You are on page 1of 23

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Dewasa ini, studi-studi akademis mengenai fenomena LGBT atau Lesbian, Gay,
Biseksual dan Transgender telah semakin ramai. Hal tersebut dipicu oleh banyaknya
fenomena pemberitaan maupun aktivitas dari anggota LGBT sendiri. Kemudian diangkatnya
wacana atau sosok LGBT dalam media populer sehingga masyarakat semakin familiar. Hal
tersebut turut meramaikan pembahasan LGBT sekarang ini.
Persoalan penyimpangan seksual telah menjadi objek perdebatan yang cukup lama
dalam peradaban umat manusia. Norma masyarakat yang mengutuk berbagai macam
penyimpangan seksual mendapatkan tantangan dari kelompok yang merasa dirugikan atas
norma-norma tersebut. Perdebatan semacam ini menjadi semakin terlihat setelah muncul
kampanye yang dilakukan oleh gerakan LGBT (lesbian, gay, biseksual dan transgender).
Gerakan LGBT bermula di dalam masyarakat Barat. Cikal bakal lahirnya gerakan ini adalah
pembentukan Gay Liberation Front (GLF) di London tahun 1970. Gerakan ini terinspirasi
dari gerakan pembebasan sebelumnya di Amerika Serikat tahun 1969 yang terjadi di
Stonewall. Kampanye LGBT berfokus pada upaya penyadaran kepada kaum lesbian, gay,
biseksual dan transgender dan masyarakat umum bahwa perilaku mereka bukan
penyimpangan sehingga mereka layak mendapatkan hak-hak seksual sebagaimana orang lain.
Di Indonesia, gerakan kampanye menuntut legalitas LGBT juga marak dan
mendapatkan dukungan penting dari akademisi dan pegiat feminisme. Mereka bergerak dari
ranah politik hingga teologi.
Studi-studi tentang seksualitas yang ada berarti penting dengan memperkenalkan tiga
terminologi penting menyangkut seksualitas manusia yaitu; identitas gender, orientasi
seksual, dan perilaku seksual (Mulia, 2010). Namun nampaknya, studi akademis tadi kurang
bisa merasuk ke masyarakat luas guna memberi mereka pemahaman permasalahan gender
atau tiga terminologi tersebut. Hingga masyarakat luas kurang mengerti tentang pemahaman
seperti apa itu lesbian, gay, biseksual dan transgender. Sehingga mereka kerap mencampur
adukkan istilah tersebut dengan pemahaman yang salah. Yang terjadi kemudian, masyarakat
luas masih melahirkan stigma pandangan buruk terhadap anggota komunitas LGBT.

1
Seksualitas mengandung makna yang sangat luas karena mencakup aspek kehidupan yang
menyeluruh, terkait dengan jenis kelamin biologis maupun sosial (gender), orientasi seksual,
identitas gender, dan perilaku seksual. Seksualitas adalah sebuah proses sosial yang
menciptakan dan mengarahkan hasrat atau birahi manusia (the socially constructed
expression of erotic desire), dan dalam realitas sosial, seksualitas dipengaruhi oleh interaksi
faktor-faktor biologis, psikologis, sosial, ekonomi, politik, agama dan spiritual.
Secara medis, gay dan lesbian ternyata masih termasuk gangguan kejiwaan yang
tentunya harus diobati. Dr Fidiansjah, Direktur Direktorat Bina Kesehatan Jiwa Kementerian
Kesehatan yang juga sebagai Ketua Seksi RSP (Religi, Spiritualitas, dan Psikiatri) PDSKJI
(Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia) menyebut, LGBT masuk dalam
kategori ODMK (orang dengan masalah kesehatan jiwa). Ia merujuk pada terminologi
ODMK pada UU No 18/2014 tentang Kesehatan Jiwa. Sebagai penyakit, LGBT adalah
penyakit menular. Seorang anak yang disodomi di masa kecilnya, akan berpotensi menjadi
seorang gay akibat penderitaannya itu. Dia pun di masa mendatang berpotensi menularkan
perilaku itu kepada lelaki normal lain. Tetapi kaum LGBT tidak mau menggunakan
terminologi pakar psikiater ini, bahwa gay dan lesbian adalah penyakit. Mereka
menganggapnya sebagai sesuatu yang alamiah yang hadir begitu saja. Apalagi teori-teori
tentang kesehatan jiwa ini bisa dikembangkan sedemikian rupa. Sudah ada psikolog dan
psikiater barat yang menganggap gay dan lesbian tak lagi sebagai gangguan jiwa, sehingga
tak perlu dirisaukan.
Berdasarkan hal yang disebutkan sebelumnya penulis merasa bahwa penting untuk
seluruh lapisan masyarakat sosial mengetahui apa yang benar dan tidak benar dari fenomena
ini.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 LGBT

LGBT atau GLBT adalah akronim dari "lesbian, gay, biseksual, dan transgender".
Istilah ini digunakan semenjak tahun 1990-an dan menggantikan frasa "komunitas gay",
karena istilah ini lebih mewakili kelompok-kelompok yang telah disebutkan.
Akronim ini dibuat dengan tujuan untuk menekankan keanekaragaman "budaya yang
berdasarkan identitas seksualitas dan gender". Kadang-kadang istilah LGBT digunakan untuk
semua orang yang tidak heteroseksual, bukan hanya homoseksual, biseksual, atau transgender
(Mutanski,2010). Maka dari itu, seringkali huruf Q ditambahkan agar queer dan orang-orang
yang masih mempertanyakan identitas seksual mereka juga terwakili (contoh. "LGBTQ" atau
"GLBTQ", tercatat semenjak tahun 1996).

Gambar 1. Simbol LGBT ; Komunitas LGBT mengadopsi ragam warna pelangi.

Homoseksualitas adalah salah satu dari tiga kategori utama orientasi seksual, bersama
dengan biseksualitas dan heteroseksualitas, dalam kontinum heteroseksual-homoseksual
(American Psychiatric Association,2010). Homoseksual yang diperuntukkan antara pria
dengan pria biasa disebut gay. Lesbian adalah label yang diberikan untuk menyebut
homoseksual perempuan atau perempuan yang memiliki hasrat seksual dan emosi kepada
perempuan lainnya, referensi lain juga mengartikan bahwa lesbian adalah perempuan yang
memiliki hasrat seksual dan emosi kepada perempuan lain atau perempuan yang secara sadar
mengidentifikasikan dirinya sebagai lesbi.

3
Biseksual adalah perilaku atau orientasi seksual seseorang, baik laki-laki maupun
perempuan, yang tertarik secara seksual dan erotik pada dua jenis kelamin.
Transgender adalah istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan orang yang
melakukan, merasa, berpikir atau terlihat berbeda dari jenis kelamin yang ditetapkan saat
mereka lahir. Transgender tidak menunjukkan bentuk spesifik apapun dari orientasi seksual
orangnya. Orang-orang transgender dapat saja mengidentifikasikan dirinya sebagai
heteroseksual, homoseksual, biseksual, panseksual, poliseksual, atau aseksual. Definisi yang
tepat untuk transgender tetap mengalir, namun mencakup:

1. Tentang, berkaitan dengan, atau menetapkan seseorang yang identitasnya tidak sesuai
dengan pengertian yang konvensional tentang gender laki-laki atau perempuan,
melainkan menggabungkan atau bergerak di antara keduanya.
2. Orang yang ditetapkan gendernya, biasanya pada saat kelahirannya dan didasarkan
pada alat kelaminnya, tetapi yang merasa bahwa deksripsi ini salah atau tidak
sempurna bagi dirinya.
3. Non-identifikasi dengan, atau non-representasi sebagai, gender yang diberikan kepada
dirinya pada saat kelahirannya. (APA,2010)

Perjalanan LGBT Di Indonesia

LGBT di Indonesia setidaknya sudah ada sejak era 1960-an. Ada yang menyebut
dekade 1920-an. Namun, pendapat paling banyak menyebut fenomena LGBT ini sudah mulai
ada sekitar dekade 60-an. Lalu, ia berkembang pada dekade 80-an, 90-an, dan meledak pada
era milenium 2.000 hingga sekarang. Jadi, secara kronologis, perkembangan LGBT ini
sesungguhnya telah dimulai sejak era 1960-an. Cikal bakal organisasi dan avokasi LGBT di
Indonesia sudah berdiri lama. Salah satunya organisasi jadul bernama: Hiwad, Himpunan
Wadam Djakarta. Wadam, wanita Adam, mengganti istilah banci dan bencong. Namun,
organisasi Wimad diprotes MUI. Kemudian pada 1982, pelaku homo mendirikan Lambda
Indonesia. Pada 1986 berdiri Perlesin, Persatuan Lesbian Indonesia. Pada tahun yang sama,
berdiri juga pokja GAYa Nusantara, kelompok kerja Lesbian dan Gay Nusantara. Sementara
era 1990-an semakin banyak organisasi yang berdiri.
Pada 1993, dihelat Kongres Lesbi dan Gay disingkat KLG 1, di Jogja. Dua tahun
berikutnya, digelar kongres serupa. Pada 1995, KLG II diadakan di Bandung. KLG III di Bali

4
(1997). Organisasi LGBT mulai menyeruak ke sejumlah daerah, di antaranya Surabaya,
Medan, dan Ambon. Namun, pendataan jumlah pelakunya lemah. Tak hanya organisasi dan
perhelatan kongres, mereka juga menggelar pesta akbar. Dulu sangat terkenal istilah
September Ceria pada 90-an. Ini adalah pesta masif pelaku LGBT yang digelar malam
minggu pertama tiap September. Pada 1998, ketika sudah memasuki era reformasi, LGBT
mendapatkan momentumnya. Momentum sama, awal gerbang pertama karut-marut republik
ini dengan buntut diamendemennya UUD 1945.
Dalam laporan bertajuk "Hidup sebagai LGBT di Asia: Laporan Nasional Indonesia"
Perubahan dramatis yang terjadi dalam sistem politik dan pemerintah pada Mei 1998,
membuka pintu bagi gerakan ini untuk semakin berkembang dengan cakupan lebih luas:
1. Kongres Perempuan Indonesia pada bulan Desember 1998 secara resmi
mengikutsertakan perwakilan dari kaum lesbian, wanita biseksual, dan pria
transgender (LBT). Dalam kongres tersebut, Koalisi Perempuan Indonesia untuk
Keadilan dan Demokrasi (KPI) menegaskan mereka secara resmi termasuk Sektor
XV, yang terdiri dari orang-orang LBT. Meskipun di beberapa provinsi yang lebih
konservatif terjadi sentimen yang keberatan terhadap pengikutsertaan orang-orang
LBT. Di wilayah yang mengenal kerangka ini, orang LBT dapat diberdayakan untuk
mengorganisasi diri.
2. Pendekatan yang berbasis hak asasi manusia menjadi semakin nyata dalam karya
banyak organisasi LGBT, baik yang sudah lama maupun yang baru muncul. Hal ini
membuka peluang kerja sama lebih lanjut dengan organisasi-organisasi hak asasi
manusia arus utama.
3. Sementara wacana media massa seputar HIV selama dasawarsa sebelumnya telah
meningkatkan visibilitas permasalahan di seputar pria gay dan waria. Tanggapan ad
hoc terhadap masalah HIV diganti dengan penyelenggaraan berbagai program yang
strategis, sistematis, dan didanai secara memadai. Pada 2001 dan 2004 diadakan
konsultasi nasional dan pada awal 2007 berdiri Jaringan Gay, Waria dan Laki-Laki
yang Berhubungan Seks dengan Laki-Laki Lain (GWL-INA) dengan dukungan dari
mitra kerja, baik nasional, bilateral, maupun internasional (Anonim, 2012).
4. Setelah Konferensi International Lesbian, Gay, Bisexual, Trans and Intersex
Association (ILGA) tingkat Asia yang ke-3 di Chiang Mai, Thailand, yang
diselenggarakan pada Januari 2008, enam organisasi LGBT yang berkantor pusat di
Jakarta, Surabaya, dan Yogyakarta bergabung untuk memperkuat gerakan mereka.
Langkah ini menjadi awal Forum LGBTIQ (Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender,

5
Intersex & Queer) Indonesia. Dialog Nasional dihadiri 71 peserta dari 49 lembaga,
termasuk wakil-wakil organisasi LGBT dari 15 di antara 34 provinsi di Indonesia.
Dialog Komunitas LGBT Nasional Indonesia digelar pada 13-14 Juni 2013 di Nusa
Dua, Bali, sebagai kegiatan utama komponen Indonesia dalam rangka prakarsa
‘Hidup Sebagai LGBT di Asia’. Diorganisasi kerja sama dua jaringan nasional,
GWL-INA, yang berhubungan dengan permasalahan HIV dan Forum LGBTIQ
Indonesia. Demikian tulis laporan LGBT tersebut. Pada 26 dan 27 Februari 2015,
dihelat kongres LGBT Asia di Bangkok.

Dalam catatan LGBT sendiri, pada 2013, diklaim ada 119 organisasi LGBT. Organisasi
tersebut tersebar ke 28 provinsi di Indonesia. Pada 2015, menurut pengakuan mantan lesbi,
ada sedikitnya 200-an organisasi LGBT. Kaum LGBT, terutama lesbi, memiliki grup. Antara
belasan sampai puluhan. Masing-masing grup memiliki basecamp untuk kongkow. Khusus di
kalangan middle up, kongkow dilakukan di sejumpah pub di Jakarta. Biasanya paling banyak
di daerah Jakarta Selatan. Ada juga yang ngumpul di rumah-rumah mereka. Kehidupan
LGBT lekat sekali dengan alkohol, drugs, dan penyimpangan seks.
LGBT selalu menggunakan hak seksualitas dan hak asasi manusia sebagai
tamengnya. Namun, mereka lupa masyarakat Indonesia yang tidak sepakat dengan LGBT
juga memiliki hak asasi. Kalau mereka menggunakan hak itu untuk senjata agar diterima,
masyarakat juga punya hak asasi menyelamatkan generasi dari LGBT. Menyelamatkan dari
seks menyimpang, menyalahi fitrah manusia, norma, dan agama. Kaum LGBT dan
pendukungnya juga menuding agama Islam, Kristen, dan masyarakat yang menolak LGBT
dianggap konsevatif. Pertanyaannya: agama mana yang menerima LGBT? Islam, Kristen,
bahkan Yahudi melarang gaya hidup LGBT. Tak ada agama yang mengizinkan. Jadi, LGBT
menganut agama apa, budaya mana? Salah satu kitab suci psikologi LGBT, buku DSM, The
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, biasa dikenal DSM. Buku ini terbitan
American Psychiatric Association. Buku itu digunakan pelaku LGBT dan aktivis HAM untuk
dijadikan pembenaran bahwa perilaku para LGBT tidak menyimpang. Disusun tujuh orang.
Lucunya, lima dari penulisnya adalah pelaku LGBT (Republika,2016).

2.2 Orientasi Seksual


Pengertian orientasi seksual adalah ketertarikan secara emosional dan seksual kepada
jenis kelamin tertentu. Orientasi seksual secara garis besardapat dibedakan menjadi:

6
1. Heteroseksual, yaitu orang yang tertarik secara emosi dan seksual terhadap lawan
jenisnya.
2. Homoseksual, yaitu orang yang tertarik secara emosi dan seksual terhadap sesama
jenisnya. Gay adalah istilah untuk homoseksual laki-laki, dan lesbian adalah istilah untuk
homoseksual perempuan. Pada perkembangannya, ada banyak istilah yang digunakan
pada waktu dan budaya yang berbeda.
3. Biseksual, yaitu orang yang tertarik secara emosi dan seksual terhadap lawan dan sesama
jenisnya.

Alfred Kinsey (1961) mengemukakan bahwa 96% manusia itu biseksual. 2%


homoseksual murni dan 2% heteroseksual murni. Dalam teori statistik, hal ini dikenal dengan
istilah kurva distribusi normal. Bila suatu populasi dikelompokkan, akan terbentuk kurva
distribusi pada kedua ujungnya, 2% kanan dan 2 % kiri dianggap sebagai standar deviasi atau
abnormalitas. Jadi, sesuai dengan teori dr. Kinsey, yaitu 2% homoseks dan 2% heteroseks
dianggap abnormal.Yang termasuk kedalam kelompok heteroseksual murni adalah orang
yang 100% orientasinya heteroseksual. Orang ini tidak mungkin bisa bergaul di masyarakat
dan menjadi penyakit masyarakat, seperti juga halnya dengan kelompok homoseksual murni,
mereka tidak bisa berkomunikasi dengan lawan jenis dalam bentuk apapun (Kinsey,1948)
Lebih lanjut Alfred Kinsey (1961) menyebutkan bahwa sisa manusia 96% yang biseksual
itu dimasukkan ke dalam beberapa kelas sesuai derajat homoseksual dan
heteroseksualitasnya, misalnya kelompok tengah adalah kelompok 50:50. Derajat seksualitas
ini tidak berarti sebagai ekspresi seksualitas. Walaupun seseorang berada pada kelompok
ekstrem kanan dalam skema Kinsey, yaitu 10% heteroseksual dan 90% homoseksual, akan
tetapi karena sejak kecil berkembang di lingkungan heteroseks, potensi homoseksnya yang
90% itu tidak akan berkembang dan bisa saja seumur hidup dia merupakan heteroseks yang
baik karena aspek berlawanannya tidak berkembang. Hal yang sebaliknya juga bisa terjadi
pada orang yang berada dalam kelompok ekstrem kiri yaitu 90% heteroseks dan 10%
homoseks, bila berkembang di lingkungan homoseks, bisa saja terekspresi sebagai seorang
homoseks tulen karena aspek heteroseksnya tidak berkembang. Dari teori ini, kita melihat
bahwa lingkungan sangat dominan mempengaruhi orientasi seksual manusia (Kinsey
Institute,2000)

7
2.2.1 Homoseksual (Rosario, 2009)

Homoseksual berasal dari kata Yunani yaitu homo yang berarti “sama”.
Homoseksual dapat digunakan sebagai kata sifat ataukata benda yang menggambarkan
laki-laki atau wanita yang memiliki daya tarik seksual khusus untuk orang-orang yang
berjenis kelamin sama dengan periode waktu yang signifikan (Master,W.H,dkk. 1992).
Homoseksual adalah ketertarikan seksual terhadap jenis kelamin yang sama (Feldmen,
1990, hal.359). Ketertarikan seksual ini yang dimaksud adalah orientasi seksual, yaitu
kecenderungan seseorang untuk melakukan perilaku seksual dengan laki-laki atau
perempuan (Nietzel dkk.,1998, hal.489). Homoseksualitas bukan hanya kontak seksual
antara seseorang dengan orang lain dari jenis kelamin yang sama tetapi jugamenyangkut
individu yang memiliki kecenderungan psikologis, emosional, dan sosial terhadap
seseorang dengan jenis kelamin yang sama (Kendall ,1998) Hyde juga mendefinisikan
homoseksual sebagai orang yang orientasiseksualnya mengarah kepada individu yang
bergender sama dengan dirinya. Istilah homoseksual dapat digunakan baik untuk pria ,
yang lebih dikenal dengan istilah gay, ataupun wanita lebih dikenal dengan istilah lesbian
(Hyde, 1990).

Penyebab homoseksual

A. Pendekatan Biologis

Penyebab homoseksual dalam pendekatan biologis dapat dikarenakan oleh faktor


genetik, hormon, dan fisiologi sebagai berikut :

- Genetik

Franz Kallman (1952, dalam Carroll, 2010) merupakanpelopor penelitian yang


berusaha menunjukkan komponen genetik pada homoseksual dengan melakukan
penelitian terhadap kembar identik dan membandingkannya dengan kembar
fraternal.Ia menemukan komponen genetik yang kuat pada homoseksual. Hammer
dkk (1993, dalam Carroll, 2010) menemukan bahwa homoseksual pria cenderung
memiliki saudara homoseksual dari bagian ibunya, dan dengan menelusuri jejak
keberadaan gen homoseksual melaluigaris keturuan ibu, menemukannya pada 33
orang dari 40 saudara laki-laki. Pattatucci (1998, dalam Carroll,2010) berpendapat
bahwa pria gaymemiliki saudara laki-laki gay daripada saudara laki-laki lesbian,
sementara para lesbian memiliki lebih banyak saudara perempuan lesbian

8
daripada saudara laki-laki gay. Penelitian ini juga menemukan bukti bahwa gen
gayada pada kromosom X tetapi tidak menemukan gen lesbian.

- Hormon

Ellis, dkk (1988) berpendapat bahwa stress selama kehamilan dapat memicu
pembentukan janin homoseksual.Banyak penelitian yang membandingkan tingkat
androgen dalam darah pada homoseksual dewasa denganpria heteroseksual, dan
umumnya tidak menemukan perbedaan yang signifikan (Green, 1987). Dari lima
studi yang membandingkan tingkat hormon pada lesbian dan wanita
heteroseksual, tiga di antaranya tidak menemukan perbedaan tingkattestosteron,
estrogen, atau hormon lain, sementara dua lainnya menemukan tingkat testosteron
yang lebih 10 tinggi pada lesbian dan satu menemukan tingkat estrogen yang lebih
rendah (Dancey, Christine.P ,1994).

- Fisiologi

Dua artikel pada awal tahun 1990-an melaporkan penemuan perbedaan otak pada
pria homoseksual dan heteroseksual (LeVay, 1991; Swaab & Hofman, 1990).
Kedua studi ini memfokuskan pada hipotalamus, yang diketahui berperan penting
pada dorongan seksual, dan menemukan bahwa daerah-daerah tertentu pada
hipotalamus pria homoseksual berbeda (lebih besar maupun lebih kecil) dengan
pria heteroseksual.Gallo (2000, dalam Caroll, 2010) juga menemukan perbedaan
struktural pada hipotalamus dalam hubungannya dengan orientasi seksual. Melalui
studi tentang panjang jari, Brown dan Williams (dalam Caroll, 2010) menemukan
bahwa lesbian memiliki panjang jari yang lebih mirip jari pria secara umum – jari
telunjuk lebih pendek daripada jari manis -mendukung ide bahwa lesbian mungkin
memiliki tingkat testosteron yang lebih tinggi daripada wanita heteroseksual pada
awal kehidupannya.

B. Pendekatan Psikologis

Pendekatan psikologis yang menggambarkan terjadinyahomoseksual berfokus


pada pelatihan dan sejarah seseorang dalam menemukan asal homoseksual.
Pendekatan psikologis melihat perkembangan perilaku homoseksual lebih sebagai
produk dari dorongan sosial daripada bawaan lahir pada orang tertentu (Carroll,
2010).

9
- Freud dan Psikoanalitis

Freud (1951 dalam Carroll, 2010) berpendapat bahwa bayi melihat segala sesuatu
sebagai potensi seksual, dan karena pria dan wanita berpotensi tertarik pada bayi,
kita semua pada dasarnya biseksual.Freud tidak melihat homoseksual sebagai
suatu penyakit. Freud memandang heteroseksualitas pria sebagai hasil
pendewasaan yang normal dan homoseksualitas pria sebagai akibat oedipus
complex yang tidak terselesaikan. Kelekatan pada ibu yang intens ditambah
dengan ayah yang jauh, dapat membawa anak laki-laki pada ketakutan akan balas
dendam ayah melalui kastrasi. Setelah masa pubertas, anak berpindah dari
ketertarikan pada ibu menjadi identifikasi ibu, dan mulai mencari objek cinta yang
akan dicari oleh ibunya – pria. Fiksasi pada penis dapat mengurangi ketakutan
kastrasi pada pria, dan dengan menolak wanita, pria dapat menghindari
perseteruan dengan ayahnya.Freud juga melihat homoseksual sebagai autoerotis
yaitu pemunculan perasaan seksual tanpa adanya stimulus eksternal dan
narcisistik yaitu mencintai tubuh yang dimilikinya, seseorang seperti bercinta pada
bayangan dirinya.Namun, pandangan ini ditolak oleh psikoanalis lainnya yang
muncul kemudian, terutama Sandor Rado (1949, dalam Caroll, 2010) yang
mengatakan bahwa manusia tidak biseksual secara lahiriah dan homoseksualitas
adalah keadaan psikopatologis – penyakit mental.Pandangan inilah (bukan
pandangan Freud) yang kemudian menjadi standar bagi profesi psikiater hingga
tahun 1970-an. Beiber dkk (1962, dalam Carroll, 2010) mengemukakan bahwa
semua anak laki-laki memiliki ketertarikan erotik yang normal terhadap
wanita.Akan tetapi, beberapa anak laki-laki memiliki ibu posesif yang terlalu
dekat dan juga terlalu intim serta menggoda secara seksual.Sebaliknya, ayah
mereka tidak bersahabat atau absen.Dan Triangulasi ini mendorong anak untuk
berada di pihak ibu, yang menghambat perkembangan maskulin normalnya. Oleh
karena itu, Beiber mengatakan bahwa ibu yang menggoda menimbulkan ketakutan
akan heteroseksualitas pada diri anak. Wolff (1971, dalam Carroll, 2010) meneliti
keluargadari lebih dari 100 lesbian dan melaporkan bahwa sebagian besar
memiliki ibu yang menolak atau dingin secara emosional dan ayah yang
berjarak.Untuk lesbian, para teoritikus percaya bahwa kurangnya kasih sayang
dari ibu menyebabkan anak perempuan mencari kasih sayang dari wanita lainnya
(Carroll, 2010).

10
- Ketidaknyamanan peran gender secara umum ditemukan bahwa pria gay lebih
bersifat feminin daripada pria heteroseksual, sementara lesbian lebih bersifat
maskulin (Bailey et al, 1995; Pillard, 1991). Meskipun temuan ini berhubungan,
yang berarti bahwa sifat cross gender dan kemunculan homoseksualitas di
kemudian hari berhubungan, tetapi tidak memiliki hubungan sebab akibat. Green
(1987) menemukan bahwa anak laki-laki yang feminim atau sissy boy memakai
pakaian lawan jenis, tertarik pada busana wanita, bermain boneka, menghindari
permainan kasar, berkeinginan menjadi perempuan, dan tidak ingin menjadi
seperti ayahnya sejak kecil. Tiga per empat dari mereka tumbuh menjadi
homoseksual atau biseksual, sedangkan hanya satu dari anak laki-laki maskulin
yang tumbuh menjadi biseksual. Menurut Zucker (1990, dalam Green 1987) sissy
boy tersebut juga cenderung dianianya, ditolak, dan diabaikan oleh teman
sebayanya, lebih lemah daripada anak laki-laki lainnya, dan memiliki lebih
banyak kasus psikopatologi .

- Interaksi Kelompok Teman Sebaya Berdasarkan catatan bahwa dorongan seksual


seseorang mulai berkembang pada masa remaja, Storm (1981, dalam Caroll,
2010) berpendapat bahwa orang-orang yang tumbuh lebih cepat mulai tertarik
secaraseksual sebelum mereka mengalami kontak yang signifikan dengan lawan
jenis. Karena pacaran biasanya dimulai pada usia sekitar 15 tahun, anak laki-laki
yang dewasa pada usia 12 tahun masih bermain dan berinteraksi secara umum
dengan kelompok dari jenis kelamin yang sama, sehingga kemungkinan perasaan
erotis yang muncul berfokus pada anak laki-laki juga. Teori ini didukung oleh
fakta bahwa homoseksual cenderung melaporkan kontak seksual yang lebih cepat
dibandingkan heteroseksual. Selain itu, dorongan seksual pria biasa muncul lebih
cepat daripada wanita.

- Pendekatan Behavioural
Teori behavioural tentang homoseksual menganggap bahwa perilaku homoseksual
adalah perilaku yang dipelajari, diakibatkan perilaku homoseksual yang
mendatangkan hadiah atau penguat yang menyenangkan atau pemberian hukuman
atau penguat negatif terhadap perilaku heteroseksual.Sebagai contoh, seseorang
bisa saja memiliki hubungan dengan sesamajenis menyenangkan, dan
berpasangan dengan lawan jenis adalah hal yang menakutkan, dalam fantasinya,

11
orang tersebut bisa saja berfokus pada hubungan sesama jenis, menguatkan
kesenangannya dengan masturbasi. Bahkan pada masa dewasa, beberapa pria dan
wanita bergerak menuju perilaku dan hubungan sesamajenis jika mereka
mengalami hubungan heteroseksual yang buruk dan hubungan homoseksual yang
menyenangkan (Masters & Johnson, 1979, dalam Carroll, 2010)

2.2.2 Biseksual

Menurut Krafft-Ebing, salah seorang seksologis Jerman mengistilahkan


biseksual sebagai psychosexual hermaphroditism yaitu kewujudan dua keinginan
seks yang berbeda dalam satu kejadian wujudnya ciri-ciri lelaki dan wanita dalam
satu tubuh (Bowie dalam Storr, 1999). Ellis (dalam Storr, 1999). Dalam pengertian
umumnya, biseksual adalah orientasi seksual yang mempunyai ciri-ciri berupa
ketertarikan dari segi seksual, cinta maupun keinginan hawa nafsu terhadap lelaki
dan perempuan. Menurut Masters (1992), biseksual adalah istilah untuk orang yang
tertarik secara seksual baik terhadap lelaki maupun perempuan. Biseksual juga
didefinisikan sebagai orang yang memiliki ketertarikan secara psikologi,emosional
dan seksual kepada lelaki dan perempuan (Robin &Hammer, 2000 dalamMatlin,
2004). Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahawa biseksual adalah
istilah bagi seseorang yang mempunyai orientasi seksual yang memiliki ketertarikan
terhadap sesama jenis maupun sejenis baik dari segi, psikologi,emosional dan
seksual.
Biseksualitas adalah salah satu dari tiga klasifikasi utama orientasi seksual,
bersama dengan heteroseksualitas dan homoseksualitas, yang masing-masing
merupakan bagian dari rangkaian kesatuan heteroseksual-homoseksual. Suatu
identitas biseksual tidak harus memiliki ketertarikan seksual yang sama besar pada
kedua jenis kelamin; biasanya, orang-orang yang memiliki ketertarikan pada kedua
jenis kelamin tetapi memiliki tingkat ketertarikan yang berbeda juga
mengidentifikasikan diri mereka sebagai biseksual. Biseksualitas umumnya
dikontraskan dengan homoseksualitas, heteroseksualitas, dan aseksualitas.
Biseksualitas telah teramati terdapat dalam berbagai golongan masyarakat manusia
dan juga pada kelompok hewan di sepanjang sejarah tertulis. Istilah biseksualitas,
sebagaimana hetero- dan homoseksualitas, diciptakan pada abad ke-19 M
(Douglas.H, 2007)

12
Penelitian Alfred Kinsey pada tahun 1948 yang berjudul Kebiasaan Seksual
pada Pria menemukan bahwa "46% populasi pria pernah melakukan aktivitas
heteroseksual dan homoseksual, atau 'bereaksi pada' orang-orang pada kedua jenis
kelamin, selama menjalani kehidupan dewasa mereka". Kinsey sendiri tidak senang
pada penggunaan istilah bisexual untuk menggambarkan individu-individu yang
melakukan aktivitas seksual dengan pria dan wanita, melainkan menggunakan
istilah biseksual dalam pengertian asli dan biologisnya yaitu hermafrodit,
menyatakan, "Hingga dapat dibuktikan [bahwa] selera dalam suatu hubungan
seksual tergantung pada individu yang memiliki organ pria dan wanita, atau
kapasitas fisiologis pria dan wanita pada tubuhnya, sangat disayangkan untuk
menyebut individu seperti itu sebagai biseksual."(American Psychological
Association, 2000)
The Janus Report on Sexual Behavior (lit. "Laporan Janus Mengenai
Kebiasaan Seksual) yang diterbitkan tahun 1993, menunjukkan bahwa 5 persen pria
dan 3 persen wanita menganggap diri mereka biseksual serta 4 persen pria dan 2
persen wanita menganggap diri mereka homoseksual.
Sebuah survei tahun 2002 di Amerika Serikat yang dilakukan oleh National
Center for Health Statistics menemukan bahwa 1,8 persen pria dengan usia 18–44
tahun menganggap diri mereka biseksual, 2,3 persen homoseksual, dan 3,9 persen
sebagai "lain-lain". Survei yang sama menemukan bahwa 2,8 persen wanita berusia
18–44 tahun menganggap diri mereka biseksual, 1,3 persen homoseksual, dan 3,8
persen sebagai "lain-lain".
Pada tahun 2007, sebuah artikel dalam bagian 'Kesehatan' dari The New York
Times menyebutkan bahwa "1,5 persen wanita Amerika dan 1,7 persen pria Amerika
mengidentifikasikan diri mereka [sebagai] biseksual." Juga pada tahun 2007,
dilaporkan bahwa 14,4% wanita muda Amerika Serikat mengidentifikasikan diri
mereka sebagai "tidak benar-benar heteroseksual", dan 5,6% pria mengidentifikasi
sebagai gay atau biseksual.
Sebuah penelitian dalam jurnal Psikologi Biologis pada tahun 2011
melaporkan bahwa terdapat pria-pria yang mengidentifikasikan diri mereka sebagai
biseksual dan bergairah baik pada pria maupun wanita.

13
2.2.3 Transgender

Adalah istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan orang yang melakukan,


merasa, berpikir atau terlihat berbeda dari jenis kelamin yang ditetapkan saat
mereka lahir. "Transgender" tidak menunjukkan bentuk spesifik apapun dari
orientasi seksual orangnya. Orang-orang transgender dapat saja mengidentifikasikan
dirinya sebagai heteroseksual, homoseksual, biseksual, panseksual, poliseksual, atau
aseksual.

Definisi yang tepat untuk transgender masih ditetapkan, namun mencakup:

1. "Tentang, berkaitan dengan, atau menetapkan seseorang yang identitasnya tidak


sesuai dengan pengertian yang konvensional tentang gender laki-laki atau
perempuan, melainkan menggabungkan atau bergerak di antara keduanya."
2. "Orang yang ditetapkan gendernya, biasanya pada saat kelahirannya dan
didasarkan pada alat kelaminnya, tetapi yang merasabahwa deksripsi ini salah
atau tidak sempurna bagi dirinya."
3. "Non-identifikasi dengan, atau non-representasi sebagai, gender yang diberikan
kepada dirinya pada saat kelahirannya." Pada hakikatnya, masalah kebingungan
jenis kelamin atau yang lazim disebut juga sebagai gejala transseksualisme
ataupun transgender merupakan suatu gejala ketidakpuasan seseorang karena
merasa tidak adanya kecocokan antara bentuk fisik dan kelamin dengan
kejiwaan ataupun adanya ketidakpuasan dengan alat kelamin yang dimilikinya.
Ekspresinya bisa dalam bentuk dandanan, make up, gaya dan tingkah laku,
bahkan sampai kepada operasi penggantian kelamin (Sex Reassignment
Surgery). Dalam DSM (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder) –
III, penyimpangan ini disebut sebagai juga gender dysporia syndrome.
Penyimpangan ini terbagi lagi menjadi beberapa subtipe meliputi transseksual,
a-seksual, homoseksual, dan heteroseksual. Tanda-tanda transgender atau
transseksual yang bisa diketahui melalui DSM, antara lain:

i. Perasaan tidak nyaman dan tidak puas dengan salah satu anatomi seksnya;
ii. Berharap dapat berganti kelamin dan hidup dengan jenis kelamin lain;
iii. Mengalami guncangan yang terus menerus untuk sekurangnya selama dua
tahun dan bukan hanya ketika dating stress;
iv. Adanya penampilan fisik interseks atau genetik yang tidak normal;

14
v. Dan dapat ditemukannya kelainan mental semisal schizophrenia yaitu
menurut J.P.Chaplin dalam Dictionary of Psychology (1981) semacam
reaksi psikotis dicirikan di antaranya dengan gejala pengurungan diri,
gangguan pada kehidupan emosional dan afektif serta tingkah laku
negativisme. Salah satu akibatnya trangender muncullah istilah waria yaitu
wanita pria. Waria adalah seorang pria yang secara psikis merasakan
adanya ketidakcocokan antara jati diri yang dimiliki dengan alat
kelaminnya, sehingga akhirnya memilih dan berusaha untuk memiliki sifat
dan perilaku lawan jenisnya yaitu wanita. Fisik mereka laki-laki namun
cara berjalan, berbicara dan dandanan mereka mirip perempuan. Orang
yang secara genetik mempunyai potensi penyimpangan ini dan apabila
didukung oleh lingkungan keinginannya sangat besar untuk merubah diri
menjadi waria. Misalnya ada laki-laki yang tidak percaya diri atau tidak
nyaman bila tidak berdandan atau berpakain wanita. Selain itu, faktor
lingkungan juga sangat mempengaruhi yaitu faktor ekonomi misalnya.
Awalnya hanya untuk mendapatkan uang tapi lama-kelamaan jadi
keterusan.Adapun ciri seorang pria adalah sebagai berikut :
a) Memiliki bentuk tubuh seperti pria
contoh : Rahangnya yang kuat,lengannya yang berotot,bentuk paha, dan
lain-lain,
b) Waria tidak memancarkan PHEROMONE dari dalam tubuhnya seperti
pada wanita.
c) Waria biasa memekai pakaian yang cenderung seperti wanita,biasanya
pakaian sexy untuk menarik perhatian “sesama jenisnya”.
d) Waria tidak mungkin memiliki organ tubuh wanita secara alami (seperti
rahim dan payudara) karena hormon testoseron dalam tubuhnya tidak
terbentuknya organ-organ wanita tersebut.

Faktor Penyebab Terjadinya Transgender

Adapun penyebab seorang pria menjadi seorang wanitaatau waria atau


penyebab terjadinya transgender dapat diakibatkan 2 faktor yaitu :

15
a. Faktor bawaan (hormon dan gen)
Faktor genetik dan fisiologis adalah faktor yang ada dalam diri individu
karena ada masalah antara lain dalam susunan kromosom, ketidakseimbangan
hormon, struktur otak, kelainan susunan syaraf otak.

b. Faktor lingkungan.
Faktor lingkungan diantaranya pendidikan yang salah pada masa kecil dengan
membiarkan anak laki-laki berkembang dalam tingkah laku perempuan, pada masa
pubertas dengan homoseksual yang kecewa dan trauma, trauma pergaulan seks
dengan pacar, suami atau istri. Perlu dibedakan penyebab transseksual kejiwaan dan
bawaan. Pada kasus transseksual karena keseimbangan hormon yang menyimpang
(bawaan), menyeimbangkan kondisi hormonal guna mendekatkan kecenderungan
biologis jenis kelamin bisa dilakukan. Mereka yang sebenarnya normal karena tidak
memiliki kelainan genetikal maupun hormonal dan memiliki kecenderungan
berpenampilan lawan jenis hanya untuk memperturutkan dorongan kejiwaan dan
nafsu adalah sesuatu yang menyimpang.

2.3 Sudut Pandang Psikiatri Indonesia Terhadap LGBT

Belakangan timbul sebuah issue yang muncul terhadap komentar Direktur


Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza, dr Fidiansyah Sp.KJ
MPH. dr. Fidianyah adalah mantan Kepala Pusat Kesehatan Haji Kementerian Kesehatan dan
menjadi salah satu pembimbing di Peduli Sahabat, komunitas yang salah satu tujuannya
adalah "meluruskan" LGBT.
Berawal dari pernyataan dalam sebuah acara televisi yang bertajuk LGBT, dr.
Fidiansyah mengatakan bahwa LGBT adalah gangguan jiwa, dan buku yang dijadikan
pedoman aktivis LGBT hanyalah buku saku saja yang tidak menjelaskan tentang diagnosis
LGBT. Ia membandingkan dengan buku yang ia pakai yang jauh lebih tebal dari buku yang
dipakai aktivis LGBT dan juga mengatakan bahwa pedoman diagnosis gangguan jiwa tidak
bisa hanya berdasarkan sains saja tetapi juga spiritual. Dan tidak beberapa setelah kejadian
tesebut muncul bantahan dari pernyataan dr. Fidiansyah. Bantahan secara tidak langsung
muncul dari dr Andri SpKJ FAPM, psikiater dengan kekhususan psikosomatik medis, Fellow
of Academy of Psychosomatic Medicine dan pengajar di Fakultas Kedokteran UKRIDA.
Andri yang menulis di Kompasiana pada Jumat (19/2/2016) menegaskan dengan huruf
kapital, "Homoseksual (Gay dan Lesbian) dan Biseksual TIDAK TERMASUK

16
GANGGUAN JIWA." Dr. Andri mendasarkan diagnosanya pada Pedoman Penggolongan
Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III yang merupakan buku pedoman diagnosis gangguan
jiwa yang dipakai di Indonesia, diterbitkan oleh Kemenkes tahun 1993. Buku tersebut
merupakan buku yang sama seperti yang dimaksud dr. Fidiansyah. Dalam tulisannya, Andri
menunjukkan dengan detail bagaimana buku itu menyatakan bahwa LGBT bukan gangguan
jiwa. "Pada kode F66 Gangguan Psikologis dan Perilaku yang Berhubungan Dengan
Perkembangan dan Orientasi Seksual, di bawahnya langsung tertulis: catatan: Orientasi
Seksual Sendiri jangan dianggap sebagai suatu gangguan," jelas Andri. Butir F66 pada
halaman 288 buku tersebut menyatakan adanya gangguan maturitas seksual. Di situ, yang
dimaksud adalah individu yang menderita karena ketidakpastian tentang identitas jenis
kelamin dan orientasi seksualnya. Pertama soal bahwa orientasi seksual bukan masalah.
Kedua, bahwa homoseksualitas sebenarnya setara dengan heteroseksualitas. “dr. Fidiansjah
melenyapkan 2 kalimat dan merangkai potongan-potongan tulisan PPDGJ III sehingga
homoseksualitas dan biseksualitas seolah-olah adalah gangguan jiwa," tulisnya. Dr.
Fidiansyah dalam acara ILC menyatakan agar tidak membaca sepotong-sepotong. Namun
menurut Herman, dr. Fidiansyah-lah yang membaca sepotong-sepotong. "Di sini nampak
bahwa dr. Fidiansjah tidak mengatakan kebenaran," katanya. "Kesalahan dr. Fidiansyah
tidak dapat diterima. dr. Fidiansyah harus mengkoreksi ucapannya kepada publik dan
meminta maaf karena tindakannya berpotensi melanggengkan diskriminasi dan kekerasan
terhadap kaum marginal homoseksual, biseksual, dan LGBT pada umumnya," imbuhnya.
Kepada Kompas.com beberapa waktu lalu, dr Ryu Hasan yang seorang neurolog juga
mengungkapkan bahwa LGBT bukan gangguan jiwa dan tidak harus diobati atau diterapi.
Dia juga mengkritisi kalangan ilmuwan dan dokter yang kurang memperbarui
pengetahuannya serta masih mendikotomikan ilmu dan keyakinan."Menganggap bahwa
science dan keyakinan adalah dua hal yang terpisah. Kalau tidak sesuai keyakinan, maka
science-nya diabaikan," imbuhnya.

Asosiasi Psikiatri Amerika Serikat (APA) baru saja menyatakan telah menyurati
Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) guna mendorong
perhimpunan tersebut untuk mempertimbangkan ulang kebijakan bahwa homoseksualitas
masuk dalam kategori masalah kejiwaan. Menanggapi protes itu, Ketua Umum PDSKJI
dr.Danardi Sosrosumihardjo berdalih ada perbedaan pegangan atau acuan dalam menyikapi
LGBT, antara psikiater Indonesia dengan psikiater Amerika Serikat. Di Amerika, organisasi
APA berpegang pada standar DSM (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders)

17
yang sudah tidak lagi mengutak-atik masalah gangguan psikologi atau perilaku pada LGBT,
sedangkan di Indonesia masih mengikuti ICD-10 yang dikeluarkan WHO. ICD-10 adalah
revisi ke-10 dari klasifikasi medis yang dikeluarkan Badan Kesehatan Dunia WHO tentang
penyakit dan masalah berkaitan dengan kesehatan (International Statistical Classification of
Diseases and Related Health Problems/ICD).

Undang-Undang Nomor 18 tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa, terdapat dua


pengelompokan, yakni Orang dengan Masalah Kejiwaan (ODMK) dan Orang dengan
Gangguan Jiwa (ODGJ). Pasal 1 ayat 2 menyatakan Orang Dengan Masalah Kejiwaan yang
selanjutnya disingkat ODMK adalah orang yang mempunyai masalah fisik, mental, sosial,
pertumbuhan dan perkembangan, dan/atau kualitas hidup sehingga memiliki risiko
mengalami gangguan jiwa. Sedangkan pada ayat 3, Orang Dengan Gangguan Jiwa yang
selanjutnya disingkat ODGJ adalah orang yang mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku,
dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala dan/atau perubahan
perilaku yang bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam
menjalankan fungsi orang sebagai manusia.

Gambar 2. Surat dari Asosiasi Psikiatri Amerika Serikat (APA) kepada Perhimpunan Dokter
Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI).

18
Perbedaannya, ODMK memiliki risiko mengalami gangguan jiwa, sedangkan ODGJ
sedang mengalami gangguan jiwa. dr. Danardi menambahkan, psikiater Indonesia punya
pedoman yang mengacu pada PPDGJ III (Pedoman dan Penggolongan Diagnosis Gangguan
Jiwa). Dalam buku tersebut, lesbian, gay, biseksual masuk dalam kelompok ODMK, kalau
transgender masuk ODGJ yang perlu mendapat terapi. Masuknya kaum lesbian, gay, dan
biseksual dalam kelompok ODMK bertujuan mengklasifikasi gangguan psikologis macam
apa yang dialami mereka, dan bukan menangani orientasi seksual mereka.

Sehingga dari pembahasan diatas, PDSKJI memasukkan LGB dalam kategori ODMK
dan T (Transgender) sebagai ODGJ, berdasarkan terminologi di Undang-undang tersebut.

Gambar 3. Surat PDSKJI menyikapi LGBT

19
Gambar 4. Surat PDSKJI menyikapi LGBT (lanjutan).

20
BAB III

KESIMPULAN

LGBT merupakan singkatan dari Lesbian, Guy, Biseksual, dan Transgender. Lesbian
dan gay termasuk dalam homoseksualitas yang merupakan sebuah rasa ketertarikan secara
perasaan dalam bentuk kasih sayang, hubungan emosional yang ditujukan terhadap orang-
orang berjenis kelamin sama. Biseksual merupakan gabungan dari homoseksual dan
heteroseksual. Sementara transgender adalah istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan
orang yang melakukan, merasa, berpikir atau terlihat berbeda dari jenis kelamin yang
ditetapkan saat mereka lahir. Psikiatri Indonesia berpedoman pada Undang-undang dan
PPDGJ III dalam pengelompokan LGBT. Menurut PDSKJI berdasarkan Undang-Undang
Nomor 18 tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa dan PPDGJ III yang merujuk pada WHO,
LBG (Lesbian, Gay, Bisexual) termasuk kedalam kelompok orang dengan masalah kejiwaan
(ODMK) sedangkan T (Transgender) termasuk dalam ODGJ.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. The Kinsey Institute. 2007. Frequently Asked Sexuality Questions to the Kinsey

Institute. Amerika

2. American Psychological Association. Answers to Your Questions. For a Better

Understanding of Sexual Orientation & Homosexuality. (PDF). Amerika

3. American Psychological Association. Resolution on Appropriate Affirmative

Responses to Sexual Orientation Distress and Change Efforts. Amerika

4. APA. 2000. DSM V TR (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders IV Text

Revision). Washington, DC: American Psychiantric Association Press.

5. Carroll, T. 2005. Understanding and Improving Love Relationships: Sections for Gay,

Heterosexual, and Lesbian Singles and Couples.www.houstontherapist.com

6. Committee on Lesbian, Gay, Biseksual, and Transgender Health Issues and Research

Gaps and Opportunities Institute of Medicine of The Natinal Academy. The Health of

Lesbian, Gay, Biseksual, and Transgender People. Washington D.C.. www.nap.edu

7. Elizabeth Landau. 2011. Bisexual men: Science says they're real. CNN.

8. Elvira, Sylvia D. 2015. Buku Ajar Psikiatri. Badan Penerbit FKUI. Jakarta

9. Feldmen, R. S. 1990. Understanding Psychology, Second Edition. New York: Mc

Graw-Hill Publishing Company.

10. Harper, Douglas. 2001. "Bisexuality". Online Etymology Dictionary.

11. Kabar LGBT. 2015. PP PDSKJI : LGB tidak mempunyai masalah kejiwaan jika bisa

“menerima” kondisinya. Diakses dari kabarlgbt.org/2016/02/20/pp-pdskji-lgb-tidak-

mempunyai-masalah-kejiwaan-jika-bisa-menerima-kondisinya/

12. Kinsey Institute. 2016. Kinsey’s Heterosexual-Homosexual Rating Scale.

www.kinseyinstitute.org/research/ak-hhscale.html

22
13. Akbar M . 2016. Menelisik Perjalanan LGBT di Indonesia. Diakses dari :

www.republika.co.id/berita/jurnalisme-warga/wacana/16/01/28/o1n41d336-menelisik-

perjalanan-lgbt-di-indonesia

14. Kaplan, H. I., Sadock, B. J., & Grebb, J. A. 1997. Kaplan dan Sadock Sinopsis Psikiatri

Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis Edisi Ketujuh Jilid Dua.Jakarta: Binarupa

Aksara

15. Mustanski, B. S., R. Garofalo, and E. M. Emerson. 2010. Mental health disorders,

psychological distress, and suicidality in a diverse sample of lesbian, gay, bisexual, and

transgender youths. American Journal of Public Health 100(12):2426–2432.

16. Rosario, M., Schrimshaw, E., Hunter, J., & Braun, L. 2006. Sexual identity

development among lesbian, gay, and bisexual youths: Consistency and change over

time. Journal of Sex Research, 43(1), 46–58.

23

You might also like