. Myasthenia gravis juga terkadang membutuhkan penanganan dengan


timektomi, yaitu operasi pengangkatan kelenjar timus. Diperkirakan
sekitar 30 persen pengidap yang menjalani prosedur timektomi akan
mengalami masa remisi yang permanen.
Operasi ini dilakukan untuk penderita myasthenia gravis yang
memiliki tumor dalam kelenjar timus maupun yang tidak. Meski
demikian, timektomi umumnya hanya dianjurkan bagi penderita berusia
di bawah 60 tahun.
Timektomi dapat mengurangi tingkat keparahan gejala pada
penderita myasthenia gravis yang tidak memiliki tumor timus. Tetapi
keefektifannya membutuhkan waktu yang cukup lama, yaitu sekitar satu
hingga tiga tahun.

1.2 Konsep asuhan keperawatan


1.2.1 Pengkajian
Tahap pengkajian dari proses keperawatan merupakan proses dinamis yang
terorganisasi dan meliputi tiga aktifitas dasar yaitu : pertama, mengumpulkan
data secara sistematis; kedua, memilah dan mengatur data yang dikumpulkan;
dan ketiga, mendokumentasikan data dalam format yang dapat dibuka kembali.
Pengumpulan dan pengorganisasian data harus menggambarkan dua hal
sebagai berikut: pertama, status kesehatan pasien; kedua, kekuatan pasien dan
masalah yang dialami (aktual, resiko, atau potensial).
Data dapat diperoleh dari riwayat keperawatan, keluhan utama pasien,
pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang atau test diagnostis.
Pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan dari kepala sampai ke kaki (head to
toe) melalui teknik inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi. Pemeriksaan
penunjang misalnya hasil pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan radiologi,
dan pemeriksaan biopsi.
Dalam melakukan pengkajian diperlukan keahlian (skill) seperti
wawancara, pemeriksaan fisik, dan observasi. Hasil pengumpulan data
kemudian diklasifikasikan dalam data subjektif dan objektif. Data subjektif
merupakan ungkapan atau persepsi yang dikemukakan oleh pasien. Data
objektif merupakan data yang didapat dari hasil observasi, pengukuran, dan
pemeriksaan fisik. Ada beberapa cara pengelompokan data yaitu sebagai
berikut :
• Berdasarkan sistem tubuh.
• Berdasarkan kebutuhan dasar.
• Berdasarkan teori keperawatan.
• Berdasarkan pola kesehatan fungsional.
Pengelompokan data berdasarkan teori keperawatan sangat membantu
dalam proses identifikasi diagnosa keperawatan. Sedangkan pengelompokan
data berdasarkan sistem tubuh juga sangat berguna untuk memberikan
masukan kepada dokter.

1.2.2 Diagnosa
Diagnosa keperawatan adalah pernyataan yang jelas mengenai status
kesehatan atau masalah aktual atau resiko dalam rangka mengidentifikasi dan
menentukan intervensi keperawatan untuk mengurangi, menhilangkan atau
mencegah masalah keperawatan klien yang ada pada tanggung jawabnya.
Pada tahun 11973, NANDA telah menerbitkan daftar diagnosa
keperawatan yang pertama. Kemudian setiap dua tahun sekali dilakukan
pengembangan atau revisi. Tujuan penggunaan diagnosa adalah sebagai
berikut :
• Memberikan bahasa yang umum bagi perawat sehingga dapat terbentuk
jalinan informasi dalam persamaan persepsi.
• Meningkatkan identifikasi tujuan yang tepat sehingga pemilihan intervensi
lebiha kurat dan menjadi pedoman dalam melakukan intervensi.
• Menciptakan standar praktik keperawatan.
• Memberikan dasar peningkatan kualitas pelayanan keperawatan.
Dalam merumuskan diagnose keperawatan, ada tiga komponen yang perlu
dicantumkan, yaitu problem (P), etiologi (E), dan symptom (S). Dilihat dari
status kesehatan klien, diagnosa dapat dibedakan menjadi aktual, potensial,
resiko, dan kemungkinan.
• Aktual, diagnosa keperawatan yang menggambarkan penilaian klinik yang
harus divalidasi perawat karena adanya batasan karakteristik mayot.
• Potensial, diagnosa keperawatan yang menggambarkan kondisi klien ke
arah yang lebih positif (kekuatan pasien).
• Resiko, diagnosa keperawatan yang menggambarkan kondisi klinis
individu lebih rentan mengalami masalah.
• Kemungkinan, diagnosa keperawatan yang menggambarkan kondisi klinis
individu yang memerlukan data tambahan sebagai faktor pendukung yang
lebih akurat.

1.2.3 Intervensi
Pada tahap perencanaan ada 4 hal yang harus diperhatikan.

 Menentukan prioritas masalah. Berbagai cara dalam menentukan masalah


diantaranya sebagai berikut
 Berdasarkan Hierarki Maslow, yaitu fisiologis, keamanan/keselamatan,
mencintai dan memiliki, harga diri, dan aktualisasi diri.
 Berdasarkan Driffith-Kenney Christensen dengan urutan: ancaman
kehidupan dan kesehatan, sumber daya dan dana yang tersedia, peran serta
klien, prinsip ilmiah dan praktik keperawatan.
 Menentukan tujuan
Dalam menentukan tujuan, digambarkan kondisi yang diharapkan disertai
jangka waktu.
 Menentukan kriteria hasil
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam menentukan kriteria hasil
adalah bersifat spesifik, realistik, dapat diukur, mempertimbangkan
keadaan dan keinginan pasien.
 Merumuskan intervensi dan aktivitas perawatan
Salah satu rumusan intervensi yang sedang dikembangkan adalah
penggunaan Nurssing Interventions Classification (NIC) dan Nursing
Outcome Classification (NOC). Intervensi keperawatan dalam NIC
dikelompokan dalam taksonomi yang meliputi tiga level, yaitu: level 1
tentang dominan, level 2 tentang kelas, dan level 3 tentang aktivitas
tindakan keperawatan.
1.2.4 Implementasi
Implementasi merupakan tindakan yang sudah direncanakan dalam
rencana perawatan. Tindakan perawatan mencakup tindakan mandiri
(independen) dan tindakan kolaborasi. Tindakan mandiri (independen) adalah
aktivitas perawat yang didasarkan pada kesimpulan atau keputusan dan bukan
merupakan petunjuk atau perintah dari petugas kesehatan lain. Tindakan
kolaborasi adalah tindakan yang didasarkan hasil keputusan bersama, seperti
dokter dan petugas kesehatan lain.
Agar lebih jelas dan akurat dalam melakukan implementasi, diperlukan
perencanaan keperawatan yang spesifik dan operasional. Bentuk implementasi
keperawatan adalah sebagai berikut.
 Bentuk perawatan; pengkajian utnuk mengidentifikasi masalah baru atau
mempertahankan maslah yang ada.
 Pengajaran/pendidikan kesehatan pada pasien untuk membantu
menambah pengetahuan tentang kesehatan.
 Konseling pasien untuk memutuskan kesehatan pasien.
 Konsultasi atau berdiskusi dengan tenaga kesehatan profesional lainnya
sebagai bentuk perawatan holistik.
 Konsultasi pelaksanaan secara spesifik atau tindakan untuk memecahkan
masalah kesehatan.
 Membantu pasien dalam melakukan aktivitas sendiri.

1.2.5 Evaluasi
Evaluasi perkembangan kesehatan pasien dapat dilihat dari hasilnya.
Tujuannya adalah untuk mengetahui sejau mana tujuan perawatan dapat
dicapai dan memberikan umpan balik terhadap asuhan keperaawatan yang
diberikan. Langkah-langkah evaluasi adalah sebagai beikut.
• Daftar tujuan-tujuan pasien.
• Lakukan pengkajian apakah pasien dapat melakukan sesuatu.
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian

1. Identitas klien meliputi, Nama, umur, pekerjaan, agama, alamat,


pendidikan terakhir, No. Register dan diagnosa medis.
2. Identitas penanggung jawab meliputi; Nama, umur, pekerjaan, agama,
alamat dan hubungan dengan klien.
3. Riwayat penyakit.
 Keluhan utama: Biasanya klien mengalami fraktur terbuka atau
tertutup akan mengeluh rasa nyeri atau sakit terlebih saat digerakkan.
 Riwayat penyakit sekarang; biasanya klien mengalami suatu trauma
seperti kecelakaan lalu lintas, jatuh terpukul dan sebagainya di
samping itu perlu ditanyakan beberapa lama sudah terjadi.
 Riwayat penyakit dahulu; ditanya penyakit penyerta dan kondisi yang
memberatkan seperti: DM, jantung, hipertensi, kerapuhan tulang dan
sebagainya.
 Riwayat penyakit keluarga: hal ini tidak terlalu berhubungan dengan
keadaan klien yang, mengalami fraktur
4. Pemeriksaan fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata)
untuk mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis).
Hal ini perlu untuk dapat melaksanakan total care karena ada
kecenderungan dimana spesialisasi hanya memperlihatkan daerah yang le
 Gambaran Umum
a. Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda,
seperti:
(1) Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah,
komposmentis tergantung pada keadaan klien.
(2) Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat
dan pada kasus fraktur biasanya akut.
(3) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi
maupun bentuk. bih sempit tetapi lebih mendalam.
b. Secara sistemik dari kepala sampai kelamin
1) Sistem Integumen
Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat,
bengkak, oedema, nyeri tekan.
2) Kepala
Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada
penonjolan, tidak ada nyeri kepala.
3) Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek
menelan ada.
4) Muka
Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan
fungsi maupun bentuk. Tak ada lesi, simetris, tak oedema.
5) Mata
Terdapat gangguan seperti konjungtiva anemis (jika terjadi
perdarahan)
6) Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada
lesi atau nyeri tekan.
7) Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.
8) Mulut dan Faring
Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan,
mukosa mulut tidak pucat.
9) Thoraks
Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.
10) Paru
 Inspeksi
Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung pada
riwayat penyakit klien yang berhubungan dengan paru.
 Palpasi
Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
 Perkusi
Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan
lainnya.
 Auskultasi
Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan
lainnya seperti stridor dan ronchi.
11) Jantung
 Inspeksi
Tidak tampak iktus jantung.
 Palpasi
Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
 Auskultasi
Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.
12) Abdomen
 Inspeksi
Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
 Palpasi
Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba.
 Perkusi
Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
 Auskultasi
Peristaltik usus normal ± 20 kali/menit.
13) Inguinal-Genetalia-Anus
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan
BAB.
 Keadaan Lokal
Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal
terutama mengenai status neurovaskuler (untuk status neurovaskuler
5 P yaitu Pain, Palor, Parestesia, Pulse, Pergerakan). Pemeriksaan
pada sistem muskuloskeletal adalah:
a) Look (inspeksi)
Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain:
 Cicatriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan seperti
bekas operasi).
 Cape au lait spot (birth mark).
 Fistulae.
 Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau hyperpigmentasi.
 Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang
tidak biasa (abnormal).
 Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)
 Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)
b) Feel (palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita
diperbaiki mulai dari posisi netral (posisi anatomi). Pada dasarnya
ini merupakan pemeriksaan yang memberikan informasi dua
arah, baik pemeriksa maupun klien. Yang perlu dicatat adalah:
 Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban
kulit. Capillary refill time à Normal > 3 detik
 Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau
oedema terutama disekitar persendian.
 Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3
proksimal, tengah, atau distal).
Otot: tonus pada waktu relaksasi atau konttraksi, benjolan yang
terdapat di permukaan atau melekat pada tulang. Selain itu juga
diperiksa status neurovaskuler. Apabila ada benjolan, maka sifat
benjolan perlu dideskripsikan permukaannya, konsistensinya,
pergerakan terhadap dasar atau permukaannya, nyeri atau tidak,
dan ukurannya.

c) Move (pergerakan terutama lingkup gerak)


Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan
dengan menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat
keluhan nyeri pada pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini
perlu, agar dapat mengevaluasi keadaan sebelum dan sesudahnya.
Gerakan sendi dicatat dengan ukuran derajat, dari tiap arah
pergerakan mulai dari titik 0 (posisi netral) atau dalam ukuran
metrik. Pemeriksaan ini menentukan apakah ada gangguan gerak
(mobilitas) atau tidak. Pergerakan yang dilihat adalah gerakan
aktif dan pasif.
5. Pemeriksaan diagnostik
 Pemeriksaan Radiologi
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah
“pencitraan” menggunakan sinar rontgen (x-ray). Untuk mendapatkan
gambaran 3 dimensi keadaan dan kedudukan tulang yang sulit, maka
diperlukan 2 proyeksi yaitu AP atau PA dan lateral. Dalam keadaan
tertentu diperlukan proyeksi tambahan (khusus) ada indikasi untuk
memperlihatkan pathologi yang dicari karena adanya superposisi.
Perlu disadari bahwa permintaan x-ray harus atas dasar indikasi
kegunaan pemeriksaan penunjang dan hasilnya dibaca sesuai dengan
permintaan. Hal yang harus dibaca pada x-ray:
1) Bayangan jaringan lunak.
2) Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau
biomekanik atau juga rotasi.
3) Trobukulasi ada tidaknya rare fraction.
4) Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi.
Selain foto polos x-ray (plane x-ray) mungkin perlu tehnik khususnya
seperti:

1) Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi


struktur yang lain tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus
ini ditemukan kerusakan struktur yang kompleks dimana tidak
pada satu struktur saja tapi pada struktur lain juga
mengalaminya.
2) Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan
pembuluh darah di ruang tulang vertebrae yang mengalami
kerusakan akibat trauma.
3) Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak
karena ruda paksa.
4) Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan potongan
secara transversal dari tulang dimana didapatkan suatu struktur
tulang yang rusak.
 Pemeriksaan Laboratorium
1) Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap
penyembuhan tulang.
2) Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan
menunjukkan kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang.
3) Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase
(LDH-5), Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase yang
meningkat pada tahap penyembuhan tulang.
 Pemeriksaan lain-lain
1) Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas:
didapatkan mikroorganisme penyebab infeksi.
2) Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan
pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan bila terjadi infeksi.
3) Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang
diakibatkan fraktur.
4) Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek
karena trauma yang berlebihan.
5) Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi
pada tulang.
6) MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.

3.2 Diagnosa
1. Ketidakefektifan pola nafas yang berhubungan dengan keletihan otot
pernafasan
2. Hambatan komunikasi verbal berhubungan dengan disfonia, gangguan
pengucapan kata, gangguan neuromuskular, kehilangan kontrol tonus otot
fasial atau oral
3. Hambatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kelemahan otot – otot
volunter

3.3 Intervensi
No Diagnosa NOC NIC
1 Ketidakefektifan  Respiratory status :  Manajemen jalan nafas :
pola nafas ventilation memfasilitasi kepatenan
 Respiratory status : jalan napas
airway patency  Ventilasi mekanis :
 Vital sign status menggunakan alat buatan
Kriteria Hasil : untuk membantu pasien
 Mendemonstrasikan bernapas
batuk efektif dan  Pemantauan pernapasan :
suara nafas yang mengumpulkan dan
bersih, tidak ada menganalisis data pasien
sianosis dan dyspeu untuk memastikan kepatenan
 Menunjukkan jalan jalan nafas dan pertukaran
nafas yang paten gas yang adekuat
 Tanda tanda vital  Bantuan ventilasi :
dalam rentang meningkatkan pola
normal pernapasan spontan yang
optimal sehingga
memaksimalkan pertukaran
oksigen dan karbondioksida
di dalam paru
 Pemantauan tanda vital :
mengumpulkan dan
menganalisis data
kardiovaskuler,pernapasan,
dan suhu tubuh pasien untuk
menentukan dan mencegah
komplikasi
2 Hambatan  Anxiety self control  Mendengar aktif : hadir
komunikasi  Coping secara dekat dengan dan
verbal  Sensory funtion : terikat secara bermakna
hearing & vision dengan pasien verbal dan
 Fear self control nonverbal pasien
Kriteria Hasil :  Penurunan ansietas :
 Komunikasi meminimalkan rasa khawati,
ekspresif takut, prasangka, atau

 Komunikasi reseptif kesulitan yang berhubungan

 Mampu dengan sumber bahaya yang

memanajemen diantisipasi dan tidak jelas

kemampuan fisik  Peningkatan komunikasi,

yang dimiliki defisit pendengaran :


membantu menerima dan
 Mampu mempelajari metode
mengkomunikasikan alternatif hidup dengan
kebutuhan dengan penurunan pendengaran
lingkungan sosial  Peningkatan komunikasi,
defisit wicara : membantu
menerima dan mempelajari
metode alternatif hidup
dengan gangguan bicara
 Peningkatan
komunikasi,defisit
penglihatan : membantu
menerima dan mempelajari
metode alternatif/hidup
dengan gangguan
penglihatan
3 Hambatan  Joint movement :  Kaji faktor faktor penyebab
mobilitas fisik Active  Kaji derajata mobilitas 0-4
 Mobility level  Penggunaan medikasi 30
 Self care : ADLs menit sebelum makan
 Transfer performance  Berikan perawatan mata
Kriteria Hasil :
 Klien meningkat
dalam mobilitas fisik
 Mengerti tujuan dari
peningkatan
mobilitas
 Memperagakan
penggunaan alat
 Bantu untuk
mobilisasi
DAFTAR PUSTAKA

Doenges, E Marilyn, dkk. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. EGC : Jakarta

Effendi, Christantie, Niluh Gede Yasmin Asih. Keperawatan Medikal Bedak Klien
Dengan Gangguan Sistem Respirasi. 2004. EGC : Jakarta

Egram, Barbara. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah Vol. 1. EGC
: Jakarta

Kim, Ja Mi, dkk. 1995. Diagnosa Keperawatan. EGC : Jakarta

Mubarak, Iqbal Wahid, Nurul Chayati. 2008. Buku Ajar Kebutuhan Dasar Manusia.
EGC : Jakarta

You might also like