You are on page 1of 3

Nama : Imron Futuhan Zuhri

NIM : 2015061058

Tidak Dibutuhkan Amandemen Ke-5 UUD 1945

Perlunya perubahan atau amandemen lanjutan atas UUD 1945 hasil amandemen
dengan tetap memberi catatan penting bahwa UUD 1945 hasil perubahan yang ada sekarang
ini sudah membawa kemajuan dalam kehidupan ketatanegaraan kita.Tak dapat dipungkiri,
telah banyak kemajuan yang diraih dalam kehidupan ketatanegaraan kita berdasar UUD 1945
hasil amandemen itu. Kehidupan bernegara kita jauh menjadi lebih demokratis. Tak ada lagi
sensor bagi pers, apalagi pembreidelan terhadap pers, proses pemilu berjalan demokratis,
pemerintah tidak bisa lagi bersikap otoriter karena selalu dikontrol oleh pers, masyarakat, dan
lembaga-lembaga politik lainnya.

Di antara yang perlu diberi catatan khusus tentang kemajuan ketatanegaraan kita
adalah eksistensi dan prestasi Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai lembaga yudikatif baru.
Pada masa lalu banyak sekali UU yang dibuat secara sepihak oleh pemerintah (dan DPR
hanya dijadikan semacam rubber stamp) tanpa bisa dibatalkan meski isinya diindikasikan
kuat melanggar UUD. Perubahan atas UU yang bermasalah pada masa lalu hanyalah dapat
dilakukan melalui legislative review yang dalam praktiknya sangat ditentukan oleh
pemerintah. Bahkan kasus perubahan RUU Penyiaran tahun 1997 menjadi noda hitam yang
sulit dihapus dari sejarah perjalanan legislasi kita. Saat itu RUU Penyiaran sudah dibahas dan
diperdebatkan dalam waktu yang lama di DPR sampai akhirnya Pemerintah dan DPR
menyetujui untuk diundangkan. Tetapi begitu disampaikan kepada Presiden untuk
ditandatangani dan diundangkan ternyata Presiden menolak dan meminta dibahas kembali
untuk diubah sebagian isinya. Masalah inilah yang mendorong munculnya pasal 20 ayat (5)
dalam UUD 1945 hasil amandemen sekarang ini.

Dengan adanya MK semua UU yang dinilai bertentangan dengan UUD dapat dimintakan
judicial review (pengujian yudisial) untuk dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 atau
inkonstitusional sehingga tak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dapat dikemukakan
bahwa MK telah tampil sebagai lembaga negara yang independen dan cukup produktif
mengeluarkan putusan-putusan yang sangat mendukung bagi kehidupan ketatanegaraan yang
demokratis.
Amandemen Kontra :

1. Menurut saya, percuma saja jika amndemen dilakukan ratusan kali, tetapi tidak
melibatkan rakyat. Dan, jangan tergesa-gesa diusulkan untuk diamandemen, karena
konstitusi itu tidak bisa disamakan dengan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga
sebuah partai atau ormas yang bisa diubah kapan saja sesuka hati.

2. Konstitusi adalah fondasi bangsa, jika sering diubah-ubah malah akan membuat
suatu bangunan (negara) menjadi tidak kondusif dan rawan ‘kehancuran’.

3. UUD adalah hukum tertinggi, apabila diubah maka akan mempengaruhi struktur
bangunan hukum dibawahnya. Dan juga mempengaruhi kehidupan ketatanegaraan
yang meliputi, sosial, politik budaya.

4. dapat memunculkan legislative heavy

Amandemen Pro :

1. Amandemen ke lima harus segera dilakukan, karena adanya konflik kewenangan


antar lembaga negara dan harus segera di eliminir supaya bisa menjunjung prinsip
check and balance dengan sempurna.
2. Demi menjaga kehidupan masyarakat yang sejahtera, maka amandemen prlu
dilakukan, karena perubahan tatanan sosial, budaya, politik dalam masyarakat
yang terus berubah.
3. Perbaikan untuk memperbaiki kebutuhan dan kehidupan bangsa yang terus maju,
artinya tidak semuanya. maka sah-sah saja diamandemen.
4. Tidak jelas, mengenai sistem yang dibangun menurut UUD 1954, yaitu
bikameral, unikameral atau multikameral

Wewenang MPR membuat Ketetapan yang bersifat mengatur

Ketetapan MPR merupakan salah satu jenis dan hierarki peraturan perundangan-
undangan berdasarkan pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan. Selanjutnya didalam penjelasan pasal 7 ayat (1) huruf b UU
No. 12 Tahun 2011 disebutkan : Yang dimaksud dengan “Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat” adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara
dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
Nomor: I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, tanggal 7 Agustus 2003.

Didalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan MPR Republik Indonesia Nomor I/MPR/2003
tanggal 7 Agustus 2003 hanya terdapat 13 Ketetapan MPR saja yang masih berlaku. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa penjelasan pasal 7 ayat (1) huruf b UU No. 12 Tahun 2011 tersebut
mengakibatkan tidak adanya Ketetapan MPR yang baru karena terdapat pembatasan terhadap
Ketetapan MPR yang menjadi jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan. Dalam hal
ini UU/Perpu, PP. Perpres, dan Perda. namun di sisi lain akibat dimasukkannya kembali TAP
MPR dalam hierarki peraturan perundang-undangan, maka muncul persoalan dalam hal
pengujian norma diantara peraturan perundang-undangan lainnya. Bagaimana jika TAP MPR
bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945? Dan bagaimana pula
jika terdapat UU yang bertentangan dengan TAP MPR? Jika merunut kepada sistem
kekuasaan kehakiman Indonesia dewasa ini, uji materi dibebankan kepada Mahkamah
Konstitusi. Akan tetapi kewenangan Mahkamah Konsitusi sebatas uji materi UU terhadap
UUD. Tidak ada ketentuan khusus yang mengatur tata cara pengujian TAP MPR terhadap
UUD atapun UU terhadap TAP MPR. Mahkamah Konstitusi tidak boleh serta merta
melakukan pengujian terhadap TAP MPR, kecuali Mahkamah Konstitusi melakukan upaya
hukum progresif seperti yang dilakukan selama ini

You might also like