You are on page 1of 2

Jo duduk termenung di dalam kamarnya. Tatapannya kosong memandang ke luar jendela.

Kekesalan masih terasa di hatinya. Masih terngiang di telinganya kata – kata dari ayahnya. Begitu
menyakitkan baginya, padahal selama ini ayahnya tak pernah berkata demikian keras. “Apaan sih
Ayah nih, baru minta mobil sekali aja udah ngomelnya kayak kereta!” Gerutunya dalam hati. Ya,
Jo baru saja meminta mobil kepada ayahnya, karena dia terancam dijauhi teman – teman
sekolahnya kalau tidak bermobil. Dia tidak peduli bahwa ayahnya hanya seorang pegawai kantor
biasa. Dia tidak mau tahu kalau ayahnya hanya berpakaian biasa, yang penting baginya pakaian
yang dikenakannya harus terkesan mahal dan mewah.
Pintu kamar diketuk, ayahnya masuk ke dalam kamar. “Jo, sedang apa?” tanya ayahnya. Jo tidak
menjawab, dia tetap memandang keluar jendela. “Jo, maafkan Ayah, bukan maksud Ayah untuk
berkata kasar.” Jo tetap diam, merasa enggan menjawab ayahnya. “Ayah kaget kamu minta mobil,
Jo. Selama ini Ayah berusaha selalu memenuhi permintaanmu. Tapi untuk kali ini Ayah merasa
tidak sanggup, untuk sehari – hari saja saat ini sangat pas”, lanjut ayahnya menjelaskan. “Y itu
urusan Ayah! Kan Ayah yang bekerja, kan Ayah yang punya penghasilan! Wajar dong aku minta
ke Ayah, masa aku minta ke tetangga!” seru Jo pada ayahnya. Ayahnya terdiam lama. “Baiklah,
akan Ayah usahakan. Sabar ya, Ayah cari dulu, semoga bisa cepat dapat,” ujar ayahnya dengan
lirih.
Jo tersenyum, dia merasa senang karena keinginannya terpenuhi. Ingin terucap kata terimakasih,
tetapi melihat penampilan ayahnya yang lusuh, tiba – tiba dia merasa malu. Dia hanya memberikan
senyum saja ke ayahnya. Ayahnya pun pergi keluar kamar, dan tanpa Jo ketahui, ayahnya
meneteskan air mata. Dalam hatinya dia menangis, “kalau saja Ibunya Jo masih ada, tentu tidak
bakal seberat ini mendidik dia. Aku terlalu memanjakan dia selama ini.”
Beberapa hari kemudian, di suatu sore, Jo mendengar ayahnya memanggil. “Jo, kemari nak, Ayah
mau mengajakmu pergi!” Terdengar ayahnya berseru. Jo melangkah ke depan rumah, bertanya
dengan agak malas, “mau pergi kemana, Yah?” Sebenarnya dia merasa enggan untuk pergi, dia
ingin bermalas – malasan saja di rumah, apalagi dia baru bangun dari tidur, rasanya kakinya berat
untuk diajak melangkah. Tetapi kemudian dia merasa bersemangat mendengar kata – kata
ayahnya, “Ayo kita pergi Jo, kita pilih mobil yang kamu suka!” seru ayahnya dengan riang. “Wah,
Ayah serius? Betulan? Asyiiik, ayo kita pergi, Ayah!” seru Jo kegirangan. Dia segera berlari ke
kamar, memilih pakaian terbagusnya, supaya saat pulang dia dilihat pantas mengendarai mobil.
Tak sabar dia memanggil ayahnya, “Ayah, ayo cepat kita berangkat!”
“Iya, sabar Jo, Ayah masih ganti baju,” sahut ayahnya dengan lembut. Ada perasaan gembira di
hati ayahnya mendengar keceriaan Jo kembali lagi. Ayahnya keluar dari kamar dan bersiap
berangkat, dia berkata, “Ayo kita berangkat. Kita jalan saja ya, dealer kan dekat dari sini.” Jo
menatap ayahnya, dia merasa malu melihat penampilan ayahnya, dia merasa ayahnya tidak pantas
untuk naik mobil bersamanya. Dia merasa malu berjalan bersama ayahnya. “Baik Ayah, kita
berjalan sekarang saja. Tapi Ayah berjalan di belakangku ya, aku ngga mau terlihat berjalan
bersama Ayah!” Terkejut ayahnya mendengar ucapan Jo, tetapi karena kasihnya pada Jo, dia pun
menyanggupi permintaan Jo.
Mereka berjalan menuju dealer. Jo berjalan mendahului ayahnya, dengan langkah gagah,
sementara ayahnya di belakangnya. Sepanjang perjalanan, ketika Jo bertemu dengan orang – orang
yang dikenalnya, dia tidak mau mengakui orang di belakang dia sebagai ayahnya, dia menyebut
ayahnya sebagai pelayan. Betapa hancur hati ayahnya mendengar itu. Ayahnya hanya mendoakan
supaya Jo segera tersadar dari sifatnya dan menyadari keadaan keluarganya.
Sesampai di dealer, Jo memilih mobil kesukaannya, dan tidak sabar untuk segera mengendarai
pulang. Setelah kunci mobil diserahkan, dengan terburu – buru dia mengemudikan mobil itu
keluar, tanpa dia sadari bahwa dia belum pernah mengemudikan mobil. Laju mobil tidak
terkendali, dan tanpa dia sanggup menahan mobil itu menabrak ayahnya. Ayahnya meninggal di
tempat.
Jo menangis di pemakaman ayahnya. Dia kini merasa tidak sanggup untuk hidup. Tidak ada lagi
orang yang mendampingi dirinya. Dia kini sendiri, tanpa orangtua, tanpa keluarga. Teman –
temannya pun meninggalkannya karena mereka menyalahkan Jo atas kematian ayahnya. Teman –
temannya takut jika Jo membawa sial bagi pertemanan mereka.
Sebuah pelajaran baginya, agar menyanyangi dan menghargai orang lain selama masih ada, karena
saat mereka sudah tiada, barulah dia mengerti artinya kehilangan dan kesendirian.

You might also like