You are on page 1of 37

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Mobilitas dan aktivitas adalah hal yang vital bagi kesehatan total
lansia sehingga perawat harus banyak memiliki pengetahuan dalam
pengkajian dan intervensi muskuloskeletal. Perawat memainkan dua
peranan penting. Pertama, mempraktikkan promosi kesehatan jauh sebelum
berusia 65 tahun dapat menunda dan memperkecil efek degeneratif dari
penuaan. Penyakit muskuloskeletal bukan merupakan konsekuensi penuaan
yang tidak dapat dihindari dan karenanya harus dianggap sebagai suatu
proses penyakit spesifik, tidak hanya sebagai akibat dari penuaan.
Artritis Reumatoid (AR) adalah suatu penyakit otoimun sistemik
yang menyebabkan peradangan pada sendi. Penyakit ini ditandai oleh
peradangan sinovium yang menetap, suatu sinovitis proliferatifa kronik non
spesifik. Dengan berjalannya waktu, dapat terjadi erosi tulang, destruksi
(kehancuran) rawan sendi dan kerusakan total sendi.
Artritis Reumatoid merupakan suatu penyakit yang telah lama dikenal
dan tersebar luas di seluruh dunia serta melibatkan semua ras dan kelompok
etnik.Prevalensi Artritis Reumatoid adalah sekitar 1 persen populasi
(berkisar antara 0,3 sampai 2,1 persen). Artritis Reumatoid lebih sering
dijumpai pada wanita, dengan perbandingan wanita dan pria sebesar 3 : 1.7
Perbandingan ini mencapai 5:1 pada wanita dalam usia subur.Artritis
Reumatoid menyerang 2,1 juta orang Amerika, yang kebanyakan wanita.
Serangan pada umumnya terjadi di usia pertengahan, nampak lebih sering
pada orang lanjut usia. 1,5 juta wanita mempunyai artritis reumatoid yang
dibandingkan dengan 600.000 pria.
Penanganan medis pasien dengan artritis reumatoid pada lansia
bergantung pada tahap penyakit ketika diagnosis dibuat dan termasuk dalam
kelompok mana yang sesuai dengan kondisi tersebut. Untuk menghilangkan
nyeri dapet mempergunakan agens antiinflamasi, obat yang dipilih adalah
aspirin.
1.2. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakan asuhan keperawatan artritis reumatoid (RA) pada pasien
lansia ?

1.3. Tujuan
1.3.1. Tujuan Umum
Dapat menambah pengetahuan mahasiswa mengenai penyakit
rematoid artritis serta asuhan keperawatan yang dapat dilakukan
terhadap pasien lansia dengan masalah rematoid artritis.
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Mahasiswa mampu mengetahui anatomi fisiologi sistem
persendian.
2. Mahasiswa mampu mengetahui pengertian rematoid artritis.
3. Mahasiswa mampu mengetahui penyebab terjadinya rematoid
artritis.
4. Mahasiswa mampu mengetahui patofisiologi rematoid artritis.
5. Mahasiswa mampu mengetahui tanda dan gejala yang muncul pada
rematoid artritis.
6. Mahasiswa mampu mengetahui penatalaksanaan keperawatan yang
dapat diberikan pada pasien yang mengalami rematoid artritis.
7. Mahasiswa mampu mengetahui asuhan keperawatan yang bisa
dilakukan pada pasien dengan masalah rematoid artritis.

1.4. Manfaat
1. Mahasiswa mampu memahami pengertian arthritis reumatoid
2. Mahasiswa mampu memahami etiologi arthritis reumatoid
3. Mahasiswa mampu memahami patofisiologi arthritis reumatoid
4. Mahasiswa mampu memahamimanifestasi klinik arthritis reumatoid
5. Mahasiswa lebih mampu memahami pemeriksaan diagnosk arthritis
reumatoid
6. Mahasiswa mengetahui komplikasi arthritis reumatoid
7. Mahasiswa mengetahui penatalaksanaan arthritis reumatoid
8. Mahasiswa memahami cara mencegah arthritis reumatoid
9. Mahasiswa memahami konsep dasar asuhan keperawatan arthritis
reumatoid
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Konsep Lansia


A. Pengertian
Dalam Undang-undang No. 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan
lansia menyatakan bahwa lansia adalah seseorang yang mencapai usia 60
tahun ke atas. Dalam mendefinisikan batasan penduduk lanjut usia, ada
tiga aspek yang perlu dipertimbangkan yaitu aspek biologi, aspek ekonomi
dan aspek sosial (BKKBN).
Menurut prof koesmoto setyonegoro lanjut usia adalah orang yg
berumur 65 tahun keatas. Sebenarnya lanjut usia adalah suatu proses alami
yang tidakapat ditentukan oleh tuhan yang maha esa (Wahyudi, 2000)
B. Batasan lansia
Batasan seseorang dikatakan Lanjut usia masih diperdebatkan oleh
para ahli karena banyak faktor fisik, psikis dan lingkungan yang saling
mempengaruhi sebagai indikator dalam pengelompokan usia lanjut. Proses
peneuan berdasarkan teori psikologis ditekankan pada perkembangan).
World Health Organization (WHO) mengelompokkan usia lanjut sebagai
berikut :
1. Middle Aggge (45-59 tahun)
2. Erderly (60-74 tahun)
3. Old (75-90 tahun)
4. Very old (> 91 tahun)
C. Proses Menua
Menua adalah proses yang mengubah seorang dewasa sehat
menjadi seorang yang frail dengan berkurangnya sebagian besar cadangan
sistem fisiologis dan meningkatnya kerentanan terhadapa berbagai
penyakit dan kematian (Setiati dkk, 2006).
Terdapat dua jenis penuaan, antara lain penuaan primer,
merupakan proses kemunduran tubuh gradual tak terhindarkan yang
dimulai pada masa awal kehidupan dan terus berlangsung selama
bertahun-tahun, terlepas dari apa yang orang-orang lakukan untuk
menundanya. Sedangkan penuaan sekunder merupakan hasil penyakit,
kesalahan dan penyalahgunaan faktor-faktor yang sebenarnya dapat
dihindari dan berada dalam kontrol seseorang (Busse,1987; J.C Horn &
Meer,1987 dalam Papalia, Olds & Feldman, 2005).
D. Perubahan- perubahan yang terjadi pada lansia
1. Perubahan Fisik
Meliputi perubahan dari tingkat sel sampai kesemua sistem organ
tubuh, diantaranya sistem pernafasan, pendengaran, penglihatan,
kardiovaskuler, sistem pengaturan tubuh, muskuloskeletal,
gastrointestinal, genito urinaria, endokrin dan integumen.
a. Sistem pernafasan pada lansia.
1) Otot pernafasan kaku dan kehilangan kekuatan, sehingga
volume udara inspirasi berkurang, sehingga pernafasan cepat
dan dangkal.
2) Penurunan aktivitas silia menyebabkan penurunan reaksi batuk
sehingga potensial terjadi penumpukan sekret.
3) Penurunan aktivitas paru ( mengembang & mengempisnya )
sehingga jumlah udara pernafasan yang masuk keparu
mengalami penurunan, kalau pada pernafasan yang tenang kira
kira 500 ml.
4) Alveoli semakin melebar dan jumlahnya berkurang ( luas
permukaan normal 50m²), menyebabkan terganggunya prose
difusi.
5) Penurunan oksigen (O2) Arteri menjadi 75 mmHg menggangu
prose oksigenasi dari hemoglobin, sehingga O2 tidak terangkut
semua kejaringan.
6) CO2 pada arteri tidak berganti sehingga komposisi O2 dalam
arteri juga menurun yang lama kelamaan menjadi racun pada
tubuh sendiri.
7) kemampuan batuk berkurang, sehingga pengeluaran sekret &
corpus alium dari saluran nafas berkurang sehingga potensial
terjadinya obstruksi.
b. Sistem persyarafan.
1) Cepatnya menurunkan hubungan persyarafan.
2) Lambat dalam merespon dan waktu untuk berfikir.
3) Mengecilnya syaraf panca indera.
4) Berkurangnya penglihatan, hilangnya pendengaran,
mengecilnya syaraf pencium & perasa lebih sensitif terhadap
perubahan suhu dengan rendahnya ketahanan terhadap dingin.
c. Perubahan panca indera yang terjadi pada lansia.
1) Penglihatan
a) Kornea lebih berbentuk skeris.
b) Sfingter pupil timbul sklerosis dan hilangnya respon
terhadap sinar.
c) Lensa lebih suram (kekeruhan pada lensa).
d) Meningkatnya ambang pengamatan sinar : daya adaptasi
terhadap kegelapan lebih lambat, susah melihat dalam
cahaya gelap.
e) Hilangnya daya akomodasi.
f) Menurunnya lapang pandang & berkurangnya luas
pandang.
g) Menurunnya daya membedakan warna biru atau warna
hijau pada skala.
2) Pendengaran.
a) Presbiakusis (gangguan pada pendengaran) :
Hilangnya kemampuan (daya) pendengaran pada telinga
dalam, terutama terhadap bunyi suara, antara lain nada nada
yang tinggi, suara yang tidak jelas, sulit mengerti kata kata,
50 % terjadi pada usia diatas umur 65 tahun.
b) Membran timpani menjadi atropi menyebabkan
otosklerosis.
c) Terjadinya pengumpulan serumen, dapat mengeras karena
meningkatnya kreatin.
3) Pengecap dan penghidu.
a) Menurunnya kemampuan pengecap.
b) Menurunnya kemampuan penghidu sehingga
mengakibatkan selera makan berkurang.
4) Peraba.
a) Kemunduran dalam merasakan sakit.
b) Kemunduran dalam merasakan tekanan, panas dan dingin.
d. Perubahan cardiovaskuler pada usia lanjut.
1) Katub jantung menebal dan menjadi kaku.
2) Kemampuan jantung memompa darah menurun 1 % pertahun
sesudah berumur 20 tahun. Hal ini menyebabkan menurunnya
kontraksi dan volumenya.
3) Kehilangan elastisitas pembuluh darah.
Kurangnya efektifitasnya pembuluh darah perifer untuk
oksigenasi, perubahan posisi dari tidur keduduk ( duduk ke
berdiri ) bisa menyebabkan tekanan darah menurun menjadi 65
mmHg ( mengakibatkan pusing mendadak ).
4) Tekanan darah meningkat akibat meningkatnya resistensi
pembuluh darah perifer (normal ± 170/95 mmHg ).
e. Sistem genito urinaria.
1) Ginjal, Mengecil dan nephron menjadi atropi, aliran darah ke
ginjal menurun sampai 50 %, penyaringan diglomerulo
menurun sampai 50 %, fungsi tubulus berkurang akibatnya
kurangnya kemampuan mengkonsentrasi urin, berat jenis urin
menurun proteinuria ( biasanya + 1 ) ; BUN meningkat sampai
21 mg % ; nilai ambang ginjal terhadap glukosa meningkat.
2) Vesika urinaria / kandung kemih, Otot otot menjadi lemah,
kapasitasnya menurun sampai 200 ml atau menyebabkan
frekwensi BAK meningkat, vesika urinaria susah dikosongkan
pada pria lanjut usia sehingga meningkatnya retensi urin.
3) Pembesaran prostat ± 75 % dimulai oleh pria usia diatas 65
tahun.
4) Atropi vulva.
5) Vagina, Selaput menjadi kering, elastisotas jaringan menurun
juga permukaan menjadi halus, sekresi menjadi berkurang,
reaksi sifatnya lebih alkali terhadap perubahan warna.
6) Daya sexual, Frekwensi sexsual intercouse cendrung menurun
tapi kapasitas untuk melakukan dan menikmati berjalan terus.
f. Sistem endokrin / metabolik pada lansia.
1) Produksi hampir semua hormon menurun.
2) Fungsi paratiroid dan sekesinya tak berubah.
3) Pituitary, Pertumbuhan hormon ada tetapi lebih rendah dan
hanya ada di pembuluh darah dan berkurangnya produksi dari
ACTH, TSH, FSH dan LH.
4) Menurunnya aktivitas tiriod Ù BMR turun dan menurunnya
daya pertukaran zat.
5) Menurunnya produksi aldosteron.
6) Menurunnya sekresi hormon bonads : progesteron, estrogen,
testosteron.
7) Defisiensi hormonall dapat menyebabkan hipotirodism, depresi
dari sumsum tulang serta kurang mampu dalam mengatasi
tekanan jiwa (stess).
g. Perubahan sistem pencernaan pada usia lanjut.
1) Kehilangan gigi, Penyebab utama adanya periodontal disease
yang biasa terjadi setelah umur 30 tahun, penyebab lain
meliputi kesehatan gigi yang buruk dan gizi yang buruk.
2) Indera pengecap menurun, Adanya iritasi yang kronis dari
selaput lendir, atropi indera pengecap (± 80 %), hilangnya
sensitivitas dari syaraf pengecap dilidah terutama rasa manis,
asin, asam & pahit.
3) Esofagus melebar
4) Lambung, rasa lapar menurun (sensitivitas lapar menurun ),
asam lambung menurun, waktu mengosongkan menurun.
5) Peristaltik lemah & biasanya timbul konstipasi.
6) Fungsi absorbsi melemah ( daya absorbsi terganggu ).
7) Liver ( hati ), Makin mengecil & menurunnya tempat
penyimpanan, berkurangnya aliran darah.
h. Sistem muskuloskeletal.
1) Tulang kehilangan densikusnya Ù rapuh.
2) resiko terjadi fraktur.
3) kyphosis.
4) persendian besar & menjadi kaku.
5) pada wanita lansia > resiko fraktur.
6) Pinggang, lutut & jari pergelangan tangan terbatas.
7) Pada diskus intervertebralis menipis dan menjadi pendek
(tinggi badan berkurang ).
i. Perubahan sistem kulit & karingan ikat.
1) Kulit keriput akibat kehilangan jaringan lemak.
2) Kulit kering & kurang elastis karena menurunnya cairan dan
hilangnya jaringan adiposa
3) Kelenjar kelenjar keringat mulai tak bekerja dengan baik,
sehingga tidak begitu tahan terhadap panas dengan temperatur
yang tinggi.
4) Kulit pucat dan terdapat bintik bintik hitam akibat menurunnya
aliran darah dan menurunnya sel sel yang meproduksi pigmen.
5) Menurunnya aliran darah dalam kulit juga menyebabkan
penyembuhan luka luka kurang baik.
6) Kuku pada jari tangan dan kaki menjadi tebal dan rapuh.
7) Pertumbuhan rambut berhenti, rambut menipis dan botak serta
warna rambut kelabu.
8) Pada wanita > 60 tahun rambut wajah meningkat kadang
kadang menurun.
9) Temperatur tubuh menurun akibat kecepatan metabolisme yang
menurun.
10) Keterbatasan reflek menggigil dan tidak dapat memproduksi
panas yang banyak rendahnya akitfitas otot.
11) Perubahan sistem reproduksi dan kegiatan sexual.
a) selaput lendir vagina menurun/kering.
b) menciutnya ovarium dan uterus.
c) atropi payudara.
d) testis masih dapat memproduksi meskipun adanya
penurunan secara berangsur berangsur.
e) dorongan sex menetap sampai usia diatas 70 tahun, asal
kondisi kesehatan baik.
2. Perubahan-perubahan mental/ psikologis
Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan mental adalah :
a. Pertama-tama perubahan fisik, khususnya organ perasa.
b. kesehatan umum
c. Tingkat pendidikan
d. Keturunan (herediter)
e. Lingkungan
f. Gangguan saraf panca indra, timbul kebutaan dan ketulian
g. Gangguan konsep diri akibat kehilangan jabatan
h. Rangkaian dari kehilangan yaitu kehilangan hubungan dengan
teman dan famili
i. Hilangnya kekuatan dan ketegapan fisik, perubahan terhadap
gambaran diri dan perubahan konsep diri
Perubahan kepribadian yang drastis keadaan ini jarang terjadi lebih
sering berupa ungkapan yang tulus dari perasaan seseorang, kekakuan
mungkin oleh karena faktor lain seperti penyakit-penyakit
Kenangan (memory) ada dua; 1) kenangan jangka panjang, berjam-
jam sampai berhari-hari yang lalu, mencakup beberapa perubahan, 2)
Kenangan jangka pendek atau seketika (0-10 menit), kenangan buruk.
Intelegentia Quation; 1) tidakberubah dengan informasi
matematika dan perkataan verbal, 2) berkurangnya
penampilan,persepsi dan keterampilan psikomotorterjadi perubahan
pada daya membayangkan, karena tekanan-tekanan dari faktro waktu.
3. Perubahan Spiritual
Agama atau kepercayaan makin terintegarsi dalam kehidupannya
(Maslow,1970). Lansia makin matur dalam kehidupan keagamaannya,
hal ini terlihat dalam berpikir dan bertindak dalam sehari-hari.

2.2 Anatomi dan Fisiologi


Suatu artikulasi, atau persendian, terjadi saat permukaan dari
dua tulang bertemu, adanya pergerakan atau tidak bergantung pada
sambungannya. Persendian dapat diklasifikasi menurut struktur dan menurut
fungsi persendian.
2.1.1. Klasifikasi Struktural Persendian
a. Persendian fibrosa tidak memiliki rongga sendi dan diperkokoh
dengan jaringan ikat fibrosa.
b. Persendian kartilago tidak memiliki rongga sendi dan diperkokoh
dengan jaringan kartilago.
c. Persendian sinovial memiliki rongga sendi dann diperkokoh
dengan kapsul dan ligamen artikular yang membungkusnnya.
2.1.2. Klasifikasi Fungsional Persendian
a. Sendi sinartrosis atau sendi mati.
1) Sutura adalah sendi yang dihubungkan dengan jaringan ikat
fibrosa rapat dan hanya ditemukan pada tulang tengkorak.
Contoh sutura adalah sutura sagital dan sutura parietal.
2) Sinkondrosis adalah sendi yang tulang-tulangnya
dihubungkan dengan kartilago hialin. Salah satu contohnya
adalah lempeng epifisis sementara antara epifisis dan diafisis
pada tulang panjang seorang anak. Saat sinkondrosis sementara
berosifikasi, maka bagian tersebut dinamakan sinostosis.
b. Amfiartrosis adalah sendi dengan pergerakan terbatas yang
memungkinkan terjadinya sedikit gerakan sebagai respons terhadap
torsi dan kompresi.
1) Simfisis adalah sendi yang kedua tulangnya dihubungkan
dengan diskus kartilago, yang menjadi bantalan sendi dan
memungkinkan terjadinya sedikit gerakan. Contoh simfisis
adalah simfisis pubis antara tulang-tulang pubis dan diskus
intervertebralis antar badan vertebra yang berdekatan.
2) Sindesmosis terbentuk saat tulang-tulang yang berdekatan
dihubungkan dengan serat-serat jaringan ikat kolagen. Contoh
sindesmosis dapat ditemukan pada tulang yang terletak
bersisian dan dihubungkan dengan membran interoseus, seperti
pada tulang radius dan ulna, serts tibia dan fibula.

c. Diartrosis adalah sendi yang dapat bergerak bebas, disebut juga


sendi sinovial. Sendi ini memiliki rongga sendi yang berisi cairan
sinovial, suatu kapsul sendi (artikular) yang menyambung kedua
tulang, dan ujung tulang pada sendi sinovial dilapisi kartilago
artikular.
2.1.3. Klasifikasi Persendian Sinovial
a. Sendi sferoidal terdiri dari sebuah tulang dengan kepala berbentuk
bulat yang masuk dengan pas ke dalam rongga berbentuk cangkir
pada tulang lain. Memungkinkan rentang gerak yang lebih besar,
menuju ke tiga arah. Contoh sendi sferoidal adalah sendi panggul
serta sendi bahu.
b. Sendi engsel. Sendi ini memungkinkan gerakan kesatu arah saja
dan dikenal sebagai sendi uniaksial. Contohnya adalah persendian
pada lutut dan siku.
c. Sendi kisar (pivot joint). Sendi ini merupakan sendi uniaksial yang
memungkinkan terjadinya rotasi disekitar aksial sentral, misalnya
persendian tempat tulang atlas berotasi di sekitar prosesus odontoid
aksis.
d. Persendian kondiloid. Sendi ini merupakan sendi biaksial, yang
memungkinkan gerakan kedua arah disudut kanan setiap tulang.
Contohnya adalah sendi antara tulang radius dan tulang karpal.
e. Sendi pelana. Persendian ini adalah sendi kondiloid yang
termodifikasi sehingga memungkinkan gerakan yang sama.
Contohnya adalah persendian antara tulang karpal dan metakarpal
pada ibu jari.
f. Sendi peluru. Sedikit gerakan ke segala arah mungkin terjadi
dalam batas prosesus atau ligamen yang membungkus persendian.
Persendian semacam ini disebut sendi nonaksial; misalnya
persendian invertebrata dan persendian antar tulang-tulang karpal
dan tulang-tulang tarsal.
2.3. Pengertian Artritis Reumatoid
Artritis reumatoid merupakan penyakit inflamasi sistemik kronis
yang tidak diketahui penyebabnya, diakrekteristikkan oleh kerusakan dan
proliferasi membran sinovial yang menyebabkan kerusakan pada tulang
sendi, ankilosis, dan deformitas. (Kusharyadi, 2010)
Artritis reumatoid adalah penyakit inflamasi sistemik yang kronis
dan terutama menyerang persendian, otot-otot, tendon, ligamen, dan
pembuluh darah yang ada disekitarnya. (Kowalak, 2011).

2.4. Etiologi Artritis Reumatoid


Penyebab utama penyakit artritis reumatoid masih belum diketahui
secara pasti. Ada beberapa teori yang dikemukakan sebagai penyebab
artritis reumatoid, yaitu :
1. Infeksi Streptokkus hemolitikus dan Streptococcus non-hemolitikus.
2. Endokrin
Kecenderungan wanita untuk menderita artritis reumatoid dan
sering dijumpainya remisi pada wanita yang sedang hamil menimbulkan
dugaan terdapatnya faktor keseimbangan hormonal sebagai salah satu
faktor yang berpengaruh pada penyakit ini. Walaupun demikian karena
pemberian hormon estrogen eksternal tidak pernah menghasilkan
perbaikan sebagaimana yang diharapkan, sehingga kini belum berhasil
dipastikan bahwa faktor hormonal memang merupakan penyebab
penyakit ini.
3. Autoimmun
Pada saat ini artritis reumatoid diduga disebabkan oleh faktor
autoimun dan infeksi. Autoimun ini bereaksi terhadap kolagen tipe II,
faktor infeksi mungkin disebabkan oleh karena virus dan organisme
mikroplasma atau grup difterioid yang menghasilkan antigen tipe II
kolagen dari tulang rawan sendi penderita.
4. Metabolik
5. Faktor genetik serta pemicu lingkungan
Faktor genetik dan beberapa faktor lingkungan telah lama diduga
berperan dalam timbulnya penyakit ini. Hal ini terbukti dari terdapatnya
hubungan antara produk kompleks histokompatibilitas utama kelas II,
khususnya HLA-DR4 dengan artritis reumatoid seropositif. Pengemban
HLA-DR4 memiliki resiko relatif 4:1 untuk menderita penyakit ini.

2.5. Patofisiologi Artritis Reumatoid


Dari penelitian mutakhir diketahui bahwa patogenesis artritis
reumatoid terjadi akibat rantai peristiwa imunologis sebagai berikut : Suatu
antigen penyebab artritis reumatoid yang berada pada membran sinovial,
akan diproses oleh antigen presenting cells (APC) yang terdiri dari berbagai
jenis sel seperti sel sinoviosit A, sel dendritik atau makrofag yang semuanya
mengekspresi determinan HLA-DR pada membran selnya. Antigen yang
telah diproses akan dikenali dan diikat oleh sel CD4+ bersama dengan
determinan HLA-DR yang terdapat pada permukaan membran APC tersebut
membentuk suatu kompleks trimolekular. Kompleks trimolekular ini dengan
bantuan interleukin-1 (IL-1) yang dibebaskan oleh monosit atau makrofag
selanjutnya akan menyebabkan terjadinya aktivasi sel CD4+.
Pada tahap selanjutnya kompleks antigen trimolekular tersebut
akan mengekspresi reseptor interleukin-2 (IL-2) Pada permukaan CD4+. IL-
2 yang diekskresi oleh sel CD4+ akan mengikatkan diri pada reseptor
spesifik pada permukaannya sendiri dan akan menyebabkan terjadinya
mitosis dan proliferasi sel tersebut. Proliferasi sel CD4+ ini akan
berlangsung terus selama antigen tetap berada dalam lingkunan tersebut.
Selain IL-2, CD4+ yang telah teraktivasi juga mensekresi berbagai limfokin
lain seperti gamma-interferon, tumor necrosis factor b (TNF-b), interleukin-
3 (IL-3), interleukin-4 (IL-4), granulocyte-macrophage colony stimulating
factor (GM-CSF) serta beberapa mediator lain yang bekerja merangsang
makrofag untuk meningkatkan aktivitas fagositosisnya dan merangsang
proliferasi dan aktivasi sel B untuk memproduksi antibodi. Produksi
antibodi oleh sel B ini dibantu oleh IL-1, IL-2, dan IL-4.
Setelah berikatan dengan antigen yang sesuai, antibodi yang
dihasilkan akan membentuk kompleks imun yang akan berdifusi secara
bebas ke dalam ruang sendi. Pengendapan kompleks imun akan
mengaktivasi sistem komplemen yang akan membebaskan komponen-
komplemen C5a. Komponen-komplemen C5a merupakan faktor kemotaktik
yang selain meningkatkan permeabilitas vaskular juga dapat menarik lebih
banyak sel polimorfonuklear (PMN) dan monosit ke arah lokasi tersebut.
Pemeriksaan histopatologis membran sinovial menunjukkan bahwa lesi
yang paling dini dijumpai pada artritis reumatoid adalah peningkatan
permeabilitas mikrovaskular membran sinovial, infiltrasi sel PMN dan
pengendapan fibrin pada membran sinovial.
Fagositosis kompleks imun oleh sel radang akan disertai oleh
pembentukan dan pembebasan radikal oksigen bebas, leukotrien,
prostaglandin dan protease neutral (collagenase dan stromelysin) yang akan
menyebabkan erosi rawan sendi dan tulang. Radikal oksigen bebas dapat
menyebabkan terjadinya depolimerisasi hialuronat sehingga mengakibatkan
terjadinya penurunan viskositas cairan sendi. Selain itu radikal oksigen
bebas juga merusak kolagen dan proteoglikan rawan sendi.
Prostaglandin E2 (PGE2) memiliki efek vasodilator yang kuat dan
dapat merangsang terjadinya resorpsi tulang osteoklastik dengan bantuan
IL-1 dan TNF-b. Rantai peristiwa imunologis ini sebenarnya akan terhenti
bila antigen penyebab dapat dihilangkan dari lingkungan tersebut. Akan
tetapi pada artritis reumatoid, antigen atau komponen antigen umumnya
akan menetap pada struktur persendian, sehingga proses destruksi sendi
akan berlangsung terus. Tidak terhentinya destruksi persendian pada artritis
reumatoid kemungkinan juga disebabkan oleh terdapatnya faktor reumatoid.
Faktor reumatoid adalah suatu autoantibodi terhadap epitop fraksi Fc IgG
yang dijumpai pada 70-90 % pasien artritis reumatoid. Faktor reumatoid
akan berikatan dengan komplemen atau mengalami agregasi sendiri,
sehingga proses peradangan akan berlanjut terus. Pengendapan kompleks
imun juga menyebabkan terjadinya degranulasi mast cell yang
menyebabkan terjadinya pembebasan histamin dan berbagai enzim
proteolitik serta aktivasi jalur asam arakidonat.
Masuknya sel radang ke dalam membran sinovial akibat
pengendapan kompleks imun menyebabkan terbentuknya pannus yang
merupakan elemen yang paling destruktif dalam patogenesis artritis
reumatoid. Pannus merupakan jaringan granulasi yang terdiri dari sel
fibroblas yang berproliferasi, mikrovaskular dan berbagai jenis sel radang.
Secara histopatologis pada daerah perbatasan rawan sendi dan pannus
terdapatnya sel mononukleus, umumnya banyak dijumpai kerusakan
jaringan kolagen dan proteoglikan.
2.6. WOC

Antigen penyebab RA berada pada membran sinovial

Monosit & makrofag mengeluarkan IL-1

Aktivasi sel CD4+ Merangsang pembentukan


IL-3 dan IL 4
Sekresi IL-2

Terjadi mitosis & proliferasi sel >>

Aktivasi sel B

Terbentuk antibodi

Reaksi antibodi terhadap penyebab RA

Terbentuk kompleks imun di ruang sendi

Pengendapan kompleks imun

Reumatoid Artritis (RA)

Pelepasan mediator kimia bradikinin Inflamasi membran sinovial Kurangnya pemajanan/mengingat


Stimulus ujung saraf nyeri Kurang pengetahuan
Penebalan membran sinovial Fagositosis kompleks imun
oleh sel radang
Menyentuh serabut C
Terbentuk tannus
Nyeri Pembentukan radikal oksigen bebas
Menghambat nutrisi pada Terbentuk nodul Depolimerasi hialorunat
kartilago
Deformitas sendi Veskositas cairan sendi ↓
Kerusakan kartilago Kartilago nekrosis Gangguan body image Pembentukan tulang terganggu
& tulang
Erosi kartilago
Pemendekan tulang
Tendon & ligamen
melemah Adhesi permukaan sendi
Kontraktur
Ankylosis fibrosa
Kekuatan otot ↓ Risiko cedera
Kekakuan pada sendi

Gangguan Mobilitas fisik Keterbatasan gerak

Kurang perawatan diri


2.7. Manifestasi Klinik Artritis Reumatoid
Jika pasien artritis reumatoid pada lansia tidak diistirahatkan, maka
penyakit ini akan berkembang menjadi empat tahap :
1. Terdapat radang sendi dengan pembengkakan membran sinovial dan
kelebihan produksi cairan sinovial. Tidak ada perubahan yang bersifat
merusak terlihat pada radiografi. Bukti osteoporosis mungkin ada.

2. Secara radiologis, kerusakan tulang pipih atau tulang rawan dapat dilihat.
Pasien mungkin mengalami keterbatasan gerak tetapi tidak ada
deformitas sendi.
3. Jaringan ikat fibrosa yang keras menggantikan pannus, sehingga
mengurangi ruang gerak sendi. Ankilosis fibrosa mengakibatkan
penurunan gerakan sendi, perubahan kesejajaran tubuh, dan deformitas.
Secara radiologis terlihat adanya kerusakan kartilago dan tulang.
4. Ketika jaringan fibrosa mengalami kalsifikasi, ankilosis tulang dapat
mengakibatkan terjadinya imobilisasi sendi secara total. Atrofi otot yang
meluas dan luka pada jaringan lunak seperti medula-nodula mungkin
terjadi.
Pada lansia artritis reumatoid dapat digolongkan ke dalam tiga
kelompok, yaitu :
1. Kelompok 1
Artritis reumatoid klasik. Sendi-sendi kecil pada kaki dan tangan
sebagian besar terlibat. Terdapat faktor reumatoid, dan nodula-nodula
reumatoid yang sering terjadi. Penyakit dalam kelompok ini dapat
mendorong ke arah kerusakan sendi yang progresif.
2. Kelompok 2
Termasuk ke dalam klien yang memenuhi syarat dari American
Rheumatologic Association untuk artritis reumatoid karena mereka
mempunyai radang sinovitis yang terus-menerus dan simetris, sering
melibatkan pergelangan tangan dan sendi-sendi jari.
3. Kelompok 3
Sinovitis terutama memengaruhi bagian proksimal sendi, bahu dan
panggul. Awitannya mendadak, sering ditandai dengan kekuatan pada
pagi hari. Pergelangan tangan pasien sering mengalami hal ini, dengan
adanya bengkak, nyeri tekan, penurunan kekuatan genggaman, dan
sindrome karpal tunnel. Kelompok ini mewakili suatu penyakit yang
dapat sembuh sendiri yang dapat dikendalikan secara baik dengan
menggunakan prednison dosis rendah atau agens antiinflamasi dan
memiliki prognosis yang baik.

2.8. Pemeriksaan Diagnostik Artritis Reumatoid


2.7.1 Pemeriksaan cairan synovial :
1. Warna kuning sampai putih dengan derajat kekeruhan yang
menggambarkan peningkatan jumlah sel darah putih.
2. Leukosit 5.000 – 50.000/mm3, menggambarkan adanya proses
inflamasi yang didominasi oleh sel neutrophil (65%).
3. Rheumatoid factor positif, kadarnya lebih tinggi dari serum dan
berbanding terbalik dengan cairan sinovium.
2.7.2 Pemeriksaan darah tepi :
1. Leukosit : normal atau meningkat ( <>3 ). Leukosit menurun bila
terdapat splenomegali; keadaan ini dikenal sebagai Felty’s
Syndrome.
2. Anemia normositik atau mikrositik, tipe penyakit kronis.
2.7.3 Pemeriksaan kadar sero-imunologi :
1. Rheumatoid factor + Ig M -75% penderita ; 95% + pada penderita
dengan nodul subkutan.
2. Anti CCP antibody positif telah dapat ditemukan pada arthritis
rheumatoid dini.

2.9. Komplikasi Artritis Reumatoid


Kelainan sistem pencernaan yang sering dijumpai adalah gastritis
dan ulkus peptik yang merupakan komplikasi utama penggunaan obat
antiinflamasi nonsteroid (OAINS) atau obat pengubah perjalanan penyakit
(disease modifying antirheumatoid drugs, DMARD) yang menjadi faktor
penyebab morbiditas dan mortalitas utama pada artritis reumatoid.

2.10. Penatalaksanaan Artritis Reumatoid


Tujuan utama dari program penatalaksanaan perawatan adalah
sebagai berikut :
1. Untuk menghilangkan nyeri dan peradangan.
2. Untuk mempertahankan fungsi sendi dan kemampuan maksimal dari
penderita.
3. Untuk mencegah dan atau memperbaiki deformitas yang terjadi pada
sendi.
4. Mempertahankan kemandirian sehingga tidak bergantung pada orang
lain.
2.10.1. Penatalaksanaan Keperawatan
1. Pendidikan
Pendidikan yang diberikan meliputi pengertian, patofisiologi
(perjalanan penyakit), penyebab dan perkiraan perjalanan
(prognosis) penyakit ini, semua komponen program
penatalaksanaan termasuk regimen obat yang kompleks, sumber-
sumber bantuan untuk mengatasi penyakit ini dan metode efektif
tentang penatalaksanaan yang diberikan oleh tim kesehatan. Proses
pendidikan ini harus dilakukan secara terus-menerus.
2. Istirahat
Merupakan hal penting karena reumatik biasanya disertai rasa lelah
yang hebat. Walaupun rasa lelah tersebut dapat saja timbul setiap
hari, tetapi ada masa dimana penderita merasa lebih baik atau lebih
berat. Penderita harus membagi waktu seharinya menjadi beberapa
kali waktu beraktivitas yang diikuti oleh masa istirahat.
3. Latihan Fisik dan Termoterapi
Latihan spesifik dapat bermanfaat dalam mempertahankan fungsi
sendi. Latihan ini mencakup gerakan aktif dan pasif pada semua
sendi yang sakit, sedikitnya dua kali sehari. Obat untuk
menghilangkan nyeri perlu diberikan sebelum memulai latihan.
Kompres panas pada sendi yang sakit dan bengkak mungkin dapat
mengurangi nyeri. Latihan dan termoterapi ini paling baik diatur
oleh pekerja kesehatan yang sudah mendapatkan latihan khusus,
seperti ahli terapi fisik atau terapi kerja. Latihan yang berlebihan
dapat merusak struktur penunjang sendi yang memang sudah lemah
oleh adanya penyakit.

2.10.2 Penatalaksanaan Medikamentosa


1. Penggunaan OAINS
Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS) umum nya diberikan
pada penderita AR sejak masa dini penyakit yang dimaksudkan
untuk mengatasi nyeri sendi akibat inflamasi yang seringkali
dijumpai walaupun belum terjadi proliferasi sinovial yang
bermakna. Selain dapat mengatasi inflamasi, OAINS juga
memberikan efek analgesik yang sangat baik. OAINS terutama
bekerja dengan menghambat enzim siklooxygenase sehingga
menekan sintesis prostaglandin. Masih belum jelas apakah
hambatan enzim lipooxygenase juga berperanan dalam hal ini, akan
tetapi jelas bahwa OAINS berkerja dengan cara:
a. Memungkinkan stabilisasi membran lisosomal.
b. Menghambat pembebasan dan aktivitas mediator inflamasi
(histamin, serotonin, enzim lisosomal dan enzim lainnya).
c. Menghambat migrasi sel ke tempat peradangan.
d. Menghambat proliferasi seluler.
e. Menetralisasi radikal oksigen.
f. Menekan rasa nyeri
2. Penggunaan DMARD
Terdapat terdapat dua cara pendekatan pemberian DMARD pada
pengobatan penderita AR. Cara pertama adalah pemberian
DMARD tunggal yang dimulai dari saat yang sangat dini.
Pendekatan ini didasarkan pada pemikiran bahwa destruksi sendi
pada AR terjadi pada masa dini penyakit. Cara pendekatan lain
adalah dengan menggunakan dua atau lebih DMARD secara
simultan atau secara siklik seperti penggunaan obat obatan
imunosupresif pada pengobatan penyakit keganasan. digunakan
untuk melindungi rawan sendi dan tulang dari proses destruksi
akibat artritis reumatoid. Beberapa jenis DMARD yang lazim
digunakan untuk pengobatan AR adalah:
a. Klorokuin : Dosis anjuran klorokuin fosfat 250 mg/hari
hidrosiklorokuin 400 mg/hari. Efek samping bergantung pada
dosis harian, berupa penurunan ketajaman penglihatan,
dermatitis makulopapular, nausea, diare, dan anemia hemolitik.
b. Sulfazalazine : Untuk pengobatan AR sulfasalazine dalam
bentukenteric coated tablet digunakan mulai dari dosis 1 x 500
mg / hari, untuk kemudian ditingkatkan 500 mg setiap minggu
sampai mencapai dosis 4 x 500 mg. Setelah remisi tercapai
dengan dosis 2 g / hari, dosis diturunkan kembali sehingga
mencapai 1 g /hari untuk digunakan dalam jangka panjang
sampai remisi sempurna terjadi.
c. D-penicillamine : Dalam pengobatan AR, DP (Cuprimin 250 mg
atau Trolovol 300 mg) digunakan dalam dosis 1 x 250 sampai
300 mg/hari kemudian dosis ditingkatkan setiap dua sampai 4
minggu sebesar 250 sampai 300 mg/hari untuk mencapai dosis
total 4 x 250 sampai 300 mg/hari.
3. Operasi
Jika berbagai cara pengobatan telah dilakukan dan tidak berhasil
serta terdapat alasan yang cukup kuat, dapat dilakukan pengobatan
pembedahan. Jenis pengobatan ini pada pasien AR umumnya
bersifat ortopedik, misalnya sinovektoni, artrodesis, total hip
replacement, memperbaiki deviasi ulnar, dan sebagainya.
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN

3.1. Pengkajian
Data dasar pengkajian pasien tergantung pada keparahan dan
keterlibatan organ-organ lainnya (misalnya mata, jantung, paru-paru, ginjal),
tahapan misalnya eksaserbasi akut atau remisi dan keberadaaan bersama
bentuk-bentuk arthritis lainnya.
1. Aktivitas/ istirahat
a. Gejala : Nyeri sendi karena gerakan, nyeri tekan, memburuk dengan
stres pada sendi, kekakuan pada pagi hari, biasanya terjadi bilateral
dan simetris. Limitasi fungsional yang berpengaruh pada gaya hidup,
waktu senggang, pekerjaan, keletihan.
b. Tanda : Malaise Keterbatasan rentang gerak, atrofi otot, kulit,
kontraktor/ kelaianan pada sendi.
2. Kardiovaskuler
a. Gejala : Fenomena Raynaud jari tangan/ kaki ( mis: pucat intermitten,
sianosis, kemudian kemerahan pada jari sebelum warna kembali
normal).
3. Integritas ego
a. Gejala : Faktor-faktor stres akut/ kronis: mis : finansial, pekerjaan,
ketidakmampuan, faktor-faktor hubungan. Keputusan dan
ketidakberdayaan ( situasi ketidakmampuan )Ancaman pada konsep
diri, citra tubuh, identitas pribadi ( misalnya ketergantungan pada
orang lain).
4. Makanan/ cairan
a. Gejala : Ketidakmampuan untuk menghasilkan/ mengkonsumsi
makanan/ cairan adekuat: mual, anoreksia Kesulitan untuk
mengunyah.
b. Tanda : Penurunan berat badan Kekeringan pada membran mukosa.
5. Hygiene
a. Gejala : Berbagai kesulitan untuk melaksanakan aktivitas perawatan
pribadi. Ketergantungan.
6. Neurosensori
a. Gejala : Kebas, semutan pada tangan dan kaki, hilangnya sensasi pada
jari tangan.
b. Tanda : Pembengkakan sendi simetris.
7. Nyeri/ kenyamanan
a. Gejala : Fase akut dari nyeri ( mungkin tidak disertai oleh
pembengkakan jaringan lunak pada sendi ).
8. Keamanan
a. Gejala : Kulit mengkilat, tegang, nodul subkutaneus. Lesi kulit, ulkus
kaki. Kesulitan dalam ringan dalam menangani tugas/ pemeliharaan
rumah tangga. Demam ringan menetap Kekeringan pada meta dan
membran mukosa.

3.2. Diagnosa Keperawatan


1. Nyeri berhubungan dengan pelepasan mediator kimia (bradikinin).
2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot.
3. Kurang perawatan diri berhubungan dengan keterbatasan gerak.
4. Risiko cedera berhubungan dengan kontraktur sendi.
5. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya
pemajanan/mengingat.
3.3. Rencana Intervensi
3.3.1. Nyeri berhubungan dengan pelepasan mediator kimia (bradikinin).
1. Tujuan
Dalam waktu 2 x 60 menit setelah diberikan tindakan keperawatan
skala nyeri berkurang
2. Kriteria Hasil
a. Skala nyeri berkurang
b. Pasien dapat beristirahat
c. Ekspresi meringis (-)
d. TTV dalam batas normal (TD : 120-140/60-80 mmHg, N : 60-
100, RR : 16-24 x/menit, T : 36,5-37,5°C)
3. Intervensi
MANDIRI
a. Kaji keluhan nyeri, kualitas, lokasi, intensitas dan waktu. Catat
faktor yang mempercepat dan tanda rasa sakit nonverbal.
R/ Membantu menentukan kebutuhan manajemen nyeri dan
keefektifan program.
b. Pantau TTV pasien.
R/ Mengetahui kondisi umum pasien
c. Berikan posisi nyaman waktu tidur/duduk di kursi. Tingkatkan
istirahat di tempat tidur sesuai indikasi.
R/ Penyakit berat/eksaserbasi, tirah baring diperlukan untuk
membatasi nyeri atau cedera sendi.
d. Pantau penggunaan bantal, karung pasir, bebat, dan brace.
R/Mengistirahatkan sendi yang sakit dan mempertahankan
posisi netral. Catatan : penggunaan brace menurunkan nyeri dan
mengurangi kerusakan sendi.
e. Berikan masase yang lembut.
R/ Meningkatkan relaksasi atau mengurangi ketegangan otot.
f. Anjurkan mandi air hangat/pancuran pada waktu bangun.
Sediakan waslap hangat untuk mengompres sendi yang sakit
beberapa kali sehari.
R/ Panas meningkatkan relaksasi otot dan mobilitas,
menurunkan rasa sakit dan kekakuan di pagi hari. Sensitivitas
pada panas dapat hilang dan luka dermal dapat sembuh.
KOLABORASI
g. Berikan obat sesuai petunjuk :
1) Asetilsalisilat (aspirin)
R/ ASA bekerja antiinflamasi dan efek analgesik ringan
mengurangi kekakuan dan meningkatkan mobilitas.
2) D-penisilamin
R/ Mengontrol efek sistemik reumatoid artritis jika terapi
lainnya tidak berhasil.
h. Bantu dengan terapi fisik, misal sarung tangan parafin.
R/ Memberi dukungan panas untuk sendi yang sakit.
i. Siapkan intervensi operasi (sinovektomi).
R/ Pengangkatan sinovium yang meradang mengurangi nyeri
dan membatasi progresif perubahan degeneratif.

3.3.2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan


otot.
1. Tujuan
Dalam waktu 1 x 24 jam setelah diberikan tindakan keperawatan
kekuatan otot pasien meningkat
2. Kriteria Hasil
a. Mempertahankan fungsi posisi dengan pembatasan kontraktur.
b. Mempertahankan atau meningkatkan kekuatan dan fungsi dari
dan/atau kompensasi bagian tubuh.
c. Mendemostrasikan teknik/perilaku yang memungkinkan
melakukan aktivitas.
3. Intervensi
MANDIRI
a. Evaluasi pemantauan tingkat inflamasi/rasa sakit pada sendi.
R/ Tingkat aktivitas atau latihan tergantung dari perkembangan
proses inflamasi.
b. Pertahankan tirah baring/duduk. Jadwal aktivitas untuk
memberikan periode istirahat terus-menerus dan tidur malam
hari.
R/ Istirahant sistemik dianjurkan selama eksaserbasi akut dan
seluruh fase penyakit untuk mencegah kelelahan,
mempertahankan kekuatan.
c. Bantu rentang gerak aktif/pasif, latihan resistif dan isometrik.
R/ Meningkatkan fungsi sendi, kekuatan otot dan stamina.
d. Dorong klien mempertahankan postur tegak dan duduk tinggi,
berdiri serta berjalan.
R/ Memaksimalkan fungsi sendi, mempertahankan mobilitas.
KOLABORASI
e. Konsul dengan ahli terapi fisik atau okupasi dan spesialis
vokasional.
R/ Memformulasi program latihan berdasarkan kebutuhan
individual dan mengidentifikasi bantuan mobilitas.
f. Berikan obat sesuai indikasi (Steroid)
R/ Menekan inflamasi sistemik

3.3.3. Gangguan bodi image berhubungan dengan deformitas sendi.


1. Tujuan
Dalam waktu 1 x 24 jam setelah diberikan tindakan keperawatan
pasien menerima perubahan tubuh.
2. Kriteria Hasil
a. Mengungkapkan peningkatan rasa percaya diri dalam
kemampuan untuk menghadapi penyakit, perubahan gaya hidup
dan kemungkinan keterbatasan.
b. Menerima perubahan tubuh dan mengintegrasikan ke dalam
konsep diri.
c. Mengembangkan keterampilan perawatan diri agar dapat
berfungsi dalam masyarakat.
3. Intervensi
MANDIRI
a. Dorong pengungkapan mengenai proses penyakit dan harapan
masa depan.
R/ Berikan kesempatan mengidentifiaksi rasa takut/kesalahan
konsep dan menhadapi secara langsung.
b. Bantu pasien mengekspresikan perasaan kehilangan.
R/ Untuk mendapatkan dukungan proses berkabung yang
adaptif.
c. Perhatikan perilaku menarik diri, penggunaan
menyangkal/terlalu memperhatikan tubuh.
R/ Menunjukkan emosional/metode koping maladaptif sehingga
membutuhkan intervensi lebih lanjut/dukungan psikologis.
d. Bantu dengan kebutuhan perawatan yang diperlukan.
R/ Mempertahankan penampilan yang meningkatkan citra diri.
KOLABORASI
e. Rujuk pada konseling psikiatri (misal perawat spesialis psikiatri,
psikologi, pekerja sosial)
R/ Pasien/keluarga membutuhkan dukungan selama berhadapan
dnegan proses jangka panjang.
f. Berikan obat sesuai indikasi (misal antiansietas)
R/ Dibutuhkan saat munculnya depresi hebat sampai pasien
dapat menggunakan kemampuan koping efektif.
3.3.4. Kurang perawatan diri berhubungan dengan keterbatasan gerak.
1. Tujuan
Dalam waktu 1 x 60 menit setelah diberikan tindakan keperawatan
pasien dapat melaksanakan aktivitas perawatan diri

2. Kriteria Hasil
a. Melaksanakan aktivitas perawatan diri pada tingkat yang
konsisten dengan kemampuan individual.
b. Mendemonstrasikan perubahan teknik atau gaya hidup untuk
memenuhi kebutuhan perawatan diri.
c. Mengidentifikasikan sumber pribadi atau komunitas yang dapat
memenuhi kebutuhan perawatan diri.
3. Intervensi
MANDIRI
a. Kaji respons emosional pasien terhadap kemampuan merawat
diri yang menurun dan diberi dukungan emosional.
R/ Perubahan kemampuan merawat diri dapat membangkitkan
perasaan cemas dan frustasi, dimana dapat mengganggu
kemampuan lebih lanjut.
b. Pertahankan mobilitas, kontrol terhadap nyeri dan program
latihan.
R/ Mendukung kemandirian fisik dan emosional.
c. Kaji hambatan terhadap partisipasi dalam perawatan diri.
Identifikasi modifikasi lingkungan.
R/ Meningkatkan kemandirian yang akan meningkatkan harga
diri.
d. Beri dorongan agar berpartisipasi dalam merawat diri. Aktivitas
yang terjadwal memungkinkan waktu untuk merawat diri.
R/ Partisipasi pasien dalam merawat diri meningkatkan harga
diri dan menurunkan perasaan ketergantungan.
KOLABORASI
e. Konsultasi dengan ahli terapi okulasi
R/ Menentukan alat bantu memenuhi kebutuhan individu.

3.3.5. Risiko cedera berhubungan dengan kontraktur sendi.


1. Tujuan
Setelah diberikantindakan keperawatan selama 1 x 60 menit
pasientidak menderita cidera
2. Kriteria Hasil
a. Pantau faktor resiko perilaku pribadi dan lingkungan
b. Mengembangkan dan mengikuti strategi pengendalian resiko
c. Mempersiapkan lingkungan yang aman
d. Mengidentifikasikan yang dapat meningkatkan reiko cedera
e. Menghindari cedera fisik
3. Intervensi
a. Lindungi klien dari kecelakaan jatuh.
R/karena klien rentan untuk mengalami fraktur patologis bahkan
oleh benturan ringan sekalipun. Bila klien mengalami penurunan
kesadaran pasanglah tirali tempat tidurnya.
b. Hindarkan klien dari satu posisi yang menetap, ubah posisi klien
dengan hati-hati.
R/ perubahan posisi berguna untuk mencegah terjadinya
penekanan punggung dan memperlancar aliran darah serta
mencegah terjadinya dekubitus.
c. Bantu klien memenuhi kebutuhan sehari-hari selama terjadi
kelemahan fisik.
R/ kelemahan yang dialami oleh pasien hiperparatiroid dapat
mengganggu proses pemenuhan ADL pasien.
d. Atur aktivitas yang tidak melelahkan klien.
R/ aktivitas yang berlebihan dapat memperparah penyakit
pasien.
e. Ajarkan cara melindungi diri dari trauma fisik seperti cara
mengubah posisi tubuh, dan cara berjalan serta menghindari
perubahan posisi yang tiba-tiba.
R/ mencegah terjadinya cedera pada pasien

3.3.6. Kurang penegtahuan berhubungan dengan kurangnya


pemajanan/mengingat.
1. Tujuan
Dalam waktu 1 x 60 menit setelah diberikan tindakan keperawatan
pasien dan keluarga menunjukkan pemahaman tentang kondisi dan
perawatan.
2. Kriteria Hasil
a. Menunjukkan pemahaman tentang kondisi dan perawatan.
b. Mengembangkan rencana untuk perawatan diri, termasuk
modifikasi gaya hidup yang konsisten dengan mobilitas atau
pembatasan aktivitas.

3. Intervensi
a. Tinjau proses penyakit, prognosis, dan harapan masa depan.
R/ Memberikan pengetahuan dimana pasien dapat membuat
pilihan berdasarkna informasi.
b. Diskusikan kebiasaan pasien dalam penatalaksanaan proses sakit
melalui diet, obat, latihan dan istirahat.
R/ Tujuan kontrol penyakit adalah untuk menekan inflamasi
atau jaringan lain untuk mempertahankan fungsi sendi dan
mencegah deformitas.
c. Tekankan pentingnya melanjutkan manajemen
farmakoterapeutik.
R/ Keuntungan dari terpai obat tergantung pada ketepatan dosis,
misal : aspirin diberikan secara reguler untuk mendukung kadar
terapeutik darah 18 - 25 mg.
d. Berikan informasi mengenai alat bantu, misal : tongkat atau
palang keamanan.
R/ Mengurangi paksaan untuk menggunakan sendi dan
memungkinkan pasien ikut serta secara lebih nyaman dalam
aktivitas yang dibutuhkan.
e. Diskusikan menghemat energi, misal : duduk daripada berdiri
untuk mempersiapkan makanan dan mandi
R/ Mencegah kepenatan, memberikan kemudahan perawatan
diri dan kemandirian.
BAB 4
PENUTUP

4.1. Kesimpulan
Artritis reumatoid merupakan penyakit inflamasi sistemik kronis
yang tidak diketahui penyebabnya, diakrekteristikkan oleh kerusakan dan
proliferasi membran sinovial yang menyebabkan kerusakan pada tulang
sendi, ankilosis, dan deformitas. (Kusharyadi, 2010)
Penyebab utama penyakit artritis reumatoid masih belum diketahui
secara pasti. Ada beberapa teori yang dikemukakan sebagai penyebab
artritis reumatoid, yaitu :Infeksi Streptokkus hemolitikus dan Streptococcus
non-hemolitikus, endokrin,autoimmun,metabolik, danfaktor genetik serta
pemicu lingkungan
Jika pasien artritis reumatoid pada lansia tidak diistirahatkan, maka
penyakit ini akan berkembang menjadi empat tahap yaitu terdapat radang
sendi dengan pembengkakan membran sinovial dan kelebihan produksi
cairan sinovial, secara radiologis, kerusakan tulang pipih atau tulang rawan
dapat dilihat, jaringan ikat fibrosa yang keras menggantikan pannus,
sehingga mengurangi ruang gerak sendi, ankilosis fibrosa mengakibatkan
penurunan gerakan sendi, perubahan kesejajaran tubuh, dan deformitas.
Secara radiologis terlihat adanya kerusakan kartilago dan tulang.
Masalah keperawatan yang mungkin muncul adalah nyeri,
gangguan mobilitas fisik, gangguan bodi image, kurang perawatan diri,
risiko cedera, dan kurang pengetahuan.
DAFTAR PUSTAKA

Anonymus, Artritis Rematoid. (online). http:// www. naturindonesia. com/ artikel-


berbagai- penyakit- degeneratif/ 449-artritis-reumatoid-.html, diakses
tanggal 11 Maret 2013 pukul 12.30
Anonymus, 2012. Makalah Rematoid Artritis. (online). http://profesional-eagle.
blogspot. Com /2012/05/makalah- reumatoid- artritis-copast.html,
diakses tanggal 11 Maret 2013 pukul 12.40
Anonymus, 2012. Asuhan Keperawatan Rematoid Artritis. (online). http://www.
kapukonline.com/2012/01/askep-
asuhankeperawatanrheumatoidarthri.html, diakses tanggal 11 Maret
2013 pukul 12.50
Kowalak. 2011. Buku Ajar Patofisiologi. EGC : Jakarta.
Kushariyadi. 2010. Asuhan Keperawatan pada Klien Lanjut Usia. Salemba
Medika : Jakarta.
Stanley, Mickey. 2006. Buku Ajar Keperawatan Gerontik Edisi 2. EGC : Jakarta.

You might also like