You are on page 1of 3

Sakerta Timur, sebelum berdiri menjadi desa sendiri, dahulu kala

tergabung dalam wilayah Desa Sakerta. Dimana wilayahnya, meliputi


perkampungan Ciceuri (yang menjadi wilayah Desa Sakerta Barat
sekarang ini – red.), Cibengang (Desa Sukarasa), dan Desa Cageur.

Nama Sakerta berasal dari nama seorang Wiku atau pendeta pertapa
asal Tatar Timur (Mundu pesisir – Cirebon, menurut legenda),
Sanghiyang Kirita, yang mengajarkan agama Hindu di pasir Gunung
Batu (pasir berarti bukit, dalam dialek setempat – red.), berdiam diri
pada suatu tempat, Bakar Wulung (batu kursi). Sebenarnya, sang
Wiku tersebut tidak diketahui nama aslinya. Hanya saja, dari
penelusuran masyarakat setempat dengan menelaah Kitab Weda
yang menggunakan bahasa Jawa Kuno atau Sansekerta, Sang Wiku
kemudian disebut sebagai Sang Kirita.

Tidak lama kemudian, datanglah ajaran agama Islam yang awalnya


disebarkan di Cirebon. Karena jarak antara Cirebon dengan Kuningan
dekat, masuklah ajaran Islam di wilayah Sakerta. Tanpa diketahui
sebabnya, Sang Wiku berkehendak meninggalkan pondok yang
dijadikannya sebagai tempat ajarannya. Dan, beramanat kepada
masyarakat sekitar, untuk meneruskan aktivitas di pondok tersebut,
dengan ajaran agama Islam.

Dalam kisahnya, peristiwa takjub terjadi, tiba-tiba langit tampak


gelap gulita, namun sekejap langsung terang-benderang kembali,
dan Sang Wiku tak menampakkan lagi jirimnya. Konon, Sang Wiku
mempunyai kesaktian yang disebut sebagai ‘Ajian Ngahiyang’.
Lantaran itu, tempat di sekitar Pasir Gunung Batu kini dikenal sebagai
hutan Sanghiyang, untuk mengingatkan kepada Wiku Sanghiyang
Kirita.

Kemudian, warga pun mulai membangun perumahan di sekitar sana.


Untuk orang yang pertama kali membangun rumah ialah Embah
Buyu Gede, bertempat di bawah Pasir Gunung Batu, pada tanah
bekas areal persawahan padi huma, yang dinamakan ‘Rumah
Seubeuh’, mengambil dari serapan kata ‘reuma saebah’. Reuma
berarti pehumaan, dan saebah (Arab) berarti sisa. Bila digabungkan
‘Rumah Seubeuh’ adalah rumah bekas pehumaan—(seubeuh juga
berarti kenyang dalam bahasa Sunda, filosofi dari areal persawahan
huma yang melambangkan ketahanan pangan – red.)

Dengan dibebaskannya lahan tersebut menjadi perumahan,


mengundang ketertarikan masyarakat lainnya untuk membangun
rumah juga di tempat tersebut, hingga membentuk sebuah
perkampungan desa, dengan nama Sakerta. Nama itu, bentuk
penghormatan kepada Wiku Sanghiyang Kirita yang pertama
membuka lahan, dan yang terpilih pertama menjadi kepala desa
(kuwu; sebutan bagi kepala desa dalam dialek setempat) adalah
Embah Beui. Sayang, sekarang peilasan Embah Beui tidak dapat
diketemukan. Hanya menurut cerita rakyat setempat, berada di
sebelah utara pohon bunut, yang batangnya mengelilingi bagai tali.

Masa kejayaan Desa Sakerta, berada ditangan kepemimpinan Kuwu


Embah Buyut Singadiparana, yang dikenal dengan julukan Embah
Jago. Pemerintahannya menjadikan wilayah desa menjadi semakin
luas, seperti ekspansi kerajaan, mampu menguasai wilayah Cageur,
Cibengang, Ciceuri, dan Babakan (yang menjadi wilayah Desa Jagara
sekarang ini – red.). Serta, mampu membangun benteng pertahanan
atau lawang saketeng, yang disebut Babancong.

Sakerta menjelma kota pada kala itu, karena menjadi daerah pintu
masuk ke perkampungan. Dengan memegang tradisi kuat
menyelenggarakan ‘Babarit’ atau perayaan upacara ulang tahun
desa. Kegiatan ini rutin digelar setiap tahunnya hingga masa
sekarang, perhitungan tanggalnya jatuh pada bulan Jumadil Akhir,
yakni antara bulan Rajab, Rewah dan Puasa (dalam kalender Islam),
atau perpindahan dari bulan lahir (dunia) menuju bulan bathin
(akhirat). Dalam ritual upacara tersebut, ditunjukkan segala hasil
bumi dan rempah-rempah, namun bukan sebagai sesajen
persembahan untuk Sanghiyang Kirita, tapi bentuk syukur kehadirat
Illahi Robbi (Tuhan YME). Hingga kini, berkembang di masyarakat,
Sanghiyang Kirita diibaratkan sebagai ‘demit’, karena bisa
menghilang dalam sekejap.

You might also like