You are on page 1of 27

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

MAKALAH

“ KEBUDAYAAN ISLAM ”

NAMA MAHASISWA : ATTAHIRA NUR RACHMAN (15020160170)

NURWINDA WIRADA (15020160171)

KELAS : C8

KELOMPOK : 10 (SEPULUH)

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

MAKASSAR

2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang mana telah
memberikan kami semua kekuatan serta kelancaran dalam menyelesaikan
makalah mata kuliah Pendidikan Agama Islam (PAI) yang berjudul “Sistem
Kebudayaan Islam” dapat selesai seperti waktu yang telah penulis
rencanakan. Tersusunnya makalah ini tentunya tidak lepas dari peran serta
berbagai pihak yang telah memberikan bantuan secara materil dan spiritual,
baik secara langsung maupun tidak langsung.
Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak dosen pengasuh mata kuliah Pendidikan Agama Islam (PAI).
2. Teman-teman yang telah membantu dan memberikan dorongan
semangat agar makalah ini dapat penulis selesaikan.
Semoga Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang membalas
budi baik yang tulus dan ikhlas kepada semua pihak yang penulis sebutkan
di atas. Tak ada gading yang tak retak, untuk itu penulispun menyadari
bahwa makalah yang telah penulis susun dan kami kemas masih memiliki
banyak kelemahan serta kekurangan-kekurangan baik dari segi teknis
maupun non-teknis.
Untuk itu penulis membuka pintu yang selebar-lebarnya kepada
semua pihak agar dapat memberikan saran dan kritik yang membangun
demi penyempurnaan penulisan-penulisan mendatang. Dan apabila di
dalam makalah ini terdapat hal-hal yang dianggap tidak berkenan di hati
pembaca mohon dimaafkan.
Makassar, 28 April 2018

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam sudah mulai berkembang lagi sejak abad ke-7 dan
berkembang secara pesat ke seluruh dunia dari waktu ke waktu. Dalam
penyebarannya secara otomatis Islam telah meletakkan nilai-nilai
kebudayaannya.
Kebudayaan Islam adalah hasil olah akal, budi, cipta, rasa, karsa,
dan karya manusia yang berlandaskan pada nilai-nilai tauhid. Islam sangat
menghargai akal manusia untuk berkiprah dan berkembang. Hasil olah
akal, budi, rasa,dan karsa yang telah terseleksi oleh nilai-nilai kemanusiaan
yang bersifat universal berkembang menjadi sebuah peradaban.
Dalam perkembangannya perlu dibimbing oleh wahyu dan aturan-aturan
yang mengikat agar tidak terperangkap pada ambisi yang bersumber pada
nafsu hewani, sehingga akan merugikan dirinya sendiri. Di sini agama
berfungsi untuk membimbing manusia dalam mengembangkan akal
budinya sehingga menghasilkan kebudayaan yang beradab atau perdaban
Islam.
B. Rumusan Masalah
a. Pengertian kebudayaan Islam?
b. Konsep kebudayaan dalam Islam?
c. Perkembangan Kebudayaan Islam?
d. Nilai- nilai kebidayaan Islam?
e. Masjid sebagai Pusat Kebudayaan Islam?
C. Tujuan
Yang menjadi tujuan pembuatan makalah ini yaitu :
1. Untuk menambah wawasan bagi pembaca tentang Sistem
Kebudayaan Islam.
2. Untuk membimbing manusia dalam mengembangkan Sistem
Kebudayaan Islam.
3. Dan sebagai pelengkap tugas mata kuliah Pendidikan Agama Islam
(PAI).
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Kebudayaan Islam


Kebudayaan secara etimologi merupakan perpaduan dari istilah
“budi” yang berarti akal, pikiran, pengertian, paham, perasaan, dan
pendapat; dan “daya” yang berarti tenaga, kekuatan, kesanggupan.
Menurut terminologi kebudayaan adalah himpunan segala daya dan
upaya yang dikerjakan dengan menggunakan hasil pendapat budi,
untuk memperbaiki sesuatu tujuan dalam rangka mencapai
kesempurnaan, (Agus Salim, 1954:300). Definisi kebudayaan secara
khusus dikemukakan oleh para seniman dan budayawan Islam sebagai
menifestasi dari ruh, zauq, iradah, dan amal (cipta, rasa, karsa, dan
karya) dalam seluruh segi kehidupan insani sebagai fitrah, ciptaan
karunia Allah SWT. Berdasarkan definisi tersebut, dapat dipahami
bahwa kebudayaan muncul dari pengerahan semua potensi yang
diberikan Allah kepada semua manusia. Kebudayaan Islam selalu
terkait dengan nilai-nilai Illahiyah yang bersumber dari ajaran kitab suci
Al-Qur’an dan Hadist, sehingga dapat dipahami bahwa kebudayaan
Islam itu adalah implementasi dari Quran dan Sunnah oleh umat Islam
dalam kehidupannya, baik dalam bentuk pemikiran, tingkah laku,
maupun karya untuk kemaslahatan umat manusia dalam rangka
mendekatkan diri (taqarub) kepada Allah dan mencari keridhoaan-Nya.
B. Konsep Kebudayaan dalam Islam

Secara umum kebudayaan dapat dipahami sebagai hasil olah akal,


budi,ciptarasa, karsa, dan karya manusia. Kebudayan pasti tidak lepas
dari nialai-nilai keTuhanan. Kebudayaan yang telah terseleksi oleh nilai-
nilai kemanusiaan yang universal berkembang menjadi peradaban.
Dalam perkembangannya perlu dibimbing oleh wahyu dan aturan-
aturan yang mengikat agar tidak terperangkap pada ambisi yang
bersumber dari nafsu hewani sehingga akan merugikan dirinya sendiri.
Disini agama Islam berfungsi untuk membimbing manusia dalam
mengembangkan akal budinya sehingga menghasilkan kebudayaan
yang beradab atau berperadaban Islam.
Sehubungan dengan hasil perkembangan kebudayaan yang
dilandasi nilai-nilai ketuhanan atau disebut sebagai peradaban
Islam,maka fungsi agama disini semakin jelas. Ketika perkembangan
dan dinamika kehidupan umat manusia itu sendiri mengalami kebekuan
karena keterbatasan dalam memecahkan persoalannya sendiri, disini
sangat terasa akan perlunya suatu bimbingan wahyu.
Allah mengangkat seorang Rasul dari jenis manusia karena yang
akanmenjadi sasaran bimbingannya adalah umat manusia. Oleh sebab
itu misi utama Muhammad diangkat sebagai Rasul adalah menjadi
Rahmat bagi seluruh umatmanusia dan alam. Mengawali tugas
utamanya, Nabi meletakkan dasar-dasar kebudayaan Islam yang
kemudian berkembang menjadi peradaban Islam. Ketika dakwah Islam
keluar dari jazirah Arab, kemudian tersebar keseluruh dunia, maka
terjadilah suatu proses panjang dan rumit, yaitu asimilasi budaya-
budaya setempat dengan nilai-nilai Islam yang kemudian menghasilkan
kebudayaan Islam. Kebudayaan ini berkembang menjadi suatu
peradaban yang diakui kebenarannya secara universal.
Dari segi etimologis, kata kebudayaan adalah kata dalam bahasa
Indonesia yang berasal dari bahasa Sansekerta buddhi yang berarti
intelek (pengertian). Kata buddhi berubah menjadi budaya yang berarti
“yang diketahui atau akal pikiran”. Budaya berarti pula pikiran, akal budi,
kebudayaan, yang mengenai kebudayaan yang sudah berkembang,
beradab, maju (Poerwadarminta,1982:157).
Dari pengertian budaya di atas, dapat diutarakan dengan bahasa lain
bahwa kebudayaan merupakan gambaran dari taraf berpikir manusia.
Tinggi-rendahnya taraf berpikir manusia akan terlihat pada hasil
budayanya. Kebudayaan merupakan cetusan isi hati suatu bangsa,
golongan, atau individu. Tinggi-rendahnya, kasar-halusnya pribadi
manusia, golongan, atau ras, akan terlihat pada kebudayaan yang
dimiliki sebagai hasil ciptaannya. Maka dapat juga dikatakan bahwa
kebudayaan merupakan orientasi dan pola pikir manusia, golongan,
atau bangsa. Kebudayaan merupakan suatu konsep yang sangat luas
ruang lingkupnya. Hal ini tidak terlepas dari latar belakang timbulnya
suatu kebudayaan itu sendiri. Dawson (1993:57) memberikan empat
faktor yang menjadi alasan pokok yang menentukan corak suatu
kebudayaan, yaitu faktor geografis, keturunan atau bangsa, kejiwaan,
dan ekonomi.
Dalam Islam, memang tidak ada suatu rumusan yang kongkret
mengenai suatu kebudayaan. Berkaitan dengan masalah kebudayaan.
Islam memberi kerangka asas atau prinsip yang bersifat hakiki atau
esensial. Dengan kata lain, Islam hanya memberikan konsep dasar yang
dalam perwujudannya tergantung pada pemahaman pendukungnya.
Dalam keadaan atau waktu yang berbeda, esensinya diwujudkan oleh
aksidensi yang sangat ditentukan oleh aspek ekonomi, politik, sosial
budaya, teknik, seni, dan mungkin juga oleh filsafat.
Ciri-ciri yang membedakan antara kebudayaan Islam dengan
budaya lain, diungkapkan oleh Siba’i bahwa ciri-ciri kebudayaan Islam
adalah yang ditegakkan atas dasar aqidah dan tauhid, berdimensi
kemanusiaan murni, diletakkan pada pilar-pilar akhlak mulia, dijiwai oleh
semangat ilmu (Zainal, 1993:60).
Dari paparan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kebudyaan
Islam dapat dipahami sebagai hasil olah akal, budi, cipta, karya, karsa,
dan rasa manusia yang bernafaskan wahyu ilahi dan sunnah Rasul.
Yakni suatu kebudayaan akhlak karimah yang muncul sebagai
implementasi Al-Qur’an dan Al-Hadist dimana keduanya merupakan
sumber ajaran agama Islam, sumber norma dan sumber hukum Islam
yang pertama dan utama. Dengan demikian kebudayaan Islam dapat
dipilah menjadi tiga unsur prinsipil, yaitu kebudayaan Islam sebagai hasil
cipta karya orang Islam, kebudayaan tersebut didasarkan pada ajaran
Islam, dan merupakan pencerminan dari ajaran Islam.
Ketiga unsur tersebut merupakan kesatuan yang utuh dan tidak
dapat terpisah satu dengan yang lainnya. Dengan demikian, sebagus
apapun kebudayaannya, jika itu bukan merupakan produk kaum Mslimin
tidak bisa dikatakan dan diklaim sebagai budaya Islam. Demikian pula
sebaliknya, meskipun budaya tersebut merupakan produk orang-orang
Islam, tetapi substansinya sama sekali tidak mencerminkan norma-
norma ajaran Islam. Dengan kata lain, Al-Faruqi (2001) menegaskan
bahwa sesungguhnya kebudayaan Islam adalah “Kebudayaan Al-
Qur’an“, karena semuanya berasal dari rangkaian wahyu Allah SWT
kepada nabi Muhammad SAW pada abad ketujuh. Tanpa wahyu
kebudayaan Islami Islam, filsafat Islam, hukum Islam, masyarakat Islam
maupun organisasi politik atau ekonomi Islam.
C. Perkembangan Kebudayaan Islam

Sebelum agama islam diajarkan dimuka bumi, masyarakat belum


tahu mana yang baik dan mana yang buruk. Baru setelah muncul agama
islam yang diturunkan oleh Allah SWA yang dibawah oleh Rasulullah
SAW, pengembangan ilmu dan pemikiran baru mulai berkembang.
Seperti dalam QS. Al-Alaq : 1
ْ ‫ْاق َرأْ بِا‬
َ ‫س ِم َربِكَ الَّذِي َخ َل‬
‫ق‬
Artinya : Bacalah (nyatakanlah) dengan nama Tuhan mu yang telah
menciptakan (segala sesuatu di alam semesta ini).
Pada masa awal perkembangan Islam, sistem pendidikan dan
pemikiran yang sistematis belum terselenggara karena ajaran Islam tidak
diturunkan sekaligus. Namun ayat Al-Quran yang pertama kali turun
dengan jelas meletakkan fondasi yang kokoh atas pengembangan ilmu
dan pemikiran dalam Islam kemudian berkembang menjadi peradaban
islam yang diakui kebenarannya secara universal.
Menurut teori yang dikembangkan oleh Harun Nasution, dilihat dari
segi perkembangannya sejarah intelektual Islam dapat dikelompokkan
menjadi tiga masa yaitu:
1. Masa Klasik, yang terjadi antara tahun 650-1250 M.
Pada masa ini kemajuan umat Islam dimulai. Ekspansi ini
menimbulkan pertemuan dan persatuan berbagai bangsa, suku dan
bahasa, yang menimbulkan kebudayaan dan peradaban yang baru.
Pada masa ini lahir pula ulama’ mahzab, seperti: Imam Hanafi, Imam
Hambali, Imam Syafi’i, dan Imam Maliki. Sejalan dengan itu lahir pula
filosof muslim pertama, Al-Kindi 801 M. Diantara pemikirannya, ia
berpendapat bahwa kaum Muslimin menerima filsafat sebagai
bagian dari kebudayaan Islam. Selain Al-Kindi, pada abad itu lahir
pula filosof besar seperti: Al-Razi (865 M) dan Al-Farabi (870 M).
keduanya dikenal sebagai pembangun agung sistem filsafat. Pada
abad berikutnya, lahir filosof agung Ibnu Miskawaih (930 M).
Pemikirannya yang terkenal tentang pendidikan akhlak. Kemudian
Ibn Sina tahun (1037 M), Ibn Bajjah (1138 M), Ibn Tufail (1147 M),dan
Ibn Rusyd (1126 M).
2. Masa Pertengahan (1250-1800)
Menurut catatan sejarah pemikiran Islam masa kini, masa
pertengahan merupakan fase kemunduran karena filsafat mulai
dijauhkan dari umat Islam sehingga ada kecenderungan akal
dipertentangkan dengan wahyu, iman dengan ilmu, dunia dengan
akhirat. Pengaruhnya masih ada sampai sekarang. Sebagai pemikir
muslim kontemporer sering melontarkan tuduhan pada Al-Ghazali
sebagai orang pertama yang menjauhkan filsafat dari agama.
Sebagaimana tertuang dalam tulisannya “Tahafut al-Falasifah”
(Kerancuan Filsafat). Tulisan Al-Ghazali dijawab oleh Ibnu Rusyd
dengan tulisan Tahafut al-Tahafut (Kerancuan di atas kerancuan).
3. Masa moderen (1800-sampai sekarang)
Periode ini merupakan masa kebangkitan umat Islam. Mereka
menyadari ketertinggalannya dengan barat. Ini disebabkan karena
umat Islam meninggalkan tradisi klasik, yang kemudian diadopsi dan
dikembangkan oleh barat. Para penguasa, ulama dan intelektual
muslim mulai mencari jalan untuk mengembalikan umat Islam ke
zaman kejayaan yaitu dengan cara:
a) Memurnikan ajaran Islam dari unsur-unsur yang menjadi
penyebab kemunduran umat Islam.
b) Menyerap pengetahuan barat untuk mengimbangi pengetahuan
mereka.
c) Melepaskan diri dari penjajahan bangsa barat.
Dalam prakteknya tidak semua alternative diterima oleh umat
Islam. Karena dari sisi pemikiran, realitas yang terjadi adalah umat
Islam cenderung menjadi imitator, bahkan aplikator model barat. Di
samping itu dalam konteks pembangunan social politik dan ekonomi
Negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam tidak
bisa lepas dari konteks makro yaitu barat sebagai decisiom maker
nya dan yahudi sebagai pengendalinya. Namun upaya untuk maju
akan terus dilakukan oleh umat Islam.
Ada banyak faktor penyebab proses pertumbuhan peradaban
Islam. Namun secara garis besar dapat dibagi menjadi dua faktor
penyebab tumbuh berkembangnya peradaban Islam, hingga
mencapai lingkup mondial, yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor pertama (internal) berasal dari dalam norma-norma atau
ajaran Islam sendiri.
Faktor kedua (eksternal) pada hakikanya merupakan implikasi
dari faktor pertama. Motivasi internal yang begitu kuat telah
mengkristal dalam kehidupan umat Islam sejalan dengan
perkembangan sejarah, dan nilai-nilai atau norma-norma ajaran
Islam menjiwai dalam setiap kehidupannya.
Tonggak-tonggak sejarah peradaban Islam, tak pernah lepas
dari sejarah intelektual Islam. Untuk memahami dengan baik
perkembangan tersebut, idealnya diperlukan pemahaman yang
memadai tentang periodisasi sejarah perkembangan Islam. Dengan
menggunakan teori yang dikembangkan oleh Harun Nasution, dilihat
dari segi perkembangannya, sejarah intelektual Islam dapat
dikelompokkan ke dalam tiga masa, yaitu: masa klasik antara 650-
1250 M, masa pertengahan antara tahun 1250-1800 M, dan masa
modern antara tahun 1800 sampai sekarang.
Pada masa klasik, lahir ulama’ mahzab, seperti: Imam Hanafi,
Imam Hambali, Imam Syafi’i , dan Imam Maliki. Sejalan dengan itu
lahir pula filosof muslim pertama, Al-Kindi 801 M. Diantara
pemikirannya, ia berpendapat bahwa kaum Muslimin menerima
filsafat sebagai bagian dari kebudayaan Islam. Selain, Al-Kindi, pada
abad itu lahir pula filosof besar seperti: Al-Razi (865 M) dan Al-Farabi
(870 M). keduanya dikenal sebagai pembangun agung sistem
filsafat. Pada abad berikutnya, lahir filosof agung Ibn Miskawaih 930
M. Pemikirannya yang terkenal tentang pendidikan akhlak.
Kemudian Ibn Sina tahun 1037 M, Ibn Bajjah tahun 1138 M, Ibn Tufail
tahun 1147 M,dan Ibn Rusyd tahun 1126 M.
Masa pertengahan dalam catatan sejarah pemikiran Islam
masa kini, merupakan fase kemunduran karena filsafat mulai
dijauhkan dari umat Islam sehingga ada kecenderungan akal
dipertentangkan dengan wahyu, iman dengan ilmu, dunia dengan
akhirat. Pengaruhnya masih ada sampai sekarang. Sebagai pemikir
muslim kontemporer sering melontarkan tuduhan pada Al-Ghazali
sebagai orang pertama yang menjauhkan filsafat dari agama.
Sebagaimana tertuang dalam tulisannya “Tahafut al-Falasifah”
(Kerancuan Filsafat). Tulisan Al-Ghazali dijawab oleh Ibn Rusyd
dengan tulisan Tahafut al-Tahafut (Kerancuan di atas kerancuan).
Islam, datang untuk mengatur dan membimbing masyarakat
menuju kepada kehidupan yang baik dan seimbang. Dengan
demikian Islam tidaklah datang untuk menghancurkan budaya yang
telah dianut suatu masyarakat, akan tetapi dalam waktu yang
bersamaan Islam menginginkan agar umat manusia ini jauh dan
terhindar dari hal-hal yang yang tidak bermanfaat dan membawa
madlarat di dalam kehidupannya, sehingga Islam perlu meluruskan
dan membimbing kebudayaan yang berkembang di masyarakat
menuju kebudayaan yang beradab dan berkemajuan serta
mempertinggi derajat kemanusiaan.
Prinsip semacam ini, sebenarnya telah menjiwai isi Undang-
undang Dasar Negara Indonesia, pasal 32, walaupun secara praktik
dan perinciannya terdapat perbedaan-perbedaan yang sangat
menyolok. Dalam penjelasan UUD pasal 32, disebutkan : “ Usaha
kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya dan
persatuan, dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari
kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau
memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi
derajat kemanusiaan bangsa Idonesia “.
Dari situ, Islam telah membagi budaya menjadi tiga macam :
Pertama : Kebudayaan yang tidak bertentangan dengan Islam.
Seperti kadar besar kecilnya mahar dalam pernikahan, di
dalam masyarakat Aceh, umpamanya, keluarga wanita
biasanya, menentukan jumlah mas kawin sekitar 50-100
gram emas.
Kedua : Kebudayaan yang sebagian unsurnya bertentangan
dengan Islam, Contoh yang paling jelas, adalah tradisi
Jahiliyah yang melakukan ibadah haji dengan cara-cara
yang bertentangan dengan ajaran Islam , seperti lafadh “
talbiyah “ yang sarat dengan kesyirikan, thowaf di Ka’bah
dengan telanjang.
Ketiga : Kebudayaan yang bertentangan dengan Islam. Seperti,
budaya “ ngaben “ yang dilakukan oleh masyarakat Bali.
D. Nilai- Nilai Kebudayaan Islam

Islam masuk ke Indonesia lengkap dengan kebudayanya. Karena


Islam lahir dan berkembang dari negeri Arab, maka Islam yang
masuk ke Indonesia tidak terlepas dari budaya Arabnya. Agama
islam masuk keIndonesia dibawah oleh para pedagang. Mereka
menyebarkan agama islam melalui beberapa cara, contohnya
adalah lewat kebudayaan wayang. Selain itu para da’i
mendakwahkan ajaran islam melalui bahasa budaya, sebagaimana
dilakukan oleh para wali di tanah jawa. Karena kehebatan para wali
Allah dalam mengemas ajaran islam dengan bahasa budaya
setempat, sehingga masyarakat tidak sadar bahwa nilai-nilai islam
telah masuk dan menjadi tradisi dalam kehidupan sehari-hari
mereka. Lebih jauh lagi bahwa nilai-nilai islam sudah menjadi bagian
yang tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan mereka. Seperti dalam
upacara-upacara adat dan dalam penggunaan bahasa sehari-hari.
Semua itu tanpa disadari bahwa apa yang dilakukannya merupakan
bagian dari ajaran islam.
Banyak tradisi masyarakat indonesia yang bernuansa islami,
biasanya tradisi tersebut dilaksanakan untuk memperingati hari
besar umat islam, seperti misalnya perayaan sekaten yang
diselenggarakan untuk menyambut maulid nabi, ada juga perayaan
yang dimaksudkan untuk memperingati perjuangan penyebaran
ajaran islam seperti perayaan tabuik di Pariaman (Sumatera Barat)
yang diselenggarakan pada tanggal 10 muharam. Peninggalan-
peninggalan kebudayaan islam di Indonesia:
1. Kaligrafi
Kaligrafi adalah salah satu karya kesenian Islam yang paling
penting. Kaligrafi Islam yang muncul di dunia Arab merupakan
perkembangan seni menulis indah dalam huruf Arab yang
disebut khat. Seni kaligrafi yang bernafaskan Islam merupakan
rangkaian dari ayat-ayat suci Al-qur’an. Tulisan tersebut
dirangkai sedemikian rupa sehingga membentuk gambar,
misalnya binatang, daun-daunan, bunga atau sulur, tokoh
wayang dan sebagainya. Contoh kaligrafi antara lain yaitu
kaligrafi pada batu nisan, kaligrafi bentuk wayang dari Cirebon
dan kaligrafi bentuk hiasan.
2. Kraton
Kraton atau istana dan terkadang juga disebut puri,
merupakan badari kota atau pusat kota dalam pembangunan.
Kraton berfungsi sebagai pusat pemerintahan dan sebagai
tempat tinggal raja beserta keluarganya. Pada zaman kekuasaan
Islam, didirikan cukup banyak kraton sesuai dengan
perkembangan kerajaan Islam. Beberapa contoh kraton yaitu
kraton Cirebon (didirikan oleh Fatahillah atau Syarif Hidayatullah
tahun 1636), Istana Raja Gowa (Sulawesi Selatan), Istana Kraton
Surakarta, Kraton Yogyakarta, dan Istana Mangkunegaran.
3. Bentuk Mesjid
Sejak masuk dan berkembangnya agama Islam di Indonesia
banyak mesjid didirikan dan termasuk mesjid kuno, di antaranya
mesjid Demak, mesjid Kudus, mesjid Banten, mesjid Cirebon,
mesjid Ternate, mesjid Angke, dan sebagainya.
4. Seni Pahat
Seni pahat seiring dengan kaligrafi. Seni pahat atau seni ukir
berasal dari Jepara, kota awal berkembangnya agama Islam di
Jawa yang sangat terkenal. Di dinding depan mesjid Mantingan
(Jepara) terdapat seni pahat yang sepintas lalu merupakan
pahatan tanaman yang dalam bahasa seninya disebut gaya
arabesk, tetapi jika diteliiti dengan saksama di dalamnya terdapat
pahatan kera. Di Cirebon malahan ada pahatan harimau. Dengan
demikian, dapat dimengerti bahwa seni pahat di kedua daerah
tersebut (Jepara dan Cirebon), merupakan akulturasi antara
budaya Hindu dengan budaya Islam.
5. Seni Pertunjukan
Di antara seni pertunjukan yang merupakan seni Islam adalah
seni suara dan seni tari. Seni suara merupakan seni pertunjukan
yang berisi salawat Nabi dengan iringan rebana. Dalam
pergelarannya para peserta terdiri atas kaum pria duduk di lantai
dengan membawakan lagu-lagu berisi pujian untuk Nabi
Muhammad Saw. yang dibawakan secara lunak, namun iringan
rebananya terasa dominan. Peserta mengenakan pakaian model
Indonesia yang sejalan dengan ajaran Islam, seperti peci, baju
tutup, dan sarung.
6. Tradisi atau Upacara
Tradisi atau upacara yang merupakan peninggalan Islam di
antaranya ialah Gerebeg Maulud, aqiqah, khitanan, halal bihalal.
Perayaan Gerebeg, dilihat dari tujuan dan waktunya merupakan
budaya Islam. Akan tetapi, adanya gunungan ( tumpeng besar)
dan iring-iringan gamelan menunjukkan budaya sebelumnya
(Hindu Buddha). Kenduri Sultan tersebut dikeramatkan oleh
penduduk yang yakin bahwa berkahnya sangat besar, yang
menunjukkan bahwa animisme-dinamisme masih ada. Hal ini
dikuatkan lagi dengan adanya upacara pembersihan barang-
barang pusaka keraton seperti senjata (tombak dan keris) dan
kereta. Upacara semacam ini masih kita dapatkan di bekas-
bekas kerajaan Islam, seperti di Keraton Cirebon dan Keraton
Surakarta.
7. Karya Sastra
Pengaruh Islam dalam sastra Melayu tidak langsung dari
Arab, tetapi melalui Persia dan India yang dibawa oleh orang-
orang Gujarat. Dengan demikian, sastra Islam yang masuk ke
Indonesia sudah mendapat pangaruh dari Persia dan India.
Karya sastra masa Islam banyak sekali macamnya, antara lain
sebagai berikut:
a. Babad, ialah cerita berlatar belakang sejarah yang lebih
banyak di bumbui dengan dongeng. Contohnya: Babad
Tanah Jawi, Babad Demak, Babad Giyanti, dan sebagainya.
b. Hikayat, ialah karya sastra yang berupa cerita atau dongeng
yang dibuat sebagai sarana pelipur lara atau pembangkit
semangat juang. Contoh, Hikayat Sri Rama, Hikayat Hang
Tuah, Hikayat Amir Hamzah dan sebagainya.
c. Syair, ialah puisi lama yang tiap-tiap bait terdiri atas empat
baris yang berakhir dengan bunyi yang sama. Contoh: Syair
Abdul Muluk, Syair Ken Tambuhan, dan Gurindam Dua Belas.
d. Suluk, ialah kitab-kitab yang berisi ajaran Tasawuf, sifatnya
pantheistis, yaitu manusia menyatu dengan Tuhan. Tasawuf
juga sering dihubungkan dengan pengertian suluk yang
artinya perjalanan. Alasannya, karena para sufi sering
mengembara dari satu tempat ke tempat lain. Di Indonesia,
suluk oleh para ahli tasawuf dipakai dalam arti karangan prosa
maupun puisi. Istilah suluk kadang-kadang dihubungkan
dengan tindakan zikir dan tirakat. Suluk yang terkenal, di
antaranya: Suluk Sukarsah, Suluk Wijil, Suluk Malang
Semirang.
Akan tetapi kebudayaan Islam di Indonesia saat ini sangat
kurang. Dengan maraknya kebudayaan Barat saat ini
yang cenderung merusak moralitas umat, adalah salah satu
penyebab rusaknya kebudayaan Islam. Berbagai faktor penyebab
pudarnya kebudayaan Islam, menurut Faisal Ismail , adalah karena
lemahnya semangat umat Islam "Barangkali yang menjadi penyebab
pokok adalah umat Islam kurang menaruh respek terhadap
masalah-masalah kebudayaan pada umumnya. Antusias umat Islam
terhadap persoalan kultural hampir dapat dikatakan 'nol besar'.
Mereka seakan-akan tidak tahu menahu, acuh tak acuh, apatis dan
masa bodoh dengan situasi zamannya. Sementara gelombang
kultural Barat dalam berbagai bentuknya yang merangsang semakin
menyusup dan melanda kota-kota dan daerah-daerah
yang mayoritas berpenduduk Islam".
Kebudayaan Islam sesungguhnya bukan tidak mampu
membendung arus kebudayaan Barat tapi kebudayaan lebih pesat
mempengaruhi generasi muda. Kebudayaan Islam dari dulu hingga
kini sudah mempunyai peran yang cukup besar di Indonesia. Adanya
pesantren yang mengajarkan keluhuran moral adalah
merupakan sebagian dari contoh kebudayaan Islam yang terus
bertahan. Lewat pengajaran ilmu agama di pesantren, telah mampu
berfungsi sebagai benteng moralitas. Kebudayaan yang ditampilkan
pesantren ini sesungguhnya tidak dapat dianggap remeh, apalagi
dikatakan dengan nol besar.
Budaya yang Boleh dan Tidak Boleh dalam Islam
Ajaran Islam yang berkembang di Indonesia mempunyai tipikal yang
spesifik bila dibandingkan dengan ajaran Islam di berbagai negara Muslim
lainnya. Menurut banyak studi, Islam di Indonesia adalah Islam yang
akomodaatif dan cenderung elastis dalam berkompromi dengan situasi dan
kondisi yang berkembang di Indonesia, terutama situasi sosial politik yang
sedang terjadi pada masa tertentu. Muslim Indonesia pun konon memiliki
karakter yang khas, terutama dalam pergumulannya dengan kebudayaan
lokal Indonesia. Disinilah terjadi dialog dan dialektika antara Islam dan
budaya lokal yang kemudian menampilkan wajah Islam yang khas
Indonesia, sehingga dikenal sebagai “Islam Nusantara” atau “Islam
Indonesia” dimaknai sebagai Islam yang berbau kebudayaan Indonesia.
Islam yang bernalar Nusantara, Islam yang menghargai pluralitas, Islam
yang ramah kebudayaan lokal, dan sejenisnya. “Islam Nusantara” atau
“Islam Indonesia” bukan foto copy Islam Arab, bukan kloning Islam Timur
Tengah, bukan plagiasi Islam Barat, dan bukan pula duplikasi Islam Eropa.
Meskipun Islam lahir di negeri Arab, tetapi dalam kenyataannya
Islam dapat tumbuh dan berkembang dengan kekhasannya dan pada waktu
yang sama sangat berpengaruh di bumi Indonesia yang sebelumnya
diwarnai animisme dan dinamisme, serta agama besar seperti Hindu dan
Budha. Dengan demikian, wajah Islam yang tampil di Indonesia adalah
wajah Islam yang khas Indonesia, wajah Islam yang berkarakter Indonesia,
dan Islam yang menyatu dengan kebudayaan masyarakat Indonesia, tetapi
sumbernya tetap al-Qur’an dan al-Sunnah.
Oleh karena itulah, wajah Islam di Indonesia merupakan hasil dialog
dan dialektika antara Islam dan budaya lokal yang kemudian menampilkan
wajah Islam yang khas Indonesia. Dalam kenyataannya, Islam di Indonesia
memanglah tidak bersifat tunggal, tidak monolit, dan tidak simple, walaupun
sumber utamanya tetap pada al-Qur’an dan al-Sunnah. Islam Indonesia
bergelut dengan kenyataan negara-negara, modernitas, globalisasi,
kebudayaan likal, dan semua wacana kontemporer yang menghampiri
perkembangan zaman dewasa ini.
Tulisan ini ditulis dalam konteks sebagaimana tersebut diatas dalam
memandang event peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw. Dalam
realitanya memang terdapat berbagai tradisi umat Islam dibanyak Negara
Muslim seperti Indonesia, Malasyia, Brunai, Mesir, Yaman, Aljazair,
Maroko, dan lain sebagainya yang menimbulkan “kontroversi” dari
perspektif hukum tentang boleh atau tidaknya atau halal atau haramnya
untuk mengamalkannya. Di Antara tradisi yang menimbulkan kontroversi itu
Antara lain melaksanakan kegiatan-kegiatan seperti peringatan Maulid Nabi
Muhammad Saw, peringatan Isra’ Mi’raj, peringatan Muharram, dan lain-
lain.
Oleh karena kontroversi-kontroversi yang menyelimuti peringatan-
peringatan tersebut, maka tulisan ini berupaya menjelaskan posisi
peringatan Maulid Nabi Saw, perspektif hukum Islam, akan tetapi tidak
bersifat tunggal, namun memberikan horizon pilihan yang memungkinkan
kita untuk bersikap arif dan bijaksana terhadap pihak yang berbeda
pahamnya.
Dari riwayat Rasulullah Saw, Islam membiarkan beberapa adat
kebiasaan manusia yang tidak bertentangan dengan syariat dan adab-adab
Islam atau sejalan dengannya. Oleh karena itu, Rasulullah Saw tidak
menghapus seluruh adat dan budaya masyarakat Arab (pada masa itu)
yang ada sebelum datangnya Islam. Akan tetapi Rasulullah Saw melarang
budaya-budaya yang mengandung unsur syirik, seperti pemujaan terhadap
leluhur dan nenek moyang, dan budaya-budaya yang bertentangan dengan
adab-adab Islami.
Jadi, selama adat dan budaya itu tidak bertentangan dengan Islam,
silahkan melakukannya. Namun jika bertengan dengan ajaran Islam,
seperti memamerkan aurat pada sebagian pakaian adat daerah, atau
budaya itu berbau syirik atau memiliki asal-usul ritual syirik dan pemujaan
atau penyembahan kepada dewa-dewa atau Tuhan-Tuhan selain Allah,
maka budaya seperti itu hukumnya haram.
E. Masjid sebagai Pusat Peradaban dalam Islam

Dalam sejarah perkembangan Islam, Masjid memiliki fungsi yang


sangat vital dan dominan bagi kaum Muslimin, di antaranya:
1. Mesjid pada umumnya dipahami masyarakat sebagai tempat ibadah
khusus, seperti sholat.
2. Sebagai “prasasti” atas berdirinya masyarakat Muslim. Jika dewasa ini
bendera sebagai simbol sebuah Negara yang telah merdeka, maka
kaum Muslimin pada tempo dulu jika berhasil “menaklukkan” sebuah
Negara, mereka menandainya dengan membangun sebuah masjid
sebagai pertanda bahwa wilayah tersebut menjadi bagian dari “Negara
Islam” (Shini,T.T:158).
3. Masjid merupakan sumber komunikasi dan informasi antar warga
masyarakat Islam.
4. Di zaman Nabi SAW masjid sebagai pusat peradaban
5. Sebagai simbol persatuan umat Islam.
6. Sebagai pusat gerakan.
7. Di Masjid kaum tua-muda Muslim mengabdikan hidup untuk belajar
ilmu-ilmu Islam, mempelajari Al-Qur’an dan Al-Hadist , kritisme, tafsir,
cabang-cabang syariat, sejarah, astronomi, geografi, tata bahasa, dan
sastra arab.
Nilai-Nilai Islam dalam Budaya Indonesia
Islam masuk ke Indonesia lengkap dengan budayanya. Karena Islam
berasal dari jazirah Arab, maka Islam masuk ke Indonesia tidak terlepas
dari budaya Arabnya.
Kedatangan Islam dengan segala komponen budayanya di
Indonesia secara damai telah menarik simpati sebagian besar masyarakat
Indonesia. Hal ini tidak terlepas dari situasi politik yang tengah terjadi saat
itu. Dalam pandangan Nurcholis Majid (1988:70) bahwa daya tarik Islam
yang pertama dan utama adalah besifat psikologis, Islam yang secara
radikal bersifat egaliter dan mempunyai semangat keilmuan merupakan
konsep revolusioner yang sangat memikat dalam membebaskan orang-
orang lemah (mustadh’afin) dari belenggu hidupnya.
Dalam perkembangan dakwah Islam di Indonesia, para da’i
mendakwahkan ajaran Islam melalui bahasa budaya, sebagaimana
dilakukan oleh Wali Songo di tanah Jawa. Karena kehebatan para wali
Allah SWT itu dalam mengemas ajaran Islam dengan bahasa budaya
setempat sehingga masyarakat tidak sadar bahwa nilai-nilai Islam telah
masuk dan menjadi tradisi dalam kehidupan sehari-hari mereka.
Menurut bahasa Arab (etimologi) masjid berasal dari kata sa-ja-da
(‫)سجد‬ yang artinya bersujud. Kata masjid (‫) َمس ِْجد‬ adalah isim
makan bentukan kata yang bermakna tempat sujud.
Sedangkan masjad (‫ ) َم ْس َجد‬adalah isim zaman yang bermakna waktu
sujud. Yang dimaksud dengan tempat sujud sesungguhnya adalah shalat,
namun kata sujud yang digunakan untuk mewakili shalat, lantaran posisi
yang paling agung dalam shalat adalah posisi bersujud.
Sedangkan menurut istilah (terminologi) adalah sebagai tempat
khusus untuk melakukan aktifitas ibadah dalam arti luas. Ada
sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari: 323 ,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ُ ‫ت ِلي اْأل َ ْر‬
‫ض‬ ْ َ‫ش ْه ٍر َو ُج ِعل‬ َ َ ‫ب َم ِسي َْرة‬ ُّ ِ‫ص ْرتُ ب‬
ِ ‫الر ْع‬ ِ ُ‫ط ُه َّن أ َ َح ٌد قَ ْب ِلي ن‬
َ ‫سا لَ ْم يُ ْع‬ ِ ‫أ ُع‬
ً ‫ْطيْتُ خ َْم‬
‫صل‬ َّ ‫ط ُه ْو ًرا فَأَيُّ َما َر ُج ٍل ِم ْن أ ُ َّمتِي أَد َْر َكتْهُ ال‬
َ ُ‫صالَة ُ فَ ْلي‬ َ ‫َمس ِْجدًا َو‬
“Aku diberi lima hal yang tidak diberikan kepada seorang pun sebelumku:
aku dimenangkan dengan perasaan takut yang menimpa musuhku
dengan jarak sebulan perjalanan, bumi dijadikan bagiku sebagai mesjid
dan suci, siapa pun dari umatku yang menjumpai waktu shalat maka
shalatlah….”
Defenisi menurut beberapa ulama
1. An-Nasafi
An-Nasafi menyebutkan di dalam kitab tafsirnya bahwa definisi masjid
adalah :
ُ ُ‫صةٌ لَه‬
‫س ْب َحانَهُ َو ِل ِع َبا َد ِت ِه‬ َ ‫ّلِل فَ ِه‬
َ ‫ي خَا ِل‬ َّ ‫ْالبُيُوتُ ْال َم ْبنِيَّةُ ِلل‬
ِ َّ ِ ‫صالَ ِة فِي َها‬
Artinya : Rumah yang dibangun khusus untuk shalat dan beribadah di
dalamnya kepada Allah.
2. Al-Qadhi Iyadh
Al-Qadhi Iyadh mendefinisikan bahwa masjid adalah :
َّ ‫ضعٍ ي ُْم ِك ُن أ َ ْن يُ ْع َب َد‬
ُ‫َّللاُ فِي ِه َويُ ْس َج َد لَه‬ ِ ‫ُكل َم ْو‬
Artinya : Semua tempat di muka bumi yang memungkinkan untuk
menyembah dan bersujud kepada Allah.
Hal itu berdasarkan sabda Rasulullah SAW :
‫ط ُه ْو ًرا‬ ُ ‫ي األ َ ْر‬
َ ‫ض َمس ِْجدًا َو‬ ْ َ‫جُُ ِعل‬
َ ‫ت ِل‬
Artinya : Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah
SAW bersabda,”Dan telah dijadikan seluruh permukaan bumi ini
sebagai masjid dan sarana bersuci dari hadats.” (HR. Bukhari dan
Muslim).
Dalam perjalanan sejarah Islam, masjid bukan sekadar tempat
untuk menunaikan ibadah shalat terutama shalat berjamaah, namun
juga berperan dalam menunjang kehidupan umat islam seperti pusat
pendidikan dan musyawarah. Namun pada umumnya masyarakat
hanya memahaminya sebagai tempat ibadah khusus (shalat) saja.
Padahal pada saat Nabi Muhammad saw mendirikan mesjid pertama
pada tanggal 12 rabiul awal tahun pertama hijriyah yakni masjid Quba
di madinah, berikutnya masjid nabawi. Nabi memfungsikannya tidak
hanya untuk shalat semata. Namun lebih dari itu fungsi ibadah, sosial
pun menjadi perhatian Nabi. Selain itu pada zaman perang mesjid
dipakai sebagai tempat menyusun rencana oleh Nabi dan para
sahabat. Maka dari itu masjid seperti bukan tempat yang sakral tetapi
tempat yang multifungsi. Sehingga keberadaan masjid pada masa
Rasulullah menjadi tempat yang sentral untuk umat Islam.
Fungsi dan peranan mesjid dari waktu ke waktu harus terus
meluas, seiring dengan laju pertumbuhan dan kepedulian terhadap
peningkatan kualitas umat islam. Karena konsep tentang mesjid
sejak masa awal (zaman Rasulullah) didirikan sampai sekarang tidak
akan pernah berubah. Jika landasan yang digunakan adalah Al-
Qur’an dan hadist, maka mesjid yang didirikan berdasarkan
ketakwaan tidak akan pernah berubah dari tujuannya dan
berdasarkan landasan itu kita akan mampu mengontrol kesucian
mesjid dari hal-hal yang negatif. Tapi kenyataan yang ada malah
sebaliknya, fungsi masjid sebagai pusat pembinaan dan
pemberdayaan umat Islam telah melemah. Hal ini disebabkan
oleh beberapa faktor, antara lain :
 keterbatasan pemahaman muslim terhadap masjid,
 ekomunikasi jaringan masjid,
 program masjid kurang menyentuh pemberdayaan umat,
 belum adanya konsep pengembangan percontohan masjid
dan lemahnya sumber daya manusia di masjid.
Selain yang diatas masyarakat islam juga dipengaruhi oleh
kehidupan socialnya apalagi di era globalisasi seperti sekarang.
Padahal mesjid merupakan rumah Allah SWT dan merupakan salah
satu identitas dari umat islam.
Dalam sejarah perkembangan Islam, Masjid memiliki fungsi yang
sangat vital dan dominan bagi kaum Muslimin, di antaranya:
1. Mesjid pada umumnya dipahami masyarakat sebagai tempat
ibadah khusus, seperti sholat.
2. Sebagai “prasasti” atas berdirinya masyarakat Muslim. Jika
dewasa ini bendera sebagai simbol sebuah Negara yang telah
merdeka, maka kaum Muslimin pada tempo dulu jika berhasil
“menaklukkan” sebuah Negara, mereka menandainya dengan
membangun sebuah masjid sebagai pertanda bahwa wilayah
tersebut menjadi bagian dari “Negara Islam” (Shini,T.T:158).
3. Tempat belajar Al-Qur’an atau pusat pendidikan.
4. Tempat majelis dan peradilan.
Majelis sering diistilahkan sebagai sebuah forum tempat kita
membicarakan sesuatu. Terkadang majelis itu bermakna sebuah
institusi atau badan, seperti istilah Majelis Ulama. Terkadang
majelis itu merupakan tempat melakukan akad, seperti istilah
majelis akad. Terkadang majelis itu bermakna tempat belajar
atau menyampaikan ilmu, seperti istilah majelis ilmi. Semua
majelis itu menjadi baik apabila dilakukan di dalam masjid,
sebagaimana sabda Rasululallah SAW berikut ini :
‫ط ُر ُق َو َخي ُْر‬ ُ ‫ ش َُّر ْال َم َجا ِل ِس األَس َْو‬:‫سو ُل هللاِ ص‬
ُ ‫اق َوال‬ ُ ‫ َقا َل َر‬: ‫ع ْن َواثِ َلةَ ض َقا َل‬ َ
ْ ‫ساج ُد فَإ ِ ْن لَ ْم تَجْ ِل‬
َ‫س في ِ ال َمس ِْج ِد فَالزَ ْم بَ ْيتَك‬ ِ ‫ال َم َجا ِل ِس ال َم‬
Artinya : Dari Watsilah radhiyallahuanhu berkata bahwa
Rasulullah SAW bersabda,”Sejahat-jahat majelis adalah pasar-
pasar dan jalanan-jalanan. Dan sebaik-baik majelis adalah
masjid-masjid. Bila kamu tidak bisa duduk di dalam masjid, maka
duduklah di dalam rumahmu. (HR. Ath-Thabarani)
5. Masjid merupakan sumber komunikasi dan informasi antar warga
masyarakat Islam.
6. Di zaman Nabi SAW masjid sebagai pusat peradaban.
7. Sebagai simbol persatuan umat Islam.
8. Sebagai pusat gerakan.
9. Di Masjid kaum tua-muda Muslim mengabdikan hidup untuk
belajar ilmu-ilmu Islam, mempelajari Al-Qur’an dan Al-Hadist,
kritisme, tafsir, cabang-cabang syariat, sejarah, astronomi,
geografi, tata bahasa, dan sastra arab.
10. Dan fungsi utama mesjid adalah sebagai pusat pembinaan umat
islam.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Kebudayaan yang Islami adalah hasil olah akal, budi, cipta, rasa, karsa,
dan karya manusia yang tidak terlepas dari nilai-nilai ketuhanan. Hasil
olah yang universal berkembang menjadi sebuah peradaban. Dalam
perkembangannya, perlu dibimbing oleh wahyu dan aturan-aturan yang
mengikat agar tidak terperangkap pada ambisi yang bersumber dari
nafsu hewani sehingga akan merugikan diri manusia sendiri. Di sinilah,
agama berfungsi untuk membimbing manusia dalam mengembangkan
akal budinya sehingga menghasilkan kebudayaan yang beradab.
2. Pada masa klasik hidup ulama mahzab dan filosuf-filosuf besar dan
agung.
3. Masjid selain sebagai tempat ibadah, juga berfungsi sebagai salah satu
simbol bagi Islam, tempat pusat komunikasi dan informasi, tempat
belajar tentang ajaran Islam.
4. Nilai Islam yang beraroma Negara Arab secara tidak langsung masuk
meresap ke dalam budaya Indonesia, seperti ejaan, kebiasaan, dsb.

B. Saran
1. Semoga makalah ini dapat menjadi referensi bagi semua pihak untuk
dapat lebih mengembangkan Sistem Kebudayaan Islam di Indonesia
dan dapat pula mengerti dan paham tentang konsep kebudayaan islam
di indonesia.
2. Penulisan makalah ini tidak lepas dari yang namanya konsep dan
sebuah rujukan yang dijadikan bahan penulisan makalah. Untuk itu
kami mohon kepada Bapak pembimbing mata kuliyah pendidikan
agama islam (PAI) agar mengajarkan kepada para pelajar khususnya
bagi mahasiswa agar tidak melanggar dari norma-norma agama yang
sudah ditetapkan, karena selain merugikan diri sendiri juga akan
merugikan orang lain.
DAFTAR PUSTAKA

Tim Dosen PAI UNM. 2006. Reorientasi Pendidikan Islam Menuju


Pengembangan Kepribadian Insan Kamil. Hilal Pustaka: Malang.
Tim Dosen PAI UB. 2006. Buku Daras Pendidikan Agama Islam. PPA UB:
Malang.
Gazalba, Sidi. 1975. Mesjid Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam. Pustaka
Antara: Jakarta.
Ismail, Faisal. 1996. Paradigma Kebudayaan Islam. Titian Ilahi Pers:
Yogyakarta.

You might also like