Professional Documents
Culture Documents
Apabila kaum muslimin sangat butuh untuk memilih pemimpin pusat (semacam dalam
pemilihan khalifah atau kepala negara, pen), maka pemilihan ini disyari’atkan
namun dengan syarat bahwa yang melakukan pemilihan adalah ahlul hilli wal ‘aqd (orang
yang terpandang ilmunya, yakni kumpulan para ulama) dari umat ini sedangkan bagian umat
yang lain hanya sekedar mengikuti hasil keputusan mereka. Sebagaimana hal ini pernah
terjadi di tengah-tengah para sahabat radhiyallahu ‘anhum, ketika ahlul hilli wal ‘aqd di
antara mereka memilih Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu (sebagai pengganti Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam) dan mereka pun membai’at beliau. Bai’at ahlul hilli wal
‘aqd kepada Abu Bakr inilah yang dianggap sebagai bai’at dari seluruh umat. Begitu pula
‘Umar bin Al Khaththab radhiyallahu ‘anhu menyerahkan pemilihan imam sesudah beliau
kepada enam orang sahabat, yang masih hidup di antara sepuluh orang sahabat yang
dikabarkan masuk surga. Akhirnya pilihan mereka jatuh pada ‘Utsman bin ‘Affan
radhiyallahu ‘anhu, kemudian mereka pun membai’at Utsman. Bai’at mereka ini dinilai
sebagai bai’at dari seluruh umat.
1) Pemilu tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam beserta para
sahabat radhiyallahu ‘anhum.
Tidak ada satu pun riwayat yang menunjukkan bahwa Nabi dan para sahabat melakukan pemilu atau
pemungutan suara, padahal mereka adalah generasi terbaik umat manusia.Tidak ada satu pun kebaikan
yang murni melainkan mesti telah mereka lakukan.Kalau seandainya pemilu itu adalah sebuah kebaikan
yang murni apalagi berkaitan dengan urusan negara dan orang banyak, pasti mereka menjadi orang-
orang yang terdepan untuk menjalankannya.
Mungkin akan ada yang berkata : “Bagaimana pemilu itu mereka selenggarakan, sedangkan pada masa
itu mereka tidak membutuhkannya ?!”
Perkataan ini dapat ditanggapi bahwa beberapa peristiwa yang terjadi di masa mereka ternyata bisa saja
memberikan peluang untuk diadakan pemilu atau pemungutan suara, seperti :
a. Peristiwa penunjukan Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma oleh Nabi sebagai pemimpin jihad,
padahal Usamah masih sangat muda dan masih banyak sahabat senior dari sisi ilmu dan
pengalaman yang masih hidup saat itu.Penunjukan ini sempat menjadi pertanyaan banyak sahabat
dan akhirnya Nabi menegur mereka.Ternyata untuk menentukan pemimpin jihad dan menjawab
pertanyaan sebagian sahabat saat itu, Nabi tidak mengajak atau memerintah diadakannya
pemungutan suara.Kisah penunjukan Usamah sebagai pemimpin jihad ini disebutkan di dalam
Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim.
b. Pengangkatan 4 sahabat besar mulai Abu Bakr ash-Shiddiq, Umar bin al-Khaththab, Utsman bin
Affan hingga Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhum ajma’in sebagai pemimpin besar (khalifah)
ternyata tidak melalui sistem pemilu yang melibatkan seluruh rakyat.Abu Bakr, Utsman dan Ali dipilih
sebagai pemimpin pada masing-masing periodenya melalui syura (diskusi ilmiah) para sahabat
besar.Adapun Umar dipilih sebagai pemimpin karena penunjukan pemimpin sebelumnya, yaitu Abu
Bakr.Seiring dengan itu, kita telah diperintah Nabi untuk mengikuti jalan para sahabat dalam
menjalankan Islam pada seluruh sendi kehidupan, termasuk sistem memilih pemimpin negara.
Para pembaca rahimakumullah, kita sangat khawatir pemilu dengan demokrasi sebagai payungnya tidak
hanya bertujuan mencegah kediktatoran pemimpin.Kita sangat khawatir ada tujuan ganda yang
terselubung dan Allah lebih mengetahui hakekat sebenarnya tujuan tersebut, yaitu jalan kebebasan
mengampanyekan seluruh pola pikir dan pola hidup yang bertentangan dengan Islam di negeri-negeri
yang mayoritas penduduknya adalah kaum muslimin.Kita pun sebelum itu sangat mengetahui bahwa
pemilu dengan demokrasi sebagai payungnya adalah produk pemikiran orang kafir dan ditebarkan orang-
orang Yahudi, bukan orang Islam apalagi wahyu ilahi.Sedangkan bukan rahasia lagi bahwa orang kafir
dan Yahudi itu sangat besar kebenciannya terhadap Islam dan umat Islam.Adapun terkait kediktatoran
pemimpin, maka (tanpa demokrasi dengan pemilunya pun) Islam sendiri sangat mengecam hal itu.Islam
sendiri sebenarnya telah memberikan bimbingan lengkap lagi sempurna bagaimana bersikap
menghadapi kediktatoran pemimpin.
4) Pemilu sangat membolehkan kaum wanita menjadi pemimpin bagi kaum pria.
Agama Islam telah memberikan kedudukan sangat terhormat terhadap kaum hawa.Hal ini akan diketahui
saat seseorang mempelajari Islam dengan seksama dan penuh ketulusan hati.Islam telah memberikan
posisi mulia kepada wanita sesuai dengan kodratnya, karena Islam adalah ajaran Allah yang Dia-lah
Ta’ala Dzat pencipta wanita dan tentu Dia-lah yang paling mengerti apa yang layak atau tidak layak bagi
wanita.Akankah seorang muslim lebih percaya terhadap orang kafir yang menyerukan emansipasi wanita
yang sarat dengan makar terselubung, dibanding ajaran Allah dan Rasul-Nya yang sarat dengan kasih
sayang terhadap seluruh alam semesta terkhusus kaum wanita ?! Dengan tegas, Allah telah berfirman
(artinya) : “Kaum pria itu adalah pemimpin bagi kaum wanita karena apa yang telah Allah beri kelebihan
kepada sebagian mereka atas sebagian yang lain”.(An Nisaa’ : 34)
Nabi kita lebih menegaskan lagi melalui sebuah sabda (artinya) : “Tidak akan bahagia suatu kaum yang
menyerahkan kepemimpinan mereka kepada seorang wanita”.(HR.al-Bukhari)
Mungkin saja akan ada yang berkata : “Ternyata di masa lalu jauh setelah masa Nabi, ada beberapa
wanita yang memimpin bangsanya dan rakyat merasakan ketentraman hidup, seperti Margareth Thacher
di Inggris atau Corazon Aquino di Filipina”.
Pernyataan ini dapat dijawab bahwa kebahagiaan atau kenikmatan duniawi yang dirasakan manusia
dengan melanggar syariat Islam bukanlah kebahagiaan yang hakiki dan bukan pula tanda Allah mencintai
mereka.Selain itu, kebahagiaan mana yang layak kita kagumi lebih-lebih kita contoh dari 2 negara kafir
tersebut ?!