You are on page 1of 26

TUGAS BAHASA INDONESIA

“ PENYUNTINGAN MAKALAH "

Dr. Noor Cahaya, M.Pd


Disusun Oleh:

Kelompok 4

Nadila 1610913320027
Anggelia Nurlikasari 1610913320005
Ayu Aprilla Maharani 1610913220003
Anna Sessi Inti Peranita 1610913220002
Ervina Dwi Atika Arisandi 1610913320009
Sunita Permata indah 1610913320038
Ariska Wulandari 1610913320006
Evi Novianti 1610913220007
Erna Auliana Ariantina Putri 1610913320008
Yulia Rahayu 1610913120017
Ninda Anggraini 1610913320029

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
2018

i
LEMBAR PENGESAHAN

Mata Kuliah : Bahasa Indonesia

Dosen Pengampu : Herry Setiawan, Ns. M.Kep

Kelompok : Kelompok 4

Nama Anggota :

Nadila 1610913320027
Anggelia Nurlikasari 1610913320005
Ayu Aprilla Maharani 1610913220003
Anna Sessi Inti Peranita 1610913220002
Ervina Dwi Atika Arisandi 1610913320009
Sunita Permata indah 1610913320038
Ariska Wulandari 1610913320006
Evi Novianti 1610913220007
Erna Auliana Ariantina Putri 1610913320008
Yulia Rahayu 1610913120017
Ninda Anggraini 1610913320029

Banjarbaru, 5 Agustus 2018

Dr. Noor Cahaya, M.Pd

KATA PENGANTAR

ii
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-Nya sehingga
makalah ini dapat tersusun sampai selesai. Dalam penyusunan makalah ini, penulis
ingin menyampaikan terima kasih kepada dosen pembimbing mata kuliah Bahasa
Indonesia, yaitu Dr. Noor Cahaya, M.Pd, dan semua yang terlibat tidak lepas dari
doa dan dukungan dari beberapa pihak yang telah berkontribusi baik secara moril
maupun materil. Harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan
dan pengalaman bagi para pembaca, untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk
maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.

Banjarbaru, 5 Agustus 2018

Kelompok 4

iii
DAFTAR ISI

Hal
HALAMAN JUDUL ……………………………………………… i
LEMBAR PENGESAHAN ……………………………………….. ii
KATA PENGANTAR …………………………………………….. iii
DAFTAR ISI ………………………………………………………. iv
BAB I.PENDAHULUAN …………………….…………….……… 1
1.1 Latar Belakang …………….…………………………………… 1

1.2 Rumusan Masalah ....................................................................... 1

1.3 Tujuan Makalah……………………………………………....... 2

1.4 Manfaat Makalah ......................................................................... 2

BAB II KAJIAN TEORI ………………..………………………… 3


2.1 Definisi Globalisasi ………………………….........…………… 3

2.2 Konsep Utama dan Definisi Keperawatan Transkultural....……. 4

2.3 Berdasarkan Prinsip Keperawatan Transkultural ……………… 5

2.4 Kultural Model of Care ………................................................... 6

2.5 Pandangan Kesehatan Berdasarkan Keragaman Budaya …….. 8

2.6 Self awareness bagi perawat terhadap budaya dan

kepercayaannya, serta bias dan asumsi budaya ................................


10
2.7 Diversity dalam masyarakat yang meliputi, ras, etnis, cultural

diversity, dan ethnocentrism ..............................................................


11
2.8 Bannett’s Stages of Cross-Cultural Sensitivity............................
14
BAB III. PENUTUP ………………………………………………..
22
iv
3.1 Simpulan ………….…………………………........…………..... 22

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………….... 23


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Menjadi seorang perawat bukanlah tugas yang mudah. Perawat terus ditantang
oleh perubahan-perubahan yang ada, baik dari lingkungan maupun klien. Perawat selalu
dipertemukan dengan globalisasi dari segi lingkungan. Sebuah globalisasi sangat
memengaruhI perubahan dunia, khususnya di bidang kesehatan. Terjadinya perpindahan
penduduk menuntut perawat agar dapat menyesuaikan diri dengan perbedaan budaya.
Semakin banyak terjadi perpindahan penduduk, semakin beragam pula budaya di suatu
negara. Tuntutan itulah yang memaksa perawat agar dapat melakukan asuhan
keperawatan yang bersifat fleksibel di lingkungan yang tepat.
Peran perawat sangat komprehensif dalam menangani klien karena peran perawat
adalah memenuhi kebutuhan biologis, sosiologis, psikologis, dan spiritual klien. Namun
peranspiritual ini sering kali diabaikan oleh perawat. Padahal aspek spiritual ini sangat
penting terutama untuk pasien terminal yang didiagnosa harapan sembuhnya sangat tipis
dan mendekati sakaratul maut. Orang yang mengalami penyakit terminal dan menjelang
sakaratul maut lebih banyak mengalami penyakit kejiwaan, krisis spiritual, dan krisis
kerohanian sehingga pembinaan kerohanian saat klien menjelang ajal perlu mendapatkan
perhatian khusus. Klien dalam kondisi terminal membutuhkan dukungan dari utama dari
keluarga, seakan proses penyembuhan bukan lagi merupakan hal yang penting dilakukan.
Sebenarnya, perawatan menjelang kematian bukanlah asuhan keperawatan yang
sesungguhnya.

1.2 Rumusan Masalah

a. Apa itu globalisasi?


b. Apa saja konsep utama definisi keperawatan transkultural?
c. Apa prinsip keperawatan transkultural?
d. Apa itu cultural model of care?
1
e. Bagaimana pandangan kesehatan berdasarkan keragaman budaya?
f. Bagaimana self awareness bagi perawat bagi budaya?
g. Bagaimana diversity dalam masyarakat?
h. Apa itu Bennett’s Stages of Cross-Cultural Sensitivity?

1.3 Tujuan Makalah


a. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu memahami tentang keperawatan transkultural dalam memberikan
asuhan keperawatan.
b. Tujuan Khusus
a) Untuk mengetahui tentang definisi globalisasi.
b) Untuk mengetahui konsep utama keperawatan transkultural.
c) Untuk mengetahui prinsip keperawatan transkultural.
d) Untuk mengetahui kultural model of care.
e) Untuk mengetahui pandangan kesehatan berdasarkan keragaman budaya.
f) Untuk mengetahui self awareness bagi perawat terhadap budaya dan
kepercayaannya, serta bias dan asumsi budaya.
g) Untuk mengetahui Disversity dalam masyarakat yang meliputi ras, etnis,
kultural disversity, dan ethnocentrism.
h) Untuk mengetahui Bennett's stages of cross cultural sensitivity.

1.4 Manfaat Makalah


a. Mahasiswa mampu memaparkan perspektif transkultural dalam keperawatan
berkenaan dengan globalisasi dan pelayanan kesehatan.
b. Mahasiswa mampu memaparkan segala bentuk asuhan keperawatan transkultural.
c. Mahasiswa mampu memaparkan penyelesaian kasus mengenai peran perawat bila
dihadapkan pada situasi tersebut dan hal yang sebaiknya dilakukan perawat untuk
membantu pasien.
d. Mahasiswa mampu mengetahui konsep bimbingan klien sakaratul maut sesuai
dengan standart keperawatan.

2
BAB II
KAJIAN TEORI

2.1 Definisi Globalisasi

Globalisasi adalah sebuah istilah yang memiliki hubungan dengan peningkatan


keterkaitan dan ketergantungan antarbangsa dan antarmanusia di seluruh dunia dunia
melalui perdagangan, investasi, perjalanan, budaya populer, dan bentuk-bentuk interaksi
yang lainsehingga batas-batas suatu negara menjadi semakin sempit. Globalisasi adalah
suatu proses di mana antar individu, antar kelompok, dan antar negara saling berinteraksi,
bergantung, terkait, dan memengaruhi satu sama lain yang melintasi batas negara.
Menurut asal katanya, kata “globalisasi” diambil dari kata global, yang maknanya ialah
universal.
Achmad Suparman menyatakan Globalisasi adalah suatu proses menjadikan
sesuatu (benda atau perilaku) sebagai ciri dari setiap individu di dunia ini
tanpa dibatasi oleh wilayah. Globalisasi belum memiliki definisi yang mapan,
kecuali sekedar definisi kerja (working definition) sehingga, bergantung dari
sisi mana orang melihatnya (Dahlan S dan Asy’ari 2006).

Di bawah ini beberapa konsep globalisasi menurut para ahli adalah:


a. Malcom Waters, Globalisasi adalah sebuah proses sosial yang berakibat bahwa
pembatasan geografis pada keadaan sosial budaya menjadi kurang penting, yang
terjelma didalam kesadaran orang.
b. Emanuel Ritcher, Globalisasi adalah jaringan kerja global secara bersamaan
menyatukan masyarakat yang sebelumnya terpencar pencar dan terisolasi
kedalam saling ketergantungan dan persatuan dunia.
c. Thomas L. Friedman, Globalisasi adalah memiliki dimensi ideologi dan
teknologi. Dimensi teknologi yaitu kapitalisme dan pasar bebas, sedangkan
dimensi teknologi adalah teknologi informasi yang telah menyatukan dunia,
Globalisasi adalah pertumbuhan yang sangat cepat atas saling ketergantungan
dan hubungan antar negara-negara didunia dalam hal perdagangan dan
keuangan.

2.2 Konsep utama dan definisi keperawatan transcultural

3
Spiritualitas Konsep dalam Transcultural Nursing sebagai berikut (Leininger,2002):

a. Budaya adalah norma atau aturan tindakan dari anggota kelompok yang
dipelajari, dan dibagi serta memberi petunjuk dalam berfikir, bertindak dan
mengambil keputusan.
b. Nilai budaya adalah keinginan individu atau tindakan yang lebih diinginkan atau
sesuatu tindakan yang dipertahankan pada suatu waktu tertentu dan melandasi
tindakan dan keputusan.
c. Perbedaan budaya dalam asuhan keperawatan merupakan bentuk yang optimal
dari pemberian asuhan keperawatan, mengacu pada kemungkinan variasi
pendekatan keperawatan yang dibutuhkan untuk memberikan asuhan budaya
yang menghargai nilai budaya individu, kepercayaan dan tindakan termasuk
kepekaan terhadap lingkungan dari individu yang datang dan individu yang
mungkin kembali lagi (Leininger, 1985).
d. Etnosentris adalah persepsi yang dimiliki oleh individu yang menganggapbahwa
budayanya adalah yang terbaik diantara budaya-budaya yang dimiliki oleh orang
lain.
e. Etnis berkaitan dengan manusia dari ras tertentu atau kelompok budaya yang
digolongkan menurut ciri-ciri dan kebiasaan yang lazim.
f. Ras adalah perbedaan macam-macam manusia didasarkan pada mendiskreditkan
asal muasal manusia
g. Etnografi adalah ilmu yang mempelajari budaya. Pendekatan Metodologi pada
penelitian etnografi memungkinkan perawat untuk mengembangkan kesadaran
yang tinggi pada perbedaan budaya setiap individu, menjelaskan dasar observasi
untuk mempelajari lingkungan dan orang-orang, dan saling memberikan timbal
balik diantara keduanya.
h. Care adalah fenomena yang berhubungan dengan bimbingan, bantuan, dukungan
perilaku pada individu, keluarga, kelompok dengan adanya kejadianuntuk
memenuhi kebutuhan baik aktual maupun potensial untuk meningkatkan kondisi
dan kualitas kehidupan manusia.
i. Caring adalah tindakan langsung yang diarahkan untuk membimbing,
mendukung dan mengarahkan individu, keluarga atau kelompok pada
keadaanyang nyata atau antisipasi kebutuhan untuk meningkatkan kondisi
kehidupan manusia.

4
j. Cultural Care berkenaan dengan kemampuan kognitif untuk mengetahui nilai,
kepercayaan dan pola ekspresi yang digunakan untuk mebimbing, mendukung
atau memberi kesempatan individu, keluarga atau kelompok untuk
mempertahankan kesehatan, sehat, berkembang dan bertahan hidup, hidup dalam
keterbatasan dan mencapai kematian dengan damai. Culturtal imposition
berkenaan dengan kecenderungan tenaga kesehatan untuk memaksakan
kepercayaan, praktik dan nilai diatas budaya orang lain karena percaya bahwa ide
yang dimiliki oleh perawat lebih tinggi daripada kelompok lain.
Transcultural Nursing adalah suatu area/wilayah keilmuwan budaya pada proses
belajar dan praktek keperawatan yang fokus memandang perbedaan dan kesamaan
diantara budaya dengan menghargai asuhan, sehat dan sakit didasarkan pada nilai budaya
manusia, kepercayaan dan tindakan. Ilmu ini digunakan untuk memberikan asuhan
keperawatan khususnya budaya atau keutuhan budaya kepada manusia (Leininger,2002).

2.3 Berdasarkan Prinsip Keperawatan Transcultural

Tindakan keperawatan yang diberikan kepada klien harus tetap memperhatikan tiga
prinsip asuhan keperawatan, yaitu (Ginger dan Davidhizar,1995):
a. Culture care preservation/maintenance, yaitu prinsip membantu, memfasilitasi,
atau memerhatikan fenomena budaya guna membantu individu menentukan
tingkat kesehatan dan gaya hidup yang diinginkan.
b. Culture care accommodation/negotiation, yaitu prinsip membantu,
memfasilitasi, atau memerhatikan fenomena budaya yang ada, yang
merefleksikan budaya untuk beradaptasi, bernegosiasi, atau
mempertimbangkan kondisi kesehatan dan gaya hidup individu atu klien.
c. Culture care repatterning/restructuring, yaitu prinsip merekonstruksi atau
mengubah desain untuk membantu memperbaiki kondisi kesehatan dan pola
hidup klien ke arah yang lebih baik.
Ginger dan Davidhizar (1995) menjelaskan hasil akhir yang diperoleh melalui
pendekatan keperawatan transkultural pada asuhan keperawatan adalah
tercapainya culture congruent nursing care health and well being, yaitu
asuhan keperawatan yang kompeten berdasarkan budaya dan pengetahuan
kesehatan yang sensitif, kreatif, serta cara-cara yang bermakna guna mencapai
tingkat kesehatan dan kesejahteraan.
Adapun prinsip-prinsip pengkajian budaya yang dimukakan oleh Leininger dalam
modelnya yaitu (Ginger dan Davidhizar,1995):
a. Jangan menggunakan asumsi.
5
b. Jangan membuat streotif bisa menjadi konflik misalnya:orang Padang
pelit,orang Jawa halus.
c. Menerima dan memahami metode komunikasi.
d. Menghargai perbedaan individual.
e. Tidak boleh membeda-bedakan keyakinan klien.
f. Menyediakan privasi terkait kebutuhan pribadi.

2.4 Cultural Model of Care


Ginger dan Davidhizar(1995) menjelaskan model konseptual yang di
kembangkan oleh Leininger dalam menjelaskan asuhan keperawatan dalam
konteks budaya digambarkan dalam bentuk matahari terbit (Sunrise Model).
Proses keperawatan ini digunakan oleh perawat sebagai landasan berpikir,
dan memberikan solusi terhadap masalah klien. Pengelolaan asuhan
keperawatan dilaksanakan dari mulai tahap pengkajian, diagnosa
keperawatan, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.

Pengkajian adalah proses mengumpulkan data untuk mengidentifikasi masalah


kesehatan klien sesuai dengan latar belakang budaya klien. Pengkajian dirancang
berdasarkan tujuh komponen yang ada pada ”Sunrise Model” yaitu (Andrew dan
Boyle,1995):
a. Faktor teknologi (technological factors)
Teknologi kesehatan memungkinkan individu untuk memilih atau mendapat
penawaran menyelesaikan masalah dalam pelayanan kesehatan. Perawat perlu
mengkaji: Persepsi sehat sakit, kebiasaan berobat atau mengatasi masalah
kesehatan, alasan mencari bantuan kesehatan, alasan klien memilih pengobatan
alternative dan persepsi klien tentang penggunaan, dan pemanfaatan teknologi
untuk mengatasi permasalahan kesehatan ini.
b. Faktor agama dan falsafah hidup (religious and philosophical factors)
Agama adalah suatu simbol yang mengakibatkan pandangan yang amat
realistis bagi para pemeluknya. Agama memberikan motivasi yang sangat kuat
untuk mendapatkan kebenaran diatas segalanya, bahkan diatas kehidupannya
sendiri. Faktor agama yang harus dikaji oleh perawat adalah: agama yang
dianut, status pernikahan, cara pandang klien terhadap penyebab penyakit, cara
pengobatan dan kebiasaan agama yang berdampak positif terhadap kesehatan.
c. Faktos sosial dan keterikatan keluarga (kinshop and social factors)
Perawat pada tahap ini harus mengkaji faktor-faktor: nama lengkap, nama
panggilan, umur dan tempat tanggal lahir, jenis kelamin, status, tipe keluarga,

6
pengambilan keputusan dalam keluarga, dan hubungan klien dengan kepala
keluarga.
d. Nilai-nilai budaya dan gaya hidup (cultural value and life ways)
Nilai-nilai budaya adalah sesuatu yang dirumuskan dan ditetapkan oleh
penganut budaya yang di anggap baik atau buruk. Norma-norma budaya adalah
suatu kaidah yang mempunyai sifat penerapan terbatas pada penganut budaya
terkait. Perlu di kaji pada faktor ini adalah posisi dan jabatan yang dipegang
oleh kepala keluarga, bahasa yang digunakan, kebiasaan makan, makanan yang
dipantang dalam kondisi sakit, perseosi sakit berkaitan dengan aktivitas sehari-
hari dan kebiasaan membersihkan diri.
e. Faktor kebijakan dan peraturan yang berlaku (political and legal factors)
Kebijakan dan peraturan rumah sakit yang berlaku adalah segala sesuatu yang
mempengaruhi kegiatan individu dalam asuhan keperawatan lintas budaya
(Andrew and Boyle, 1995). Perlu dikaji pada tahap ini adalah: peraturan dan
kebijakan yang berkaitan dengan jam berkunjung, jumlah anggota keluarga
yang boleh menunggu, cara pembayaran untuk klien yang dirawat.

f. Faktor ekonomi (economical factors)


Klien yang dirawat dirumah sakit memanfaatkan sumber-sumber material yang
dimiliki untuk membiayai sakitnya agar segera sembuh. Faktor ekonomi yang
harus dikaji oleh perawat diantaranya: pekerjaan klien, sumber biaya
pengobatan, tabungan yang dimiliki oleh keluarga, biaya dari sumber lain
misalnya asuransi, penggantian biaya dari kantor atau patungan antar anggota
keluarga.
g. Faktor pendidikan (educational factors)
Latar belakang pendidikan klien adalah pengalaman klien dalam menempuh
jalur formal tertinggi saat ini. Semakin tinggi pendidikan klien maka keyakinan
klien biasanya didukung oleh bukti-bukti ilmiah yang rasional dan individu
tersebut dapat belajar beradaptasi terhadap budaya yang sesuai dengan kondisi
kesehatannya. Hal yang perlu dikaji pada tahap ini adalah: tingkat pendidikan
klien, jenis pendidikan serta kemampuannya untuk belajar secara aktif mandiri
tentang pengalaman sedikitnya sehingga tidak terulang kembali.

2.5 Pandangan kesehatan berdasarkan keragaman budaya


7
Masalah kesehatan merupakan masalah kompleks yang merupakan resultante dari
berbagai masalah lingkungan yang bersifat alamiah maupun masalah buatan manusia,
sosial budaya, perilaku, populasi penduduk, genetika, dan sebagainya. Derajat kesehatan
masyarakat yang disebut sebagai psycho socio somatic health well being, merupakan
resultante dari 4 faktor yaitu (DEPKES RI,1998):
a. Environment atau lingkungan.
b. Behaviour atau perilaku, antara yang pertama dan kedua dihubungkan dengan
ecological balance.
c. Heredity atau keturunan yang dipengaruhi oleh populasi, distribusi penduduk, dan
sebagainya.
d. Health care service berupa program kesehatan yang bersifat preventif, promotif,
kuratif, dan rehabilitatif.
Dari empat faktor tersebut di atas, lingkungan dan perilaku merupakan faktor
yang paling besar pengaruhnya (dominan) terhadap tinggi rendahnya derajat kesehatan
masyarakat. Tingkah laku sakit, peranan sakit dan peranan pasien sangat dipengaruhi oleh
faktor-faktor seperti kelas sosial, perbedaan suku bangsa dan budaya. Ancaman kesehatan
yang sama (yang ditentukan secara klinis), bergantung dari variabel-variabel tersebut
dapat menimbulkan reaksi yang berbeda di kalangan pasien (DEPKES RI,1998).
Pengertian sakit menurut etiologi naturalistik dapat dijelaskan dari segi impersonal dan
sistematik, yaitu bahwa sakit merupakan satu keadaan atau satu hal yang disebabkan oleh
gangguan terhadap sistem tubuh manusia.
Pernyataan tentang pengetahuan ini dalam tradisi klasik Yunani, India, Cina,
menunjukkan model keseimbangan (equilibrium model) seseorang dianggap sehat apabila
unsur-unsur utama yaitu panas dingin dalam tubuhnya berada dalam keadaan yang
seimbang. Unsur-unsur utama ini tercakup dalam konsep tentang: humor, ayurveda
dosha, yin dan yang. Departemen Kesehatan RI telah mencanangkan kebijakan baru
berdasarkan paradigma sehat. Paradigma sehat adalah cara pandang atau pola pikir
pembangunan kesehatan yang bersifat holistik, proaktif antisipatif, dengan melihat
masalah kesehatan sebagai masalah yang dipengaruhi oleh banyak faktor secara dinamis
dan lintas sektoral, dalam suatu wilayah yang berorientasi kepada peningkatan
pemeliharaan dan perlindungan terhadap penduduk agar tetap sehat dan bukan hanya
penyembuhan penduduk yang sakit. Konsep sehat sakit menurut budaya masyarakat.
Istilah sehat mengandung banyak muatan kultural, sosial dan pengertian profesional yang
8
beragam. Dulu dari sudut pandangan kedokteran, sehat sangat erat kaitannya dengan
kesakitan dan penyakit. Dalam kenyataannya tidaklah sesederhana itu, sehat harus dilihat
dari berbagai aspek. WHO melihat sehat dari berbagai aspek (DEPKES RI,1998).
Definisi WHO: Health is a state of complete physical, mental and social well
-being, and not merely the absence of disease or infirmity. WHO mendefinisikan
pengertian sehat sebagai suatu keadaan sempurna baik jasmani, rohani, maupun
kesejahteraan sosial seseorang. Sebatas mana seseorang dapat dianggap sempurna
jasmaninya.
Oleh para ahli kesehatan, antropologi kesehatan di pandang sebagai disiplin
biobudaya yang memberi perhatian pada aspek-aspek biologis dan sosial budaya dari
tingkah laku manusia, terutama tentang cara-cara interaksi antara keduanya sepanjang
sejarah kehidupan manusia yang mempengaruhi kesehatan dan penyakit. Penyakit sendiri
ditentukan oleh budaya hal ini karena penyakit merupakan pengakuan sosial bahwa
seseorang tidak dapat menjalankan peran normalnya secara wajar (DEPKES RI,1998).
Cara hidup dan gaya hidup manusia merupakan fenomena yang dapat dikaitkan
dengan munculnya berbagai macam penyakit, selain itu hasil berbagai kebudayaan juga
dapat menimbulkan penyakit. Masyarakat dan pengobat tradisional menganut dua konsep
penyebab sakit, yaitu: Naturalistik dan Personalistik. Penyebab bersifat Naturalistik yaitu
seseorang menderita sakit akibat pengaruh lingkungan, makanan (salah makan),
kebiasaan hidup, ketidakseimbangan dalam tubuh, termasuk juga kepercayaan panas
dingin seperti masuk angin dan penyakit bawaan. Konsep sehat sakit yang dianut
pengobat tradisional sama dengan yang dianut masyarakat setempat, yakni suatu keadaan
yang berhubungan dengan keadaan badan atau kondisi tubuh kelainan-kelainan serta
gejala yang dirasakan. Sehat bagi seseorang berarti suatu keadaan yang normal, wajar,
nyaman, dan dapat melakukan aktivitas sehari-hari dengan gairah. Sedangkan sakit
dianggap sebagai suatu keadaan badan yang kurang menyenangkan, bahkan dirasakan
sebagai siksaan sehingga menyebabkan seseorang tidak dapat menjalankan aktivitas
sehari-hari seperti halnya orang yang sehat.
Konsep Personalistik menganggap munculnya penyakit (illness) disebabkan oleh
intervensi suatu agen aktif yang dapat berupa makhluk bukan manusia (hantu, roh,
leluhur atau roh jahat), atau makhluk manusia (tukang sihir, tukang tenung). Menelusuri

9
nilai budaya, misalnya mengenai pengenalan kusta dan cara perawatannya. Kusta telah
dikenal oleh etnik Makassar sejak lama (DEPKES RI,1998).

2.6 Self awareness bagi perawat terhadap budaya dan kepercayaannya, serta bias
dan asumsi budaya
Self-awareness (kesadaran diri), berkaitan dengan bagaimana membuat konsep
diri semakin jelas. Kesadaran diri memungkinkan untuk memahami orang lain,
bagaimana orang lain memandang kita dan tanggapan kita kepada orang tersebut pada
waktu tertentu. Dengan kesadaran diri seseorang dapat bergerak lebih dekat untuk hidup
berdasarkan nilai-nilai kita dan mewujudkan semua impian itu dalam kehidupan nyata.
Self Awareness merupakan perhatian terhadap diri sendiri, pengetahuan tentang apa yang
dilakukan diri sendiri, dan pemahaman tentang lingkungan sekitar. Self awareness juga
merupakan kesadaran diri sebagai masyarakat, warga negara, bagian dari lingkunganya,
menjadikan kekurangan dan kelebihan modal untuk meningkatkan diri sebagai pribadi
yang bermanfaat baik dirinya sendiri maupun lingkungan. Self awareness bukan
perhatian yang dikuasai oleh emosi, bereaksi secara berlebihan dan melebih-lebihkan apa
yang diketahui. Self awareness lebih merupakan sifat netral yang mempertahankan
refleksi diri dalam emosi. Kesadaran terhadap emosi adalah kemampuan emosional dasar
yang melandasi terbentuknya kemampuan lain, seperti pengendalian diri terhadap emosi
(Wunderle,2006).
Tujuan:
a. Membantu keluarga dengan budaya yang berbeda-beda untuk mampu memahami
kebutuhannya terhadap asuhan keperawatan dan kesehatan.
b. Membantu perawat dalam mengambil keputusan selama pemberian asuhan
keperawatan pada
c. Keluarga melalui pengkajian gaya hidup, keyakinan tentang kesehatan dan praktik
kesehatan klien.
d. Asuhan keperawatan yang relevan dengan budaya dan sensitif terhadap kebutuhan
klien akan menurunkan kemungkinan stres dan konflik karena kesalahpahaman
budaya.

2.7 Diversity dalam Masyarakat yang meliputi, Ras, Etnis, Cultural Diversity, dan
Ethnocentrism
Diversity atau Keanekaragaman atau yang sering disebut dengan
multikulturalisme adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan pandangan seseorang

10
tentang ragam kehidupan di dunia, ataupun kebijakan kebudayaan yang menekankan
tentang penerimaan terhadap adanya keragaman, dan berbagai macam budaya
(multikultural) yang ada dalam kehidupan masyarakat menyangkut nilai-nilai, sistem,
budaya, kebiasaan, dan politik yang mereka anut (John T. Omohundro, 2008).
a. Ras
Ras adalah pengelompokan berdasarkan ciri biologis, bukan berdasarkan ciri-ciri
sosiokultural. Dengan kata lain, ras berati segolongan penduduk suatu daerah
yang mempunyai sifat-sifat keturunan tertentu berbeda dengan penduduk daerah
lain.Pembagian ras dibedakan pada sifat fisik sama yang menurun. Pada garis
besarnya, tanda fisik yang digunakan untuk mengklasifikasikan ras adalah
(Annisa Tamara,Dkk,2018):
1) Bentuk Badan
Sebenarnya bentuk badan itu tidak begitu besar nilainya bagi ukuran
pembagian ras. Dapat kita katakana bahwa manisia dewasa memiliki
tinggi rata-rata 150-178 cm.
2) Bentuk Kepala
Bentuk kepala dihitung dengan cara mengetahui indeks kepala. Cara
menghitungnya ialah labar kepala dibagi panjang kepala dilalikan 100.
3) Bentuk Air Muka dan Tulang Rahang Bawah
a) Ada lima hal yang harus diperhatikan dalam membahas bentuk air
muka dan tulang rahang bawah.
b) Bentuk tulang pipi itu ada yang terlihat menonjol keluar.
c) Pronagtisme adalah derajat proyeksi ke muka dari air muka.
d) Lebar muka.
e) Gigi kurang bermanfaat bagi penyelidikan karena bentuk gigi pada
manusia tidak begitu bayak berbeda.
f) Manusia purba dan manusia modern terdapat perbedaan yang
mencolok.
4) Bentuk Hidung
a) Indeks hidung diperoleh dengan cara membagi panjang hidung dengan
lebarnya dikalikan 100.
b) Warna Kulit, Warna Rambut, dan Warna Mata
Warna kulit manusia dapat dibagi menjadi hitam dan putih. Selain itu,
kita mengenal warna putih pada ras Nordic, warna kuning pada orang
Tionghoa, warna sawo matang pada orang Dravida, warnakuning
coklat pada orang Polynesia, dan warnacoklat hitam pada orang Negro.
Warna rambut seperti warna hitam, coklat, pirang, putih, dan
11
kekuningan, sedangkan warna mata ada yang hitam, coklat, hijau, biru,
dan abu-abu.
c) Bentuk rambut
Bentuk rambut manusia yaitu lurus, bergelombang, krul, keriting, dan
seperti wol.
b. Etnis
Dalam Ensiklopedi Indonesia disebutkan istilah etnik berarti kelompok sosial
dalam sistem sosial atau kebudayaan yang mempunyai arti atau kedudukan
tertentu karena keturunan, adat, agama, bahasa, dan sebagainya. Anggota-anggota
suatu kelompok etnik memiliki kesamaan dalam hal sejarah (keturunan), bahasa
(baik yang digunakan ataupun tidak), sistem nilai, serta adat-istiadat dan tradisi
(Annisa Tamara,Dkk,2018).
Menurut Frederich Barth (1988) istilah etnik menunjuk pada suatu kelompok
tertentu yang karena kesamaan ras, agama, asal-usul bangsa, ataupun kombinasi
dari kategori tersebut terikat pada sistem nilai budayanya. Kelompok etnik adalah
kelompok orang-orang sebagai suatu populasi yang :
a) Dalam populasi kelompok mereka mampu melestarikan kelangsungan
kelompok dengan berkembang biak.
b) Mempunyai nila-nilai budaya yang sama, dan sadar akan rasa
kebersamaannya dalam suatu bentuk budaya.
c) Membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri.
d) Menentukan ciri kelompoknya sendiri yang diterima oleh kelompok lain
dan dapat dibedakan dari kelompok populasi lain.
c. Cultural Diversity
Konvensi UNESCO 2005 (Convention on The Protection and Promotion of The
Diversity of Cultural Expressions) tentang keragaman budaya atau “cultural
diversity”, cultural diversity diartikan sebagai kekayaan budaya yang dilihat
sebagai cara yang ada dalam kebudayaan kelompok atau masyarakat untuk
mengungkapkan ekspresinya. Hal ini tidak hanya berkaitan dalam keragaman
budaya yang menjadi kebudayaan latar belakangnya, namun juga variasi cara
dalam penciptaan artistik, produksi, disseminasi, distribusi dan penghayatannya,
apapun makna dan teknologi yang digunakannya (Konvensi UNESCO,2005).
d. Etnosentrisme
Etnosentrisme adalah penilaian terhadap kebudayaan lain atas dasar nilai dan
standar budaya sendiri. Orang-orang etnosentris menilai kelompok lain relatif

12
terhadap kelompok atau kebudayaannya sendiri, khususnya bila berkaitan dengan
bahasa, perilaku, kebiasaan, dan agama. Perbedaan dan pembagian etnis ini
mendefinisikan kekhasan identitas budaya setiap suku bangsa (Annisa Tamara
dkk, 2018).

Dari kasus tersebut dijelaskan bahwa masyarakat yang dimartapura merupakan


masyarakat dengan budaya yang berbeda-beda, dari keragaman tersebut dalam
masyarakat menyangkut nilai-nilai, sistem, budaya, kebiasaan, yang mereka anut
sehingga dari perbedaan ras, etnis, perbedaan budaya dari masing-masing daerah
sehingga dan etnosentris atau penilaian terhadap kebudayaan orang lain, tentu saja asuhan
yang diberikan oleh perawat pada masing-masing individu dapat berbeda pula karena
masing-masing budaya memiliki penerimaan terhadap budayanya sendiri, sehingga
perawat dapat memberikan edukasi agar diterima oleh masyarakat yang ada dimartapura
karena diketahui masyarakatnya sendiri sudah mampu menggunakan berbagai macam
teknologi, sehingga dapat membuka wawasan lebih terkait kesehatan yang diberikan.

2.8 Bennett’ s Stages of Cross-Cultural Sensitivity


Benar bahwa kita tidak akan pernah sepenuhnya memahami budaya lain, terutama
jika ada hambatan bahasa, geografi, dan ideologi yang berbeda, yang diharapkan untuk
mendapatkan orientasi yang memungkinkan untuk mulai menghilangkan kesenjangan
komunikasi dengan orang lain dalam arah tertentu, kita dapat terjebak dalam prasangka
dan tidak dapat mulai menilai orang lain tanpa terlebih dahulu mengasah kesadaran kita
sendiri. Karena itu Cooley mengemukakan bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan
diri sendiri menciptakan emosi yang lebih kuat (non-diri), dan bahwa diri dapat dikenali
hanya oleh perasaan subyektif, cukup menekankan pentingnya respons subjektif sebagai
sumber utama data tentang diri mereka sendiri. Jika seseorang dapat melihat diri mereka
dan budaya mereka dari luar dan berpikir lebih objektif, dia memiliki kesempatan bagus
untuk menghilangkan hambatan budaya tertentu yang akan mencegahnya untuk
memahami pikiran dan kepribadian orang lain. Untuk alasan ini, orang cenderung
berasumsi bahwa jika mereka berada dalam budaya yang berbeda di mana mereka tidak
memahami bahasa yang mereka pikir mereka dapat dengan aman hanya dengan
mengetahui gerakan secara manual. Hanya beberapa yang memiliki makna universal

13
khususnya adalah tertawa, tersenyum, tanda marah, dan menangis. Manusia memiliki
pengalaman hidup yang berbeda dalam budaya yang berbeda, ia akan menafsirkan secara
berbeda tanda-tanda dan simbol-simbol yang sama. Orang cenderung berasumsi bahwa
jika mereka berada dalam budaya yang berbeda di mana mereka tidak memahami bahasa
yang mereka pikir mereka dapat dengan aman hanya dengan mengetahui gerakan secara
manual. Bahkan, hanya beberapa yang memiliki makna universal khususnya adalah
tertawa, tersenyum, tanda marah, dan menangis. Manusia memiliki pengalaman hidup
yang berbeda dalam budaya yang berbeda, ia akan menafsirkan secara berbeda tanda-
tanda dan simbol-simbol yang sama (Bennett, Milton J., 1998).

Craig (dalam Littlejohn dan Foss, 2011: 9) mengatakan bahwa komunikasi


adalah proses utama di mana kehidupan manusia hidup, komunikasi yang
mendasari realitas. Bagaimana kita mengomunikasikan pengalaman kita
sendiri untuk membentuk atau membangun pengalaman kita. Banyak bentuk
pengalaman yang dihasilkan dalam bentuk komunikasi. Cara orang berubah
dari satu kelompok ke kelompok lainnya, dari satu negara ke negara lain, dan
dari satu periode ke periode lain waktu karena sifat dinamis komunikasi itu
sendiri untuk banyak situasi. Komunikasi dilakukan sebagian besar sebagai
hasil dari budaya, oleh karena itu, budaya juga mempengaruhi setiap aspek
pengalaman komunikasi di mana penerimaan pesan melalui filter yang
dihasilkan oleh konteks budaya dan konteks itu mempengaruhi apa yang
diterima orang dan bagaimana menerima konten dan bentuk dari pesan.
Komunikasi lintas budaya terjadi ketika dua atau lebih orang dengan latar
belakang budaya yang berbeda berinteraksi. Proses ini jarang berjalan lancar dan tanpa
masalah, dalam kebanyakan situasi, para pelaku interaksi antar budaya tidak
menggunakan bahasa yang sama, tetapi bahasa dapat dipelajari dan masalah komunikasi
yang lebih besar terjadi di bidang verbal dan nonverbal. Kita merasa tidak nyaman dalam
budaya lain karena kita merasa ada yang salah. Seorang individu tidak dapat menerima
atau mengalami kesulitan menyesuaikan dengan perbedaan yang terjadi sebagai akibat
dari interaksi, seperti masalah bahasa, tradisi atau norma, perkembangan teknologi dan
kebiasaan atau cara seseorang yang berbeda budaya dan daerah. Padahal, keragaman
budaya bukanlah sesuatu yang akan lenyap dengan mudah di masa depan. Orang-orang
dari budaya yang berbeda berbagi konsep dasar, tetapi melihat konsep dari sudut pandang
dan perspektif yang berbeda, yang menyebabkan mereka berperilaku dengan cara yang
mungkin dianggap tidak rasional atau bertentangan.

14
Richard D. Lewis (2005) mengatakan bahwa perilaku orang-orang
dengan budaya yang berbeda bukanlah sesuatu yang kacau, dan itu menarik
untuk melihat bagaimana output budaya terutama karena kehadiran
teknologi informasi dan globalisasi sangat cepat. Jadi perlu perhatian khusus
untuk menjaga komunikasi tetap terjalin, bukan perbedaan budaya
menghambat interaksi yang bermakna, tetapi lebih sebagai sumber untuk
memperkaya pengalaman komunikasi.

Sensitivity antara budaya juga ditakrifkan sebagai pengalaman terhadap perbezaan


budaya dan pengalaman tersebut bergantung kepada cara seseorang individu membentuk
perbedaan tersebut (Bennett 1993).

Berikut adalah penjelasan dari setiap tahap perkembangan sensitivity


keberbagaian budaya menurut teori DMIS yang dikemukakan oleh Bennett (2004):

a. Tahap Penyangkalan (Denial)


Penilaian terhadap perbedaan budaya menunjukkan seseorang individu tidak
merasakan sama sekali perbedaan budaya atau hanya melihat individu yang
berlainan budaya sebagai “orang asing” atau “minoritia. Mereka beranggapan
bahawa budaya yang dimiliki merupakan satu-satunya budaya di dunia dengan
pola kepercayaan, perilaku dan nilai-nilai yang nyata ada. Budaya yang berlainan
tidak diakui keunggulannya dan hanya menerima budaya sendiri sahaja. Secara
umum, orang-orang yang berada pada tahap penafian tidak tertarik kepada
perbezaan budaya kerana mereka tidak mengakui kehadiran budaya lain.
b. Tahap Pertahanan (Defense)
Tahap pertahanan (defense) individu merasakan bahawa budaya yang melekat
pada dirinya bukan merupakan satu-satunya budaya yang paling maju dan paling
baik di dunia. Ini menunjukkan pada tahap pertahanan (defense) seseorang sudah
mengakui bahawa keragaman budaya adalah sesuatu yang nyata dan ada di dunia,
namun dianggap sebagai sesuatu yang negatif. Pada tahap pertahanan (defense)
seseorang telah mengakui adanya perbezaan budaya dan mereka mula
menunjukkan adanya perasaan terancam yang disebabkan oleh keberadaan
budaya lain. Bagi individu-individu yang berada di tahap ini dunia dapat dibahagi
menjadi “kami” dan “mereka”. “Kami” ditujukan bagi orang-orang yang berasal
dari budaya yang sama dengan dirinya, yang dianggap superior dan diidentitikan

15
dengan stereotaip positif. Sementara “mereka” ditujukan bagi semua orang yang
berasal dari budaya lain, yang dianggap inferior dan diidentitikan dengan
stereotaip negatif.
c. Tahap Pengurangan (Minimization)
Tahap pengurangan (minimization) adalah tahap dimana: “In Minimization, the
threat associated with cultural differences experienced in Defense is neutralized
by subsuming the differences into familiar categories. For instance, cultural
differences may be subordinated to the overwhelming similarity of people
biological nature (physical universalism). The experience of similarity of
natural physical processes may then be generalized to other assumedly natural
phenomena such as needs and motivations. The experience of similarity might
also be experienced in the assumed cross-cultural applicability of certain
religious, economic or philosophical concepts (transcedent universalism).
People at Minimization expect similarities, and they may become inistent about
correcting others’ behavior to match their expectations”.
Berbeda dengan pengurangan (defense), orang yang berada pada tahap
pengurangan (minimization) tidak lagi merasa terancam pada kenyataan adanya
perbedaan budaya. Hal ini terjadi kerana mereka menggunakan kategori-kategori
yang menjadi kebiasaan untuk menjelaskan tentang kesamaan antara budaya yang
lain. Mereka memiliki keyakinan tentang adanya physical universalism dan
transcendent universalism yang berlaku bagi semua orang dari semua budaya.
Physical universalism adalah adanya kesamaan dari segi jasmaniah yang berlaku
secara universal. Transcendent universalism adalah adanya kesamaan konsep
abstrak (agama, ekonomi, dan filosofi) yang berlaku secara universal. Pada tahap
pengurangan (minimization), seseorang mengharapkan terciptanya kesamaan
antara budaya. Harapan inilah yang selalunya membuatkan individu yang berada
di tahap pengurangan (minimization) berusaha untuk mengubah perilaku individu
dari budaya lain agar sesuai dengan budaya yang mereka miliki.
d. Tahap Penerimaan (Acceptance)
Tahap keempat dalam kontinum perkembangan sensitiviti antara budaya adalah
penerimaan (acceptance).
Bennett (2004:68-69) menjelaskan “Acceptance of cultural difference is
the state in which one’s own culture is experienced as just one of a
number of equally complex worldviews. People with this worldview are
16
able to experience others as different from themselves, but equally
human. They are adept at identifying how cultural differences in general
operate in a wide range of human interactions”.
Pada tahap penerimaan (acceptance), budaya yang melekat pada diri seseorang
individu dianggap sebagai satu dari berbagai kemungkinan pandangan terhadap
dunia (yang berasal dari berbagai budaya lain) yang sama kompleksnya. Mereka
menerima dan mengapresiasi unsur-unsur dari budaya lain. Individu yang berada
pada tahap ini menerima kenyataan bahawa individu yang berasal dari budaya
lain memiliki nilai dan pola perilaku yang berbeda namun tetap sama dengan
mereka sebagai manusia. Mereka juga mahir dalam memperkenalkan implikasi
yang ditimbulkan oleh perbezaan budaya dalam berbagai interaksi manusia.
Namun, pada tahap penerimaan ini (acceptance), penerimaan seseorang terhadap
perbedaan budaya bukan bermakna persetujuan. Bennett (2004:69) mengatakan
bahawa, “Acceptance does not mean agreement”. Seseorang pada tahap
penerimaan (acceptance) boleh menerima namun tidak setuju terhadap aspek-
aspek tertentu dari budaya lain. Penilaian-penilaian yang dilakukan individu pada
tahap ini menjadi tidak bersifat etnosentrik kerana tetap menghargai nilai-nilai
kemanusiaan dari budaya lain.
e. Tahap Penyesuaian (Adaptation)
Tahap kelima yang disebut juga sebagai tahap penyesuaian atau adaptation
to cultural difference dijelaskan Bennett (2004:70) sebagai: “The state in
which the experience of another culture yields perception and behavior
appropriate to that culture. One’s worldview is expanded to include
relevant constructs from other cultural worldviews. People at Adaptation
can engage in empathy-the ability to take perspective or shift frame of
referenve vis-a-vis other culture. They are able to express their alternative
cultural experience in a culturally appropriate feelings and behaviors.”.
Penjelasan tersebut menunjukkan bahawa pada tahap penyesuaian (adaptation),
perlakuan seseorangyang ditonjolkan sudah sesuai dengan konteks budaya lain.
Cara melihat terhadap dunia juga menjadi lebih luas kerana dapat melihat melalui
pandangan dari budaya lain. Ciri-ciri lain dari tahap penyesuaian (adaptation)
adalah kemampuan merasa empati. Individu pada tahap ini akan mampu melihat
suatu perkara dengan menggunakan perspektif budaya lain. Kemampuan empati
terhadap budaya lain ini tidak hanya menghasilkan perubahan secara kognitif
(yaitu kemampuan “perspective taking”) perubahan dari segi afektif dan perilaku.

17
Mereka mampu memberikan respon berupa perasaan atau perilaku yang sesuai
dengan konteks budaya yang berbeda. Apa yang berlaku pada tahap penyesuaian
(adaptation) berbeda dengan apa yang disebut sebagai asimilasi budaya. Dalam
asimilasi, seseorang harus melepaskan identiti budaya asalnya bagi mengadaptasi
nilai-nilai budaya baru ke dalam kehidupannya. Sementara dalam tahap
penyesuaian (adaptation), seseorang tidak menggantikan nilai-nilai dan cara
hidup dari budaya asalnya dengan budaya lain. Hanya memperluas sistem nilai
dan kepercayaannya dengan menambahkan aspek-aspek dari budaya lain.
Perluasan sistem nilai dan kepercayaan pada tahap penyesuaian (adaptation)
membuat seseorang dapat membangun hubungan yang efektif dalam berbagai
konteks budaya yang berbeda.
f. Tahap Pengintergrasian (Integration)
Tahap terakhir dalam perkembangan sensitivity bagaian budaya ialah tahap
pengintergrasian (integration). Pengintergrasian (intergration) adalah tahap
dimana pengalaman individu diperluas sehingga mencangkupi pergerakan keluar
dan masuk dari budaya yang berbeda-beda.
Bennett (2004) menjelaskan bahwa, “Movement to the last stage does
not represent a significant improvement in intercultural competence.
Rather, it describe a fundamental shift in one’s definition of cultural
sensitivity”.
Ini bermaksud, perpindahan seseorang daripada penyesuaian (adaptation) ke
pengintergrasian (intergration) tidak menunjukkan adanya peningkatan kualitas
yang signifikan pada sensitivity bagian bangsa individu tersebut. Bennett (2004)
menjelaskan alasan adanya tahap pengintergrasian (intergration) dalam teori
DMIS “It is descriptive of a growing number of people, including many members
of non-dominant cultures, long-term expatriates, and “global nomads”. Tahap
pengintergrasian (integration) dimasukkan ke dalam teori DMIS kerana
menunjukkan banyaknya fenomena serupa yang terjadi di dunia, dimana
seseorang merasa memiliki identiti budaya yang bersifat “global”. Kerana tidak
ada perbezaan fundamental antara penyesuaian (acceptance) dan pengintergrasian
(integration) maka dalam berbagai pengukuran sensitivity bagian budaya
berdasarkan teori DMIS, pengintergrasian (integration) tidak dimasukkan ke

18
dalam skala pengukuran (Hammer 2003; Holm 2009). Bennett (1998, 2004) juga
menekankan bahawa DMIS tidak hanya sekadar penerangan dari aspek kognitif,
afektif atau perilaku seseorang yang berkaitan dengan perbezaan budaya. DMIS
adalah suatu kerangka teori yang menjelaskan bahawa perubahan cara pandang
seseorang terhadap perbedaan budaya yang bergerak dari tahap etnosentrik ke
tahap etnorelatif, akan menghasilkan perkembangan orientasi sensitiviti
kepelbagaian bangsa. Perubahan pada aspek kognitif, afektif dan perilaku di
setiap tahap DMIS adalah hasil manifestasi dari perkembangan orientasi
sensitivity bagian bangsa yang dialami orang tersebut.

Dari kasus tersebut perawat dapat melakukan penerimaan dan penyesuaian


terhadap masyarakat yang berbagai macam budaya yg berbeda di Martapura, Kabupaten
Banjar. Yang mana di ketahui bahwa pada tahap penerimaan (acceptance), budaya yang
melekat pada diri seseorang individu dianggap sebagai satu dari berbagai kemungkinan
pandangan terhadap dunia (yang berasal dari berbagai budaya lain) yang sama
kompleksnya. Mereka menerima dan mengapresiasi unsur-unsur dari budaya lain.
Individu yang berada pada tahap ini menerima kenyataan bahawa individu yang berasal
dari budaya lain memiliki nilai dan pola perilaku yang berbeda namun tetap sama dengan
mereka sebagai manusia.

Dalam tahap penyesuaian (adaptation), seseorang tidak menggantikan nilai-nilai


dan cara hidup dari budaya asalnya dengan budaya lain dengan hanya memperluas sistem
nilai dan kepercayaannya dengan menambahkan aspek-aspek dari budaya lain. Perluasan
sistem nilai dan kepercayaan pada tahap penyesuaian (adaptation) membuat seseorang
dapat membangun hubungan yang efektif dalam berbagai konteks budaya yang berbeda.

Jadi masyarakat di Martapura yang berbeda beda macam budaya dapat berbagi
informasi mengenai kesehatan, dan masyarakat sudah mampu menggunakan teknologi
jadi bisa mempermudah untuk mendapatkan informasi kesehatan dan berkomunikasi.

19
BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan

a. Globalisasi adalah suatu proses di mana antar individu, antar kelompok, dan antar
negara saling berinteraksi, bergantung, terkait, dan memengaruhi satu sama lain
yang melintasi batas negara.

b. Pengkajian adalah proses mengumpulkan data untuk mengidentifikasi masalah


kesehatan klien sesuai dengan latar belakang budaya klien.

c. Paradigma sehat adalah cara pandang atau pola pikir pembangunan kesehatan
yang bersifat holistik, proaktif antisipatif, dengan melihat masalah kesehatan
sebagai masalah yang dipengaruhi oleh banyak factor.

d. Self Awareness merupakan perhatian terhadap diri sendiri, pengetahuan tentang


apa yang dilakukan diri sendiri, dan pemahaman tentang lingkungan sekitar.

e. Diversity atau Keanekaragaman atau yang sering disebut dengan


multikulturalisme adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan pandangan
seseorang tentang ragam kehidupan di dunia.

20
f. Komunikasi lintas budaya terjadi ketika dua atau lebih orang dengan latar
belakang budaya yang berbeda berinteraksi.

DAFTAR PUSTAKA

Andrew, M dan Boyle, J, S. 1995. Transcultural Concepts in Nursing Care. 2nd Ed.
Philadelphia. JB Lippincot Company.
Annisa Tamara (Ed). 2018. Aplikasi Pembelajaran Keanekaragaman Budaya Dan Suku
Untuk Siswa Kelas 5 Sdi Al-Azhar 7 Sukabumi Culture And Ethnic Learning
Application In Grade 5 Sdi Al-Azhar 7 Sukabumi. e-Proceeding of Applied
Science: Vol.4 No.1 Maret 2018.
Bennett, M, J. 1998. Intercultural communication: A current perspective. In M. J. Bennett
(Ed). Basic concepts of intercultural communication: A reader (pp. 1–34).
Yarmouth, ME: Intercultural Press.
Bennett, M, J. 1993. Towards ethnorelativism: A developmental model of intercultural
sensitivity. In R. M. Paige (Ed.) Education for the intercultural experience (2nd ed.,
pp. 21–71). Yarmouth, ME: Intercultural Press.
Dahlan, Saronji dan Asy’ari. 2006. Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta: Erlangga.
Ginger, J, N dan Davidhizar. 1995. Transcultural Nursing: Assessment and Intervention, St.
21
Leininger, M dan Mc Farland, M.R. 2002. Transcultural Nursing: Concepts, Theories,
Research and Practice, 3rd Ed, USA. Mc-Graw Hill Companies.
Omohundro, Jhon, T. 2008. Thinking like an Anthropologist: A practical introduction to
Cultural Anthropology. McGraw Hill. ISBN 0-07-319580-4.

PEMBAGIAN TUGAS

Nadila Penyunting.
Anggelia Nurlikasari Pemakaian spasi, pemakaian kalimat efektif.
Ayu Aprilla Maharani Konsistensi penulisan point, konjungsi diawal kalimat.
Anna Sessi Inti Peranita Penggunaan tanda baca, konjungsi ditengah kalimat.
Ervina Dwi Atika Arisandi Kesalahan pengetikan kata, kata tidak efektif.
Sunita Permata Indah Penggunaan huruf kapital, pemakaian kata tanya yang tidak
tepat.
Ariska Wulandari Penggunaan angka, paragraf.
Evi Novianti Penggunaan kata baku.
Erna Auliana Ariantina Putri Penggunaan kata asing maupun istilah khusus.
Yulia Rahayu Baca kembali.
Ninda Anggraini Penggunaan diksi.

22

You might also like