You are on page 1of 13

PEMERIKSAAN PARASIT PADA HOSPES INTERMEDIER

Oleh :
Nama : Priskila Agnesia Prayitno
NIM : B1A015015
Kelompok : 1
Rombongan : I
Asisten : Wiwin Hadianti

LAPORAN PARASITOLOGI

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS BIOLOGI
PURWOKERTO
2018
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Parasit merupakan organisme yang mengambil makanan serta mendapat


keuntungan dari organisme lain. Sedangkan organisme yang mengandung parasit
disebut hospes. Hubungan timbal balik antara hospes dengan parasit disebut
parasitisme. Selain itu juga terdapat parasit temporer atau intermitten yaitu
parasit yang sebagian masa hidupnya bebas dan sewaktu-waktu akan menjadi
parasit. Contoh parasit temporer ialah Strongyloides stercoralis. Jika parasit
kebetulan bersarang pada hospes yang biasanya tidak dihinggapi disebut parasit
insidentil (Muslim, 2009). Berdasarkan hospes yang menjadi tempat bagi parasit
untuk menggantungkan hidupnya maka dapat dibagi menjadi hospes definitif
(hospes terminal/akhir) misalnya tempat parasit melakukan reproduksi seksual
seperti manusia, hewan atau tumbuhan. Hospes sementara (intermediate host)
merupakan tempat parasit menyempurnakan sebagian dari siklus hidupnya atau
dapat juga sebagai tempat reproduksi aseksual (Juanda, 2006).
Spesies yang merupakan hospes intermedier antara lain siput. Siput
merupakan perantara dari cacing Trematoda yang dapat menyebabkan penyakit
pada manusia dan hewan. Tubuh cacing Trematoda akan melanjutkan siklus
hidupnya dengan berkembang menjadi serkaria. Serkaria tersebut sewaktu-waktu
akan keluar dari tubuh cacing dan mencari hospes untuk pertumbuhannya yang
lebih lanjut. Apabila mendapatkan hospes yang sesuai, maka serkaria yang telah
berubah menjadi mirasidium akan memasuki tubuh hewan atau manusia. Oleh
sebab itu, pemeriksaan hospes intermedier dan parasit penting dilakukan, agar
dapat mengetahui bagaimana penyebaran serta cara pencegahan infeksi dari
parasit (Natadisastra, 2009).
Peningkatan produksi hewan ternak akan optimal jika pengendalian
penyakit dapat diefektifkan dan penyedian pakan dapat tercukupi (Dewi, 2011).
Diantara beberapa penyakit hewan di Indonesia yang masih kurang mendapat
perhatian dari para peternak adalah penyakit parasit. Hal tersebut terjadi karena
penyakit parasit tidak mengakibatkan kematian pada hewan ternak. Penyakit
parasit jika dibiarkan begitu saja akan berdampak pada penurunan berat badan
dan daya produktivitas hewan, tentu saja hal itu menyebabkan kerugian yang
sangat besar. Penyakit parasit yang sering ditemukan pada hewan ternak di
Indonesia adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing hati Fasciola spp., yang
dikenal dengan nama distomatosis, fasciolalisis, atau fasciolisis (Mukhlis, 1985).
Penelitian yang dilakukan oleh Dewi (2011) menyimpulkan bahwa dari
pemeriksaan 671 sampel rumah potong yang diambil dari Kabupaten Kebumen
didapatkan bahwa persentase kasus positif Fasciolosis pada tahun 2011 adalah
62,74%. Penyakit ini tidak saja dapat berakibat buruk pada hewan ternak,
melainkan bisa juga menimbulkan penyakit pada manusia (Ari, 2011).

B. Tujuan

1. Mendiagnosa adanya infeksi cacing parasit pada hati sapi, empedu sapi,
babat (lambung) sapi, dan usus ayam.
2. Mengetahui siput sebagai hospes intermedier dan fase-fase yang terjadi
dalam tubuh hospes intermedier.
3. Mengetahui morfologi cacing parasit (telur, larva, dan dewasa)

II. MATERI DAN METODE


A. Materi
Alat yang digunakan adalah tempat penampung (baki), alat bedah (sectio
set), object glass, cover glass, cawan petri, mikroskop dan gelas ukur.
Bahan yang digunakan siput (Lymnaea sp), organ dalam sapi (hati, kantong
empedu), usus ayam, usus kambing, akuades, dan tisu.
B. Cara Kerja

1. Pemeriksaan Hospes Parasit pada Siput:

2. Siput ditempatkan pada tempat penampungan.


3. Bagian cangkang pada lingkaran ketiga dari ujung dipotong dengan cutter.

4. Cairan yang terdapat pada organ yang terlihat setelah cangkang dipotong
dioleskan pada object glass.

5. Diamati dimikroskop.

6. Catat hasilnya

2. Pemeriksaan Hospes Parasit pada Sapi:

a. Organ Hati :
1. Hati sapi ditempatkan pada tempat penampungan.
2. Dicari cacing parasit dengan memotong bagian-bagian dalam organ.

3. Diamati di mikroskop

4. Hitung dan catat hasilnya

b. Kantong Empedu :
1. Kantong empedu di sobek menggunakan pisau.
2. Cairan empedu ditempatkan pada gelas ukur.

3. Dilarutkan dengan air mengalir sampai warna cairan empedu tersebut pudar.

4. Didiamkan selama kurang lebih 5 menit, hingga mengendap.

5. Diamati parasit yang terdapat pada cairan empedu.

3. Pemeriksaan Hospes Parasit pada Usus Ayam dan Usus Kambing


1. Usus ayam dan usus kambing ditempatkan pada tempat penampungan.
2. Dilakukan pengguntingan usus dari ujung satu ke ujung yang lain sampai
terlihat isi didalam usus tersebut.

3. Diamati parasit yang terdapat pada usus ayam dan usus kambing tersebut.

4. Catat hasilnya.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil

Tabel 1. Hasil Pemeriksaan Parasit pada Hospes Intermediet

Preparat Kelompok

1 2 3 4 5

Hati sapi Fasciola Fasciola


hepatica (9) hepatica (6)

Empedu sapi

Usus sapi

Usus kambing Cacing (0) Cacing (2)


Ascaridia
Usus ayam galli (20)
Raillietina
tetragona (9)

Siput Negatif Negatif Positif (2) Positif Negatif

Gambar 1. Hati Sapi Gambar 2. Fasciola hepatica


di Hati Sapi

B. Pembahasan

Hospes merupakan tempat parasit menggantungkan hidupnya dan


berkembang biak. Hospes dapat berupa tumbuhan, hewan dan manusia. Terdapat
beberapa istilah yang perlu diketahui. Hospes definitif yaitu hospes yang merupakan
tempat hidup parasit pada stadium dewasa atau seksual. Contoh manusia sebagai
hospes definitif dari cacing gelang (Ascaris lumbricoides). Hospes intermediet atau
hospes perantara yaitu hospes yang merupakan tempat hidup parasit pada stadium
larva. Contoh manusia merupakan hospes sementara dari parasit Plasmodium sp.
yang menyebabkan penyakit malaria, karena stadium seksual Plasmodium sp.
berada dalam tubuh nyamuk Anopheles sp. (Arwati, 2013).
Fasciola hepatica memiliki bentuk pipih seperti daun, memiliki oral sucker
dan ventral sucker yang sama besar, mempunyai sefalik cone, caecum bercabang-
cabang, testis berjumlah dua terletak didaerah pertangahan badan, testis bercabang-
cabang, tersusun cranio caudal, ovarium bercabang dan terletak cranio lateral dari
testis, uterus berada disebelah anterior ovarium, memiliki kelenjar vitellin yang
tersebar didaerah lateral dan posterior badan. Telur Fasciola hepatica berbentuk
oval dengan ukuran 130-150 x 63-90 µ, berwarna coklat kekuningan, memiliki
operkulum kecil pada salah satu kutubnya (Kusmintarsih, 2014).
Berdasarkan hasil praktikum parasit pada organ dalam sapi ( hati dan kantong
empedu), ayam, kambing dan siput didapatkan spesies Fasciola sp. hati sapi, namun
tidak pada kantong empedu. Hal tersebut tidak sesuai dengan pernyataan Suhardono
(1997) bahwa cacing dewasa terlokalisir hidup dalam saluran atau kantung empedu.
Kejadian tersebut sangat berkaitan dengan pola pemeliharaan sapi, terutama
makanan yang diberikan. Sapi yang digembalakan pada pagi hari dan diberi makan
rumput liar yang diperoleh dekat sawah atau sungai lebih berisiko terkena penyakit
parasit ini. Hal itu karena larva Fasciola sp. suka berada pada rerumputan yang
dekat dengan perairan (Dewi, 2011).
Siklus hidup Fasciola sp. berawal dari metaserkaria yang menginfeksi hewan
ternak melalui rerumputan yang dimakannya. Sekitar 16 minggu kemudian cacing
tersebut menjadi dewasa dan tinggal disaluran empedu. Cacing dewasa
memproduksi telur dan keluar bersama feses. Pada kondisi tertentu telur cacing
menetas dan mengeluarkan mirasidium. Telur cacing Fasiola sp. akan menetas
dalam 9 -12 hari. Mirasidium memiliki cilia dan aktif berenang untuk mencari induk
sementara yaitu siput (Lymnaea sp.). Martindah (2005) yang menyatakan bahwa
mirasidium akan menembus kedalam tubuh siput, dalam waktu 24 jam didalam
tubuh siput akan berubah menjadi sporokista dan 8 hari kemudian akan berkembang
menjadi redia. Redia kemudian akan keluar dari siput menjadi serkaria. Larva aktif
ini akan menempel pada benda yang terendam air seperti jerami, rumput atau
tumbuhan lain dengan cara berenang menggunakan ekornya.
Cacing Fasciola sp. dapat menyebabkan penyakit fasciolosis. Umumnya yang
banyak ditemukan di Indonesia adalah Fasciola gigantica. Fasciolosis pada sapi
biasanya bersifat kronik, sedangkan pada domba dan kambing dapat bersifat akut.
Sapi atau hewan ternak lainnya yang menderita fasciolosis mengalami penurunan
berat badan serta tertahannya pertumbuhan badan hingga dan kematian. Infeksi
cacing Fasciola sp. pada sapi juga dipengaruhi oleh jenis kelamin sapi. Menurut
Hambal (2013) sapi jantan memiliki kerentanan lebih tinggi terhadap infeksi cacing
hati dibandingkan sapi betina. Hal tersebut berkaitan dengan hormon. Hormon
estrogen pada ternak betina memiliki sifat pemacu sel-sel reticulo endothelial
system (RES) dalam membentuk antibodi terhadap parasit. Akibatnya, ternak betina
relatif lebih tahan terhadap berbagai jenis penyakit dan ternak betina juga jarang
dipekerjakan terutama dalam kondisi bunting dan menyusui. Oleh karena itu infeksi
parasit usus bersifat patogenik (Koesdarto, 2001).
Pemeriksaan usus pada ayam kali ini ditemukan adanya infestasi cacing
parasit yaitu Ascaridia galli dan Raillietina tetragona. Hal ini sesuai menurut
Ferdushy (2012) bahwa usus ayam dan bebek umumnya merupakan tempat hidup
bagi Ascaridia galli. Ascaridia galli merupakan Nematoda yang umumnya dijumpai
pada saluran pencernaan unggas. Cacing dewasa hidup di lumen pada usus halus
ungags. Sedangkan pemeriksaan pada usus kambing kali ini tidak ditemukan adanya
infestasi cacing parasit. Cacing Ascaridia galli merupakan cacing Nematoda yang
paling besar, berwarna putih berbentuk bulat, tidak berpigmen dan dilengkapi
dengan kutikula yang halus. Siklus hidup A. galli tidak memerlukan hospes
intermedier. Penularanan cacing ini melalui pakan, air minum atau bahan lain yang
tercemar oleh feses yang mengandung telur infektif. Telur dikeluarkan melalui feses
dan berkembang di udara terbuka dan mencapai dewasa setelah 10 hari atau lebih
(Ari, 2011).
Infestasi parasit pada ayam kampung sebenarnya cukup tinggi, mengingat
cara pemeliharaan yang masih tradisional dengan membiarkan ayam kampung
mencari makan sendiri. Di negara tropis seperti Indonesia berbagai jenis parasit
tumbuh subur sehingga menimbulkan ancaman serius pada tingkat produktifitas
ayam kampung. Berbeda dengan Ascaridia galli yang tidak memerlukan hospes
intermedier, Fasciola hepatica dan Fasciola gigantica, serta banyak parasit lainnya
memerlukan hospes intermedier. Cacing Trematoda ini memiliki fase pertumbuhan
aseksual di dalam tubuh siput. Pertumbuhan cacing Fasciola sp. dimulai dengan
masuknya mirasidium ke dalam jaringan tubuh siput, jika mirasidium sudah
mencapai tempat yang sesuai. Mirasidium yang keluar dari telur bentuknya bulat
dan tubuhnya dikelilingi oleh silia sehingga dapat berenang aktif pada air.
Mirasidium dapat menembus tubuh siput karena mempunyai enzim litik.
Mirasidium lebih senang pada spesies siput karena dipengaruhi faktor kemotaksis
cairan jaringan dan lendir yang terdapat pada tubuh siput tersebut (Brotowidjoyo,
1987).
Mirasidium berubah menjadi sporokista yang bentuknya memanjang.
Sporokista ini mempunyai dinding badan, rongga badan, dan sel-sel germinal yang
membantu sporokista kedua atau redia. Selanjutnya, redia akan membentuk
serkaria. (Noble, 1989). Serkaria selanjutnya keluar dari tubuh siput. Serkaria
memiliki bentuk tubuh yang khas yaitu berbentuk elips dengan ekor panjang untuk
lokomosi. Selain itu, serkaria sudah memiliki oral sucker dan ventral sucker, alat
pencernaan, sistem reproduksi sederhana dan sistem ekskresi. Serkaria Schistosoma
sp dapat menembus kulit hospes definitif karena larva ini membentuk sekret litik
yang dihasilkan oleh kelenjar sefalik. Selain itu, serkaria ini juga dapat menginfeksi
inang perantara baru. yaitu ikan air tawar, ketam atau vegetasi air. Serkaria juga
daoat masuk ke dalam hospes definitive Karena termakan atau menembus kulit.
Setelah berada di dalam hospes definitifnya, serkaria berubah menjadi cacing muda
yang kemudian akan pindah ke organ pencernaan yang cocok dan tumbuh menjadi
dewasa (Ngurah & Putra, 1997).

IV. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil praktikum pemeriksaan parasit pada hospes intermedier
dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Pemeriksaan hospes parasit siput, hati sapi, kantung empedu sapi, usus kambing
dan usus ayam didapatkan parasit berupa cacing dewasa Fasciola hepatica pada
hati sapi dan tidak terdapat parasit pada siput.
2. Siput merupakan hospes intermedier (inang sementara), fase yang terjadi
didalam tubuhnya meliputi fase mirasidium, sporokista, redia dan serkaria.
Serkaria selanjutnya keluar dari tubuh siput dan mencari hospes definitifnya
yang sesuai.
3. Morfologi cacing parasit, misalnya Fasciola hepatica ialah telur berbentuk oval
berisi granula dan memiliki operculum. Larva cacing Fasciola hepatica
kemudian berkembang menjadi cacing dewasa yang tinggal di hati sapi atau
hewan ternak lainnya, bentuk tubuh cacing Fasciola sp. pipih seperti daun dan
memiliki oral sucker dan ventral sucker dengan ukuran yang sama.

DAFTAR REFERENSI

Ari Puspita Dewi, Eni Fatiyah, dan Edy Sumarwanta. 2011. Kejadian Infeksi Cacing
Hati ( fasciola spp) pada Sapi Potong di Kabupaten Kebumen Tahun 2011.J. vet.
Arwati, H. 2013. Pengantar Parasitologi. Surabaya: Departement of Parasitology Faculty
of Medecine.

Brotowidjojo, M.D. 1987. Parasit dan Parasitisme. Jakarta : Melton Putra, Jakarta.
Ferdushy, Tania., Peter Nejsum., Allan Roepstorff., S.M. Thamsborg & Niels C.
Jyvsgaard. 2012. Ascaridia galli in Chickens: Intestinal Localization and
Comparison of Methods to Isolate the Larvae within The First Week of
Infection. Parasitol Res. Vol. 111 : 2273-2279.

Hambal, Muhammad., Arman Sayuti & Agus Dermawan. 2013. Tingkat Kerentanan
Fasciola gigantica pada Sapi dan Kerbau di Kecamatan Lhoong Kabupaten
Aceh Besar. Jurnal Media Veterinaria. Vol. 7 (1).
Juanda, H. A. 2006. TORCH (Toxo, Rubella, CMV dan Herpes) Akibat dan Solusinya.
Solo : Wangsa Jatra Lestari.
Koesdarto, S., dkk, 2001, Model Pengendalian Siklus Infeksi Toxocariasis Sapi Dengan
Fraksinasi Minyak Atsiri Rimpang Temuireng (Curcuma aeruginosa Roxb) Di
Pulau Madura, Jurnal Penelitian Medika Eksakta, 2 : 114 - 122

Kusmintarsih, E.S., Edy, W., Bambang, H.B., Rokhmani, Endang. A. 2014. Petunjuk
Praktikum Parasitologi. Purwokerto: Fakultas Biologi Universitas Jenderal
Sodirman.

Martindah E., Widjajanti S., Estuningsih S.E., dan Suhardono. 2005. Meningkatkan
Kesadaran dan Kepedulian Masyarakat Terhadap Fasciolosis Sebagai Penyakit
Infeksius. Wartazoa Vol. 15.

Muchlis A. 1985. Identitas Cacing Hati (Fasciola sp.) dan Daur Hidupnya di Indonesia.
Thesis Ph.D. Fakultas Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.

Muslim, M. H.2009. Parasitologi untuk Keperawatan. Jakarta : EGC.

Natadisastra, Djaenudin. 2009. Parasitologi Kedokteran : Ditinjau dari Organ Tubuh


yang Diserang. Jakarta : EGC.

Ngurah D. D. M. & A. A. G. Putra. 1997. Penyidikan Penyakit Hewan. Denpassar : Bali


Media.

Noble, E. R & G. A. Noble. 1989. Parasitologi : Biologi Parasit Hewan. Yogyakarta :


UGM.
Purwanta. 2006. Penyakit Cacing Hati (Fasciolasis) pada Sapi Bali di Perusahaan
Daerah Rumah Potong Hewan (RPH) Kota Makassar. Jumal Agrisistem. Vol.
2 (II) : 63-69.
Suhardono. 1997. Epidemiology and Control of Fasciolosis by Fasciola gigantica in
Ongole Cattle in West Java. Thesis Ph.D. James Cook University of North
Queensland, Australia.

You might also like