You are on page 1of 12

REAKSI WIDAL

Oleh :
Nama : Priskila Agnesia Prayitno
NIM : B1A015015
Rombongan : II
Kelompok : 2
Asisten : Maretra Anindya Puspaningrum

LAPORAN PRAKTIKUM IMUNOBIOLOGI

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS BIOLOGI
PURWOKERTO
2017
I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Demam thypoid (Typhoid Fever) merupakan suatu penyakit infeksi sistemik


yang disebabkan oleh Salmonella typhi maupun Salmonella paratyphi A, B dan C yang
masih dijumpai secara luas di negara berkembang yang terutama terletak di daerah
tropis dan subtropis (Musyaffa, 2010). Demam thypoid merupakan penyakit infeksi
yang masuk melalui saluran pencernaan kemudian menyebar ke seluruh tubuh melalui
darah. Demam typhoid disebabkan oleh bakteri yang disebut Salmonella serovarian
dan paratyphi. Terdapat ratusan jenis bakteri salmonella tetapi hanya 8 jenis yang
dapat mengakibatkan penyakit demam thypoid yaitu Salmonella serovarian typhi,
paratyphi A, paratyphi B, paratyphi C (Jawetz, 1996). Pemeriksaan widal
ditujukan untuk mendeteksi adanya antibodi (didalam darah) terhadap antigen kuman
Salmonella typhi / paratyphi (reagen). Uji ini merupakan test kuno yang masih amat
popular dan paling sering diminta terutama di negara dimana penyakit ini endemis
seperti di Indonesia. Sebagai uji cepat (rapit test) hasilnya dapat segera diketahui
(Iwan, 2009).
Aglutinasi merupakan reaksi serologi klasik yang dihasilkan gumpalan
suspensi sel oleh sebuah antibodi spesifik yang secara tidak langsung meyerang
spesifik antigen. Beberapa uji telah digunakan secara luas untuk mendeteksi antibodi
yang menyerang penyakit yang dihasilkan mikroorganisme pada serum dalam waktu
yang lama. Fase pertama aglutinasi adalah penyatuan antigen-antibodi terjadi seperti
pada presipitasi dan tergantung pada kekuatan ion, pH dan suhu. Fase kedua yaitu
pembentukan kisi-kisi tergantung pada penanggulangan gaya tolak elektrostatik
partikel-partikel (Olopoenia, 1999).

1.2 Tujuan

Tujuan praktikum acara ini adalah untuk mengetahui penetapan titer antibodi
terhadap antigen Salmonella typhi pada seseorang yang terserang demam thypoid
(tifus).
II. MATERI DAN CARA KERJA

2.1 Materi

Bahan yang digunakan pada praktikum kali ini adalah serum penderuta tifus,
serum kontrol, antigen S. Typhi H (Murex).
Alat yang digunakan adalah object glass, mikroskop, spuit, tabung eppendorf,
sentrifugator, mikropipet, yellow tips, dan batang pengaduk.

2.2 Cara Kerja

1. Diambil object glass.


2. Dipipetkan serum 20 µl.
3. Ditetesi 1 tetes reagen S. Typhi H sebanyak 40 µl.
4. Dihomogenkan dan diamati ada/tidaknya aglutinasi dibawah mikroskop. Jika
ditemukan adanya aglutinasi maka dilanjutkan dengan pengujian
menggunakan serum 10 µl dan 5 µl.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Hasil

Tabel 3.1 Data Hasil Pengamatan Aglutinasi pada Serum

Tingkat Titer
Kelompok
1/80 1/160 1/320
1 (+/-) + + -
2 (+/-) + - -
3 (+/-) + - -
4 (+/-) - - -
5 (+/-) - - -

Interpretasi : Titer 1/80 (-) = Tidak terinfeksi


Titer 1/80 (+) = Infeksi ringan
Titer 1/160 (+) = Infeksi aktif
Titer 1/320 (+) = Infeksi berat

Gambar 1. Serum Negatif Gambar 2. Serum Positif


3.2 Pembahasan

Berdasarkan pengamatan kelompok 2 rombongan II didapatkan hasil bahwa,


pada serum negatif saat titer 1: 80 tidak ditemukan adanya aglutinasi, sehingga tidak
dilakukan proses pengujian ke titer selanjutnya namun hasil mikroskop menunjukkan
adanya endapan layaknya aglutinasi tetapi hanya di beberapa bagian saja, hal ini
mungkin bisa terjadi dan disebut sebagai positif palsu karena beberapa alasan seperti
kondisi dimana seseorang tersebut pernah mendapatkan vaksinasi ataupun terjadinya
reaksi silang dengan spesies lain, yang menandakan bahwa seseorang tersebut belum
tentu positif terinfeksi Salmonella typhii, hal ini sesuai menurut Widodo (2009), jika
hasilnya positif akan terjadi adanya endapan pasir, sedangkan jika hasilnya negatif
maka tetap jernih. Terjadinya aglutinasi menandakan bahwa penderita positif pernah
terinfeksi Salmonella typhii yang ditandai dengan adanya kompleks ikatan antigen-
antibodi. Kadar infeksi berat disimpulkan berdasarkan hasil positif yang terus–
menerus terjadi pada pemberian serum dengan volume berbeda secara bertahap, yaitu
20 µL, 10 µL, dan 5 µL. Setiap tingkatan titer menunjukkan tingkat ketahanan
kompleks pembentukan antigen-antibodi dengan tingkat pengenceran yang menurun.
Demam tifoid merupakan penyakit internasional, menjangkit 13,5 juta individu
tiap tahunnya. Sejak 1948 kloramfenikol digunakan untuk mengurangi kasus yang
fatal dari 20% menjadi 1% (Verma, 2010). Demam tifoid adalah penyakit sistemik
yang bersifat akut, dapat disebabkan oleh Salmonella serotipe typhii, Salmonella
serotipe paratyphi A, B, dan C, ditandai dengan demam berkepanjangan, bakteremia
tanpa perubahan pada sistem endotel, invasi, dan multiplikasi bakteri dalam sel pagosit
mononuklear pada hati dan limpa. Penyakit ini merupakan penyakit menular yang
dapat terjadi di negara beriklim tropis maupun sub tropis. Manifestasi klinis demam
tifoid dimulai dari yang ringan (demam tinggi, denyut jantung lemah, sakit kepala)
hingga berat (perut tidak nyaman, komplikasi pada hati, dan limfa) (Setiana, 2017).
Demam tifoid atau yang sering disebut tifus terjadi bila seseorang terinfeksi
kuman Salmonella typhi yang pada umumnya melalui makanan dan minuman yang
tercemar. Apabila kuman yang masuk kedalam tubuh sangat banyak dan mampu
menembus dinding usus serta dapat masuk kealiran darah hingga menyebar keseluruh
tubuh. Maka hal ini akan dapat menimbulkan infeksi pada organ tubuh lain diluar
saluran pencernaan. Pada hari pertama, sering kali kesulitan membedakan apakah
demam yang timbul disebabkan oleh tifus atau penyebab demam lain seperti demam
berdarah umumnya meningkat mendadak dengan suhu sangat tinggi dan demam akan
turun secara cepat dihari ke 5-6. Bila demam sudah berlangsung lebih dari 7 hari, maka
sangat memungkinkan demam tersebut disebabkan oleh tifoid bukan karena demam
berdarah (Dani, 2008 ). Gejala lain yang sering menyertai adalah gejala pada
pecernaan seperti mual, muntah, sembelit atau diare (Pelczar, 2005).
Menurut Khanna (2016) diagnosis pasti penyakit ini memerlukan isolasi
Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi dari darah, kotoran, urin dan cairan tubuh
lainnya. Uji widal adalah metode yang paling banyak digunakan untuk diagnosis
demam tifoid di India sejak 1896. Uji widal telah digunakan secara luas untuk
diagnosis demam tifoid. Tesnya adalah menunjukkan ada tidaknya antibodi dalam
serum yang terinfeksi. Interpretasi dari tes widal bergantung pada pengetahuan tentang
seroprevalensi titer antibodi positif di antara anggota populasi yang sehat.
Antigen merupakan suatu substansi yang dapat merangsang hewan atau
manusia untuk membentuk protein yang dapat berikatan dengannya dengan cara
spesifik. Antibodi merupakan suatu substansi yang dihasilkan sebagai jawaban
(respon) terhadap antigen yang reaksinya spesifik terhadap antigen tersebut. Antibodi
yang dihasilkan tadi hanya akan bereaksi dengan antigennya atau dengan antigen lain
yang mempunyai persamaan dekat dengan antigen pertama. Antibodi yang terdapat
dalam cairan tubuh biasanya disebut antibodi humoral dan beberapa diantaranya dapat
menghasilkan reaksi yang dapat dilihat dengan mata (visibel). Antibodi spesifik
dibentuk di dalam sel tertentu yang bereaksi secara spesifik dan langsung terhadap
antigen. Antibodi semacam ini dikenal sebagai antigen seluler (Soenarjo, 1989)
Antigen adalah bahan yang asing untuk badan, terdapat dalam manusia atau
organisme multiseluler lain yang dapat menimbulkan pembentukan antibodi
terhadapnya dan dengan antibodi itu antigen dapat bereaksi dengan khas. Sifat
antigenik dapat ditentukan oleh berat molekulnya. Salmonella dan jenis-jenis lainnya
dalam familyEnterobacteriaceae mempunyai beberapa jenis antigen, yaitu antigen O
(somatik), H (Flagella), K (Kapsul) dan Vi (Virulen) (Volk, 1984).
1. Antigen O
Antigen O merupakan somatik yang terletak di lapisan luar tubuh kuman.
Struktur kimianya terdiri dari lipopolisakarida. Antigen ini tahan terhadap pemanasan
100°C selama 2–5 jam, alkohol dan asam yang encer (Baron et al.,1994).
2. Antigen H
Antigen H merupakan antigen yang terletak di flagela, fimbriae atau fili S. typhi
dan berstruktur kimia protein. S. typhi mempunyai antigen H phase-1 tunggal yang
juga dimiliki beberapa Salmonella lain. Antigen ini tidak aktif pada pemanasan di atas
suhu 60°C dan pada pemberian alkohol atau asam (Baron et al.,1994).
3. Antigen Vi
Antigen Vi terletak di lapisan terluar S. typhi (kapsul) yang melindungi kuman
dari fagositosis dengan struktur kimia glikolipid, akan rusak bila dipanaskan selama 1
jam pada suhu 60°C, dengan pemberian asam dan fenol. Antigen ini digunakan untuk
mengetahui adanya karier (Baron et al.,1994).
4. Outer Membrane Protein (OMP)
Antigen OMP S. typhi merupakan bagian dinding sel yang terletak di luar
membran sitoplasma dan lapisan peptidoglikan yang membatasi sel terhadap
lingkungan sekitarnya. OMP ini terdiri dari 2 bagian yaitu protein porin dan protein
nonporin. Porin merupakan komponen utama OMP, terdiri atas protein OMP C, OMP
D, OMP F dan merupakan saluran hidrofilik yang berfungsi untuk difusi solut dengan
BM < 6000. Sifatnya resisten terhadap proteolisis dan denaturasi pada suhu 85–100°C.
Protein nonporin terdiri atas protein OMP A, protein a dan lipoprotein, bersifat sensitif
terhadap protease, tetapi fungsinya masih belum diketahui dengan jelas. Beberapa
peneliti menemukan antigen OMP S. typhi yang sangat spesifik yaitu antigen protein
50 kDa/52 kDa (Baron et al.,1994).
Uji widal merupakan salah satu uji serologis yang sampai saat ini masih
digunakan secara luas, khususnya di negara berkembang termasuk Indonesia. Uji
widal dapat dilakukan dengan metode tabung atau dengan metode peluncuran (slide).
Uji widal dengan metode peluncuran dapat dikerjakan lebih cepat dibandingkan
dengan uji widal tabung, tetapi ketepatan dan spesifisitas uji widal tabung lebih baik
dibandingkan dengan uji widal peluncuran (Wardhani, 2005).
Reaksi widal adalah reaksi serum (sero-test) untuk mengetahui ada tidaknya
antibodi terhadap Salmonella thypi dengan jalan mereaksikan serum seseorang dengan
antigen O, H, OMP dan Vi dari laboratorium. Bila terjadi aglutinasi, maka reaksi widal
positif, berarti serum orang tersebut mempunyai antibodi terhadap Salmonella thypii,
baik setelah vaksinasi, setelah sembuh dari penyakit tipus ataupun sedang menderita
tipus. Reaksi widal negatif artinya tidak memiliki antibodi terhadap Salmonella thypii
(tidak terjadi aglutinasi) (Hardjoeno, 2003).
Menurut Soemarno (2000) kegunaan uji Widal untuk diagnosis demam tifoid
masih kontroversial di antara para ahli karena hasil yang berbeda-beda. Uji Widal
bernilai diagnosis yang tinggi untuk demam tifoid (94,3%), asalkan dapat diketahui
titer antibodi di orang normal dan penderita demam nontifoid. Pang dan Puthucheary
mengatakan bahwa uji Widal masih merupakan pilihan cara yang praktis sehubungan
kesulitan dalam memeriksa bakteri di negara berkembang.
Menurut Shukun (2011) uji widal merupakan suatu metode serologi baku dan
rutin. Teknis aglutinasi ini dapat dilakukan dengan uji hapusan atau uji tabung. Uji ini
di lakukan dengan mencampur serum yang sudah di encerkan dengan suspensi
Salmonella mati yang mengandung antigen. Untuk penetapan titer antibodi digunakan
3 macam seri pengenceran, masing-masing sebesar 1 : 80, 1 : 160, 1 : 320.
1. Pengenceran 1 : 80
Menggunakan serum sebesar 20 µl dengan 1 tetes reagen S. Typhi.
Perhitungan titer antibodi yang digunakan adalah 20 x 1/1600 = 1/80 kali.
2. Pengenceran 1 : 160
Menggunakan serum sebesar 10 µl dengan 1 tetes reagen S. Typhi.
Perhitungan titer antibodi yang digunakan adalah 10 x 1/1600 = 1/160 kali.
3. Pengenceran 1 : 320
Menggunakan serum sebesar 5 µl dengan 1 tetes reagen S. Typhi.
Perhitungan titer antibodi yang digunakan adalah 5 x 1/1600 = 1/320 kali.
Hasil positif pada pemeriksaan widal dinyatakan dengan adanya aglutinasi.
Karena itu antibodi jenis ini dikenal sebagai Febrile agglutinin. Hasil uji ini
dipengaruhi oleh banyak faktor sehingga dapat memberikan hasil positif palsu atau
negatif palsu. Hasil positif palsu dapat disebabkan oleh faktor-faktor, antara lain
pernah mendapatkan vaksinasi, reaksi silang dengan spesies lain (Enterobacteriaceae
sp), reaksi anamnestik (pernah sakit), dan adanya faktor rheumatoid (RF). Hasil
negatif palsu disebabkan antara lain karena penderita sudah mendapatkan terapi
antibiotika, waktu pengambilan darah kurang dari 1 minggu sakit, keadaan umum
pasien yang buruk, dan adanya penyakit imunologik lain (Robbins, 1995).
Uji widal merupakan pemeriksaan yang sering digunakan, namun karena
sensitivitas dan spesifitasnya rendah maka uji widal menjadi kurang efektif lagi.
Prinsip pemeriksaannya adalah reaksi aglutinasi antara antigen kuman Salmonella
typhii dengan antibodi yang disebut agglutinin (Setiana, 2017). Saat ini walaupun telah
digunakan secara luas di seluruh dunia, manfaatnya masih diperdebatkan dan sulit
dijadikan pegangan karena belum ada kesepakatan akan nilai standar aglutinasi (cut-
off point). Mencari standar titer uji widal seharusnya ditentukan titer dasar (baseline
titer) pada anak sehat di populasi dimana pada daerah endemis seperti Indonesia akan
didapatkan peningkatan titer antibodi O dan H pada anak-anak sehat. Kelebihan dari
uji widal adalah mudah dilakukan, membutuhkan waktu yang cepat dan praktis
(Jawetz et al., 1996).
IV. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pengamatan dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa:


1. Demam tifoid adalah penyakit sistemik yang bersifat akut, dapat disebabkan
oleh Salmonella serotipe typhii, Salmonella serotipe paratyphi A, B, dan C.
2. Reaksi widal adalah reaksi serum (sero-test) untuk mengetahui ada tidaknya
antibodi terhadap Salmonella thypi dengan jalan mereaksikan serum seseorang
dengan antigen O, H, OMP dan Vi dari laboratorium.
3. Serum yang mengandung Ab terhadap Salmonella typhii apabila bereaksi
dengan Ag Salmonella typhii yang dilekatakan pada partikel, akan mengalami
aglutinasi, karena Ab dalam serum akan mengikat Ag bakteri Salmonella typhii
(hasil positif).
4. Apabila serum penderita tidak mengandung Ab terhadap Salmonella , maka
tidak akan terjadi aglutinasi karena tidak ada ikatan (interaksi) antara Ag
Salmonella dengan Ab terhadap Salmonella typhii (hasil negatif).
DAFTAR REFERENSI

Baron & Byrne. 1994. Psikologi Kesehatan. Jakarta : Erlangga.


Dani, Hamril.2008. Diktat Imunologi dan Serologi. Palembang : Poltekkes
Palembang.
Hardjoeno. 2003. Interpretasi hasil test diagnostic. Makassar : Lephas.
Iwan. 2009. Tes Widal untuk diagnose tifus. Denpasar : Bali Press.
Jawetz, Ernest. 1996. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta : EGC.
Khanna, Ashish & Menka Khanna. 2016. Assessment of Widal Tube Agglutination
Test and its Baseline Titres in Amritsar an Endemic Area. International
Journal of Current Microbiology and Applied Sciences. 5 (10) pp, 598-604.
Musyaffa, Ripani. 2010. Oxygen Demand (COD). Jakarta : Erlangga.
Olopoenia, L.A & A.L King. 1999. Widal Aglutination Test – 100 Years Later : Still
Plaqued by Controversi. Washington : Howard University.
Pelczar & Chan. 2005. Dasar-Dasar Mikrobiologi 2. Jakarta: UI Press.
Robbins, S.L & V. Kumar. 1995. Buku Ajar Patologi I Edisi 4. Jakarta : ECG.
Setiana, Ghaida Putri & Angga Prawira Kautsar. 2017. Perbandingan Metode
Diagnosis Demam Tifoid. Farmaka. 4 (1) pp, 1 -11.
Shukun, W. Qian, W. Conjia, C. Deshen, S & Xianhua, W. 2011. Value of a single
serum widal agglutination test in diagnosis of paratyphoid fever A.
International Research Journal of Biochemistry and Bioinformatics. 1(8) pp,
209-214.
Soemarno, 2000. Isolasi dan Identifikasi Bakteri Klinis. Yogyakarta : Akademi
Analis kesehatan.
Soenarjo. 1989. Dasar-dasar Imuno Bioreproduksi pada Hewan. Fakultas Peternakan
Unsoed, Purwokerto.
Verma, S, S. Thakur, A. Kanga, G Singh & P. Gupta. 2010. Emerging Salmonella
parathypi A Enteric fever and changing trends in antimicrobial resistance
pattern of salmonella in Shimla. Indian Journal Of Medical Microbiology. 28
(1) pp, : 51-53.
Volk & Wheeler. 1984. Mikrobiologi Dasar. Jakarta : Erlangga.
Wardhani, P. Prihatini, M.Y. 2005. Kemampuan Uji Tabung Widal Menggunakan
Antigen Import dan Antigen Lokal. Indonesian Journal of Clinical Pathology
and Medical Laboratory. 12 (1) pp, 31-37.
Widodo, D. 2009. Demam Tifoid. Jilid III. Edisi ke-5. Jakarta: Interna Publishing.

You might also like