Professional Documents
Culture Documents
Nama Sakerta berasal dari nama seorang Wiku atau pendeta pertapa
asal Tatar Timur (Mundu pesisir – Cirebon, menurut legenda),
Sanghiyang Kirita, yang mengajarkan agama Hindu di pasir Gunung
Batu (pasir berarti bukit, dalam dialek setempat – red.), berdiam diri
pada suatu tempat, Bakar Wulung (batu kursi). Sebenarnya, sang
Wiku tersebut tidak diketahui nama aslinya. Hanya saja, dari
penelusuran masyarakat setempat dengan menelaah Kitab Weda
yang menggunakan bahasa Jawa Kuno atau Sansekerta, Sang Wiku
kemudian disebut sebagai Sang Kirita.
Sakerta menjelma kota pada kala itu, karena menjadi daerah pintu
masuk ke perkampungan. Dengan memegang tradisi kuat
menyelenggarakan ‘Babarit’ atau perayaan upacara ulang tahun
desa. Kegiatan ini rutin digelar setiap tahunnya hingga masa
sekarang, perhitungan tanggalnya jatuh pada bulan Jumadil Akhir,
yakni antara bulan Rajab, Rewah dan Puasa (dalam kalender Islam),
atau perpindahan dari bulan lahir (dunia) menuju bulan bathin
(akhirat). Dalam ritual upacara tersebut, ditunjukkan segala hasil
bumi dan rempah-rempah, namun bukan sebagai sesajen
persembahan untuk Sanghiyang Kirita, tapi bentuk syukur kehadirat
Illahi Robbi (Tuhan YME). Hingga kini, berkembang di masyarakat,
Sanghiyang Kirita diibaratkan sebagai ‘demit’, karena bisa
menghilang dalam sekejap.