You are on page 1of 11

RIWAYAT PERKEMBANGAN DAN ANALISIS

II.1. Pranatal

Setelah mewawancarai ibu, saya dapat mengetahui beberapa informasi mengenai masa prenatal saya.
Proses kehamilan dicapai pada bulan pertama setelah menikah. Bapak dan ibu adalah sepasang suami-
istri yang menikah dan hidup berumah tangga di perantauan, yaitu di Bekasi, Jawa Barat. Saya
merupakan kehamilan kedua bagi ibu. Ibu tidak pernah mengalami keguguran sebelumnya dan
kehamilan kedua ini merupakan kehamilan yang tidak direncnakan oleh bapak dan ibu.

Bapak sangat berperan dalam memberikan dukungan emosi dan memberikan perhatian buat ibu. Bapak
selalu menghibur ibu setiap ibu merasa lelah karena pada masa kehamilan kedua ini ibu tetep berkerja.
Men`s efforts to express positive emotion to their wives, to pay attention to the dynamics of the
relationship, and to set aside time for activities focused on building the relationship are important to
women`s perceptions of marital quality (Wilcox & Nock, 2006 dalam Papalia dkk, 2009). Ibu paling tidak
suka minum susu karena membuat perutnya mual. Tapi semua dilakukan ibu agar nantinya bisa memiliki
bayi yang sehat. Good preconception and prenatal care can give every child the best possible chance for
entering the world in good condition to meet the challenges of life outside the womb (Papalia, 2009).
Bapak selalu menemani ibu untuk mengontrol kandungannya ke rumah sakit, menjaga nutrisi ibu dan
menemani ibu marathon tiap pagi untuk memudahkan proses persalinan nantinya. Latihan yang ringan
biasanya tidak membahayakan janin seorang wanita yang sehat (comittee on Obstetric Practice, 2002;
Reimann, 2000 dalam Papalia, 2008). Papalia (2008) juga menjelaskan “Karena lingkungan prenatal bayi
adalah tubuh ibunya, maka jelas semua yang mempengaruhi keberadaannya, mulai dari makanan
sampai perasaan, dapat memengaruhi lingkungan calon bayi dan berdampak pada pertumbuhannya.”

II.2. Natal

Saya dilahirkan pada Jum’at, 7 Mei 1999 pukul 18.10 WIB di sebuah rumah sakit di Bekasi. Saya
dilahirkan normal menggunakan vacuum dengan berat badan 3,2 kg. selama masa kehamilan Ibu
menjaga nutrisinya dengan baik dan berolah raga ringan secara teratur. Perawatan prenatal berkualitas
tinggi yang termasuk pelayanan pendidikan, sosial, dan gizi, yang dilakukan sejak awal dapat membantu
mencegah kematian bayi dan ibu serta komplikasi persalinan lainnya (Shiono & Behrman, 1995 dalam
Papalia, 2008). Latihan yang rutin memberikan kontribusi pada kehamilan yang lebih nyaman dan
persalinan yang lebih mudah (Comittee on Obstetric Practice, 2002 dalam Papalia, 2008).

Ibu adalah orang yang memiliki tingkat kecemasan yang tinggi. Namun, untung saja pada proses
persalinan, ibu ditemani bapak yang ikut membantu menenangkan ibu. Dalam Papalia (2008) dijelaskan
bahwa Dr.Grantly Dick-Read (seorang dokter dari Inggris) berpendapat bahwa rasa sakit pada saat
bersalin timbul dari rasa takut, untuk menghilangkan rasa takut tersebut, ia menyarankan persalinan
alami (natural childbirth). Persalinan alami (natural childbirth) yaitu metode persalinan yang berusaha
mengurangi rasa sakit dengan menghilangkan rasa takut sang ibu melalui pendidikan psikologis
reproduksi dan pernapasan serta relaksasi selama masa pelahiran.

Ibu mengatakan bahwa saya termasuk bayi dengan temperamen slow to warm up. Papalia (2009)
mendefinisikan slow to warm up children, yaitu: “Children whose temperament is generally mild but
who are hesitant about accepting new experiences”. Ciri-ciri dari bayi dengan temperamen slow to
warm up adalah memiliki reaksi dengan intensitas ringan, merespon perubahan dengan lambat,
menunjukkan respon awal negatif terhadap stimuli baru, dan kemudian secara gradual mengembangkan
rasa suka kepada stimuli baru setelah ditampakkan berulang kali dan tanpa paksaan.

Dengan temperamen ini, saya tumbuh menjadi seorang bayi yang “sedikit rewel”. Saya lebih memilih
untuk digendong oleh seseorang yang saya rasa bisa memberikan keamanan seperti ibu dan bapak.
Sehingga saat saya digendong oleh orang “asing”, saya akan cenderung menangis. Temperamen slow to
warm up ini yang membuat saya tumbuh menjadi seseorang yang agak sulit untuk beradaptasi. Saya
mencoba untuk melihat-lihat terlebih dahulu lingkungan baru saya, hingga akhirnya saya berani untuk
bertindak. Hal ini yang saya rasakan saat pertama kali masuk TK dan SD. Saya mencoba melihat-lihat
teman-teman yang bermain. Sampai akhirnya saya baru ikut bermain di saat teman-teman saya
mengajak saya untuk ikut bergabung.

Respon orangtua saya dalam menghadapi saya sebagai bayi yang rewel adalah lebih banyak bersabar.
Ibu mengaku bahwa saat masih bayi saya sering menangis di tengah malam. Tapi ibu menganggap ini
bukan sebagai masalah yang besar justru menjadi sesuatu yang berkesan karena di saat saya menangis
tengah malam, tidak hanya ibu yang terbangun tapi bapak juga ikut bangun dan mereka bergantian
menggendong saya sampai saya tertidur lagi..

Saya diberikan Air Susu Ibu (ASI) sampai berusia dua tahun. ASI bermanfaat bagi perkembangan saraf
(Lanting dkk, 1994 dalam Papalia, 2008) dan bermanfaat bagi perkembangan kognitif (AAP Work Group
on Breastfeeding, 1997 dalam Papalia, 2008). Oleh karena itu, ibu sangat mengusahakan agar saya bisa
mendapat ASI yang cukup. Setelah dua tahun barulah saya diberi susu formula melalui botol. Saya
minum susu formula melalui botol (dot) dalam jangka waktu yang cukup lama, yaitu sampai berusia
empat tahun. Hal ini karena saya menganggap dot tersebut sebagai benda kesayangan saya. Saya baru
berhenti menggunakan dot setelah saya masuk TK dan merasa malu untuk menggunakannya.

II.3. Infant and Toodlerhood

A. Perkembangan Fisik

Menurut ibu, pertumbuhan fisik yang saya alami di masa infant sama seperti bayi lainnya. Reflek awal
(early reflexes) yang saya alami berupa moro (menjulurkan lengan, tangan, jari, melengkungkan badan,
menarik kepala ke belakang), darwinian (membuat tinju yang kuat, menggenggam), tonic neck
(menolehkan kepala ke satu sisi, agak menengadah, membentangkan tangan dan kaki ke sisi yang
dipilih, berlawanan dengan tubuh), babkin (mulut terbuka, mata tertutup, leher mengerut, dan kepala
bergoyang ke depan), babinski (jempol terangkat, kaki ditarik), dan rooting (kepala berputar, mulut
terbuka, gerakan menghisap dimulai).

B. Perkembangan Motorik
Ibu mengatakan bahwa di masa infant dan toodlerhood, saya sudah memiliki kontrol kepala dan kontrol
tangan yang baik. Papalia (2008) menjelaskan bahwa setelah lahir, sebagian besar bayi dapat
menggerakkan kepalanya ke kiri dan ke kanan ketika ditidurkan telentang. Ketika ditidurkan tengkurap,
banyak yang dapat mengangkat kepala mereka cukup tinggi untuk dapat diputarkan (kontrol kepala).
Sebagai bayi, saya bisa melakukannya. Namun, ibu mengatakan bahwa bila saya sudah merasa letih
ditengkurapkan, biasanya saya akan mulai menangis dan pada saat itu ibu yang akan memindahkan
posisi saya dari tengkurap menjadi telentang kembali.

Selain kontrol kepala, saya juga memiliki kontrol tangan yang baik. Papalia (2008) menjelaskan bahwa
bayi dilahirkan dengan reflek menggenggam. Hal ini juga terjadi pada saya sehingga jika orang di
sekeliling saya memasukkan jari mereka ke telapak tangan saya, saya akan mencoba menggenggamnya
dengan erat. Pada tahap perkembangan selanjutnya, saya baru bisa berjalan di usia 1 tahun 3 bulan.

C. Perkembangan Kognitif

Dalam pendekatan Piaget, sepanjang tahap ini (mulai dari lahir sampai berusia 2 tahun), bayi memasuki
tahap sensorimotor, yaitu bayi belajar tentang diri mereka sendiri dan dunia mereka melalui indra
mereka yang sedang berkembang dan melalui aktivitas motor (Papalia, 2008). Pada sub tahap
sensorimotor 1 (lahir-1bulan), saya sudah mulai menggunakan refleks (mulai menghisap ketika puting
payudara ibu berada dalam mulut saya). Pada sub tahap 2 (1-4bulan) mulai melakukan reaksi sirkular
primer (mengulang perilaku menyenangkan yang pertama kali didapatkan secara tidak sengaja, seperti
menghisap ibu jari). Pada sub tahap 3 (4-8bulan) sudah mulai melakukan reaksi sirkular sekunder
(semakin tertarik pada lingkungan seperti mengguncang-guncangkan mainan yang menimbulkan bunyi).
Pada sub tahap 4 (8-12bulan) mulai terdapat koordinasi skema sekunder (menggunakan perilaku yang
telah dipelajari sebelumnya untuk mendapatkan tujuan, seperti merangkak menyeberangi ruangan
untuk mendapatkan mainan yang diinginkan). Pada sub tahap 5 (12-18bulan) meningkat menjadi reaksi
sirkular tersier (menggunakan aktivitas baru dan menggunakan pemecahan masalah trial and error,
seperti meremas mainan plastik yang berbunyi untuk melihat apakah benda tersebut akan berbunyi
kembali). Pada sub tahap terakhir, saya sudah bisa melakukan kombinasi mental (18-24 bulan) yaitu
dapat menggunakan simbol, seperti gerak tubuh dan kata.

Saya sebagai bayi awalnya tidak memiliki konsep kepermanenan objek. Kepermanenan objek
yaitu realisasi bahwa objek atau orang tersebut tetap eksis walaupun di luar pandangan mata (Papalia,
2008). Perkembangan konsep kepermanenan objek dapat ditemukan dalam permainan “ci luk
ba”(Papalia, 2008). Permainan ini memenuhi beberapa tujuan penting. Psikoanalis mengatakan bahwa
permainan tersebut membantu bayi menguasai kegelisahannya ketika ibu mereka menghilang. Psikolog
kognitif memandang permainan itu sebagai cara bayi bermain dengan ide kepermanenan objek yang
terus tumbuh (N.Bayle, Scales in Infant Development, Second Edition, 1993 dalam Papalia, 2008). Oleh
karena itu, di masa infant dan toodlerhood, permainan “ci luk ba” adalah permainan favorit saya. Bapak
dan ibu sering mempraktikkannya kepada saya karena permainan itu berhasil membuat saya tertawa.

D. Perkembangan Bahasa
Menangis adalah satu-satunya cara bayi yang baru lahir untuk berkomunikasi. Berbagai nada, pola, dan
intensitas memberikan sinyal rasa lapar, mengatur, atau marah (Lester, 1985 dalam Papalia, 2008). Ini
juga terjadi pada saya di masa infant dan toodlerhood. Saya akan menangis setiap kali saya merasa lapar
atau gerah dengan celana yang basah setelah buang air.

Vokalisasi awal yang saya alami sama dengan bayi-bayi lainnya. Antara minggu ke-6 dan bulan ke-3, saya
mulai meng-cooing ketika saya merasa bahagia (menjerit, mendeguk, dan membuat suara vokal seperti
“ahh”). Di usia 6 bulan, mulai melakukan babbling (mengoceh, mengulang rangkaian huruf konsonan
sperti “bu-bu-bu-bu”), Di bulan ke-11 memulai ekspresi percakapan verbal-linguistik yang mengandung
makna (seperti menyebutkan kata “num” untuk saya ingin minum). Kosakata akan mengalami
peningkatan ketika orang dewasa menangkap kesempatan yang tepat untuk mengajari anak kata baru
(Papalia, 2008) dan inilah yang dilakukan oleh bapak dan ibu untuk meningkatkan kemampuan verbal
saya.

E. Perkembangan Psikososial

Perkembangan emosional masa awal juga mungkin tergantung kepada pengalaman. Oleh karena itu,
bapak dan ibu berusaha untuk menjaga emosi mereka dengan baik dalam kehidupan berumah tangga.
Bayi yang memiliki ibu yang sangat tertekan menunjukkan aktivitas yang lebih sedikit pada lobus frontal
bagian kiri, yang merupakan otak yang terlibat dalam emosi positif seperti perasaan gembira, dan lebih
banyak aktivitas dalam lobus frontal kanan, yang diasosiasikan dengan emosi negatif (Dawson dkk, 1997
dalam Papalia, 2008). Para bayi yang baru lahir menunjukkan ketidaksenangan mereka dengan cara
sederhana dengan mengeluarkan tangis yang memekakkan telinga, menendang-nendangkan tangan dan
kaki, serta mengejangkan tubuh mereka (Papalia, 2008). Hal ini yang saya lakukan jika saya terlambat
diberi ASI atau jika mengalami gerah karena celana saya yang terkena pipis belum juga diganti.

Di usia (12-18bulan) saya memasuki tahap perkembangan psikososial pertama yang diidentifikasi oleh
Erikson, yaitu kepercayaan dasar versus ketidakpercayaan dasar (basic trust versus mitrust), dimana bayi
mengembangkan perasaan percaya kepada orang atau objek. Virtue dari tahap ini adalah “hope”, yaitu
keyakinan mereka bisa memenuhi apa yang mereka butuhkan dan apa yang mereka inginkan (Erikson,
1982 dalam Papalia, 2008). Apabila ketidakpercayaan yang mendominasi, maka anak akan memandang
dunia sebagai sesuatu yang tidak bersahabat dan tidak dapat diprediksi dan akan mengalami kesulitan
dalam memulai hubungan. Elemen kritis dalam membangun rasa percaya adalah pengasuhan yang
sensitif, responsif, dan konsisten (Papalia, 2008). Oleh karena itu, peranan bapak dan ibu sebagai orang
terdekat saya sangat menentukan bagaimana perkembangan saya kelak. Pengasuhan dari ibu yang
sensitif, responsif, dan konsisten membuat saya berada di posisi mendekati trust.

Menurut ibu, saya termasuk bayi dengan keterikatan yang aman (secure attachment) yaitu menangis
dan memprotes ketika ditinggalkan ibu dan menyambut dengan gembira ketika ibu kembali. Saya
menjadikan ibu sebagai dasar rasa aman (secure base), sehingga hubungan saya dan ibu biasanya
kooperatif dan terbebas dari rasa marah. Bayi yang terikat secara aman (secure attachment) telah
belajar untuk percaya bukan hanya terhadap para pengasuhnya tapi juga kepada kemampuannya
mendapatkan apa yang mereka inginkan. Bayi yang banyak menangis, dan ibunya yang merespon
dengan menenangkannya, cenderung memiliki keterikatan aman (secure attachment) (Del Carmen dkk,
1993 dalam Papalia, 2008). Hal inilah yang dilakukan ibu terhadap saya. Ibu berusaha menjadi ibu yang
peka dengan kebutuhan bayinya dan konsisten dalam penanganannya.

Keterikatan yang aman (secure attachment) yang terjadi antara saya dan ibu membuat saya
menemukan banyak hal positif dalam hidup saya. Saya tumbuh menjadi seseorang yang memiliki
kepedulian sosial, memiliki pertemanan yang intim dan stabil, memiliki kemampuan verbal yang baik,
dan menjadi orang yang lebih peka dan bersahabat. Seorang batita dengan keterikatan yang aman
memiliki kosa kata yang lebih banyak dan beragam ketimbang batita dengan keterikatan yang tidak
aman (Meins, 1998 dalam Papalia, 2008). Mereka juga lebih sosial (Elicker et al., 1992; Main, 1983
dalam Papalia, 2008). Mereka memiliki interaksi yang positif dengan teman sebaya, dan tawaran mereka
yang bersahabat lebih cenderung diterima (Fagot, 1997 dalam Papalia, 2008). Seorang anak dengan
keterikatan yang aman cenderung memiliki pertemanan yang lebih intim dan stabil (Schneider dkk, 2001
dalam Papalia 2008).

Menurut Erikson, periode dari sekitar 18 bulan sampai 3 tahun sebagai tahap kedua dari perkembangan
kepribadian, otonomi versus perasaan malu dan ragu (autonomy versus shame and doubt) yang ditandai
dengan kotrol eksternal kepada kontrol diri. Karena kebebasan tanpa batas bukanlah sesuatu yang aman
dan sehat, kata Erikson, rasa malu dan ragu memiliki tempat yang penting. Keseimbangan yang tepat
merupakan sesuatu yang krusial. Toodler membutuhkan orang dewasa untuk mengatur batasan yang
pas, dan rasa malu serta ragu-ragu akan membantu mereka mengenali kebutuhan akan batasan
tersebut (Papalia, 2008). Hal ini yang menjadi dasar buat bapak ibu untuk selalu mengontrol perilaku
saya. Ketika saya bertamu di rumah teman bapak bersama bapak ibu, saat ditawari kue, saya bebas
untuk memilih seberapa banyak yang saya mau tapi bapak dan ibu tetap mengontrol saya agar saya
melakukan sesuatu sewajarnya (memiliki rasa malu) dan mengajarkan untuk tidak lupa mengatakan
terima kasih kepada orang yang memberikan kue tersebut.

II.4. Early Childhood (ages 3 to 6)

A. Perkembangan Fisik

Memasuki usia 3 tahun saya mengalami penurunan berat badan yang cukup signifikan. Sebagaimana
dijelaskan Papalia (2008), pada sekitar 3 tahun, seorang anak mulai kehilangan bentuk kebayiannya dan
mulai mengambil bentuk masa kanak-kanak yang ramping dan atletis. Hal ini disebabkan karena porsi
makan saya berkurang. Anak-anak prasekolah makan lebih sedikit dibandingkan proporsi ukuran tubuh
mereka dibandingkan dengan bayi (Papalia, 2008).

Di masa early childhood saya masih memiliki kebiasaan mengompol (Bed-wetting). Sebagian besar anak-
anak pada usia 3-5 tahun tetap dalam keadaan kering siang dan malam, akan tetapi pada malam hari,
peristiwa enuresis (buang air berulang kali pada pakaian atau kasur) adalah peristiwa yang biasa terjadi
(Papalia, 2008). Hal ini dianggap bukan sebagai masalah yang serius ketika terjadi si masa ini. Namun
pada akhirnya kebiasaan mengompol saya hilang ketika usia 4 tahun. Di usia early childhood saya juga
mengalami masalah dengan kesehatan gigi. Gigi saya banyak yang berlubang karena banyak makan
coklat dan permen.

B. Perkembangan Motorik
Saya masuk TK Islam di usia 5 tahun. Di TK, saya tergolong anak yang lincah dan gemar beraktivitas.
Menurut Papalia (2008), anak-anak prasekolah membuat kemajuan yang besar dalam keterampilan
motorik kasar (gross motor skill), seperti berlari, melompat, yang melibatkan penggunaan otot besar.
Seiring dengan perkembangan motorik halus saya, saya sudah bisa untuk lebih mandiri, seperti halnya
dalam mengancing baju dan menggosok gigi. Keterampilan motorik halus (fine motor skills)
memungkinkan seorang anak kecil untuk mengambil tanggung jawab yang lebih besar terhadap
perawatan dirinya sendiri (Papalia, 2008).

C. Perkembangan Kognitif

Menurut Piaget, pada masa kanak-kanak awal (dari sekitar 2-7 tahun), merupakan tahap preoperasional.
Tahap ini adalah tahap utama kedua perkembangan kognitif, dimana anak-anak semakin kompleks
dalam menggunakan pemikiran simbolis tetapi belum mampu menggunakan pemikiran logis (Papalia,
2008). Pada masa ini saya sudah memahami konsep ordinality, yaitu konsep tentang lebih banyak atau
lebih sedikit, lebih besar atau lebih kecil. Sehingga jika disuruh ibu untuk memilih coklat, saya akan
memilih coklat yang berukuran besar. Tahap preoperasional ini juga ditandai dengan egocentrisme,
yaitu anak-anak sangat terpusat pada sudut pandangnya sendiri sehingga mereka tidak dapat menerima
pandangan yang lain (Papalia, 2008) sehingga kebingungan terhadap penyebab terjadinya sesuatu.
Egocentrisme ini yang membuat saya sering protes ketika ibu memarahi saya jika saya berebut mainan
dengan adik. Padahal mainan tersebut adalah mainan milik saya.

D. Perkembangan Bahasa

Pada masa ini, saya mengalami peningkatan dalam kemampuan berbicara pragmatis dan sosial, yaitu
mengetahui cara menanyakan sesuatu,bagaimana menceritakan sebuah cerita atau gurauan, bagaimana
memulai dan mengakhiri percakapan, dan bagaimana memberikan komentar ke dalam perspektif
pendengar (M.L. Rice, 1982 dalam Papalia, 2008). Ini semua adalah aspek dari kemampuan berbicara
sosial (social speech) yaitu kemampuan berbicara yang membuat pendengar memahami apa yang
disampaikan. Pada saat saya sudah memiliki kemampuan ini, saya bisa menceritakan kembali
pengalaman liburan saya bersama bapak ibu kepada temna-teman saya.

E. Perkembangan Psikososial

Pada usia 5 tahun, saya sudah bisa menyatakan konsep diri saya dihadapan orang lain saat
melakukan perkenalan di depan kelas. Saya cenderung mendeskripsikan diri saya sebagai contoh sikap
baik dan kompeten. Sebagaimana dijelaskan Papalia (2008), anak-anak di usia ini tidak dapat mengakui
bahwa real-self nya (sosok dirinya yang sesungguhnya) tidak sama dengan ideal self nya (sosok yang
diinginkannya). Pada masa ini, pemikiran saya bersifat semuanya atau tidak sama sekali (all-or-nothing).
Jika saya bisa menjawab pertanyaan yang diberikan guru maka saya akan langsung menilai diri saya
sebagai anak yang pandai. Di masa ini saya juga sudah bisa memahami dan mengungkapkan emosi yang
saya rasakan. Saya bisa menunjukkan rasa kecewa saya ketika saya terpaksa lama menunggu karena
bapak terlambat menjemput saya dari TK. Dalam situasi inilah orangtua diharapkan peka terhadap
keadaan emosi anaknya. Pemahaman emosi tersebut memungkinkan mereka untuk mengontrol cara
menunjukkan perasaan mereka dan untuk menjadi sensitif terhadap perasaan orang lain (Garner &
Power, 1996 dalam Papalia, 2008).

Menurut Erikson (dalam Papalia, 2008), pada masa ini, saya berada pada tahap inisiatif vs rasa bersalah
(initiative versus guilt), dimana anak menyeimbangkan hasrat untuk mengejar tujuan dengan keberatan
moral yang mungkin dapat menghambat pelaksanaan hasrat tersebut.Virtue-nya adalah purpose, yaitu
keberanian untuk bermimpi dan mengejar mimpi tersebut tanpa merasa terlalu terhalangi oleh rasa
bersalah atau ketakutan terhadap hukuman (Erikson, 1982 dalam Papalia, 2008). Di masa ini saya belajar
untuk membangun mimpi dan tujuan saya. Di masa TK saya mengembangkan semua potensi yang saya
miliki dan lingkungan di sekitar saya pun ikut mendukung. Saya suka mengikuti lomba-lomba, seperti
lomba senam, lomba mewarnai, dan lomba mengaji. Orangtua saya dan guru saya menjadi motivator
bagi saya.

Dalam masa kanak-kanak awal, kelompok teman sebaya saya memberikan pengaruh besar bagi saya
dalam pemilihan teman dan permainan. Pemilihan mainan dan aktivitas permainan serta teman
bermain dari jenis kelamin yang sama (Turner & Gervai, 1995 dalam Papalia, 2008). Permainan yang
sering saya lakukan adalah functional play (mengandung gerakan otot yang berulang, seperti
melambungkan bola), constructive play (permainan yang mengandung penggunaan objek atau materi
untuk membuat sesuatu, seperti penyusunan rumah balok), pretend play (permainan mengandung
orang atau situasi imajiner, seperti main masak-masakan) dan formal play (permainan dengan aturan,
seperti main petak umpet).

Bentuk disiplin yang digunakan oleh bapak ibu untuk saya adalah reinforcement dan punishment
(belajar melalui penguatan kepada perilaku yang baik dan pemberian hukuman untuk perilaku yang
buruk). Saya diberikan reward/hadiah setiap kali saya mematuhi peraturan yang ada (makan harus
dihabiskan) dan diberikan hukuman jika melanggar peraturan yang ada (bermain hujan). Hukumannya
bisa berbentuk hukuman fisik, yaitu penggunaan kekuatan fisik dengan tujuan menyebabkan anak
mengalami rasa sakit, bukan luka, untuk tujuan koreksi atau kontrol perilaku anak (Straus, 1994 dalam
Papalia, 2008), seperti memukul atau mencubit. Gaya pengasuhan yang diterapkan orangtua saya
adalah otoritatif, yaitu menghargai individualitas anak tetapi juga menekankan batasan sosial. Mereka
memiliki keyakinan diri akan kemampuan mereka membimbing anak-anak, tetapi mereka juga
menghormati independensi keputusan, ketertarikan , pendapat, dan kepribadian anak (Papalia, 2008).

Pada masa ini saya sering mengalami konflik dengan kakak saya (rival sibling) tetapi bisa disikapi oleh
bapak dan ibu dengan baik sehingga tidak berujung kepada sesuatu yang negatif. Perselisihan paling
awal, paling sering, dan paling intens di antara sibling adalah berkaitan dengan hak kepemilikan – siapa
yang memiliki permainan dan berhak memainkannya. Akan tetapi, rivalitas saudara kandung bukanlah
pola utama di awal kehidupan antara kakak dan adik. Pada saat rivalitas eksis, muncul pula afeksi,
ketertarikan, persahabatan, dan pengaruh, yang merupakan pola utama (Papalia, 2008).

II.5. Middle Age (ages 6 to 11)

A. Perkembangan Fisik dan Motorik

Perhatian terhadap citra tubuh (body image) – keyakinan akan rupa dirinya – menjadi semakin penting
menjelang akhir masa kanak-kanak pertengahan, terutama pada perempuan (Papalia, 2008). Hal ini juga
terjadi pada saya dimana pada masa middle age saya mengalami masalah pada berat badan saya. Berat
badan yang terus menurun membuat saya menjadi kurang percaya diri karena dianggap kurus oleh
teman-teman saya. Pada masa middle age, saya suka bermain kejar-kejaran diiringi dengan jeritan dan
tawa. Saya juga suka bermain lompat tali dan sangat suka bermain sepeda. Berat badan saya yang
ringan membuat saya menjadi paling hebat dibandingkan teman-teman saya saat bermain lompat tali
dan kejar-kejaran.

B. Perkembangan Kognitif

Menurut Piaget (dalam Papalia, 2008), pada usia 7 tahun, seorang anak memasuki tahap operasional
konkret. Pada saat ini anak dapat menggunakan operasi mental untuk memecahkan masalah konkret
(aktual). Anak dapat berpikir lebih logis ketimbang sebelumnya karena pada saat ini mereka dapat
mengambil berbagai aspek dari situasi tersebut ke dalam pertimbangan. Tahap operasional konkret
terlihat dari keputusan yang saya buat untuk tidak mengikuti acara mabit terakhir saat kelas 6 SD
karena ingin mengikuti tes masuk SMP yang saya inginkan meskipun resikonya saya tidak akan
mengikuti acara mabit terakhir bersama teman-teman saya, dan saya akan masuk SMP Boarding yang
akan membuat saya sulit untuk bertemu temanteman SD saya setelah lulus SD.

C. Perkembangan Bahasa

Pada masa ini, penggunaan kata lebih bervariasi dibandingkan sebelumnya. Saya memasuki tahap
metakognisi (kesadaran akan apa yang ada dalam pikiran) yang membantu saya untuk memonitor
pemahaman terhadap apa yang saya baca, sehingga saya bisa menyelesaikan tugas-tugas sekolah yang
menuntut pemahaman bacaan dan juga bisa menyelesaikan operasi matematika berbentuk soal cerita.
Saya mengalami perkembangan bahasa yang signifikan saat berada di kelas 5 SD. Dimana pada saat itu
saya sudah bisa mengikuti dan memenangkan lomba pidato Bahasa Indonesia yang diadakan oleh sd
saya

D. Perkembangan Psikososial

Merujuk Erikson, 1982 (dalam Papalia, 2008), faktor penentu harga diri adalah pandangan anak akan
kemampuan kerja produktif mereka. Isu yang harus dipecahkan pada masa kanak-kanak pertengahan
adalah industri versus inferioritas dengan virtue “competence”. Pada masa ini, saya bisa
mengembangkan diri saya secara optimal. Pada semester I dan II di kelas 1 SD, saya mendapat rangking
5 besar dari 30 orang dan berkat dukungan bapak ibu dan tetap menjadi rangking 5 besar sampai saya
lulus SD. Namun, saat kelas 3 di semester 2 saya mendapatkan peringkat 10 besar. Anak-anak dengan
self-esteem yang lebih tinggi cenderung menisbahkan kegagalan kepada faktor di luar diri mereka
sendiri atau kepada keharusan mencoba lebih keras. Apabila yang awal tidak sukses, mereka akan
berlaku gigih, mencari strategi baru sampai menemukan yang bekerja dengan baik (Erdley et al., 1997).
Kontribusi utama self-esteem yang saya miliki adalah dukungan sosial baik dari orang tua, teman
sekelas, dan guru.

II.6. Adolescent (ages 11 to about 20)

A. Perkembangan Fisik
Memasuki masa remaja yang merupakan masa transisi antara anak-anak dan dewasa, saya mengalami
pubertas. Papalia (2009) mendefinisikan pubertas sebagai process by which a person attains sexual
maturity and the ability to reproduce. Pada masa ini saya mengalami secondary sex characteristic yaitu
physiological signs of sexual maturation that do not directly involve the sex organs (Papalia, 2009).
Dimana pada masa ini saya mengalami pertumbuhan payudara, pertumbuhan rambut pubi,
pertumbuhan rambut ketiak, perubahan suara, dan peningkatan produksi minyak yang menyebabkan
timbulnya jerawat. Saya mengalami menarche (menstruasi pertama) di usia 15 tahun. Gangguan
kesehatan fisik yang sering muncul di masa ini adalah sakit perut akibat menstruasi dan sakit kepala
akibat kekurangan tidur. Sedangkan untuk gangguan kesehatan mental, saya sering mengalami stress di
saat mendekati masa ujian sekolah.

B. Perkembangan Kognitif

Menurut Piaget (dalam Papalia, 2008), pada masa adolescent, seseorang memasuki level tertinggi
perkembangan kogntif yaitu operasi formal (tahap akhir perkembangan kognitif yang ditandai dengan
kemampuan untuk berpikir secara abstrak). Kemampuan berpikir abstrak yang saya miliki dapat terlihat
dari kemampuan menggunakan simbol (misalnya, menggunakan huruf X sebagai angka yang tidak
diketahui sehingga dapat belajar aljabar).

Saya juga sudah dapat berpikir dalam kerangka apa yang mungkin terjadi, bukan hanya apa yang terjadi
sehingga dapat menyusun dan menguji hipotesis. Hal ini saya lakukan ketika saya mengikuti seleksi
perguruan tinggi. Saya menetapkan target jurusan dan perguruan tinggi yang saya inginkan, lalu melihat
jumlah soal yang harus saya jawab dengan benar untuk bisa lolos di jurusan tersebut. Setelah megikuti,
saya mencoba mencocokkan jawaban saya dengan kunci jawaban yang benar dan dari situ saya sudah
mendapat hipotesis bahwa saya tidak mungkin lolos di seleksi tersebut karena jumlah soal yang saya
jawab dibawah target. Namun karena ini hanya lah hipotesis, maka saya tidak boleh lengah dan harus
tetap mempersiapkan diri untuk UN dan Ujian Lainnya karena di SMA saya tidak hanya ujian yang
diadakan oleh pemerintah saja namun ada pula Ujian Tahfidz dan Kepesantrenan.

Berdasarkan teori Elkind (dalam Papalia, 2008) mengenai karakteristik ketidakdewasaan pemikiran
remaja, saya dapat mengetahui bahwa pemikiran belum matang yang saya alami selama masa
adolescent adalah argumentatif dan indesesif (keragu-raguan). Argumentatif sangat terlihat setiap kali
saya berdebat dengan ibu saya. Dimana ibu saya ingin sekali saya SMA di Bekasi sedangkan saya ingin
SMA di Subang, melanjutkan menjadi santri di SMP saya. Saya selalu berargumen bahwa saya bisa hidup
mandiri dan saya ingin menyeimbangkan Antara pengetahuan umum dengan pengetahuan agama.
Indesesif (keragu-raguan) terlihat jelas ketika saya memilih jurusan di perguruan tinggi. Saya yang
awalnya bercita-cita ingin menjadi dokter kemudian berubah bercita-cita menjadi chef. Namun pada
akhirnya saya sadar bahwa cita-cita menjadi chef itu tidak cocok untuk saya setelah saya menerima hasil
tes psikologis.

C. Perkembangan Psikososial

Dimana saat saya merasakan bahwa pada tahap ini saya sering di pusingkan oleh pencarian jati diri saya.
Saya sudah mulai merasakan suatu perasaan tentang identitas sendiri. Sayapun sudah mulai menyadari
akan sifat-sifat yang saya miliki, seperti kesukaan dan ketidaksukaan. Saya merasa bahwa saya telah
memiliki kekuatan dan hasrat untuk mengontrol kehidupan saya, saya yakin bahwa saya bisa
mengontrol diri saya sendiri dan saya siap memasuki peran dalam masyarakat. Saya sudah menyadari
bahwa hidup ini tidak hanya tentang dunia oleh karenanya saya memutuskan untuk melanjutkan jenjang
SMA saya pada sebuah pondok pesantren di subang, jawa barat. Walaupun, pada saat itu orang tua saya
menolak, namun saya dapat meyakinkan kepada orang tua saya bahwa itu adalah pilihan yang terbaik
untuk diri saya dan keluarga karena dengan mendalami ilmu agama itu sebagai salah satu cara saya
untuk mengangkat derajat orang tua dan keluarga saya di mata Allah. Hal ini sejalan dengan teori
Erikson yang mengatakan bahwa pada masa adolescent, seseorang berada pada tahap identity versus
identity confusion. Pada tahap ini saya mengalami pencarian identitas (mencari konsepsi tentang diri,
penentuan tujuan, nilai, dan keyakinan yang teguh). Menurut saya, saya termasuk orang yang sudah
memiliki identity. Saya tau peran saya sebagai seorang siswa yang memiliki kewajiban untuk belajar dan
saya tau peran saya sebagai Makhluk Allah yang diciptakan untuk beriman yaitu dengan menjalankan
perintanya dan menjauhi larangannya serta menjadi anak yang berbakti dan berbuat baik kepada
orangtuanya.

Hubungan saya dengan teman meningkat di masa adolescent ini, terutama dengan teman
sekelas. Di masa SMA, teman memiliki peranan yang sangat penting bagi saya. Mereka menjadi
motivator eksternal terkuat dalam masa adolescent saya. Kondisi saya yang berada di dalam kelas
unggulan membuat saya berada di tengah-tengah teman-teman yang memiliki motivasi berprestasi yang
tinggi dan ini juga mempengaruhi motivasi belajar saya. Saya senang bisa menghabiskan waktu bersama
mereka. Kami tidak hanya belajar bersama di kelas (sekolah) tetapi juga di luar jam sekolah karena kami
hidup di atap yang sama 24 jam. Orang tua saya juga ikut berperan dalam hal ini karena mereka
memberikan fasilitas belajar yang baik untuk saya seperti memberikan kesempatan untuk memilih
jurusan di SMA yang saya mau yaitu IPS dan kesempatan untuk sekolah di sekolah piihan saya. Keluarga,
teman-teman, guru dan lingkungan luar lainnya menjadi bagian dari keberhasilan saya untuk bisa kuliah
di salah satu universitas terbaik di Indonesia yaitu di Universitas Negeri Jakarta, Fakultas Pendidikan
Psikologi.

KESIMPULAN

Setelah mengamati perkembangan yang saya alami sejak masa prenatal sampai masa adolescent,
saya dapat mengetahui bahwa kehidupan saya dipengaruhi oleh faktor hereditas dan lingkungan.
Papalia (2008) menjelaskan bahwa beberapa karakteristik yang dipengaruhi oleh hereditas dan
lingkungan, yaitu ciri fisik dan psikologis, kecerdasan dan prestasi sekolah, kepribadian (Papalia, 2008).
Begitu juga yang saya alami dalam hidup saya. Hereditas (nature) berupa gen yang diturunkan oleh
bapak dan ibu mempengaruhi ciri fisik dan psikologis saya, kecerdasan saya, dan kepribadian saya.
Namun faktor lingkungan juga turut membawa pengaruh besar dalam hidup saya. Motivasi dari
keluarga, guru, dan teman-teman sangat berpengaruh terhadap prestasi saya di sekolah bahkan
mempengaruhi kepribadian saya.
Pengaruh lingkungan yang paling besar tampaknya terjadi pada masa awal kehidupan (McGue,1997
dalam Papalia, 2008). Oleh karena itu, pengasuhan yang diberikan bapak dan ibu pada masa awal
kehidupan saya menjadi faktor eksternal (nurture) dalam penentuan kehidupan saya di masa
selanjutnya karena merupakan bagian dari pembentukan kepribadian saya.

Hereditas dan lingkungan saling berkaitan dan tidak mungkin dipisahkan. Dari mulai pembuahan sampai
sepanjang hidup, kombinasi dari berbagai faktor konstitusional (berkaitan dengan komposisi biologis
dan psikologis), dan sosial, ekonomi, dan faktor kultural membantu membentuk perkembangan.
Semakin unggul kondisi-kondisi dan pengalaman ini ketika mereka tumbuh, semakin besar kemungkinan
perkembangan optimumnya (Papalia, 2008). Hal ini yang saya rasakan dalam hidup saya. Terima kasih
untuk bapak dan ibu yang sudah menjadi model yang baik untuk saya di masa awal kehidupan saya.
Terima kasih untuk keluarga (keluarga besar di Padang), guru-guru, teman-teman, dan semua faktor dari
lingkungan lainnya, yang ikut membentuk saya hingga akhirnya saya menjadi seperti diri saya yang
sekarang.

You might also like