You are on page 1of 8

AKROMEGALI

Patogenesis

Tumor hipofisis anterior akan menimbulkan efek massa terhadap struktur sekitarnya.
Gejala klinis yang sering ditemukan adalah sakit kepala dan gangguan penglihatan. Pembesaran
ukuran tumor akan menyebabkan timbulnya keluhan sakit kepala, dan penekanan pada kiasma
optikum akan menyebabkan gangguan penglihatan dan penyempitan lapang pandang. Selain itu,
penekanan pada daerah otak lainnya juga dapat menimbulkan kejang, hemiparesis, dan gangguan
kepribadian. Pada akromegali dapat terjadi hipersekresi maupun penekanan sekresi hormon yang
dihasilkan oleh hipofisis anterior. Hiperprolaktinemia dijumpai ada 30% kasus sebagai akibat
dari penekanan tangkai atau histopatologi tumor tipe campuran. Selain itu, dapat terjadi
hipopituitari akibat penekanan massa hipofisis yang normal oleh massa tumor.2,3

Hipersekresi hormon petumbuhan dapat menimbulkan berbagai macam perubahan


metabolik dan sistemik, seperti pembengkakan jaringan lunak akibat peningkatan deposisi
glikosaminoglikan serta retensi cairan dan natrium oleh ginjal, pertumbuhan tulang yang
berlebihan, misalnya pada tulang wajah dan ekstremitas, kelemahan tendon dan ligamen sendi,
penebalan jaringan kartilago sendi dan jaringan fibrosa periartikular, osteoartritis, serta
peningkatan aktivitas kelenjar keringat dan sebasea. Hormon pertumbuhan yang berlebihan akan
menyebabkan gangguan organ dalam dan metabolik. Pembesaran organ dalam (organomegali)
seringkali ditemukan. Pada jantung terjadi hipertrofi kedua ventrikel. Retensi cairan dan natrium
akan menyebabkan peningkatan volume plasma dan berperanan dalam terjadinya hipertensi pada
pasien akromegali. Selain itu, efek kontra hormon pertumbuhan terhadap kerja insulin di jaringan
hati maupun perifer dapat menyebabkan toleransi glukosa terganggu ( 15%), gangguan glukosa
darah puasa ( 19%), dan diabetes melitus (20%). Efek tersebut diperkirakan terjadi melalui
peningkatan produksi dan ambilan asam lemak bebas. Resistensi insulin terjadi akibat
peningkatan massa jaringan lemak, penurunan lean body mass, serta gangguan aktivitas fisik.
Gangguan kerja enzim trigliserida lipase dan lipoprotein lipase di hati akan menyebabkan
hipertrigliseridemia.2,3,5
Perubahan juga dapat terjadi pada saluran napas atas, seperti pembesaran sinus paranasal
dan penebalan pita suara. Selain itu, lidah dapat membesar dan massa jaringan lunak di daerah
saluran napas atas bertambah, sehingga menyebabkan terjadinya gangguan tidur (sleep apnoe).
Pada pasien akromegali juga dapat terjadi hiperkalsiuria, hiperkalsemia, dan nefrolitiasis, yang
disebabkan oleh stimulasi enzim l α-hidroksilase, sehingga meningkatkan kadar vitamin D, yang
akan meningkatkan absorbsi kalsium.2

Pada jaringan saraf dapat terjadi neuropati motorik dan sensorik. Neuropati yang terjadi
diperburuk oleh kondisi hiperglikemia yang sering ditemukan pada pasien akromegali. Edema
pada sinovium sendi pergelangan tangan dan pertumbuhan tendon dapat menyebabkan sindrom
terowongan karpal (carpal tunnel syndrome).2

Diagnosis

Diagnosis akromegali ditegakkan berdasarkan atas temuan klinis, laboratorium, dan


pencitraan. Secara klinis akan ditemukan gejala dan tanda akromegali. Berdasarkan
pemeriksaan laboratorium ditemukan peningkatan kadar hormon pertumbuhan. Selain itu, dari
penilaian terhadap efek perifer hipersekresi hormon pertumbuhan didapatkan peningkatan
kadar insulin like growth factor-I (IGF-I). Oleh karena sekresinya yang bervariasi sepanjang
hari, pemeriksaan hormon pertumbuhan dilakukan 2 jam setelah pembebanan glukosa 75
gram. Pemeriksaan magnetic resonance imaging (MRI) dengan kontras diperlukan untuk
mengonfirmasi sumber sekresi hormon pertumbuhan. Pemeriksaan MRI dapat
memperlihatkan tumor kecil yang berukuran 2 mm. Secara ringkas alur diagnosis pasien
akromegali dapat dilihat pada gambar 3.2,3,4
Gambar 1. Algoritma diagnosis akromegali2,3

Tatalaksana

Pasien akromegali memiliki angka mortalitas dan morbiditas dua hingga empat kali lebih
tinggi dibandingkan populasi normal. Tata laksana yang adekuat dapat menurunkan angka
mortalitas tersebut. Tujuan tata laksana pasien akromegali adalah mengendalikan pertumbuhan
massa tumor, menghambat sekresi hormon pertumbuhan, dan normalisasi kadar IGF-I. Terdapat
tiga modalitas terapi yang dapat dilakukan pada kasus akromegali, yaitu pembedahan,
medikamentosa dan radioterapi. Masing-masing modalitas memiliki keuntungan dan kelemahan,
tetapi kombinasi berbagai modalitas yang ada diharapkan dapat menghasilkan tata laksanayang
optimal.2,4,6,7,8

1. Pembedahan

Tindakan pembedahan diharapkan dapat mengangkat seluruh massa tumor sehingga


kendali terhadap sekresi hormon perturnbuhan dapat tercapai. Tindakan ini menjadi pilihan pada
pasien dengan keluhan yang timbul akibat kompresi tumor. Ukuran tumor sebelum pembedahan
mempengaruhi angka keberhasilan terapi. Pada pasien dengan mikroadenoma (ukuran tumor <10
mm), angka normalisasi IGF-I mencapai 75-95%, sementara pada makroadenoma angka
normalisasi hormonal lebih rendah yaitu 40-68%. Selain ukuran tumor

faktor lain yang menentukan keberhasilan tindakan operasi adalah pengalaman dokter bedah dan
kadar hormon sebelum operasi. Teknik pembedahan yang kini dikerjakan di Indonesia adalah
transfenoid per endoskopi. Teknik tersebut memiliki keunggulan dalam visualisasi lapangan
operasi serta angka kesakitan yang lebih rendah dibandingkan teknik per mikroskopik. Tidak
semua kasus akromegali dapat diatasi hanya dengan pembedahan.Pada keadaan ini dapat dipilih
terapi alternatif pilihan yaitu pembedahan debulking dengan terapi medikamentosa atau
radioterapi pascapembedahan. Tata laksana medikamentosa juga dapat menjadi pilihan pertama
pada kasus tersebut. 2,6,7,8

2. Medikamentosa

Terapi medikamentosa pada akromegali terdiri atas tiga golongan, yakni agonis dopamin,
analog somatostatin, dan antagonis reseptor hormon pertumbuhan.

A. Dopamin agonis (DA)

Dopamin agonis terdiri atas bromokriptin dan cabergoline. Monoterapi dengan


cabergoline memiliki efikasi antara l0-35% dalam menormalisasi kadar IGF-I. Pada serial 64
pasien dengan akromegali yang ditatalaksana dengan cabergoline selama 3 sampai 40 bulan
dengan dosis 1,0-1,75 mg/minggu menurunkan kadar GH dan IGF-I pada 40% pasien.7 Pasien
yang menolak tindakan operasi dan pemberian obat injeksi dapat menggunakan obat golongan
ini, mengingat dopamin agonis merupakan satu-satunya golongan obat dalam tata laksana
akromegali yang dapat dikonsumsi secara oral. 2,3,4,6,7,8

B. Analog somatostatin (SSA)

Analog somatostatin bekerja menyerupai hormon somatostatin yaitu menghambat sekresi


hormon pertumbuhan. Obat golongan ini memiliki efektivitas sekitar 70% dalam menormalisasi
kadar IGF-I dan hormon pertumbuhan. Efektivitasnya yang tinggi menjadikan obat golongan
analog somatostatin sebagai pilihan pertama dalam terapi medikamentosa. Studi yang menilai
efektivitas obat golongan ini memperlihatkan bahwa normalisasi IGF-I tercapai pada 51% subjek
setelah pernberian analog somatostatin kerja panjang selama 36 bulan. Pada 32% subjek
penelitian terjadi reduksi IGF-1 sekitar lebih dari 50%. Selain menormalisasi kadar IGF-I, terapi
analog somatostatin juga dapat mengecilkan ukuran tumor (80%), perbaikan fungsi jantung,
tekanan darah, serta profil lipid. Kendala utama yang dihadapi hingga saat ini adalah mahalnya
biaya yang harus dikeluarkan. Terdapat dua preparat SSA kerja panjang yang efektif :
intramuscular ocreotide long acting release (LAR), dan deep sc lanreotide depot/autogel yang
diberikan setiap bulan. Lanreotide depot/autogel dapat disuntikkan sendiri atau oleh orang lain.
Dosis awal ocreotide LAR yang disetujui adalah 20 mg/bulan dengan titrasi dosis setiap 3-6
bulan turun hingga 10 mg atau naik hingga 40 mg/bulan. Lanreotide autogel/depot dosis awalnya
yang disetujui 90 mg/bulan dosis dititrasi turun hingga 60 mg/bulan atau naik hingga 120
mg/bulan. Ocerotide sc yang kerja cepat juga tersedia yang diberikan secara injeksi subkutan
beberapa kali dalam sehari. 2,3,4,6,7

C. Antagonis reseptor hormon pertumbuhan (GH Receptor Antagonist)

Antagonis reseptor hormon pertumbuhan merupakan kelas baru dalam terapi


medikamentosa akromegali. Pegvisomant merupakan rekombinan analog hormon pertumbuhan
manusia yang bekerja sebagai selektif antagonis reseptor GH. Obat golongan ini
direkomendasikan pada kasus akromegali yang tidak dapat dikontrol dengan terapi pembedahan,
pemberian agonis dopamin, maupun analog somatostatin. Antagonis reseptor hormon
pertumbuhan dapat menormalisasi kadar IGF-I pada 90% pasien. Sebuah studi yang menilai
efektivitas serta keamanan terapi obat golongan ini sebagai monoterapi atau kombinasi dengan
analog somatostatin memperlihatkan efektivitas masing-masing sebesar 56% dan 62% dalam
2,4,6,7
menormalisasi kadar IGF- I. Pegvisomant diberi secara subkutan dengan dosis 10, 15, atau
20 mg/hari. Pada uji pivotal, normalisasi IGF-I bersifat dose dependent dan dapat dicapai pada
pasien yang mendapat dosis hingga 40 mg/hari. . 2,3,4,6,7,10

D. Terapi Kombinasi

Pada pasien yang memberi respon biokimia parsial terhadap pemberian SSA,
penambahan cabergoline atau pegvisomant dapat dipertimbangkan.

Kombinasi SSA dan cabergoline


Beberapa studi yang dipublikasi mengindikasikan bahwa DA seperti cabergoline
bermanfaat sebagai tambahan terhadap SSAs pada pasien yang resisten terhadap SSAs.
Pada suatu studi dari 19 pasien dengan respon parsial terhadap SSA, penambahan
Cabergoline menghasilkan normalisasi kadar IGF-I pada 8 pasien (42%). Pada studi ini,
adanya tumor immunocytochemistry yang positif untuk prolaktin atau hiperprolaktinemia
tidak berhubungan dengan reduksi IGF-I dan GH. Oleh karena itu, kombinasi
cabergoline dengan SSA efektif walaupun tidak dijumpai hiperprolaktinemia.7

Kombinasi SSA dan Pegvisomant


Kombinasi dua obat ini tampaknya lebih efektif dalam menurunkan IGF-I dibandingkan
dengan SSA atau Pegvisomant saja. Penambahan Pegvisomant setiap minggu pada dosis
rata-rata 60 mg/minggu selama 42 minggu terhadap pasien yang resisten terhaap SSA
menghasilkan normalisasi IGF-I pada 95% pasien. Tidak ada pembesaran tumor
hipofisis, tetapi peningkatan ringan enzim hati dijumpai pada 38%.7

3. Radioterapi

Radioterapi umumnya tidak digunakan sebagai terapi lini pertama pada kasus akromegali
karena lamanya rentang waktu tercapainya terapi efektif sejak pertama kali dimulai. Radioterapi
konvensional dengan dosis terbagi memerlukan waktu 10-20 tahun untuk mencapai terapi yang
efektif, sementara beberapa teknik radioterapi yang baru, yaitu gamma knife, proton beam, linac
stereotactic radiotherapy dapat memberikan remisi yang lebih cepat. Studi yang menilai
efektivitas stereotactic radiotherapy terhadap para pasien yang tidak berhasil dengan radioterapi
konvensional memperlihatkan penurunan kadar IGF-I sebesar 38% dua tahun pascaterapi. Saat
ini di Indonesia modalitas stereotactic radiotherapy telah digunakan pada kasus akromegali.
2,4,6,7

Gambar 4 . Algoritma tatalaksana akromegali7


DAFTAR PUSTAKA

1.
2. Cahyanurr R, Soewondo P. Akromegali. Majalah Kedokteran Indonesia Volume: 60,

Nomor: 6. Jakarta. 2010.p279-83

3. Melmed S. Acromegaly pathogenesis and treatment. J Clin Invest.2009. p3189 -202.

4. Lamesson JL. Harrison’s Endocrinology third Edition. McGraw Hill. 2013. p 34-44

5. Holt RI, Hanley NA. Essential Endocrinology and Diabetes. Sixth edition A John Wiley
& Sons, Ltd., Publication. 2013. p73-82

6. Thomas AD et al. Gigantism and acromegaly. Available from:


http://emedicine.medscape.com/article/925446-overview

7. Katznelson L, Atkinson J, Cook D, Ezzat S ,Hamrahian A, Miller K. AACE guidelines


for clinical practice for diagnosis and treatment for acromegaly. 2011.

8. Mesfro .A, Webb SM, Astorga R, Benito P, Calala M, Gaztambide S, et al.


Epidemiology, clinical characteristics, outcome, morbidity and modality in acromegaly
based on the Spanish acromegaly registry. Eur J Endocrinol. 2004;151 :p439 -46.

9. Biermasz N, Pereira AP, Smit JW, Romijn JA, Roelfsema F. Morbidity after Long-Term
Remission for Acromegaly: Persisting Joint-Related Complaints Cause Reduced Quality
of Life. 2009.

10. Colao A, Auriemma RS, Galdiero M, Lombardi Q, Pivonello R. Effects of initial therapy
for five years with somatostatin analogs for acromegaly on growth hormone and insulin-
like growth factor-I levels, tumor shrinkage, and cardiovascular disease: a prospective
study. J Clin Endocrinol Metab. 2009;94(10):p3746-56.

You might also like