You are on page 1of 816

MATERI SKDI

Disusun Oleh:

Ratnasari Ridar Widyaningrum, S.Ked FAB 115 001


Reza Indri Saraswati, S.Ked FAB 115 002
Frans Michael Oscar Marpaung, S.Ked FAB 115 003
Lovina Damayanthi, S.Ked FAB 115 004
Thyrister Asarya Nina Sembiring, S.Ked FAB 115 005

Pembimbing:

dr. Dian Mutiasari

dr. Adelgrit Trisia, M. Imun

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS PALANGKARAYA

2017
SISTEM SARAF

1. Tension Headache
Tingkat Kemampuan: 4A
Definisi
Tension Headache atau Tension Type Headache (TTH) atau nyeri
kepala tipe tegang adalah bentuk sakit kepala yang paling sering dijumpai
dan sering dihubungkan dengan jangka waktu dan peningkatan stres.
Sebagian besar tergolong dalam kelompok yang mempunyai perasaan
kurang percaya diri, selalu ragu akan kemampuan diri sendiri dan mudah
menjadi gentar dan tegang. Pada akhirnya, terjadi peningkatan tekanan
jiwa dan penurunan tenaga. Pada saat itulah terjadi gangguan dan
ketidakpuasan yang membangkitkan reaksi pada otot-otot kepala, leher,
bahu, serta vaskularisasi kepala sehingga timbul nyeri kepala.
Nyeri kepala ini lebih sering terjadi pada perempuan dibandingkan
laki-laki dengan perbandingan 3:1. TTH dapat mengenai semua usia, namun
sebagian besar pasien adalah dewasa muda yang berusiasekitar antara
20-40 tahun.
Manifestasi Klinis
Pasien datang dengan keluhan nyeri yang tersebar secara difus dan
sifat nyerinya mulai dari ringan hingga sedang. Nyeri kepala tegang otot
biasanya berlangsung selama 30 menit hingga 1 minggu penuh. Nyeri bisa
dirasakan kadang-kadang atau terus menerus. Nyeri pada awalnya
dirasakan pasien pada leher bagian belakang kemudian menjalar ke kepala
bagian belakang selanjutnya menjalar ke bagian depan. Selain itu, nyeri ini
juga dapat menjalar ke bahu. Nyeri kepala dirasakan seperti kepala berat,
pegal, rasa kencang pada daerah bitemporal dan bioksipital, atau seperti
diikat di sekeliling kepala. Nyeri kepala tipe ini tidak berdenyut.
Pada nyeri kepala ini tidak disertai mual ataupun muntah tetapi
anoreksia mungkin saja terjadi. Gejala lain yang juga dapat ditemukan
seperti insomnia (gangguan tidur yang sering terbangun atau bangun dini
hari), nafas pendek, konstipasi, berat badan menurun, palpitasi dan
gangguan haid.
Pada nyeri kepala tegang otot yang kronis biasanya merupakan
manifestasi konflik psikologis yang mendasarinya seperti kecemasan dan
depresi.
Pemeriksaan Fisik
Tidak ada pemeriksaan fisik yang berarti untuk mendiagnosis nyeri
kepala tegang otot ini. Pada pemeriksaan fisik, tanda vital harus normal,
pemeriksaan neurologis normal. Pemeriksaan yang dilakukan berupa
pemeriksaan kepala dan leher serta pemeriksaan neurologis yang meliputi
kekuatan motorik, refleks, koordinasi, dan sensoris.
Pemeriksaan mata dilakukan untuk mengetahui adanya
peningkatan tekanan pada bola mata yang bisa menyebabkan sakit kepala.
Pemeriksaan daya ingat jangka pendek dan fungsi mental pasien juga
dilakukan dengan menanyakan beberapa pertanyaan. Pemeriksaan ini
dilakukan untuk menyingkirkan berbagai penyakit yang serius yang
memiliki gejala nyeri kepala seperti tumor atau aneurisma dan penyakit
lainnya.
Kriteria Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
fisik yang normal. Anamnesis yang mendukung adalah adanya faktor
psikis yang melatarbelakangi dan karakteristik gejala nyeri kepala (tipe,
lokasi, frekuensi dan durasi nyeri) harus jelas.
Klasifikasi
Menurut lama berlangsungnya, nyeri kepala tegang otot ini dibagi
menjadi nyeri kepala episodik jika berlangsungnya kurang dari 15 hari
dengan serangan yang terjadi kurang dari 1 hari perbulan (12 hari dalam 1
tahun). Apabila nyeri kepala tegang otot tersebut berlangsung lebih dari 15
hari selama 6 bulan terakhir dikatakan nyeri kepala tegang otot kronis.
Diagnosis Banding
1. Migren
2. Cluster-type hedache (nyeri kepala kluster)
Penatalaksanaan
a. Pembinaan hubungan empati awal yang hangat antara dokter dan
pasien merupakan langkah pertama yang sangat penting untuk
keberhasilan pengobatan. Penjelasan dokter yang meyakinkan pasien
bahwa tidak ditemukan kelainan fisik dalam rongga kepala atau
otaknya dapat menghilangkan rasa takut akan adanya tumor otak atau
penyakit intrakranial lainnya.
b. Penilaian adanya kecemasan atau depresi harus segera dilakukan.
Sebagian pasien menerima bahwa kepalanya berkaitan dengan
penyakit depresinya dan bersedia ikut program pengobatan
sedangkan pasien lain berusaha menyangkalnya. Oleh sebab itu,
pengobatan harus ditujukan kepada penyakit yang mendasari
dengan obat anti cemas atau anti depresi serta modifikasi pola
hidup yang salah, disamping pengobatan nyeri kepalanya.
c. Saat nyeri timbul dapat diberikan beberapa obat untuk
menghentikan atau mengurangi sakit yang dirasakan saat serangan
muncul. Penghilang sakit yang sering digunakan adalah:
acetaminophen dan NSAID seperti Aspirin, Ibuprofen, Naproxen,
dan Ketoprofen. Pengobatan kombinasi antara acetaminophen atau
aspirin dengan kafein atau obat sedatif biasa digunakan bersamaan.
Cara ini lebih efektif untuk menghilangkan sakitnya, tetapi jangan
digunakan lebih dari 2 hari dalam seminggu dan penggunaannya
harus diawasi oleh dokter.
d. Pemberian obat-obatan antidepresi yaitu Amitriptilin.
e. Konseling dan Edukasi
 Keluarga ikut meyakinkan pasien bahwa tidak ditemukan
kelainan fisik dalam rongga kepala atau otaknya dapat
menghilangkan rasa takut akan adanya tumor otak atau
penyakit intrakranial lainnya.
 Keluarga ikut membantu mengurangi kecemasan atau
depresi pasien, serta menilai adanya kecemasan atau
depresi pada pasien.
f. Kriteria Rujukan
 Bila nyeri kepala tidak membaik maka dirujuk ke fasilitas
pelayanan kesehatan sekunder yang memiliki dokter spesialis
saraf.
 Bila depresi berat dengan kemungkinan bunuh diri maka
pasien harus dirujuk ke pelayanan sekunder yang memiliki
dokter spesialis jiwa.
Referensi
1. Sadeli H. A. Penatalaksanaan Terkini Nyeri Kepala Migrain dalam
Kumpulan Makalah Pertemuan Ilmiah Nasional II Perhimpunan Dokter
Spesialis Saraf Indonesia. Airlangga University Press. Surabaya. 2006.
(Sadeli, 2006)
2. Blanda, M. Headache, tension. Available from: www.emedicine.com.
2008. (Blanda, 2008)

2. Migren
Tingkat Kemampuan: 4A
Definisi
Migren adalah suatu istilah yang digunakan untuk nyeri kepala
primer dengan kualitas vaskular (berdenyut), diawali unilateral yang
diikuti oleh mual, fotofobia, fonofobia, gangguan tidur dan depresi.
Serangan seringkali berulang dan cenderung tidak akan bertambah parah
setelah bertahun-tahun. Migren bila tidak diterapi akan berlangsung antara
4-72 jam dan yang klasik terdiri atas 4 fase yaitu fase prodromal (kurang
lebih 25 % kasus), fase aura (kurang lebih 15% kasus), fase nyeri kepala
dan fase postdromal.
Pada wanita migren lebih banyak ditemukan dibanding pria dengan
skala 2:1. Wanita hamil tidak luput dari serangan migren, pada umumnya
serangan muncul pada kehamilan trimester I. Sampai saat ini belum
diketahui dengan pasti faktor penyebab migren, diduga sebagai gangguan
neurobiologis, perubahan sensitivitas sistem saraf dan avikasi sistem
trigeminal-vaskular, sehingga migren termasuk dalam nyeri kepala primer.
Manifestasi Klinis
Keluhan
Suatu serangan migren dapat menyebabkan sebagian atau seluruh
tanda dan gejala, sebagai berikut:
1. Nyeri moderat sampai berat, kebanyakan penderita migren merasakan
nyeri hanya pada satu sisi kepala, namun sebagian merasakan nyeri
pada kedua sisi kepala.
2. Sakit kepala berdenyut atau serasa ditusuk-tusuk.
3. Rasa nyerinya semakin parah dengan aktivitas fisik.
4. Rasa nyerinya sedemikian rupa sehingga tidak dapat melakukan
aktivitas sehari-hari.
5. Mual dengan atau tanpa muntah.
6. Fotofobia atau fonofobia.
7. Sakit kepalanya mereda secara bertahap pada siang hari dan setelah
bangun tidur, kebanyakan pasien melaporkan merasa lelah dan lemah
setelah serangan.
8. Sekitar 60 % penderita melaporkan gejala prodormal, seringkali terjadi
beberapa jam atau beberapa hari sebelum onset dimulai. Pasien
melaporkan perubahan mood dan tingkah laku dan bisa juga gejala
psikologis, neurologis atau otonom.
Faktor Predisposisi :
1. Menstruasi biasa pada hari pertama menstruasi atau sebelumnya/
perubahan hormonal.
2. Puasa dan terlambat makan
3. Makanan misalnya akohol, coklat, susu, keju dan buah-buahan.
4. Cahaya kilat atau berkelip.
5. Banyak tidur atau kurang tidur
6. Faktor herediter
7. Faktor kepribadian
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, tanda vital harus normal, pemeriksaan
neurologis normal. Temuan-temuan yang abnormal menunjukkan sebab-
sebab sekunder, yang memerlukan pendekatan diagnostik dan terapi yang
berbeda.
Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium tidak diperlukan, pemeriksaan ini dilakukan
jika ditemukan hal-hal, sebagai berikut:
a. Kelainan-kelainan struktural, metabolik dan penyebab lain yang
dapat menyerupai gejala migren.
b. Dilakukan untuk menyingkirkan penyakit penyerta yang dapat
menyebabkan komplikasi.
c. Menentukan dasar pengobatan dan untuk menyingkirkan
kontraindikasi obat-obatan yang diberikan.
2. Pencitraan (dilakukan di rumah sakit rujukan).
3. Neuroimaging diindikasikan pada hal-hal, sebagai berikut:
a. Sakit kepala yang pertama atau yang terparah seumur hidup
penderita.
b. Perubahan pada frekuensi keparahan atau gambaran klinis pada
migren.
c. Pemeriksaan neurologis yang abnormal.
d. Sakit kepala yang progresif atau persisten.
e. Gejala-gejala neurologis yang tidak memenuhi kriteria migren
dengan aura atau hal-hal lain yang memerlukan pemeriksaan lebih
lanjut.
Kriteria Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala klinis dan
pemeriksaan fisik umum dan neurologis.
Kriteria Migren:
Nyeri kepala episodik dalam waktu 4-72 jam dengan gejala dua dari nyeri
kepala unilateral, berdenyut, bertambah berat dengan gerakan, intensitas
sedang sampai berat ditambah satu dari mual atau muntah, fonofobia atau
fotofobia.
Diagnosis Banding
Arteriovenous Malformations, Atypical Facial Pain, Cerebral
Aneurysms, Childhood Migraine Variants, Chronic Paroxysmal
Hemicrania, Cluster-type hedache (nyeri kepala kluster)
Komplikasi
1. Stroke iskemik dapat terjadi sebagai komplikasi yang jarang namun
sangat serius dari migren. Hal ini dipengaruhi oleh faktor risiko seperti
aura, jenis kelamin wanita, merokok, penggunaan hormon estrogen.
2. Pada migren komplikata dapat menyebabkan hemiparesis.
Penatalaksanaan
1. Pada saat serangan pasien dianjurkan untuk menghindari stimulasi
sensoris berlebihan.
2. Bila memungkinkan beristirahat di tempat gelap dan tenang dengan
dikompres dingin.
a. Perubahan pola hidup dapat mengurangi jumlah dan tingkat
keparahan migren, baik pada pasien yang menggunakan obat-
obat preventif atau tidak.
b. Menghindari pemicu, jika makanan tertentu menyebabkan sakit
kepala, hindarilah dan makan makanan yang lain. Jika ada
aroma tertentu yang dapat memicu maka harus dihindari. Secara
umum pola tidur yang reguler dan pola makan yang reguler
dapat cukup membantu.
c. Berolahraga secara teratur, olahraga aerobik secara teratur
mengurangi tekanan dan dapat mencegah migren.
d. Mengurangi efek estrogen, pada wanita dengan migren dimana
estrogen menjadi pemicunya atau menyebabkan gejala menjadi
lebih parah, atau orang dengan riwayat keluarga memiliki tekanan
darah tinggi atau stroke sebaiknya mengurangi obat- obatan yang
mengandung estrogen.
e. Berhenti merokok, merokok dapat memicu sakit kepala atau
membuat sakit kepala menjadi lebih parah (dimasukkan di
konseling).
f. Penggunaan headache diary untuk mencatat frekuensi sakit kepala.
g. Pendekatan terapi untuk migren melibatkan pengobatan akut
(abortif) dan preventif (profilaksis).

3. Pengobatan Abortif: Melihat kembali rujukan yang ada .


a. Analgesik spesifik adalah analgesik yang hanya bekerja sebagai
analgesik nyeri kepala. Lebih bermanfaat untuk kasus yang
berat atau respon buruk dengan NSAID. Contoh: Ergotamin,
Dihydroergotamin, dan golongan Triptan yang merupakan
agonis selektif reseptor serotonin pada 5-HT1.
b. Ergotamin dan DHE diberikan pada migren sedang sampai berat
apabila analgesik non spesifik kurang terlihat hasilnya atau
memberi efek samping. Kombinasi ergotamin dengan kafein
bertujuan untuk menambah absorpsi ergotamin sebagai
analgesik. Hindari pada kehamilan, hipertensi tidak terkendali,
penyakit serebrovaskuler serta gagal ginjal.
c. Sumatriptan dapat meredakan nyeri, mual, fotobia dan
fonofobia. Obat ini diberikan pada migren berat atau yang tidak
memberikan respon terhadap analgesik non spesifik. Dosis awal
50 mg dengan dosis maksimal 200 mg dalam 24 jam.
d. Analgesik non spesifik yaitu analgesik yang dapat diberikan
pada nyeri lain selain nyeri kepala, dapat menolong pada migren
intensitas nyeri ringan sampai sedang.
Domperidon atau Metoklopropamid sebagai antiemetik dapat
diberikan saat serangan nyeri kepala atau bahkan lebih awal
yaitu pada saat fase prodromal.
4. Pengobatan preventif:
Pengobatan preventif harus selalu diminum tanpa melihat adanya
serangan atau tidak. Pengobatan dapat diberikan dalam jangka waktu
episodik, jangka pendek (subakut), atau jangka panjang (kronis). Pada
serangan episodik diberikan bila faktor pencetus dikenal dengan baik,
sehingga dapat diberikan analgesik sebelumnya. Terapi preventif jangka
pendek diberikan apabila pasien akan terkena faktor risiko yang telah
dikenal dalam jangka waktu tertentu, misalnya migren menstrual. Terapi
preventif kronis diberikan dalam beberapa bulan bahkan tahun tergantung
respon pasien.
Komplikasi
1. Obat-obat NSAID seperti Ibuprofen dan Aspirin dapat menyebabkan
efek samping seperti nyeri abdominal, perdarahan dan ulkus, terutama
jika digunakan dalam dosis besar dan jangka waktu yang lama.
2. Penggunaan obat-obatan abortif lebih dari dua atau tiga kali seminggu
dengan jumlah yang besar, dapat menyebabkan komplikasi serius yang
dinamakan rebound.
Konseling dan Edukasi
1. Pasien dan keluarga dapat berusaha mengontrol serangan.
2. Keluarga menasehati pasien untuk beristirahat dan menghindari pemicu,
serta berolahraga secara teratur.
3. Keluarga menasehati pasien jika merokok untuk berhenti merokok
karena merokok dapat memicu sakit kepala atau membuat sakit kepala
menjadi lebih parah.
Kriteria Rujukan
Pasien perlu dirujuk jika migren terus berlanjut dan tidak hilang
dengan pengobatan analgesik non-spesifik. Pasien dirujuk ke layanan
sekunder (dokter spesialis saraf).
Referensi
1. Sadeli H. A. Penatalaksanaan Terkini Nyeri Kepala Migrain. Dalam
Kumpulan Makalah Pertemuan Ilmiah Nasional II Perhimpunan Dokter
Spesialis Saraf Indonesia. Airlangga University Press. Surabaya.2006.
2. Purnomo H. Migrainous Vertigo. Dalam Kumpulan Makalah Pertemuan
Ilmiah Nasional II Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia.
Airlangga University Press. Surabaya.2006. (Purnomo, 2006)

3. Vertigo
Tingkat Kemampuan: 4A
Definisi
Vertigo adalah persepsi yang salah dari gerakan seseorang atau
lingkungan sekitarnya. Persepsi gerakan bisa berupa:
1. Vertigo vestibular adalah rasa berputar yang timbul pada
gangguan vestibular.
2. Vertigo non vestibular adalah rasa goyang, melayang,
mengambang yang timbul pada gangguan sistem proprioseptif
atau sistem visual
Berdasarkan letak lesinya dikenal 2 jenis vertigo vestibular, yaitu:
1. Vertigo vestibular perifer : Terjadi pada lesi di labirin dan
nervus vestibularis
2. Vertigo vestibular sentral.
Timbul pada lesi di nukleus vestibularis batang otak, thalamus
sampai ke korteks serebri. Vertigo merupakan suatu gejala dengan
berbagai penyebabnya, antara lain: akibat kecelakaan, stres, gangguan
pada telinga bagian dalam, obat-obatan, terlalu sedikit atau banyak aliran
darah ke otak dan lain-lain. Secara spesifik, penyebab vertigo, adalah:
1. Vertigo vestibular
Vertigo perifer disebabkan oleh Benign Paroxismal Positional
Vertigo (BPPV), Meniere’s Disease, neuritis vestibularis, oklusi arteri
labirin, labirhinitis, obat ototoksik, autoimun, tumor nervus VIII,
microvaskular compression, fistel perilimfe. Vertigo sentral disebabkan oleh
migren, CVD, tumor, epilepsi, demielinisasi, degenerasi.

2. Vertigo non vestibular


Disebabkan oleh polineuropati, mielopati, artrosis servikalis,
trauma leher, presinkop, hipotensi ortostatik, hiperventilasi, tension
headache, penyakit sistemik. BPPV adalah gangguan klinis yang sering
terjadi dengan karakteristik serangan vertigo di perifer, berulang dan singkat,
sering berkaitan dengan perubahan posisi kepala dari tidur, melihat ke
atas, kemudian memutar kepala.
BPPV adalah penyebab vertigo dengan prevalensi 2,4% dalam
kehidupan seseorang. Studi yang dilakukan oleh Bharton 2011, prevalensi
akan meningkat setiap tahunnya berkaitan dengan meningkatnya usia
sebesar 7 kali atau seseorang yang berusia di atas 60 tahun dibandingkan
dengan 18-39 tahun. BPPV lebih sering terjadi pada wanita daripada laki-
laki.
Manifestasi Klinis
Keluhan
Vertigo vestibular
Menimbulkan sensasi berputar, timbulnya episodik, diprovokasi oleh
gerakan kepala, bisa disertai rasa mual atau muntah. Vertigo vestibular
perifer timbulnya lebih mendadak setelah perubahan posisi kepala dengan
rasa berputar yang berat, disertai mual atau muntah dan keringat dingin.
Bisa disertai gangguan pendengaran berupa tinitus, atau
ketulian, dan tidak disertai gejala neurologik fokal seperti hemiparesis,
diplopia, perioralparestesia, paresis fasialis.
Vertigo vestibular sentral timbulnya lebih lambat, tidak
terpengaruh oleh gerakan kepala. Rasa berputarnya ringan, jarang disertai
rasa mual dan muntah, tidak disertai gangguan pendengaran. Keluhan
dapat disertai dengan gejala neurologik fokal seperti hemiparesis, diplopia,
perioralparestesia, paresis fasialis.
Vertigo non vestibular
Sensasi bukan berputar, melainkan rasa melayang, goyang,
berlangsung konstan atau kontinu, tidak disertai rasa mual dan muntah,
serangan biasanya dicetuskan oleh gerakan objek sekitarnya seperti di
tempat keramaian misalnya lalu lintas macet.
1. Bentuk serangan vertigo:
a. Pusing berputar
b. Rasa goyang atau melayang
2. Sifat serangan vertigo:
a. Periodik
b. Kontinu
c. Ringan atau berat
3. Faktor pencetus atau situasi pencetus dapat berupa:
a. Perubahan gerakan kepala atau posisi
b. Situasi: keramaian dan emosional
c. Suara
4. Gejala otonom yang menyertai keluhan vertigo:
a. Mual, muntah, keringat dingin
b. Gejala otonom berat atau ringan
5. Ada atau tidaknya gejala gangguan pendegaran seperti : tinitus atau tuli
6. Obat-obatan yang menimbulkan gejala vertigo seperti: streptomisin,
gentamisin, kemoterapi
7. Tindakan tertentu: temporal bone surgery, transtympanal treatment
8. Penyakit yang diderita pasien: DM, hipertensi, kelainan jantung
9. Defisit neurologis: hemihipestesi, baal wajah satu sisi, perioral
numbness, disfagia, hemiparesis, penglihatan ganda, ataksia serebelaris
Gambaran klinis BPPV:
Vertigo timbul mendadak pada perubahan posisi, misalnya miring ke
satu sisi Pada waktu berbaring, bangkit dari tidur, membungkuk. atau
menegakkan kembali badan, menunduk atau menengadah. Serangan
berlangsung dalam waktu singkat, biasanya kurang dari 10-30 detik. Vertigo
pada BPPV dirasakan berputar, bisa disertai rasa mual, kadang- kadang
muntah. Setelah rasa berputar menghilang, pasien bisa merasa melayang dan
diikuti disekulibrium selama beberapa hari sampai minggu. BPPV dapat
muncul kembali.
Pemeriksaan Fisik
1. Pemeriksaan umum
2. Pemeriksaan sistem kardiovaskuler yang meliputi pemeriksaan tekanan
darah pada saat baring, duduk dan berdiri dengan perbedaan lebih dari
30 mmHg.
3. Pemeriksaan neurologis
a. Kesadaran: kesadaran baik untuk vertigo vestibuler perifer dan
vertigo non vestibuler, namun dapat menurun pada vertigo vestibuler
sentral.
b. Nervus kranialis: pada vertigo vestibularis sentral dapat mengalami
gangguan pada nervus kranialis III, IV, VI, V sensorik, VII, VIII, IX,
X, XI, XII.
c. Motorik: kelumpuhan satu sisi (hemiparesis).
d. Sensorik: gangguan sensorik pada satu sisi (hemihipestesi).
e. Keseimbangan (pemeriksaan khusus neurootologi):
 Tes nistagmus:
Nistagmus disebutkan berdasarkan komponen cepat, sedangkan
komponen lambat menunjukkan lokasi lesi: unilateral, perifer,
bidireksional, sentral.
 Tes Romberg:
Jika pada keadaan berdiri dengan kedua kaki rapat dan mata
terbuka pasien jatuh, kemungkinan kelainan pada serebelum. Jika
saat mata terbuka pasien tidak jatuh, tapi saat mata tertutup pasien
cenderung jatuh ke satu sisi, kemungkinan kelainan pada sistem
vestibuler atau proprioseptif (Tes Romberg positif).
 Tes Romberg dipertajam (sharpen Romberg/tandem Romberg):
Jika pada keadaan berdiri tandem dengan mata terbuka pasien
jatuh, kemungkinan kelainan pada serebelum. Jika pada mata
tertutup pasien cenderung jatuh ke satu sisi, kemungkinan kelainan
pada system vestibuler atau proprioseptif.
 Tes jalan tandem:
pada kelainan serebelar, pasien tidak dapat melakukan jalan
tandem dan jatuh ke satu sisi. Pada kelaianan vestibuler, pasien
akan mengalami deviasi.
 Tes Fukuda (Fukuda stepping test),
dianggap abnormal jika saat berjalan ditempat selama 1 menit
dengan mata tertutup terjadi deviasi ke satu sisi lebih dari 30
derajat atau maju mundur lebih dari satu meter.
 Tes past pointing,
pada kelainan vestibuler ketika mata tertutup maka jari pasien akan
deviasi ke arah lesi. Pada kelainan serebelar akan terjadi hipermetri
atau hipometri.
Kriteria Diagnosis
Perbedaan vertigo vestibuler dan non vestibuler
Gejala Vertigo vestibuler Vertigo non
vestibuler
Sensasi Rasa berputar Melayang, goyang
Tempo serangan Episodik Kontinu, konstan
Mual dan muntah Positif Negatif
Gangguan Positif atau negative Negatif
pendengaran
Gerakan pencetus Gerakan kepala Gerakan objek visual

Tabel 8.5. Perbedaan vertigo perifer dengan vertigo sentral


Gejala Perifer Sentral
Bangkitan Lebih mendadak Lebih lambat
Beratnya vertigo Berat Ringan
Pengaruh gerakan ++ +/-
kepala
Mual/muntah/keri ++ +
ngatan
Gangguan +/- -
pendengaran
Tanda fokal otak - +/-

Penatalaksanaan
1. Pasien dilakukan latihan vestibular (vestibular exercise) dengan metode
Brand Daroff.
2. Pasien duduk tegak di pinggir tempat tidur dengan kedua tungkai
tergantung, dengan kedua mata tertutup baringkan tubuh dengan cepat
ke salah satu sisi, pertahankan selama 30 detik. Setelah itu duduk kembali.
Setelah 30 detik, baringkan dengan cepat ke sisi lain. Pertahankan selama
30 detik, lalu duduk kembali. Lakukan latihan ini 3 kali pada pagi, siang
dan malam hari masing-masing diulang 5 kali serta dilakukan selama 2
minggu atau 3 minggu dengan latihan pagi dan sore hari.
3. Karena penyebab vertigo beragam, sementara penderita sering kali merasa
sangat terganggu dengan keluhan vertigo tersebut, seringkali
menggunakan pengobatan simptomatik. Lamanya pengobatan
bervariasi. Sebagian besar kasus terapi dapat dihentikan setelah
beberapa minggu. Beberapa golongan yang sering digunakan:
a. Antihistamin (Dimenhidrinat, Difenhidramin, Meksilin, Siklisin
 Dimenhidrinat lama kerja obat ini ialah 4 – 6 jam. Obat
dapat diberi per oral atau parenteral (suntikan intramuskular
dan intravena), dengan dosis 25 mg – 50 mg (1 tablet), 4
kali sehari.
 Difenhidramin HCl. Lama aktivitas obat ini ialah 4 – 6 jam,
diberikan dengan dosis 25 mg (1 kapsul) – 50 mg, 4 kali
sehari per oral.
 Senyawa Betahistin (suatu analog histamin):
- Betahistin Mesylate dengan dosis 12 mg, 3 kali sehari per
oral.
- Betahistin HCl dengan dosis 8-24 mg, 3 kali sehari.
Maksimum 6 tablet dibagi dalam beberapa dosis.
b. Kalsium Antagonis
Cinnarizine, mempunyai khasiat menekan fungsi vestibular
dan dapat mengurangi respons terhadap akselerasi angular dan linier.
Dosis biasanya ialah 15-30 mg, 3 kali sehari atau 1x75 mg sehari.
Terapi BPPV:
1. Komunikasi dan informasi:
2. Karena gejala yang timbul hebat, pasien menjadi cemas dan khawatir akan
adanya penyakit berat seperti stroke atau tumor otak. Oleh karena itu,
pasien perlu diberikan penjelasan bahwa BPPV bukan sesuatu yang
berbahaya dan prognosisnya baik serta hilang spontan setelah beberapa
waktu, namun kadang-kadang dapat berlangsung lama dan dapat
kambuh kembali.
3. Obat antivertigo seringkali tidak diperlukan namun apabila terjadi dis-
ekuilibrium pasca BPPV, pemberian betahistin akan berguna untuk
mempercepat kompensasi.
Terapi BPPV kanal posterior:
1. Manuver Epley
2. Prosedur Semont
3. Metode Brand Daroff
Rencana Tindak Lanjut
Vertigo pada pasien perlu pemantauan untuk mencari penyebabnya
kemudian dilakukan tatalaksana sesuai penyebab.
Konseling dan Edukasi
1. Keluarga turut mendukung dengan memotivasi pasien dalam mencari
penyebab vertigo dan mengobatinya sesuai penyebab.
2. Mendorong pasien untuk teratur melakukan latihan vestibular.
Kriteria Rujukan
1. Vertigo vestibular tipe sentral harus segera dirujuk.
2. Tidak terdapat perbaikan pada vertigo vestibular setelah diterapi
farmakologik dan non farmakologik.
Referensi
1. Kelompok Studi Vertigo. Pedoman Tatalaksana Vertigo. Pehimpunan
Dokter Spesialis Neurologi (Perdossi). 2012. (Kelompok Studi Vertigo,
2012)
2. Sura, D.J. Newell, S. Vertigo-Diagnosis and management in primary care.
BJMP. 2010;3(4):a351. (Sura & Newell, 2010)
3. Lempert, T. Neuhauser, H. Epidemiology of vertigo, migraine and
vestibular migraine. Journal Neurology. 2009:25:333-338. (Lempert &
Neuhauser, 2009)

4. Tetanus
Tingkat Kemampuan: 4A
Definisi
Tetanus adalah penyakit pada sistem saraf yang disebabkan oleh
tetanospasmin. Penyakit ini ditandai dengan spasme tonik persisten,
disertai serangan yang jelas dan keras. Tetanospasmin adalah neurotoksin
yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Tetanospasmin menghambat
neurotransmiter GABA dan glisin, sehingga tidak terjadi hambatan
aktivitas refleks otot. Spasme otot dapat terjadi lokal (disekitar infeksi),
sefalik (mengenai otot-otot cranial), atau umum atau generalisata
(mengenai otot-otot kranial maupun anggota gerak dan batang tubuh).
Spasme hampir selalu terjadi pada otot leher dan rahang yang
mengakibatkan penutupan rahang (trismus atau lockjaw), serta melibatkan
otot otot ekstremitas dan batang tubuh.
Di Amerika Serikat, sekitar 15% kasus tetanus adalah
penyalahguna obat yang menggunakan suntikan.
Manifestasi Klinis
Keluhan
Manifestasi klinis tetanus bervariasi dari kekakuan otot setempat, trismus,
sampai kejang yang hebat. Manifestasi klinis tetanus terdiri atas 4 macam
yaitu:
a. Tetanus lokal
Gejalanya meliputi kekakuan dan spasme yang menetap disertai
rasa sakit pada otot disekitar atau proksimal luka. Tetanus lokal dapat
berkembang menjadi tetanus umum.
b. Tetanus sefalik
Bentuk tetanus lokal yang mengenai wajah dengan masa inkubasi
1-2 hari, yang disebabkan oleh luka pada daerah kepala atau otitis
media kronis. Gejalanya berupa trismus, disfagia, rhisus sardonikus
dan disfungsi nervus kranial. Tetanus sefal jarang terjadi, dapat
berkembang menjadi tetanus umum dan prognosisnya biasanya
jelek.
c. Tetanus umum/generalisata
Gejala klinis dapat berupa berupa trismus, iritable, kekakuan leher,
susah menelan, kekakuan dada dan perut (opistotonus), rasa sakit dan
kecemasan yang hebat serta kejang umum yang dapat terjadi dengan
rangsangan ringan seperti sinar, suara dan sentuhan dengan
kesadaran yang tetap baik.
d. Tetanus neonatorum
Tetanus yang terjadi pada bayi baru lahir, disebabkan adanya
infeksi tali pusat, Gejala yang sering timbul adalah
ketidakmampuan untuk menetek, kelemahan, irritable, diikuti oleh
kekakuan dan spasme.
Pemeriksaan Fisik
Dapat ditemukan: kekakuan otot setempat, trismus sampai kejang
yang hebat.
a. Pada tetanus lokal ditemukan kekakuan dan spasme yang menetap.
b. Pada tetanus sefalik ditemukan trismus, rhisus sardonikus dan
disfungsi nervus kranial.
c. Pada tetanus umum/generalisata adanya: trismus, kekakuan leher,
kekakuan dada dan perut (opisthotonus), fleksi-abduksi lengan
serta ekstensi tungkai, kejang umum yang dapat terjadi dengan
rangsangan ringan seperti sinar, suara dan sentuhan dengan
kesadaran yang tetap baik.
d. Pada tetanus neonatorum ditemukan kekakuan dan spasme dan
posisi tubuh klasik: trismus, kekakuan pada otot punggung
menyebabkan opisthotonus yang berat dengan lordosis lumbal.
Bayi mempertahankan ekstremitas atas fleksi pada siku dengan
tangan mendekap dada, pergelangan tangan fleksi, jari mengepal,
ekstremitas bawah hiperekstensi dengan dorsofleksi pada
pergelangan dan fleksi jari-jari kaki.
Kriteria Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan temuan klinis dan riwayat imunisasi.
Tingkat keparahan tetanus:
Kriteria Pattel Joag
1. Kriteria 1: rahang kaku, spasme terbatas, disfagia, dan kekakuan
otot tulang belakang
2. Kriteria 2: Spasme, tanpa mempertimbangkan frekuensi maupun
derajat keparahan
3. Kriteria 3: Masa inkubasi ≤ 7hari
4. Kriteria 4: waktu onset ≤48 jam
5. Kriteria 5: Peningkatan temperatur; rektal 100ºF ( > 400 C), atau
aksila 99ºF ( 37,6 ºC ).
Grading
1. Derajat 1 (kasus ringan), terdapat satu kriteria, biasanya Kriteria
1 atau 2 (tidak ada kematian)
2. Derajat 2 (kasus sedang), terdapat 2 kriteria, biasanya Kriteria 1
dan 2. Biasanya masa inkubasi lebih dari 7 hari dan onset lebih
dari 48 jam (kematian 10%)
3. Derajat 3 (kasus berat), terdapat 3 Kriteria, biasanya masa inkubasi
kurang dari 7 hari atau onset kurang dari 48 jam (kematian 32%)
4. Derajat 4 (kasus sangat berat), terdapat minimal 4 Kriteria
(kematian 60%)
5. Derajat 5, bila terdapat 5 Kriteria termasuk puerpurium dan
tetanus neonatorum (kematian 84%).
Derajat penyakit tetanus menurut modifikasi dari klasifikasi Albleet’s :
a. Grade 1 (ringan)
Trismus ringan sampai sedang, spamisitas umum, tidak ada penyulit
pernafasan, tidak ada spasme, sedikit atau tidak ada disfagia.
b. Grade 2 (sedang)
Trismus sedang, rigiditas lebih jelas, spasme ringan atau sedang
namun singkat, penyulit pernafasan sedang dengan takipneu.

c. Grade 3 (berat)
Trismus berat, spastisitas umum, spasme spontan yang lama dan
sering, serangan apneu, disfagia berat, spasme memanjang spontan
yang sering dan terjadi refleks, penyulit pernafasan disertai dengan
takipneu, takikardi, aktivitas sistem saraf otonom sedang yang terus
meningkat.
d. Grade 4 (sangat berat)
Gejala pada grade 3 ditambah gangguan otonom yang berat, sering kali
menyebabkan “autonomic storm”.
Diagnosis Banding
Meningoensefalitis, Poliomielitis, Rabies, Lesi orofaringeal, Tonsilitis berat,
Peritonitis, Tetani (timbul karena hipokalsemia dan hipofasfatemia di mana
kadar kalsium dan fosfat dalam serum rendah), keracunan Strychnine, reaksi
fenotiazine.
Komplikasi
a. Saluran pernapasan
Dapat terjadi asfiksia, aspirasi pneumonia, atelektasis akibat obstruksi
oleh sekret, pneumotoraks dan mediastinal emfisema biasanya terjadi
akibat dilakukannya trakeostomi.
b. Kardiovaskuler
Komplikasi berupa aktivitas simpatis yang meningkat antara lain
berupa takikardia, hipertensi, vasokonstriksi perifer dan rangsangan
miokardium.
c. Tulang dan otot
Pada otot karena spasme yang berkepanjangan bisa terjadi perdarahan
dalam otot. Pada tulang dapat terjadi fraktura kolumna vertebralis
akibat kejang yang terus-menerus terutama pada anak dan orang dewasa.
Beberapa peneliti melaporkan juga dapat terjadi miositis ossifikans
sirkumskripta.

d. Komplikasi yang lain


Laserasi lidah akibat kejang, dekubitus karena penderita berbaring dalam
satu posisi saja, panas yang tinggi karena infeksi sekunder atau toksin
yang menyebar luas dan mengganggu pusat pengatur suhu.
Penatalaksanaan
a. Manajemen luka
Pasien tetanus yang diduga menjadi port de entry masuknya kuman C.
tetani harus mendapatkan perawatan luka. Luka dapat menjadi luka yang
rentan mengalami tetanus atau luka yang tidak rentan tetanus
dengan kriteria sebagai berikut:
Luka rentan tetanus Luka yang tidak rentan
tetanus
> 6-8 jam < 6 jam
Kedalaman > 1 cm Superfisial < 1 cm
Terkontaminasi Bersih
Bentuk stelat, avulsi, atau Bentuknya linear, tepi tajam
hancur (irreguler)
Denervasi, iskemik Neurovaskular intak
Terinfeksi (purulen, jaringan Tidak infeksi
nekrotik)

b. Rekomendasi manajemen luka traumatik


 Semua luka harus dibersihkan dan jika perlu dilakukan
debridemen.
 Riwayat imunisasi tetanus pasien perlu didapatkan.
 TT harus diberikan jika riwayat booster terakhir lebih dari 10
tahun jika riwayat imunisasi tidak diketahui, TT dapat
diberikan.
 Jika riwayat imunisasi terakhir lebih dari 10 tahun yang lalu,
maka tetanus imunoglobulin (TIg) harus diberikan. Keparahan
luka bukan faktor penentu pemberian TIg
c. Pengawasan, agar tidak ada hambatan fungsi respirasi.
d. Ruang Isolasi untuk menghindari rangsang luar seperti suara, cahaya-
ruangan redup dan tindakan terhadap penderita.
e. Diet cukup kalori dan protein 3500-4500 kalori per hari dengan 100-
150 gr protein. Bentuk makanan tergantung kemampuan membuka
mulut dan menelan. Bila ada trismus, makanan dapat diberikan per
sonde atau parenteral.
f. Oksigen, pernapasan buatan dan trakeostomi bila perlu.
g. Antikonvulsan diberikan secara titrasi, sesuai kebutuhan dan respon
klinis. Diazepam atau Vankuronium 6-8 mg/hari. Bila penderita datang
dalam keadaan kejang maka diberikan diazepam dosis 0,5 mg/kgBB/kali
i.v. perlahan-lahan dengan dosis optimum 10mg/kali diulang setiap kali
kejang. Kemudian diikuti pemberian Diazepam per oral (sonde
lambung) dengan dosis 0,5/kgBB/kali sehari diberikan 6 kali. Dosis
maksimal diazepam 240 mg/hari. Bila masih kejang (tetanus yang
sangat berat), harus dilanjutkan dengan bantuan ventilasi mekanik, dosis
diazepam dapat ditingkatkan sampai 480 mg/hari dengan bantuan
ventilasi mekanik, dengan atau tanpa kurarisasi. Magnesium sulfat dapat
pula dipertimbangkan digunakan bila ada gangguan saraf otonom.
h. Anti Tetanus Serum (ATS) dapat digunakan, tetapi sebelumnya
diperlukan skin tes untuk hipersensitif. Dosis biasa 50.000 iu,
diberikan IM diikuti dengan 50.000 unit dengan infus IV lambat. Jika
pembedahan eksisi luka memungkinkan, sebagian antitoksin dapat
disuntikkan di sekitar luka.
i. Eliminasi bakteri, penisilin adalah drug of choice: berikan prokain
penisilin, 1,2 juta unit IM atau IV setiap 6 jam selama 10 hari. Untuk
pasien yang alergi penisilin dapat diberikan Tetrasiklin, 500 mg PO
atau IV setiap 6 jam selama 10 hari. Pemberian antibiotik di atas dapat
mengeradikasi Clostridium tetani tetapi tidak dapat mempengaruhi
proses neurologisnya.
j. Bila dijumpai adanya komplikasi pemberian antibiotika spektrum luas
dapat dilakukan. Tetrasiklin, Eritromisin dan Metronidazol dapat
diberikan, terutama bila penderita alergi penisilin. Tetrasiklin: 30-50
mg/kgBB/hari dalam 4 dosis. Eritromisin: 50 mg/kgBB/hari dalam 4
dosis, selama 10 hari. Metronidazol loading dose 15 mg/KgBB/jam
selanjutnya 7,5 mg/KgBB tiap 6 jam.
k. Pemberian Tetanus Toksoid (TT) yang pertama, dilakukan bersamaan
dengan pemberian antitoksin tetapi pada sisi yang berbeda dengan alat
suntik yang berbeda. Pemberian dilakukan dengan dosis inisial 0,5 ml
toksoid intramuskular diberikan 24 jam pertama.
l. Pemberian TT harus dilanjutkan sampai imunisasi dasar terhadap
tetanus selesai.
m. Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit.
Konseling dan Edukasi
Peran keluarga pada pasien dengan risiko terjadinya tetanus adalah
memotivasi untuk dilakukan vaksinasi dan penyuntikan ATS.
Rencana Tindak Lanjut
 Pemberian TT harus dilanjutkan sampai imunisasi dasar terhadap
tetanus selesai. Pengulangan dilakukan 8 minggu kemudian dengan
dosis yang sama dengan dosis inisial.
 Booster dilakukan 6-12 bulan kemudian.
 Subsequent booster, diberikan 5 tahun berikutnya.
 Laporkan kasus Tetanus ke dinas kesehatan setempat.
Kriteria Rujukan
 Bila tidak terjadi perbaikan setelah penanganan pertama.
 Terjadi komplikasi, seperti distres sistem pernapasan.
 Rujukan ditujukan ke fasilitas pelayanan kesehatan sekunder yang
memiliki dokter spesialis neurologi.
Referensi
1. Kelompok studi Neuroinfeksi, Tetanus dalam Infeksi pada sistem saraf.
Perdossi. 2012. (Kelompok Studi Neuroinfeksi, 2012)
2.Ismanoe, Gatot. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi ke
4. Jakarta: FK UI. Hal 1799-1806. (Sudoyo, et al., 2006)
3.Azhali, M.S. Garna, H. Aleh. Ch. Djatnika, S. Penyakit Infeksi dan
Tropis. Dalam: Garna, H. Melinda, H. Rahayuningsih, S.E. Pedoman
Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak.Ed3. Bandung:
FKUP/RSHS. 2005; 209-213. (Azhali, et al., 2005)

5. Rabies
Tingkat Kemampuan: 3B
Definisi
Rabies adalah infeksi virus yang menjalar ke otak melalui saraf
perifer. Perjalanan virus untuk mencapai sistem saraf pusat, biasanya
mengambil masa beberapa bulan. Masa inkubasi dari penyakit ini 1-3
bulan, tapi dapat bervariasi antara 1 minggu sampai beberapa tahun,
tergantung juga pada seberapa jauh jarak masuknya virus ke otak.
Penyakit infeksi akut sistem saraf pusat (ensefalitis) ini disebabkan oleh
virus rabies yang termasuk genus Lyssa-virus, family Rhabdoviridae dan
menginfeksi manusia, terutama melalui gigitan hewan yang terinfeksi
(anjing, monyet, kucing, serigala, kelelawar). Beberapa kasus dilaporkan
infeksi melalui transplantasi organ dan paparan udara (aerosol). Rabies
hampir selalu berakibat fatal jika post-exposure prophylaxis tidak
diberikan sebelum onset gejala berat.
Manifestasi Klinis
Keluhan
a. Stadium prodromal
Gejala awal berupa demam, malaise, mual dan rasa nyeri di
tenggorokan selama beberapa hari.
b. Stadium sensoris
Penderita merasa nyeri, merasa panas disertai kesemutan pada
tempat bekas luka kemudian disusul dengan gejala cemas, dan reaksi
yang berlebihan terhadap rangsang sensoris.
c. Stadium eksitasi
Tonus otot dan aktivitas simpatis menjadi meninggi dan gejala
hiperhidrosis, hipersalivasi, hiperlakrimasi, dan pupil dilatasi. Hal
yang sangat khas pada stadium ini adalah munculnya macam-
macam fobia seperti hidrofobia. Kontraksi otot faring dan otot
pernapasan dapat ditimbulkan oleh rangsangan sensoris misalnya
dengan meniupkan udara ke muka penderita. Pada stadium ini
dapat terjadi apneu, sianosis, konvulsan, dan takikardia. Tindak
tanduk penderita tidak rasional kadang maniakal disertai dengan
responsif. Gejala eksitasi terus berlangsung sampai penderita
meninggal.
d. Stadium paralisis
Sebagian besar penderita rabies meninggal dalam stadium
sebelumnya, namun kadang ditemukan pasien yang tidak
menunjukkan gejala eksitasi melainkan paresis otot yang terjadi
secara progresif karena gangguan pada medulla spinalis.
Pada umumnya rabies pada manusia mempunyai masa inkubasi 3-8
minggu. Gejala-gejala jarang timbul sebelum 2 minggu dan
biasanya timbul sesudah 12 minggu. Mengetahui port de entry
virus tersebut secepatnya pada tubuh pasien merupakan kunci
untuk meningkatkan pengobatan pasca gigitan (post exposure
therapy). Pada saat pemeriksaan, luka gigitan mungkin sudah
sembuh bahkan mungkin telah dilupakan. Tetapi pasien sekarang
mengeluh tentang perasaan (sensasi) yang lain ditempat bekas
gigitan tersebut. Perasaan itu dapat berupa rasa tertusuk, gatal-
gatal, rasa terbakar (panas), berdenyut dan sebagainya.
Anamnesis penderita terdapat riwayat tergigit, tercakar atau kontak dengan
anjing, kucing, atau binatang lainnya yang:
1. Positif rabies (hasil pemeriksaan otak hewan tersangka)
2. Mati dalam waktu 10 hari sejak menggigit bukan dibunuh)
3. Tak dapat diobservasi setelah menggigit (dibunuh, lari, dan sebagainya)
4. Tersangka rabies (hewan berubah sifat, malas makan, dan lain-lain).
Masa inkubasi rabies 3-4 bulan (95%), bervariasi antara 7 hari
sampai 7 tahun. Lamanya masa inkubasi dipengaruhi oleh dalam dan
besarnya luka gigitan dan lokasi luka gigitan (jauh dekatnya ke sistem
saraf pusat, derajat patogenitas virus dan persarafan daerah luka gigitan).
Luka pada kepala inkubasi 25-48 hari, dan pada ekstremitas 46-78 hari.
Pemeriksaan Fisik
a. Pada saat pemeriksaan, luka gigitan mungkin sudah sembuh
bahkan mungkin telah dilupakan.
b. Pada pemeriksaan dapat ditemukan gatal dan parestesia pada luka
bekas gigitan yang sudah sembuh (50%), mioedema (menetap
selama perjalanan penyakit).
c. Jika sudah terjadi disfungsi batang otak maka terdapat:
hiperventilasi, hipoksia, hipersalivasi, kejang, disfungsi saraf
otonom, sindroma abnormalitas ADH, paralitik/paralisis flaksid.
d. Pada stadium lanjut dapat berakibat koma dan kematian.
e. Tanda patognomonis
f. Encephalitis Rabies: agitasi, kesadaran fluktuatif, demam tinggi
yang persisten, nyeri pada faring terkadang seperti rasa tercekik
(inspiratoris spasme), hipersalivasi, kejang, hidrofobia dan
aerofobia.
Kriteria Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan riwayat gigitan (+) dan hewan yang
menggigit mati dalam 1 minggu. Gejala fase awal tidak khas: gejala flu,
malaise, anoreksia, kadang ditemukan parestesia pada daerah gigitan.
Gejala lanjutan: agitasi, kesadaran fluktuatif, demam tinggi yang persisten,
nyeri pada faring terkadang seperti rasa tercekik (inspiratoris spasme),
hipersalivasi, kejang, hidrofobia dan aerofobia.
Diagnosis Banding
Tetanus, Ensefalitis, lntoksikasi obat-obat, Japanese encephalitis, Herpes
simplex, Ensefalitis post-vaksinasi.
Komplikasi
a. Gangguan hipotalamus: diabetes insipidus, disfungsi otonomik yang
menyebabkan hipertensi, hipotensi, hipo/hipertermia, aritmia dan henti
jantung.
b. Kejang dapat lokal atau generalisata, sering bersamaan dengan aritmia
dan dyspneu.
Penatalaksanaan
a. Isolasi pasien penting segera setelah diagnosis ditegakkan untuk
menghindari rangsangan-rangsangan yang bisa menimbulkan spasme
otot ataupun untuk mencegah penularan.
b. Fase awal: Luka gigitan harus segera dicuci dengan air sabun
(detergen) 5-10 menit kemudian dibilas dengan air bersih, dilakukan
debridement dan diberikan desinfektan seperti alkohol 40-70%,
tinktura yodii atau larutan ephiran. Jika terkena selaput lendir seperti
mata, hidung atau mulut, maka cucilah kawasan tersebut dengan air lebih
lama; pencegahan dilakukan dengan pembersihan luka dan vaksinasi.
c. Fase lanjut: tidak ada terapi untuk penderita rabies yang sudah
menunjukkan gejala rabies. Penanganan hanya berupa tindakan
suportif berupa penanganan gagal jantung dan gagal nafas.
d. Pemberian Serum Anti Rabies (SAR) bila serum heterolog (berasal
dari serum kuda) Dosis 40 IU/ kgBB disuntikkan infiltrasi pada luka
sebanyak-banyaknya, sisanya disuntikkan secara IM. Skin test perlu
dilakukan terlebih dahulu. Bila serum homolog (berasal dari serum
manusia) dengan dosis 20 IU/ kgBB, dengan cara yang sama.
e. Pemberian serum dapat dikombinasikan dengan Vaksin Anti Rabies
(VAR) pada hari pertama kunjungan.
f. Pemberian Vaksin Anti Rabies (VAR) dalam waktu 10 hari infeksi
yang dikenal sebagai post-exposure prophylaxis atau “PEP”VAR
secara IM pada otot deltoid atau anterolateral paha dengan dosis 0,5 ml
pada hari 0, 3, 7,14, 28 (regimen Essen atau rekomendasi WHO), atau
pemberian VAR 0,5 ml pada hari 0, 7, 21 (regimen
Zagreb/rekomendasi Depkes RI).
g. Pada orang yang sudah mendapat vaksin rabies dalam waktu 5 tahun
terakhir, bila digigit binatang tersangka rabies, vaksin cukup diberikan
2 dosis pada hari 0 dan 3, namun bila gigitan berat vaksin diberikan
lengkap.
h. Pada luka gigitan yang parah, gigitan di daerah leher ke atas, pada jari
tangan dan genitalia diberikan SAR 20 IU/kgBB dosis tunggal. Cara
pemberian SAR adalah setengah dosis infiltrasi pada sekitar luka dan
setengah dosis IM pada tempat yang berlainan dengan suntikan SAR,
diberikan pada hari yang sama dengan dosis pertama SAR.
Konseling dan Edukasi
a. Keluarga ikut membantu dalam hal penderita rabies yang sudah
menunjukan gejala rabies untuk segera dibawa untuk penanganan segera
ke fasilitas kesehatan. Pada pasien yang digigit hewan tersangka rabies,
keluarga harus menyarankan pasien untuk vaksinasi.
b. Laporkan kasus rabies ke dinas kesehatan setempat.
Kriteria Rujukan
1. Penderita rabies yang sudah menunjukkan gejala rabies.
2. Dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan sekunder yang memiliki dokter
spesialis neurolog.
Referensi
1. Harijanto, Paul N dan Gunawan, Carta A. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid I. Edisi ke 4. Jakarta: FKUI. 2006. Hal 1736-9.
2. Dennis MD, Eugene B. MD.Infection Due to RNA viruses: Harrisons
Internal Medicine 16th edition. McGraw Hill. Medical Publishing
Division. 2005. (Braunwald, et al., 2009)

6. Malaria Serebral
Tingkat Kemampuan: 3B
Definisi
Malaria Serebral merupakan salah satu komplikasi infeksi dari
Plasmodium falciparum dan merupakan komplikasi berat yang paling
sering ditemukan serta penyebab kematian utama pada malaria.
Diperkirakan sekitar 1-3 juta orang meninggal diseluruh dunia setiap
tahunnya karena malaria serebral, terutama pada anak-anak.
Manifestasi Klinis
Keluhan
Pasien dengan malaria Serebral biasanya ditandai oleh
1. Trias malaria (menggigil, demam, berkeringat)
2. Penurunan kesadaran berat
3. Disertai kejang
Faktor Risiko:
1. Tinggal atau pernah berkunjung ke daerah endemik malaria
2. Riwayat terinfeksi Plasmodium falciparum
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai:
1. Penurunan kesadaran yang dapat didahului mengantuk, kebingungan,
disorientasi, delirium atau agitasi namun kaku kuduk dan rangsang
meningeal lain tidak ditemukan dan dapat berlanjut menjadi koma.
2. Kaku kuduk biasanya negatif, hiperekstensi leher terjadi pada kasus
berat
3. Pada pemeriksaan mata dapat dijumpai nistagmus dan deviasi conjugee
4. Pada pemeriksaan funduskopi ditemukan retina yang pucat, perdarahan
retina (6-37% kasus), edema papil dan cotton wool spots.
5. Gejala neurologi yang sering adalah lesi upper motor neuron, tonus otot
dan reflex tendon meningkat (tetapi dapat juga normal ataupun menurun),
refleks babinsky positif
Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan apusan darah
Bisa ditemukan adanya Plasmodium falciparum aseksual pada penderita
yang mengalami penurunan kesadaran
2. Pemeriksaan darah rutin dan gula darah
Kriteria Diagnosis
Diagnosis malaria serebral ditegakkan dengan ditemukannya
Plasmodium falciparum bentuk aseksual pada pemeriksaan apusan darah
tepi pasien dengan penurunan kesadaran berat (koma), walaupun semua
gangguan kesadaran (GCS<15) harus dianggap dan diterapi sebagai
malaria berat. Gangguan kesadaran pada malaria dapat pula disebabkan oleh
demam yang tinggi, hipoglikemia, syok, ensefalopati uremikum,
ensefalopati hepatikum, sepsis. Semua penderita dengan demam dan
penurunan kesadaran seyogyanya didiagnosis banding sebagai malaria
serebral, khususnya jika penderita tinggal atau pernah berkunjung ke
daerah endemik malaria.
Diagnosis Banding:
Infeksi virus, bakteri, jamur (cryptococcal), protozoa (African
Trypanosomiasis), Meningoensefalitis, Abses serebral, Trauma kepala,
Stroke, intoksikasi, gangguan metabolik
Komplikasi:
Gagal ginjal akut, ikterus, asidosis metabolik, hipoglikemia,
hiperlaktemia, hipovolemia, edema paru, sindrom gagal nafas akut.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dapat dilakukan dengan:
Semua pasien yang didiagnosis dengan malaria serebral harus dipastikan
jalan nafas lancar dan pernafasan dibantu dengan oksigen, setelah
penatalaksanaan suportif seperti pemberian cairan agar segera dirujuk ke
fasilitas layanan kesehatan sekunder
Kriteria Rujukan:
Pasien dengan Malaria Serebral agar segera dirujuk ke RS
Edukasi dan Konseling:
1. Konsultasi ke dokter untuk penggunaan kemoprofilaksis bagi mereka
yang hendak berkunjung ke daerah endemic malaria
2. Malaria bisa dicegah dengan menghindari kontak dengan nyamuk
anopheles baik dengan menggunakan kelambu maupun reppelen
3. Hindari aktivitas di malam hari khususnya bagi mereka yang tinggal
atau bepergian ke daerah endemic malaria
Referensi:
1. Gunawan C, Malaria Serebral dan penanganannya dalam Malaria dari
Molekuler ke Klkinis EGC. Jakarta 2012. (Gunawan, 2012)

7. Epilepsi
Tingkat Kemampuan: 3A
Definisi
Epilepsi didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ditandai oleh
bangkitan epilepsi berulang berselang lebih dari 24 jam yang timbul tanpa
provokasi. Sedangkan yang dimaksud dengan bangkitan epilepsi adalah
manifestasi klinis yang disebabkan oleh aktivitas listrik yang abnormal
dan berlebihan dari sekelompok neuron di otak.
Etiologi epilepsi:
1. Idiopatik: tidak terdapat lesi struktural di otak atau defisit neurologis
dan diperkirakan tidak mempunyai predisposisi genetik dan umumnya
berhubungan dengan usia.
2. Kriptogenik: dianggap simptomatik tetapi penyebabnya belum
diketahui, termasuk disini sindroma West, sindroma Lennox-Gastaut,
dan epilepsi mioklonik.
3. Simptomatik: bangkitan epilepsi disebabkan oleh kelainan/lesi
struktural pada otak, misalnya cedera kepala, infeksi SSP, kelainan
kongenital, lesi desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik
(alkohol, obat), metabolik, kelainan neurodegeneratif.
Kriteria Diagnosis
Ada tiga langkah untuk menuju diagnosis epilepsi, yaitu:
1. Langkah pertama: memastikan apakah kejadian yang bersifat
paroksismal merupakan bangkitan epilepsi. Pada sebagian besar kasus,
diagnosis epilepsi dapat ditegakkan berdasarkan informasi yang
diperoleh dari anamnesis baik auto maupun allo-anamnesis dari orang
tua maupun saksi mata yang lain.
a. Gejala sebelum, selama dan paska bangkitan
 Keadaan penyandang saat bangkitan: duduk/ berdiri/ bebaring/
tidur/ berkemih.
 Gejala awitan (aura, gerakan/ sensasi awal/ speech arrest).
 Pola/bentuk yang tampak selama bangkitan: gerakan tonik/klonik,
vokalisasi, otomatisme, inkontinensia, lidah tergigit, pucat
berkeringat, deviasi mata.
 Keadaan setelah kejadian: bingung, terjaga, nyeri kepala, tidur,
gaduh gelisah, Todd’s paresis.
 Faktor pencetus: alkohol, kurang tidur, hormonal.
 Jumlah pola bangkitan satu atau lebih, atau terdapat perubahan
pola bangkitan.
b. Penyakit lain yang mungkin diderita sekarang maupun riwayat penyakit
neurologik dan riwayat penyakit psikiatrik maupun penyakit sistemik
yang mungkin menjadi penyebab.
c. Usia awitan, durasi, frekuensi bangkitan, interval terpanjang antar
bangkitan.
d. Riwayat terapi epilepsi sebelumnya dan respon terhadap terapi (dosis,
kadar OAE, kombinasi terapi).
e. Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga.
f. Riwayat keluarga dengan penyakit neurologik lain, penyakit psikitrik
atau sistemik.
g. Riwayat pada saat dalam kandungan, kelahiran dan perkembangan
bayi/anak.
h. Riwayat bangkitan neonatal/kejang demam.
i. Riwayat trauma kepala, infeksi SSP.
2. Langkah kedua: apabila benar terdapat bangkitan epilepsi, maka
tentukan bangkitan tersebut bangkitan yang mana (klasifikasi ILAE
1981).
3. Langkah ketiga: menentukan etiologi, sindrom epilepsi, atau penyakit
epilepsi apa yang diderita pasien dilakukan dengan memperhatikan
klasifikasi ILAE 1989. Langkah ini penting untuk menentukan
prognosis dan respon terhadap OAE (Obat Anti Epilepsi).
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik umum pada dasarnya adalah mengamati adanya
tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi seperti trauma
kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital, kecanduan alkohol
atau obat terlarang, kelainan pada kulit, kanker, defisit neurologik fokal.
Pemeriksaan neurologis
Hasil yang diperoleh dari pemeriksaan neurologik sangat
tergantung dari interval antara dilakukannya pemeriksaan dengan
bangkitan terakhir.
1. Jika dilakukan pada beberapa menit atau jam setelah bangkitan maka akan
tampak tanda pasca iktal terutama tanda fokal seperti todds paresis
(hemiparesis setelah kejang yang terjadi sesaat), trans aphasic
syndrome (afasia sesaat) yang tidak jarang dapat menjadi petunjuk
lokalisasi.
2. Jika dilakukan pada beberapa waktu setelah bangkitan terakhir berlalu,
sasaran utama adalah menentukan apakah ada tanda-tanda disfungsi
system saraf permanen (epilepsi simptomatik) dan walaupun jarang
apakah ada tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial.
Pemeriksaan Penunjang
Dapat dilakukan di layanan sekunder yaitu EEG, pemeriksaan
pencitraan otak, pemeriksaan laboratorium lengkap dan pemeriksaan kadar
OAE.
Penatalaksanaan
Sebagai dokter pelayanan primer, bila pasien terdiagnosis sebagai
epilepsi, untuk penanganan awal pasien harus dirujuk ke dokter spesialis
saraf.
1. OAE diberikan bila:
a. Diagnosis epilepsi sudah dipastikan
b. Pastikan faktor pencetus dapat dihindari (alkohol, stress, kurang
tidur, dan lain-lain)
c. Terdapat minimum 2 bangkitan dalam setahun
d. Penyandang dan atau keluarganya sudah menerima penjelasan
terhadap tujuan pengobatan
e. Penyandang dan/atau keluarganya telah diberitahu tentang
kemungkinan efek samping yang timbul dari OAE
2. Terapi dimulai dengan monoterapi menggunakan OAE pilihan sesuai
dengan jenis bangkitan dan jenis sindrom epilepsi:
Dosis Obat Anti Epilepsi (OAE)
3. Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan bertahap
sampai dosis efektif tercapai atau timbul efek samping. Kadar obat
dalam darah ditentukan bila bangkitan tidak terkontrol dengan dosis
efektif. Bila diduga ada perubahan farmakokinetik OAE (kehamilan,
penyakit hati, penyakit ginjal, gangguan absorpsi OAE), diduga
penyandang epilepsi tidak patuh pada pengobatan. Setelah pengobatan
dosis regimen OAE, dilihat interaksi antar OAE atau obat lain.
Pemeriksaan interaksi obat ini dilakukan rutin setiap tahun pada
penggunaan phenitoin.
4. Bila pada penggunaan dosis maksimum OAE tidak dapat mengontrol
bangkitan, maka dapat dirujuk kembali untuk mendapatkan
penambahan OAE kedua. Bila OAE kedua telah mencapai kadar terapi,
maka OAE pertama diturunkan bertahap (tapering off) perlahan-lahan.
5. Penambahan OAE ketiga baru dilakukan di layanan sekunder atau
tersier setelah terbukti tidak dapat diatasi dengan penggunaan dosis
maksimal kedua OAE pertama.
6. Penyandang dengan bangkitan tunggal direkomendasikan untuk dimulai
terapi bila kemungkinan kekambuhan tinggi yaitu bila:
a. Dijumpai fokus epilepsi yang jelas pada EEG.
b. Pada pemeriksaan CT-Scan atau MRI Otak dijumpai lesi yang
berkorelasi dengan bangkitan: meningioma, neoplasma otak,
AVM, abses otak, ensephalitis herpes.
c. Pada pemeriksaan neurologik dijumpai kelainan yang mengarah
pada adanya kerusakan otak.
d. Terdapatnya riwayat epilepsi pada saudara sekandung (bukan
orang tua).
e. Riwayat bangkitan simptomatik.
f. Terdapat sindrom epilepsi yang berisiko tinggi seperti JME (Juvenile
Myoclonic Epilepsi).
g. Riwayat trauma kepala disertai penurunan kesadaran, stroke,
infeksi SSP.
h. Bangkitan pertama berupa status epileptikus.
Namun hal ini dapat dilakukan di pelayanan kesehatan sekunder
7. Efek samping perlu diperhatikan, demikian pula halnya dengan interaksi
farmakokinetik antar OAE.
8. Strategi untuk mencegah efek samping:
a. Mulai pengobatan dengan mempertimbangkan keuntungan dan
kerugian pemberian terapi
b. Pilih OAE yang paling cocok untuk karakteristik penyandang
c. Gunakan titrasi dengan dosis terkecil dan rumatan terkecil mengacu
pada sindrom epilepsi dan karaktersitik penyandang epilepsi
9. OAE dapat dihentikan pada keadaan:
a. Setelah minimal 2 tahun bebas bangkitan.
b. Gambaran EEG normal.
c. Harus dilakukan secara bertahap, pada umumnya 25% dari dosis
semula setiap bulan dalam jangka waktu 3-6 bulan.
d. Bila digunakan lebih dari 1 OAE, maka penghentian dimulai dari 1
OAE yang bukan utama.
e. Keputusan untuk menghentikan OAE dilakukan pada tingkat
pelayanan sekunder/tersier.
10. Kekambuhan setelah penghentian OAE akan lebih besar
kemungkinannya pada keadaan sebagai berikut:
a. Semakin tua usia, kemungkinan kekambuhan semakin tinggi.
b. Epilepsi simptomatik.
c. Gambaran EEG abnormal.
d. Semakin lama adanya bangkitan sebelum
e. Penggunaan lebih dari satu OAE.
f. Mendapatkan satu atau lebih bangkitan setelah memulai terapi.
g. Mendapat terapi setelah 10 tahun.
Kriteria Rujukan
Setelah diagnosis epilepsi ditegakkan maka pasien segera dirujuk
ke pelayanan sekunder yang memiliki dokter spesialis saraf.
Prognosis
Prognosis umumnya bonam, tergantung klasifikasi epilepsi yang
dideritanya, sedangkan serangan epilepsi dapat berulang, tergantung
kontrol terapi dari pasien.
Referensi
1. Kelompok Studi Epilepsi. Pedoman Tatalaksana Epilepsi, Perhimpunan
Dokter Spesialis Saraf Indonesia. 2012. (Kelompok Studi Epilepsi, 2012)

8. Transient Ischemic Attack (TIA)


Tingkat Kemampuan: 3B
Definisi
TIA atau serangan iskemik otak sepintas (SOS) adalah penurunan
aliran darah yang berlangsung sepintas (tidak menetap atau tidak
permanen) ke area tertentu dari otak, sehingga mengakibatkan disfungsi
neurologis yang berlangsung singkat (kurang dari 24 jam). Jika gejala
nerologik menetap (irreversible),dan berlangsung lebih lama (lebih dari 24
jam), maka dikategorikan sebagai stroke iskemik (infark). Defisit neurologis
yang berlangsung lebih lama dari 24 jam, tapi tidak menetap (reversible,)
dan dalam waktu kurang dari 2 minggu sembuh total tanpa gejala sisa,
disebut reversible ischemic neurological deficit (RIND).
Serangan TIA terjadi secara tiba-tiba (akut), dan biasanya
berlangsung singkat (beberapa menit), jarang sampai lebih dari 1-2 jam,
diikuti kesembuhan total tanpa gejala sisa. Pada pasien yang mengalami
serangan TIA lebih dari 3 jam, dengan pemeriksaan MRI, lebih dari 50%
diantaranya ditemukan gambaran infark di otak.
Pasien yang pernah mengalami TIA, mempunyai risiko lebih besar
untuk terserang stroke iskemik (infark). Sekitar 15-26% pasien stroke,
pernah mengalami TIA sebelumnya. Sehingga TIA termasuk faktor risiko
stroke, dan disebut sebagai warning sign (tanda peringatan) terjadinya
stroke. Setelah TIA, antara 10-15% pasien mengalami stroke iskemik
dalam waktu 3 bulan, dan sebagian besar diantaranya terjadi dalam waktu
48 jam setelah terjadinya TIA. Karena itu, TIA maupun stroke iskemik,
keduanya merupakan kedaruratan medik yang mempunyai kesamaan
mekanisme patogenesis, dan memerlukan prevensi sekunder, evaluasi, dan
penatalaksanaan yang hampir sama.
Manifestasi Klinis
Keluhan
Secara umum, gejala neurologis yang diakibatkan oleh TIA tergantung
pada pembuluh darah otak yang mengalami gangguan, yaitu sistem karotis
atau vertebrobasilaris.
1. Disfungsi neurologis fokal yang sering ditemukan berupa:
a. Kelemahan atau kelumpuhan salah satu sisi wajah, lengan, dan
tungkai (hemiparesis, hemiplegi)
b. Gangguan sensorik pada salah satu sisi wajah, lengan, dan
tungkai (hemihipestesi, hemi-anesthesi)
c. Gangguan bicara (disartria)
d. Gangguan berbahasa (afasia)
e. Gejala neurologik lainnya:
 Jalan sempoyongan (ataksia)
 Rasa berputar (vertigo)
 Kesulitan menelan (disfagia)
 Melihat ganda (diplopia)
 Penyempitan lapang penglihatan (hemianopsia,
kwadran-anopsia)
2. Gangguan tersebut terjadi mendadak, dan biasanya berlangsung dalam
waktu yang singkat (beberapa menit), jarang sampai lebih dari 1-2 jam,
diikuti kesembuhan total tanpa gejala sisa.
Pemeriksaan Fisik
Meliputi pemeriksaan umum dan neurologis.
Pemeriksaan Umum
Terutama pemeriksaan tekanan darah, frekuensi nadi dan
pernafasan, jantung, bising karotis/subklavia, dan tanda vital lainnya.
Pemeriksaan neurologis
Terutama untuk menemukan adanya tanda defisit neurologis
berupa status mental, motorik, sensorik sederhana dan kortikal luhur,
fungsi serebelar, dan otonomik
Pemeriksaan Penunjang :-
Pemeriksaan standar dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan sekunder:
1. CT scan kepala (atau MRI)
2. EKG (elektrokardiografi)
3. Kadar gula darah
4. Elektrolit serum
5. Tes faal ginjal
6. Darah lengkap
7. Faal hemostasis
Pemeriksaan lain (sesuai indikasi):
1. Foto toraks
2. Tes faal hati
3. Ekokardiografi (jika diduga emboli kardiogenik)
4. TCD (transcranial Doppler)
5. EEG (elektro-ensefalografi)
Kriteria Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik
neurologis dan CT scan kepala (bila diperlukan)
Diagnosis Banding:
1. Stroke iskemik (infark)
2. Stroke hemoragik
3. Gangguan fungsi otak yang menyerupai TIA/stroke, misalnya:
a. Cedera otak traumatik: hematoma epidural/subdural
b. Tumor otak
c. Infeksi otak: abses, tuberkuloma
d. Todd’s paralysis (hemiparesis pasca serangan kejang)
e. Gangguan metabolik: hipo/hiperglikemia
Komplikasi:
Antara 10-15% pasien mengalami stroke iskemik dalam waktu 3
bulan, dan sebagian besar diantaranya terjadi dalam waktu 48 jam setelah
terjadinya TIA.
Penatalaksanaan
Bila mendapat serangan TIA, pasien harus segera dibawa ke rumah
sakit agar mendapatkan pemeriksaan untuk menemukan penyebab dan
penanganan lebih lanjut. Bila skor ABCD2 > 5, pasien harus segera
mendapat perawatan seperti perawatan pasien stroke iskemik akut.
Tekanan darah tinggi, penyakit jantung, diabetes dan penyakit gangguan
darah harus segera diterapi. Untuk mencegah berulangnya TIA dan serangan
stroke, perlu diberikan obat antiplatelet, misalnya asetosal, clopidogrel,
dipyridamole, cilostazol. Pada stenosis karotis, mungkin diperlukan
tindakan carotid endarterectomy atau carotid angioplasty. Jika ada fibrilasi
atrial, mungkin diperlukan antikoagulan oral, misalnya warfarin,
rifaroxaban, dabigatran, apixaban.
Referensi
1. Fitzsimmons BFM. Cerebrovascular Disease: Ischemic Stroke. In Brust
JCM (Ed). Current Diagnosis and Treatment in Neurology. McGraw Hill,
New York, 2007:100-25. (Fitzsimmons, 2007)
2. Romano JG, Sacco RL. Prevention of Recurrent Ischemic Stroke. In
Goldstein LB (Ed). A Primer on Stroke Prevention and Treatment.
Wiley-Blackwell, Dallas, 2009: 85-99. (Romano & Sacco, 2009)
3. Biller J, Love BB, Schnek MJ. Vascular Diseases of the Nervous
System. Ischemic Cerebrovascular Disease. In Darrof RB et al (Eds).
Bradley’s Neurology in Clinical Practice. Vol 1: Principles of
Diagnosis and Management. 6th ed. Elsevier, Philadelphia, 2012:1003-
1053. (Biller, et al., 2012)
9. Stroke
Tingkat Kemampuan: 3B
Definisi
Stroke adalah defisit neurologis fokal (atau global) yang terjadi
mendadak, berlangsung lebih dari 24 jam dan disebabkan oleh faktor
vaskuler. Secara global, saat ini stroke merupakan salah satu penyebab
kematian utama, dan penyebab utama kecacatan pada orang dewasa. Dari
laporan Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) Departemen Kesehatan Republik
Indonesia tahun 2007, stroke merupakan penyebab kematian utama di
Indonesia.
Manifestasi Klinis
Keluhan:
Gejala awal serangan stroke terjadi mendadak (tiba-tiba), yang sering
dijumpai adalah
1. Kelemahan atau kelumpuhan salah satu sisi wajah, lengan, dan tungkai
(hemiparesis, hemiplegi)
2. Gangguan sensorik pada salah satu sisi wajah, lengan, dan tungkai
(hemihipestesi, hemianesthesi)
3. Gangguan bicara (disartria)
4. Gangguan berbahasa (afasia)
5. Gejala neurologik lainnya seperti jalan sempoyongan (ataksia), rasa
berputar (vertigo), kesulitan menelan (disfagia), melihat ganda (diplopia),
penyempitan lapang penglihatan (hemianopsia, kwadran- anopsia)
Untuk memudahkan pengenalan gejala stroke bagi masyarakat
awam, digunakan istilah FAST (Facial movement, Arm Movement,
Speech, Time: acute onset). Maksudnya, bila seseorang mengalami
kelemahan otot wajah dan anggota gerak satu sisi, serta gangguan bicara,
yang terjadi mendadak, patut diduga mengalami serangan stroke. Keadaan
seperti itu memerlukan penanganan darurat agar tidak mengakibatkan
kematian dan kecacatan. Karena itu pasien harus segera dibawa ke rumah
sakit yang memiliki fasilitas untuk penanganan tindakan darurat bagi
penderita stroke.
Faktor Risiko
Beberapa faktor risiko yang dapat mempermudah terjadinya
serangan stroke, misalnya usia tua, jenis kelamin (laki-laki), berat badan
lahir rendah, faktor herediter (familial), ras (etnik), memang tidak bisa
dihindari atau diubah (non modifiable risk factors). Sedangkan faktor
risiko lainnya mungkin masih bisa dihindari, diobati atau diperbaiki
(modifiable risk factors).
Hasil Pemeriksaan Fisik
1. Pemeriksaan tanda vital: pernapasan, nadi, suhu, tekanan darah harus
diukur kanan dan kiri
2. Pemeriksaaan jantung paru
3. Pemeriksaan bruit karotis dan subklavia
4. Pemeriksaan abdomen
5. Pemeriksaan ekstremitas
6. Pemeriksaan neurologis
a. Kesadaran: tingkat kesadaran diukur dengan menggunakan
Glassgow Coma Scale (GCS)
b. Tanda rangsang meningeal: kaku kuduk, tanda Laseque, Kernig,
dan Brudzinski
c. Saraf kranialis: terutama Nn. VII, XII, IX/X, dan saraf kranialis
lainnya
d. Motorik: kekuatan, tonus, refleks fisiologis, refleks patologis
e. Sensorik
f. Tanda serebelar: dismetria, disdiadokokinesia, ataksi, nistagmus
g. Pemeriksaan fungsi luhur, terutama fungsi kognitif (bahasa,
memori dll)
h. Pada pasien dengan kesadaran menurun, perlu dilakukan
pemeriksaan refleks batang otak:
 Pola pernafasan: Cheyne-Stokes, hiperventilasi
neurogenik sentral, apneustik, ataksik
 Refleks cahaya (pupil)
 Refleks kornea
 Refleks muntah
 Refleks okulo-sefalik (doll’s eyes phenomenon)
Pemeriksaan Penunjang:
Pemeriksaan pendukung yang diperlukan dalam penatalaksanaan
stroke akut di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat lanjut
1. Pemeriksaan standar:
a. CT scan kepala (atau MRI)
b. EKG (elektrokardiografi)
c. Kadar gula darah
d. Elektrolit serum
e. Tes faal ginjal
f. Darah lengkap
g. Faal hemostasis
2. Pemeriksaan lain (sesuai indikasi):
a. Foto toraks
b. Tes faal hati
c. Saturasi oksigen, analisis gas darah
d. Toksikologi
e. Kadar alkohol dalam darah
f. Pungsi lumbal (pada perdarahan subaraknoid)
g. TCD (transcranial Doppler)
h. EEG (elektro-ensefalografi.
Klasifikasi
Stroke dibedakan menjadi:
1. Stroke hemoragik biasanya disertai dengan sakit kepala hebat, muntah,
penurunan kesadaran, tekanan darah tinggi.
2. Stroke iskemik biasanya tidak disertai dengan sakit kepala hebat,
muntah, penurunan kesadaran dan tekanan darah tidak tinggi.
Diagnosis Banding
Membedakan stroke iskemik dan stroke hemoragik sangat penting untuk
penatalaksanaan pasien.
Komplikasi
Komplikasi stroke yang harus diwaspadai karena dapat
mengakibatkan kematian dan kecacatan adalah komplikasi medis, antara lain
komplikasi pada jantung, paru (pneumonia), perdarahan saluran cerna,
infeksi saluran kemih, dekubitus, trombosis vena dalam, dan sepsis.
Sedangkan komplikasi neurologis terutama adalah edema otak dan
peningkatan tekanan intrakranial, kejang, serta transformasi perdarahan
pada infark.
Pada umumnya, angka kematian dan kecacatan semakin tinggi, jika
pasien datang terlambat (melewati therapeutic window) dan tidak
ditangani dengan cepat dan tepat di rumah sakit yang mempunyai fasilitas
pelayanan stroke akut.
Penatalaksanaan
Pertolongan pertama pada pasien stroke akut.
1. Menilai jalan nafas, pernafasan, dan sirkulasi
2. Menjaga jalan nafas agar tetap adekuat
3. Memberikan oksigen bila diperlukan
4. Memposisikan badan dan kepala lebih tinggi (head-and-trunk up) 20-30
derajat
5. Memantau irama jantung
6. Memasang cairan infus salin normal atau ringer laktat (500 ml/12 jam)
7. Mengukur kadar gula darah (finger stick)
8. Memberikan Dekstrose 50% 25 gram intravena (bila hipoglikemia
berat)
9. Menilai perkembangan gejala stroke selama perjalanan ke rumah sakit
layanan sekunder
10. Menenangkan penderita
Rencana Tindak Lanjut
1. Memodifikasi gaya hidup sehat
a. Memberi nasehat untuk tidak merokok atau menghindari
lingkungan perokok
b. Menghentikan atau mengurangi konsumsi alkohol
c. Mengurangi berat badan pada penderita stroke yang obes
d. Melakukan aktivitas fisik sedang pada pasien stroke iskemik
atau TIA. Intensitas sedang dapat didefinisikan sebagai aktivitas
fisik yang cukup berarti hingga berkeringat atau meningkatkan
denyut jantung 1-3 kali perminggu.
2. Mengontrol faktor risiko
a. Tekanan darah
b. Gula darah pada pasien DM
c. Kolesterol
d. Trigliserida
e. Jantung
3. Pada pasien stroke iskemik diberikan obat-obat antiplatelet: asetosal,
klopidogrel
Membedakan Stroke Iskemik dan Stroke Hemoragik

Konseling dan Edukasi


1. Memberikan edukasi kepada pasien dan keluarganya agar tidak terjadi
kekambuhan atau serangan stroke ulang
2. Jika terjadi serangan stroke ulang, harus segera mendapat pertolongan
segera
3. Mengawasi agar pasien teratur minum obat.
4. Membantu pasien menghindari faktor risiko.
Kriteria Rujukan
Semua pasien stroke setelah ditegakkan diagnosis secara klinis dan
diberikan penanganan awal, segera mungkin harus dirujuk ke fasilitas
pelayanan kesehatan sekunder yang memiliki dokter spesialis saraf, terkait
dengan angka kecacatan dan kematian yang tinggi. Dalam hal ini,
perhatian terhadap therapeutic window untuk penatalaksanaan stroke akut
sangat diutamakan.
Referensi
1. Misbach J dkk. Kelompok Studi Stroke. Guideline Stroke 2011.
Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI), Jakarta,
2011. (Misbach, 2011)
2. Jauch EC et al. Guidelines for the Early Management of Patients with
Acute Ischemic Stroke. A Guideline for Healthcare Professionals From
the American Heart Association/American Stroke Association. Stroke
2013; 44:870-947. (Jauch, 2013)
3. Morgenstern LB et al. Guidelines for the Management of Spontaneous
Intracerebral Hemorrhage. Guideline for Healthcare Professionals From
the American Heart Association/American Stroke Association. Stroke
2010; 41:1-23. (Morgenstern, 2010)

10. Bells’ Palsy


Tingkat Kemampuan: 4A
Definisi
Bells’palsy adalah paralisis fasialis perifer idiopatik, yang
merupakan penyebab tersering dari paralisis fasialis perifer unilateral.
Bells’ palsy muncul mendadak (akut), unilateral, berupa paralisis saraf
fasialis perifer, yang secara gradual dapat mengalami perbaikan pada 80-
90% kasus. Bells’ palsy merupakan salah satu dari penyakit neurologis
tersering yang melibatkan saraf kranialis, dan penyebab tersering (60-
75%) dari kasus paralisis fasialis unilateral akut di dunia. Bells’ palsy lebih
sering ditemukan pada usia dewasa, orang dengan DM, dan wanita hamil.
Peningkatan kejadian berimplikasi pada kemungkinan infeksi HSV type I
dan reaktivasi herpes zoster dari ganglia nervus fasialis. Penyebab Bells’
palsy tidak diketahui (idiopatik), dan diduga penyakit ini merupakan
bentuk polineuritis dengan kemungkinan penyebabnya virus, inflamasi,
auto imun dan faktor iskemik.
Manifestasi Klinis
Keluhan
Pasien datang dengan keluhan:
1. Paralisis otot fasialis atas dan bawah unilateral, dengan onset
akut (periode 48 jam)
2. Nyeri auricular posterior atau otalgia, ipsilateral
3. Peningkatan produksi air mata (epifora), yang diikuti penurunan
produksi air mata yang dapat mengakibatkan mata kering (dry
eye), ipsilateral
4. Hiperakusis ipsilateral
5. Penurunan rasa pengecapan pada lidah, ipsilateral
Gejala awal:
1. Kelumpuhan otot otot fasialis unilateral, yang mengakibatkan
hilangnya kerutan dahi ipsilateral, tidak mampu menutup mata
ipsilateral, wajah merot/tertarik ke sisi kontralateral, bocor saat
berkumur, tidak bisa bersiul.
2. Nyeri tajam pada telinga dan mastoid (60%)
3. Penurunan rasa pengecapan pada lidah, ipsilateral (30-50%)
4. Hiperakusis ipsilateral (15-30%)
5. Gangguan lakrimasi ipsilateral (60%)
6. Gangguan sensorik wajah jarang ditemukan, kecuali jika inflamasi
menyebar ke saraf trigeminal.
Awitan (onset)
Awitan Bells’ palsy mendadak, dan gejala mencapai puncaknya
kurang dari 48 jam. Gejala yang mendadak ini membuat pasien khawatir dan
mencemaskan pasien. Mereka sering berpikir terkena stroke atau
tumor otak dapat yang mengakibatkan distorsi wajah permanen. Karena
kondisi ini terjadi secara mendadak dan cepat, pasien sering datang
langsung ke IGD. Kebanyakan pasien menyatakan paresis terjadi pada
pagi hari. Kebanyakan kasus paresis mulai terjadi selama pasien tidur.
Faktor Risiko:
1. Paparan dingin (kehujanan, udara malam, AC)
2. Infeksi, terutama virus (HSV tipe 1)
3. Penyakit autoimun
4. Diabetes mellitus
5. Hipertensi
6. Kehamilan
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan yang teliti pada kepala, telinga, mata, hidung dan mulut harus
dilakukan pada semua pasien dengan paralisis fasial.
1. Kelemahan atau paralisis yang melibatkan saraf fasial (N VII)
mengakibatkan kelemahan wajah (atas dan bawah) satu sisi
(unilateral). Pada lesi UMN (lesi supra nuclear/di atas nukleus fasialis
di pons), wajah bagian atas tidak mengalami kelumpuhan. Hal ini
disebabkan muskuli orbikularis, frontalis dan korrugator, diinervasi
bilateral oleh saraf kortikobulbaris. Inspeksi awal pasien
memperlihatkan hilangnya lipatan (kerutan) dahi dan lipatan nasolabial
unilateral.
2. Saat pasien diminta untuk tersenyum, akan tampak kelumpuhan otot
orbikularis oris unilateral, dan bibir akan tertarik ke sisi wajah yang
normal (kontralateral).
3. Pada saat pasien diminta untuk mengangkat alis, sisi dahi yang lumpuh
terlihat datar.
4. Pada fase awal, pasien juga dapat melaporkan adanya peningkatan
salivasi.
Jika paralisis hanya melibatkan wajah bagian bawah saja, maka
harus dipikirkan penyebab sentral (supranuklear). Apalagi jika pasien
mengeluh juga tentang adanya kelumpuhan anggota gerak (hemiparesis),
gangguan keseimbangan (ataksia), nistagmus, diplopia, atau paresis saraf
kranialis lainnya, kemungkinan besar BUKAN Bell’s palsy. Pada keadaan
seperti itu harus dicurigai adanya lesi serebral, serebelar, atau batang otak,
oleh karena berbagai sebab, antara lain vaskular (stroke), tumor, infeksi,
trauma, dan sebagainya.
Pada Bell’s palsy, progresifitas paresis masih mungkin terjadi,
namun biasanya tidak memburuk setelah hari ke 7 sampai 10. Jika
progresifitas masih berlanjut setelah hari ke 7-10, harus dicurigai diagnosis
lain (bukan Bell’s palsy).
Pasien dengan kelumpuhan fasial bilateral harus dievaluasi lebih lanjut,
karena dapat disebabkan oleh Sindroma Guillain-Barre, penyakit Lyme,
meningitis (terutama tuberkulosa), penyakit autoimun (multiple sclerosis,
neurosarcoidosis) dan lain-lain.
Manifestasi Okular
Komplikasi okular unilateral pada fase awal berupa:
1. Lagoftalmus (ketidakmampuan untuk menutup mata secara
total)
2. Penurunan sekresi air mata
3. Kedua hal diatas dapat mengakibatkan paparan kornea (corneal
exposure), erosi kornea, infeksi dan ulserasi kornea
4. Retraksi kelopak mata atas
Manifestasi okular lanjut
1. Ringan: kontraktur pada otot fasial, melebarnya celah palpebral.
2. Regenerasi aberan saraf fasialis dengan sinkinesis motorik.
3. Sinkinesis otonom (air mata buaya, berupa menetesnya air mata
saat mengunyah).
4. Dua pertiga pasien mengeluh masalah air mata. Hal ini terjadi
karena penurunan fungsi orbicularis okuli dalam membantu
ekskresi air mata.
Nyeri auricular posterior
Separuh pasien dengan Bells’ palsy mengeluh nyeri auricular
posterior. Nyeri sering terjadi simultan dengan paresis, tapi nyeri
mendahului paresis 2-3 hari sekitar pada 25% pasien. Pasien perlu ditanya
apakah ada riwayat trauma, yang dapat diperhitungkan menjadi penyebab
nyeri dan paralisis fasial. Sepertiga pasien mengalami hiperakusis pada
telinga ipsilateral paralisis, sebagai akibat kelumpuhan sekunder otot
stapedius.
Gangguan pengecapan
Walaupun hanya sepertiga pasien melaporkan gangguan
pengecapan, sekitar 80% pasien menunjukkan penurunan rasa pengecapan.
Kemungkinan pasien gagal mengenal penurunan rasa, karena sisi lidah
yang lain tidak mengalami gangguan. Penyembuhan awal pengecapan
mengindikasikan penyembuhan komplit.
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium darah: Darah lengkap, gula darah sewaktu, tes faal
ginjal (BUN/kreatinin serum).
Kriteria Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik
umum dan neurologis (saraf kranialis, motorik, sensorik, serebelum).
Bells’ palsy adalah diagnosis eksklusi.
Gambaran klinis penyakit yang dapat membantu membedakan dengan
penyebab lain dari paralisis fasialis:
1. Onset yang mendadak dari paralisis fasial unilateral
2. Tidak adanya gejala dan tanda pada susunan saraf pusat, telinga, dan
penyakit cerebellopontin angle (CPA).
Jika terdapat kelumpuhan pada saraf kranial yang lain, kelumpuhan
motorik dan gangguan sensorik, maka penyakit neurologis lain harus
dipikirkan (misalnya: stroke, GBS, meningitis basilaris, tumor Cerebello
Pontine Angle). Gejala tumor biasanya kronik progresif. Tumor CPA
seringkali didahului gangguan pendengaran (saraf VIII), diikuti gangguan
saraf VII, dan V, gangguan keseimbangan (serebelar). Pasien dengan
paralisis progresif saraf VII lebih lama dari 3 minggu
Klasifikasi
Sistem grading ini dikembangkan oleh House and Brackmann dgn skala I
sampai VI.
1. Grade I adalah fungsi fasial normal.
2. Grade II disfungsi ringan. Karakteristiknya adalah sebagai berikut:
a. Kelemahan ringan saat dilakukan inspeksi secara detil.
b. Sinkinesis ringan dapat terjadi.
c. Simetris normal saat istirahat.
d. Gerakan dahi sedikit sampai baik.
e. Menutup mata sempurna dapat dilakukan dengan sedikit usaha.
f. Sedikit asimetri mulut dapat ditemukan.
3. Grade III adalah disfungsi moderat, dengan karekteristik:
a. Asimetri kedua sisi terlihat jelas, kelemahan minimal.
b. Adanya sinkinesis, kontraktur atau spasme hemifasial dapat
ditemukan.
c. Simetris normal saat istirahat.
d. Gerakan dahi sedikit sampai moderat.
e. Menutup mata sempurna dapat dilakukan dengan usaha.
f. Sedikit lemah gerakan mulut dengan usaha maksimal.
4. Grade IV adalah disfungsi moderat sampai berat, dengan tandanya
sebagai berikut:
a. Kelemahan dan asimetri jelas terlihat.
b. Simetris normal saat istirahat.
c. Tidak terdapat gerakan dahi.
d. Mata tidak menutup sempurna.
e. Asimetris mulut dilakukan dengan usaha maksimal.
5. Grade V adalah disfungsi berat. Karakteristiknya adalah sebagai
berikut:
a. Hanya sedikit gerakan yang dapat dilakukan.
b. Asimetris juga terdapat pada saat istirahat.
c. Tidak terdapat gerakan pada dahi.
d. Mata menutup tidak sempurna.
e. Gerakan mulut hanya sedikit.
6. Grade VI adalah paralisis total. Kondisinya yaitu:
a. Asimetris luas.
b. Tidak ada gerakan otot otot wajah.
Dengan sistem ini, grade I dan II menunjukkan hasil yang baik,
grade III dan IV terdapat disfungsi moderat, dan grade V dan VI
menunjukkan hasil yang buruk. Grade VI disebut dengan paralisis fasialis
komplit. Grade yang lain disebut sebagai inkomplit. Paralisis fasialis
inkomplit dinyatakan secara anatomis dan dapat disebut dengan saraf intak
secara fungsional. Grade ini seharusnya dicatat pada rekam medik pasien
saat pertama kali datang memeriksakan diri.
Penatalaksanaan
Prognosis pasien Bells’ palsy umumnya baik. Karena penyebabnya
idiopatik, pengobatan Bell’s palsy masih kontroversi. Tujuan pengobatan
adalah memperbaiki fungsi saraf VII (saraf fasialis) dan mencegah
kerusakan saraf lebih lanjut.
Pengobatan dipertimbangkan untuk mulai diberikan pada pasien dalam
fase awal 1-4 hari onset.
Hal penting yang perlu diperhatikan:
1. Pengobatan inisial
a. Kortikosteroid (Prednison), dosis: 1 mg/kg atau 60 mg/day
selama 6 hari, diikuti penurunan bertahap total selama 10 hari.
b. Steroid dan asiklovir (dengan prednison) mungkin efektif untuk
pengobatan Bells’ palsy (American Academy Neurology/AAN,
2011).
c. Steroid kemungkinan kuat efektif dan meningkatkan perbaikan
fungsi saraf kranial, jika diberikan pada onset awal (ANN,
2012).
d. Apabila tidak ada gangguan gungsi ginjal, antiviral (Asiklovir)
dapat diberikan dengan dosis 400 mg oral 5 kali sehari selama
7-10 hari. Jika virus varicella zoster dicurigai, dosis tinggi 800
mg oral 5 kali/hari.
2. Lindungi mata
Perawatan mata: lubrikasi okular topikal dengan air mata artificial
(tetes air mata buatan) dapat mencegah corneal exposure. (lihat
bagian pembahasan dry eye)
3. Fisioterapi atau akupunktur dapat dilakukan setelah melewati fase akut
(+/- 2 minggu).
Rencana Tindak Lanjut
Pemeriksaan kembali fungsi nervus facialis untuk memantau
perbaikan setelah pengobatan.
Referensi
1. Rucker JC. Cranial Neuropathy. In Darrof RB et al (Eds). Bradley’s
Neurology in Clinical Practice. Vol 1: Principles of Diagnosis and
Management. 6th ed. Elsevier, Philadelphia, 2012:1754-1757. (Rucker,
2012)
2. Gooch C, Fatimi T. Peripheral Neuropathy. In Brust JCM (Ed). Current
Diagnosis and Treatment in Neurology. McGraw Hill, New York,
2007:286-288. (Gooch & Fatimi, 2007)

11. Kejang Demam


Tingkat Kemampuan: 4A
Definisi
Kejang Demam (KD) adalah bangkitan kejang yang terjadi pada
kenaikan suhu tubuh (suhu rektal > 38o C) akibat dari suatu proses ekstra
kranial. Kejang berhubungan dengan demam, tetapi tidak disebabkan infeksi
intrakranial atau penyebab lain seperti trauma kepala, gangguan
kesimbangan elektrolit, hipoksia atau hipoglikemia.
Manifestasi Klinis
Keluhan utama adalah kejang. Anamnesis dimulai dari riwayat
perjalanan penyakit sampai terjadinya kejang. Perlu deskripsi kejang
seperti tipe kejang, lama, frekuensi dan kesadaran pasca kejang. kemudian
mencari kemungkinan adanya faktor pencetus atau penyebab kejang.
Umumnya kejang demam terjadi pada anak dan berlangsung pada permulaan
demam akut.Sebagian besar berupa serangan kejang klonik umum atau tonik
klonik, singkat dan tidak ada tanda-tanda neurologi post
iktal.
Penting untuk ditanyakan riwayat kejang sebelumnya, kondisi
medis yang berhubungan, obat-obatan, trauma, gejala infeksi, keluhan
neurologis, nyeri atau cedera akibat kejang.Riwayat kejang demam dalam
keluarga juga perlu ditanyakan.
Faktor Risiko
1. Demam
a. Demam yang berperan pada KD, akibat:
 Infeksi saluran pernafasan
 Infeksi saluran pencernaan
 Infeksi THT
 Infeksi saluran kencing
 Roseola infantum/infeksi virus akut lain.
 Paska imunisasi
b. Derajat demam:
 75% dari anak dengan demam ≥ 390C
 25% dari anak dengan demam > 400C
2. Usia
a. Umumnya terjadi pada usia 6 bulan–6tahun
b. Puncak tertinggi pada usia 17–23 bulan
c. Kejang demam sebelum usia 5–6 bulan mungkin disebabkan
oleh infeksi SSP
d. Kejang demam diatas umur 6 tahun, perlu dipertimbangkan
febrile seizure plus (FS+).
3. Gen
a. Risiko meningkat 2–3x bila saudara sekandung mengalami
kejang demam
b. Risiko meningkat 5% bila orang tua mengalami kejang demam
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dimulai dengan tanda-tanda vital dan kesadaran.
Pada kejang demam tidak ditemukan penurunan kesadaran. Pemeriksaan
umum ditujukan untuk mencari tanda-tanda infeksi penyebab demam.
Pemeriksaan neurologi meliputi kepala, ubun-ubun besar, tanda rangsang
meningeal, pupil, saraf kranial, motrik, tonus otot, refleks fisiologis dan
patologis.
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang lebih ditujukan untuk mencari penyebab demam.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan :
1. Pemeriksaan hematologi rutin dan urin rutin
2. Pemeriksaan lain atas indikasi : glukosa, elektrolit, pungsi lumbal.
Klasifikasi
Klasifikasi kejang demam terbagi menjadi 2, yaitu:
1. Kejang demam sederhana
a. Kejang umum tonik, klonik atau tonik-klonik.
b. Durasi< 15 menit
c. Kejang tidak berulang dalam 24 jam.
2. Kejang demam kompleks
a. Kejang fokal atau fokal menjadi umum.
b. Durasi> 15 menit
c. Kejang berulang dalam 24 jam.
Diagnosis Banding
1. Meningitis
2. Epilepsi
3. Gangguan metabolik, seperti: gangguan elektrolit.
Komplikasi dan prognosis
Kejang demam suatu kondis yang jinak/benign, tidak
menyebabkan kematian. Sebagian besar akan menghilang pada usia 5-6
tahun. Faktor risiko epilepsi di kemudian hari tergantung dari: (1) kejang
demam kompleks, (2) riwayat epilepsi dalam keluarga, (3) terdapat defisit
neurologis.
Penatalaksanaan
1. Keluarga pasien diberikan informasi selengkapnya mengenai kejang
demam dan prognosisnya.
2. Farmakoterapi ditujukan untuk tatalaksana kejang akut dan tatalaksana
profilaksis untuk mencegah kejang berulang.
3. Pemberian farmakoterapi untuk mengatasi kejang akut adalah dengan:
a. Diazepam per rektal (0,5mg/kgBB) atau BB < 10 kg diazepam rektal
5 mg , BB > 10 kg diazepam rektal 10 mg, atau lorazepam (0,1 mg/kg)
harus segera diberikan jika akses intravena tidak dapat diperoleh
dengan mudah. Jika akses intravena telah diperoleh diazepam lebih
baik diberikan intravena dibandingkan rektal. Dosis pemberian IV
0,3-0,5 mg/kgBB/kali dengan maksimum pemberian
20 mg. Jika kejang belum berhenti diazepam rektal/IV dapat diberikan
2 kali dengan interval 5 menit. Lorazepam intravena, setara
efektivitasnya dengan diazepam intravena dengan efek samping yang
lebih minimal (termasuk depresi pernapasan) dalam pengobatan
kejang akut.
b. Jika dengan 2 kali pemberian diazepam rektal/intravena masih
terdapat kejang dapat diberikan fenitoin IV dengan dosis inisial 20
mg/kgBB, diencerkan dalam NaCl 0,9% dengan pengenceran 10 mg
fenitoin dalam 1 ml NaCl 0,9%, dengan kecepatan pemberian
1mg/kgBB/menit, maksimum 50 mg/menit, dosis inisial maksimum
adalah 1000 mg. Jika dengan fenitoin masih terdapat kejang, dapat
diberikan fenobarbital IV dengan dosis inisial 20 mg/kgBB, tanpa
pengenceran dengan kecepatan pemberian 20 mg/menit. Jika kejang
berhenti dengan fenitoin maka lanjutkan dengan pemberian rumatan
12 jam kemudian dengan dosis 5-7 mg/kgBB/hari dalam 2 dosis.
Jika kejang berhenti dengan fenobarbital, maka lanjutkan dengan
pemberian rumatan 12 jam kemudian denagn dosis 4-6 mg/kgBB/hari
dalam 2 dosis.
4. Pemberian farmakoterapi untuk profilaksis untuk mencegah
berulangnya kejang di kemudian hari.
a. Profilaksis intermiten dengan diazepam oral/rektal, dosis 0,3
mg/kgBB/kali tiap 8 jam, hanya diberikan selama episode demam,
terutama dalam waktu 24 jam setelah timbulnya demam.
b. Profilaksis kontinyu dengan fenobarbital dosis 4-6 mg/kgBB/hari
dibagi 2 dosis atau asam valproat dengan dosis 15-40 mg/kgBB/hari
dibagi 2-3 dosis. Profilaksis hanya diberikan pada kasus-kasus
tertentu seperti kejang demam dengan status epileptikus, terdapat
defisit neurologis yang nyata seperti cerebral palsy. Profilaksis
diberikan selama 1 tahun.
Farmakologi untuk mengatasi kejang

Indikasi EEG
Tidak terdapat indikasi pemeriksaan EEG pada kejang demam ,
kecuali jika ditemukan keragu-raguan apakah ada demam sebelum kejang.
Indikasi pencitraan (CT-scan/MRI kepala)
Pemeriksaan pencitraan hanya dilakukan jika terdapat kejang
demam yang bersifat fokal atau ditemukan defisit neurologi pada
pemeriksaan fisik.
Konseling dan Edukasi
Konseling dan edukasi dilakukan untuk membantu pihak keluarga
mengatasi pengalaman menegangkan akibat kejang demam dengan
memberikan informasi mengenai:
1. Prognosis dari kejang demam.
2. Tidak ada peningkatan risiko keterlambatan sekolah atau kesulitan
intelektual akibat kejang demam.
3. Kejang demam kurang dari 30 menit tidak mengakibatkan kerusakan
otak.
4. Risiko kekambuhan penyakit yang sama di masa depan.
5. Rendahnya risiko terkena epilepsi dan tidak adanya manfaat
menggunakan terapi obat antiepilepsi dalam mengubah risiko itu.
Kriteria Rujukan
1. Apabila kejang tidak membaik setelah diberikan obat antikonvulsan
sampai lini ketiga (fenobarbital).
2. Jika diperlukan pemeriksaan penunjang seperti EEG dan pencitraan
(lihat indikasi EEG dan pencitraan)
Referensi
1. Esau, R. et al. 2006. British Columbia’s Children’s Hospital
Pediatric Drug Dosage Guidelines. 5th edition.Vancouver.
Department of Pharmacy Children’s and Women’s Health Centre of
British Columbia. (Esau, 2006)
2. Guidelines and protocol febrile seizures. September, 2010.

12. Tetanus Neonatorum


Tingkat Kemampuan: 3B
Definisi
Secara global hampir 14% penyebab kematian neonatus adalah
tetanus neonatorum. Tetanus neonatorum bertanggung jawab terhadap
50% kematian neonatus yang disebabkan oleh penyakit yang dapat
dicegah dengan imunisasi. Tetanus neonatorum dapat dicegah dengan
imunisasi dan atau pelayanan persalinan dan pasca persalinan yang bersih.
Beberapa penelitian komunitas di awal tahun 1970 dan 1980 di Negara
Amerika Latin dan beberapa Negara berkembang menunjukkan kematian
neonatal antara <5 sampai 60 kasus per 1000 kelahiran hidup. Di beberapa
negara berkembang kematian tetanus neonatorum merupakan 23-72% dari
total kematian neonatal.
Manifestasi Klinis
Gejala klinis timbul setelah toksin mencapai susunan saraf. Masa
inkubasi umumnya berkisar antara 3-10 hari. Trismus akibat spasme otot
masseter ditemukan pada lebih dari separuh penderita, diikuti kekauan otot
leher, kesulitan menelan dan mulut mencucu seperti mulut ikan. Spasme
otot punggung dan otot perut. Spasme dapat terjadi spontan atau terhadap
rangsangan dengan frekuensi yang bervariasi. Kesadaran masih intak.
Kriteria Diagnosis
Anamnesis, meliputi :
1. Penolong persalinan apakah tenaga medis/paramedis/non
medis/dukun bayi
2. Telah mendapat pelatihan atau belum
3. Alat yang dipakai memotong tali pusat
4. Ramuan apa yang dibubuhkan pada perawatan tali pusat
5. Status imunisasi TT ibu sebelum dan selama kehamilan
6. Sejak kapan bayi tidak dapat menetek (incubation period)
7. Berapa lama selang waktu antara gejala-gejala tidak dapat
menetek dengan gejala spasme pertama (period of onset)
Pemeriksaan Fisik
1. Kesadaran intak
2. Trismus
3. Kekakuan otot leher, punggung, perut
4. Mulut mencucu seperti mulut ikan
5. Kejang
Pemeriksaan Penunjang
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk tetanus
neonatorum. Diagnosis utamanya ditegakkan dengan adanya gejala klinis
seperti trismus, disfagia, kekakuan otot (muscular rigidity).
Diagnosis Banding
Semua penyebab kejang neonatus seperti Kongenital ( cerebral
anomalies ), perinatal (komplikasi persalinan, trauma perinatal & atau
perdarahan intracranial) dan postnatal (Intervensi & gangguan metabolik)
Komplikasi
Fraktur, dislokasi mandibular, hipoksia dan pneumonia aspirasi, Long
bone fractures
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dapat dilakukan dengan :
1. Eradikasi kuman
a. Tali pusat dibersihkan dengan alcohol 70% atau providon iodin.
b. Antibiotik
c. Penisilin prokain 50.000 IU/kg/kali IM, tiap 12 jam, atau
d. Ampisilin 50 mg/kg/dosis, atau
 Usia gestasi (UG) < 37 minggu
o n< 28 hari tiap 12 jam
o > 28 hari tiap 8 jam
 UG > 37 minggu
o < 7 hari tiap 12 jam
o > 7 hari tiap 8 jam
e. Metronidazole loading dose 15mg/kg/dosis, selanjutnya
7,5mg/kg/dosis, atau
f. Interval
 Usia < 28 hari tiap 12 jam
 Usia > 28 hari tiap 8 jam
g. Pemberian dosis rumatan
 UG < 37 minggu 24 jam setelah loading dose
 UG > 37 minggu 12 jam setelah loading dose
h. Eritromisin 15-25 mg/kg/dosis tiap 8 jam
Bila ada sepsis/pneumonia dapat ditambahkan sefotaksim 50
mg/kg/dosis
 UG < 30 minggu
o <28 hari tiap 12 jam
o >28 hari tiap 8 jam
 UG > 30 minggu
o < 14 hari tiap 12 jam
o > 14 hari tiap 8 jam
2. Netralisasi toksin
a. ATS 50.000 – 100.000 IU, setengah dosis IM, setengahnya IV,
dilakukan uji kulit lebih dahulu.
b. Bila tersedia dapat diberikan HTIG 3000-6000 IU IM
3. Memberikan pelemas otot untuk mengatasi spasme otot

Diazepam 20-40 mg/kgBB/hari, drip, dilarutkan dalam larutan


dekstrose 5% menggunakan syringe pump. Obat dibagi menjadi
empat sediaan untuk menghindari efek pengendapan obat
diazepam. Hati-hati terjadi henti napas dalam pemberiannya. Bila
diazepam telah mencapai dosis maksimal tetapi spasme tetap tidak
teratasi dianjurkan pemberian pelumpuh otot pankuronium 0,05-
0,1 mg/kgBB/kali dang penggunaan ventilator mekanik.
4. Terapi suportif
a. Pemberian oksigen
b. Pembersihan jalan nafas
c. Keseimbangan cairan, elektrolit dan kalori
5. Imunisasi
Diberikan imunisasi Tetanus Toksoid sesuai dengan jadwal
imunisasi diberikan pada saat penderita pulang.
Konseling dan Edukasi :
1. Pencegahan tetanus neonatorum dapat dilakukan dengan menjaga
proses persalinan tetap aseptic termasuk pada saat pemotongan tali
pusat.
2. Imunisasi aktif wanita hamil dengan 2 dosis Tetanus Toksoid 0,5 ml
dengan jarak penyuntikan 2 bulan dapat mencegah terjadinya penyakit
tetanus neonatroum.
Referensi
1. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana. 2004. Tetanus dalam Standar Pelayanan Medis Bagian Ilmu
Kesehatan Anak FK UNUD. Denpasar. (Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK
Universitas Udayana, 2004)
2. Wibowo, T. Tetanus Neonatorum dalam Buletin Jendela Data dan
Informasi. 2012. Volume 1. Jakarta. Kementrian Kesehatan RI. (Wibowo,
2012)
PSIKIATRI

1. Gangguan Somatoform
Tingkat kemampuan 4A
Definisi
Gangguan somatoform didefinisikan sebagai kelompok kelainan dimana
gejala fisik yang mengarahkan kepada dugaan gangguan medis namun tidak
dapat dibuktikannya patologi atau bukti-bukti yang mendukung penyakit fisik
sebagai penyebab gejala dan adanya dugaan kuat bahwa gejala-gejala tersebut
berkaitan dengan faktor psikologis. Gangguan ini mencakup interaksi antara
tubuh dengan pikiran (body-mind interaction).
Manifestasi Klinis
Keluhan
Pasien biasanya datang dengan keluhan fisik tertentu. Dokter harus
mempertimbangkan diagnosis gangguan somatoform bila terdapat beberapa
karakteristik berikut ini:
1. Keluhan atau gejala fisik berulang,
2. Dapat disertai dengan permintaan pemeriksaan medis,
3. Hasil pemeriksaan medis tidak menunjukkan adanya kelainan yang dapat
menjelaskan keluhan tesebut,
4. Onset dan kelanjutan dari keluhan berhubungan erat dengan peristiwa
kehidupan yang tidak menyenangkan atau konflik-konflik,
5. Pasien biasanya menolak upaya untuk membahas kemungkinan adanya
penyebab psikologis,
6. Dapat terlihat perilaku mencari perhatian (histrionik), terutama pada
pasien yang tidak puas karena tidak berhasil membujuk dokter menerima
persepsinya bahwa keluhan yang dialami merupakan penyakit fisik dan
memerlukan pemeriksaan lebih lanjut.

Selain untuk menegakkan diagnosis, anamnesis dilakukan untuk menggali


pemahaman dan persepsi pasien mengenai kondisi yang dialaminya. Seringkali
tujuan ini baru dapat dicapai setelah beberapa kali pertemuan. Dokter harus
mengklarifikasi keluhan-keluhan pasien hingga dicapai kesamaan persepsi. Selain
itu, perlu pula digali harapan dan keinginan pasien, keyakinan dan ketakutan yang
mungkin pasien miliki, serta stresor psikososial yang mungkin dialami dan
menjadi penyebab gangguan.
Tidak ada pemeriksaan fisis dan pemeriksaan penunjang spesifik yang
diperlukan untuk menegakkan diagnosis gangguan somatoform. Pemeriksaan fisis
dan penunjang dilakukan untuk mengeksklusi kelainan organik yang dianggap
relevan dengan keluhan pasien. Pemeriksaan penunjang yang terlalu berlebihan
perlu dihindari agar tidak menambah kekhawatiran pasien.
Kriteria Diagnosis
Berikut ini adalah langkah-langkah pendekatan terhadap keluhan fisik
pasien hingga dokter sampai pada kesimpulan diagnosis gangguan somatoform:
1. Mengeksklusi kelainan organik
Keluhan dan gejala fisik yang dialami oleh pasien perlu ditindaklanjuti sesuai
dengan panduan tatalaksana medis terkait, dengan melakukan anamnesis,
pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang yang relevan.
2. Mengeksklusi gangguan-gangguan psikiatri yang tergolong dalam kelompok
dan blok yang hirarkinya lebih tinggi.
Penegakkan diagnosis gangguan psikiatrik dilakukan secara hirarkis. Dalam
Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa III, gangguan
somatoform memiliki kode F45 dan merupakan blok penyakit yang termasuk
dalam kelompok F40-F48, yaitu gangguan neurotik, gangguan somatoform,
dan gangguan yang berkaitan dengan stres. Dengan demikian, pada kasus
gangguan somatoform, dokter perlu mengeksklusi gangguan mental organik
(F00-F09), gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan zat psikoaktif (F10-
F19), skizofrenia, gangguan skizotipal, dan gangguan waham (F20-F29), serta
gangguan suasana perasaan atau mood atau afektif (F30-F39). Pada blok F40-
F48 sendiri, dokter perlu terlebih dahulu memastikan ada tidaknya tanda- tanda
gangguan ansietas (F40-F41), obsesif kompulsif (F42), reaksi stres dan gangguan
penyesuaian (F43), dan gangguan disosiatif atau konversi (F44).
Gangguan somatoform tidak dapat ditegakkan bila gejala dan tanda pada
pasien memenuhi kriteria diagnostik gangguan di hirarki yang lebih tinggi.
3. Mengeksklusi kondisi factitious disorder dan malingering
Pada kondisi factitious disorder, pasien mengadopsi keluhan-keluhan fisik, tanpa
ia sadari, sebagai upaya memperoleh keuntungan internal, misalnya: untuk
mendapat perhatian lebih dari orang-orang tertentu di sekitarnya. Berbeda
halnya dengan kondisi malingering, di mana pasien sengaja atau berpura-pura
sakit untuk memperoleh keuntungan eksternal, misalnya: agar terhindar dari
tanggung jawab atau kondisi tertentu, atau untuk memperoleh kompensasi uang
tertentu). Pada gangguan somatoform, tidak ada keuntungan yang coba didapat
oleh pasien. Keluhan-keluhan yang disampaikan juga bukan sesuatu yang
disengaja, malahan adanya keluhan-keluhan tersebut dipicu, dipertahankan, dan
diperparah oleh kekhawatiran dan ketakutan tertentu.
4. Menggolongkan ke dalam jenis gangguan somatoform yang spesifik
Blok gangguan somatoform terdiri atas:
a. F45.0. Gangguan somatisasi
b. F45.1. Gangguan somatoform tak terinci
c. F45.2. Gangguan hipokondrik
d. F45.3. Disfungsi otonomik somatoform
e. F45.4. Gangguan nyeri somatoform menetap
f. F45.5. Gangguan somatoform lainnya
g. F45.6. Gangguan somatoform yang tidak tergolongkan (YTT)
Penatalaksanaan
Tujuan dari tatalaksana gangguan somatoform adalah mengelola
gejala dan bukan menyembuhkan, karena pada dasarnya tidak ada kelainan
medis yang dialami oleh pasien. Berikut ini adalah prinsip-prinsip dasar
pengelolaan pasien dengan gangguan somatoform:
1. Dokter harus menerima bahwa pasien memang betul-betul merasakan
gejala pada tubuhnya dan memahami bahwa gejala-gejala tersebut
mengganggu pasien. Dokter perlu melatih diri untuk tidak terlalu prematur
menganggap pasien berpura-pura (malingering) tanpa didukung bukti
yang kuat. Kunci utama tatalaksana gangguan somatoform adalah
membangun kemitraan dengan dan kepercayaan dari pasien.
2. Bila terdapat kecurigaan adanya gangguan somatoform, dokter perlu
mendiskusikan kemungkinan ini sedini mungkin dengan pasien. Bila
diagnosis gangguan somatoform sudah ditegakkan, dokter perlu
mendiskusikannya dengan pasien.
3. Dokter perlu mengedukasi pasien mengenai gangguan yang dialaminya
dengan berempati dan menghindari konfrontasi. Dokter harus
menunjukkan kesungguhan untuk membantu pasien sebaik-baiknya, tanpa
memaksa pasien untuk menerima pendapat dokter.
4. Pemeriksaan medis dan rujukan ke layanan sekunder yang tidak perlu
harus dihindari. Bila ada gejala baru, dokter perlu berhati-hati dalam
menganjurkan pemeriksaan atau rujukan.
5. Dokter harus memfokuskan penatalaksanaan pada fungsi pasien sehari-
hari, bukan gejala, serta pada pengelolaan gejala, bukan penyembuhan.
6. Dokter perlu menekankan modifikasi gaya hidup dan reduksi stres.
Keluarga pasien dapat dilibatkan dalam tatalaksana bila memungkinkan
dan diperlukan. Pasien mungkin perlu dibantu untuk mengindentifikasi serta
mengelola stres secara efektif, misalnya dengan relaksasi, breathing control.
Peningkatan aktifitas fisik dapat disarankan untuk mengurangi fatigue
dannyeri muskuloskeletal
7. Bila gangguan somatoform merupakan bagian dari kelainan psikiatrik lain,
dokter harus mengintervensi dengan tepat.
8. Dokter perlu menjadwalkan pertemuan yang reguler sebagai follow-up.
Pertemuan dapat singkat saja, misalnya 1 kali setiap bulan selama 5 – 10
menit, terutama untuk memberi dukungan dan reassurance. Dokter perlu
membatasi dan menghindari konsultasi via telepon atau kunjungan-
kunjungan yang bersifat mendesak.
9. Dokter perlu berkolaborasi dengan psikiater bila diperlukan, misalnya saat
penegakan diagnosis yang sulit, menentukan adanya komorbid psikiatrik
lain, atau terkait pengobatan.
Non-medikamentosa
Cognitive behavior therapy (CBT) merupakan salah satu tatalaksana
yang efektif untuk mengelola gangguan somatoform. Dalam CBT, dokter
memposisikan diri sebagai mitra yang membantu pasien. Tahap awal dari
CBT adalah mengkaji masalah pasien dengan tepat dan membantu pasien
mengidentifikasi hal-hal yang selama ini menimbulkan atau memperparah
gejala fisik yang dialami, misalnya distorsi kognitif, keyakinan yang tidak
realistis, kekhawatiran, atau perilaku tertentu. Tahap selanjutnya adalah
membantu pasien mengidentifikasi dan mencoba alternatif perilaku yang
dapat mengurangi atau mencegah timbulnya gejala-gejala fisik, yang dikenal
sebagai behavioral experiments.
Medikamentosa
Penggunaan obat harus berdasarkan indikasi yang jelas. Hanya sedikit
studi yang menunjukkan efektifitas yang signifikan dari penggunaan obat-
obat untuk tatalaksana gangguan somatoform. Antidepresan dapat diberikan
bila terdapat gejala-gejala depresi atau ansietas yang mengganggu.
Daftar Pustaka
1. Goldberg RM. Practical Guide to the Care of the Psychiatric Patient.
Philadelphia: Elsevier Mosby, 2007.
2. Ikatan Dokter Indonesia. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan Primer. 2014.

2. Demensia
Tingkat kemampuan 3A
Definisi
Demensia merupakan sindrom akibat penyakit otak yang bersifat kronik
progresif, ditandai dengan kemunduran fungsi kognitif multiple, termasuk
daya ingat (memori), daya pikir, daya tangkap (komprehensi), kemampuan
belajar, orientasi, kalkulasi, visuospasial, bahasa dan daya nilai. Gangguan
kognitif biasanya diikuti dengan deteriorasi dalam kontrolemosi, hubungan
sosial dan motivasi. Pada umumnya terjadi pada usia lanjut, ditemukan pada
penyakit Alzhaimer, penyakit serebrovaskular, dan kondisi lain yang secara
primer dan sekunder mempengaruhi otak.
Manifestasi Klinis
Keluhan
Keluhan utama adalah gangguan daya ingat, mudah lupa terhadap kejadian
yang baru dialami, dan kesulitan mempelajari informasi baru. Diawali dengan
sering lupa terhadap kegiatan rutin, lupa terhadap benda-benda kecil, pada
akhirnya lupa mengingat nama sendiri atau keluarga.
Faktor Risiko
Usia > 60 tahun (usialanjut).
Riwayat keluarga.
Adanya penyakit Alzheimer, serebrovaskular (hipertensi, penyakitjantung),
atau diabetes mellitus.
Pemeriksaan Fisik
1. Kesadaran sensorium baik.
2. Penurunan dayaingat yang bersifat kronik dan progresif. Gangguan fungsi
otak terutama berupa gangguan fungsi memori dan bahasa, seperti afasia,
aphrasia, serta adanya kemunduranf ungsi kognitif eksekutif.
3. Dilakukan pemeriksaan untuk menyingkirkan adanya gangguan
neurologik atau penyakit sistemik
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium dilakukan jika ada kecurigaan adanya kondisi
medis yang menimbulkan dan memperberat gejala. Dapat dilakukan Mini
Mental State Examination (MMSE).
Kriteria Diagnosis
Diagnosis Klinis
Pemeriksaan dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.
Kriteria Diagnosis
1. Adanya penurunan kemampuan daya ingat dan daya pikir yang sampai
mengganggu kegiatan harian seseorang
2. Tidak ada gangguan kesadaran
3. Gejala dan disabilitas sudah nyata untuk paling sedikit enam bulan
Klasifikasi
1. Demensia pada penyakit Alzheimer
2. Demensia Vaskular (Demensia multiinfark)
3. Demensia pada penyakit Pick (Sapi Gila)
4. Demensia pada penyakit Creufield-Jacob
5. Demensia pada penyakit Huntington
6. Demensia pada penyakit Parkinson
7. Demensia pada penyakit HIV/AIDS
8. Demensia tipe Alzheimer prevalensinya paling besar (50-60%), disusul
demensia vaskular (20-30%)
Diagnosis Banding
Delirium, Depresi, Gangguan Buatan, Skizofrenia
Penatalaksanaan
1. Non farmakologi
a. Modifikasi faktor resiko yaitu kontrol penyakit fisik, lakukan aktifitas
fisik sederhana seperti senam otak, stimulasi kognitif dengan
permintaan, kuis, mengisi teka-tekisilang, bermain catur.
b. Modifikasi lingkungan sekitar agar lebih nyaman dan aman bagi pasien.
c. Rencanakan aktivitas hidup sehari-hari (mandi, makan, dan lain-lain)
untuk mengoptimalkan aktivitas independen, meningkatkan fungsi,
membantu adaptasi dan mengembangkan keterampilan, serta
meminimalisasi kebutuhan akan bantuan.
d. Ajarkan kepada keluarga agar dapat membantu mengenal barang milik
pribadinya, mengenal waktu dengan menggunakan jam besar, kalender
harian, dapat menyebutkan namanya dan anggota keluarga terdekat,
mengenal lingkungan sekitar, beri pujian jika dapat menjawab dengan
benar, bicara dengan kalimat sederhana dan jelas (satu atau dua tahap
saja), bila perlu gunakan isyarat atau sentuhan lembut.
2. Farmakologi
a. Jangan berikan inhibitor asetilkolinesterase (seperti: donepzil,
galantamine dan rivastigmine) atau memantine secara rutin untuk
semua kasus demensia. Pertimbangkan pemberiannya hanya pada kondisi
yang memungkinkan diagnosis spesifik penyakit Alzheimer ditegakkan
dan tersedia dukungan serta supervisi adekuat oleh spesialis serta
pemantauan efek samping oleh pelaku rawat.
b. Bila pasien berperilaku agresif, dapat diberikan antipsikotik dosis
rendah, seperti Haloperidol 0,5 – 1 mg/hari.
Daftar Pustaka
1. Departemen Kesehatan RI. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan
Jiwa di Indonesia III, cetakan pertama, 1993.
2. Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia. Pedoman
Nasional Pelayanan Kedokteran Jiwa/Psikiatri, 2012.
3. World Health Organization. MH gap Intervention Guide for Mental,
Neurological and Substance Use Disorders in Non-Specialized Health
Settings, 2010.

3. Insomnia
Tingkat kemampuan 4A
Definisi
Insomnia adalah gejala atau gangguan dalam tidur, dapat berupa kesulitan
berulang untuk mencapai tidur, atau mempertahankan tidur yang optimal,
atau kualitas tidur yang buruk. Pada kebanyakan kasus, gangguan tidur adalah
salah satu gejala dari gangguan lainnya, baik mental (psikiatrik) atau fisik.
Manifestasi Klinis
Keluhan
Sulit masuk tidur, sering terbangun di malam hari atau mempertahankan
tidur yang optimal, atau kualitas tidur yang buruk.
Faktor Risiko
1. Adanya gangguan organik (seperti gangguan endokrin, penyakit jantung).
2. Adanya gangguan psikiatrik seperti gangguan psikotik, gangguan depresi,
gangguan cemas, dan gangguan akibat zat psikoaktif.
Faktor Predisposisi
1. Sering bekerja di malam hari .
2. Jam kerja tidak stabil.
3. Penggunaan alkohol, cafein atau zat adiktif yang berlebihan.
4. Efek samping obat.
5. Kerusakan otak, seperti: encephalitis, stroke, penyakit Alzheimer
Pemeriksaan Fisik
Pada status generalis, pasien tampak lelah dan mata cekung. Bila terdapat
gangguan organik, ditemukan kelainan pada organ.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan spesifik tidak diperlukan.
Kriteria Diagnosis
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis.
Pedoman Diagnosis
1. Keluhan adanya kesulitan masuk tidur atau mempertahankan tidur atau
kualitas tidur yang buruk
2. Gangguan terjadi minimal tiga kali seminggu selama minimal satu bulan.
3. Adanya preokupasi tidak bisa tidur dan peduli yang berlebihan terhadap
akibatnya pada malam hari dan sepanjang siang hari.
4. Ketidakpuasan terhadap kuantitas dan atau kualitas tidur menyebabkan
penderitaan yang cukup berat dan mempengaruhi fungsi dalam sosial dan
pekerjaan.
Diagnosis Banding
Gangguan Psikiatri, Gangguan Medikumum, Gangguan Neurologis,
Gangguan Lingkungan, Gangguan Ritmesirkadian.
Penatalaksanaan
1. Pasien diberikan penjelasan tentang faktor-faktor risiko yang dimilikinya
dan pentingnya untuk memulai pola hidup yang sehat dan mengatasi
masalah yang menyebabkan terjadinya insomnia.
2. Untuk obat-obatan, pasien dapat diberikan Lorazepam 0,5 – 2 mg atau
Diazepam 2-5 mg pada malam hari. Pada orang yang berusia lanjut atau
mengalami gangguan medik umum diberikan dosis minimal efektif.
Konseling dan Edukasi
Memberikan informasi kepada pasien dan keluarga agar mereka dapat
memahami tentang insomnia dan dapat menghindari pemicu terjadinya
insomnia.
Daftar Pustaka
1. Departemen Kesehatan RI. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis
Gangguan Jiwa di Indonesia III, cetakan pertama, 1993.
2. Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia. Pedoman
Nasional Pelayanan Kedokteran Jiwa/Psikiatri, 2012.
3. World Health Organization. MH gap Intervention Guide for Mental,
Neurological and Substance Use Disorders in Non-Specialized Health
Settings, 2010.

4. Gangguan campuran Anxietas dan Depresi


Tingkat kemampuan 3A
Definisi
Gangguan yang ditandai oleh adanya gejala-gejala anxietas (kecemasan)
dan depresi bersama-sama, dan masing-masing gejala tidak menunjukkan
rangkaian gejala yang cukup berat untuk dapat ditegakannya suatu diagnosis
tersendiri. Untuk gejala anxietas, beberapa gejala autonomik harus
ditemukan, walaupun tidak terus-menerus, di samping rasa cemas atau khawatir
berlebihan.
Manifestasi Klinis
Keluhan
Biasanya pasien datang dengan keluhan fisik seperti: nafas pendek/cepat,
berkeringat, gelisah, gangguan tidur, mudah lelah, jantung berdebar,
gangguan lambung, diare, atau bahkan sakit kepala yang disertai dengan rasa
cemas/khawatir berlebihan.
Allo dan Auto Anamnesis tambahan:
1. Adanya gejala seperti minat dalam melakukan aktivitas/semangat yang
menurun, merasa sedih/ murung, nafsu makan berkurang atau meningkat
berlebihan, sulit berkonsentrasi, kepercayaan diri yang menurun,
pesimistis.
2. Keluhan biasanya sering terjadi, atau berlangsung lama, dan terdapat
stresor kehidupan.
3. Menyingkirkan riwayat penyakit fisik dan penggunaan zat (alkohol,
tembakau, stimulan, dan lain-lain)
Faktor Risiko
1. Adanya faktorbiologis yang mempengaruhi, antara lain hiper aktivitas
sistem noradrenergik, faktorgenetik.
2. Ciri kepribadian tertentu yang imatur dan tidak fleksibel, seperti ciri
kepribadian dependen, skizoid, anankastik, cemas menghindar.
3. Adanya stres kehidupan.
Pemeriksaan Fisik
Respirasi meningkat, tekanan darah dapat meningkat, dan tanda lain sesuai
keluhan fisiknya.
Pemeriksaan penunjang
Laboratorium dan penunjang lainnya tidak ditemukan adanya tanda yang
bermakna. Pemeriksaan laboratorium bertujuan untuk menyingkirkan diagnosis
banding sesuai keluhan fisiknya.
Kriteria Diagnosis
Diagnosis Klinis
Diagnosis klinis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Kriteria diagnosis berdasarkan ICD 10, yaitu:adanya gejala-gejala kecemasan
dan depresi yang timbul bersama-sama, dan masing-masing gejala tidak
menunjukkan rangkaian gejala yang cukup berat untuk dapat ditegakkannya
suatu diagnosis tersendiri.
1. Gejala-gejala kecemasan antara lain:
a. Kecemasan atau khawatir berlebihan, sulit berkonsentrasi
b. Ketegangan motorik: gelisah, sakit kepala, gemetaran, tegang, tidak
dapat santai
c. Aktivitas autonomik berlebihan: palpitasi, berkeringat berlebihan,
sesak nafas, mulut kering, pusing, keluhan lambung, diare.
2. Gejala-gejala depresi antara lain: suasana perasaan sedih/murung,
kehilangan minat/kesenangan (menurunnya semangat dalam melakukan
aktivitas), mudah, lelah, gangguan tidur, konsentrasi menurun, gangguan
pola makan, kepercayaan diri yang berkurang, pesimistis, rasa tidak
berguna/rasa bersalah.
Diagnosis Banding
Gangguan Cemas (Anxietas) Organik, Gangguan Mental dan Perilaku
Akibat Penggunaan Zat, Gangguan Depresi, Gangguan Cemas Menyeluruh,
Gangguan Panik, Gangguan Somatoform.
Penatalaksanaan
1. Non-farmakologi
a. Konseling dan edukasi pada pasien dan keluarga
 Karena gangguan campuran cemas depresi dapat mengganggu
produktivitas pasien, keluarga perlu memahami bahwa hal ini bukan
karena pasien malas atau tidak mau mengerjakan tugasnya,
melainkan karena gejala-gejala penyakitnya itu sendiri, antara lain
mudah lelah serta hilang energi. Oleh sebab itu, keluarga perlu
memberikan dukungan agar pasien mampu dan dapat mengatasi
gejala penyakitnya.
 Gangguan campuran anxietas dan depresi kadang-kadang
memerlukan pengobatan yang cukup lama, diperlukan dukungan
keluarga untuk memantau agar pasien melaksanakan pengobatan
dengan benar, termasuk minum obat setiap hari.
b. Intervensi Psikososial
 Lakukan penentraman (reassurance) dalam komunikasi terapeutik,
dorong pasien untuk mengekspresikan pikiran perasaan tentang
gejala dan riwayat gejala.
 Beri penjelasan adanya pengaruh antara faktor fisik dan psikologis,
termasuk bagaimana faktor perilaku, psikologik dan emosi
berpengaruh mengeksaserbasi gejala somatik yang mempunyai dasar
fisiologik.
 Bicarakan dan sepakati rencana pengobatan dan follow-up,
bagaimana menghadapi gejala, dan dorong untuk kembali keaktivitas
normal.
 Ajarkan teknik relaksasi (teknik nafas dalam)
 Anjurkan untuk berolah raga teratur atau melakukan aktivitas yang
disenangi serta menerapkan perilaku hidup sehat.
 Ajarkan untuk selalu berpikir positif dan manajemen stres dengan
baik.
2. Farmakologi:
a. Untuk gejala kecemasan maupun depresinya, diberikan antidepresan
dosis rendah, dapat dinaikkan apabila tidak ada perubahan yang signifikan
setelah 2-3 minggu: fluoksetin 1x10-20 mg/hari atau sertralin
1x25-50 mg/hari atau amitriptilin 1x12,5-50 mg/hariatau imipramin 1-
2x10-25 mg/hari. Catatan: amitriptilin dan imipramin tidak boleh
diberikan pada pasien dengan penyakit jantung, dan pemberian berhati-
hati untuk pasien lansia karena efek hipotensi ortostastik (dimulai
dengan dosis minimal efektif).
b. Pada pasien dengan gejala kecemasan yang lebih dominan dan atau
dengan gejala insomnia dapat diberikan kombinasi fluoksetin atau
sertralin dengan antianxietas benzodiazepin. Obat-obatan antianxietas
jenis benzodiazepin yaitu: diazepam 1x2-5 mg atau lorazepam 1-2x0,5-
1 mg atau klobazam 2x5-10 mg atau alprazolam 2x 0,25-0,5mg. Setelah
kira-kira 2-4 minggu benzodiazepin ditappering-off perlahan, sementara
antidepresan diteruskan hingga 4-6 bulan sebelum ditappering-off.
Hati-hati potensi penyalahgunaan pada alprazolam karena waktu paruh
yang pendek.
Daftar Pustaka
1. Kaplan and Sadock, Synopsis of psychiatry, 7th edition, William and
Wilkins.
2. Departemen Kesehatan RI. Pedoman penggolongan dan diagnosis
Gangguan jiwa di Indonesia III, cetakan pertama, 1993.
3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia. Pedoman
Nasional Pelayanan Kedokteran Jiwa/ Psikiatri, 2012

5. Gangguan Psikotik
Tingkat kemampuan 3A
Definisi
Gangguan yang ditandai dengan ketidakmampuan atau hendaya berat
dalam menilai realita, berupa sindroma (kumpulan gejala), antara lain
dimanifestasikan dengan adanya halusinasi dan waham.
Manifestasi Klinis
Keluhan
Pasien mungkin datang dengan keluhan:
1. Sulit berpikir/sulit berkonsentrasi
2. Tidak dapat tidur, tidak mau makan
3. Perasaan gelisah, tidak dapat tenang, ketakutan
4. Bicara kacau yang tidak dapat dimengerti
5. Mendengar suara orang yang tidak dapat didengar oleh orang lain
6. Adanya pikiran aneh yang tidak sesuai realita
7. Marah tanpa sebab yang jelas, kecurigaan yang berat, perilaku kacau,
perilaku kekerasan
8. Menarik diri dari lingkungannya dan tidak merawat diri dengan baik
Alo dan Auto Anamnesis tambahan:
Singkirkan adanya kemungkinan penyakit fisik (seperti demam tinggi,
kejang, trauma kepala) dan penggunaan zat psikoaktif sebagai penyebab
timbulnya keluhan.
Faktor Risiko
1. Adanya faktor biologis yang mempengaruhi, antara lain hiperaktivitas
sistem dopaminergik dan faktor genetik.
2. Ciri kepribadian tertentu yang imatur, seperti ciri kepribadian skizoid,
paranoid, dependen.
3. Adanya stresor kehidupan.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik diperlukan untuk menyingkirkan penyebab organik dari
psikotiknya (gangguan mental organik). Selain itu pasien dengan gangguan
psikotik juga sering terdapat gangguan fisik yang menyertai karena perawatan
diri yang kurang.
Pemeriksaan Penunjang
1. Dilakukan jika dicurigai adanya penyakit fisik yang menyertai untuk
menyingkirkan diagnosis banding gangguan mental organik.
2. Apabila ada kesulitan dalam merujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan
tingkat lanjut maka pada faskes primer yang mampu perlu dilakukan
pemeriksaan penunjang yang sesuai seperti: darah perifer lengkap,
elektrolit, gula darah, fungsi hati, fungsi ginjal, serta radiologi dan EKG.
Kriteria Diagnosis
Diagnosis Klinis
Diagnosis klinis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Kriteria diagnosis berdasarkan ICD 10-PC, yaitu:
1. Halusinasi (terutama halusinasi dengar); merupakan gangguan persepsi
(persepsi palsu), tanpa adanya stimulus sensori eksternal. Halusinasi dapat
terjadi pada setiap panca indra, yaitu halusinasi dengar, lihat, cium, raba, dan
rasa.
2. Waham (delusi);merupakan gangguan pikiran, yaitu keyakinan yang
salah, tidak sesuai dengan realita dan logika, namun tetap dipertahankan dan
tidak dapat dikoreksi dengan cara apapun serta tidak sesuai dengan budaya
setempat. Contoh: waham kejar, waham kebesaran, waham kendali,
waham pengaruh.
3. Perilaku kacau atau aneh
4. Gangguan proses pikir (terlihat dari pembicaraan yang kacau dan tidak
dimengerti)
5. Agitatif
6. Isolasi sosial (social withdrawal)
7. Perawatan diri yang buruk
Diagnosis Banding
1. Gangguan Mental Organik (Delirium, Dementia, Psikosis Epileptik)
2. Gangguan Mental dan Perilaku akibat Penggunaan Zat (Napza)
3. Gangguan Afektif Bipolar/ Gangguan Manik
4. Gangguan Depresi (dengan gejala psikotik)
Penatalaksanaan
1. Intervensi Psikososial
a. Informasi penting bagi pasien dan keluarga
 Agitasi dan perilaku aneh merupakan gejala gangguan mental, yang
juga termasuk penyakit medis.
 Episode akut sering mempunyai prognosis yang baik, tetapi
perjalanan penyakit jangka panjang sulit diprediksi. Pengobatan perlu
dilanjutkan meskipun setelah gejala mereda.
 Gejala-gejala dapat hilang timbul. Diperlukan antisipasi dalam
menghadapi kekambuhan. Obat merupakan komponen utama dalam
pengobatan. Minum obat secara teratur akan mengurangi gejala-gejala
dan mencegah kekambuhan.
 Dukungan keluarga penting untuk ketaatberobatan (compliance) dan
rehabilitasi.
 Organisasi masyarakat dapat menyediakan dukungan yang berharga
untuk pasien dan keluarga.
b. Konseling pasien dan keluarga
 Bicarakan rencana pengobatan dengan anggota keluarga dan minta
dukungan mereka. Terangkan bahwa minum obat secara teratur dapat
mencegah kekambuhan. Informasikan bahwa obat tidak dapat dikurangi
atau dihentikan tiba-tiba tanpa persetujuan dokter. Informasikan juga
tentang efek samping yang mungkin timbul dan cara
penanggulangannya.
 Dorong pasien untuk melakukan fungsinya dengan seoptimal
mungkin di pekerjaan dan aktivitas harian lain.
 Dorong pasien untuk menghargai norma dan harapan masyarakat
(berpakaian, berpenampilan dan berperilaku pantas).
 Menjaga keselamatan pasien dan orang yang merawatnya pada fase
akut:
- Keluarga atau teman harus menjaga pasien.
- Pastikan kebutuhan dasar terpenuhi (misalnya makan dan
minum).
- Jangan sampai mencederai pasien.
 Meminimalisasi stres dan stimulasi:
- Jangan mendebat pikiran psikotik (anda boleh tidak setuju dengan
keyakinan pasien, tetapi jangan mencoba untuk membantah
bahwa pikiran itu salah). Sedapat mungkin hindari konfrontasi
dan kritik.
- Selama masa gejala-gejala menjadi lebih berat, istirahat dan
menghindari stres dapat bermanfaat.
 Agitasi yang berbahaya untuk pasien, keluarga dan masyarakat
memerlukan rawat inap atau pengamatan ketat di tempat yang aman.
2. Farmakologi
a. Berikan obat antipsikotik: Haloperidol 2-3 x 2-5 mg/hari atau
Risperidon 2x 1-3 mg/hari atau Klorpromazin 2-3 x 100-200 mg/hari.
Untuk haloperidol dan risperidon dapat digabungkan dengan
benzodiazepin (contoh: diazepam 2-3 x 5 mg, lorazepam 1-3 x 1-2
mg) untuk mengurangi agitasi dan memberikan efek sedasi.
Benzodiazepin dapat ditappering-off setelah 2-4 minggu. Catatan:
klorpromazin memiliki efek samping hipotensi ortostatik.
b. Intervensi sementara untuk gaduh gelisah dapat diberikan injeksi intra
muskular haloperidol kerja cepat (short acting) 5 mg, dapat diulangi
dalam 30 menit - 1 jam jika belum ada perubahan yang signifikan, dosis
maksimal 30 mg/hari. Atau dapat juga dapat diberikan injeksi intra
muskular klorpromazin 2-3 x 50 mg. Untuk pemberian haloperidol
dapat diberikan tambahan injeksi intra muskular diazepam untuk
mengurangi dosis ntipsikotiknya dan menambah efektivitas terapi.
Setelah stabil segera rujuk ke RS/RSJ.
c. Untuk pasien psikotik kronis yang tidak taat berobat, dapat
dipertimbangkan untuk pemberian injeksi depo (jangka panjang)
antipsikotik seperti haloperidol decanoas 50 mg atau fluphenazine
decanoas 25 mg. Berikan injeksi I.M ½ ampul terlebih dulu untuk 2
minggu, selanjutnya injeksi 1 ampul untuk 1 bulan. Obat oral jangan
diberhentikan dahulu selama 1-2 bulan, sambil dimonitor efek
samping, lalu obat oral turunkan perlahan.
d. Jika timbul efek samping ekstrapiramidal seperti tremor, kekakuan,
akinesia, dapat diberikan triheksifenidil 2-4 x 2 mg; jika timbul
distonia akut berikan injeksi diazepam atau difenhidramin, jika timbul
akatisia (gelisah, mondar mandir tidak bisa berhenti bukan akibat gejala)
turunkan dosis antipsikotik dan berikan beta-blocker, propranolol 2-3 x
10-20 mg.
3. Kunjungan Rumah (home visit)
Kunjungan rumah dilakukan sesuai indikasi untuk:
a. Memastikan kepatuhan dan kesinambungan pengobatan
b. Melakukan asuhan keperawatan
c. Melakukan pelatihan bagi pelaku rawat
Daftar Pustaka
1. Kaplan and Sadock, Synopsis of psychiatry, 7th edition, William and
Wilkins.
2. Departemen Kesehatan RI.Pedoman penggolongan dan diagnosis
Gangguan jiwa di Indonesia III, cetakan pertama, 1993.
3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia. Pedoman
Nasional Pelayanan Kedokteran Jiwa/ Psikiatri, 2012
SISTEM INDRA

MATA

1. Benda Asing di Konjungtiva


Tingkat kemampuan : 4A
Definisi
Benda asing di konjungtiva: benda yang dalam keadaan normal
tidak dijumpai di konjungtiva. Pada umumnya bersifat ringan, pada
beberapa keadaan dapat berakibat serius terutama pada benda asing yang
bersifat asam atau basa.
Manifestasi klinis
Pasien datang dengan keluhan adanya benda yang masuk ke dalam
mata. Gejala yang ditimbulkan berupa nyeri, mata merah, mata berair, rasa
tidak nyaman di mata, sensasi benda asing, dan fotofobia.
Faktor resiko adalah para pekerja di bidang industri yang tidak
memakai kacamata pelindung, seperti: pekerja gerinda, pekerja las,
pemotong keramik, pekerja yang terkait dengan bahan-bahan kimia (asam-
basa), dll.
Kriteria Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis yaitu mata merah,
mata berair, nyeri, rasa tidak nyaman di mata, sensasi adanya benda asing
dalam mata dan terkadang didapatkan fotofobia dan pemeriksaan fisik
didapatkan visus biasanya normal, ditemukan injeksi konjungtiva tarsal
dan atau bulbi serta ditemukannya benda asing pada konjungtiva tarsal
superior dan atau inferior dan atau konjungtiva bulbi.
Penatalaksanaan
A. Non-medikamentosa: Pengangkatan benda asing
Dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1. Berikan tetes mata Tetrakain-HCl 2% sebanyak 1-2 tetes pada
mata yang terkena benda asing.
2. Gunakan kaca pembesar (lup) dalam pengangkatan benda asing.
3. Angkat benda asing dengan menggunakan lidi kapas atau jarum
suntik ukuran 23G.
4. Arah pengambilan benda asing dilakukan dari tengah ke tepi.
5. Oleskan lidi kapas yang dibubuhkan Povidon Iodin pada tempat
bekas benda asing.
B. Medikamentosa
Antibiotik topikal (salep atau tetes mata), misalnya Kloramfenikol
tetes mata, 1 tetes setiap 2 jam selama 2 hari.
C. Konseling dan Edukasi
1. Memberitahu pasien agar tidak menggosok matanya agar tidak
memperberat lesi.
2. Menggunakan alat/kacamata pelindung pada saat bekerja atau
berkendara.
3. Menganjurkan pasien untuk kontrol bila keluhan bertambah berat
setelah dilakukan tindakan, seperti mata bertambah merah,
bengkak, atau disertai dengan penurunan visus.
D. Kriteria Rujukan
1. Bila terjadi penurunan visus
2. Bila benda asing tidak dapat dikeluarkan, misal: karena
keterbatasan fasilitas
Referensi
1. Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata. Edisi III. Cetakan V. Jakarta: Balai
Penerbit FK UI. 2008.
2. Vaughan, D.G. Oftalmologi Umum. Ed 14. Cetakan I. Jakarta:
Widya Medika. 2000.

2. Konjungtivitis
Tingkat kemampuan : 4A
Definisi
Konjungtivitis adalah radang konjungtiva yang dapat disebabkan
oleh mikroorganisme (virus, bakteri), iritasi, atau reaksi alergi.
Konjungtivitis ditularka n melalui kontak langsung dengan sumber infeksi.
Penyakit ini dapat menyerang semua umur.
Manifestasi Klinis
Anamnesis
Mata merah tanpa penurunan visus atau tajam penglihatan, rasa
mengganjal, gatal dan berair, terkadang disertai sekret. Faktor resiko
adalah daya tahan tubuh yang menurun, adanya riwayat atopi, riwayat
penggunaan lensa kontak dengan perawatan yang tidak baik, dan hygiene
personal yang buruk.
Pemeriksaan fisik
Didapatkan visus normal, injeksi konjungtiva, terkadang dapat
disertai dengan edema kelopak mata, kemosis, eksudasi yang dapat berupa
serous, mukopurulen, atau purulent tergantung etiologi dan pada
konjungtiva tarsal dapat ditemukan folikel, papil, flikten, membrane atau
pseudomembrane.
Pemeriksaan penunjang
Sediaan langsung swab konjungtiva dengan pewarnaan Gram atau
Giemsa dan pemeriksaan sekret dengan pewarnaan biru metilen pada
kasus konjngtivas gonore.
Kriteria Diagnosis
Diagnosis Klinis berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Klasifikasi Konjungtivitis
1. Konjungtivitis bakterial: Konjungtiva hiperemis, sekret purulen
atau mukopurulen dapat disertai membran atau pseudomembran di
konjungtiva tarsal. Curigai konjungtivitis gonore, terutama pada bayi
baru lahir, jika ditemukan konjungtivitis pada dua mata dengan
sekret purulen yang sangat banyak.
2. Konjungtivitis viral: Konjungtiva hiperemis, sekret umumnya
mukoserosa, dan pembesaran kelenjar preaurikular
3. Konjungtivitis alergi: Konjungtiva hiperemis, riwayat atopi atau
alergi, dan keluhan gatal.
Penatalaksanaan
A. Pemberian obat mata topikal
1. Pada infeksi bakteri: Kloramfenikol tetes sebanyak 1 tetes 6 kali
sehari atau salep mata 3 kali sehari selama 3 hari.
2. Pada alergi: Flumetolon tetes mata dua kali sehari selama 2
minggu.
3. Pada konjungtivitis gonore: Kloramfenikol tetes mata 0,5-1%
sebanyak 1 tetes tiap jam dan suntikan pada bayi diberikan 50.000
U/kgBB tiap hari sampai tidak ditemukan kuman GO pada sediaan
apus selama 3 hari berturut-turut.
4. Pada konjungtivitis viral: Salep Acyclovir 3%, 5 kali sehari selama
10 hari.
B. Konseling dan Edukasi
1. Konjungtivitis mudah menular, karena itu sebelum dan sesudah
membersihkan atau mengoleskan obat, penderita harus mencuci
tangannya bersih-bersih.
2. Jangan menggunakan handuk atau lap bersama-sama dengan
penghuni rumah lainnya.
3. Menjaga kebersihan lingkungan rumah dan sekitar.
C. Kriteria rujukan
1. Jika terjadi komplikasi pada kornea
2. Bila tidak ada respon perbaikan terhadap pengobatan yang
diberikan
Referensi
1. Riordan. Paul, E. Whitcher, John P. Vaughan & Asbury
Oftalmologi Umum. Ed 17. Jakarta: EGC. 2009.
2. Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata. Edisi III. Cetakan V.Jakarta:Balai
Penerbit FK UI. 2008.
3. Perdarahan subkonjungtiva
Tingkat Kemampuan : 4A
Definisi
Perdarahan subkonjungtiva adalah perdarahan akibat ruptur
pembuluh darah dibawah lapisan konjungtiva yaitu pembuluh darah
konjungtivalis atau episklera. Sebagian besar kasus perdarahan
subkonjungtiva merupakan kasus spontan atau idiopatik, dan hanya
sebagian kecil kasus yang terkait dengan trauma atau kelainan sistemik.
Perdarahan subkonjungtiva dapat terjadi di semua kelompok umur.
Perdarahan subkonjungtiva sebagian besar terjadi unilateral (90%).
Manifestasi Klinis
Anamnesis :
1. Pasien datang dengan keluhan adanya darah pada sklera atau mata
berwarna merah terang (tipis) atau merah tua (tebal).
2. Sebagian besar tidak ada gejala simptomatis yang berhubungan dengan
perdarahan subkonjungtiva selain terlihat darah pada bagian sklera.
3. Perdarahan akan terlihat meluas dalam 24 jam pertama setelah itu
kemudian akan berkurang perlahan ukurannya karena diabsorpsi.
Faktor Risiko :
1. Hipertensi atau arterosklerosis
2. Trauma tumpul atau tajam
3. Penggunaan obat, terutama pengencer darah
4. Manuver valsava, misalnya akibat batuk atau muntah
5. Anemia
6. Benda asing
7. Konjungtivitis
Pemeriksaan Fisik
1. Pemeriksaan status generalis
2. Pemeriksaan oftalmologi:
a. Tampak adanya perdarahan di sklera dengan warna merah terang
(tipis) atau merah tua (tebal).
b. Melakukan pemeriksaan tajam penglihatan umumnya 6/6, jika
visus <6/6 maka dicurigai terjadi kerusakan selain di konjungtiva
c. Pemeriksaan funduskopi adalah perlu pada setiap penderita
dengan perdarahan subkonjungtiva akibat trauma.
Kriteria Diagnosis
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik
Penatalaksanaan
1. Perdarahan subkonjungtiva akan hilang atau diabsorpsi dalam 1-2
minggu tanpa diobati.
2. Pengobatan penyakit yang mendasari bila ada.
A. Konseling dan Edukasi
Memberitahu keluarga bahwa:
1. Tidak perlu khawatir karena perdarahan akan terlihat meluas dalam
24 jam pertama, namun setelah itu ukuran akan berkurang perlahan
karena diabsorpsi.
2. Kondisi hipertensi memiliki hubungan yang cukup tinggi dengan
angka terjadinya perdarahan subkonjungtiva sehingga diperlukan
pengontrolan tekanan darah pada pasien dengan hipertensi.
B. Kriteria rujukan
Perdarahan subkonjungtiva harus segera dirujuk ke spesialis mata jika
ditemukan penurunan visus.
Referensi
1. Riordan. Paul, E. Whitcher, John P. Vaughan & Asbury
Oftalmologi Umum. Ed 17. Jakarta: EGC. 2009.
2. Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata. Edisi III. Cetakan V.Jakarta:Balai
Penerbit FK UI. 2008.

4. Blefaritis
Tingkat Kemampuan : 4A
Definisi
Blefaritis adalah radang pada tepi kelopak mata (margo palpebra)
yang dapat disertai terbentuknya ulkus dan dapat melibatkan folikel
rambut.
Manifestasi Klinis
Anamnesis :
1. Gatal pada tepi kelopak mata
2. Rasa panas pada tepi kelopak mata
3. Merah/hiperemia pada tepi kelopak mata
4. Terbentuk sisik yang keras dan krusta terutama di sekitar dasar bulu
mata
5. Kadang disertai kerontokan bulu mata (madarosis), putih pada bulu
mata (poliosis), dan trikiasis
6. Dapat keluar sekret yang mengering selama tidur, sehingga ketika
bangun kelopak mata sukar dibuka
Faktor Risiko :
1. Kelainan kulit, misalnya dermatitis seboroik
2. Higiene personal dan lingkungan yang kurang baik
Pemeriksaan Fisik :
1. Skuama atau krusta pada tepi kelopak.
2. Bulu mata rontok.
3. Dapat ditemukan tukak yang dangkal pada tepi kelopak mata.
4. Dapat terjadi pembengkakan dan merah pada kelopak mata.
5. Dapat terbentuk krusta yang melekat erat pada tepi kelopak mata.
Jika krusta dilepaskan, bisa terjadi perdarahan.
Kriteria Diagnosis
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik
Penatalaksanaan
A. Non-medikamentosa
a. Membersihkan kelopak mata dengan lidi kapas yang dibasahi air
hangat
b. Membersihkan dengan sampo atau sabun
c. Kompres hangat selama 5-10 menit
B. Medikamentosa
Apabila ditemukan ulkus pada kelopak mata, dapat diberikan salep atau
tetes mata antibiotik hingga gejala menghilang.
C. Konseling & Edukasi
1. Memberikan informasi kepada pasien dan keluarga bahwa kulit kepala,
alis mata, dan tepi palpebra harus selalu dibersihkan terutama pada
pasien dengan dermatitis seboroik.
2. Memberitahu pasien dan keluarga untuk menjaga higiene personal
dan lingkungan.
D. Kriteria Rujukan
Pasien dengan blefaritis perlu dirujuk ke layanan sekunder (dokter
spesialis mata) bila terdapat minimal satu dari kelainan di bawah ini:
1. Tajam penglihatan menurun
2. Nyeri sedang atau berat
3. Kemerahan yang berat atau kronis
4. Terdapat keterlibatan kornea
5. Episode rekuren
6. Tidak respon terhadap terapi
Referensi
1. Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata. Edisi III. Cetakan V. Jakarta: Balai
Penerbit FK UI. 2008.
2. Vaughan, D.G. Oftalmologi Umum. Ed 14. Cetakan I. Jakarta:
Widya Medika. 2000.

5. Hordeolum
Tingkat Kemampuan : 4A
Definisi
Hordeolum adalah peradangan supuratif kelenjar kelopak mata.
Biasanya merupakan infeksi Staphylococcus pada kelenjar sebasea
kelopak. Dikenal dua bentuk hordeolum internum dan eksternum.
Hordeolum eksternum merupakan infeksi pada kelenjar Zeiss atau Moll.
Hordeolum internum merupakan infeksi kelenjar Meibom yang terletak di
dalam tarsus. Hordeolum mudah timbul pada individu yang menderita
blefaritis dan konjungtivitis menahun.
Manifestasi Klinis
Pasien datang dengan keluhan kelopak yang bengkak disertai rasa
sakit. Gejala utama hordeolum adalah kelopak yang bengkak dengan rasa
sakit dan mengganjal, merah dan nyeri bila ditekan, serta perasaan tidak
nyaman dan sensasi terbakar pada kelopak mata. Pemeriksaan Fisik
Oftalmologis ditemukan kelopak mata bengkak, merah, dan nyeri pada
perabaan. Nanah dapat keluar dari pangkal rambut (hordeolum
eksternum). Apabila sudah terjadi abses dapat timbul undulasi.
Kriteria Diagnosis
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik
Penatalaksanaan
A. Penatalaksanaan
1. Mata dikompres hangat 4-6 kali sehari selama 15 menit setiap
kalinya untuk membantu drainase. Tindakan dilakukan dengan mata
tertutup.
2. Kelopak mata dibersihkan dengan air bersih atau pun dengan sabun
atau sampo yang tidak menimbulkan iritasi, seperti sabun bayi. Hal
ini dapat mempercepat proses penyembuhan. Tindakan dilakukan
dengan mata tertutup.
3. Jangan menekan atau menusuk hordeolum, hal ini dapat
menimbulkan infeksi yang lebih serius.
4. Hindari pemakaian make-up pada mata, karena kemungkinan hal itu
menjadi penyebab infeksi.
5. Jangan memakai lensa kontak karena dapat menyebarkan infeksi ke
kornea.
6. Pemberian terapi topikal dengan Oxytetrasiklin salep mata atau
kloramfenikol salep mata setiap 8 jam. Apabila menggunakan
kloramfenikol tetes mata sebanyak 1 tetes tiap 2 jam.
7. Pemberian terapi oral sistemik dengan Eritromisin 500 mg pada dewasa
dan anak sesuai dengan berat badan atau Dikloksasilin 4 kali sehari
selama 3 hari.
B. Konseling & Edukasi
Penyakit hordeolum dapat berulang sehingga perlu diberi tahu pasien
dan keluarga untuk menjaga higiene dan kebersihan lingkungan.
C. Rencana Tindak Lanjut
Bila dengan pengobatan konservatif tidak berespon dengan baik, maka
prosedur pembedahan mungkin diperlukan untuk membuat drainase
pada hordeolum.
D. Kriteria rujukan
1. Bila tidak memberikan respon dengan pengobatan konservatif
2. Hordeolum berulang
Referensi
1. Riordan, Paul E. Whitcher, John P. Vaughan & Asbury Oftalmologi
Umum. Ed 17. Jakarta: EGC. 2009. (Riordan & Whitcher, 2009)
2. Sastrawan, D. Dkk. Standar Pelayanan Medis Mata.Palembang:
Departemen Ilmu Kesehatan Mata RSUP M. Hoesin. 2007.
(Sastrawan, 2007)
3. Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata. Edisi III. Cetakan V.Jakarta: Balai
Penerbit FK UI. 2008. (Ilyas, 2008)

6. Dry Eye / Mata Kering


Tingkat Kemampuan : 4A
Definisi
Mata kering adalah suatu keadaan keringnya permukaan kornea
dan konjungtiva yang diakibatkan berkurangnya produksi komponen air
mata (musin, akueous, dan lipid). Mata kering merupakan salah satu
gangguan yang sering pada mata dengan insiden sekitar 10-30% dari
populasi dan terutama dialami oleh wanita berusia lebih dari 40 tahun.
Penyebab lain adalah meningkatnya evaporasi air mata akibat faktor
lingkungan rumah, kantor atau akibat lagoftalmus.
Manifestasi Klinis
Pasien datang dengan keluhan mata terasa gatal dan seperti
berpasir. Keluhan dapat disertai sensasi terbakar, merah, perih dan silau.
Pasien seringkali menyadari bahwa gejala terasa makin berat di akhir hari
(sore/malam).
Faktor Risiko
1. Usia > 40 tahun
2. Menopause
3.Penyakit sistemik, seperti: sindrom Sjogren, sklerosis sistemik
progresif, sarkoidosis, leukemia, limfoma, amiloidosis, dan
hemokromatosis
4. Penggunaan lensa kontak
5. Penggunaan komputer dalam waktu lama
Pemeriksaan Fisik
1. Visus normal
2. Terdapat foamy tears pada konjungtiva forniks
3. Penilaian produksi air mata dengan tes Schirmer menunjukkan hasil
<10 mm (nilai normal ≥20 mm).
Kriteria Diagnosis
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik
Penatalaksanaan
A. Penatalaksanaan
Pemberian air mata buatan, yaitu tetes mata karboksimetilselulosa atau
sodium hialuronat.
B. Konseling & Edukasi
Keluarga dan pasien harus mengerti bahwa mata kering adalah
keadaan menahun dan pemulihan total sukar terjadi, kecuali pada kasus
ringan, saat perubahan epitel pada kornea dan konjungtiva masih
reversibel.
C. Kriteria Rujukan
Dilakukan rujukan ke spesialis mata jika keluhan tidak berkurang
setelah terapi atau timbul komplikasi.
Komplikasi yang sering terjadi:
1. Keratitis
2. Penipisan kornea
3. Infeksi sekunder oleh bakteri
4. Neovaskularisasi kornea
Referensi
1. Gondhowiardjo, T. D. Simanjuntak, G. Panduan Manajemen Klinis
Perdami. 1th Ed. Jakarta: CV Ondo. 2006. (Gondhowiardjo &
Simanjuntak, 2006)
2. James, Brus.dkk. Lecture Notes Oftalmologi.Jakarta:Erlangga. 2005.
(Brus, 2005)
3. Riordan, Paul E. Whitcher, John P. Vaughan & Asbury Oftalmologi
Umum. Ed 17. Jakarta: EGC. 2009. (Riordan & Whitcher, 2009)
4. Sastrawan, D. Dkk. Standar Pelayanan Medis Mata.Palembang:
Departemen Ilmu Kesehatan Mata RSUP M. Hoesin. 2007. (Sastrawan,
2007)
5. Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata. Edisi III. Cetakan V.Jakarta: Balai
Penerbit FK UI. 2008. (Ilyas, 2008)

7. Laserasi Kelompak Mata


Tingkat kemampuan: 3B
Definisi
Laserasi kelopak adalah terpotongnya jaringan pada kelopak mata.
Penyebab laserasi kelopak dapat berupa sayatan benda tajam, trauma
tumpul (kecelakaan lalu lintas atau olahraga), maupun gigitan hewan.
Laserasi pada kelopak perlu ditangani segera agar fungsi dan kosmetik
kelopak dapat dipertahankan.
Manifestasi Klinis
Anamnesis :
1. Terdapat rasa nyeri periorbita
2. Perdarahan dan bengkak pada kelopak
3. Mata berair
4. Tidak terdapat penurunan tajam penglihatan bila cedera tidak
melibatkan bola mata
Faktor Risiko
Terdapat riwayat trauma tajam maupun tumpul
Pemeriksaan Fisik
1. Pemeriksaan refleks pupil dan tajam penglihatan
2. Pemeriksaan mata dengan lup dan senter untuk mengidentifikasi:
a. Luas dan dalamnya laserasi pada kelopak, termasuk identifikasi
keterlibatan tepi kelopak, kantus medial atau kantus lateral.
Pemeriksa dapat menggunakan lidi kapas selama pemeriksaan.
b. Adanya benda asing
c. Keterlibatan bola mata
Kriteria Diagnosis
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik
Penatalaksanaan
A. Penatalaksanaan
1. Bersihkan luka apabila diyakini bola mata intak
2. Pertimbangkan pemberian profilaksis tetanus
3. Berikan antibiotik sistemik
4.Segera rujuk ke dokter spesialis mata untuk mendapatkan penanganan
secepatnya
B. Konseling dan Edukasi
1. Memberitahu pasien bahwa luka pada kelopak perlu menjalani
pembedahan (menutup luka)
2. Menggunakan alat / kacamata pelindung pada saat bekerja atau
berkendara.
3. Anjurkan pasien untuk kontrol bila keluhan bertambah berat setelah
dilakukan tindakan, seperti mata bertambah merah, bengkak atau
disertai dg penurunan visus.
C. Kriteria Rujukan
Setelah dilakukan penatalaksanaan awal, pasien segera dirujuk ke
dokter mata.
Referensi
1. Karesh JW. The evaluation and management of eyelid trauma. Dalam
: Duane’s Clinical Ophthalmology, Volume 5. Philadelphia:
Lippincott Williams and Wilkins; 2006. (Karesh, 2006)
2. Ehlers JP, Shah CP, editors. The Wills Eye Manual-office and
emergency room diagnosis and treatment of eye disease. 5th edition.
Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins; 2008.

8. Trikiasis
Tingkat Kemampuan : 4A
Definisi
Trikiasis adalah kondisi di mana bulu mata tumbuh mengarah ke
dalam, yaitu ke arah permukaan bola mata, sehingga dapat menggores
kornea atau konjungtiva dan menyebabkan berbagai komplikasi, seperti
nyeri, erosi, infeksi, dan ulkus kornea. Data mengenai tingkat prevalensi
penyakit ini di Indonesia tidak ada. Dokter di pelayanan kesehatan primer
harus memiliki kompetensi menangani kasus trikiasis karena pasien-pasien
yang mengalami tanda maupun komplikasi dari trikiasis sangat mungkin
mencari pertolongan di layanan primer terlebih dahulu.
Manifestasi Klinis
Anamnesis
1.Keluhan pasien dapat bermacam-macam, misalnya: mata berair, rasa
mengganjal, silau bila terpapar cahaya, atau kelilipan. Penglihatan
dapat terganggu bila sudah timbul ulkus pada kornea.
2. Keluhan dapat dialami pada satu atau kedua mata.
3. Bila telah terjadi inflamasi, dapat timbul keluhan mata merah.
4. Terdapat riwayat penyakit yang berkaitan dengan faktor predisposisi,
misalnya: blefaritis, trakoma, trauma mekanik atau kimiawi, herpes
zoster oftalmik, dan berbagai kelainan yang menyebabkan timbulnya
sikatriks dan entropion.
5. Keluhan dapat dialami oleh pasien dari semua kelompok usia.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)
1. Beberapa atau seluruh bulu mata berkontak dengan permukaan bola
mata.
2. Dapat ditemukan entropion, yaitu terlipatnya margo palpebra ke arah
dalam.
3. Bila terdapat inflamasi atau infeksi, dapat ditemukan injeksi
konjungtival atau silier.
4. Kelainan pada kornea, misalnya: abrasi, ulkus, nebula / makula /
leukoma kornea.
5. Bila telah merusak kornea, dapat menyebabkan penurunan visus.
6. Bila terdapat ulkus pada kornea, uji fluoresein akan memberi hasil
positif.
7. Pemeriksaan harus dilakukan pada kedua mata, terlepas dari ada
tidaknya keluhan.
Kriteria Diagnosis
Diagnosis trikiasis ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan
fisis sebagaimana disebutkan sebelumnya. Tes fluoresens dapat
menunjukkan erosi atau ulkus kornea.
Penatalaksanaan
A. Non-medikamentosa
Epilasi, yaitu pencabutan bulu mata dengan pinset. Hal ini bertujuan
mengurangi gejala dan mencegah komplikasi pada bola mata.
Namun, bulu mata akan tumbuh kembali dalam waktu 4 – 6 minggu,
sehingga epilasi perlu diulang kembali.
B. Medikamentosa
Pengobatan topikal diberikan sesuai indikasi, misalnya: salep atau
tetes mata antibiotik untuk mengatasi infeksi.
C. Konseling dan Edukasi
1. Pasien perlu diinformasikan untuk menjaga kebersihan matanya dan
menghindari trauma pada mata yang dapat memperparah gejala.
2. Dokter perlu menjelaskan beberapa alternatif pilihan terapi, mulai
dari epilasi dan pengobatan topikal yang dapat dilakukan oleh dokter
di pelayanan kesehatan primer hingga operasi yang dilakukan oleh
spesialis mata di layanan sekunder. Terapi yang akan dijalani sesuai
dengan pilihan pasien.
D. Kriteria Rujukan
1. Bila tatalaksana di atas tidak membantu pasien, dapat dilakukan
rujukan ke layanan sekunder
2. Bila telah terjadi penurunan visus
3. Bila telah terjadi kerusakan kornea
Referensi
1. James, Brus.dkk. Lecture Notes Oftalmologi.Jakarta:Erlangga. 2005.
(Brus, 2005)
2. Riordan, Paul E. Whitcher, John P. Vaughan & Asbury Oftalmologi
Umum. Ed 17. Jakarta: EGC. 2009. (Riordan & Whitcher, 2009)

9. Hifema
Tingkat Kemampuan : 3A
Definisi
Hifema adalah terdapatnya akumulasi darah pada bilik mata depan.
Hifema dapat terjadi akibat trauma atau terjadi spontan. Hifema dapat
disertai dengan abrasi kornea, iritis, midriasis, atau gangguan struktur lain
pada mata akibat trauma penyebabnya. Hifema spontan jarang ditemui.
Hifema spontan dapat menjadi penanda terdapatnya rubeosis iridis,
gangguan koagulasi, penyakit herpes, masalah pada lensa intraokular
(IOL), retinoblastoma, serta leukemia.
Manifestasi Klinis
Anamnesis
1. Nyeri pada mata
2. Penglihatan terganggu (bila darah menutupi aksis visual)
3. Fotofobia/silau
Faktor Risiko
1. Hifema akibat trauma sering ditemui pada laki-laki usia muda
2. Hifema spontan disebabkan oleh neovaskularisasi iris (seperti pada
pasien diabetes dan oklusi vena retina), koagulopati, dan pemakaian
antikoagulan
Pemeriksaan Fisik
1. Visus umumnya turun
2. Tampak darah di bilik mata depan. Darah dapat tertampung di bagian
inferior bilik mata depan atau dapat memenuhi seluruh bilik mata
depan (hifema penuh).
3. Perhatikan apakah ada trauma pada bagian mata yang lain
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan tekanan intraokular dengan Tonometer Schiotz
Kriteria Diagnosis
Ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik
1. Anamnesis untuk mengidentifikasi gejala, riwayat trauma, serta
kemungkinan adanya faktor risiko lain.
2. Pemeriksaan tajam penglihatan
3. Pemeriksaan mata dengan senter dan lup untuk melihat adanya darah
di bilik mata, menilai lebar pupil, serta mengidentifikasi kelainan
kornea atau struktur lain akibat trauma.
4. Pemeriksaan tekanan intraokular dengan tonometer Schiotz bila tidak
terdapat defek pada kornea
Komplikasi
1. Perdarahan ulang (rebleeding), umumnya terjadi antara 2-5 hari
setelah trauma
2. Glaukoma sekunder
3. Atrofi saraf optik
4. Corneal blood staining
Penatalaksanaan
A. Penatalaksanaan
1. Pembatasan aktivitas fisik
2. Pelindung mata (protective shield)
3. Analgesik yang tidak mengandung NSAID (Non-Steroidal Anti
Inflammatory Drug)
4. Rujuk segera ke dokter spesialis mata di pelayanan kesehatan tingkat
sekunder atau tersier
B. Konseling dan Edukasi
1. Memberitahukan ke pasien bahwa kemungkinan pasien perlu dirawat
dan bed rest
2. Posisi tidur dengan elevasi kepala
C. Kriteria Rujukan
Semua pasien yang didiagnosis dengan hifema perlu dirujuk ke dokter
spesialis mata
Referensi
1. Vaughan, D.G. Oftalmologi Umum. Ed 14. Cetakan I. Jakarta: Widya
Medika. 2000
2. Ehlers JP, Shah CP, editors. The Wills Eye Manual-office and
emergency room diagnosis and treatment of eye disease. 5th edition.
Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins; 2008.

10. Miopia Ringan


Tingkat Kemampuan : 4A
Definisi
Miopia ringan adalah kelainan refraksi dimana sinar sejajar yang
masuk ke mata dalam keadaan istirahat (tanpa akomodasi) akan dibiaskan
ke titik fokus di depan retina.
Manifestasi Klinis
Anamnesis
Penglihatan kabur bila melihat jauh, mata cepat lelah, pusing dan
mengantuk, cenderung memicingkan mata bila melihat jauh. Tidak
terdapat riwayat kelainan sistemik, seperti diabetes mellitus, hipertensi, serta
buta senja. Faktor resiko adalah genetik dan faktor lingkungan meliputi
kebiasaan melihat/membaca dekat, kurangnya aktivitas luar rumah, dan
tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Hasil pemeriksaan visus dengan
Snellen Chart
Kriteria Diagnosis
Penegakan diagnosis berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan refraksi.
Penatalaksanaan
A. Penatalaksanaan
Koreksi dengan kacamata lensa sferis negatif terlemah yang
menghasilkan tajam penglihatan terbaik
B. Konseling dan Edukasi
1. Membaca dalam cahaya yang cukup dan tidak membaca dalam jarak
terlalu dekat.
2. Kontrol setidaknya satu kali dalam setahun untuk pemeriksaan refraksi,
bila ada keluhan.
C. Kriteria rujukan
1. Kelainan refraksi yang progresif
2. Kelainan refraksi yang tidak maju dengan koreksi atau tidak ditemukan
ukuran lensa yang memberikan perbaikan visus
3. Kelainan yang tidak maju dengan pinhole.
Referensi
1. Gondhowiardjo, T.D. Simanjuntak, G. Panduan Manajemen Klinis
Perdami, 1th Ed. Jakarta: CV Ondo. 2006.
2. Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata. Edisi III. Cetakan V. Jakarta:Balai
Penerbit FK UI. 2008. (Ilyas, 2008)
3. Soewono, W. Kuliah ilmu penyakit mata. RSUD Dr.Soetomo.
Surabaya. 1999. (Soewono, 1999)
4. RSUD Dr.Soetomo. Pedoman Diagnosis dan Terapi. Bag/SMF Ilmu
Penyakit Mata. 3rd Ed. 2006 (Bag/SMF Ilmu Penyakit Mata RSUD
Dr. Soetomo, 2006)

11. Hipermetropia Ringan


Tingkat kemampuan : 4A
Hipermetropia (rabun dekat) merupakan keadaan gangguan
kekuatan pembiasan mata dimana sinar sejajar jauh tidak cukup kuat
dibiaskan sehingga titik fokusnya terletak di belakang retina. Kelainan ini
menyebar merata di berbagai geografis, etnis, usia dan jenis kelamin.
Manifestasi Klinis
Anamnesis
1. Penglihatan kurang jelas untuk objek yang dekat.
2. Sakit kepala terutama daerah frontal dan makin kuat pada
penggunaan mata yang lama dan membaca dekat. Penglihatan tidak
enak (asthenopia akomodatif = eye strain) terutama bila melihat pada
jarak yang tetap dan diperlukan penglihatan jelas pada jangka waktu
yang lama, misalnya menonton TV dan lain-lain.
3. Mata sensitif terhadap sinar.
4. Spasme akomodasi yang dapat menimbulkan pseudomiopia. Mata
juling dapat terjadi karena akomodasi yang berlebihan akan diikuti
konvergensi yang berlebihan pula.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan visus dengan Snellen Chart
Pemeriksaan refraksi dengan trial lens dan trial frame
Kriteria Diagnosis
Penegakan diagnosis dengan anamnesis dan pemeriksaan refraksi.
Komplikasi
1. Esotropia atau juling ke dalam terjadi akibat pasien selamanya
melakukan akomodasi
2. Glaukoma sekunder terjadi akibat hipertrofi otot siliar pada badan siliar
yang akan mempersempit sudut bilik mata
3. Ambliopia
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
A. Penatalaksanaan
Koreksi dengan lensa sferis positif terkuat yang menghasilkan tajam
penglihatan terbaik.
B. Konseling dan Edukasi
Memberitahu keluarga jika penyakit ini harus dikoreksi dengan
bantuan kaca mata. Karena jika tidak, maka mata akan berakomodasi
terus menerus dan menyebabkan komplikasi.
C. Kriteria rujukan
Rujukan dilakukan jika timbul komplikasi.
Referensi
1. Gondhowiardjo, T.D. Simanjuntak, G. Panduan Manajemen Klinis
Perdami, 1th Ed. Jakarta: CV Ondo. 2006.
2. Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata. Edisi III. Cetakan V. Jakarta:Balai
Penerbit FK UI. 2008.
3. Vaughan, D.G. Oftalmologi Umum. Edisi 14. Cetakan I. Jakarta:
Widya Medika. 2000
12. Astigmatism Ringan
Tingkat Kemampuan: 4A
Definisi
Astigmatisme adalah keadaan di mana sinar sejajar tidak dibiaskan
pada satu titik fokus yang sama pada semua meridian. Hal ini disebabkan
oleh kelengkungan kornea atau lensa yang tidak sama pada berbagai
meridian.
Manifestasi Klinis
Pasien biasanya datang dengan keluhan penglihatan kabur dan
sedikit distorsi yang kadang juga menimbulkan sakit kepala. Pasien
memicingkan mata, atau head tilt untuk dapat melihat lebih jelas.
Pemeriksaan fisik keadaan umum biasanya baik. Pemeriksaan visus
dengan Snellen Chart akan menunjukkan tajam penglihatan tidak
maksimal dan akan bertambah baik dengan pemberian pinhole.
Kriteria Diagnosis
Penegakan diagnosis dilakukan berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan refraksi. Tajam penglihatan akan mencapai maksimal dengan
pemberian lensa silindris.
Penatalaksanaan
A. Penatalaksanaan
Penggunaan kacamata lensa silindris dengan koreksi yang sesuai.
B. Konseling dan Edukasi
Memberitahu keluarga bahwa astigmatisma merupakan gangguan
penglihatan yang dapat dikoreksi.
C. Kriteria Rujukan
Pasien perlu dirujuk ke layanan sekunder bila:
1. koreksi dengan kacamata tidak memperbaiki visus, atau
2. ukuran lensa tidak dapat ditentukan (misalnya astigmatisme berat).
Referensi
1. Gondhowiardjo, T.D. Simanjuntak, G. Panduan Manajemen Klinis
Perdami, 1th Ed. Jakarta: CV Ondo. 2006.
2. Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata. Edisi III. Cetakan V. Jakarta:Balai
Penerbit FK UI. 2008.
3. Vaughan, D.G. Oftalmologi Umum. Edisi 14. Cetakan I. Jakarta:
Widya Medika. 2000

13. Presbiopia
Tingkat Kemampuan: 4A
Definisi
Presbiopia adalah suatu kondisi yang berhubungan dengan usia
dimana penglihatan kabur ketika melihat objek berjarak dekat. Presbiopia
merupakan proses degeneratif mata yang pada umumnya dimulai sekitar usia
40 tahun. Kelainan ini terjadi karena lensa mata mengalami kehilangan
elastisitas dan kemampuan untuk berubah bentuk.
Manifestasi Klinis
Anamnesis
1. Penglihatan kabur ketika melihat dekat.
2. Gejala lainnya, setelah membaca mata terasa lelah, berair, dan sering
terasa perih.
3. Membaca dilakukan dengan menjauhkan kertas yang dibaca.
4. Terdapat gangguan pekerjaan terutama pada malam hari dan perlu sinar
lebih terang untuk membaca.
Faktor Risiko
Usia lanjut umumnya lebih dari 40 tahun.
Pemeriksaan Fisik
1. Pemeriksaan refraksi untuk penglihatan jarak jauh dengan
menggunakan Snellen Chart dilakukan terlebih dahulu.
2. Dilakukan refraksi penglihatan jarak dekat dengan menggunakan
kartu Jaeger. Lensa sferis positif (disesuaikan usia – lihat Tabel 1)
ditambahkan pada lensa koreksi penglihatan jauh, lalu pasien
diminta untuk menyebutkan kalimat hingga kalimat terkecil yang
terbaca pada kartu. Target koreksi sebesar 20/30.
Kriteria Diagnosis
Penegakan diagnosis berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Penatalaksanaan
A. Penatalaksanaan
Koreksi kacamata lensa positif
Tabel Koreksi lensa positif disesuaikan usia
USIA KOREKSI LENSA
40 tahun + 1,0D
45 tahun + 1,5 D
50 tahun +2,0 D
55 tahun +2,5 D
60 tahun +3,0 D
B. Konseling & Edukasi
1. Memberitahu pasien dan keluarga bahwa presbiopia merupakan
kondisi degeneratif yang dialami hampir semua orang dan dapat
dikoreksi dengan kacamata.
2. Pasien perlu kontrol setiap tahun, untuk memeriksa apakah terdapat
perubahan ukuran lensa koreksi.
Penatalaksanaan
1. Gondhowiardjo, T.D. Simanjuntak, G. Panduan Manajemen Klinis
Perdami, 1th Ed. Jakarta: CV Ondo. 2006.
2. Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata. Edisi III. Cetakan V. Jakarta:Balai
Penerbit FK UI. 2008.
3. Vaughan, D.G. Oftalmologi Umum. Edisi 14. Cetakan I. Jakarta:
Widya Medika. 2000

14. Buta Senja


Tingkat Kemampuan : 4A
Definisi
Buta senja atau rabun senja, disebut juga nyctalopia atau
hemarolopia, adalah ketidakmampuan untuk melihat dengan baik pada
malam hari atau pada keadaan gelap. Kondisi ini lebih merupakan tanda dari
suatu kelainan yang mendasari. Hal ini terjadi akibat kelainan pada sel
batang retina yang berperan pada penglihatan gelap. Penyebab buta senja
adalah defisiensi vitamin A dan retinitis pigmentosa.
Manifestasi Klinis
Penglihatan menurun pada malam hari atau pada keadaan gelap, sulit
beradaptasi pada cahaya yang redup. Pada defisiensi vitamin A, buta senja
merupakan keluhan paling awal. Pemeriksaan Fisik dapat ditemukan tanda-
tanda lain defisiensi vitamin A seperti kekeringan (xerosis) konjungtiva
bilateral, terdapat bercak bitot pada konjungtiva, Xerosis kornea, ulkus
kornea dan sikatriks kornea, kulit tampak xerosis dan bersisik, nekrosis
kornea difus atau keratomalasia
Kriteria Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Penatalaksanaan
A. Penatalaksanaan
1. Pada defisiensi vitamin A, diberikan vitamin A dosis tinggi.
2. Lubrikasi kornea.
3. Pencegahan terhadap infeksi sekunder dengan tetes mata antibiotik.
B. Konseling dan Edukasi
1. Memberitahu keluarga bahwa rabun senja disebabkan oleh kelainan
mendasar, yaitu defisiensi vitamin A dan retinitis pigmentosa.
2. Pada kasus defisiensi vitamin A, keluarga perlu diedukasi untuk
memberikan asupan makanan bergizi seimbang dan suplementasi
vitamin A dosis tinggi.
Referensi
1. Riordan, P.E. Whitcher, J.P. Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum.
Ed.17.Jakarta: EGC. 2009.
2. Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata. Ed. III. Cetakan V. Jakarta: Balai
Penerbit FK UI. 2008.
15. Glaukoma Akut
Tingkat Kemampuan: 3B
Definisi
Glaukoma akut adalah glaukoma yang diakibatkan peninggian
tekanan intraokular yang mendadak. Glaukoma akut dapat bersifat primer
atau sekunder. Glaukoma primer timbul dengan sendirinya pada orang
yang mempunyai bakat bawaan glaukoma, sedangkan glaukoma sekunder
timbul sebagai penyulit penyakit mata lain ataupun sistemik. Umumnya
penderita glaukoma telah berusia lanjut, terutama bagi yang memiliki risiko.
Bila tekanan intraokular yang mendadak tinggi ini tidak diobati segera akan
mengakibatkan kehilangan penglihatan sampai kebutaan yang permanen.
Manifestasi Klinis
Anamnesis
1. Mata merah
2. Tajam penglihatan turun mendadak
3. Rasa sakit atau nyeri pada mata yang dapat menjalar ke kepala
4. Mual dan muntah (pada tekanan bola mata yang sangat tinggi)
Pemeriksaan Fisik
1. Visus turun
2. Tekanan intra okular meningkat
3. Konjungtiva bulbi: hiperemia kongesti, kemosis dengan injeksi silier,
injeksi konjungtiva
4. Edema kornea
5. Bilik mata depan dangkal
6. Pupil mid-dilatasi, refleks pupil negatif
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan kasus glaukoma pada layanan primer bertujuan
menurunkan tekanan intra okuler sesegera mungkin dan kemudian
merujuk ke dokter spesialis mata di rumah sakit.
A. Non-Medikamentosa
Pembatasan asupan cairan untuk menjaga agar tekanan intra okular tidak
semakin meningkat
B. Medikamentosa
a. Asetazolamid HCl 500 mg, dilanjutkan 4 x 250 mg/hari.
b. KCl 0.5 gr 3 x/hari.
c. Timolol 0.5%, 2 x 1 tetes/hari.
d. Tetes mata kombinasi kortikosteroid + antibiotik 4-6 x 1 tetes
sehari
e. Terapi simptomatik.
C. Konseling dan Edukasi
Memberitahu keluarga bahwa kondisi mata dengan glaukoma akut
tergolong kedaruratan mata, dimana tekanan intra okuler harus segera
diturunkan
D. Kriteria Rujukan
Pada glaukoma akut, rujukan dilakukan setelah penanganan awal di
layanan primer.
Referensi
1. Gerhard, K.L. Oscar, Gabriele. Doris, Peter. Ophtalmology a short
textbook. 2ndEd. New York: Thieme Stuttgart. 2007.
2. Gondhowiardjo, T.D. Simanjuntak, G. Panduan Manajemen Klinis
Perdami, 1th Ed.Jakarta: CV Ondo. 2006.
3. James, Brus. Dkk. Lecture Notes Oftalmologi. Jakarta: Erlangga.
2005.
4. Riordan, P.E, Whitcher, J.P. Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum.
Ed17.Jakarta: EGC. 2009.

16. Glaukoma lainnya


Tingkat Kemampuan: 3B
Definisi
Glaukoma adalah kelompok penyakit mata yang umumnya
ditandai kerusakan saraf optik dan kehilangan lapang pandang yang
bersifat progresif serta berhubungan dengan berbagai faktor risiko
terutama tekanan intraokular (TIO) yang tinggi. Glaukoma merupakan
penyebab kebutaan kedua terbesar di dunia setelah katarak. Kebutaan
karena glaukoma tidak bisa disembuhkan, tetapi pada kebanyakan kasus
glaukoma dapat dikendalikan. Umumnya penderita glaukoma telah berusia
lanjut, terutama bagi yang memiliki risiko. Hampir separuh penderita
glaukoma tidak menyadari bahwa mereka menderita penyakit tersebut.
Manifestasi Klinis
Pasien datang dengan keluhan yang bervariasi dan berbeda
tergantung jenis glaukoma.
Glaukoma kronis dapat dibagi menjadi glaukoma kronis primer dan
sekunder.
1. Umumnya pada fase awal, glaukoma kronis tidak menimbulkan
keluhan, dan diketahui secarakebetulan bila melakukan pengukuran
TIO
2. Mata dapat terasa pegal, kadang-kadang pusing
3. Rasa tidak nyaman atau mata cepat lelah
4. Mungkin ada riwayat penyakit mata, trauma, atau pemakaian obat
kortikosteroid
5. Kehilangan lapang pandang perifer secara bertahap pada kedua mata
6. Pada glaukoma yang lanjut dapat terjadi penyempitan lapang
pandang yang bermakna hingga menimbulkan gangguan, seperti
menabrak-nabrak saat berjalan.
Faktor Risiko
1. Usia 40 tahun atau lebih
2. Ada anggota keluarga menderita glaukoma
3. Penderita miopia, penyakit kardiovaskular, hipertensi, hipotensi,
vasospasme, diabetes mellitus, dan migrain
4. Pada glaukoma sekunder, dapat ditemukan riwayat pemakaian obat
steroid secara rutin, atau riwayat trauma pada mata.
Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)
Glaukoma adalah penyakit mata yang ditandai oleh trias glaukoma, yang
terdiri dari:
1. Peningkatan tekanan intraokular
2. Perubahan patologis pada diskus optikus
3. Defek lapang pandang yang khas.
Pemeriksaan Oftalmologis
1. Visus normal atau menurun
2. Lapang pandang menyempit pada tes konfrontasi
3. Tekanan intra okular meningkat
4. Pada funduskopi, rasio cup / disc meningkat (rasio cup / disc normal:
0.3)
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan kasus glaukoma pada layanan primer bertujuan
mengendalikan tekanan intra okuler dan merujuk ke dokter spesialis mata
di rumah sakit.
A. Medikamentosa
Pengobatan umumnya medikamentosa dengan obat-obat
glaukoma, contohnya Timolol 0.5%, 2 x 1 tetes/hari. Jenis obat lain dapat
diberikan bila dengan 1 macam obat TIO belum terkontrol.
B. Konseling dan Edukasi
1. Memberitahu keluarga bahwa kepatuhan pengobatan sangat penting
untuk keberhasilan pengobatan glaukoma.
2. Memberitahu pasien dan keluarga agar pasien dengan riwayat
glaukoma pada keluarga untuk memeriksakan matanya secara
teratur.
C. Kriteria Rujukan
Pada glaukoma kronik, rujukan dilakukan segera setelah penegakan
diagnosis.
Referensi
1. Gerhard, K.L. Oscar, Gabriele. Doris, Peter. Ophtalmology a short
textbook. 2ndEd. New York: Thieme Stuttgart. 2007.
2. Gondhowiardjo, T.D. Simanjuntak, G. Panduan Manajemen Klinis
Perdami, 1th Ed.Jakarta: CV Ondo. 2006.
3. James, Brus. Dkk. Lecture Notes Oftalmologi. Jakarta: Erlangga.
2005.

THT (Telinga Hidung Tenggorokan)

1. Otitis Eksterna
Tingkat Kemampuan: 4A
Definisi
Otitis eksterna adalah radang pada liang telinga luar.
Klasifikasi otitis eksterna (OE):
1. OE akut
a. OE akut difus
b. OE akut sirkumskripta, yaitu infeksi folikel rambut yang
menimbulkan furunkel di liang telinga luar.
2. OE kronik
3. OE ekzematoid, yang merupakan manifestasi dari kelainan
dermatologis, seperti dermatitis atopik, psoriasis, atau SLE.
4. OE nekrotikans
Manifestasi Klinis
Anamnesis
1. Rasa sakit pada telinga (otalgia), yang bervariasi dari ringan hingga
hebat, terutama saat daun telinga disentuh dan mengunyah
2. Rasa penuh pada telinga
3. Pendengaran dapat berkurang
4. Terdengar suara mendengung (tinnitus)
5. Keluhan biasanya dialami pada satu telinga dan sangat jarang
mengenai kedua telinga dalam waktu bersamaan
6. Keluhan penyerta lain yang dapat timbul: demam atau meriang, telinga
terasa basah
Faktor Risiko:
1. Riwayat sering beraktifitas di air, misalnya: berenang, berselancar,
mendayung.
2. Riwayat trauma yang mendahului keluhan, misalnya: membersihkan
liang telinga dengan alat tertentu, memasukkan cotton bud,
memasukkan air ke dalam telinga.
3. Riwayat penyakit sistemik, seperti: diabetes mellitus, psoriasis,
dermatitis atopik, SLE, HIV.
Pemeriksaan Fisik
1. Nyeri tekan pada tragus
2. Nyeri tarik daun telinga
3. Otoskopi:
a. OE akut difus: liang telinga luar sempit, kulit liang telinga luar
hiperemis dan edem dengan batas yang tidak jelas, dan dapat
ditemukan sekret minimal.
b. OE akut sirkumskripta: furunkel pada liang telinga luar
4. Tes garputala: Normal atau tuli konduktif
Kriteria Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Penatalaksanaan
A. Non-medikamentosa:
a. Membersihkan liang telinga secara hati-hati dengan pengisap atau
kapas yang dibasahi dengan H2O2 3%.
b. Bila terdapat abses, dilakukan insisi dan drainase.
B. Medikamentosa:
a. Topikal
• Larutan antiseptik povidon iodine
• OE akut sirkumskripta pada stadium infiltrat:
Salep ikhtiol, atau
Salep antibiotik: Polymixin-B, Basitrasin.
• OE akut difus: Tampon yang telah diberi campuran Polimyxin-
B, Neomycin, Hidrocortisone, dan anestesi topikal.
b. Sistemik
• Antibiotik sistemik diberikan bila infeksi cukup berat.
• Analgetik, seperti Paracetamol atau Ibuprofen dapat diberikan.

C. Konseling dan Edukasi


Pasien dan keluarga perlu diberi penjelasan, di antaranya:
1. Tidak mengorek telinga baik dengan cotton bud atau alat
lainnya
2. Selama pengobatan pasien tidak boleh berenang
3. Penyakit dapat berulang sehingga harus menjaga liang telinga
agar dalam kondisi kering dan tidak lembab
D. Kriteria Rujukan
1. Otitis eksterna dengan komplikasi
2. Otitis eksterna maligna
Referensi
1. Heim SW, Maughan KL. Foreign Bodies in The Ear, Nose and Throat.
American Family Physician. 2007 Oct 15:76(8):1185-1189. (Heim &
Maughan, 2007)
2. Sosialisman, Hafil AF, Helmi. Kelainan Telinga Luar. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan THT KL. FKUI. Jakarta.

2. Otitis Media Akut


Tingkat Kemampuan : 4A
Definisi
Otitis media akut (OMA) adalah peradangan sebagian atau seluruh
mukosa telinga tengah, tuba eustachius, antrum mastoid, dan sel-sel
mastoid yang terjadi dalam waktu kurang dari 3 minggu.
Manifestasi Klinis
Keluhan (tergantung stadium OMA yang sedang dialami)
1. Stadium oklusi tuba
Telinga terasa penuh atau nyeri, pendengaran dapat berkurang.
2. Stadium hiperemis
Nyeri telinga makin intens, demam, rewel dan gelisah (pada
bayi / anak), muntah, nafsu makan hilang, anak biasanya sering
memegang telinga yang nyeri.
3. Stadium supurasi
Sama seperti stadium hiperemis
4. Stadium perforasi
Keluar sekret dari liang telinga
5. Stadium resolusi
Setelah sekret keluar, intensitas keluhan berkurang (suhu turun,
nyeri mereda, bayi / anak lebih tenang. Bila perforasipermanen,
pendengaran dapat tetap berkurang.
Faktor Risiko :
1. Bayi dan anak
2. Infeksi saluran napas atas berulang
3. Menyusu dari botol dalam posisi berbaring telentang
4. Kelainan kongenital, misalnya: sumbing langit-langit, sindrom
Down,
5. Paparan asap rokok
6. Alergi
7. Tingkat sosio-ekonomi yang rendah
Pemeriksaan fisik
1. Suhu dapat meningkat
2. Otoskopi
Tabel : Hasil otoskopi pada OMA
Stadium OMA Tampilan
Stadium oklusi tuba Membran timpani suram, retraksi, dan
refleks cahayanya hilang
Stadium hiperemis Membran timpani hiperemis dan edema
Stadium supurasi Membran timpani menonjol ke arah luar
(bulging) berwarna kekuningan
Stadium perforasi
 Perforasi membran timpani
 Liang telinga luar basah atau dipenuhi
sekret

Stadium resolusi  Membran timpani tetap perforasi atau utu


 Sekret di liang telinga luar sudah
berkurang atau mengering

3. Tes penala
Dapat ditemukan tuli konduktif, yaitu: tes Rinne (-) dan tes
Schwabach memendek pada telinga yang sakit, tes Weber terjadi
lateralisasi ke telinga yang sakit.
Pemeriksaan Penunjang
Audiometri nada murni, bila fasilitas tersedia
Kriteria Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
fisik.
Diagnosis Banding
Otitis media serosa akut, Otitis eksterna
Komplikasi
1. Komplikasi intra-temporal: Labirinitis, Paresis nervus fasialis,
Petrositis, Hidrosefalus otik
2. Komplikasi ekstra-temporal / intrakranial: Abses subperiosteal, Abses
epidura, Abses perisinus, Abses subdura, Abses otak, Meningitis,
Trombosis sinus lateral, Sereberitis
Penatalaksanaan
A. Medikamentosa
a. Topikal
i. Pada stadium oklusi tuba, terapi bertujuan membuka kembali
tuba eustachius. Obat yang diberikan adalah:
- Berikan tetes mata Tetrakain-HCl 2% sebanyak 1-2 tetes
pada mata yang terkena benda asing.
- Gunakan kaca pembesar (lup) dalam pengangkatan benda
asing.
- Angkat benda asing dengan menggunakan lidi kapas atau
jarum suntik ukuran 23G.
- Arah pengambilan benda asing dilakukan dari tengah ke
tepi.
- Oleskan lidi kapas yang dibubuhkan Povidon Iodin pada
tempat bekas benda asing.
ii. Pada stadium perforasi, diberikan obat cuci telinga:
- H2O2 3%, 3 kali sehari, 4 tetes di telinga yang sakit,
didiamkan selama 2 – 5 menit.
- Asam asetat 2%, 3 kali sehari, 4 tetes di telinga yang sakit.
- Ofloxacin, 2 kali sehari, 5 – 10 tetes di telinga yang sakit,
selama maksimal 2 minggu
b. Oral Sistemik: antibiotik, antihistamin (bila terdapat tanda-tanda
alergi), dekongestan, analgetik / antipiretik.
B. Konseling dan Edukasi
1. Untuk bayi / anak, orang tua dianjurkan untuk memberikan ASI
minimal 6 bulan sampai 2 tahun.
2. Menghindarkan bayi / anak dari paparan asap rokok.
C. Pencegahan
Imunisasi Hib dan PCV perlu dilengkapi, sesuai panduan Jadwal
Imunisasi Anak tahun 2014 dari IDAI.
Tabel : Daftar antibiotik untuk terapi OMA
Obat Dewasa Anak
Amoxicillin 3 x 500 mg/hari 25 – 50 mg/kgBB/hari, dibagi 3 dosis per
selama 10-14 hari hari
Trimetoprim – 2 x 160 mg TMP/hari 8 – 20 mg TMP/kgBB/hari, dibagi 2 dosis
Sulfametoksazol per hari
Amoxicillin – Asam 3 x 500 mg / hari 25 – 50 mg/kgBB/hari, dibagi 3 dosis per
Clavulanat hari
Erithromycin 4 x 500 mg/hari 25 – 50 mg/kgBB/hari, dibagi 4 dosis

D. Kriteria Rujukan
1. Jika terdapat indikasi miringotomi.
2. Bila terjadi komplikasi dari otitis media akut.
Referensi
1. Hafil, F., Sosialisman, Helmi. Kelainan Telinga Luar dalam Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Ed. ke-
6. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2007.

3. Otitis Media Supuratif Kronik


Tingkat Kemampuan : 3A
Definisi
Survei Nasional Kesehatan Indra Penglihatan dan Pendengaran
(1993-1996) di 8 provinsi Indonesia menunjukkan angka morbiditas THT
sebesar 38,6%. Otitis media supuratif kronik merupakan penyebab utama
gangguan pendengaran yang didapat pada anak-anak terutama pada negara
berkembang. Pada tahun 1990, sekitar 28.000 kematian di seluruh dunia
disebabkan oleh komplikasi otitis media.
Otitis media supuratif kronik (OMSK) adalah peradangan kronik
telinga tengah dengan perforasi membran timpani dan riwayat keluarnya
sekret dari telinga lebih dari 2 bulan, baik terus menerus maupun hilang
timbul. Terdapat dua tipe OMSK, yaitu OMSK tipe aman (tanpa
kolesteatoma) dan tipe bahaya (dengan kolesteatoma).
Manifestasi Klinis
1. Keluar cairan dari liang telinga secara terus menerus atau hilang
timbul lebih dari 2 bulan
2. Riwayat pernah keluar cairan dari liang telinga sebelumnya.
3. Cairan dapat berwarna kuning / kuning-kehijauan / bercampur
darah / jernih / berbau
4. Gangguan pendengaran
Faktor Risiko
Higienitas kurang dan gizi buruk, infeksi saluran nafas atas berulang,
daya tahan tubuh yang rendah, dan penyelam.
Pemeriksaan Fisik :
Otoskopi:
1. OMSK tipe aman (tubotimpani)
Perforasi pada sentral atau pars tensa berbentuk ginjal atau
bundar
Sekret biasanya mukoid dan tidak terlalu berbau
Mukosa kavum timpani tampak edema, hipertrofi, granulasi,
atau timpanosklerosis
2. OMSK tipe bahaya
Perforasi atik, marginal, atau sental besar (total)
Sekret sangat berbau, berwarna kuning abu-abu, purulen, dan
dapat terlihat kepingan berwarna putih mengkilat
Kolesteatoma
Pemeriksaan Penunjang
1. Tes garputala Rinne, Weber, Schwabach menunjukkan jenis
ketulian yang dialami pasien
2. Audiometri nada murni
3. Foto mastoid (bila tersedia)
Kriteria Diagnosis
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisis.
Komplikasi
1. Komplikasi intratemporal: Labirinitis, Paresis nervus fasialis,
Hidrosefalus otik, Petrositis
2. Komplikasi intrakranial Abses (subperiosteal, epidural, perisinus,
subdura, otak), Trombosis sinus lateralis, Sereberitis
Penatalaksanaan
A. Non-Medikamentos
Membersihkan dan mengeringkan saluran telinga dengan kapas lidi
atau cotton bud. Obat cuci telinga dapat berupa NaCl 0,9%, Asam
Asetat 2%, atau Hidrogen Peroksida 3%.
B. Medikamentosa
a. Antibiotik topikal golongan Ofloxacin, 2 x 4 tetes per hari di telinga
yang sakit
b. Antibiotik oral:
• Dewasa:
- Lini pertama : Amoxicillin 3 x 500 mg per hari selama 7 hari,
atau Amoxicillin-Asam clavulanat 3 x500 mg per hari selama 7
hari, atau Ciprofloxacin 2 x 500 mg selama 7 hari.
- Lini kedua : Levofloxacin 1 x 500 mg per hari selama 7 hari, atau
Cefadroxil 2 x 500 – 100 mg per hari selama 7 hari.
• Anak:
- Amoxicillin – Asam clavulanat 25 – 50 mg/kgBB/hari, dibagi
menjadi 3 dosis per hari, atau
- Cefadroxil 25 – 50 mg/kgBB/hari, dibagi menjadi 2 dosis per
hari.
C. Rencana Tindak Lanjut
Respon atas terapi dievaluasi setelah pengobatan selama 7 hari.
D. Konseling dan Edukasi
1. Menjaga kebersihan telinga dan tidak mengorek-ngorek telinga
dengan benda tajam.
2. Menjaga agar telinga tidak kemasukan air.
3. Menjelaskan bahwa penyakit ini merupakan penyakit infeksi
sehingga dengan penanganan yang tepat dapat disembuhkan tetapi
bila dibiarkan dapat mengakibatkan hilangnya pendengaran serta
komplikasi lainnya.
E. Kriteria Rujukan
1. OMSK tipe bahaya
2. Tidak ada perbaikan atas terapi yang dilakukan
3. Terdapat komplikasi ekstrakranial maupun intrakranial
4. Perforasi menetap setelah 2 bulan telinga kering
Referensi
1. Acuin J. Chronic suppurative otitis media: Burden of Illness and
Management Options. WHO Library Cataloguing in publication data.
2004. (J, 2004)
2. Verhoeff M, Van der Veen EL, Rovers MM, Sanders EAM, Schilder
AGM. Chronic suppurative otitis media: A review. International
Journal of Pediatric Otorhinolaryngology (2006) 70, 1-12. (Verhoeff, et
al., 2006)
3. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga-Hidung-Tenggorok Kepala Leher.
FKUI. 2001

4. Benda Asing di Telinga


Tingkat Kemampuan : 3A
Definisi
Meatus akustikus eksternus (MAE) merupakan salah satu bagian
tubuh yang sering dimasuki benda asing, yang dapat berupa:
 Benda asing reaktif, misal: batere, potongan besi. Benda asing
reaktif berbahaya karena dapat bereaksi dengan epitel MAE dan
menyebabkan edema serta obstruksi hingga menimbulkan infeksi
sekunder. Ekstraksi harus segera dilakukan.
 Benda asing non-reaktif (inert). Benda asing ini tidak bereaksi
dengan epitel dan tetap ada di dalam MAE tanpa menimbulkan gejala
hingga terjadi infeksi.
 Benda asing serangga, yang dapat menyebabkan iritasi dan nyeri
akibat pergerakannya.
Manifestasi Klinis
Keluhan
1. Riwayat jelas benda asing masuk ke telinga secara sengaja maupun
tidak
2. Telinga terasa tersumbat atau penuh
3. Telinga berdengung
4. Nyeri pada telinga
5. Keluar cairan telinga yang dapat berbau
6. Gangguan pendengaran
Faktor Risiko
1. Anak-anak
2. Retardasi mental
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan MAE dengan senter / lampu kepala / otoskop
menunjukkan adanya benda asing, edema dan hiperemia liang telinga luar,
serta dapat disertai sekret.
Komplikasi
Ruptur membran timpani, perdarahan liang telinga, otitis eksterna, tuli
konduktif
Penatalaksanaan
A. Non-medikamentosa: Ekstraksi benda asing
a. Pada kasus benda asing yang baru, ekstraksi dilakukan dalam
anestesi lokal.
b. Pada kasus benda asing reaktif, pemberian cairan dihindari karena
dapat mengakibatkan korosi.
c. Pada kasus benda asing berupa serangga:
Dilakukan penetesan alkohol, obat anestesi lokal (Lidokain
spray atau tetes), atau minyak mineral selama ± 10 menit untuk
membuat serangga tidak bergerak dan melubrikasi dinding MAE.
Setelah serangga mati, serangga dipegang dan dikeluarkan
dengan forceps aligator atau irigasi menggunakan air sesuai suhu
tubuh.
B. Medikamentosa
a. Tetes telinga antibiotik hanya diberikan bila telah dipastikan tidak
ada ruptur membran timpani.
b. Analgetik untuk mengurangi rasa nyeri
C. Konseling dan Edukasi
Orang tua disarankan untuk menjaga lingkungan anak dari benda-
benda yang berpotensi dimasukkan ke telinga atau hidung.
D. Kriteria Rujukan
Bila benda asing tidak berhasil dikeluarkan.
Referensi
1. Bernius M, Perlin D. Pediatric Ear, Nose, Throat Emergencies. Pediatric
Clinics of North America 53 (2006) 195-214. (Bernius & Perlin, 2006)
2. Heim SW, Maughan KL. Foreign Bodies in The Ear, Nose and Throat.
American Family Physician. 2007 Oct 15:76(8):1185-1189. (Heim &
Maughan, 2007)

5. Serumen Prop
Tingkat Kemampuan : 4A
Definisi
Serumen adalah sekret kelenjar sebasea, kelenjar seruminosa,
epitel kulit yang terlepas, dan partikel debu yang terdapat pada bagian
kartilaginosa liang telinga. Bila serumen ini berlebihan maka dapat
membentuk gumpalan yang menumpuk di liang telinga, dikenal dengan
serumen prop.
Manifestasi Klinis
Keluhan
1. Rasa penuh pada telinga
2. Pendengaran berkurang
3. Rasa nyeri pa da telinga
4. Keluhan semakin memberat bila telinga kemasukan air (sewaktu
mandi atau berenang)
5. Beberapa pasien juga mengeluhkan adanya vertigo atau tinitus
Faktor Risiko
1. Dermatitis kronik liang telinga luar
2. Liang telinga sempit
3. Produksi serumen banyak dan kering
4. Kebiasaan mengorek telinga
Pemeriksaan Fisik
1. Otoskopi: obstruksi liang telinga luar oleh material berwarna
kuning kecoklatan atau kehitaman. Konsistensi dari serumen
dapat bervariasi.
2. Tes penala: normal atau tuli konduktif
Pemeriksaan Penunjang
Tidak diperlukan pemeriksaan penunjang
Kriteria Diagnosis
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Diagnosis Banding
Benda asing di liang telinga.
Komplikasi
1. Otitis eksterna
2. Trauma pada liang telinga dan atau membran timpani saat
mengeluarkan serumen
Penatalaksanaan
A. Non-medikamentosa: Evakuasi serumen
a. Bila serumen lunak, dibersihkan dengan kapas yang dililitkan pada
pelilit kapas.
b. Bila serumen keras, dikeluarkan dengan pengait atau kuret.
Apabila dengan cara ini serumen tidak dapat dikeluarkan, maka
serumen harus dilunakkan lebih dahulu dengan tetes
Karbogliserin 10% atau H2O2 3% selama 3 hari.
c. Serumen yang sudah terlalu jauh terdorong kedalam liang telinga
sehingga dikuatirkan menimbulkan trauma pada membran timpani
sewaktu mengeluarkannya, dikeluarkan dengan mengalirkan
(irigasi) air hangat yang suhunya disesuaikan dengan suhu tubuh.
B. Medikamentosa
Tetes telinga Karbogliserin 10% atau H2O2 3% selama 3 hari
untuk melunakkan serumen.
C. Konseling dan Edukasi
1. Menganjurkan pasien untuk tidak membersihkan telinga secara
berlebihan, baik dengan cotton bud atau alat lainnya.
2. Menganjurkan pasien untuk menghindari memasukkan air atau
apapun ke dalam telinga
D. Kriteria rujukan:
Bila terjadi komplikasi akibat tindakan pengeluaran serumen.
Referensi
1. Adam, GL. Boies LR. Higler,.Boies. Buku Ajar Penyakit THT. Ed. ke-
6. Jakarta: EGC. 1997.
2. Hafil, F., Sosialisman, Helmi. Kelainan Telinga Luar dalam Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Ed. ke-
6. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2007.
3. Lee, K. Essential Otolaryngology, Head and Neck Surgery. Ed. Ke-8.
McGraw-Hill. 2003.
6. Furunkel Pada Hidung
Tingkat Kemampuan : 4A
Definisi
Furunkel adalah infeksi dari kelenjar sebasea atau folikel rambut
hidung yang melibatkan jaringan subkutan. Biasanya disebabkan oleh
Staphylococcus aureus. Penyakit ini memiliki insidensi yang rendah.
Belum terdapat data spesifik yang menunjukkan prevalensi furunkel.
Furunkel umumnya terjadi paling banyak pada anak-anak, remaja sampai
dewasa muda.
Manifestasi Klinis
Keluhan
1. Bisul di dalam hidung, disertai rasa nyeri dan perasaan tidak
nyaman.
2. Kadang dapat disertai gejala rinitis.
Faktor Risiko
1. Sosio ekonomi rendah
2. Higiene personal yang buruk
3. Rinitis kronis, akibat iritasi dari sekret rongga hidung.
4. Kebiasaan mengorek rinitisbagian dalam hidung.
Pemeriksaan Fisik
Pada lubang hidung tampak furunkel. Paling sering terdapat pada
lateral vestibulum nasi yang mempunyai vibrissae (rambut hidung).
Kriteria Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
fisik.
Komplikasi
1. Penyebaran infeksi ke vena fasialis, vena oftalmika, lalu ke sinus
kavernosus sehingga menyebabkan tromboflebitis sinus
kavernosus.
2. Abses.
3. Vestibulitis.
Penatalaksanaan
A. Non Medikamentosa
a. Kompres hangat
b. Insisi dilakukan jika telah timbul abses
B. Medikamentosa
a. Antibiotik topikal, seperti salep Bacitrasin dan Polimiksin B
b. Antibiotik oral selama 7-10 hari, yaitu Amoksisilin 3 x 500
mg/hari, Sefaleksin 4 x 250 – 500 mg/hari, atau Eritromisin 4 x
250 – 500 mg/hari.
C. Konseling dan Edukasi
1. Menghindari kebiasaan mengorek-ngorek bagian dalam hidung.
2. Tidak memencet atau melakukan insisi padafurunkel.
3. Selalu menjaga kebersihan diri.
Referensi
1. Adam, G.L. Boies L.R. Higler.Boies.Buku Ajar Penyakit THT. Ed. ke-6.
Jakarta: EGC. 1997.
2. Wardani, R.S. Mangunkusumo, E.Infeksi Hidung dalam Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala&Leher. Ed. ke-6.
Jakarta:Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007.

7. Rinitis Akut
Tingkat Kemampuan : 4A
Definisi
Rinitis akut adalah peradangan pada mukosa hidung
yangberlangsung akut (<12 minggu). Hal ini dapat disebabkan oleh infeksi
virus, bakteri, ataupun iritan. Radang sering ditemukan karena manifestasi
dari rinitis simpleks (common cold), influenza, penyakit eksantem (seperti
morbili, variola, varisela, pertusis), penyakit spesifik, serta sekunder dari
iritasi lokal atau trauma.
Manifestasi Klinis
Keluhan
1. Keluar ingus dari hidung (rinorea)
2. Hidung tersumbat
3. Dapat disertai rasa panas atau gatal pada hidung
4. Bersin-bersin
5. Dapat disertai batuk
Faktor Risiko
1. Penurunan daya tahan tubuh.
2. Paparan debu, asap, atau gas yang bersifat iritatif.
3. Paparan dengan penderita infeksi saluran napas.
Pemeriksaan Fisik
1. Suhu dapat meningkat
2. Rinoskopi anterior:
a. Tampak kavum nasi sempit, terdapat sekret serous atau
mukopurulen, mukosa konka udem dan hiperemis.
b. Pada rinitis difteri tampak sekret yang bercampur darah.
Membran keabu-abuan tampak menutup konka inferior dan
kavum nasi bagian bawah, membrannya lengket dan bila
diangkat mudah berdarah.
Kriteria Diagnosis
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Klasifikasi berdasarkan etiologi:
1. Rinitis Virus
a. Rinitis simplek (pilek, selesma, common cold, coryza)
Rinitis simplek disebabkan oleh virus. Infeksi biasanya terjadi
melalui droplet di udara. Beberapa jenis virus yang berperan antara
lain, adenovirus, picovirus, dan subgrupnya seperti rhinovirus,
dancoxsackievirus. Masa inkubasinya 1-4 hari dan berakhir dalam
2-3 minggu.
b. Rinitis influenza
Virus influenza A, Batau C berperan dalam penyakit ini. Tanda dan
gejalanya mirip dengan common cold. Komplikasi berhubungan
dengan infeksi bakteri sering terjadi.
c. Rinitis eksantematous
Morbili,varisela,variola,danpertusis,sering berhubungan dengan
rinitis, dimana didahului dengan eksantema sekitar 2-3 hari. Infeksi
sekunder dan komplikasi lebih sering dijumpai dan lebih berat.
2. Rinitis Bakteri
a. Infeksi non spesifik
Rinitis bakteri primer. Infeksi ini tampak pada anak dan biasanya
akibat dari infeksi pneumococcus, streptococcus atau
staphylococcus. Membran putih keabu-abuan yang lengket dapat
terbentuk di rongga hidung, dan apabila diangkat dapat
menyebabkan pendarahan / epistaksis.
Rinitis bakteri sekunder merupakan akibat dari infeksi bakteri pada
rinitis viral akut.
b. Rinitis Difteri
Disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae, dapat berbentuk
akut atau kronik dan bersifat primer pada hidung atau sekunder
pada tenggorokan. Harus dipikirkan pada penderita dengan riwayat
imunisasi yang tidak lengkap. Penyakit ini semakin jarang ditemukan
karena cakupan program imunisasi yang semakin meningkat.
3. Rinitis Iritan
Disebabkan oleh paparan debu, asap atau gas yang bersifat iritatif
seperti ammonia, formalin, gas asam dan lain-lain. Dapat juga
disebabkan oleh trauma yang mengenai mukosa hidung selama masa
manipulasi intranasal, contohnya pada pengangkatan corpus
alienum. Pada rinitis iritan terdapat reaksi yang terjadi segera yang
disebut dengan “immediate catarrhalreaction” bersamaan dengan
bersin, rinore, dan hidung tersumbat. Gejalanya dapat sembuh
cepat dengan menghilangkan faktor penyebab atau dapat menetap
selama beberapa hari jika epitel hidung telah rusak. Pemulihan
akan bergantung pada kerusakan epitel dan infeksi yang terjadi.
Diagnosis Banding
Rinitis alergi pada serangan akut, Rinitis vasomotor pada serangan
akut
Komplikasi
1. Rinosinusitis
2. Otitis media akut.
3. Otitis media efusi
4. Infeksi traktus respiratorius bagian bawah seperti laringitis,
trakeobronkitis, pneumonia.
Penatalaksanaan
A. Non medikamentosa
a. Istirahat yang cukup
b. Menjaga asupan yang bergizi dan sehat
B. Medikamentosa
a. Simtomatik: analgetik dan antipiretik (Paracetamol),
dekongestan topikal, dekongestan oral (Pseudoefedrin,
Fenilpropanolamin, Fenilefrin).
b. Antibiotik: bila terdapat komplikasi seperti infeksi sekunder
bakteri, Amoksisilin, Eritromisin, Sefadroksil.
c. Untuk rinitis difteri: Penisilin sistemik dan anti-toksin difteri.
C. Rencana Tindak Lanjut
Jika terdapat kasus rinitis difteri dilakukan pelaporan ke dinas
kesehatan setempat.
D. Konseling dan Edukasi
Memberitahu individu dan keluarga untuk:
1. Menjaga tubuh selalu dalam keadaan sehat.
2. Lebih sering mencuci tangan, terutama sebelum menyentuh
wajah.
3. Memperkecil kontak dengan orang-orang yang telah terinfeksi.
4. Menutup mulut ketika batuk dan bersin.
5. Mengikuti program imunisasi lengkap, sepertivaksinasi
influenza, vaksinasi MMR untuk mencegah terjadinya rinitis
eksantematosa.
6. Menghindari pajanan alergen bila terdapat faktor alergi sebagai
pemicu.
7. Melakukan bilas hidung secara rutin.
Referensi
1. Wardani, R.S. Mangunkusumo, E.Infeksi Hidung dalam Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala&Leher. Ed. ke-
6.Jakarta:Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007.

8. Rinitis Alergik
Tingkat Kemampuan : 4A
Definisi
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh
reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi oleh
alergen yang sama serta dilepaskan suatu mediator kimia ketika terjadi
paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut. Menurut WHO ARIA
(Allergic Rhinitis and it’s Impact on Asthma), 2001, rinitis alergi adalah
kelainan pada gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah
mukosa hidung terpapar alergen yang diperantai oleh Ig E.
Rinitis ditemukan di semua ras manusia, pada anak-anak lebih sering
terjadi terutama anak laki-laki. Memasuki usia dewasa, prevalensi laki-laki
dan perempuan sama. Insidensi tertinggi terdapat pada anak-anak dan
dewasa muda dengan rerata pada usia 8-11 tahun, sekitar 80% kasus rinitis
alergi berkembang mulai dari usia 20 tahun. Insidensi rinitis alergi
pada anak-anak 40% dan menurun sejalan dengan usia sehingga pada usia
tuarinitis alergi jarang ditemukan.
Manifestasi Klinis
Keluhan
Pasien datang dengan keluhan keluarnya ingus encer dari hidung
(rinorea), bersin, hidung tersumbat dan rasa gatal pada hidung (trias
alergi). Bersin merupakan gejala khas, biasanya terjadi berulang, terutama
pada pagi hari. Bersin lebih dari lima kali sudah dianggap patologik dan
perlu dicurigai adanya rinitis alergi dan ini menandakan reaksi alergi fase
cepat. Gejala lain berupa mata gatal dan banyak air mata.
Faktor Risiko
1. Adanya riwayat atopi.
2. Lingkungan dengan kelembaban yang tinggi merupakan faktor
risiko untuk untuk tumbuhnya jamur, sehingga dapat timbul gejala
alergis.
3. Terpaparnya debu tungau biasanya karpet serta sprai tempat
tidur, suhu yang tinggi.
Pemeriksaan Fisik
1. Perhatikan adanya allergic salute, yaitu gerakan pasien menggosok
hidung dengan tangannya karena gatal.
2. Wajah:
a. Allergic shiners yaitu dark circles di sekitar mata dan berhubungan
dengan vasodilatasi atau obstruksi hidung.
b. Nasal crease yaitu lipatan horizontal (horizontal crease) yang
melalui setengah bagian bawah hidung akibat kebiasaan
menggosok hidung keatas dengan tangan.
c. Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi,
sehingga akan menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi-geligi
(facies adenoid).
3. Faring: dinding posterior faring tampak granuler dan edema
(cobblestone appearance), serta dinding lateral faring menebal.
Lidah tampak seperti gambaran peta (geographic tongue).
4. Rinoskopi anterior:
a. Mukosa edema, basah, berwarna pucat atau kebiruan (livide),
disertai adanya sekret encer, tipis dan banyak. Jika kental dan
purulen biasanya berhubungan dengan sinusitis.
b. Pada rinitis alergi kronis atau penyakit granulomatous, dapat
terlihat adanya deviasi atau perforasi septum.
c. Pada rongga hidung dapat ditemukan massa seperti polip dan
tumor, atau dapat juga ditemukan pembesaran konka inferior yang
dapat berupa edema atau hipertropik. Dengan dekongestan
topikal, polip dan hipertrofi konkatidak akan menyusut,
sedangkan edema konka akan menyusut.
5. Pada kulit kemungkinan terdapat tanda dermatitis atopi.
Pemeriksaan Penunjang
Bila diperlukan dan dapat dilakukan di layanan primer.
1. Hitung eosinofil dalam darah tepi dan sekret hidung.
2. Pemeriksaan Ig E total serum
Kriteria Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang bila diperlukan.
Rekomendasi dari WHO Initiative ARIA (Allergic Rhinitis and it’s
Impact on Asthma), 2001, rinitis alergi dibagi berdasarkan sifat
berlangsungnya menjadi:
1. Intermiten, yaitu bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang
dari 4 minggu.
2. Persisten, yaitu bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan/atau
lebih dari 4 minggu.
Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi
menjadi:
1. Ringan, yaitu bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan
aktivitas harian,bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-
hal lain yang mengganggu.
2. Sedang atau berat, yaitu bila terdapat satu atau lebih dari gangguan
tersebut di atas.
Diagnosis Banding
Rinitis vasomotor, Rinitis akut
Komplikasi
Polip hidung, Sinusitis paranasal, Otitis media
Penatalaksanaan
A. Medikamentosa
1. Menghindari alergen spesifik
2. Pemeliharaan dan peningkatan kebugaran jasmani telah diketahui
berkhasiat dalam menurunkan gejala alergis
3. Terapi topikal dapat dengan dekongestan hidung topikal melalui
semprot hidung. Obat yang biasa digunakan adalah oxymetazolin
atau xylometazolin, namun hanya bila hidung sangat tersumbat dan
dipakai beberapa hari (< 2 minggu) untuk menghindari rinitis
medikamentosa.
4. Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala sumbatan hidung akibat
respons fase lambat tidak dapat diatasi dengan obat lain. Obat yang
sering dipakai adalah kortikosteroid topikal: beklometason,
budesonid, flunisolid, flutikason, mometason furoat dan
triamsinolon.
5. Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium bromida yang
bermanfaat untuk mengatasi rinorea karena aktivitas inhibisi reseptor
kolinergik pada permukaan sel efektor.
6. Terapi oral sistemik
a. Antihistamin
Anti histamin generasi 1: difenhidramin, klorfeniramin,
siproheptadin.
Anti histamin generasi 2: loratadin, cetirizine
b. Preparat simpatomimetik golongan agonis alfa dapat dipakai
sebagai dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi
antihistamin. Dekongestan oral: pseudoefedrin,
fenilpropanolamin, fenilefrin.
7. Terapi lainnya dapat berupa operasi terutama bila terdapat kelainan
anatomi, selain itu dapat juga dengan imunoterapi
B. Konseling dan Edukasi
Memberitahu individu dan keluarga untuk:
1. Menyingkirkan faktor penyebab yang dicurigai (alergen).
2. Menghindari suhu ekstrim panas maupun ekstrim dingin.
3. Selalu menjaga kesehatan dan kebugaran jasmani. Hal ini
dapatmenurunkan gejala alergi.
C. Pemeriksaan penunjang lanjutan
Bila diperlukan, dilakukan:
1. Uji kulit atau Prick Test, digunakan untuk menentukan alergen
penyebab rinitis alergi pada pasien.
2. Pemeriksaan radiologi dengan foto sinus paranasal.
D. Kriteria Rujukan
1. Bila perlu dilakukan Prick Test untuk mengetahui jenis alergen.
2. Bila perlu dilakukan tindakan operatif.
Referensi
1. Bousquet, J. Cauwenberge, P. ARIA (Allergic Rhinitis and Its Impact on
Asthma Initiative).
2. Irawati, N. Kasakeyan, E. Rusmono, N.Rhinitis Alergi dalam Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Ed. ke-6.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2007

9. Benda Asing di Hidung


Tingkat Kemampuan : 4A
Kasus benda asing di hidung sering ditemui oleh dokter di
pelayanan kesehatan primer. Kasus ini paling sering dialami oleh anak dan
balita. Terdapat dua jenis benda asing, yaitu benda hidup (organik) dan
benda mati (anorganik). Contoh benda asing organik, antara lain lintah,
lalat, larva, sedangkan benda asing anorganik, misalnya manik-manik,
kertas, tisu, logam, baterai kecil, kacang-kacangan, dan lain-lain.
Manifestasi Klinis
Keluhan
1. Hidung tersumbat
2. Onset tiba-tiba
3. Umumnya unilateral
4. Hiposmia atau anosmia
5. Setelah 2 – 3 hari, keluar sekret mukoid / mukopurulen dan berbau
di satu sisi hidung.
6. Dapat timbul rasa nyeri
7. Bila benda asing organik, terasa ada yang bergerak-gerak di dalam
rongga hidung. Khusus untuk lintah, sumbatan pada hidung
semakin memberat setiap hari.
8. Adanya laporan dari pasien atau orang tua mengenai adanya benda
yang masuk atau dimasukkan ke rongga hidung.
Faktor Risiko
Faktor-faktor yang meningkatkan kemungkinan masuknya benda
asing ke dalam rongga hidung:
1. Umur: biasanya anak ≤ 5 tahun
2. Adanya kegagalan mekanisme proteksi yang normal, misal:
keadaan tidur, kesadaran menurun, alkoholisme, epilepsi
3. Adanya masalah kejiwaan, emosi, dan gangguan psikiatrik
Pemeriksaan Fisik
Pada rinoskopi anterior, nampak:
1. Benda asing
2. Sekret purulen (bila sudah berlangsung 2 – 3 hari)
Pemeriksaan Penunjang:
Foto Rontgen kranium (Schedel) posisi AP dan lateral, bila diperlukan
dan fasilitas tersedia.
Kriteria Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
fisik.
Diagnosis Banding
Rinolit
Komplikasi
1. Obstruksi jalan napas akut akibat masuknya benda asing ke saluran
napas yang lebih distal (laring, trakea).
2. Pada benda asing organik berupa larva / ulat / lintah, dapat terjadi
destruksi mukosa dan kartilago hidung.
3. Benda asing baterai cepat merusak mukosa sehingga dapat masuk
ke dalam septum atau konka inferior dalam beberapa jam dan
menyebabkan perforasi septum.
4. Pada benda asing berupa lalat (miasis hidung), dapat terjadi invasi
ke intrakranium dan, walaupun jarang, dapat menyebabkan
meningitis yang fatal.
Penatalaksanaan
A. Non Medikamentosa
a. Tindakan ekstraksi benda asing secara manual dengan
menggunakan pengait tumpul atau pinset. Dokter perlu berhati-hati
agar tidak sampai mendorong benda asing lebih dalam sehingga
masuk ke saluran napas bawah.
b. Untuk lintah, sebelum ekstraksi, teteskan air tembakau ke dalam
rongga hidung dan biarkan 5 menit hingga lintah terlebih dahulu
terlepas dari mukosa hidung.
B. Medikamentosa
Pemberian antibiotik per oral selama 5 hari bila telah terjadi infeksi
sekunder.
C. Konseling dan Edukasi
1. Reassurance bahwa tidak ada kondisi berbahaya bila segera
dilakukan ekstraksi.
2. Sebelum tindakan dilakukan, dokter perlu menjelaskan mengenai
prosedur ekstraksi dan meminta persetujuan pasien / orang tua
(informed consent).
3. Setelah benda asing berhasil dikeluarkan, dokter dapat memberi
beberapa saran yang relevan untuk mencegah berulangnya kejadian
kemasukan benda asing ke hidung di kemudian hari, misalnya:
a. Pada orang tua, dapat lebih berhati-hati dalam meletakkan
benda-benda yang mudah atau sering dimasukkan ke dalam
rongga hidung.
b. Pada anak, dapat diingatkan untuk menghindari memasukkan
benda-benda ke dalam hidung.
c. Pada pekerja yang sering terpapar larva atau benda-benda
organik lain, dapat menggunakan masker saat bekerja.
D. Kriteria Rujukan
1. Pengeluaran benda asing tidak berhasil karena perlekatan atau
posisi benda asing sulit dilihat.
2. Pasien tidak kooperatif.
Referensi
1. Efiaty, A. Nurbaiti, I. Jenny, B. Ratna, D. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. 6th Ed. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI. 2007.
2. Buku Modul Hidung: Benda Asing 1st ed. Jakarta: Kolegium Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan Leher. 2008.
(Kolegium Ilmu Kesehatan THT-KL, 2008)

10. Epistaksis
Tingkat Kemampuan : 4A
Definisi
Epistaksis adalah perdarahan yang mengalir keluar dari hidung
yang berasal dari rongga hidung atau nasofaring. Epistaksis bukan suatu
penyakit, melainkan gejala dari suatu kelainan. Hampir 90% epistaksis dapat
berhenti sendiri. Perdarahan dari hidung dapat merupakan gejala yang
sangat mengganggu. Faktor etiologi dapat lokal atau sistemik. Sumber
perdarahan harus dicari dan dikoreksi untuk mengobati epistaksis secara
efektif.
Klasifikasi
1. Epistaksis Anterior
Epistaksis anterior paling sering berasal dari pleksus Kiesselbach,
yang merupakan sumber perdarahan paling sering dijumpai pada anak- anak.
Selain itu juga dapat berasal dari arteri etmoidalis anterior. Perdarahan
dapat berhenti sendiri (spontan) dan dapat dikendalikan dengan tindakan
sederhana.
2. Epistaksis Posterior
Pada epistaksis posterior, perdarahan berasal dari arteri sfenopalatina
atau arteri etmoidalis posterior. Epistaksis posterior sering terjadi pada orang
dewasa yang menderita hipertensi, arteriosklerosis, atau penyakit
kardiovaskuler. Perdarahan biasanya hebat dan jarang berhenti spontan.
Manifestasi Klinis
Keluhan
1. Keluar darah dari hidung atau riwayat keluar darah dari hidung.
2. Harus ditanyakan secara spesifik mengenai :
a. Lokasi keluarnya darah (depan rongga hidung atau ke
tenggorok)
b. Banyaknya perdarahan
c. Frekuensi
d. Lamanya perdarahan
Faktor Risiko
1. Trauma
2. Adanya penyakit di hidung yang mendasari, misalnya: rinosinusitis,
rinitis alergi.
3. Penyakit sistemik, seperti kelainan pembuluh darah, nefritis kronik,
demam berdarah dengue.
4. Riwayat penggunaan obat-obatan seperti NSAID, aspirin, warfarin,
heparin, tiklodipin, semprot hidung kortikosteroid.
5. Tumor, baik jinak maupun ganas yang terjadi di hidung, sinus
paranasal, atau nasofaring.
6. Kelainan kongenital, misalnya: hereditary hemorrhagic
telangiectasia / Osler's disease.
7. Adanya deviasi septum.
8. Pengaruh lingkungan, misalnya tinggal di daerah yang sangat
tinggi, tekanan udara rendah, atau lingkungan dengan udara yang
sangat kering.
9. Kebiasaan
Pemeriksaan Fisik
1. Rinoskopi anterior
Pemeriksaan harus dilakukan secara berurutan dari anterior ke
posterior. Vestibulum, mukosa hidung dan septum nasi, dinding
lateral hidung dan konka inferior harus diperiksa dengan cermat
untuk mengetahui sumber perdarahan.
2. Rinoskopi posterior
Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior penting pada
pasien dengan epistaksis berulang untuk menyingkirkan
neoplasma.
3. Pengukuran tekanan darah
Tekanan darah perlu diukur untuk menyingkirkan diagnosis
hipertensi, karena hipertensi dapat menyebabkan epistaksis
posterior yang hebat dan sering berulang.
Pemeriksaan Penunjang
Bila diperlukan:
1. Darah perifer lengkap
2. Skrining terhadap koagulopati (bleeding time, clotting time)

Kriteria Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang bila diperlukan.
Diagnosis Banding
Hemoptisis, Varises oesofagus yang berdarah, Perdarahan di basis
cranii, Karsinoma nasofaring, Angiofibroma hidung.
Komplikasi
1. Akibat pemasangan tampon anterior dapat timbul sinusitis (karena
ostium sinus tersumbat) dan sumbatan duktus lakrimal.
2.Akibat pemasangan tampon posterior dapat timbul otitis media,
haemotympanum, serta laserasi palatum mole dan sudut bibir bila
benang yang dikeluarkan melalui mulut terlalu kencang ditarik.
3. Akibat perdarahan hebat dapat terjadi syok dan anemia.
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Tiga prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis, yaitu :
1. Menghentikan perdarahan
2. Mencegah komplikasi
3. Mencegah berulangnya epistaksis
A. Penatalaksanaan
1. Perbaiki keadaan umum penderita,penderita diperiksa dalam posisi
duduk kecuali bila penderita sangat lemah atau keadaaan syok,
pasien bisa berbaring dengan kepala dimiringkan.
2. Pada anak yang sering mengalami epistaksis ringan, perdarahan
dapat dihentikan dengan cara duduk dengan kepala ditegakkan,
kemudian cuping hidung ditekan ke arah septum selama 3-5 menit
(metode Trotter).
3. Bila perdarahan berhenti, dengan spekulum hidung dibuka dan
dengan alat pengisap (suction) dibersihkan semua kotoran dalam
hidung baik cairan, sekret maupun darah yang sudah membeku.
4. Bila perdarahan tidak berhenti, masukkan kapas yang dibasahi ke
dalam hidung dengan larutan anestesi lokal yaitu 2 cc larutan
Pantokain 2% atau 2 cc larutan Lidokain 2% yang ditetesi 0,2 cc
larutan Adrenalin 1/1000. Hal ini bertujuan untuk menghilangkan
rasa sakit dan membuat vasokontriksi pembuluh darah sehingga
perdarahan dapat berhenti sementara untuk mencari sumber
perdarahan. Sesudah 10 sampai 15 menit kapas dalam hidung
dikeluarkan dan dilakukan evaluasi.
5. Pada epistaksis anterior, jika sumber perdarahan dapat dilihat
dengan jelas, dilakukan kaustik dengan lidi kapas yang dibasahi
larutan Nitras Argenti 15 – 25% atau asam Trikloroasetat 10%.
Sesudahnya area tersebut diberi salep antibiotik.
6. Bila dengan kaustik perdarahan anterior masih terus berlangsung,
diperlukan pemasangan tampon anterior dengan kapas atau kain
kasa yang diberi Vaselin yang dicampur betadin atau zat
antibiotika. Dapat juga dipakai tampon rol yang dibuat dari kasa
sehingga menyerupai pita dengan lebar kurang ½ cm, diletakkan
berlapis-lapis mulai dari dasar sampai ke puncak rongga hidung.
Tampon yang dipasang harus menekan tempat asal perdarahan dan
dapat dipertahankan selama 2 x 24 jam. Selama 2 hari dilakukan
pemeriksaan penunjang untuk mencari faktor penyebab epistaksis.
Selama pemakaian tampon, diberikan antibiotik sistemik dan
analgetik.
Gambar : Tampon anterior hidung
7. Untuk perdarahan posterior dilakukan pemasangan tampon
posterior, yang disebut tampon Bellocq. Tampon ini terbuat dari kasa
padat berbentuk bulat atau kubus berdiameter kira-kira 3 cm. Pada
tampon ini terdapat 3 buah benang, yaitu 2 buah pada satu sisi dan
sebuah pada sisi lainnya. Tampon harus dapat menutupi koana (nares
posterior). Teknik pemasangan tampon posterior, yaitu:
a. Masukkan kateter karet melalui nares anterior dari hidung
yang berdarah sampai tampak di orofaring, lalu tarik keluar
melalui mulut.
b. Ikatkan ujung kateter pada 2 buah benang tampon Bellocq,
kemudian tarik kembali kateter itu melalui hidung.
c. Tarik kedua ujung benang yang sudah keluar melalui nares
anterior dengan bantuan jari telunjuk, dorong tampon ke
nasofaring. Jika dianggap perlu, jika masih tampak
perdarahan keluar dari rongga hidung, maka dapat pula
dimasukkan tampon anterior ke dalam kavum nasi.
d. Ikat kedua benang yang keluar dari nares anterior pada sebuah
gulungan kain kasa di depan lubang hidung, supaya tampon
yang terletak di nasofaring tidak bergerak.
e. Lekatkan benang yang terdapat di rongga mulut dan terikat
pada sisi lain dari tampon Bellocq pada pipi pasien.
Gunanya adalah untuk menarik tampon keluar melalui
mulut setelah 2-3 hari.
f. Berikan juga obat hemostatik selain dari tindakan
penghentian perdarahan itu.

Gambar : Tampon posterior (Bellocq) untuk hidung


B. Rencana Tindak Lanjut
Setelah perdarahan dapat diatasi, langkah selanjutnya adalah
mencari sumber perdarahan atau penyebab epistaksis.
C. Konseling dan Edukasi
Memberitahu pasien dan keluarga untuk:
1. Mengidentifikasi penyebab epistaksis, karena hal ini
merupakan gejala suatu penyakit, sehingga dapat mencegah
timbulnya kembali epistaksis.
2. Mengontrol tekanan darah pada penderita dengan hipertensi.
3. Menghindari membuang lendir melalui hidung terlalu keras.
4. Menghindari memasukkan benda keras ke dalam hidung,
termasuk jari sehingga dibutuhkan pengawasan yang lebih
ketat pada pasien anak.
5. Membatasi penggunaan obat-obatan yang dapat
meningkatkan perdarahan seperti aspirin atau ibuprofen.
D. Pemeriksaan penunjang lanjutan
Pemeriksaan radiologi: Foto sinus paranasal bila dicurigai sinusitis.
E. Kriteria Rujukan
1. Bila perlu mencari sumber perdarahan dengan modalitas yang
tidak tersedia di layanan primer, misalnya naso-endoskopi.
2. Pasien dengan epistaksis yang curiga akibat tumor di rongga
hidung atau nasofaring.
3. Epistaksis yang terus berulang atau masif
Referensi
1. Iskandar, M. Teknik Penatalaksanaan Epistaksis. In: Cermin Dunia
Kedokteran. No. 132. 2001. p. 43-4 (Iskandar, 2001)
2. Mangunkusumo, E. Wardani, R.S.Epistaksisdalam Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala&Leher. Ed. ke-6.
Jakarta:Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007.

11. Rinitis Vasomotor


Tingkat Kemampuan : 4A
Rinitis vasomotor adalah salah satu bentuk rinitis kronik yang tidak
diketahui penyebabnya (idiopatik), tanpa adanya infeksi, alergi,
eosinofilia, perubahan hormonal, dan pajanan obat (kontrasepsi oral,
antihipertensi, B-bloker, aspirin,klorpromazin, dan obat topikal hidung
dekongestan). Rinitis non alergi dan mixed rhinitis lebih sering dijumpai
pada orang dewasa dibandingkan anak-anak, lebih sering dijumpai pada
wanita dan cenderung bersifat menetap.
Manifestasi Klinis
Keluhan
1. Hidung tersumbat, bergantian kiri dan kanan tergantung posisi tidur
pasien, memburuk pada pagi hari dan jika terpajan lingkungan non-
spesifik seperti perubahan suhu atau kelembaban udara, asap rokok, bau
menyengat.
2. Rinore yang bersifat serosa atau mukus, kadang-kadang jumlahnya agak
banyak.
3. Bersin-bersin lebih jarang dibandingkan rinitis alergika.
4. Lebih sering terjadi pada wanita.
Faktor Predisposisi
1. Obat-obatan yang menekan dan menghambat kerja saraf simpatis antara
lain: Ergotamin, Klorpromazine, obat anti hipertensi, dan obat
vasokonstriktor topikal.
2. Faktor fisik, seperti iritasi oleh asap rokok, udara dingin, kelembaban
udara yang tinggi, serta bau yang menyengat (misalnya, parfum).
3. Faktor endokrin, seperti kehamilan, masa pubertas, pemakaian
kontrasepsi oral, dan hipotiroidisme.
4. Faktor psikis, seperti rasa cemas, tegang, dan stress.
Pemeriksaan Fisik
Rinoskopi anterior:
1. Tampak gambaran konka inferior membesar (edema atau
hipertrofi), berwarna merah gelap atau merah tua atau pucat.
Untuk membedakan edema dengan hipertrofi konka, dokter
dapat memberikan larutan Epinefrin 1/10.000 melalui tampon
hidung. Pada edema, konka akan mengecil, sedangkan pada
hipertrofi tidak mengecil.
2. Terlihat adanya sekret serosa dan biasanya jumlahnya tidak
banyak. Akan tetapi pada golongan rinore tampak sekret serosa
yang jumlahnya sedikit lebih banyak dengan konka licin atau
berbenjol-benjol.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk menyingkirkan
kemungkinan rinitis alergi. Pemeriksaan dilakukan bila diperlukan
dan fasilitas tersedia di layanan primer, yaitu:
1. Kadar eosinofil pada darah tepi atau sekret hidung
2. Tes cukit kulit (skin prick test)
3. Kadar IgE spesifik
Kriteria Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkananamnesis,pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang bila diperlukan.
Berdasarkan gejala yang menonjol, kelainan ini dibedakan dalam 3
golongan, yaitu:
1. Golongan bersin (sneezer): gejalabiasanya memberikan respon baik
dengan terapi antihistamin dan glukokortikoid topikal.
2. Golongan rinore (runners): gejala rinore yang jumlahnya banyak.
3. Golongan tersumbat (blockers): gejala kongesti hidung dan hambatan
aliran udara pernafasan yang dominan dengan rinore yang
minimal.
Diagnosis Banding
Rinitis alergi, Rinitis medikamentosa, Rinitis akut
Komplikasi
Anosmia, Rinosinusitis
Penatalaksanaan
A. Non medikamentosa
Kauterisasi konka yang hipertofi dapat menggunakan larutan
AgNO3 25% atau trikloroasetat pekat.
B. Medikamentosa
a. Tatalaksana dengan terapi kortikosteroid topikal dapat diberikan,
misalnya Budesonide 1-2 x/hari dengan dosis 100-200 mcg/hari.
Dosis dapat ditingkatkan sampai 400 mcg/hari. Hasilnya akan
terlihat setelah pemakaian paling sedikit selama 2 minggu. Saat
ini terdapat kortikosteroid topikal baru dalam aqua seperti
Fluticasone Propionate dengan pemakaian cukup 1 x/hari
dengan dosis 200 mcg selama 1-2 bulan.
b. Pada kasus dengan rinorea yang berat, dapat ditambahkan
antikolinergik topikal Ipratropium Bromide.
c.Tatalaksana dengan terapi oral dapat menggunakan preparat
simpatomimetik golongan agonis alfa (Pseudoefedrin,
Fenilpropanolamin, Fenilefrin) sebagai dekongestan hidung oral
dengan atau tanpa kombinasi antihistamin.
C. Konseling dan Edukasi
Memberitahu individu dan keluarga untuk:
1. Mengidentifikasi dan menghindari faktor pencetus, yaitu iritasi
terhadap lingkungan non-spesifik.
2. Berhenti merokok.
D. Kriteria Rujukan
Jika diperlukan tindakan operatif
Referensi
1. Irawati, N., Poerbonegoro, NL., Kasakeyan, E. Rhinitis Vasomotor
dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala
& Leher. Ed ke-6. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
2007.
2. Lee, K. Essential Otolaryngology, Head and Neck Surgery. Ed. Ke-8.
McGraw-Hill. 2003.
SISTEM RESPIRASI

1. Influenza
Tingkat kemampuan 4A
Definisi
Influenza, sering dikenal dengan flu adalah penyakit menular disebabkan
oleh virus RNA yaitu virus influenza A, B dan lebih jarang C. Virus influenza
terus mengalami perubahan, sehingga dalam beberapa waktu akan
mengakibatkan wabah (pandemik) yang parah. Virus ini menyerang saluran
napas atas dan paru-paru.
Manifestasi Klinis
Keluhan
Keluhan yang sering muncul adalah demam, bersin, batuk, sakit
tenggorokan, hidung meler, nyeri sendi dan badan, sakit kepala, lemah badan.
Faktor Risiko
1. Daya tahan tubuh menurun
2. Kepadatan hunian dan kepadatan penduduk yang tinggi
3. Perubahan musim/cuaca
4. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
5. Usia lanjut
Pemeriksaan Fisik
Tanda Patognomonis
1. Febris
2. Rinore
3. Mukosa hidung edema
Pemeriksaan penunjang: tidak diperlukan
Kriteria Diagnosis
Diagnosis Klinis
Penegakan diagnosis influenza membutuhkan ketelitian, karena
keluhannya hampir sama dengan penyakit saluran pernapasan lainnya.
Influenza dapat didiagnosis berdasarkan 4 kriteria berikut:
1. Terjadi tiba-tiba/akut
2. Demam
3. Gejala saluran pernapasan seperti batuk, tidak ada lokasi spesifik dari
keluhan yang timbul
4. Terdapat penyakit serupa di lingkungan penderita
Ketika terdapat kasus influenza di masyarakat, semua pasien dengan keluhan
influenza harus didiagnosis secara klinis. Pasien disarankan kembali untuk
tindak lanjut jika keluhan yang dialami bertambah buruk atau tidak ada
perbaikan dalam waktu 72 jam.
Diagnosis Banding
Faringitis, Tonsilitis, Laringitis
Penatalaksanaan
1. Tatalaksana influenza umumnya tanpa obat(self-limited disease). Hal
yang perlu ditingkatkan adalah daya tahan tubuh. Tindakan untuk
meringankan gejala flu adalah beristirahat 2-3 hari, mengurangi kegiatan
fisik berlebihan, meningkatkan gizi makanan dengan makanan berkalori
dan protein tinggi, serta buah-buahan yang tinggi vitamin.
2. Terapi simptomatik per oral
a. Antipiretik. Pada dewasa yaitu parasetamol 3-4 x 500 mg/hari (10-15
mg/kgBB), atau ibuprofen 3-4 x 200-400 mg/hari (5-10 mg/kgBB).
b. Dekongestan, seperti pseudoefedrin (60 mg setiap 4-6 jam)
c. Antihistamin, seperti klorfeniramin 4-6 mg sebanyak 3-4 kali/hari,
atau difenhidramin, 25-50 mg setiap 4-6 jam, atau loratadin atau
cetirizine 10 mg dosis tunggal (pada anak loratadin 0,5 mg/kgBB dan
cetirizin 0,3 mg/kgBB).
d. Dapat pula diberikan antitusif atau ekspektoran bila disertai batuk.
Konseling dan Edukasi
1. Edukasi
a. Edukasi terutama ditujukan untuk individu dan lingkungannya.
Penyebaran penyakit ini melalui udara sehingga lingkungan rumah
harus memenuhi persyaratan rumah sehat terutama ukuran jendela
untuk pencahayaan dan ventilasi serta kepadatan hunian. Untuk
mencegah penyebaran terhadap orang-orang terdekat perlu diberikan
juga edukasi untuk memutuskan mata rantai penularan seperti etika
batuk dan pemakaian masker.
b. Selain edukasi untuk individu, edukasi terhadap keluarga dan orang-
orang terdekat juga penting seperti peningkatan higiene dan sanitasi
lingkungan
2. Pencegahan
a. Imunisasi influenza, terutama bagi orang-orang risiko tinggi.
b. Harus diwaspadai pasien yang baru kembali dari daerah terjangkit
epidemi influenza
Daftar Pustaka
1. Ikatan Dokter Indonesia. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer. 2014.
2. Braunwald, E. Fauci, A.S. Kasper, D.L. Hauser, S.L.et al.
Harrisson’s: Principle of Internal Medicine. 17thed. New York:
McGraw-Hill Companies. 2009. p: 1006 - 1020.
3. WHO. Pedoman Interim WHO. Pencegahan dan Pengendalian
Infeksi Saluran Pernapasan Atas yang Cenderung Menjadi Epidemi dan
Pandemi di Fasilitas Pelayanan Kesehatan. 2007.

2. Faringitis Akut
Tingkat kemampuan 4A
Definisi
Faringitis merupakan peradangan dinding faring yang disebabkan oleh
virus (40-60%), bakteri (5-40%), alergi, trauma, iritan, dan lain-lain. Anak-
anak dan orang dewasa umumnya mengalami 3-5 kali infeksi virus pada
saluran pernafasan atas termasuk faringitis setiap tahunnya.
Manifestasi Klinis
Keluhan
1. Nyeri tenggorokan, terutama saat menelan
2. Demam
3. Sekret dari hidung
4. Dapat disertai atau tanpa batuk
5. Nyeri kepala
6. Mual
6. Muntah
7. Rasa lemah pada seluruh tubuh
8. Nafsu makan berkurang
Gejala khas berdasarkan jenisnya, yaitu:
1. Faringitis viral (umumnya oleh Rhinovirus): diawali dengan gejala
rhinitis dan beberapa hari kemudian timbul faringitis. Gejala lain demam
disertai rinorea dan mual.
2. Faringitis bakterial: nyeri kepala hebat, muntah, kadang demam dengan
suhu yang tinggi, jarang disertai batuk, dan seringkali terdapat
pembesaran KGB leher.
3. Faringitis fungal:terutama nyeri tenggorok dan nyeri menelan.
4. Faringitis kronik hiperplastik: mula-mula tenggorok kering, gatal dan
akhirnya batuk yang berdahak.
5. Faringitis kronik atrofi: umumnya tenggorokan kering dan tebal serta
mulut berbau.
6. Faringitis tuberkulosis: nyeri hebat pada faring dan tidak berespon
dengan pengobatan bakterial non spesifik.
7. Bila dicurigai faringitis gonorea atau faringitis luetika, ditanyakan
riwayat hubungan seksual, terutama seks oral.
Faktor Risiko
1. Usia 3 – 14 tahun.
2. Menurunnya daya tahan tubuh.
3. Konsumsi makanan dapat mengiritasi faring
4. Gizi kurang
5. Iritasi kronik oleh rokok, minum alkohol, makanan, refluks asam
lambung, inhalasi uap yang merangsang mukosa faring.
6. Paparan udara yang dingin.
Pemeriksaan Fisik
1. Faringitis viral, pada pemeriksaan tampak faring dan tonsil hiperemis,
eksudat (virus influenza, coxsachievirus, cytomegalovirus tidak
menghasilkan eksudat). Pada coxsachievirus dapat timbul lesi vesikular
di orofaring dan lesi kulit berupa maculopapular rash.
2. Faringitis bakterial, pada pemeriksaan tampak tonsil membesar, faring
dan tonsil hiperemis dan terdapat eksudat di permukaannya. Beberapa
hari kemudian timbul bercak petechiae pada palatum dan faring. Kadang
ditemukan kelenjar limfa leher anterior membesar, kenyal dan nyeri pada
penekanan.
3. Faringitis fungal, pada pemeriksaan tampak plak putih di orofaring dan
pangkal lidah, sedangkan mukosa faring lainnya hiperemis.
4. Faringitis kronik hiperplastik, pada pemeriksaan tampak kelenjar limfa di
bawah mukosa faring dan hiperplasia lateral band. Pada pemeriksaan
tampak mukosa dinding posterior tidak rata dan bergranular (cobble stone).
5. Faringitis kronik atrofi, pada pemeriksaan tampak mukosa faring ditutupi
oleh lendir yang kental dan bila diangkat tampak mukosa kering.
6. Faringitis tuberkulosis, pada pemeriksaan tampak granuloma perkejuan
pada mukosa faring dan laring
7. Faringitis luetika tergantung stadium penyakit:
a. Stadium primer
Pada lidah palatum mole, tonsil, dan dinding posterior faring
berbentuk bercak keputihan. Bila infeksi berlanjut timbul ulkus pada
daerah faring seperti ulkus pada genitalia yaitu tidak nyeri. Juga
didapatkan pembesaran kelenjar mandibula
b. Stadium sekunder
Stadium ini jarang ditemukan. Pada dinding faring terdapat eritema
yang menjalar ke arah laring.
c. Stadium tersier
Terdapat guma. Predileksi pada tonsil dan palatum.
Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan darah lengkap.
2. Pemeriksaan mikroskopik dengan pewarnaan Gram.
3. Pada dugaan adanya infeksi jamur, dapat dilakukan dengan pemeriksaan
mikroskopik swab mukosa faring dengan pewarnaan KOH.
Kriteria Diagnosis
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang bila diperlukan.
Klasifikasi faringitis
1. Faringitis Akut
a. Faringitis Viral
Dapat disebabkan oleh rinovirus, adenovirus, Epstein Barr Virus
(EBV), virus influenza, coxsachievirus, cytomegalovirus, dan lain-lain.
Pada adenovirus juga menimbulkan gejala konjungtivitis terutama pada
anak.
b. Faringitis Bakterial
Infeksi grup A stereptokokus beta hemolitikus merupakan penyebab
faringitis akut pada orang dewasa (15%) dan pada anak (30%).
Faringitis akibat infeksi bakteri streptokokkus group A dapat diperkirakan
dengan menggunakan Centor criteria, yaitu :
 Demam
 Anterior Cervical lymphadenopathy
 Eksudat tonsil
 Tidak ada batuk
Tiap kriteria ini bila dijumpai di beri skor 1. Bila skor 0-1 maka
pasien tidak mengalami faringitis akibat infeksi streptokokkus group A,
bila skor 1-3 maka pasien memiliki kemungkian 40% terinfeksi
streptokokkus group A dan bila skor 4 pasien memiliki kemungkinan
50% terinfeksi streptokokkus group A.
c. Faringitis Fungal
Candida dapat tumbuh di mukosa rongga mulut dan faring.
d. Faringitis Gonorea
Hanya terdapat pada pasien yang melakukan kontak orogenital
2. Faringitis Kronik
a. Faringitis Kronik Hiperplastik
Pada faringitis kronik hiperplastik terjadi perubahan mukosa dinding
posterior faring.
b. Faringitis Kronik Atrofi
Faringitis kronik atrofi sering timbul bersamaan dengan rhinitis atrofi.
Pada rhinitis atrofi, udara pernafasan tidak diatur suhu serta
kelembapannya sehingga menimbulkan rangsangan serta infeksi pada
faring.
3. Faringitis Spesifik
a. Faringitis Tuberkulosis
Merupakan proses sekunder dari tuberkulosis paru.
b. Faringitis Luetika
Treponema palidum dapat menimbulkan infeksi di daerah faring,
seperti juga penyakit lues di organ lain. Gambaran klinik tergantung
stadium penyakitnya.
Penatalaksanaan
1. Istirahat cukup
2. Minum air putih yang cukup
3. Berkumur dengan air yang hangat dan berkumur dengan obat kumur
antiseptik untuk menjaga kebersihan mulut. Pada faringitis fungal
diberikan Nistatin 100.000-400.000 IU, 2 x/hari. Untuk faringitis kronik
hiperplastik terapi lokal dengan melakukan kaustik faring dengan memakai
zat kimia larutan Nitras Argentin 25%
4. Untuk infeksi virus, dapat diberikan anti virus Isoprinosine dengan dosis
60-100mg/kgBB dibagi dalam 4-6 x/hari pada orang dewasa dan pada
anak <5 tahun diberikan 50mg/kgBB dibagi dalam 4-6 x/hari
5. Untuk faringitis akibat bakteri terutama bila diduga penyebabnya
Streptococcus group A, diberikan antibiotik Amoksisilin 50 mg/kgBB
dosis dibagi 3 x/hari selama 10 hari dan pada dewasa 3x500 mg selama 6-
10 hari atau Eritromisin 4x500 mg/hari.
6. Pada faringitis gonorea, dapat diberikan Sefalosporin generasi ke-3, seperti
Seftriakson 2 gr IV/IM single dose.
7. Pada faringitis kronik hiperplastik, penyakit hidung dan sinus paranasal
harus diobati. Pada faringitis kronik atrofi pengobatan ditujukan pada rhinitis
atrofi. Sedangkan, pada faringitis kronik hiperplastik dilakukan kaustik 1
x/hari selama 3-5 hari.
8. Jika diperlukan dapat diberikan obat batuk antitusif atau ekspektoran.
9. Analgetik-antipiretik
10. Selain antibiotik, Kortikosteroid juga diberikan untuk menekan reaksi
inflamasi sehingga mempercepat perbaikan klinis. Steroid yang diberikan
dapat berupa Deksametason 3 x 0,5 mg pada dewasa selama 3 hari dan
pada anak-anak 0,01 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 x/hari selama 3 hari.
Konseling dan Edukasi
Memberitahu pasien dan keluarga untuk:
1. Menjaga daya tahan tubuh dengan mengkonsumsi makan bergizi dan
olahraga teratur.
2. Berhenti merokok bagi anggota keluarga yang merokok.
3. Menghindari makan makanan yang dapat mengiritasi tenggorok.
4. Selalu menjaga higiene mulut dan tangan
Daftar Pustaka
1. Rusmarjono. Soepardi, E.A. Faringitis, Tonsilitis, dan Hipertrofi Adenoid
dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan
Leher. Ed.6. Jakarta:Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2007.
2. Lee, K. Essential Otolaryngology, Head and Neck Surgery. Ed. 8.
McGraw-Hill. 2003.
3. Ikatan Dokter Indonesia. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan Primer. 2014.

3. Laringitis Akut
Tingkat kemampuan 4A
Definisi
Laringitis adalah peradangan pada laring yang dapat disebabkan oleh
virus, bakteri, atau jamur. Laringitis juga merupakan akibat dari penggunaan
suara yang berlebihan, pajanan terhadap polutan eksogen, atau infeksi pada
pita suara. Refluks gastroesofageal, bronkitis, dan pneumonia juga dapat
menyebabkan laringitis. Laringitis pada anak sering diderita oleh anak usia 3
bulan hingga 3 tahun, dan biasanya disertai inflamasi pada trakea dan bronkus
dan disebut sebagai penyakit croup. Penyakit ini seringkali disebabkan oleh
virus, yaitu virus parainfluenza, adenovirus, virus influenza A dan B, RSV,
dan virus campak. Selain itu, M. pneumonia juga dapat menyebabkan croup.
Manifestasi Klinis
Keluhan
1. Pasien datang dengan keluhan suara serak atau hilang suara (afonia).
2. Gejala lokal seperti suara parau, seperti suara yang kasar atau suara yang
susah keluar atau suara dengan nada lebih rendah dari suara yang
biasa/normal bahkan sampai tidak bersuara sama sekali(afoni). Hal ini
terjadi karena gangguan getaran serta ketegangan dalam pendekatan
kedua pita suara kiri dan kanan.
3. Sesak nafas dan stridor.
4. Nyeri tenggorokan, terutama nyeri ketika menelan atau berbicara.
5. Gejala radang umum, seperti demam, malaise.
6. Batuk kering yang lama kelamaan disertai dengan dahak kental.
7. Gejala common cold, seperti bersin-bersin, nyeri tenggorok hingga sulit
menelan, sumbatan hidung (nasal congestion), nyeri kepala, batuk dan
demam dengan temperatur yang tidak mengalami peningkatan dari 38 oC.
8. Obstruksi jalan nafas apabila ada edema laring diikuti edema subglotis
yang terjadi dalam beberapa jam dan biasanya sering terjadi pada anak
berupa anak menjadi gelisah, nafas berbunyi, air hunger, sesak semakin
bertambah berat.
9. Laringitis kronik ditandai dengan afonia yang persisten. Pada pagi hari,
biasanya tenggorokan terasa sakit namun membaik pada suhu yang lebih
hangat. Nyeri tenggorokan dan batuk memburuk kembali menjelang
siang. Batuk ini dapat juga dipicu oleh udara dingin atau minuman
dingin.
Faktor Risiko
1. Penggunaan suara yang berlebihan.
2. Pajanan terhadap zat iritatif seperti asap rokok dan minum-minuman
alkohol.
3. Adanya refluks laringofaringeal, bronkitis, dan pneumonia.
4. Rhinitis alergi.
5. Perubahan suhu yang tiba-tiba.
6. Malnutrisi.
7. Keadaan menurunnya sistem imun atau daya tahan tubuh.
Pemeriksaan Fisik
Laringoskopi indirek (khusus untuk pasien dewasa):2
1. Pada pemeriksaan fisik akan tampak mukosa laring yang hiperemis dan
membengkak terutama di bagian atas dan bawah pita suara.
2. Biasanya terdapat tanda radang akut di hidung atau sinus paranasal.
3. Pada laringitis kronik, dapat ditemukan nodul, ulkus dan penebalan
mukosa pita suara.
Pemeriksaan Penunjang (bila diperlukan)
1. Foto rontgen soft tissue leher AP lateral: bisa tampak pembengkakan
jaringan subglotis (Steeple sign). Tanda ini ditemukan pada 50% kasus.
2. Foto toraks AP.
3. Pemeriksaan laboratorium darah lengkap.

Kriteria Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang jika diperlukan.
Klasifikasi:
1. Laringitis Akut
Laringitis akut adalah radang akut laring, dapat disebabkan oleh virus dan
bakteri. Keluhan berlangsung < 3 minggu dan pada umumnya disebabkan
oleh infeksi virus influenza (tipe A dan B), parainfluenza (tipe 1,2,3),
rhinovirus dan adenovirus. Penyebab lain adalah Haemofilus influenzae,
Branhamella catarrhalis, Streptococcus pyogenes, Staphylococcus aureus,
dan Streptococcus pneumoniae.
2. Laringitis Kronik
Laringitis kronik dapat terjadi setelah laringitis akut yang berulang, dan juga
dapat diakibatkan oleh sinusitis kronis, deviasi septum berat, polip hidung,
bronkitis kronik, refluks laringofaring, merokok, pajanan terhadap iritan
yang bersifat konstan, dan konsumsi alkohol berlebih. Tanda dari laringitis
kronik ini yaitu nyeri tenggorokan yang tidak signifikan, suara serak, dan
terdapat edema pada laring. Mungkin juga disebabkan penyalahgunaan suara
(vocal abuse) seperti berteriak-teriak atau bicara keras.
3. Laringitis Kronik Spesifik
a. Laringitis tuberkulosa
Penyakit ini disebabkan tuberkulosis paru. Setelah diobati, biasanya
tuberkulosis paru sembuh namun laringitis tuberculosis menetap
(membutuhkan pengobatan yang lebih lama), karena struktur mukosa
laring sangat lekat pada kartilago serta vaskularisasi tidak sebaik paru.
Terdapat 4 stadium:
 Stadium Infiltrasi
Mukosa laring membengkak, hiperemis (bagian posterior),
dan pucat. Terbentuk tuberkel di daerah submukosa, tampak
sebagai bintik-bintik kebiruan. Tuberkel membesar, menyatu
sehingga mukosa di atasnya meregang. Bila pecah akan timbul
ulkus.
 Stadium Ulserasi
Ulkus membesar, dangkal, dasarnya ditutupi perkejuan dan
terasa nyeri oleh pasien
 Stadium Perikondritis
Ulkus makin dalam mengenai kartilago laring, paling sering
terkena kartilago aritenoid, dan epiglottis. Terbentuk nanah yang
berbau sampai terbentuk sekuester. Pada stadium ini keadaan
pasien buruk dan dapat meninggal. Bila bertahan maka berlanjut ke
stadium akhir yaitu stadium fibrotuberkulosis
 Stadium Fibrotuberkulosis
Terbentuk fibrotuberkulosis pada dinding posterior, pita
suara, dan subglotik.
b. Laringitis luetika
Radang menahun ini jarang ditemukan.
Diagnosis Banding
Benda asing pada laring, Faringitis, Bronkiolitis, Bronkitis,
Pneumonia, Tumor pada laring, Kelumpuhan pita suara
Penatalaksanaan
1. Non-medikamentosa
a. Istirahat suara (vocal rest).
b. Rehabilitasi suara (voice therapy), bila diperlukan.
c. Meningkatkan asupan cairan.
d. Bila terdapat sumbatan laring dilakukan pemasangan pipa endotrakea,
atau trakeostomi.
2. Medikamentosa
a. Parasetamol atau Ibuprofen sebagai antipiretik dan analgetik.
b. Pemberian antibiotik dilakukan bila peradangan dari paru dan bila
penyebab berupa Streptokokus grup A ditemukan melalui kultur. Pada
kasus ini, antibiotik yang dapat digunakan yaitu golongan Penisilin.
c. Proton Pump Inhibitor pada laringitis yang disebabkan oleh refluks
laringofaringeal.
d. Kortikosteroid dapat diberikan jika laringitis berat.
e. Laringitis tuberkulosis: obat antituberkulosis.
f. Laringitis luetika: penisilin dengan dosis tinggi.
Rencana Tindak Lanjut
Pemeriksaan laringoskopi indirek kembali untuk memeriksa perbaikan organ
laring.
Konseling dan Edukasi
Memberitahu pasien dan keluarga untuk:
1. Menjaga daya tahan tubuh dengan mengkonsumsi makan bergizi dan
olahraga teratur.
2. Menghentikan merokok.
3. Mengistirahatkan pasien berbicara dan bersuara atau tidak bersuara
berlebihan.
4. Menghindari makanan yang mengiritasi atau meningkatkan asam
lambung.
Kriteria Rujukan
Indikasi rawat rumah sakit apabila:
1. Terdapat tanda sumbatan jalan nafas atas.
2. Usia penderita dibawah 3 tahun.
3. Tampak toksik, sianosis, dehidrasi atau exhausted.
4. Ada kecurigaan tumor laring.
Daftar Pustaka
1. Hermani,B. Abdurrachman, H. Cahyono, A. Kelainan Laring dalam
Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher.
Ed.6.Jakarta:Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007.
2. Lee, K. Essential Otolaryngology, Head and Neck Surgery. Ed.8.
McGraw-Hill. 2003.
3. Ikatan Dokter Indonesia. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan Primer. 2014.

4. Tonsilitis Akut
Tingkat kemampuan 4A
Definisi
Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian
dari cincin Waldeyer. Cincin Waldeyer terdiri atas susunan jaringan limfoid
yang terdapat di dalam rongga mulut yaitu: tonsil faringeal (adenoid), tonsil
palatina (tonsil faucial), tonsil lingual (tonsil pangkal lidah), tonsil tuba
Eustachius (lateral band dinding faring/ Gerlach’s tonsil). Penyakit ini
banyak diderita oleh anak-anak berusia 3 sampai 10 tahun.
Manifestasi Klinis
Keluhan
1. Rasa kering di tenggorokan sebagai gejala awal.
2. Nyeri pada tenggorok, terutama saat menelan. Rasa nyeri semakin lama
semakin bertambah sehingga anak menjadi tidak mau makan.
3. Nyeri dapat menyebar sebagai referred pain ke telinga.
4. Demam yang dapat sangat tinggi sampai menimbulkan kejang pada bayi
dan anak-anak.
5. Sakit kepala, badan lesu, dan nafsu makan berkurang.
6. Plummy voice / hot potato voice: suara pasien terdengar seperti orang
yang mulutnya penuh terisi makanan panas.
7. Mulut berbau (foetor ex ore) dan ludah menumpuk dalam kavum oris
akibat nyeri telan yang hebat (ptialismus).
8. Pada tonsilitis kronik, pasien mengeluh ada penghalang / mengganjal di
tenggorok, tenggorok terasa kering dan pernafasan berbau (halitosis).
9. Pada Angina Plaut Vincent (Stomatitis ulseromembranosa) gejala yang
timbul adalah demam tinggi (39˚C), nyeri di mulut, gigi dan kepala, sakit
tenggorokan, badan lemah, gusi mudah berdarah dan hipersalivasi.
Faktor Risiko
1. Faktor usia, terutama pada anak.
2. Penurunan daya tahan tubuh.
3. Rangsangan menahun (misalnya rokok, makanan tertentu).
4. Higiene rongga mulut yang kurang baik.
5. Riwayat alergi
Pemeriksaan Fisik
1. Tonsilitis akut:
a. Tonsil hipertrofik dengan ukuran ≥ T2.
b. Hiperemis dan terdapat detritus di dalam kripti yang memenuhi
permukaan tonsil baik berbentuk folikel, lakuna, atau
pseudomembran. Bentuk tonsillitis akut dengan detritus yang jelas
disebut tonsilitis folikularis. Bila bercak-bercak detritus ini menjadi
satu, membentuk alur alur maka akan terjadi tonsilitis lakunaris.
c. Bercak detritus ini dapat melebar sehingga terbentuk membran semu
(pseudomembran) yang menutupi ruang antara kedua tonsil sehingga
tampak menyempit. Temuan ini mengarahkan pada diagnosis banding
tonsilitis difteri.
d. Palatum mole, arkus anterior dan arkus posterior juga tampak udem
dan hiperemis.
e. Kelenjar limfe leher dapat membesar dan disertai nyeri tekan.
2. Tonsilitis kronik:
a. Tampak tonsil membesar dengan permukaan yang tidak rata, kriptus
melebar dan berisi detritus.
b. Pembesaran kelenjar limfe submandibula dan tonsil yang mengalami
perlengketan.
3. Tonsilitis difteri:
a. Tampak tonsil membengkak ditutupi bercak putih kotor yang makin
lama makin meluas
b. Tampak pseudomembran yang melekat erat pada dasar tonsil sehingga
bila diangkat akan mudah berdarah.
Berdasarkan rasio perbandingan tonsil dengan orofaring, dengan mengukur
jarak antara kedua pilar anterior dibandingkan dengan jarak permukaan medial
kedua tonsil, maka gradasi pembesaran tonsil dapat dibagi menjadi:
1. T0: tonsil sudah diangkat.
2. T1: <25% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring atau
batas medial tonsil melewati pilar anterior sampai ¼ jarak pilar anterior
uvula.
3. T2: 25-50% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaringatau
batas medial tonsil melewati ¼ jarak pilar anterior-uvula sampai ½ jarak
pilar anterior-uvula.
4. T3: 50-75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring atau
batas medial tonsil melewati ½ jarak pilar anterior-uvula sampai ¾ jarak
pilar anterior-uvula.
5. T4: > 75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring atau
batas medial tonsil melewati ¾ jarak pilar anterior-uvula sampai uvula atau
lebih.
Pemeriksaan Penunjang: bila diperlukan
1. Darah lengkap
2. Swab tonsil untuk pemeriksaan mikroskop dengan pewarnaan Gram
Gambar Gradasi Pembesaran Tonsil

Kriteria Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
untuk diagnosis definitif dengan pemeriksaan penunjang.
Diagnosis Banding
Infiltrat tonsil, limfoma, tumor tonsil
Penatalaksanaan
1. Istirahat cukup
2. Makan makanan lunak dan menghindari makan makanan yang mengiritasi
3. Menjaga kebersihan mulut
4. Pemberian obat topikal dapat berupa obat kumur antiseptik
5. Pemberian obat oral sistemik
a. Tonsilitis viral.
Istirahat, minum cukup, analgetika / antipiretik (misalnya, Paracetamol), dan
antivirus diberikan bila gejala berat. Antivirus Metisoprinol diberikan pada
infeksi virus dengan dosis 60-100mg/kgBB dibagi dalam 4-6 kali
pemberian/hari pada orang dewasa dan pada anak < 5 tahun diberikan
50mg/kgBB dibagi dalam 4-6 kali pemberian/hari.
b. Tonsilitis bakteri
Bila diduga penyebabnya Streptococcus group A, diberikan antibiotik
yaitu Penisilin G Benzatin 50.000 U/kgBB/IM dosis tunggal atau
Amoksisilin 50 mg/kgBB dosis dibagi 3 kali/hari selama 10 hari dan pada
dewasa 3 x 500 mg selama 6-10 hari atau Eritromisin 4 x 500 mg/hari. Selain
antibiotik juga diberikan Kortikosteroid karena steroid telah terbukti
menunjukkan perbaikan klinis yang dapat menekan reaksi inflamasi.
Steroid yang dapat diberikan berupa Deksametason 3 x 0,5 mg pada
dewasa selama 3 hari dan pada anak-anak 0,01 mg/kgBB/hari dibagi 3 kali
pemberian selama 3 hari. Analgetik / antipiretik, misalnya Paracetamol dapat
diberikan.
c. Tonsilitis difteri
Anti Difteri Serum diberikan segera tanpa menunggu hasil kultur, dengan
dosis 20.000-100.000 unit tergantung umur dan jenis kelamin. Antibiotik
penisilin atau eritromisin 25-50 mg/kgBB/hari. Antipiretik untuk
simptomatis dan pasien harus diisolasi. Perawatan harus istirahat di tempat
tidur selama 2-3 minggu.
d. Angina Plaut Vincent (Stomatitis ulseromembranosa)
Antibiotik spektrum luas diberikan selama 1 minggu, dan pemberian vitamin
C serta vitamin B kompleks.
Indikasi dan Kontraindikasi Tonsilektomi
Menurut Health Technology Assessment Kemenkes tahun 2004, indikasi
tonsilektomi, yaitu:
Indikasi Absolut Indikasi Relatif
1. Pembengkakan tonsil yang 1. Terjadi 3 episode atau lebih
menyebabkan obstruksi saluran infeksi tonsil per tahun dengan
nafas, disfagia berat, gangguan terapi antibiotik adekuat.
tidur dan komplikasi 2. Halitosis akibat tonsilitis kronik
kardiopulmonar yang tidak membaik dengan
2. Abses peritonsil yang tidak pemberian terapi medis
membaik dengan pengobatan 3. Tonsilitis kronik atau berulang
medis dan drainase pada karier streptococus yang
3. Tonsilitis yang menimbulkan tidak membaik dengan pemberian
kejang demam antibiotik laktamase resisten
4. Tonsilitis yang membutuhkan
biopsi untuk menentukan patologi
anatomi

Kontraindikasi relatif tonsilektomi:


1. Gangguan perdarahan
2. Risiko anestesi atau penyakit sistemik yang berat
3. Anemia
Konseling dan Edukasi
Memberitahu individu dan keluarga untuk:
1. Menghindari pencetus, termasuk makanan dan minuman yang
mengiritasi
2. Melakukan pengobatan yang adekuat karena risiko kekambuhan cukup
tinggi.
3. Menjaga daya tahan tubuh dengan mengkonsumsi makan bergizi dan
olahraga teratur.
4. Berhenti merokok.
5. Selalu menjaga kebersihan mulut.
6. Mencuci tangan secara teratur.
Kriteria Rujukan
Segera rujuk jika terjadi:
1. Komplikasi tonsilitis akut: abses peritonsiler, septikemia, meningitis,
glomerulonephritis, demam rematik akut.
2. Adanya indikasi tonsilektomi.
3. Pasien dengan tonsilitis difteri.
Daftar Pustaka
1. Rusmarjono. Soepardi, E.A. Faringitis, Tonsilitis, dan Hipertrofi Adenoid
dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala
dan Leher. Ed.6. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
2007.
2. Lee, K. Essential Otolaryngology, Head and Neck Surgery. Ed.8.
McGraw-Hill. 2003.
3. Ikatan Dokter Indonesia. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan Primer. 2014.

5. Asma Bronkial
Tingkat kemampuan 4A
Definisi
Asma adalah penyakit heterogen, selalu dikarakteristikkan dengan
inflamasi kronis di saluran napas. Terdapat riwayat gejala respirasi seperti
mengi, sesak, rasa berat di dada dan batuk yang intensitasnya berberda-beda
berdasarkan variasi keterbatasan aliran udara ekspirasi.
Manifestasi Klinis
Gejala khas untuk Asma, jika ada maka menigkatkan kemungkinan pasien
memiliki Asma, yaitu :
1. Terdapat lebih dari satu gejala (mengi, sesak, dada terasa berat)
khususnya pada dewasa muda
2. Gejala sering memburuk di malam hari atau pagi dini hari
3. Gejala bervariasi waktu dan intensitasnya
4. Gejala dipicu oleh infeksi virus, latihan, pajanan allergen, perubahan
cuaca, tertawa atau iritan seperti asap kendaraan, rokok atau bau yang
sangat tajam
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pasien asma biasanya normal. Abnormalitas yang
paling sering ditemukan adalah mengi ekspirasi saat pemeriksaan auskultasi,
tetapi ini bisa saja hanya terdengar saat ekspirasi paksa. Mengi dapat juga tidak
terdengar selama eksaserbasi asma yang berat karena penurunan aliran napas
yang dikenal dengan “silent chest”.
Pemeriksaan Penunjang
1. Arus Puncak Ekspirasi (APE) menggunakan Peak Flowmeter
2. Pemeriksaan darah (eosinofil dalam darah)
Kriteria Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis dan
pemeriksaan penunjang, yaitu terdapat kenaikan ≥15 % rasio APE sebelum
dan sesudah pemberian inhalasi salbutamol.
Tabel Klasifikasi Asma Bronkial
Derajat Asma Gejala Gejala Faal Paru
Malam
1. Intermitte Bulanan APE ≥ 80%
n
Gejala <1x/minggu ≤ 2 kali VEP1 ≥ 80% nilai
Tanpa gejala diluar sebulan prediksi
serangan APE ≥ 80% nilai
Serangan singkat terbaik
Variabiliti APE < 20%
2. Persisten Mingguan APE > 80%
Ringan
Gejala > > 2 kali VEP1 ≥ 80% nilai
1x/minggu, tetapi < sebulan prediksi
1 x/hari APE ≥ 80% nilai
Serangan dapat terbaik
mengganggu Variabiliti APE 20%-
aktivitas dan tidur 30%

3. Persisten Harian APE 60-80%


Sedang
Gejala setiap hari >1 VEP1 60-80% nilai
Serangan x/seminggu prediksi
mengganggu APE ≥ 60% nilai
aktivitas dan tidur terbaik
Membutuhkan Variabiliti APE >30%
bronkodilator setiap
hari
4. Persisten Kontinyu APE ≤60%
Berat
Gejala terus Sering VEP1 ≤ 60% nilai
menerus prediksi
Sering kambuh APE ≤ 60% nilai
Aktivitas fisik terbaik
terbatas Variabiliti APE > 30%
Catatan: bila spirometri tersedia digunakan penilaian VEP1

Tabel Penilaian derajat kontrol asma


Penilaian klinis (4 minggu terakhir)
Karakteristik Terkontrol Terkontrol Tidak
(tidak ada sebagian terkontrol
gejala) (terdapat salah
satu gejala)
Gejala harian Tidak ada >2 /minggu Tiga atau lebih
(≤2/minggu) gambaran asma
Keterbatasan Tidak ada Ada terkontrol
Aktivitas sebagian *,**
Gejala malam/ Tidak ada Ada
terbangun
Butuh pelega/ Tidak ada (≤2 > 2/ minggu
pemakaian minggu)
inhaler
Fungsi Paru Normal < 80% prediksi
(APE atau atau nilai yang
KVP1)*** terbaik
Penilaian risiko di masa akan datang (risiko eksaserbasi,
ketidakseimbangan, penurunan fungsi paru, efek samping)
Gambaran yang dihubungkan dengan peningkatan risiko yang lebih parah
di masa depan termasuk:
Kontrol klinis yang buruk, jumlah eksaserbasi per tahun, riwayat perawatan
karena asma, pajanan asap rokok, penggunaan obat dosis tinggi)
* Semua eksaserbasi terjadi dalam pengobatan yang adekuat
** Berdasarkan definisi, eksaserbasi di minggu apapun membuat asma tidak
terkontrol
*** Tanpa pemberian bronkodilator
Fungsi paru tidak untuk anak 5 tahun atau lebih muda
Diagnosis Banding
Disfungsi pita suara, Hiperventilasi, Bronkiektasis, Kistik fibrosis, Gagal
jantung, Defisiensi benda asing
Penatalaksanaan
1. Pasien disarankan untuk mengidentifikasi serta mengendalikan faktor
pencetusnya.
2. Perlu dilakukan perencanaan dan pemberian pengobatan jangka panjang
serta menetapkan pengobatan pada serangan akut sesuai tabel di bawah ini.
Tabel Penatalaksanaan asma berdasarkan beratnya keluhan
Semua tahapan : ditambahkan agonis beta-2 kerja singkat untuk
pelega bila dibutuhkan, tidak melebihi 3-4 kali sehari
Berat Medikasi Pengontrol Alternatif/ Pilihan Alternatif
Asma Harian Lain Lain
Asma Tidak perlu --- ---
intermitt
en
Asma Glukokortikosteroid  Teofilin lepas ---
persisten inhalasi (200-400 µ g lambat
ringan BB/hari atau  Kromolin
ekuivalennya)  Leukotrien
modifiers
Asma Kombinasi inhalasi  Glukokortikosteroi  Ditamba
persisten glukokortikosteroid d inhalasi (400-800 h agonis
sedang (400-800 µ g BB/hari µg BB atau beta-2
atau ekuivalennya) dan ekuivalennya) kerja
agonis beta-2 kerja ditambah Teofilin lama
lama lepas lambat, atau oral, atau
 Glukokortikosteroi  Ditamba
d inhalasi (400-800 h
µg BB atau Teofilin
ekuivalennya) lepas
ditambah agonis lambat
beta-2 kerja lama
oral, atau
 Glukokortikosteroi
d inhalasi dosis
tinggi (>800 µ g BB
atau ekuivalennya),
atau
 Glukokortikosteroi
d inhalasi (400-800
µg BB atau
ekuivalennya)
ditambah
Leukotrien
modifiers

Asma Kombinasi inhalasi Prednison/


persisten glukokortikosteroid metilprednisolon
berat (>800 µg BB atau oral selang sehari
ekuivalennya), dan 10 mg ditambah
agonis beta-2 kerja agonis beta-2 kerja
lama. Ditambah ≥1 lama oral, ditambah
dibawah ini: teofilin lepas
 Teofilin lepas lambat lambat
 Leukotrien modifiers
 Glukokortikosteroid
oral
Semua tahapan : Bila tercapai asma terkontrol, pertahankan terapi
paling tidak 3 bulan, kemudian turunkan bertahap sampai
mencapai terapi seminimal mungkin dengan asma tetap terkontrol

Pemeriksaan Penunjang Lanjutan (bila diperlukan)


1. Foto toraks
2. Uji sensitifitas kulit
3. Spirometri
4. Uji provokasi bronkus
Konseling dan Edukasi
1. Memberikan informasi kepada individu dan keluarga mengenai seluk
beluk penyakit, sifat penyakit, perubahan penyakit (apakah membaik atau
memburuk), jenis dan mekanisme kerja obat-obatan dan mengetahui kapan
harus meminta pertolongan dokter.
2. Kontrol secara teratur antara lain untuk menilai dan monitor berat asma
secara berkala (asthma control test/ ACT)
3. Pola hidup sehat.
4. Menjelaskan pentingnya melakukan pencegahan dengan:
a) Menghindari setiap pencetus.
b) Menggunakan bronkodilator/steroid inhalasi sebelum melakukan
exercise untuk mencegah exercise induced asthma.
Daftar Pustaka
1. Ikatan Dokter Indonesia. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan Primer. 2014.
2. Global strategy for asthma management and prevention. GINA.
2006.(Global Initiatives for Asthma, 2006)
3. Perhimpunan dokter paru Indonesia.Asma. Pedoman diagnosis dan
penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta. 2004. .

b. Asma pada Anak


Definisi
Asma adalah mengi berulang dan/atau batuk persisten dengan
karakteristik sebagai berikut: timbul secara episodik, cenderung pada
malam/dini hari (nokturnal), musiman, setelah aktivitas fisik, serta terdapat
riwayat asma atau atopi lain pada pasien dan/atau keluarganya. Inflamasi ini
juga berhubungan dengan hiperreaktivitas jalan napas terhadap berbagai
rangsangan.

Manifestasi Klinis
Anamnesis harus dilakukan dengan cermat agar didapatkan riwayat
penyakit yang akurat mengenai gejala sulit bernapas, mengi atau dada terasa
berat yang bersifat episodik dan berkaitan dengan musim serta terdapat
riwayat asma atau penyakit atopi pada anggota keluarga. Walaupun informasi
akurat mengenai hal-hal tersebut tidak mudah didapat, beberapa pertanyaan
berikut ini sangat berguna dalam pertimbangan diagnosis asma :
1. Apakah anak mengalami serangan mengi atau serangan mengi berulang?
2. Apakah anak sering terganggu oleh batuk pada malam hari?
3. Apakah anak mengalami mengi atau batuk setelah berolahraga?
4. Apakah anak mengalami gejala mengi, dada terasa berat, atau batuk setelah
terpajan alergen atau polutan?
5. Apakah jika mengalami pilek, anak membutuhkan >10 hari untuk sembuh?
6. Apakah gejala klinis membaik setelah pemberian pengobatan anti-asma?
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, umumnya tidak ditemukan kelainan saat pasien
tidak mengalami serangan. Pada sebagian kecil pasien yang derajat asmanya
lebih berat, dapat dijumpai mengi di luar serangan. Dengan adanya kesulitan
ini, diagnosis asma pada bayi dan anak kecil (di bawah usia 5 tahun) hanya
merupakan diagnosis klinis (penilaian hanya berdasarkan gejala dan
pemeriksaan fisis dan respons terhadap pengobatan). Pada kelompok usia ini,
tes fungsi paru atau pemeriksaan untuk mengetahui adanya hiperresponsivitas
saluran napas tidak mungkin dilakukan dalam praktek sehari-hari.
Kemungkinan asma perlu dipikirkan pada anak yang hanya menunjukkan
batuk sebagai satu-satunya gejala dan pada pemeriksaan fisis tidak ditemukan
mengi, sesak, dan lain-lain. Pada anak yang tampak sehat dengan batuk
malam hari yang rekuren, asma harus dipertimbangkan sebagai probable
diagnosis. Beberapa anak menunjukkan gejala setelah berolahraga.
Pemeriksaan Penunjang
Arus puncak ekspirasi (APE) dengan peak flow meter. Metode yang
dianggap merupakan cara mengukur nilai diurnal APE terbaik adalah
pengukuran selama paling sedikit 1 minggu dan hasilnya dinyatakan sebagai
persen nilai terbaik dari selisih nilai APE pagi hari terendah dengan nilai APE
malam hari tertinggi. Jika didapatkan variabilitas APE diurnal > 20%
(petanda adanya perburukan asma) maka diagnosis asma perlu
dipertimbangkan.
Kriteria Diagnosis
Asma Stabil
Jika gejala dan tanda klinis jelas serta respons terhadap pemberian obat
asma baik, pemeriksaan lebih lanjut tidak perlu dilakukan. Jika respons
terhadap obat asma tidak baik, sebelum mengganti obat dengan yang lebih
poten, harus dinilai lebih dulu apakah dosis sudah adekuat, cara dan waktu
pemberian sudah benar, serta ketaatan pasien baik. Bila semua aspek tersebut
sudah dilakukan dengan baik dan benar, diagnosis bukan asma perlu dipikirkan.
Tabel Klasifikasi asma pada anak menurut PPNA 2004
Parameter Asma episodik Asma episodik Asma persisten
Klinis, jarang (Asma sering (Asma (Asma berat)
kebutuhan obat ringan) sedang)
dan faal paru
Frekuensi < 1 x/bulan > 1 x/bulan Sering
serangan
Lama serangan < 1 minggu ≥ 1 minggu Hampir
sepanjang tahun
tidak ada remisi
Diantara Tanpa gejala Sering ada gejala Gejala siang dan
serangan malam
Tidur dan Tidak terganggu Sering terganggu Sangat terganggu
aktivitas
Pemeriksaan Normal (tidak Mungkin Tidak pernah
fisik diluar ada kelainan) terganggu (ada normal
serangan kelainan)
Obat pengendali Tidak perlu Nonsteroid/steroid Steroid
(anti inflamasi) hirupan dosis hirupan/oral
rendah
Uji faal paru (di PEF/VEP1 >80% PEF/VEP1 60%- PEF/VEP1 <60%
luar serangan)* 80% Variabilitas 20-
30%
Variabilitas faal Variabilitas Variabilitas >30% Variabilitas
paru (bila ada >15% >50%
serangan)*
* jika fasilitas tersedia
Asma Eksaserbasi
Eksaserbasi (serangan) asma adalah episode perburukan gejala-gejala
asma secara progresif. Gejala yang dimaksud adalah sesak napas, batuk, mengi,
dada rasa tertekan, atau berbagai kombinasi gejala tersebut. Pada umumnya,
eksaserbasi disertai distres pernapasan. Serangan asma ditandai
oleh penurunan PEF atau FEV1. Pengukuran ini merupakan indikator yang
lebih dapat dipercaya daripada penilaian berdasarkan gejala. Sebaliknya, derajat
gejala lebih sensitif untuk menunjukkan awal terjadinya ekaserbasi karena
memberatnya gejala biasanya mendahului perburukan PEF. Derajat serangan
asma bervariasi mulai dari yang ringan sampai yang mengancam jiwa,
perburukan dapat terjadi dalam beberapa menit, jam, atau hari. Serangan akut
biasanya timbul akibat pajanan terhadap faktor pencetus (paling sering infeksi
virus atau allergen atau kombinasi keduanya), sedangkan serangan berupa
perburukan yang bertahap mencerminkan kegagalan pengelolaan jangka
panjang penyakit.
Parameter Ringan Sedang Berat
klinis, Tanpa Ancaman
fungsi ancaman henti napas
paru, henti napas
laboratoriu
m
Sesak Berjalan Berbicara Istirahat
(breathless) Bayi: Bayi: tangis Bayi: tidak
menangis pendek dan mau
keras lemah minum/maka
kesulitan n
menyusu/maka
n
Posisi Bisa Lebih suka Duduk
berbaring duduk bertopang
lengan
Bicara Kalimat Penggal Kata-kata
kalimat
Kesadaran Mungkin Biasanya Biasanya Kebingungan
irritable iritable iritable
Sianosis Tidak ada Tidak ada Ada Nyata
Mengi Sedang. Nyaring, Sangat Sulit/ tidak
Sering sepanjang nyaring, terdengar
hanya ekspirasi ± terdengar
pada akhir inspirasi tanpa
ekspirasi stetoskop
sepanjang
ekspirasi dan
inspirasi
Penggunaan Biasanya Biasanya ya Ya Gerakan
otot bantu tidak paradox
respiratorik torako-
abdominal
Retraksi Dangkal, Sedang, Dalam, Dangkal/hilan
retraksi ditambah ditambah g
interkostal retraksi napas cuping
suprasternal hidung
Frekuensi Takipnea Takipnea Takipnea Bradipnea
napas
Pedoman nilai baku laju napas pada anak sadar:
Usia Frekuensi napas normal
< 2 bulan < 60 x/menit
2-12 bulan < 50 x/menit
1-5 tahun < 40 x/menit
6-8 tahun < 30 x/menit
Frekuensi Normal Takikardi Takikardi Bradikardi
nadi
Pedoman nilai baku frekuensi nadi pada anak:
Usia Laju nadi normal
2-12 bulan < 160 x/menit
1-2 tahun < 120 x/menit
3-8 tahun < 110 x/menit

Penatalaksanaan
Asma stabil
Obat asma dapat dibagi dalam 2 kelompok besar, yaitu obat pereda
(reliever) dan obat pengendali (controller). Obat pereda terkadang juga
disebut sebagai obat pelega atau obat serangan. Obat kelompok ini digunakan
untuk meredakan serangan atau gejala asma yang sedang timbul. Jika
serangan sudah teratasi dan gejala sudah menghilang, obat ini tidak
digunakan lagi. Kelompok kedua adalah obat pengendali yang sering disebut
sebagai obat pencegah atau profilaksis. Obat ini digunakan untuk mengatasi
masalah dasar asma, yaitu inflamasi kronik saluran napas. Dengan demikian,
obat ini dipakai terus menerus dalam jangka waktu yang relatif lama,
bergantung pada derajat penyakit asma dan responsnya terhadap pengobatan.

Gambar Tatalaksana Asma Stabil


Asma eksaserbasi
Global initiative for asthma (GINA) membagi tatalaksana serangan
asma menjadi dua yaitu tatalaksana di rumah dan di rumah sakit. Tatalaksana
di rumah dilakukan oleh pasien (atau orang tuanya) sendiri di rumah. Hal ini
dapat dilakukan oleh pasien yang sebelumnya telah menjalani terapi dengan
teratur dan mempunyai pendidikan yang cukup. Pada panduan pengobatan di
rumah, disebutkan bahwa terapi awal adalah inhalasi B2agonis kerja cepat
sebanyak 2 kali dengan selang waktu 20 menit. Bila belum ada perbaikan,
segera mencari pertolongan ke dokter atau sarana kesehatan.
Gambar Tatalaksana Asma Eksaserbasi

1. Asma episodik jarang cukup diobati dengan obat pereda berupa


bronkodilator -agonis hirupan kerja pendek (Short Acting B2-Agonist,
SABA) atau golongan xantin kerja cepat hanya apabila perlu saja, yaitu
jika ada gejala/serangan. Pada alur tatalaksana jangka panjang, terlihat
bahwa jika tatalaksana asma episodik jarang sudah adekuat, tetapi
responsnya tetap tidak baik dalam 4-6 minggu, tatalaksananya berpindah
ke asma episodik sering.
2. Asma episodik sering
Penggunaan B2-agonis hirupan lebih dari 3x per minggu (tanpa
menghitung penggunaan pra-aktivitas fisik), atau serangan sedang/berat
terjadi lebih dari sekali dalam sebulan, merupakan indikasi penggunaan anti-
inflamasi sebagai pengendali. Obat steroid hirupan yang sering digunakan
pada anak adalah budesonid, sehingga digunakan sebagai standar. Dosis
rendah steroid hirupan adalah 100-200 g/hari budesonid (50-100 g/hari
flutikason) untuk anak berusia kurang dari 12 tahun, dan
200-400 g/hari budesonid (100-200 g/hari flutikason) untuk anak berusia
di atas 12 tahun. Pada penggunaan beklometason atau budesonid dengan
dosis 100-200 g/hari atau setara dengan flutikason 50-100 g, belum pernah
dilaporkan adanya efek samping jangka panjang. Jika setelah pengobatan
selama 8-12 minggu dengan steroid dosis rendah tidak timbul respons
(masih terdapat gejala asma atau gangguan tidur atau aktivitas sehari-hari),
pengobatan dilanjutkan dengan tahap kedua , yaitu menaikkan dosis
steroid hirupan sampai dengan 400 g/hari yang termasuk dalam
tatalaksana asma persisten. Jika tatalaksana suatu derajat penyakit asma
sudah adekuat, tetapi responsnya tetap tidak baik dalam 8-12 minggu, derajat
tatalaksananya berpindah ke yang lebih berat (step up). Sebaliknya, jika
asma terkendali dalam 8-12 minggu, derajatnya beralih ke yang lebih ringan
(step down). Jika memungkinkan, steroid hirupan dihentikan
penggunaannya.
Sebelum melakukan step-up, harus dilakukan evaluasi terhadap
pelaksanaan penghindaran pencetus, penggunaan obat, serta faktor
komorbid yang mempersulit pengendalian asma seperti rinitis dan
sinusitis.
3. Asma persisten
Bergantung pada kasusnya, steroid hirupan dapat diberikan mulai dari
dosis tinggi lalu diturunkan sampai dosis rendah selama gejala masih
terkendali, atau sebaliknya, mulai dari dosis rendah sampai dosis tinggi
hingga gejala dapat dikendalikan. Pada keadaan tertentu, khususnya pada
anak dengan penyakit berat, dianjurkan untuk menggunakan dosis tinggi
dahulu, disertai steroid oral jangka pendek (3-5 hari).
Pencegahan
Pengendalian lingkungan, pemberian ASI eksklusif minimal 6 bulan,
penghindaran makanan berpotensi alergenik, pengurangan pajanan terhadap
tungau debu rumah dan rontokan bulu binatang, telah terbukti mengurangi
timbulnya alergi makanan dan khususnya dermatitis atopik pada bayi.2
Daftar Pustaka
1. Konsensus Nasional Asma Anak. Unit Koordinasi Kerja Pengurus Pusat
Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2001.
2. Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB. Buku ajar respirologi anak.
Edisi pertama. Indonesia IDAI. 2010.
3. Global Initiative for Asthma. Global Strategy for Asthma Management
and Prevention. National Institute of Health.
www.ginasthma.com/download.asp?intId=214 . 2006.

6. Status Asmatikus (Asma akut berat)


Tingkat kemampuan 3B
Definisi
Asma akut berat (serangan asma atau asma eksaserbasi) adalah episode
peruburukan gejala yang progresif dari sesak, batuk, mengi, atau rasa berat di
dada, atau kombinasi gejala-gejala tersebut.
Manifestasi klinis
Riwayat singkat serangan meliputi gejala, pengobatan yang telah digunakan,
respons pengobatan, waktu mula terjadinya dan penyebab/ pencetus serangan
saat itu, dan ada tidaknya risiko tinggi untuk mendapatkan keadaan fatal/
kematian yaitu:
1. Riwayat serangan asma yang membutuhkan intubasi/ ventilasi mekanis
2. Riwayat perawatan di rumah sakit atau kunjungan ke darurat gawat dalam
satu tahun terakhir
3. Saat serangan, masih dalam glukokortikosteroid oral, atau baru saja
menghentikan salbutamol atau ekivalennya
4. Dengan gangguan/ penyakit psikiatri atau masalah psikososial termasuk
penggunaan sedasi
5. Riwayat tidak patuh dengan pengobatan (jangka panjang) asma.

Pemeriksaan Fisik
Pada fasilitas layanan kesehatan sederhana dengan kemampuan sumber
daya manusia terbatas, dapat hanya menekankan kepada :
1. Posisi penderita
2. Cara bicara
3. Frekuensi napas
4. Penggunaan otot-otot bantu napas
5. Nadi
6. Tekanan darah (pulsus paradoksus)
7. Ada tidak mengi
Pemeriksaan Penunjang
1. Pada serangan asma, APE sebaiknya diperiksa sebelum pengobatan, tanpa
menunda pemberian pengobatan. Pemeriksaan ini dilakukan jika alat
tersedia.
2. Saturasi oksigen dengan pulse oxymetry dapat dilakukan bila alat tersedia.
3. Pemeriksaan analisis gas darah dilakukan jika fasilitas tersedia.
Kriteria Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang bila diperlukan.
Tabel Serangan Akut Asma
Gejala Berat serangan akut Keadaan
dan tanda Ringan Sedang Berat mengancam
jiwa
Sesak Berjalan Berbicara Istirahat
napas
Posisi Dapat tidur Membungk Duduk
telentang uk membungkuk
Cara Satu Beberapa Kata demi
bicara kalimat kata kata
Kesadara Mungkin Gelisah Gelisah Mengantuk,
n gelisah gelisah,
kesadaran
menurun
Frekuensi < 20 20-30 > 30 x/menit
napas x/menit x/menit
Nadi < 100 100-120 > 120 Bradikardia
Pulsus - 10 mmHg +/- 10-20 + > 25 Kelelahan otot
paradoksu mmHg mmHg
s
Otot bantu - + + Torakoabdominal
napas dan paradoksal
retraksi

Mengi Akhir Akhir Inspirasi dan Silent chest


ekspirasi ekspirasi ekspirasi
paksa
APE 80% 60-80 % <60%
PaO2 > 80 80-60 < 60 mmHg
mmHg mmHg
PaCO2 < 45 < 45 > 45 mmHg
mmHg mmHg
SaO2 > 95% 91-95% < 95%

Diagnosis banding
1. Obstruksi saluran napas atas
2. Benda asing di saluran napas
3. PPOK eksaserbasi
4. Penyakit paru parenkimal
5. Disfungsi pita suara
6. Gagal jantung akut
7. Gagal ginjal akut

Penatalaksanaan

Gambar Status Asmatikus (Asma Akut Berat)

Tabel Pengobatan asma berdasarkan berat serangan dan tempat pengobatan


Serangan Pengobatan Tempat Pengobatan
RINGAN Terbaik: Di rumah
Aktiviti relatif normal Inhalasi agonis beta-2 Di praktek dokter/
Berbicara satu kalimat kerja singkat tunggal klinik/ puskesmas
dalam satu napas atau dikombinasikan
Nadi <100 dengan antikolinergik
APE > 80% Alternatif:
Kombinasi oral agonis
beta-2
dan aminofilin / teofilin
SEDANG Terbaik Darurat Gawat/ RS
Jalan jarak jauh Nebulisasi agonis beta-2 Klinik
timbulkan gejala tiap 4 jam Praktek dokter
Berbicara beberapa Alternatif: Puskesmas
kata dalam satu napas -Agonis beta-2 subkutan
Nadi 100-120 -Aminofilin IV
APE 60-80% -Adrenalin 1/1000 0,3ml
SK
Oksigen bila mungkin
Kortikosteroid sistemik

BERAT Terbaik Darurat Gawat/ RS


Sesak saat istirahat Nebulisasi agonis beta-2 Klinik
Berbicara kata perkata tiap 4 jam
dalam satu napas Alternatif:
Nadi >120 -Agonis beta-2 SK/ IV
APE<60% atau -Adrenalin 1/1000 0,3ml
100 l/dt SK
Aminofilin bolus
dilanjutkan drip
Oksigen
Kortikosteroid IV
MENGANCAM JIWA Seperti serangan akut Darurat Gawat/ RS
Kesadaran berubah/ berat ICU
menurun Pertimbangkan intubasi
Gelisah dan
Sianosis ventilasi mekanis
Gagal napas

Rencana tindak lanjut


Kriteria untuk melanjutkan observasi (di klinik, praktek dokter/ puskesmas)
tergantung kepada fasilitas yang tersedia :
1. Respons terapi tidak adekuat dalam 1-2 jam
2. Obstruksi jalan napas yang menetap (APE < 30% nilai terbaik/ prediksi)
3. Riwayat serangan asma berat, perawatan rumah sakit/ ICU sebelumny
4. Dengan risiko tinggi (lihat di riwayat serangan)
5. Gejala memburuk yang berkepanjangan sebelum datang membutuhkan
pertolongan saat itu
6. Pengobatan yang tidak adekuat sebelumnya
7. Kondisi rumah yang sulit/ tidak menolong
8. Masalah/ kesulitan dalam transport atau mobilisasi ke rumah sakit

Kriteria Pulang
Pertimbangan untuk memulangkan pada penderita di layanan primer:
1. Bila terjadi perbaikan klinis, yaitu: keluhan berkurang, frekuensi napas kembali
normal, mengi menghilang, nadi dan tekanan darah kembali normal, pasien
dapat bernapas tanpa otot-otot bantu napas, pasien dapat berbicara lebih lancar
atau berjalan, atau kesadaran membaik.
2. Bila APE pasca tatalaksana awal 40-60% nilai terbaik/ prediksi dengan
pengawasan ketat di komunitas.
3. Bila APE pasca tatalaksana awal > 60% nilai terbaik/ prediksi dan pasien
dapat menggunakan obat inhalasi atau oral dengan patuh.
4. Penderita dirawat inap

Kriteria Rujukan
Tidak respons dengan pengobatan, ditandai dengan:
a. Tidak terjadi perbaikan klinis
b. Bila APE sebelum pengobatan awal < 25% nilai terbaik/ prediksi; atau
APE pasca tatalaksana < 40% nilai terbaik/ prediksi.
c. Serangan akut yang mengancam jiwa
d. Tanda dan gejala tidak jelas (atipik), atau masalah dalam diagnosis
banding, atau komplikasi atau penyakit penyerta (komorbid); seperti sinusitis,
polip hidung, aspergilosis (ABPA), rinitis berat, disfungsi pita suara, refluks
gastroesofagus dan PPOK.
e. Dibutuhkan pemeriksaan/ uji lainnya di luar pemeriksaan standar, seperti
uji kulit (uji alergi), pemeriksaan faal paru lengkap, uji provokasi bronkus, uji
latih (kardiopulmonary exercise test), bronkoskopi dan sebagainya.

Daftar Pustaka
1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Asma. Pedoman diagnosis dan
penatalaksanaan di Indonesia. PDPI. Jakarta. 2004
2. Global Initiative For Asthma. Global strategy for asthma management and
prevention. GINA. 2012.

7. Pneumonia Aspirasi
Tingkat kemampuan 3B
Definisi
Pneumonia aspirasi (Aspiration pneumonia) adalah pneumonia yang
disebabkan oleh terbawanya bahan yang ada diorofaring pada saat respirasi
ke saluran napas bawah dan dapat menimbulkan kerusakan parenkim paru.
Secara spesifik, pneumonia aspirasi didefinisikan dengan ditemukannya bukti
radiografi berupa penambahan infiltrat di paru pada pasien dengan faktor
risiko aspirasi orofaring.
Manifestasi klinis
Kejadian aspiration pneumonia biasanya tidak dapat diketahui waktu
terjadinya dan paling sering pada orang tua. Keluhannya berupa :
1. Batuk
2. Takipnea
3. Tanda-tanda dari pneumonia
Faktor Risiko:
1. Pasien dengan disfagi neurologis.
2. Pasien dengan irupsi dari gastroesophageal junction.
3. Terdapat abnormalitas anatomis dari traktus aerodigestifus atas.
Pemeriksaan fisis serupa pada pneumonia umumnya. Temuan pemeriksaan
fisis dada tergantung dari luas lesi di paru.
Inspeksi : dapat terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernapas
Palpasi : fremitus dapat mengeras pada bagian yang sakit
Perkusi : redup di bagian yang sakit
Auskultasi : terdengar suara napas bronkovesikuler sampai bronkial yang
mungkin disertai ronki basah halus, yang kemudian menjadi ronki basah
kasar
pada stadium resolusi.
Pemeriksaan Penunjang
1. Foto toraks
2. Pemeriksaan laboratorium darah lengkap
Kriteria Diagnosis
Diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan penunjang.
Diagnosis Banding :-
Penatalaksanaan
1. Pemberian oksigen
2. Pemberian cairan dan kalori yang cukup (bila cairan parenteral). Jumlah
cairan sesuai berat badan, peningkatan suhu dan derajat dehidrasi.
3. Pemberian antibiotik tergantung pada kondisi :
a. Pneumonia komunitas : levofloksasin (500mg/hari) atau seftriakson
(1-2 gr/hari)
b. Pasien dalam perawatan di rumah sakit : levofloksasin (500
mg/hari)atau piperasilin tazobaktam (3, 375 gr/6 jam) atau seftazidim (2
gr/8 jam)
c. Penyakit periodontal berat, dahak yang busuk atau alkoholisme :
piperasilin-tazobaktam (3, 375 gr/6 jam) atau imipenem (500 mg/8
jam sampai 1 gr/6 jam) atau kombinasi dua obat : levofloksasin (500
mg/hari) atau siprofloksasin (400 mg/12 jam) atau seftriakson (1-2
gr/hari) ditambah klindamisin (600 mg/8 jam) atau metronidazol (500
mg/8jam).2

Daftar Pustaka
1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pneumonia. PDPI. Jakarta 2013.
2. Marik PE. Aspiration pneumonitis and aspiration pneumonia. N Eng J Med.
2001;3:665-71.

8. Pneumonia, Bronkopneumonia
Tingkat kemampuan 4A
Definisi
Pneumonia adalah peradangan/inflamasi parenkim paru, distal dari
bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius dan alveoli,
serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas
setempat. Sebagian besar disebabkan oleh mikroorganisme (virus/bakteri) dan
sebagian kecil disebabkan oleh hal lain (aspirasi, radiasi dll). Pneumonia yang
dimaksud di sini tidak termasuk dengan pneumonia yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis. Pneumonia merupakan penyebab utama
morbiditas dan mortalitas anak berusia di bawah lima tahun (balita).
Manifestasi Klinis
Gambaran klinik biasanya ditandai dengan :
1. Demam, menggigil, suhu tubuh meningkat dapat melebihi 40°C
2. Batuk dengan dahak mukoid atau purulen kadang-kadang disertai darah
3. Sesak napas
4. Nyeri dada
Pemeriksaan fisik
Temuan pemeriksaan fisis dada tergantung dari luas lesi di paru.
Inspeksi : dapat terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernapas
Palpasi : fremitus dapat mengeras pada bagian yang sakit
Perkusi : redup di bagian yang sakit
Auskultasi : terdengar suara napas bronkovesikuler sampai bronkial yang
mungkin disertai ronki basah halus, yang kemudian menjadi ronki basah
kasar pada stadium resolusi.
Pemeriksaan Penunjang
1. Pewarnaan gram
2. Pemeriksaan lekosit
3. Pemeriksaan foto toraks jika fasilitas tersedia
4. Kultur sputum jika fasilitas tersedia
5. Kultur darah jika fasilitas tersedia
Kriteria Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Untuk diagnosis defenitif dilakukan pemeriksaan penunjang.
Diagnosis pasti pneumonia komuniti ditegakkan jika pada foto toraks
terdapat infiltrat baru atau infiltrat progresif ditambah dengan 2 atau lebih gejala
di bawah ini:
1. Batuk-batuk bertambah
2. Perubahan karakteristik dahak / purulen
3. Suhu tubuh > 38°C (aksila) / riwayat demam
4. Pemeriksaan fisis : ditemukan tanda-tanda konsolidasi, suara napas
bronkial dan ronki
5. Leukosit > 10.000 atau < 4500
Penatalaksanaan
Dalam hal mengobati penderita pneumonia perlu diperhatikan keadaan
klinisnya. Bila keadaan klinis baik dan tidak ada indikasi rawat dapat diobati
di rumah. Juga diperhatikan ada tidaknya faktor modifikasi yaitu keadaan
yang dapat meningkatkan risiko infeksi dengan mikroorganisme patogen
yang spesifik.
1. Pengobatan suportif / simptomatik
a. Istirahat di tempat tidur
b. Minum secukupnya untuk mengatasi dehidrasi
c. Bila panas tinggi perlu dikompres atau minum obat penurun panas
d. Bila perlu dapat diberikan mukolitik dan ekspektoran
2. Terapi definitif dengan pemberian antibiotik yang harus diberikan kurang
dari 8 jam.
a. Pasien Rawat Jalan
b. Pasien yang sebelumnya sehat dan tidak ada risiko kebal obat ;
 Makrolid: azitromisin, klaritromisin atau eritromisin (rekomendasi
kuat)
 Doksisiklin (rekomendasi lemah)
c. Terdapat komorbid seperti penyakit jantung kronik, paru, hati atau
penyakit ginjal, diabetes mellitus, alkoholisme, keganasan, kondisi
imunosupresif atau penggunaan obat imunosupresif, antibiotik lebih
dari 3 bulan atau faktor risiko lain infeksi pneumonia :
 Florokuinolon respirasi : moksifloksasisn, gemfloksasin atau
levofloksasin (750 mg) (rekomendasi kuat)
 β-lactam + makrolid : Amoksisilin dosis tinggi (1 gram, 3x1/hari) atau
amoksisilin-klavulanat (2 gram, 2x1/hari) (rekomendasi kuat)
 Alternatif obat lainnya termasuk ceftriakson, cefpodoxime dan
cefuroxime (500 mg, 2x1/hari), doksisiklin.
Pasien perawatan, tanpa rawat ICU
1. Florokuinolon respirasi (rekomendasi kuat)
2. β-laktam+makrolid (rekomendasi kuat)
Agen β-laktam termasuk sefotaksim, seftriakson, dan ampisilin;
ertapenem untuk pasien tertentu; dengan doksisiklin sebagai alternatif
untuk makrolid. Florokuinolon respirasi sebaikanya digunakan untuk
pasien alergi penisilin.
Konseling dan Edukasi
1. Edukasi
Edukasi diberikan kepada individu dan keluarga mengenai pencegahan
infeksi berulang, pola hidup sehat termasuk tidak merokok dan sanitasi
lingkungan.
2. Pencegahan
Vaksinasi influenza dan pneumokokal, terutama bagi golongan risiko
tinggi (orang usia lanjut atau penderita penyakit kronis).

b. Bronkopneumonia pada pasien anak


Manifestasi Klinis
Sebagian besar gambaran klinis pneumonia pada anak berkisar antara ringan
hingga sedang, sehingga dapat berobat jalan saja. Hanya sebagian kecil
yang berat, mengancam kehidupan, dan mungkin terdapat komplikasi sehingga
memerlukan perawatan di rumah sakit.
Beberapa faktor yang memengaruhi gambaran klinis pneumonia pada anak
adalah:
1. Imaturitas anatomik dan imunologik
2. Mikroorganisme penyebab yang luas, gejala klinis yang kadang-kadang
tidak khas terutama pada bayi
3. Etiologi noninfeksi yang relatif lebih sering
4. Faktor patogenesis
5. Kelompok usia pada anak merupakan faktor penting yang menyebabkan
karakteristik penyakit berbeda-beda, sehingga perlu dipertimbangkan
dalam tatalaksana pneumonia.
Gambaran klinis pneumonia pada bayi dan anak bergantung pada berat-
ringannya infeksi, tetapi secara umum adalah sebagai berikut:
1. Gejala infeksi umum, yaitu demam, sakit kepala, gelisah, malaise,
penurunan nafsu makan, keluhan gastrointestinal seperti mual, muntah atau
diare; kadang-kadang ditemukan gejala infeksi ekstrapulmoner.
2. Gejala gangguan respiratori, yaitu batuk, sesak napas, retraksi dada,
takipnea, napas cuping hidung, air hunger, merintih, dan sianosis.
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda klinis seperti pekak perkusi,
suara napas melemah, dan ronki. Akan tetapi pada neonatus dan bayi kecil,
gejala dan tanda pneumonia lebih beragam dan tidak selalu jelas terlihat. Pada
perkusi dan auskultasi paru umumnya tidak ditemukan kelainan.
Pemeriksaan Penunjang
Pewarnaan gram, pemeriksaan lekosit, pemeriksaan foto toraks, kultur
sputum serta kultur darah (bila fasilitas tersedia)
Kriteria Diagnosis
Diagnosis etiologik berdasarkan pemeriksaan mikrobiologis dan/atau
serologis sebagai dasar terapi yang optimal. Akan tetapi, penemuan bakteri
penyebab tidak selalu mudah karena memerlukan laboratorium penunjang
yang memadai. Oleh karena itu, pneumonia pada anak umumnya didiagnosis
berdasarkan gambaran klinis yang menunjukkan keterlibatan sistem
respiratori, serta gambaran radiologis. Prediktor paling kuat adanya
pneumonia adalah demam, sianosis, dan lebih dari satu gejala respiratori
sebagai berikut: takipnea, batuk, napas cuping hidung, retraksi, ronki, dan suara
napas melemah.
WHO mengembangkan pedoman diagnosis dan tatalaksana yang
sederhana. Pedoman ini terutama ditujukan untuk Pelayanan Kesehatan Primer,
dan sebagai pendidikan kesehatan untuk masyarakat di negara berkembang.
Gejala klinis sederhana tersebut meliputi napas cepat, sesak napas, dan
berbagai tanda bahaya agar anak segera dirujuk ke pelayanan kesehatan. Napas
cepat dinilai dengan menghitung frekuensi napas selama satu menit penuh
ketika bayi dalam keadaan tenang. Sesak napas dinilai
dengan melihat adanya tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam ketika
menarik napas (retraksi epigastrium). Tanda bahaya pada anak berusia 2 bulan–
5 tahun adalah tidak dapat minum, kejang, kesadaran menurun, stridor, dan gizi
buruk; tanda bahaya untuk bayi berusia di bawah 2 bulan adalah malas
minum, kejang, kesadaran menurun, stridor, mengi, dan demam/badan terasa
dingin.
Klasifikasi pneumonia berdasarkan pedoman WHO adalah:
1. Bayi dan anak berusia 2 bulan–5 tahun
a. Pneumonia berat
 Ada sesak napas
 Harus dirawat dan diberikan antibiotik.
b. Pneumonia
 Tidak ada sesak napas
 Ada napas cepat dengan laju napas:
>50 x/menit untuk anak usia 2 bulan–1 tahun
>40 x/menit untuk anak >1–5 tahun
 Tidak perlu dirawat, diberikan antibiotik oral.
c. Bukan pneumonia
 Tidak ada napas cepat dan sesak napas
 Tidak perlu dirawat dan tidak perlu antibiotik, hanya diberikan
pengobatan simptomatis seperti penurun panas
2. Bayi berusia di bawah 2 bulan
a. Pneumonia
 Ada napas cepat (>60 x/menit) atau sesak napas
 Harus dirawat dan diberikan antibiotik.
b. Bukan pneumonia
 Tidak ada napas cepat atau sesak napas
 Tidak perlu dirawat, cukup diberikan pengobatan simptomatis.
Penatalaksanaan
Sebagian besar pneumonia pada anak tidak perlu dirawat inap. Indikasi
perawatan terutama berdasarkan berat-ringannya penyakit, misalnya toksis,
distres pernapasan, tidak mau makan/minum, atau ada penyakit dasar yang lain,
komplikasi, dan terutama mempertimbangkan usia pasien. Neonatus dan bayi
kecil dengan kemungkinan klinis pneumonia harus dirawat inap.
Dasar tatalaksana pneumonia rawat inap adalah pengobatan kausal dengan
antibiotik yang sesuai dan pengobatan suportif yang meliputi :
1. Pemberian cairan intravena, terapi oksigen, koreksi terhadap gangguan
keseimbangan asam-basa, elektrolit, dan gula darah
2. Untuk nyeri dan demam dapat diberikan analgetik/antipiretik
3. Suplementasi vitamin A tidak terbukti efektif
4. Penyakit penyerta harus ditanggulangi dengan adekuat
5. Komplikasi yang mungkin terjadi harus dipantau dan diatasi
Pneumonia Rawat Jalan
Pada pneumonia ringan rawat jalan dapat diberikan antibiotik lini pertama
secara oral, misalnya amoksisilin atau kotrimoksazol. Pada pneumonia ringan
berobat jalan, dapat diberikan antibiotik tunggal oral dengan efektifitas yang
mencapai 90%. Penelitian multisenter di Pakistan menemukan bahwa pada
pneumonia rawat jalan, pemberian amoksisilin dan kotrimoksazol dua kali
sehari mempunyai efektifitas yang sama. Dosis amoksisilin yang diberikan
adalah 25 mg/kgBB, sedangkan kotrimoksazol adalah 4 mg/kgBB TMP − 20
mg/kgBB sulfametoksazol.
Penumonia Rawat Inap
Pilihan antibiotik lini pertama dapat menggunakan antibiotik golongan
beta-laktam atau kloramfenikol. Pada pneumonia yang tidak responsif
terhadap beta-laktam dan kloramfenikol, dapat diberikan antibiotik lain
seperti gentamisin, amikasin, atau sefalosporin, sesuai dengan petunjuk etiologi
yang ditemukan. Sebaiknya segera dirujuk jika tidak tersedia antibiotik
yang sesuai.
Daftar Pustaka
1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pneumonia Komuniti. Pedoman
Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta. 2011.
2. Mandell Al, Wunderink RG, Bartlett JG, Campbell GD, Dean NC, Dowell
SE, etc. Infectious diseases society of America/American thoracic society
consensus guidelines on the management of community-acquired
pneumonia in adults. Clinical Infectious Diseases 2007; 44:27–72
3. Said M. Pneumonia. Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB, editor.
Buku ajar respirologi anak. Ed.1. Jakarta: IDAI;2011.p. 310-33.

9. Pneumotoraks
Tingkat kemampuan 4A
Definisi
Pneumotoraks adalah kondisi dimana terdapat udara bebas dalam rongga
pleura. Insiden pneumotoraks sulit diketahui karena episodenya banyak yang
tidak diketahui. Umumnya pria lebih banyak dari wanita.

Terdapat 2 jenis pneumotoraks, yaitu:


1. Pneumotoraks spontan primer adalah pneumotoraks yang terjadi tanpa
riwayat penyakit paru sebelumnya ataupun trauma, dan dapat terjadi pada
individu yang sehat. Terutama lebih sering pada laki, tinggi dan kurus, dan
perokok.
2. Pneumotoraks spontan sekunder adalah pneumotoraks yang terjadi pada
penderita yang memiliki riwayat penyakit paru sebelumnya seperti PPOK,
TB paru dan lain-lain.
Manifestasi Klinis
Keluhan
1. Pneumotoraks dapat menimbulkan keluhan atau tidak. Keluhan yang dapat
timbul adalah sesak napas, yang dapat disertai nyeri dada pada sisi yang
sakit. Nyeri dada tajam, timbul secara tiba-tiba, dan semakin nyeri jika
menarik napas dalam atau terbatuk. Keluhan timbul mendadak ketika tidak
sedang aktivitas.
2. Faktor risiko, di antaranya:
a. Infeksi, misalnya: tuberkulosis, pneumonia
b. Trauma
c. Merokok
Pemeriksaan Fisik
Gejala klinis :
1. Hiperkapnia
2. Hipotensi
3. Takikardi
4. Perubahan status mental
Pemeriksaan fisik paru :
a. Inspeksi paru, tampak sisi yang sakit lebih menonjol dan tertinggal pada
pernapasan
b. Palpasi paru, suara fremitus menurun di sisi yang sakit
c. Perkusi paru, ditemukan suara hipersonor dan pergeseran mediastinum ke
arah yang sehat
d. Auskultasi paru, didapatkan suara napas yang melemah dan jauh
Pemeriksaan Penunjang:
1. Foto toraks, didapatkan garis penguncupan paru yang sangat halus (pleural
line), dan gambaran avaskuler di sisi yang sakit. Bila disertai darah atau
cairan lainnya, akan tampak garis mendatar yang merupakan batas udara dan
cairan (air fluid level).
2. Pulse oxymetry. Pemeriksaan ini tidak untuk menegakkan diagnosis,
namun untuk menilai apakah telah terjadi gagal napas.
Kriteria Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
untuk diagnosis definitif dengan pemeriksaan penunjang.
Penatalaksanaan
1. Oksigen
2. Jika ada tanda kegagalan sirkulasi, dilakukan pemasangan IV line dengan
cairan kristaloid
3. Rujuk
Konseling dan Edukasi
Menjelaskan kepada pasien dan keluarga mengenai:
1. Bahaya dan komplikasi pneumotoraks
2. Pertolongan kegawatdaruratan pada pneumotoraks
3. Perlunya rujukan segera ke RS
Daftar Pustaka
1. Astowo P. Pneumotoraks. Dalam: Pulmonologi intervensi dan gawat
darurat napas. Swidarmoko B, Susanto AD, editor. Jakarta: Dep.
Pulmonologi dan Ked. Respirasi. 2010: 54-71.
2. MacDuff A, Arnold A, Harvey J. Management of spontaneous
pneumothorax: British Thoracic Society pleural diseases guideline 2010.
Thorax. 2010; 65:18-31.

10. PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronis)


Tingkat kemampuan 3B
Definisi
PPOK adalah penyakit paru kronik yang dapat dicegah dan diobati,
dikarakteristikkan dengan hambatan aliran udara yang persisten, progresif dan
berhubungan dengan peningkatan respons inflamasi kronis di paru terhadap
partikel dan gas berbahaya.
Manifestasi Klinis
1. Keluhan
a. Sesak napas
b. Kadang-kadang disertai mengi
c. Batuk kering atau dengan dahak yang produktif
d. Rasa berat di dada
2. Faktor risiko
a. Genetik
b. Pajanan partikel
 Asap rokok
 Debu kerja, organik dan inorganik
 Polusi udara dalam rumah dari pemanas atau biomassa rumah tangga
dengan ventilasi yang buruk
 Polusi udara bebas
c. Pertumbuhan dan perkembangan paru
d. Stres oksidatif
e. Jenis kelamin
f. Umur
g. Infeksi paru
h. Status sosial-ekonomi
i. Nutrisi.
j. Komorbiditas
3. Penilaian severitas gejala
Penilaian dapat dilakukan dengan kuesioner COPD Assesment Test (CAT)
yang terdiri atas 8 pertanyaan untuk mengukur pengaruh PPOK terhadap
status kesehatan pasien.
Pemeriksaan fisik
1. Inspeksi
a. Sianosis sentral pada membran mukosa mungkin ditemukan
b. Abnormalitas dinding dada yang menunjukkan hiper inflasi paru
termasuk iga yang tampak horizontal, barrel chest (diameter antero -
posterior dan transversal sebanding) dan abdomen yang menonjol keluar
c. Hemidiafragma mendatar
d. Laju respirasi istirahat meningkat lebih dari 20 kali/menit dan pola
napas lebih dangkal
e. Pursed - lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu), laju ekspirasi
lebih lambat memungkinkan pengosongan paru yang lebih efisien
f. Penggunaan otot bantu napas adalah indikasi gangguan pernapasan
g. Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis di
leher dan edema tungkai
2. Palpasi dan Perkusi
a. Sering tidak ditemukan kelainan pada PPOK
b. Irama jantung di apeks mungkin sulit ditemukan karena hiperinflasi
paru
c. Hiperinflasi menyebabkan hati letak rendah dan mudah di palpasi
3. Auskultasi
a. Pasien dengan PPOK sering mengalami penurunan suara napas tapi
tidak spesifik untuk PPOK
b. Mengi selama pernapasan biasa menunjukkan keterbatasan aliran
udara. Tetapi mengi yang hanya terdengar setelah ekspirasi paksa
tidak spesifik untuk PPOK
c. Ronki basah kasar saat inspirasi dapat ditemukan
d. Bunyi jantung terdengar lebih keras di area xiphoideus
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah uji jalan 6 menit
yang dimodifikasi. Untuk di Puskesmas dengan sarana terbatas, evaluasi yang
dapat digunakan adalah keluhan lelah yang timbul atau bertambah sesak.
Pemeriksaan-pemeriksaan ini dapat dilakukan bila fasilitas tersedia:
1. Spirometri
2. Peak flow meter (arus puncak respirasi)
3. Pulse oxymetry
4. Analisis gas darah
5. Foto toraks
6. Pemeriksaan darah rutin (Hb, Ht, leukosit, trombosit)
Kriteria Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
penunjang.
Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan di Puskesmas:
1. Mengurangi laju beratnya penyakit
2. Mempertahankan PPOK yang stabil
3. Mengatasi eksaserbasi ringan
4. Merujuk ke spesialis paru atau rumah sakit

Penatalaksanaan PPOK stabil


1. Obat-obatan dengan tujuan mengurangi laju beratnya penyakit dan
mempertahankan keadaan stabil.
2. Bronkodilator dalam bentuk oral, kombinasi golongan β2 agonis
(salbutamol) dengan golongan xantin (aminofilin dan teofilin). Masing-
masing dalam dosis suboptimal, sesuai dengan berat badan dan beratnya
penyakit. Untuk dosis pemeliharaan, aminofilin/teofilin 100-150 mg
kombinasi dengan salbutamol 1 mg.
3. Kortikosteroid digunakan dalam bentuk inhalasi, bila tersedia.
4. Ekspektoran dengan obat batuk hitam (OBH)
5. Mukolitik (ambroxol) dapat diberikan bila sputum mukoid.

Penatalaksanaan PPOK eksaserbasi


1. Oksigen (bila tersedia)
2. Bronkodilator
Pada kondisi eksaserbasi, dosis dan atau frekuensi bronkodilator kerja
pendek ditingkatkan dan dikombinasikan dengan antikolinergik.
Bronkodilator yang disarankan adalah dalam sediaan inhalasi. Jika tidak
tersedia, obat dapat diberikan secara injeksi, subkutan, intravena atau
perdrip, misalnya:
Adrenalin 0, 3 mg subkutan, digunakan dengan hati-hati
Aminofilin bolus 5 mg/kgBB (dengan pengenceran) harus perlahan (10
menit) utk menghindari efek samping.dilanjutkan dengan perdrip 0,5-0,8
mg/kgBB/jam.
3. Kortikosteroid
diberikan dalam dosis 30 mg/hari diberikan maksimal selama 2 minggu.
Pemberian selama 2 minggu tidak perlu tapering off.
4. Antibiotik yang tersedia di Puskesmas
5. Pada kondisi telah terjadi kor pulmonale, dapat diberikan diuretik dan perlu
berhati-hati dalam pemberian cairan.

Konseling dan Edukasi


1. Edukasi ditujukan untuk mencegah penyakit bertambah berat dengan
cara menggunakan obat-obatan yang tersedia dengan tepat,
menyesuaikan keterbatasan aktivitas serta mencegah eksaserbasi.
2. Pengurangan pajanan faktor risiko
3. Berhenti merokok
4. Keseimbangan nutrisi antara protein lemak dan karbohidrat, dapat
diberikan dalam porsi kecil tetapi sering.
5. Rehabilitasi
a. Latihan bernapas dengan pursed lip breathing
b. Latihan ekspektorasi
c. Latihan otot pernapasan dan ekstremitas
6. Terapi oksigen jangka panjang
Daftar Pustaka
1. Perhimpunan dokter paru Indonesia. Penyakit paru obstruktif kronik.
Diagnosis dan penatalaksanaan. Jakarta. 2011.
2. Global strategy for the diagnosis, management and prevention of chronic
obstructive pulmonary disease. GOLD, 2013.

11. Tuberkulosis (TB) Paru


Tingkat kemampuan 4A
Definisi
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang
disebabkan oleh kuman TB yaitu Mycobacterium tuberkulosis. Sebagian
besar kuman TB menyerang paru, namun dapat juga mengenai organ
tubuh lainnya. Indonesia merupakan negara yang termasuk sebagai 5 besar
dari 22 negara di dunia dengan beban TB. Kontribusi TB di Indonesia
sebesar 5,8%. Saat ini timbul kedaruratan baru dalam penanggulangan TB,
yaitu TB Resisten Obat (Multi Drug Resistance/ MDR).
Manifestasi Klinis
Suspek TB adalah seseorang dengan gejala atau tanda TB.
Gejala umum TB Paru adalah batuk produktif lebih dari 2 minggu, yang
disertai:
1. Gejala pernapasan (nyeri dada, sesak napas, hemoptisis) dan/atau
2. Gejala sistemik (demam, tidak nafsu makan, penurunan berat badan,
keringat malam dan mudah lelah).
Pemeriksaan Fisik
Kelainan pada TB Paru tergantung luas kelainan struktur paru.
Pada awal permulaan perkembangan penyakit umumnya sulit sekali
menemukan kelainan. Pada auskultasi terdengar suara napas
bronkhial/amforik/ronkhi basah/suara napas melemah di apex paru, tanda-
tanda penarikan paru, diafragma dan mediastinum.
Pemeriksaan Penunjang
1. Darah: limfositosis/ monositosis, LED meningkat, Hb turun.
2. Pemeriksaan mikroskopis kuman TB (Bakteri Tahan Asam/BTA) atau
kultur kuman dari spesimen sputum/dahak sewaktu-pagi-sewaktu.
3. Untuk TB non paru, spesimen dapat diambil dari bilas lambung, cairan
serebrospinal, cairan pleura ataupun biopsi jaringan.
4. Radiologi dengan foto toraks PA-Lateral/ top lordotik.
Pada TB, umumnya di apeks paru terdapat gambaran bercak-bercak
awan dengan batas yang tidak jelas atau bila dengan batas jelas
membentuk tuberkuloma. Gambaran lain yang dapat menyertai yaitu,
kavitas (bayangan berupa cincin berdinding tipis), pleuritis (penebalan
pleura), efusi pleura (sudut kostrofrenikus tumpul).
Kriteria Diagnosis
Diagnosis Pasti TB
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis
dan pemeriksaan penunjang (sputum untuk dewasa, tes tuberkulin pada
anak).
Kriteria Diagnosis
Berdasarkan International Standards for Tuberkulosis Care (ISTC 2014)
Standar Diagnosis
1. Untuk memastikan diagnosis lebih awal, petugas kesehatan harus
waspada terhadap individu dan grup dengan faktor risiko TB dengan
melakukan evaluasi klinis dan pemeriksaaan diagnostik yang tepat pada
mereka dengan gejala TB.
2. Semua pasien dengan batuk produktif yang berlangsung selama ≥ 2
minggu yang tidak jelas penyebabnya, harus dievaluasi untuk TB.
3. Semua pasien yang diduga menderita TB dan mampu mengeluarkan
dahak, harus diperiksa mikroskopis spesimen apusan sputum/dahak
minimal 2 kali atau 1 spesimen sputum untuk pemeriksaan Xpert
MTB/RIF*, yang diperiksa di laboratorium yang kualitasnya terjamin,
salah satu diantaranya adalah spesimen pagi. Pasien dengan risiko
resistensi obat, risiko HIV atau sakit parah sebaiknya melakukan
pemeriksan Xpert MTB/RIF* sebagai uji diagnostik awal. Uji serologi
darah dan interferon-gamma release assay sebaiknya tidak digunakan
untuk mendiagnosis TB aktif.
4. Semua pasien yang diduga tuberkulosis ekstra paru, spesimen dari
organ yang terlibat harus diperiksa secara mikrobiologis dan histologis.
Uji Xpert MTB/RIF direkomendasikan sebagai pilihan uji
mikrobiologis untuk pasien terduga meningitis karena membutuhkan
penegakan diagnosis yang cepat.
5. Pasien terduga TB dengan apusan dahak negatif, sebaiknya dilakukan
pemeriksaan Xpert MTB/RIF dan/atau kultur dahak. Jika apusan dan uji
Xpert MTB/RIF* negatif pada pasien denga gejala klinis yang
mendukung TB, sebaiknya segera diberikan pengobatan anti
tuberkulosis setelah pemeriksaan kultur.
Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan:
1. Menyembuhkan, mengembalikan kualitas hidup dan produktivitas
pasien.
2. Mencegah kematian akibat TB aktif atau efek lanjutan.
3. Mencegah kekambuhan TB.
4. Mengurangi penularan TB kepada orang lain.
5. Mencegah terjadinya resistensi obat dan penularannya
Prinsip-prinsip terapi:
1. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) harus diberikan dalam bentuk
kombinasi dari beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis
tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Hindari penggunaan
monoterapi.
2. Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tepat (KDT) / Fixed Dose
Combination (FDC) akan lebih menguntungkan dan dianjurkan.
3. Obat ditelan sekaligus (single dose) dalam keadaan perut kosong.
4. Setiap praktisi yang mengobati pasien tuberkulosis mengemban tanggung
jawab kesehatan masyarakat.
5. Semua pasien (termasuk mereka yang terinfeksi HIV) yang belum
pernah diobati harus diberi paduan obat lini pertama.
6. Untuk menjamin kepatuhan pasien berobat hingga selesai, diperlukan
suatu pendekatan yang berpihak kepada pasien (patient centered
approach) dan dilakukan dengan pengawasan langsung (DOT=
directly observed treatment) oleh seorang pengawas menelan obat.
7. Semua pasien harus dimonitor respons pengobatannya. Indikator
penilaian terbaik adalah pemeriksaan dahak berkala yaitu pada akhir
tahap awal, bulan ke-5 dan akhir pengobatan.
8. Rekaman tertulis tentang pengobatan, respons bakteriologis dan efek
samping harus tercatat dan tersimpan.
Tabel Dosis obat antituberkulosis KDT/FDC
Berat Fase Intensif Fase Lanjutan
Bada Harian Harian 3x/minggu Haria 3x/mingg
n (R/H/Z/E) (R/H/Z) (R/H/Z) n u
150/75/400/27 150/75/4 150/150/50 (R/H) (R/H)
5 0 0 150/75 150/150
30-37 2 2 2 2 2
38-54 3 3 3 3 3
55-70 4 4 4 4 4
>71 5 5 5 5 5

Tabel Dosis obat berdasarkan BB


Rekomendasi dosis dalam mg/kgBB
Obat Harian 3x/minggu
INH 5(4-6) max 300mg/hr 10(8-12) max 900mg/dosis
RIF 10(8-12) max 600mg/hr 10(8-12) max 600mg/dosis
PZA 25(20-30) max 1600mg/hr 35(30-40) max 2400mg/dosis
EMB 15(15-20) max 1600mg/hr 30(25-35) max 2400mg/dosis

Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap awal dan lanjutan


1. Tahap awal menggunakan paduan obat rifampisin, isoniazid,
pirazinamid dan etambutol.
a. Pada tahap awal pasien mendapat pasien yang terdiri dari 4 jenis
obat (rifampisin, isoniazid, pirazinamid dan etambutol), diminum
setiap hari dan diawasi secara langsung untuk menjamin kepatuhan
minum obat dan mencegah terjadinya kekebalan obat.
b. Bila pengobatan tahap awal diberikan secara adekuat, daya
penularan menurun dalam kurun waktu 2 minggu.
c. Pasien TB paru BTA positif sebagian besar menjadi BTA negatif
(konversi) setelah menyelesaikan pengobatan tahap awal. Setelah
terjadi konversi pengobatan dilanujtkan dengan tahap lanjut.
2. Tahap lanjutan menggunakan paduan obat rifampisin dan isoniazid
a. Pada tahap lanjutan pasien mendapat 2 jenis obat (rifampisin dan
isoniazid), namun dalam jangka waktu yg lebih lama (minimal 4
bulan).
b. Obat dapat diminum secara intermitten yaitu 3x/minggu (obat
program) atau tiap hari (obat non program).
c. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten sehingga
mencegah terjadinya kekambuhan.

Panduan OAT lini pertama yang digunakan oleh Program Nasional


Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia adalah sebagai berikut :
1. Kategori 1 : 2HRZE/4H3R3
Artinya pengobatan tahap awal selama 2 bulan diberikan tiap hari dan
tahap lanjutan selama 4 bulan diberikan 3 kali dalam seminggu. Jadi lama
pengobatan seluruhnya 6 bulan.
2. Kategori 2 : 2HRZES/HRZE/5H3R3E3
Diberikan pada TB paru pengobatan ulang (TB kambuh, gagal
pengobatan, putus berobat/default). Pada kategori 2, tahap awal
pengobatan selama 3 bulan terdiri dari 2 bulan RHZE ditambah
suntikan streptomisin, dan 1 bulan HRZE. Pengobatan tahap awal
diberikan setiap hari. Tahap lanjutan diberikan HRE selama 5 bulan, 3
kali seminggu. Jadi lama pengobatan 8 bulan.
3. OAT sisipan : HRZE
Apabila pemeriksaan dahak masih positif (belum konversi) pada akhir
pengobatan tahap awal kategori 1 maupun kategori 2, maka diberikan
pengobatan sisipan selama 1 bulan dengan HRZE.
Konseling dan Edukasi
1. Memberikan informasi kepada pasien dan keluarga tentang penyakit
tuberkulosis
2. Pengawasan ketaatan minum obat dan kontrol secara teratur.
3. Pola hidup sehat dan sanitasi lingkungan
Daftar Pustaka
1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis. PDPI. Jakarta.
2011.
2. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan. Pedoman nasional pengendalian tuberkulosis. Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI. 2011.
3. Tuberkulosis Coalition for Technical Assistance. International standards
for tuberkulosis tare (ISTC). 3nd Ed. Tuberkulosis Coalition for
Technical Assistance. The Hague. 2014.
4. Panduan tata laksana tuberkulosis sesuai ISTC dengan strategi DOTS
untuk praktik dokter swasta (DPS). Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia dan Ikatan Dokter Indonesia. Jakarta. 2012.
5. Braunwald, E. Fauci, A.S. Kasper, D.L. Hauser, S.L. et al.
Mycobacterial disease: Tuberkulosis. Harrisson’s: principle of internal
medicine. 17th Ed. New York: McGraw-Hill Companies. 2009: hal.
1006 - 1020.
b. Tuberkulosis (TB) paru pada anak
Manifestasi Klinis
Anak kecil seringkali tidak menunjukkan gejala walaupun sudah tampak
pembesaran kelenjar hilus pada foto toraks. Gejala sistemik/umum TB pada
anak:
1. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) atau berkurang, disertai gagal tumbuh
(failure to thrive).
2. Masalah Berat Badan (BB):
a. BB turun selama 2-3 bulan berturut-turut tanpa sebab yang jelas,
ATAU
b. BB tidak naik dalam 1 bulan setelah diberikan upaya perbaikan gizi
yang baik ATAU
c. BB tidak naik dengan adekuat.
3. Demam lama (≥2 minggu) dan atau berulang tanpa sebab yang jelas
(bukan demam tifoid, infeksi saluran kemih, malaria, dan lain lain).
Demam umumnya tidak tinggi (subfebris) dan dapat disertai keringat
malam.
4. Lesu atau malaise, anak kurang aktif bermain.
5. Batuk lama atau persisten ≥3 minggu, batuk bersifat non-remitting (tidak
pernah reda atau intensitas semakin lama semakin parah) dan penyebab
batuk lain telah disingkirkan
6. Keringat malam dapat terjadi, namun keringat malam saja apabila tidak
disertai dengan gejala-gejala sistemik/umum lain bukan merupakan
gejala spesifik TB pada anak
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada anak tidak spesifik tergantung seberapa berat
manifestasi respirasi dan sistemiknya.
Pemeriksaan Penunjang
1. Uji Tuberkulin
Uji tuberkulin cara Mantoux dilakukan dengan menyuntikkan 0,1 ml PPD
RT-23 2TU atau PPD S 5TU, secara intrakutan di bagian volar lengan
bawah. Pembacaan dilakukan 48−72 jam setelah penyuntikan. Pengukuran
dilakukan terhadap indurasi yang timbul, bukan hiperemi/eritemanya.
Indurasi diperiksa dengan cara palpasi untuk menentukan tepi indurasi,
ditandai dengan pulpen, kemudian diameter transversal indurasi diukur
dengan alat pengukur transparan, dan hasilnya dinyatakan dalam
milimeter. Jika tidak timbul indurasi sama sekali, hasilnya dilaporkan
sebagai 0 mm, jangan hanya dilaporkan sebagai negatif. Selain ukuran
indurasi, perlu dinilai tebal tipisnya indurasi dan perlu dicatat jika ditemukan
vesikel hingga bula. Secara umum, hasil uji tuberkulin dengan diameter
indurasi ≥10 mm dinyatakan positif tanpa menghiraukan penyebabnya.
2. Foto toraks
Gambaran foto toraks pada TB tidak khas; kelainan-kelainan radiologis pada
TB dapat juga dijumpai pada penyakit lain. Foto toraks tidak cukup hanya
dibuat secara antero-posterior (AP), tetapi harus disertai dengan foto
lateral, mengingat bahwa pembesaran KGB di daerah hilus biasanya lebih
jelas. Secara umum, gambaran radiologis yang sugestif TB adalah sebagai
berikut:
a. Pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat
b. Konsolidasi segmental/lobar
c. Milier
d. Kalsifikasi dengan infiltrat
e. Atelektasis
f. Kavitas
g. Efusi pleura
h. Tuberkuloma
3. Mikrobiologis
Pemeriksaan di atas sulit dilakukan pada anak karena sulitnya
mendapatkan spesimen berupa sputum. Sebagai gantinya, dilakukan
pemeriksaan bilas lambung (gastric lavage) 3 hari berturut-turut, minimal
2 hari. Hasil pemeriksaan mikroskopik langsung pada anak sebagian besar
negatif, sedangkan hasil biakan M. tuberculosis memerlukan waktu yang
lama yaitu sekitar 6−8 minggu. Saat ini ada pemeriksaan biakan yang
hasilnya diperoleh lebih cepat (1−3 minggu), yaitu pemeriksaan Bactec,
tetapi biayanya mahal dan secara teknologi lebih rumit.
Kriteria Diagnosis
Pasien TB anak dapat ditemukan melalui dua pendekatan utama, yaitu :
1. Investigasi terhadap anak yang kontak erat dengan pasien TB dewasa aktif
dan menular
2. Anak yang datang ke pelayanan kesehatan dengan gejala dan tanda klinis
yang mengarah ke TB. (Gejala klinis TB pada anak tidak khas).
Sistem skoring (scoring system) diagnosis TB membantu tenaga kesehatan
agar tidak terlewat dalam mengumpulkan data klinis maupun pemeriksaan
penunjang sederhana sehingga diharapkan dapat mengurangi terjadinya
underdiagnosis maupun overdiagnosis.
Anak dinyatakan probable TB jika skoring mencapai nilai 6 atau lebih.
Namun demikian, jika anak yang kontak dengan pasien BTA positif dan uji
tuberkulinnya positif namun tidak didapatkan gejala, maka anak cukup
diberikan profilaksis INH terutama anak balita.
Catatan:
1. Bila BB kurang, diberikan upaya perbaikan gizi dan dievaluasi selama 1
bulan.
2. Demam (> 2 minggu) dan batuk (> 3 minggu) yang tidak membaik setelah
diberikan pengobatan sesuai baku terapi di puskesmas
3. Gambaran foto toraks mengarah ke TB berupa: pembesaran kelenjar hilus
atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat, atelektasis, konsolidasi
segmental/lobar, milier, kalsifikasi dengan infiltrat, tuberkuloma.
4. Semua bayi dengan reaksi cepat (< 2 minggu) saat imunisasi BCG harus
dievaluasi dengan sistem skoring TB anak.
Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dengan gejala klinis yang
meragukan, maka pasien tersebut dirujuk ke rumah sakit untuk evaluasi lebih
lanjut.
Gambar Sistem Skoring TB anak
Penatalaksanaan

Tabel OAT Kombinasi Dosis Tepat (KDT) pada anak


Berat Badan (kg) 2 bulan tiap hari 4 bulan tiap hari
3KDT Anak 2KDT Anak
RHZ (75/50/150) RH (75/50)
5-9 1 tablet 1 tablet
10-14 2 tablet 2 tablet
15-19 3 tablet 3 tablet
20-32 4 tablet 4 tablet

Keterangan:
1. Bayi dengan berat badan kurang dari 5 kg harus dirujuk ke rumah sakit
2. Anak dengan BB > 33 kg, harus dirujuk ke rumah sakit.
3. Obat harus diberikan secara utuh, tidak boleh dibelah.
4. OAT KDT dapat diberikan dengan cara: ditelan secara utuh atau digerus
sesaat sebelum diminum.
Sumber Penularan Dan Case Finding TB Anak
Apabila kita menemukan seorang anak dengan TB, maka harus dicari
sumber penularan yang menyebabkan anak tersebut tertular TB. Sumber
penularan adalah orang dewasa yang menderita TB aktif dan kontak erat
dengan anak tersebut. Pelacakan sumber infeksi dilakukan dengan cara
pemeriksaan radiologis dan BTA sputum (pelacakan sentripetal).
Evaluasi Hasil Pengobatan
Sebaiknya pasien kontrol setiap bulan. Evaluasi hasil pengobatan
dilakukan setelah 2 bulan terapi. Evaluasi pengobatan dilakukan dengan
beberapa cara, yaitu evaluasi klinis, evaluasi radiologis, dan pemeriksaan
LED. Evaluasi yang terpenting adalah evaluasi klinis, yaitu menghilang atau
membaiknya kelainan klinis yang sebelumnya ada pada awal pengobatan,
misalnya penambahan BB yang bermakna, hilangnya demam, hilangnya
batuk, perbaikan nafsu makan, dan lain-lain. Apabila respons pengobatan
baik, maka pengobatan dilanjutkan. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya,
OAT dapat menimbulkan berbagai efek samping. Efek samping yang cukup
sering terjadi pada pemberian isoniazid dan rifampisin adalah gangguan
gastrointestinal, hepatotoksisitas, ruam dan gatal, serta demam.
Daftar Pustaka
1. Rahajoe NN, Setyanto DB. Diagnosis tuberculosis pada anak. Rahajoe
NN, Supriyatno B, Setyanto DB, editor. Buku ajar respirologi anak. Edisi
I. Jakarta: IDAI;2011.p. 170-87.
SISTEM KARDIOVASKULAR

1. Hipertensi Esensial
Tingkat kemampuan 4A
Definisi
Hipertensi adalah suatu keadaan di mana terjadinya peningkatan
tekanan darah yang dapat memberi gejala berlanjut pada suatu target organ
tubuh sehingga bisa menyebabkan kerusakan lebih berat seperti stroke (terjadi
pada otak dan berdampak pada kematian yang tinggi), penyakit jantung koroner
(terjadi pada kerusakan pembuluh darah jantung), dan penyempitan ventrikel
kiri / bilik kiri (terjadi pada otot jantung). Selain penyakit tersebut dapat pula
menyebabkan gagal ginjal, diabetes mellitus, dan lain-lain.
The Joint National Community on Preventation, Detection,Evaluation
and Treatment of High Blood Preassure 7 (JNC-7), WHO dan European
Society of Hipertension mendefinisikan hipertensi sebagai kondisi dimana
tekanan darah sistolik seseorang lebih dari 140 mmHg atau tekanan darah
diastoliknya lebih dari 90 mmHg.
Patofisiologi
Patofisiologi terjadinya hipertensi hingga saat ini belum diketahui
secara jelas. Teori yang berkembang menghubungkan kejadian hipertensi
dengan kenaikan resistensi vaskular. Peningkatan resistensi vaskular dapat
dipicu oleh beberapa agen vasokonstriktor seperti angiotensin II atau
norepinephrin atau dapat terjadi karena hasil dari keadaan hipovolemia relatif.
Penelitian terhadap hewan menunjukkan bahwa aktivasi dari renin-
angiotensin-aldosteron merupakan bagian yang penting dari proses terjadinya
hipertensi.
Selama terjadinya kenaikan tekanan darah, endothelium berkompensasi
dengan keadaan resistensi vaskular dengan meningkatkan pengeluaran dari
molekul vasodilator seperti nitric oxide. Hipertensi yang bertahan atau parah,
respon kompensasi dari vasodilator tidak lagi mampu mengatasi keadaan
tersebut, mengakibatkan terjadinya dekompensasi endothelial yang nantinya
akan menyebabkan peningkatan yang lebih lagi dari tekanan darah dan
terjadinya kerusakan endotel. Kejadian lanjutan yang terjadi adalah siklus
kegagalan homeostasis yang menyebabkan peingkatan resistensi vaskular dan
kerusakan endotel yang lebih jauh. Mekanisme pasti dari kerusakan fungsi
endotel belum dapat dijelaskan. Mekanisme yang dipertimbangkan adalah
respon proinflamasi yang dipicu oleh “mechanical stretching” seperti
pengeluaran sitokin-sitokin dan monocyte chemotatic protein 1, peningkatan
konsentrasi endothelial cell cytosolic calcium, pengeluaran vasokonstriktor
endothelin 1 dan peningkatan ekspresi dari endothelial adhesion molecule.
Peningkatan ekspresi dari vaskular adhesion molecule seperti P-selectin, E-
selectine atau intracellular adhesion molecule 1 oleh sel endotel memicu
inflamasi lokal dan menyebabkan kerusakan tambahan dari fungsi endotel.

Gambar Patofisiologi vaskular hipertensi


A. Sel endothelium mengatur resistensi vaskular dengan mengeluarkan Nitric
Oxide (NO) dan Prostasiklin.
B. Perubahan akut resistensi vaskular karena produksi berlebihan dari
katekolamin, angiotensin II, vasopressin, aldosteron, tromboxan dan
endotelin 1. Atau produksi rendah dari vasodilator endogen seperti NO
dan PGI2. Kenaikan tekanan darah secara mendadak dapat memicu
ekspresi dari Cellular Adhesion Molecule(CAMs) oleh endothelium.
C. Keadaan hipertensi emergensi, sel endotel tidak dapat lagi mengontrol
tonus vaskular menyebabkan terjadinya hiperperfusi end-organ, nekrosis
fibrioid arterial dan peningkatan permeabilitas vaskular dengan edema
perivaskular. Berkurangnya aktivitas fibrinolitik ditambah dengan aktivasi
koagulasi dan trombosit menyebabkan terjadinya disseminated
intravaskular coagulation (DIC).
Semua kejadian molekular ini pada akhirnya akan memicu terjadinya
peningkatan permeabilitas endotel, menghambat fibrinolitik lokal dari
endothel dan mengaktifkan jalur koagulasi. Agregasi trombosit, dan
degranulasi pada endothelium yang telah rusak, dapat memicu terjadinya
inflamasi yang lebih parah, trombosis dan vasokonstriksi.
Manifestasi Klinis
Keluhan
Mulai dari tidak bergejala sampai dengan bergejala. Keluhan hipertensi antara
lain:
1. Sakit atau nyeri kepala
2. Gelisah
3. Jantung berdebar-debar
4. Pusing
5. Leher kaku
6. Penglihatan kabur
7. Rasa sakit di dada
Keluhan tidak spesifik antara lain tidak nyaman kepala, mudah lelah dan
impotensi.
Faktor Risiko
Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi:
1. Umur
2. Jenis kelamin
3. Riwayat hipertensi dan penyakit kardiovaskular dalam keluarga.
Faktor risiko yang dapat dimodifikasi:
1. Riwayat pola makan (konsumsi garam berlebihan)
2. Konsumsi alkohol berlebihan
3. Aktivitas fisik kurang
4. Kebiasaan merokok
5. Obesitas
6. Dislipidemia
7. Diabetus Melitus
8. Psikososial dan stres
Pemeriksaan Fisik
1. Pasien tampak sehat, dapat terlihat sakit ringan-berat bila terjadi
komplikasi hipertensi ke organ lain.
2. Tekanan darah meningkat sesuai kriteria JNC VII.
3. Pada pasien dengan hipertensi, wajib diperiksa status neurologis dan
pemeriksaan fisik jantung (tekanan vena jugular, batas jantung, dan
ronki).
Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
Urinalisis (proteinuria), tes gula darah, profil lipid, ureum, kreatinin
2. X ray thoraks
3. EKG
4. Funduskopi
Kriteria Diagnosis
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Tabel Klasifikasi tekanan darah berdasarkan Joint National Committee VII
(JNC VII)
Klasifikasi TD Sistolik TD Diastolik
Normal < 120 mmHg < 80 mmHg
Pre-Hipertensi 120-139 mmHg 80-89 mmHg
Hipertensi stage-1 140-159 mmHg 80-99 mmHg
Hipertensi stage-2 ≥ 160 mmHg ≥ 100 mmHg
Diagnosis Banding
White collar hypertension, Nyeri akibat tekanan intraserebral, Ensefalitis.
Penatalaksanaan
Peningkatan tekanan darah dapat dikontrol dengan perubahan gaya
hidup dan terapi farmakologis.
Tabel Modifikasi gaya hidup untuk hipertensi
Modifikasi Rekomendasi Rerata penurunan TDS
Penurunan berat Jaga berat badan ideal (BMI 5-20 mmHg/10kg
badan 18,5-24,9 kg/m2)

Dietary Diet kaya buah, sayuran, 8-14 mmHg


Approaches to produk rendah lemak dengan
Stop Hypertension jumlah lemak total dan
(DASH) lemak jenuh yang rendah

Pembatasan asupan Kurangi hingga <100 mmol 2-8 mmHg


natrium per hari (2.0 g natrium atau
6.5 g natrium klorida atau 1
sendok teh garam perhari)
Aktivitas fisik Aktivitas fisik aerobic yang 4-9 mmHg
aerobic teratur (mis: jalan cepat) 30
menit sehari, hampir setiap
hari dalam seminggu

Stop alkohol 2-4 mmHg


Gambar Algoritme tatalaksana hipertensi

1. Hipertensi tanpa compelling indication


a. Hipertensi stage 1 dapat diberikan diuretik (HCT 12.5-50 mg/hari, atau
pemberian penghambat ACE (captopril 3x12,5-50 mg/hari), atau nifedipin
long acting 30-60 mg/hari) atau kombinasi.
b. Hipertensi stage 2
Bila target terapi tidak tercapai setelah observasi selama 2 minggu, dapat
diberikan kombinasi 2 obat, biasanya golongan diuretik, tiazid dan
penghambat ACE atau penyekat reseptor beta atau penghambat kalsium.
c. Pemilihan anti hipertensi didasarkan ada tidaknya kontraindikasi dari
masing-masing antihipertensi di atas. Sebaiknya pilih obat hipertensi yang
diminum sekali sehari atau maksimum 2 kali sehari.
Bila target tidak tercapai maka dilakukan optimalisasi dosis atau ditambahkan
obat lain sampai target tekanan darah tercapai.
2. Kondisi khusus lain
a. Lanjut Usia
i. Diuretik (tiazid) mulai dosis rendah 12,5 mg/hari.
ii. Obat hipertensi lain mempertimbangkan penyakit penyerta.
b. Kehamilan
i. Golongan metildopa, penyekat reseptor β, antagonis kalsium,
vasodilator.
ii. Penghambat ACE dan antagonis reseptor AII tidak boleh digunakan
selama kehamilan.
Komplikasi
1. Hipertrofi ventrikel kiri
2. Proteinurea dan gangguan fungsi ginjal
3. Aterosklerosis pembuluh darah
4. Retinopati
5. Stroke atau TIA
6. Gangguan jantung, misalnya infark miokard, angina pektoris, serta gagal jantung
Konseling dan Edukasi
1. Edukasi tentang cara minum obat di rumah, perbedaan antara obat-obatan
yang harus diminum untuk jangka panjang (misalnya untuk mengontrol tekanan
darah) dan pemakaian jangka pendek untuk menghilangkan gejala (misalnya
untuk mengatasi mengi), cara kerja tiap-tiap obat, dosis yang digunakan untuk
tiap obat dan berapa kali minum sehari.
2. Pemberian obat anti hipertensi merupakan pengobatan jangka panjang.
Kontrol pengobatan dilakukan setiap 2 minggu atau 1 bulan untuk
mengoptimalkan hasil pengobatan.
3. Penjelasan penting lainnya adalah tentang pentingnya menjaga kecukupan
pasokan obat-obatan dan minum obat teratur seperti yang disarankan
meskipun tak ada gejala.
4. Individu dan keluarga perlu diinformasikan juga agar melakukan pengukuran
kadar gula darah, tekanan darah dan periksa urin secara teratur. Pemeriksaan
komplikasi hipertensi dilakukan setiap 6 bulan atau minimal 1 tahun sekali.
Daftar Pustaka
1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid II edisi V. Jakarta: Interna Publishing. 2009.
2. Chobaniam AV. Seventh Report of the Joint National Committee on
Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure.
JAMA 2003;289: Hal. 2560-2572.
3. Sherwood, L. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta: EGC.2011.
4. Oparil, S. Pathogenesis of Hypertension. Ann Intern Med 2003; 139: Hal.
761-776.
5. Ikatan Dokter Indonesia. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan Primer. 2014.

2. Infark Miokard
Tingkat kemampuan 3B
Definisi
Infark miokard (IM) adalah perkembangan cepat dari nekrosis otot
jantung yang disebabkan oleh ketidakseimbangan kritis antara suplai oksigen
dan kebutuhan miokardium. Umumnya disebabkan ruptur plak dan trombus
dalam pembuluh darah koroner dan mengakibatkan kekurangan suplai darah ke
miokardium.
Patofisiologi
Kejadian infark miokard diawali dengan terbentuknya aterosklerosis
yang kemudian ruptur dan menyumbat pembuluh darah. Penyakit aterosklerosis
ditandai dengan formasi bertahap fatty plaque di dalam dinding arteri. Lama-
kelamaan plak ini terus tumbuh ke dalam lumen, sehingga
diameter lumen menyempit. Penyempitan lumen mengganggu aliran darah ke
distal dari tempat penyumbatan terjadi.
Faktor-faktor seperti usia, genetik, diet, merokok, diabetes mellitus tipe II,
hipertensi, reactive oxygen species dan inflamasi menyebabkan disfungsi dan
aktivasi endotelial. Pemaparan terhadap faktor-faktor di atas menimbulkan
injury bagi sel endotel. Akibat disfungsi endotel, sel-sel tidak dapat lagi
memproduksi molekul-molekul vasoaktif seperti nitric oxide, yang berkerja
sebagai vasodilator, anti-trombotik dan anti-proliferasi. Sebaliknya, disfungsi
endotel justru meningkatkan produksi vasokonstriktor, endotelin-1, dan
angiotensin II yang berperan dalam migrasi dan pertumbuhan sel.
Leukosit yang bersirkulasi menempel pada sel endotel teraktivasi. Kemudian
leukosit bermigrasi ke sub endotel dan berubah menjadi makrofag. Di sini
makrofag berperan sebagai pembersih dan bekerja mengeliminasi kolesterol
LDL.Sel makrofag yang terpajan dengan kolesterol LDL teroksidasi disebut sel
busa (foam cell). Faktor pertumbuhan dan trombosit menyebabkan migrasi otot
polos dari tunika media ke dalam tunika intima dan proliferasi matriks. Proses
ini mengubah bercak lemak menjadi ateroma matur. Lapisan fibrosa menutupi
ateroma matur, membatasi lesi dari lumen pembuluh darah. Perlekatan trombosit
ke tepian ateroma yang kasar menyebabkan terbentuknya trombosis. Ulserasi
atau ruptur mendadak lapisan fibrosa atau perdarahan yang terjadi dalam
ateroma menyebabkan oklusi arteri.
Penyempitan arteri koroner segmental banyak disebabkan oleh formasi plak.
Kejadian tersebut secara temporer dapat memperburuk keadaan obstruksi,
menurunkan aliran darah koroner, dan menyebabkan manifestasi klinis infark
miokard. Lokasi obstruksi berpengaruh terhadap kuantitas iskemia miokard
dan keparahan manifestasi klinis penyakit. Oleh sebab itu, obstruksi kritis pada
arteri koroner kiri atau arteri koroner desendens kiri berbahaya.
Pada saat episode perfusi yang inadekuat, kadar oksigen ke jaringan miokard
menurun dan dapat menyebabkan gangguan dalam fungsi mekanis, biokimia
dan elektrikal miokard. Perfusi yang buruk ke subendokard jantung
menyebabkan iskemia yang lebih berbahaya. Perkembangan cepat iskemia
yang disebabkan oklusi total atau subtotal arteri koroner berhubungan dengan
kegagalan otot jantung berkontraksi dan berelaksasi.
Selama kejadian iskemia, terjadi beragam abnormalitas metabolisme,
fungsi dan struktur sel. Miokard normal memetabolisme asam lemak dan
glukosa menjadi karbon dioksida dan air. Akibat kadar oksigen yang
berkurang, asam lemak tidak dapat dioksidasi, glukosa diubah menjadi asam
laktat dan pH intrasel menurun. Keadaaan ini mengganggu stabilitas membran
sel. Gangguan fungsi membran sel menyebabkan kebocoran kanal K+ dan
ambilan Na+ oleh monosit. Keparahan dan durasi dari ketidakseimbangan antara
suplai dan kebutuhan oksigen menentukan apakah kerusakan miokard yang
terjadi reversibel (<20 menit) atau ireversibel (>20 menit). Iskemia yang
ireversibel berakhir pada infark miokard.
Ketika aliran darah menurun tiba-tiba akibat oklusi trombus di arteri
koroner, maka terjadi infark miokard tipe elevasi segmen ST (STEMI).
Perkembangan perlahan dari stenosis koroner tidak menimbulkan STEMI
karena dalam rentang waktu tersebut dapat terbentuk pembuluh darah
kolateral. Dengan kata lain STEMI hanya terjadi jika arteri koroner tersumbat
cepat.
Non STEMI merupakan tipe infark miokard tanpa elevasi segmen ST yang
disebabkan oleh obstruksi koroner akibat erosi dan ruptur plak. Erosi dan
ruptur plak ateroma menimbulkan ketidakseimbangan suplai dan kebutuhan
oksigen. Pada Non STEMI, trombus yang terbentuk biasanya tidak
menyebabkan oklusi menyeluruh lumen arteri koroner.
Infark miokard dapat bersifat transmural dan subendokardial
(nontransmural). Infark miokard transmural disebabkan oleh oklusi arteri
koroner yang terjadi cepat yaitu dalam beberapa jam hingga minimal 6-8 jam.
Semua otot jantung yang terlibat mengalami nekrosis dalam waktu yang
bersamaan. Infark miokard subendokardial terjadi hanya di sebagian miokard
dan terdiri dari bagian nekrosis yang telah terjadi pada waktu berbeda-beda.
Manifestasi klinis
Keluhan
1. Nyeri dada retrosternum seperti tertekan atau tertindih benda berat.
2. Nyeri menjalar ke dagu, leher, tangan, punggung, dan epigastrium.
Penjalaran ke tangan kiri lebih sering terjadi.
3. Disertai gejala tambahan berupa sesak, mual, muntah, nyeri
epigastrium, keringat dingin, dan cemas.
Faktor Risiko
Yang tidak dapat diubah:
1. Usia
Risiko meningkat pada pria diatas 45 tahun dan wanita diatas 55 tahun
(umumnya setelah menopause)
2. Jenis kelamin
Morbiditas akibat penyakit jantung koroner (PJK) pada laki-laki dua kali
lebih besar dibandingkan pada perempuan, hal ini berkaitan dengan estrogen
endogen yang bersifat protektif pada perempuan. Hal ini terbukti insidensi
PJK meningkat dengan cepat dan akhirnya setara dengan laki- laki pada
wanita setelah masa menopause.
3. Riwayat keluarga
Riwayat keluarga PAK (Penyakit Arteri Koroner) dini yaitu ayah usia < 55
tahun dan ibu < 65 tahun.
Yang dapat di ubah:
1. Mayor
a. Peningkatan lipid serum
b. Hipertensi
c. Merokok
d. Konsumsi alkohol
e. Diabetes Melitus
f. Diet tinggi lemak jenuh, kolesterol dan kalori
2. Minor
a. Aktivitas fisik kurang
b. Stress psikologik
c. Tipe kepribadian
Pemeriksaan Fisik
1. Pasien biasanya terbaring dengan gelisah dan kelihatan pucat
2. Hipertensi/hipotensi
3. Dapat terdengar suara murmur dan gallop S3
4. Ronki basah disertai peningkatan vena jugularis dapat ditemukan pada
AMI yang disertai edema paru
5. Dapat ditemukan aritmia
Pemeriksaan Penunjang
EKG:
1. Pada ST Elevation Myocardial infarct (STEMI), terdapat elevasi segmen
ST diikuti dengan perubahan sampai inversi gelombang T, kemudian muncul
peningkatan gelombang Q minimal di dua sadapan.
2. Pada Non ST Elevation Myocardial infarct (NSTEMI), EKG yg ditemukan
dpt berupa depresi segmen ST dan inversi gelombang T,atau EKG yang
normal.
Penegakan Diagnosis
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasar anamnesis, pemeriksaan fisik dan
penunjang. Kriteria diagnosis pasti jika terdapat 2 dari 3 hal di bawah ini:1
1. Klinis: nyeri dada khas angina
2. EKG: ST elevasi atau ST depresi atau T inverted.
3. Laboratorium: peningkatan enzim jantung
Klasifikasi
1. STEMI
2. NSTEMI / UAP
Diagnosis Banding
Angina pektoris prinzmetal, Unstable angina pectoris, Ansietas, Diseksi
aorta, Dispepsia, Miokarditis, Pneumothoraks, Emboli paru.
Penatalaksanaan
Tujuan utama tatalaksana IMA adalah mendiagnosis secara cepat,
menghilangkan nyeri dada, menilai dan mengimplementasikan strategi
reperfusi yang mungkin dilakukan, memberi antitrombotik dan anti platelet,
memberi obat penunjang. Terdapat beberapa pedoman (guideline) dalam
tatalaksana IMA dengan elevasi ST yaitu dari ACC/AHA tahun 2009 dan ESC
tahun 2008, tetapi perlu disesuaikan dengan kondisi sarana/fasilitas di masing-
masing tempat dan kemampuan ahli yang ada.
Tatalaksana awal
Tatalaksana Pra Rumah Sakit
Kematian di luar rumah sakit pada STEMI sebagian besar diakibatkan
adanya fibrilasi ventrikel mendadak, yang terjadi dalam 24 jam pertama onset
gejala dan lebih dari separuhnya terjadi pada jam pertama, sehingga elemen
utama tatalaksana pra hospital pada pasien yang dicurigai STEMI antara lain:
1) Pengenalan gejala oleh pasien dan segera mencari pertolongan medis.
2) Pemanggilan tim medis emergensi yang dapat melakukan tindakan
resusitasi
3) Transportasi pasien ke rumah sakit yang mempunyai fasilitas ICCU/ICU
serta staf medis dokter dan perawat yang terlatih.
4) Melakukan terapi reperfusi
Keterlambatan terbanyak pada penanganan pasien disebabkan oleh
lamanya waktu mulai onset nyeri dada sampai keputusan pasien untuk
meminta pertolongan. Hal ini dapat diatasi dengan cara edukasi kepada
masyarakat oleh tenaga profesional kesehatan mengenai pentingnya
tatalaksana dini.
Pemberian fibrinolitik pre hospital hanya bisa dikerjakan jika ada paramedik
di ambulans yang sudah terlatih untuk menginterpretasikan EKG dan
managemen STEMI serta ada kendali komando medis online yang bertanggung
jawab pada pemberian terapi.
Tatalaksana di ruang emergensi
Tujuan tatalaksana di IGD adalah mengurangi/menghilangkan nyeri
dada, mengidentifikasi cepat pasien yang merupakan kandidat terapi reperfusi
segera, triase pasien risiko rendah ke ruangan yang tepat di rumah sakit dan
menghindari pemulangan cepat pasien dengan STEMI.
Tatalaksana umum
1) Oksigen : suplemen oksigen harus diberikan ada pasien dengan saturasi
oksigen <90%. Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat
diberikan oksigen selama 6 jam pertama.
2) Nitrogliserin : Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman
dengan dosis 0,4 mg dan dapat diberikan sampai 3 dosis dengan interval
5 menit.
- Morfin : sangat efektif dalam mengurangi nyeri dada dan merupakan
analgesik pilihan dalam tatalaksana STEMI. Morfin dapat diberikan
dengan dosis 2-4 mg dan dapat diulang dengan interval 5-15 menit
sampai dosis total 20 mg.
- Aspirin : merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai
STEMI dan efektif pada spektrum sindroma koroner akut. Inhibisi
cepat siklooksigenase trombosit yang dilanjutkan reduksi kadar
tromboksan A2 dicapai dengan absorpsi aspirin bukal dengan dosis
160-325 mg di ruang emergensi. Selanjutnya diberikan peroral dengan
dosis 75-162 mg.
- Penyekat Beta : Jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada,
pemberian penyekat beta intravena dapat efektif. Regimen yang biasa
diberikan adalah metoprolol 5 mg tiap 2-5 menit sampai total 3 dosis,
dengan syarat frekuensi jantung > 60 kali permenit, tekanan darah
sistolik > 100 mmHg, interval PR < 0,24 detik dan ronki tidak lebih
dari 10 cm dari diafragma. Lima belas menit setelah dosis IV terakhir
dilanjutkan dengan metoprolol oral dengan dosis 50 mg tiap 6 jam
selama 48 jam, dan dilanjutkan dengan 100 mg tiap 12 jam.
Tatalaksana di rumah sakit
ICCU
1) Aktivitas : pasien harus istirahat dalam 12 jam pertama
2) Diet : pasien harus puasa atau hanya minum cair dengan mulut dalam 4-
12 jam karena risiko muntah dan aspirasi segera setelah infark miokard.
3) Sedasi : pasien memerlukan sedasi selama perawatan untuk
mempertahankan periode inaktivitas dengan penenang. Diazepam 5 mg,
oksazepam 15-30 mg, atau lorazepam 0,5-2 mg, diberikan 3-4 kali/hari
4) Saluran pencernaan (bowels) : istirahat di tempat tidur dan efek
menggunakan narkotik untuk menghilangkan rasa nyeri sering
mengakibatkan konstipasi, sehingga dianjurkan penggunaan kursi
komod di samping tempat tidur, diet tinggi serat, dan penggunaan pencahar
ringan secara rutin seperti dioctyl sodium sulfosuksinat (200 mg/hari).
Terapi pada pasien STEMI
Terapi Reperfusi
Reperfusi dini akan memperpendek lama oklusi koroner, meminimalkan
derajat disfungsi dan dilatasi vetrikel, serta mengurangi kemungkinan pasien
STEMI berkembang menjadi pump failure atau takiaritmia ventrikular yang
maligna.
Sasaran terapi reperfusi adalah door to needle time untuk memulai terapi
fibrinolitik dapat dicapai dalam 30 menit atau door to balloon time untuk PCI
dapat dicapai dalam 90 menit.
Waktu onset gejala untuk terapi fibrinolitik merupakan prediktor penting
terhadap luas infark dan outcome pasien. Efektivitas obat fibrinolitik dalam
menghancurkan trombus tergantung waktu. Terapi fibrinolitik yang diberikan
dalam 2 jam pertama (terutama dalam jam pertama) dapat menghentikan
infark miokard dan menurunkan angka kematian.
Pemilihan terapi reperfusi dapat melibatkan risiko perdarahan pada pasien.
Jika terapi reperfusi bersama-sama (tersedia PCI dan fibrinolitik), semakin
tinggi risiko perdarahan dengan terapi fibrinolitik, maka semakin kuat
keputusan untuk memilih PCI. Jika PCI tidak tersedia, maka terapi reperfusi
farmakologis harus mempertimbangkan manfaat dan risiko. Adanya
fasilitas kardiologi intervensi merupakan penentu utama apakah PCI dapat
dikerjakan.
Percutaneous Coronary Interventions (PCI)
Intervensi koroner perkutan (angioplasti atau stenting) tanpa didahului
fibrinolitik disebut PCI primer (primary PCI). PCI efektif dalam
mengembalikan perfusi pada STEMI jika dilakukan beberapa jam pertama
infark miokard akut. PCI primer lebih efektif dari fibrinolitik dalam membuka
arteri koroner yang tersumbat dan dikaitkan dengan outcome klinis jangka
pendek dan jangka panjang yang lebih baik. PCI primer lebih dipilih jika
terdapat syok kardiogenik (terutama pada pasien < 75 tahun), risiko
perdarahan meningkat, atau gejala sudah ada sekurang-kurangnya 2 atau 3 jam
jika bekuan darah lebih matur dan kurang mudah hancur dengan obat
fibrinolitik. Namun, PCI lebih mahal dalam hal personil dan fasilitas, dan
aplikasinya terbatas berdasarkan tersedianya sarana, hanya di beberapa rumah
sakit.

Fibrinolitik
Terapi fibrinolitik lebih baik diberikan dalam 30 menit sejak masuk
(door to needle time < 30 menit) bila tidak terdapat kontraindikasi. Tujuan
utamanya adalah merestorasi patensi arteri koroner dengan cepat. Terdapat
beberapa macam obat fibrinolitik antara lain tissue plasminogen activator (tPA),
streptokinase, tenekteplase (TNK), reteplase (rPA), yang bekerja dengan
memicu konversi plasminogen menjadi plasmin yang akan melisiskan trombus
fibrin.
Fibrinolitik dianggap berhasil jika terdapat resolusi nyeri dada dan
penurunan elevasi segmen ST > 50% dalam 90 menit pemberian fibrinolitik.
Fibrinolitik tidak menunjukkan hasil pada graft vena, sehingga pada pasien
paska CABG datang dengan IMA, cara reperfusi yang lebih disukai adalah
PCI.
Kontraindikasi terapi fibrinolitik :
A. Kontraindikasi absolut
1) Setiap riwayat perdarahan intraserebral
2) Terdapat lesi vaskular serebral struktural (malformasi AV)
3) Terdapat neoplasia ganas intrakranial
4) Strok iskemik dalam 3 bulan kecuali strok iskemik akut dalam 3 jam
5) Dicurigai diseksi aorta
6) Perdarahan aktif atau diastasis berdarah (kecuali menstruasi)
7) Trauma muka atau kepala tertutup yang bermakna dalam 3 bulan
B. Kontraindikasi relatif
1. Riwayat hipertensi kronik berat, tak terkendali
2. Hipertensi berat tak terkendali saat masuk ( TDS >180 mmHg atau
TDS>110 mmHg)
3. Riwayat strok iskemik sebelumnya >3 bulan, dementia, atau diketahui
patologi intrakranial yang tidak termasuk kontraindikasi
4. Resusitasi jantung paru traumatik atau lama (>10menit) atau operasi
besar (<3 minggu)
5. Perdarahan internal baru dalam 2-4 minggu
6. Pungsi vaskular yang tak terkompresi
7. Untuk streptase / anisreplase : riwayat penggunaan >5 hari sebelumnya
atau reaksi alergi sebelumnya terhadap obat ini
8. Kehamilan
9. Ulkus peptikum aktif
10. Penggunaan antikoagulan baru : makin tinggi INR makin tinggi risiko
perdarahan.
C. Obat Fibrinolitik
1) Streptokinase : merupakan fibrinolitik non-spesifik fibrin. Pasien yang
pernah terpajan dengan SK tidak boleh diberikan pajanan selanjutnya
karena terbentuknya antibodi. Reaksi alergi tidak jarang ditemukan.
Manfaat mencakup harganya yang murah dan insidens perdarahan
intrakranial yang rendah.
2) Tissue Plasminogen Activator (tPA, alteplase) : Global Use of Strategies
to Open Coronary Arteries (GUSTO-1) trial menunjukkan penurunan
mortalitas 30 hari sebesar 15% pada pasien yang mendapatkan tPA
dibandingkan SK. Namun, tPA harganya lebih mahal disbanding SK dan
risiko perdarahan intrakranial sedikit lebih tinggi.
3) Reteplase (retevase) : INJECT trial menunjukkan efikasi dan keamanan
sebanding SK dan sebanding tPA pada GUSTO III trial dengan dosis bolus
lebih mudah karena waktu paruh yang lebih panjang.
4) Tenekteplase (TNKase) : Keuntungannya mencakup memperbaiki
spesisfisitas fibrin dan resistensi tinggi terhadap plasminogen activator
inhibitor (PAI-1). Laporan awal dari TIMI 1- B menunjukkan tenekteplase
mempunyai laju TIMI 3 flow dan komplikasi perdarahan yang sama
dibandingkan dengan tPA.
Terapi fibrinolitik pada STEMI akut merupakan salah satu terapi yang
manfaatnya sudah terbukti, tetapi mempunyai beberapa risiko seperti
perdarahan.
Terapi lainnya
ACC/AHA dan ESC merekomendasikan dalam tata laksana semua
pasien dengan STEMI diberikan terapi dengan menggunakan anti-platelet
(aspirin, clopidogrel, thienopyridin), anti-koagulan seperti Unfractionated
Heparin (UFH) / Low Molecular Weight Heparin (LMWH), nitrat, penyekat
beta, ACE-inhibitor, dan Angiotensin Receptor Blocker.
1) Anti trombotik
Antiplatelet dan antitrombin yang digunakan selama fase awal STEMI
berperan dalam memantapkan dan mempertahankan patensi arteri koroner
yang terkait infark.Aspirin merupakan antiplatelet standar pada STEMI.
Menurut penelitian ISIS-2 pemberian aspirin menurunkan mortalitas vaskuler
sebesar 23% dan infark non fatal sebesar 49%.
Inhibitor glikoprotein menunjukkan manfaat untuk mencegah komplikasi
trombosis pada pasien STEMI yang menjalani PCI. Penelitian ADMIRAL
membandingkan abciximab dan stenting dengan placebo dan stenting, dengan
hasil penurunan kematian, reinfark, atau revaskularisasi segera pada 20 hari
dan 6 bulan pada kelompok abciximab dan stenting.
Obat antitrombin standar yang digunakan dalam praktek klinis adalah
unfractionated heparin (UFH). UFH intravena yang diberikan sebagai
tambahan terapi regimen aspirin dan obat trombolitik spesifik fibrin relatif,
membantu trombolisis dan memantapkan serta mempertahankan patensi arteri
yang terkait infark.Dosis yang direkomendasikan adalah bolus 60 U/kg
(maksimum 4000U) dilanjutkan infus inisial 12 U/kg perjam (maksimum
1000 U/jam).Activated partial thromboplastin time selama terapi
pemeliharaan harus mencapai 1,5-2 kali.
Pasien dengan infark anterior, disfungsi ventrikel kiri berat, gagal
jantung kongestif, riwayat emboli, trombus mural pada ekokardiografi 2 dimensi
atau fibrilasi atrial merupakan risiko tinggi tromboemboli paru sistemik dan
harus mendapatkan terapi antitrombin kadar terapetik penuh (UFH atau
LMWH) selama dirawat, dilanjutkan terapi warfarin minimal 3 bulan.
2) Thienopiridin
Clopidogrel (thienopiridin) berguna sebagai pengganti aspirin untuk
pasien dengan hipersensitivitas aspirin dan dianjurkan untuk pasien dengan
STEMI yang menjalani reperfusi primer atau fibrinolitik.
Penelitian Acute Coronary Syndrome (ACOS) registry investigators
mempelajari pengaruh clopidogrel di samping aspirin pada pasien STEMI
yang mendapat perawatan dengan atau tanpa terapi reperfusi, menunjukkan
penurunan kejadian kasus jantung dan pembuluh darah serebral (kematian,
reinfark non fatal, dan stroke non fatal). Manfaat dalam penurunan kematian
terbesar pada kelompok pasien tanpa terapi reperfusi awal (8%), yang
memiliki angka kematian 1 tahun tertinggi (18%).
3) Penyekat Beta
Penyekat beta pada pasien STEMI dapat memberikan manfaat yaitu
manfaat yang terjadi segera jika obat diberikan secara akut dan yang diberikan
dalam jangka panjang jika obat diberikan untuk pencegahan sekunder setelah
infark. Penyekat beta intravena memperbaiki hubungan suplai dan kebutuhan
oksigen miokard, mengurangi nyeri, mengurangi luasnya infark, dan
menurunkan risiko kejadian aritmia ventrikel yang serius.
Terapi penyekat beta pasca STEMI bermanfaat untuk sebagian besar
pasien termasuk yang mendapatkan terapi inhibitor ACE, kecuali pada pasien
dengan kontraindikasi (pasien dengan gagal jantung atau fungsi sistolik
ventrikel kiri sangat menurun, blok jantung, hipotensi ortostatik, atau riwayat
asma).
4) Inhibitor ACE
Inhibitor ACE menurunkan mortalitas pasca STEMI dan memberikan
manfaat terhadap penurunan mortalitas dengan penambahan aspirin dan
penyekat beta. Penelitian SAVE, AIRE, dan TRACE menunjukkan manfaat
inhibitor ACE pada pasien dengan risiko tinggi (pasien usia lanjut atau infark
anterior, riwayat infark sebelumnya, dan atau fungsi ventrikel kiri menurun
global). Kejadian infark berulang juga lebih rendah pada pasien yang
mendapat inhibitor ACE menahun pasca infark.
Inhibitor ACE harus diberikan dalam 24 jam pertama pada pasien STEMI.
Pemberian inhibitor ACE harus dilanjutkan tanpa batas pada pasien dengan
bukti klinis gagal jantung, pada pasien dengan pemeriksaan imaging
menunjukkan penurunan fungsi ventrikel kiri secara global, atau terdapat
abnormalitas gerakan dinding global, atau pasien hipertensif.
Daftar Pustaka
1. Ikatan Dokter Indonesia. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan Primer. 2014.
2. Safitri ES. ST Elevasi Miokard Infark (STEMI) Anteroseptal pada Pasien
Dengan Faktor Risiko Kebiasaan Merokok Menahun dan Tingginya Kadar
Kolesterol Dalam Darah. Medula 2013: 1(4); hal 60-8.
3. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid II Edisi V. Jakarta: Interna Publishing. 2010.
4. Antman EM, Hand M, Armstrong PW, et al. Focused update of the
ACC/AHA 2004 guidelines for the management of the patients with ST-
elevation myocardial infarction : a report of the American College of
Cardiology American Heart Association Task Force on Practice
Guidelines. 2008;51:210–247.
5. Fesmire FM, Bardy WJ, Hahn S, et al. Clinical policy: indications for
reperfusion therapy in emergency department patients with suspected
acute myocardial infarction. American College of Emergency Physicians
Clinical Policies Subcommittee (Writing Committee) on Reperfusion
Therapy in Emergency Department Patients with Suspected Acute
Myocardial Infarction. Ann Emerg Med. 2006;48:358–383.
6. Rieves D, Wright G, Gupta G. Clinical Trial (GUSTO-1 and INJECT)
Evidence of Earlier Death for Men thanWomen after Acute Myocardial
Infarction. Am J Cardiol.2000; 85 : 147-153
7. Zeymer U, Gitt AK, Jünger C, et al. Acute Coronary Syndromes (ACOS)
registry investigators Effect of clopidogrel on 1-year mortality in hospital
survivors of acute ST-segment elevation myocardial infarction in clinical
practice. Eur Heart J 2006;27:2661–66.
3. Angina Pektoris
Tingkat kemampuan 3B
Definisi
Angina pektoris adalah suatu sindroma klinis berupa serangan nyeri dada
yang khas yaitu seperti ditekan, atau terasa berat di dada yang seringkali
menjalar ke lengan sebelah kiri yang timbul pada waktu aktivitas dan segera
hilang bila aktivitas berhenti.
Manifestasi Klinis
Keluhan
Pasien datang dengan keluhan nyeri dada yang khas, yaitu seperti
rasa ditekan atau terasa seperti ditimpa beban yang sangat berat.
Diagnosis seringkali berdasarkan keluhan nyeri dada yang mempunyai ciri
khas sebagai berikut:
1. Letak
Sering pasien merasakan nyeri dada di daerah sternum atau di bawah
sternum (substernal: tidak dapat melokalisasi), atau dada sebelah kiri dan
kadang-kadang menjalar ke lengan kiri, dapat menjalar ke punggung,
rahang, leher, atau ke lengan kanan. Nyeri dada juga dapat timbul di tempat
lain seperti di daerah epigastrium, leher, rahang, gigi, dan bahu.
2. Kualitas
Pada angina, nyeri dada biasanya seperti tertekan benda berat, atau
seperti diperas atau terasa panas, kadang-kadang hanya mengeluh perasaan
tidak enak di dada karena pasien tidak dapat menjelaskan dengan baik.
3. Hubungan dengan aktivitas
Nyeri dada pada angina pektoris biasanya timbul pada saat
melakukan aktivitas, misalnya sedang berjalan cepat, tergesa-gesa, atau
sedang berjalan mendaki atau naik tangga. Pada kasus yang berat aktivitas
ringan seperti mandi atau menggosok gigi, makan terlalu kenyang atau
emosi, sudah dapat menimbulkan nyeri dada. Nyeri dada tersebut segera
hilang bila pasien menghentikan aktivitasnya. Serangan angina yang
timbul pada waktu istirahat atau pada waktu tidur malam sering akibat
angina pektoris tidak stabil
4. Lamanya serangan
Lamanya nyeri dada biasanya berlangsung 1-5 menit, kadang-
kadang perasaan tidak enak di dada masih terasa setelah nyeri hilang.
Bila nyeri dada berlangsung lebih dari 20 menit, mungkin pasien
mengalami sindrom koroner akut dan bukan angina pektoris biasa. Pada
angina pektoris dapat timbul keluhan lain seperti sesak napas, perasaan
lelah, kadang-kadang nyeri dada disertai keringat dingin.
5. Nyeri dada bisa disertai keringat dingin, mual, muntah, sesak dan pucat.
Faktor Risiko
Faktor risiko yang tidak dapat diubah:
1. Usia
Risiko meningkat pada pria di atas 45 tahun dan wanita di atas 55 tahun
(umumnya setelah menopause)
2. Jenis kelamin
Morbiditas akibat penyakit jantung koroner (PJK) pada laki-laki dua kali
lebih besar dibandingkan pada perempuan, hal ini berkaitan dengan
estrogen endogen yang bersifat protektif pada perempuan. Hal ini
terbukti insidensi PJK meningkat dengan cepat dan akhirnya setara
dengan laki-laki pada wanita setelah masa menopause.
3. Riwayat keluarga
Riwayat keluarga PAK (Penyakit Arteri Koroner) dini yaitu ayah usia <
55 tahun dan ibu < 65 tahun.
Faktor risiko yang dapat diubah:
1. Mayor
a. Peningkatan lipid serum
b. Hipertensi
c. Merokok
d. Konsumsi alkohol
e. Diabetes Melitus
f. Diet tinggi lemak jenuh, kolesterol dan kalori
2. Minor
a. Aktivitas fisik kurang
b. Stress psikologik
c. Tipe kepribadian
Pemeriksaan Fisik
1. Sewaktu terjadi serangan angina dapat tidak menunjukkan kelainan.
Walau jarang pada auskultasi dapat terdengar derap atrial atau ventrikel
dan murmur sistolik di daerah apeks. Frekuensi denyut jantung dapat
menurun, menetap atau meningkat pada waktu serangan angina.
2. Dapat ditemukan pembesaran jantung.
Pemeriksaan Penunjang
1. EKG
Gambaran EKG saat istirahat dan bukan pada saat serangan angina
sering masih normal. Gambaran EKG dapat menunjukkan bahwa pasien
pernah mendapat infark miokard di masa lampau. Kadang-kadang
menunjukkan pembesaran ventrikel kiri pada pasien hipertensi dan angina,
dapat pula menunjukkan perubahan segmen ST atau gelombang T yang tidak
khas. Pada saat serangan angina, EKG akan menunjukkan depresi segmen
ST dan gelombang T dapat menjadi negatif.
Gambaran EKG penderita angina tak stabil/ATS dapat berupa
depresi segmen ST, inversi gelombang T, depresi segmen ST disertai inversi
gelombang T, elevasi segmen ST, hambatan cabang berkas His dan bisa
tanpa perubahan segmen ST dan gelombang T. Perubahan EKG pada ATS
bersifat sementara dan masing-masing dapat terjadi sendiri-sendiri ataupun
bersamaan. Perubahan tersebut timbul di saat serangan angina dan kembali
ke gambaran normal atau awal setelah keluhan angina hilang dalam
waktu 24 jam. Bila perubahan tersebut menetap setelah 24 jam atau terjadi
evolusi gelombang Q, maka disebut sebagai Infark Miokard Akut (IMA).
2. X ray thoraks
X ray thoraks sering menunjukkan bentuk jantung yang normal. Pada
pasien hipertensi dapat terlihat jantung membesar dan kadang- kadang
tampak adanya kalsifikasi arkus aorta.
Penegakan Diagnosis
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
penunjang.
Klasifikasi Angina:
1. Stable Angina Pectoris (angina pektoris stabil)
Keluhan nyeri dada timbul bila melakukan suatu pekerjaan, sesuai dengan
berat ringannya pencetus, dibagi atas beberapa tingkatan:
a. Selalu timbul sesudah latihan berat.
b. Timbul sesudah latihan sedang (jalan cepat 1/2 km)
c. Timbul waktu latihan ringan (jalan 100 m)
d. Angina timbul jika gerak badan ringan (jalan biasa)
2. Unstable Angina Pectoris (angina pektoris tidak stabil/ATS)
Angina dapat terjadi pada saat istirahat maupun bekerja. Pada patologi
biasanya ditemukan daerah iskemik miokard yang mempunyai ciri
tersendiri.
3. Angina prinzmetal (Variant angina)
Terjadi tanpa peningkatan jelas beban kerja jantung dan sering timbul pada
waktu beristirahat atau tidur. Pada angina prinzmetal terjadi spasme arteri
koroner yang menimbulkan iskemi jantung di bagian hilir. Kadang-kadang
tempat spasme berkaitan dengan arterosklerosis.
Klasifikasi Angina Pektoris menurut Canadian Cardiovascular Society
Classification System:
1. Kelas I: Pada aktivitas fisik biasa tidak mencetuskan angina. Angina akan
muncul ketika melakukan peningkatan aktivitas fisik (berjalan cepat,
olahraga dalam waktu yang lama).
2. Kelas II: Adanya pembatasan aktivitas sedikit/aktivitas sehari-hari (naik
tangga dengan cepat, jalan naik, jalan setelah makan, stres, dingin).
3. Kelas III: Benar-benar ada pembatasan aktivitas fisik karena sudah timbul
gejala angina ketika pasien baru berjalan 1 blok atau naik tangga 1 tingkat.
4. Kelas IV: Tidak bisa melakukan aktivitas sehari-sehari, tidak nyaman,
untuk melakukan aktivitas sedikit saja bisa kambuh, bahkan waktu
istirahat juga bisa terjadi angina.
Diagnosis Banding
Gastroesofageal Refluks Disease (GERD), Gastritis akut, Nyeri
muskuloskeletal, Pleuritis, Herpes di dada, Trauma, Psikosomatik
Penatalaksanaan
Terapi farmakologi:
1. Oksigen dimulai 2 L/menit
2. Nitrat dikombinasikan dengan β-blocker atau Calcium Channel Blocker
(CCB) non dihidropiridin yang tidak meningkatkan denyut jantung
(misalnya verapamil, diltiazem). Pemberian dosis pada serangan akut :
a. Nitrat 5 mg sublingual dapat dilanjutkan dengan 5 mg peroral sampai
mendapat pelayanan rawat lanjutan di pelayanan sekunder.
b. Beta bloker:
 Propanolol 20-80 mg dalam dosis terbagi atau
 Bisoprolol 2,5-5 mg per 24 jam.
c. Calcium Channel Blocker (CCB) non dihidropiridine
Dipakai bila Beta Blocker merupakan kontraindikasi, misalnya:
 Verapamil 80 mg (2-3 kali sehari)
 Diltiazem 30 mg ( 3-4 kali sehari)
3. Antipletelet
Aspirin 160-320 mg sekali minum pada serangan akut.
Konseling dan Edukasi
Menginformasikan individu dan keluarga untuk melakukan modifikasi
gaya hidup antara lain:
1. Mengontrol emosi dan mengurangi kerja berat dimana membutuhkan
banyak oksigen dalam aktivitasnya
2. Mengurangi konsumsi makanan berlemak
3. Menghentikan konsumsi rokok dan alkohol
4. Menjaga berat badan ideal
5. Mengatur pola makan
6. Melakukan olah raga ringan secara teratur
7. Jika memiliki riwayat diabetes tetap melakukan pengobatan diabetes
secara teratur
8. Melakukan kontrol terhadap kadar serum lipid
9. Mengontrol tekanan darah
Daftar Pustaka
1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Ilmu
Penyakit Dalam. Ed.5. Jakarta: Interna Publishing. Hal. 2196-206.
2. Ikatan Dokter Indonesia. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan Primer. 2014.

4. Takikardi
Tingkat kemampuan 3B
Definisi
Takikardi adalah suatu kondisi dimana denyut jantung istirahat seseorang
secara abnormal lebih dari 100 kali per menit. Sedangkan supraventikular
takikardi (SVT) adalah takikardi yang berasal dari sumber di atas ventrikel
(atrium atau AV junction), dengan ciri gelombang QRS sempit (< 0,12ms)
dan frekuensi lebih dari 150 kali per menit.
Ventrikular Takikardi (VT) adalah takikardi yang berasal dari ventrikel,
dengan ciri gelombang QRS lebar (> 0,12ms) dan frekuensi biasanya lebih
dari 150 kali per menit. VT ini bisa menimbulkan gangguan hemodinamik yang
memerlukan tindakan resusitasi.
Manifestasi Klinis
Keluhan
Gejala utama meliputi:
1. Palpitasi
2. Sesak napas
3. Mudah lelah
4. Nyeri atau rasa tidak nyaman di dada
5. Denyut jantung istirahat lebih dari 100 kali per menit
6. Penurunan tekanan darah dapat terjadi pada kondisi yang tidak stabil
7. Pusing
8. Sinkop
9. Berkeringat
10. Penurunan kesadaran bila terjadi gangguan hemodinamik
Faktor Risiko
1. Penyakit Jantung Koroner
2. Kelainan Jantung
3. Stress dan gangguan kecemasan
4. Gangguan elektrolit
5. Hipertiroid
Pemeriksaan Fisik Patognomonis
1. Denyut jantung melebihi 100 kali per menit dan bisa menjadi sangat cepat
dengan frekuensi > 150 kali per menit pada keadaan SVT dan VT
2. Takipnea
3. Hipotensi
4. Sering disertai gelisah hingga penurunan kesadaran pada kondisi yang
tidak stabil
Pemeriksaan Penunjang
EKG
1. SVT: kompleks QRS sempit (< 0,12ms) dengan frekuensi > 150 kali per
menit. Gelombang P bisa ada atau terkubur dalam kompleks QRS.
2. VT: terdapat kompleks QRS lebar (> 0,12ms), tiga kali atau lebih secara
berurutan. Frekuensi nadi biasanya > 150 kali per menit.
Penegakan Diagnosis
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
penunjang.
Diagnosis Banding: -
Penatalaksanaan
Tata Laksana Takikardia Tidak Stabil
Keadaan ini merupakan keadaan yang mengancam jiwa terutama
bila disertai hemodinamik yang tidak stabil. Bila hemodinamik tidak stabil
(tekanan darah sistolik < 90 mmHg) dengan nadi melemah, apalagi disertai
penurunan kesadaran bahkan pasien menjadi tidak responsif harus dilakukan
kardioversi baik dengan obat maupun elektrik. Kondisi ini harus segera
dirujuk dengan terpasang infus dan resusitasi jantung paru bila tidak responsif.
Oksigen diberikan dengan sungkup O2 10-15 liter per menit.
Pada kondisi stabil, SVT dapat diatasi dengan dilakukan vagal
manuver (memijat arteri karotis atau bola mata selama 10-15 menit). Bila
tidak respon, dilanjutkan dengan pemberian adenosin 6 mg bolus cepat. Bila
tidak respon boleh diulang dengan 12 mg sebanyak dua kali. Bila tidak respon
atau adenosin tidak tersedia, segera rujuk ke layanan sekunder. Pada VT,
segera rujuk dengan terpasang infus dan oksigen O2 nasal 4 liter per menit.
Takikardia Stabil
Tatalaksana tergantung penyebab, bila sinus takikardia, istirahatkan
pasien, dan berikan oksigen, evaluasi penyebab (kardiak atau ekstrakardiak
seperti nyeri, masalah paru, cemas) bila tidak ada perubahan maka dapat
dirujuk.
Konseling dan Edukasi
Edukasi kepada keluarga bahwa keadaan ini dapat mengancam jiwa dan
perlu dilakukan rujukan karena membutuhkan penanganan yang cepat dan
tepat.
Kriteria Rujukan
Segera rujuk setelah pertolongan pertama dengan pemasangan infus dan
oksigen.
Daftar Pustaka
1. Ikatan Dokter Indonesia. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan Primer. 2014.
SISTEM GASTROINTESTINAL, HEPATOBILIER, DAN PANKREAS

1. DEMAM TIFOID
KEMAMPUAN : (4A)
DEFINISI
Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh kuman
Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi yang terjadi melalui makanan yang
terkontaminasi kuman.
PATOFISIOLOGI
Masuknya kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi ke dalam
tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian
kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk ke dalam usus dan
selanjutnya berkembang biak. Bila respons imunitas humoral mukosa (IgA) usus
kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel (terutama sel-M) dan
selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman berkembang biak dan
difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan
berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plague Peyeri ileum
distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui
duktus torasikus kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam
sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang asimptomatik) dan
menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limfa. Di
organ-organ ini kuman meninggalakan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang
biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah
lagi mengakibatkan bakteremia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan
gejala penyakit infeksi sistemik.
Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang
biak, dan bersama cairan empedu diekskresikan secara “intermittent” ke dalam
lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi
ke dalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali,
berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman
Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan
menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia,
sakit kepala, sakit perut, instabilitas vascular, gangguan mental, dan koagulasi.
Di dalam plague Peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi
hyperplasia jaringan (S.typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitifitas
tipe lambat, hyperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna
dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar plague Peyeri yang sedang
mengalami nekrosis dan hiperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuclear di
dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga lapisan
otot, serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi.
Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat
timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskular, pernafasan,
dan gangguan organ lainnya
DIAGNOSIS
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
1. Demam turun naik terutama sore dan malam hari dengan pola intermiten dan
kenaikan suhu step-ladder. Demam tinggi dapat terjadi terus menerus
(demam kontinu) hingga minggu kedua.
2. Sakit kepala (pusing-pusing) yang sering dirasakan di area frontal
3. Gangguan gastrointestinal berupa konstipasi dan meteorismus atau diare,
mual, muntah, nyeri abdomen dan BAB berdarah
4. Gejala penyerta lain, seperti nyeri otot dan pegal-pegal, batuk, anoreksia,
insomnia
5. Pada demam tifoid berat, dapat dijumpai penurunan kesadaran atau kejang.
Faktor Risiko
1. Higiene personal yang kurang baik, terutama jarang mencuci tangan.
2. Higiene makanan dan minuman yang kurang baik, misalnya makanan yang
dicuci dengan air yang terkontaminasi, sayuran yang dipupuk dengan tinja
manusia, makanan yang tercemar debu atau sampah atau dihinggapi lalat.
3. Sanitasi lingkungan yang kurang baik.
4. Adanya outbreak demam tifoid di sekitar tempat tinggal sehari-hari.
5. Adanya carrier tifoid di sekitar pasien.
6. Kondisi imunodefisiensi.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan umum biasanya tampak sakit sedang atau sakit berat.
2. Kesadaran: dapat compos mentis atau penurunan kesadaran (mulai dari yang
ringan, seperti apatis, somnolen, hingga yang berat misalnya delirium atau
koma)
3. Demam, suhu > 37,5oC.
4. Dapat ditemukan bradikardia relatif, yaitu penurunan frekuensi nadi sebanyak
8 denyut per menit setiap kenaikan suhu 1oC.
5. Ikterus
6. Pemeriksaan mulut: typhoid tongue, tremor lidah, halitosis
7. Pemeriksaan abdomen: nyeri (terutama regio epigastrik), hepatosplenomegali
8. Delirium pada kasus yang berat
Pemeriksaan fisik pada keadaan lanjut
1. Penurunan kesadaran ringan sering terjadi berupa apatis dengan kesadaran
seperti berkabut. Bila klinis berat, pasien dapat menjadi somnolen dan koma
atau dengan gejala-gejala psikosis (organic brain syndrome).
2. Pada penderita dengan toksik, gejala delirium lebih menonjol.
3. Nyeri perut dengan tanda-tanda akut abdomen
Pemeriksaan Penunjang
1. Darah perifer lengkap beserta hitung jenis leukosis
Dapat menunjukkan: leukopenia / leukositosis / jumlah leukosit normal,
limfositosis relatif, monositosis, trombositopenia (biasanya ringan), anemia.
2. Serologi
a. IgM antigen O9 Salmonella thypi (Tubex-TF)®
• Hanya dapat mendeteksi antibody IgM Salmonella typhi
• Dapat dilakukan pada 4-5 hari pertama demam
b. Enzyme Immunoassay test (Typhidot®)
1. Dapat mendeteksi IgM dan IgG Salmonella typhi
2. Dapat dilakukan pada 4-5 hari pertama demam
c. Tes Widal tidak direkomendasi
• Dilakukan setelah demam berlangsung 7 hari.
• Interpretasi hasil positif bila titer aglutinin O minimal 1/320 atau
terdapat kenaikan titer hingga 4 kali lipat pada pemeriksaan ulang dengan
interval 5 – 7 hari.
• Hasil pemeriksaan Widal positif palsu sering terjadi oleh karena reaksi
silang dengan non-typhoidal Salmonella, enterobacteriaceae, daerah
endemis infeksi dengue dan malaria, riwayat imunisasi tifoid dan preparat
antigen komersial yang bervariasi dan standaridisasi kurang baik. Oleh
karena itu, pemeriksaan Widal tidak direkomendasi jika hanya dari
1 kali pemeriksaan serum akut karena terjadinya positif palsu tinggi
yang dapat mengakibatkan over-diagnosis dan over- treatment.
3. Kultur Salmonella typhi (gold standard)
Dapat dilakukan pada spesimen:
a. Darah : Pada minggu pertama sampai akhir minggu ke-2 sakit, saat demam
tinggi
b. Feses : Pada minggu kedua sakit
c. Urin : Pada minggu kedua atau ketiga sakit
d. Cairan empedu : Pada stadium lanjut penyakit, untuk mendeteksi carrier
typhoid
4. Pemeriksaan penunjang lain sesuai indikasi klinis, misalnya: SGOT/SGPT,
kadar lipase dan amilase
TERAPI
1. Terapi suportif dapat dilakukan dengan:
a. Istirahat tirah baring dan mengatur tahapan mobilisasi
b. Menjaga kecukupan asupan cairan, yang dapat diberikan secara oral
maupun parenteral.
c. Diet bergizi seimbang, konsistensi lunak, cukup kalori dan protein, rendah
serat.
d. Konsumsi obat-obatan secara rutin dan tuntas
e. Kontrol dan monitor tanda vital (tekanan darah, nadi, suhu, kesadaran),
kemudian dicatat dengan baik di rekam medik pasien
2. Terapi simptomatik untuk menurunkan demam (antipiretik) dan mengurangi
keluhan gastrointestinal.
3. Terapi definitif dengan pemberian antibiotik. Antibiotik lini pertama untuk
demam tifoid adalah Kloramfenikol, Ampisilin atau Amoksisilin (aman untuk
penderita yang sedang hamil), atau Trimetroprim-sulfametoxazole (Kotrimoksazol).
4. Bila pemberian salah satu antibiotik lini pertama dinilai tidak efektif, dapat diganti
dengan antibiotik lain atau dipilih antibiotik lini kedua yaitu Seftriakson, Sefiksim,
Kuinolon (tidak dianjurkan untuk anak <18 tahun karena dinilai mengganggu
pertumbuhan tulang).
Tabel 3.2 Antibiotik dan dosis penggunan untuk tifoid
ANTIBIOTIKA DOSIS KETERANGAN
Kloramfeni-kol Dewasa: 4x500 mg selama 10 Merupakan obat yang sering
hari digunakan dan telah lama
Anak 100 mg/kgBB/har, per dikenal efektif untuk tifoid
oral atau intravena, dibagi 4 Murah dan dapat diberikan
dosis, selama 10-14 hari peroral serta sensitivitas
masih tinggi
Pemberian PO/IV
Tidak diberikan bila lekosit
<2000/mm3
Seftriakson Dewasa: 2-4gr/hari selama 3- Cepat menurunkan suhu,
5 hari lama pemberian pendek dan
Anak: 80 mg/kgBB/hari, IM dapat dosis tunggal serta
atau IV, dosis tunggal selama cukup aman untuk anak.
5 hari Pemberian PO/IV

Ampisilin & Dewasa: (1.5-2) gr/hr selama Aman untuk penderita hamil
Amoksisilin 7-10 hari Sering dikombinasi dengan
Anak: 100 mg/kgbb/hari per kloramfenikol pada pasien
oral atau intravena, dibagi 3 kritis
dosis, selama 10 hari. Tidak mahal
Pemberian PO/IV
Kotrimok-sazole Dewasa: 2x(160-800) selama Tidak mahal
(TMP-SMX) 7-10 hari Pemberian per oral
Anak: Kotrimoksazol 4-6
mg/kgBB/hari, per oral,
dibagi 2 dosis, selama 10
hari.

Kuinolon Ciprofloxacin 2x500 mg Pefloxacin dan Fleroxacin


selama 1 minggu lebih cepat menurunkan suhu
Ofloxacin 2x(200-400) Efektif mencegah relaps dan
selama 1 minggu kanker
Pemberian peroral
Pemberian pada anak tidak
dianjurkan karena efek
samping pada pertumbuhan
tulang
Sefiksim Anak: 20 mg/kgBB/hari, per Aman untuk anak
oral, dibagi menjadi 2 dosis, Efektif
selama 10 hari Pemberian per oral
Thiamfenikol Dewasa: 4x500 mg/hari Dapat dipakai untuk anak dan
Anak: 50 mg/kgbb/hari dewasa
selama 5-7 hari bebas panas Dilaporkan cukup sensitif
pada beberapa daerah

2.GASTRITIS
KEMAMPUAN (4A)
DEFINISI
Gastritis adalah suatu keadaan peradangan / perdarahan mukosa lambung yang
dapat bersifat akut, kronik, difus atau local
PATOFISIOLOGI
Lambung adalah sebuah kantong otot yang kosong, terletak dibagian kiri
atas perut tepat dibawah tulang iga. Lambung orang dewasa memiliki panjang
berkisar antara 10 inci dan dapat mengembang untuk menampung makanan atau
minuman sebanyak 1 gallon. Bila lambung dalam keadaan kosong, maka ia akan
melipat, mirip seperti sebuah akordion. Ketika lambung mulai terisi dan
mengembang, lipatan – lipatan tersebut secara bertahap membuka.
Lambung memproses dan menyimpan makanan dan secara bertahap
melepaskannya kedalam usus kecil. Ketika makanan masuk kedalam esofagus,
sebuah cincin otot yang berada pada sambungan antara esofagus dan lambung (
Esophangeal Sphincer ) akan membuka dan membiarkan makanan masuk lewat
lambung. Setelah masuk kelambung cincin ini menutup. Dinding lambung terdiri
dari lapisan otot yang kuat. Ketika makanan berada dilambung, dinding lambung
akan mulai menghancurkan makanan tersebut. Pada saat yang sama, kelenjar –
kelenjar yang berada dimucosa pada dinding lambung mulai mengeluarkan cairan
lambung, ( termasuk enzim – enzim dan asam lambung ) untuk lebih
menghancurkan makanan tersebut.
Suatu komponen cairan lambung adalah Asam Hidroklorida. Asam ini
sangat korosif sehingga paku besipun dapat larut dalam cairan ini. Dinding lambung
dilindungi oleh mucosa – mucosa bicarbonate (sebuah lapisan penyangga
yang mengeluarkan ion bicarbonate secara reguler sehingga menyeimbangkan
keasaman dalam lambung ) sehingga terhindar dari sifat korosif hidroklorida. Fungsi
dari lapisan pelindung lambung ini adalah agar cairan asam dalam lambung tidak
merusak dinding lambung.
DIAGNOSIS
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Pasien datang ke dokter karena rasa nyeri dan panas seperti terbakar pada perut
bagian atas. Keluhan mereda atau memburuk bila diikuti dengan makan, mual,
muntah dan kembung.
Faktor Risiko
1. Pola makan yang tidak baik: waktu makan terlambat, jenis makanan pedas,
porsi makan yang besar
2. Sering minum kopi dan teh
3. Infeksi bakteri atau parasit
4. Pengunaan obat analgetik dan steroid
5. Usia lanjut
6. Alkoholisme
7. Stress
8. Penyakit lainnya, seperti: penyakit refluks empedu, penyakit autoimun,
HIV/AIDS, Chron disease
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik Patognomonis
1. Nyeri tekan epigastrium dan bising usus meningkat.
2. Bila terjadi proses inflamasi berat, dapat ditemukan pendarahan saluran cerna
berupa hematemesis dan melena.
3. Biasanya pada pasien dengan gastritis kronis, konjungtiva tampak anemis.
Pemeriksaan Penunjang
Tidak diperlukan, kecuali pada gastritis kronis dengan melakukan pemeriksaan:
1. Darah rutin.
2. Untuk mengetahui infeksi Helicobacter pylori: pemeriksaan Urea breath test
dan feses.
3. Rontgen dengan barium enema.
4. Endoskopi
TERAPI
Terapi diberikan per oral dengan obat, antara lain: H2 Bloker 2x/hari (Ranitidin
150 mg/kali, Famotidin 20 mg/kali, Simetidin 400-800 mg/kali), PPI 2x/hari
(Omeprazol 20 mg/kali, Lansoprazol 30 mg/kali), serta Antasida dosis 3 x 500-
1000 mg/hari.

4. GASTROENTERITIS (kolera dan giardiasis)


KEMAMPUAN : (4A)
DEFINISI
Gastroenteritis (GE) adalah peradangan mukosa lambung dan usus halus yang
ditandai dengan diare dengan frekuensi 3 kali atau lebih dalam waktu 24 jam.
Apabila diare > 30 hari disebut kronis. WHO (World Health Organization)
mendefinisikan diare akut sebagai diare yang biasanya berlangsung selama 3 – 7
hari tetapi dapat pula berlangsung sampai 14 hari. Diare persisten adalah episode
diare yang diperkirakan penyebabnya adalah infeksi dan mulainya sebagai diare
akut tetapi berakhir lebih dari 14 hari, serta kondisi ini menyebabkan malnutrisi
dan berisiko tinggi menyebabkan kematian
PATOFISIOLOGI
Gastroenteritis lebih sering terjadi pada anak-anak karena daya tahan tubuh yang
belum optimal. Diare merupakan salah satu penyebab angka morbiditas dan
mortalitas yang tinggi pada anak di bawah umur lima tahun di seluruh dunia, yaitu
mencapai 1 milyar kesakitan dan 3 juta kematian per tahun. Penyebab gastroenteritis
antara lain infeksi, malabsorbsi, keracunan atau alergi makanan dan psikologis
penderita. Infeksi yang menyebabkan GE akibat Entamoeba histolytica disebut
disentri, bila disebabkan oleh Giardia lamblia disebut giardiasis, sedangkan
bila disebabkan oleh Vibrio cholera disebut kolera. Berikut patofisiologis
berdasarkan agen penyebabnya :
1. Virus
Beberapa jenis virus seperti rotavirus, berkembang biak dalam epitel vili usus
halus menyebabkan kerusakan sel epitel dan pemendekan vili. Hilangnya sel-sel vili
yang secara normal mempunyai fungsi absorbsi dan penggantian sementara oleh sel
epitel berbentuk kripta yang belum matang.menyebabkan usus mensekresi air dan
elektrolit. Kerusakan vili dapat juga di hubungkan dengan
hilangnya enzim disakarida terutama laktosa. Penyembuhan terjadi bila vili
mengalami regenerasi dan epitel vilinya menjadi matang.(7)
2. Bakteri
 Penempelan di mucosa
Bakteri yang berkembang biak dalam usus halus pertama-tama harus menempel
mukosa untuk menghindarkan diri dari penyapuan. Penempelan terjadi melalui
antigen yang menyerupai rambut getar di sebut pili atau fimbria, yang melekat
pada reseptor di permukaan usus.
Hal ini terjadi misalnya pada E.coli enterotoksigenik dan V.cholerae 01. Pada
beberapa keadaan, penempelan di mukosa di hubungkan dengan perubahan epitel
usus yang menyebabkan pengurangan kapasitas penyerapan atau menyebabkan
sekresi cairan (misalnya infeksi E coli enteropatogenik atau enteroaggregasi).(7)
 Toxin yang menyebabkan sekresi
E.coli enterotoxigenik,V.cholerae 01 dan beberapa bakteri lain mengeluarkan
toxin yang menghambat fungsi sel epitel. Toxin ini mengurangi absorbsi natrium
melalui vili dan mungkin meningkatkan sekresi chlorida dari kripta, yang
menyebabkan sekresi air dan elektrolit. Penyembuhan terjadi bila sel yang sakit di
ganti dengan sel yang sehat setelah 2-4 hari.(7)
 Invasi mukosa
Shigella,C jejuni,E coli enteroinvasife dan Salmonella dapat menyebabkan diare
berdarah melalui invasi dan perusakan sel epitel mukosa. Ini terjadi sebagian
besar di kolon dan bagian distal ileum. Invasi mungkin diikuti dengan pembentukan
mikroabses dan ulkus superfisial yang menyebabkan adanya sel darah merah dan
sel darah putih atau terlihat adanya darah dalam tinja. Toksin yang di hasilkan
oleh kuman ini menyebabkan kerusakan jaringan dan
kemungkinan juga sekresi air dan elektrolit dari mukosa.(7)
3. Protozoa
 Penempelan mukosa
G.lamblia dan Cryptosporidium menempel pada epitel usus halus dan
menyebabkan pemendekan vili yang kemungkinan menyebabkan
diare.(7)
 Invasi mukosa
E.histolitica menyebabkan diare dengan cara menginvasi epitel
mukosa di kolon atau ileum yang menyebabkan mikro abses dan
ulkus. Namun begitu keadaan ini baru terjadi bila strainnya sangat ganas.
Pada manusia 90% infeksi terjadi oleh strain yang tidak ganas, dalam hal
ini tidak ada invasi ke mukosa dan tidak timbul gejala atau tanda-tanda,
meskipun kista amoeba dan trofozoit mungkin ada di
dalam tinjanya.(7)
Sebagai akibat diare akut maupun kronis akan terjadi :
1. Kehilangan air dan elektrolit (dehidrasi) yang mengakibatkan terjadinya
gangguan keseimbangan asam basa (asidosis metabolik, hipokalemia, dan
sebagainya).
2. Gangguan gizi sebagai akibat kelaparan (masukan makanan kurang,
pengeluaran bertambah)
3. Hipoglikemia
4. Gangguan sirkuasi darah.
DIAGNOSIS
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Pasien datang ke dokter karena buang air besar (BAB) lembek atau cair, dapat
bercampur darah atau lendir, dengan frekuensi 3 kali atau lebih dalam waktu 24 jam.
Dapat disertai rasa tidak nyaman di perut (nyeri atau kembung), mual dan muntah
serta tenesmus.
Setiap kali diare, BAB dapat menghasilkan volume yang besar (asal dari usus kecil)
atau volume yang kecil (asal dari usus besar). Bila diare disertai demam maka
diduga erat terjadi infeksi.
Bila terjadinya diare didahului oleh makan atau minum dari sumber yang kurang
higienenya, GE dapat disebabkan oleh infeksi. Riwayat bepergian ke daerah dengan
wabah diare, riwayat intoleransi laktosa (terutama pada bayi), konsumsi makanan
iritatif, minum jamu, diet cola, atau makan obat-obatan seperti laksatif, magnesium
hidroklorida, magnesium sitrat, obat jantung quinidine, obat gout
(kolkisin), diuretika (furosemid, tiazid), toksin (arsenik, organofosfat), insektisida,
kafein, metil xantine, agen endokrin (preparat pengantian tiroid), misoprostol,
mesalamin, antikolinesterase dan obat-obat diet perlu diketahui.
Selain itu, kondisi imunokompromais (HIV/AIDS) dan demam tifoid perlu
diidentifikasi.
Pada pasien anak ditanyakan secara jelas gejala diare:
1. Perjalanan penyakit diare yaitu lamanya diare berlangsung, kapan diare
muncul (saat neonatus, bayi, atau anak-anak) untuk mengetahui, apakah
termasuk diare kongenital atau didapat, frekuensi BAB, konsistensi dari feses,
ada tidaknya darah dalam tinja
2. Mencari faktor-faktor risiko penyebab diare
3. Gejala penyerta: sakit perut, kembung, banyak gas, gagal tumbuh.
4. Riwayat bepergian, tinggal di tempat penitipan anak merupakan risiko untuk
diare infeksi.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan penunjang sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
1. Pada pemeriksaan fisik perlu diperiksa: berat badan, suhu tubuh, frekuensi
denyut jantung dan pernapasan serta tekanan darah.
2. Mencari tanda-tanda utama dehidrasi: kesadaran, rasa haus, dan turgor kulit
abdomen dan tanda-tanda tambahan lainnya: ubun-ubun besar cekung atau
tidak, mata: cekung atau tidak, ada atau tidaknya air mata, bibir, mukosa
mulut dan lidah kering atau basah.
3. Pernapasan yang cepat indikasi adanya asidosis metabolik.
4. Bising usus yang lemah atau tidak ada bila terdapat hipokalemia.
5. Pemeriksaan ekstremitas perlu karena perfusi dan capillary refill dapat
menentukan derajat dehidrasi yang terjadi.
6. Penilaian beratnya atau derajat dehidrasi dapat ditentukan dengan cara:
obyektif yaitu dengan membandingkan berat badan sebelum dan selama
diare. Subyektif dengan menggunakan kriteria. Pada anak menggunakan
kriteria WHO 1995.
Gejala Derajat Dehidrasi Minimal (< 3% dari berat badan) Ringan sampai
sedang (3-9% dari berat badan) Berat (> 9% dari berat badan) Status mental Baik,
sadar penuh Normal, lemas, atau gelisah, iritabel Apatis, letargi, tidak sadar Rasa
haus Minum normal, mungkin menolak minum Sangat haus, sangat ingin minum
Tidak dapat minum Denyut jantung Normal Normal sampai meningkat Takikardi,
pada kasus berat bradikardi Kualitas denyut nadi Normal Normal sampai menurun
Lemah atau tidak teraba Pernapasan Normal Normal cepat Dalam Mata Normal
Sedikit cekung Sangat cekung Air mata Ada Menurun Tidak ada Mulut dan lidah
Basah Kering Pecah-pecah Turgor kulit Baik < 2 detik > 2 detik Isian kapiler
Normal Memanjang Memanjang, minimal Ekstremitas Hangat Dingin Dingin
Output urin Normal sampai menurun Menurun Minimal Klinis Skor Rasa hasus/
muntah 1 Tekanan Darah sistolik 60 -90 mmHg 1 Tekanan darah sistolik <60 mmHg
2 Frekuensi nadi > 120 x/menit 1 Kesadaran apati 1 Kesadaran somnolen, spoor
atau koma 2 Frekuensi napas > 30x/ menit 1 Facies Cholerica 2 Vox Cholerica
2 Turgor kulit menurun 1 Washer woman’s hand 1 Ekstremitas dingin 1
Sianosis 2 Umur 50 – 60 tahun -1 Umur > 60 tahun -2
Metode Pierce
Dehidrasi ringan= 5% x Berat badan (kg)
Dehidrasi sedang= 8% x Berat badan (kg)
Dehidrasi berat= 10% x Berat badan (kg)
Tabel 3.5. Penentuan derajat dehidrasi menurut WHO 1995
Penilaian A B C
Lihat : Baik, sadar *Gelisah, rewel *Lesu, lunglai,
Keadaan umum Normal Cekung atau tidak sadar
Mata Ada Tidak ada Sangat cekung
Air mata Basah Kering dan kering
Mulut dan lidah Minum biasa *haus ingin Sangat kering
Rasa haus tidak haus minum banyak *malas minum
atau tidak bias
minum
Periksa turgor Kembali cepat *kembali *kembali
kulit lambat sangat lambat
Hasil Tanpa Dehidrasi Dehidrasi berat
pemeriksaan dehidrasi ringan/sedang Bila ada 1
Bila ada 1 tanda (*)
tanda (*) ditambah 1 atau
ditambah 1 atau lebih tanda lain
lebih tanda lain
Terapi Rencana Terapi Rencana Terapi Rencana Terapi
A B C
TERAPI
Penatalaksanaan pada Pasien Dewasa
Pada umumnya diare akut bersifat ringan dan sembuh cepat dengan sendirinya
melalui rehidrasi dan obat antidiare, sehingga jarang diperlukan evaluasi lebih
lanjut.
Terapi dapat diberikan dengan
1. Memberikan cairan dan diet adekuat
a. Pasien tidak dipuasakan dan diberikan cairan yang adekuat untuk rehidrasi.
b. Hindari susu sapi karena terdapat defisiensi laktase transien.
c. Hindari juga minuman yang mengandung alkohol atau kafein , karena dapat
meningkatkan motilitas dan sekresi usus.
d. Makanan yang dikonsumsi sebaiknya yang tidak mengandung gas, dan
mudah dicerna.
2. Pasien diare yang belum dehidrasi dapat diberikan obat antidiare untuk
mengurangi gejala dan antimikroba untuk terapi definitif.
Pemberian terapi antimikroba empirik diindikasikan pada pasien yang diduga
mengalami infeksi bakteri invasif, traveller’s diarrhea, dan imunosupresi.
Antimikroba: pada GE akibat infeksi diberikan antibiotik atau antiparasit, atau
antijamur tergantung penyebabnya.
Obat antidiare, antara lain:
1. Turunan opioid: Loperamid, Difenoksilat atropin, Tinktur opium.
2. Obat ini sebaiknya tidak diberikan pada pasien dengan disentri yang disertai
demam, dan penggunaannya harus dihentikan apabila diare semakin berat
walaupun diberikan terapi.
3. Bismut subsalisilat, hati-hati pada pasien immunokompromais, seperti HIV,
karena dapat meningkatkan risiko terjadinya bismuth encephalopathy.
4. Obat yang mengeraskan tinja: atapulgit 4x2 tablet/ hari atau smectite 3x1
sachet diberikan tiap BAB encer sampai diare stop.
5. Obat anti sekretorik atau anti enkefalinase: Racecadotril 3x1
Antimikroba, antara lain:
1. Golongan kuinolon yaitu Siprofloksasin 2 x 500 mg/hari selama 5-7 hari, atau
2. Trimetroprim/Sulfametoksazol 160/800 2x 1 tablet/hari.
3. Apabila diare diduga disebabkan oleh Giardia, Metronidazol dapat digunakan
dengan dosis 3x500 mg/ hari selama 7 hari.
4. Bila diketahui etiologi dari diare akut, terapi disesuaikan dengan etiologi.
Apabila terjadi dehidrasi, setelah ditentukan derajat dehidrasinya, pasien ditangani
dengan langkah sebagai berikut:
1. Menentukan jenis cairan yang akan digunakan
Pada diare akut awal yang ringan, tersedia cairan oralit yang hipotonik dengan
komposisi 29 gr glukosa, 3,5 gr NaCl, 2,5 gr Natrium bikarbonat dan 1,5 KCl setiap
liter. Cairan ini diberikan secara oral atau lewat selang nasogastrik. Cairan lain
adalah cairan ringer laktat dan NaCl 0,9% yang diberikan secara intravena.
2. Menentukan jumlah cairan yang akan diberikan
Prinsip dalam menentukan jumlah cairan inisial yang dibutuhkan adalah: BJ
plasma dengan rumus:
Defisit cairan : BJ plasma – 1,025 X Berat badan X 4 ml
0,001
Kebutuhan cairan = Skor X 10% X kgBB X 1 liter
15
3. Menentukan jadwal pemberian cairan:
a. Dua jam pertama (tahap rehidrasi inisial): jumlah total kebutuhan cairan menurut
BJ plasma atau skor Daldiyono diberikan langsung dalam 2 jam ini agar tercapai
rehidrasi optimal secepat mungkin.
b. Satu jam berikutnya/jam ke-3 (tahap ke-2) pemberian diberikan berdasarkan
kehilangan selama 2 jam pemberian cairan rehidrasi inisial sebelumnya. Bila
tidak ada syok atau skor Daldiyono kurang dari 3 dapat diganti cairan per
oral.
c. Jam berikutnya pemberian cairan diberikan berdasarkan kehilangan cairan
melalui tinja dan insensible water loss.
Kondisi yang memerlukan evaluasi lebih lanjut pada diare akut apabila
ditemukan:
1. Diare memburuk atau menetap setelah 7 hari, feses harus dianalisa lebih
lanjut
2. Pasien dengan tanda-tanda toksik (dehidrasi, disentri, demam ≥ 38,5oC, nyeri
abdomen yang berat pada pasien usia di atas 50 tahun
3. Pasien usia lanjut
4. Muntah yang persisten
5. Perubahan status mental seperti lethargi, apatis, irritable
6. Terjadinya outbreak pada komunitas
7. Pada pasien yang immunokompromais.
Penatalaksanaan pada Pasien Anak
Menurut Kemenkes RI (2011), prinsip tatalaksana diare pada balita adalah
LINTAS DIARE (Lima Langkah Tuntaskan Diare), yang didukung oleh Ikatan
Dokter Anak Indonesia dengan rekomendasi WHO. Rehidrasi bukan satu-satunya
cara untuk mengatasi diare tetapi memperbaiki kondisi usus serta mempercepat
penyembuhan/menghentikan diare dan mencegah anak kekurangan gizi akibat
diare juga menjadi cara untuk mengobati diare.
Adapun program LINTAS DIARE yaitu:
1. Rehidrasi menggunakan Oralit osmolalitas rendah
Untuk mencegah terjadinya dehidrasi dapat dilakukan mulai dari rumah tangga
dengan memberikan oralit osmolaritas rendah, dan bila tidak tersedia berikan
cairan rumah tangga seperti larutan air garam. Oralit saat ini yang beredar di
pasaran sudah oralit yang baru dengan osmolaritas yang rendah, yang dapat
mengurangi rasa mual dan muntah. Oralit merupakan cairan yang terbaik bagi
penderita diare untuk mengganti cairan yang hilang. Bila penderita tidak bisa
minum harus segera di bawa ke sarana kesehatan untuk mendapat pertolongan
cairan melalui infus.
Pemberian oralit didasarkan pada derajat dehidrasi (Kemenkes RI, 2011).
a. Diare tanpa dehidrasi
• Umur < 1 tahun: ¼ - ½ gelas setiap kali anak mencret (50–100 ml)
• Umur 1 – 4 tahun: ½-1 gelas setiap kali anak mencret (100–200 ml)
• Umur diatas 5 Tahun: 1–1½ gelas setiap kali anak mencret (200– 300 ml)
b. Diare dengan dehidrasi ringan sedang
 Dosis oralit yang diberikan dalam 3 jam pertama 75 ml/ kg bb dan
selanjutnya diteruskan dengan pemberian oralit seperti diare tanpa dehidrasi.
c. Diare dengan dehidrasi berat
 Penderita diare yang tidak dapat minum harus segera dirujuk ke
Puskesmas untuk diinfus.
Untuk anak dibawah umur 2 tahun cairan harus diberikan dengan sendok dengan
cara 1 sendok setiap 1 sampai 2 menit. Pemberian dengan botol tidak boleh
dilakukan. Anak yang lebih besar dapat minum langsung dari gelas. Bila terjadi
muntah hentikan dulu selama 10 menit kemudian mulai lagi perlahan-lahan
misalnya 1 sendok setiap 2-3 menit. Pemberian cairan ini dilanjutkan sampai dengan
diare berhenti.
2. Zinc diberikan selama 10 hari berturut-turut
Pemberian zinc selama diare terbukti mampu mengurangi lama dan tingkat
keparahan diare, mengurangi frekuensi buang air besar, mengurangi volume
tinja, serta menurunkan kekambuhan kejadian diare pada 3 bulan berikutnya.
Berdasarkan bukti ini semua anak diare harus diberi Zinc segera saat anak
mengalami diare. Dosis pemberian Zinc pada balita:
 Umur < 6 bulan : ½ tablet (10 mg) per hari selama 10 hari.
 Umur > 6 bulan : 1 tablet (20 mg) per hari selama 10 hari.
 Zinc tetap diberikan selama 10 hari walaupun diare sudah berhenti.
 Cara pemberian tablet zinc : Larutkan tablet dalam 1 sendok makan air
matang atau ASI, sesudah larut berikan pada anak diare.
3. Teruskan pemberian ASI dan Makanan
Pemberian makanan selama diare bertujuan untuk memberikan gizi pada penderita
terutama pada anak agar tetap kuat dan tumbuh serta mencegah berkurangnya
berat badan. Anak yang masih minum ASI harus lebih sering diberi ASI.
Anak yang minum susu formula juga diberikan lebih sering dari biasanya. Anak
usia 6 bulan atau lebih termasuk bayi yang telah mendapatkan makanan padat
harus diberikan makanan yang mudah dicerna dan diberikan
sedikit lebih sedikit dan lebih sering. Setelah diare berhenti, pemberian makanan
ekstra diteruskan selama 2 minggu untuk membantu pemulihan berat badan
4. Antibiotik Selektif
Antibiotika tidak boleh digunakan secara rutin karena kecilnya kejadian diare
pada balita yang disebabkan oleh bakteri. Antibiotika hanya bermanfaat pada
penderita diare dengan darah (sebagian besar karena Shigellosis) dan suspek
kolera Obat-obatan anti diare juga tidak boleh diberikan pada anak yang
menderita diare karena terbukti tidak bermanfaat. Obat anti muntah tidak
dianjurkan kecuali muntah berat. Obat-obatan ini tidak mencegah dehidrasi
ataupun meningkatkan status gizi anak, bahkan sebagian besar menimbulkan
efek samping yang berbahaya dan bisa berakibat fatal. Obat anti protozoa
digunakan bila terbukti diare disebabkan oleh parasit (amuba, giardia).
5. Nasihat kepada orang tua/pengasuh
Ibu atau pengasuh yang berhubungan erat dengan balita harus diberi nasehat
tentang:
a. Cara memberikan cairan dan obat di rumah
b. Kapan harus membawa kembali balita ke petugas kesehatan bila :
 Diare lebih sering
 Muntah berulang
 Sangat haus
 Makan/minum sedikit
 Timbul demam
 Tinja berdarah
 Tidak membaik dalam 3 hari.

5. DISENTRI
KEMAMPUAN (4A)
DEFINISI
Disentri merupakan tipe diare yang berbahaya dan seringkali menyebabkan
kematian dibandingkan dengan tipe diare akut yang lain. Penyakit ini dapat
disebabkan oleh bakteri disentri basiler yang disebabkan oleh shigellosis dan
amoeba (disentri amoeba).
PATOFISIOLOGI
Infeksi Shigella merupakan masalah kesehatan umum, terutama pada Negara
berkembang dengan sanitasi yang buruk. Manusia adalah reservoir alami, selain
beberapa primata lain. Shigellosis tersebar melalui transmisi fekal-oral. Selain itu
juga dapat melalui makanan dan air terkontaminasi yang tertelan, kontak dengan
objek yang terkontaminasi, dan beberapa jenis kontak seksual. Vector seperti
housefly dapat menyebarkan penyakit dengan transport feses terinfeksi. Jumlah
dosis infeksi sangat rendah. Sepuluh basil S dysenteriae dapat menyebabkan
gejala klinis, sedangkan untuk infeksi S sonnei atau S flexneri dibutuhkan 100-200
basil. Penyebab respons dosis rendah ini belum diketahui, namun kemungkinan
karena virulen Shigellae tahan terhadap pH rendah dan asam lambung.
Isolasi Shigella dapat bertahan pada pH 2.5 paling tidak selama 2 jam. Periode
inkubasi bervariasi dari 12 jam hingga 7 hari (tergantung dari jumlah bacteria
yang tertelan), tetapi umumnya 2-4 hari. Penyakit ini dapat ditularkan selama
organisme pathogen masih terdapat dalam feses pasien, yaitu hingga 4 minggu
dari onset penyakit. Setelah 4 minggu, akan terjadi penurunan shedding bakteri.
Sangat jarang hal ini terjadi hingga berbulan-bulan. Terapi antimikroba yang tepat
dapat menurunkan durasi ini.
DIAGNOSIS
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
1. Sakit perut terutama sebelah kiri dan buang air besar encer secara terus
menerus bercampur lendir dan darah
2. Muntah-muntah
3. Sakit kepala
4. Bentuk yang berat (fulminating cases) biasanya disebabkan oleh S. dysentriae
dengan gejalanya timbul mendadak dan berat, dan dapat meninggal bila tidak
cepat ditolong.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan:
1. Febris
2. Nyeri perut pada penekanan di bagian sebelah kiri
3. Terdapat tanda-tanda dehidrasi
4. Tenesmus
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan tinja secara langsung terhadap kuman penyebab.
TERAPI
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
1. Mencegah terjadinya dehidrasi
2. Tirah baring
3. Dehidrasi ringan sampai sedang dapat dikoreksi dengan cairan rehidrasi oral
4. Bila rehidrasi oral tidak mencukupi dapat diberikan cairan melalui infus
5. Diet, diberikan makanan lunak sampai frekuensi BAB kurang dari 5kali/hari,
kemudian diberikan makanan ringan biasa bila ada kemajuan.
6. Farmakologis:
a. Menurut pedoman WHO, bila telah terdiagnosis shigelosis pasien diobati
dengan antibiotik. Jika setelah 2 hari pengobatan menunjukkan perbaikan,
terapi diteruskan selama 5 hari. Bila tidak ada perbaikan, antibiotik diganti
dengan jenis yang lain.
b. Pemakaian jangka pendek dengan dosis tunggal Fluorokuinolon seperti
Siprofloksasin atau makrolid Azithromisin ternyata berhasil baik untuk
pengobatan disentri basiler. Dosis Siprofloksasin yang dipakai adalah 2 x
500 mg/hari selama 3 hari sedangkan Azithromisin diberikan 1 gram dosis
tunggal dan Sefiksim 400 mg/hari selama 5 hari. Pemberian Siprofloksasin
merupakan kontraindikasi terhadap anak-anak dan wanita hamil.
c. Di negara-negara berkembang di mana terdapat kuman S.dysentriae tipe 1
yang multiresisten terhadap obat-obat, diberikan asam nalidiksik dengan
dosis 3 x 1 gram/hari selama 5 hari. Tidak ada antibiotik yang dianjurkan
dalam pengobatan stadium karier disentri basiler.
d. Untuk disentri amuba diberikan antibiotik Metronidazol 500 mg 3x sehari
selama 3-5 hari
Rencana Tindak Lanjut
Pasien perlu dilihat perkembangan penyakitnya karena memerlukan waktu
penyembuhan yang lama berdasarkan berat ringannya penyakit.

6.PERDARAHAN GASTROINTESTINAL
KEMAMPUAN ( 3B)
DEFINISI
Manifestasi perdarahan saluran cerna bervariasi mulai dengan perdarahan
masif yang mengancam jiwa hingga perdarahan samar yang tidak dirasakan.
Hematemesis menunjukkan perdarahan dari saluran cerna bagian atas, proksimal
dari ligamentum Treitz. Melena biasanya akibat perdarahan saluran cerna bagian
atas, meskipun demikian perdarahan dari usus halus atau kolon bagian kanan, juga
dapat menimbulkan melena.
PATOFISIOLOGI
Vasculitis pada masa kanak-kanak merupakan hasil dari spektrum
penyebab yang dimulai dari idiopatik dengan inflamasi saluran darah primer
hingga sindrom yang diikuti dengan paparan dari antigen yang diketahui (agen
infeksi, obat yang menyebabkan reaksi hipersensitifitas). Vaskulitis juga merupakan
komponen dari banyak penyakit autoimmune. Perluasan kerusakan pembuluh darah
berkisar dari sedang, sebagaimana pada kebanyakan anak dengan Henoch-
Schönlein purpura (HSP), hingga berat, pada anak dengan polyarteritis nodosa.
Banyak klasifikasi dari sindrom vaskulitis didasari dari ukuran dan lokasi dari
pembuluh darah yang secara primer terlibat, sebagaimana halnya dengan tipe
inflamasi infiltrat. Target pembuluh darah yang dipengaruhi bervariasi dalam
ukuran besar pembuluh darah aferen, pada Takayasu arteritis (TA), hingga sumbatan
arteriol dan kapiler, karakteristik dari dermatomyositis juvenile. Infiltrat
inflamasi dapat termasuk variasi jumlah sel polymorphonuclear, mononuclear,
dan eosinophilic.
DIAGNOSIS
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Pasien dapat datang dengan keluhan muntah darah berwarna hitam seperti bubuk
kopi (hematemesis) atau buang air besar berwarna hitam seperti ter atau aspal
(melena),
Gejala klinis lainya sesuai dengan komorbid, seperti penyakit hati kronis, penyakit
paru, penyakit jantung, penyakit ginjal dsb.
Pada anamnesis yang perlu ditanyakan adalah riwayat penyakit hati kronis,
riwayat dispepsia, riwayat mengkonsumsi NSAID, obat rematik, alkohol, jamu-
jamuan, obat untuk penyakit jantung, obat stroke, riwayat penyakit ginjal, riwayat
penyakit paru dan adanya perdarahan ditempat lainnya. Riwayat muntah-muntah
sebelum terjadinya hematemesis sangat mendukung kemungkinan adanya
sindroma Mallory Weiss.
hasil pemeriksaan fisik dan penunjang sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
1. Penilaian hemodinamik (keadaan sirkulasi)
2. Evaluasi jumlah perdarahan.
3. Pemeriksaan fisik lainnya yaitu mencari stigmata penyakit hati kronis
(ikterus, spider nevi, asites, splenomegali, eritema palmaris, edema tungkai),
massa abdomen, nyeri abdomen, rangsangan peritoneum, penyakit paru,
penyakit jantung, penyakit rematik dll.
4. Rectal toucher
5. Dalam prosedur diagnosis ini penting melihat aspirat dari Naso Gastric Tube
(NGT). Aspirat berwarna putih keruh menandakan perdarahan tidak aktif,
aspirat berwarna merah marun menandakan perdarahan masif sangat mungkin
perdarahan arteri.
Pemeriksaan Penunjang di pelayanan kesehatan primer
1. Laboratorium darah lengkap
2. X ray thoraks
TERAPI
1. Stabilkan hemodinamik.
a. Pemasangan IV line
b. Oksigen sungkup/kanula
c. Mencatat intake output, harus dipasang kateter urin
d. Memonitor tekanan darah, nadi, saturasi oksigen dan keadaan lainnya sesuai
dengan komorbid yang ada.
2. Pemasangan NGT (nasogatric tube)
Melakukan bilas lambung agar mempermudah dalam tindakan endoskopi.
3. Tirah baring
4. Puasa/diet hati/lambung
a. Injeksi antagonis reseptor H2 atau penghambat pompa proton (PPI)
b. Sitoprotektor: sukralfat 3-4x1 gram
c. Antasida
d. Injeksi vitamin K untuk pasien dengan penyakit hati kronis
Rencana Tindak Lanjut
Walaupun sudah dilakukan terapi endoskopi pasien dapat mengalami perdarahan
ulang. Oleh karena itu perlu dilakukan asesmen yang lebih akurat untuk
memprediksi perdarahan ulang dan mortalitas.

7. GERD
KEMAMPUAN: 4A)
DEFINSI
Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) adalah mekanisme refluks melalui
sfingter esofagus.
PATOFISIOLOGI
Pada kebanyakan orang dengan GERD, mekanisme pertahanan endogen sebenarnya
berfungsi dengan baik untuk membatasi jumlah bahan berbahaya yang masuk ke
esofagus atau cepat membersihkan materi-materi berbahaya yang ada sehingga
gejala dan iritasi mukosa esofagus diminimalkan. Contoh mekanisme
pertahanan ini mencakup tindakan dari mekanisme pembersihan dengan saliva,
mekanisme lower esophageal sphincter (LES) dan motilitas esofagus normal.
Ketika mekanisme pertahanan rusak atau menjadi kewalahan dan tekanan
intraabdominal terus meningkat maka esofagus akan penuh dengan asam
lambung untuk periode yang lama
DIAGNOSIS
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Rasa panas dan terbakar di retrosternal atau epigastrik dan dapat menjalar ke leher
disertai muntah, atau timbul rasa asam di mulut. Hal ini terjadi terutama setelah
makan dengan volume besar dan berlemak. Keluhan ini diperberat dengan posisi
berbaring terlentang. Keluhan ini juga dapat timbul oleh karena makanan berupa
saos tomat, peppermint, coklat, kopi, dan alkohol. Keluhan sering muncul pada
malam hari.
Faktor risiko
Usia > 40 tahun, obesitas, kehamilan, merokok, konsumsi kopi, alkohol, coklat,
makan berlemak, beberapa obat di antaranya nitrat, teofilin dan verapamil,
pakaian yang ketat, atau pekerja yang sering mengangkat beban berat.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan penunjang sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
Tidak terdapat tanda spesifik untuk GERD. Tindakan untuk pemeriksaan adalah
dengan pengisian kuesioner GERD. Bila hasilnya positif, maka dilakukan tes
dengan pengobatan PPI (Proton Pump Inhibitor).
TERAPI
1. Terapi dengan medikamentosa dengan cara memberikan Proton Pump
Inhibitor (PPI) dosis tinggi selama 7-14 hari. Bila terdapat perbaikan gejala
yang signifikan (50-75%) maka diagnosis dapat ditegakkan sebagai GERD. PPI
dosis tinggi berupa omeprazol 2x20 mg/hari dan lansoprazol 2x 30 mg/hari.
2. Setelah ditegakkan diagnosis GERD, obat dapat diteruskan sampai 4 minggu
dan boleh ditambah dengan prokinetik seperti domperidon 3x10 mg.
3. Pada kondisi tidak tersedianya PPI, maka penggunaan H2 Blocker 2x/hari:
simetidin 400-800 mg atau ranitidin 150 mg atau famotidin 20 mg.

Pemeriksaan penunjang dilakukan pada fasilitas layanan sekunder (rujukan) untuk


endoskopi dan bila perlu biopsi

8. HEMOROID GRADE 1-2


KEMAMPUAN: ( 3B)
DEFINISI
Hemoroid adalah pelebaran vena-vena di dalam pleksus hemoroidalis.
PATOFISIOLOGI
Hemoroid dikatakan sebagai penyakit keturunan. Namun sampai saat ini
belum terbukti kebenarannya. Akhir-akhir ini, keterlibatan bantalan anus (anal
cushion) makin dipahami sebagai dasar terjadinya penyakit ini. Bantalan anus
merupakan jaringan lunak yang kaya akan pembuluh darah. Agar stabil,
kedudukannya disokong oleh ligamentum Treitz dan lapisan muskularis
submukosa. Bendungan dan hipertrofi pada bantalan anus menjadi mekanisme dasar
terjadinya hemoroid. Pertama, kegagalan pengosongan vena bantalan anus secara
cepat saat defekasi. Kedua, bantalan anus terlalu mobile, dan ketiga, bantalan anus
terperangkap oleh sfingter anus yang ketat. Akibatnya, vena
intramuskular kanalis anus akan terjepit (obstruksi). Proses pembendungan diatas
diperparah lagi apabila seseorang mengedan atau adanya feses yang keras melalui
dinding rektum.
Selain itu, gangguan rotasi bantalan anus juga menjadi dasar terjadinya
keluhan hemoroid. Dalam keadaan normal, bantalan anus menempel secara
longgar pada lapisan otot sirkuler. Ketika defekasi, sfingter interna akan relaksasi.
Kemudian, bantalan anus berotasi ke arah luar (eversi) membentuk bibir anorektum.
Faktor endokrin, usia, konstipasi dan mengedan yang lama menyebabkan gangguan
eversi pada bantalan tersebut. Mitos di masyarakat yang mengatakan, hemoroid
mudah terjadi pada ibu hamil ternyata benar. Tak pelak, kehamilan menjadi faktor
pencetus hemoroid. Mengapa demikian?, Pertama, hormon kehamilan mengurangi
fungsi penyokong dari otot dan ligamentum di sekitar bantalan. Kedua terjadi
peningkatan vaskuler di daerah pelvis. Ketiga, seringnya terjadi konstipasi pada
masa kehamilan. Dan terakhir adalah kerusakan kanalis anus saat melahirkan per
vagina.
Hemoroid timbul akibat kongesti vena yang disebabkan gangguan aliran
balik dari vena hemoroidalis. Kantung-kantung vena yang melebar menonjol ke
dalam saluran anus dan rektum terjadi trombosis, ulserasi, perdarahan dan nyeri.
Perdarahan umumnya terjadi akibat trauma oleh feses yang keras. Darah yang keluar
berwarna merah segar meskipun berasal dari vena karena kaya akan asam. Nyeri
yang timbul akibat inflamasi dan edema yang disebabkan oleh trombosis. Trombosis
adalah pembekuan darah dalam hemoroid. Trombosis ini akan mengakibatkan
iskemi pada daerah tersebut dan nekrosis.
DIAGNOSIS
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
1. Perdarahan pada waktu defekasi, darah berwarna merah segar. Darah dapat
menetes keluar dari anus beberapa saat setelah defekasi.
2. Prolaps suatu massa pada waktu defekasi. Massa ini mula-mula dapat
kembali spontan sesudah defekasi, tetapi kemudian harus dimasukkan secara
manual dan akhirnya tidak dapat dimasukkan lagi.
3. Pengeluaran lendir.
4. Iritasi didaerah kulit perianal.
5. Gejala-gejela anemia (seperti : pusing, lemah, pucat).
Faktor Risiko
1. Penuaan
2. Lemahnya dinding pembuluh darah
3. Wanita hamil
4. Konstipasi
5. Konsumsi makanan rendah serat
6. Peningkatan tekanan intraabdomen
7. Batuk kronik
8. Sering mengedan
9. Penggunaan toilet yang berlama-lama (misal : duduk dalam waktu yang lama di
toilet)
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang.
Klasifikasi hemoroid, dibagi menjadi :
1. Hemoroid internal, yang berasal dari bagian proksimal dentate line dan
dilapisi mukosa
Hemoroid internal dibagi menjadi 4 grade, yaitu :
a. Grade 1: hemoroid mencapai lumen anal kanal
b. Grade 2: hemoroid mencapai sfingter eksternal dan tampak pada saat
pemeriksaan tetapi dapat masuk kembali secara spontan.
c. Grade 3: hemoroid telah keluar dari anal canal dan hanya dapat masuk
kembali secara manual oleh pasien.
d. Grade 4: hemoroid selalu keluar dan tidak dapat masuk ke anal kanal meski
dimasukkan secara manual
2. Hemoroid eksternal, berasal dari bagian dentate line dan dilapisi oleh epitel
mukosa yang telah termodifikasi serta banyak persarafan serabut saraf nyeri
somatik.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
1. Periksa tanda-tanda anemia
2. Pemeriksaan status lokalis
a. Inspeksi:
 Hemoroid derajat 1, tidak menunjukkan adanya suatu kelainan di regio
anal.
 Hemoroid derajat 2, tidak terdapat benjolan mukosa yang keluar melalui
anus, akan tetapi bagian hemoroid yang tertutup kulit dapat terlihat
sebagai pembengkakan.
 Hemoroid derajat 3 dan 4 yang besar akan segera dapat dikenali dengan
adanya massa yang menonjol dari lubang anus yang bagian luarnya
ditutupi kulit dan bagian dalamnya oleh mukosa yang berwarna keunguan
atau merah.
b. Palpasi:
 Hemoroid interna pada stadium awal merupaka pelebaran vena yang lunak
dan mudah kolaps sehingga tidak dapat dideteksi dengan palpasi.
 Setelah hemoroid berlangsung lama dan telah prolaps, jaringan ikat
mukosa mengalami fibrosis sehingga hemoroid dapat diraba ketika jari
tangan meraba sekitar rektum bagian bawah.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan darah rutin, bertujuan untuk mengetahui adanya anemia dan infeksi.
TERAPI
Hemoroid di layanan primer hanya untuk hemoroid grade 1 dengan terapi
konservatif medis dan menghindari obat-obat anti-inflamasi non-steroid, serta
makanan pedas atau berlemak.
Hal lain yang dapat dilakukan adalah mengurangi rasa nyeri dan konstipasi pada
pasien hemoroid.

9. HEPATITIS A
KEMAMPUAN ( 4A)
DEFINISI
Hepatitis A adalah infeksi akut di liver yang disebabkan oleh hepatitis A virus
(HAV), sebuah virus RNA yang disebarkan melalui rute fekal oral. Lebih dari
75% orang dewasa simtomatik, sedangkan pada anak < 6 tahun 70% asimtomatik.
Kurang dari 1% penderita hepatitis A dewasa berkembang menjadi hepatitis A
fulminan.
PATOFISIOLOGI
Diawali dengan masuk nya virus kedalam saluran pencernaan, kemudian masuk
kealiran darah menuju hati (vena porta), lalu menginvasi ke sel parenkim hati. Di
sel parenkim hati virus mengalami replikasi yang menyebabkan sel parenkim hati
menjadi rusak. Setelah ituvirus akan keluar dan menginvasi sel parenkim yang
lain atau masuk ke dalam ductus biliaris yang akan dieksresikan bersama feses.
Sel parenkim yang telah rusak akan merangsang reaksi inflamasi yang ditandai
dengan adanya agregasi makrofag, pembesaran sel kupfer yang akan menekan
ductus biliaris sehingga aliran bilirubin direk terhambat, kemudian terjadi
penurunan eksresi bilirubin ke usus. Keadaan ini menimbulkan ketidak
seimbangan antara uptake dan ekskresi bilirubin dari sel hati sehingga bilirubin yang
telah mengalami proses konjugasi (direk) akan terus menumpuk dalam sel hati yang
akan menyebabkan reflux (aliran kembali keatas) ke pembuluh darah sehingga
akan bermanifestasi kuning pada jaringan kulit terutama pada sklera kadang disertai
rasa gatal dan air kencing seperti teh pekat akibat partikel bilirubin direk berukuran
kecil sehingga dapat masuk ke ginjal dan di eksresikan melalui urin.
Akibat bilirubin direk yang kurang dalam usus mengakibatkan gangguan dalam
produksi asam empedu (produksi sedikit) sehingga proses pencernaan lemak
terganggu (lemak bertahan dalam lambung dengan waktu yang cukup lama) yang
menyebabkan regangan pada lambung sehingga merangsang saraf simpatis dan
saraf parasimpatis mengakibatkan teraktifasi nya pusat muntah yang berada di
medula oblongata yang menyebabkan timbulnya gejala mual, muntah dan
menurunnya nafsu makan
DIAGNOSIS
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
1. Demam
2. Mata dan kulit kuning
3. Penurunan nafsu makan
4. Nyeri otot dan sendi
5. Lemah, letih, dan lesu.
6. Mual dan muntah
7. Warna urine seperti teh
8. Tinja seperti dempul
Faktor Risiko
1. Sering mengkonsumsi makanan atau minuman yang tidak terjaga sanitasinya.
2. Menggunakan alat makan dan minum dari penderita hepatitis.
Hasil pemeriksaan fisik dan penunjang sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
1. Febris
2. Sklera ikterik
3. Hepatomegali
4. Warna urin seperti teh
Pemeriksaan Penunjang
1. Tes laboratorium urin (bilirubin di dalam urin)
2. Pemeriksaan darah : peningkatan kadar bilirubin dalam darah, kadar SGOT dan
SGPT ≥ 2x nilai normal tertinggi, dilakukan pada fasilitas primer yang lebih
lengkap.
3. IgM anti HAV (di layanan sekunder)
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang.
Diagnosis Banding
Ikterus obstruktif, Hepatitis B dan C akut, Sirosis hepatis
Komplikasi
Hepatitis A fulminan, Ensefalopati hepatikum, Koagulopati
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
1. Asupan kalori dan cairan yang adekuat
2. Tirah baring
3. Pengobatan simptomatik
a. Demam: Ibuprofen 2x400mg/hari.
b. Mual: antiemetik seperti Metoklopramid 3x10 mg/hari atau Domperidon
3x10mg/hari.
c. Perut perih dan kembung: H2 Bloker (Simetidin 3x200 mg/hari atau Ranitidin
2x 150mg/hari) atau Proton Pump Inhibitor (Omeprazol 1 x 20 mg/hari).

10. HEPATITIS B
KEMAMPUAN : (4A)
DEFINISI
Hepatitis B adalah virus yang menyerang hati, masuk melalui darah ataupun
cairan tubuh dari seseorang yang terinfeksi. Virus ini tersebar luas di seluruh
dunia dengan angka kejadian yang berbeda-beda. Tingkat prevalensi hepatitis B di
Indonesia sangat bervariasi berkisar 2,5% di Banjarmasin sampai 25,61% di
Kupang, sehingga termasuk dalam kelompok negara dengan endemisitas sedang
sampai tinggi.
PATOFISIOLOGI
Infeksi hepatitis B dapat berupa keadaan yang akut dengan gejala yang
berlangsung kurang dari 6 bulan. Apabila perjalanan penyakit berlangsung lebih
dari 6 bulan maka kita sebut sebagai hepatitis kronik (5%). Hepatitis B kronik dapat
berkembang menjadi sirosis hepatis, 10% dari penderita sirosis hepatis akan
berkembang menjadi hepatoma.
DIAGNOSIS
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
1. Umumnya tidak menimbulkan gejala terutama pada anak-anak.
1. Gejala timbul apabila seseorang telah terinfeksi selama 6 minggu, antara lain:
a. gangguan gastrointestinal, seperti: malaise, anoreksia, mual dan muntah;
b. gejala flu: batuk, fotofobia, sakit kepala, mialgia.
2. Gejala prodromal seperti diatas akan menghilang pada saat timbul kuning,
tetapi keluhan anoreksia, malaise, dan kelemahan dapat menetap.
3. Ikterus didahului dengan kemunculan urin berwarna gelap. Pruritus (biasanya
ringan dan sementara) dapat timbul ketika ikterus meningkat. Pada saat badan
kuning, biasanya diikuti oleh pembesaran hati yang diikuti oleh rasa sakit bila
ditekan di bagian perut kanan atas. Setelah gejala tersebut akan timbul fase
resolusi.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
1. Konjungtiva ikterik
2. Pembesaran dan sedikit nyeri tekan pada hati
3. Splenomegali dan limfadenopati pada 15-20% pasien
Pemeriksaan Penunjang
1. Tes laboratorium urin (bilirubin di dalam urin)
2. Pemeriksaan darah : peningkatan kadar bilirubin dalam darah, kadar SGOT
dan SGPT ≥ 2x nilai normal tertinggi, dilakukan pada fasilitas primer yang
lebih lengkap.
3. HBsAg (di pelayanan kesehatan sekunder)
TERAPI
Penatalaksanaan
1. Asupan kalori dan cairan yang adekuat
2. Tirah baring
3. Pengobatan simptomatik
a. Demam: Ibuprofen 2x400mg/hari.
b. Mual: antiemetik seperti Metoklopramid 3x10 mg/hari atau Domperidon
3x10mg/hari.
c. Perut perih dan kembung: H2 Bloker (Simetidin 3x200 mg/hari atau Ranitidin
2x 150mg/hari) atau Proton Pump Inhibitor (Omeprazol 1 x 20 mg/hari).

11. KOLESISTITIS
KEMAMPUAN : (3B)
DEFINISI
Kolesistitis adalah reaksi inflamasi akut atau kronis dinding kandung empedu.
Faktor yang mempengaruhi timbulnya serangan kolesistitis adalah stasis cairan
empedu, infeksi kuman dan iskemia dinding kandung empedu. Penyebab utama
kolesistitis akut adalah batu kandung empedu (90%) yang terletak di duktus sistikus
yang menyebabkan stasis cairan empedu.
PATOFISIOLOGI
Kolesistiasis mengacu pada batu saluran empedu , yang kebanyakan
terbentuk dalam kandungan empedu itu sendiri. Bahan utamanya adalah kolesterol
dan pigmen, dan batu empedu yang sering mengandung campuran komponen
empedu. Susunan batu empedu terdiri dari kolesterol (80% di AS), kalsium
karbonat, kalium bikarbonat, dan kombinasi dari bahan tersebut.
Pada batu kolesterol, empedu yang disupersaturasi dengan kolesterol
dilarutkan dalam daerah hidrofobik micelle. Proses fisik pembentukan batu
kolesterol terjadi dalam tiga tahap: (1) supersaturasi empedu dengan kolestreol,
(2) kristalisasi/ presipitasi, (3) pertumbuhan batu oleh agregrasi/presipitasi
lamellar kolesterol dan senyawa lain yang mempbentuk matriks batu.
Pada batu pigmen, ada dua bentuk yakni batu pigmen murni dan batu
kalsium bilirubinat. Batu pigmen murni lebih kecil (2-5 mm), multiple, sangat keras
dan penampilannya hijau sampai hitam. Batu-batu tersebut mengandung dalam
jumlah bervariasi kalsium bilirubinat, polimer bilirubin, asam empedu, kolesterol
dalam jumlah kecil dan senyawa lainnya. Patogenesis batu pigmen berbeda dari
batu kolesterol. Kemungkinan mencakup sekresi pigmen dalam jumlah yang
meningkat atau pembentukan pigmen abnormal yang mengendap didalam empedu.
Sirosis dan statis biliaris merupakan predisposisi pembentukan
batu pigmen. Pada pasien dengan peningkatan beban bilirubin tak terkonjugasi
(anemia hemolitik) dapat membentuk batu pigmen murni.
DIAGNOSIS
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Kolesistitis akut:
1. Demam
2. Kolik perut di sebelah kanan atas atau epigastrium dan teralihkan ke bawah
angulus scapula dexter, bahu kanan atau yang ke sisi kiri, kadang meniru
nyeri angina pektoris, berlangsung 30-60 menit tanpa peredaan, berbeda dengan
spasme yang cuma berlangsung singkat pada kolik bilier.
3. Serangan muncul setelah konsumsi makanan besar atau makanan berlemak di
malam hari.
4. Flatulens dan mual
Kolesistitis kronik
1. Gangguan pencernaan menahun
2. Serangan berulang namun tidak mencolok.
3. Mual, muntah dan tidak tahan makanan berlemak
4. Nyeri perut yang tidak jelas disertai dengan sendawa.
Faktor Risiko
1. Wanita
2. Usia >40 tahun
3. Sering mengkonsumsi makanan berlemak
4. Adanya riwayat kolesistitis akut sebelumnya.
Hasil Pemeriksaan dan Penunjang Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
1. Ikterik bila penyebab adanya batu di saluran empedu ekstrahepatik
2. Teraba massa kandung empedu
3. Nyeri tekan disertai tanda-tanda peritonitis lokal, tanda Murphy positif
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium darah menunjukkan adanya leukositosis
TERAPI
1. Tirah baring
2. Puasa
3. Pemasangan infus
4. Pemberian anti nyeri dan anti mual
5. Pemberian antibiotik:
a. Golongan penisilin: Ampisilin injeksi 500mg/6jam dan Amoksilin
500mg/8jam IV, atau
b. Sefalosporin: Seftriakson 1 gram/ 12 jam, Sefotaksim 1 gram/8jam,
atau
c. Metronidazol 500mg/8jam

12. APENDISITIS AKUT


KEMAMPUAN : (3B)
DEFINISI
Apendisitis akut adalah radang yang timbul secara mendadak pada apendik,
merupakan salah satu kasus akut abdomen yang paling sering ditemui, dan jika
tidak ditangani segera dapat menyebabkan perforasi.
PATOFISIOLOGI
Penyebab:
1. Obstruksi lumen merupakan faktor penyebab dominan apendisitis akut
2. Erosi mukosa usus karena parasit Entamoeba hystolitica dan benda asing
lainnya
DIAGNOSIS
Hasil Anamnesis(Subjective)
Keluhan
Nyeri perut kanan bawah, mula-mula daerah epigastrium kemudian menjalar ke
Mc Burney. Apa bila telah terjadi inflamasi (>6 jam) penderita dapat
menunjukkan letak nyeri karena bersifat somatik.
Gejala Klinis
1. Muntah (rangsangan viseral) akibat aktivasi nervus vagus.
2. Anoreksia, nausea dan vomitus yang timbul beberapa jam sesudahnya,
merupakan kelanjutan dari rasa nyeri yang timbul saat permulaan.
3. Disuria juga timbul apabila peradangan apendiks dekat dengan vesika
urinaria.
4. Obstipasi sebelum datangnya rasa nyeri dan beberapa penderita mengalami
diare, timbul biasanya pada letak apendiks pelvikal yang merangsang daerah
rektum.
5. Gejala lain adalah demam yang tidak terlalu tinggi, yaitu suhu antara
37,50C - 38,50C tetapi bila suhu lebih tinggi, diduga telah terjadi perforasi.
6. Variasi lokasi anatomi apendiks akan menjelaskan keluhan nyeri somatik
yang beragam. Sebagai contoh apendiks yang panjang dengan ujung yang
mengalami inflamasi di kuadran kiri bawah akan menyebabkan nyeri di
daerah tersebut, apendiks retrosekal akan menyebabkan nyeri flank atau
punggung, apendiks pelvikal akan menyebabkan nyeri pada supra pubik dan
apendiks retroileal bisa menyebabkan nyeri testikuler, mungkin karena
iritasi pada arteri spermatika dan ureter.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
Inspeksi
1. Penderita berjalan membungkuk sambil memegangi perutnya yang sakit
2. Kembung bila terjadi perforasi
3. Penonjolan perut kanan bawah terlihat pada appendikuler abses.
Palpasi
1. Terdapat nyeri tekan Mc Burney
2. Adanya rebound tenderness (nyeri lepas tekan)
3. Adanya defans muscular
4. Rovsing sign positif
5. Psoas sign positif
6. Obturator Sign positif
Perkusi
Nyeri ketok (+)
Auskultasi
Peristaltik normal, peristaltik tidak ada pada illeus paralitik karena peritonitis
generalisata akibat appendisitis perforata.
Colok dubur
Nyeri tekan pada jam 9-12
Tanda Peritonitis umum (perforasi) :
1. Nyeri seluruh abdomen
2. Pekak hati hilang
3. Bising usus hilang
Apendiks yang mengalami gangren atau perforasi lebih sering terjadi dengan
gejala-gejala sebagai berikut:
1. Gejala progresif dengan durasi lebih dari 36 jam
2. Demam tinggi lebih dari 38,5oC
3. Lekositosis (AL lebih dari 14.000)
4. Dehidrasi dan asidosis
5. Distensi
6. Menghilangnya bising usus
7. Nyeri tekan kuadran kanan bawah
8. Rebound tenderness sign
9. Rovsing sign
10. Nyeri tekan seluruh lapangan abdominal
Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium darah perifer lengkap
a. Pada apendisitis akut, 70-90% hasil laboratorium nilai leukosit dan
neutrofil akan meningkat.
b. Pada anak ditemuka lekositosis 11.000-14.000/mm3, dengan pemeriksaan
hitung jenis menunjukkan pergeseran ke kiri hampir 75%.
c. Jika jumlah lekosit lebih dari 18.000/mm3 maka umumnya sudah terjadi
perforasi dan peritonitis.
d. Pemeriksaan urinalisa dapat digunakan sebagai konfirmasi dan
menyingkirkan kelainan urologi yang menyebabkan nyeri abdomen.
e. Pengukuran kadar HCG bila dicurigai kehamilan ektopik pada wanita usia
subur.
2. Foto polos abdomen
a. Pada apendisitis akut, pemeriksaan foto polos abdomen tidak banyak
membantu..
b. Padaperadangan lebih luas dan membentuk infiltrat maka usus pada
bagian kanan bawah akan kolaps.
c. Dinding usus edematosa, keadaan seperti ini akan tampak pada daerah
kanan bawah abdomen kosong dari udara.
d. Gambaran udara seakan-akan terdorong ke pihak lain.
e. Proses peradangan pada fossa iliaka kanan akan menyebabkan kontraksi
otot sehingga timbul skoliosis ke kanan.
f. Bila sudah terjadi perforasi, maka pada foto abdomen tegak akan tampak
udara bebas di bawah diafragma.\
g. Foto polos abdomen supine pada abses appendik kadang-kadang memberi
pola bercak udara dan air fluid level pada posisi berdiri/LLD (dekubitus),
kalsifikasi bercak rim-like (melingkar) sekitar perifer mukokel yang
asalnya dari appendik.
TERAPI
Pasien yang telah terdiagnosis apendisitis akut harus segera dirujuk ke layanan
sekunder untuk dilakukan operasi cito.
Penatalaksanaan di pelayanan kesehatan primer sebelum dirujuk:
1. Bed rest total posisi fowler (anti Trandelenburg)
2. Pasien dengan dugaan apendisitis sebaiknya tidak diberikan apapun
melalui mulut.
3. Penderita perlu cairan intravena untuk mengoreksi jika ada dehidrasi.
4. Pipa nasogastrik dipasang untuk mengosongkan lambung agar mengurangi
distensi abdomen dan mencegah muntah.
Komplikasi
1. Perforasi apendiks
2. Peritonitis umum
3. Sepsis

13. PEROTONITIS
KEMAMPUAN: (3B)
DEFINISI
Peritonitis adalah inflamasi dari peritoneum. Peritonitis dapat disebabkan oleh
kelainan di dalam abdomen berupa inflamasi dan penyulitnya misalnya perforasi
apendisitis, perforasi tukak lambung, perforasi tifus abdominalis. Ileus obstruktif
dan perdarahan oleh karena perforasi organ berongga karena trauma abdomen.
PATOFISIOLOGI
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat
fibrinosa, yang menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga
membatasi infeksi. Bila bahan-bahan infeksi tersebar luas pada pemukaan
peritoneum atau bila infeksi menyebar, dapat timbul peritonitis umum, aktivitas
peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik; usus kemudian menjadi atoni dan
meregang. Cairan dan elektrolit hilang ke dalam lumen usus, mengakibatkan
dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi, dan oliguri. Peritonitis menyebabkan penurunan
aktivitas fibrinolitik intraabdomen (meningkatkan aktivitas inhibitor aktivator
plasminogen) dan sekuestrasi fibrin dengan adanya pembentukan jejaring
pengikat. Produksi eksudat fibrin merupakan mekanisme terpenting dari sistem
pertahanan tubuh, dengan cara ini akan terikat bakteri dalam jumlah yang sangat
banyak di antara matriks fibrin. Pembentukan abses pada peritonitis pada prinsipnya
merupakan mekanisme tubuh menciptakan kondisi abdomen yang steril. Pada
keadaan jumlah kuman yang sangat banyak, tubuh sudah tidak mampu
mengeliminasi kuman dan berusaha mengendalikan penyebaran kuman dengan
membentuk kompartemenkompartemen yang kita kenal sebagai abses. Masuknya
bakteri dalam jumlah besar ini bisa berasal dari berbagai sumber. Yang paling sering
ialah kontaminasi bakteri transien akibat penyakit viseral atau intervensi
bedah yang merusak keadaan abdomen. Selain jumlah bakteri transien yang
terlalu banyak di dalam rongga abdomen, peritonitis terjadi juga memang karena
virulensi kuman yang tinggi hingga mengganggu proses fagositosis dan
pembunuhan bakteri dengan neutrofil. Keadaan makin buruk jika infeksinya
dibarengi dengan pertumbuhan bakteri lain atau jamur, misalnya pada peritonitis
akibat koinfeksi Bacteroides fragilis dan bakteri gram negatif, terutama E. coli.
Isolasi peritoneum pada pasien peritonitis menunjukkan jumlah Candida albicans
yang relatif tinggi, sehingga dengan menggunakan skor APACHE II (acute
physiology and cronic health evaluation) diperoleh mortalitas tinggi, 52%, akibat
kandidosis tersebut. Saat ini peritonitis juga diteliti lebih lanjut karena melibatkan
mediasi respon imun tubuh hingga mengaktifkan systemic inflammatory response
syndrome (SIRS) dan multiple organ failure (MOF).
DIAGNOSIS
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
1. Nyeri hebat pada abdomen yang dirasakan terus-menerus selama beberapa
jam, dapat hanya di satu tempat ataupun tersebar di seluruh abdomen.
Intensitas nyeri semakin kuat saat penderita bergerak seperti jalan, bernafas,
batuk, atau mengejan.
2. Bila telah terjadi peritonitis bakterial, suhu badan penderita akan naik dan
terjadi takikardia, hipotensi dan penderita tampak letargik dan syok.
3. Mual dan muntah timbul akibat adanya kelainan patologis organ visera atau
akibat iritasiperitoneum.
4. Kesulitan bernafas disebabkan oleh adanya cairan dalam abdomen, yang
dapat mendorong diafragma.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
1. Pasien tampak letargik dan kesakitan
2. Dapat ditemukan demam
3. Distensi abdomen disertai nyeri tekan dan nyeri lepas abdomen
4. Defans muskular
5. Hipertimpani pada perkusi abdomen
6. Pekak hati dapat menghilang akibat udara bebas di bawah diafragma
7. Bising usus menurun atau menghilang
8. Rigiditas abdomen atau sering disebut perut papan
9. Pada colok dubur akan terasa nyeri di semua arah, dengan tonus muskulus
sfingter ani menurun dan ampula rekti berisi udara.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang tidak dilakukan di layanan primer untuk menghindari
keterlambatan dalam melakukan rujukan.
TERAPI
Pasien segera dirujuk setelah penegakan diagnosis dan penatalaksanaan awal
seperti berikut:
1. Memperbaiki keadaan umum pasien
2. Pasien puasa
3. Dekompresi saluran cerna dengan pipa nasogastrik atau intestinal
4. Penggantian cairan dan elektrolit yang hilang yang dilakukan secara intravena
5. Pemberian antibiotik spektrum luas intravena.
6. Tindakan-tindakan menghilangkan nyeri dihindari untuk tidak menyamarkan
gejala

14. ASKARIASIS
KEMAMPUAN (4A)
DEFINISI
Askariasis adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh infestasi parasit Ascaris
lumbricoides.
PATOFISIOLOGI
Manusia merupakan satu-satunya hospes definitif Ascaris lumbricoides, jika
tertelan telur yang infektif, maka didalam usus halus bagian atas telur akan menetas
dan melepaskan larva infektif (larva rhabditiform) dan kemudian menembus dinding
usus masuk kedalam vena portae hati, mengikuti aliran darah masuk kejantung
kanan dan selanjutnya keparu-paru dengan masa migrasi
berlangsung selama 1 – 7 hari. Larva tumbuh didalam paru-paru dan berganti kulit
sebanyak 2 kali, kemudian keluar dari kapiler, masuk ke alveolus dan seterusnya
larva masuk ke bronkus, trakhea, laring dan kemudian ke faring, berpindah ke
oesopagus dan tertelan melalui saliva atau merayap melalui epiglotis masuk
kedalam traktus digestivus dan berakhir sampai kedalam usus halus bagian atas,
larva berganti kulit lagi menjadi cacing dewasa. Umur cacing dewasa kira-kira
satu tahun, dan kemudian keluar secara spontan bersama tinja. Siklus hidup
cacing ini mempunyai masa yang cukup panjang, dua bulan sejak infeksi pertama
terjadi, seekor cacing betina mulai mampu mengeluarkan 200.000 – 250.000 butir
telur setiap harinya, waktu yang diperlukan adalah 3 – 4 minggu untuk tumbuh
menjadi bentuk infektif.
Menurut penelitian stadium ini merupakan stadium larva, di mana telur
tersebut keluar bersama tinja manusia dan diluar akan mengalami perubahan dari
stadium larva I sampai stadium III yang bersifat infektif. Telur-telur ini tahan
terhadap pengaruh cuaca buruk, berbagai desinfektan dan dapat tetap hidup
bertahun-tahun di tempat yang lembab. Didaerah hiperendemik, anak-anak
terkena infeksi secara terusmenerus sehingga jika beberapa cacing keluar, yang
lain menjadi dewasa dan menggantikannya. Apabila makanan atau minuman yang
mengandung telur ascaris infektif masuk kedalam tubuh maka siklus hidup cacing
akan berlanjut sehingga larva itu berubah menjadi cacing. Jadi larva cacing ascaris
hanya dapat menginfeksi tubuh melalui makanan yang tidak dimasak ataupun
melalui kontak langsung dengan kulit.1
Selama fase migrasi, larva askaris menyebabkan reaksi peradangan dengan
terjadinya infiltrasi eosinophilia. Antigen askaris dilepaskan selama migrasi larva
yang akan merangsang respon imunologis dalam tubuh dan respon ini telah
pernah dibuktikan adanya pelepasan antibody terhadap kelas IgG spesifik yang
dapat membentuk reaksi complement-fixation dan precipitating. Selama fase
intestinalis gejala utama berasal dari adanya cacing dalam usus atau akibat migrasi
kedalam lumen usus yang lain atau perforasi kedalam peritoneum. Lebih lanjut
askaris mengeluarkan antienzim sebagai suatu fungsi proteksi terhadap
kelangsungan hidupnya dan ternyata antienzim ini diduga berhubungan dengan
terjadinya malabsorpsi.2
Telur dihasilkan oleh cacing betina dan keluar memalui tinja. Bila telur
tersebut jatuh ke tempat yang hangat, lembab dan basah, maka telur akan berubah
menjadi larva yang infektif. Dan jika larva tersebut kontak dengan kulit,
bermigrasi sampai ke paru-paru dan kemudian turun ke usus halus; di sini larva
berkembang menjadi cacing dewasa. Infeksi terjadi jika larva filariform
menembus kulit. Infeksi A.duodenale juga mungkin dengan menelan larva
filariform. Telur dari kedua cacing tersebut ditemukan di dalam tinja dan menetas
di dalam tanah setelah mengeram selama 1-2 hari. Dalam beberapa hari, larva
dilepaskan dan hidup di dalam tanah. Manusia bisa terinfeksi jika berjalan tanpa alas
kaki diatas tanah yang terkontaminasi oleh tinja manusia, karena larva bisa
menembus kulit. Larva sampai ke paru-paru melalui pembuluh getah bening dan
aliran darah. Lalu larva naik ke saluran pernafasan dan tertelan. Sekitar 1 minggu
setelah masuk melalui kulit, larva akan sampai di usus. Larva menancapkan
dirinya dengan kait di dalam mulut mereka ke lapisan usus halus bagian atas dan
mengisapdarah.1
DIAGNOSIS
Hasil Anamnesis(Subjective)
Keluhan
Nafsu makan menurun, perut membuncit, lemah, pucat, berat badan menurun, mual,
muntah. Gejala Klinis yang timbul pada penderita dapat disebabkan oleh cacing
dewasa dan migrasi larva. Gangguan karena larva biasanya terjadi pada saat
larva berada diparu. Pada orang yang rentan, terjadi perdarahan kecil pada dinding
alveolus dan timbul gangguan pada paru yang disertai dengan batuk, demam,
dan eosinofilia. Pada foto thoraks tampak infiltrat yang menghilang dalam
waktu 3 minggu. Keadaan ini disebut sindroma Loeffler.
Gangguan yang disebabkan cacing dewasa biasanya ringan, dan sangat tergantung
dari banyaknya cacing yang menginfeksi di usus. Kadang-kadang penderita
mengalami gejala gangguan usus ringan seperti mual, nafsu makan berkurang, diare,
atau konstipasi. Pada infeksi berat, terutama pada anak dapat terjadi
malabsorpsi sehingga memperberat keadaan malnutrisi. Gejala klinis yang paling
menonjol adalah rasa tidak enak di perut, kolik akut pada daerah epigastrium,
gangguan selera makan, mencret. Ini biasanya terjadi pada saat proses peradangan
pada dinding usus. Pada anak kejadian ini bisa diikuti demam. Komplikasi yang
ditakuti (berbahaya) adalah bila cacing dewasa menjalar ketempat lain (migrasi) dan
menimbulkan gejala akut. Pada keadaan infeksi yang berat, paling ditakuti bila
terjadi muntah cacing, yang akan dapat menimbulkan komplikasi
penyumbatan saluran nafas oleh cacing dewasa. Pada keadaan lain dapat terjadi
ileus oleh karena sumbatan pada usus oleh massa cacing, ataupun apendisitis
sebagai akibat masuknya cacing ke dalam lumen apendiks. Bisa dijumpai
penyumbatan ampulla Vateri ataupun saluran empedu dan terkadang masuk ke
jaringan hati.
Gejala lain adalah sewaktu masa inkubasi dan pada saat cacing menjadi dewasa di
dalam usus halus, yang mana hasil metabolisme cacing dapat menimbulkan
fenomena sensitisasi seperti urtikaria, asma bronkhial, konjungtivitis akut, fotofobia
dan terkadang hematuria. Eosinofilia 10% atau lebih sering pada infeksi dengan
Ascaris lumbricoides, tetapi hal ini tidak menggambarkan beratnya penyakit, tetapi
lebih banyak menggambarkan proses sensitisasi dan eosinofilia ini tidak
patognomonis untuk infeksi Ascaris lumbricoides.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
1. Pemeriksaan tanda vital
2. Pemeriksaan generalis tubuh: konjungtiva anemis, terdapat tanda-tanda
malnutrisi, nyeri abdomen jika terjadi obstruksi.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk penyakit ini adalah dengan melakukan pemeriksaan
tinja secara langsung. Adanya telur dalam tinja memastikan diagnosis Askariasis.
TERAPI
1. Memberi pengetahuan kepada masyarakat akan pentingnya kebersihan diri dan
lingkungan, antara lain:
a. Kebiasaan mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir
b. Menutup makanan
c. Masing-masing keluarga memiliki jamban keluarga
d. Tidak menggunakan tinja sebagai pupuk
e. Kondisi rumah dan lingkungan dijaga agar tetap bersih dan tidak lembab.
2. Farmakologis
a. Pirantel pamoat 10 mg/kg BB/hari, dosis tunggal, atau
b. Mebendazol, dosis 100 mg, dua kali sehari, diberikan selama tiga hari
berturut-turut, atau
c. Albendazol, pada anak di atas 2 tahun dapat diberikan 2 tablet (400 mg)
atau 20ml suspensi, dosis tunggal. Tidak boleh diberikan pada ibu hamil
Pengobatan dapat dilakukan secara perorangan atau secara masal pada
masyarakat. Syarat untuk pengobatan massal antara lain:
1. Obat mudah diterima dimasyarakat
2. Aturan pemakaian sederhana
3. Mempunyai efek samping yang minimal
4. Bersifat polivalen, sehingga dapat berkhasiat terhadap beberapa jenis cacing
5. Harga mudah dijangkau
Referensi
1. Gandahusada, S. 2000. Parasitologi Kedokteran. Edisi ketiga. Jakarta. Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. (Gandahusada, 2000)
2. Written for World Water Day. 2001. Reviewed by staff and experts from the
cluster on Communicable Diseases (CDS) and Water, Sanitation and Health
unit (WSH), World Health Organization (WHO).
3. King CH. Hookworms. In: Berhman RE, Kliegman RM, Arvin AM, editors.
Nelson’s Tetxbook of Pediatrics. 19th ed. Philadelphia: W.B.Saunders
Company; 2012. p.1000-1.
4. Gandahusada, S. 2000. Parasitologi Kedokteran. Edisi ketiga. Jakarta. Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Centers for Disease
Control and Prevention. Schistosomiasis. July 25, 2013.
http://www.cdc.gov/parasites/schistosomiasis. (Center for Disease and
Control, 2013)
5. World Health Organization. Schistosomiasis. July 25, 2013.
http://www.who.int/topics/shcistosomiasis/end (World Health Organization,
2013)
6. Kayser, F.H., Bienz, K.A., Eckert, J., Zinkernagel, R.M. 2005. Schistosoma
in Medical Microbiology. Germany. Thieme. Stutgart. (Kayser, et al., 2005)
7. Sudomo, M., Pretty, S. 2007. Pemberantasan Schistosomiasis di Indonesia.
Buletin Penelitian Kesehatan. Vol. 35, No. 1. (Sudomo & Pretty, 2007)
8. King CH. Hookworms. In: Berhman RE, Kliegman RM, Arvin AM, editors.
Nelson’s Tetxbook of Pediatrics. 19th ed. Philadelphia: W.B.Saunders
Company; 2012. p.1000-1.
SISTEM GINJAL DAN SALURAN KEMIH

1. INFEKSI SALURANN KEMIH


KEMAMPUAN (4A)
DEFINISI
Infeksi Saluran Kemih (ISK) adalah istilah umum yang dipakai untuk
menyatakan adanya invasi mikroorganisme pada saluran kemih. Prevalensi ISK
di masyarakat makin meningkat seiring dengan meningkatnya usia. Pada usia
40-60 tahun mempunyai angka prevalensi 3,2 %, sedangkan pada usia sama
atau di atas 65 tahun kira-kira mempunyai angka prevalensi ISK sebesar
20 %. Infeksi saluran kemih dapat mengenal baik laki-laki maupun wanita
dari semua umur, baik anak-anak, remaja, dewasa maupun lanjut usia. Akan
tetapi dari kedua jenis kelamin, ternyata wanita lebih sering dari pria dengan
angka populasi umum, kurang lebih 5-15%.
PATOFISIOLOGI
Infeksi Saluran Kemih disebabkan oleh adanya mikroorganisme
patogenik dalam traktus urinarius. Mikroorganisme ini masuk melalui : kontak
langsung dari tempat infeksi terdekat, hematogen, limfogen. Ada dua jalur utama
terjadinya ISK, asending dan hematogen. Secara asending yaitu:
 Masuknya mikroorganisme dalam kandung kemih, antara lain: factor anatomi
dimana pada wanita memiliki uretra yang lebih pendek daripada laki-laki
sehingga insiden terjadinya ISK lebih tinggi, factor tekanan urine saat miksi,
kontaminasi fekal, pemasangan alat ke dalam traktus urinarius (pemeriksaan
sistoskopik, pemakaian kateter), adanya dekubitus yang terinfeksi.
 Naiknya bakteri dari kandung kemih ke ginjal Secara hematogen yaitu: sering
terjadi pada pasien yang system imunnya rendah sehingga mempermudah
penyebaran infeksi secara hematogen Ada beberapa hal yang mempengaruhi
struktur dan fungsi ginjal sehingga mempermudah penyebaran hematogen,
yaitu: adanya bendungan total urine yang mengakibatkan distensi kandung
kemih, bendungan intrarenal akibat jaringan parut, dan lain-lain.
 Sisa urin dalam kandung kemih yang meningkat tersebut mengakibatkan
distensii yang berlebihan sehingga menimbulkan nyeri, keadaan ini
mengakibatkan penurunan resistensi terhadap invasi bakteri dan residu kemih
menjadi media pertumbuhan bakteri yang selanjutnya akan mengakibatkan
gangguan fungsi ginjal sendiri, kemudian keadaan ini secara hematogen
menyebar ke suluruh traktus urinarius. Selain itu, beberapa hal yang menjadi
predisposisi ISK, antara lain: adanya obstruksi aliran kemih proksimal yang
menakibtakan penimbunan cairan bertekanan dalam pelvis ginjal dan ureter
yang disebut sebagai hidronefroses. Penyebab umum obstruksi adalah: jaringan
parut ginjal, batu, neoplasma dan hipertrofi prostate yang sering ditemukan
pada laki-laki diatas usia 60 tahun.
DIAGNOSIS
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Pada sistitis akut keluhan berupa:
1. Demam
2. Susah buang air kecil
3. Nyeri saat di akhir BAK (disuria terminal)
4. Sering BAK (frequency)
5. Nokturia
6. Anyang-anyangan (polakisuria)
7. Nyeri suprapubik
Pada pielonefritis akut keluhan dapat juga berupa nyeri pinggang, demam tinggi
sampai menggigil, mual muntah, dan nyeri pada sudut kostovertebra.
Faktor Risiko
1. Riwayat diabetes melitus
2. Riwayat kencing batu (urolitiasis)
3. Higiene pribadi buruk
4. Riwayat keputihan
5. Kehamilan
6. Riwayat infeksi saluran kemih sebelumnya
7. Riwayat pemakaian kontrasepsi diafragma
8. Kebiasaan menahan kencing
9. Hubungan seksual
10. Anomali struktur saluran kemih
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
1. Demam
2. Flank pain (Nyeri ketok pinggang belakang/costovertebral angle)
3. Nyeri tekan suprapubik
Pemeriksaan Penunjang
1. Darah perifer lengkap
2. Urinalisis
3. Ureum dan kreatinin
4. Kadar gula darah
Pemeriksaan penunjang tambahan (di layanan sekunder) :
1. Urine mikroskopik berupa peningkatan >103 bakteri per lapang pandang
2. Kultur urin (hanya diindikasikan untuk pasien yang memiliki riwayat
kekambuhan
infeksi salurah kemih atau infeksi dengan komplikasi).
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang.
Diagnosis Banding
Recurrent cystitis, Urethritis, Pielonefritis, Bacterial asymptomatic
Komplikasi
Gagal ginjal, Sepsis , ISK berulang atau kronik kekambuhan
TERAPI
1. Minum air putih minimal 2 liter/hari bila fungsi ginjal normal.
2. Menjaga higienitas genitalia eksterna
3. Pada kasus nonkomplikata, pemberian antibiotik selama 3 hari dengan pilihan
antibiotik sebagai berikut:
a. Trimetoprim sulfametoxazole
b. Fluorikuinolon
c. Amoxicillin-clavulanate
d. Cefpodoxime

2. PIELONEFRITIS TANPA KOMPLIKASI


KEMAMPUAN (4A)
DEFINISI
Pielonefritis akut (PNA) tanpa komplikasi adalah peradangan parenkim
dan pelvis ginjal yang berlangsung akut. Keluhan: onset penyakit akut dan
timbulnya tiba-tiba dalam beberapa jam atau hari, demam dan menggigil, nyeri
pinggang, unilateral atau bilateral, sering disertai gejala sistitis, berupa: frekuensi,
nokturia, disuria, urgensi, dan nyeri suprapubik, terkadang disertai pula dengan
gejala gastrointestinal, seperti: mual, muntah, diare, atau nyeri perut.
PATOFISIOLOGI
Bakteri masuk kedalam pelvis ginjal dan terjadi inflamasi ini
menyebabkan pembegkakan daerah tersebut dimulai dari papila dan menyebar ke
daerah korteks. Infeksi terjadi setelah terjadinya sisttis, prostatitis ( asccending)
atau karena infeksi strepteoccocus yang berasal dari darah ( descending)
DIAGNOSIS
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
1. Onset penyakit akut dan timbulnya tiba-tiba dalam beberapa jam atau hari
2. Demam dan menggigil
3. Nyeri pinggang, unilateral atau bilateral
4. Sering disertai gejala sistitis, berupa: frekuensi, nokturia, disuria, urgensi, dan
nyeri suprapubik
5. Kadang disertai pula dengan gejala gastrointestinal, seperti: mual, muntah,
diare,
atau nyeri perut
Faktor Risiko
Faktor risiko PNA serupa dengan faktor risiko penyakit infeksi saluran kemih
lainnya,
yaitu:
1. Lebih sering terjadi pada wanita usia subur
2. Sangat jarang terjadi pada pria berusia <50 tahun, kecuali homoseksual
3. Koitus per rektal
4. HIV/AIDS
5. Adanya penyakit obstruktif urologi yang mendasari misalnya tumor, striktur,
batu saluran kemih, dan pembesaran prostat
6. Pada anak-anak dapat terjadi bila terdapat refluks vesikoureteral
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)
Tampilan klinis tiap pasien dapat bervariasi, mulai dari yang ringan hingga
menunjukkan tanda dan gejala menyerupai sepsis. Pemeriksaan fisis menunjukkan
tanda-tanda di bawah ini:
1. Demam dengan suhu biasanya mencapai >38,5°C
2. Takikardi
3. Nyeri ketok pada sudut kostovertebra, unilateral atau bilateral
4. Ginjal seringkali tidak dapat dipalpasi karena adanya nyeri tekan dan spasme
otot
5. Dapat ditemukan nyeri tekan pada area suprapubik
6. Distensi abdomen dan bising usus menurun (ileus paralitik)
Pemeriksaan Penunjang Sederhana
1. Urinalisis
Urin porsi tengah (mid-stream urine) diambil untuk dilakukan pemeriksaan
dipstick dan mikroskopik. Temuan yang mengarahkan kepada PNA adalah:
a. Piuria, yaitu jumlah leukosit lebih dari 5 – 10 / lapang pandang besar
(LPB) pada pemeriksaan mikroskopik tanpa / dengan pewarnaan Gram,
atau leukosit esterase (LE) yang positif pada pemeriksaan dengan dip-
stick.
b. Silinder leukosit, yang merupakan tanda patognomonik dari PNA, yang
dapat ditemukan pada pemeriksaan mikroskopik tanpa/dengan pewarnaan
Gram.
c. Hematuria, yang umumnya mikroskopik, namun dapat pula gross.
Hematuria biasanya muncul pada fase akut dari PNA. Bila hematuria terus
terjadi walaupun infeksi telah tertangani, perlu dipikirkan penyakit lain,
seperti batu saluran kemih, tumor, atau tuberkulosis.
d. Bakteriuria bermakna, yaitu > 10 koloni/ml, yang nampak lewat pemeriksaan
mikroskopik tanpa /dengan pewarnaan Gram. Bakteriuria juga dapat
dideteksi lewat adanya nitrit pada pemeriksaan dengan dip- stick.
2. Kultur urin dan tes sentifitas-resistensi antibiotik
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui etiologi dan sebagai
pedomanpemberian antibiotik dan dilakukan di layanan sekunder.
3. Darah perifer dan hitung jenis
Pemeriksaan ini dapat menunjukkan adanya leukositosis dengan
predominansineutrofil.
4. Kultur darah
Bakteremia terjadi pada sekitar 33% kasus, sehingga pada kondisi tertentu
pemeriksaan ini juga dapat dilakukan.
5. Foto polos abdomen (BNO)
Pemeriksaan ini dilakukan untuk menyingkirkan adanya obstruksi atau batu
disaluran kemih.
Penegakan Diagnosis (Assessment)
Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaanpenunjang sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.
Diagnosis banding:
Uretritis akut, Sistitis akut, Akut abdomen, Appendisitis, Prostatitis bakterial akut,
Servisitis, Endometritis, Pelvic inflammatory disease
TERAPI
1. Non-medikamentosa
a. Identifikasi dan meminimalkan faktor risiko
b. Tatalaksana kelainan obstruktif yang ada
c. Menjaga kecukupan hidrasi
2. Medikamentosa
a. Antibiotika empiris
Antibiotika parenteral:
Pilihan antibiotik parenteral untuk pielonefritis akut nonkomplikata
antara lainceftriaxone, cefepime, dan fluorokuinolon (ciprofloxacin dan
levofloxacin).
Jika dicurigai infeksi enterococci berdasarkan pewarnaan Gram yang
menunjukkan basil Gram positif, maka ampisillin yang dikombinasi dengan
Gentamisin, Ampicillin Sulbaktam, dan Piperacillin Tazobactam merupakan pilihan
empiris spektrum luas yang baik. Terapi antibiotika parenteral pada pasien dengan
pielonefritis akut nonkomplikata dapat diganti dengan obat oral setelah
24-48 jam, walaupun dapat diperpanjang jika gejala menetap.
Antibiotika oral:
Antibiotik oral empirik awal untuk pasien rawat jalan adalah
fluorokuinolon
untuk basil Gram negatif. Untuk dugaan penyebab lainnya dapat digunakan
Trimetoprim-sulfametoxazole. Jika dicurigai enterococcus, dapat diberikan
Amoxicilin sampai didapatkan organisme penyebab. Sefalosporin generasi
kedua atau ketiga juga efektif, walaupun data yang mendukung masih sedikit. Terapi
pyeolnefritis akut nonkomplikata dapat diberikan selama 7 hari untuk gejala
klinis yang ringan dan sedang dengan respons terapi yang baik.
Pada kasus yang menetap atau berulang, kultur harus dilakukan. Infeksi
berulang ataupun menetap diobati dengan antibiotik yang terbukti sensitif selama
7 sampai 14 hari. Penggunaan antibiotik selanjutnya dapat disesuaikan dengan
hasil tes sensitifitas dan resistensi.
b. Simtomatik
Obat simtomatik dapat diberikan sesuai dengan gejala klinik yang dialami
pasien, misalnya: analgetik-antipiretik, dan anti-emetik.
3. FIMOSIS
KEMAMPUAN : (4A)
DEFINISI
Phimosis adalah suatu keadaan dimana prepusium penis yang tidak dapat diretaksi
keproximal sampai ke korona glandis.
PATOFISIOLOGI
Pada bayi, preputium normalnya melekat pada glans tapi sekresi materi subaseum
kental secara bertahap melonggarkannya. Menjelang umur 5 tahun, preputium dapat
ditarik ke atas glans penis tanpa kesulitan atau paksaan.
Tapi karena adanya komplikasi sirkumsisi, dimana terlalu banyak prepusium
tertinggal, atau bisa sekunder terhadap infeksi yng timbul di bawah prepusium yang
berlebihan. Sehingga pada akhirnya, prepusium menjadi melekat dan fibrotik
kronis di bawah prepusium dan mencegah retraksi
DIAGNOSIS
Keluhan
Keluhan umumnya berupa gangguan aliran urin seperti:
1. Nyeri saat buang air kecil
2. Mengejan saat buang air kecil
3. Pancaran urin mengecil
4. Benjolan lunak di ujung penis akibat penumpukan smegma.
Faktor Risiko
1. Hygiene yang buruk
2. Episode berulang balanitis atau balanoposthitis menyebabkan skar pada
preputium yang menyebabkan terjadinya fimosis patalogis
3. Fimosis dapat terjadi pada 1% pria yang tidak menjalani sirkumsisi
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
1. Preputium tidak dapat diretraksi keproksimal hingga ke korona glandis
2. Pancaran urin mengecil
3. Menggelembungnya ujung preputium saat berkemih
4. Eritema dan udem pada preputium dan glans penis
5. Pada fimosis fisiologis, preputium tidak memiliki skar dan tampak sehat
6. Pada fimosis patalogis pada sekeliling preputium terdapat lingkaran fibrotik
7. Timbunan smegma pada sakus preputium
TERAPI
1. Pemberian salep kortikosteroid (0,05% betametason) 2 kali perhari selama 2-8
minggu pada daerah preputium.
2. Sirkumsisi Rencana Tindak Lanjut
Apabila fimosis bersifat fisiologis seiring dengan perkembangan maka kondisi
akan membaik dengan sendirinya

4. PARAFIMOSIS
KEMAMPUAN (4A)
DEFINISI
Parafimosis adalah prepusium penis yang diretraksi sampai di sulkus
koronarius tidak dapat dikembalikan pada keadaan semula dan timbul jeratan pada
penis dibelakang sulkus koronarius. Parafimosis yang di diagnosis secara klinis
ini, dapat terjadi pada penis yang belum disunat (disirkumsisi) atau telah
disirkumsisi namun hasil sirkumsisinya kurang baik.
PATOFISIOLOGI
Parafimosis atau pembengkakan yang sangat nyeri pada prepusium bagian
distal dari phimotic ring, terjadi bila prepusium tetap retraksi untuk waktu lama. Hal
ini menyebabkan terjadinya obstruksi vena dan bendungan pada glans penis yang
sangat nyeri. Pembengkakan dapat membuat penurunan prepusium yang
meliputi glans penis menjadi sulit5.
Seiring waktu, gangguan aliran vena dan limfatik ke penis menjadi
terbendung dan semakin membengkak. Dengan berjalannya proses
pembengkakan, suplai darah menjadi berkurang dan dapat menyebabkan
terjadinya infark/nekrosis penis, gangren, bahkan autoamputasi6.
DIAGNOSIS
Keluhan
1. Pembengkakan pada penis
2. Nyeri pada penis
Faktor Risiko
Penarikan berlebihan kulit preputium (forceful retraction) pada laki-laki yang
belum disirkumsisi misalnya pada pemasangan kateter.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
1. Preputium tertarik ke belakang glans penis dan tidak dapat dikembalikan ke
posisi semula
2. Terjadi eritema dan edema pada glans penis
3. Nyeri
4. Jika terjadi nekrosis glans penis berubah warna menjadi biru hingga kehitaman
Penegakan Diagnosis (Assessment)
Diagnosis Klinis
Penegakan diagnosis berdasarkan gejala klinis dan peneriksaan fisik
Diagnosis Banding
Angioedema, Balanitis, Penile hematoma
Komplikasi
Bila tidak ditangani dengan segera dapat terjadi ganggren
TERAPI
1. Reposisi secara manual dengan memijat glans selama 3-5 menit. Diharapkan
edema berkurang dan secara perlahan preputium dapat dikembalikan pada
tempatnya.
2. Dilakukan dorsum insisi pada jeratan

5. TORSIO TESTIS
KEMAMPUAN : (3B)
DEFINISI
Torsio testis adalah terpeluntirnya funikulus spermatikus yang berakibat
terjadinya gangguan aliran darah pada testis.Keadaan ini diderita oleh 1 diantara
4000 pria yang berumur kurang dari 25 tahun, dan paling banyak diderita oleh
anak pada masa pubertas (12-20 tahun). Di samping itu tidak jarang janin yang
masih berada di dalam uterus atau bayi baru lahir menderita torsio testis yang
tidak terdiagnosis sehingga mengakibatkan kehilangan testis baik unilateral ataupun
bilateral.
PATOFISIOLOGI
Secara fisiologis otot kremaster berfungsi menggerakkan testis mendekati
dan menjauhi rongga abdomen guna mempertahankan suhu ideal untuk testis.
Adanya kelainan sistem penyanggah testis menyebabkan testis dapat mengalami
torsio jika bergerak secara berlebihan. Beberapa keadaan yang menyebabkan
pergerakan yang berlebihan itu, antara lain adalah perubahan suhu yang mendadak
(seperti pada saat berenang), ketakutan, latihan yang berlebihan, batuk, celana
yang terlalu ketat, defekasi, atau trauma yang mengenai skrotum. Terpluntirnya
funikulus spermatikus menyebabkan obstruksi aliran darah testis sehingga testis
mengalami hipoksia, edema testis, dan iskemia. Pada akhirnya testis akan
mengalami nekrosis.
DIAGNOSIS
Gejala klinis
- nyeri.
- Pembengkakan dan eritema pada scrotum berangsur-angsur muncul.
- Dapat pula timbul nausea dan vomiting, kadang-kadang disertai demam ringan.
- Gejala yang jarang ditemukan pada torsio testis ialah rasa panas dan terbakar
saat berkermih, dan hal ini yang membedakan dengan orchio-epididymitis.10
Adapun gejala lain yang berhubungan dengan keadaan ini antara lain :
 Nyeri perut bawah
 Pembengkakan testis
 Darah pada semen
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisis dapat membantu membedakan torsio testis dengan
penyebab akut scrotum lainnya. Testis yang mengalami torsio pada scrotum akan
tampak bengkak dan hiperemis. Eritema dan edema dapat meluas hingga scrotum
sisi kontralateral. Testis yang mengalami torsio juga akan terasa nyeri pada
palpasi. Jika pasien datang pada keadaan dini, dapat dilihat adanya testis yang
terletak transversal atau horisontal. Seluruh testis akan bengkak dan nyeri serta
tampak lebih besar bila dibandingkan dengan testis kontralateral, oleh karena
adanya kongesti vena. Testis juga tampak lebih tinggi di dalam scotum
disebabkan karena pemendekan dari spermatic cord. Hal tersebut merupakan
pemeriksaan yang spesifik dalam menegakkan dianosis. Biasanya nyeri juga tidak
berkurang bila dilakukan elevasi testis (Prehn sign).Pemeriksaan fisik yang paling
sensitif pada torsio testis ialah hilangnya refleks cremaster.
Pemeriksaan penunjang
Pada umumnya pemeriksaan penunjang hanya diperlukan bila diagnosis
torsio testis masih meragukan atau bila pasien tidak menunjukkan bukti klinis
yang nyata. Dalam hal ini diperlukan guna menentukan diagnosa banding pada
keadaan akut scrotum lainnya. Urinalisis biasanya dilakukan untuk
menyingkirkan adanya infeksi pada traktus urinarius. Pemeriksaan darah lengkap
dapat menunjukkan hasil yang normal atau peningkatan leukosit pada 60% pasien.
Namun pemeriksaan ini tidak membantu dan sebaiknya tidak rutin dilakukan.
Adanya peningkatan acute-fase protein (dikenal sebagai CRP) dapat membedakan
proses inflamasi sebagai penyebab akut scrotum.
Modalitas diagnostik yang paling sering digunakan ialah Doppler
ultrasonografi (USG Doppler) dan radionuclide scanning dengan menggunakan
technetum 99m (99mTc) pertechnetate dengan akurasi diagnostik 90%. Kedua
metode tersebut digunakan untuk menilai aliran darah ke testis dan membedakan
torsio dengan kondisi lainnya.
TERAPI
1. Reduksi manual
Sekali diagnosis torsio testis ditegakkan, maka diperlukan tindakan
pemulihan aliran darah ke testis secepatnya. Biasanya keadaan ini memerlukan
eksplorasi pembedahan. Pada waktu yang sama ada kemungkinan untuk
melakukan reposisi testis secara manual sehingga dapat dilakukan operasi elektif
selanjutnya. Namun, biasanya tindakan ini sulit dilakukan oleh karena sering
menimbulkan nyeri akut selama manipulasi.
Pada umumnya terapi dari torsio testis tergantung pada interval dari onset
timbulnya nyeri hingga pasien datang. Jika pasien datang dalam 4 jam timbulnya
onset nyeri, maka dapat diupayakan tindakan detorsi manual dengan anestesi
lokal. Prosedur ini merupakan terapi non invasif yang dilakukan dengan sedasi
intravena menggunakan anestesi lokal (5 ml Lidocain atau Xylocaine 2%). Sebagian
besar torsio testis terjadi ke dalam dan ke arah midline, sehingga detorsi dilakukan
keluar dan ke arah lateral. Selain itu, biasanya torsio terjadi lebih dari
360o, sehingga diperlukan lebih dari satu rotasi untuk melakukan detorsi penuh
terhadap testis yang mengalami torsio.
Tindakan non operatif ini tidak menggantikan explorasi pembedahan. Jika
detorsi manual berhasil, maka selanjutnya tetap dilakukan orchidopexy elektif
dalam waktu 48 jam.
Pembedahan
Dalam hal detorsi manual tidak dapat dilakukan, atau bila detorsi manual
tidak berhasil dilakukan maka tindakan eksplorasi pembedahan harus segera
dilakukan. Pada pasien-pasien dengan riwayat serangan nyeri testis yang berulang
serta dengan pemeriksaan klinis yang mengarah ke torsio sebaiknya segera
dilakukan tindakan pembedahan. Hasil yang baik diperoleh bila operasi dilakukan
dalam 4 jam setelah timbulnya onset nyeri. Setelah 4 hingga 6 jam biasanya nekrosis
menjadi jelas pada testis yang mengalami torsio.
Eksplorasi pembedahan dilakukan melalui insisi scrotal midline untuk
melihat testis secara langsung dan guna menghindari trauma yang mungkin
ditimbulkan bila dilakukan insisi inguinal. Tunika vaginalis dibuka hingga tampak
testis yang mengalami torsio. Selanjutnya testis direposisi dan dievaluasi
viabilitasnya. Jika testis masih viabel dilakukan fiksasi orchidopexy, namun jika
testis tidak viabel maka dilakukan orchidectomy guna mencegah timbulnya
komplikasi infeksi serta potensial autoimmune injury pada testis kontralateral.
Oleh karena abnormalitas anatomi biasanya terjadi bilateral, maka orchidopexy pada
testis kontralateral sebaiknya juga dilakukan untuk mencegah terjadinya torsio
di kemudian hari.
6.BATU SALURAN KEMIH
KEMAMPUAN : (3A)
DEFINISI
Batu di dalam saluran kemih (kalkulus uriner) adalah massa keras seperti batu
yang terbentuk di sepanjang saluran kemih dan bisa menyebabkan nyeri,
perdarahan, penyumbatan aliran kemih atau infeksi.6 Batu ini bisa terbentuk di
dalam ginjal (batu ginjal) maupun di dalam kandung kemih (batu kandung
kemih). Proses pembentukan batu ini disebut urolitiasis, dan dapat terbentuk pada:
1. Ginjal (Nefrolithiasis)
2. Ureter (Ureterolithiasis)
3. Vesica urinaria (Vesicolithiasis)
4. Uretra (Urethrolithiasis).
PATOFISIOLOGI
Secara teoritis batu dapat terbentuk di seluruh saluran kemih terutama
pada tempattempat yang sering mengalami hambatan aliran urine (statis urin),
yaitu pada sistem kalises ginjal atau buli-buli. Banyak teori yang menerangkan
proses pembentukan batu di saluran kemih; tetapi hingga kini masih belum jelas
teori mana yang paling benar. Beberapa teori pembentukan batu adalah : 1. Teori
Nukleasi Batu terbentuk di dalam urine karena adanya inti batu sabuk batu
(nukleus). Partikel-partikel yang berada dalam larutan yang terlalu jenuh
(supersaturated) akan mengendap di dalam nukleus itu sehingga akhirnya
membentuk batu. Inti batu dapat berupa kristal atau benda asing di saluran kemih.
2. Teori Matriks Matriks organik terdiri atas serum/protein urine (albumin, globulin,
dan mukoprotein) merupakan kerangka tempat diendapkannya kristal- kristal batu.
3. Penghambatan kristalisasi Urine orang normal mengandung zat penghambat
pembentuk kristal, antara lain : magnesium, sitrat, pirofosfat, mukoprotein dan
beberapa peptida. Jika kadar salah satu atau beberapa zat itu berkurang, akan
memudahkan terbentuknya batu di dalam saluran kemih. Ion magnesium (Mg2+)
dikenal dapat menghambat pembentukan batu karena jika berikatan dengan oksalat,
membentuk garam magnesium oksalat sehingga jumlah oksalat yang akan
berikatan dengan kalsium (Ca2+) untuk membentuk kalsium
oksalat menurun. Beberapa protein atau senyawa organik lain mampu bertindak
sebagai inhibitor dengan cara menghambat pertumbuhan kristal, menghambat
agregasi kristal, maupun menghambat retensi kristal. Senyawa itu antara lain :
1. Glikosaminoglikan (GAG)
2. Protein Tamm Horsfall (THP) / uromukoid
3. Nefrokalsin
4. Osteopostin.
DIAGNOSIS
Selain pemeriksaan melalui anamnesis dan jasmani untuk menegakkan
diagnosis, penyakit batu perlu ditunjang dengan pemeriksaan radiologik,
laboratorium dan penunjang lain untuk menentukan kemungkinan adanya
obstruksi saluran kemih, infeksi dan gangguan faal ginjal. Secara radiologik, batu
dapat radioopak atau radiolusen. Sifat radioopak ini berbeda untuk berbagai jenis
batu sehingga dari sifat ini dapat diduga jenis batu yang dihadapi. Yang
radiolusen umumnya adalah dari jenis asam urat murni. Pada yang radiopak
pemeriksaan dengan foto polos sudah cukup untuk menduga adanya batu saluran
kemih bila diambil foto dua arah. Pada keadaan yang istimewa tidak jarang batu
terletak di depan bayangan tulang, sehingga dapat luput dari pengamatan. Oleh
karena itu, foto polos sering perlu ditambah dengan foto pielografi intravena. Pada
batu yang radiolusen, foto dengan bantuan kontras akan menyebabkan terdapatnya
defek pengisian pada tempat batu sehingga memberi gambaran kosong pada
daerah batu.
Pemeriksaan laboratorium diperlukan untuk mencari kelainan kemih yang
dapat menunjang adanya batu di saluran kemih, menentukan fungsi ginjal, dan
menentukan sebab terjadinya batu.
Pemeriksaan renogram berguna untuk menentukan faal kedua ginjal secara
terpisah pada batu ginjal bilateral atau bila kedua ureter tersumbat total. Cara ini
dipakai untuk memastikan ginjal yang masih mempunyai sisa faal yang cukup
sebagai dasar untuk melakukan tindak bedah pada ginjal yang sakit. Pemeriksaan
ultrasonografi dapat untuk melihat semua jenis batu, menentukan ruang dan
lumen saluran kemih, serta dapat digunakan untuk menentukan posisi batu selama
tindakan pembedahan untuk mencegah tertingggalnya batu.
Tujuan pemeriksaan penderita urolitiasis:
- Penentuan diagnosis urolitiasis
- Penentuan letak batu
- Penentuan faal ginjal sebagai akibat sumbatan batu saluran kemih
- Adanya kelainan saluran kemih sebagai penyebab batu
- Pemeriksaan kelainan metabolik kausal
Pemeriksaan pasien urolitiasis
- Kemih
 Mikroskopik-endapan
 Biakan
 Sensitivitas kuman
- Faal ginjal
 Ureum
 Kreatinin
 Elektrolit
- Foto polos perut (90% batu kemih radiopak)
- Foto polos urogram intravena (adanya efek obstruksi)
- Ultrasonografi ginjal (hidronefrosis, batu ginjal)
- Foto kontras spesial
 Retrograd
 Perkutan
- Analisis biokimia batu
- Pemeriksaan kelainan metabolik
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk penegakkan diagnosis
dan rencana terapi antara lain:
1. Foto Polos Abdomen
Pembuatan foto polos abdomen bertujuan untuk melihat kemungkinan
adanya batu radio opak di saluran kemih. Batu-batu jenis kalsium
oksalat dan kalsium fosfat bersifat radio opak dan paling sering dijumpai
diantara batu lain, sedangkan batu asam urat bersifat non opak (radio
lusen). Urutan radioopasitas beberapa batu saluran kemih
seperti pada tabel.
Jenis Batu Radioopasitas
Kalsium Opak
MAP Semiopak
Urat/Sistin Non opak
Urutan Radioopasitas Beberapa Jenis Batu Saluran Kemih
2. Pielografi Intra Vena (PIV)
Pemeriksaan ini bertujuan menilai keadaan anatomi dan fungsi ginjal.
Selain itu PIV dapat mendeteksi adanya batu semi-opak ataupun batu
non opak yang tidak dapat terlihat oleh foto polos abdomen. Jika PIV
belum dapat menjelaskan keadaan sistem saluran kemih akibat adanya
penurunan fungsi ginjal, sebagai penggantinya adalah pemeriksaan
pielografi retrograd.
3. Ultrasonografi
USG dikerjakan bila pasien tidak mungkin menjalani pemeriksaan
PIV, yaitu pada keadaan-keadaan: alergi terhadap bahan kontras, faal
ginjal yang menurun, dan pada wanita yang sedang hamil.
Pemeriksaan USG dapat menilai adanya batu di ginjal atau di buli-buli
(yang ditunjukkan sebagai echoic shadow), hidronefrosis, pionefrosis,
atau pengkerutan ginjal.
4. Pemeriksaan Mikroskopik Urin, untuk mencari hematuria dan Kristal.
5. Renogram, dapat diindikasikan pada batu staghorn untuk menilai
fungsi ginjal.
6. Analisis batu, untuk mengetahui asal terbentuknya.
7. Kultur urin, untuk mecari adanya infeksi sekunder.
8. DPL, ureum, kreatinin, elektrolit, kalsium, fosfat, urat, protein,
fosfatase alkali serum.
TERAPI
Batu yang sudah menimbulkan masalah pada saluran kemih secepatnya
harus dikeluarkan agar tidak menimbulkan penyulit yang lebih berat. Indikasi
untuk melakukan tindakan atau terapi pada batu saluran kemih adalah jika batu telah
menimbulkan obstruksi, infeksi, atau harus diambil karena suatu indikasi sosial.
Obstruksi karena batu saluran kemih yang telah menimbulkan hidroureter atau
hidronefrosis dan batu yang sudah menimbulkan infeksi saluran kemih, harus segera
dikeluarkan.
Kadang kala batu saluran kemih tidak menimbulkan penyulit seperti diatas,
namun diderita oleh seorang yang karena pekerjaannya (misalkan batu yang diderita
oleh seorang pilot pesawat terbang) memiliki resiko tinggi dapat menimbulkan
sumbatan saluran kemih pada saat yang bersangkutan sedang menjalankan
profesinya dalam hal ini batu harus dikeluarkan dari saluran kemih. Pilihan terapi
antara lain :
1. Terapi Konservatif
Sebagian besar batu ureter mempunyai diameter <5 mm. Seperti
disebutkan sebelumnya, batu ureter <5 mm bisa keluar spontan. Terapi
bertujuan untuk mengurangi nyeri, memperlancar aliran urin dengan
pemberian diuretikum, berupa :
b. Minum sehingga diuresis 2 liter/ hari
c. α - blocker
d. NSAID
Batas lama terapi konservatif adalah 6 minggu. Di samping ukuran batu syarat
lain untuk observasi adalah berat ringannya keluhan pasien, ada tidaknya infeksi dan
obstruksi.
Pemasangan Stent
Meskipun bukan pilihan terapi utama, pemasangan stent ureter terkadang
memegang peranan penting sebagai tindakan tambahan dalam penanganan batu
ureter. Misalnya pada penderita sepsis yang disertai tanda-tanda obstruksi,
pemakaian stent sangat perlu. Juga pada batu ureter yang melekat
(impacted).Setelah batu dikeluarkan dari saluran kemih, tindakan selanjutnya
yang tidak kalah pentingnya adalah upaya menghindari timbulnya kekambuhan.
Angka kekambuhan batu saluran kemih rata-rata 7% per tahun atau kurang lebih
50% dalam 10 tahun.

7. GLOMERULONEFRITIS KRONIK
KEMAMPUAN : (3A)
DEFINISI
Glomerulonefritis kronis adalah proses inflamasi yang melibatkan reaksi
anti-gen antobodi sekunder terhadap infeksi di tempat lain pada tubuh; faktor
pencetus paling umum adalah streptokokus B hemolitik grup A. Glomerulonefritis
kronis mungkin mempunyai awitan sebagai glomerulonefritis akut atau mungkin
menunjukan reaksi antigen – antibodi tipe yang lebih ringan dan tidak terdeteksi.
Setelah reaksi ini berulang ukuran ginjal berkurang sedikitnya seperlima dari
ukuran normalnya dan mengandung jaringan fibrosa dalam jumlah banyak.
Dengan berkembangnya glomerulonefritis kronis, gejala-gejala dan tanda-tanda
berikut serta insufiensi ginjal dan gagal ginjal kronis terjadi. Akibatnya adalah
kerusakan hebat glomerulus yang menyebabkan penyakit hinjal tahap akhir.
PATOFISIOLOGI
Glomerulonefritis akut memiliki kecenderungan untuk berkembang
menjadi Glomerulonefritis kronis. Setelah kejadian berulang infeksi penyebab
glomerulonefritis akut, ukuran ginjal sedikit berkurang sekitar seperlima ukuran
normal, dan terjadi atas jaringan fibrosa yang luas. Korteks mengecil menjadi
lapisan yang tebalnya 1 sampai 2 mm atau kurang. Berkas jaringan parut merusak
sisa korteks menyebabkan permukaan ginjal kasar dan ireguler. Sejumlah
glomeruli dan tubulusnya berubah menjadi jaringan parut, serta cabang - cabang
arteri renal menebal. Perubahan ini terjadi dalam rangka untuk menjaga GFR dari
nefron yang tersisa sehingga menimbulkan kosekuensi kehilangan fungsional
nefron. Perubahan ini pada akhirnya akan menyebabkan kondisi
glomerulosklerosis dan kehilangan nefron lebih lanjut.
Pada penyakit ginjal dini ( tahap 1 – 3 ), penurunan substansial dalam GFR
dapat mengakibatkan henya sedikit peningkatan kadar serum kreatinin. Azotemia
( yaitu peningkatan kadar BUN dan kreatinin serum ) terlihat ketika GFR
menurun hingga kurang dari 60-70 mL/menit. Selain peningkatan BUN dan kadar
kreatinin, beberapa kondisi lain juga memperberat kondisi klinik, meliputi :
o Penurunan produksi eritropoietin sehingga mengakibatkan anemia,
o Penurunan produksi vitamin D sehingga terjadi hipokalsemia,
hiperparatiroidisme, hiperfosfstemia, dan osteodistrofi ginjal,
o Pengurangan ion hidrogen, kalium, garam, dan ekskresi air,
mengakibatkan kondisi asidosis, hiperkalemia, hipertensi, dan edema,
o Disfungsi trombosit yang menyababkan peningkatan kecenderungan
terjadinya pendarahan.
Pada Glomerulonefritis kronik akumulasi produk ureum yang mempengaruhi
hampir semua sistem organ. Sehingga terjadi Uremia pada GFR sekitar 10
mL/menit yang kemudian berlanjut pada keadaan gagal ginjal terminal.
DIAGNOSIS
Gejala yang ditunjukan biasanya persisten, meliputi :
 Proteinuria
 Hematuria glomerular
 Hipertensi
 Gangguan fungsi ginjal
Gejala tambahan yang biasanya muncul pada penyakit ginjal kronis adalah :
 Gangguan kesadaran ( somnolen, delirium, koma)
 Penurunan sensorik pada tangan, kaki, dan area lainnya
 Oliguria
 Fatigue, lethargy ( karena anemia)
 Malaise
 Nyeri kepala
 Mual dan muntah
 Kram pada kaki (hipokalemia dan gangguan elektrolit lain)
 Dyspneu dan chest pain ( cairan overload dan pericarditis )
 Kejang pada stadium akhir
Diagnosis
 Anamnesa : gejala klinis
 Pemeriksaan fisik
 Penurunan berat badan
 Edema ( retensi cairan)
 Hipertensi (retensi cairan)
 Cardiomegali
 Perdarahan pada ginjal, paru-paru, retina
 Papil edema
 Pemeriksaan penunjang
 Laboratorium
 Darah lengkap : Anemia
 Urinalisis : proteinuria, ditemukan leukosit, sel tubular ginjal,
dan hemoglobin
 Radiologi
 Chest x-ray
 Chest x-ray
 Kidney or abdominal CT scan
 Kidney or abdominal ultrasound
 IVP
 Biopsi ginjal : menunjukan bentuk glomerulonefritis kronis atau scar
pada glomerulus
TERAPI
Glomerulonefritis kronis adalah penyakit berbahaya yang berkembang
mengikuti waktu (sering selama 30 tahun). Hasil pengobatan dari penyakit ini
tergantung pada penyebab, derajat gangguan fungsi ginjal pada saat diagnosis, dan
tingkat keparahan hipertensi dan hilangnya protein dalam urin (proteinuria).
Terapi obat dapat memperlambat atau menstabilkan perkembangan ini pada
beberapa individu. Jika tidak diobati, glomerulonefritis kronik akan berkembang
menjadi stadium akhir gagal ginjal yang ireversibel. kemudian akan terjadi
infiltrasi cairan ke dalam jaringan ikat tubuh (edema anasarca) kecuali dialisis
dilakukan. Tanpa perawatan dialisis atau transplantasi ginjal, sebagian besar
individu meninggal dalam waktu 2 tahun.
Pengobatan awal untuk glomerulonefritis kronik harus mencakup terapi
untuk penyakit yang mendasari. Gejala yang muncul sebagai akibat dari
glomerulonefritis kronik sendiri dapat diobati dengan menggunakan berbagai
terapi obat. Edema dan hipertensi dapat diobati dengan obat yang merangsang
pengeluaran cairan (diuretik) dan obat yang menurunkan tekanan darah (angiotensin
converting enzyme [ACE] inhibitor). Terapi obat lain mungkin termasuk obat anti-
inflamasi (kortikosteroid), obat yang menurunkan respon dari sistem kekebalan
tubuh (agen imunosupresif), dan obat-obatan yang mencegah pembekuan darah
(antikoagulan atau agen antiplatelet). Biasanya, diet garam (sodium) dan air akan
dibatasi. Dialisis atau transplantasi ginjal mungkin diperlukan jika individu mulai
berkembang ke gagal ginjal progresif yang mengarah ke stadium akhir penyakit
ginjal
Target tekanan darah untuk pasien dengan proteinuria lebih dari 1 g / hari
kurang dari 125/75 mm Hg, untuk pasien dengan proteinuria kurang dari 1 g /
hari, tekanan target kurang dari 130/80 mm Hg.
 Angiotensin-converting enzyme inhibitor (ACEIs)
ACEIs adalah obat yang umum digunakan dan biasanya pilihan pertama
untuk pengobatan hipertensi pada pasien dengan gagal ginjal kronis (CRF).
ACEIs adalah agen renoprotective yang memiliki manfaat tambahan selain
menurunkan tekanan. ACEI secara efektif mengurangi proteinuria, sebagian
dengan mengurangi tonus pembuluh darah arteriol eferen, sehingga mengurangi
intraglomerular hipertensi. Secara khusus, ACEIs telah terbukti lebih unggul
untuk terapi konvensional dalam memperlambat penurunan laju filtrasi
glomerulus (GFR) pada pasien dengan diabetes dan nondiabetes nephropathies
proteinuria. Oleh karena itu, ACEIs harus dipertimbangkan untuk pengobatan
pasien normotensif dengan proteinuria yang signifikan.
 Angiotensin II receptor blocker (ARB)
Peran ARB dalam perlindungan ginjal juga semakin banyak dibuktikan, dan obat-
obat ini dapat memperlambat perkembangan CKD pada pasien dengan nefropati
diabetik atau nondiabetes, seperti ACEI.
 Diuretik
Diuretik sering diperlukan karena dapat meningkatkan pengularan cairan, dan
dosis tinggi mungkin diperlukan untuk mengontrol edema dan hipertensi ketika
GFR turun di bawah 25 mL / menit. Diuretik juga berguna dalam mencegah potensi
hyperkalemi dari ACEIs dan ARB. Namun, harus digunakan dengan hati- hati bila
diberikan bersama-sama dengan ACEIs atau ARB karena penurunan tekanan
intraglomerular yang disebabkan oleh ACEIs atau ARB dapat diperburuk oleh
pengurangan volume yang disebabkan oleh diuretik, sehingga berpotensi terjadinya
ARF.
 Beta blockers, calcium channel blockers, central alpha2 agonis (misalnya,
clonidine), alpha1 antagonis, dan vasodilator langsung (misalnya,
minoxidil dan nitrat) dapat digunakan untuk mencapai target tekanan
darah.
 Penghambat Fibrosis
Karena fibrosis yang progresif adalah ciri khas glomerulonefritis kronik, beberapa
peneliti telah berfokus untuk menemukan inhibitor fibrosis dalam upaya
memperlambat perkembangan. Dari sekian banyak senyawa yang telah
dipertimbangkan, pirfenidone, penghambat faktor pertumbuhan transformasi beta
dan sintesis kolagen, muncul sebagai kandidat terbaik. Cho et al, dalam sebuah studi
open-label yang melibatkan 21 pasien dengan idiopatik dan postadaptive
glomerulosklerosis fokal segmental, menemukan bahwa pirfenidone
menghasilkan peningkatan rata-rata 25% pada tingkat penurunan GFR. Obat ini
tidak mempengaruhi proteinuria atau tekanan darah. efek samping yang dikaitkan
dengan terapi adalah dispepsia, sedasi, dan dermatitis fotosensitif. Diharapkan
bahwa terapi pirfenidone akan membuktikan cara yang efektif untuk memperlambat
fibrosis progresif, namun tetap diperlukan studi lebih lanjut.
 Natrium Bikarbonat
Peran Natrium bikarbonat telah terbukti mengurangi cedera tubulointerstitial dan
produksi endothelin dengan manfaat yang signifikan dalam memperlambat
kerusakan ginjal. Dalam satu studi pada pasien dengan gagal ginjal lanjut,
pemberian natrium bikarbonat dapat menghambat penurunan GFR. Bahkan pada
pasien dengan relatif penurunan GFR pada CKD grade 2, pemberian natrium
bikarbonat dapat mempertahankan fungsi ginjal lebih dari 5 tahun.
 Diet dan Kegiatan
Diet protein-terbatas (0,4-0,6 g / kg / hari) yang kontroversial, namun mungkin
bermanfaat dalam memperlambat penurunan GFR dan mengurangi
hiperfosfatemia (fosfat serum> 5,5 mg / dL) pada pasien dengan kadar kreatinin
serum lebih tinggi dari 4 mg / dL. Memantau pasien bila ada tanda gizi buruk,
yang merupakan kontraindikasi pembatasan protein. Mendidik pasien tentang
bagaimana diet kalium membantu mengontrol hiperkalemia. Mendorong pasien
untuk meningkatkan tingkat aktivitas sehingga dapat membantu dalam mengontrol
tekanan darah.

8. ULKUS MOLE
KEMAMPUAN : (3B)
DEFINISI
Ulkus mole adalah penyakit infeksi pada alat kelamin yang akut, setempat, yang
disebabkan oleh Streptobacillus ducrey ( Haemophilus ducreyi) dengan gejala
klinis yang khas berupa ulkus nekrotik yang nyeri pada tempat inokulassi, dan
sering disertai pembesaran dan supurasi kelenjar getah bening regional.
H.ducreyi merupakan bakteri gram negative, fakultatif anaerob, berbentuk
batang pendek dengan ujung bulat, tidak bergerak, tidak membentuk spora dan
memerlukan hemin untuk pertumbuhannya. Hanya mengenai orang dewasa
yang aktif. Lebih banyak pada pria
PATOFISIOLOGI
Penyakit ditularkan secara langsung melalui hubungan seksual. Predileksi
pada genital, jari, mulut, dan dada. Pada tempat masuknya mikroorganisme
terbentuk ulkus yang khas.
DIAGNOSIS
Masa inkubasi umumnya kurang dari 7 hari, jarang lebih dari 10 hari.
Lesi kebanyakan multiple, jarang soliter, biasanya pada daerah genital, jarang
pada daerah ekstragenital. Mula-mula kelainan kulit berupa papul, kemudian
menjadi vesiko-pustul pada tempat inokulasi, cepat pecah menjadi ulkus.
Setelah masa inkubasi 5-8 hari, mulai dari 1 sampai beberapa minggu, papul
merah kecil mengembang dan cepat menjadi pustular dan kemudian ulserasi.
Ulkus, biasanya bulat atau oval, memiliki tepi tidak teratur. Hal ini kadang-
kadang menyakitkan, membesar perlahan.
Ulkus : kecil, lunak pada perabaan, tidak terdapat indurasi berbentuk
cawan, pinggir tidak rata, sering bergaung dan dikelilingi yang eritematosa.
Ulkus sering tertutup jaringan nekrotik, dasar ulkus berupa jaringan granulasi
yang mudah berdarah, dan pada perabaan terasa nyeri. Tempat predileksi pada
laki-laki ialah permukaan mukosa preputium, sulkus koronarius, frenulum penis,
dan batang penis. Dapat juga timbul lesi di dalam uretra, skrotum, perineum,
atau anus. Pada wanita ialah labia, klitoris, fourchette, vestibule, anus, dan serviks.
Lesi ekstragenital terdapat pada lidah, jari tangan, bibir, payudara, umbilicus, dan
konjungtiva. Karena adanya inokulasi sendiri, dengan cepat dapat timbul lesi
yang multiple, dengan cara ini dapat timbul lesi di daerah pubis, abdomen,
dan paha. Gejala sistemik yang timbul, kalau ada hanya demam sedikit atau
malaise ringan.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Sebagai penyokong diagnosis ialah :
1. Pemeriksaaan sediaan hapus
Pemeriksaan sedian apus secara langsung dengan pewarnaan gram atau giemsa
cukup membantu menegakkan diagnosis, tapi telah dilaporkan bahwa tingkat
sensitifitas dan spesifitasnya rendah hanya sekitar 10% sampai 63% dan
51% sampai 99%, secara berturut-turut. Diambil bahan pemeriksaan dari tepi
ulkus yang tergaung, dibuat hapusan pada gelas alas, kemudian dibuat pewarnaan
Gram, Unna-Pappenhein, Wright, atau Giemsa. Hanya pada 30-50% kasus
ditemukan basil berkelompok atau berderet seperti rantai.
2. Biakan kuman atau kultur bakteri
Kultur bakteri Haemophilus ducreyi kini tetap menjadi pemerikasaan
utama dalam menegakkan diagnosis ulkus mole di klinik. Bahan diambil dari
pus bubo atau lesi kemudian ditanam pada perbenihan/ pelat agar khusus yang
ditambahkan darah kelinci yang sudah di defibrinasi. Akhir-akhir ini ditemukan
bahwa perbenihan yang mengandung serum darah penderita sendiri yang sudah
diinaktifkan memberikan hasil yang memuaskan. Inkubasi membutuhkan waktu
48 jam. Medium yang mengandung gonococcal medium base, ditambah dengan
hemoglobin 1%,dan vankomisin 3 mcg/ml akan mengurangi kontaminasi yang
timbul.
3. Teknik PCR
Penggunaan PCR telah menunjukkan sensitivitas yang lebih besar untuk
diagnosis chancroid daripada kultur bakteri. Tingkat sensitivitas dan spesifik PCR
untuk Haemophilus ducreyi yaitu 98% dan 99%.
4. Teknik Imunofluoresens
Teknik ini digunakan untuk membantu menemukan antibodi.
TERAPI
Pada ulkus mole, keberhasilan pengobatan dapat dicapai dengan
menggunakan beberapa obat antimikroba, sehingga ulkus dapat membaik
dalam 3 hari dan akan sembuh dalam 14 hari, tergantung pada lesi awal.
Regimen pengobatan yang berbeda, menyembuhkan sekitar 95% dari orang
yang terinfeksi, misalnya dengan pemberian azitromisin dan ceftriaxone, bahkan
ketika diberikan sebagai dosis tunggal. Untuk ciprofloxacin di kontraindikasikan
pada wanita hamil dan menyusui. Pada pasien dengan infeksi HIV, rekomendasi
pengobatan adalah sama, tetapi pemantauan yang ketat mungkin diperlukan
karena jika tidak demikian akan menunda penyembuhan mungkin sampai
kegagalan pengobatan.
Berdasarkan kerentanan dari in vitro, obat-obat yang paling aktif melawan
Haemophilus ducreyi yaitu azithromycin, ceftriaxone, ciprofloxacin, dan
erythromycin. Secara umum beberapa isolasi dengan resistensi menengah dari
ciprofloxacin atau erythromycin telah dilaporkan. Kombinasi antibiotik (misalnya
ceftriaxone dan streptomycin) menunjukan sinergi pada hewan dan mungkin
menjanjikan untuk meningkatkan pengobatan dosis tunggal, tapi diperlukan
evaluasi klinik. Pengobatamn lokal terdiri dari penggunaan antiseptic (misalnya
povidone-iodine). Nodul supuratif tidak perlu diinsisi, jika perlu dapat ditusuk untuk
mencegah ruptur spontan. Sebuah spoit besar harus digunakan dan fluktuan bubo
ditusuk dari arah lateral dari kulit normal. Pada pasien dengan komplikasi fimosis,
tindakan sirkumsisi mungkin diperlukan ketika semua lesi aktif telah sembuh.
Bahkan setelah borok pengobatan yang benar kambuh pada sekitar 5 persen pasien,
dan pengobatan kembali dengan sediaan obat aslinya dianjurkan.
Terapi antibiotik dapat meningkatkan proteksi dari reinfeksi, karena efek
dari dosis tunggal azithromycin sekitar 2 bulan setelah pengobatan.2
Pengobatan Ulkus mole dapat dilakukan secara sistemik dan topikal
yaitu :
a.Pengobatan sistemik
Diberikan Eritromicin : 500 mg/hari selama 7 hari, Azithromicin: 1 gr
dosis tunggal diberikan secara oral. Ceftriaxone: 250 mg i.m dosis tunggal dan
Ciprofloxacin: 500 mg oral selama 3 hari.
Pengobatan utama untuk ulkus mole adalah satu dosis azitromisin.
Alternatif lain meliputi ceftriaxone, ciprofloxacin atau eritromisin. Biasanya ada
respon yang cepat terhadap pengobatan. Resistensi terhadap sulfonamid,
tetrasiklin dan trimetoprim telah dilaporkan di beberapa negara.

9. PROSTATITIS
KEMAMPUAN (3A)
DEFINISI
Prostatitis adalah inflamasi pada kelenjar prostat yang dapatdisebabkan oleh
bakteri maupun non bakteri.
PATOFISIOLOGI
 Ascending dari uretr
 Langsung / secara limfogendari organ yang berada disekitarnya (rektum) yang
mengalami infeksi
 .Penyebaran secara hematogen
DIAGNOSIS
a. Acute bacterial prostatitis
- Demam
- Menggigil
- Malaise
- Atralgia
- Myalgia
- sakit pada perineal prostat
- Disuria
- Gejala seperti obstruksi pada tractus urinarius termasuk frekuensi, urgensi,
- disuria, nokturia, hesistansi, pancaran lemah dan pengosongan yang inkomplit
- Nyeri punggung bawah
- Nyeri perut bawah
- Keluarnya cairan secara spontan melalui urethra
b. Chronic bacterial prostatitis
- Disuria intermiten
- Gejala obstruktif tractus urinarius intermiten
- Infeksi rekuren tractus urinarius
- Gejala sistemik tidak ada yang spesifik
Berikut merupakan pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan pada
penderita prostatitis (Taslan, 2010) :
a.Laboratorium
1. Complete blood count : dindikasikan pada kasus pasien toksik secara
akut atau pasien suspek septicemia.
2. - Urinalisis : terdiri dari jumlah hitung sel darah putih dan
bacterial, oval fat bodies, dan lipid-laden makrofag. Pemeriksaan ini
penting untuk membedakan tipe-tipe prostatitis.
3. Kultur urin
4. Kimia : terdiri dari cairan elektrolit, termasuk kadar BUN dan kretinin,
pada pasien dengan retensi urin atau obstruksi.
5. Prostate-spesific antigen determination : Inflamasi prostat dapat
meningkatkan serum prostate-spesific antigen (PSA). Tetapi PSA lebih
sering digunakan untuk menscreening kanker jarang untuk prostatitis.
b. Pemeriksaan Urin Empat Porsi (Meares Stamey)
Pemeriksaan ini dilakukan untuk penderita prostatitis. Pemeriksaan ini terdiri dari
urin empat porsi yaitu :
1. Porsi pertama (VB1) : 10 ml pertama urin, menunjukkan kondisi
uretra,
2. Porsi kedua (VB2) : sama dengan urin porsi tengah, menunjukkan
kondisi buli-buli,
3. Porsi ketiga (EPS) : sekret yang didapatkan setelah masase prostat,
4. Porsi keempat (VB4) : urin setelah masase prostat.
c. Radiografi
1. Ultrasonography pada trans-abdominal atau scan kandung kemih
untuk mengetahui berapa volume urin yang ada.
2. Ultarasonography transrektal
3. Doppler Ultrasonography
4. Computed Tomography berguna untuk mengevaluasi abses
prostatitis atau suspek neoplasma
5. Sistoskopi
6. Intravena uropgraphy atau voiding cystourethrography
TERAPI
a. Pengobatan Acute bacterial prostatitis
Pengobatan untuk acute bacterial prostatitis adalah antibiotik-
antibiotik oral, biasanya ciprofloxacin (Cipro) atau tetracycline (Achromycin).
Perawatan di rumah termasuk minum cairan-cairan yang banyak, obat-obat
pengontrol nyeri, dan istirahat. Jika pasiennya sakit secara akut atau
mempunyai sistim imun yang dikonmpromiskan (contoh, sedang mengambil
kemoterapi atau obat-obat penekan imun atau mempunyai HIV/AIDS),
perawatan di rumah sakit untuk antibiotik- antibiotik intravena dan perawatan
mungkin diperlukan
b. Pengobatan Chronic bacterial prostatitis
Pengobatan chronic bacterial prostatitis adalah dengan antibiotik-
antibiotik jangka panjang, sampai delapan minggu, dengan ciprofloxacin
(Cipro, Cipro XR), obat-obat sulfa [contoh, sulfamethoxazole dan
trimethoprim,(Bactrim)], atau erythromycin. Bahkan dengan terapi yang tepat,
tipe prostatitis ini dapat kambuh. Tidak menentu kenapa, mungkin disebabkan
pengosongan kantong kemih yang buruk.
Sejumlah kecil dari urin yang retensi dapat menyebabkan terjadinya
kekambuhan infeksi. Situasi ini dapat disebabkan oleh benign prostatic
hypertrophy (BPH), batu-batu kantong kemih, ata batu-batu prostate
Pengobatan Chronic prostatitis without infection
Pengobatan chronic prostatitis without infection mengarah untuk
kontrol nyeri kronis dan termasuk terapi fisik dan teknik-teknik relaksasi
(pengenduran) serta obat-obat tricyclic antidepressant. Kemungkinan-
kemungkinan pengobatan lain termasuk alpha-adrenergic blockers.
Tamsulosin (Flomax) dan terazosin (Hytrin) adalah obat-obat yang
menghambat reseptor-reseptor adrenalin yang bukan jantung dan digunakan
dalam merawat BPH dan resistensi saluran keluar kantong kemih. Sehingga
terjadi pengosongan kantong kemih yang lebih baik yang dapat membantu
meminimalkan gejala-gejala.
c. Pengobatan Asymptomatic inflammatory prostatitis
Pengobatan tidak diperlukan untuk tipe prostatitis ini. Pada pasien-
pasien in dapat diberikan obat anti-peradangan nonsteroidal (ibuprofen,
Motrin, Advil) atau antibiotik-antibiotik.

11.KOLIK RENAL
KEMAMPUAN : (3A)
DEFINISI
Kolik renal dikarakterisasikan sebagai nyeri hebat yang intermiten (hilang-timbul)
biasanya di daerah antara iga dan panggul, yang menjalar sepanjang abdomen dan
dapat berakhir pada area genital dan paha bagian dalam. Kolik renal biasanya
berawal di punggung bagian mid-lateral atas dan menjalar anteroinferior menuju
daerah lipatan paha dan kelamin. Nyeri yang timbul akibat kolik renal terutama
disebabkan oleh dilatasi, peregangan, dan spasme traktus urinarius yang disebabkan
oleh obstruksi ureter akut.
PATOFISIOLOGI
Batu ginjal yang bergerak sepanjang ureter dan hanya menyebabkan obstruksi
intermiten sebenarnya menyebabkan rasa nyeri yang lebih hebat daripada batu
yang tidak bergerak. Suatu obstruksi konstan akan memicu berbagai mekanisme
autoregulasi dan refleks yang akan membantu meredakan nyeri. Dua puluh empat
jam setelah obstruksi ureteral total, tekanan hidrostatik akan menurun karena (1)
penurunan peristalsis ureteral, (2) penurunan aliran darah arteri renal, yang
menyebabkan penurunan produksi urin, dan (3) edema interstitial yang
menyebabkan peningkatan lymphatic drainage. Faktor-faktor ini menyebabkan
kolik renal yang berintensitas tinggi berdurasi kurang dari 24 jam.
DIAGNOSIS
adanya batu dalam traktus urinarius tergantung pada adanya obstruksi,
infeksi dan edema.
1. Ketika batu menghambat aliran urin, terjadi obstruksi piala ginjal serta
ureter proksimal.
a. Infeksi pielonefritis dan sintesis disertai menggigil, demam dan
disuria, dapat terjadi iritasi batu yang terus menerus. Beberapa batu
menyebabkan sedikit gejala, namun secara perlahan merusak unit
fungsional (nefron) ginjal.
b. Nyeri hebat dan ketidaknyamanan.
2. Batu di ginjal
a. Nyeri dalam dan terus menerus di area kontovertebral
b. Hematuri
c. Nyeri berasal dari area renal menyebar secara anterior dan pada
wanita nyeri kebawah mendekati kandung kemih sedangkan pada pria
mendekati testis.
d. Mual dan muntah
e. Diare
3. Batu di ureter
a. Nyeri menyebar kepaha dan genitalia
b. Rasa ingin berkemih namun hanya sedikit urin yang keluar
c. Hematuri akibat abrasi batu
d. Biasanya batu keluar secara spontan dengan diameter batu 0,5 – 1 cm.
4. Batu di kandung kemih
a. Biasanya menimbulkan gejala iritasi dan berhubungan dengan infeksi
traktus urinarius dan hematuri
b. Jika batu menimbulkan obstruksi pada leher kandung kemih akan
terjadi retensi urin.
Pemeriksaan Diagnostik
1. Urinalisa
Warna mungkin kuning ,coklat gelap,berdarah,secara umum menunjukan
SDM, SDP, kristal ( sistin,asam urat,kalsium oksalat), pH asam
(meningkatkan sistin dan batu asam urat) alkali ( meningkatkan
magnesium, fosfat amonium, atau batu kalsium fosfat), urine 24 jam
:kreatinin, asam urat kalsium, fosfat, oksalat, atau sistin mungkin
meningkat), kultur urine menunjukan ISK, BUN/kreatinin serum dan urine;
abnormal (tinggi pada serum/rendah pada urine) sekunder terhadap
tingginya batu obstruktif pada ginjal menyebabkan iskemia/nekrosis.
2. Darah lengkap: Hb,Ht,abnormal bila psien dehidrasi berat atau
polisitemia.
3. Hormon Paratyroid mungkin meningkat bila ada gagal ginjal. PTH
merangsang reabsobsi kalsium dari tulang, meningkatkan sirkulasi
serum dan kalsium urine.
4. Foto Rontgen; menunjukan adanya kalkuli atau perubahan anatomik pada
area ginjal dan sepanjang ureter.
5. IVP: memberikan konfirmasi cepat urolithiasis seperti penyebab nyeri,
abdominal atau panggul.Menunjukan abnormalitas pada struktur
anatomik (distensi ureter).
6. Sistoureterokopi;visualiasi kandung kemih dan ureter dapat menunjukan
batu atau efek obstruksi.
7. USG ginjal: untuk menentukan perubahan obstruksi,dan lokasi batu.
Penatalaksanaan
1. Tujuan:
a. Menghilangkan obstruksi
b. Mengobati infeksi
c. Mencegah terjadinya gagal ginjal
d. Mengurangi kemungkinan terjadinya rekurensi (terulang kembali)
2. Operasi dilakukan jika :
a. Sudah terjadi stasis/bendungan
b. Tergantung letak dan besarnya batu, batu dalam pelvis dengan
bendungan positif harus dilakukan operasi.
3. Therapi
a. Analgesik untuk mengatasi nyeri
b. Allopurinol untuk batu asam urat
c. Antibiotik untuk mengatasi infeksi
4. Diet
Diet atau pengaturan makanan sesuai jenis batu yang ditemukan.
a. Batu kalsium oksalat
Makanan yang harus dikurangi adalah jenis makanan yang mengandung
kalsium oksalat seperti: bayam, daun sledri, kacang- kacangngan, kopi,
coklat; sedangkan untuk kalsium fosfat mengurangi makanan yang
mengandung tinggi kalsium seperti ikan laut, kerang, daging, sarden,
keju dan sari buah.
b. Batu struvite; makanan yang perlu dikurangi adalah keju, telur, susu
dan daging.
c. Batu cystin; makanan yang perlu dikurangi antara lain sari buah, susu,
kentang.
d. Anjurkan konsumsi air putih kurang lebih 3 -4 liter/hari serta olah
raga secara teratur.
12.RUPTUR URETRA
KEMAMPUAN : (3B)
DEFINISI
Ruptur uretra adalah suatu kegawatdaruratan bedah yang sering terjadi oleh
karena fraktur pelvis akibat kecelakaan lalulintas atau jatuh dari ketinggian.
Sekitar 70% dari kasus fraktur pelvis yang terjadi akibat dari kecelakaan
lalulintas/kecelakaan kendaraan bermotor, 25% kasus akibat jatuh dari ketinggian,
dan 90% kasus cedera uretra akibat trauma tumpul. Secara keseluruhan pada
fraktur pelvis akan terjadi pula cedera uretra bagian posterior (3,5%-19%) pada pria,
dan (0%-6%) pada uretra perempuan
PATOFISIOLOGI
Ruptur uretra anterior biasanya terjadi karena trauma tumpul (paling
sering) atau trauma tusuk. Dan terdapat sekitar 85% kasus rupture uretra anterior
pars bulbosa akibat trauma tumpul.11
1. Fraktur pelvis
Cedera urethra posterior utamanya disebabkan oleh fraktur pelvis. Yang menurut
kejadiannya, terbagi atas 3 tipe, yaitu :
 Cedera akibat kompresi anterior-posterior
 Cedera akibat kompresi lateral
 Cedera tarikan vertikal.
Pada fraktur tipe I dan II mengenai pelvis bagian anterior dan biasanya lebih
stabil bila dibandingkan dengan fraktur tipe III dengan tipe tarikan vertical. Pada
fraktur tipe III ini seringkali akibat jatuh dari ketinggian, paling berbahaya dan
bersifat tidak stabil. Fraktur pelvis tidak stabil (unstable) meliputi cedera pelvis
anterior disertai kerusakan pada tulang posterior dan ligament disekitar articulation
sacroiliaca sehingga salah satu sisi lebih ke depan dibanding sisi lainnya
(Fraktur Malgaigne). Cedera urethra posterior terjadi akibat terkena segmen
fraktur atau paling sering karena tarikan ke lateral pada uretra pars
membranaceus dan ligamentum puboprostatika.7
2. Cedera tarikan ( shearing injury)
Cedera akibat tarikan yang menimbulkan rupture urethra di sepanjang pars
membranaceus (5-10%). Cedera ini terjadi ketika tarikan yang mendadak akibat
migrasi ke superior dari buli-buli dan prostat yang menimbulkan tarikan di
sepanjang urethra posterior. Cedera ini juga terjadi pada fraktur pubis bilateral
(straddle fraktur) akibat tarikan terhadap prostat dari segmen fraktur berbentuk
kupu-kupu sehingga menimbulkan tarikan pada urethra pars membranaceus.7
3. Cedera uretra karena pemasangan kateter
Cedera uretra karena kateterisasi dapat menyebabkan obstruksi karena
edema atau bekuan darah. Abses periuretral atau sepsis dapat mengakibatkan
demam. Ekstravasasi urin dengan atau tanpa darah dapat lebih meluas. Pada
ekstravasasi ini, mudah timbul infiltrate urin yang mengakibatkan sellulitis dan
septisemia bila terjadi infeksi.3
DIAGNOSIS
Kecurigaan adanya trauma uretra adalah jika didapatkan
perdarahan peruretram, yaitu terdapat darah yang keluar dari meatus uretra
eksternum setelah mengalami trauma.Perdarahan peruretram ini harus
dibedakan dengan hematuria yaitu urine yang bercampur dengan
darah.Pada trauma uretra yang berat, pasien seringkali mengalami retensio
urin Ruptur uretra posterior terdapat tanda patah tulang pelvis, pada daerah
suprapubik dan abdomen bagian bawah, dijumpai jejas hematom dan nyeri
tekan.Bila disertai ruptur kandung kemih, bisa ditemukan tanda rangsangan
peritoneum
Ruptur uretra anterior terdapat daerah memar atau hematom pada
penis dan skrotum. Beberapa tetes darah segar di meatus uretra merupakan
tanda klasik cedera uretra. Bila terjadi ruptur uretra total, penderita mengeluh
tidak bisa buang air kecil sejak terjadi trauma dan nyeri perut bagian bawah
dan daerah suprapubik.Pada perabaan mungkin ditemukan kandung kemih
yang penuh
Cedera uretra karena kateterisasi dapat menyebabkan obstruksi
karena udem atau bekuan darah.Abses periuretral atau sepsis mengakibatkan
demam.Ekstravasasi urin dengan atau tanpa darah dapat
meluas jauh, tergantung fasia yang turut rusak.Pada ekstravasasi ini mudah
timbul infiltrat yang disebut infiltrat urin yang mengakibatkan selulitis dan
septisemia bila terjadi infeksi
Penegakan Diagnosis
Pasien yang menderita trauma uretra posterior seringkali datang dalam
keadaan syok karena terdapat fraktur pelvis atau cedera organ lain yang
menimbulkan banyak perdarahan. Ruptur uretra posterior seringkali
memberikan gambaran yang khas berupa: perdarahan peruretram, retensio
urin pada pemeriksaan colok dubur, didapatkan adanya floating prostate
(prostat melayang) didalam suatu hematom
Dapat diduga terjadi cedera urethra dari anamnesis atau trauma
yang nyata pada pelvis atau perineum. Pada penderita yang sadar , riwayat
miksi perlu diketahui untuk mengetahui waktu terakhir miksi, pancaran
urine, nyeri saat miksi dan adanya hematuria. Rupture uretra posterior
harus dicurigai jika terdapat tanda fraktur pelvis :
a) Perdarahan per uretra. Merupakan tanda utama dari rupture uretra
posterior, ditemukan pada 37%-93% penderita dengan cedera urethra
posterior .Dengan timbulnya darah, setiap instrumentasi terhadap
urethra ditunda sampai keseluruhan urethra sudah dilakukan
pencitraan (uretrografi). Darah di introitus vagina ditemukan pada
80% penderita perempuan dengan fraktur pelvis dan cedera urethra.
b) Retensi urin
c) Pada pameriksaan Rectal Tuse didapatkan Floating prostat yakni
prostat seperti mengapung karena tidak terfiksasi lagi pada diafragma
urogenital.
d) Pada pemeriksaan uretrografi didapatkan ekstravasasi kontras dan
terdapat fraktur pelvis.
Ruptur uretra anterior biasanya pasien mengeluhkan perdarahan
peruretram, berkaitan dengan cedera kangkang.Jika terdapat robekan pada
korpus spongiosum, terlihat adanya hematom pada penis atau hematom
kupu-kupu.Pada keadaan ini pasien seringkali tidak dapat miksi
Trauma uretra anterior yang terdiri dari uretra pars glanularis, pars
pendulans, dan pars bulbosa. Pada ruptur uretra anterior, didapatkan:
a) Perdarahan per-uretra/ hematuri.
b) Kadang terjadi retensi urine.
c) Hematom kupu-kupu/butterfly hematom/ jejas perineum.
Uretra anterior terbungkus di dalam korpus spongiosum penis.
Korpus spongiosum bersama dengan corpora kavernosa penis dibungkus
oleh fasia Buck dan fasia Colles. Jika terjadi rupture uretra beserta korpus
spongiosum darah dan urin keluar dari uretra tetapi masih terbatas pada fasia
Buck, dan secara klinis terlihat hematoma yang terbatas pada penis. Namun
jika fasia Buck ikut robek, ekstravasasi urin dan darah hanya dibatasi oleh
fasia Colles sehingga darah dapat menjalar hingga skrotum atau ke dinding
abdomen. Oleh karena itu robekan ini memberikan gambaran seperti kupu-
kupu sehingga disebut butterfly hematoma atau hematoma kupu-kupu.
A. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada pasien dengan
curiga trauma uretra adalah: USG, akan tetapi tidak sesuai karena kondisi
yang akut dan posisi organ retroperitoneal. Penelitian yang dilakukan di
Amerika menunjukkan hasil yang signifikan untuk pemeriksaan dengan
menggunakan IVP (Intra Venous Pyelogram).Untuk pasien dengan kondisi
stabil dapat menggunakan pemeriksaan ct-scan
Uretrografi retrograde telah menjadi pilihan pemeriksaan untuk
mendiagnosis cedera uretra karena akurat, sederhana dan cepat dilakukan
pada keadaan trauma. Sementara CT Scan merupakan pemeriksaan yang
ideal untuk saluran kemih bagian atas dan cedera vesika urinaria dan terbatas
dalam mendiagnosis cedera uretra.Sementara MRI berguna untuk
pemeriksaan pelvis setelah trauma sebelum dilakukan rekonstuksi,
pemeriksaan ini tidak berperan dalam pemeriksaan cadera uretra.Sama
halnya dengan USG uretra yang memiliki keterbatasan dalam pelvis dan
vesika urinaria untuk menempatkan kateter suprapubik.
B. Mekanisme Ruptur Uretra
Trauma tumpul atau tembus dapat menyebabkan cedera uretra
anterior. Trauma tumpul adalah diagnosis yang sering dan cedera pada
segmen uretra pars bulbosa paling sering (85%), karena fiksasi uretra pars
bulbosa dibawah dari tulang pubis, tidak seperti uretra pars pendulosa
yang mobile. Trauma tumpul pada uretra pars bulbosa biasanya
disebabkan olehstraddle injury atau trauma pada daerah perineum. Uretra
pars bulbosa terjepit diantara ramus inferior pubis dan benda tumpul,
menyebabkan memar atau laserasi pada uretra
Tidak seperti cedera pada uretra pars prostatomembranous, Trauma
tumpul uretra anterior jarang berhubungan dengan trauma organ lainnya.
Kenyataannya, straddle injury menimbulkan cedera cukup ringan,
membuat pasien tidak mencari penanganan pada saat kejadian.Pasien
biasanya datang dengan striktur uretra setelah kejadian yang intervalnya
bulan atau tahun
Cedera uretra anterior dapat juga berhubungan dengan trauma
penis (10% sampai 20% dari kasus).Mekanisme cedera adalah trauma
langsung atau cedera pada saat berhubungan intim, dimana penis yang
sementara ereksi menghantam ramus pubis wanita, menyebabkan
robeknya tunika albuginea
Cedera uretra posterior terjadi sebagai akibat dari adanya gaya
geser pada prostatomembranosa junction sehingga prostat terlepas dari
fiksasi pada diafragma urogenitalia. Dengan adanya pergeseran prostat,
maka uretra pars membranasea teregang dengan cepat dan kuat. Uretra
posterior difiksasi pada dua tempat yaitu fiksasi uretra pars membranasea
pada ramus ischiopubis oleh diafragma urogenitalia dan uretra pars
prostatika ke simphisis oleh ligamentum puboprostatikum
TERAPI
Penanganan pada pasien dengan ruptur uretra, terutama ruptur
uretra posterior yang dapat mengakibatkan pasien jatuh dalam keadaan
syok karena perdarahan yang banyak, maka penanganan awal adalah
dengan resusitasi cairan untuk kondisi hemodinamik stabil.Pada ruptur
uretra anterior jarang mengakibatkan syok.Selain resusitasi atasi nyeri
yang dikeluhkan pasien dengan pemberian analgetik (Santucci. 2012).
Ruptur uretra posterior ketika tidak disertai cedera organ
intraabdomen maka cukup dilakukan sistostomi. Reparasi uretra dilakukan
2-3 hari kemudian dengan melakukan anastomosis ujung ke ujung, dan
pemasangan kateter silicon selama 3 minggu. Apabila disertai dengan cedera
organ lain, sehingga tidak memungkinkan untuk dilakukan reparasi dalam
waktu 2-3 hari, maka dilakukan pemasangan kateter secara langsir (rail
roading).
Pada ruptur uretra anterior total, langsung dilakukan pemulihan uretra
dengan anastomosis ujung ke ujung melalui sayatan perineal. Dipasang
kateter silicon selama 3 minggu. Bila ruptur parsial, dilakukan sistostomi dan
pemasangan kateter foley di uretra selama 7-10 hari, sampai terjadi
epitelisasi uretra yang cedera.Kateter sistostomi dicabut apabila ketika
kateter sistostomi di klem, pasien bisa buang air kecil (Sjamjuhidajat, Wim
De Jong. 2004).
Referensi
1. Purnomo,Basuki B, ed. Dasar-Dasar Urologi Edisi Kedua. Jakarta : Sagung
Seto; 2009.p.2-4, 87-91.
2. Ureter. [online]. [cited on 2012, Jan 25]. Available from:
http://www.urologie-bad-segeberg.de/Urology/Treatment-
options/Ureter/ureter.html
3. Standring, Susan, Harold Ellis, Jeremiah C Healy, David Johnson, Andrew
Williams et al, eds. Gray’s Anatomy The Anatomical Basis of Clinical Practice
39th Edition. USA: Elsevier; 2008.
4. Mirpuri, Nisha, Pratiksha Patel, Daniel-Horton-Szar, eds. Renal and Urinary
Systems. United Kingdom: Mosby; 2000.p.3.
5. Lusaya, Dennis G, Edgar V Lerma, Peter Langenstroer, Francisco Talavera et al,
eds. Renal Trauma.[online]. [cited on 2012, Jan 24]. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/440811-overview
6. Lewis DA. Diagnostic Tests for Chancroid. British Medical Journal.
2010;76:137-141
7. Lautens Chlager S. Chancroid. In: Klauss Wolff, et al, eds. Fitzspatrick’s
Dermatology in General Medicine. 7th Ed. USA: McGraw-Hill, 2008, p. 1983-
1986.
SISTEM REPRODUKSI

1. Sifilis
Tingkat Kemampuan : 3A
Definisi
Sifilis adalah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh Treponema
pallidum dan bersifat sistemik. Istilah lain penyakit ini adalah lues veneria atau lues.
Di Indonesia disebut dengan raja singa karena keganasannya. Sifilis dapat
menyerupai banyak penyakit dan memiliki masa laten. Penyakit ini ditularkan
melalui hubungan seksual.
Patofisiologi
Kuman Treponema pallidum masuk ke dalam kulit melalui mikrolesi atau
selaput lendir, biasanya melalui senggama. Kuman tersebut berkembang biak,
jaringan bereaksi dengan membentuk infiltrat yang terdiri atas sel-sel limfosit dan
sel-sel plasma, terutama di perivaskuler, pembuluh-pembuluh darah kecil
berproliferasi dikelilingi oleh Treponema pallidum dan sel-sel radang. Cara
penularannya dapat melalui kontak langsung dengan penderita, melalui hubungan
genitor-genital (kelamin-kelamin) atau oro-genital (seks oral), dan pada ibu hamil
yang menderita sifilis dapat menularkan ke bayi yang sedang dikandungnya.
Manifestasi Klinis
Stadium I (sifilis primer)
Diawali dengan papul lentikuler yang permukaannya segera erosi dan
menjadi ulkus berbentuk bulat dan soliter, dindingnya tak bergaung dan berdasarkan
eritem dan bersih, di atasnya hanya serum.Ulkus khas indolen dan teraba indurasi
yang disebut dengan ulkus durum. Ulkus durum merupakan afek primer sifilis yang
akan sembuh sendiri dalam 3-10 minggu.
Tempat predileksi
1. Genitalia ekterna, pada pria pada sulkus koronarius, wanita di labia minor dan
mayor.
2. Ekstragenital: lidah, tonsil dan anus. Seminggu setelah afek primer, terdapat
pembesaran kelenjar getah bening (KGB) regional yang soliter, indolen, tidak
lunak, besarnya lentikular, tidak supuratif dan tidak terdapat periadenitis di
ingunalis medialis. Ulkus durum dan pembesaran KGB disebut dengan kompleks
primer.Bila sifilis tidak memiliki afek primer, disebut sebagai syphilis d’embiee.
Stadium II (sifilis sekunder)
S II terjadi setelah 6-8 minggu sejak S I terjadi. Stadium ini merupakan great
imitator.Kelainan dapat menyerang mukosa, KGB, mata, hepar, tulang dan saraf.
Kelainan dapat berbentuk eksudatif yang sangat menular maupun kering (kurang
menular). Perbedaan dengan penyakit lainnya yaitu lesi tidak gatal dan terdapat
limfadenitis generalisata. S II terdiri dari SII dini dan lanjut, perbedaannya
adalah:
S II dini terlihat lesi kulit generalisata, simetrik dan lebih cepat hilang
(beberapa hari – beberapa minggu), sedangkan S II lanjut tampak setempat, tidak
simetrik dan lebih lama bertahan (beberapa minggu – beberapa bulan).
Bentuk lesi pada S II yaitu:
1. Roseola sifilitika: eritema makular, berbintik-bintik, atau berbercak-bercak,
warna tembaga dengan bentuk bulat atau lonjong. Jika terbentuk di kepala, dapat
menimbulkan kerontokan rambut, bersifat difus dan tidak khas, disebut alopesia
difusa. Bila S II lanjut pada rambut, kerontokan tampak setempat, membentuk
bercak-bercak yang disebut alopesia areolaris. Lesi menghilang dalam beberapa
hari/minggu, bila residif akan berkelompok dan bertahan lebih lama. Bekas lesi akan
menghilang atau meninggalkan hipopigmentasi (leukoderma sifilitikum).
2. Papul. Bentuk ini paling sering terlihat pada S II, kadang bersama-sama dengan
roseola. Papul berbentuk lentikular, likenoid, atau folikular, serta dapat berskuama
(papulo-skuamosa) seperti psoriasis (psoriasiformis) dan dapat meninggalkan
bercak leukoderma sifilitikum. Pada S II dini, papul generalisata dan S II lanjut
menjadi setempat dan tersusun secara tertentu (susunan arsinar atau sirsinar yang
disebut dengan korona venerik, susunan polikistik dan korimbiformis). Tempat
predileksi papul: sudut mulut, ketiak, di bawah mammae, dan alat genital. Bentuk
papul lainnya adalah kondiloma lata berupa papul lentikular, permukaan datar,
sebagian berkonfluensi, dapat erosif dan eksudatif yang sangat menular akibat
gesekan kulit. Tempat predileksi kondiloma lata: lipat paha, skrotum, vulva,
perianal, di bawah mammae dan antar jari kaki.
3. Pustul. Bentuk ini jarang didapati, dan sering diikuti demam intermiten.
Kelainan ini disebut sifilis variseliformis.
4. Konfluensi papul, pustul dan krusta mirip dengan impetigo atau disebut juga
sifilis impetiginosa. Kelainan dapat membentuk berbagai ulkus yang ditutupi
krusta yang disebut dengan ektima sifilitikum. Bila krusta tebal disebut rupia
sifilitikum dan bila ulkus meluas ke perifer membentuk kulit kerang disebut sifilis
ostrasea.
S II pada mukosa (enantem) terutama pada mulut dan tenggorok. S II pada
kuku disebut dengan onikia sifilitikum yaitu terdapat perubahan warna kuku
menjadi putih dan kabur, kuku rapuh disertai adanya alur transversal dan
longitudinal.Bagian distal kuku menjadi hiperkeratotik sehingga kuku terangkat.
Bila terjadi kronis, akan membentuk paronikia sifilitikum. S II pada alat lain yaitu
pembesaran KGB, uveitis anterior dan koroidoretinitis pada mata, hepatitis pada
hepar, periostitis atau kerusakan korteks pada tulang, atau sistem saraf (neurosifilis).
Sifilis laten dini tidak ada gejala, sedangkan stadium rekurens terjadi kelainan
mirip S II. Sifilis laten lanjut biasanya tidak menular, lamanya masa laten adalah
beberapa tahun bahkan hingga seusia hidup.
Stadium III (sifilis tersier)
Lesi pertama antara 3 – 10 tahun setelah S I. Bentuk lesi khas yaitu
guma.Guma adalah infiltrat sirkumskrip kronis, biasanya lunak dan destruktif,
besarnya lentikular hingga sebesar telur ayam. Awal lesi tidak menunjukkan tanda
radang akut dan dapat digerakkan, setelah beberapa bulan menjadi melunak mulai
dari tengah dan tanda-tanda radang mulai tampak. Kemudian terjadi perforasi dan
keluar cairan seropurulen, kadang-kadang sanguinolen atau disertai jaringan
nekrotik.Tempat perforasi menjadi ulkus. Guma umumnya solitar, namun dapat
multipel. Bentuk lain S III adalah nodus. Nodus terdapat pada epidermis, lebih kecil
(miliar hingga lentikular), cenderung berkonfluensi dan tersebar dengan wana
merah kecoklatan.Nodus memiliki skuama seperti lilin (psoriasiformis). S III pada
mukosa biasanya pada mulut dan tenggorok atau septum nasi dalam
bentuk guma. S III pada tulang sering menyerang tibia, tengkorak, bahu, femur,
fibula dan humerus. S III pada organ dalam dapat menyerang hepar, esophagus
dan lambung, paru, ginjal, vesika urinaria, prostat serta ovarium dan testis.
Kriteria Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.Bila
diperlukan dapat dilakukan pemeriksaan mikroskopis.
Klasifikasi
1. Sifilis kongenital
a. Dini (prekoks): bentuk ini menular, berupa bula bergerombol, simetris di tangan
dan kaki atau di badan. Bentuk ini terjadi sebelum 2 tahun dan disebut juga pemfigus
sifilitika. Bentuk lain adalah papulo-skuamosa. Wajah bayi tampak seperti orang
tua, berat badan turun dan kulit keriput. Keluhan di organ lainnya dapat terjadi.
b. Lanjut (tarda): bentuk ini tidak menular, terjadi sesudah 2 tahun dengan bentuk
guma di berbagai organ.
c. Stigmata: bentuk ini berupa deformitas dan jaringan parut.
Pada lesi dini didapat:
a. Pada wajah: hidung membentuk saddle nose (depresi pada jembatan hidung)
dan bulldog jaw (maksila lebih kecil daripada mandibula).
b. Pada gigi membentuk gigi Hutchinson (pada gigi insisi permanen berupa sisi gigi
konveks dan bagian menggigit konkaf). Gigi molar pertama permulaannya berbintil-
bintil (mulberry molar).
c. Jaringan parut pada sudut mulut yang disebut regades.
d. Kelainan permanen lainnya di fundus okuli akibat koroidoretinitis dan pada
kuku akibat onikia.
Pada lesi lanjut:
Kornea keruh, perforasi palatum dan septum nasi, serta sikatriks kulit seperti
kertas perkamen, osteoporosis gumatosa, atrofi optikus dan trias Hutchinson yaitu
keratitis interstisial, gigi Hutchinson, dan tuli N. VIII. 2. Sifilis akuisita
a. Klinis
Terdiri dari 3 stadium:
1.. Stadium I (S I) dalam 2-4 minggu sejak infeksi.
2. Stadium II (S II) dalam 6-8 minggu sejak S I.
3. Stadium III (S III) terjadi setelah 1 tahun sejak infeksi.
b. Epidemiologis
1. Stadium dini menular (dalam 1 tahun sejak infeksi), terdiri dari S I, S II,
stadium rekuren dan stadium laten dini.
2. Stadium tidak menular (setelah 1 tahun sejak infeksi), terdiri dari stadium laten
lanjut dan S III.
Klasifikasi untuk neurosifilis:
1. Neurosifilis asimptomatik
Tidak menunjukkan gejala karena hanya terbatas pada cairan serebrospinal.
2. Sifilis meningovaskular
Bentuk ini terjadi beberapa bulan sampai 5 tahun sejak S I. Gejala tergantung
letak lesi, antara lain berupa nyeri kepala, konvulsi fokal atau umum, papil nervus
optikus sembab, gangguan mental, kelumpuhan nervus kranialis dan seterusnya.
3. Sifilis parenkim
a. Tabes dorsalis (8-12 tahun sejak infeksi primer). Keluhan berupa gangguan
motorik (ataksia, arefleksia), gangguan visus, retensi dan inkoninensia urin serta
gangguan sensibilitas (nyeri pada kulit dan organ dalam).
b. Demensia paralitika (8-10 tahun sejak infeksi primer). Keluhan diawali dengan
kemunduran intelektual, kehilangan dekorum, apatis, euphoria hingga waham
megaloman atau depresif. Selain itu, keluhan dapat berupa kejang, lemah dan gejala
pyramidal hingga akhirnya meninggal.
4. Guma
Guma umumnya terdapat pada meningen akibat perluasan dari tulang tengkorak.
Keluhan berupa nyeri kepala, muntah dan dapat terjadi konvulsi serta gangguan
visus. Pada pemeriksaan terdapat edema papil karena peningkatan tekanan
intrakranial, paralisis nervus kranialis atau hemiplegi.
Pemeriksaan mikroskopis untuk menemukan T. pallidum pada sediaan
serum dari lesi kulit.Pemeriksaan dilakukan tiga hari berturut-turut jika
pemeriksaan I dan II negatif. Setelah diambil serum dari lesi, lesi dikompres
dengan larutan garam fisiologis. Pemeriksaan lain yang dapat dirujuk, yaitu:
1. Tes Serologik Sifilis (TSS), antara lain VDRL (Venereal Disease Research
Laboratories), TPHA (Treponemal pallidum Haemoglutination Assay), dan tes
imunofluoresens (Fluorescent Treponemal Antibody Absorption Test – FTA-Abs)
2. Histopatologi dan imunologi.
Terapi
1. Sifilis yang sedang dalam inkubasi dapat diobati dengan regimen penisilin atau
dapat menggunakan Ampisilin, Amoksisilin, atau Seftriakson mungkin juga
efektif.
2. Pengobatan profilaksis harus diberikan pada pasangan pasien, namun sebaiknya
diberikan sejak 3 bulan sebelumnya, tanpa memandang serologi.
3. Kontak seksual harus ditelusuri, diketahui dan diobati.
4. Pasien perlu diuji untuk penyakit lain yang ditularkan secara seksual (sexually
transmitted diseases/STD), termasuk HIV, harus dilakukan pada semua penderita.
Pada sifilis dengan kehamilan untuk wanita berisiko tinggi, uji serologis
rutin harus dilakukan sebelum trimester pertama dan awal trimester ketiga serta
pada persalinan. Bila tanda-tanda klinis atau serologis memberi kesan infeksi aktif
atau diagnosis sifilis aktif tidak dapat dengan pasti disingkirkan, maka indikasiuntuk
pengobatan. Pemeriksaan penunjang lanjutan dilakukan di fasilitas pelayanan
kesehatan sekunder.
Konseling dan Edukasi
1. Pasien diberikan pemahaman tentang penyakit, penularan serta penatalaksanaan
di tingkat rujukan.
2. Pasien disarankan untuk tidak melakukan hubungan seksual selama penyakit
belum tuntas diobati
Kriteria Rujukan
Semua stadium dan klasifikasi sifilis harus dirujuk ke fasilitas pelayanan
kesehatan yang memiliki dokter spesialis kulit dan kelamin.
Referensi
1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.Edisi
kelima. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000.Andrew’s Diseases of the Skin:
Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders Elsevier.
3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin.2011.Pedoman Pelayanan
Medik. Jakarta.

2. Gonore
Tingkat Kemampuan : 4A
Definisi
Gonore adalah semua penyakit yang disebabkan oleh Neisseria gonorrhoeae.
Penyakit ini termasuk Penyakit Menular Seksual (PMS) yang memiliki insidensi
tinggi.Cara penularan gonore terutama melalui genitor-genital, orogenital dan ano-
genital, namun dapat pula melalui alat mandi, termometer dan sebagainya (gonore
genital dan ekstragenital).Daerah yang paling mudah terinfeksi adalah mukosa
vagina wanita sebelum pubertas.
Patofisiologi
Bakteri secara langsung menginfeksi uretra, endoserviks, saluran anus,
konjungtiva dan farings. Infeksi dapat meluas dan melibatkan prostate, vas deferens,
vesikula seminalis, epididimis dan testis pada pria dan kelenjar skene, bartholini,
endometrium, tuba fallopi dan ovarium pada wanita. Setelah melekat, gonokokus
berpenetrasi ke dalam sel epitel dan melalui jaringan sub epitel di mana
gonokokus ini terpajan ke system imun (serum, komplemen, immunoglobulin
A(IgA), dan lain-lain), dan difagositosis oleh neutrofil. Virulensi bergantung pada
apakah gonokokus mudah melekat dan berpenetrasi ke dalam sel penjamu, begitu
pula resistensi terhadap serum, fagositosis, dan pemusnahan intraseluler oleh
polimorfonukleosit. Faktor yang mendukung virulensi ini adalah pili, protein,
membrane bagian luar, lipopolisakarida, dan protease IgA. N. gonorrhoeae terbaik
hidup pada udara yang mengandung 2 – 10% CO2, dengan
suhu 35oC, dan pH optimum 7,2 – 7,6. N. gonorrhoeae dapat beradaptasi dengan
keadaan mukosa yang basah, membelah diri dengan cepat, menghasilkan
keradangan yang eksudatif, dan juga dapat masuk keliaran darah.
Manifestasi Klinis
Keluhan utama berhubungan erat dengan infeksi pada organ genital yang
terkena. Pada pria, keluhan tersering adalah kencing nanah. Gejala diawali oleh rasa
panas dan gatal di distal uretra, disusul dengan disuria, polakisuria dan keluarnya
nanah dari ujung uretra yang kadang disertai darah.Selain itu, terdapat perasaan
nyeri saat terjadi ereksi. Gejala terjadi pada 2-7 hari setelah kontak seksual. Apabila
terjadi prostatitis, keluhan disertai perasaan tidak enak di perineum dan suprapubis,
malaise, demam, nyeri kencing hingga hematuri, serta retensi urin, dan obstipasi.
Pada wanita, gejala subyektif jarang ditemukan dan hampir tidak pernah didapati
kelainan obyektif. Wanita umumnya datang setelah terjadi komplikasi atau pada saat
pemeriksaan antenatal atau Keluarga Berencana (KB). Keluhan yang sering
menyebabkan wanita datang ke dokter adalah keluarnya cairan hijau kekuningan
dari vagina, disertai dengan disuria, dan nyeri abdomen bawah. Keluhan selain di
daerah genital yaitu : rasa terbakar di daerah anus (proktitis), mata merah pada
neonatus dan dapat terjadi keluhan sistemik (endokarditis, meningitis, dan
sebagainya pada gonore diseminata – 1% dari kasus gonore). Faktor risiko antara
lain:
1. Berganti-ganti pasangan seksual.
2. Homoseksual dan Pekerja Seks Komersial (PSK).
3. Wanita usia pra pubertas dan menopause lebih rentan terkena gonore.
4. Bayi dengan ibu menderita gonore.
5. Hubungan seksual dengan penderita tanpa proteksi (kondom).
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tampak eritem, edema dan ektropion
pada orifisium uretra eksterna, terdapat duh tubuh mukopurulen, serta pembesaran
KGB inguinal uniatau bilateral. Apabila terjadi proktitis, tampak daerah anus
eritem, edem dan tertutup pus mukopurulen. Pada pria didapatkan pada pemeriksaan
rectal toucher terjadi pembesaran prostat dengan konsistensi kenyal, nyeri tekan dan
bila terdapat abses akan teraba fluktuasi. Pada wanita yang telah
menikah dilakukan pemeriksaan in speculo dan didapatkan serviks merah, erosi dan
terdapat secret mukopurulen.
Kriteria Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Klasifikasi berdasarkan susunan anatomi genitalia pria
dan wanita yaitu uretritis gonore dan servisitis gonore (pada wanita).
Pemeriksaan mikroskopis sediaan langsung duh tubuh dengan pewarnaan gram
untuk menemukan kuman gonokokus gram negarif, intra atau ekstraseluler.Pada
pria sediaan diambil dari daerah fossa navikularis, dan wanita dari uretra, muara
kelenjar bartolin, serviks dan rektum. Pemeriksaan lain bila diperlukan yaitu
kultur, tes oksidasi dan fermentasi, tes beta-laktamase, tes thomson dengan
sediaan urin.
Terapi
1. Memberitahu pasien untuk tidak melakukan kontak seksual hingga dinyatakan
sembuh dan menjaga kebersihan genital.
2. Pemberian farmakologi dengan antibiotik: Tiamfenikol, 3,5 gr per oral (p.o) dosis
tunggal, atau Ofloksasin 400 mg (p.o) dosis tunggal, atau Kanamisin 2 gram Intra
Muskular (I.M) dosis tunggal, atau Spektinomisin 2 gram I.M dosis tunggal.
Tiamfenikol, ofloksasin dan siprofloksasin merupakan kontraindikasi pada
kehamilan dan tidak dianjurkan pada anak dan dewasa muda. Kriteria rujukan yaitu:
1. Apabila tidak dapat melakukan tes laboratorium.
2. Apabila pengobatan di atas tidak menunjukkan perbaikan dalam jangka waktu 2
minggu, penderita dirujuk ke dokter spesialis karena kemungkinan terdapat
resistensi obat.
Referensi
1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.Edisi
kelima. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000.Andrew’s Diseases of the Skin:
Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders Elsevier.
3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin.2011.Pedoman Pelayanan
Medik. Jakarta.

3. Vulvitis
Tingkat Kompetensi : 4A
Definisi
Vulvitis adalah suatu peradangan pada vulva (organ kelamin luar
wanita),sedangkan vulvovaginitis adalah peradangan pada vulva dan vagina.
Gejala yang paling sering ditemukan adalah keluarnya cairan abnormal dari
vagina, dikatakan abnormal jika jumlahnya sangat banyak serta baunya
menyengat atau disertai gatal-gatal dan nyeri.
Patofisiologi
Bila keseimbangan mikroorganisme berubah, maka organisme yang
berpotensi patogen, yang merupakan bagian flora normal, misalnya C. albicans
pada kasus infeksi monolia serta G. vaginalis dan bakteri anaerob pada kasus
vaginitis non spesifik berproliferasi sampai suatu konsentrasi yang berhubungan
dengan gejala. Pada mekanisme lainnya, organisme ditularkan melalui hubungan
seksual dan bukan merupakan bagian flora normal seperti Trichomonas vaginalis
dan Nisseria gonorrhoea dapat menimbulkan gejala. Gejala yang timbul bila
hospes meningkatkan respon peradangan terhadap organisme yang menginfeksi
dengan menarik leukosit serta melepaskan prostaglandin dan komponen respon
peradangan lainnya.
Gejala ketidaknyamanan dan pruritus vagina berasal dari respon
peradangan vagina lokal terhadap infeksi T. vaginalis atau C. albicans. Organisme
tertentu yang menarik leukosit, termasuk T. vaginalis, menghasilkan sekret
purulen. Diantara wanita dengan vaginitis non spesifik. Baunya disebabkan oleh
terdapatnya amina dibentuk sebagai hasil metabolisme bakteri anaerob. Histamin
dapat menimbulkan ketidaknyamanan oleh efek vasodilatasi local. Produk lainnya
dapat merusak sel-sel epitel dengan cara sama dengan infeksi lainnya.
Manifestasi Klinis
Keluhan seperti rasa gatal dan perih di kemaluan, serta keluarnya cairan
kental dari kemaluan yang berbau. Gejala klinis lainnya dapat berupa:
1. Rasa terbakar di daerah kemaluan
2. Gatal
3. Kemerahan dan iritasi
4. Keputihan
Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan dari inspeksi daerah genital didapati
kulit vulva yang menebal dan kemerahan, dapat ditemukan juga lesi di sekitar vulva.
Adanya cairan kental dan berbau yang keluar dari vagina.
Kriteria Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Terapi
1. Menghindari penggunaan bahan yang dapat menimbulkan iritasi di sekitar daerah
genital.
2. Menggunakan salep kortison. Jika vulvitis disebabkan infeksi vagina, dapat
dipertimbangkan pemberian antibiotik sesuai penatalaksanaan vaginitis atau
vulvovaginitis.
Pasien dirujuk ke dokter spesialis kulit dan kelamin jika pemberian salep
kortison tidak memberikan respon.
Referensi
1. Anastasia,D. 2006. Aspects Concerning Frequency And Ethiology Of Vaginitis
In Pregnant Women. In:The Two Last Terms Of Pregnancy. Universitary Clinic
of Obstetrics and Gynecology “Bega” Timisoara.p.157-159
2. Mochamad, A. Ali, B. Prajitno, P.R. 2011.Ilmu Kandungan. Edisi ketiga. Jakarta.
PT Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo.

4. Vaginitis
Tingkat Kemampuan : 4A
Definisi
Vaginitis adalah peradangan pada vagina ya:ng ditandai dengan adanya
pruritus, keputihan, dispareunia, dan disuria. Penyebab vaginitis:
1. Vaginosis bakterialis (bakteri Gardnerella Vaginalis adalah bakteri anaerob
yang bertanggungjawab atas terjadinya infeksi vagina yang non-spesifik, insidennya
terjadi sekitar 23,6%).
2. Trikomonas (kasusnya berkisar antara 5,1-20%).
3. Kandida (vaginal kandidiasis, merupakan penyebab tersering peradangan pada
vagina yang terjadi pada wanita hamil, insidennya berkisar antara 15-42%).
Patofisiologi
Flora vagina terdiri atas banyak jenis kuman, antar lain basil doderlein,
streptokokkus, stafilokokkus, difteroid, yang dalam keadaan normal hidup dalam
simbiosis diantara mereka. Jika simbiosis ini terganggu, dan jika kuman-kuman
seperti streptokokkus, stafilokokkus, basil koli dan lain-lain dapat berkembang biak,
timbullah vaginitis non spesifik. Antibiotik, kontrasepsi, hubungan seksual, stress
dan hormone dapat merubah lingkungan vagina dan dapat memungkinkan organism
pathogen tumbuh. Pada vaginosis bacterial dipercayai bahwa beberapa kejadian
yang provokatif menurunkan jumlah hydrogen peroksida yang diproduksi
C. acidophilus organism. Hasil dari perubahan pH yang terjadi memungkinkan
perkembangbiakan berbagai organism yang biasanya ditekan pertumbuhannya
seperti G. vaginalis, M.Hominis, dan Mobiluncus spesies.
Organism tersebut memproduksi berbagai produk metabolik seperti amine,
yang akan meningkatkan pH vagina dan menyebabkan ekspoliasi sel epitel
vagina. Amine inilah yang menyebabkan adanya bau yang tidak enak pada infeksi
vaginosis bacterial dengan fisiologi yang sama, perubahan lingkungan vagina,
seperti peningkatan produksi glikogen pada saat kehamilan dan tingkat progesterone
karena kontrasepsi oral memperkuat penempelan C.albikans ke sel epitel vagina dan
memfasilitasi pertumbuhan jamur. Perubahan ini dapat mentransformasi kondisi
kolonissi organism yang asimptomatik menjadi infeksi yang simptomatik. Pada
pasien dengan trikomoniasis perubahan tingkat estrogen dan progesterone
sebagaimana juga peningkatan pH vagina dan tingkat glikogen dapat memperkuat
pertumbuhan dan virulensi trikomonas vaginalis.
Manifestasi Klinis
Keluhan bau adalah keluhan yang paling sering dijumpai. Gejala klinis
lainnya dapat berupa gatal (pruritus), keputihan, dispareunia, dan disuria. Faktor
risiko lainnya yaitu pemakai AKDR, penggunaan handuk bersamaan, imunosupresi,
diabetes melitus, perubahan hormonal (misal : kehamilan), penggunaan terapi
antibiotik spektrum luas, dan obesitas. Dari hasil pemeriksaan fisik dapat ditemukan
adanya iritasi, eritema atau edema pada vulva dan vagina. Mungkin serviks juga
dapat tampak eritematous.
Kriteria Diagnosis

Terapi
1. Menjaga kebersihan diri terutama daerah vagina
2. Hindari pemakaian handuk secara bersamaan
3. Hindari pemakaian sabun untuk membersihkan daerah vagina yang dapat
menggeser jumlah flora normal dan dapat merubah kondisi pH daerah kewanitaan
tersebut.
4. Jaga berat badan ideal
5. Farmakologis:
a. Tatalaksana vaginosis bakterialis
- Metronidazol 500 mg peroral 2 x sehari selama 7 hari
- Metronidazol pervagina 2 x sehari selama 5 hari
- Krim klindamisin 2% pervagina 1 x sehari selama 7 hari
b. Tatalaksana vaginosis trikomonas
- Metronidazol 2 g peroral (dosis tunggal)
- Pasangan seks pasien sebaiknya juga diobati
c. Tatalaksana vulvovaginitis kandida
- Flukonazol 150 mg peroral (dosis tunggal)
Konseling dan edukasi yaitu memberikan informasi kepada pasien, dan
(pasangan seks) suami, mengenai faktor risiko dan penyebab dari penyakit
vaginitis ini sehingga pasien dan suami dapat menghindari faktor risikonya. Dan
jika seorang wanita terkena penyakit ini maka diinformasikan pula pentingnya
pasangan seks (suami) untuk dilakukan juga pemeriksaan dan terapi guna
pengobatan secara keseluruhan antara suami-istri dan mencegah terjadinya
kondisi yang berulang.
Referensi
1. Anastasia,D. 2006. Aspects Concerning Frequency And Ethiology Of Vaginitis
In Pregnant Women. In:The Two Last Terms Of Pregnancy. Universitary Clinic
of Obstetrics and Gynecology “Bega” Timisoara.p.157-159 (D, 2006)
2. Mochamad, A. Ali, B. Prajitno, P.R. 2011.Ilmu Kandungan. Edisi ketiga.
Jakarta. PT Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo. (Mochamad, et al., 2011)

5. Servisitis
Tingkat Kemampuan : 3A
Definisi
Servisitis adalah peradangan yang terjadi pada serviks (leher rahim). Serviks
adalah bagian paling bawah dari rahim yang berfungsi sebagai pintu masuk
menuju rahim dari vagina. Peradangan ini bisa terjadi tanpa ada gejala- gejala yang
dirasakan penderita. Jaringan pada serviks yang meradang bisa
memerah, membengkak, berlendir, bahkan bernanah. Jaringan tersebut juga akan
mudah berdarah jika tersentuh.
Patofisiologi
Penyakit ini dijumpai pada sebagian besar wanita yang pernah melahirkan
dengan luka-luka kecil atau besra pada cerviks karena partus atau abortus
memudahkan masuknya kuman-kuman kedalam endocerviks dan kelenjar-
kelenjarnya, lalu menyebabkan infeksi menahun. Beberapa gambaran patologis
dapat ditemukan :
1. Cerviks kelihatan normal, hanya pada pemeriksaan mikroskopik ditemukan
infiltrasi endokopik dalam stroma endocerviks. Cervicitis ini tidak menimbulkan
gejala, kecuali pengeluaran sekret yang agak putih kekuningan.
2. Di sini pada portio uteri sekitar ostium uteri eksternum tampak daerah
kemerah-merahan yang tidak terpisah secara jelas dan epitel portio disekitarnya,
sekret dikeluarkan terdiri atas mukus bercampur nanah.
3. Sobekan pada cerviks uteri disini lebih luas dan mucosa endocerviks lebih
kelihatan dari luar (eksotropion). Mukosa dalam keadaan demikian itu mudah
kena infeksi dari vagina, karena radang menahun, cerviks bisa menjadi hipertropis
dan mengeras : sekret bertambah banyak.
Manifestasi Klinis
Gejala adalah sesuatu yang dirasakan dan diceritakan oleh penderita.
Mayoritas penderita servisitis tidak merasakan gejala ataupun tanda apa pun.
Umumnya, penderita baru menyadari gejala dan tanda servisitis setelah menjalani
pemeriksaan. Beberapa gejala umum dari servisitis adalah:
1. Munculnya cairan vagina dalam jumlah banyak, biasanya berwarna kehijauan,
kecoklatan, atau kekuningan. Cairan tersebut seperti nanah dan kadang berbau tidak
sedap.
2. Frekuensi buang air kecil yang semakin sering.
3. Rasa nyeri saat berhubungan seksual.
4. Perdarahan dari vagina setelah berhubungan seksual, yang bukan disebabkan
menstruasi.
5. Rasa nyeri pada bagian panggul atau perut.
Referensi :
1. Anastasia,D. 2006. Aspects Concerning Frequency And Ethiology Of Vaginitis
In Pregnant Women. In:The Two Last Terms Of Pregnancy. Universitary Clinic
of Obstetrics and Gynecology “Bega” Timisoara.p.157-159
2. Mochamad, A. Ali, B. Prajitno, P.R. 2011.Ilmu Kandungan. Edisi ketiga.
Jakarta. PT Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo.

6. Salpingitis
Tingkat Kemampuan : 4A
Definisi
Salpingitis merupakan infeksi yang terjadi di bagian saluran tuba uterine,
dipicu oleh infeksi dari bakteri. Kondisi ini adalah penyebab umum dari terjadinya
ketidaksuburan pada perempuan sebab peradangan bisa saja merusak saluran tuba.
Salpingitis mungkin saja tidak memiliki gejala, akan tetapi tanda-tandanya
diantaranya termasuk keputihan yang terjadi secara abnormal, bercak antara tiap
periode, periode yang cukup menyakitkan, terasa sakit saat terjadi ovulasi atau
saat sedang melakukan hubungan seks dan juga terasa nyeri pada punggung
bagian bawah.
Patofisiologi
Infeksi biasanya berasal di vagina, dan naik ke tabung falopi dari sana.
Karena infeksi dapat menyebar melalui pembuluh getah bening, infeksi pada satu
tabung fallopi biasanya menyebabkan infeksi yang lain. Paling sering disebabkan
oleh gonococcus, di samping itu oleh staphilokokus, streptokokus dan bacteri tbc.
Infeksi ini dapat terjadi sebagai berikut :
a. Naik dari cavum uteri
b. Menjalar dari alat yang berdekatan sepert dari apendiks yang meradang
Manifestasi Klinis
Gambaran klinis dari salpingitis adalah sebagai berikut:
1. Penderita akan mengeluhkan rasa nyeri pada perut bagian bawah, baik itu
unilateral maupun bilateral. Rasa nyeri ini bertambah jika melakukan gerakan.
2. Kadang-kadang terdapat perdarahan yang berada di luar siklus serta terdapat
secret vagina yang keluar secara berlebihan.
3. Pada kasus yang akut maka dapat terjadit demam yang terkadang disertai
dengan keluhan menggigil.
4. Selain itu terdapat nyeri tekan pada abdomen di bagian bawah yang didisertai
dengan nyeri pada saat pergerakan serviks. Parametrium terasa nyeri baik
unilateral maupun bilateral.
Dalam kasus yang ringan, maka salpingitis mungkin saja tidak memiliki
gejala-gejala tertentu. Ini artinya saluran tuba bisa menjadi rusak tanpa disadari oleh
seorang wanita saat mengalami infeksi ini. Adapun gejala dari salpingitis bisa
mencakup:
1. Keputihan yang abnormal, misalnya saja seperti warnanya yang tidak biasa
ataupun berbau
2. Bercak yang terjadi antara periode haid
3. Mengalami dismenorea (yaitu periode yang menyakitkan)
4. Terasa nyeri saat ovulasi
5. Saat melakukan hubungan seksual merasa tidak nyaman atau sangan
menyakitkan
Kriteria Diagnosis
Nyeri tekan serta terasa kaku di daerah tuba yang dilakukan pada
pemeriksaan ginekologi. Selain itu mendiagnosis salpingitis dapat melibatkan
sejumlah tes, diantaranya termasuk:
1. Pemeriksaan secara umum yaitu untuk memeriksa adanya nyeri lokal serta
kelenjar getah bening
2. Tes darah yaitu untuk memeriksa jumlah dari sel darah putih serta faktor-faktor
yang lain yang menunjukkan adanya infeksi
3. Pemeriksaan panggul yaitu untuk memeriksa debit dan kelembutan
4. Lendir swab yaitu smear diambil yang tujuannya untuk dibiakkan dan
kemudian diperiksa di laboratorium agar bisa mengetahui jenis bakterinya
5. Laparoskopi yang biasanya juga dilakukan dalam beberapa kasus, karena
saluran tuba mungkin saja perlu dilihat oleh sebuah instrumen ramping yang
dimasukkan lewat sayatan perut.
Terapi
1. Pasien dianjurkan untuk melakukan tirah baring dengan posisi Fowler.
2. Berikanlah antibiotika spektrum luas dengan menggunakan dosis tinggi yaitu:
3. Diberikan Ampisilin 2 g i.v, lalu diberikan 1 g yaitu setiap 6 jam sekali
4. Dapat juga ditambah dengan Gentamisin sebanyak 5 mg/kg BB dilakukan
dengan cara i.v dengan menggunakan dosis tunggal per hari dan juga dapat diberikan
Metronidazol sebanyak 500 mg dengan cara i.v yaitu setiap 8 jam sekali.
5. Lanjutkanlah antibiotika ini hingga pasien tidak merasa panas dalam waktu 24
jam.
6. Adapun pilihan yang lain yang dapat diberikan yaitu Ampisilin sebanyak 3,5 gram
diberikan per oral, yang disusul dengan jumlah 500 mg sebanyak 4 x dalam sehari
yaitu dalam waktu 7 – 10 hari. Selain itu bisa juga diberikan robenesid sebanyak 1
gram dalam sehari yang diberikan secara per oral baik untuk alternatif yang pertama
maupun untuk alternatif yang kedua.
7. Selain itu pilihan yang lainnya yaitu diberikan Doksisiklin sebanyak 100 mg yaitu
2 x dalam sehari dalam waktu 10 hari.
8. Apabila pasien memakai AKDR, maka harus dicabut.
9. Apabila tata laksana yang telah disebutkan di atas sudah dilakukan namun tidak
dapat menolong, maka pasien sebaiknya segera dirujuk.
Referensi :
1. Anastasia,D. 2006. Aspects Concerning Frequency And Ethiology Of Vaginitis
In Pregnant Women. In:The Two Last Terms Of Pregnancy. Universitary Clinic
of Obstetrics and Gynecology “Bega” Timisoara.p.157-159
2. Mochamad, A. Ali, B. Prajitno, P.R. 2011.Ilmu Kandungan. Edisi ketiga. Jakarta.
PT Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo.

7. Kehamilan Normal
Tingkat Kemampuan : 4A
Definisi
Masa kehamilan dimulai dari konsepsi sampai lahir. Lama kehamilan
normal 40 minggu dihitung dari hari pertama haid terahir (HPHT). Untuk
menghindari terjadinya komplikasi pada kehamilan dan persalinan, maka setiap
ibu hamil dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan secara rutin minimal 4 kali
kunjungan selama masa kehamilan.
Manifestasi Klinis
Gejala dari kehamilan normal adalah haid yang terhenti, mual dan muntah
pada pagi hari, ngidam, sering buang air kecil, pengerasan dan pembesaran
payudara, puting susu lebih hitam. Pada kehamilan perlu diwaspadai hal-hal di
bawah ini:
1. Bila pada kehamilan sebelumnya terdapat riwayat obstetrik sebagai berikut:
a. Lahir mati atau bayi mati umur < 28 hari
b. > 3 abortus spontan
c. Berat badan bayi < 2500 gram
d. Berat badan bayi > 4500 gram
e. Dirawat di rumah sakit karena hipertensi, preeklampsia atau eklampsia
f. Operasi pada saluran reproduksi khususnya operasi seksiosesaria
2. Bila pada kehamilan saat ini:
a. Usia ibu di bawah 16 tahun atau di atas 35 tahun
b. Ibu memiliki rhesus (-)
c. Ada keluhanperdarahan vagina
3. Bila ibu memiliki salah satu masalah kesehatan di bawah ini:
a. Diabetes Mellitus/ kencing manis
b. Penyakit jantung
c. Penyakit ginjal
d. Penyalahgunaan obat
e. Konsumsi rokok, alkohol dan bahan adiktif lainnya
f. Penyakit menular TB, malaria, HIV/AIDS dan penyakit menular seksual
g. Penyakit kanker
Periksa tanda vital ibu (tekanan darah, nadi, suhu, frekuensi nafas), ukur
berat badan, tinggi badan, serta lingkar lengan atas (LLA) pada setiap kedatangan.
1. LLA> 33 cm, maka diduga obesitas, memiliki risiko preeklampsia dan diabetes
maternal, memiliki risiko melahirkan bayi dengan berat badan lebih
2. LLA< 23 cm, maka diduga undernutrisi atau memiliki penyakit kronis,
biasanya memiliki bayi yang lebih kecil dari ukuran normal
3. Keadaan muka diperhatikan adanya edema palpebra atau pucat, mata dan
konjungtiva dapat pucat,kebersihan mulut dan gigi dapat terjadi karies dan periksa
kemungkinan pembesaran kelenjar tiroid.
4. Pemeriksaan payudara: puting susu dan areola menjadi lebih menghitam.
5. Pemeriksaan dada:perhatikan suara paru dan bunyi jantung ibu
6. Pemeriksaan ekstremitas: perhatikan edema dan varises

Kriteria Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik/obstetrik, dan
pemeriksaan penunjang.
Tanda tak pasti kehamilan: Tes kehamilan menunjukkan HCG (+)
Tanda pasti kehamilan:
1. Bunyi jantung janin/BJJ (bila umur kehamilan/UK> 8 minggu) dengan BJJ
normal 120-160 kali per menit,
2. Gerakan janin (bila UK> 12 minggu)
3. Bila ditemukan adanya janin pada pemeriksaan Ultrasonografi (USG) dan
pemeriksaan obstetrik.
Kehamilan normal apabila memenuhi kriteria dibawah ini:
1. Keadaan umum baik
2. Tekanan darah<140/90 mmHg
3. Pertambahan berat badan sesuai minimal 8 kg selama kehamilan (1 kg
perbulan) atau sesuai Indeks Masa Tubuh (IMT) ibu
4. Edema hanya pada ekstremitas
5. BJJ =120-160 x/menit
6. Gerakan janin dapat dirasakan setelah usia 18 -20 minggu hingga melahirkan
7. Ukuran uterus sesuai umur kehamilan
8. Pemeriksaan fisik dan laboratorium dalam batas normal
9. Tidak ada riwayat kelainan obstetrik.
Terapi
Non Medikamentosa
1. Memberikan jadwal pemeriksaan berkala kepada calon ibu selama masa
kehamilan

2. Memberikan nasihat dan petunjuk yang berkaitan dengan kehamilan,


persalinan, kala nifas dan laktasi.
3. Tanda-tanda bahaya yang perlu diwaspadai: sakit kepala lebih dari biasa,
perdarahan per vaginam, gangguan penglihatan, pembengkakan pada
wajah/tangan, nyeri abdomen (epigastrium), mual dan muntah berlebihan, demam,
janin tidak bergerak sebanyak biasanya.
4. Pemberian makanan bayi, air susu ibu (ASI) eksklusif, dan inisiasi menyusu
dini (IMD).
5. Penyakit yang dapat mempengaruhi kesehatan ibu dan janin misalnya
hipertensi, TBC, HIV, serta infeksi menular seksual lainnya.
6. Perlunya menghentikan kebiasaan yang beresiko bagi kesehatan, seperti merokok
dan minum alkohol.
7. Program KB terutama penggunaan kontrasepsi pascasalin.
8. Minum cukup cairan.
9. Peningkatan konsumsi makanan hingga 300 kalori/hari dari menu seimbang.
Contoh: nasi tim dari 4 sendok makan beras, ½ pasang hati ayam, 1 potong tahu,
wortel parut, bayam, 1 sendok teh minyak goreng, dan 400 ml air.
10. Latihan fisik normal tidak berlebihan, istirahat jika lelah.
11. Ajarkan metoda mudah untuk menghitung gerakan janin dalam 12 jam, misalnya
dengan menggunakan karet gelang 10 buah pada pagi hari pukul 08.00 yang
dilepaskan satu per satu saat ada gerakan janin. Bila pada pukul 20.00, karet gelang
habis, maka gerakan janin baik.
Medikamentosa
1. Memberikan zat besi dan asam folat (besi 60 mg/hari dan folat 250 mikogram
1-2 kali/hari), bila Hb<7,0 gr/dl dosis ditingkatkan menjadi dua kali. Apabila
dalam follow up selama 1 bulan tidak ada perbaikan, dapatdipikirkan
kemungkinan penyakit lain (talasemia, infeksi cacing tambang, penyakit kronis
TBC)
2. Memberikanimunisasi TT(Tetanus Toxoid) apabila pasien memiliki risiko
terjadinya tetanus pada proses melahirkan dan buku catatan kehamilan.
Pada Ibu yang riwayat imunisasi tidak diketahui, pemberian sesuai dengan tabel di
berikut ini.
Konseling dan Edukasi
1. Persiapan persalinan, meliputi: siapa yang akan menolong persalinan, dimana
akan melahirkan, siapa yang akan membantu dan menemani dalam persalinan,
kemungkinan kesiapan donor darah bila timbul permasalahan, metode transportasi
bila diperlukan rujukan, dukungan biaya.
2. Pentingnya peran suami dan keluarga selama kehamilan dan persalinan.
3. Jika ibu merasakan tanda – tanda bahaya kehamilan, harus di waspadai dan segera
mengunjungi pelayanan kesehatan terdekat. Tanda bahaya yang wajib diwaspadai :
a. Sakit kepala yang tidak biasanya
b. Keluarnya darah dari jalan lahir
c. Terjadi gangguan penglihatan
d. Pembengkakan pada wajah / tangan
e. Mual dan muntah yang berlebihan
f. Demam
g. Gerakan janin yang tidak biasanya atau cenderung tidak bergerak
4. Keluarga diajak untuk mendukung ibu hamil secara psikologis maupun
finansial, bila memungkinkan siapkan suami siaga
5. Dukung intake nutrisi yang seimbang bagi ibu hamil.
6. Dukung ibu hamil untuk menghentikan pemberian ASI bila masih menyusui.
7. Dukung memberikan ASI eksklusif untuk bayi yang nanti dilahirkan.
8. Siapkan keluarga untuk dapat menentukan kemana ibu hamil harus dibawa bila
adaperdarahan, perut dan/atau kepala terasa sangat nyeri, dan tanda-tanda bahaya
lainnya, tulis dalam buku pemeriksaan alamat rujukan yang dapat dituju bila
diperlukan.
9. Dengan pasangan ibu hamil didiskusikan mengenai aktifitas seksual selama
kehamilan. Aktifitas seksual biasa dapat dilakukan selama kehamilan, posisi dapat
bervariasi sesuai pertumbuhan janin dan pembesaran perut. Kalau ibu hamil
merasa tidak nyaman ketika melakukan aktifitas seksual, sebaiknya
dihentikan.Aktifitas seksual tidak dianjurkan pada keadaan:
a. riwayat melahirkan prematur
b. riwayat abortus
c. perdarahan vagina atau keluar duhtubuh
d. plasenta previa atau plasenta letak rendah
e. serviks inkompeten
Referensi
1. Kementerian Kesehatan RI dan WHO.Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di
Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan.Jakarta : Kementerian Kesehatan RI.
2013(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013)
2. Prawirohardjo, S. Saifuddin, A.B. Rachimhadhi, T. Wiknjosastro Gulardi H. Ilmu
Kebidanan Sarwono Prawirohardjo. Edisi keempat cetakan ketiga. Jakarta: PT
Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.. 2010(Prawirohardjo, et al., 2010)

8. Hiperemesis Gravidarum
Tingkat Kemampuan : 3B
Definisi
Mual dan muntah yang terjadi pada awal kehamilan sampai umur
kehamilan 16 minggu. Mual dan muntah yang berlebihan, dapat mengakibatkan
dehidrasi, gangguan asam-basa dan elektrolit dan ketosis keadaan ini disebut
sebagai keadaan hiperemesis. Mual biasanya terjadi pada pagi hari, tapi dapat pula
timbul setiap saat dan malam hari. Mual dan muntah ini terjadi pada 60-80%
primigravida dan 40-60% multigravida. Mual dan muntah mempengaruhi hingga
> 50% kehamilan. Keluhan muntah kadang-kadang begitu hebat dimana segala
apa yang dimakan dan diminum dimuntahkan sehingga dapat mempengaruhi
keadaan umum dan mengganggu pekerjaan sehari-hari, berat badan menurun,
dehidrasi dan terdapat aseton dalam urin bahkan seperti gejala penyakit appendisitis,
pielitis, dan sebagainya.
Patofisiologi
Perasaan mual adalah akibat dari meningkatnya kadar estrogen yang biasa
terjadi pada trimester I. bila perasaan terjadi terus-menerus dapat mengakibatkan
cadangan karbohidrat dan lemak habis terpakai untuk keperluan energi. Karena
oksidasi lemak yang tak sempurna, terjadilah ketosis dengan tertimbunnya asam
aseto-asetik, asam hidroksida butirik dan aseton darah. Muntah menyebabkan
dehidrasi, sehingga caira ekstraseluler dan plasma berkurang. Natrium dan klorida
darah turun. Selain itu dehidrasai menyebabkan hemokonsentrasi, sehingga aliran
darah ke jaringan berkurang. Hal ini menyebabkan jumlah zat makanan dan oksigen
ke jaringan berkuang pula tertimbunnya zat metabolik yang toksik. Disamping
dehidrasi dan gangguan keseimbangan elektrolit. Disamping dehidraasi dan
gangguan keseimbangan elektrolit, dapat terjadi robekan pada selaput lendir
esofagus dan lambung (sindroma mollary-weiss), dengan akibat perdarahan
gastrointestinal.
Manifestasi Klinis
Keluhannya dapat berupa mual dan muntah hebat, ibu terlihat pucat, dan
kekurangan cairan. Gejala klinisnya dapat berupa muntah yang hebat, mual dan
sakit kepala terutama pada pagi hari (morning sickness), nafsu makan turun, berat
badan turun, nyeri epigastrium, lemas, rasa haus yang hebat, dan gangguan
kesadaran.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan pemeriksaan tanda vital: nadi
meningkat 100x/mnt, tekanan darah menurun (pada keadaan berat), subfebris, dan
gangguan kesadaran (keadaan berat). Pemeriksaan tanda-tanda dehidrasi: mata
cekung, bibir kering, turgor berkurang. Pemeriksaan generalis: kulit pucat,
sianosis, berat badan turun> 5% dari berat badan sebelum hamil, uterus besar
sesuai usia kehamilan, pada pemeriksaan inspekulo tampak serviks yang berwarna
biru.
Belum diketahui secara pasti namun diperkirakan erat kaitannya dengan
faktor- faktor :
1. Peningkatan hormon – hormon kehamilan.
2. Adanya riwayat hiperemesis pada kehamilan sebelumnya.
3. Status nutrisi: pada wanita obesitas lebih jarang di rawat inap karena
hiperemesis.
4. Psikologis: adanya stress dan emosi.
Kriteria Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Hiperemesis gravidarum apabila terjadi:
1. Mual muntah berat
2. Berat badan turun > 5% dari berat sebelum hamil
3. Ketonuria
4. Dehidrasi dan Ketidakseimbangan elektrolit
Klasifikasi hiperemesis gravidarum secara klinis dibagi menjadi 3 tingkatan,
antara lain:
1. Tingkat 1
Muntah yang terus menerus, timbul intoleransi terhadap makanan dan
minuman, berat badan menurun, nyeri epigastrium, muntah pertama keluar
makanan, lendir dan sedikit cairan empedu, dan yang terakhir keluar darah. Nadi
meningkat sampai 100 x/mnt, dan tekanan darah sistolik menurun. Mata cekung dan
lidah kering, turgor kulit berkurang, dan urin sedikit tetapi masih normal.
2. Tingkat 2
Gejala lebih berat, segala yang dimakan dan diminum dimuntahkan, haus
hebat, subfebris, nadi cepat lebih dari 100-140 x/mnt, tekanan darah sistolik
menurun, apatis, kulit pucat, lidah kotor, kadang ikterus, aseton, bilirubin dalam
urin, dan berat badan cepat menurun.
3. Tingkat 3
Walaupun kondisi tingkat 3 sangat jarang, yang mulai terjadi adalah
gangguan kesadaran (delirium-koma), muntah berkurang atau berhenti, tetapi
dapat terjadi, ikterus, sianosis, nistagmus, gangguan jantung, bilirubin, dan
proteinuria dalam urin.
Terapi
1. Non Medikamentosa
a. Mengusahakan kecukupan nutrisi ibu, termasuk suplemantasi vitamin dan asam
folat di awal kehamilan.
b. Makan porsi kecil, tetapi lebih sering.
c. Menghindari makanan yang berminyak dan berbau lemak.
d. Istirahat cukup dan hindari kelelahan.
e. Efekasi yang teratur.
2. Medikamentosa
Tatalaksana Umum
a. Bila perlu, berikan 10 mg Doksilamin dikombinasikan dengan 10 mg vitamin
B6 hingga 4 tablet/hari (misalnya 2 tablet saat akan tidur, 1 tablet saat pagi, dan 1
tablet saat siang).
b. Bila masih belum teratasi, tambahkan Dimenhidrinat 50-100 mg per oral atau
supositoria, 4-6 kali sehari (maksimal 200 mg/hari bila meminum 4 tablet
Doksilamin/Piridoksin), ATAU Prometazin 5-10 mg 3-4 kali sehari per oral atau
supositoria.
c. Bila masih belum teratasi, tapi tidak terjadi dehidrasi, berikan salah satu obat di
bawah ini:
- Klorpromazin 10-25 mg per oral atau 50-100 mg IM tiap 4-6 jam
- Proklorperazin 5-10 mg per oral atau IM atau supositoria tiap 6-8 jam
- Prometazin 12,5-25 mg per oral atau IM tiap 4-6 jam
- Metoklopramid 5-10 mg per oral atau IM tiap 8 jam
- Ondansetron 8 mg per oral tiap 12 jam
d. Bila masih belum teratasi dan terjadi dehidrasi, pasang kanula intravena dan
berikan cairan sesuai dengan derajat hidrasi ibu dan kebutuhan cairannya, lalu:
- Berikan suplemen multi vitamin IV
- Berikan dimenhidrinat 50 mg dalam 50 ml NaCl 0,9% IV selama 20 menit,
setiap 4-6 jam sekali
- Bila perlu, tambahkan salah satu obat berikut ini:
 Klorpromazin 25-50 mg IV tiap 4-6 jam
 Proklorperazin 5-10 mg IV tiap 6-8 jam
 Prometazin 12,5-25 mg IV tiap 4-6 jam
 Metoklopramid 5-10 mg tiap 8 jam per oral
- Bila perlu, tambahkan Metilprednisolon 15-20 mg IV tiap 8 jam ATAU
ondansetron 8 mg selama 15 menit IV tiap 12 jam atau 1 mg/ jam terus-menerus
selama 24 jam.
Konseling dan Edukasi
1. Memberikan informasi kepada pasien, suami, dan keluarga mengenai
kehamilan dan persalinansuatu proses fisiologik.
2. Memberikan keyakinan bahwa mual dan kadang-kadang muntah merupakan
gejala fisiologik pada kehamilan muda dan akan hilang setelah usia kehamilan 4
bulan.
3. Hindari kelelahan pada ibu dengan aktivitas berlebihan.
4. Memperhatikan kecukupan nutrisi ibu, dan sedapat mungkin mendapatkan
suplemen asam folat di awal kehamilan.
Kriteria Rujukan
1. Ditemukan gejala klinis dan ada gangguan kesadaran (tingkat 2 dan 3).
2. Adanya komplikasi gastroesopagheal reflux disease (GERD), ruptur esofagus,
perdarahan saluran cerna atas dan kemungkinan defisiensi vitamin terutama
thiamine.
3. Pasien telah mendapatkan tindakan awal kegawatdaruratan sebelum proses
rujukan.
Referensi
1. Kementerian Kesehatan RI dan WHO. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di
Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
2013(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013)
2. World Health Organization, KementerianKesehatan, PerhimpunanObstetri Dan
Ginekologi, IkatanBidan Indonesia. PelayananKesehatanIbu Di
FasilitasKesehatanDasar Dan Rujukan. Edisi I. Jakarta 2013. Hal 82-
3(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013)
3. Prawirohardjo, S. Saifuddin, A.B. Raschimhadhi, T. Wiknjosastro, G.H, 2010.
Ilmu Kebidanan. Ed 4. Cetakan ketiga. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo. 2010; Hal 814-818.(Prawirohardjo, et al., 2010)
4. Wiknjosastro,H.Hiperemesis Gravidarum dalamIlmu Kebidanan. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI. 2005: Hal 275-280.(Prawirohardjo, et al., 2010)
5. Ronardy, D.H. Ed. Obstetri Williams. Ed 18. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC. 2006:9, 996.(Ronardy, 2006)

9. Anemia Defisiensi Besi Pada Kehamilan


Tingkat Kemampuan : 4A
Definisi
Anemia dalam kehamilan adalah kelainan pada ibu hamil dengan kadar
hemoglobin < 11g/dl pada trimester I dan III atau <10,5 g/dl pada trimester II.
Penyebab tersering anemia pada kehamilan adalah defisiensi besi, perdarahan
akut, dan defisiensi asam folat.
Patofisiologi
Perubahan hermatologi sehubungan dengan kehamilan adalah oleh karena
perubahan sirkulasi yang semakin meningkat terhadap plasenta dan pertumbuhan
payudara. Volume plasma meningkat 45-65% dimulai pada trimester II kehamilan
dan maksimum terjadi pada bulan ke-9 dan meningkat sekitar 1000 ml, menurun
sedikit menjelang atern serta kembali normal 3 bulan setelah partus. Stimulasi
yang meningkatkan volume plasma seperti laktogen plasma, yang menyebabkan
peningkatan sekresi aldesteron.
Selama kehamilan kebutuhan tubuh akan zat besi meningkat sekitar 800-
1000 mg untuk mencukupi kebutuhan seperti terjadi peningkatan sel darah merah
membutuhkan 300-400 mg zat besi dan mencapai puncak pada usia kehamilan 32
minggu, janin membutuhkan zat besi sekitar 100-200 mg dan sekitar 190 mg
terbuang selama melahirkan. Dengan demikian jika cadangan zat besi sebelum
kehamilan berkurang maka pada saat hamil pasien dengan mudah mengalami
kekurangan zat besi.
Gangguan pencernaan dan absorbs zat besi bisa menyebabkan seseorang
mengalami anemia defisiensi besi. Walaupun cadangan zat besi didalam tubuh
mencukupi dan asupan nutrisi dan zat besi yang adikuat tetapi bila pasien mengalami
gangguan pencernaan maka zat besi tersebut tidak bisa diabsorbsi dan dipergunakan
oleh tubuh.
Anemia defisiensi besi merupakan manifestasi dari gangguan
keseimbangan zat besi yang negatif, jumlah zat besi yang diabsorbsi tidak
mencukupi kebutuhan tubuh. Pertama-tama untuk mengatasi keseimbanganyang
negatif ini tubuh menggunakan cadangan besi dalam jaringan cadangan. Pada saat
cadangan besi itu habis barulah terlihat tanda dan gejala anemia defisiensi besi.
Berkembangnya anemia dapat melalui empat tingkatan yang masing-
masing berkaitan dengan ketidaknormalan indikator hematologis tertentu.
Tingkatan pertama disebut dengan kurang besi laten yaitu suatu keadaan dimana
banyaknya cadangan besi yang berkurang dibawah normal namun besi didalam
sel darah merah dari jaringan tetap masih normal. Tingkatan kedua disebut anemia
kurang besi dini yaitu penurunan besi cadangan terus berlangsung sampai atau
hampir habis tetapi besi didalam sel darah merah dan jaringan belum berkurang.
Tingkatan ketiga disebut dengan anemia kurang besi lanjut yaitu besi didalam sel
darah merah sudah mengalami penurunan namun besi dan jaringan belum
berkurang. Tingkatan keempat disebut dengan kurang besi dalam jaringan yaitu besi
dalam jaringan sudah berkurang atau tidak ada sama sekali.
Manifestasi Klinis
Keluhannya dapat berupa adan lemah, lesu, mudah lelah, mata berkunang-
kunang, tampak pucat, telinga mendenging, dan pica: keinginan untuk memakan
bahan-bahan yang tidak lazim. Pada pemeriksaan fisik patognomonis didapatkan
konjungtiva anemis , atrofi papil lidah, stomatitis angularis (cheilosis), dan
koilonichia: kuku sendok (spoon nail).
Kriteria Diagnosis
Diagnosis klinis Kadar Hb < 11 g/dl (pada trimester I dan III) atau < 10,5
g/dl (pada trimester II). Apabila diagnosis anemia telah ditegakkan, lakukan
pemeriksaan apusan darah tepi untuk melihat morfologi sel darah merah.
Terapi
1. Lakukan penilaian pertumbuhan dan kesejahteraan janin dengan memantau
pertambahan ukuran janin
2. Bila pemeriksaan apusan darah tepi tidak tersedia, berikan tablet tambah darah
yang berisi 60 mg besi elemental dan 250 μg asam folat.Pada ibu hamil dengan
anemia, tablet besi diberikan 3 kali sehari.
3. Bila tersedia fasilitas pemeriksaan penunjang, tentukan penyebab anemia
berdasarkan hasil pemeriksaan darah perifer lengkap dan apus darah tepi. Bila
tidak tersedia, pasien bisa di rujuk ke pelayanan sekunder untuk penentuan jenis
anemia dan pengobatan awal.

Konseling dan Edukasi


1. Prinsip konseling pada anemia defisiensi besi adalah memberikan pengertian
kepada pasien dan keluarganya tentang perjalanan penyakit dan tata laksananya,
sehingga meningkatkan kesadaran dan kepatuhan dalam berobat serta meningkatkan
kualitas hidup pasien untuk mencegah terjadinya anemia defisiensi besi.
2. Diet bergizi tinggi protein terutama yang berasal dari protein hewani
(daging,ikan,susu, telur,sayuran hijau)
3. Pemakaian alas kaki untuk mencegah infeksi cacing tambang
Kriteria Rujukan
1. Pemeriksaan penunjang menentukan jenis anemia yang ibu derita
2. Anemia yang tidak membaik dengan pemberian suplementasi besi selama 3 bulan
3. Anemia yang disertasi perdarahan kronis, agar dicari sumber perdarahan dan
ditangani.
Referensi
KementerianKesehatan RI dan WHO. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di
Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan. Jakarta :KementerianKesehatan RI. 2013
(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013)

10. Pre-Eklampsia
Tingkat Kemampuan : 3B
Definisi
Pre-eklampsia merupakan kondisi spesifik pada kehamilan di atas 20
minggu yang ditandai dengan adanya disfungsi plasenta dan respon maternal
terhadap adanya inflamasi spesifik dengan aktivasi endotel dan koagulasi. Tanda
utama penyakit ini adanya hipertensi dan proteinuria. Pre-eklampsia merupakan
masalah kedokteran yang serius dan memiliki tingkat komplesitas yang tinggi.
Besarnya masalah ini bukan hanya karena pre-eklampsia berdampak pada ibu saat
hamil dan melahirkan, namun juga menimbulkan masalah pasca-persalinan.
Patofisiologi
1. Iskemia Plasenta
Peningkatan deportasi sel tropoblast yang akan menyebabkan kegagalan
invasi ke arteri sperialis dan akan menyebabkan iskemia pada plasenta.
2. Maladaptasi Imun
Terjadinya mal adaptasi imun dapat menyebabkan dangkalnya invasi sel
tropoblast pada arteri spiralis. Dan terjadinya disfungsi endothel dipicu oleh
pembentukan sitokin, enzim proteolitik, dan radikal bebas.
3. Genetic Inprenting
Terjadinya preeklampsia dan eklampsia mungkin didasarkan pada gen
resesif tunggal atau gen dominan dengan penetrasi yang tidaksempurna. Penetrasi
mungkin tergantung pada genotip janin.
4. PerbandinganVery Low Density Lipoprotein(VLDL) dan Toxicity Preventing
Activity (TxPA)
Sebagai kompensasi untuk peningkatan energi selama kehamilan, asam
lemak non-esterifikasi akan dimobilisasi. Pada wanita hamil dengan kadar
albumin yang rendah, pengangkatan kelebihan asam lemak non-esterifikasi dari
jaringan lemak ke dalam hepar akan menurunkan aktivitas antitoksik albumin
sampai pada titik di mana VLDL terekspresikan. Jika kadar VLDL melebihi
TxPA maka efektoksik dari VLDL akan muncul.
Dalam perjalanannya keempat faktor di atas tidak berdiri sendiri, tetapi
kadang saling berkaitan dengan titik temunya pada invasi tropoblast dan
terjadinya iskemia plasenta. Pada preeklampsia ada dua tahap perubahan yang
mendasari patogenesanya. Tahap pertama adalah: hipoksia plasenta yang terjadi
karena berkurangnya aliran darah dalam arteri spiralis. Hal ini terjadi karena
kegagalan invasi sel tropoblast pada dinding arteri spiralis pada awal kehamilan dan
awal trimester kedua kehamilan sehingga arteri spiralis tidak dapat melebar dengan
sempurna dengan akibat penurunan aliran darah dalam ruangan intervilus diplasenta
sehingga terjadilah hipoksia plasenta.
Hipoksia plasenta yang berkelanjutan ini akan membebaskan zat-zat toksis
seperti sitokin, radikal bebas dalam bentuk lipid peroksidase dalam sirkulasi darah
ibu, dan akan menyebabkan terjadinya oxidatif stress yaitu suatu keadaan di mana
radikal bebas jumlahnya lebih dominan dibandingkan antioksidan. Stres oksidatif
pada tahap berikutnya bersama dengan zat toksis yang beredar dapat merangsang
terjadinya kerusakan pada sel endothel pembuluh darah yang disebut disfungsi
endothel yang dapat terjadi pada seluruh permukaan endothel pembuluh darah
pada organ-organ penderita preeklampsia.
Pada disfungsi endothel terjadi ketidakseimbangan produksi zat-zat yang
bertindak sebagai vasodilator seperti prostasiklin dan nitrat oksida, dibandingkan
dengan vasokonstriktor seperti endothelium I, tromboxan, dan angiotensin II
sehingga akan terjadi vasokonstriksi yang luas dan terjadilah hipertensi.
Peningkatan kadar lipid peroksidase juga akan mengaktifkan sistem koagulasi,
sehingga terjadi agregasi trombosit dan pembentukan thrombus. Secara keseluruhan
setelah terjadi disfungsi endothel di dalam tubuh penderita
preeklampsia jika prosesnya berlanjut dapat terjadi disfungsi dan kegagalan organ
seperti:
1. Pada ginjal: hiperuricemia, proteinuria, dan gagal ginjal.
2. Penyempitan pembuluh darah sistemik ditandai dengan hipertensi.
3. Perubahan permeabilitas pembuluh darah ditandai dengan oedema paru dan
oedema menyeluruh.
4. Pada darah dapat terjadi trombositopenia dan coagulopathi.
5. Pada hepar dapat terjadi pendarahan dan gangguan fungsi hati.
6. Pada susunan syaraf pusat dan mata dapat menyebabkan kejang, kebutaan,
pelepasan retina, dan pendarahan.
7. Pada plasenta dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan janin, hipoksia janin,
dan solusio plasenta.
Vasokonstriksi merupakan dasar patogenesis Preeklampsia.
Vasokonstriksi menimbulkan peningkatan total perifer resisten dan menimbulkan
hipertensi. Adanya vasokonstriksi juga akan menimbulkan hipoksia pada endotel
setempat, sehingga terjadi kerusakan endotel, kebocoran arteriole disertai
perdarahan mikro pada tempat endotel. Selain itu Hubel mengatakan bahwa
adanya vasokonstriksi arteri spiralis akan menyebabkan terjadinya penurunan
perfusi uteroplasenter yang selanjutnya akan menimbulkan maladaptasi plasenta.
Hipoksia/ anoksia jaringan merupakan sumber reaksi hiperoksidase lemak,
sedangkan proses hiperoksidasi itu sendiri memerlukan peningkatan konsumsi
oksigen, sehingga dengan demikian akan mengganggu metabolisme di dalam sel
Peroksidase lemak adalah hasil proses oksidase lemak tak jenuh yang
menghasilkan hiperoksidase lemak jenuh. Peroksidase lemak merupakan radikal
bebas. Apabila keseimbangan antara perok sidase terganggu, dimana peroksidase
dan oksidan lebih dominan, maka akan timbul keadaan yang disebut stess
oksidatif.
Manifestasi Klinis
Keluhannya dapat berupa pusing dan nyeri kepala, nyeri ulu hati, pandangan
kurang jelas, dan mual hingga muntah.
Faktor risiko terdiri dari:
1. Kondisi-kondisi yang berpotensi menyebabkan penyakit mikrovaskular
(antaralain : diabetes melitus, hipertensi kronik, gangguan pembuluh darah)
2. Sindrom antibody antiphospholipid (APS)
3. Nefropati
4. Faktor risiko lainnya dihubungkan dengan kehamilan itu sendiri, dan faktor
spesifik dari ibu atau janin. a. Umur > 40 tahun b. Nullipara dan Kehamilan multipel
5. Obesitas sebelum hamil
6. Riwayat keluarga pre-eklampsia dan eklampsia
7. Riwayat pre-eklampsia pada kehamilan sebelumnyaasi Klinis
Kriteria Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasar anamnesis, gejala klinis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan.
Pemeriksaan Fisik
1. Pada pre-eklampsia ringan:
a. Tekanan darah . 140/90 mmHg pada usia kehamilan > 20 minggu
b. Tes celup urin menunjukkan proteinuria +1 atau pemeriksaan protein kuantitatif
menunjukkan hasil > 300 mg/24 jam
2. Pada pre-eklampsia berat:
a. Tekanan darah > 160/110 mmHg pada usia kehamilan > 20 minggu
b. Tes celup urin menunjukkan proteinuria +2 atau pemeriksaan protein kuantitatif
menunjukkan hasil > 5g/24 jam
c. Atau disertai keterlibatan organ lain:
- Trombositopenia (<100.000 sel/uL), hemolisis mikroangiopati
- Peningkatan SGOT/SGPT, nyeri abdomen kuadran kanan atas
- Sakit kepala, skotoma penglihatan
- Pertumbuhan janin terhambat, oligohidroamnion
- Edema paru atau gagal jantung kongestif • Oligouria (<500cc/24 jam), kreatinin
> 1.2 mg/dl
Terapi
Non Medikamentosa
1. Pre-eklampsia ringan
a. Dapat di rawat jalan dengan pengawasan dan kunjungan antenatal yang lebih
sering.
b. Dianjurkan untuk banyak istirhat dengan baring atau tidur miring. Namun tidak
mutlak selalu tirah baring
c. Diet dengan cukup protein dengan rendah karbohidar, lemak dan garam
secukupnya.
d. Pemantuan fungsi ginjal, fungsi hati, dan protenuria berkala
2. Pre-eklampsia berat
Segera melakukan perencanaan untuk rujukan segera ke Rumah Sakit dan
menghindari terjadi kejang dengan pemberian MgSO4.

Medikamentosa
1. Pantau keadaan klinis ibu tiap kunjungan antenatal: tekanan darah, berat badan,
tinggi badan, indeks masa tubuh, ukuran uterus dan gerakan janin.
Pertimbangan persalinan/terminasi kehamilan:
1. Pada ibu dengan preeklampsi berat dengan janin sudah viable namun usia
kehamilan belum mencapai 34 minggu, manajemen ekspektan dianjurkan, asalkan
tidak terdapat kontraindikasi.
2. Pada ibu dengan preeklampsi berat, dimana usia kehamilan 34-37 minggu,
manajemen ekspektan boleh dianjurkan, asalkan tidak terdapat hipertensi yang tidak
terkontrol, disfungsi organ ibu, dan gawat janin.
3. Pada ibu dengan preeklampsi berat yang kehamilannya sudah aterm, persalinan
dini dianjurkan.
4. Pada ibu dengan preeklampsia ringan atau hipertensi gestasional ringan yang
sudah aterm, induksi persalinan dianjurkan.
Konseling dan Edukasi
1. Memberikan informasi mengenai keadaan kesehatan ibu hamil dengan tekanan
darah yang tinggi.
2. Melakukan edukasi terhadapa pasien, suami dan keluarga jika menemukan gejala
atau keluhan dari ibu hamil segera memberitahu petugas kesehatan atau langsung
ke pelayanan kesehatan
3. Sebelum pemberian MgSO4, pasien terlebih dulu diberitahu akan mengalami rasa
panas dengan pemberian obat tersebut.
4. Suami dan keluarga pasien tetap diberi motivasi untuk melakukan
pendampingan terhadap ibu hamil selama proses rujukan
Kriteria Rujukan
1. Rujuk bila ada satu atau lebih gejala dan tanda-tanda preeklampsia berat ke
fasilitas pelayanan kesehatan sekunder.
2. Penanganan kegawatdaruratan harus di lakukan menjadi utama sebelum dan
selama proses rujukan hingga ke Pelayanan Kesehatan sekunder.
Referensi
1. Kementerian Kesehatan RI dan WHO.Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di
Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan.Jakarta : KementerianKesehatan RI.
2013(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013)
2. Report on the national high blood pressure education program working group
on high blood pressure in pregnancy. AJOG.2000: Vol.183. (National High Blood
Pressure Education Program Working Group on High Blood Pressure in Pregnancy,
2000)
3. Lana, K. Wagner, M.D. Diagnosis and management of pre-eklampsia. The
American Academy of Family Physicians. 2004 Dec 15; 70 (12): 2317-
2324).(Lana & Wagner, 2004)
4. Cunningham, F.G. et.al. Hypertensive Disorder in Pregnancy. Williams
Obstetrics. 21st Ed. Prentice Hall International Inc. Connecticut: Appleton and
Lange. 2001; p. 653 - 694.(Cunningham, et al., 2001)
5. Prawirohardjo, S. Saifuddin, A.B. Rachimhadhi, T. Wiknjosastro Gulardi H. Ilmu
Kebidanan Sarwono Prawirohardjo. Edisi keempat cetakan ketiga. Jakarta
:PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.. 2010: Hal 550-554.(Prawirohardjo, et
al., 2010)
6. KementerianKesehatan RI. PedomanNasionalPelayananKedokteran : Diagnosis
dan Tata Laksana Pre-eklampsia. Jakarta: KementerianKesehatan RI.
2013.(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013)

11. Eklampsia
Tingkat Kemampuan : 3B
Definisi
Eklampsia merupakan kasus akut pada penderita pre-eklampsia, yang
disertai dengan kejang menyeluruh dan atau koma. Sama halnya dengan pre-
eklampsia, eklampsia dapat timbul pada ante, intra, dan post partum. Eklampsia post
partum umumnya hanya terjadi dalam waktu 24 jam pertama setelah persalinan. 50-
60% kejadian eklampsia terjadi dalam keadaan hamil. 30-35% kejadian eklampsia
terjadi pada saat inpartu, dan sekitar 10% terjadi setelah persalinan. Pada negara
berkembang kejadian ini berkisar 0,3-0,7%. Di Indonesia Pre eklampsia dan
eklampsia penyebab kematian ibu berkisar 15-25%, sedangkan
45-50% menjadi penyebab kematian bayi.
Patofisiologi
1. Iskemia Plasenta
Peningkatan deportasi sel tropoblast yang akan menyebabkan kegagalan
invasi ke arteri sperialis dan akan menyebabkan iskemia pada plasenta.
2. Maladaptasi Imun
Terjadinya mal adaptasi imun dapat menyebabkan dangkalnya invasi sel
tropoblast pada arteri spiralis. Dan terjadinya disfungsi endothel dipicu oleh
pembentukan sitokin, enzim proteolitik, dan radikal bebas.
3. Genetic Inprenting
Terjadinya preeklampsia dan eklampsia mungkin didasarkan pada gen
resesif tunggal atau gen dominan dengan penetrasi yang tidaksempurna. Penetrasi
mungkin tergantung pada genotip janin.
4. PerbandinganVery Low Density Lipoprotein(VLDL) dan Toxicity Preventing
Activity (TxPA)
Sebagai kompensasi untuk peningkatan energi selama kehamilan, asam
lemak non-esterifikasi akan dimobilisasi. Pada wanita hamil dengan kadar
albumin yang rendah, pengangkatan kelebihan asam lemak non-esterifikasi dari
jaringan lemak ke dalam hepar akan menurunkan aktivitas antitoksik albumin
sampai pada titik di mana VLDL terekspresikan. Jika kadar VLDL melebihi
TxPA maka efektoksik dari VLDL akan muncul.
Dalam perjalanannya keempat faktor di atas tidak berdiri sendiri, tetapi
kadang saling berkaitan dengan titik temunya pada invasi tropoblast dan
terjadinya iskemia plasenta. Pada preeklampsia ada dua tahap perubahan yang
mendasari patogenesanya. Tahap pertama adalah: hipoksia plasenta yang terjadi
karena berkurangnya aliran darah dalam arteri spiralis. Hal ini terjadi karena
kegagalan invasi sel tropoblast pada dinding arteri spiralis pada awal kehamilan dan
awal trimester kedua kehamilan sehingga arteri spiralis tidak dapat melebar dengan
sempurna dengan akibat penurunan aliran darah dalam ruangan intervilus diplasenta
sehingga terjadilah hipoksia plasenta.
Hipoksia plasenta yang berkelanjutan ini akan membebaskan zat-zat toksis
seperti sitokin, radikal bebas dalam bentuk lipid peroksidase dalam sirkulasi darah
ibu, dan akan menyebabkan terjadinya oxidatif stress yaitu suatu keadaan di mana
radikal bebas jumlahnya lebih dominan dibandingkan antioksidan. Stres oksidatif
pada tahap berikutnya bersama dengan zat toksis yang beredar dapat merangsang
terjadinya kerusakan pada sel endothel pembuluh darah yang disebut disfungsi
endothel yang dapat terjadi pada seluruh permukaan endothel pembuluh darah
pada organ-organ penderita preeklampsia.
Pada disfungsi endothel terjadi ketidakseimbangan produksi zat-zat yang
bertindak sebagai vasodilator seperti prostasiklin dan nitrat oksida, dibandingkan
dengan vasokonstriktor seperti endothelium I, tromboxan, dan angiotensin II
sehingga akan terjadi vasokonstriksi yang luas dan terjadilah hipertensi.
Peningkatan kadar lipid peroksidase juga akan mengaktifkan sistem koagulasi,
sehingga terjadi agregasi trombosit dan pembentukan thrombus. Secara keseluruhan
setelah terjadi disfungsi endothel di dalam tubuh penderita
preeklampsia jika prosesnya berlanjut dapat terjadi disfungsi dan kegagalan organ
seperti:
1. Pada ginjal: hiperuricemia, proteinuria, dan gagal ginjal.
2. Penyempitan pembuluh darah sistemik ditandai dengan hipertensi.
3. Perubahan permeabilitas pembuluh darah ditandai dengan oedema paru dan
oedema menyeluruh.
4. Pada darah dapat terjadi trombositopenia dan coagulopathi.
5. Pada hepar dapat terjadi pendarahan dan gangguan fungsi hati.
6. Pada susunan syaraf pusat dan mata dapat menyebabkan kejang, kebutaan,
pelepasan retina, dan pendarahan.
7. Pada plasenta dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan janin, hipoksia janin,
dan solusio plasenta.
Vasokonstriksi merupakan dasar patogenesis Preeklampsia.
Vasokonstriksi menimbulkan peningkatan total perifer resisten dan menimbulkan
hipertensi. Adanya vasokonstriksi juga akan menimbulkan hipoksia pada endotel
setempat, sehingga terjadi kerusakan endotel, kebocoran arteriole disertai
perdarahan mikro pada tempat endotel. Selain itu Hubel mengatakan bahwa
adanya vasokonstriksi arteri spiralis akan menyebabkan terjadinya penurunan
perfusi uteroplasenter yang selanjutnya akan menimbulkan maladaptasi plasenta.
Hipoksia/ anoksia jaringan merupakan sumber reaksi hiperoksidase lemak,
sedangkan proses hiperoksidasi itu sendiri memerlukan peningkatan konsumsi
oksigen, sehingga dengan demikian akan mengganggu metabolisme di dalam sel
Peroksidase lemak adalah hasil proses oksidase lemak tak jenuh yang
menghasilkan hiperoksidase lemak jenuh. Peroksidase lemak merupakan radikal
bebas. Apabila keseimbangan antara perok sidase terganggu, dimana peroksidase
dan oksidan lebih dominan, maka akan timbul keadaan yang disebut stess
oksidatif.
Manifestasi Klinis
Kejang yang diawali dengan gejala-gejala prodromal eklampsia, antara
lain: nyeri kepala hebat, gangguan penglihatan, muntah-muntah, nyeri ulu hati
atau abdomen bagian atas, dan kenaikan progresif tekanan darah. Faktor risiko
antara lain:
1. Kondisi-kondisi yang berpotensi menyebabkan penyakit mikrovaskular (antara
lain: diabetes melitus, hipertensi kronik, gangguan pembuluh darah dan jaringan
ikat)
2. Sindrom antibody antiphospholipid, dan nefropati. Faktor risiko lainya
dihubungkan dengan kehamilan itu sendiri, dan faktor spesifik dari ibu atau ayah
janin.
3. Riwayat preeklampsia ringan dan berat dalam kehamilan sebelumnya. Hasil
Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)
Pada pemeriksaan fisik didapatkan pemeriksaan keadaan umum: sadar
atau penurunan kesadaran Glasgow Coma Scale dan Glasgow-Pittsburg Coma
Scoring System. Pada tingkat awal atau aura yang berlangsung 30 sampai 35
detik, tangan dan kelopak mata bergetar, mata terbuka dengan pandangan kosong,
tahap selanjutnya timbul kejang, pada pemeriksaan tanda vital adanya
peningkatan tekanan darah diastol >110 mmHg, sianosis, skotoma penglihatan,
dan dapat ditemukan adanya tanda-tanda edema paru dan atau gagal jantung.
Kriteria Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasar anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang.
Terapi
Non Medikamentosa
Pengelolaan Kejang:
1. Pemberian obat anti kejang.
2. Masukan sudap lidah ke dalam mulut penderita.
3. Baringkan pasien pada sisi kiri, posisi trendelenburg untuk mengurangi risiko
aspirasi.
4. Katerisasi urine untuk pengukuran cairan dan pemeriksaan proteinuria.
5. Beberapa keluarga pasien membantu untuk menjaga pasien tidak terjatuh dari
tempat tidur saat kejang timbul
6. Beri O2 4 - 6 liter permenit.
Medikamentosa
1. MgSO4 diberikan intravena dengan dosis awal 4 g (10 ml MgSO4 40%,
larutkan dalam 10 ml akuades) secara perlahan selama 20 menit, jika pemberian
secara intravena sulit, dapat diberikan secara IM dengan dosis 5 mg masing
bokong kanan dan kiri. Adapun syarat pemberian MgSO4:
a. tersedianya CaGlukonas10%
b. ada refleks patella
c. jumlah urin minimal 0,5 ml/kgBB/jam d. frekuensi napas 12-16x/menit.
2. Sambil menunggu rujukan, mulai dosis rumatan 6 g MgSO4 (15ml MgSO4
40%, larutkan dalam 500 ml larutan Ringer Laktat/ Ringer asetat) 28 tetes/ menit
selama 6 jam dan diulang hingga 24 jam setelah persalinan atau kejang berakhir.
3. Pada kondisi di mana MgSO4 tidak dapat diberikan seluruhnya, berikan dosis
awal (loading dose) lalu rujuk ibu segera ke fasilitas kesehatan sekunder.
4. Diazepam juga dapat dijadikan alternatif pilihan dengan dosis 10 mg IV selama
2 menit (perlahan), namun mengingat dosis yang dibutuhkan sangat tinggi dan
memberi dampak pada janin, maka pemberian diazepam hanya dilakukan apabila
tidak tersedia MgSO4.
5. Stabilisasi selama proses perjalanan rujukan
a. Lakukan pemeriksaan fisik tiap jam, meliputi tekanan darah, frekuensi nadi,
frekuensi pernapasan, refleks patella.
b. Bila frekuensi pernapasan < 16 x/menit, dan/atau tidak didapatkan refleks
tendon patella, danatau terdapat oliguria (produksi urin <0,5 ml/kg BB/jam),
segera hentikan pemberian MgSO4.
6. Jika terjadi depresi napas, berikan Ca glukonas 1 g IV (10 ml larutan 10%)
bolus dalam 10 menit.
Kriteria Rujukan
Eklampsia merupakan indikasi rujukan yang wajib di lakukan.
Referensi
1. Prawirohardjo, S. Saifuddin, A.B. Rachimhadhi, T. Wiknjosastro Gulardi H. Ilmu
Kebidanan Sarwono Prawirohardjo. Edisi keempat cetakan ketiga. Jakarta:
PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 2010: Hal 550-554.(Prawirohardjo, et
al., 2010)
2. Kementerian Kesehatan RI dan WHO. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di
Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan.Jakarta: KementerianKesehatan RI.
2013.(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013)

12. Abortus
Tingkat Kemampuan : Abortus komplit 4A
Abortus inkomplit 3B
Abortus insipiens 3B
Definisi
Abortus ialah ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin
dapat hidup diluar kandungan,dan sebagai batasan digunakan kehamilan kurang dari
20 minggu atau berat anak kurang dari 500 gram. Jenis dan derajat abortus :
1. Abortus imminens adalah abortus tingkat permulaan, dimana terjadi perdarahan
pervaginam ostium uteri masih tertutup dan hasil konsepsi masih baik dalam
kandungan.
2. Abortus insipiens adalah abortus yang sedang mengancam dimana serviks telah
mendatar dan ostium uteri telah membuka, akan tetapi hasil konsepsi masih dalam
kavum uteri.
3. Abortus inkomplit adalah sebagian hasil konsepsi telah keluar dari kavum uteri
masih ada yang tertinggal.
4. Abortus komplit adalah seluruh hasil konsepsi telah keluar dari kavum uteri
pada kehamilan kurang dari 20 minggu.
Patofisiologi
Patofisiologi terjadinya keguguran mulai dari terlepasnya sebagian atau
seluruh jaringan plasenta, yang menyebabkan perdarahan sehingga janin
kekurangan nutrisi dan O2. Pengeluaran tersebut dapat terjadi spontan seluruhnya
atau sebagian masih tertinggal, yang menyebabkan berbagai penyulit. Oleh karena
itu keguguran memberikan gejala umum sakit perut karena kontraksi rahim,
terjadi perdarahan, dan disertai pengeluaran seluruh atau sebagian hasil konsepsi.
Bentuk perdarahan bervariasi diantaranya :
1. Sedikit-sedikit dan berlangsung lama
2. Sekaligus dalam jumlah besar dapat disertai gumpalan
3. Akibat perdarahan, dapat menimbulkan syok, nadi meningkat, tekanan darah
turun, tampak anemis dan daerah ujung (akral) dingin.
Manifestasi Klinis
Keluhan yang terdapat pada pasien abortus antara lain:
1. Abortus imminens
a. Riwayat terlambat haid dengan hasil B HCG (+) dengan usia kehamilan
dibawah 20 minggu
b. Perdarahan pervaginam yang tidak terlalu banyak, berwarna kecoklatan dan
bercampur lendir
c. Tidak disertai nyeri atau kram
2. Abortus insipiens
a. Perdarahan bertambah banyak, berwarna merah segar disertai terbukanya
serviks
b. Perut nyeri ringan atau spasme (seperti kontraksi saat persalinan)
3. Abortus inkomplit
a. Perdarahan aktif
b. Nyeri perut hebat seperti kontraksi saat persalinan
c. Pengeluaran sebagian hasil konsepsi
d. Mulut rahim terbuka dengan sebagian sisa konsepsi tertinggal
e. Terkadang pasien datang dalam keadaan syok akibat perdarahan
4. Abortus komplit
a. Perdarahan sedikit
b. Nyeri perut atau kram ringan
c. Mulut rahim sudah tertutup
d. Pengeluaran seluruh hasil konsepsi
Pada pemeriksaan fisik didapatkan:
1. Penilaian tanda vital (tekanan darah, nadi, respirasi, suhu)
2. Penilaian tanda-tanda syok
3. Periksa konjungtiva untuktanda anemia
4. Mencari ada tidaknya massa abdomen
5. Tanda-tanda akut abdomen dan defans musculer
6. Pemeriksaan ginekologi, ditemukan:
a. Abortus iminens
- Osteum uteri masih menutup
- Perdarahan berwarna kecoklatan disertai lendir
- Ukuran uterus sesuai dengan usia kehamilan
- Detak jantung janin masih ditemukan
b. Abortus insipiens
- Osteum uteri terbuka, dengan terdapat penonjolan kantong dan didalamnya
berisi cairan ketuban
- Perdarahan berwarna merah segar
- Ukuran uterus sesuai dengan usia kehamilan
- Detak jantung janin masih ditemukan
c. Abortus inkomplit
- Osteum uteri terbuka, dengan terdapat sebagian sisa konsepsi
- Perdarahan aktif
- Ukuran uterus sesuai usia kehamilan
d. Abortus komplit
- Osteum uteri tertutup
- Perdarahan sedikit
- Ukuran uterus lebih kecil usia kehamilan
Kriteria Diagnosis
Terapi
Pada keadaan abortus kondisi ibu bisa memburuk dan menyebabkan
komplikasi. Hal pertama yang harus dilakukan adalah penilaian cepat terhadap
tanda vital (nada, tekanan darah, pernasapan dan suhu).
Pada kondisi di jumpai tanda sepsis atau dugaan abortus dengan komplikasi,
berikan antibiotika dengan kombinasi:
1. Ampicilin 2 gr IV /IM kemudian 1 gr setiap 6 jam
2. Gentamicin 5 mg/KgBB setiap 24 jam
3. Metronidazole 500 mg IV setiap 8 jam
4. Segera melakukan rujukan ke pelayanan kesehatan Sekunder / RS
Penatalaksaan khusus sesuai dengan jenis abortus
1. Abortus imminens:
a. Pertahankan kehamilan
b. Tidak perlu pengobatan khusus
c. Jangan melakukan aktivitas fisik berlebihan atau hubungan seksual
d. Jika perdarahan berhenti, pantau kondisi ibu selanjutnya pada pemeriksaan
antenatal termasuk pemantauan kadar Hb dan USG panggul serial setiap 4
minggu. Lakukan penilaian ulang bila perdarahan terjadi lagi
e. Jika perdarahan tidak berhenti, nilai kondisi janin dengan USG, nilai
kemungkinan adanya penyebab lain.
f. Tablet penambah darah
g. Vitamin ibu hamil diteruskan
2. Abortus insipiens
a. Lakukan konseling untuk menjelaskan kemungkinan risiko dan rasa tidak nyaman
selama tindakan evakuasi, serta memberikan informasi mengenai kontrasepsi paska
keguguran.
b. Jika usia kehamilan < 16 minggu : lakukan evakuasi isi uterus; Jika evakuasi tidak
dapat dilakuka segera: berikan ergometrin 0.2 mg IM (dapat diulang 15 menit
kemudian bila perlu)
c. Jika usia kehamilan > 16 minggu:
Tunggu pengeluaran hasil konsepsi secara spontan dan evakuasi hasil konsepsi
dari dalam uterus. Bila perlu berikan infus oksitosin 40 IU dalam 1 L NaCl 0,9%
atau RL dengan kecepatan 40 tetes per menit
d. Lakukan pemantauan paska tindakan setiap 30 menit selama 2 jam, Bila kondisi
baik dapat dipindahkan ke ruang rawat.
e. Lakukan pemeriksaan jaringan secara makroskopik dan kirimkan untuk
pemeriksaan patologi ke laboratorium
f. Lakukan evaluasi tanda vital, perdarahan pervaginam, tanda akut abdomen, dan
produksi urin tiap 6 jam selama 24 jam. Periksa kadar Hb setelah 24 jam. Bila kadar
Hb > 8gr/dl dan keadaan umum baik, ibu diperbolehkan pulang
3. Abortus inkomplit
a. Lakukan konseling
b. Observasi tanda vital (tensi, nadi, suhu, respirasi)
c. Evaluasi tanda-tanda syok, bila terjadi syok karena perdarahan, pasang IV line
(bila perlu 2 jalur) segera berikan infus cairan NaCl fisiologis atau cairan ringer
laktat disusul dengan darah.
d. Jika perdarahan ringan atau sedang dan kehamilan <16 minggu, gunakan jari
atau forcep cincin untuk mengeluarkan hasil konsepsi yang mencuat dari serviks
Jika perdarahan berat dan usia kehamilan < 16 minggu, lakukan evakuasi isi
uterus. Aspirasi vakum manual (AVM) merupakan metode yang dianjurkan.
Kuret tajam sebaiknya hanya dilakukan apabila AVM tidak tersedia. Jika evakuasi
tidak dapat dilakuka segera: berikan ergometrin 0.2 mg IM (dapat diulang 15
menit kemudian bila perlu)
e. Jika usia kehamilan > 16 minggu berikan infus oksitosin 40 IU dalam 1 L NaCl
0,9% atau RL dengan kecepatan 40 tetes per menit
f. Lakukan pemantauan paska tindakan setiap 30 menit selama 2 jam, Bila kondisi
baik dapat dipindahkan ke ruang rawat.
g. Lakukan pemeriksaan jaringan secara makroskopik dan kirimkan untuk
pemeriksaan patologi ke laboratorium
h. Lakukan evaluasi tanda vital, perdarahan pervaginam, tanda akut abdomen, dan
produksi urin tiap 6 jam selama 24 jam. Periksa kadar Hb setelah 24 jam. Bila kadar
Hb > 8gr/dl dan keadaan umum baik, ibu diperbolehkan pulang
4. Abortus komplit
Tidak memerlukan pengobatan khusus, hanya apabila menderita anemia
perlu diberikan sulfas ferosus dan dianjurkan supaya makanannya mengandung
banyak protein, vitamin dan mineral.
Pencegahan
1. Pemeriksaan rutin antenatal
2. Makan makanan yang bergizi (sayuran, susu,ikan, daging,telur).
3. Menjaga kebersihan diri, terutama daerah kewanitaan dengan tujuan mencegah
infeksi yang bisa mengganggu proses implantasi janin.
4. Hindari rokok, karena nikotin mempunyai efek vasoaktif sehingga menghambat
sirkulasi uteroplasenta.
5. Apabila terdapat anemia sedang berikan tablet Sulfas Ferosus 600 mg/hari
selama 2 minggu,bila anemia berat maka berikan transfusi darah.
Rencana Tindak Lanjut
1. Melakukan konseling untuk memberikan dukungan emosional
2. Menganjurkan penggunaan kontrasepsi pasca keguguran karena kesuburan
dapat kembali kira-kira 14 hari setelah keguguran. Untuk mencegah kehamilan, Alat
Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR) umumnya dapat dipasang secara aman setelah
aborsi spontan atau diinduksi. Kontraindikasi pemasangan AKDR pasca keguguran
antara lain adalah infeksi pelvik, abortus septik, atau komplikasi serius lain dari
abortus.
3. Follow up dilakukan setelah 2 minggu.
Kriteria Rujukan
Abortus Insipiens, Abortus Inkomplit, perdarahan yang banyak, nyeri perut, ada
pembukaan serviks, demam, darah cairan berbau dan kotor
Referensi
1. Saifuddin, A.B. Ilmu Kebidanan. Perdarahan pada kehamilan muda. Ed 4.
Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawihardjo.2009: p. 460-
474.(Prawirohardjo, et al., 2010)
2. KementerianKesehatan RI dan WHO. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di
Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan. Jakarta: KementerianKesehatan RI.
2013(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013)
3. Saifuddin, A.B. Buku Acuan Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal.
Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 2001; 146-
147.(Saifuddin, 2011)

13. Ketuban Pecah Dini


Tingkat Kemampuan : 3A
Definisi
Ketuban pecah dini adalah keadaan pecahnya selaput ketuban sebelum
persalinan atau dimulainya tanda inpartu. Bila ketuban pecah dini terjadi sebelum
usia kehamilan 37 minggu disebut ketuban pecah dini pada kehamilan prematur.
Dalam keadaan normal 8-10% perempuan hamil aterm akan mengalami ketuban
pecah dini. Ketuban pecah dini prematur terjadi pada 1% kehamilan. Ketuban pecah
dini pada kehamilan prematur disebabkan oleh adanya faktor-faktor eksternal,
misalnya infeksi yang menjalar dari vagina. Ketuban pecah dini prematur sering
terjadi pada polihidramnion, inkompeten serviks, dan solusio plasenta.
Patofisiologi
Pada kondisi yang normal kolagen terdapat pada lapisan kompakta
amnion, fibroblast, jaringan retikuler korion dan trofoblas, sintesis maupun
degradasi jaringan kolagen dikontrol oleh system aktifitas dan inhibisi interleukin
-1 (iL-1) dan prostaglandin, tetapi karena ada infeksi dan inflamasi, terjadi
peningkatan aktifitas iL-1 dan prostaglandin, menghasilkan kolagenase jaringan,
sehingga terjadi depolimerasi kolagen pada selaput korion/amnion, menyebabkan
ketuban tipis, lemah dan mudah pecah spontan sehingga terjadi ketuban pecah
dini.
Manifestasi Klinis
Keluhannya dapat berupa terasa keluar air dari jalan lahir, biasanya tanpa
disertai dengan kontraksi atau tanda inpartu, adanya riwayat keluarnya air ketuban
berupa cairan jernih keluar dari vagina yang kadang-kadang disertai tanda-tanda lain
dari persalinan. Pada anamnesis, hal-hal yang perlu digali adalah menentukan usia
kehamilan, adanya cairan yang keluar dari vagina, warna cairan yang keluar dari
vagina, dan adanya demam.
Faktor risiko dapat berupa multiparitas, hidramnion, kelainan letak:
sungsang atau melintang, kehamilan ganda, Cephalo Pelvic Disproportion,
infeksi, dan perdarahan antepartum. Hasil pemeriksaan fisis dapat berupa tercium
bau khas ketuban, apakah memang air ketuban keluar dari kanalis servikalis pada
bagian yang sudah pecah, lihat dan perhatikan atau terdapat cairan ketuban pada
forniks posterior, menentukan pecahnya selaput ketuban dengan adanya cairan
ketuban di vagina. Pastikan bahwa cairan tersebut adalah cairan amnion dengan
memperhatikan bau cairan ketuban yang khas. Jika tidak ada cairan amnion, dapat
dicoba dengan menggerakkan sedikit bagian terbawah janin atau meminta pasien
batuk atau mengejan, tidak ada tanda inpartu, dan pemeriksaan fisik dilakukan untuk
menilai adanya tanda-tanda infeksi pada ibu dengan mengukur suhu tubuh (suhu ≥
380C).
Kriteria Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasar anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
penunjang. Pada pemeriksaan penunjang:
1. Pemeriksaan pH vagina (cairan ketuban) dengan kertas lakmus (Nitrazin test)
dari merah menjadi biru, sesuai dengan sifat air ketuban yang alkalis
2. Pemeriksaan mikroskopis tampak gambaran pakis yang mengering pada sekret
serviko vaginal.
3. Dilakukan dengan meneteskan air ketuban pada gelas objek dan dibiarkan
mengering. Pemeriksaan mikroskopik menunjukkan gambaran daun pakis.
4. Pemeriksaan darah rutin, leukosit> 15.000/mm3.
Terapi
1. Pembatasan aktivitas pasien.
2. Apabila belum inpartu berikan Eritromisin 4x250 mg selama 10 hari.
3. Segera rujuk pasien ke fasilitas pelayanan sekunder
4. Di RS rujukan:
a. 34 minggu: lakukan induksi persalinan dengan oksitosin bila tidak ada
kontraindikasi
b. 24-33 minggu: Bila terdapat amnionitis, abruptio plasenta, dan kematian janin,
lakukan persalinan segera. Berikan Deksametason 6 mg IM tiap 12 jam selama 48
jam atau betametason 12 mg IM tiap 24 jam selama 48 jam. Lakukan pemeriksaan
serial untuk menilai kondisi ibu dan janin. Bayi dilahirkan di usia 34 minggu, bila
dapat dilakukan pemeriksaan kematangan paru dan hasil menunjukan bahwa paru
sudah matang.
c. < 24 minggu: Pertimbangan dilakukan dengan melihat risiko ibu dan janin.
Lakukan konseling pada pasien. Terminasi kehamilan mungkin menjadi pilihan.
Jika
Konseling dan Edukasi
1. Memberikan informasi kepada ibu, adanya air ketuban yang keluar sebelum tanda
inpartu
2. Menenangkan ibu dan memberitahu kepada suami dan keluarga agar ibu dapat
diberi kesempatan untuk tirah baring.
3. Memberi penjelasan mengenai persalinan yang lebih cepat dan rujukan yang akan
dilakukan ke pusat pelayanan sekunder.
Kriteria rujukan
Ibu hamil dengan keadaan ketuban pecah dini merupakan kriteria rujukan ke
pelayanan kesehatan sekunder. terjadi infeksi (koroiamnionitis), lakukan tatalaksana
koriamnionitis.
Referensi
1. Prawirohardjo, S. Saifuddin, A.B. Rachimhadhi, T. Wiknjosastro Gulardi H. Ilmu
Kebidanan Sarwono Prawirohardjo.Edisi keempat cetakan ketiga. Jakarta: PT
Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 2010: Hal 677-680.(Prawirohardjo, et al.,
2010)
2. KementerianKesehatan RI dan WHO. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di
Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan. Jakarta: KementerianKesehatan RI.
2013(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013)

14. Perdarahan Post Partum / Perdarahan Pascasalin


Tingkat Kemampuan : 3B
Definisi
Perdarahan post partum (PPP) adalah perdarahan yang masif yang berasal
dari tempat implantasi plasenta, robekan pada jalan lahir, dan jaringan sekitarnya
dan merupakan salah satu penyebab kematian ibu disamping perdarahan karena
hamil ektopik dan abortus. Definisi perdarahan post partum adalah perdarahan pasca
persalinan yang melebihi 500 ml setelah bayi lahir atau yang berpotensi
mengganggu hemodinamik ibu. Berdasarkan saat terjadinya, PPP dapat dibagi
menjadi PPP primer dan PPP sekunder. PPP primer adalah perdarahan post
partum yang terjadi dalam 24 jam pertama setelah persalinan dan biasanya
disebabkan oleh atonia uteri, robekan jalan lahir, dan sisa sebagian plasenta.
Sementara PPP sekunder adalah perdarahan pervaginam yang lebih banyak dari
normal antara 24 jam hingga 12 minggu setelah persalinan, biasanya disebabkan
oleh sisa plasenta.
Kematian ibu 45% terjadi pada 24 jam pertama setelah bayi lahir, 68-73%
dalam satu minggu setelah bayi lahir, dan 82-88% dalam dua minggu setelah bayi
lahir.
Patofisiologi
Pada dasarnya perdarahan terjadi karena pembuluh darah didalam uterus
masih terbuka. Pelepasan plasenta memutuskan pembuluh darah dalam stratum
spongiosum sehingga sinus-sinus maternalis ditempat insersinya plasenta terbuka.
Pada waktu uterus berkontraksi, pembuluh darah yang terbuka tersebut akan
menutup, kemudian pembuluh darah tersumbat oleh bekuan darah sehingga
perdarahan akan terhenti. Adanya gangguan retraksi dan kontraksi otot uterus,
akan menghambat penutupan pembuluh darah dan menyebabkan perdarahan yang
banyak. Keadaan demikian menjadi faktor utama penyebab perdarahan paska
persalinan. Perlukaan yang luas akan menambah perdarahan seperti robekan
servix, vagina dan perinium.
Manifestasi Klinis
Keluhan dan gejala utama adalah perdarahan setelah melahirkan, lemah,
limbung, berkeringat dingin, menggigil, dan pucat. Penyebab dibedakan atas:
1. Perdarahan dari tempat implantasi plasenta
a. Hipotoni sampai atonia uteri
- Akibat anestesi
- Distensi berlebihan (gemeli,anak besar,hidramnion)
- Partus lama,partus kasep
- Partus presipitatus/partus terlalu cepat
- Persalinan karena induksi oksitosin
- Multiparitas
- Riwayat atonia sebelumnya
b. Sisa plasenta
- Kotiledon atau selaput ketuban tersisa
- Plasenta susenturiata
- Plasenta akreata, inkreata, perkreata.
2. Perdarahan karena robekan
a. Episiotomi yang melebar
b. Robekan pada perinium, vagina dan serviks
c. Ruptura uteri
3. Gangguan koagulasi
a. Trombofilia
b. Sindrom HELLP
c. Pre-eklampsi
d. Solutio plasenta
e. Kematian janin dalam kandungan
f. Emboli air ketuban
Kriteria Diagnosis
Terapi
Penatalaksanaan Awal
1. Segera memanggil bantuan tim
2. Nilai sirkulasi, jalan napas, dan pernapasan pasien.
3. Bila menemukan tanda-tanda syok, lakukan penatalaksanaan syok.
4. Berikan oksigen.
5. Pasang infus intravena dengan kanul berukuran besar (16 atau 18) dan mulai
pemberian cairan kristaloid (NaCl 0,9% atau Ringer Laktat atau Ringer Asetat)
sesuai dengan kondisi ibu.
6. Lakukan pengawasan tekanan darah, nadi, dan pernapasan ibu.
7. Periksa kondisi abdomen: kontraksi uterus, nyeri tekan, parut luka, dan tinggi
fundus uteri.
8. Periksa jalan lahir dan area perineum untuk melihat perdarahan dan laserasi
(jika ada, misal: robekan serviks atau robekan vagina).
9. Periksa kelengkapan plasenta dan selaput ketuban.
10. Pasang kateter Folley untuk memantau volume urin dibandingkan dengan
jumlah cairan yang masuk. Catatan: produksi urin normal 0.5-1 ml/kgBB/jam atau
sekitar 30 ml/jam)
11. Jika kadar Hb< 8 g/dl rujuk ke layanan sekunder (dokter spesialis obgyn)
12. Jika fasilitas tersedia, ambil sampel darah dan lakukan pemeriksaan: kadar
hemoglobin (pemeriksaan hematologi rutin) dan penggolongan ABO.
13. Tentukan penyebab dari perdarahannya dan lakukan tatalaksana spesifik
sesuai penyebab
Penatalaksanaan Lanjutan
1. Atonia uteri
a. Lakukan pemijatan uterus.
b. Pastikan plasenta lahir lengkap.
c. Berikan 20-40 unit Oksitosin dalam 1000 ml larutan NaCl 0,9%/ Ringer Laktat
dengan kecepatan 60 tetes/menit dan 10 unit IM.
d. Lanjutkan infus oksitosin 20 unit dalam 1000 ml larutanNaCl 0,9%/Ringer
Laktat dengan kecepatan 40 tetes/menit hingga perdarahan berhenti.
e. Bila tidak tersedia Oksitosin atau bila perdarahan tidak berhenti, berikan
Ergometrin 0,2 mg IM atau IV (lambat), dapat diikuti pemberian 0,2 mg IM
setelah 15 menit, dan pemberian 0,2 mg IM/IV (lambat) setiap 4 jam bila diperlukan.
Jangan berikan lebih dari 5 dosis (1 mg).
f. Jika perdarahan berlanjut, berikan 1 g asam traneksamat IV (bolus selama 1
menit, dapat diulang setelah 30 menit).
g. Lakukan pasang kondom kateter atau kompresi bimanual internal selama 5
menit.
h. Siapkan rujukan ke fasilitas pelayanan kesehatan sekunder sebagai antisipasi
bila perdarahan tidak berhenti.
2. Robekan Jalan Lahir Ruptura Perineum dan Robekan Dinding Vagina
a. Lakukan eksplorasi untuk mengidentifikasi sumber perdarahan.
b. Lakukan irigasi pada tempat luka dan bersihkan dengan antiseptik.
c. Hentikan sumber perdarahan dengan klem kemudian ikat dengan benang yang
dapat diserap.
d. Lakukan penjahitan (lihat Materi Luka Perineum Tingkat 1 dan 2)
e. Bila perdarahan masih berlanjut, berikan 1 g asam traneksamat IV (bolus
selama 1 menit, dapat diulang setelah 30 menit).
3. Robekan Serviks
a. Paling sering terjadi pada bagian lateral bawah kiri dan kanan dari porsio
b. Siapkan rujukan ke fasilitas pelayanan kesehatan sekunder
4. Retensio Plasenta
a. Berikan 20-40 unit oksitosin dalam 1000 ml larutanNaCl 0,9% atau Ringer
Laktat dengan kecepatan 60 tetes/menit dan 10 unit IM. Lanjutkan infus oksitosin
20 unit dalam 1000 ml larutanNaCl 0,9% atau Ringer Laktat dengan kecepatan 40
tetes/menit hingga perdarahan berhenti.
b. Lakukan tarikan tali pusat terkendali.
c. Bila tarikan tali pusat terkendali tidak berhasil, lakukan plasenta manual secara
hati-hati.
d. Berikan antibiotika profilaksis dosis tunggal (Ampisilin 2 g IV DAN
Metronidazol 500 mg IV).
e. Segera atasi atau rujuk ke fasilitas yang lebih lengkap bila terjadi komplikasi
perdarahan hebat atau infeksi
5. Sisa Plasenta
a. Berikan 20-40 unit oksitosin dalam 1000 ml larutan NaCl 0,9% atau Ringer
Laktat dengan kecepatan 60 tetes/menit dan 10 unit IM. Lanjutkan infus Oksitosin
20 unit dalam 1000 ml larutan NaCl 0,9% atau Ringer Laktat dengan kecepatan
40m tetes/ menit hingga pendarahan berhenti.
b. Lakukan eksplorasi digital (bila serviks terbuka) dan keluarkan bekuan darah
dan jaringan. Bila serviks hanya dapat dilalui oleh instrumen, lakukan evakuasi
sisa plasenta dengan aspirasi vakum manual atau dilatasi dan kuretase.
c. Berikan antibiotika profilaksis dosis tunggal (ampisillin 2 g IV dan
Metronidazol 500 mg).
d. Jika perdarahan berlanjut, tata laksana seperti kasus atonia uteri.
Inversio Uteri
Siapkan rujukan ke fasilitas pelayanan kesehatan sekunder
Gangguan Pembekuan Darah
1. Pada banyak kasus kehilangan darah yang akut, koagulopati dapat dicegah jika
volume darah dipulihkan segera.
2. Tangani kemungkinan penyebab (solusio plasenta, eklampsia).
3. Siapkan rujukan ke fasilitas pelayanan kesehatan sekunder
Konseling dan Edukasi
1. Memberikan informasi akan keadaan ibu yang mengalami perdarahan
pascasalin.
2. Memberikan informasi yang tepat kepada suami dan keluarga ibu terhadap
tindakan yang akan di lakukan dalam menangani perdarahan pascasalin.
3. Memastikan dan membantu keluarga jika rujukan akan dilakukan. Kriteria
Rujukan
1. Pada kasus perdarahan pervaginam > 500 ml setelah persalinan berpotensi
mengakibatkan syok dan merupakan indikasi rujukan.
2. Penanganan kegawatdaruratan sebelum merujuk dan mempertahankan ibu
dalam keadaan stabil selama proses rujukan merupakan hal penting diperhatikan.
Referensi
1. Prawirohardjo, S. Saifuddin, A.B. Rachimhadhi, T. Wiknjosastro Gulardi H. Ilmu
Kebidanan Sarwono Prawirohardjo.Edisi keempat cetakan ketiga. Jakarta: PT
Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 2010: Hal 522-529.(Prawirohardjo, et al.,
2010)
2. KementerianKesehatan RI dan WHO. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di
Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan. Jakarta: KementerianKesehatan RI.
2013(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013)

15. Persalinan Lama


Tingkat Kemampuan : 3B
Definisi
Persalinan lama adalah persalinan yang berlangsung lebih dari 18-24 jam
sejak dimulai dari tanda-tanda persalinan. Etiologi antara lain:
1. Kepala janin yang besar / hidrosefalus
2. Kembar terkunci
3. Kembar siam
4. Disporsi fetopelvik
5. Malpresentasi dan malposisi
6. Deformitas panggul karena trauma atau polio
7. Tumor daerah panggul
8. Infeksi virus di perut atau uterus
9. Jaringan arut (dari sirkumsisi wanita)
Patofisiologi
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya kala I atau II lama meliputi
kelainan letak janin seperti letak sungsang, letak lintang, presentasi muka, dahi
dan puncak kepala, Kelainan panggul seperti pelvis terlalu kecil dan CPD
(cephalopelvic disproportion), kelainan his seperti inersia uteri, incoordinate uteri
action. Kelainan-kelainan tersebut dapat mengakibatkan pembukaan serviks
berjalan sangat lambat, akibatnya kala I atau II menjadi lama.
Manifestasi Klinis
Pasien datang dalam kondisi fase persalinan Kala 1 atau Kala 2 dengan
status: kelainan pembukaan serviks atau partus macet.
Faktor Risiko:
(“Po, Pa, Pa”atau gabungan 3 P )
1. Power : His tidak adekuat (his dengan frekuensi <3x/10 menit dan durasi setiap
kontraksinya <40 detik)
2. Passenger : malpresentasi, malposisi, janin besar
3. Passage : panggul sempit, kelainan serviks atau vagina, tumor jalan lahir
4. Gabungan : dari faktor-faktor di atas
Pemeriksaan Fisik Patognomonis
1. Pada ibu: gelisah, letih, suhu badan meningkat, berkeringat, nadi cepat,
pernafasan cepat, meteorismus, bandle ring, edema vulva, oedema serviks, cairan
ketuban berbau terdapat mekoneum.
2. Pada bayi:
a. Denyut jantung janin cepat, hebat, tidak teratur, bahkan negatif
b. Air ketuban terdapat mekoneum kental kehijau-hijauan, cairan berbau
c. Caput succedenium yang besar
d. Moulage kepala yang hebat
e. Kematian janin dalam kandungan
f. Kematian janin intrapartal
Kriteria Diagnosis
Distosia pada kala I fase aktif: Grafik pembukaan serviks pada partograf
berada di antara garis waspada dan garis bertindak, atau sudah memotong garis
bertindak, atau fase ekspulsi (kala II) memanjang: Tidak ada kemajuan penurunan
bagian terendah janin pada persalinan kala II. Dengan batasan waktu:
1. Maksimal 2 jam untuk nullipara dan 1 jam untuk multipara, ATAU
2. Maksimal 3 jam untuk nulipara dan 2 jam untuk multipara bila pasien
menggunakan analgesia epidural
Terapi
Motivasi pasien dalam proses persalinan dan informasikan rencana
persalinan sesuai dengan perkembangan pasien.
Penatalaksanaa umum
Segera rujuk ibu ke rumah sakit yang memiliki pelayanan seksio sesarea
Penatalaksanaan khusus
1. Tentukan sebab terjadinya persalinan lama
a. Power: his tidak adekuat (his dengan frekuensi <3x/10 menit dan
durasi tiap kontraksinya < 40 detik).
b. Passenger: malpresentasi, malposisi, janin besar
c. Passage : panggul sempit, kelainan serviks atau vagina, tumor jalan lahir
2. Sesuaikan tatalaksana dengan penyebab dan situasi. Prinsip umum:
a. Lakukan augmentasi persalinan denga oksitosin dan atau amniotomi bila
terdapat gangguan power. Pastikan tidak ada gangguan passenger atau passage.
b. Lakukan tindakan operatif (forsep, vakum, atau seksio sesarea) untuk gangguan
passenger dan atau passage, serta untuk gangguan power yang tidak dapat diatasi
dengan augmentasi persalinan.
c. Jika ditemukan obstruksi atau CPD, tatalaksana adalah seksio cesarea.
3. Berikan antibiotik (kombinasi ampicilin 2 g IV tiap 6 jam dan gentamisin
5mg/kgBB tiap 24 jam) jika ditemukan:
a. Tanda-tanda infeksi (demam, cairan pervaginam berbau)
b. Atau ketuban pecah lebih dari 18 jam
c. Usia kehamilan 37 minggu
4. Pantau tanda gawat janin
5. Catat hasil analisis dan seluruh tindakan dalam rekam medis lalu jelaskan pada
ibu dan keluarga hasil analisis serta rencana tindakan.
Referensi
1. KementerianKesehatan RI dan WHO. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di
Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan. Jakarta: KementerianKesehatan RI.
2013(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013)
2. WHO. Managing prolonged and obstructed labour. Education for safe
motherhood. 2ndEd.Department of making pregnancysafer. Geneva: WHO.
2006.(World Health Organization, 2006)
3. Pedoman penyelenggaraan pelayanan obstetri neonatal emergensi komprehensif
(PONEK). 2008.(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2008)

16. Ruptur Perineum Tingkat 1-2


Tingkat Kemampuan : 4A
Definisi
Ruptur perineum adalah suatu kondisi robeknya perineum yang terjadi
pada persalinan pervaginam. Diperkirakan lebih dari 85% wanita yang melahirkan
pervaginam mengalami ruptur perineum spontan, yang 60% - 70% di antaranya
membutuhkan penjahitan. Angka morbiditas meningkat seiring dengan
peningkatan derajat ruptur.
Patofisiologi
Robekan perineum terjadi pada semua persalinan pertama dan tidak jarang
juga pada persalinan berikutnya. Robekan ini dapat dihindarkan atau dikurangi
dengan menjaga jangan sampai dasar panggul dilalui oleh kepala janin dengan cepat,
sebaliknya kepala janin yang akan lahir jangan ditahan terlampau kuat dan lama,
karena akan menyebabkan asfiksia dan pendarahan dalam tengkorok janin, dan
melemahkan otot-otot dan fasia pada dasar panggul karena diregangkan terlalu
lama.
Robekan perineum umumnya terjadi digaris tengah dan bias menjadi luas
apabila kepala janin lahir terlalu cepat, sudut arkus pubis lebih kecil daripada
biasa sehingga kepala janin terpaksa lahir lebih ke belakang daripada biasa, kepala
janin melewati pintu bawah panggul dengan ukuran yang lebih besar daripada
sirkumferensia suboksipito-bregmatika, atau anak dilahirkan dengan pembedahan
vaginial.
Manifestasi Klinis
Gejala klinis dapat berupa perdarahan pervaginam. Pada pemeriksaan fisik
dapat ditemukan adanya:
1. Robekan pada perineum
2. Perdarahan yang bersifat arterial atau yang bersifat merembes
3. Pemeriksaan colok dubur, untuk menilai derajat robekan perineum
Kriteria Diagnosis
1. Derajat I
Robekan terjadi hanya pada selaput lendir vagina dengan atau tanpa mengenai
kulit perineum. Biasa tidak perlu dilakukan penjahitan.
2. Derajat II
Robekan mengenai selaput lender vagina dan otot perinea transversalis, tetapi
tidak melibatkan kerusakan otot sfingter ani.
3. Derajat III
Robekan mengenai perineum sampai dengan otot sfingter ani dengan pembagian
sebagai berikut: IIIa. Robekan < 50% sfingter ani eksterna IIIb. Robekan > 50%
sfingter ani ekterna IIIc. Robekan juga meliputi sfingter ani interna Sfingter ani yang
intak (ditunjuk oleh tanda panah A) terlihat lebih jelas pada pemeriksaan rectal
touche (B); Robekan parsial sepanjang sfingter ani eksterna (C); Robekan perineum
derajat 3b dengan sfingter ani yang intak (Internal anal sphincter/IAS). Sfingter ani
eksterna (External anal sphincter/EAS) dijepit oleh forseps Allis. Perhatikan
perbedaan warna IAS yang lebih pucat dibandingkan EAS (D).
4. Derajat IV
Robekan mengenai perineum sampai dengan otot sfingter ani dan mukosa rektum.

Terapi
Non Medikantosa
1. Menghindari atau mengurangi dengan menjaga jangan sampai dasar panggul
didahului oleh kepala janin dengan cepat.
2. Kepala janin yang akan lahir jangan ditahan terlampau kuat dan lama, karena akan
menyebabkan asfiksia dan perdarahan dalam tengkorak janin, dan
melemahkan otot-otot dan fasia pada dasar panggul karena diregangkan terlalu
lama.
Medikamentosa
Penatalaksanaan farmakologis dosis tunggal sefalosporin golongan II atau
III dapat diberikan intravena sebelum perbaikan dilakukan (untuk ruptur perineum
yang berat). Ruptur perineum harus segera diperbaiki untuk meminimalisir risiko
perdarahan, edema, dan infeksi. Manajemen ruptur perineum untuk masing-
masing derajatnya, antara lain sebagai berikut :
Robekan perineum derajat 1
Robekan tingkat I mengenai mukosa vagina dan jaringan ikat, tidak perlu
dilakukan penjahitan.
Penjahitan robekan perineum derajat 2
1. Siapkan alat dan bahan.
2. Pastikan pasien tidak memiliki alergi terhadap Lignokain atau obat-obatan
sejenis
3. Suntikan 10 ml Lignokain 0.5% di bawah mukosa vagina, di bawah kulit
perineum dan pada otot-otot perineum. Masukan jarum pads ujung laserasi dorong
masuk sepanjang luka mengikuti garis tempat jarum jahitnya akan masuk atau
keluar.
4. Tunggu 2 menit. Kemudian area dengan forsep hingga pasien tidak merasakan
nyeri.
5. Jahit mukosa vagina secara jelujur dengan benang 2-0, lihat ke dalam luka
untuk mengetahui letak ototnya (penting untuk menjahit otot ke otot agar tidak
ada
6. Carilah lapisan subkutis persis dibawah lapisan kulit, lanjutkan dengan jahitan
subkutikuler kembali keatas vagina, akhiri dengan simpul mati pada bagian
dalam vagina.
7. Potong kedua ujung benang dan hanya sisakan masing-masing 1 cm.
8. Jika robekan cukup luas dan dalam, lakukan colok dubur dan pastikan tidak ada
bagian rektum terjahit.rongga di dalamnya).
Referensi
1. Kementerian Kesehatan RI dan WHO. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di
Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan.Jakarta: KementerianKesehatan RI.
2013.(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013)
2. PriyatiniT,Ocviyanti D, Kemal A. IlmuBedahDasarObstetridanGinekologi.
Bina Pustaka.2014 (Priyatini, et al., 2014)
3. Cunningham, F.G. Leveno, K.J. Bloom, S.L. Hauth, J.C. Rouse, D.J. Spong,
C.Y.Williams Obstectrics. 23rdEd. McGraw-Hill. 2009.(Cunningham, et al.,
2009)
4. Wiknjosastro, H. Ilmu Bedah Kebidanan. Ed 1 Jakarta:Yayasan Bina Sarwono
Prawirohardjo. 2007: Hal 170-6(Prawirohardjo, et al., 2010).

17. Mastitis
Tingkat Kemampuan : 4A
Definisi
Mastitis adalah peradangan payudara yang terjadi biasanya pada masa
nifas atau sampai 3 minggu setelah persalinan. Kejadian mastitis berkisar 2-33%
dari ibu menyusui dan lebih kurang 10% kasus mastitis akan berkembang menjadi
abses (nanah), dengan gejala yang makin berat.
Patofisiologi
Terjadinya mastitis diawali dengan peningkatan tekanan di dalam duktus
(saluran ASI) akibat stasis ASI. Bila ASI tidak segera dikeluarkan maka terjadi
tegangan alveoli yang berlebihan dan mengakibatkan sel epitel yang
memproduksi ASI menjadi datar dan tertekan, sehingga permeabilitas jaringan
ikat meningkat. Beberapa komponen (terutama protein kekebalan tubuh dan
natrium) dari plasma masuk ke dalam ASI dan selanjutnya ke jaringan sekitar sel
sehingga memicu respons imun. Stasis ASI, adanya respons inflamasi, dan
kerusakan jaringan memudahkan terjadinya infeksi. Terdapat beberapa cara
masuknya kuman yaitu melalui duktus laktiferus ke lobus sekresi, melalui puting
yang retak ke kelenjar limfe sekitar duktus (periduktal) atau melalui penyebaran
hematogen (pembuluh darah). Organisme yang paling sering adalah
Staphylococcus aureus, Escherecia coli dan Streptococcus. Kadangkadang
ditemukan pula mastitis tuberkulosis yang menyebabkan bayi dapat menderita
tuberkulosa tonsil. Pada daerah endemis tuberkulosa kejadian mastitis
tuberkulosis mencapai 1%.
Manifestasi Klinis
Keluhan dapat berupa nyeri dan bengkak pada daerah payudara, biasa pada
salah satu payudara, adanya demam > 38 C, paling sering terjadi di minggu ke 3 -
4 postpartum, dan mialgia. Pada pemeriksaan fisik didapatkan payudara
membengkak, lebih teraba hangat, kemerahan dengan batas tegas, adanya rasa nyeri,
unilateral, dan dapat pula ditemukan luka pada payudara.
Kriteria Diagnosis
Diagnosis klinis dapat di tegakkan dengan anamnesa dan pemeriksaan
fisis. Berdasarkan tempatnya, mastitis dapat dibedakan menjadi 3 macam, antara
lain :
1. Mastitis yang menyebabkan abses dibawah areola mammae.
2. Mastitis ditengah payudara yang menyebabkan abses ditempat itu.
3. Mastitis pada jaringan dibawah dorsal kelenjar-kelenjar yang menyebabkan
abses antara payudara dan otot-otot dibawahnya
Terapi
Non Medikamentosa
1. Ibu sebaiknya tirah baring dan mendapat asupan cairan yang lebih banyak.
2. Sampel ASI sebaiknya dikultur dan diuji sensitivitas.
3. Sangga payudara ibu dengan bebat atau bra yang pas
Medikamentosa
1. Berikan antibiotika
a. Kloksasilin 500 mg per oral per 6 jam selama 10-14 hari
b. ATAU Eritromisin 250 mg per oral 3 x 1 sehari selama 10 hingga 14 hari
2. Analgetik parasetamol 3x500 mg per oral
3. Lakukan evaluasi setelah 3 hari.
Referensi
1. Prawirohardjo, S. Saifuddin, A.B. Rachimhadhi, T. Wiknjosastro Gulardi H. Ilmu
Kebidanan Sarwono Prawirohardjo.Edisi keempat cetakan ketiga. Jakarta : PT
Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 2010: Hal 380, 652-653(Prawirohardjo, et
al., 2010)
2. Kementerian Kesehatan RI dan WHO. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di
Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan.Jakarta: KementerianKesehatan RI. 2013.

18. Inverted Nipple


Tingkat Kemampuan : 4A
Definisi
Terdapat beberapa bentuk puting susu. Pada beberapa kasus seorang ibu
merasa putingnya datar atau terlalu pendek akan menemui kesulitan dalam
menyusui bayi. Hal ini bisa berdampak bayi tidak bisa menerima ASI dengan baik
dan cukup. Pada beberapa kasus, putting dapat muncul kembali bila di stimulasi,
namun pada kasus-kasus lainnya, retraksi ini menetap.
Patofisiologi
Puting datar terjadi akibat pelekatan yang menyebabkan saluran susu lebih
pendekketimbang biasanya. Sebagai tambahan, ia pun menarik puting susu ke dalam
(tied nipples). Kondisi ini biasanya merupakan bawaan lahir tapi bisa pula terjadi
saat pubertas. Bila dibiarkan tanpa penanganan, puting susu datar memang akan
menyulitkan proses menyusui kelak. Terutama bila mulut bayi gagal "menangkap"
putting susu ibu dengan baik dan benar.
Manifestasi Klinis
Keluhan dapat berupa kesulitan ibu untuk menyusui bayi, puting susu
tertarik, dan bayi sulit untuk menyusui. Pada hasil pemeriksaan fisik didapatkan
adanya puting susu yang datar atau tenggelam dan bayi sulit menyusui pada ibu.
Kriteria Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan tidak
memerlukan pemeriksaan penunjang. Diagnosis klinis ini terbagi dalam :
1. Grade 1
a. Puting tampak datar atau masuk ke dalam
b. Puting dapat dikeluarkan dengan mudah dengan tekanan jari pada atau sekitar
areola.
c. Terkadang dapat keluar sendiri tanpa manipulasi
d. Saluran ASI tidak bermasalah, dan dapat menyusui dengan biasa.
2. Grade 2
a. Dapat dikeluarkan dengan menekan areola, namun kembali masuk saat tekanan
dilepas
b. Terdapat kesulitan menyusui.
c. Terdapat fibrosis derajat sedang.
d. Saluran ASI dapat mengalami retraksi namun pembedahan tidak diperlukan.
e. Pada pemeriksaan histologi ditemukan stromata yang kaya kolagen dan otot
polos.
3. Grade 3
a. Puting sulit untuk dikeluarkan pada pemeriksaan fisik dan membutuhkan
pembedahan untuk dikeluarkan.
b. Saluran ASI terkonstriksi dan tidak memungkinkan untuk menyusui
c. Dapat terjadi infeksi, ruam, atau masalah kebersihan
d. Secara histologis ditemukan atrofi unit lobuler duktus terminal dan fibrosis
yang parah
Terapi
Penatalaksanaan Non-Medikamentosa
Untuk puting datar/tenggelam (inverted nipple) dapat diatasi setelah bayi
lahir, yaitu dengan proses Inisiasi Menyusu Dini (IMD) sebagai langkah awal dan
harus terus menyusui agar puting selalu tertarik. Ada dua cara yang dapat digunakan
untuk mengatasi puting datar/terbenam, yaitu:
1. Penarikan puting secara manual/dengan tangan. Puting ditarik-tarik dengan
lembut beberapa kali hingga menonjol.
2. Menggunakan spuit ukuran 10-20 ml, bergantung pada besar puting. Ujung
spuit yang terdapat jarum dipotong dan penarik spuit (spuit puller) dipindahkan ke
sisi bekas potongan. Ujung yang tumpul di letakkan di atas puting, kemudian
lakukan penarikan beberapa kali hingga puting keluar. Lakukan sehari tiga kali;
pagi, siang, dan malam masing-masing 10 kali
3. Jika kedua upaya di atas tidak memberikan hasil, ibu dapat memberikan air
susunya dengan cara memerah atau menggunakan pompa payudara.
4. Jika putting masuk sangat dalam, suatu usaha harus dilakukan untuk
mengeluarkan putting dengan jari pada beberapa bulan sebelum melahirkan.
Konseling dan Edukasi
1. Menarik-narik puting sejak hamil (nipple conditioning exercises) ataupun
penggunaan breast shield dan breast shell. Tehnik ini akan membantu ibu saat masa
telah memasuki masa menyusui.
2. Membangkitkan rasa percaya diri ibu dan membantu ibu melanjutkan untuk
menyusui bayi. Posisikan bayi agar mulutnya melekat dengan baik sehingga rasa
nyeri akan segera berkurang. Tidak perlu mengistirahatkan payudara, tetapi tetaplah
menyusu on demand.
Referensi
1. Prawirohardjo, S. Saifuddin, A.B. Rachimhadhi, T. Wiknjosastro Gulardi H. Ilmu
Kebidanan Sarwono Prawirohardjo.Edisi keempat cetakan ketiga. Jakarta : PT
Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 2010. 379
2. Kementerian Kesehatan RI dan WHO. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di
Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan.Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. 2013.
3. Program Manajemen Laktasi, 2004. Buku Bacaan Manajemen Laktasi. Jakarta.
4. http://idai.or.id/public-articles/klinik/asi/manajemen-laktasi.html. 2014

19. Cracked Nipple


Tingkat Kemampuan : 4A
Definisi
Nyeri pada puting merupakan masalah yang sering ditemukan pada ibu
menyusui dan menjadi salah satu penyebab ibu memilih untuk berhenti menyusui
bayinya. Diperkirakan sekitar 80-90% ibu menyusui mengalami nipple pain dan
26% di antaranya mengalami lecet pada puting yang biasa disebut dengan nipple
crack. Kerusakan pada puting mungkin terjadi karena trauma pada puting akibat
cara menyusui yang salah.
Patofisiologi
Terjadinya puting lecet di awal menyusui pada umumnya disebabkan oleh
salah satu atau kedua hal berikut: posisi dan pelekatan bayi yang tidak tepat saat
menyusu, atau bayi tidak mengisap dengan baik. Meskipun demikian, bayi dapat
belajar untuk mengisap payudara dengan baik ketika ia melekat dengan tepat saat
menyusu (mereka akan belajar dengan sendirinya). Jadi, proses mengisap yang
bermasalah seringkali disebabkan oleh pelekatan yang kurang baik. Infeksi jamur
yang terjadi di puting (disebabkan oleh Candida Albicans) dapat pula
menyebabkan puting lecet. Vasospasma yang disebabkan oleh iritasi pada saluran
darah di puting akibat pelekatan yang kurang baik dan/atau infeksi jamur, juga dapat
menyebabkan puting lecet. Rasa sakit yang disebakan oleh pelekatan yang kurang
baik dan proses mengisap yang tidak efektif akan terasa paling sakit saat bayi
melekat ke payudara dan biasanya akan berkurang seiring bayi menyusu. Namun
jika lecetnya cukup parah, rasa sakit dapat berlangsung terus selama proses
menyusu akibat pelekatan kurang baik/mengisap tidak efektif. Rasa sakit akibat
infeksi jamur biasanya akan berlangsung terus selama proses menyusui dan bahkan
setelahnya. Banyak ibu mendeskripsikan rasa sakit seperti teriris sebagai akibat
pelekatan yang kurang baik atau proses mengisap yang kurang efektif. Rasa sakit
akibat infeksi jamur seringkali digambarkan seperti rasa terbakar. Jika rasa sakit
pada puting terjadi padahal sebelumnya tidak pernah merasakannya, maka rasa sakit
tersebut mungkin disebabkan oleh infeksi Candida, meskipun infeksi tersebut dapat
pula merupakan lanjutan dari penyebab lain sakit pada puting, sehingga periode
tanpa sakit hampir tidak pernah terjadi. Retak pada puting dapat terjadi karena
infeksi jamur. Kondisi dermatologis (kulit) dapat pula menyebabkan sakit
pada puting.
Manifestasi Klinis
Adanya nyeri pada puting susu dan nyeri bertambah jika menyusui bayi.
Dapat disebabkan oleh teknik menyusui yang salah atau perawatan yang tidak benar
pada payudara. Infeksi monilia dapat mengakibatkan lecet. Pemeriksaan
fisik didapatkan nyeri pada daerah putting susu dan lecet pada daerah putting
susu.
Kriteria Diagnosis
Diagnosis bisa ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik.
Terapi
Non-Medikamentosa
1. Teknik menyusui yang benar
2. Puting harus kering
3. Mengoleskan colostrum atau ASI yang keluar di sekitar puting susu dan
membiarkan kering.
4. Mengistiraharkan payudara apabila lecet sangat berat selama 24 jam
5. Lakukan pengompresan dengan kain basah dan hangat selama 5 menit jika
terjadi bendungan payudara
Medikamentosa
1. Memberikan tablet Parasetamol tiap 4 – 6 jam untuk menghilangkan nyeri.
2. Pemberian Lanolin dan vitamin E
3. Pengobatan terhadap monilia
Konseling dan Edukasi
1. Tetap memberikan semangat pada ibu untuk tetap menyusui jika nyeri
berkurang.
2. Jika masih tetap nyeri, sebagian ASI sebaiknya diperah.
3. Tidak melakukan pembersihan puting susu dengan sabun atau zat iritatif
lainnya.
4. Menggunakan bra dengan penyangga yang baik.
5. Posisi menyusui harus benar, bayi menyusui sampai ke kalang payudara dan
susukan secara bergantian di antara kedua payudara.
Referensi
1. Prawirohardjo, S. Saifuddin, A.B. Rachimhadhi, T. Wiknjosastro Gulardi H. Ilmu
Kebidanan Sarwono Prawirohardjo.Edisi keempat cetakan ketiga. Jakarta : PT
Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 2010: Hal 379.
2. Utami, R. Yohmi, E. Buku Bedah ASI IDAI
SISTEM ENDOKRIN, METABOLIK DAN NUTRISI

1. Diabetes Melitus
Tingkat Kemampuan 4A
Definisi
Diabetes
Penyakit kronis dimana terdapat defisiensi terhadap produksi insulin yang
disebabkan oleh faktor turunan atau yang didapat. Defisiensi tersebut
mengakibatkan konsentrasi dari glukosa dalam darah untuk meningkat yang
bisa merusak sistem organ dalam tubuh kita, terutama pembuluh darah dan saraf.
Diabetes melitus tipe 1
Diabetes tipe 1 (sebelumnya dikenal sebagai insulin-dependent) di mana
pankreas gagal dalam memproduksi insulin, yang penting untuk kelangsungan
hidup. Tipe 1 berkembang paling sering pada anak-anak dan remaja.
Diabetes melitus tipe 2
Diabetes tipe 2 (dahulu disebut non-insulin-dependent) yang dihasilkan dari
ketidakmampuan tubuh untuk merespon dengan baik terhadap aksi insulin
yang dihasilkan oleh pankreas. Tipe 2 diabetes jauh lebih umum dan mewakili
sekitar 90% dari semua kasus diabetes di seluruh dunia. Tipe 2 sering terjadi
pada orang dewasa.
Patogenesis
Patogenesis Diabetes melitus tipe 1
DM tipe 1 merupakan hasil interaksi antara faktor genetik, lingkungan, dan
imunologi, yang ujungnya menyebabkan kerusakan sel beta pankreas dan
defisiensi insulin. Diabetes melitus Tipe 1 adalah hasil dari kehancuran sel beta
secara autoimun dan pada sebagian besar, tapi tidak semua, individu memiliki
bukti adanya reaksi autoimun. Individu dengan kerentanan genetik memiliki
massa sel beta yang normal pada waktu lahir namun mulai kehilangan sel beta
secara sekunder karena kerusakan autoimun yang terjadi selama bulan-bulan
hingga tahun.
Proses autoimun diduga dipicu oleh stimulus infeksi atau lingkungan dan
didukung oleh molekul spesifik sel-beta. Pada mayoritas kasus, penanda
imunologi muncul setelah terjadi peristiwa yang memicu, tetapi sebelum diabetes
terlihat secara klinis. Massa sel beta kemudian mulai menurun, dan sekresi
insulin mengalami gangguan, meskipun toleransi glukosa normal masih
dipertahankan. Fitur – fitur diabetes tidak terlihat dengan jelas sampai sebagian
besar sel beta rusak (~ 80%).

Gambar 1. Patogenesis DM tipe 1

Patogenesis Diabetes melitus tipe 2


Diabetes tipe 2 ditandai dengan gangguan sekresi insulin, resistensi insulin,
produksi glukosa hati yang berlebihan, dan metabolisme lemak yang abnormal.
Obesitas, khususnya visceral atau pusat, sangat umum pada diabetes melitus
tipe 2. Pada tahap awal kelainan, toleransi glukosa masih dalam batas normal,
meskipun ada resistensi insulin, karena sel-sel beta pankreas mengimbanginya
dengan mengeluarkan insulin lebih banyak. Seiring dengan peningkatan
resistensi insulin dan kompensasi lewat hiperinsulinemia, pankreas pada individu
tertentu tidak dapat mempertahankan keadaan hyperinsulinemic. Toleransi
Glukosa terganggu(TGT), ditandai dengan peningkatan glukosa postprandial,
dan kemudian memburuk. Penurunan sekresi insulin dan
peningkatan produksi glukosa hepatik menyebabkan diabetes dengan gambaran
hiperglikemia pada saat puasa.

Gambar 2. Patogenesis DM tipe 2

Manifestasi Klinik
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia(PERKENI) membagi alur diagnosis
DM menjadi 2 bagian besar berdasarkan ada tidaknya gejala khas DM.
Gejala khas dari DM terdir dari-
 Polidipsia
 Poliuria
 Polifagia
 Berat badan turun tanpa sebab yang jelas
Gejala tidak khas DM diantaranya-
 Lemas
 Kesemutan
 Luka yang sulit sembuh
 Gatal
 Mata kabur
 Disfungsi ereksi(pria)
 Prruritus vulva(wanita)
 Apabila ditemukan gejala khas DM, pemeriksaan glukosa darah abnormal 1
kali aja cukup untuk menegakan diagnosis
 Apabila tidak ditemukan gejala khas DM, maka diperlukan 2 kali
pemeriksaan glukosa darah abnormal
Kriteria Diagnosis
Kriteria diagnosis DM
1. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dl atau
2. Gejala klasik DM + glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dl (puasa sedikitnya 8
jam) atau
3. Glukosa plasma 2 jam pada TTGO ≥ 200 mg/dl (mengunakan beban
glukosa yang setara dengan 75 gram glukosa yang dilarutkan didalam air.

Cara pemeriksaan TTGO*


 Tiga hari sebelumnya makan seperti biasa.
 Kegiatan jasmani cukup, tidak terlalu banyak.
 Puasa semalam, selama 10-12 jam.
 Glukosa darah puasa diperiksa.
 Diberikan glukosa 75 gram, dilarutkan dalam air 250 ml, dan diminum
selama / dalam waktu 5 menit.
 Diperiksa glukosa darah 1(satu) jam dan 2 (dua) jam sesudah beban
glukosa.
Selama pemeriksaan pasien yang diperiksa tetap istirahat dan tidak
merokok.
Interpretasi dari pemeriksaan glukosa darah menurut American Diabetes
Association:
Glukosa plasma Glukosa plasma 2
puasa(mg/dl) jam TTGO(mg/dl)

Normal <100 <140


Glukosa darah 100-125
puasa
terganggu(GDPT)
Toleransi glukosa 140-199
terganggu(TGT)

Diabetes ≥126 ≥200

Gambar 3. Bagan alur diagnosis untuk diabetes melitus


Penatalaksanaan

Tabel 1. Kriteria Pengendalian DM


BAIK SEDANG BURUK
Glukosa
darah(mg/dl)
-puasa 80-100 100-125 ≥126
-2 jam posrandial 80-144 145-179 ≥180
HbA1.c(%) <6.5 6.5-8 ≥8
Kol. Total(mg/dl) <200 200-239 ≥240
Kol.LDL(mg/dl) <100 100-129 ≥130
Kol.HDL(mg/d;) >45
Triglserida(mg/dl) <150 150-199 ≥200
Tekanan Darah ≤130/80 130-140/80-90 >140/90

Tujuan terapi untuk tipe 1 atau 2 tipe DM adalah untuk:


1. Menghilangkan gejala yang berhubungan dengan hiperglikemia
2. Mengurangi atau menghilangkan komplikasi mikrovaskuler dan
makrovascular diabetes mellitus jangka panjang
3. Memungkinkan pasien untuk mencapai gaya hidup sewajar mungkin.
Untuk mencapai tujuan tersebut, dokter harus mengidentifikasi tingkat target
kontrol glikemik untuk setiap pasien, menyediakan pasien dengan sumber
daya pendidikan dan farmakologi yang diperlukan untuk mencapai tingkat
ini, dan memantau / mengobati komplikasi diabetes-terkait.
Penatalaksanaaan Diabetes Melitus mencangkup:
A. Edukasi
B. Terapi Gizi Medis
C. Latihan jasmani
D. Intervensi farmakologis
A. Edukasi
Edukasi yang diberikan kepada pasien meliputi pemahaman tentang :
 Perjalanan penyakit DM
 Makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM
 Penyulit DM dan risikonya
 Intervensi farmakologis dan non-farmakologis serta target perawatan.
 Interaksi antara asupan makanan, aktifitas fisik, dan obat hipoglikemik
oral atau insulin serta obat-obatan lain.
 Cara pemantauan glukosa darah dan pemahaman hasil glukosa darah atau
urin mandiri (hanya jika pemantauan glukosa darah mandiri tidak
tersedia).
 Mengatasi sementara keadaan gawat darurat seperti rasa sakit, atau
hipoglikemia.Pentingnya latihan jasmani yang teratur.
 Pentingnya perawatan diri.
 Cara mempergunakan fasilitas perawatan kesehatan
B. Terapi Gizi Medis:
Medical Nutritional Therapy (MNT) atau Terapi Gizi Medis adalah istilah
yang digunakan oleh ADA untuk menggambarkan koordinasi optimal asupan
kalori dengan aspek lain dari terapi diabetes (insulin, olahraga, penurunan berat
badan). Untuk masyarakat umum, diet yang meliputi buah-buahan, sayuran, serat
makanan yang mengandung, dan susu rendah lemak dianjurkan. Sebagaimana
dengan aspek-aspek lain dari terapi diabetes, MNT harus disesuaikan untuk
memenuhi tujuan masing-masing pasien.
Selanjutnya, pendidikan MNT merupakan komponen penting dari
perawatan diabetes yang komprehensif dan pendidikan harus diperkuat dengan
edukasi pasien secara reguler. Secara umum, komponen MNT sama bagi individu
dengan DM tipe 1 atau tipe 2.
Tabel 2. Rekomendasi Gizi untuk Diabetes Dewasa

Tujuan MNT pada individu dengan DM tipe 1 adalah mengkoordinasikan


asupan kalori yang sesuai, dengan jumlah yang insulin yang sesuai. MNT pada
DM tipe 1 memerlukan pemantauan glukosa darah penderita yang terintegrasi
untuk menentukan regimen insulin yang optimal. American Diabetes Association
mendorong pasien dan penyedia layanan kesehatan untuk mengambil
keuntungan dari menghitung karbohidrat untuk memperkirakan kandungan gizi
dari suatu makanan. Berdasarkan perkiraan kandungan karbohidrat pada
makanan, rasio insulin-karbohidrat, dapat digunakan untuk menentukan dosis
bolus insulin sesuai dengan makanan. MNT harus cukup fleksibel untuk
memungkinkan kegiatan latihan/olahraga. Salah satu komponen
penting dari MNT dalam DM tipe 1 adalah untuk meminimalkan kenaikan
berat badan yang sering dikaitkan dengan manajemen diabetes intensif.
Tujuan MNT pada DM Tipe 2 sedikit berbeda dan mengarah terhadap faktor
risiko kardiovaskular (hipertensi, dislipidemia, obesitas) dan penyakit pada
populasi ini. Kebanyakan orang mengalami obesitas, dan penurunan berat
badan sangat dianjurkan dan harus tetap menjadi tujuan penting. MNT pada DM
tipe 2 harus menekankan pengurangan kalori, mengurangi asupan lemak,
meningkatkan aktivitas fisik, dan mengkontrol hiperlipidemia dan hipertensi.
Peningkatan konsumsi serat dapat memperbaiki kontrol glikemik pada orang
dengan diabetes tipe 2. Menurunkan berat badan dan olahraga meningkatkan
resistensi insulin.
Perhitungan jumlah kalori
Perhitungan jumlah kalori ditentukan oleh status gizi, umur, ada tidaknya
faktor stres akut, dan kegiatan jasmani. Penentuan status gizi dapat diapakai
indeks mass tubuh(IMT) atau rumus Brocca
Penentuan status gizi berdasarkan Rumus Brocca
Pertama-tama dilakukan perhitungan berat badan idaman berdasarkan rumus :
berat badan idaman (BBI kg) = (TBcm - 100) -10%
Untuk laki-laki <160 cm, wanita<150 cm, perhitungan BB idaman tidak
dikurangi 10%.
Penentuan status gizi statuz gizi dihitung dari : (BB aktual : BB idaman) x
100%
Berat badan kurang BB <90% BBI
Berat badan normal BB 90-110% BBI
Berat badab lebih BB 110-120% BBI
Gemuk BB >120% BBI
Untuk kepentingan praktis dalam praktek di lapangan digunakan rumus
Brocca.
Penetuan kebutuhan kalori per hari
1. Kebutuhan basal :
Laki – laki : BB idaman(kg) x 30 kalori
Wanita : BB idaman(kg) x 25 kalori
2. Koreksi atau penyesuaian
Umur diatas 40 tahun : -5%
Aktivitas ringan : +10%
(duduk-duduk,nonton televisi dll)
Aktivitas sedang : +20%
(kerja kantoran, IRT, perawat, dokter)
Aktivitas berat : +30%
(olahragawan,tuakng becak dll)
Berat badan gemuk : -20%
Berat bdana lebih : -10%
Berat badan kurang : +20%
3. Stres metabolik : +10-30%
(infeksi, operasi,stroke dll)
4. Kehamilan trimester I dan II : +300 kalori
5. Kehamilan trimester III, menyusui : +500 kalori
Makanan tersebut dibagi dalam 3 porsi besar untuk makan pagi (20%), makan
siang (30%), makan malam (25%) serta 2-3 porsi ringan (10-15%) diantara
makan besar.Pengaturan makan ini tidak berbeda dengan orang normal,
kecuali dalam pengaturan jadwal makan dan jumlah kalori. Usahakan untuk
merubah pola makan ini secara bertahap sesuai dengan kondisi kebiasaan
penderita.
C. Latihan jasmani
Prinsip latihan jasmani bagi diabetisi, persis sama dengan prinsip latihan
jasmani secara umum, yaitu memenuhi beberapa hal, seperti : frekuensi,
intensitas, durasi dan jenis.
 Frekuensi: jumlah olahraga perminggu sebaiknya dilakukan dengan teratur
3-5 kali per minggu
 Intensitas: ringan dan sedang (60-70% Maximum heart rate)
 Durasi: durasi 30-60 menit
 Jenis: latihan jasmani endurans(aerobik) untuk meningkatkan kemampuan
kardirespirasi seperti walking, jogging, berenang dan bersepeda
Untuk menentukan intensitas latihan, dapat digunakan Maximum heart
rate(MHR) yaitu 220 – umur. Setelah MHR didaptkan, dapat ditentukan Target
heart rate (THR).
D. Intervensi Farmakologis
Obat Antihiperglikemik oral atau OAD(oral anti diabetics)
 Golongan Sulfonilurea
Obat golongan ini sudah digunakan sejak tahun 1957. Golongan ini
mempunyai sifat farmakologis yang serupa demikian juga efek klinis dan
mekanisme kerjanya. Mekanismenya yaitu:
1. Menstimulasi pengelepasan insulin yang disimpan
2. Menurunkan ambang sekresi insulin
3. Meningkatkan sekresi insulin sebagai akibat rangsangan glukosa.
Obat ini hanya dapat bermanfaat untuk pasien yang masih mempunyai
kemampuan mensekresi insulin (DM type II). Semua obat ini dapat menyebabkan
hipoglikemia yang mungkin bersifat fatal, untuk mengurangi kemungkinanya,
pada orang tua dipilih yang masa kerjanya pendek.
 Golongan Biguanid
Saat ini golongan yang masih dipakai adalah metformin. Metformin
menurunkan glukosa darah melalui pengaruhnya terhadap kerja insulin pada
tingkat seluler, distal dari reseptor insulin serta efeknya menurunkan produksi
glukosa hati. Metformin meningkatkan pemakaian glukosa oleh sel usus
sehingga menurunkan glukosa darah dan dan juga disangka menghambat
absorpsi glukosa dari usus pada keadaan sesudah makan. Metformin
menurunkan glokusa darah tapi tidak menyebabkan penurunan sampai dibawah
normal, karena itu metformin tidak disebut sebagai obat hipoglikemik tapi
sebagai obat anti hiperlipidemik.
 Alfaglukosidase Inhibitor
Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim alfaglukosidase
didalam saluran cerna sehingga dengan demikian dapat menurunkan
penyerapan glukosa dan menurunkan hiperglikemia posprandial. Obat ini
bekerja di lumen usus dan tidak menyebabkan hipoglikemia dan juga tidak
berpengaruh pada keadaan insulin.
 Insulin Sensitizing Agent
Thiazolidinediones adalah golongan obat baru yang mempunyai efek
farmakologis yang meningkatkan sensitivitas insulin. Dapat diberikan secara
oral. Golongan obat ini bekerja meningkatkan glukosa disposal pada sel dan
mengurangi produksi glukosa di hati. Golongan obat ini baru mulai di pasarkan
diluar negeri ( salah satu diantaranya adalah troglitazone) dan belum beredar di
pasaran kita. Diharapkan obat ini dapat lebih tepat bekerja pada sasaran
kelainan yaitu resistensi insulin dan dapat pula di pakai untuk mengatasi berbagai
manifestasi resistensi insulin tanpa menyebabkan hipoglikemia dan juga tidak
menyebabkan kelelahan sel beta pankreas.
Tabel 2. Terapi Penurun Glukosa untuk DM tipe 2
 Insulin
Saat ini tersedia berbagai jenis insulin, mulai dari human insulin sampai
insulin analog. Memahami farmakokinetik berbagai jenis insulin menjadi
landasan dalam penggunaan insulin sehingga pemakaiannya dapat disesuaikan
dengan kebutuhan tubuh. Sebagai contoh untuk kebutuhan insulin basal dan
prandial, terdapat perbedaan antara jenis insulin yang digunakan. Dengan
demikian, pada akhirnya, akan tercapai kadar glukosa darah sesuai sasaran terapi.
- Seperti telah diketahui, untuk memenuhi kebutuhan insulin basal dapat
digunakan :
o insulin kerja menengah (intermediate acting insulin) atau
o kerja panjang. (long - acting insulin )
- Sementara untuk memenuhi kebutuhan insulin prandial (setelah makan)
digunakan :
o insulin kerja cepat (sering disebut insulin reguler/short-acting
insulin) atau
o insulin kerja sangat cepat (rapid- atau ultra-rapid acting insulin).
- Di pasaran, selain tersedia insulin dengan komposisi tersendiri, juga ada
sediaan yang sudah dalam bentuk campuran antara insulin kerja cepat atau
sangat cepat dengan insulin kerja menengah (disebut juga premixed insulin)
Tabel 3. Farmakokinetik sediaan insulin yang umum digunakan

Pada pasien DM Tipe 1,terapi insulin dapat diberikan segera setelah diagnosis
ditegakkan. Keputusan yang lebih sulit adalah menentukan waktu memulai
terapi insulin pada pasien DM Tipe 2. Ada beberapa cara untuk memulai
dan menyesuaikan dosis terapi insulin untuk pasien DM Tipe 2. Salah satu cara
yang paling mutakhir dan dapat dipakai sebagai acuan adalah hasil Konsensus
PERKENI 2006 dan Konsensus ADA-EASD tahun 2006. Sebagai pegangan, jika
kadar glukosa darah tidak terkontrol dengan baik (A1C > 6.5%) dalam jangka
waktu 3 bulan dengan 2 obat oral, maka sudah ada indikasi untuk memulai terapi
kombinasi obat antidiabetik oral dan insulin. Pada keadaan tertentu di mana
kendali glikemik amat buruk dan disertai kondisi katabolisme, seperti kadar
glukosa darah puasa >250 m g /dL , kadar glukosa darah acak menetap >300
mg/dL, A1C >10%, atau ditemukan ketonuria, maka terapi insulin dapat mulai
diberikan bersamaan dengan intervensi pola hidup.
Selain itu terapi insulin juga dapat langsung diberikan pada pasein DM yang
memiliki gejala nyata (poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan).
Kondisi-kondisi tersebut sering ditemukan pada pasien DM Tipe1 atau
DM Tipe 2 dengan defisiensi insulin yang berat. Apabila gejala hilang, obat
antidiabetik oral dapat ditambahkan dan penggunaan insulin dapat dihentikan.
Seperti telah diketahui, pada pasien DM terjadi gangguan sekresi insulin basal
dan prandial untuk mempertahankan kadar glukosa darah dalam batas normal
baik pada keadaan puasa maupun setelah makan. Dengan mengetahui mekanisme
tersebut, maka telah dipahami bahwa hak ikat pengobatan DM adalah
menurunkan kadar glukosa darah baik puasa maupun setelah makan.
Dalam rangka mencapai sasaran pengobatan yang baik, maka diperlukan
insulin dengan karakteristik menyerupai orang sehat, yaitu kadar insulin yang
seusai dengan kebutuhan basal dan prandial. Pemberian insulin basal, selain
insulin prandial, merupakan salah satu strategi pengobatan untuk memperbaiki
kadar glukosa darah puasa atau sebelum makan. Oleh karena glukosa darah
setelah makan merupakan keadaan yang dipengaruhi oleh kadar glukosa darah
puasa, maka diharapkan dengan menurunkan kadar glukosa darah basal, kadar
glukosa darah setelah makan juga ikut turun.

Gambar 4. Memulai terapi insulin injeksi multipel pada pasien DMT 1

Tabel 4.Berbagai rejimen suntikan insulin multipel


Daftar Pustaka :
1. Yunir E., Soebardi S.Terapi non farmakologis pada diabetes melitus.
Dalam: Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editor.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi V. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2009.

2. Hipoglikemia ringan
Tingkat Kemampuan 4A
Definisi
Hipoglikemia adalah keadaan yang menunjukkan kadar glukosa darah di
bawah normal. Pada umumnya kadar glukosa puasa pada orang normal jarang
melampaui 126 mg/dl, jika diatas itu tergolong tidak normal. Biasanya pada
penderita hipoglikemia terjadi kadar glukosa yangrendah yaitu kurang dari 50
mg/dl(2,8 mmol/L) atau bahkan kurang dari 40 mg/dl (2,2 mmol/L). Kadar
glukosa darah keseluruhan (whole blood) lebih rendah 10% dibandingkan
dengan kadar glukosa plasma dikarenakan eritrosit memiliki kadar glukosa
yang relatif rendah.
Patofisiologi
Hipoglikemia dapat terjadi ketika kadar insulin dalam tubuh berlebihan.
Terkadang kondisi berlebih ini merupakan sebuah kondisi yang terjadi setelah
melakukan terapi diabetes mellitus. Selain itu, hipoglikemia juga dapat
disebabkan antibodi pengikat insulin, yang dapat mengakibatkan tertundanya
pelepasan insulin dari tubuh. Selain itu, hipoglikemia dapat terjadi karena
malproduksi insulin dari pankreas ketika terdapat tumor pankreas. Setelah
hipoglikemia terjadi, efek yang paling banyak terjadi adalah naiknya nafsu
makan dan stimulasi masif dari saraf simpatik yang menyebabkan takikardi,
berkeringat, dan tremor.
Ketika terjadi hipoglikemia tubuh sebenarnya akan terjadi mekanisme
homeostasis dengan menstimulasi lepasnya hormon glukagon yang berfungsi
untuk menghambat penyerapan, penyimpanan, dan peningkatan glukosa yang
ada di dalam darah. Glukagon akan membuat glukosa tersedia bagi tubuh dan
dapat meningkatkan proses glikogen dan glukoneogenesis. Akan tetapi, glukagon
tidak memengaruhi penyerapan dan metabolisme glukosa di dalam sel.

Gambar 5. Mekanisme regulasi glukosa pada tubuh manusia


Selain itu, mekanisme tubuh untuk mengompensasi adalah dengan
meningkatkan epinefrin, sehingga prekursor glukoneogenik dapat dimobilisasi
dari sel otot dan sel lemak untuk produksi glukosa tambahan. Tubuh
melakukan pertahanan terhadap turunnya glukosa darah dengan menaikkan
asupan karbohidrat secara besar-besaran. Mekanisme pertahanan ini akan
menimbukan gejala neurogenik seperti palpitasi, termor, adrenergik,
kolinergik, dan berkeringat. Ketika hipoglikemia menjadi semakin parah maka
mungkin juga dapat terjadi kebingungan, kejang, dan hilang kesadaran.
Hipoglikemia berat didefinisikan sebagai hipoglikemia yang tidak dapat di
tangani oleh mekanisme homeostasis tubuh. Pada kondisi ini orang yang
terkena hipoglikemia berat dapat kehilangan kesadaran atau merasa kebingungan.
Walaupun penderita hipoglikemia berat akan terlihat sadar, tapi penderita akan
terlihat lethargik (kelelahan) dan emosional. Hal ini disebabkan
karena glukagon tidak dapat mengompensasi adanya insulin yang berlebihan.
Sehingga terkadang ketika seseorang mengalami hipoglikemia berat
dibutuhkan penyuntikkan glukagon. Penyuntikkan glukagon ini dapat diberikan
dengan orang terdekat yang dilatih atau tenaga medis terlatih.
Manifestasi Klinik
Hipoglikemia dapat terjadi ketika kadar insulin dalam tubuh berlebihan.
Terkadang kondisi berlebih ini merupakan sebuah kondisi yang terjadi setelah
melakukan terapi diabetes mellitus. Selain itu, hipoglikemia juga dapat
disebabkan antibodi pengikat insulin, yang dapat mengakibatkan tertundanya
pelepasan insulin dari tubuh. Selain itu, hipoglikemia dapat terjadi karena
malproduksi insulin dari pankreas ketika terdapat tumor pankreas. Setelah
hipoglikemia terjadi, efek yang paling banyak terjadi adalah naiknya nafsu
makan dan stimulasi masif dari saraf simpatik yang menyebabkan takikardi,
berkeringat, dan tremor.
Kriteria Diagnosis
Menurut Departement on Health and Human Service, secara harfiah
hipoglikemia berarti kadar glukosa dalam darah menurun dari kadar normal.
Walaupun kadar glukosa plasma pada puasa jarang melampaui 99mg/dl (5,5
mmol/L) tetapi kadar <108mg/dl (6 mmol/L) masih dianggap normal. Kadar
glukosa plasma kira-kira 10% lebih tinggi dibandingkan dengan kadar glukosa
darah keseluruhan karena eritrosit mengandung kadar glukosa yang relatif
rendah. Kadar glukosa arteri lebih tinggi dibandingkan dengan vena sedangkan
kadar glukosa kapiler berada diantara kadar glukosa arteri dan vena.
Diagnosis hipoglikemia dapat ditegakan bila kadar glukosa <50mg/dl (2,8
mmol/L) atau bahkan <40mg/dl (2,2 mmol/L). Walaupun demikian berbagai
studi fisiologis menunjukan bahwa gangguan fungsi otak sudah dapat terjadi pada
kadar glukosa darah 55 mg/dl (3 mmol/L). Lebih lanjut diketahui bahwa kadar
glukosa darah 55mg/dl (3 mmol/L) yang terjadi berulang kali dapat merusak
mekanisme proteksi endogen terhadap hipoglikemia yang lebih berat.
Respon regulasi non pankreas terhadap hipoglikemia dimulai pada kadar
glukosa darah 63-65mg/dl (3,5-3,6mmol/L). Oleh sebab itu, dalam konteks
terapi diabetes, diagnosis hipoglikemia ditegakkan bila kadar glukosa plasma
kurang dari sama dengan 63 mg/dl (3,5 mmol/L)
Penatalaksanaan
1. Non Medika Mentosa
Tanda dan gejala hipoglikemia bervariasi dari satu orang dengan orang
lain. Orang dengan hipoglikemia pada diabetes mellitus harus mengenal
tanda-tanda dan gejala serta menggambarkannya kepada teman-teman dan
keluarga sehingga mereka dapat membantu jika diperlukan. Staf di sekolah
juga harus diberitahu bagaimana mengenali tanda dan gejala hipoglikemia
pada anak dan bagaimana cara mengobatinya. Orang yang mengalami
hipoglikemia beberapa kali dalam seminggu harus menghubungi pusat
pelayanan kesehatan untuk mengatur perubahan dalam rencana pengobatan,
pengurangan obat atau pemberian obat yang berbeda, jadwal baru untuk
insulin atau obat-obatan, makan yang berbeda, atau rencana kegiatan fisik
yang baru apabila diperlukan.
Ketika orang berpikir glukosa darah mereka terlalu rendah, mereka harus
memeriksa kadar glukosa darah pada sampel darah menggunakan alat ukur.
Jika kadar glukosa di bawah 70 mg/dl, makanan yang tepat yang harus
dikonsumsi untuk menaikkan glukosa darah adalah:
a. Glukosa gel 1 porsi yang jumlah sama dengan 15 gram
karbohidrat.
b. 1/2 gelas atau 4 ons jus buah.
c. 1/2 gelas atau 4 ons minuman ringan biasa.
d. 1 cangkir atau 8 ons susu.
e. 5 atau 6 buah permen.
f. 1 sendok makan gula atau madu.
Langkah berikutnya adalah memeriksa kembali glukosa darah dalam 15
menit untuk memastikan kadar glukosa telah meningkat menjadi 70 mg/dl
atau lebih . Jika masih terlalu rendah, diberikan makanan serupa. Langkah-
langkah ini harus diulang sampai kadar glukosa darah adalah 70 mg/dl atau
lebih.
Menurut Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (2006) pedoman
tatalaksana hipoglikemiaa adalah sebagai berikut:
a. Glukosa diarahkan pada kadar glukosa puasa yaitu 120 mg/dl.
b. Bila diperlukan pemberian glukosa cepat (Intravena) bisa
diberikan satu flakon (25 cc) dextrosa 40% (10 gr dextrosa) untuk
meningkatkan kadar glukosa kurang lebih 25-50 mg/dL.
Manajemen hipoglikemia menurut Soemadji (2009) tergantung pada
derajat hipoglikemia, yaitu :
a. Hipoglikemia ringan
1. Diberikan 150-200 ml teh manis atau jus buah atau 6-10 butir
permen atau 2-3 sendok teh sirup atau madu.
2. Bila tidak membaik dalam 15 menit, ulangi pemberian.
3. Tidak dianjurkan untuk memberikan makanan tinggi kalori
seperti coklat, kue, ice cream, cake dan lain-lain.
b. Hipoglikemia berat
1. Tergantung pada tingkat kesadaran pasien.
2. Bila pasien dalam keadaan tidak sadar, jangan memberi makanan
atau minuman karena bisa berpotensi terjadi aspirasi.
2. Medika Mentosa
Adapun terapi medika mentosa hipoglikemia yang dapat diberikan adalah:
a. Glukosa Oral.
b. Glukosa Intravena.
c. Glukagon (SC/IM).
d. Thiamine 100 mg (SC/IM) pada pasien alkoholisme.
e. Monitoring

Tabel 5. Monitoring
Kadar Glukosa (mg/dL) Terapi Hipoglikemia
< 30 mg/dl Injeksi IV dextrose 40 % (25 cc) bolus
3 flakon
30-60 mg/dl Injeksi IV dextrosa 40 % (25 cc) bolus
2 flakon
60-100 mg/dl Injeksi IV dextrosa 40 % (25 cc) bolus
1 flakon
Follow up :
1. Periksa kadar gula darah 30 menit setelah injeksi.
2. Setelah 30 menit pemberian bolus 3 atau 2 atau 1 flakon dapat
diberikan 1 flakon lagi sampai 2-3 kali untuk mencapai kadar
glukosa darah 120 mg/dl.

A. Pencegahan Hipoglikemia
Rencana perawatan diabetes dirancang untuk sesuai dengan dosis dan
waktu pengobatan dengan waktu makan dan kegiatan seseorang yang seperti
biasa. Inkompatibilitas dapat menyebabkan hipoglikemia. Misalnya,
meningkatkan dosis insulin atau obat lain yang, tapi kemudian melewatkan
penggunaan insulin dapat menyebabkan hipoglikemia. Untuk membantu
mencegah hipoglikemia, orang dengan diabetes harus selalu
mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
a. Obat-obatan untuk diabetes
Penyedia layanan kesehatan dapat menjelaskan obat-obat
yang digunakan untuk terapi diabetes yang dapat menyebabkan
hipoglikemia dan menjelaskan bagaimana dan kapan harus
mengkonsumsi obat tersebut.
Orang-orang yang mengkonsumsi obat untuk diabetes harus
bertanya kepada dokter atau tenaga kesehatan profesional kesehatan
mengenai
1. Apakah obat yang dikonsumsi dapat menyebabkan
hipoglikemia.
2. Kapan mereka harus mengkonsumsi obat diabetes terebut.
3. Berapa jumlah obat yang harus mereka konsumsi.
4. Mereka harus tetap mengkonsumsi obat ketika mereka sakit.
5. Mereka harus menyesuaikan obat sebelum melakukan
aktivitas.Fisik
6. Mereka harus menyesuaikan obat jika melewatkan waktu
makan.
b. Pola makan
Seorang ahli diet dapat membantu merancang rancangan
menu makan yang sesuai preferensi pribadi dan gaya hidup. Rencana
makan ini penting bagi pengelolaan hipoglikemi. Orang-orang
hipoglikemi harus makan secara teratur, cukup makanan setiap kali
makan, dan mencoba untuk tidak melewatkan waktu makan atau
makanan ringan. Beberapa makanan ringan dapat lebih efektif daripada
makanan lain dalam mencegah hipoglikemia pada malam hari. Ahli
diet dapat membuat rekomendasi untuk makanan ringan.
c. Aktivitas sehari-hari
Untuk membantu mencegah hipoglikemia yang disebabkan
oleh aktivitas fisik, penyedia layanan kesehatan mungkin
menyarankan:
1. Memeriksa glukosa darah sebelum olahraga atau aktivitas fisik
lainnya dan konsumsi camilan jika kadar gula darah di bawah 100
miligram perdesiliter (mg/dL).
2. Menyesuaikan obat sebelum aktivitas fisik.
3. Pemeriksaan glukosa darah secara teratur dengan interval selama
waktu beraktivitas fisik dan konsumsi makanan ringan sesuai
kebutuhan.
4. Memeriksa glukosa darah secara berkala setelah aktivitas fisik.
d. Konsumsi alkohol
Minum-minuman beralkohol, terutama pada saat perut
kosong, dapat menyebabkan hipoglikemia, bahkan satu atau dua hari
kemudian. Alkohol dapat sangat berbahaya bagi orang yang memakai
insulin atau obat yang meningkatkan produksi insulin.
e. Rencana pengelolaan diabetes
Manajemen diabetes intensif untuk menjaga glukosa darah agar
mendekati kisaran normal dapat mencegah komplikasi jangka panjang
yang bisa meningkatkan risiko hipoglikemia. Mereka yang berencana
melakukan kontrol ketat harus berbicara dengan penyedia layanan
kesehatan mengenai cara-cara yanga dapat dilakukan untuk mencegah
hipoglikemia dan cara terbaik untuk mengobatinya
Daftar Pustaka :
Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Primer, 2014.

3. Hipoparatiroid
Tingkat Kemampuan 3A
Definisi
Hipoparatiroid adalah gabungan gejala dari produksi hormon paratiroid
yang tidak adekuat. Keadaan ini jarang sekali ditemukan dan umumnya sering
sering disebabkan oleh kerusakan atau pengangkatan kelenjar paratiroid pada
saat operasi paratiroid atau tiroid, dan yang lebih jarang lagi ialah tidak adanya
kelenjar paratiroid (secara congenital). Kadang-kadang penyebab spesifik tidak
dapat diketahui.
Patofisiologi
Hipoparatiroidisme dapat bersifat akut atau kronis dan bisa diklasifikasikan
sebagai kelainan idiopatik atau didapat (akuisita). Keadaan yang mungkin
menyebabkan hipoparatiroidisme meliputi:
- Pankreatitis akut atau malabsorpsi
- Gagal ginjal
- Osteomalasia
- Gangguan genetik autoimun atau kondisi kongenital tidak
adanya kelenjar paratiroid (idiopatik)
- Secara tidak sengaja terjadi pengangkatan atau cedera kelenjar
paratiroid (idiopatik) ketika dilakukan tiroidektomi atau
pembedahan leher lain atau kadang-kadang radiasi yang masif
pada kelenjar paratiroid (akuisita)
- Infark iskemik kelenjar paratiroid selama pembedahan,
amiloiddosis, neoplasma, atau trauma (akuisita)
- Kerusakan sintesis dan pelepasan hormon akibat
hipomagnesemia, supresi fungsi kelenjar yang normal akibat
hiperkalsemia, dan keterlambatan maturasi fungsi paratiroid
(akuisita, reversibel).
Hormon paratiroid (PTH) diatur langsung oleh kadar kalsium serum dan
bukan oleh kelenjar hipofisis atau hipotalamus. Pada keadaan normal, hormon
ini mempertahankan kondisi normokalsemia denganmengatur resopsi tulang
dan absorpsi kalsium di dalam traktur GI. Hormon tersebut juga mempertahankan
hubunganterbalik antara kadar kalsium dan fosfat serum dengan menghambat
reabsorpsi fosfat dalam tubulus renal.
Manifestasi Klinik
Gejala hipoparatiroidisme sama dengan hipokalsemia dan dapat berkisar
dari cukup ringan (kesemutan di tangan, jari, dan sekitar mulut). Bentuk – bentuk
yang lebih parah seperti kram otot di seluruh tubuh dan kejang – kejang.
Hal ini disebabkan kalsium yang memiliki beberapa fungsi utama di dalam tubuh
kita termasuk memberikan energi listrik untuk seluruh sistem saraf,
menyediakan energi listrik untuk kontraksi otot, dan memberikan kekuatan untuk
tulang.
Hipokalsemia menyebabkan iritabilitas sistem neuromuskular dan turut
menimbulkan gejala terutama hipoparatiroidisme yang berupa tetanus. Tetanus
merupakan hipertonia otot yang menyeluruh disertai tremor dan kontraksi
sapsmodik atau tak terkoordinasi yang terjadi dengan atau tanpa upaya
melakukan gerakan volunter.pada keadaan tetanus laten terdapat gejala
matirasa, kesemutan dan kram pada ektremitas dengan keluhan perasaan kaku
pada kedua belah tangan serta kaki. Pada keadaan tetanus yang nyata, tanda –
tanda mencakup bronkospasme, spasem laring, spasme karpopedal (fleksi sendi
siku serta pergelangan tangan dan ekstensi sendi karpofalangeal(, disfagia,
fotofobia, aritmia jantung serta kejang. Gejala lain mencakup ansietas,
iritabilitas, depresi dan bahkan delirium. Perubahan pada EKG dan hipotensi
dapat terjadi.
Gejala-gejala utama adalah reaksi – reaksi neuromuskular yang berlebihan
yang disebabkan oleh kalsium serum yang sangat rendah. Keluhan – keluhan dari
penderita adalah tetani atau tetanic aequivalent. Tetani menjadi manifestasi
sebagai spasmus corpopedal dimana tangan berada dalam keadaan fleksi
sedangkan ibu jari dalam adduksi dan jari – jari lain dalam ekstensi.
Tidakjarang juga didapatkan articulatio cubitti dalam keadaan fleksi dan
tungkai bawah dan kaki dalam keadaan ekstensi.
Dalam titanic aequivalent :
1. Konvulsi-konvulsi yang tonis atau klonis
2. Stridor laryngeal (spasme) yang bisa menyebabkan kematian
3. Parastesi atau kesemutan
4. Disfagia atau disatria
5. Kelumpuhan otot – otot
6. Aritmia jantung
Gejala umum yang dapat dijumpai pada hipoparatiroidisme adalah :
1. Cepat lelah
2. Metabolisme rendah sehingga cenderung gemuk
3. Nyeri abdomen, malabsorbsi intestinal disertai steatore; rambut
kering dan kusam; kerontokan rambut spontan; kuku jari tangan
rapuh; dan memiliki garis tonjolan (krista) atau terlepas, kulit
kering dan bersisik, dermatitis eksfoliatif, infeksi kandida, katarak
dan email gigi yang lemah sehingga gigi mudah berubah warna,
pecah dan keropos semua ini disebabkan oleh efek hipokalsemia.
Hipoparatiroid dapat terjadi akibat operasi kelenjar tiroid yang kurang tepat,
sehingga kelenjar paratiroid ikut terangkat. Hipoparatiroid buatan seperti ini
dapat menimbulkan gejala klinis seperti :
1. Cepat lelah, dan mengantuk.
2. Tulang rusuk teras sakit.
3. Raangsangan otot menimbulkan tetani
4. Konsentrasi kalsium yang terlalu rendah dapat menimbulkan
gangguan pada gerak pernapasan dan kontraksi otot jantung.
5. Takikardia, tetani sinus disertai aritmia kontraksi jantung dan
diakhiri dengan kematian
Kriteria Diagnosis
 Tetanus laten ditunjukkan dengan temuan tanda Trousseau positif atau
tanda Chvostek positif (tetanus terjadi saat kadar kalsium serum 5 sampai
6 mg/dL [1,2 sampai 1,5 mmol/L] atau kurang).
 Diagnosis sulit ditegakkan karena gejala tidak jelas; pemeriksaan
laboratorium menunjukkan peningkatan fosfastase serum; foto ronsen tulang
menunjukkan peningkatan densitas dan kalsifikasi ganglia basalis subkutan
atau paraspinal otak.
Menurut DiGiulio (2014), interpretasi hasil tes pada hipoparatiroidisme,
yaitu:
 Serum kalsium rendah akibat kadar PTH (parathyroid hormone) rendah
 Serum fosfat naik akibat kadar PTH rendah
 Serum PTH rendah akibat berkurangnya sekresi dari kelenjar paratiroid
 Kalsium urin rendah akibat PTH rendah
 Tanda Chvostek positif akibat kadar kalsium turun
 Tanda Trousseau positif akibat kadar kalsium turun
Penatalaksanaan
o Penyuntikan segera garam kalsium IV, seperti larutan kalsiun glukonat
10% untuk meningkatkan kadar kalsium serum terionisasi(tetani akut
yang mengancam nyama pasien)
o Bernafas di dalam kantung kertas dan menghirup gas karbon dioksida
yang dihembuskan pasien sendiri akan menimbulkan asidosis respiratorik
ringan yang meningkatkan kadar kalsium serum (pasien yang sadar dapat
bekerjasama).
o Pemberian sedative dan anti konvulsan untuk mengendalikan spasme
sampai kadar kalsium meningkat
o Peningkatan asupan kalsium dari makanan
o Terapi rumatan dengan pemberian suplemen kalsium dan vitamin D
peroral (tetani kronis)
o Pemberian suplemen vitamin D dan kalsium karena absorbsi kalsium
dalam usus halus memerlukan keberadaan vitamin D (terapi penyakit
yang reversible dan biasanya dilakukan seumur hidup)
o Pemberian kalsitriol (calcijex, rocaltrol), jika ada gangguan hepar atau
renal yang membuat pasien tidak toleran terhadap vitamin D
Daftar Pustaka :
Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Primer, 2014.

4. Hipertiroid
Tingkat Kemampuan 3A
Definisi
Hipertiroid adalah suatu gangguan dimana kelenjar tiroid memproduksi
lebih banyak hormon tiroid yang dibutuhkan oleh tubuh. Kadang-kadang
disebut juga tirotoksikosis. 1 persen populasi di Amerika memiliki resiko untuk
menderita hipertiroid. Wanita lebih banyak mengalami kejadian ini dibandingkan
dengan pria.
Perlu dibedakan antara pengertian tirotoksikosis dengan hipertiroidsme.
Tirotoksikosis ialah manifestasi klinis kelebihan hormon tiroid yang beredar
dalam sirkulasi. Hipertiroidsme adalah tirotoksikosis yang diakibatkan oleh
kelenjar tiroid yang hiperkatif. Apapun sebabnya manifestasi kliniknya sama,
karena efek ini disebabkan ikatan T3 dengan reseptor T4-inti yang makin
penuh.
Patofisiologi
Beberapa penyebab terjadinya hipertiroid adalah :
1. Penyakit Grave
Pada penyakit grave sistem imun membuat antibodi yang disebut thyroid
stimulating immunoglobulin (TSI), dimana memiliki struktur yang hampir
sama dengan TSH dan menyebabkan peningkatan hormon tiroid yang lebih
banyak dalam tubuh.
2. Nodul Tiroid
Nodul tiroid yang dikenal juga sebagai adenoma adalah benjolan yang
terdapat pada tiroid. Nodul tiroid umumnya bukan suatu keganasan. 3 -7%
populasi memiliki resiko terjadinya nodul tiroid. Nodul dapat menjadi hipereaktif
dan menghasilkan banyak hormon tiroid. Suatu nodul yang hiperaktif disebut
adenoma toksik dan apabila melibatkan banyak nodul yang mengalami
hiperaktif disebut sebagai goiter multinodular toksik. Meskipun jarang
ditemukan pada orang dewasa goiter multinodular toksik dapat memproduksi
lebih banyak hormon tiroid.
3. Tiroiditis
Beberapa jenis tiroiditis dapat menyebabkan hipertiroidisme. Tiroiditis tidak
menyebabkan tiroid untuk menghasilkan hormon berlebihan. Sebaliknya, hal
itu menyebabkan hormon tiroid yang disimpan, bocor keluar dari kelenjar yang
meradang dan meningkatkan kadar hormon dalam darah.
a. Tiroiditis subakut
Kondisi ini berkembang akibat adanya inflamasi pada kelenjar tiroid
yang dapat diakibatkan dari infeksi virus atau bakteri.
b. Tiroiditis postpartum
Tiroiditis postpartum diyakini kondisi autoimun dan menyebabkan
hipertiroidisme yang biasanya berlangsung selama 1 sampai 2 bulan.
Kondisi ini akan terulang kembali dengan kehamilan berikutnya.
c. Tiroiditis “silent”
Jenis tiroiditis disebut "silent" karena tidak menimbulkan rasa sakit,
seperti tiroiditis post partum, meskipun tiroid dapat membesar. Seperti
tiroiditis postpartum, tiroiditis “silent” mungkin suatu kondisi
autoimun.
4. Penggunaan Yodium
Kelenjar tiroid menggunakan yodium untuk membuat hormon tiroid, sehingga
jumlah yodium yang dikonsumsi berpengaruh pada jumlah hormon
tiroid yang dihasilkan. Pada beberapa orang, mengkonsumsi sejumlah besar
yodium dapat menyebabkan tiroid untuk membuat hormon tiroid berlebihan.
Kadang-kadang jumlah yodium yang berlebihan terkandung dalam obat-
seperti amiodarone, yang digunakan untuk mengobati masalah jantung.
Beberapa obat batuk juga mengandung banyak yodium.
5. Medikasi berlebihan dengan hormontiroid
Beberapa orang yang menderita hipotiroid akan mengkonsumsi hormon
tiroid lebih banyak, yang terkadang akan menyebabkan kelebihan hormon
tiroid dalam tubuh. Selain itu, beberapa obat juga dapat meningkatkan
sekresi hormon tiroid. Oleh sebab itu, penggunaan obat-obat haruslah
dengan konsultasi pada tenaga kesehatan.

Manifestasi Klinik
Tabel 6. Tanda dan Gejala Hipertiroid
Gejala Serta Tanda Hipertiroidisme Umumnya dan pada Penyakit
Graves
Sistem Gejala dan Sistem Gejala dan
Tanda Tanda

Umum Tak tahan hawa Psikis dan Labil. Iritabel,


panas, saraf tremor,
hiperkinesis, psikosis,
capek, BB turun, nervositas,
tumbuh cepat, paralisis
toleransi obat, periodik
youth fullness dispneu
Gastrointestinal Hiferdefekasi, Jantung hipertensi,
lapar, makan aritmia,
banyak, haus, palpitasi, gagal
muntah, jantung
disfagia,
splenomegali
Muskular Rasa lemah Darah dan Limfositosis,
limfatik anemia,
splenomegali,
leher
membesar
Genitourinaria Oligomenorea, Skelet Osteoporosis,
amenorea, libido epifisis cepat
turun, infertil, menutup dan
ginekomastia nyeri tulang
Kulit Rambut rontok,
berkeringat,
kulit basah,
silky hair dan
onikolisis

Spesifik untuk penyakit Graves ditambah dengan :


- Optalmopati (50%) edema pretibial, kemosis, proptosis, diplopia, visus
menurun, ulkus korne
- Dermopati (0,5-4%)
- Akropaki (1%)
Kriteria Diagnosis
Diagnosis suatu penyakit hampir pasti diawali oleh kecurigaan klinis. Untuk
ini telah dikenal indeks klinis Wayne dan New Castle yang didasarkan anamnesis
dan pemeriksaan fisik teliti. Kemudian diteruskan dengen pemeriksaan
penunjang untuk konfirmasi diagnosis anatomis, status tiroid dan etiologi.
Untuk fungsi tiroid diperiksa kadar hormon beredar TT4, TT3 (T-total)
(dalam keadaan tertentu sebaiknya fT4 dan fT3 dan TSH, ekskresi yodium
urin, kadar tiroglobulin, uji tangkap, sintigrafi dan kadang dibutuhkan pula
FNA (fine needle aspiration biopsy), antibodi tiroid (ATPO-Ab, Atg-Ab), TSI.
Tidak semua diperlukan.
Tabel 7. Penegakan Diagnosis Hipertiroid

Untuk fase awal penentuan diagnosis, perlu T4 (T3) dan TSH, namun pada
pemantauan cukup diperiksa T4 saja, sebab sering TSH tetap tersupresi
padahal keadaan membaik. Hal ini karena supresi terlalu lama pada sel tirotrop
oleh hormon tiroid sehingga lamban putih (lazy pituitary). Untuk memeriksa
mata disamping klinis digunakan alat eksoftalmeter Herthl. Karena hormon tiroid
berpengaruh terhadap semua sel/organ maka tanda kliniknya ditemukan pada
semua organ kita.
Pada kelompok usia lanjut dan tanda tanda tidak sejelas pada usia muda,
malahan dalam beberapa hal sangat berbeda. Perbedaan ini antara lain dalam
hal :
a). Berat bedan menurun mencolok (usia muda 20% justru naik)
b). Nafsu makan menurun, mual, muntah dan sakit perut
c). Fibrilasi atrium, payah jantung, blok jantung sering merupakan gejala
awal dari occult hyperthyroidism, takiartmia
d). Lebih jarang dijumpai takikardia (40%)
e). Eye signs tidak nyata atau tidak ada
f). Bukannya gelisah justru apatis (memberi gambaran masked
hyperthyroidsm dan apathetic form).
Penatalaksanaan
Pilihan pengobatan tergantung pada beberapa hal antara lain berat ringannya
tirotoksikosis, usia pasien, besarnya struma, ketersediaan obat antitiroid dan
respon atau reaksi terhadapnya serta penyakit lain yang menyertainya.
Obat – obatan
a. Obat Antitiroid
Golongan Tionamid
Terdapat 2 kelas obat golongan tionamid, yaitu tiourasil dan imidazol.
Tiourasil dipasarkan dengan nama propiltiourasil (PTU) dan imidazol dipasarkan
dengan nama metimazol dan karbimazol. Obat golongan tionamid lain yang baru
beredar ialah tiamazol yang isinya sama dengan metimazol.
Obat golongan tionamid mempunyai efek intra dan ekstratiroid. Mekanisme
aksi intratiroid yang utama ialah mencegah/mengurangi biosintesis hormon
tiroid T-3 dan T-4, dengan cara menghambat oksidasi dan organifikasi iodium,
menghambat coupling iodotirosin, mengubah struktur molekul tiroglobulin dan
menghambat sintesis tiroglobulin. Sedangkan mekanisme aksi ekstratiroid yang
utama ialah menghambat konversi T-4 menjadi T-3 di jaringan perifer (hanya
PTU, tidak pada metimazol). Atas dasar kemampuan menghambat konversi T-
4 ke T-3 ini, PTU lebih dipilih dalam pengobatan krisis tiroid yang
memerlukan penurunan segera hormon tiroid di perifer. Sedangkan kelebihan
metimazol adalah efek penghambatan biosintesis hormon lebih panjang
dibanding PTU, sehingga dapat diberikan sebagai dosis tunggal.
Belum ada kesesuaian pendapat diantara para ahli mengenai dosis dan
jangka waktu pengobatan yang optimal dengan OAT. Beberapa kepustakaan
menyebutkan bahwa obat-obat anti tiroid (PTU dan methimazole) diberikan
sampai terjadi remisi spontan, yang biasanya dapat berlangsung selama 6 bulan
sampai 15 tahun setelah pengobatan.
Untuk mencegah terjadinya kekambuhan maka pemberian obat-obat antitiroid
biasanya diawali dengan dosis tinggi. Bila telah terjadi keadaan eutiroid secara
klinis, diberikan dosis pemeliharaan (dosis kecil diberikan secara tunggal pagi
hari).
Regimen umum terdiri dari pemberian PTU dengan dosis awal 100-150 mg
setiap 6 jam. Setelah 4-8 minggu, dosis dikurangi menjadi 50-200 mg , 1 atau 2
kali sehari.
Propylthiouracil mempunyai kelebihan dibandingkan methimazole karena
dapat menghambat konversi T4 menjadi T3, sehingga efektif dalam penurunan
kadar hormon secara cepat pada fase akut dari penyakit Graves.
Methimazole mempunyai masa kerja yang lama sehingga dapat diberikan
dosis tunggal sekali sehari. Terapi dimulai dengan dosis methimazole 40 mg
setiap pagi selama 1-2 bulan, dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 5 – 20 mg
perhari.
Ada juga pendapat ahli yang menyebutkan bahwa besarnya dosis tergantung
pada beratnya tampilan klinis, tetapi umumnya dosis PTU dimulai dengan
3x100-200 mg/hari dan metimazol/tiamazol dimulai dengan 20-40 mg/hari
dosis terbagi untuk 3-6 minggu pertama. Setelah periode ini dosis dapat
diturunkan atau dinaikkan sesuai respons klinis dan biokimia. Apabila respons
pengobatan baik, dosis dapat diturunkan sampai dosis terkecil PTU 50mg/hari
dan metimazol/ tiamazol 5-10 mg/hari yang masih dapat mempertahankan
keadaan klinis eutiroid dan kadar T-4 bebas dalam batas normal. Bila dengan
dosis awal belum memberikan efek perbaikan klinis dan biokimia, dosis dapat
di naikkan bertahap sampai dosis maksimal, tentu dengan memperhatikan
faktor-faktor penyebab lainnya seperti ketaatan pasien minum obat, aktivitas
fisis dan psikis.
Meskipun jarang terjadi, harus diwaspadai kemungkinan timbulnya efek
samping, yaitu agranulositosis (metimazol mempunyai efek samping
agranulositosis yang lebih kecil), gangguan fungsi hati, lupus like syndrome,
yang dapat terjadi dalam beberapa bulan pertama pengobatan. Agranulositosis
merupakan efek samping yang berat sehingga perlu penghentian terapi dengan
Obat Anti Tiroid dan dipertimbangkan untuk terapi alternatif yaitu yodium
radioaktif.. Agranulositosis biasanya ditandai dengan demam dan sariawan,
dimana untuk mencegah infeksi perlu diberikan antibiotika.
Efek samping lain yang jarang terjadi namun perlu penghentian terapi
dengan Obat Anti Tiroid antara lain Ikterus Kholestatik, Angioneurotic edema,
Hepatocellular toxicity dan Arthralgia Akut. Untuk mengantisipasi timbulnya
efek samping tersebut, sebelum memulai terapi perlu pemeriksaan
laboratorium dasar termasuk leukosit darah dan tes fungsi hati, dan diulang
kembali pada bulan-bulan pertama setelah terapi. Bila ditemukan efek
samping, penghentian penggunaan obat tersebut akan memperbaiki kembali
fungsi yang terganggu, dan selanjutnya dipilih modalitas pengobatan yang lain
seperti 131I atau operasi.
Bila timbul efek samping yang lebih ringan seperti pruritus, dapat dicoba ganti
dengan obat jenis yang lain, misalnya dari PTU ke metimazol atau sebaliknya.
Evaluasi pengobatan perlu dilakukan secara teratur mengingat penyakit Graves
adalah penyakit autoimun yang tidak bisa dipastikan kapan akan terjadi remisi.
Evaluasi pengobatan paling tidak dilakukan sekali/bulan untuk menilai
perkembangan klinis dan biokimia guna menentukan dosis obat selanjutnya.
Dosis dinaikkan dan diturunkan sesuai respons hingga dosis tertentu yang dapat
mencapai keadaan eutiroid. Kemudian dosis diturunkan perlahan hingga dosis
terkecil yang masih mampu mempertahankan keadaan eutiroid, dan kemudian
evaluasi dilakukan tiap 3 bulan hingga tercapai remisi. Remisi yang menetap
dapat diprediksi pada hampir 80% penderita yang diobati dengan Obat Anti
Tiroid bila ditemukan keadaan-keadaan sebagai berikut :
1. Terjadi pengecilan kelenjar tiroid seperti keadaan normal.
2. Bila keadaan hipertiroidisme dapat dikontrol dengan pemberian Obat
Anti Tiroid dosis rendah.
3. Bila TSH-R Ab tidak lagi ditemukan didalam serum.
Parameter biokimia yang digunakan adalah FT-4 (atau FT-3 bila terdapat T-
3 toksikosis), karena hormon-hormon itulah yang memberikan efek klinis,
sementara kadar TSH akan tetap rendah, kadang tetap tak terdeteksi, sampai
beberapa bulan setelah keadaan eutiroid tercapai. Sedangkan parameter klinis
yang dievaluasi ialah berat badan, nadi, tekanan darah, kelenjar tiroid, dan
mata.
b. Obat Golongan Penyekat Beta
Obat golongan penyekat beta, seperti propranolol hidroklorida, sangat
bermanfaat untuk mengendalikan manifestasi klinis tirotoksikosis
(hyperadrenergic state) seperti palpitasi, tremor, cemas, dan intoleransi panas
melalui blokadenya pada reseptor adrenergik. Di samping efek antiadrenergik,
obat penyekat beta ini juga dapat -meskipun sedikit- menurunkan kadar T-3
melalui penghambatannya terhadap konversi T-4 ke T-3. Dosis awal
propranolol umumnya berkisar 80 mg/hari.
Di samping propranolol, terdapat obat baru golongan penyekat beta dengan
durasi kerja lebih panjang, yaitu atenolol, metoprolol dan nadolol. Dosis awal
atenolol dan metoprolol 50 mg/hari dan nadolol 40 mg/hari mempunyai efek
serupa dengan propranolol.
Pada umumnya obat penyekat beta ditoleransi dengan baik. Beberapa efek
samping yang dapat terjadi antara lain nausea, sakit kepala, insomnia, fatigue,
dan depresi, dan yang lebih jarang terjadi ialah kemerahan, demam,
agranulositosis, dan trombositopenia. Obat golongan penyekat beta ini
dikontraindikasikan pada pasien asma dan gagal jantung, kecuali gagal jantung
yang jelas disebabkan oleh fibrilasi atrium. Obat ini juga dikontraindikasikan
pada keadaan bradiaritmia, fenomena Raynaud dan pada pasien yang sedang
dalam terapi penghambat monoamin oksidase.
c. Obat-obatan Lain
Obat-obat seperti iodida inorganik, preparat iodinated radiographic contrast,
potassium perklorat dan litium karbonat, meskipun mempunyai efek menurunkan
kadar hormon tiroid, tetapi jarang digunakan sebagai regimen standar
pengelolaan penyakit Graves. Obat-obat tersebut sebagian digunakan pada
keadaan krisis tiroid, untuk persiapan operasi tiroidektomi atau setelah terapi
iodium radioaktif.
Umumnya obat anti tiroid lebih bermanfaat pada penderita usia muda
dengan ukuran kelenjar yang kecil dan tirotoksikosis yang ringan. Pengobatan
dengan Obat Anti Tiroid (OAT) mudah dilakukan, aman dan relatif murah,
namun jangka waktu pengobatan lama yaitu 6 bulan sampai 2 tahun bahkan
bisa lebih lama lagi. Kelemahan utama pengobatan dengan OAT adalah angka
kekambuhan yang tinggi setelah pengobatan dihentikan, yaitu berkisar antara
25% sampai 90%. Kekambuhan dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain
dosis, lama pengobatan, kepatuhan pasien dan asupan yodium dalam makanan.
Kadar yodium yang tinggi didalam makanan menyebabkan kelenjar tiroid kurang
sensitif terhadap OAT.
Pemeriksaan laboratorium perlu diulang setiap 3 - 6 bulan untuk memantau
respons terapi, dimana yang paling bermakna adalah pemeriksaan kadar FT4 dan
TSH.
Pengobatan dengan cara kombinasi OAT-tiroksin
Yang banyak diperdebatkan adalah pengobatan penyakit Graves dengan
cara kombinasi OAT dan tiroksin eksogen. Hashizume dkk pada tahun 1991
melaporkan bahwa angka kekambuhan renddah yaitu hanya 1,7 % pada
kelompok penderita yang mendapat terapi kombinasi methimazole dan
tiroksin., dibandingkan dengan 34,7% pada kelompok kontrol yang hanya
mendapatkan terapi methimazole.
Protokol pengobatannya adalah sebagai berikut :
Pertama kali penderita diberi methimazole 3 x 10 mg/hari selama 6 bulan,
selanjutnya 10 mg perhari ditambah tiroksin 100 μg perhari selama 1 tahun,
dan kemudian hanya diberi tiroksin saja selama 3 tahun. Kelompok kontrol
juga diberi methimazole dengan dosis dan cara yang sama namun tanpa
tiroksin. Kadar TSH dan kadar TSH-R Ab ternyata lebih rendah pada
kelompok yang mendapat terapi kombinasi dan sebaliknya pada kelompok
kontrol. Hal ini mengisyaratkan bahwa TSH selama pengobatan dengan OAT
akan merangsang pelepasan molekul antigen tiroid yang bersifat antigenic,
yang pada gilirannya akan merangsang pembentukan antibody terhadap
reseptor TSH. Dengan kata lain, dengan mengistirahatkan kelenjar tiroid
melalui pemberian tiroksin eksogen eksogen (yang menekan produksi TSH),
maka reaksi imun intratiroidal akan dapat ditekan, yaitu dengan mengurangi
presentasi antigen. Pertimbangan lain untuk memberikan kombinasi OAT dan
tiroksin adalah agar penyesuaian dosis OAT untuk menghindari hipotiroidisme
tidak perlu dilakukan terlalu sering, terutama bila digunakan OAT dosis tinggi.
Pembedahan
Tiroidektomi subtotal merupakan terapi pilihan pada penderita dengan
struma yang besar. Sebelum operasi, penderita dipersiapkan dalam keadaan
eutiroid dengan pemberian OAT (biasanya selama 6 minggu). Disamping itu ,
selama 2 minggu pre operatif, diberikan larutan Lugol atau potassium iodida, 5
tetes 2 kali sehari, yang dimaksudkan untuk mengurangi vaskularisasi kelenjar
dan mempermudah operasi. Sampai saat ini masih terdapat silang pendapat
mengenai seberapa banyak jaringan tiroid yangn harus diangkat.
Tiroidektomi total biasanya tidak dianjurkan, kecuali pada pasein dengan
oftalmopati Graves yang progresif dan berat. Namun bila terlalu banyak
jaringan tiroid yang ditinggalkan , dikhawatirkan akan terjadi relaps. Kebanyakan
ahli bedah menyisakan 2-3 gram jaringan tiroid. Walaupun demikan kebanyakan
penderita masih memerlukan suplemen tiroid setelah mengalami tiroidektomi
pada penyakit Graves.
Hipoparatiroidisme dan kerusakan nervus laryngeus recurrens merupakan
komplikasi pembedahan yang dapat terjadi pada sekitar 1% kasus.
Terapi Yodium Radioaktif
Pengobatan dengan yodium radioaktif (I131) telah dikenal sejak lebih dari
50 tahun yang lalu. Radionuklida I131 akan mengablasi kelenjar tiroid melalui
efek ionisasi partikel beta dengan penetrasi kurang dari 2 mm, menimbulkan
iradiasi local pada sel-sel folikel tiroid tanpa efek yang berarti pada jaringan
lain disekitarnya. Respons inflamasi akan diikuti dengan nekrosis seluler, dan
dalam perjalanan waktu terjadi atrofi dan fibrosis disertai respons inflamasi
kronik. Respons yang terjadi sangat tergantung pada jumlah I131 yang ditangkap
dan tingkat radiosensitivitas kelenjar tiroid. Oleh karena itu mungkin dapat
terjadi hipofungsi tiroid dini (dalam waktu 2-6 bulan) atau lebih lama yaitu
setelah 1 tahun. Iodine131 dengan cepat dan sempurna diabsorpsi melalui saluran
cerna untuk kemudian dengan cepat pula terakumulasi didalam kelenjar tiroid.
Berdasarkan pengalaman para ahli ternyata cara pengobatan ini aman , tidak
mengganggu fertilitas, serta tidak bersifat karsinogenik ataupun teratogenik.
Tidak ditemukan kelainan pada bayi-bayi yang dilahirkan dari ibu yang pernah
mendapat pengobatan yodium radioaktif.
Yodium radioaktif tidak boleh diberikan pada pasien wanita hamil atau
menyusui. Pada pasien wanita usia produktif, sebelum diberikan yodium
radioaktif perlu dipastikan dulu bahwa yang bersangkutan tidak hamil. Selain
kedua keadaan diatas, tidak ada kontraindikasi absolut pengobatan dengan
yodium radioaktif. Pembatasan umur tidak lagi diberlalukan secara ketat, bahkan
ada yang berpendapat bahwa pengobatan yodium radioaktif merupakan cara
terpilih untuk pasien hipertiroidisme anak dan dewasa muda, karena pada
kelompok ini seringkali kambuh dengan OAT.
Cara pengobatan ini aman, mudah dan relatif murah serta sangat jarang
kambuh. Reaksi alergi terhadap yodium radioaktif tidak pernah terjadi karena
massa yodium dalam dosis I131 yang diberikan sangat kecil, hanya 1 mikrogram.
Efek pengobatan baru terlihat setelah 8 – 12 minggu, dan bila perlu terapi
dapat diulang. Selama menunggu efek yodium radioaktif dapat diberikan obat-
obat penyekat beta dan / atau OAT. Respons terhadap pengobatan yodium
radioaktif terutama dipengaruhi oleh besarnya dosis I131 dan beberapa faktor lain
seperti faktor imun, jenis kelamin, ras dan asupan yodium dalam makanan sehari-
hari.
Efek samping yang menonjol dari pengobatan yodium radioaktif adalah
hipotiroidisme. Kejadian hipotiroidisme sangat dipengaruhi oleh besarnya
dosis; makin besar dosis yang diberikan makin cepat dan makin tinggi angka
kejadian hipotiroidisme.
Dengan dosis I131 yang moderat yaitu sekitar 100 μCi/g berat jaringan
tiroid, didapatkan angka kejadian hipotiroidisme sekitar 10% dalam 2 tahun
pertama dan sekitar 3% untuk tiap tahun berikutnya.
Efek samping lain yang perlu diwaspadai adalah :
- memburuknya oftalmopati yang masih aktif (mungkin karena lepasnya
antigen tiroid dan peningkatan kadar antibody terhadap reseptor TSH), dapat
dicegah dengan pemberian kortikosteroid sebelum pemberian I131
- hipo atau hiperparatiroidisme dan kelumpuhan pita suara (ketiganya sangat
jarang terjadi)
- gastritis radiasi (jarang terjadi)
- eksaserbasi tirotoksikosis akibat pelepasan hormon tiroid secara mendadak
(leakage) pasca pengobatan yodium radioaktif; untuk mencegahnya maka
sebelum minum yodium radioaktif diberikan OAT terutama pada pasien
tua dengan kemungkinan gangguan fungsi jantung. Setelah pemberian
yodium radioaktif, fungsi tiroid perlu dipantau selama 3 sampai 6 bulan
pertama; setelah keadaan eutiroid tercapai fungsi tiroid cukup dipantau
setiap 6 sampai 12 bulan sekali, yaitu untuk mendeteksi adanya
hipotiroidisme.
Pengobatan oftalmopati Graves
Diperlukan kerjasama yang erat antara endokrinologis dan oftalmologis dalam
menangani oftalmopati Graves. Keluhan fotofobia, iritasi dan rasa kesat pada
mata dapat diatasi dengan larutan tetes mata atau lubricating ointments, untuk
mencegah dan mengobati keratitis. Hal lain yang dapat dilakukan adalah dengan
menghentikan merokok, menghindari cahaya yang sangat terang dan debu,
penggunaan kacamata gelap dan tidur dengan posisi kepala ditinggikan untuk
mengurangi edema periorbital. Hipertiroidisme sendiri harus diobati dengan
adekuat. Obat-obat yang mempunyai khasiat imunosupresi dapat
digunakan seperti kortikosteroid dan siklosporin, disamping OAT sendiri dan
hormon tiroid. Tindakan lainnya adalah radioterapi dan pembedahan
rehabilitatif seperti dekompresi orbita, operasi otot ekstraokuler dan operasi
kelopak mata.
Yang menjadi masalah di klinik adalah bila oftalmopati ditemukan pada
pasien yang eutiroid; pada keadaan ini pemeriksaan antibody anti-TPO atau
antibody antireseptor TSH dalam serum dapat membantu memastikan
diagnosis. Pemeriksaan CT scan atau MRI digunakan untuk menyingkirkan
kemungkinan penyebab kelainan orbita lainnya.
Pengobatan krisis tiroid
Pengobatan krisis tiroid meliputi pengobatan terhadap hipertiroidisme
(menghambat produksi hormon, menghambat pelepasan hormon dan
menghambat konversi T4 menjadi T3, pemberian kortikosteroid, penyekat beta
dan plasmafaresis), normalisasi dekompensasi homeostatic (koreksi cairan,
elektrolit dan kalori) dan mengatasi faktor pemicu.
Penyakit Graves Dengan Kehamilan
Wanita pasien penyakit Graves sebaiknya tidak hamil dahulu sampai
keadaan hipertiroidisme-nya diobati dengan adekuat, karena angka kematian
janin pada hipertiroidisme yang tidak diobati tinggi. Bila ternyata hamil juga
dengan status eutiroidisme yang belum tercapai, perlu diberikan obat antitiroid
dengan dosis terendah yang dapat mencapai kadar FT-4 pada kisaran angka
normal tinggi atau tepat di atas normal tinggi. PTU lebih dipilih dibanding
metimazol pada wanita hamil dengan hipertiroidisme, karena alirannya ke janin
melalui plasenta lebih sedikit, dan tidak ada efek teratogenik. Kombinasi terapi
dengan tiroksin tidak dianjurkan, karena akan memerlukan dosis obat antitiroid
lebih tinggi, di samping karena sebagian tiroksin akan masuk ke janin, yang dapat
menyebabkan hipotiroidisme.
Evaluasi klinis dan biokimia perlu dilakukan lebih ketat, terutama pada
trimester ketiga. Pada periode tersebut, kadang-kadang - dengan mekanisme
yang belum diketahui- terdapat penurunan kadar TSHR-Ab dan peningkatan
kadar thyrotropin receptor antibody, sehingga menghasilkan keadaan remisi
spontan, dan dengan demikian obat antirioid dapat dihentikan. Wanita
melahirkan yang masih memerlukan obat antiroid, tetap dapat menyusui
bayinya dengan aman.
Daftar Pustaka :
Amelia N. Hipertiroid. Jakarta : Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum
Daerah Pasar Rebo Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi, 2013. Diunduh
pada : https://id.scribd.com/doc/216295539/Referat-Hipertiroid, 3 Februari
2017.

5. Malnutrisi energi-protein
Tingkat Kemampuan 4A
Definisi
Protein Energi Malnutrisi (PEM) adalah suatu kondisi malnutrisi yang berlaku
apabila keperluan protein atau energi atau kedua-duanya untuk metabolisme
badan tidak dapat dipenuhi oleh diet. PEM terdiri dari PEM primer dan
sekunder. PEM primer berlaku karena pemakanan yang tidak adekuat dan PEM
sekunder terjadi oleh karena penyakit-penyakit tertentu yang menyebabkan
pemakanan yang tidak adekuat, asupan yang tidak adekuat, keperluan gizi yang
bertambah dan peningkatan kehilanagan nutrient.
Terdapat 3 tipe PEM yaitu kwashiorkor, marasmik kwashiorkor dan
marasmus. Kwashiorkor berlaku terutama apabila kekurangan protein dan
marasmus berlaku terutama apabila kekurangan energi. Marasmik kwashiorkor
pula adalah kombinasi dari defisiensi kronik energi dan defisiensi kronik atau
akut dari protein.
Patofisiologi
Asupan nutrisi yang berkurang (primer) atau penyakit infeksi (sekunder)
menyebabkan nutrisi yang tidak adekuat untuk tubuh bayi. Ini menyebabkan
cadangan nutrisi tubuh berkurang. Kekurangan nutrisi terutama energi dan
protein bisa menyebabkan PEM.
1. Sistem respirasi-infeksi saluran napas dan paru lebih mudah terjadi, dalam
kasus ini menyebabkan batuk kronik dan demam sehingga menyebabkan
sesak napas, takipnu, sianosis dan ronki basah halus. Kekurangan protein
juga bisa menyebabkan edema saluran nafas dan meningkatkan sekresi
bronkus dan menimbulakan gejal-gejala seperti ditas. Atrofi otot
respiratori menyebabkan retraksi.
2. Sistem sirkulasi-Miodegenerasi karena kekurangan protein dapat
mengurangakn kontraksi jantung. Ini menyebabkan cardiac output
menurun dan seterusnya menyebabkan hipotensi dan penurunan oksigen
arterial. Ini akan menimbulkan hipoksia yang dapat dilihat pada sianosis
pada anak ini.
3. Saluran cerna-infeksi bakteri akan menyebabkan kerusakan mukosa usus
dan gangguan motilitas yang menimbulkan diare dan sindroma disentri.
Diare dan disentri ini menyebabkan kehilangan air dan elektrolit tubuh
yang dapat dilihat dari dehidrasi pada bayi ini. Kekurangan protein juga
dapat menyebabkan atrofi mukosa.
4. Hati-kekurangan protein pada hati menyebabkan infiltrasi glikogen dan
trigliserida. Kekurangan energi pada hati juga bisa menyebakan infiltrasi
glikogen dan trigliserida dan atrofi hati. Kedua-dua ini akan menyebabkan
hepatomegali.
5. Edema & ascites-edema dan ascites berlaku karena kekurangan protein
plasma akan menyebabkan kekurangan tekanan onkotik dan peningkatan
tekanan hidrostatik. Ini menyebabkan cairan dalam vaskular berpindah
ruangan ke ruang interstitial.
6. Hipoproteinemia-keadaan ini menyebabkan kekurangan produksi
eritropoietin. Produksi eritrosit berkurang. Hipoproteinemia juga bisa
menyebabkan stem sel tidak berkembang. Pada ujungnya, akan berlaku
anemia.
7. Infeksi- infeksi sering berlaku karena sistem imun yang lemah, produksi
leukosit dan limfosit yang berterusan boleh menyebabkan splenomegaly.
8. Pertumbuhan terhambat-BB, TB dan perkembangan mental menurun.
Manifestasi Klinik
1. Wellcome Trust classification (BB/U)
- Kwashiorkor: BB 60 – 80% dari BB yang seharusnya, menurut umur
dengan edema.
- Undernutrition: BB 60 – 80% dari BB yang seharusnya, menurut umur
tanpa edema.
- Marasmus: BB < 60% dari BB yang seharusnya menurut umur tanpa
edema.
- Marasmic kwashiorkor: BB < 60% dari BB yang seharusnya menurut
umur dengan edema.
2. WHO
Moderate Severe
undernutrition undernutrition
Symmetrical No Yes
edema
Weight for height SD score -2 to -3 SD score < -3
(measure of (70-79% of expected) (<70% of expected)
wasting)
Height for age SD score -2 to -3 SD score < -3
(measure of (80-89% of expected) (<85% of expected)
stunting)

Manifestasi klinik
 Marasmus
- Atrofi otot dan kehilangan jaringan subkutan yang teruk terutama di
bokong, kaki, tangan, muka (old man’s face)
- Sangat kurus
- Pertumbuhan terhambat
- Tidak ada edema
- Insidens tertinggi pada bayi < 1 tahun
- BB < 60% dari BB seharusnya menurut umur
- Lapisan kulit yang longgar dan berkedut
- Kulit kering, bersisik, tidak elastik dan mudah terkena infeksi
- Hipopigmentasi rambut
- Distensi abdomen karena atrofi otot dan hipotonia otot abdominal
- LLA berkurang
- Nafsu makan yang tinggi
 Kwashiorkor
- Pertumbuhan terganggu
- Edema
- Anoreksia
- Hepatomegali
- Perubahan rambut: nipis, kering, rapuh, jarang, rontok, lurus dan
hipopigmentasi, bisa terdapat flag sign
- Kulit: eritema, hyperpigmentasi, petechiae, ecchymosis, kering, tidak
elastis, crazy pavement dermatosis atau mosaic appearance atau flaky
paint dermatosis
- Moon face
- Mudah terkena infeksi: diare, infeksi respiratori dan kulit
- Sering menyebabkan kematian oleh karena edema pulmonal denagn
bronkopneumonia, sepsis, gastroenteritis dan gangguan homeostasis air
dan elektrolit
 Marasmik kwashiorkor
- Berat badan < 60% dari BB seharusnya menurut umur dan terdapt
edema
- Bisa terdapat tanda-tanda dan gejala-gejala yang terdapat pada kedua-
dua penyakit.
Kriteria Diagnosis
Ditegakkan melalui manifestasi klinik khas yang terdapat pada ketiga-tiga
penyakit seperti yang dijelaskan diatas. Diagnosis pasti bisa didapatkan dengan
metode-metode klasifikasi dan penentuan status gizi seperti yang dijelaskan di
atas.
Diagnosis yang dapat dibuat berdasarkan informasi yang telah didapati pada
kasus di atas adalah:
 Kwashiorkor – edema, BB 73.6%.
 Bronkopneumonia atau TBC
 Disentri
 Dehidrasi
 Anemia.
Anamnesis Tambahan
1. Apakah makanan sehari-hari anak ini?
2. Berapakah BB bayi ini pada waktu lahir?
3. Apakah ada ahli keluarga yang menderita batuk dan sesak?
4. Bagaimanakah lingkungan tempat tinggal anak ini?
Pemeriksaan Penunjang
Untuk anak dalam kasus ini, pemeriksaan penunjang yang harus dibuat
adalah:
1. Penilaian pertumbuhan dan perkembangan.
2. Penilaian status gizi.
3. Foto toraks untuk memastikan kelainan pada paru.
4. Tes Mantoux.
5. Kultur tinja.
6. Tes total protein.
7. Complete blood count untuk mengetahui kondisi anemia dan infeksi.
Penatalaksanaan
Terdapat 3 fase penatalaksanaan pada PEM.
1. Fase pertama
– Fase ini adalah fase yang singkat (24-48 jam; fase stabilisasi)
– Koreksi dehidrasi
– Terapi antibiotik untuk infeksi.
2. Fase kedua
– 1 minggu – 10 hari
– Terapi antibiotik
– Diet untuk energi dan protein (energi ~ 75 kal/kg dan protein
~1g/kg/24jam), elektrolit, mineral dan vitamin.
– Kalau tidak bisa mengambil secara oral, pemberian secara
nasogastrik lebih sering dipakai dibanding parenteral.
– Pada umumnya, dalam fase ini edema, infeksi terkontrol dan anak
mula membaik.
3. Fase ketiga
– Fase pemberian makanan.
– Diet ditambahkan dengan sistematis sehingga energi 150
kkal/kg/24 jam dan protein 4g/kg/24 jam.
– Setelah anak terbiasa dengan diet setinggi ini, pemberian makanan
dimulakan secara ad libitum.
– Terapi besi dimulai pada fase ketiga.
Daftar Pustaka :
Naidu R.N.N. Malnurisi Protein Energi. Makassar : Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin, 2007. Diunduh pada :
https://id.scribd.com/document/94284778/Modul-Malnutrisi-Energi-Protein, 3
Februari 2017.

6. Defisiensi Mineral
Tingkat Kemampuan 4A
Definisi
Mineral dalam arti geologi adalah zat atau benda yang terbentuk oleh proses
alam, biasanya bersifat padat serta tersusun dari komposisi kimia tertentu dan
mempunyai sifat-sifat fisik yang tertentu pula. Mineral dibagi menjadi 2 yakni
makromineral dan mikromineral.
Makromineral adalah mineral yang diperlukan tubuh dalam jumlah besar.
Makroelemen meliputi kalium (K), kalsium (Ca), natrium (Na), fosfor (P),
magnesium (Mg), belerang (S), dan klor (Cl).
Mikromineral yaitu mineral yang diperlukan tubuh dalam jumlah sedikit.
Misalnya besi (Fe), mangan (Mn), kobalt (Co), molibdenum (Mo), dan
selenium (Se).
Manifestasi Klinik
1. Kalsium
a. Gangguan pertumbuhan, tulang kurang kuat, mudah bengkok dan rapuh,
disebut juga ricketsia atau rachitis;
b. Tetani atau kejang otot, misalnya pada kaki;
c. Lambatnya pembekuan darah bila terjadi luka.
2. Phospor (P)
Menyebabkan kerusakan pada tulang, dengan gejala rasa lelah dan kurang
nafsu makan.
3. Magnesium (Mg)
Terjadi pada komplikasi penyakit yang menyebabkan gangguan absorpsi.
4. Biotin
Mengakibatkan peradangan pada kulit & bibir
5. Niasin (Aasam Nikotinat)
Mengakibatkan Pellagra (dermatosis, peradangan pada lidah, fungsi usus &
otak yg abnormal)
6. Natrium
Mengakibatkan kebingungan, penurunan kesadaran
7. Asam Folat
Mengakibatkan berkurangnya jumlah semua jenis sel darah (pansitopenia),
sel darah merah yg berukuran besar (terutama pada wanita hamil, bayi &
penderita malabsorpsi)
Asam folat (vitamin B9) memainkan peran kunci dalam pembelahan sel dan
pertumbuhan jaringan. Defisiensi asam folat meningkatkan resiko
melahirkan bayi dengan tabung saraf (neural tube) yang cacat dan kecacatan
lain. Spina bifida dan anencephaly, merupakan dua jenis kecacatan pada
tabung saraf yang paling sering terjadi. Kelainan ini terjadi ketika tabung saraf
tidak menutup dengan sempurna, sehingga otak atau spinal cord bayi
akan terpapar cairan ketuban. Kecacatan pada tabung saraf diperkirakan
memengaruhi 300.000 atau lebih bayi baru lahir setiap tahunnya.
Kekurangan asam folat juga dapat menyebabkan gangguan fungsi kognitif
pada orang dewasa. Hal ini cenderung lebih sering terjadi pada masyarakat
yang lebih banyak mengonsumsi sereal (rendah folat) dan sedikit sayuran
hijau dan buah-buahan (tinggi folat).
8. Zat Besi
Zat besi dalam darah berfungsi membawa oksigen ke seluruh tubuh. Oleh
karena itu zat besi sangat penting untuk kelangsungan hidup kita. Tubuh
menyimpan zat besi di beberapa tempat. Perempuan memerlukan zat besi
lebih banyak daripada laki-laki. Selama kehamilan, untuk pertumbuhan,
bayi juga membutuhkan zat besi yang diambil dari darah ibu. Pada tahap yang
lebih parah, kekurangan zat besi bisa menyebabkan anemia. Anemia
didefinisikan sebagai konsentrasi hemoglobin darah yang rendah.
Diperkirakan 40 persen penduduk dunia (yaitu lebih dari 2 milyar orang)
mengalami anemia.
Kekurangan zat besi juga dapat merusak perkembangan otak serta
meningkatkan kematian ibu dan anak. Lebih dari 130.000 wanita dan anak-
anak meninggal setiap tahun karena kekurangan zat besi (anemia).
9. Seng
Pertumbuhan yg lambat, tertundanya kematangan seksual, berkurangnya
sensasi rasa. Tubuh manusia bergantung pada zinc untuk melakukan banyak
fungsi termasuk penyembuhan luka, pertumbuhan dan perbaikan jaringan,
pembekuan darah, metabolisme protein, karbohidrat, lemak dan alkohol,
perkembangan janin, serta produksi sperma. Gejala kekurangan yang cukup
parah diantaranya adalah gangguan pertumbuhan, diare, gangguan mental,
dan terjadinya infeksi yang berulang. Sekitar 20 persen dari populasi dunia
memiliki resiko defisiensi zinc. Daerah-daerah yang paling terpengaruh
meliputi Asia Selatan (khususnya, Bangladesh dan India), Afrika, dan
Pasifik barat.
Percobaan pemberian suplemen zinc dilakukan selama beberapa dekade
terakhir pada anak-anak dari negara-negara berkembang, telah menunjukkan
tingkat pertumbuhan yang lebih baik dan penurunan insiden diare, pneumonia,
dan berbagai penyakit menular.
10. Asam Pantotenat
Mengakibatkan penyakit saraf, kaki terbakar
11. Klorida
Mengakibatkan gangguan keseimbangan asam-basa
12. Selenium
Kekurangan selenium mengakibatkan nyeri otot & kelemahan
13. Fosfat
Mudah tersinggung, kelemahan, kelainan sel darah, kelainan usus & ginjal
14. Tembaga
Mengakibatkan anemia pada anak² yg menderita malnutrisi
15. Yodium
Pembesaran kelenjar tiroid (goiter), kretinisme, tuli-bisu, pertumbuhan
janin & perkembangan otak yg abnormal. Delapan belas juta anak per tahun
lahir dengan gangguan mental karena defisiensi iodium. Hampir dua milyar
orang tidak tercukupi kebutuhan iodium dari makanan yang mereka konsumsi,
sepertiganya merupakan anak usia sekolah. Orang dengan defisiensi
iodium kronis menunjukkan penurunan kecerdasan (IQ) mereka hingga 12,5-
13,5 points.
Iodium merupakan mineral penting bagi perkembangan dan pertumbuhan
tubuh. Tubuh memerlukan iodium untuk menghasilkan hormon yang
mengatur kelenjar tiroid.
Tanda yang paling umum dikenal akibat kekurangan iodium adalah gondok,
atau pembengkakan kelenjar tiroid di leher. Kekurangan iodium terutama
mempengaruhi perkembangan otak. Hal ini juga dapat menyebabkan
kretinisme, kondisi paling parah dari keterbelakangan mental dan cacat
fisik.
16. Kalium (K)
Kekurangan terjadi jika diare kronis, muntah pada penggunaan obat
pencahar, deuretik.
A. Defisiensi Besi dan Seng
Defisiensi Besi
Di Indonesia, berdasarkan Departemen Kesehatan (Depkes) RI Tahun 2001,
47 % balita menderita anemia defisiensi besi. Sedangkan data pada Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) Departemen Kesehatan Tahun 2007
menunjukkan bahwa 40% anak di Indonesia pada rentang usia 1-14 tahun
menderita anemia dan menemukan bahwa satu dari empat anak usia sekolah
dasar menderita kekurangan besi. Asian Development Bank menyebutkan bahwa
sekitar 22 juta anak Indonesia terkena anemia.
Data dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi dan Makanan (P3GM)
Depkes RI Tahun 2006 tentang studi gizi mikro di 10 Propinsi, menemukan
bahwa prevalensi anemia gizi besi balita adalah sebesar 26,3%. Dan data terakhir
dari Departemen Kesehatan RI Tahun 2011, menunjukan prevalensi anemia pada
anak mengalami penurunan, yakni menjadi 17,6% di bandingkan sebelumnya
51,5% (1995) dan 25,0% (2006) . Berdasarkan kategori yang dikeluarkan oleh
World Health Organization Tahun 2000 menyatakan bahwa prevalensi anemia
mencapai 40% maka digolongkan masalah berat, prevalensi
10-39% tergolong sedang dan kurang dari 10% tergolong masalah ringan. Jadi
berdasarkan kategori tersebut, prevalensi anemia di Indonesia sekarang termasuk
kategori sedang, tetapi tetap menjadi masalah kesehatan nasional karena masih
di atas angka cut of point prevalensi anemia (>15%).
Selain data dari Departemen Kesehatan RI, publikasi mandiri para peneliti
juga menunjukkan angka yang tidak jauh berbeda, Departemen Ilmu Gizi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) yang meneliti 661 anak di
lima sekolah dasar negeri di Jakarta Timur menunjukkan 85% anak sekolah
mendapatkan asupan zat besi hanya 80% dari rekomendasi harian yang
dianjurkan. Dan penelitian yang dilakukan di Desa Minaesa Kecamatan Wori
Kabupaten Minahasa Utara oleh Aaltje E. Manampiring Tahun 2008
menunjukkan prevalensi anemia pada anak sekolah sebesar 39,42%, penelitian
di Propinsi Sulawesi Utara oleh Matondan Tahun 2004 menunjukkan
prevalensi anemia pada anak panti asuhan usia sekolah dasar sebesar 62,8%,
sedangkan penelitian oleh RB. Purba Tahun 1995 di Desa Bolaang
Mongondow menemukan pravelensi anemia pada anak sekolah dasar sebesar
18,33% di daerah penghasil sayur dan 28,33% di daerah bukan penghasil
sayuran.
Zat besi (Fe) merupakan mikroelemen yang esensial bagi tubuh, terutama
diperlukan dalam hematopoiesis (pembentukan darah) yaitu dalam sintesa
hemoglobin (Hb). Hemoglobin sendiri terdiri dari Fe (zat besi), protoporfirin, dan
globin (1/3 berat Hb terdiri dari Fe). Fungsi Fe dalam tubuh banyak di perankan
dalam bentuk hemoglobin ini yang berfungsi sebagai alat angkut oksigen
dari paru-paru ke jaringan tubuh dan sebagai alat angkut elektron di dalam sel.
Selain itu zat besi juga berada dalam bentuk myoglobin yang berfungsi untuk
menyimpan dan mendistribusikan oksigen dalam sel otot, dan dalam bentuk
enzyme terikat besi (iron dependent enzymes) yang merupakan bagian terpadu
dari berbagai reaksi enzim di dalam jaringan tubuh.
Sumber Zat Besi
Sumber-sumber zat besi terdapat luas di dalam makanan, jika dalam
makanan hewani, zat besi berada dalam bentuk protein besi-hem (besi-
hemoglobin) yang terdapat pada daging merah, telur serta ikan, sedangkan dalam
makanan nabati, zat besi berada dalam bentuk senyawa anorganik kompleks besi-
nonhem yang terdapat pada kacang kedelai, kacang hijau, berbagai jenis sayuran
dan juga buah-buahan. Zat besi dalam bentuk besi-hem akan lebih mudah di serap
oleh tubuh manusia dibandingkan dengan bentuk besi-nonhem. Tabel berikut
menunjukkan kandungan zat besi dalam beberapa
bahan makanan.
Tabel 8. Sumber Zat Besi
Setiap tahapan umur anak-anak mempunyai kebutuhan yang berbeda-beda
terhadap asupan zat besi, tetapi secara umum jumlah asupan yang di
rekomendasikan adalah sebagai berikut :
Tabel 9. Kebutuhan Zat Besi harian

Walaupun secara alamiah, sumber zat besi terdapat melimpah dalam


berbagai makanan, tetapi banyak penduduk dunia yang mengalami kekurangan
zat besi. Hal ini karena asupan zat besi yang kurang dan rendahnya absorbsi
(penyerapan) zat besi oleh tubuh. Sebagai contoh protein besi-hem dapat
diabsorbsi oleh tubuh hanya 25% saja dari total besi-hem yang ada dalam
makanan, sedangkan senyawa besi-nonhem hanya 5%.
Manifestasi Defisiensi Fe
Setiap orang tua dapat mengenali gejala dini anaknya mengalami
kekurangan zat besi, di antaranya dengan memperhatikan wajah dan tingkah laku
anaknya seperti wajah pucat, cepat letih (stamina dan daya tahan tubuh menurun),
kurang konsentrasi, dan nafsu makan menurun.
Akibat kekurangan/defisiensi dari zat besi ini sangat berbahaya bagi tubuh
yang menyebabkan terjadi anemia defisiensi besi. Anemia defisiensi besi ini
akan menyebabkan gejala sebagaimana gejala dini di atas yaitu wajah pucat,
cepat letih, kurang nafsu makan, terjadinya komplikasi khas seperti kelainan
kuku (koilorikia), atrofi papila lidah, disfagia, dan stomatitis angularis sampai
dengan komplikasi berat seperti ganguan pertumbuhan sel tubuh dan sel otak,
produktivitas, daya tahan tubuh, dan kemampuan belajar yang menurun.
Defisiensi Seng
Berdasarkan Data dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi dan
Makanan (P3GM) Depkes RI Tahun 2006 tentang studi gizi mikro di 10
Propinsi, menemukan bahwa prevalensi balita kurang zink sebesar 32%
sementara asupan zat gizi zink pada balita: 30 % dari AKG (angka kecukupan
gizi). Departemen Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
(FKUI) yang meneliti 661 anak di lima sekolah dasar negeri di Jakarta Timur
menunjukkan 98,6% anak sekolah mendapatkan asupan zat seng hanya 80%
dari rekomendasi harian yang dianjurkan.
International Conference of Zinc and Human Health (2000) memperkirakan
48% populasi dunia mempunyai resiko terjadinya defisiensi seng. Penelitian oleh
Huwae FJ tahun 2006 pada 111 anak usia 6-8 tahun di grobongan Jawa Tengah
di temukan 40% mengalami defisiensi seng. Sedangkan hasil penelitian dari
Endang Dwi L dari Universitas Sebelas Maret Solo cukup mengejutkan, di mana
dari penelitian terhadap 220 anak sekolah dari 10 SD yang diteliti semuanya
menderita defisiensi zat seng.
Zat seng / zink merupakan salah satu mikromineral esensial penting yang di
perlukan oleh tubuh. Seng terdapat dalam jumlah yang cukup banyak di dalam
setiap sel, kecuali sel darah merah dimana zat besi berfungsi khusus mengangkut
oksigen. Seng tidak terbatas perannya seperti zat besi. Peranan
terpenting seng adalah pada proses percepatan pertumbuhan dan pembelahan sel,
di mana seng berperan dalam sintesa dan degradasi dari karbohidrat, lemak,
protein, asam nukleat dan pembentukan embrio. Seng juga berperan penting
dalam sistem kekebalan dan terbukti bahwa seng merupakan mediator potensial
pertahanan tubuh terhadap infeksi. Selain peranan di atas, seng juga berperan
sebagai antioksidan, perkembangan seksual, pengecapan serta nafsu makan.
Dalam tubuh, seng merupakan komponen dari metalloenzymes yang berfungsi
untuk mempertahankan kelangsungan berbagai proses metabolisme dan
stabilitas membran sel. Hampir 300 jenis enzim seng berhasil
diidentifikasi, misalnya alkohol dehidrogenase, deoxy-ribonucleic acid
polymerase, ribonucleic acid polymerase, alkali fosfatase, laktat dehidrogenase
dan karbopeptidase.
Sumber Zat Seng
Untuk mencukupi kebutuhan zink dapat di ambil dari sumber-sumber alami
baik hewani maupun nabati seperti daging merah, daging unggas, makanan laut
(seafood), tiram, produk susu, kacang-kacangan, sereal, dan biji labu kuning.
Selain itu, sayuran hijau seperti bayam, asparagus, kemangi, brokoli, dan
kacang polong merupakan makanan sehat sumber seng. Berikut adalah tabel
beberapa kandungan zat seng (Zn) dalam bahan makanan :
Tabel 10. Sumber Zat seng

Setiap tahapan umur anak-anak mempunyai kebutuhan yang berbeda-beda


terhadap asupan zat seng, tetapi secara umum jumlah asupan yang di
rekomendasikan adalah sebagai berikut :
Tabel 11. Kebutuhan Harian Zat Seng

Karena peranannya yang banyak dalam berbagai proses penting dalam


tubuh, maka seng paling rentan mengalami defisiensi. Hal ini bearti seng harus
tersedia dalam jumlah yang cukup dalam diet sehari hari. Tetapi sayangnya
walaupun asupan seng yang dibutuhkan tubuh manusia sebenarnya sangat
sedikit, namun ternyata penyerapan seng oleh tubuh pun sangatlah kecil. Dari
sekitar 4-14 mg/hari jumlah seng yang dianjurkan untuk dikonsumsi, hanya
sekitar 10-40% saja yang dapat diserap. Di Indonesia, potensi defisiensi seng
cukup tinggi, karena mengingat kebiasaan konsumsi menu masyarakat
Indonesia umumnya rendah protein hewani dan relatif tinggi fitat dan serat
yang dapat menghambat penyerapan seng.
Manifestasi Defisiensi Seng
Gejala dini anak mengalami kekurangan zat seng, di antaranya anak sering
sakit, lesu, lemah, nafsu makan berkurang, dan sering diare/mencret. Zat seng
berperan pada molekul penerima rasa lidah. Kekurangan zink akan membuat
indera perasa (lidah) pada anak hanya bisa merasa makanan yang rasanya
ekstrem seperti sangat asin dan manis. Dan pada banyak kasus anak dengan
defisiensi seng, semua makanan terkadang berasa tidak enak, dan tidak jarang
anak-anak suka mengeluarkan lagi makanan yang masuk dari mulutnya dan
jadi tidak nafsu makan.
Defisiensi seng menurut U.S. National Library of Medicine yaitu
pertumbuhan yang lambat, tidak ada selera atau nafsu makan, penyembuhan luka
yang lambat, muncul lesi pada kulit dan infeksi yang tak kunjung sembuh,
kelelahan yang hebat, kerontokan pada rambut, ketidaknormalan pada
kemampuan mengecap rasa dan mencium bau, kesulitan dalam melihat di
kegelapan, dan menurunnya produksi hormon pada pria (infertilitas).
Daftar Pustaka :
Defisiensi Mineral. Diunduh dari :
https://id.scribd.com/doc/221486515/defisiensi-mineral, 4 Februari 2017.

7. Defisiensi Vitamin
Tingkat Kemampuan 4A
Definisi
Vitamin merupakan suatu zat senyawa kompleks yang sangat dibutuhkan
oleh tubuh kita yang berfungsi untuk membantu pengaturan atau proses
kegiatan tubuh. Di dalam tubuh diperlukan dalam jumlah sedikit
(micronutrient). Biasanya tidak disintesis di dalam tubuh. Jika dapat disintesis
bermakna jumlah tidak mencukupi kebutuhan tubuh sehingga harus diperoleh
dari makanan. Beberapa vitamin berfungsi langsung dalam metabolisme
penghasilan energi. Berdasarkan hidrofobisitasnya (kelarutannya dlm air),
vitamin dibagi menjadi 2 :
 Vitamin yang larut dalam lemak : A, D, E, K
 Vitamin yang larut dalam air : B kompleks, C
1. Defisiensi Vitamin A
Kekurangan vitamin A terutama terdapat pada anak-anak balita. Kekurangan
vitamin A dapat merupakan kekurangan primer akibat kurang konsumsi atau
kekurangan sekunder karena gangguan penyerapan dan penggunaanya dalam
tubuh, kebutuhan yang meningkat ataupun karena gangguan pada konversi
karoten menjadi karoten. Salah satu tanda awal kekurangan vitamin A adalah
buta senja ( niktalopia) yaitu ketidakmampuan menyesuaikan penglihatan dari
cahaya terang ke cahaya samar. Kornea mata terpengaruh secara dini oleh
kekurangan vitamin A. Kelenjar air mata tidak mampu mengeluarkan air mata
sehingga terjadi pengeringan pada selaput yang menutupi kornea dengan tanda
pemburaman. Pelapisan sel epitel kornea yang akhirnya berakibat melunaknya
dan bisa pecah yang menyebabkan kebutaan total. Beberapa tanda dan gejala
lain jika kekurangan vitamin A adalah kelelahan yang sangat, anemia, kulit
menjadi kering, gatal dan kasar. Pada rambut dapat terjadi kekeringan dan
gangguan pertumbuhan rambut dan kuku.
Sumber Vitamin A
Sumber vitamin A yang sudah terbentuk (performed) dalam makanan,
meliputi hati,susu dan produk susu, telur serta ikan. Sumber vitamin A yang
paling kaya adalah minyak hati ikan seperti hiu, cod. Pada ikan laut, senyawa
alkohol vitamin A (retinol) merupakan bentuk simpanan vitamin A1 sementara
simpanan vitamin A dalam ikan air tawar yang berupa senyawa alkohol
vitamin A2(3-dehidroretinol) hanya memiliki 40% aktivitas retinol. Telur,susu
dan produk susu seperti keju dan mentega merupakan vitamin A dengan
konsentrasi sedang. Senyawa karotenoid provitamin A ditemukan pada banyak
makanan nabati seperti jeruk, sayuran berwarna kuning serta jingga dan
sayuran berwarna hijau gelap seperti bayam. Buah-buahan yang berwarna kuning
seperti papaya, mangga serta jeruk dan sayuran seperti wortel, labu kuning serta
singkong kuning memiliki karotenoid provitamin A dengan jumlah yang
signifikan. Minyak kelapa sawit merupakan sumber alami karotenoid yang
paling kaya.
Kebutuhan Vitamin A
Pemenuhan kebutuhan vitamin A sangat penting untuk pemeliharaan
kelangsungan hidup secara normal. Kebutuhan tubuh akan vitamin A untuk orang
Indonesia telah dibahas dan ditetapkan dalam Widyakarya Nasional pangan dan
Gizi (2007) dengan mempertimbangkan faktor-faktor khas dari kesehatan tubuh
orang Indonesia.
Tabel 12. Daftar Kecukupan Vitamin A
Golongan Umur Kebutuhan Vitamin A (RE)

Bayi 0 – 6 bulan 350


7 – 12 bulan 350
Balita 1 – 3 tahun 350
4 – 6 tahun 460
7 – 9 tahun 400
Pria 10 – 12 tahun 500
13 – 15 tahun 600
16 – 19 tahun 700
20 – 45 tahun 700
46 – 59 tahun 700
>60 tahun 600
Wanita 10 – 12 tahun 500
13 – 15 tahun 500
16 – 19 tahun 500
20 – 45 tahun 500
46 – 59 tahun 500
>60 tahun 500
Hamil + 200
Menyusui 0 – 6 bulan + 350
7 – 12 bulan + 300
Pencegahan dan Tatalaksana
Kekurangan makan makanan bergizi yang berlarut-larut, selain membuat
orang menjadi kurus juga kekurangan vitamin-vitamin, termasuk kekurangan
vitamin A. Penyakit usus yang menahun akan mengakibatkan penyerapan
vitamin A dari usus terganggu. Untuk melakukan pengobatan harus berobat pada
dokter dan biasanya dokter akan memberikan suntikan vitamin A setiap hari
sampai gejalanya hilang. Untuk mencegah kekurangan vitamin A
makanlah pepaya, wortel dan sayur-sayuran yang berwarna. Program nasional
pemberian suplemen vitamin A adalah upaya penting untuk mencegah
kekurangan vitamin A di antara anak-anak Indonesia. Tujuan Program ini
adalah untuk mendistribusikan kapsul vitamin A pada semua anak di seluruh
wilayah Indonesia dua kali dalam satu tahun. Setiap Februari dan Agustus, kapsul
vitamin A didistribusikan secara gratis kepada semua anak yang mengunjungi
Posyandu dan Puskesmas. Vitamin A yang terdapat dalam kapsul tersebut cukup
untuk membantu melindungi anak-anak dari timbulnya
beberapa penyakit yang pada gilirannya akan membantu menyelamatkan
penglihatan dan kehidupan mereka. Pemberian vitamin A akan memberikan
perbaikan nyata dalam satu sampai dua minggu. Dianjurkan bila diagnosa
defisiensi vitamin A ditegakkan maka berikan vitamin A 200.000 IU peroral
dan pada hari kesatu dan kedua. Belum ada perbaikan maka diberikan obat
yang sama pada hari ketiga. Biasanya diobati gangguan protein kalori
malnutrisi dengan menambah vitamin A, sehingga perlu diberikan perbaikan gizi.
Pencegahan dan pengobatan di kutip berdasarkan keterangan dari brosur
suplementasi vitamin A kapsul yang terdiri dari :
a. Kapsul vitamin A berwarna biru (100.000 IU)
Tiap kapsul mengandung vitamin A palmitat 1,7 juta IU 64.7059 mg (setara
dengan vitamin A 100.000 IU) dengan dosis
 Pencegahan bayi umur 6 bulan – 11 bulan : 1 kapsul
 Bayi dengan tanda klinis xerofthalmia :
- Saat ditemukan segera beri 1 kapsul
- Hari berikutnya 1 kapsul
- 4 minggu berikutnya 1 kapsul
 Bayi dengan campak, pneumonia, diare, gizi buruk dan infeksi lainnya
diberi 1 kapsul.

b. Kapsul vitamin A berwarna merah (200.000 IU) tiap kapsul vitamin A


mengandung palmitat 1,7 juta IU 129.5298 mg (setara dengan vitamin A
200.000 IU) dengan dosis :
 Pencegahan bayi umur 1 tahun – 3 tahun : 1 kapsul
 Bayi dengan tanda klinis xerofthalmia :
- Saat ditemukan segera beri 1 kapsul
- Hari berikutnya 1 kapsul
- 4 minggu berikutnya 1 kapsul
 Bayi dengan campak, pneumonia, diare, gizi buruk dan infeksi dan infeksi
lainnya diberi 1 kapsul.
Jadwal Pemberian Dosis Vitamin
Anak-anak yang mengalami gizi kurang mempunyai resiko yang tinggi
untuk mengalami kebutaan sehubungan dengan defisiensi vitamin A, karena
alasan ini vitamin A dosis tinggi harus diberikan secara rutin untuk semua anak
yang mengalami gizi kurang pada hari pertama, kecuali bila dosis yang sama
telah diberikan pada bulan yang lalu. Dosis tersebut adalah sebagai berikut:
50.000 IU untuk bayi berusia < 6 bulan, 100.000 IU untuk bayi berumur 6 -
12 bulan , dan 200.000 IU untuk anak berusia > 12 bulan. Jika terdapat tanda
klinis dari defisiensi vitamin A (seperti rabun senja, xerosis konjungtiva
dengan bitot’s spot, xerosis kornea atau ulceration, atau ketomalasia), maka dosis
yang tinggi harus diberikan untuk dua hari pertama, diikuti dosis ketiga sekurang-
kurangnya 2 minggu kemudian.

2. Defisiensi Vitamin D
Kekurangan gizi biasanya hasil daripada ketidakcukupan diet, gangguan
penyerapan, peningkatan kebutuhan, atau ekskresi meningkat. Kekurangan
vitamin D dapat terjadi jika asupan biasanya lebih rendah daripada tingkat
yang direkomendasikan dari waktu ke waktu, paparan sinar matahari terbatas,
ginjal tidak dapat mengubah 25 (OH) D bentuk aktif, atau penyerapan vitamin
D dari saluran pencernaan tidak memadai. D-kekurangan vitamin diet
berhubungan dengan alergi susu, intoleransi laktosa, ovo-vegetarian, dan
veganisme.
Rakhitis dan osteomalacia adalah penyakit klasik kekurangan vitamin
D. Pada anak-anak, kekurangan vitamin D menyebabkan rakhitis, penyakit
yang ditandai dengan kegagalan jaringan tulang untuk benar mengisikan
dengan mineral, sehingga tulang lunak dan kelainan bentuk tulang . Rakhitis
pertama kali dijelaskan pada pertengahan abad ke-17 oleh para peneliti Inggris
. Pada abad ke-20 ke-19 awal dan akhir, dokter Jerman mencatat bahwa
mengkonsumsi 1-3 sendok teh / hari hati minyak ikan bisa membaikkan
rakhitis . Lama menyusui eksklusif tanpa suplementasi vitamin D-
direkomendasikan AAP merupakan penyebab signifikan rakhitis, terutama
pada bayi berkulit gelap disusui oleh ibu yang tidak penuh vitamin D.
Tambahan penyebab rakhitis termasuk penggunaan tabir surya ekstensif dan
penempatan anak-anak dalam program penjagaan anak (nursery), di mana
mereka sering memiliki aktivitas luar ruangan yang kurang dari paparan sinar
matahari . Pada orang dewasa, kekurangan vitamin D dapat menyebabkan
osteomalacia, sehingga tulang lemah . Gejala nyeri tulang dan kelemahan otot
dapat menunjukkan tingkat vitamin D tidak memadai, tetapi gejala tersebut dapat
halus dan tidak terdeteksi dalam tahap awal.
Temuan berikut ini mungkin perlu dicatat pada pasien dengan rakhitis:
a) Pada awal proses rakhitis, kalsium (fraksi terionisasi) yang rendah, namun
sering dalam rentang referensi pada saat diagnosis sebagai peningkatan
kadar hormon paratiroid.
b) Calcidiol (25-hidroksi vitamin d) tingkat rendah, dan kadar hormon paratiroid
yang tinggi, namun, menentukan kadar hormon paratiroid calcidiol dan
biasanya tidak diperlukan.
c) Tingkat calcitriol mungkin normal atau meningkat karena peningkatan
aktivitas paratiroid.
d) Tingkat fosfor selalu rendah untuk usia kecuali telah terjadinya perawatan
parsial terbaru atau paparan sinar matahari baru-baru ini.
e) Tingkat alkaline fosfatase meninggi.
f) Aminoaciduria umum terjadi dari aktivitas paratiroid; aminoaciduria tidak
terjadi di rakhitis hypophosphatemia keluarga (fhr).
Radiografi diindikasikan pada pasien dengan rakhitis.
a. Tampilan radiografi terbaik tunggal untuk bayi dan anak-anak muda dari 3
tahun adalah pandangan anterior dari lutut yang mengungkapkan akhir
metaphyseal dan epiphysis dari femur dan tibia. Situs ini adalah yang
terbaik karena pertumbuhan paling cepat di lokasi ini, sehingga perubahan
yang ditekankan.
b. Pameran metaphyses pelebaran dan menangkupkan karena cekungan
berlebihan dan kalsifikasi normal mereka tidak teratur. Karena osteoid
kalsifikasi berlimpah, zona kalsifikasi provisional metaphysis jauh lebih
jauh dari pusat pengapuran epiphysis daripada normal untuk usia.
c. Sepanjang poros itu, osteoid uncalcified menyebabkan periosteum yang
muncul terpisah dari diaphysis tersebut. osteomalacia Generalized terjadi
(diamati sebagai osteopenia), dengan pengkasaran terlihat trabekula
berbeda dengan osteopenia tanah-gelas kudis.

Gambar 6. Anteroposterior dan lateral radiografi pergelangan tangan seorang


anak 8 tahun dengan rakhitis menunjukkan kop dan berjumbai di wilayah
metaphyseal.

Pengobatan untuk rakhitis dapat diberikan secara bertahap selama beberapa


bulan atau di hari dosis tunggal 15.000 mcg (600.000 U) vitamin D. Jika
metode bertahap dipilih, 125-250 mcg (5000-10,000 U) diberikan harian 2-3
bulan sampai penyembuhan mapan dan konsentrasi alkali fosfatase mendekati
kisaran referensi. Karena metode ini membutuhkan perawatan harian,
kesuksesan tergantung pada kepatuhan.
Jika dosis vitamin D diberikan dalam satu hari, biasanya dibagi menjadi 4 atau
6 dosis oral. Suntikan intramuskular juga tersedia.Vitamin D baik disimpan
dalam tubuh dan secara bertahap dirilis selama beberapa minggu. Karena
keduanya calcitriol dan calcidiol memiliki setengah pendek- hidup, mereka
tidak cocok, mereka akan melewati kontrol fisiologis alami sintesis vitamin
D. Terapi tunggal-hari menghindari masalah dengan kepatuhan dan mungkin
membantu dalam membedakan rakhitis gizi dari rakhitis hypophosphatemia
keluarga (FHR). Dalam rakhitis gizi, tingkat fosfor meningkat dalam 96
jam dan penyembuhan radiografi terlihat dalam 6-7 hari. Tidak terjadi dengan
FHR.

3. Defisiensi Vitamin K
Jika vitamin K tidak terdapat dalam tubuh, darah tidak dapat membeku. Hal
ini dapat meyebabkan pendarahan atau hemoragik. Bagaimanapun,
kekurangan vitamin K jarang terjadi karena hampir semua orang memperolehnya
dari bakteri dalam usus dan dari makanan. Namun kekurangan bisa
terjadi pada bayi karena sistem pencernaan mereka masih steril dan tidak
mengandung bakteri yang dapat mensintesis vitamin K, sedangkan air susu ibu
mengandung hanya sejumlah kecil vitamin K. Untuk itu bayi diberi sejumlah
vitamin K saat lahir.
Pada orang dewasa, kekurangan dapat terjadi karena minimnya konsumsi
sayuran atau mengonsumsi antobiotik terlalu lama. Antibiotik dapat
membunuh bakteri menguntungkan dalam usus yang memproduksi vitamin K.
Terkadang kekurangan vitamin K disebabkan oleh penyakit liver atau masalah
pencernaan dan kurangnya garam empedu.
Diagnosa adanya defisiensi vitamin K adalah timbulnya gejala-gejala, antara
lain hipoprotrombinemia, yaitu suatu keadaan adanya defisiensi protrombin
dalam darah. Selain itu, terlihat pula perdarahan subkutan dan intramuskuler.
4. Defisiensi besi
Penderita defisiensi besi biasanya ditandai dengan mudah lemah, letih, lesu,
nafas pendek, muka pucat, susah berkonsentrasi serta fatique atau rasa lelah yang
berlebihan. Gejala ini disebabkan karena otak dan jantung mengalami
kekurangan distribusi oksigen dari dalam darah. Denyut jantung penderita
anemia biasanya lebih cepat karena berusaha mengkompensasi kekurangan
oksigen dengan memompa darah lebih cepat. Akibatnya kemampuan kerja dan
kebugaran tubuh menurun. Jika kondisi ini berlangsung lama, kerja jantung
menjadi berat dan bisa menyebabkan gagal jantung kongestif. Anemia zat besi
juga bisa menyebabkan menurunya daya tahan tubuh sehingga tubuh mudah
terinfeksi.
Gejala anemia defisiensi dapat digolongkan menjadi 3 golongan besar berikut
ini:
1. Gejala Umum Anemia
Gejala umum anemia yang disebut juga sebagai sindrom anemia dijumpai pada
anemia defisiensi jika kadar hemoglobin turun dibawah 7-8g/dl. Gejala ini berupa
badan lemah, lesu, cepat lelah, mata berkunang-kunang, serta telinga
mendenging. Pada anemia defisiensi besi, karena terjadi penurunan kadar
hemoglobin secara perlahan-lahan, sering kali sindrom anemia tidak terlalu
mencolok dibandingkan dengan anemia lain yang penurunan kadar
hemoglobinnya lebih cepat.
2. Gejala khas akibat defisiensi besi
Gejala yang khas dijumpai pada difisiensi besi yang tidak dijumpai pada
anemia jenis lain adalah sebagai berikut
 Koilorikia : kuku sendok (spoon nail) kuku menjadi rapuh, bergaris-garis
vertical, dan menjadi cekung sehingga mirip seperti sendok.
 Atrofi papila lidah : permukaan lidah menjadi licin dan mengkilap karena
papil lidah menghilang.
 Stomatitis angularis : adanya peradangan pada sudut mulut, sehingga
tampak sebagai bercak berwarna pucat keputihan.
 Disfagia : nyeri menelan karena kerusakan epitel hipofaring.
 Atropi mukosa gaster sehingga menimbulkan aklorida.
3. Gejala penyakit dasar
Pada anemia defisiensi besi dapat dijumpai gejala-gejala penyakit yang
menjadi penyebab anemia defisiensi. Misalnya pada anemia akibat penyakit
cacing tambang dijumpai dyspepsia, parotis membengkak, dan kulit telapak
tangan berwarna kuning.
Dampak Defisiensi Besi
1. Anak-anak :
a. Menurunkan kemampuan dan konsentrasi belajar.
b. Menghambat pertumbuhan fisik dan perkembangan kecerdasan otak.
c. Meningkatkan risiko menderita penyakit infeksi karena daya tahan tubuh
menurun.
2. Wanita :
a. Anemia akan menurunkan daya tahan tubuh sehingga mudah sakit.
b. Menurunkan produktivitas kerja.
c. Menurunkan kebugaran.
3. Remaja putri :
a. Menurunkan kemampuan dan konsentrasi belajar.
b. Mengganggu pertumbuhan sehingga tinggi badan tidak mencapai optimal.
c. Menurunkan kemampuan fisik olahragawati.
d. Mengakibatkan muka pucat.
4. Ibu hamil :
a. Menimbulkan perdarahan sebelum atau saat persalinan.
b. Meningkatkan risiko melahirkan Bayi dengan Berat Lahir Rendah atau
BBLR (<2,5>
c. Pada anemia berat, bahkan dapat menyebabkan kematian ibu dan/atau
bayinya.
5. Defisiensi Yodium
Dari data hasil penelitian pada anak sekolah dasar. maka pengertian tentang
kekurangan yodium sudah jauh dari hanya menyebabkan gondok saja. Yakni
menyebabkan pada tumbuh kembang anak, termasuk perkembangan otaknya,
sehingga istilahnya saat ini disebut sebagai ''Gangguan Akibat Kekurangan
Yodium'' atau disingkat GAKY.
Etiologi Kekurangan Yodium
Sebagian besar yodium berada di samudera / lautan, karena yodium (melalui
pencairan salju dan hujan) pada permukaan tanah, kemudian dibawa oleh
angin, aliran sungai, dan banjir ke laut. Kondisi ini, terutama di daerah yang
bergunung-gunung di seluruh dunia, walau dapat juga terjadi di lembah sungai.
Yodium yang berada di tanah dan lautan dalam bentuk yodida. Ion yodida
dioksidasi oleh sinar matahari menjadi elemen yodium yang sangat mudah
menguap, sehingga setiap tahun kira-kira 400.000 ton yodium hilang dari
permukaan laut. Kadar yodium dalam air laut kira-kira 50 mikrogram/liter, di
udara kira-kira 0,7 mikrogram/meter kubik. Yodium yang berada dalam
atmosfer akan kembali ke tanah melalui hujan, dengan kadar dalam rentang 1,8
- 8,5 mikrogram/liter. Siklus yodium tersebut terus berlangsung selama ini.
Kembalinya yodium ke tanah sangat lambat dan dalam jumlah sedikit
dibandingkan saat lepasnya. Proses ini akan berulang terus menerus sehingga
tanah yang kekurangan yodium tersebut akan terus berkurang kadar
yodiumnya. Di sini tidak ada koreksi alamiah, dan defisiensi yodium akan
menetap. Akibatnya, populasi manusia dan hewan di daerah tersebut yang
sepenuhnya tergantung pada makanan yang tumbuh di daerah tersebut akan
menjadi kekurangan yodium.
Akibat Kekurangan Yodium
Istilah GAKY menggambarkan dimensi baru dari pengertian spektrum
kekurangan yodium. Berakibat sangat luas dan buruk pada janin bayi baru
lahir, anak dan remaja serta orang dewasa dalam populasi yang kekurangan
yodium tersebut. Akibat hal itu dapat dikoreksi dengan pemberian yodium.
Kebutuhan Yodium
Kebutuhan yodium setiap hari di dalam makanan yang dianjurkan saat ini
adalah:
 50 mikrogram untuk bayi (12 bulan pertama)
 90 mikrogram untuk anak (usia 2-6 tahun)
 120 mikrogram untuk anak usia sekolah (usia 7-12 tahun)
 150 mikrogram untuk dewasa (diatas usia 12 tahun)
 200 mikrogram untuk ibu hamil dan meneteki
Kekurangan Yodium pada Janin
Kekurangan yodium pada janin akibat Ibunya kekurangan yodium. Keadaan
ini akan menyebabkan besarnya angka kejadian lahir mati, abortus, dan cacat
bawaan, yang semuanya dapat dikurangi dengan pemberian yodium. Akibat
lain yang lebih berat pada janin yang kekurangan yodium adalah kretin
endemik.
Kretin endemik ada dua tipe, yang banyak didapatkan adalah tipe nervosa,
ditandai dengan retardasi mental, bisu tuli, dan kelumpuhan spastik pada kedua
tungkai. Sebaliknya yang agak jarang terjadi adalah tipe hipotiroidisme yang
ditandai dengan kekurangan hormon tiroid dan kerdil
Penelitian terakhir menunjukkan, transfer T4 dari ibu ke janin pada awal
kehamilan sangat penting untuk perkembangan otak janin. Bilamana ibu
kekurangan yodium sejak awal kehamilannya maka transfer T4 ke janin akan
berkurang sebelum kelenjar tiroid janin berfungsi.
Jadi perkembangan otak janin sangat tergantung pada hormon tiroid ibu
pada trimester pertama kehamilan, bilamana ibu kekurangan yodium maka
akan berakibat pada rendahnya kadar hormon tiroid pada ibu dan janin. Dalam
trimester kedua dan ketiga kehamilan, janin sudah dapat membuat hormon
tiroid sendiri, namun karena kekurangan yodium dalam masa ini maka juga
akan berakibat pada kurangnya pembentukan hormon tiroid, sehingga
berakibat hipotiroidisme pada janin.
Kekurangan Yodium pada Saat Bayi Baru Lahir
Yang sangat penting diketahui pada saat ini, adalah fungsi tiroid pada bayi
baru lahir berhubungan erat dengan keadaan otak pada saat bayi tersebut lahir.
Pada bayi baru lahir, otak baru mencapai sepertiga, kemudian terus
berkembang dengan cepat sampai usia dua tahun. Hormon tiroid
pembentukannya sangat tergantung pada kecukupan yodium, dan hormon ini
sangat penting untuk perkembangan otak normal.
Di negara sedang berkembang dengan kekurangan yodium berat, penemuan
kasus ini dapat dilakukan dengan mengambil darah dari pembuluh darah balik
talipusat segera setelah bayi lahir untuk pemeriksaan kadar hormon T4 dan
TSH. Disebut hipotiroidisme neonatal, bila didapatkan kadar T4 kurang dari 3
mg/dl dan TSH lebih dari 50 mU/mL. Pada daerah dengan kekurangan yodium
yang sangat berat, lebih dari 50% penduduk mempunyai kadar yodium urin
kurang dari 25 mg per gram kreatinin, kejadian hipotiroidisme neonatal sekitar
75-115 per 1000 kelahiran. Yang sangat mencolok, pada daerah yang kekurangan
yodium ringan, kejadian gondok sangat rendah dan tidak ada kretin, angka
kejadian hipotiroidisme neonatal turun menjadi 6 per 1000 kelahiran.
Dari pengamatan ini disimpulkan, bila kekurangan yodium tidak dikoreksi
maka hipotiroidisme akan menetap sejak bayi sampai masa anak. Ini berakibat
pada retardasi perkembangan fisik dan mental, serta risiko kelainan mental sangat
tinggi. Pada populasi di daerah kekurangan yodium berat ditandai dengan
adanya penderita kretin yang sangat mencolok.
Kekurangan Yodium pada Masa Anak
Penelitian pada anak sekolah yang tinggal di daerah kekurangan yodium
menunjukkan prestasi sekolah dan IQ kurang dibandingkan dengan kelompok
umur yang sama yang berasal dari daerah yang berkecukupan yodium. Dari
sini dapat disimpulkan kekurangan yodium mengakibatkan keterampilan kognitif
rendah. Semua penelitian yang dikerjakan di daerah kekurangan yodium
memperkuat adanya bukti kekurangan yodium dapat menyebabkan kelainan otak
yang berdimensi luas.
Dalam penelitian tersebut juga ditegaskan, dengan pemberian koreksi
yodium akan memperbaiki prestasi belajar anak sekolah. Faktor penentu kadar
T3 otak dan T3 kelenjar hipofisis adalah kadar T4 dalam serum, bukan kadar
T3 serum, sebaliknya terjadi pada hati, ginjal dan otot. Kadar T3 otak yang
rendah, yang dapat dibuktikan pada tikus yang kekurangan yodium, didapatkan
kadar T4 serum yang rendah, akan menjadi normal kembali bila dilakukan
koreksi terhadap kekurangan yodiumnya.
Keadaan ini disebut sebagai hipotiroidisme otak, yang akan menyebabkan
bodoh dan lesu, hal ini merupakan tanda hipotiroidisme pada anak dan dewasa.
Keadaan lesu ini dapat kembali normal bila diberikan koreksi yodium, namun
lain halnya bila keadaan yang terjadi di otak. Ini terjadi pada janin dan bayi
yang otaknya masih dalam masa perkembangan, walaupun diberikan koreksi
yodium otak tetap tidak dapat kembali normal.
Kekurangan Yodium pada Dewasa
Pada orang dewasa, dapat terjadi gondok dengan segala komplikasinya,
yang sering terjadi adalah hipotiroidisme, bodoh, dan hipertiroidisme. Karena
adanya benjolan/modul pada kelenjar tiroid yang berfungsi autonom.
Disamping efek tersebut, peningkatan ambilan kelenjar tiroid yang disebabkan
oleh kekurangan yodium meningkatkan risiko terjadinya kanker kelenjar tiroid
bila terkena radiasi.
Penatalaksanaan
Pemecahan masalah sebenarnya sangat sederhana, berikan satu sendok
yodium pada setiap orang yang membutuhkan, dan terus menerus. Karena
yodium tidak dapat disimpan oleh tubuh dalam waktu lama, dan hanya
dibutuhkan dalam jumlah sedikit sehingga harus berlangsung terus menerus.
Pada daerah kekurangan yodium endemik akibat tanah dan hasil panen serta
rumput untuk makanan ternak tidak cukup kandungan yodiumnya untuk
dikonsumsi oleh penduduk setempat, maka suplementasi dan fortifikasi
yodium yang diberikan terus menerus sangat tinggi angka keberhasilannya.
Yang paling sering digunakan untuk melawan GAKY adalah program
garam beryodium dan suplementasi minyak beryodium.
Pilihan pertama tentunya dengan garam beryodium karena biayanya sangat
murah, dan teknologinya mudah. Untuk suplementasi minyak beryodium,
keuntungannya praktis, sebaiknya hanya untuk intervensi pada populasi yang
berisiko, walaupun mudah pemakaiannya, namun memerlukan teknologi yang
lebih ruwet.
Penyuluhan kesehatan secara berkala pada masyarakat perlu dilakukan,
demikian juga perlu diberikan penjelasan pada pembuat keputusan, dan
tentunya juga diberikan tambahan pengetahuan kepada tenaga kesehatan.
Selanjutnya yang penting juga adalah penelitian tentang GAKY dengan
pendekatan multidisiplin, baik klinis, eksperimental maupun epidemiologi, untuk
menemukan cara yang terjamin dan mudah penerapannya. GAKY yang terlihat
di masyarakat atau populasi, hanya sebagai puncak gunung es.
Di daerah endemik, gondoklah yang terlihat dari bagian puncak gunung es
tersebut, namun efek dari kekurangan yodium yang utama yaitu kerusakan otak
merupakan komponen yang tersembunyi dan tidak terlihat dalam tragedi ini.

Sehingga problem dari GAKY ini sebenarnya adalah pada perkembangan


otak, tidak hanya pembesaran kelenjar tiroid atau gondok. Dengan melihat
besarnya populasi yang mempunyai risiko seperti diatas, pantas bila GAKY
menjadi problem nasional maupun internasional. Dengan diadakannya
pertemuan ilmiah nasional GAKY 2001 yang tema ''Perkembangan Mutakhir
tentang Masalah GAKY dalam rangka Indonesia Sehat 2010'' harapan kita
tentunya dapat mendapatkan konsep, pemikiran.
Tabel 13. Strategi Penanggulangan GAKY
Sentra Produksi Garam Nonsentra Produksi
Garam
Konsumsi Garam KATEGORI 1 KATEGORI 2
Beryodium Strategi : Strategi :
Cukup Mempertahankan Mempertahankan
produksi dan pasokan dan
konsumsi Garam konsumsi Garam
Beryodium yang Beryodium yang
memenuhi syarat. memenuhi syarat.
Upaya : Upaya :
Meneruskan Menjamin pasokan
pengawasan di tingkat Garam Beryodium dan
produksi, distribusi dan pengawasan mutu
konsumsi, penegakan garam di tingkat
hukum, peningkatan distribusi dan konsumsi
status social ekonomi secara
pegaram, teknologi intensif serta
yodisasi dan survailans. memperkuat penegakan
perundangan Garam
Beryodium dan
survailans
Konsumsi Garam KATEGORI 3 KATEGORI 4
Beryodium Strategi : Strategi :
Tidak Cukup Meningkatkan produksi Meningkatkan pasokan
dan dan konsumsi Garam
konsumsi Garam Beryodium yang
Beryodium memenuhi syarat.
memenuhi syarat.
Upaya :
Upaya : Menjamin pemenuhan
Meningkatkan konsumsi pasokan Garam
Garam Beryodium Beryodium disertai
melalui promosi dengan promosi intensif
intensif, penegakan konsumsi Garam
norma sosial dan Beryodium,
hukum, penegakan norma sosial
meneruskan pengawasan dan hukum,
di tingkat produksi, pengawasan mutu
distribusi dan konsumsi garam di tingkat
secara intensif, distribusi dan konsumsi
peningkatan status sosial serta survailans.
ekonomi pegaram dan
teknologi yodisasi serta
survailan

Dalam mencapai tujuan dan target program penanggulangan GAKY, sesuai


dengan rekomendasi dari WHO/CCIDD/UNICEF, ada 10 indikator yang
digunakan untuk menilai pencapaian program.
a) Pengembangan kelembagaan ditandai dengan adanya Tim GAKY
b) Adanya komitmen politik tentang USI
c) Adanya organisasi pelaksana yang kuat di setiap tingkatan
d) Legislasi dan regulasi tentang USI di semua tingkatan
e) Komitmen dalam monitoring dan evaluasi, dengan adanya data yang
akurat
f) KIE dan mobilisasi sosial untuk mengkonsumsi garam beryodium
g) Adanya data garam beryodium secara reguler pada tingkat produsen, pasar
dan konsumen
h) Adanya data EYU anak sekolah secara reguler pada daerah endemik berat
i) Adanya kerjasama dengan produsen garam untuk pengawasan mutu garam
beryodium
j) Adanya data hasil monitoring dan penyebarluasannya termasuk data
garam dan EYU
Daftar Pustaka :
Defisiensi Vitamin. Diunduh dari :
https://id.scribd.com/doc/48346582/DEFISIENSI-VITAMIN-DAN-
MINERAL-MAKALAH-3, 4 Februari 2017.

8. Dislipidemia
Tingkat Kemampuan 4A
Definisi
Kelainan metabolisme lipid yang ditandai dengan peningkatan maupun
penurunan fraksi lipid dalam plasma. Kelainan fraksi lipid yang utama adalah
kenaikan kadar kolestrol total, kolestrol LDL, trigliserida serta penurunan
kadar kolestrol HDL.
Patofisiologi
Lipid dalam plasma terdiri dari kolesterol, trigliserida, fosfolipid, dan asam
lemak bebas. Normalnya lipid ditranspor dalam plasma darah berikatan dengan
protein yang berbentuk lipoprotein. Ikatan protein dan lipid tersebut
menghasilkan 4 kelas utama lipoprotein : kilomikron, VLDL, LDL, dan HDL.
Peningkatan lipid dalam darah akan mempengaruhi kolesterol, trigliserida dan
keduanya (hiperkolesterolemia, hipertrigliseridemia atau kombinasinya yaitu
dislipidemia campuran).

Tabel 14. Karakteristik Lipoprotein

Pasien dengan hiperkolesterolemia (> 200 – 220 mg/dl serum) merupakan


gangguan yang bersifat familial, berhubungan dengan kelebihan berat badan
dan diet. Makanan berlemak meningkatkan sintesis kolesterol di hepar yang
menyebabkan penurunan densitas reseptor LDL di serum (> 135 mg/dl). Ikatan
LDL mudah melepaskan lemak dan kemudian membentuk plak pada dinding
pembuluh darah yang selanjutnya akan menyebabkan terjadinya aterosklerosis
dan penyakit jantung koroner.
Gambar 7. Lipoprotein Metabolisme dan Metabolisme Lipoprotein
Lanjutan

Jalur transport lipid dan tempat kerja obat


1. Jalur eksogen
Trigliserida dan kolesterol dari usus akan dibentuk menjadi kilomikron di
sel epitel dari usus halus, yang kemudian akan diangkut masuk ke aliran darah
melalui sistem limfatik pada usus halus. Di dalam jaringan adiposa dan sel otot,
trigliserida dari kilomikron akan mengalami hidrolisis oleh lipoprotein lipase
yang terdapat pada permukaan endotel sehingga akan terbentuk trigliserida dan
asam lemak bebas. Kemudian kilomikron tersebut berubah nama menjadi
kilomikron remnan (kilomikron yang kehilangan trigliseridanya tetapi masih
memiliki ester kolesterol). Kemudian asam lemak bebas masuk ke dalam endotel,
jaringan lemak dan sel otot yang selanjutnya akan diubah kembali menjadi
trigliserida untuk disimpan atau dioksidasi untuk menghasilkan energi.
Kilomikron remnan akan dibersihkan oleh hepar dengan mekanisme
endositosis dan lisosom sehingga terbentuk kolesterol bebas yang berfungsi
sintesis membran plasma, mielin dan steroid. Kolesterol dalam hepar akan
membentuk kolesterol ester atau diekskresikan dalam empedu atau diubah
menjadi lipoprotein endogen yang masuk ke dalam plasma. Jika tubuh
kekurangan kolesterol, HMG-CoA reduktase akan aktif dan terjadi sintesis
kolesterol dari asetat.
2. Jalur endogen
Trigliserida dan kolesterol ester dari hepar diangkut dengan bentuk VLDL
ke sirkulasi darah kemudian mengalami hidrolisis oleh enzim lipoprotein lipase
(LPL) menjadi asam lemak dan gliserol. Sekali terekspos dengan LPL, VLDL
akan menjadi VLDL remnan. VLDL remnan terutama diambil oleh hati
melalui LDL reseptor dan sisa VLDL remnan akan membentuk lipoprotein
yang lebih kecil, yaitu IDL. IDL kemudian akan menjadi LDL yang merupakan
lipoprotein dengan kadar kolesterol terbanyak (60-70%). Peningkatan
katabolisme LDL di plasma dan hepar yang akan meningkatkan kadar
kolesterol plasma. Peningkatan kadar kolesterol tersebut akan membentuk
foam cell di dalam makrofag yang berperan pada aterosklerosis prematur.
3. Transpor reverse kolesterol

Jenis lipoprotein
1) Kilomikron
Lipoprotein dengan komponen 80% trigliserida dan 5% kolesterol ester.
Kilomikron membawa makanan ke jaringan lemak dan otot rangka serta
membawa kolesterol kembali ke hepar. Kilomikron yang dihidrolisis akan
mengecil membentuk kilomikron remnan yang kemudian masuk ke hepatosit.
Kilomikronemia post pandrial mereda setelah 8-10 jam.
2) VLDL
Lipoprotein terdiri dari 60% trigliserida dan 10 – 15 % kolesterol. VLDL
digunakan untuk mengangkut trigliserida ke jaringan. VLDL remnan sebagian
akan diubah menjadi LDL yang mengikuti penurunan hipertrigliserida sedangkan
sintesis karbohidrat yang berasal dari asam lemak bebas dan gliserol akan
meningkatkan VLDL.
3) IDL
Lipoprotein yang mengandung 30% trigliserida, dan 20% kolesterol. IDL
merupakan zat perantara sewaktu VLDL dikatabolisme menjadi IDL.
4) LDL
Lipoprotein pengangkut kolesterol terbesar (70%). Katabolisme LDL
melalui receptor-mediated endocytosis di hepar. Hidrolisis LDL menghasilkan
kolesterol bebas yang berfungsi untuk sintesis sel membran dan hormon
steroid. Kolesterol juga dapat disintesis dari enzim HMG-CoA reduktase
berdasarkan tinggi rendahnya kolesterol di dalam sel.
5) HDL
HDL diklasifikasikan lagi berdasarkan Apoprotein yang dikandungnya. Apo
A-I merupakan apoprotein utama HDL yang merupakan inverse predictor
untuk resiko penyakit jantung koroner. Kadar HDL menurun pada kegemukan,
perokok, pasien diabetes yang tidak terkontrol, dan pemakai kombinasi estrogen-
progestin. HDL memiliki efek protektif yaitu mengangkut kolesterol dari perifer
untuk di metabolisme di hepar dan menghambat modifikasi oksidatif LDL
melalui paraoksonase (protein antioksidan yang bersosiasi dengan HDL).

Gambar 8. HDL dan Non-HDL

Manifestasi Klinik
Kebanyakan pasien adalah asimptomatik selama bertahun-tahun sebelum
penyakit jelas secara klinis, dan biasanya ditemukan pada saat pasien
melakukan pemeriksaan rutin kesehatan (medical check-up). Pasien mungkin
terdapat obesitas atau memiliki gejala awal nyeri dada. Gejala-gejala lain yang
mungkin bisa tampak diantaranya berkeringat, jantung berdebar, nafas pendek
dan cemas.
Kriteria Diagnosis
1. Pada anamnesis biasanya didapatkan pasien dengan faktor risiko seperti
kegemukan, diabetes mellitus, konsumsi tinggi lemak, merokok dan faktor
risiko lainnya.
2. Pada pemeriksaan fisik sukar ditemukan kelainan yang spesifik kecuali jika
didapatkan riwayat penyakit yang menjadi faktor risiko dislipidemia. Selain
itu, kelainan mungkin didapatkan bila sudah terjadi komplikasi lebih lanjut
seperti penyakit jantung koroner.
3. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium memegang peranan penting dalam menegakkan
diagnosa. Pemeriksaan yang dilakukan adalah pemeriksaan kadar kolesterol
total, kolesterol LDL, kolesterol HDL dan trigliserid.
a. Persiapan
Pasien sebaiknya berada dalam keadaan metabolik yang stabil tanpa adanya
perubahan berat badan, pola makan, kebiasaan merokok, olahraga, tidak
sakit berat ataupun tidak ada operasi dalam 2 bulan terakhir. Selain itu,
sebaiknya pasien tidak mendapatkan pengobatan yang mempengaruhi kadar
lipid dalam 2 minggu terakhir. Apabila keadaan ini tidak memungkinkan,
pemeriksaan tetap dilakukan dan disertai dengan catatan.
b. Pengambilan Bahan Pemeriksaan
Pengambilan bahan dilakukan dengan melakukan bendungan vena
seminimal mungkin dan bahan yang diambil adalah serum. Pengambilan
bahan ini dilakukan setelah pasien puasa selama 12-16 jam.
c. Analisis
Analisis kadar kolesterol dan trigliserida dilakukan dengan metode
enzimatik sedangkan analisis kadar kolesterol HDL dan kolesterol LDL
dilakukan dengan metode presipitasi dan enzimatik. Kadar kolesterol LDL
dapat dilakukan secara langsung atau menggunakan rumus Friedewaid jika
didapatkan kadar trigliserida < 400mg/d menggunakan rumus sebagai
berikut :
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dalam dislipidemia dimulai dengan melakukan penilaian
jumlah faktor resiko koroner pada pasien untuk menentukan kolesterol-LDL yang
harus dicapai. Berikut ini adalah tabel faktor resiko (selain kolesterol LDL) yang
menentukan sasaran kolesterol LDL yang ingin dicapai berdasarkan NCEP-ATP
III :

Tabel 15. Faktor Risiko (Selain Kolesterol LDL) yang


Menentukan Sasaran Kolesterol LDL yang Ingin Dicapai
Faktor Risiko (Selain Kolesterol LDL) yang Menentukan Sasaran
Kolesterol LDL yang Ingin Dicapai
- Umur pria ≥ 45 tahun dan wanita ≥ 55 tahun.
- Riwayat keluarga PAK (Penyakit Arteri Koroner) dini yaitu ayah
usia < 55 tahun dan ibu < 65 tahun.
- Kebiasaan merokok
- Hipertensi (≥140/90 mmHg atau sedang mendapat obat
antihipertensi)
- Kolesterol HDL rendah ( <40 mg/dl). Jika didapatkan kolesterol
HDL ≥60mg/dl maka mengurangi satu faktor risiko

Setelah menemukan banyaknya faktor risiko pada seorang pasien, maka


pasien dibagi kedalam tiga kelompok risiko penyakit arteri koroner yaitu risiko
rendah, risiko sedang dan risiko tinggi. Hal ini digambarkan pada tabel berikut
ini:
Tabel 16. Tiga Kategori Resiko yang Menentukan Sasaran Kolesterol LDL yang
Ingin Dicapai berdasarkan NCEP
Kategori Resiko Sasaran Kolesterol
LDL (mg/dl)
1. Resiko Tinggi <100
a. Mempunyai Riwayat PAK dan
b. Mereka yang disamakan dengan PAK
- Diabetes Melitus
- Bentuk lain penyakit arterosklerotik yaitu stroke,
penyakit arteri perifer, aneurisma aorta
abdominalis
- Faktor risiko multipel (> risiko) yang diperkirakan
dalam kurun waktu 10 tahun mempunyai risiko
PAK > 20 %
2. Resiko Multipel (≥2 faktor resiko) <130
3. Resiko Rendah (0-1 faktor resiko) <160

Selanjutnya penatalaksanaan pada pasien ditentukan berdasarkan kategori


risiko pada tabel diatas. Berikut ini adalah bagan penatalaksanaan untuk masing-
masing katagori risiko:

Gambar 9. Bagan Penatalaksanaan dislipidemia dengan faktor resiko tinggi


Gambar 10. Bagan Penatalaksanaan dislipidemia dengan faktor resiko sedang

Gambar 11. Bagan Penatalaksanaan Dislipidemia dengan faktor resiko 0-1

Penatalaksanaan Dislipidemia terdiri dari:


1. Penatalaksanaan Umum
Pilar utama pengelolaan dislipidemia adalah upaya nonfarmakologis yang
meliputi modifikasi diet, latihan jasmani serta pengelolaan berat badan.
Terapi diet memiliki tujuan untuk menurunkan risiko PKV dengan
mengurangi asupan lemak jenuh dan kolesterol serta mengembalikan
keseimbangan kalori, sekaligus memperbaiki nutrisi. Perbaikan keseimbangan
kalori biasanya memerlukan peningkatan penggunaan energi melalui kegiatan
jasmani serta pembatasan asupan kalori
2. Penatalaksanaan Non- Farmakologi
a. Terapi Nutrisi Medis
Terapi diet dimulai dengan menilai pola makan pasien, mengidentifikasi
makanan yang mengandung banyak lemak jenuh dan kolesterol serta berapa
sering keduanya dimakan. Jika diperlukan ketepatan yang lebih tinggi untuk
menilai asupan gizi, perlu dilakukan penilaian yang lebih rinci, yang biasanya
membutuhkan bantuan ahli gizi. Penilaian pola makan penting untuk
menentukan apakah harus dimulai dengan diet tahap I atau langsung ke diet
tahap ke II. Hasil diet ini terhadap kolesterol serum dinilai setelah 4-6 minggu
dan kemudian setelah 3 bulan. Pada pasien dengan kadar kolesterol LDL atau
kolesterol total yang tinggi sebaiknya mengurangi asupan lemak jenuh.
Namun pada pasien ini sebaiknya banyak mengkonsumsi lemak tak jenuh
rantai tunggal dan ganda. Asupan karbohidrat, alkohol dan lemaak perlu
dikurangi pada pasien dengan trigliserid yang tinggi.

Tabel 17. Komposisi Tahap I dan Tahap II

b. Aktivitas Fisik
Dari beberapa penelitian diketahui bahwa latihan fisik dapat meningkatkan
kadar HDL dan Apo AI, menurunkan resistensi insulin, meningkatkan
sensitivitas dan meningkatkan keseragaman fisik, menurunkan trigliserida
dan LDL, dan menurunkan berat badan.
Setiap melakukan latihan jasmani perlu diikuti 3 tahap :
1. Pemanasan dengan peregangan selama 5-10 menit
2. Aerobik sampai denyut jantung sasaran yaitu 70-85 % dari denyut jantung
maksimal ( 220 - umur ) selama 20-30 menit .
3. Pendinginan dengan menurunkan intensitas secara perlahan - lahan, selama
5-10 menit. Frekuensi latihan sebaiknya 4-5 x/minggu dengan lama latihan
seperti diutarakan diatas. Dapat juga dilakukan 2-3x/ minggu dengan lama
latihan 45-60 menit dalam tahap aerobik.
Pada prinsipnya pasien dianjurkan melaksanakan aktivitas fisik sesuai
dengan kondisi dan kemampuan pasien agar aktivitas ini berlangsung terus-
menerus.
3. Penatalaksanaan Farmakologi
Pengobatan farmakologi dilakukan bila terjadi kegagalan dengan
pengobatan non-farmakologis. Saat ini didapat beberapa golongan obat yaitu
golongan resin, asam nikotinat, golongan statin, derivat asam fibrat, probutol dan
lain-lain namun obat lini pertama yang danjurkan oleh NCEP-ATP III adalah
HMG-CoA reductase inhibitor. Apabila ditemukan kadar trigliserida
>400mg/dl maka pengobatan dimulai dengan golongan asam fibrat untuk
menurunkan trigliserida. Menurut kesepakatan kadar kolesterol LDL
merupakan sasaran utama pencegahan penyakit arteri koroner sehingga ketika
telah didapatkan kadar trigliserida yang menurun namun kadar kolesterol LDL
belum mencapai sasaran maka HMG-CoA reductase inhibitor akan
dikombinasikan dengan asam fibrat. Selain itu, terdapat obat kombinasi dalam
satu tablet (Niaspan yang merupakan kombinasi lovastatin dan asam nikotinik)
yang jauh lebih efektif dibandingkan dengan lovastatin atau asam nikotinik
sendiri dalam dosis tinggi.
Pada pengobatan hiperkolesterolemia terdapat target kolesterol yang harus
dicapai. Berikut ini adalah tabel target kadar kolesterol LDL:

Tabel 18. Target kolesterol LDL (mg/dl)


Kadar LDL untuk
Kadar LDL untuk
Kategori Resiko Target LDL mulai terapi
mulai PGH
farmakologis
PJK atau yang < 100  100  130
disamakan PJK
Faktor resiko  2 < 130  130  130
Faktor resiko 0-1 < 160  160  190

Terapi hiperkolesterolemia untuk pencegahan primer, dimulai dengan statin


atau sekuestran asam empedu atau nicotic acid. Pemantauan profil lipid
dilakukan setiap 6 minggu. Bila target sudah tercapai, pemantauan dilanjutkan
setiap 4-6 bulan. Bila setelah 6 minggu terapi target belum tercapai,
intensifkan/naikkan dosis statin atau kombinasi dengan yang lain.

Tabel 19. Klasifikasi Obat-Obat Hiperkolesterolemia


KLASIFIKASI OBAT-OBAT HIPERKOLESTEROLEMIA
Penghambat Penghambat
Sekueastran Asam
HMGCoA Asam Fibrat Absorpsi
Asam Empedu Nikotinat
Reduktase Kolesterol
Simvastatin
Lovastatin Fenofibrat
Pravastatin Kolestiramin Bezafibrat
Acipimox Ezetimib
Fluvastatin Kolestipol Clofibrat
Atorvastatin Gemfibrozil
Rosuvastatin
Daftar Pustaka :
Rachmatina F, Wijaya E, Resanindya V. Penatalaksanaan Dislipidemia. Jakarta
: RSUD Karawang Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti, 2012. Diunduh
pada : https://id.scribd.com/doc/172707890/Referat-Dislipidemia-Dr-Arif, 4
Februari 2017.

9. Hiperurisemia
Tingkat Kemampuan 4A
Definisi
Hiperurisemia adalah peningkatan kadar asam urat darah lebih dari normal.
Asam urat merupakan hasil akhir metabolisme purin dalam tubuh. Dalam
keadaan normal terjadi keseimbangan antara pembentukan dan degradasi
nukleotida purin serta kemampuan ginjal dalam mengekskresikan asam urat.
Apabila terjadi kelebihan pembentukan (overproduction) atau penurunan
ekskresi (underexcretion) atau keduanya maka akan terjadi peningkatan kadar
asam urat darah yang disebut dengan hiperurisemia. Dikatakan hiperurisemia bila
asam urat serum lebih dari 7 mg/dL (lebih dari 0,42 mmol/l) pada pria dan lebih
dari 5.7 mg/dL (lebih dari 0,34 mmol/l) pada wanita. Kadar asam urat normal
pada pria adalah 3.4-7.0 mg/dL, dan pada wanita adalah 2.4-5.7 mg/dL.
Hiperurisemia yang berkepanjangan dapat menyebabkan penyakit Gout atau
pirai, namun tidak semua hiperurisemia akan menimbulkan kelainan patologik
berupa Gout. Gout adalah suatu sindrom yang disebabkan oleh respon
peradangan akibat deposisi kristal monosodium urat pada jaringan. Penyakit
Gout terdiri dari Gout artritis, pembentukan tophus, kelainan ginjal berupa
nefropati asam urat dan pembentukan batu pada saluran kemih. Gout
merupakan diagnosis klinis sedangkan hiperurisemia adalah keadaan biokimia
darah.
Patofisiologi
Asam urat adalah mediator penting terjadinya kerusakan ginjal. Peningkatan
kadar asam urat serum memiliki efek pada ginjal dan pembuluh darah.
Hiperurisemia menyebabkan inflamasi vaskuler dan proliferasi otot polos,
penurunan NO dan peningkatan ROS, peningkatan produksi renin, serta lesi
vaskuler pada ginjal.
Proliferasi otot polos terjadi akibat aktivasi mitogen spesifik oleh asam urat.
Walaupun otot polos tidak memiliki reseptor untuk asam urat, asam urat tetap
dapat masuk ke dalam sel dengan bantuan organic anion transporter (OAT).
Setelah masuk ke dalam sel otot polos, asam urat mengaktifkan protein kinase
(Erk 1/2). Selanjutya Erk 1/2 akan menginduksi sintesis de novo dari COX-2 dan
tromboksan lokal serta mengatur regulasi platelet derived growth factor A
(PDGF A). Hasil akhir proses tersebut adalah aktivasi mitogen spesifik yang
menyebabkan proliferasi sel.
Peningkatan kadar asam urat dapat menyebabkan proses inflamasi pada
human vascular smooth muscle cells (HVSMC) dan human umbilical vein
endothelial cells (HUVEC) sehingga menstimulasi terbentuknya C-reactive
protein (CRP). Peningkatan terbentuknya CRP bertanggung jawab terhadap
proliferasi dan migrasi sel. Asam urat meningkatkan migrasi HVSMC namun
menghambat migrasi HUVEC. Pada HUVEC asam urat menghambat
pembebasan nitric oxide (NO) sehingga akan lebih mudah terbentuknya
aterosklerosis pembuluh darah.
Asam urat juga menyebabkan akumulasi kristal urat di sekitar plak
aterosklerosis yang telah terbentuk. Kristal urat tersebut dapat mengaktifkan
komplemen melalui jalur klasik. Aktivasi komplemen mengakibatkan berbagai
efek biologis seperti inflamasi, kemotaksis, opsonisasi, dan aktivitas sitolitik.
Asam urat juga menstimulasi sintesis monocyte chemoattractant protein-1
(MCP-1) pada otot polos tikus dengan mengaktivasi p38 MAP kinase, faktor
transkripsi nuklear, NF-KB, dan AP-1. Monocyte chemoattractant protein-1
merupakan kemokin yang berperan penting dalam penyakit vaskular dan
aterosklerosis. Selanjutnya akan terjadi peningkatan produksi sitokin
proinflamasi seperti TNF-α, IL-1β, dan IL-6. Interleukin-6 yang juga dikenal
sebagai hepatocyte stimulating factor merangsang hepatosit untuk
memproduksi CRP. C-reactive protein yang terbentuk menurunkan produksi NO
dengan cara menghambat enzim nitrit oksidase sintase (eNOS).
Hipertensi yang terjadi berkaitan dengan penurunan produksi NO oleh
apparatus jukstaglomerulus. Kadar NO yang rendah semakin memperparah
disfungsi endotel yang terjadi.
Salah satu peran asam urat adalah mengaktivasi sistem renin-angiotensin,
mediator penting pada gangguan ginjal lewat efek hemodinamik yang
meningkatkan tekanan sistemik pada glomerular, serta efek fibrogenik pada sel
ginjal dan vaskular. Pada percobaan tikus, peningkatan kadar asam urat
meningkatkan ekspresi renin jukstaglomerular dan pemberian enalapril
mengendalikan tekanan darah, memperbaiki arteriopati serta mencegah
kerusakan ginjal. Pemberian alopurinol dan benziodaron untuk mencegah
hiperurisemia menurunkan kadar renin yang mengurangi kerusakan ginjal.
Pada hewan percobaan, hiperurisemia mengakibatkan terjadi vaskulopati
preglomerular berat, terlihat adanya penebalan dan peningkatan jumlah sel otot
polos vaskuler serta infiltrasi makrofag pada subendotel, media dan adventisia.
Perubahan ini menimbulkan arteriopati obliterasi yang memperberat kerusakan
ginjal karena iskemia sirkulasi postglomerular. Menyempitnya lumen juga
meningkatkan ekskresi renin dan menyebabkan hipertensi.

Gambar 12. Vaskulopati yang Diakibatkan Hiperurisemia

Angiotensin II juga menyebabkan proliferasi dan hipertrofi sel otot polos


vaskular serta mengaktivasi sel radang sehingga dapat menyebabkan vaskulopati.
Vaskulopati yang terjadi akibat hiperurisemia dapat dicegah dengan cara
menghambat sistem renin-angiotensin, proliferasi sel otot polos vaskular dan
dengan blockade reseptor anti thrombin-1 (AT-1). Hiperurisemia dapat
menyebabkan iskemia pada jaringan sehingga memobilisasi endothelial
progenitor cells (EPC) untuk memperbaiki vaskular yang rusak. Namun pada
keadaan hiperurisemia kronik terjadi penurunan mobilisasi EPC dengan
mekanisme yang belum jelas.
Lebih jauh lagi hiperurisemia akan menyebabkan perubahan mikrovaskuler
pada ginjal yang mirip dengan gambaran arteriosklerosis pada hipertensi esensial.
Lesi vaskuler tersebut menyebabkan iskemia. Selanjutnya iskemia
menyebabkan pelepasan laktat dan peningkatan produksi asam urat. Laktat
sendiri bersifat menghambat sekresi asam urat dengan cara blockade OAT.
Peningkatan produksi asam urat terjadi karena iskemia menyebabkan pemecahan
ATP menjadi adenosin dan xanthine. Hal tersebut menciptakan suatu
lingkaran setan. Kondisi hiperurisemia meningkatkan aktivitas enzim xanthine
oksidase. Padahal enzim tersebut juga membentuk superoksida sebagai akibat
langsung aktivitasnya. Peningkatan jumlah oksidan menyebabkan stress
oksidatif yang semakin menurunkan produksi NO dan memperparah disfungsi
endotel yang terjadi. Lesi pada vaskuler ginjal ini akan memicu terjadinya salt
sensitive hypertension yaitu peningkatan tekanan darah
yang lebih tinggi pada konsumsi jumlah natrium yang sama.

Gambar 13. Patofisiologi Hiperurisemia Menyebabkan Kerusakan Ginjal


Manifestasi Klinik
Asam urat dalam tubuh dihasilkan melalui dua cara. Pertama, sebagai hasil
akhir pemecahan asam amino non-esensial, glutamin dan asam aspartat. Proses
ini terjadi dalam tubuh setiap orang, karena asam urat merupakan komponen yang
diperlukan tubuh dalam jumlah tertentu. Kedua, sebagai hasil akhir proses
metabolisme purin yang berasal dari makanan. Penumpukan asam urat karena
sebab pertama jarang terjadi. Yang lebih sering adalah akibat tingginya konsumsi
makanan yang banyak mengandung purin, disertai pola konsumsi sehari-hari
dengan gizi yang kurang seimbang seperti terlalu banyak makan makanan
berlemak dan mengandung kolesterol tinggi.
Serangan artritis gout yang mendadak ditandai dengan sendi bengkak, panas
dan kemerahan, pada satu sendi (monoartritis) dan mencapai puncaknya dalam
24 jam pertama, serta dapat sembuh sendiri dalam 3-10 hari. Sendi yang terserang
biasanya pada sendi pangkal ibu jari kaki yang disebut Podagra. Sendi lain
yang bisa terserang adalah pergelangan kaki, tumit, lutut, pergelangan
tangan , jari – jari tangan dan siku.
Gejala akibat penumpukan asam urat tidak dapat diketahui dengan segera.
Setelah kondisi ini berlangsung lama, barulah muncul rasa ngilu luar biasa
pada persedian, khususnya jari kaki dan tangan. Kulit di sekitar sendi tampak
bengkak kemerahan disertai demam tinggi, perut kembung dan hilangnya nafsu
makan. Gejala ini biasanya berlangsung beberapa hari dan selama itu air kencing
berwarna kuning pekat. Penyakit ini lazim disebut Gout ( radang sendi akibat
tingginya kadar asam urat dalam darah ). Jika diperiksake laboratorium, kadar
asam urat dalam darah biasanya melonjak mencapai 7,5-10 mg%. Sekalipun
demikian, kadar asam urat melebihi 6 mg% sudah cukup memberi petunjuk akan
tingginya kadar asam urat dalam darah. Kadar normal asam urat yang dianggap
sehat adalah 2-5 mg%.
Begitu radang gout tersebut mereda, kulit yang tadinya bengkak akan melepuh
dan terasa gatal. Gejala ini bisa hilang sama sekali dan tidak pernah muncul lagi
sampai berbulan-bulan. Tapi kalau didiamkan dan tidak segera ditangani,
frekuensi kambuhnya akan lebih sering dan rasa sakitnya pun akan
lebih menyiksa. Pada penderita yang sudah sangat parah dan tidak mejalankan
diet serta tidak diobati, penumpukan asam urat akan membentuk kristal asam
urat. Mulai dari yang sebesar ujung jarum pentul sampai sebesar kelereng
kecil. Kristal kecil biasanya muncul di bagian telinga, sedangkan yang besar
antara lain di ibu jari kaki dan siku.

Kriteria Diagnosis
1. Anamnesis
Ditemukan rasa nyeri pada sendi yang spesifik dan timbul secara mendadak,
rasa nyeri ini paling sering timbul pada malam hari atau pagi dini hari.
Tidak didapatkan riwayat pernah terbentur sebelumnya. Riwayat keturunan
pada anggota keluarga yang juga mengalami hiperurisemia. Usia dan jenis
kelamin juga dapat mempengaruhi faktor resiko terkena hiperurisemia.
2. Pemeriksaan fisik pada penderita hiperurisemia bisa ditemukan bengkak
kemerahan pada sendi yang terkena, terdapat krepitasi pada sendi yang timbul
nyeri.
3. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium bertujuan untuk memastikan diagnosis nefropati
urat. Pemeriksaan laboratorium yang rutin dilakukan adalah pemeriksaan
asam urat serum, pemeriksaan urin rutin, dan kristal asam urat cairan sendi.
4. Pemeriksaan Asam Urat Serum
Asam urat merupakan hasil akhir metabolisme purin. Pengukuran kadar
asam urat digunakan sebagai parameter diagnostik dan penanganan
gangguan metabolisme purin. Kadar Asam urat meningkat pada gagal
ginjal, penyakit Gout, lekemia, psoriasis, dan penderita yang mendapat
sitostatika.

Metode pemeriksaan asam urat darah adalah enzimatik kolorimetri dengan


prinsip pemeriksaan yaitu terbentuknya asam urat melalui reaksi dengan
urikase.
H2O2 yang terbentuk dengan asam 3,5-dikloro-2-hidroksibenzenesulfonik
(DCHBS) dan 4-aminofenazone (PAP) dikatalisasi oleh peroksidase
membentuk quinoneimine yang berwarna merah keunguan sebagai indikator.

Intensitas warna larutan yang terbentuk sebanding dengan kadar asam urat
serum yang ditentukan berdasarkan peningkatan absorbansi larutan. Nilai
rujukan normal asam urat serum pada pria yaitu 3.4-7.0 mg/dl atau 200-420
umol/l dan pada wanita 2.4-5.7 mg/dl atau 140-340 umol/l.

5. Pemeriksaan Urin Rutin


Urinalisis atau pemeriksaan urin dapat digunakan untuk mengevaluasi
gangguan organ atau keadaan tertentu salah satunya adalah gangguan ginjal
dan keadaan hiperurisemia. Pemeriksaan urin ini meliputi pemeriksaan
makroskopis urin, kimia urin, dan mikroskopis urin.
Makroskopis urin yang mendukung gangguan di ginjal yaitu ditemukannya
kekeruhan pada urin. Pada kimia urin dapat ditemukan bahan-bahan seperti
glukosa, protein dan lain-lain. Sedangkan pada mikroskopis urin dapat
ditemukan sedimen dan kristal. Pada keadaan hiperurisemia dan gangguan
ginjal dapat ditemukan kristal asam urat.

 Kristal Asam Urat Cairan Sendi


Asam urat merupakan produk metabolisme dari pemecahan protein, yang
terdapat pada cairan sendi dalam konsentrasi ekstraseluler yang tinggi dan
umumnya menghasilkan struktur kristal. Kristal urat berbentuk seperti jarum
dan ditemukan bebas dalam cairan atau dalam lekosit. Pemeriksaan cairan
sendi merupakan pemeriksaan untuk melihat deposit kristal asam urat pada
sendi yang mengalami peradangan (Gout).
Metode pemeriksaan ini adalah pemeriksaan manual dengan prinsip yaitu
kristal asam urat akan mengendap bila dilakukan sentrifugasi. Bahan
pemeriksaan untuk pemeriksaan ini adalah cairan sendi. Prosedur pemeriksaan
kristal asam urat ini adalah sebagai berikut:
 Tabung sentrifuge diisi dengan 10 cc cairan sendi
 Tabung sentrifuge diletakkan ke dalam alat sentrifugasi dan tabung lain di
letakkan pada arah yang berlawanan dan sudah diisi air 10 cc (untuk
keseimbangan)
 Alat sentrifugasi diputar dengan kecepatan 1500 rpm selama 5 menit
 Seluruh supernatan dituang
 Posisi tabung ditegakkan kembali sehingga sisa-sisa supernatan yang tidak
tertuang bercampur dengan sedimen
 Pada kaca obyek ditetes sedimen dan kaca penutup dipasang
 Lihat di bawah mikroskop dengan pembesaran lensa objektif 10 kali.
 Kondensor diturunkan kemudian lihat dengan pembesaran lensa objektif.

Penatalaksanaan
Kontrol jangka panjang hiperurisemia merupakan faktor penting untuk
mencegah terjadinya serangan akut gout, gout tophaceous kronik, keterlibatan
ginjal dan pembentukan batu asam urat. Kapan mulai diberikan obat penurun
kadar asam urat masih kontroversi. Serangan awal gout biasanya jarang dan
sembuh dengan sendirinya, terapi jangka panjang seringkali tidak
diindikasikan. Beberapa menganjurkan terapi mulai diberikan hanya jika
pasien mengalami lebih dari 4 kali serangan dalam setahun, sedangkan ahli
lainnya menganjurkan untuk memulai terapi pada pasien yang mengalami
serangan sekali dalam setahun.
Pendapat para ahli mendukung pemberian terapi hipourisemik jangka panjang
pada pasien yang mengalami serangan gout lebih dari dua kali dalam setahun.
Para ahli juga menyarankan obat penurun asam urat sebaiknya tidak
diberikan selama serangan akut. Pemberian obat jangka panjang juga tidak
dianjurkan untuk hiperurisemia asimptomatis, atau untuk melindungi fungsi
ginjal atau resiko kardiovaskular pada pasien asimptomatis. Penggunaan
allopurinol, urikourik dan feboxostat (sedang dalam pengembangan) untuk terapi
gout kronik dijelaskan berikut ini.
 Mulai terapi menurunkan kadar urat pada pasien yang mengalami
serangan lebih dari 2 kali dalam setahun (obat penurun kadar urat tidak
diberikan selama serangan akut, obat pilihan penurun kadar urat untuk
mayoritas pasien adalah allopurinol).
 Gunakan urikosurik pada pasien yang tidak tahan atau alergi allopurinol
dan pada pasien dengan fungsi ginjal normal tetapi ekskresinya rendah.
 Pertimbangkan pemberian kombinasi dengan colchicine sampai tercapai
kadar urat serum rendah dan tidak ada serangan akut yang kambuh dalam
6‐12 bulan.
 Monitor kadar urat serum setiap 3‐6 bulan dan pada pasien yang
simptomatis terapi disesuaikan dengan kadar

Allopurinol
Obat hipourisemik pilihan untuk gout kronik adalah allopurinol. Selain
mengontrol gejala, obat ini juga melindungi fungsi ginjal. Allopurinol
menurunkan produksi asam urat dengan cara menghambat enzim xantin
oksidase. Allopurinol tidak aktif tetapi 60‐70% obat ini mengalami konversi di
hati menjadi metabolit aktif oksipurinol. Waktu paruh allopurinol berkisar
antara 2 jam dan oksipurinol 12‐30 jam pada pasien dengan fungsi ginjal
normal. Oksipurinol diekskresikan melalui ginjal bersama dengan allopurinol
dan ribosida allopurinol, metabolit utama ke dua.
- Farmakokinetik
Allopurinol sekitar 80% diserap setelah penggunaan oral dan memiliki
waktu paruh 1-2 jam. Seperti asam urat, allopurinol dimetabolisme oleh
xantin oksidase, tetapi menghasilkan senyawa, alloxanthine,
mempertahankan kemampuan untuk menghambat xantin oksidase dan
memiliki durasi cukup lama sehingga allopurinol hanya diberikan sekali
sehari.
- Farmakodinamik
Diet purin bukan merupakan sumber penting asam urat. Secara kuantitatif
sebagian besar jumlah purin terbentuk dari asam amino, format, dan
karbondioksida dalam tubuh. ribonucleotides purin tidak bergabung ke
dalam asam nukleat dan derivat dari degradasi asam nukleat dikonversi
ke xanthine atau hipoksantin dan dioksidasi menjadi asam urat
Allopurinol menghambat langkah terakhir ini, mengakibatkan penurunan
urat plasma dan penurunan beban urat secara keseluruhan. Semakin
xanthine larut dan hipoksantin akan meningkat.
- Indikasi
Allopurinol sering digunakan lini pertama untuk pengobatan gout
kronis pada periode antara serangan dan bertujuan untuk
memperpanjang periode intercritical. Ketika memulai allopurinol,
colchicine atau NSAID harus digunakan sampai asam urat serum
normal atau menurun menjadi kurang dari 6 mg / dL dan harus
dilanjutkan 3-6 bulan atau bahkan lebih lama jika diperlukan. Setelah
itu, colchicine atau NSAID dapat dihentikan dengan hati-hati sambil
meneruskan terapi allopurinol. Selain asam urat, allopurinol juga
digunakan sebagai agen antiprotozoal dan diindikasikan untuk
mencegah uricosuria masif pada terapi diskrasia darah yang bisa
menyebabkan batu ginjal.
- Dosis
Pada pasien dengan fungsi ginjal normal dosis awal allopurinol tidak
boleh melebihi 300 mg/24 jam. Pada praktisnya, kebanyakan pasien
mulai dengan dosis 100 mg/hari dan dosis dititrasi sesuai kebutuhan.
Dosis pemeliharaan umumnya 100‐=600 mg/hari dan dosis 300 mg/hari
menurunkan urat serum menjadi normal pada 85% pasien. Respon
terhadap allopurinol dapat dilihat sebagai penurunan kadar urat dalam
serum pada 2 hari setelah terapi dimulai dan maksimum setelah 7‐10
hari. Kadar urat dalam serum harus dicek setelah 2‐3 minggu
penggunaan allopurinol untuk meyakinkan turunnya kadar urat.
Allopurinol dapat memperpanjang durasi serangan akut atau
mengakibatkan serangan lain sehingga allopurinol hanya diberikan jika
serangan akut telah mereda terlebih dahulu. Resiko induksi serangan akut
dapat dikurangi dengan pemberian bersama NSAID atau kolkisin (1,5
mg/hari) untuk 3 bulan pertama sebagai terapi kronik.

Tabel 20. Dosis allopurinol untuk pasien kelainan fungsi ginjal


Klirens Dosis allopurinol
kreatinin
(mL/menit)
0 100 mg 3 kali dalam
seminggu
10 100 mg tiap 2 hari sekali
20 100 mg/hari
40 150 mg/hari
60 200 mg/hari
80 250 mg/hari
>100 300 mg/hari

- Efek samping
Efek samping dijumpai pada 3‐5% pasien sebagai reaksi
alergi/hipersensitivitas. Sindrom toksisitas allopurinol termasuk ruam,
demam, perburukan insufisiensi ginjal, vaskulitis dan kematian.
Sindrom ini lebih banyak dijumpai pada pasien lanjut usia dengan
insufisiensi ginjal dan pada pasien yang juga menggunakan diuretik
tiazid. Erupsi kulit adalah efek samping yang paling sering, lainnya
adalah hepatotoksik, nefritis interstisial akut dan demam. Reaksi alergi ini
akan reda jika obat dihentikan. Jika terapi dilanjutkan, dapat terjadi
dermatitis eksfoliatif berat, abnormalitas hematologi, hepatomegali,
jaundice, nekrosis hepatik dan kerusakan ginjal. Banyak pasien dengan
reaksi yang berat mengalami penurunan fungsi ginjal jika dosis
allopurinol terlalu tinggi. Sindrom biasanya muncul dalam 2 bulan
pertama terapi, tapi bisa juga setelah itu. Pasien dengan hipersensitivitas
minor dapat diberikan terapi desensitisasi di mana dosis allopurinol
ditingkatkan secara bertahap dalam 3‐4 minggu. Allopurinol biasanya
ditoleransi dengan baik, Efek samping yang terjadi pada 2% pasien
biasanya disebabkan karena dosis yang tidak tepat terutama pada pasien
dengan kelainan fungsi ginjal. Fungsi ginjal harus dicek sebelum terapi
allopurinol mulai diberikan dan dosis disesuaikan.
- Sitotoksisitas
Allopurinol meningkatkan toksisitas beberapa obat sitotoksik yang
dimetabolisme xantin oksidase. Dosis obat sitotoksis (misalnya
azatioprin) harus diturunkan jika digunakan bersama dengan
allopurinol. Allopurinol juga meningkatkan toksisitas siklofosfamid
terhadap sumsum tulang.

Obat urikosurik
Probenesid dan sulfinpyrazone adalah obat urikosurik yang digunakan untuk
menurunkan hiperurisemia pada pasien dengan gout tophaceous atau pada
mereka dengan serangan gout yang sering. Pada pasien yang mengeluarkan
banyak asam urat, agen urikosurik tidak boleh digunakan.
- Struktur kimia
Obat urikosurik adalah asam organik dan, dengan demikian, tindakan di
lokasi transportasi anionik dari tubulus ginjal. Sulfinpyrazone adalah
metabolit dari analog dari fenilbutazon.

- Farmakokinetik
Probenesid direabsobsi oleh tubulus ginjal dan dimetabolisme perlahan
dengan paruh waktu 5-8 jam. Sulfinpyrazone atau turunan hidroksilasi
aktif cepat diekskresikan oleh ginjal. Meski begitu, durasi efeknya setelah
pemberian oral hampir sama dengan probenesid, yang diberikan sekali
atau dua kali sehari.
- Farmakodinamik
Asam urat secara bebas difiltrasi di glomerulus. Seperti banyak asam
lemah yang lain, juga baik direarbsopsi dan dikeluarkan di segmen
tengah (S2) dari tubulus proksimal. Obat urikosurik probenesid,
sulfinpyrazone, dan dosis besar aspirin mempengaruhi transport aktif
sehingga reabsorpsi asam urat di tubulus proksimal menurun. Karena
aspirin dalam dosis kurang dari 2,6 g sehari menyebabkan retensi asam
urat dengan menghambat transporter sekretori, sehingga tidak boleh
digunakan untuk analgesia pada pasien dengan gout. Sekresi dari asam
lemah lainnya (misalnya, penisilin) juga berkurang oleh agen
urikosurik. Probenesid pada awalnya dikembangkan untuk
memperpanjang kadar penisilin di darah. Pada pasien yang merespon
positif, deposit tophaceous urat direarbsorpsi, dengan perbaikan dari
arthritis dan remineralisasi tulang. Dengan peningkatan ekskresi asam
urat, kecenderungan untuk pembentukan batu ginjal bertambah
bukannya menurun. Oleh karena itu, volume urine harus dipertahankan
pada tingkat tinggi, dan setidaknya di awal perawatan, pH urine harus
dipertahankan di atas 6,0.
- Indikasi
Terapi urikosurik harus dimulai pada pasien gout dengan undereksresi
asam urat ketika allopurinol atau febuxostat adalah kontraindikasi atau
ketika tophi muncul. Terapi tidak boleh dimulai kecuali 2-3 minggu
setelah serangan akut.
- Efek Samping
Efek samping tidak memberikan dasar untuk memilih agen urikosurik.
Kedua asam organik ini menyebabkan iritasi GI, tapi sulfinpyrazone lebih
aktif dalam hal ini. Ruam dapat muncul setelah penggunaan. Sindrom
nefrotik dapat terjadi setelah penggunaan probenesid.
Sulfinpyrazone dan probenesid mungkin jarang menyebabkan anemia
aplastik.
- Kontraindikasi
Hal ini penting untuk mempertahankan volume urin yang banyak untuk
meminimalkan kemungkinan pembentukan batu.

- Dosis
Probenesid biasanya dimulai dengan dosis 0,5 g per oral setiap hari
dengan dosis terbagi, kemudian naik ke 1 g sehari setelah 1 minggu.
Sulfinpyrazone dimulai dengan dosis 200 mg oral setiap hari, naik ke
400-800 mg per hari. Ini harus diberikan dalam dosis terbagi dengan
makanan untuk mengurangi efek samping GI.

Kebanyakan pasien dengan hiperurisemia yang sedikit mengekskresikan asam


urat dapat diterapi dengan obat urikosurik. Urikosurik seperti probenesid
(500 mg‐1g 2kali/hari) dan sulfinpirazon (100 mg 3‐4 kali/hari) merupakan
alternative allopurinol, terutama untuk pasien yang tidak tahan terhadap
allopurinol. Urikosurik harus dihindari pada pasien dengan nefropati urat dan
yang memproduksi asam urat berlebihan. Obat ini tidak efektif pada pasien
dengan fungsi ginjal yang buruk (klirens kreatinin <20‐30 mL/menit). Sekitar
5% pasien yang menggunakan probenesid jangka lama mengalami mual, nyeri
ulu hati, kembung atau konstipasi. Ruam pruritis ringan, demam dan gangguan
ginjal juga dapat terjadi Salah satu kekurangan obat ini adalah
ketidakefektifannya yang disebabkan karena ketidakpatuhan pasien dalam
mengkonsumsi obat, penggunaan salisilat dosis rendah secara bersamaan atau
insufisiensi ginjal.

Benzbromarone
Benzbromarone adalah obat urikosurik yang digunakan dengan dosis 100
mg/hari untuk pasien dengan penurunan fungsi ginjal moderat yang tidak dapat
menggunakan urikourik lain atau allopurinol karena hipersensitif.
Penggunaannya harus dimonitor ketat karena dikaitkan dengan kejadian
hepatotoksik berat.

Febuxostat
Studi awal menunjukkan bahwa febuxostat ditoleransi baik oleh pasien gout
sampai 4 minggu. Febuxostat adalah non‐purin xantin oxidase inhibitor yang
dikembangkan untuk mengatasi hiperurisemia pada gout disetujui oleh FDA
pada bulan Februari 2009.
- Farmakokinetik
Febuxostat lebih dari 80% diserap setelah penggunaan oral. Dengan
konsentrasi maksimum dicapai pada sekitar 1 jam dan paruh 4-18 jam,
dosis sekali sehari efektif. Febuxostat secara ekstensif dimetabolisme di
hati. Semua obat dan metabolit aktif muncul dalam urin, meskipun
kurang dari 5% muncul sebagai obat tidak berubah.
- Farmakodinamik
Febuxostat adalah inhibitor poten dan selektif xantin oksidase, sehingga
mengurangi pembentukan xanthine dan asam urat tanpa mempengaruhi
enzim lain dalam jalur metabolik purin atau pirimidin. Dalam uji klinis,
febuxostat pada dosis harian 80 mg atau 120 mg lebih efektif dalam
menurunkan kadar serum asam urat dari allopurinol pada 300 mg dosis
harian standar.
- Indikasi
Febuxostat disetujui pada dosis 40, 80, atau 120 mg pengobatan
hiperurisemia kronis pada pasien gout. Meskipun menjadi lebih efektif
daripada allopurinol sebagai terapi penurun urat, allopurinol dosis
terbatas pada 300 mg / d, tidak mencerminkan rejimen dosis yang
sebenarnya digunakan dalam praktek klinis. Pada saat ini, kesetaraan
dosis allopurinol dan febuxostat tidak diketahui.
- Efek Samping
Seperti allopurinol, pengobatan profilaksis dengan colchicine atau
NSAID harus dimulai pada awal terapi untuk menghindari serangan.
Yang paling sering efek samping terkait pengobatan adalah fungsi
kelainan hati, diare, sakit kepala, dan mual. Febuxostat tampaknya
ditoleransi dengan baik pada pasien dengan riwayat intoleransi
allopurinol.
- Dosis
Dosis awal yang dianjurkan adalah 40 mg febuxostat/ hari. Tidak ada
dosis penyesuaian diperlukan untuk pasien dengan gangguan ginjal
karena dimetabolisme oleh hati.
Pegloticase
Pegloticase adalah terapi penurun urat terbaru; yang disetujui oleh FDA
pada bulan September 2010 untuk pengobatan refraktori gout kronis.
- Struktur Kimia
Pegloticase adalah uricase mamalia rekombinan yang kovalen melekat
pada metoksi polyethylene glycol (MPEG) untuk memperpanjang
waktu paruh dan mengurangi respon imunogenik.
- Farmakokinetik
Pegloticase adalah obat intravena yang memiliki efek cepat, mencapai
puncak penurunan kadar asam urat dalam waktu 24-72 jam. Serum waktu
paruh berkisar 6,4-13,8 hari.
- Farmakodinamik
Enzim oksidase urat, absen pada manusia dan beberapa primata,
mengkonversi asam urat menjadi allantoin. Produk ini sangat larutan
dan dapat dengan mudah dieliminasi oleh ginjal. Pegloticase telah
ditunjukkan untuk mempertahankan kadar asam urat yang rendah
hingga 21 hari dengan dosis 4-12 mg, memungkinkan untuk IV dosis
setiap 2 minggu.
- Efek Samping
Efek samping yang paling umum termasuk reaksi infus dan gout flare
(terutama selama 3 bulan pertama pengobatan). Nefrolitiasis, arthralgia,
kejang otot, sakit kepala, anemia, dan mual dapat terjadi. Efek samping
lebih jarang lainnya tercatat termasuk infeksi saluran pernapasan atas,
edema perifer, infeksi saluran kemih, dan diare. Ada beberapa
kekhawatiran untuk anemia hemolitik pada pasien dengan
dehidrogenase glukosa-6-fosfat karena pembentukan hidrogen
peroksida dengan uricase; Oleh karena itu, pegloticase harus dihindari
pada pasien ini. Sejumlah besar pasien menunjukkan respon imun untuk
pegloticase. Kehadiran antibodi dikaitkan dengan singkatnya waktu
paruh, hilangnya respon menyebabkan kenaikan kadar asam urat
plasma, dan tingkat yang lebih tinggi dapat terjadi reaksi infus.
Pemantauan kadar asam urat plasma, dengan tingkat yang tinggi
sebagai indikator produksi antibodi, memungkinkan untuk pemantauan
keberhasilan.
- Dosis
Dosis yang dianjurkan untuk pegloticase adalah 8 mg IV setiap 2 minggu.

Gout yang diinduksi oleh obat


Hiperurisemia dapat disebabkan karena penggunaan diuretic, terutama
tiazid. Jika tiazid harus digunakan atau tidak dapat diganti obat lain, maka
allopurinol sebaiknya diberikan untuk menurunkan kadar urat. Obat lain yang
juga menurunkan ekskresi urat melalui ginjal adalah aspirin dosis rendah dan
alkohol. Demikian juga siklosporin, terutama pada laki‐laki.Gout akut sering
diasosiakan dengan omeprazol. Etambutol, pirazinamid, niasin dan didanosin
juga mengganggu ekskresi asam urat melalui ginjal. Radioterapi dan
kemoterapi juga dapat menyebabkan hiperurisemia. Untuk profilaktik, dalam
hal ini dapat diberikan allopurionol sejak 3 hari sebelum memulai terapi.

Terapi non-obat
Terapi non‐obat merupakan strategi esensial dalam penanganan gout. Gout
adalah gangguan metabolik, yang dipengaruhi oleh diet, asupan alkohol,
hiperlipidemia dan berat badan. Intervensi seperti istirahat yang cukup,
penggunaan kompres dingin, modifikasi diet, mengurangi asupan alkohol dan
menurunkan berat badan pada pasien yang kelebihan berat badan terbukti efektif.
Pasien gout harus mendapat informasi bahwa puasa, obesitas (kegenukan) dan
konsumsi alkohol dapat mengakibatkan hiperurisemia. Jika hal tersebut dapat
diperbaiki atau dihindari maka terapi obat tidak diperlukan, demikian juga
hiperurisemia tanpa gejala juga tidak perlu diobati. Namun demikian fungsi ginjal
harus diperiksa untuk meyakinkan tidak ada gangguan. Pasien yang beresiko
mengalami serangan kambuh gout harus membawa persediaan NSAID dan
harus diedukasi untuk segera menggunakannya pada saat muncul gejala
pertama. Juga harus diinformasikan untuk menghindari aspirin dan sebaiknya
digunakan parasetamol jika diperlukan analgesik penghilang rasa nyeri. Pasien
yang mendapat allopurinol juga diinformasikan untuk tetap melanjutkan
penggunaan allopurinol sehari sekali jika belum terlihat respon terhadap gejala
yang dirasakan. Juga harus mendapat informasi mengenai efek samping yang
mungkin dialami serta segera melaporkan jika terjadi efek samping pada kulit.
Pasien yang mendapat terapi urikosurik dianjurkan untuk minum paling sedikit
2L/hari untuk mengurangi resiko pembentukan batu asam urat pada ginjal.

Daftar Pustaka :
Bawono E. Hiperurisemia. Surabaya : RSUD Kabupaten Kediri Fakultas
Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma, 2015. Diunduh pada :
https://id.scribd.com/doc/261150549/referat-hiperurisemia , 4 Februari 2017.

10. Obesitas
Tingkat Kemampuan 4A
Definisi
Obesitas didefinisikan sebagai suatu kelainan atau penyakit yang ditandai
dengan penimbunan jaringan lemak tubuh secara berlebihan. Untuk
menentukan obesitas diperlukan kriteria yang berdasarkan pengukuran
antropometri dan atau pemeriksaan laboratorik, pada umumnya digunakan:
a. Pengukuran berat badan (BB) yang dibandingkan dengan standar dan
disebut obesitas bila BB > 120% BB standar.
b. Pengukuran berat badan dibandingkan tinggi badan (BB/TB).
Dikatakan obesitas bila BB/TB > persentile ke 95 atau > 120% atau Z-
score = + 2 SD
c. Pengukuran lemak subkutan dengan mengukur skinfold thickness
(teba lipatankulit/TLK). Sebagai indikator obesitas bila TLK Triceps >
persentil ke 85
d. Pengukuran lemak secara laboratorik, misalnya densitometri,
hidrometri dsb.yang tidak digunakan pada anak karena sulit dan tidak
praktis. DXA adalah metodeyang paling akurat, tetapi tidak praktis
untuk dilapangan.
e. Indeks Massa Tubuh (IMT), > persentil ke 95 sebagai indikator
obesitas

Patofisiologi
Pengaturan keseimbangan energi diperankan oleh hipotalamus melalui 3
proses fisiologis, yaitu: pengendalian rasa lapar dan kenyang, mempengaruhi laju
pengeluaran energi dan regulasi sekresi hormon yang terlibat dalam pengaturan
penyimpanan energi, melalui sinyal - sinyal efferent yang berpusat dihipotalamus
setelah mendapatkan sinyal afferent dari perifer terutama dari jaringan adipose
tetapi juga dari usus dan jaringan otot. Sinyal-sinyal tersebut bersifat anabolik
(meningkatkan asupan makanan, menurunkan pengeluaran energi) dan katabolik
(anoreksia, meningkatkan pengeluaran energi) dan dibagi menjadi 2 kategori,
yaitu sinyal pendek dan sinyal panjang.
Sinyal pendek (situasional) yang mempengaruhi porsi makan dan waktu
makan serta berhubungan dengan faktor distensi lambung dan peptida
gastrointestinal, yaitu kolesistokinin (CCK) yang mempunyai peranan paling
penting dalam menurunkan porsi makan dibanding glukagon, bom besin dan
somatostatin. Sinyal panjang yang diperankan oleh fat-derived hormon leptin dan
insulin yang mengatur penyimpanan dan keseimbangan energi. Didalam system
ini leptin memegang peran utama sebagai pengendali berat badan. Sumber utama
leptin adalah jaringan adiposa, yang disekresi langsung masuk keperedaran darah
dan kemudian menembus sawar darah otak menuju ke hipotalamus. Apabila
asupan energi melebihi dari yang dibutuhkan maka massa jaringan adiposa
meningkat, disertai dengan peningkatan kadar leptin dalam peredaran darah.
Leptin kemudian merangsang anorexigenic center dihipotalamus agar
menurunkan produksi NPY, sehingga terjadi penurunan nafsu makan dan
asupan makanan. Demikian pula sebaliknya bila kebutuhan energi lebih besar
dari asupan energi, maka massa jaringan adiposa berkurang dan terjadi
rangsangan pada orexigenic center dihipotalamus yang menyebabkan
peningkatan nafsu makan dan asupan makanan. Pada sebagian besar orang
obesitas, mekanisme ini tidak berjalan walaupun kadar leptin didalam darah
tinggi dan disebut sebagai resistensi leptin.
Beberapa neurotransmiter, yaitu norepineprin, dopamin, asetilkolin dan
serotonin berperan juga dalam regulasi keseimbangan energi, demikian juga
dengan beberapa neuropeptide dan hormon perifer yang juga mempengaruhi
asupan makanan dan berperan didalam pengendalian kebiasaan makan.
Neuropeptide-neuropeptide ini meliputi neuropeptide Y (NPY), melanin-
concentrating hormone, corticotropin-releasing hormone (CRH), bom besin
dan somatostatin. NPY dan CRH terdapat dinukleus paraventrikuler (PVN)
yang terletak dibagian dorsal dan rostralventromedial hypothalamic (VMH),
sehingga lesi pada daerah ini akan mempengaruhi kebiasaan makan dan
keseimbangan energi. NPY merupakan neuropeptida perangsang nafsu makan
dan diduga berperan didalam respon fisiologi terhadap starvasi dan obesitas.
Gambar 14. Regulasi Kontrol Rasa Lapar

Nukleus VMH merupakan satietycenter/anorexigenic center. Stimulasi pada


nukleus VMH akan menghambat asupan makanan dan kerusakan nukleus ini
akan menyebabkan makan yang berlebihan (hiperfagia) dan obesitas. Sedang
nukleus area lateral hipotalamus (LHA) merupakan feedingcenter/orexigenic
center dan memberikan pengaruh yang berlawanan.

Gambar 15. Kontrol Nafsu Makan

Leptin dan insulin yang bekerja pada nukleus arcuatus (ARC), merangsang
neuron proopi melanocortin/cocainan damphetamine-regulated transcript
(POMC/CART) dan menimbulkan efek katabolik (menghambat nafsu makan,
meningkatkan pengeluaran energi) dan pada saat yang sama menghambat
neuron NPY/AGRP (agoutirelated peptide) dan menimbulkan efek anabolik
(merangsang nafsu makan, menurunkan pengeluaran energi). Pelepasan
neuropeptida-neuropeptida NPY/AGRP dan POMC/CART oleh neuron-
neuron tersebut kedalam nukleus PVN dan LHA, yang selanjutnya akan
memediasi efek insulin dan leptin dengan cara mengatur respon neuron-neuron
dalam nukleus traktus solitarius (NTS) di otak belakang terhadap sinyal
rasaken yang (oleh kolesistokinin dan distensi lambung) yang timbul setelah
makan. Sinyal rasa kenyang ini menuju NTS terutama melalui nervus vagus.
Jalur descending anabolik dan katabolik diduga mempengaruhi respon neuron
di NTS yang mengatur penghentian makan. Jalur katabolik meningkatkan dan
jalur anabolik menurunkan efek sinyal kenyang jalur pendek, sehingga
menyebabkan penyesuaian porsi makan yang mempunyai efek jangka panjang
pada perubahan asupan makan dan berat badan.

Manifestasi Klinik
Obesitas digolongkan menjadi 3 kelompok:
1. Obesitas ringan : kelebihan berat badan 20-40%
2. Obesitas sedang : kelebihan berat badan 41-100%
3. Obesitas berat : kelebihan berat badan >100%
Perhatian tidak hanya ditujukan kepada jumlah lemak yang ditimbun, tetapi
juga kepada lokasi penimbunan lemak tubuh. Pola penyebaran lemak tubuh
pada pria dan wanita cenderung berbeda. Wanita cenderung menimbun lemaknya
di pinggul dan bokong, sehingga memberikan gambaran seperti buah pir.
Sedangkan pada pria biasanya lemak menimbun di sekitar perut, sehingga
memberikan gambaran seperti buah apel. Tetapi hal tersebut bukan merupakan
sesuatu yang mutlak, kadang pada beberapa pria tampak seperti buah pir dan
beberapa wanita tampak seperti buah apel, terutama setelah masa menopause.
Seseorang yang lemaknya banyak tertimbun di perut mungkin akan lebih
mudah mengalami berbagai masalah kesehatan yang berhubungan dengan
obesitas. Mereka memiliki resiko yang lebih tinggi.
Gambaran buah pir lebih baik dibandingkan dengan gambaran buah apel.
Untuk membedakan kedua gambaran tersebut, telah ditemukan suatu cara
untuk menentukan apakah seseorang berbentuk seperti buah apel atau seperti
buah pir, yaitu dengan menghitung rasio pinggang dengan pinggul.
 Pinggang diukur pada titik yang tersempit, sedangkan pinggul diukur
pada titik yang terlebar; lalu ukuran pinggang dibagi dengan ukuran
pinggul.
 Seorang wanita dengan ukuran pinggang 87,5 cm dan ukuran pinggul
115 cm, memiliki rasio pinggang-pinggul sebesar 0,76. Wanita dengan
rasio pinggang:pinggul lebih dari 0,8 atau pria dengan rasio
pinggang:pinggul lebih dari 1, dikatakan berbentuk apel.

Gambar Penderita Obesitas

Gambar 16. Obesitas


Penimbunan lemak yang berlebihan dibawah diafragma dan di dalam
dinding dada bisa menekan paru-paru, sehingga timbul gangguan pernafasan dan
sesak nafas, meskipun penderita hanya melakukan aktivitas yang ringan.
Gangguan pernafasan bisa terjadi pada saat tidur dan menyebabkan terhentinya
pernafasan untuk sementara waktu (tidur apneu), sehingga pada siang hari
penderita sering merasa ngantuk.Obesitas bisa menyebabkan berbagai masalah
ortopedik, termasuk nyeri punggung bawah dan memperburuk osteoartritis
(terutama di daerah pinggul, lutut dan pergelangan kaki). Juga kadang sering
ditemukan kelainan kulit. Seseorang yang menderita obesitas memiliki
permukaan tubuh yang relatif lebih sempit dibandingkan dengan berat
badannya, sehingga panas tubuh tidak dapat dibuang secara efisien dan
mengeluarkan keringat yang lebih banyak. Sering ditemukan edema
(pembengkakan akibat penimbunan sejumlah cairan) di daerah tungkai dan
pergelangan kaki.

Kriteria Diagnosis
Pemeriksaan Antropometri
1. Mengukur lemak tubuh
Tidak mudah untuk mengukur lemak tubuh seseorang. Cara-cara berikut
memerlukan peralatan khusus dan dilakukan oleh tenaga terlatih:
 Underwater weight, pengukuran berat badan dilakukan di dalam air dan
kemudian lemak tubuh dihitung berdasarkan jumlah air yang tersisa
 BOD POD merupakan ruang berbentuk telur yang telah dikomputerisasi.
Setelah seseorang memasuki BOD POD, jumlah udara yang tersisa
digunakan untuk mengukur lemak tubuh
 DEXA (dual energy X-ray absorptiometry), menyerupai skening tulang.
Sinar X digunakan untuk menentukan jumlah dan lokasi dari lemak tubuh.

Dua cara berikut lebih sederhana dan tidak rumit:


 Jangka kulit, ketebalan lipatan kulit di beberapa bagian tubuh diukur
dengan jangka (suatu alat terbuat dari logam yang menyerupai forseps)
 Bioelectric impedance analysis (analisa tahanan bioelektrik), penderita
berdiri diatas skala khusus dan sejumlah arus listrik yang tidak berbahaya
dialirkan ke seluruh tubuh lalu dianalisa.
Pemeriksaan tersebut bisa memberikan hasil yang tidak tepat jika tidak
dilakukan oleh tenaga ahli.
2. Body Mass Index (BMI)
BMI merupakan suatu pengukuran yang menghubungkan (membandingkan)
berat badan dengan tinggi badan. BMI merupakan rumus matematika dimana
berat badan (dalam kilogram) dibagi dengan tinggi badan (dalam meter)
pangkat dua. Seseorang dikatakan mengalami obesitas jika memiliki nilai BMI
sebesar 30 atau lebih.
BB (kg)
IMT = --------------
TB x TB (m)

BB = Berat Badan, TB = Tinggi Badan

Status Gizi Wanita Laki-


laki
Normal 17 -23 18 –25
Kegemukan 23 – 27 25 - 27
Obesitas > 27 > 27

IMT yang normal antara 18 – 25. Seorang dikatakan kurus bila IMT nya <
18 dan gemuk bila IMT nya > 25. Bila IMT > 30 orang tersebut menderita
obesitas dan perlu diwaspadai karena biasanya orang tesebut juga menderita
penyakit degeneratif seperti Diabetes Melitus, hipertensi, hiperkolesterol dan
kelainan metabolisme lain yang memerlukan pemeriksaan lanjut baik klinis
atau laboratorium
 Resiko rendah : BMI < 27
 Resiko menengah : BMI 27-30
 Resiko tinggi : BMI 30-35
 Resiko sangat tinggi : BMI 35-40
 Resiko sangat sangat tinggi : BMI 40 atau lebih

Untuk mengetahui Berat Badan ideal dapat menggunakan rumus Brocca


sebagai
berikut :
BB ideal = (TB – 100) – 10% (TB – 100)
Pemeriksaan Laboratorium
Digunakan untuk deteksi keadaan/ status defisiensi subklinis, apakah
menyebabkan komplikasi atau tidak, dimana pada obesitas sangat rentan sekali
terhadap berbagai penyakit, seperti aterosklerosis dengan manifestasi penyakit
jantung koroner dan / stroke
Pemeriksaan dilakukan dengan mengambil sample pada darah, urin, tinja, dan
saliva. Pemeriksaan darah dilakukan darah bertujuan untuk mengetahui nilai
kolesterol darah yang normalnya <200 mg/dl, kadar trigliserida yang normalnya
<160 mg/dl, kolesterol HDL yang normalnya >35 mg/dl, kolesterol LDL yang
normalnya <150 mg/dl.
Pemeriksaan urin bertujuan untuk menilai kadar glukosa yang normalnya
negative (-), dimana orang yang obesitas kemungkinan dapat menderita
penyakit diabetes melitus. Kemudian selain glukosa juga dilihat kadar protein
didalam urin yang normalnya negative.

Penatalaksanaan
Nutrisi yang dibutuhkan adalah Calcium I + Antilipemic + Chitosan +
Doubl Cellulose yang terdapat pada produk Kesehatan dengan cara
pemakaian :
 1 sachet Calcium I sehari
 2 bag teh Antilipemic sehari
 2 kapsul Chitosan sebelum makan
 1 tablet Double Cellulose ½ jam setelah makan

Pembatasan asupan kalori dan peningkatan aktivitas fisik merupakan


komponen yang paling penting dalam pengaturan berat badan. Kedua
komponen ini juga penting dalam mempertahankan berat badan setelah terjadi
penurunan berat badan. Harus dilakukan perubahan dalam pola aktivitas fisik dan
mulai menjalani kebiasaan makan yang sehat
Jenis dan beratnya latihan, serta jumlah pembatasan kalori pada setiap
penderita berbeda-beda dan obat yang diberikan disesuaikan dengan keadaan
penderita.
 Penderita dengan resiko kesehatan rendah, menjalani diet sedang (1200-
1500 kalori/hari untuk wanita, 1400-2000 kalori/hari untuk pria) disertai
dengan olah raga
 Penderita dengan resiko kesehatan menengah, menjalani diet rendah kalori
(800-1200 kalori/hari untuk wanita, 1000-1400 kalori/hari untuk pria)
disertai olah raga
 Penderita dengan resiko kesehatan tinggi atau sangat tinggi, mendapatkan
obat anti-obesitas disertai diet rendah kalori dan olah raga

Daftar Pustaka :
Hamyasa H, Adhyatma M.T. Obesitas pada Anak. Samarinda : Fakultas
Kedokteran Universitas Mulawarman RSU Abdul Wahab Sjahranie, 2013.
Diunduh pada : https://id.scribd.com/document/195561864/Referat-Obesitas, 5
Februari 2017.
SISTEM HEMATOLOGI DAN IMUNOLOGI

1. Anemia Defisiensi Besi


Tingkat Kemampuan : 4A
Definisi
Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa
eritrosit sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen
dalam jumlah cukup ke jaringan perifer. Anemia merupakan masalah medik yang
paling sering dijumpai di klinik di seluruh dunia. Diperkirakan >30% penduduk
dunia menderita anemia dan sebagian besar di daerah tropis. Oleh karena itu
anemia seringkali tidak mendapat perhatian oleh para dokter di klinik.
Patofisiologi
Anemia defisiensi Fe merupakan hasil akhir keseimbangan negatif Fe
yang berlangsung lama. Bila keseimbangan besi ini menetap akan menyebabkan
cadangan besi terus berkurang. Terdapat 3 tahap defisiensi besi, yaitu:
1. Iron depletion. Ditandai dengan cadangan besi menurun atau tidak ada tetapi
kadar Fe serum dan Hb masih normal. Pada keadaan ini terjadi peningkatan
absorpsi besi non heme.
2. Iron deficient erythropoietin/iron limited erythropoiesis. Pada keadaan ini
didapatkan suplai besi yang tidak cukup untuk menunjang eritropoiesis. Pada
pemeriksaan laboratorium didapat kadar Fe serum dan saturasi transferin menurun
sedangkan TIBC dan FEP meningkat.
3. Iron deficiency anemia. Keadaan ini merupakan stadium lanjut dari defisiensi Fe.
Keadaan ini ditandai dengan cadangan besi yang menurun atau tidak ada, kadar
Fe serum rendah, saturasi transferin rendah, dan kadar Hb atau Ht yang rendah.
Manifestasi Klinis
Pasien datang ke dokter dengan keluhan lemah, lesu, letih, lelah, penglihatan
berkunang-kunang, pusing, telinga berdenging, penurunan konsentrasi, dan sesak
nafas. Gejala umum pucat dapat terlihat pada: konjungtiva, mukosa mulut, telapak
tangan, dan jaringan di bawah kuku. Gejala anemia
defisiensi besi berupa disfagia, atrofi papil lidah, stomatitis angularis, dan
koilonikia.
Kriteria Diagnosis
Anemia adalah suatu sindrom yang dapat disebabkan oleh penyakit dasar
sehingga penting menentukan penyakit dasar yang menyebabkan anemia. Diagnosis
ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan hasil pemeriksaan darah
dengan kriteria Hb darah kurang dari kadar Hb normal. Nilai rujukan kadar
hemoglobin normal menurut WHO:
1. Laki-laki: >13 g/dL
2. Perempuan: >12 g/dL
3. Perempuan hamil: >11 g/dL
Terapi
Prinsip penatalaksanaan anemia harus berdasarkan diagnosis definitif yang
telah ditegakkan. Setelah penegakan diagnosis dapat diberikan sulfas ferrosus 3 x
200 mg (200 mg mengandung 66 mg besi elemental).
Rencana Tindak Lanjut
Untuk penegakan diagnosis definitif anemia defisiensi besi memerlukan
pemeriksaan laboratorium di layananan sekunder dan penatalaksanaan selanjutnya
dapat dilakukan di layanan primer.
Konseling dan Edukasi
1. Memberikan pengertian kepada pasien dan keluarga tentang perjalanan
penyakit dan tata laksananya, sehingga meningkatkan kesadaran dan kepatuhan
dalam berobat serta meningkatkan kualitas hidup pasien.
2. Pasien diinformasikan mengenai efek samping obat berupa mual, muntah,
heartburn, konstipasi, diare, serta BAB kehitaman.
3. Bila terdapat efek samping obat maka segera ke pelayanan kesehatan.
Kriteria Rujukan
1. Anemia tanpa gejala dengan kadar Hb <8 g/dL.
2. Anemia dengan gejala tanpa melihat kadar Hb segera dirujuk.
3. Anemia berat dengan indikasi transfusi (Hb <7 g/dL).
4. Anemia karena penyebab yang tidak termasuk kompetensi dokter layanan
primer misalnya anemia aplastik, anemia hemolitik dan anemia megaloblastik.
5. Jika didapatkan kegawatan (misal perdarahan aktif atau distres pernafasan)
pasien segera dirujuk.
Referensi
1. Braunwald, E. Fauci, A.S. Kasper, D.L. Hauser, S.L. et al.Harrisson’s:
Principle of Internal Medicine. 17th Ed. New York: McGraw-Hill Companies.
2009. (Braunwald, et al., 2009)
2. Sudoyo, A.W. Setiyohadi, B. Alwi, I. Simadibrata, M. Setiati, S. Eds. Buku ajar
ilmu penyakit dalam. 4thEd. Vol. III. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI. 2006. (Sudoyo, et al., 2006)
3. Bakta IM. Pendekatan Terhadap Pasien Anemia. Dalam: Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
4thEd. Vol II. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
2006. hlm 632-36. (Sudoyo, et al., 2006)

2. HIV/AIDS Tanpa Komplikasi


Tingkat Kemampuan : 4A
Definisi
Masalah HIV/AIDS adalah masalah besar yang mengancam Indonesia dan
banyak negara di dunia serta menyebabkan krisis multidimensi. Berdasarkan hasil
estimasi Departemen Kesehatan tahun 2006 diperkirakan terdapat 169.000-
216.000 orang dengan HIV dan AIDS di Indonesia. Program bersama UNAIDS
dan WHO memperkirakan sekitar 4,9 juta orang hidup dengan HIV di Asia.
Patofisiologi
Peran penting sel T dalam “menyalakan” semua kekuatan limfosit dan
makrofag, membuat sel T penolong dapat dianggap sebagai “tombol utama”
sistem imun. Virus AIDS secara selektif menginvasi sel T penolong,
menghancurkan atau melumpuhkan sel-sel yang biasanya megatur sebagian besar
respon imun. Virus ini juga menyerang makrofag, yang semakin melumpuhkan
sistem imun, dan kadang-kadang juga masuk ke sel-sel otak, sehingga timbul
demensia (gangguan kapasitas intelektual yang parah) yang dijumpai pada
sebagian pasien AIDS.
Dalam tubuh ODHA, partikel virus bergabung dengan DNA sel pasien,
sehingga satu kali seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap terinfeksi.
Dari semua orang yang terinfeksi HIV, sebagian berkembang masuk tahap AIDS
pada 3 tahun pertama, 50% berkembang menjadi AIDS sesudah 10 tahun, dan
sesudah 13 tahun hampir semua orang yang terinfeksi HIV menunjukkan gejala
AIDS, dan kemudian meninggal. Gejala yang terjadi adalah demam, nyeri
menelan, pembengkakan kelenjar getah bening, ruam, diare, atau batuk. Setelah
infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimptomatik (tanpa gejala). Masa tanpa gejala
ini umumnya berlangsung selama 8-10 tahun.
Pada waktu orang dengan infeksi HIV masih merasa sehat, klinis tidak
menunjukkan gejala, pada waktu itu terjadi replikasi HIV yang tinggi, 10 partikel
setiap hari. Bersamaan dengan replikasi HIV, terjadi kehancuran limfosit CD4
yang tinggi, untungnya tubuh masih bisa mengkompensasi dengan memproduksi
limfosit CD4 sekitar 109 setiap hari.
Manifestasi Klinis
Infeksi HIV tidak akan langsung memperlihatkan gejala atau keluhan
tertentu. Pasien datang dapat dengan keluhan:
1. Demam (suhu >37,5OC) terus menerus atau intermiten lebih dari satu bulan.
2. Diare yang terus menerus atau intermiten lebih dari satu bulan.
3. Keluhan disertai kehilangan berat badan (BB) >10% dari berat badan dasar.
4. Keluhan lain bergantung dari penyakit yang menyertainya.
Faktor risiko antara lain:
1. Penjaja seks laki-laki atau perempuan
2. Pengguna NAPZA suntik
3. Laki-laki yang berhubungan seks dengan sesama laki-laki dan transgender
4. Hubungan seksual yang berisiko atau tidak aman
5. Pernah atau sedang mengidap penyakit infeksi menular seksual (IMS)
6. Pernah mendapatkan transfusi darah
7. Pembuatan tato dan atau alat medis/alat tajam yang tercemar HIV
8. Bayi dari ibu dengan HIV/AIDS
9. Pasangan serodiskordan – salah satu pasangan positif HIV
Kriteria Diagnosis
Stadium 4 Saklt Berat (AIDS)
1. Sindrom wasting HIV 11. Pneumonia kriptokokus
2. Pneumonia pneumocystis ekstrepulmoner, termasuk
jiroveci meningitis
3. Pneumonia bakteri berat 12. lnfeksi m1kob11kterium non
yang berulang luberltulosis yang menyebar
4. lnfeksi herpes simpleks 13. Leukoencephelopathy
kronis (orolabial, genrtal, mullnoca/ progresif
atau anorektal selama lebih 14. Kriptosporidiosis kronis
dari 1 bulan eteu vtseral d1 15. fsosporias1s kronis
bagian manapun) 16. Mikosis dlsemlnat11
5. Kand1diesis esofageal (histoplasmosls,
(atau kend1d1asis trakee coccidiomycos/s)
bronkus atau paru) ' 17. Septikemi yang beruleng
6. Tuberltulosis ekstra paru (termasuk Salmonella non-
7. Sark om a kaposi hfoid)
8. Penyakn snomegalov,rus 18. Llmfoma (serebral atau Sela
(retinitis etau infeksi organ non-Hodgkin)
lain, tidak termasuk heu, 19. Kars1noma serv,ks lnvasif
llmpa den kelen1ar getah 20. Leishmaniasis diseminata
bening) atipikal
9 Toksoplasmosis d1 sistem 21. Nefropab atau kardiomiopati
serer pusat terkait HIV yang simtomatls
10. Ensefalopab HIV
Terapi
Referensi
1. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.
Pedoman Nasional Tatalaksana Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada Orang
Dewasa.Jakarta: Kemenkes. 2011. (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,
2011)
2. Djoerban Z, Djauzi S. HIV/AIDS di Indonesia. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi
B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 4thEd. Vol II.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2006. hlm
1825-30. (Sudoyo, et al., 2006)
3. Lupus Eritematosus Sistemiik
Tingkat Kemampuan : 3A
Definisi
Lupus Eritematosus Sistemik (LES) telah menjadi salah satu penyakit
reumatik utama di dunia dalam 30 tahun terakhir. Prevalensi LES di berbagai negara
sangat bervariasi antara 2,9/100.000-400/100.000 dan terutama menyerang wanita
usia reproduktif yaitu 15-40 tahun. Rasio wanita dibandingkan pria berkisar
antara (5,5-9):1. Berdasarkan penelitian di RS Cipto Mangunkusumo Jakarta
antara tahun 1988-1990 insidensi rata-rata adalah 37,7 per 10.000 perawatan.
Patofisiologi
Pada pasien SLE terjadi gangguan respon imun yang menyebabkan
aktivasi sel B, peningkatan jumlah sel yang menghasilkan antibodi,
hipergamaglobulinemia, produksi autoantibodi, dan pembentukan kompleks imun.
Aktivasi sel T dan sel B disebabkan karena adanya stimulasi antigen spesifik baik
yang berasal dari luar seperti bahan-bahan kimia, DNA bakteri, antigen virus,
fosfolipid dinding sel atau yang berasal dari dalam yaitu protein DNA dan RNA.
Antigen ini dibawa oleh antigen presenting cells (APCs) atau berikatan dengan
antibodi pada permukaan sel B. Kemudian diproses oleh sel B dan APCs menjadi
peptida dan dibawa ke sel T melalui molekul HLA yang ada di permukaan. Sel T
akan teraktivasi dan mengeluarkan sitokin yang dapat merangsang sel B untuk
membentuk autoantibodi yang patogen. Interaksi antara sel B dan sel T serta
APCs dan sel T terjadi dengan bantuan sitokin, molekul CD 40, CTLA-4.
Berdasarkan profil sitokin sel T dibagi menjadi 2 yaitu Th1 dan Th2. sel Th1
berfungsi mendukung cell-mediated immunity, sedangkan Th2 menekan sel tersebut
dan membantu sel B untuk memproduksi antibodi. Pada pasien SLE ditemukan
adanya IL-10 yaitu sitokin yang diproduksi oleh sel Th2 yang berfungsi
menekan sel Th1 sehingga mengganggu cell-mediated immunity.
Sel T pada SLE juga mengalami gangguan berupa berkurangnya produksi
IL-2 dan hilangnya respon terhadap rangsangan pembentukan IL-2 yang dapat
membantu meningkatkan ekspresi sel T (Mok dan Lau, 2003).
Abnormalitas dan disregulasi sistem imun pada tingkat seluler dapat berupa
gangguan fungsi limfosit T dan B, NKC, dan APCs. Hiperaktivitas sel B terjadi
seiring dengan limfositopenia sel T karena antibodi antilimfosit T. Peningkatan
sel B yang teraktivasi menyebabkan terjadinya hipergamaglobulinemia yang
berhubungan dengan reaktivitas self-antigen. Pada sel B, reseptor sitokin, IL-2,
mengalami peningkatan sedangkan CR1 menurun (Silvia and Isenberg, 2001). Hal
ini juga meningkatkan heat shock protein 90 (hsp 90) pada sel B dan CD4+.
Kelebihan hsp 90 akan terlokalisasi pada permukaan sel limfosit dan akan
menyebabkan terjadinya respon imun. Sel T mempunyai 2 subset yaitu CD8+
(supresor/sitotoksik) dan CD4+ (inducer/helper). SLE ditandai dengan
peningkatan sel B terutama berhubungan dengan subset CD4+ dan CD45R+.
CD4+ membantu menginduksi terjadinya supresi dengan menyediakan signal
bagi CD8+ (Isenberg and Horsfall, 1998). Berkurang jumlah total sel T juga
menyebabkan berkurangnya subset tersebut sehingga signal yang sampai ke
CD8+ juga berkurang dan menyebabkan kegagalan sel T dalam menekan sel B yang
hiperaktif. Berkurangnya kedua subset sel T ini yang umum disebut double negative
(CD4-CD8-) mengaktifkan sintesis dan sekresi autoantibodi. Ciri khas autoantibodi
ini adalah bahwa mereka tidak spesifik pada satu jaringan tertentu dan merupakan
komponen integral dari semua jenis sel sehingga menyebabkan inflamasi dan
kerusakan organ secara luas melalui 3 mekanisme yaitu pertama kompleks imun
(misalnya DNA-anti DNA) terjebak dalam membran jaringan dan mengaktifkan
komplemen yang menyebabkan kerusakan jaringan. Kedua, autoantibodi tersebut
mengikat komponen jaringan atau antigen yang terjebak di dalam jaringan,
komplemen akan teraktivasi dan terjadi kerusakan jaringan. Mekanisme yang
terakhir adalah autoantibodi menempel pada membran dan menyebabkan aktivasi
komplemen yang berperan dalan kematian sel atau autoantibodi masuk ke dalam sel
dan berikatan dengan inti sel dan menyebabkan menurunnya fungsi sel tetapi belum
diketahui mekanismenya terhadap kerusakan jaringan
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinik LES sangat beragam dan seringkali tidak terjadi saat
bersamaan. Keluhan awal dapat berupa:
1. Kelelahan
2. Nyeri sendi yang berpindah-pindah
3. Rambut rontok
4. Ruam pada wajah
5. Sakit kepala
6. Demam
7. Ruam kulit setelah terpapar sinar matahari
8. Gangguan kesadaran
9. Sesak
10. Edema anasarka
Keluhan-keluhan tersebut akhirnya akan berkembang sesuai manifestasi
organ yang terlibat pada LES. Faktor risikonya adalah pasien dengan gejala klinis
yang mendukung dan memiliki riwayat keluarga yang menderita penyakit autoimun
meningkatkan kecurigaan adanya LES. Hampir seluruh sistem organ dapat terlibat
dalam LES. Manifestasi yang umum didapatkan antara lain:
1. Gejala konstitusional, misalnya: kelelahan, demam (biasanya tidak disertai
menggigil), penurunan berat badan, rambut rontok, bengkak, dan sakit kepala.
2. Manifestasi muskuloskeletal dijumpai lebih dari 90%, misalnya: mialgia,
artralgia atau artritis (tanpa bukti jelas inflamasi sendi).
3. Manifestasi mukokutaneus, misalnya ruam malar/ruam kupu-kupu,
fotosensitifitas, alopecia, dan ruam diskoid.
4. Manifestasi paru, misalnya pneumonitis (sesak, batuk kering, ronkhi di basal),
emboli paru, hipertensi pulmonum, dan efusi pleura.
5. Manifestasi kardiologi, misalnya Pleuropericardial friction rubs, takipneu,
murmur sistolik, gambaran perikarditis, miokarditis dan penyakit jantung koroner.
6. Manifestasi renal dijumpai pada 40-75% penderita setelah 5 tahun menderita
lupus, misalnya hipertensi, hematuria, edema perifer, dan edema anasarka.
7. Manifestasi gastrointestinal umumnya merupakan keterlibatan berbagai organ
dan akibat pengobatan, misalnya mual, dispepsia, nyeri perut, dan disfagi.
8. Manifestasi neuropsikiatrik misalnya kejang dan psikosis.
9. Manifestasi hematologi, misalnya leukopeni, lymphopenia, anemia atau
trombositopenia.
Kriteria Diagnosis
Diagnosis LES dapat ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan
laboratorium. Berdasarkan American College of Rheumatology (ACR) tahun
1982, LES dapat ditegakkan bila didapatkan 4 dari 11 kriteria yang terjadi secara
bersamaan atau dengan tenggang waktu.
Terapi
Penatalaksanaan berupa terapi konservatif. Pemberian analgetik sederhana
atau obat antiinflamasi non steroid, misalnya parasetamol 3-4 x 500-1000 mg,
atau ibuprofen 400-800 mg 3-4 kali perhari, natrium diklofenak 2-3 x 25-50
mg/hari pada keluhan artritis, artralgia dan mialgia.
Rencana Tindak Lanjut
1. Segera dirujuk ke layanan sekunder untuk penegakan diagnosis pasti kecuali pada
lupus berat misalnya yang mengancam nyawa dapat dirujuk ke layanan tersier
terdekat.
2. Pemeriksaan laboratorium dan follow-up secara berkelanjutan diperlukan untuk
memonitor respon atau efek samping terapi serta keterlibatan organ baru.
3. Keterlibatan berbagai organ pada LES memerlukan penanganan dari berbagai
bidang misalnya spesialis reumatologi, neurologi, nefrologi, pulmonologi,
kardiologi, dermatologi, serta hematologi.
Konseling dan Edukasi
Konseling dan edukasi diberikan oleh dokter setelah menerima rujukan balik dari
layanan sekunder
1. Intervensi psikososial dan penyuluhan langsung pada pasien dan keluarganya.
2. Menyarankan pasien untuk bergabung dalam kelompok penyandang lupus
3. Pasien disarankan untuk tidak terlalu banyak terpapar sinar matahari dan selalu
menggunakan krem pelindung sinar matahari, baju lengan panjang serta
menggunakan payung.
4. Pemantauan dan penjelasan mengenai efek penggunaan steroid jangka panjang
terhadap pasien.
5. Pasien diberi edukasi agar berobat teratur dan bila ada keluhan baru untuk
segera berobat.
Kriteria Rujukan
1. Setiap pasien yang di diagnosis sebagai LES atau curiga LES harus dirujuk ke
dokter spesialis penyakit dalam atau spesialis anak untuk memastikan diagnosis
2. Pada pasien LES manifestasi berat atau mengancam nyawa perlu segera dirujuk
ke pelayanan kesehatan tersier bila memungkinkan.
Referensi
1. Rani AA, Soegondo S, Nasir AUZ, Wijaya IP, Nafrialdi, Mansjoer A (ed).
Panduan Pelayanan Medik Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam
Indonesia. Pusat Penerbitan Departemen IPD FKUI. Jakarta. 2008. hlm 127-128.
(Rani, et al., 2008)
2. Isbagio H, Albar Z, Kasjmir YI, Setiyohadi B. Lupus Eritematosus Sistemik.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Pusat Penerbitan Departemen IPD FKUI.
Jakarta. 2006. (Sudoyo, et al., 2006)
3. Longmore M, Wilkinson I, Turmezei T, Cheung CK (ed). Oxford handbook of
clinical medicine. 7th edition. Oxford University Press. Oxford. 2008. hlm 540-
541. (Longmore, et al., 2008)
4. Fauci AS (ed). Harrison’s Manual of Medicine. 17th edition. McGraw Hill
Medical. USA. 2009. hlm 885-886. (Braunwald, et al., 2009)
5. Petri M, et al. derivation and validation of the Systemic Lupus International
Collborating Clinics classification criteria for systemic lupus eritematosus.
Arthritis and Rheumatism. 2012 Aug;64(8):2677-86. (Petri, et al., 2012)

4. Limfadenitis
Tingkat Kemampuan : 4A
Definisi
Limfadenitis adalah peradangan pada satu atau beberapa kelenjar getah
bening. Limfadenitis bisa disebabkan oleh infeksi dari berbagai organisme, yaitu
bakteri, virus, protozoa, riketsia atau jamur. Secara khusus, infeksi menyebar ke
kelenjar getah bening dari infeksi kulit, telinga, hidung atau mata.
Bakteri Streptokokus, Stafilokokus, dan Tuberkulosis adalah penyebab paling
umum dari Limfadenitis, meskipun virus, protozoa, riketsia, jamur juga dapat
menginfeksi kelenjar getah bening.
Patofisiologi
Kelenjar getah bening (KGB) adalah bagian dari sistem pertahanan tubuh
kita. Tubuh kita memiliki kurang lebih sekitar 600 kelenjar getah bening, namun
hanya di daerah sub mandibular (bagian bawah rahang bawah; sub: bawah;
mandibula: rahang bawah), ketiak atau lipat paha yang teraba normal pada orang
sehat. Terbungkus kapsul fibrosa yang berisi kumpulan sel-sel pembentuk
pertahanan tubuh dan merupakan tempat penyaringan antigen (protein asing) dari
pembuluh-pembuluh getah bening yang melewatinya.
Pembuluh-pembuluh limfe akan mengalir ke KGB sehingga dari lokasi KGB
akan diketahui aliran pembuluh limfe yang melewatinya. Oleh karena dilewati oleh
aliran pembuluh getah bening yang dapat membawa antigen (mikroba, zat asing)
dan memiliki sel pertahanan tubuh maka apabila ada antigen yang menginfeksi
maka kelenjar getah bening dapat menghasilkan sel-sel pertahanan tubuh yang lebih
banyak untuk mengatasi antigen tersebut sehingga kelenjar getah bening membesar.
Pembesaran kelenjar getah bening dapat berasal dari penambahan sel-sel
pertahanan tubuh yang berasal dari KBG itu sendiri seperti limfosit, sel plasma,
monosit dan histiosit atau karena datangnya sel-sel peradangan (neutrofil) untuk
mengatasi infeksi di kelenjar getah bening (limfadenitis), infiltrasi (masuknya)
sel-sel ganas atau timbunan dari penyakit metabolite macrophage (gaucher disease).
Dengan mengetahui lokasi pembesaran KGB maka kita dapat mengarahkan kepada
lokasi kemungkinan terjadinya infeksi atau penyebab pembesaran KGB.
Benjolan bisa berupa tumor baik jinak atau ganas, bisa juga berupa
pembesaran kelenjar getah bening. Kelenjar ini ada banyak sekali di tubuh kita,
antara lain di daerah leher, ketiak, dalam rongga dada dan perut, di sepanjang tulang
belakang kiri dan kanan sampai mata kaki. Kelenjar getah bening berfungsi sebagai
penyaring bila ada infeksi lokal yang disebabkan bakteri atau virus. Jadi, fungsinya
justru sebagai benteng pertahanan tubuh.
Manifestasi Klinis
Keluhan dapat berupa pembengkakan kelenjar getah bening, demam,
kehilangan nafsu makan, keringat berlebihan, nadi cepat, kelemahan, nyeri
tenggorok dan batuk bila disebabkan oleh infeksi saluran pernapasan bagian atas,
nyeri sendi bila disebabkan oleh penyakit kolagen atau penyakit serum (serum
sickness). Faktor risiko antara lain:
1. Riwayat penyakit seperti tonsilitis yang disebabkan oleh bakteri streptokokus,
infeksi gigi dan gusi yang disebabkan oleh bakteri anaerob.
2. Riwayat perjalanan dan pekerjaan ke daerah endemis penyakit tertentu,
misalnya perjalanan ke daerah-daerah Afrika dapat menunjukkan penyebab
limfadenitis adalah penyakit Tripanosomiasis. Sedangkan pada orang yang
bekerja di hutan Limfadenitis dapat terkena Tularemia.
3. Paparan terhadap infeksi/kontak sebelumnya kepada orang dengan infeksi saluran
nafas atas, faringitis oleh Streptococcus, atau Tuberkulosis turut membantu
mengarahkan penyebab limfadenopati.
Kriteria Diagnosis
Limfadenititis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan:
1. Pembesaran kelenjar getah bening (KGB) leher bagian posterior (belakang)
terdapat pada infeksi rubela dan mononukleosis. Sedangkan pada pembesaran
KGB oleh infeksi virus, umumnya bilateral (dua sisi-kiri/kiri dan kanan) dengan
ukuran normal bila diameter 0,5 cm, dan lipat paha bila diameternya >1,5 cm
dikatakan abnormal).
2. Nyeri tekan bila disebabkan oleh infeksi bakteri
3. Kemerahan dan hangat pada perabaan mengarah kepada infeksi bakteri sebagai
penyebabnya
4. Fluktuasi menandakan terjadinya abses
5. Bila disebabkan keganasan tidak ditemukan tanda-tanda peradangan tetapi
teraba keras dan tidak dapat digerakkan dari jaringan sekitarnya.
6. Pada infeksi oleh mikobakterium pembesaran kelenjar berjalan mingguan-
bulanan, walaupun dapat mendadak, KGB menjadi fluktuatif dan kulit diatasnya
menjadi tipis, dan dapat pecah.
7. Adanya tenggorokan yang merah, bercak-bercak putih pada tonsil, bintik-bintik
merah pada langit-langit mengarahkan infeksi oleh bakteri streptokokus.
8. Adanya selaput pada dinding tenggorok, tonsil, langit-langit yang sulit dilepas
dan bila dilepas berdarah, pembengkakan pada jaringan lunak leher (bull neck)
mengarahkan kepada infeksi oleh bakteri Difteri.
9. Faringitis, ruam-ruam dan pembesaran limpa mengarahkan kepada infeksi
Epstein Barr Virus.
10. Adanya radang pada selaput mata dan bercak koplik mengarahkan kepada
Campak.
11. Adanya bintik-bintik perdarahan (bintik merah yang tidak hilang dengan
penekanan), pucat, memar yang tidak jelas penyebabnya, disertai pembesaran hati
dan limpa mengarahkan kepada leukemia.
Terapi
1. Pencegahan dengan menjaga kesehatan dan kebersihan badan bisa membantu
mencegah terjadinya berbagai infeksi.
2. Untuk membantu mengurangi rasa sakit, kelenjar getah bening yang terkena
bisa dikompres hangat.
3. Tata laksana pembesaran KGB leher didasarkan kepada penyebabnya.
- Penyebab oleh virus dapat sembuh sendiri dan tidak membutuhkan pengobatan apa
pun selain dari observasi.
- Pengobatan pada infeksi KGB oleh bakteri (limfadenitis) adalah antibiotik oral
10 hari dengan pemantauan dalam 2 hari pertama flucloxacillin 25 mg/kgBB
empat kali sehari. Bila ada reaksi alergi terhadap antibiotik golongan penisilin dapat
diberikan cephalexin 25 mg/kg (sampai dengan 500 mg) tiga kali sehari atau
eritromisin 15 mg/kg (sampai 500 mg) tiga kali sehari.
- Bila penyebabnya adalah Mycobacterium tuberculosis maka diberikan obat anti
tuberculosis.
- Biasanya jika infeksi telah diobati, kelenjar akan mengecil secara perlahan dan
rasa sakit akan hilang. Kadang-kadang kelenjar yang membesar tetap keras dan
tidak lagi terasa lunak pada perabaan.
Konseling dan Edukasi
1. Keluarga turut menjaga kesehatan dan kebersihan sehingga mencegah
terjadinya berbagai infeksi dan penularan.
2. Keluarga turut mendukung dengan memotivasi pasien dalam pengobatan.
Rencana follow up:
Pasien kontrol untuk mengevaluasi KGB dan terapi yang diberikan.
Kriteria rujukan
1. Kegagalan untuk mengecil setelah 4-6 minggu dirujuk untuk mencari
penyebabnya (indikasi untuk dilaksanakan biopsi kelenjar getah bening).
2. Biopsi dilakukan bila terdapat tanda dan gejala yang mengarahkan kepada
keganasan, KGB yang menetap atau bertambah besar dengan pengobatan yang
tepat, atau diagnosis belum dapat ditegakkan.
Referensi
Price, A. Sylvia. Patofisiologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2006.

5. Malaria
Tingkat Kemampuan : 4A
Definisi
Malaria merupakan suatu penyakit infeksi akut maupun kronik yang
disebabkan oleh parasit Plasmodium yang menyerang eritrosit dan ditandai
dengan ditemukannya bentuk aseksual dalam darah, dengan gejala demam,
menggigil, anemia, dan pembesaran limpa.
Patofisiologi
Patofisiologi malaria adalah multifaktorial dan mungkin berhubungan
dengan hal-hal sebagai berikut :
1. Penghancuran eritrosit.
Penghancuran eritrosit ini tidak saja dengan pecahnya eritrosit yang
mengandung parasit, tetapi juga oleh fagositosis eritrosit yang mengandung
parasit dan yang tidak mengandung parasit, sehingga menyebabkan anemia dan
anoksia jaringan. Dengan hemolisis intra vaskular yang berat, dapat terjadi
hemoglobinuria (blackwater fever) dan dapat mengakibatkan gagal ginjal.
2. Mediator endotoksin-makrofag.
Pada saat skizogoni, eirtosit yang mengandung parasit memicu makrofag
yang sensitif endotoksin untuk melepaskan berbagai mediator yang berperan
dalam perubahan patofisiologi malaria. Endotoksin tidak terdapat pada parasit
malaria, mungkin berasal dari rongga saluran cerna. Parasit malaria itu sendiri dapat
melepaskan faktor neksoris tumor (TNF). TNF adalah suatu monokin ,
ditemukan dalam darah hewan dan manusia yang terjangkit parasit malaria. TNF
dan sitokin lain yang berhubungan, menimbulkan demam, hipoglimeia dan
sindrom penyakit pernafasan pada orang dewasa (ARDS = adult respiratory distress
syndrome) dengan sekuestrasi sel neutrofil dalam pembuluh darah paru. TNF dapat
juga menghancurkan plasmodium falciparum in vitro dan dapat meningkatkan
perlekatan eritrosit yang dihinggapi parasit pada endotelium kapiler. Konsentrasi
TNF dalam serum pada anak dengan malaria falciparum akut berhubungan langsung
dengan mortalitas, hipoglikemia, hiperparasitemia dan beratnya penyakit.
3. Sekuestrasi eritrosit yang terinfeksi.
Eritrosit yang terinfeksi plasmodium falciparum stadium lanjut dapat
membentuk tonjolan-tonjolan (knobs) pada permukaannya. Tonjolan tersebut
mengandung antigen malaria dan bereaksi dengan antibodi malaria dan
berhubungan dengan afinitas eritrosit yang mengandung plasmodium falciparum
terhadap endotelium kapiler darah dalam alat dalam, sehingga skizogoni
berlangsung di sirkulasi alat dalam, bukan di sirkulasi perifer. Eritrosit yang
terinfeksi, menempel pada endotelium kapiler darah dan membentuk gumpalan
(sludge) yang membendung kapiler dalam alam-alat dalam.
Protein dan cairan merembes melalui membran kapiler yang bocor
(menjadi permeabel) dan menimbulkan anoksia dan edema jaringan. Anoksia
jaringan yang cukup meluas dapat menyebabkan kematian. Protein kaya histidin
P. falciparum ditemukan pada tonjolan-tonjolan tersebut, sekurang-kurangnya ada
empat macam protein untuk sitoaherens eritrosit yang terinfeksi plasmodium P.
falciparum.
Manifestasi Klinis
Demam hilang timbul, pada saat demam hilang disertai dengan menggigil,
berkeringat, dapat disertai dengan sakit kepala, nyeri otot dan persendian, nafsu
makan menurun, sakit perut, mual muntah, dan diare. Faktor risiko malaria adalah
sebagai berikut:
1. Riwayat menderita malaria sebelumnya.
2. Tinggal di daerah yang endemis malaria.
3. Pernah berkunjung 1-4 minggu di daerah endemik malaria.
4. Riwayat mendapat transfusi darah.
Pada hasil pemeriksaan fisik didapatkan:
1. Tanda Patognomonis
a. Pada periode demam:
- Kulit terlihat memerah, teraba panas, suhu tubuh meningkat dapat sampai di atas
40C dan kulit kering.
- Pasien dapat juga terlihat pucat.
- Nadi teraba cepat
- Pernapasan cepat (takipneu)
b. Pada periode dingin dan berkeringat:
- Kulit teraba dingin dan berkeringat.
- Nadi teraba cepat dan lemah.
- Pada kondisi tertentu bisa ditemukan penurunan kesadaran.
2. Kepala: Konjungtiva anemis, sklera ikterik, bibir sianosis, dan pada malaria
serebral dapat ditemukan kaku kuduk.
3. Toraks: Terlihat pernapasan cepat.
4. Abdomen: Teraba pembesaran hepar dan limpa, dapat juga ditemukan asites.
5. Ginjal: bisa ditemukan urin berwarna coklat kehitaman, oligouri atau anuria.
6. Ekstermitas: akral teraba dingin merupakan tanda-tanda menuju syok.
Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan hapusan darah tebal dan tipis ditemukan parasit Plasmodium.
2. Rapid Diagnostic Test untuk malaria (RDT).
Kriteria Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis (Trias Malaria: panas –
menggigil – berkeringat), pemeriksaan fisik, dan ditemukannya parasit
plasmodium pada pemeriksaan mikroskopis hapusan darah tebal/tipis.
Terapi
Pengobatan Malaria falsiparum
1. Lini pertama: dengan Fixed Dose Combination (FDC) yang terdiri dari
Dihydroartemisinin (DHA) + Piperakuin (DHP) tiap tablet mengandung 40 mg
Dihydroartemisinin dan 320 mg Piperakuin. Untuk dewasa dengan Berat Badan
(BB) sampai dengan 59 kg diberikan DHP per oral 3 tablet satu kali per hari
selama 3 hari dan Primakuin 2 tablet sekali sehari satu kali pemberian, sedangkan
untuk BB >.60 kg diberikan 4 tablet DHP satu kali sehari selama 3 hari dan
Primaquin 3 tablet sekali sehari satu kali pemberian. Dosis DHA = 2-4 mg/kgBB
(dosis tunggal), Piperakuin = 16-32 mg/kgBB (dosis tunggal), Primakuin = 0,75
mg/kgBB (dosis tunggal).
2. Lini kedua (pengobatan malaria falsiparum yang tidak respon terhadap
pengobatan DHP): Kina + Doksisiklin/ Tetrasiklin + Primakuin. Dosis kina = 10
mg/kgBB/kali (3x/hari selama 7 hari), Doksisiklin = 3,5 mg/kgBB per hari (dewasa,
2x/hari selama7 hari), 2,2 mg/kgBB/hari (8-14 tahun, 2x/hari selama 7 hari),
Tetrasiklin = 4-5 mg/kgBB/kali (4x/hari selama 7 hari).
Pengobatan Malaria vivax dan Malaria ovale
1. Lini pertama: Dihydroartemisinin (DHA) + Piperakuin (DHP), diberikan
peroral satu kali per hari selama 3 hari, primakuin= 0,25mg/kgBB/hari (selama 14
hari).
2. Lini kedua (pengobatan malaria vivax yang tidak respon terhadap pengobatan
DHP): Kina + Primakuin. Dosis kina = 10 mg/kgBB/kali (3x/hari selama 7 hari),
Primakuin = 0,25 mg/kgBB (selama 14 hari).
3. Pengobatan malaria vivax yang relaps (kambuh):
a. Diberikan lagi regimen DHP yang sama tetapi dosis primakuin ditingkatkan
menjadi 0,5 mg/kgBB/hari.
b. Dugaan relaps pada malaria vivax adalah apabila pemberian Primakiun dosis
0,25 mg/kgBB/hari sudah diminum selama 14 hari dan penderita sakit kembali
dengan parasit positif dalam kurun waktu 3 minggu sampai 3 bulan setelah
pengobatan.
Pengobatan Malaria malariae
Cukup diberikan DHP 1 kali perhari selama 3 hari dengan dosis sama dengan
pengobatan malaria lainnya dan dengan dosis sama dengan pengobatan malaria
lainnya dan tidak diberikan Primakuin. Pengobatan infeksi campuran antara
Malaria falsiparum dengan Malaria vivax/ Malaria ovale dengan DHP.
Pada penderita dengan infeksi campuran diberikan DHP 1 kali per hari selama 3
hari, serta DHP 1 kali per hari selama 3 hari serta Primakuin dosis 0,25 mg/kgBB
selama 14 hari.
Pengobatan malaria pada ibu hamil
1. Trimester pertama: Kina tablet 3x 10mg/ kg BB + Klindamycin 10mg/kgBB
selama 7 hari.
2. Trimester kedua dan ketiga diberikan DHP tablet selama 3 hari.
3. Pencegahan/profilaksis digunakan Doksisiklin 1 kapsul 100 mg/hari diminum 2
hari sebelum pergi hingga 4 minggu setelah keluar/pulang dari daerah endemis.
Referensi
1. Braunwald, E. Fauci, A.S. Kasper, D.L. Hauser, S.L. et al.Harrisson’s:
Principle of Internal Medicine. 17th Ed. New York: McGraw-Hill Companies.
2009.
2. Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman
Penatalaksanaan Kasus Malaria di Indonesia. Depkes RI. Jakarta. 2008.
(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2008)

6. Leptospirosis
Tingkat Kemampuan : 4A
Definisi
Leptospirosis adalah penyakit infeksi yang menyerang manusia
disebabkan oleh mikroorganisme Leptospira interogans dan memiliki manifestasi
klinis yang luas. Spektrum klinis mulai dari infeksi yang tidak jelas sampai fulminan
dan fatal. Pada jenis yang ringan, leptospirosis dapat muncul seperti influenza
dengan sakit kepala dan myalgia. Tikus adalah reservoir yang utama dan kejadian
leptospirosis lebih banyak ditemukan pada musim hujan.
Patofisiologi
Leptospira masuk kedalam tubuh manusia melalui kulit dan membrane
mukosa yang terluka kemudian masuk kedalam aliran darah dan berkembang
khususnya pada konjungtiva dan batas oro-nasofaring. Kemudian terjadi respon
imun seluler dan humoral sehingga infeksi ini dapat ditekan dan terbentuk
antibody spesifik. Leptospira dapat bertahan sampai ke ginjal dan sampai ke
tubulus konvoluntus sehingga dapat berkembang biak di ginjal. Leptospira dapat
mencapai ke pembuluh darah dan jaringan sehingga dapat diisolasi dalam darah
dan LCS pada hari ke 4-10 dari perjalanan penyakit. Pada pemeriksaan LCS
ditemukan pleocitosis. Pada infiltrasi pembuluh darah dapat merusak pembuluh
darah yang dapat menyebabkan vasculitis dengan terjadi kebocoran dan
ekstravasasi darah sehingga terjadi perdarahan. Setelah terjadi proses imun
leptospira dapat lenyap dari darah setelah terbentuk agglutinin. Setelah fase
leptospiremia 4-7 hari, mikroorganisme hanya dapat ditemukan dalam jaringan
ginjal dan okuler. Dalam perjalana pada fase leptospiremia, leptospira melepaskan
toksin yang bertanggung jawab atas terjadinya keadaan patologi pada beberapa
organ. Lesi yang muncul terjadi karena kerusakan pada endotel kapiler.
Manifestasi Klinis
Keluhan dapat berupa demam disertai menggigil, sakit kepala, anoreksia,
mialgia yang hebat pada betis, paha dan pinggang disertai nyeri tekan. Mual,
muntah, diare dan nyeri abdomen, fotofobia, penurunan kesadaran. Dari
pemeriksaan fisik didapatkan febris, ikterus, nyeri tekan pada otot, ruam kulit,
limfadenopati, hepatomegali dan splenomegali, edema, bradikardi relatif,
konjungtiva suffusion, gangguan perdarahan berupa petekie, purpura, epistaksis dan
perdarahan gusi, kaku kuduk sebagai tanda meningitis. Pemeriksaan penunjang:
1. Darah rutin: jumlah leukosit antara 3000-26000/μL, dengan pergeseran ke kiri,
trombositopenia yang ringan terjadi pada 50% pasien dan dihubungkan dengan
gagal ginjal.
2. Urin rutin: sedimen urin (leukosit, eritrosit, dan hyalin atau granular) dan
proteinuria ringan, jumlah sedimen eritrosit biasanya meningkat.
Kriteria Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan pada pasien dengan demam tiba-tiba,
menggigil terdapat tanda konjungtiva suffusion, sakit kepala, mialgia, ikterus dan
nyeri tekan pada otot. Kemungkinan tersebut meningkat jika ada riwayat bekerja
atau terpapar dengan lingkungan yang terkontaminasi dengan kencing tikus.
Terapi
1. Pengobatan suportif dengan observasi ketat untuk mendeteksi dan mengatasi
keadaan dehidrasi, hipotensi, perdarahan dan gagal ginjal sangat penting pada
leptospirosis.
2. Pemberian antibiotik harus dimulai secepat mungkin. Pada kasus-kasus ringan
dapat diberikan antibiotik oral seperti doksisiklin, ampisilin, amoksisilin atau
eritromisin. Pada kasus leptospirosis berat diberikan dosis tinggi penisilin injeksi.
Konseling dan Edukasi
1. Pencegahan leptospirosis khususnya didaerah tropis sangat sulit, karena
banyaknya hospes perantara dan jenis serotipe. Bagi mereka yang mempunyai risiko
tinggi untuk tertular leptospirosis harus diberikan perlindungan berupa pakaian
khusus yang dapat melindunginya dari kontak dengan bahan-bahan yang telah
terkontaminasi dengan kemih binatang reservoir.
2. Keluarga harus melakukan pencegahan leptospirosis dengan menyimpan
makanan dan minuman dengan baik agar terhindar dari tikus, mencuci tangan
dengan sabun sebelum makan, mencuci tangan, kaki serta bagian tubuh lainnya
dengan sabun setelah bekerja di sawah/ kebun/ sampah/ tanah/ selokan dan tempat
tempat yang tercemar lainnya.
Rencana Tindak Lanjut
Kasus harus dilaporkan ke dinas kesehatan setempat.
Kriteria Rujukan
Pasien segera dirujuk ke pelayanan sekunder (spesialis penyakit dalam) yang
memiliki fasilitas hemodialisa setelah penegakan diagnosis dan terapi awal.
Referensi
1. Zein, Umar. Leptospirosis. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III edisi IV.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit dalam FKUI. 2006. Hal
1823-5. (Sudoyo, et al., 2006)
2. Cunha, John P. Leptospirosis. 2007. Available at: (Cunha, 2007)
3. Dugdale, David C. Leptospirosis. 2004.Available at:
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/001376.htm. Accessed
December 2009. (Dugdale, 2004)
7. Reaksi Anafilaktik
Tingkat Kemampuan : 4A
Definisi
Anafilaktik adalah reaksi hipersensitifitas generalisata atau sistemik yang
beronset cepat, serius, dan mengancam. Jika reaksi tersebut cukup hebat dapat
menimbulkan syok yang disebut sebagai syok anafilaktik. Syok anafilaktik
membutuhkan pertolongan cepat dan tepat. Untuk itu diperlukan pengetahuan
serta keterampilan dalam pengelolaan syok anafilaktik. Insidens syok anafilaktik
40–60% adalah akibat gigitan serangga, 20–40% akibat zat kontras radiografi, dan
10–20% akibat pemberian obat penisilin. Data yang akurat dalam insiden dan
prevalensi terjadinya syok anafilaktik masih sangat kurang. Anafilaksis yang fatal
hanya kira-kira 4 kasus kematian dari 10 juta masyarakat per tahun. Sebagian
besar kasus yang serius anafilaktik adalah akibat pemberian antibiotik seperti
penisilin dan bahan zat radiologis. Penisilin merupakan penyebab kematian 100 dari
500 kematian akibat reaksi anafilaksis.
Patofisiologi
Mekanisme umum terjadinya reaksi anafilaksis dan anafilaktoid adalah
berhubungan dengan degranulasi sel mast dan basophil yang kemudian
mengeluarkan mediator kimia yang selanjutnya bertanggung jawab terhadap
symptom. Degranulasi tersebut dapat terjadi melalui kompleks antigen dan Ig E
maupun tanpa kompleks dengan Ig E yaitu melalui pelepasan histamine secara
langsung. Mekanisme lain adalah adanya gangguan metabolisme asam
arachidonat yang akan menghasilkan leukotrien yang berlebihan kemudian
menimbulkan keluhan yang secara klinis tidak dapat dibedakan dengan meknisme
diatas. Hal ini dapat terjadi pada penggunaan obat-obat NSAID atau pemberian
gama-globulin intramuscular.
Manifestasi Klinis
Gambaran atau gejala klinik suatu reaksi anafilakis berbeda-beda gradasinya
sesuai berat ringannya reaksi antigen-antibodi atau tingkat sensitivitas seseorang,
namun pada tingkat yang berat barupa syok anafilaktik gejala yang menonjol adalah
gangguan sirkulasi dan gangguan respirasi. Kedua gangguan
tersebut dapat timbul bersamaan atau berurutan yang kronologisnya sangat
bervariasi dari beberapa detik sampai beberapa jam. Pada dasarnya makin cepat
reaksi timbul makin berat keadaan penderita. Gejala respirasi dapat dimulai
berupa bersin, hidung tersumbat atau batuk saja yang kemudian segera diikuti
dengan sesak napas. Gejala pada kulit merupakan gejala klinik yang paling sering
ditemukan pada reaksi anafilaktik. Walaupun gejala ini tidak mematikan namun
gejala ini amat penting untuk diperhatikan sebab ini mungkin merupakan gejala
prodromal untuk timbulnya gejala yang lebih berat berupa gangguan nafas dan
gangguan sirkulasi. Oleh karena itu setiap gejala kulit berupa gatal, kulit kemerahan
harus diwaspadai untuk kemungkinan timbulnya gejala yang lebih berat.
Manifestasi dari gangguan gastrointestinal berupa perut kram, mual, muntah sampai
diare yang juga dapat merupakan gejala prodromal untuk timbulnya gejala
gangguan nafas dan sirkulasi.
Kriteria Diagnosis
Untuk membantu menegakkan diagnosis maka World Allergy
Organization telah membuat beberapa kriteria di mana reaksi anafilaktik dinyatakan
sangat mungkin bila:
1. Onset gejala akut (beberapa menit hingga beberapa jam) yang melibatkan kulit,
jaringan mukosa, atau keduanya (misal: urtikaria generalisata, pruritus dengan
kemerahan, pembengkakan bibir/lidah/uvula) dan sedikitnya salah satu dari tanda
berikut ini:
a. Gangguan respirasi (misal: sesak nafas, wheezing akibat bronkospasme, stridor,
penurunan arus puncak ekspirasi/APE, hipoksemia).
b. Penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan dengan kegagalan organ
target (misal: hipotonia, kolaps vaskular, sinkop, inkontinensia).
2. Atau, dua atau lebih tanda berikut yang muncul segera (beberapa menit hingga
beberapa jam) setelah terpapar alergen yang mungkin (likely allergen), yaitu:
a. Keterlibatan jaringan mukosa dan kulit
b. Gangguan respirasi
c. Penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan dengan kegagalan organ
target d. Gejala gastrointestinal yang persisten (misal: nyeri kram abdomen, muntah)
3. Atau, penurunan tekanan darah segera (beberapa menit atau jam) setelah terpapar
alergen yang telah diketahui (known allergen), sesuai kriteria berikut:
a. Bayi dan anak: Tekanan darah sistolik rendah (menurut umur) atau terjadi
penurunan > 30% dari tekanan darah sistolik semula.
b. Dewasa: Tekanan darah sistolik <90 mmHg atau terjadi penurunan >30% dari
tekanan darah sistolik semula.
Terapi
1. Posisi trendelenburg atau berbaring dengan kedua tungkai diangkat (diganjal
dengan kursi) akan membantu menaikkan venous return sehingga tekanan darah ikut
meningkat.
2. Pemberian Oksigen 3–5 liter/menit harus dilakukan, pada keadaan yang sangat
ekstrim tindakan trakeostomi atau krikotiroidektomi perlu dipertimbangkan.
3. Pemasangan infus, cairan plasma expander (Dextran) merupakan pilihan utama
guna dapat mengisi volume intravaskuler secepatnya. Jika cairan tersebut tak
tersedia, Ringer Laktat atau NaCl fisiologis dapat dipakai sebagai cairan
pengganti. Pemberian cairan infus sebaiknya dipertahankan sampai tekanan darah
kembali optimal dan stabil.
4. Adrenalin 0,3 – 0,5 ml dari larutan 1 : 1000 diberikan secara intramuskuler
yang dapat diulangi 5–10 menit. Dosis ulangan umumnya diperlukan, mengingat
lama kerja adrenalin cukup singkat. Jika respon pemberian secara intramuskuler
kurang efektif, dapat diberi secara intravenous setelah 0,1 – 0,2 ml adrenalin
dilarutkan dalam spuit 10 ml dengan NaCl fisiologis, diberikan perlahan-lahan.
Pemberian subkutan, sebaiknya dihindari pada syok anafilaktik karena efeknya
lambat bahkan mungkin tidak ada akibat vasokonstriksi pada kulit, sehingga
absorbsi obat tidak terjadi.
5. Aminofilin, dapat diberikan dengan sangat hati-hati apabila bronkospasme belum
hilang dengan pemberian adrenalin. 250 mg aminofilin diberikan perlahan-
lahan selama 10 menit intravena. Dapat dilanjutkan 250 mg lagi melalui drips
infus bila dianggap perlu.
6. Antihistamin dan kortikosteroid merupakan pilihan kedua setelah adrenalin.
Kedua obat tersebut kurang manfaatnya pada tingkat syok anafilaktik, dapat
diberikan setelah gejala klinik mulai membaik guna mencegah komplikasi
selanjutnya berupa serum sickness atau prolonged effect. Antihistamin yang biasa
digunakan adalah difenhidramin HCl 5–20 mg IV dan untuk golongan
kortikosteroid dapat digunakan deksametason 5–10 mg IV atau hidrokortison
100–250 mg IV.
7. Resusitasi Kardio Pulmoner (RKP), seandainya terjadi henti jantung (cardiac
arrest) maka prosedur resusitasi kardiopulmoner segera harus dilakukan sesuai
dengan falsafah ABC dan seterusnya. Mengingat kemungkinan terjadinya henti
jantung pada suatu syok anafilaktik selalu ada, maka sewajarnya di setiap ruang
praktek seorang dokter tersedia selain obat-obat emergency, perangkat infus dan
cairannya juga perangkat resusitasi (Resuscitation kit) untuk memudahkan
tindakan secepatnya.
Rencana Tindak Lanjut
Mencari penyebab reaksi anafilaktik dan mencatatnya di rekam medis serta
memberitahukan kepada pasien dan keluarga.
Konseling dan Edukasi Keluarga perlu diberitahukan mengenai penyuntikan apapun
bentuknya terutama obat-obat yang telah dilaporkan bersifat antigen (serum,
penisillin, anestesi lokal, dll) harus selalu waspada untuk timbulnya reaksi
anafilaktik. Penderita yang tergolong risiko tinggi (ada riwayat asma, rinitis,
eksim, atau penyakit-penyakit alergi lainnya) harus lebih diwaspadai lagi. Jangan
mencoba menyuntikkan obat yang sama bila sebelumnya pernah ada riwayat
alergi betapapun kecilnya. Sebaiknya mengganti dengan preparat lain yang lebih
aman.
Kriteria Rujukan
Kegawatan pasien ditangani, apabila dengan penanganan yang dilakukan tidak
terdapat perbaikan, pasien dirujuk ke layanan sekunder.
Referensi
1. Haupt,M.T. Fujii, T.K. et al. Anaphylactic Reactions. In:Text Book of Critical
care. Eds: Ake Grenvvik.Stephen, M.Ayres.Peter, R.William, C. Shoemaker. 4th
Ed.Philadelpia: WB Saunders Company. 2000: p. 246-56.
2. Koury, S.I. Herfel, L.U. Anaphylaxis and acute allergic reactions. In:
International edition Emergency Medicine.Eds:Tintinalli. Kellen. Stapczynski.
5thEd. New York: McGrraw-Hill. 2000: p. 242-6.
3. Rehatta, M.N.Syok anafilaktik patofisiologi dan penanganan dalam Update on
Shock.Pertemuan Ilmiah Terpadu.Fakultas Kedoketran Universitas Airlangga
Surabaya. 2000.

8. Demam Dengue dan Demam Berdarah Dengue


Tingkat Kemampuan : 4A
Definisi
Penyakit demam berdarah dengue (DBD) masih menjadi salah satu
masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Tingkat insiden penyakit DBD
Indonesia merupakan yang tertinggi diantara negara-negara Asia Tenggara.
Sepanjang tahun 2013, Kementerian Kesehatan mencatat terdapat 103.649 penderita
dengan angka kematian mencapai 754 orang. Keterlibatan dokter di pelayanan
kesehatan primer sangat dibutuhkan untuk menekan tingkat kejadian maupun
mortalitas DBD.
Patofisiologi
Manifestasi Klinis
Keluhan dapat berupa demam tinggi, mendadak, terus menerus selama 2 –
7 hari, manifestasi perdarahan, seperti: bintik-bintik merah di kulit, mimisan, gusi
berdarah, muntah berdarah, atau buang air besar berdarah, gejala nyeri kepala,
mialgia, artralgia, nyeri retroorbital, gejala gastrointestinal, seperti: mual, muntah,
nyeri perut (biasanya di ulu hati atau di bawah tulang iga), kadang disertai juga
dengan gejala lokal, seperti: nyeri menelan, batuk, pilek, pada kondisi syok, anak
merasa lemah, gelisah, atau mengalami penurunan kesadaran, pada bayi, demam
yang tinggi dapat menimbulkan kejang. Faktor risiko antara lain:
1. Sanitasi lingkungan yang kurang baik, misalnya: timbunan sampah, timbunan
barang bekas, genangan air yang seringkali disertai di tempat tinggal pasien
sehari-hari.
2. Adanya jentik nyamuk Aedes aegypti pada genangan air di tempat tinggal
pasien sehari-hari.
3. Adanya penderita demam berdarah dengue (DBD) di sekitar pasien.
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda patognomonik untuk
demam dengue:
1. Suhu > 37,5 derajat celcius
2. Ptekie, ekimosis, purpura
3. Perdarahan mukosa
4. Rumple Leed (+)
5. Hepatomegali
6. Splenomegali
7. Untuk mengetahui terjadi kebocoran plasma, diperiksa tanda-tanda efusi pleura
dan asites.
8. Hematemesis atau melena
Kriteria Diagnosis
Diagnosis klinis demam berdarah dengue:
1. Demam 2–7 hari yang timbul mendadak, tinggi, terus-menerus (kontinua)
2. Adanya manifestasi perdarahan baik yang spontan seperti petekie, purpura,
ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis dan atau melena; maupun
berupa uji Tourniquette yang positif
3. Sakit kepala, mialgia, artralgia, nyeri retroorbital
4. Adanya kasus demam berdarah dengue baik di lingkungan sekolah, rumah atau
di sekitar rumah
a. Hepatomegali
b. Adanya kebocoran plasma yang ditandai dengan salah satu:
- Peningkatan nilai hematokrit, >20% dari pemeriksaan awal atau dari data
populasi menurut umur
- Ditemukan adanya efusi pleura, asites
- Hipoalbuminemia, hipoproteinemia
c. Trombositopenia <100.000/mm3
Adanya demam seperti di atas disertai dengan 2 atau lebih manifestasi klinis,
ditambah bukti perembesan plasma dan trombositopenia cukup untuk
menegakkan diagnosis Demam Berdarah Dengue.
Kriteria Diagnosis Laboratoris diperlukan untuk survailans epidemiologi,
terdiri atas:
Probable Dengue, apabila diagnosis klinis diperkuat oleh hasil
pemeriksaan serologi antidengue.
Confirmed Dengue, apabila diagnosis klinis diperkuat dengan deteksi
genome virus Dengue dengan pemeriksaan RT-PCR, antigen dengue pada
pemeriksaan NS1, atau apabila didapatkan serokonversi pemeriksaan IgG dan
IgM (dari negatif menjadi positif) pada pemeriksaan serologi berpasangan.
Isolasi virus Dengue memberi nilai yang sangat kuat dalam konfirmasi diagnosis
klinis, namun karena memerlukan teknologi yang canggih dan prosedur yang
rumit pemeriksaan ini bukan merupakan pemeriksaan yang rutin dilakukan.
Terapi
1. Terapi simptomatik dengan analgetik antipiretik (Parasetamol 3 x 500-1000
mg).
2. Pemeliharaan volume cairan sirkulasi
- Alur penanganan pasien dengan demam dengue/demam berdarah dengue, yaitu:
pemeriksaan penunjang Lanjutan
- Pemeriksaan Kadar Trombosit dan Hematokrit secara serial
Konseling dan Edukasi
1. Pinsip konseling pada demam berdarah dengue adalah memberikan pengertian
kepada pasien dan keluarganya tentang perjalanan penyakit dan tata laksananya,
sehingga pasien dapat mengerti bahwa tidak ada obat/medikamentosa untuk
penanganan DBD, terapi hanya bersifat suportif dan mencegah perburukan
penyakit. Penyakit akan sembuh sesuai dengan perjalanan alamiah penyakit.
2. Modifikasi gaya hidup
a. Melakukan kegiatan 3M: menguras, mengubur, menutup.
b. Meningkatkan daya tahan tubuh dengan mengkonsumsi makanan bergizi dan
melakukan olahraga secara rutin.
Kriteria Rujukan
1. Terjadi perdarahan masif (hematemesis, melena).
2. Dengan pemberian cairan kristaloid sampai dosis 15 ml/kg/jam kondisi belum
membaik.
3. Terjadi komplikasi atau keadaan klinis yang tidak lazim, seperti kejang,
penurunan kesadaran, dan lainnya.
Referensi
1. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2006. Pedoman Tatalaksana
Demam Berdarah Dengue. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
2. Chen, K. Pohan, H.T, Sinto, R. Diagnosis dan Terapi Cairan pada Demam
Berdarah Dengue. Medicinus. Jakarta. 2009: Vol 22; p.3-7.
3. WHO. Dengue Haemorrhagic Fever: diagnosis, treatment, prevention and control.
2nd Edition. Geneva. 1997
4. Tim Adaptasi Indonesia, 2009. Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit:
Pedoman bagi Rumah Sakit Rujukan Tingkat Pertama di Kabupaten / Kota. 1 ed.
Jakarta: World Health Organization Country Office for Indonesia.
5. UKK Infeksi dan Penyakit Tropis Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pedoman
Diagnosis dan tata laksana infeksi virus dengue pada anak, Edisi pertama. Jakarta:
Badan Penerbit IDAI, 2014.

9. Polimialgia Reumatik
Tingkat Kemampuan : 3A
Definisi
Poly Myalgia Rheumatica (PMR) adalah suatu sindrom klinis dengan
etiologi yang tidak diketahui yang mempengaruhi individu usia lanjut. Hal ini
ditandai dengan mialgia proksimal dari pinggul dan gelang bahu dengan kekakuan
pagi hari yang berlangsung selama lebih dari 1 jam.
Patofisiologi
Akibat peningkatan enzim yang merusak makromolekul matrik tulang
rawan sendi, terjadi kerusakan vokal tulang rawan sendi secara progresif dan
pembentukan tulang baru pada dassar lesi tulang rawan sendi serta tepi sendi
(osteofit). Osteofit terbentuk sebagai suatu proses perbaikan untuk membentuk
kembali persendian, sehingga dipandang sebagai kegagalan sendi yang progresif.
Manifestasi Klinis
Pada sekitar 50 % pasien berada dalam kesehatan yang baik sebelum onset
penyakit yang tiba-tiba. Pada kebanyakan pasien, gejala muncul pertama kali pada
bahu. Sisanya, pinggul atau leher yang terlibat saat onset. Gejala terjadi mungkin
pada satu sisi tetapi biasanya menjadi bilateral dalam beberapa minggu. Gejala-
gejala termasuk nyeri dan kekakuan bahu dan pinggul. Kekakuan mungkin begitu
parah sehingga pasien mungkin mengalami kesulitan bangkit dari kursi, berbalik
di tempat tidur, atau mengangkat tangan mereka di atas bahu tinggi. Kekakuan
setelah periode istirahat (fenomena gel) serta kekakuan pada pagi hari lebih dari 1
jam biasanya terjadi. Pasien juga mungkin menggambarkan sendi distal bengkak
atau yang lebih jarang berupa edema tungkai. Carpal tunnel syndrome dapat
terjadi pada beberapa pasien. Tanda-tanda dan gejala polymyalgia rheumatic tidak
spesifik, dan temuan obyektif pada pemeriksaan fisik sering kurang. Gejala umum
dapat berupa penampilan lelah dan pembengkakan ekstremitas distal dengan
pitting edema. Temuan muskuloskeletal sebagai berikut:
1. Kekuatan otot normal, tidak ada atrofi otot
2. Nyeri pada bahu dan pinggul dengan gerakan
3. Sinovitis transien pada lutut, pergelangan tangan, dan sendi sternoklavikula.
Kriteria Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan satu set kriteria diagnostik berikut,
yaitu:
1. Usia onset 50 tahun atau lebih tua
2. Laju endap darah ≥ 40 mm / jam
3. Nyeri bertahan selama ≥ 1 bulan dan melibatkan 2 dari daerah berikut: leher,
bahu, dan korset panggul
4. Tidak adanya penyakit lain dapat menyebabkan gejala muskuloskeletal
5. Kekakuan pagi berlangsung ≥ 1 jam
6. Respon cepat terhadap prednison (≤ 20 mg)
Terapi
1. Prednison dengan dosis 10-15 mg peroral setiap hari, biasanya menghasilkan
perbaikan klinis dalam beberapa hari.
2. ESR biasanya kembali ke normal selama pengobatan awal, tetapi keputusan
terapi berikutnya harus berdasarkan status ESR dan klinis.
3. Terapi glukokortikoid dapat diturunkan secara bertahap dengan dosis
pemeliharaan 5-10 mg peroral setiap hari tetapi harus dilanjutkan selama minimal
1 tahun untuk meminimalkan risiko kambuh.

Konsultasi dan Edukasi


Edukasi keluarga bahwa penyakit ini mungkin menimbulkan gangguan dalam
aktivitas penderita, sehingga dukungan keluarga sangatlah penting.
Kriteria Rujukan
Setelah ditegakkan dugaan diagnosis, pasien dirujuk ke pelayanan kesehatan
sekunder.
Referensi
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V. 2009.

10. Artritis Reumatoid


Tingkat Kemampuan : 3A
Definisi
Penyakit autoimun yang ditandai dengan terdapatnya sinovitis erosif
simetrik yang walaupun terutama mengenai jaringan persendian, seringkali juga
melibatkan organ tubuh lainnya.
Patofisiologi
Pada reumatoid arthritis, reaksi autoimun (yang dijelaskan sebelumnya)
terutama terjadi dalam jaringan sinovial. Proses fagositosis menghasilkan enzim-
enzim dalam sendi. Enzim-enzim tersebut akan memecah kolagen sehingga terjadi
edema, proliferasi membran sinovial dan akhirnya pembentukan pannus. Pannus
akan menghancurkan tulang rawan dan menimbulkan erosi tulang. Akibatnya adalah
menghilangnya permukaan sendi yang akan mengganggu gerak sendi. Otot akan
turut terkena karena serabut otot akan mengalami perubahan degeneratif dengan
menghilangnya elastisitas otot dan kekuatan kontraksi otot.
Inflamasi mula-mula mengenai sendi-sendi sinovial seperti edema,
kongesti vaskular, eksudat febrin dan infiltrasi selular. Peradangan yang
berkelanjutan, sinovial menjadi menebal, terutama pada sendi artikular kartilago
dari sendi. Pada persendian ini granulasi membentuk pannus, atau penutup yang
menutupi kartilago. Pannus masuk ke tulang sub chondria. Jaringan granulasi
menguat karena radang menimbulkan gangguan pada nutrisi kartilago artikuer.
Kartilago menjadi nekrosis.
Tingkat erosi dari kartilago menentukan tingkat ketidakmampuan sendi. Bila
kerusakan kartilago sangat luas maka terjadi adhesi diantara permukaan sendi,
karena jaringan fibrosa atau tulang bersatu (ankilosis). Kerusakan kartilago dan
tulang menyebabkan tendon dan ligamen jadi lemah dan bisa menimbulkan
subluksasi atau dislokasi dari persendian. Invasi dari tulang sub chondrial bisa
menyebkan osteoporosis setempat.
Lamanya reumatoid arthritis berbeda pada setiap orang ditandai dengan
adanya masa serangan dan tidak adanya serangan. Sementara ada orang yang
sembuh dari serangan pertama dan selanjutnya tidak terserang lagi. Namun pada
sebagian kecil individu terjadi progresif yang cepat ditandai dengan kerusakan sendi
yang terus menerus dan terjadi vaskulitis yang difus.
Manifestasi Klinis
Gejala prodromal: lelah (malaise), anoreksia, seluruh tubuh terasa lemah
yang berlangsung berminggu-minggu atau berbulan-bulan.
Gejala spesifik pada banyak sendi (poliartrikular) secara simetris, dapat mengenai
seluruh sendi terutama sendi PIP (proximal interphalangeal), sendi MCP
(metacarpophalangeal) atau MTP (metatarsophalangeal), pergelangan tangan,
bahu, lutut, dan kaki. Sendi DIP (distal interphalangeal) umumnya tidak terkena.
Gejala sinovitis pada sendi yang terkena: bengkak, nyeri yang diperburuk
dengan gerakan sehingga gerakan menjadi terbatas, kekakuan pada pagi hari > 1
jam.
Gejala ekstraartikular: mata (episkleritis), kardiovaskular (nyeri dada pada
perikarditis), hematologi (anemia). Faktor risiko antara lain:
1. Wanita
2. Faktor genetik.
3. Hormon seks.
4. Infeksi
5. Merokok
Kriteria Diagnosis

Terapi
1. Pasien diberikan informasi untuk memproteksi sendi, terutama pada stadium
akut dengan menggunakan decker.
2. Pemberian obat anti inflamasi non-steroid, seperti: diklofenak 50-100 mg
2x/hari, meloksikam 7,5–15 mg/hari, celecoxib 200-400 mg/sehari.
3. Pemberian golongan steroid, seperti: prednison atau metil prednisolon dosis
rendah (sebagai bridging therapy).
4. Fisioterapi, tatalaksana okupasi, bila perlu dapat diberikan ortosis.
Kriteria rujukan
1. Tidak membaik dengan pemberian obat anti inflamasi dan steroid dosis rendah.
2. RA dengan komplikasi.
3. Rujukan pembedahan jika terjadi deformitas.
Referensi
1. Lipsky, P.E. Rheumatoid Arthritis. In: Braunwald. Fauci. Hauser. Eds.
Harrison’s Principals of Internal Medicine. 17thEd. USA: McGraw-Hill. 2008: p.
2083-92.
2. Daud, R. Artritis Reumatoid. Dalam: Sudoyo, A.W. Setiyohadi, B. Alwi, I.
Simadibrata, M. Setiati, S.Eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 4. Jakarta:
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2006: p. 1184-91.
3. Panduan Pelayanan Medis Departemen Penyakit Dalam. Jakarta: RSUP
Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo. 2007
SISTEM MUSKULOSKELETAL

1. Artritis, Osteoartritis
Tingkat Kemampuan : 3A
Definisi
Penyakit sendi degeneratif yang berkaitan dengan kerusakan kartilago
sendi. Pasien sering datang berobat pada saat sudah ada deformitas sendi yang
bersifat permanen.
Patofisiologi
Osteoartritis dibedakan menjadi 3 yaitu :
1. Osteoartritis Lutut (degenerasi sendi lutut)
Jenis artritis ini paling banyak dijumpai kejadiannya di Indonesia terutama
pada pasien lanjut usia. Pada perjalanannya, nyeri ini seringkali menimbulkan
keterbatasan dalam beraktivitas sehari-hari. Komplikasi lain yang terjadi yaitu
keterbatasan ruang gerak sendi disertai kekakuan, deformasi lulut menjadi bentuk O
(genu varum) atau bentuk x (genu valgus). Komplikasi yang terjadi pada
osteoartritis ini berlangsung secara perlahan tapi pasti akibatnya menimbulkan
ketidakmampuan berdiri dan berjalan. Sendi merupakan bagian yang
menghubungkan antar tulang sehingga tulang bisa digerakkan. Komponen
terpenting pada sendi adalah tulang rawan sendi (articular cartilage) yaitu jaringan
tulang rawan yang menutupi kedua ujung tulang dan berfungsi sebagai bantalan.
Matriks ekstraselular pada jaringan ini terdiri dari kolagen yang padat dan
proteoglikan yang menyebabkan permukaannya menjadi licin dan tahan terhadap
gesekan. Adanya kolagen dan proteoglikan memfasilitasi gerakan dan mencegah
pembengkakan pada tulang rawan sendi. Kolagen dan proteoglikan bekerja
dengan cara menarik kation menghasilkan tekanan osmolalitas yang tinggi,
akibatnya air akan tertarik kedalam tulang rawan sendi. Permukaan menjadi licin
sehingga pada saat terjadi pergerakan/biomekanik pada sendi, tidak terjadi
gesekan. Pada kondisi fisiologis, matriks ekstraselular memiliki waktu paro
bertahun-tahun sehingga metabolismenya berjalan sangat lambat. Namun dengan
adanya peningkatan beban mekanik (peningkatan berat badan), bertambahnya usia
dan adanya cedera dapat mempercepat proses metabolismenya. Tulang rawan
sendi akan terdegradasi menyebabkan keretakan matriks. Hal inilah yang
menyebabkan terjadinya pembengkakan (inflamasi) yang jika dibiarkan
berkepanjangan akan terjadi kerusakan sendi parah sehingga harus di operasi.
2. Osteoartritis Kaki (Ankle osteoarthritis)
Merupakan artritis yang terjadi pada 60 – 80% pada pasien yang memiliki
riwayat cidera pergelangan kaki. Biasa terjadi pada atlet sepakbola atau penari balet.
Penyembuhan dilakukan dengan cara istirahat, mengurangi gerak dengan
menggunakan sepatu rocker bottom sole atau menggunakan Ankle bandage.
3. Osteoartritis Tangan
Osteoartritis tangan ditandai dengan terbentuknya pembesaran keras pada
sendi jari (Herberden’s node) yang biasanya disebabkan karena abnormalitas saat
dilahirkan.
Manifestasi Klinis
Keluhan dapat berupa nyeri sendi, hambatan gerakan sendi, kaku pagi,
krepitasi, pembesaran sendi, dan perubahan gaya berjalan. Faktor risiko antara
lain:
1. Usia > 60 tahun
2. Wanita, usia >50 tahun atau menopouse
3. Kegemukan/ obesitas
4. Pekerja berat dengen penggunaan satu sendi terus menerus
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda patognomonis, yaitu hambatan
gerak, krepitasi, pembengkakan sendi yang seringkali asimetris, tanda-tanda
peradangan sendi, deformitas sendi yang permanen, dan perubahan gaya berjalan.
Kriteria Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan radiografi.

Terapi
1. Pengelolaan OA berdasarkan atas distribusinya (sendi mana yang terkena) dan
berat ringannya sendi yang terkena.
2. Pengobatan bertujuan untuk mencegah progresifitas dan meringankan gejala
yang dikeluhkan.
3. Modifikasi gaya hidup, dengan cara:
a. Menurunkan berat badan
b. Melatih pasien untuk tetap menggunakan sendinya dan melindungi sendi yang
sakit
4. Pengobatan Non Medikamentosa : Rehabilitasi Medik /Fisioterapi
5. Pengobatan Medikamentosa
a. Analgesik topikal
b. NSAID (oral):
- non selective: COX1 (Diklofenak, Ibuprofen, Piroksikam, Mefenamat,
Metampiron)
- selective: COX2 (Meloksikam)
Kriteria Rujukan
1. Bila ada komplikasi, termasuk komplikasi terapi COX 1
2. Bila ada komorbiditas
3. Bila nyeri tidak dapat diatasi dengan obat-obatan
4. Bila curiga terdapat efusi sendi
Referensi
Braunwald. Fauci. Hauser. Eds. Harrison’s Principals of Internal Medicine.
17thEd. USA: McGraw-Hill. 2008.

2. Fraktur Terbuka
Tingkat Kemampuan : 3B
Definisi
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang, tulang rawan sendi, tulang
rawan epifisis baik yang bersifat total maupun parsial.
Fraktur terbuka adalah suatu fraktur yang terdapat hubungan dengan lingkungan
luar melalui kulit sehingga terjadi kontaminasi bakteri dan dapat menimbulkan
komplikasi infeksi.
Patofisiologi
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang
dan atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh tekanan yang berlebihan.
Trauma yang menyebabkan tulang patah dapat berupa trauma langsung dan
trauma tidak langsung. Dimana trauma langsung menyebabkan tekanan langsung
pada tulang dan terjadi fraktur pada daerah tekanan. Trauma tidak langsung, apabila
trauma dihantarkan ke daerah yang lebih jauh dari daerah fraktur, misalnya
jatuh dengan tangan ekstensi dapat menyebabkan fraktur pada klavikula, pada
keadaan ini biasanya jaringan lunak tetap utuh.
Fraktur terbuka merupakan suatu fraktur dimana terjadi hubungan dengan
lingkungan luar melalui kulit sehingga terjadi kontaminasi bakteri sehingga
timbul komplikasi berupa infeksi. luka pada kulit dapat berupa tusukan tulang
yang tajam keluar menembus kulit atau dari luar oleh karena tertembus misalnya
oleh peluru atau trauma langsung.
Fraktur terbuka merupakan suatu keadaan darurat yang memerlukan
penanganan yang terstandar untuk mengurangi resiko infeksi. selain mencegah
infeksi juga diharapkan terjadi penyembuhan fraktur dan restorasi fungsi anggota
gerak. beberapa hal yang penting untuk dilakukan dalam penanggulangan fraktur
terbuka yaitu operasi yang dilakukan dengan segera, secara hati-hati, debrideman
yang berulang-ulang, stabilisasi fraktur, penutupan kulit dan bone grafting yang dini
serta pemberian antibiotik yang adekuat. Patah tulang terbuka adalah patah tulang
dimana fragmen tulang yang bersangkutan sedang atau pernah berhubungan
dunia luar.
Manifestasi Klinis
Keluhan dapat berupa adanya patah tulang terbuka setelah terjadinya trauma,
nyeri, sulit digerakkan, deformitas, bengkak, perubahan warna, gangguan
sensibilitas, dan kelemahan otot. Hasil pemeriksaan fisik:
1. Inspeksi (look)
Adanya luka terbuka pada kulit yang dapat berupa tusukan tulang yang tajam keluar
menembus kulit atau dari luar oleh karena tertembus, misalnya oleh peluru atau
trauma langsung dengan fraktur yang terpapar dengan dunia luar.
2. Palpasi (feel)
a. Robekan kulit yang terpapar dunia luar
b. Nyeri tekan
c. Terabanya jaringan tulang yang menonjol keluar
d. Adanya deformitas
e. Panjang anggota gerak berkurang dibandingkan sisi yang sehat
3. Gerak (move)
Umumnya tidak dapat digerakkan
Pemeriksaan radiologi, berupa: Foto polos dilakukan pemeriksaan dalam
proyeksi AP dan lateral.
Krtieria Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasar anamnesis, pemeriksaan fisik dan
penunjang. Klasifikasi Fraktur terbuka dibagi menjadi tiga kelompok:
1. Grade I
a. Fraktur terbuka dengan luka kulit kurang dari 1 cm dan bersih
b. Kerusakan jaringan minimal, frakturnya simple atau oblique dan sedikit
kominutif .
2. Grade II
a. Fraktur terbuka dengan luka robek lebih dari 1 cm, tanpa ada kerusakan
jaringan lunak
b. Flap kontusio avulsi yang luas serta fraktur kominutif sedang dan kontaminasi
sedang.
3. Grade III
Fraktur terbuka segmental atau kerusakan jaringan lunak yang luas atau amputasi
traumatic, derajad kontaminasi yang berat dan trauma dengan kecepatan tinggi.
Fraktur grade III dibagi menjadi tiga, yaitu:
a. Grade IIIa: Fraktur segmental atau sangat kominutif penutupan tulang dengan
jaringan lunak cukup adekuat.
b. Grade IIIb: Trauma sangat berat atau kehilangan jaringan lunak yang cukup
luas, terkelupasnya daerah periosteum dan tulang tampak terbuka, serta adanya
kontaminasi yang cukup berat.
c. Grade IIIc: Fraktur dengan kerusakan pembuluh darah.
Terapi
Prinsip penanganan fraktur terbuka:
1. Semua fraktur terbuka dikelola secara emergensi dengan metode ATLS
2. Lakukan irigasi luka
3. Lakukan imobilisasi fraktur
4. Pasang cairan dan berikan antibiotika intra vena yang sesuai dan adekuat
kemudian segera rujuk kelayanan sekunder.
Penatalaksanaan:
1. Pembersihan terhadap luka fraktur, dengan cara irigasi dengan NaCl fisiologis
secara mekanis untuk mengeluarkan benda asing yang melekat.
2. Balut luka untuk menghentikan perdarahan, pada fraktur dengan tulang menonjol
keluar sedapat mungkin dihindari memasukkan komponen tulang tersebut kembali
kedalam luka.
3. Fraktur grade II dan III sebaiknya difiksasi dengan fiksasi eksterna.
4. Pemberian antibiotika: merupakan cara efektif mencegah terjadinya infeksi
pada fraktur terbuka. Antibiotika yang diberikan sebaiknya dengan dosis yang besar.
Untuk fraktur terbuka antibiotika yang dianjurkan adalah golongan cephalosporin,
dan dikombinasi dengan golongan aminoglikosida.
5. Pencegahan tetanus: semua penderita dengan fraktur terbuka perlu diberikan
pencegahan tetanus. Pada penderita yang telah mendapat imunisasi aktif cukup
dengan pemberian tetanus toksoid tapi bagi yang belum, dapat diberikan 250 unit
tetanus imunoglobulin.
Kriteria Rujukan
Pasien segera dirujuk setelah kondisi lebih stabil dengan tetap mengawasi tanda
vital.
Referensi
1. Schaller, T.M. Calhoun, J.H. Open Fracture. E-medicine. Medscape. Update 21
May. 2011. (Schaller & Calhoun, 2011)
2. Chairuddin, R. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Fraktur Terbuka. Edisi 3. Jakarta:
PT Yarsif Watampone. 2007. Hal: 332 - 334. (Chairuddin, 2007)

3. Fraktur Tertutup
Tingkat Kemampuan : 3B
Definisi
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang, tulang rawan sendi, tulang
rawan epifisis baik yang bersifat total maupun parsial. Fraktur tertutup adalah
suatu fraktur yang tidakberhubungan dengan lingkungan luar.
Patofisiologi
Trauma langsung dan tidak langsung serta faktor etiologi lain akan
menyebabkan terjadinya tekanan eksternal pada tulang. Tekanan ini lebih besar
dari kemampuan menahan yang dimiliki oleh tulang sehingga timbulah fraktur
salah satunya fraktur tertutup. Pada tulang yang mengalami fraktur tertutup akan
terdapat diskontinuitas tulang dan biasannya disertai cedera jaringan disekitarnya
yaitu ligament, otot, tendon, pembuluh darah dan syaraf. Diskontinuitas tulang
juga dapat mengakibatkan deformitas tulang. Di mana deformitas tulang dan juga
cedera pada ligament, otot, dan tendon akan memunculkan masalah Kerusakan
mobilitas fisik. Kerusakan atau cedera yang mengenai pembuluh darah sekitar
akan menimbulkan masalah risiko terhadap perubahan perfusi jaringan perifer dan
PK (Potensial Komplikasi): emboli lemak. Kerusakan atau cedera yang terjadi
pada ligament, otot,dan tendon serta jaringan syaraf sekitar akan merangsang
reseptor nyeri sehingga dapat memunculkan masalah nyeri akut. Terjadinya
fraktur tertutup itu sendiri akan membawa perubahan pada status kesehatan klien
yang mengakibatkan masalah ansietas.
Manifestasi Klinis
Keluhan dapat berupa adanya riwayat trauma (terjatuh, kecelakaan, dll),
nyeri, sulit digerakkan, deformitas, bengkak, perubahan warna, gangguan
sensibilitas, dan kelemahan otot. Faktor risiko yaitu osteoporosis. Pada hasil
pemeriksaan fisik didapatkan:
1. Inspeksi (look)
Adanya deformitas dari jaringan tulang, namun tidak menembus kulit. Anggota
tubuh tidak dapat digerakkan.
2. Palpasi (feel)
a. Teraba deformitas tulang jika dibandingkan dengan sisi yang sehat.
b. Nyeri tekan.
c. Bengkak.
d. Perbedaan panjang anggota gerak yang sakitdibandingkan dengan sisi yang
sehat.
3. Gerak (move)
Umumnya tidak dapat digerakkan Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan radiologi
berupa foto polos dilakukan pemeriksaan dalam proyeksi AP dan lateral.
Kriteria Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
penunjang.
Terapi
Prinsip penatalaksanaan dilakukan dengan:
1. Semua fraktur dikelola secara emergensi dengan metode ATLS
2. Lakukan stabilisasi fraktur dengan bidai, waspadai adanya tanda-tanda
compartemen syndrome seperti edema, kulit yang mengkilat dan adanya nyeri
tekan.
3. Rujuk segera kelayanan sekunder
Kriteria Rujukan:
Pasien segera dirujuk setelah kondisi lebih stabil dengan tetap mengawasi tanda
vital.
Referensi
Chairuddin, R. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Fraktur Tertutup. Edisi 3. Jakarta:
PT Yarsif Watampone. 2007. Hal:327-332.

4. Lipoma
Tingkat Kemampuan : 4A
Definisi
Lipoma adalah suatu tumor (benjolan) jinak yang berada di bawah kulit
yang terdiri dari lemak. Biasanya lipoma dijumpai pada usia lanjut (40-60 tahun),
namun juga dapat dijumpai pada anak-anak. Lipoma kebanyakan berukuran kecil,
namun dapat tumbuh hingga mencapai lebih dari diameter 6 cm.
Patofisiologi
Jaringan lemak berasal dari jaringan ikat yang berfungsi sebagai depot
lemak. Jaringan lemak ini adalah jaringan yang spesial terdiri dari sel spesifik
yang mempunyai vaskularisasi tinggi, berlobus dan berfungsi sebagai depot lemak
untuk keperluan metabolisme. Sel-sel lemak primitif biasanya berupa butir-butir
halus di dalam sitoplasma. Sel ini akan membesar sehingga akhirnya derajat deposisi
lemak menggeser inti ke arah perifer. Jaringan lemak berasal dari sel-sel mesenkim
yang tidak berdiferensiasi dapat ditemukan di dalam tubuh. Beberapa
sel ini menjadi jaringan sel lemak yang matang membentuk lemak dewasa.
Terjadinya suatu lipoma dapat juga disebabkan oleh karena adanya gangguan
metabolisme lemak, pada lipoma terjadi proliferasi baik histologi dan kimiawi,
termasuk komposisi asam lemak dari jaringan lemak normal. Metabolisme lemak
pada lipoma berbeda dengan metabolisme lemak normal, walaupun secara
histologi gambaran sel lemaknya sama.
Pada lipoma dijumpai aktivitas lipoprotein lipase menurun. Lipoprotein
lipase penting untuk transformasi lemak dalam darah. Oleh karena itu asam lemak
lipoma lebih banyak dibandingkan dengan lemak normal. Hal ini dapat terjadi bila
seseorang melakukan diet, maka secara normal depot lemak menjai berkurang,
tetapi lemak pada lipoma tidak akan berkurang bahkan bertambah besar. Ini
menunjukkan bahwa lemak pada lipoma bukan merupakan lemak yang
dibutuhkan oleh tubuh.
Manifestasi Klinis
Benjolan di kulit tanpa disertai nyeri. Biasanya tanpa gejala apa-apa
(asimptomatik). Hanya dikeluhkan timbulnya benjolan yang membesar perlahan
dalam waktu yang lama. Bisa menimbulkan gejala nyeri jika tumbuh dengan
menekan saraf. Untuk tempat predileksi seperti di leher bisa menimbulkan
keluhan menelan dan sesak. Faktor risiko antara lain adiposisdolorosis, riwayat
keluarga dengan lipoma, sindrom Gardner, dan ussia menengah dan usia lanjut.
Pemeriksaan fisik dapat ditemukan keadaan umum tampak sehat bisa sakit ringan
– sedang, pada kulit ditemukan benjolan, teraba empuk, bergerak jika ditekan.
Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan tusukan jarum halus untuk mengetahui
isi massa.
Kriteria Diagnosis
Massa bergerak di bawah kulit, bulat, yang memiliki karakteristik lembut,
terlihat pucat. Ukuran diameter kurang dari 6 cm, pertumbuhan sangat lama.
Terapi
Biasanya Lipoma tidak perlu dilakukan tindakan apapun.
1. Pembedahan Dengan indikasi : kosmetika tanpa keluhan lain. Cara eksisi Lipoma
dengan melakukan sayatan di atas benjolan, lalu mengeluarkan jaringan lipoma
2. Terapi pasca eksisi: antibiotik, anti nyeri simptomatik: obat anti nyeri
Kriteria rujukan:
1. Ukuran massa > 6 cm dengan pertumbuhan yang cepat.
2. Ada gejala nyeri spontan maupun tekan.
3. Predileksi di lokasi yang berisiko bersentuhan dengan pembuluh darah atau
saraf.
Referensi
1. Syamsuhidayat, R. Wim De Jong. Neoplasma in: Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi
2. Jakarta: EGC. 2005. 2. Scoot, L. Hansen. Stephen, J. Mathes.Eds. Soft Tissue
Tumor in: Manual of Surgery. 8th Ed. New York:McGraw-Hill Company. 2006.
3. Gerard, M. Lipoma In: Current Essentials of Surgery. New York: Lange
Medical Book. 2005.

5. Fraktur Klavikula
Tingkat Kemampuan : 3A
Definisi
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang,
tulang rawan sendi, tulang rawan epifisis baik bersifat total ataupun parsial yang
umumnya disebabkan oleh tekanan yang berlebihan. Trauma yang menyebabkan
tulang patah dapat berupa trauma langsung dan trauma tidak langsung. Trauma
langsung menyebabkan tekanan langsung pada tulang dan terjadi fraktur pada
daerah tekanan. Trauma tidak langsung, apabila trauma dihantarkan ke daerah
yang lebih jauh dari daerah fraktur, misalnya jatuh dengan tangan ekstensi dapat
menyebabkan fraktur pada klavikula, pada keadaan ini biasanya jaringan lunak
tetap utuh. Fungsi clavicula berguna untuk sebagai pengganjal untuk menjauhkan
anggota gerak atas dari bagian dada supaya lengan dapat bergerak leluasa dan
meneruskan goncangan dari anggota gerak atas ke kerangka tubuh (aksial).
Patofisiologi
Pada fraktur sepertiga tengah klavikula otot stemokleidomastoideus akan
menarik fragmen medial keatas sedangkan beban lengannya akan menarik
fragmen lateral ke bawah. Jika fraktur terdapat pada ligament korako-klavikula
maka ujung medial klavikula sedikit bergeser karena ditahan ligament ini. Fraktur
yang terjadi kearah medial terhadap fragment maka ujung luar mungkin tampak
bergeser kearah belakang dan atas, sehingga membentuk benjolan dibawah kulit.
Manifestasi Klinis
Cukup sering sering ditemukan (isolated, atau disertai trauma toraks, atau
disertai trauma pada sendi bahu ), lokasi fraktur klavikula umumnya pada bagian
tengah (1/3 tengah), deformitas, nyeri pada lokasi taruma, dan foto Rontgen tampak
fraktur klavikula.
Kriteria Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Fraktur
klavikula sering terjadi pada anak-anak. Biasanya penderita datang dengan
keluhan jatuh dan tempat tidur atau trauma lain dan menangis saat menggerakkan
lengan. Kadangkala penderita datang dengan pembengkakan pada daerah klavikula
yang terjadi beberapa hari setelah trauma dan kadang-kadang fragmen yang tajam
mengancam kulit. Ditemukan adanya nyeri tekan pada daerah klavikula.
Terapi
1. Fraktur 1/3 tengah
Undisplaced fraktur dan minimal displaced fraktur diterapi dengan
menggunakan sling, yang dapat mengurangi nyeri. Displaced fraktur fraktur
dengan gangguan kosmetik diterapi dengan menggunakan commersial strap yang
berbentuk angka 8 (“Verband figure of eight”) sekitar sendi bahu, untuk menarik
bahu sehingga dapat mempertahankan alignment dan fraktur. Strap harus dijaga
supaya tidak terlalu ketat karena dapat mengganggu sirkulasi dan persyarafan. Suatu
bantal dapat diletakkan di antara scapula untuk menjaga tarikan dan kenyamanan.
Jika commersial strap tidak dapat digunakan balutan dapat dibuat dari “tubular
stockinet”, ini biasanya digunakan untuk anak yang berusia <10 tahun.
Pemakaian strap yang baik:
1. Menarik kedua bahu, melawan tekanan dipusat, dan daerah interscapula selama
penarikan fraktur.
2. Tidak menutupi aksila, untuk kenyamanan dan hygiene.
3. Menggunakan bantalan yang bagus.
4. Tidak mengganggu sirkulasi dan persyarafan kedua lengan.
Plating Clavikula
Gunakan insisi sesuai garis Langer untuk mengekspos permukaan superior
clavikula. Hindari flap kulit undermining dan kerusakan saraf supraklavikula.
Hindari juga diseksi subperiosteal pada fracture site. Lakukan reduksi fragmen
fraktur jika memungkinkan pasang lag screw melintasi fraktur. Plate diletakkan di
sisi superior clavikula dengan 3 screw pada masing-masing sisi fraktur untuk
mencapai fiksasi yang solid. Jika diperlukan diletakan subkutaneus drain, luka
operasi ditutup dengan jahitan subcuticular.
2. Fraktur lateral
Undisplaced fraktur dapat diterapi dengan sling. Displaced fraktur dapat
diterapi dengan sling atau dengan open reduction dan internal fiksasi. Jika
pergeseran lebih dari setengah diameter klavikula harus direduksi dan internal
fiksasi. Bila dibiarkan tanpa terapi akan terjadi deformitas dan dalam beberapa kasus
rasa tidak enak dan kelemahan pada bahu karena itu terapi diindikasikan melalui
insisi supraklavikular, fragmen diaposisi dan dipertahankan dengan pen yang halus,
yang menembus kearah lateral melalui fragmen sebelah luar dan akromion dan
kemudian kembali ke batang klavikula. Lengan ditahan dengan kain gendongan
selama 6 minggu dan sesudah itu dianjurkan melakukan pergerakan penuh.
Referensi
Chairuddin, R. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Fraktur Klavikula. Edisi 3.
Jakarta: PT Yarsif Watampone. 2007.

6. Ulkus Pada Tungkai


Tingkat Kemampuan : 4A
Definisi
Ulkus tungkai adalah ekskavasi permukaan kulit yang terjadi ketika jaringan
nekrotik yang meradang lepas.
Patofisiologi
Pertukaran dan nutrisi lain yang tidak adekuat dijaringan merupakan dasar
metabolis penyebab ulkus tungkai. Ketika metabolisme sel tidak mampu menjaga
kesetimbangan energi, terjadilah kematian sel (nekrosis) kerusakan pembuluh darah
pada tungkai arteri, kapiler dan vena dapat mempengaruhi proses seluler dan
mengakibatkan terjadinya ulkus.
Manifestasi Klinis
Gambaran klinis dan sifat-sifat khas ulkus tungkai ditentukan oleh penyebab
ulkus. Bisa karena insufisiensi arteri dan vena. Beratnya gejala tergantung kepada
luas dan lamanya insufisiensi vaskuler. Ulkus itu sendiri tampak sebagai luka
inflamasi terbuka, bisa terdapat cairan atau tertutup oleh scar (krusta keras dan
hitam).
Kriteria Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Terapi
1. Terapi antibiotik
Terapi antibiotik diberikan bila ada infeksi, antibhiotik spesifik ditentukan
berdasarkan kultur dan sensitifitas. Biasanya diberikan antibiotik peroral karena
antibiotik topikal terbukti tidak efektif untuk ulkus tungkai
2. Debridement
Untuk mempercepat penyembuhan, luka dijaga agar tetap kering dari
drainase dan jaringan nekrotik. Metode yang paling biasa adalah membilas
dengan normal saline, apabila tidak berhasil perlu dilakukan debridement
Debridement adalah pengangkatan jaringan mati dari luka. Pengangkatan jaringan
mati sangat penting terutama bila ada infeksi. Debridement dapat dilakukan
dengan berbagai cara
a. Debridement bedah tajam adalah metode yaang paling cepat dan dapat
dilakukan oleh perawat terlatih berkolaborasi dengan dokter
b. Debridement nonselektif dapat dilakukan dengan memberikan balutan saline
isotonik pada kassa diatas ulkus
c. Debridement enzimatik dan pemberian salep enzim dapat dilakukan untuk
menangani ulkus. Salep dioleskan pada lesi tetapi tidak sampai mengenai jaringan
normal disekitarnya. Lesi dan salep kemudian ditutup dengan spon yang direndam
salin yang telah diperas, kemudian ditutup dengan kassa dan balutan longgar.
Pada lesi jaringan granulasi berwarna merah jambu yang mulai tumbuh,
diberikanb balutan lembab saline (tanpa salep enzim)
d. Bahan debridement dapat digunakan. Dextranomer (debrisan) adalah butiran
kecil, bulat dan sangat menyerap (diameternya 0,1 sampai 0,3 mm), yang dapat
megabsorbsi sekresi luka. Bakteri dan nekrosis dan degradasi protein akan
diabsorbsi oleh butiran-butiran tersebut. Apabila butiran-butiran telah jenuh,
warnanya berubah menjadi abu-abu, saat itulah kemampuan pembersihannya
sudah berhenti. Kemudian diangkat dan diganti dengan butiran baru.
e. Balutan kalsium alginat juga dapat digunakan untuk debridement dan
mengabsorbsi eksudat. Balutan ini diganti setiap hari atau ketika eksudat sudah
mulai tembus melalui permukaan balutan. Balutan ini juga dapat digunakan pada
daerah yang berdarah karena bahan ini dapat membantu menghentikan
perdarahan. Ketika serat kering menyerap eksudat, maka berubah menjadi gel
yang dapat diangkat tanpa nnyeri dari dasar ulkus.
Ada berbagai bahan topikan dan sabun yang dapat digunakan bersama
dengan pencucian dan terapi debridement untuk mempercepat penyembuhan
ulkus tungkai. Tujuan penanganan adalah mengangkat jaringan mati dan menjaga
ulkus kering dan lembab sementara terjadi proses penyembuhan. Penanganan
tidak boleh merusak jaringan yang mulai senbuh. Agar penanganan topikal pada
pasien berhasil. Maka terapi nutrisi perlu diperhatikan.
3. Pembalutan luka
Begitu status sirkulasi dikaji dan adekuat untuk penyembuhan (ABI diatas
0,5), maka dapat diberikan balutan bedah untuk menjaga suasana lembab. Metode
palling sederhana adalah menggunakan bahan kontak (misalnya: tegapore) tepat
pada dasar luka dan ditutup dengan kasa. Tegapore dapat menjaga suasana
lembab, dapat didiamkan selama beberapa hari, dan tidak akan mengganggu dasar
kapiler ketika diangkat untuk evaluasi. Hydrocolloid (duoderm CGF restore,
comfeel, tegasorb) bisa juga merupakan pilihan yang baik nuntuk mempercepat
timbulnya jaringan granulasi dan reepitelisasi. Mereka juga memberikan benteng
perlindungan karena melekat erat pada dasar luka dan jaringan sekitar. Tetapi luka
dalam dan luka terinfeksi tidak boleh ditutup dengan hydrocolloid. Balutan
hidrocolloid menyebabkan suasana anaerobik dan dapat meningkatkan insiden
infeksi anaerob. Terapi oksigen hyperbarik dapat dipertimbangkan pada terapi
topikan. Peningkatan kadar tekanan oksigen sampai 30 mmHg akan meningkatkan
proliferasi fibroblas dan kolagen.
Selain ulkus kaki, dapat juga terjadi ganggren jari kaki. Insufisiensi dapat
menyebabkan ganggren jari kaki (ganggren digital) yang biasanya terjadi akibat
trauma. Jari kaki tersandung dan berubah menjadi hitam. Biasanya pasien dengan
masalah ini adalah lansia yang sirkulasinya tidak adekuat untuk membentuk
revaskularisasi. Debridement meadrupakan kontraindikasi pada keadaan ini.
Meskipun jari kaki mengalami ganggren kering, dan memungkinkan untuk
dilakukan debridement, namun luka terbuka yang akan terjadi tidak didukung oleh
sirkulasi yang adekuat, sehingga akan sulit sembuh. Apabila jari kaki diamputasi,
kekurangan sirkulasi akan menghambat penyembuhan sehingga perlu dilakukan
amputasi lagi. Amputasi pada lansia dapat mengakibatkan kehilangan
kemandirian dan mungkin memerlukan bantuan. Oleh sebab itu, ganggren jari
kaki pada lansia dengan sirkulasi buruk harus dibiarkan.
Referensi
Chairuddin, R. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Ulkus Pada Tungkai. Edisi 3.
Jakarta: PT Yarsif Watampone. 2007.

7. Osteomielitis
Tingkat Kemampuan : 3B
Definisi
Osteomielitis adalah suatu infeksi tulang diklasifikasikan menurut asalnya
sebagai primer atau sekunder, menurut flora mikrobanya dan menurut perjalanan
penyakitnya sebagai akut, subakut atau kronis. Terjadi sebagai akibat penyebaran
hematogen pada 90% kasus; etiologi yang lain mencakup inokulasi langsung
(misalnya trauma, operasi) dan penyebaran langsung dari infeksi jaringan lunak
lokal (misalnya ulkus kaki diabetik). Pasien risiko tinggi mencakup pasien dengan
diabetes, penyakit vaskular perifer, dan penggunaan obat IV Pada orang dewasa,
osteomielitis pling sering terjadi pada vertebra dan pada anak-anak, osteomielitis
biasanya terjadi pada metafisis tulng panjang.
Patofisiologi
Osteomielitis selalu dimulai dari daerah metafisis karena pada daerah
tersebut peredaran darahnya lambat dan banyak mengandung sinusoid-sinusoid.
Penyebaran dapat terjadi :
1. Ke arah korteks membentuk abses subperiosteal dan selulitis pada jaringan
sekitarnya.
2. Menembus periosteum membentuk abses jaringan lunak dan abses dapat
menembus kulit melalui suatu sinus dan menimbulkan kematian tulang yang disebut
sequester.
3. Menyebar ke arah medula.
4. Menyebar ke persendian terutama bila lempeng pertumbuhannya intra artikuler.
Penetrasi ke epifisis jarang terjadi.
Pada fase kronis, periosteum akan membentuk tulang baru yang disebut
involukrum yang akan membungkus tulang yang mati.
Manifestasi Klinis
Gejala gejala umum dari bakteremia mungkin tidak ada, nyeri lokal yang
samar samar, berpindah pindah atau makin berkurang mungkin menjadi
manifestasi pertama. Keterbatasan gerakan sendi mungkin jelas, terutama pada
penderita osteomielitis kolumna vertebralis atau bila lesinya di dekat persendian.
Kriteria Diagnosis
Untuk menentukan diagnosis, dapat digunakan aspirasi, pemeriksaan
sintigrafi, biakan darah, dan pemeriksaan pencitraan. Aspirasi dilakukan untuk
memperoleh pus dari subkutis, subperiost atau lokus radang di metafisis. Untuk
pungsi tersebut, digunakan jarum khusus untuk membor tulang. Pada sintigrafi
dipakai Technetium 99. Sensivitas pemeriksaan ini terbatas pada minggu pertama
dan sama sekali tidak spesifik. Pada minggu kedua, gambaran radiologis mulai
menunjukkan destruksi tulang dan reaksi periosteal pembentukan tulang baru.
Pemeriksaan laboratorium tidak khas, hanya ditemukan peningkatan lekosit dan laju
endap darah.
Terapi
Penatalaksanaan osteomielitis akut ialah :
1. Perawatan di rumah sakit
2. Pengobatan suportif dengan pemberian infus dan antibiotika
3. Pemeriksaan biakan darah
4. Antibiotika yang efektif terhadap gram negatif maupun gram positif (broad
spectrum) diberikan langsung tanpa menunggu hasil biakan darah, dan dilakukan
secara parenteral selama 3-6 minggu
5. Immobilisasi anggota gerak yang terkena
6. Tindakan pembedahan. Indikasi untuk melakukan tindakan pembedahan ialah :
a. Adanya sequester
b. Adanya abses
c. Rasa sakit yang hebat
d. Bila mencurigakan adanya perubahan ke arah keganasan (karsinoma
epidermoid)
Referensi
Chairuddin, R. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Osteomielitis. Edisi 3. Jakarta:
PT Yarsif Watampone. 2007.
SISTEM INTEGUMEN

1. Veruka Vulgaris
Tingkat Kemampuan 4A
Definisi
Veruka adalah hiperplasi epidermis disebabkan oleh human papilloma virus
tipe tertentu. Kutil ini terutama terdapat pada anak tetapi juga terdapat pada
dewasa dan orangtua. Tempat predileksinya terutama di ekstremitas bagian
ekstensor, walaupun demikian penyebarannya dapat ke bagian lain tubuh
termasuk mukosa mulut dan hidung.
Patofisiologi
Infeksi HPV terjadi melalui inokulasi virus pada epidermis melalui defek pada
epitel. Maserasi kulit mungkin merupakan faktor predisposisi yang penting,
seperti yang ditunjukkan dengan meningkatnya insidens kutil plantar pada
perenang yang sering menggunakan kolam renang umum. Meskipun reseptor
seluler untuk HPV belum diidentifikasi, permukaan sel heparan sulfat, yang
dikode oleh proteoglikan dan berikatan dengan partikel HPV dengan afinitas
tinggi,dibutuhkan sebagai jalan masuknya. Untuk mendapat infeksi yang
persisten, mungkin penting untuk memasuki sel basal epidermis yang juga
sel punca (sel stem) atau diubah oleh virus menjadi sesuatu dengan properti
(kemampuan/karakter) seperti sel punca. Dipercayai bahwa single copy atau
sebagian besar sedikit copy genom virus dipertahankan sebagai suatu plasmid
ekstra kromosom dalam sel basal epitel yang terinfeksi. Ketika sel-sel ini
membelah, genom virus juga bereplikasi dan berpartisi menjadi tiap sel progeni,
kemudian ditransportasikan dalam sel yang bereplikasi saat mereka bermigrasi
ke atas untuk membentuk lapisan yang berdifferensias.
Setelah eksperimen inokulasi HPV, veruka biasanya muncul dalam 2
sampai 9 bulan. Observasi ini mengimplikasikan bahwa periode infeksi subklinis
yang relatif panjang dan dapat merupakan sumber yang tidak terlihat dari virus
infeksius. Permukaan yang kasar dari kutil dapat merusak kulit yang berdekatan
dan memungkinkan inokulasi virus ke lokasi yang berdekatan,
dengan perkembangan kutil yang baru dalam periode minggu sampai bulan. Tiap
lesi yang baru diakibatkan paparan insial atau penyebaran dari kutil yang lain.
Tidak ada bukti yang meyakinkan untuk Disseminasi melalui darah.
Autoinokulasi virus pada kulit yang berlawanan sering kali terlihat pada jari- jari
yang berdekatan dan di regio anogenital.
Ekspresi virus (transkripsi) sangat rendah sampai lapisan Malpigi bagian
atas, persis sebelum lapisan granulosum, dimana sintesis DNA virus
menghasilkan ratusan kopi genom virus tiap sel. Protein kapsid virus disintesis
menjadi virion di sel nukleus. DNA virus yang baru disintesis ini dikemas
menjadi virion dalam nukleu sdari sel-sel Malpigi yang berdifferensiasi ini.
Protein virus yang dikenal dengan E1- E4 (produk RNA yang membelah dari
gen-gen E1 dan E4) dapat menginduksi terjadinya kolaps dari jaring-jaring
filamen keratin sitoplasma ini. Hal ini dipostulasikan untuk memfasilitasi
pelepasan virion dari sitoskeleton yang saling berikatan silang dari keratinosit
sehingga virus dapat diinokulasikan ke lokasi lain atau berdeskuamasi ke
lingkungan.
HPV tidak bertunas dari nukleus atau membran plasma, seperti halnya
banyak virus seperti virus herpes simpleks atau human immnodeficiency virus
(HIV). Oleh karena itu, mereka tidak memiliki selubung lipoprotein yang
menyebabkan kerentanan terhadap inaktivasi yang cepat oleh kondisi lingkungan
seperti pembekuan, pemanasan, atau dehidrasi dengan alkohol. Berlainan dengan
itu, virion HPV resisten terhadap desikasi dan deterjen nonoksinol-9, meskipun
paparan virion dengan formalin, deterjen yang kuat seperti sodium dodesil sulfat,
atau temperature tinggi berkepanjangan mengurangi infektivitasnya. HPV dapat
tetap infeksius selama bertahun-tahun ketika disimpan di gliserol dalam
temperatur ruangan. Memang, bentuk L1 dan L2 membentuk kapsid protein yang
sangat stabil dan terbungkus rapat.
Karena replikasi virus terjadi pada tingkatan yang lebih tinggi dari epitel
dan yang terdiri dari keratinosit yang tidak bereplikasi, HPV harus memblok
differensiasi akhir dan menstimulasi pembelahan sel untuk memungkinkan
enzim-enzim dan kofaktor yang penting untuk replikasi DNA virus.
HVP memiliki kebutuhan yang tinggi akan sel-sel epidermis manusia pada
tingkat diferensiasi tertentu. Hal ini menyebabkan proliferasi keratinosit yang
sebagian mengalami keratonisasi danakhirnya melindungi virus ini dari
eliminasi oleh sistem imun. Lesi ini bisa sporadik, rekuren, atau persisten.
Manifestasi Klinis
Kutil ini berbentuk bulat bewarna abu-abu, besarnya lentikular atau kalau
berkonluensi berbentuk plakat, permukaan kasar (verukosa). Dengan goresan
dapat timbul autoinokulasi sepanjang goresan (fenomena Kobner).

Gambar 1. Gambaran Klinis Veruka Vulgaris

Kriteria Diagnosis
a. Anamnesis
Veruka vulgaris biasanya tidak langsung menimbulkan gejala klinis,
terdapat periode infeksi subklinik yang panjang. Benjolan biasa muncul 2-
9 bulan setelah inokulasi. Biasanya pasien mengeluhkan terdapat benjolan
kecil yang padat di daerah tangan dan kaki, terutama pada jari dan telapak.
Veruka vulgaris biasanya tidak disertai dengan gejala-gejala prodromal.
Gambaran klinis, riwayat penyakit, papul yang membesar secara perlahan
biasanya sudah sangat membantu untuk menegakan diagnosis veruka
vulgaris.
Infeksi yang disebabkan oleh human papilloma virus (HPV) ini
terbatas pada epitel dan tidak menyebabkan gangguan sistemik. Veruka
vulgaris sering menyerang anak usia sekolah, prevalensinya sekitar 10-
20%. Veruka vulgaris jarang terjadi pada bayi dan anak usia dini,
peningkatan kejadian di antara anak usia sekolah, dan puncaknya pada 12-
16 tahun.
b. Pemeriksaan fisik
Dari hasil pemeriksaan fisik yang dilakukan pada pasien dengan
veruka vulgaris biasanya didapatkan papula berbentuk bulat berwarna abu-
abu, besarnya lentikular atau apabila berkonfluensi berbentuk plakat,
permukaan kasar (verikurosa). Veruka vulgaris dapat timbul di berbagai
bagian tubuh terutama di kaki dan tangan. Apabila dilakukan goresan,
akan timbul inokulasi di sepanjang goresan atau disebut juga dengan
fenomena koebner.
Dikenal pula induk kutil yang pada suatu saat akan menimbulkan anak
kutil dalam jumlah banyak. Ada pendapat yang menggolongkan sebagai
penyakit yang dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan. Varian veruka
vulgaris yang terdapat di daerah muka dan kulit kepala berbentuk seperti
penonjolan yang tegak lurus pada permukaan kulit, dan permukaannya
verukosa, disebut juga sebagai verukosa filiformis.
Menurut sifat progresinya, ujud kelainan kulit pada verika vulgaris
adalah mula-mula papula kecil seukuran kepala jarum, warna kulit seperti
biasa, jernih, kemudian tumbuh menonjol, permukaan papilar berwarna lebih
gelap dan hiperkeratotik.
c. Pemeriksaan penunjang
Apabila terdapat gambaran klinis yang tidak jelas pada pasien veruka
vulgaris, dapat dilakukan pemeriksaan histopatologik dengan cara biopsy
kulit. Gambaran histopatologis dapat membedakan berbagai macam
papiloma (Handoko, 2010).
Gambaran histopatologis epidermis pada veruka vulgaris akan
didapatkan hyperkeratosis, parakeratosis, pailomatosis, dan akantosis.
Pada dermis akan didapatkan pelebaran pembuluh daraha dan sebukan sel-
sel radang kronik.
Gambar 2. Gambaran Histopatologi Veruka Vulgaris

d. Gold standard
Untuk mendiagnosis veruka vulgaris, dari hasil anamnesis yang
menunjukan gejala-gejala dan pemeriksaan fisik pada kulit untuk
mengetahui ujud kelainan kulit yang khas pada verika vulgaris sudah
cukup untuk menegakan diagnosis. Akan tetapi untuk lebih menegakan
diagnosis alangkah lebih baik dilakukan pemeriksaan histopatologis.
Tatalaksana
a. Medikamentosa
Sebagian veruka dapat mengalam involusi (sembuh) spontan dalam masa
1 atau 2 tahun. Pengobatan dapat berupa tindakan bedah atau nonbedah.
Tindakan bedah antara lain bedah beku N2 cair, bedah listrik dan bedah
laser. Cara nonbedah antara lain dengan bahan keratolitik, misalnya asam
salisilat, bahan kaustik misalnya asam trikorasetat, dan bahan lain misalnya
kantaridin.
Farmakologis
1) Asam salisilat
Obat ini mempunyai efek keratolitik. Cara pemakaiannya dioleskan
2 tetes, 2 kali sehari. Obat ini hanya dioleskan pada kulit yang
terkena veruka vulgaris saja.
2) Asam laktat
Obat ini mempunyai efek kaustik. Cara pemakaiannya dioleskan 1
tetes, 2 kali sehari hanya pada kulit yang terkena veruka vulgaris.
3) Asma trikorasetat 50-80%
Tindakan invasif
1) Bedah beku
2) Bedah scalpel
3) Bedah listrik
4) Bedah laser
5) Kuret dan elektrodesikasi ringan
b. Non medikamentosa
1) Edukasi mengenai penyakit yang diderita oleh pasien
2) Edukasi cara penularan veruka vulgaris
3) Tidak diperbolehkan melakukan tindakan-tindakan yang akan
menyebabkan timbulnya lesi pada area yang terdapat veruka
vulgaris.
4) Bila pasien anak-anak, ingatkan selalu untuk rajin mencuci tangan
dan kulit secara teratur dan benar
5) Bila terdapat luka kecil atau luka parut, bersihkan dengan sabun dan
air hangat serta langsung dikeringkan
6) Kenakan selalu alas kaki, bila perlu alas kaki yang tahan air atau anti
selip terutama saat menggunakan fasilitas umum
Daftar Pustaka :
Satria E.D. Veruka Vulgaris. Purwokerto : Jurusan Kedokteran Fakultas
Kedokteran Dan Ilmu-Ilmu Kesehatan Universitas Jenderal Soedirman, 2012.
Diunduh pada : Https://Id.Scribd.Com/Doc/167350723/Referat-Veruka-
Vulgaris, 27 Januari 2016.

2. Kondiloma Akuminatum
Tingkat Kemampuan 3A
Definisi
Kondiloma akuminatum ialah vegetasi oleh human papilloma virusm tipe
tertentu, bertangkai dan permukaannya berjonjot. Kondiloma adalah kutil yang
berlokasi di area genital (uretra, genital dan rektum), merupakan penyakit
menular seksual dan berpengaruh buruk bagi kedua pasangan.
Masa inkubasi dapat terjadi sampai beberapa bulan tanpa tanda dan gejala
penyakit.Biasanyalebih banyak selama masa kehamilan dan ketika terjadi peng
eluaran cairan yang berlebihan dari vagina.
Meskipun sedikit, kumpulan bunga kol bisa berkembang dan sebagai
akibatnya adalah akumulasi bahan-bahan purulen pada belahan-belahan,
biasanya berbau tidak sedap warnanya abu-abu, kuning pucat atau merah
muda.
Patofisiologi
HPV merupakan kelompok virus DNA double-strand. Sekitar 30 jenis HPV
dapat menginfeksi traktus anogenital. Virus ini menyebabkan lokal infeksi dan
muncul sebagai lesi kondiloma papilomatous. Infeksi HPV menular melalui
aktivitas seksual.HPV yang berhubungan dengan traktus genital dibagi dalam
kelompok resiko rendah dan resiko tinggi yang didasarkan atas genotipe
masing-masing. Sebagian besar kondiloma genital diinfeksi oleh tipe HPV-6 atau
HPV-11. Sementara tipe 16, 18, 31, 33,45, 51, 52,56, 68, 89 merupakan resiko
tinggi. Papiloma virus bersifat epiteliotropik dan replikasinya tergantung dari
adanya epitel skuamosa yang berdiferensisasi. DNA virus dapat ditemui pada
lapisan bawah epitel,namun struktur protein virus tidak ditemukan. Lapisan
basal sel yang terkena ditandai dengan batas yang jelas pada dermis. Lapisan
menjadi hiperplasia (akantosis), parspapilare pada dermis memanjang. Gambaran
hiperkeratosis tidak selalu ada, kecuali bila kutil telah ditemui pada waktu yang
lama atau pengobatan yang tidak berhasil, dimana stratum korneum hanya
mengandung 2 lapisan sel yang parakeratosis. Koibeytes terpencar -pencar keluar
dari lapisan terluar dari kutil genialia. Merupakan sel skuamosa yang zona mature
perinuclear yang luas dibatasi dari peripheral sitoplasma. Intinya bisa diperluas
dan hyperchromasi, 2 atau lebih nuclei / inti bisa terlihat. Penelitian
ultrastruktural menunjukkan adanya partikel virus pada suatu bagian nuclei sel.
Manifestasi Klinis
Penyakit ini terutama terdapat didaerah lipatan yang lembab, misalnya
didaerah genitalia eksterna. Kelainan kulit berupa vegetasi yang bertangkai dan
berwarna kemerahan kalau masih baru, jika telah lama agak kehitaman.
Permukaan berjonjot (papilomatosa) sehingga pada vegetasi yang besar dapat
dilakukan percobaan sondase. Jika timbul infeksi sekunder warna kemerahan
akan berubah menjadi keabu-abuan dan berbau tidak enak. Vegetasi besar
disebut sebagai giant condyloma (Buschke).

Gambar 3. Kondiloma Akuminata pada pria

Gambar 4. Kondiloma Akuminata pada wanita

Kriteria Diagnosis
1. Kondiloma akuminata sering muncul di daerah yang lembab, biasanya pada
penis, vulva, dinding vagina dan dinding serviks dan dapat menyebar
sampai daerah perianal.
2. Berbau busuk.
3. Warts/kutil memberi gambaran merah muda, flat, gambaran bunga kol.
4. Pada pria dapat menyerang penis, uretra dan daerah rektal.
5. Infeksi dapat dormant atau tidak dapat dideteksi, karena sebagian lesi
tersembunyi didalam folikel rambut atau dalam lingkaran dalam penis yang
tidak disirkumsisi.
6. Pada wanita condiloma akuminata menyerang daerah yang lembab dari
labia minora dan vagina. Sebagian besar lesi timbul tanpa simptom. Pada
sebagian kasus biasanya terjadi perdarahan setelah coitus, gatal atau vaginal
discharge
7. Ukuran tiap kutil biasanya 1-2 mm, namun bila berkumpul sampai
berdiameter 10 cm dan bertangkai. Dan biasanya ada yang sangat kecil sampai
tidak diperhatikan.
8. Terkadang muncul lebih dari satu daerah. Pada kasus yang jarang,
perdarahan dan obstruksi saluran kemih jika virus mencapai saluran uretra.
9. Memiliki riwayat kehidupan seksual aktif dengan banyak pasangan.
Pemeriksaan penunjang
1. HPV-DNA
2. Perlu dilakukan pemeriksaan darah serologis (untuk membedakan
dengan kondiloma lata pada sifilis).
3. Wanita yang memiliki kutil di leher rahimnya, harus menjalani
pemeriksaan Pap-smear secara rutin.
4. Histopatologi.
Tatalaksana
1. Kemoterapi
a. Podofilin
Tingtur podofilin 25%
Kulit disekitarnya dilindungi dengan vaselin atau pasta agat tidak terjadi
iritasi, setelah 4-6 jam kemudian dicuci. Jika belum ada penyembuhan
dapat diulangi setelah 3 hari. Setiap kali pemberian jangan melebihi 0.3 cc
karena akan diserap dan bersifat toksik. Gejala toksisitas ialah mual, muntah,
nyeri abdomen, gangguan alat napas, dan keringat yang disertai kulit dingin.
Dapat pula terjadi supresi sumsum tulang yang disertai trombositopenia dan
leukopenia. Pada wanita hamil sebaiknya jangan diberikan karena dapat
terjadi kematian fetus. Juga jangan dipakai untuk pengobatan lesi dalam
vagina dan serviks karena obai ini dapat diabsorbsi sehingga bersifat toksik
dan dapat menyebabkan karsinoma.
Podofilotoksin 0.5 %
Bahan ini merupakan zat aktif yang terdapat di dalam podofilin. Setelah
pemakaian podofiloks, dalam beberapa hari akan terjadi destruksi pada
jaringan KA. Reaksi iritasi pada pemakaian podofiloks lebih jarang terjadi
dibandingkan dengan podofilin dan reaksi sistemik belum pernah
dilaporkan. Obat ini dapat dioleskan sendiri oleh penderita sebanyak dua kali
sehari selama tiga hari berturut-turut.
Cara pengobatan dengan podofilin ini sering dipakai. Hasilnya baik pada lesi
yang baru, namun kurang memuaskan pada lesi yang lama atau yang
berbentuk pipih.
b. Asam Triklorasetat
Digunakan larutan dengan konsentrasi 50%, dioleskan setiap minggu.
Pemberiannya harus berhati-hati karena dapat menimbulkan ulkus yang
dalam. Dapat diberikan pada wanita hamil.
c. 5-fluorourasil
Konsentrasinya antara 1-5% dalam krim, dipakai terutama pada lesi di
meatus uretra. Pemberiannya setiap hari sampai lesi hilang. Sebaiknya
penderita tidak miksi selam 2 jam setelah pengobatan.
2. Tindakan Bedah
a. Bedah Listrik (Elektrokauterisasi)
Waktu lampau, spesialis kulit kelamin umumnya menggunakan pemotong
listrik high-frequency atau besi pemotong membakar nevus atau
neoplasma kulit lainnya. Ini dikarenakan sederhana dan cepat. Pemotong
elektrik high-frequency secara langsung membuang dan mengeringkan,
pengobatan ini cenderung lebih aman, namun penyembuhan luka dengan
elektrokauter lebih lambat. Kesimpulannya, pengobatan dengan
elektrokauter dapat digunakan untuk bermacam kondiloma, namun dapat
membakar terlalu berlebihan dan dapat sedikit berbahaya. Dan harus juga
memperhatikan operasi yang aseptik, pencegahan terhadap infeksi.
Pengobatan yang efektif namun membutuhkan anestesi lokal. Digunakan
pada jenis kondiloma yang resisten terhadap pengobatan topikal, dengan
kekurangan meninggalkan luka parut.
b. Bedah Beku (N2, N2O cair)
Bedah beku merupakan metode pengobatan umum dermatologist,
berbahan dasar nitrogen atau karbondioksida cair, es beku kering
penghancur kulit, penghancur kulit untuk edema lokal, bertujuan untuk
mencapai tujuan pengobatan. Virus kondiloma akuminata menyebabkan
terjadinya hiperplasia prostatik jinak pada kulit dan membran mukosa. Ini
memiliki pembuluh darah lecil dalam jumlah banyak, berproliferasi secara
cepat. Metode dapat menggunakan es beku untuk kondiloma akuminata,
membentuk edema lokal derajat tinggi. Keuntungan yang paling bagus dari
bedah beku ini ialah hanya bersifat lokal tanpa meninggalkan bekas,
tingkat keberhasilan pengobatan kira-kira 70%. Tersedia dalam metode
semprot atau kontak langsung, mampu diaplikasikan pada bentuk kecil.
Dapat digunakan dalam 1 minggu sebanyak 2-3 kali. Bedah beku ini
banyak menolong untuk pengobatan kondiloma akuminata pada wanita
hamil dengan lesi yang banyak dan basah.
c. Bedah Skalpel
Pengobatan bedah pada kondiloma akuminata pada dasarnya bukan
merupakan pembedahan yang dianjurkan, karena pengobatan dengan
pembedahan, kondiloma akuminata sangat mudah kambuh kembali,
sehingga pengobatan menjadi gagal. Namun bentuk yang lebih besar dapat
dipertimbangkan untuk dibedah. Beberapa pasien memiliki kondiloma
yang tumbuh begitu cepat, dan pengobatan lainnya sangat sulit, hal ini
dapat dipertimbangkan untuk dilakukan pembedahan. Dengan tujuan untuk
mencegah kekambuhan, dapat dilakukan pengobatan lainnya.
3. Laser Karbondioksida
Umum digunakan pada pengobatan kulit dan penyakit menular seksual.
Merupakan pengobatan yang tergolong cepat dan kondiloma dapat hilang.
Pengobatan dengan laser hanya dapat diaplikasikan pada kondiloma
ukuran kecil dimana jika digunakan pada kondiloma dengan ukuran besar
mudah untuk kambuh.
4. Interferon
Meskipun interferon telah menunjukkan hasil yang menjanjikan bagi
verucciformis dan infeksi HPV anogenital, keefektifan bahan ini dalam
perawatan terhadap kutil kelamin masih dipertanyakan. Terapi parentral
dan intra lesional terhadap kutil kelamin dengan persiapan interferon alami
dan rekombinasi telah menghasilkan tingkat respon yang berkisar antara
70 – 80 % pada laporan –laporan awal. Telah ditunjukkan pula bahwa
kombinasi IFN dengan prosedur pembedahan ablatif lainnya menghasilkan
tingkat kekambuhan( relapse rate ) dan lebih rendah. Efek samping dari
perlakuan interferon sistemik meliputi penyakit seperti flu dan neutropenia
transien. Dapat diberikan dalam bentuk suntikan (im atau intralesi) dan
topikal (krim). Interferon alfa diberikan dengan dosis 4-6 mU.i.m. 3 kali
seminggu selama 6 minggu atau dengan dosis
5. Imunoterapi
Pada penderita dengan lesi yang luas dan resisten terhadap pengobatan dapat
diberikan pengobatan bersama imunostimulator.
6. Diet
Tidak ada restriksi, namun sebaiknya mengkonsumsi nutrisi yang
seimbang pada program dietari untuk memastikan pasien mendapatkan
sistem imun yang optimal. Dietari Program
1. vitamin B-kompleks, penting untuk multiplikasi sel
2. vitamin C, antiviral
3. L-Cystein, suplai sulfur, sebagai preventasi dan perawatan kutil
4. Vitamin A, menormalkan kulit dan epitel membrane
5. Vitamin E, meningkatkan aliran darah dan membantu perbaikan
jaringan
6. Zinc, meningkatkan imunitas tubuh melawan virus
Daftar Pustaka :
Syari I.P. Kondiloma Akuminata. Jakarta : Universitas Kristen Indonesia,
2015. Diunduh pada : https://id.scribd.com/doc/274854047/REFERAT-
Kondiloma-Akuminata-Intan, 27 Januari 2016.

3. Moluskum Kontagiosum
Tingkat Kemampuan 4A
Definisi
Moluskum kontangiosum ialah penyakit disebabkan oleh virus pox, klinis
berupa papul-papul, pada permukaannya terdapat lekukan, berisi massa yang
mengandung badan moluskum. Penyakit ini terutama menyerang anak dan
kadang-kadang juga orang dewasa. Pada orang dewasa, penyakit ini digolongkan
kedalam penyakit akibat hubungan seksual. Penularan melalui kontak langsung
dengan agen penyebab.
Patofisiologi
Moluskum kontagiosum disebabkan oleh lebih dari empat tipe poxvirus
yang berhubungan, MCV-1 sampai -4, dan varian-variannya. Meskipun
proporsi dari infeksi disebabkan oleh beragamnya letak geografis, di seluruh
dunia infeksi MCV-1 merupakan yang paling sering. Pada anak-anak
sebetulnya semua infeksi disebabkan oleh MCV-1. MCV merupakan poxvirus
yag besar, dan berbentuk seperti bata yang bereplikasi dalam sitoplasma dalam
sel. Terdapat beberapa kesamaan genomik dengan poxvirus yang lainnya. Dan
biasanya 2-3 gen sama dengan vaccinia dan variola virus. Terdapat empat sub-
tipe dari MCV tapi semuanya identik secara klinis. 98% dari penyakit di
Amerika Serikat disebabkan oleh MCV tipe 1. Telah diteliti masa inkubasi
terjadi antara 2-7 minggu.
Rata-rata masa inkubasi antara 2 dan 7 minggu dengan jarak melampaui
lebih dari 6 bulan. Infeksi dengan virus dapat menyebabkan hyperplasia dan
hipertropi pada epidermis. Inti virus yang telah ditemukan di semua lapisan
epidermis. Pabrik virus ditemukan pada lapisan sel granuler dan malpigi.
Badan Molluscum berisi virion dewasa dalam jumlah yang besar. Virion ini
berisi struktur seperti kantung yang kaya akan lipid dan kolagen di ketahui bahwa
untuk menghalangi pertemuan imunologis oleh induk. Robekan terjadi pada
pertengahan luka dan keluarnya sel yang telah terinfeksi virus. MCV merangsang
tumor jinak disamping lesi cacar yang biasanya nekrosis disertai virus cacar yang
lain.
Virus bereplikasi dalam sitoplasma di sel epitel, dan sel yang telah terinfeksi
bereplikasi sebanyak dua kali dari rata-rata. Ada banyak gen MCV yang dapat
merusak sistem imun, termasuk (1) homolog dari kebanyakan
histokompatibilitas tingkat 1 rantai berat, dimana dapat berinterfensi dengan
presentasi antigen (2) homolog kemokin yang menghambat inflamasi dan (3)
homolog glutathione peroxide yang dapat melindungi virus dari bahaya
oksidatif dari peroxida.
Manifestasi Klinis
Masa inkubasi berlangsung satu sampai beberapa minggu. Kelainan kulit
berupa papul miliar, kadang lentikular dan berwarna putih seperti lilin, berbentuk
kubah yang kemudian ditengahnya terdapat lekukan (delle). Jika dipijat akan
tampak keluar massa yang putih seperti nasi. Lokalisasi didaerah muka, badan
dan ekstremitas.

Gambar 5. Moluskum Kontagiosum


Kriteria Diagnosis
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Adanya kelainan kulit berupa papul miliar. Masa inkubasi berlangsung satu
sampai beberapa minggu. Faktor risiko antara lain :
1. Terutama menyerang anak dan kadang-kadang juga orang dewasa.
2. Imunodefisiensi.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
Papul miliar, kadang-kadang lentikular dan berwarna putih seperti lilin,
berbentuk kubah yang kemudian di tengahnya terdapat lekukan (delle). Jika
dipijat akan tampak keluar massa yang berwarna putih seperti nasi. Lokasi
predileksi adalah daerah muka, badan, dan ekstremitas, sedangkan pada orang
dewasa di daerah pubis dan genitalia eksterna. Kadang-kadang dapat timbul
infeksi sekunder sehingga timbul supurasi.
Pemeriksaan Penunjang
Bila diperlukan, melakukan tindakan enukleasi pada papul untuk menemukan
badan moluskum.
Tatalaksana
Pada umumnya penyakit ini dapat sembuh sendiri tanpa komplikasi pada
pasien imunokompeten. Sebelum melakukan penatalaksanaan sebaiknya
mendiskusikan terlebih dahulu dengan keluarga pasien mengenai resiko dan
keuntungan pengobatan. Banyak ahli menggunakan cabtharidin 0,7% atau
0,9% liquid untuk pengobatan MK. Cabtharidin merupakan ekstrak dari
serangga, Cantaharis vesicatoria, yang merangsang vesikulasi pada
dermoepidermal ketika dioleskan secara topikal pada kulit. Obat ini harus
dioleskan dengan hati-hati dan dicuci sekitar dua sampai enam jam kemudian.
Tidak dianjurkan untuk penggunaan pada wajah atau daerah genital, dan keluarga
harus dikonseling berhubungan dengan resiko ringan dari reaksi ekstrim atau
bekas luka. Pengobatan tradisional, yaitu kuretase dan
kriptoterapi, meskipun kedua pengobatan ini memberi rasa sakit, penggunaan
anastesi topikal dapat menghilangkan rasa sakit. Kebanyakan pasien memilih
pengobatan cantharidin topikal sebab dirasakan paling efektif dan tidak sakit.
Pengobatan terapi topikal lainnya yaitu retinoid cream, Imiquimod cream,
asam salisilat, cidofovir, pasta silvernitrat dan tape stripping. Cimetidine oral
telah menunjukkan kesuksesan. Analisis dari Cochrane database menunjukkan
hanya lima terapi yang berkualitas tinggi, ditemukan hasil tidak ada satupun
intervensi yang meyakinkan efektifitas dari pengobatan moluskum
kontagiosum.
Marsal JS dkk melakukan penelitian yang menunjukkan KOH dapat
berpotensi menjadi pengobatan yang efektifdan aman bagi MC pada
penanganan utama dan mengurangi rujukan ahki kulit dan rumah sakit. Sebagai
tambahan KOH menjadi pengobatan alternatif yang murah dan sah untuk
pengobatan invasif saai ini.

Gambar 6. Terapi Moluskum Kontagiosum

Hal yang harus dilakukan pasien :


1. Pasien perlu menjaga higiene kulit.
2. Pengobatan dilakukan dengan mengeluarkan massa yang mengandung badan
moluskum dengan menggunakan alat seperti ekstraktor komedo, jarum suntik,
atau alat kuret kulit.

Daftar Pustaka :
Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Primer, 2014.

4. Herpes Zoster tanpa Komplikasi


Tingkat Kemampuan 4A
Definisi
Herpes Zoster adalah infeksi kulit dan mukosa yang disebabkan oleh virus
Varisela-zoster. Infeksi ini merupakan reaktivasi virus yang terjadi setelah
infeksi primer. Herpes Zoster jarang terjadi pada anak-anak dan dewasa muda,
kecuali pada pasien muda dengan AIDS, limfoma, keganasan, penyakit
imunodefisiensi dan pada pasien yang menerima transplantasi sumsum tulang
atau ginjal. Penyakit ini terjadi kurang dari 10% pada pasien yang berusia kurang
dari 20 tahun dan hanya 5% terjadi pada pasien yang berusia kurang dari 15
tahun. Insiden herpes zoster meningkat seiring dengan pertambahan usia.
Prevalensi penyakit ini pada pria dan wanita sama.
Patofisiologi
Infeksi primer dari VZV ini pertama kali terjadi di daerah nasofaring. Disini
virus mengadakan replikasi dan dilepas ke darah sehingga terjadi viremia
permulaan yang sifatnya terbatas dan asimptomatik. Keadaan ini diikuti
masuknya virus ke dalam Reticulo Endothelial System (RES) yang kemudian
mengadakan replikasi kedua yang sifat viremia nya lebih luas dan simptomatik
dengan penyebaran virus ke kulit dan mukosa. Sebagian virus juga menjalar
melalui serat-serat sensoris ke satu atau lebih ganglion sensoris dan berdiam
diri atau laten didalam neuron. Virus berdiam diri di ganglion posterior saraf
tepid an ganglion kranialisSelama antibodi yang beredar didalam darah masih
tinggi, reaktivasi dari virus yang laten ini dapat dinetralisir, tetapi pada saat
tertentu dimana antibodi tersebut turun dibawah titik kritis maka terjadilah
reaktivasi dari virus sehingga terjadi herpes zoster.
Herpes Zoster Ophtalmicus (HZO) terjadi sekitar 10-15% dari kasus Zoster.
HZO terjadi karena virus menginvasi ganglion Gasserian. Untuk alasan yang
belum jelas, keterlibatan cabang ophtalmicus (N. V1) 5 kali lebih sering daripada
keterlibatan dari cabang maksilaris (N. V2) atau cabang mandibularis (N. V3).
Manifestasi Klinis
Gejala prodromal herpes zoster biasanya berupa rasa sakit dan parestesi
pada dermatom yang terkena. Gejala ini terjadi beberapa hari menjelang
timbulnya erupsi. Gejala konstitusi, seperti sakit kepala, malaise, dan demam,
terjadi pada 5% penderita (terutama pada anak-anak) dan timbul 1-2 hari sebelum
terjadi erupsi. Gambaran yang paling khas pada herpes zoster adalah erupsi yang
lokalisata dan unilateral. Jarang erupsi tersebut melewati garis tengah tubuh.
Umumnya lesi terbatas pada daerah kulit yang dipersarafi oleh salah satu
ganglion saraf sensorik. Erupsi mulai dengan eritema makulopapular. Dua
belas hingga dua puluh empat jam kemudian terbentuk vesikula yang dapat
berubah menjadi pustula pada hari ketiga. Seminggu sampai sepuluh hari
kemudian, lesi mengering menjadi krusta. Krusta ini dapat menetap menjadi 2-3
minggu.

Gambar 7. Herpes Zoster

Pada Herpes zoster oftalmikus ditandai erupsi herpetic unilateral pada kulit.
Gejala prodromal seperti lesu, demam ringan, mual muntah dapat timbul.
Gejala prodromal berlangsung 1 sampai 4 hari sebelum kelainan kulit timbul.
Tanda iritasi meningeal seperti kaku kuduk juga dapat timbul. Selain itu timbul
juga gejala fotofobia, banyak keluar air mata, kelopak mata bengkak dan sukar
dibuka karena perjalanan cabang dari nervus ophtalmicus yang member cabang
ke nervus Arnold rekuren dan N III dan N VI.
Kriteria Diagnosis
Diagnosis herpes zoster pada anamnesis didapatkan keluhan berupa
neuralgia beberapa hari sebelum atau bersama-sama dengan timbulnya
kelainan kulit. Adakalanya sebelum timbul kelainan kulit didahului gejala
prodromal seperti demam, pusing dan malaise. Kelainan kulit tersebut mula-
mula berupa eritema kemudian berkembang menjadi papula dan vesikula yang
dengan cepat membesar dan menyatu sehingga terbentuk bula. Isi vesikel
mula-mula jernih, setelah beberapa hari menjadi keruh dan dapat pula bercampur
darah. Jika absorbsi terjadi, vesikel dan bula dapat menjadi krusta. Dalam
stadium pra erupsi, penyakit ini sering dirancukan dengan penyebab rasa nyeri
lainnya, misalnya pleuritis, infark miokard, kolesistitis, apendisitis, kolik renal,
dan sebagainya. Namun bila erupsi sudah terlihat, diagnosis mudah ditegakkan.
Karakteristik dari erupsi kulit pada herpes zoster terdiri atas vesikel-vesikel
berkelompok, dengan dasar eritematosa, unilateral, dan mengenai satu dermatom.
Secara laboratorium, pemeriksaan sediaan apus tes Tzanck membantu
menegakkan diagnosis dengan menemukan sel datia berinti banyak. Demikian
pula pemeriksaan cairan vesikula atau material biopsi dengan mikroskop
elektron, serta tes serologik. Pada pemeriksaan histopatologi ditemukan
sebukan sel limfosit yang mencolok, nekrosis sel dan serabut saraf, proliferasi
endotel pembuluh darah kecil, hemoragi fokal dan inflamasi bungkus ganglion.
Partikel virus dapat dilihat dengan mikroskop elektron dan antigen virus herpes
zoster dapat dilihat secara imunofluoresensi. Apabila gejala klinis sangat jelas
tidaklah sulit untuk menegakkan diagnosis. Akan tetapi pada keadaan yang
meragukan diperlukan pemeriksaan penunjang antara lain:
1. Isolasi virus dengan kultur jaringan dan identifikasi morfologi dengan
mikroskop elektron
2. Pemeriksaan antigen dengan imunofluoresen
3. Tes serologi dengan mengukur imunoglobulin spesifik.
Terapi
Penatalaksaan herpes zoster bertujuan untuk:
1. Mengatasi infeksi virus akut
2. Mengatasi nyeri akut yang ditimbulkan oleh virus herpes zoster
3. Mencegah timbulnya neuralgia pasca herpetik.
Pengobatan Umum
Selama fase akut, pasien dianjurkan tidak keluar rumah, karena dapat menularkan
kepada orang lain yang belum pernah terinfeksi varisela dan orang dengan
defisiensi imun. Usahakan agar vesikel tidak pecah, misalnya jangan digaruk dan
pakai baju yang longgar. Untuk mencegah infeksi sekunder jaga kebersihan
badan.8
Pengobatan Khusus
1. Obat Antivirus
Obat yang biasa digunakan ialah asiklovir dan modifikasinya, misalnya
valasiklovir dan famsiklovir. Asiklovir bekerja sebagai inhibitor DNA
polimerase pada virus. Asiklovir dapat diberikan peroral ataupun intravena.
Asiklovir Sebaiknya pada 3 hari pertama sejak lesi muncul. Dosis asiklovir
peroral yang dianjurkan adalah 5×800 mg/hari selama 7 hari, sedangkan
melalui intravena biasanya hanya digunakan pada pasien yang
imunokompromise atau penderita yang tidak bisa minum obat. Obat lain yang
dapat
digunakan sebagai terapi herpes zoster adalah valasiklovir. Valasiklovir
diberikan 3×1000 mg/hari selama 7 hari, karena konsentrasi dalam plasma tinggi.
Selain itu famsiklovir juga dapat dipakai. Famsiklovir juga bekerja sebagai
inhibitor DNA polimerase. Famsiklovir diberikan 3×200 mg/hari selama 7
hari.
2. Analgetik
Analgetik diberikan untuk mengurangi neuralgia yang ditimbulkan oleh virus
herpes zoster. Obat yang biasa digunakan adalah asam mefenamat. Dosis asam
mefenamat adalah 1500 mg/hari diberikan sebanyak 3 kali, atau dapat juga
dipakai seperlunya ketika nyeri muncul.
3. Kortikosteroid
Indikasi pemberian kortikostreroid ialah untuk Sindrom Ramsay Hunt.
Pemberian harus sedini mungkin untuk mencegah terjadinya paralisis. Yang
biasa diberikan ialah prednison dengan dosis 3×20 mg/hari, setelah seminggu
dosis diturunkan secara bertahap. Dengan dosis prednison setinggi itu imunitas
akan tertekan sehingga lebih baik digabung dengan obat antivirus.
Pengobatan topikal
Pengobatan topikal bergantung pada stadiumnya. Jika masih stadium vesikel
diberikan bedak dengan tujuan protektif untuk mencegah pecahnya vesikel
agar tidak terjadi infeksi sekunder. Bila erosif diberikan kompres terbuka.
Kalau terjadi ulserasi dapat diberikan salap antibiotik.
Pada HZO dibutuhkan pengobatan yang agresif dan monitoring karena
kemungkinan keterlibatan infeksi mata. Keterlibatan infeksi pada mata terjadi
pada setengah dari herpes zoster ophtalmicus. Secara sederhana, keterlibatan
mata ditandai dengan adanya vesikel pada ujung hibung karena keterlibatan
cabang nasociliar (hukum Hutchinson)
Daftar Pustaka :
Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Primer, 2014.

5. Morbili tanpa Komplikasi


Tingkat Kemampuan 4A
Definisi
Morbili adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh virus Measles. Nama lain
dari penyakit ini adalah rubeola atau campak. Morbili merupakan penyakit yang
sangat infeksius dan menular lewat udara melalui aktivitas bernafas, batuk,
atau bersin. Pada bayi dan balita, morbili dapat menimbulkan komplikasi
yang fatal, seperti pneumonia dan ensefalitis.
Patofisiologi
Virus campak ditularkan lewat infeksi droplet lewat udara, menempel dan
berkembang biak pada epitel nasofaring. Tiga hari setelah invasi, replikasi dan
kolonisasi berlanjut pada kelenjar limfe regional dan terjadi viremia yang
pertama. Virus menyebar pada semua sistem retikuloendotelial dan menyusul
viremia kedua setelah 5-7 hari dari infeksi awal. Adanya giant cells dan proses
keradangan merupakan dasar patologik ruam dan infiltrat peribronchial paru.
Juga terdapat udema, bendungan dan perdarahan yang tersebar pada otak.
Kolonisasi dan penyebaran pada epitel dan kulit menyebabkan batuk, pilek, mata
merah (3 C : coryza, cough and conjuctivitis) dan demam yang makin lama
makin tinggi. Gejala panas, batuk, pilek makin lama makin berat dan pada
hari ke 10 sejak awal infeksi (pada hari penderita kontak dengan sumber infeksi)
mulai timbul ruam makulopapuler warna kemerahan.Virus dapat berkembang
juga pada susunan saraf pusat dan menimbulkan gejala klinik ensefalitis.
Setelah masa konvelesen pada turun dan hipervaskularisasi mereda dan
menyebabkan ruam menjadi makin gelap, berubah menjadi desquamasi dan
hiperpigmentasi. Proses ini disebabkan karena pada awalnya terdapat perdarahan
perivaskuler dan infiltrasi limfosit.
Manusia merupakan satu-satunya inang alamiah untuk virus campak,
walaupun banyak spesies lain, termasuk kera, anjing, tikus, dapat terinfeksi
secara percobaan. Virus masuk ke dalam tubuh melalui system pernafasan,
dimana mereka membelah diri secara setempat; kemudian infeksi menyebar ke
jaringan limfoid regional, dimana terjadi pembelahan diri selanjutnya. Viremia
primer menyebabkan virus, yang kemudian bereplikasi dalam system
retikuloendotelial. Akhirnya, viremia sekunder bersemai pada permukaan
epitel tubuh, termasuk kulit, saluran pernafasan, dan konjungtiva, dimana
terjadi replikaksi fokal. Campak dapat bereplikasi dalam limfosit tertentu, yang
membantu penyebarannya di seluruh tubuh. Sel datia berinti banyak dengan
inklusi intranuklir ditemukan dalam jaringan limfoid di seluruh tubuh
(limfonodus, tonsil, apendiks).
Peristiwa tersebut di atas terjadi selama masa inkubasi, yang secara khas
berlangsung 9- 11 hari tetapi dapat diperpanjang hingga 3 minggu pada orang
yang lebih tua. Mula timbul penyakit biasanya mendadak dan ditandai dengan
koriza (pilek), batuk, konjungtivitis, demam, dan bercak koplik dalam mulut.
Bercak koplik- patognomonik untuk campak- merupakan ulkus kecil, putih
kebiruan pada mukosa mulut, berlawanan dengan molar bawah. Bercak ini
mengandung sel datia, antigen virus, dan nukleokapsid virus yang dapat dikenali.
Selama fase prodromal, yang berlangsung 2- 14 hari, virus ditemukan dalam
air mata, sekresi hidung dan tenggorokan, urin, dan darah. Ruam
makulopopuler yang khas timbul setelah 14 hari tepat saat antibody yang beredar
dapat dideteksi, viremia hilang, dan demam turun. Ruam timbul sebagai
hasil interaksi sel T imun dengan sel terinfeksi virus dalam pembuluh darah kecil
dan berlangsung sekitar seminggu. Pada pasien dengan cacat imunitas
berperantara sel, tidak timbul ruam.
Anak- anak yang diimunisasi dengan vaksi campak yang diinaktivasi
kemudian dipaparkan dengan virus campak alamiah, dapat mengalami
sindroma yang disebut campak atipik. Prosedur inaktivasi yang digunakan dalam
produksi vaksin akan merusak imunogenisitas protein F virus; walaupun vaksin
mengembangkan respon antibody yang baik terhadap protein H, tanpa adanya
infeksi antibody F dapat dimulai dan virus dapat menyebar dari sel ke sel
melalui penyatuan. Keadaan ini akan cocok untuk reaksi patologik imun yang
dapat memperantarai campak atipik. Vaksin virus campak yang diinaktifkan
tampak digunakan lagi.
Manifestasi Klinis
Gejala eksantem berupa lesi makula dan papula eritem, dimulai pada kepala
pada daerah perbatasan dahi rambut, di belakang telinga, dan menyebar secara
sentrifugal dan ke bawah hingga muka, badan, ekstremitas, dan mencapai kaki.
Gambar 9. Campak/Morbili
Kriteria Diagnosis

Hasil Anamnesis (Subjective)


1. Gejala prodromal berupa demam, malaise, gejala respirasi atas (pilek,
batuk), dan konjungtivitis.
2. Pada demam hari keempat, biasanya muncul lesi makula dan papula eritem,
yang dimulai pada kepala daerah perbatasan dahi rambut, di belakang
telinga, dan menyebar secara sentrifugal ke bawah hingga muka, badan,
ekstremitas, dan mencapai kaki pada hari ketiga.
3. Masa inkubasi 10-15 hari.
4. Belum mendapat imunisasi campak
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)
1. Demam, konjungtivitis, limfadenopati general.
2. Pada orofaring ditemukan koplik spot sebelum munculnya eksantem.
3. Gejala eksantem berupa lesi makula dan papula eritem, dimulai pada kepala
pada daerah perbatasan dahi rambut, di belakang telinga, dan menyebar secara
sentrifugal dan ke bawah hingga muka, badan, ekstremitas, dan mencapai kaki
4. Pada hari ketiga, lesi ini perlahan-lahan menghilang dengan urutan sesuai
urutan muncul, dengan warna sisa coklat kekuningan atau deskuamasi
ringan. Eksantem hilang dalam 4-6 hari.
Tatalaksana
1. Terapi suportif diberikan dengan menjaga cairan tubuh dan mengganti cairan
yang hilang dari diare dan emesis.
2. Obat diberikan untuk gejala simptomatis, demam dengan antipiretik. Jika
terjadi infeksi bakteri sekunder, diberikan antibiotik.
3. Suplementasi vitamin A diberikan pada:
a. Bayi usia kurang dari 6 bulan 50.000 IU/hari PO diberi 2 dosis.
b. Usia 6-11 bulan 100.000 IU/hari PO 2 dosis.
c. Usia di atas 1 tahun 200.000 IU/hari PO 2 dosis.
d. Anak dengan tanda defisiensi vitamin A, 2 dosis pertama sesuai usia,
dilanjutkan dosis ketiga sesuai usia yang diberikan 2-4 minggu kemudian.

Konseling dan Edukasi


Edukasi keluarga dan pasien bahwa morbili merupakan penyakit yang
menular. Namun demikian, pada sebagian besar pasien infeksi dapat sembuh
sendiri, sehingga pengobatan bersifat suportif. Edukasi pentingnya
memperhatikan cairan yang hilang dari diare/emesis.
Untuk anggota keluarga/kontak yang rentan, dapat diberikan vaksin
campak atau human immunoglobulin untuk pencegahan. Vaksin efektif bila
diberikan dalam 3 hari terpapar dengan penderita. Imunoglobulin dapat diberikan
pada individu dengan gangguan imun, bayi usia 6 bulan - 1 tahun, bayi usia
kurang dari 6 bulan yang lahir dari ibu tanpa imunitas campak, dan wanita hamil.
Daftar Pustaka :
Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Primer, 2014.

6. Varisela tanpa Komplikasi


Tingkat Kemampuan 4A
Definisi
Varisela adalah suatu penyakit infeksi akut primer menular, disebabkan oleh
Varicella Zooster Virus (VZV), yang menyerang kulit dan mukosa dan ditandai
dengan adanya vesikel-vesikel.
Patofisiologi
Varicella disebabkan oleh VZV yang termasuk dalam famili virus herpes.
Virus masuk ke dalam tubuh manusia melalui mukosa saluran napas bagian
atas dan orofaring (percikan ludah, sputum). Multiplikasi virus di tempat tersebut
diikuti oleh penyebaran virus dalam jumlah sedikit melalui darah dan limfe
(viremia primer). Virus VZV dimusnahkan/ dimakan oleh sel-sel sistem
retikuloendotelial, di sini terjadi replikasi virus lebih banyak lagi (pada masa
inkubasi). Selama masa inkubasi infeksi virus dihambat sebagian oleh
mekanisme pertahanan tubuh dan respon yang timbul (imunitas nonspesifik).
Pada sebagian besar individu replikasi virus lebih menonjol atau lebih
dominan dibandingkan imunitas tubuhnya yang belum berkembang, sehingga
dalam waktu dua minggu setelah infeksi terjadi viremia sekunder dalam jumlah
yang lebih banyak. Hal ini menyebabkan panas dan malaise, serta virus menyebar
ke seluruh tubuh lewat aliran darah, terutama ke kulit dan membrane mukosa.
Lesi kulit muncul berturut-berturut, yang menunjukkan telah memasuki siklus
viremia, yang pada penderita yang normal dihentikan setelah sekitar 3 hari oleh
imunitas humoral dan imunitas seluler VZV. Virus beredar di leukosit
mononuklear, terutama pada limfosit. Bahkan pada varicella yang tidak disertai
komplikasi, hasil viremia sekunder menunjukkan adanya subklinis infeksi
pada banyak organ selain kulit.
Respon imun penderita menghentikan viremia dan menghambat
berlanjutnya lesi pada kulit dan organ lain. Imunitas humoral terhadap VZV
berfungsi protektif terhadap varicella. Pada orang yang terdeteksi memiliki
antibodi serum biasanya tidak selalu menjadi sakit setelah terkena paparan
eksogen. Sel mediasi imunitas untuk VZV juga berkembang selama varicella,
berlangsung selama bertahun-tahun, dan melindungi terhadap terjadinya resiko
infeksi yang berat.
Reaktivasi pada keadaan tubuh yang lemah sebagian idiopatik tanpa diketahui
penyebabnya, sebagian simptomatik (defisiensi imun melalui penyakit
system imun, neoplasia, supresi imun).
Manifestasi Klinis
Masa inkubasi penyakit ini berlangsung 14 sampai 21 hari. Masa inkubasi
dapat lebih lama pada pasien dengan defisiensi imun dan pada pasien yang
telah menerima pengobatan pasca paparan dengan produk yang mengandung
antibodi terhadap varicella.
Perjalanan penyakit dibagi menjadi 2 stadium yaitu stadium prodromal dan
stadium erupsi. Stadium prodromal yaitu 24 jam sebelum kelainan kulit timbul,
terdapat gejala seperti demam, malaise, kadang-kadang terdapat kelainan
scarlatinaform atau morbiliform. Stadium erupsi dimulai dengan terjadinya papul
merah, kecil, yang berubah menjadi vesikel yang berisi cairan jernih dan
mempunyai dasar eritematous. Permukaan vesikel tidak memperlihatkan
cekungan ditengah (unumbilicated).
Gejala klinis mulai gejala prodromal, yakni demam yang tidak terlalu tinggi,
malaise dan nyeri kepala, kemudian disusul timbulnya erupsi kulit berupa
papul eritematosa yang dalam waktu beberapa jam berubah menjadi vesikel.
Bentuk vesikel ini khas berupa tetesan embun (tear drops). Vesikel akan berubah
menjadi keruh (pustul) dalam waktu 24 jam dan kemudian pecah menjadi krusta.
Biasanya vesikel menjadi kering sebelum isinya menjadi keruh. Sementara
proses ini berlangsung, dalam 3-4 hari erupsi tersebar disertai perasaan gatal.
Timbul lagi vesikel-vesikel yang baru di sekitar vesikula yang lama, sehingga
menimbulkan gambaran polimorfi. Stadium erupsi yang seperti ini disebut
sebagai stadium erupsi bergelombang.
Gambaran dari lesi varicella berkembang secara cepat, yaitu lebih kurang
dari 12 jam, dimana mula-mula berupa makula eritematosa yang berkembang
menjadi papul, vesikel, pustul, dan krusta. Vesikel dari varicella berdiameter 2-
3 mm, dan berbentuk elips, dengan aksis panjangnya sejajar dengan lipatan kulit.
Vesikel biasanya superfisial dan berdinding tipis, dan dikelilingi daerah
eritematosa sehingga tampak terlihat seperti “embun di atas daun mawar”. Cairan
vesikel cepat menjadi keruh karena masuknya sel radang, sehingga mengubah
vesikel menjadi pustul. Lesi kemudian mengering, mula-mula di bagian tengah
sehingga menyebabkan umbilikasi dan kemudian menjadi krusta. Krusta akan
lepas dalam 1-3 minggu, meninggalkan bekas bekas cekung kemerahan yang
akan berangsur menghilang. Apabila terjadi superinfeksi dari bakteri maka dapat
terbentuk jaringan parut. Lesi yang telah
menyembuh dapat meninggalkan bercak hipopigmentasi yang dapat menetap
selama beberapa minggu/bulan.
Vesikel juga terdapat di mukosa mulut, hidung, faring, laring, trakea,
saluran cerna, kandung kemih, dan vagina. Vesikel di mukosa ini cepat pecah
sehingga seringkali terlihat sebagai ulkus dangkal berdiameter 2-3 mm.

Gambar 10. Varisela

Kriteria Diagnosis
Varicella biasanya mudah didiagnosa berdasarkan gambaran klinis yaitu
penampilan dan perubahan pada karakteristik dari ruam yang timbul, terutama
apabila ada riwayat terpapar varicella 2-3 minggu sebelumnya.
Varicella khas ditandai dengan erupsi papulovesikuler setelah fase
prodromal ringan atau bahkan tanpa fase prodromal, dengan disertai panas
dan gejala konstitusi ringan. Gambaran lesi bergelombang, polimorfi dengan
penyebaran sentrifugal. Sering ditemukan lesi pada membrane mukosa.
Penularannya berlangsung cepat.
Diagnosis laboratorik sama seperti pada herpes zoster yaitu dengan
pemeriksaan sediaan hapus secara Tzanck (deteksi sel raksasa dengan banyak
nucleus/inti), pemeriksaan mikroskop electron cairan vesikel (deteksi virus
secara langsung) dan material biopsi (kultur), dan tes serologik (meningkatnya
titer).
Tatalaksana
Tidak ada terapi spesifik terhadap varicella. Pengobatan bersifat
simptomatik dengan antipiretik dan analgesik. Untuk panasnya dapat diberikan
asetosal atau antipiretik lain seperti asetaminofen dan metampiron. Untuk
menghilangkan rasa gatal dapat diberikan antihistamin oral atau sedative. Topikal
diberikan bedak yang ditambah zat anti gatal (mentol, kamfora) seperti bedak
salisilat 1-2% atau lotio kalamin untuk mencegah pecahnya vesikel secara
dini serta menghilangkan rasa gatal. Jika timbul infeksi sekunder dapat diberikan
antibiotika berupa salep dan oral. Dapat pula diberikan obat antivirus. VZIG
(varicella zoster immunoglobuline) dapat mencegah atau meringankan varicella,
diberikan intramuscular dalam 4 hari setelah terpajan. Yang penting pada
penyakit virus, umumnya adalah istirahat / tirah baring.
Pengobatan secara sistemik dapat dengan memberikan antivirus. Beberapa
analog nukleosida seperti acyclovir, famciclovir, valacyclovir, dan brivudin,
dan analog pyrophosphate foskarnet terbukti efektif untuk mengobati infeksi
VZV. Acyclovir adalah suatu analog guanosin yang secara selektif difosforilasi
oleh timidin kinase VZV sehingga terkonsentrasi pada sel yang terinfeksi.
Enzim-enzim selular kemudian mengubah acyclovir monofosfat menjadi trifosfat
yang mengganggu sintesis DNA virus dengan menghambat DNA polimerase
virus. VZV kira-kira sepuluh kali lipat kurang sensitif terhadap acyclovir
dibandingkan HSV.
Valacyclovir dan famcyclovir, merupakan prodrug dari acyclovir yang
mempunyai bioavaibilitas oral lebih baik daripada acyclovir sehingga kadar
dalam darah lebih tinggi dan frekuensi pemberian obat berkurang.
Anti virus pada anak dengan pengobatan dini varicella dengan pemberian
acyclovir (dalam 24 jam setelah timbul ruam) pada anak imunokompeten berusia
2-12 tahun dengan dosis 4 x 20 mg/kgBB/hari selama 7 hari menurunkan jumlah
lesi, penghentian terbentuknya lesi yang baru, dan menurunkan timbulnya ruam,
demam, dan gejala konstitusi bila dibandingkan dengan placebo. Tetapi apabila
pengobatan dimulai lebih dari 24 jam setelah timbulnya ruam cenderung tidak
efektif lagi. Hal ini disebabkan karena varicella merupakan infeksi yang
relatif ringan pada anak-anak dan manfaat
klinis dari terapi tidak terlalu bagus, sehingga tidak memerlukan pengobatan
acyclovir secara rutin. Namun pada keadaan dimana harga obat tidak menjadi
masalah, dan kalau pengobatan bisa dimulai pada waktu yang menguntungkan
(dalam 24 jam setelah timbul ruam), dan ada kebutuhan untuk mempercepat
penyembuhan sehingga orang tua pasien dapat kembali bekerja, maka obat
antivirus dapat diberikan.
Pada remaja dan dewasa, pengobatan dini varicella dengan pemberian
acyclovir dengan dosis 5 x 800 mg selama 7 hari menurunkan jumlah lesi,
penghentian terbentuknya lesi yang baru, dan menurunkan timbulnya ruam,
demam, dan gejala konstitusi, pada orang dewasa muda yang sehat dengan
varicella menunjukkan bahwa pengobatan dini (dalam waktu 24 jam setelah
timbulnya ruam) dengan acyclovir oral (5x800 mg selama 7 hari) secara
signifikan mengurangi terbentuknya lesi yang baru, mengurangi luasnya lesi
yang terbentuk, dan menurunkan gejala dan demam. Dengan demikian,
pengobatan rutin dari varicella pada orang dewasa tampaknya masuk akal.
Meskipun tidak diuji, ada kemungkinan bahwa famciclovir, yang diberikan
dengan dosis 200 mg per oral setiap 8 jam, atau valacyclovir dengan dosis
1000 mg per oral setiap 8 jam mudah dan tepat sebagai pengganti acyclovir
pada remaja normal dan dewasa.
Daftar Pustaka :
Shulkhy N.H. Varicella Zoster. Jawa Timur : RSUD DR Soeroto Ngawi, 2014.

7. Herpes Simpleks tanpa Komplikasi


Tingkat Kemampuan 4A
Definisi
Herpes simpleks adalah infeksi akut yang disebabkan oleh virus herpes
simpleks (virus herpes hominis) tipe 1 atau tipe 2 yang ditandai oleh adanya
vesikel yang berkelompok di atas kulit eritematosa pada daerah dekat
mukokutan, sedangkan infeksi dapat berlangsung baik primer maupun
rekurens.
Virus herpes simpleks tipe 1 sebagian besar terkait dengan penyakit
orofacial, sedangkan virus herpes simpleks tipe 2 biasanya terkait dengan
infeksi perigenital. Tetapi, keduanya dapat menginfeksi daerah oral dan genital.
Patofisiologi
Infeksi virus Herpes simpleks ditularkan oleh dua spesies virus, yaitu virus
Herpes simpleks-I (HSV-1) dan virus Herpes simpleks II (HSV-2). Virus ini
merupakan kelompok virus DNA rantai ganda. Infeksi terjadi melalui kontak
kulit secara langsung dengan orang yang terinfeksi virus tersebut. Transmisi tidak
hanya terjadi pada saat gejala manifestasi HSV muncul, akan tetapi dapat juga
berasal dari virus shedding dari kulit dalam keadaan asimptomatis.
Pada infeksi primer, kedua virus Herpeks simpleks , HSV 1 dan HSV-2
bertahan di ganglia saraf sensoris . Virus kemudian akan mengalami masa
laten, dimana pada masa ini virus Herpes simpleks inib tidak menghasilkan
protein virus, oleh karena itu virus tidak dapat terdeteksi oleh mekanisme
pertahanan tubuh host. Setelah masa laten, virus bereplikasi disepanjang
serabut saraf perifer dan dapat menyebabkan infeksi berulang pada kulit atau
mukosa.
Virus Herpes simpleks ini dapat ditularkan melalui sekret kelenjar dan secret
genital dari individu yang asimptomatik, terutama di bulan-bulan setelah episode
pertama penyakit, meskipun jumlah dari lesi aktif 100-1000 kali lebih besar.

Gambar 11. Herpes labialis


Herpes simpleks virus sangat menular dan disebarkan langsung oleh kontak
dengan individu yang terinfeksi virus tersebut. Virus Herpes simpleks ini dapat
menembus epidermis atau mukosa dan bereplikasi di dalam sel epitel.
Virus Herpes simpleks 1 (HSV-1) biasanya menyerang daerah wajah (non
genitalia) dan virus Herpes simpleks 2 (HSV-2) biasanya menyerang alat
kelamin. perubahan patologis sel epidermis merupakan hasil invasi virus
herpes dalam vesikel intraepidermal dan multinukleat sel raksasa. Sel yang
terinfeksi mungkin menunjukkan inklusi intranuklear.
Manifestasi Klinis
Infeksi primer pada HSV yaitu mereka yang tanpa adanya kekebalan baik
terhadap HSV-1 atau HSV-2 dan sering subklinis. Namun bila lesi klinis
berkembang, biasanya lebih parah, dan lebih sering dengan tanda dan gejala
sistemik,dan mereka memiliki tingkat komplikasi yang lebih tinggi dari infeksi
rekuren. Infeksi genital primer lebih sering bergejala dibandingkan dengan oral.
Pada infeksi primer, gejala biasanya terjadi dalam waktu 3 sampai 7 hari
setelah terpapar dengan masa inkubasi selama 2 sampai 20 hari. Gejala prodromal
seperti limfadenopati, malaise, anoreksia dan demam, serta nyeri setempat,
pembengkakan dan rasa terbakar sering terjadi sebelum timbulnya lesi
mukokutan. Awalnya nyeri, kadang-kadang terpusat, vesikel pada dasar
eritematous kemudian muncul, diikuti dengan adanya pustul dan ulserasi.
Beberapa vesikel berkelompok dan tersebar. Terbentuk krusta dan gejala
resolusi muncul dalam waktu 2 sampai 6 minggu. Gejala prodromal serupa
dapat mendahului lesi rekuren, tetapi yang terakhir sering mengalami
penurunan dalam jumlah, tingkat keparahan dan durasi dibandingkan dengan
infeksi primer.
Gambar 12. Herpes Simpleks

Kriteria Diagnosis
Dalam kebanyakan kasus, diagnosis didasarkan pada karakteristik tampilan
klinis lesi. Diagnosis klinis dapat dibuat secara akurat ketika beberapa
karakteristik lesi vesikuler pada dasar eritema dan bersifat rekuren. Namun,
ulserasi herpes dapat menyerupai ulserasi kulit dengan etiologi lainnya. Infeksi
mukosa HSV juga dapat hadir sebagai uretritis atau faringitis tanpa lesi kulit.
Tanda-tanda dan simptom yang berhubungan dengan HSV-II dapat sangat
berbeda-beda. Ketersediaan pelayanan kesehatan dapat mendiagnosa herpes
genital dengan inspeksi visual jika perjangkitannya khas, dan dengan
mengambil sampel dari luka kemudian mengetesnya di laboratorium. Tes darah
untuk mendeteksi infeksi HSV-I atau HSV-II, meskipun hasil-hasilnya tidak
selalu jelas. Kultur dikerjakan dengan kerokan untuk memperoleh material
yang akan dipelajari dari luka yang dicurigai sebagai herpes.

Tatalaksana
Pasien dengan herpes genital harus dinasehati untuk menghindari hubungan
seksual selama gejala muncul dan selama 1 sampai 2 hari setelahnya dan
menggunakan kondom antara perjangkitan gejala. Terapi antiviral
supressidapat menjadi pilihan untuk individu yang peduli transmisi pada
pasangannya.
Agen Antiviral
Pengobatan dapat mengurangi simptom, mengurangi nyeri dan ketidak
nyamanan secara cepat yang berhubungan dengan perjangkitan, serta dapat
mempercepat waktu penyembuhan. Tiga agen oral yang akhir-akhir ini
diresepkan, yaitu Acyclovir, Famciclovir, dan Valacyclovir. Ketiga obat ini
mencegah multiplikasi virus dan memperpendek lama erupsi. Pengobatan
peroral, dan pada kasus berat secara intravena adalah lebih efektif. Pengobatan
hanya untuk menurunkan durasi perjangkitan.
Acyclovir menghambat aktivitas HSV 1 dan HSV-2. Pasien mengalami rasa
sakit yang lebih kurang dan resolusi yang lebih cepat dari lesi kulit bila
digunakan dalam waktu 48 jam dari onset ruam. Mungkin dapat mencegah
rekurensi.
 Infeksi Primer HSV: 200 mg peroral 5 kali/hari untuk 10 hari atau 5
mg/kg/hari IV setiap 8 jam.
 Herpes oral atau genital rekuren : 200 mg peroral 5 kali/hari untuk 5 hari
(non-FDA : 400 mg peroral 3 kali/hari untuk 5 hari)
 Supresi herpes genital : 400 mg peroral 2 kali/hari
 Disseminated disease: 5-10 mg/kg IV setiap 8 jam untuk 7 hari jika >12
tahun.
Famciclovir
 Herpes labialis rekuren : 1500 mg peroral dosis tunggal pada saat onset
gejala.
 Episode primer herpes Genitalis :250 mg peroral 3 kali/hari selama10 hari
 Episode primer herpes Genitalis :1000 mg peroral setiap 12 jam selama 24
jam pada saat onst gejala (dalam 6 hari gejala pertama)
 Supressi jangka panjang: 250 mg peroral 2kali/hari
 HIV-positive individuals dengan infeksi HSV orolabial atau genital
rekuren : 500 mg peroral 2 kali/hari untuk 7 hari (sesuaikan dosis untuk
insufisiensi ginjal)
 Supresi herpes simplex genital rekuren (pasien terinfeksi HIV): 500 mg
peroral 2 kali/hari
Valacyclovir
 Herpes labialis: 2000 mg peroral setiap 12 jam selama 24 jam (harus
diberikan pada gejala pertama/prodromal)
 Genital herpes, episode primer: 1000 mg peroral 2 kali/hari selama 10
hari.
 Herpes genital rekuren: 500 mg peroral 2 kali/hari selama 3 hari.
Suppressi herpes Genital (9 atau lebih rekurensi per tahun atau HIV-
positif): 500 mg peroral 1 kali/hari.
 Herpes simplex genital rekuren , suppressi( pasien terinfeksi HIV): 500
mg peroral 2 kali/hari, jika >9 rekurensi pertahun : 1000 mg peroral
peroral 1 kali/hari.
Foscarnet
 HSV resisten Acyclovir: 40 mg/kg IV setiap 8-10 jam selama 10-21 hari
 Mucocutaneous, resisten acyclovir: 40 mg/kg IV, selama 1 jam, setiap 8-
12 jam selama 2-3 minggu atau hingga sembuh.
Topikal
Penciclovir krim 1% (tiap 2 jam selama 4 hari) atau Acyclovir krim 5% (5
kali sehari selama 5 hari). Idealnya, krim ini digunakan 1 jam setelah
munculnya gejala, meskipun juga pemberian yang terlambat juga dilaporkan
masih efektif dalam mengurangi gejala serta membatasi perluasan daerah lesi.
Daftar Pustaka :
Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Primer, 2014.

8. Impetigo
Tingkat Kemampuan 4A
Definisi
Impetigo krustosa (impetigo contagiosa) adalah peradangan yang
memberikan gambaran vesikel yang dengan cepat berubah menjadi pustul dan
pecah sehingga menjadi krusta kering kekuningan seperti madu. Predileksi
spesifik lesi terdapat di sekitar lubang hidung, mulut, telinga atau anus.
Impetigo bulosa adalah peradangan yang memberikan gambaran
vesikobulosa dengan lesi bula hipopion (bula berisi pus).
Patofisiologi
Pada impetigo bulosa, epidermis terpisah tepat di bagian bawah stratum
granulosum sehingga membentuk bulla yang berukuran besar yang terletak
pada bagian superfisial kulit. Neutrofil berpindah melalui epidermis spongiotik
ke dalam bulla, yang juga mungkin mengandung Staphylococcus aureus.
Kadang-kadang sel akantolitik terlihat yang mungkin disebabkan oleh reaksi dari
neutrofil. Bagian atas dermis mengandung neutrofil dan limfosit yang
merupakan infiltrat inflamasi.
Toksin eksfoliatif (TE) yang dihasilkan oleh Staphylococcus aureus bekerja
seperti molekul spesifik pengurai Desmoglein 1 (Dsg1) dan secara langsung
menguraikan (memotong) Dsg1 tetapi tidak dapat bekerja menguraikan
Desmoglein 3 (Dsg3). Proses ini menyebabkan munculnya bula hanya di
permukaan epidermis, tidak sampai ke lapisan kulit yang lebih dalam karena
adanya mekanisme kompensasi oleh Dsg3 di lapisan kulit yang lebih dalam.
Manifestasi Klinis
Impetigo bulosa paling sering terjadi pada neonatus dan bayi, dan ciri
khasnya adalah pertumbuhan cepat vesikel menjadi bula yang lunak. Bula
biasanya muncul di area kulit yang normal. Nicolsky sign (kulit yang tampak
normal akan terkelupas jika kulit tersebut ditekan dan digeser) negatif. Pada
umumnya bula terdiri atas cairan kuning yang jernih yang kemudian menjadi
berwarna kuning gelap dan keruh, berbatas tegas dan tidak dikelilingi oleh
eritem. Bula terdapat di permukaan kulit, dan dalam satu atau dua hari bula
tersebut akan pecah dan kolaps sehingga membentuk krusta yang tipis dan
berwarna cokelat terang hingga kuning emas.
Gambar 13. Impetigo bulosa dan krustosa

Bula yang kurang cepat pecah akan menjadi jauh lebih besar, umumnya
berdiameter 1-2 cm bahkan dapat berukuran sangat besar dan bertahan 2 atau 3
hari. Bula yang utuh mengandung Staphylococcus. Setelah bula pecah, akan
terbentuk krusta yang tipis, datar, dan kecokelatan. Krusta ini jika disingkirkan
akan memperlihatkan dasar yang merah dan basah. Central healing dan extensi
perifer dapat memberikan bentuk lesi sirsinar. Meskipun lesi paling sering ada di
wajah, lesi dapat muncul di mana saja, dan mungkin secara luas dan tidak merata
lokalisasinya, sering pada area kulit yang telah ada lesi akibat penyakit lain
sebelumnya, misalnya miliaria atau cedera ringan seperti gigitan serangga.
Membran mukosa pipi juga dapat terlibat. Umumnya, jumlah lesi sedikit,
namun gambarannya sangat bervariasi. Adenitis regional jarang terjadi.
Pada impetigo bulosa, predileksi tersering adalah di ketiak, dada, punggung.
Sering bersama-sama dengan miliaria. Kelainan pada kulit berupa eritema,
bula, dan bula hipopion. Kadang-kadang waktu penderita datang berobat,
vesikel/bula telah pecah sehingga yang tampak hanya koleret dan dasarnya masih
eritematosa.
Kriteria Diagnosis
a. Anamnesis
Pada pasien dengan impetigo bulosa bisa ditanyakan tempat timbulnya
bula. Biasanya bula pada impetigo bulosa timbul pada ketiak, dada, punggung,
dan ekstermitas atas dan bawah. Hendaknya pula ditanyakan apakah
sebelumnya terdapat lepuh. Jika ada, diagnosisnya ialah impetigo bulosa.
Pemeriksaan Fisis
Dilakukan inspeksi pada bagian-bagian badan tempat timbulnya bula.
Pada hasil inspeksi bisa didapatkan cairan bening atau keruh pada bula dengan
dinding tebal dan tipis, miliar hingga lentikular, kulit sekitarnya tidak
menunjukan peradangan, kadang-kadang tampak hipopion. Pada palpasi bula
bisa didapatkan permukaan bula yang tegang.
Tatalaksana
Non-medikamentosa : Memperbaiki higiene penderita dan lingkungan.
Medikamentosa :
1. Topikal :
- Membersihkan lesi dengan antiseptik. Bila basah, lesi dikompres
dengan larutan permanganas kalikus 1/10.000 atau NaCl 0,9%. Jika
kering, lesi diolesi dengan salep yang mengandung mupirosin atau
asam fusidat atau pun gentamisin.
2. Sistemik :
Lini Pertama :
- Kloksasilin 50-100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2-4 dosis,
- Dikloksasilin 25-50 mg/kgBB/hari, atau
- Floksasilin
 Amoxicillin + asam clavulanate ; cephalexin 25 mg/kgBB; 250-500 mg

Lini kedua (jika alergi Penisilin) :


 Azithromycin 500 mg x 1, kemudian 250 mg/hari selama 4 hari
 Clindamycin 15 mg/kgBB
 Erythromycin 250-500 mg selama 5-7 hari.
Daftar Pustaka :
Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Primer, 2014.

9. Impetigo Ulseratif (Ektima)


Tingkat Kemampuan 4A
Definisi
Ektima adalah peradangan yang menimbulkan kehilangan jaringan dermis
bagian atas (ulkus dangkal). Ektima adalah pioderma ulseratif kulit yang
umumnya disebabkan oleh Streptococcus atau Staphylococcus atau kombinasi
dari keduanya. Menyerang epidermis dan dermis membentuk ulkus dangkal
yang ditutupi oleh krusta berlapis, biasanya terdapat pada tungkai bawah.
Ektima termasuk pioderma kutaneus dengan karakteristik krusta tebal dan
adanya ulkus maupun erosi. Faktor predisposisi yang dapat menyebabkan
timbulnya penyakit ini adalah hygiene yang kurang, malnutrisi dan trauma.
Patofisiologi
Seperti halnya Staphylococcus aureus, Streptococcus sp. Juga terkenal
sebagai bakteri patogen untuk kulit. Streptococcus Grup A, B, C, D, dan G
merupakan bakteri patogen yang paling sering ditemukan pada manusia.
Kandungan M-protein pada bakteri ini menyebabkan bakteri ini resisten terhadap
fagositosis. Staphylococcus aureus dan Staphylococcus pyogenes
menghasilkan beberapa toksin yang dapat menyebabkan kerusakan lokal atau
gejala sistemik.
Impetigo yang disebabkan oleh streptococcus dan staphylococcus yang
tidak diterapi bisa menyerang ke lapisan kulit lebih dalam. Melalui penetrasi ke
lapisan epidermis, sehingga menyebabkan ulkus yang dangkal dengan krusta
diatasnya. Lesi ektima bisa mengikuti lesi awal pioderma, bisa juga tanpa
didahului lesi dermatosis.
Faktor host seperti immunosuppresi, terapi glukokortikoid, dan atopic
memainkan peranan penting dalam pathogenesis dari infeksi Staphylococcus.
Adanya trauma ataupun inflamasi dari jaringan (luka bedah, luka bakar,
trauma, dermatitis, benda asing) juga menjadi faktor yang berpengaruh pada
pathogenesis dari penyakit yang disebabkan oleh bakteri ini.
Manifestasi Klinis
Penyakit ini dimulai dengan suatu vesikel atau pustul di atas kulit yang
eritematosa, membesar dan pecah (diameter 0,5 – 3 cm) dan beberapa hari
kemudian terbentuk krusta tebal dan kering yang sukar dilepas dari dasarnya.
Biasanya terdapat kurang lebih 10 lesi yang muncul. Bila krusta terlepas,
tertinggal ulkus superficial dengan gambaran “punched out appearance” atau
berbentuk cawan dengan dasar merah dan tepi meninggi. Lesi cenderung menjadi
sembuh setelah beberapa minggu dan meninggalkan sikatriks. Biasanya
lesi dapat ditemukan pada daerah ekstremitas bawah.
Gambar 14. Lesi tipikal ektima pada ektremitas bawah
Kriteria Diagnosis
Tampak sebagai krusta tebal berwarna kuning, biasanya berlokasi di tungkai
bawah, yaitu tempat yang relatif banyak mendapat trauma. Jika krusta diangkat
ternyata lekat dan tampak ulkus yang dangkal.
Tempat predileksi ektima pada ekstremitas bawah, sering menyerang anak-
anak, orang-orang tua yang kurang memperhatikan kebersihan, serta bisa juga
pada pasien-pasien diabetes. Lesi ektima yang tidak diterapi akan meluas
dalam minggu maupun bulan. Diameternya sekitar dua sampai tiga sentimeter.
Tatalaksana
1. Nonfarmakologi
Pengobatan ektima tanpa obat dapat berupa mandi menggunakan sabun
antibakteri dan sering mengganti seprei, handuk, dan pakaian. Menghindari
tempat-tempat yang memungkinkan di gigit serangga.
2. Farmakologi
Sistemik
1. Pengobatan lini pertama
a. Dewasa: Dikloksasilin 4 x 250 - 500 mg selama 5 - 7 hari.
Anak: 5 - 15 mg/kgBB/dosis, 3 - 4 kali/hari.
b. Amoksisilin + Asam klavulanat 3 x 25 mg/kgBB
c. Penicillin V 4 x 250 - 500 mg selama 5 - 7 hari
2. Pengobatan lini kedua
a. Azitromisin 1 x 500 mg, kemudian 1 x 250 mg selama 4 hari
b. Klindamisin 15 mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis selama 10 hari
c. Dewasa: Eritomisin 4 x 250 - 500 mg selama 5 - 7 hari.
Anak: 12,5 - 50 mg/kgBB/dosis, 4 kali/hari.
Topikal
Pengobatan topikal digunakan jika infeksi terlokalisir, tetapi jika luas
maka digunakan pengobatan sistemik. Asam fusidat 2%, Mupirosin, dan
Basitrasin merupakan antibiotik yang dapat digunakan secara topikal.
Edukasi
Memberi pengertian kepada pasien tentang pentingnya menjaga kebersihan
badan dan lingkungan untuk mencegah timbulnya dan penularan penyakit kulit.
Daftar Pustaka :
Pridianto F.A. Ektima. Surabaya : Universitas Kedokteran Hang Tuah, 2012.
Diunduh pada : https://id.scribd.com/document/169616069/referat-ektima, 29
Januari 2017.

10. Folikulitis Superfisialis


Tingkat Kemampuan 4A
Definisi
Folikulitis adalah peradangan pada selubung akar rambut( folikel)
yangumumnya di sebabkan oleh bakteri staphylococcus aureus. Folikulitis
timbul sebagaibintik-bintik kecil di sekeliling folikel rambut. Sebagian besar
infeksi hanya superfisial,yang hanya mempengaruhi bagian atas folikelnya.
Biasanya gatal dan jarangmenimbulkan keluhan sakit. Folikulitis dapat terjadi
hampir pada seluruh tubuh dimanalebih sering terjadi pada kulit kepala, dagu,
ketiak dan extremitas. Folikulitis seringkali diawali dengan kerusakan folikel
rambut sebagai akibat dari penyumbatan folikel rambut,gesekan pakaian ataupun
bercukur. Sekali cedera folikel akan lebih mudah terinfeksioleh bakteri, ragi,
ataupun jamur.
Patofisiologi
Setiap rambut tumbuh dari folikel, yang merupakan suatu kantung kecil di
bawah kulit. Selain menutupi seluruh kulit kepala, folikel juga terdapat pada
seluruh tubuh. kecuali pada telapak tangan, telapak kaki dan membrane
mukosa bibir. Folikulitis bisa disebabkan oleh karena minyak ataupun pelumas
dan keringat berlebihan yang menutupi dan menyumbat saluran folikel rambut.
Bisa juga di sebabkan oleh gesekan saat bercukur atau gesekan pakaian pada
folikel rambut maupun trauma atau luka pada kulit. Hal ini merupakan port de
entry dari berbagai mikroorganisme terutama Staphylococcus aureus sebagai
penyebab folikulitis. Kebersihan yang kurang danhigiene yang buruk menjadi
faktor pemicu dari timbulnya folikulitis, sedangkan keadaanlelah, kurang gizi dan
Diabetes melitus merupan faktor yang mempercepat atau memperberat folikulitis
ini.
Manifestasi Klinis
Folikulitis Superfisialis adalah radang folikel rambut dengan pustul
berdinding tipis pada orifisium folikel yang terbatas pada epidermis. Tempat
predileksi ditungkai bawah. Kelainan berupa papul atau pustul yang
eritematosa dan ditengahnya terdapat rambut, biasanya multipel.

Gambar 15. Folikulitis Superfisial

Kriteria Diagnosis
Secara umum folikulitis menimmbulkan rasa gatal seperti terbakar pada
daerah rambut. Gejala konstitusional yang sedang juga dapat muncul pada
folikulitis seperti badan panas, malaise dan mual. Pada folikulitis superfisialis
gambaran klinisnya ditandai dengan timbulnya rasa gatal dan agak nyeri, tetapi
biasanya tidak terlalu menyakitkan hanya seperti gigitan serangga, tergores
atau akibat garukan dan trauma kulit lainnya.
Kelainan di kulitnya dapat berupa papul atau pustul yang erimatosa yang
dan di tengahnya terdapat rambut dan biasanya multiple serta adanya krusta di
sekitar daerah inflamasi. Tempat predileksi biasanya pada tungkai bawah.
Folikulitis superfisialis ini dapat sembuh sendiri setelah beberapa hari tanpa
meninggalkan jaringan parut.
Tatalaksana
Folikulitis kadang dapat sembuh sendiri setelah dua atau tiga hari, tetapi
pada beberapa kasus yang persisten dan rekuren perlu penanganan.
1. Umum
Cukup dengan menjaga kebersihan diri terutama kulit, menghindari garukan
dan faktor pencetus seperti gesekan pakaian atau mencukur dan luka atau trauma.
2. Khusus, terbagi 2 yaitu secara tropikal dan secara sistemik.
 Topikal, dapat di berikan antibiotik misalnya
1. Kemicetin salap 2 %
2. Kompres PK 1/ 5000 solusio sodium chloride 0,9 %( jika ada eksudasi)
3. Salep natrium fusidat.
 Sistemik, dapat diberikan :
Antibiotik (umumnya di berikan 7 – 10 hari) misalnya :
1. Penisilin dan semisintetiknya.
a. Penisilin G prokain injeksi 0,6 – 1,2 juta IU, IM selama 7 – 14 hari, 1 – 2
kali/ hari.
b. Ampisilin 250 – 500 mg/ dosis, 4 kali/ hari
c. Amoksisilin, 250 – 500 mg/ dosis, 3 kali/ hari
d. Kloksasilin (untuk staphylococcus yang kebal penisilin),dosis 250-500
mg, 4x/ hari.
e. Dikloksasilin (staphylococcus yang kebal penisilin), dosis 125-250 mg,
3-4x/ hari.
2. Eritromisin 250-500 mg 3-4 kali/ hari(dewasa) dan 12, 5 – 25 mg/kbBB/
dosis 3-4 kali/ hari(anak).
3. Klindamisin 150-300 mg 3-4 kali/ hari (dewasa) dan 8 – 20 mg/ kgBB/
dosis 3- 4 kali/ hari(anak).
Penggunaan antiseptik dapat di berikan sebagai terapi tambahan (misalnya
Chlorhexidine) tetapi jangan di gunakan tanpa pemberian antibiotik sistemik.
Dianjurkan pemberian antibiotik sistemik dengan harapan dapat mencegah
terjadinya infeksi kronik.
Daftar Pustaka :
Malik R. Foikulitis Superfisial. Sumatera Utara : Ilmu Penyakit Kulit Dan
Kelamin Fakultas Kedokteran Univ Baiturrahmah RSU dr. Pirngadi Medan,
2011. Diunduh pada : https://id.scribd.com/doc/73463927/FOLIKULITIS-M-
Rifkind, 29 Januari 2017.

11. Furunkel, Karbunkel


Tingkat Kemampuan 4A
Definisi
Furunkel adalah peradangan pada folikel rambut dan jaringan subkutan
sekitarnya. Furunkel dapat terbentuk pada lebih dari satu tempat. Jika lebih dari
satu tempat disebut furunkulosis. Furunkulosis dapat disebabkan oleh berbagai
faktor antara lain akibat iritasi, kebersihan yang kurang, dan daya tahan
tubuhyang kurang. Infeksi dimulai dengan adanya peradangan pada folikel
rambut dikulit (folikulitis), kemudian menyebar kejaringan sekitarnya.
Karbunkel adalah satu kelompok beberapa folikel rambut yang terinfeksi
oleh Staphylococcusaureus,yang disertai oleh keradangan daerah sekitarnya
dan juga jaringan dibawahnya termasuk lemak bawah kulit.
Patofisiologi
Kulit memiliki flora normal, salah satunya S.aureus yang merupakan
floraresiden pada permukaan kulit dan kadang-kadang pada tenggorokan dan
saluran hidung. Predileksi terbesar penyakit ini pada wajah, leher, ketiak,
pantat atau paha. Bakteri tersebut masuk melalui luka, goresan, robekan dan
iritasi pada kulit. Selanjutnya, bakteri tersebut berkolonisasi di jaringan kulit.
Respon primer host terhadap infeksi S.aureus adalah pengerahan sel PMN ke
tempat masuk kuman tersebut untuk melawan infeksi yang terjadi. Sel PMN ini
ditarik ke tempat infeksi oleh komponen bakteri seperti formylated peptides
atau peptidoglikan dan sitokin TNF (tumor necrosis factor) dan interleukin (IL)
1 dan 6 yang dikeluarkan oleh sel endotel dan makrofag yang teraktivasi. Hal
tersebut menimbulkan inflamasi dan pada akhirnya membentuk pus yang
terdiri dari sel darah putih, bakteri dansel kulit yang mati.
Manifestasi Klinis
Mula-mula nodul kecil yang mengalami peradangan pada folikel
rambut,kemudian menjadi pustule dan mengalami nekrosis dan menyembuh
setelah pus keluar dengan meninggalkan sikatriks. Awal juga dapat berupa
makula eritematosa lentikular setempat, kemudian menjadi nodula lentikular
setempat, kemudian menjadi nodula lentikuler-numular berbentuk kerucut. Nyeri
terjadi terutama pada furunkel yang akut, besar, dan lokasinya dihidung dan
lubang telinga luar. Bisa timbul gejala kostitusional yang sedang, seperti panas
badan, malaise, mual. Furunkel dapat timbul di banyak tempat dan dapat sering
kambuh. Predileksi dari furunkel yaitu pada muka, leher, lengan, pergelangan
tangan, jari-jari tangan, pantat, dan daerah anogenital.

Gambar 16. Furunkel, Furunkulosis dan Karbunkel

Kriteria Diagnosis
Diagnosa dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan
klinis,pemeriksaan bakteriologi dari sekret.
a. Anamnesa
Penderita datang dengan keluhan terdapat nodul yang nyeri. Ukuran
nodultersebut meningkat dalam beberapa hari. Beberapa pasien mengeluh
demam danmalaise.
b. Pemeriksaan Fisik
Terdapat nodul berwarna merah, hangat dan berisi pus. Supurasi terjadi
setelah kira-kira 5-7 hari dan pus dikeluarkan melalui saluran keluar tunggal
(single follicular orifices). Furunkel yang pecah dan kering kemudian
membentuk lubang yang kuning keabuan ireguler pada bagian tengah dan
sembuh perlahan dengan granulasi.
c. Pemeriksaan Penunjang
Furunkel biasanya menunjukkan leukositosis. Pemeriksaan histologis dari
furunkel menunjukkan proses inflamasi dengan PMN yang banyak di dermis dan
lemak subkutan. Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan gambaran klinis yang
dikonfirmasi dengan pewarnaan gram dan kultur bakteri. Pewarnaan gram
S.aureus akan menunjukkan sekelompok kokus berwarna ungu (gram positif)
bergerombol seperti anggur, dan tidak bergerak. Kultur pada medium agar
MSA(Manitot Salt Agar) selektif untuk S.aureus. Bakteri ini dapat
memfermentasikan manitol sehingga terjadi perubahan medium agar dari
warna merah menjadikuning. Kultur S. Aureus pada agar darah menghasilkan
koloni bakteri yang lebar (6-8 mm), permukaan halus, sedikit cembung, dan
warna kuning keemasan. Uji sensitivitas antibiotik diperlukan untuk
penggunaan antibiotik secara tepat.
Tatalaksana
Pada furunkel di bibir atas pipi dan karbunkel pada orang tua sebaiknya
dirawat inapkan. Pengobatan topikal, bila lesi masih basah atau kotor
dikompres dengan solusio sodium chloride 0,9%. Bila lesi telah bersih, diberi
salep natrium fusidat atau framycetine sulfat kassa steril.
Antibiotik sistemik mempercepat resolusi penyembuhan dan wajib
diberikan pada seseorang yang beresiko mengalami bakteremia.
Antibiotik diberikan selama tujuh sampai sepuluh hari. Lebih baiknya,
antibiotik diberikan sesuai dengan hasil kultur bakteri terhadap sensitivitas
antibiotik.
Bila infeksi berasal dari methicillin resistent Streptococcus aureus
(MRSA) dapat diberikan vankomisin sebesar 1 gram tiap 12 jam. Pilihan lain
adalahtetrasiklin, namun obat ini berbahaya untuk anak-anak. Terapi pilihan
untuk golongan penicilinase-resistant penicillin adalah dicloxacilin Pada
penderita yangalergi terhadap penisilin dapat dipilih golongan eritromisin.
Pada orang yangalergi terhadap β-lactam antibiotic dapat diberikan
vancomisin. Tindakan insisi dapat dilakukan apabila telah terjadi supurasi.
Higiene kulit harus ditingkatkan. Jika masih berupa infiltrat, pengobatan
topikal dapat diberikan kompres salep iktiol 5% atau salep antibotik. Adanya
penyakit yang mendasari seperti diabetes mellitus, harus dilakukan pengobatan
yang tepat danadekuat untuk mencegah terjadinya rekurensi.
Terapi antimikrobial harus dilanjutkan sampai semua bukti inflamasi
berkurang. Lesi yang didrainase harus ditutupi untuk mencegah autoinokulasi.
Pasien dengan furunkel yang berulang memerlukan evaluasi dan penanganan
lebih komplek.
Daftar Pustaka :
- Djuanda A. Pioderma. In: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi
kelima.Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2010. Hal 60.
- Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Primer, 2014.

12. Eritrasma
Tingkat Kemampuan 4A
Definisi
Eritrasma ialah penyakit bakteri kronik pada stratum korneum yang
disebabkan oleh Corynebacterium minitussismum, ditandai dengan adanya lesi
berupa eritema dan skuama halus terutama di daerah ketiak dan lipat paha.
Patofisiologi
Corynebacterium minutissimum berada pada lapisan superficial stratum
korneum. Bakteri ini menginvasi bagian superficial stratum korneum pada
kondisi yang cenderung panas dan kelembaban, organism ini berkembang biak
akibat gangguan pada flora normal yang diikuti oleh kerusakan pada barrier kulit,
sehingga menyebakan stratum korneum menjadi tebal. Bakteri ini dapat dilihat
di rongga antar sel, seperti juga di sel-sel, menghancurkan fibril-fibril keratin.
Corynebacterium minutissimum merupakan basil diphtheroid yang
menghasilkan porfirin. Substansia fluoresensi adalah senyawa porfirin yang
larut air sehingga tidak bisa dilihat pada daerah yang baru saja dicuci.
Manifestasi Klinis
Lesi kulit dapat berukuran sebesar miliar sampai plakat. Lesi eritoskuamosa,
berskuama halus kadang-kadang dapat terlihat merah kecoklat-coklatan.
Variasi ini rupanya bergantung pada area lesi dan warna kulit penderita.
Tempat predileksi di daerah ketiak dan lipat paha. Kadang-kadang berlokasi
di daerah intertriginosa lain terutama pada penderita gemuk. Perluasan lesi
terlihat pada pinggir yang eritematosa dan serpiginosa. Lesi tidak menimbulkan
dan tidak terlihat vesikulasi. Skuama kering yang halus menutupi lesi dan pada
perabaan terasa berlemak.
Beberapa penulis beranggapan ada hubungan erat antara eritrasma dan
diabetes melitus. Penyakit ini terutama menyerang pria dewasa dan dianggap
tidak begitu menular, berdasarkan observasi pada pasangan suami-isteri yang
biasanya tidak terserang penyakit tersebut secara bersama-sama. Eritrasma
tidak menimbulkan keluhan subyektif, kecuali bila terjadi ekzematisasi oleh
karena penderita berkeringat banyak atau terjadi maserasi pada kulit.

Gambar 17. Eritrasma pada daerah inguinal

Kriteria Diagnosis
Pemeriksaan pembantu terdiri atas pemeriksaan dengan lampu Wood dan
sediaan langsung. Pada pemeriksaan dengan lampu Wood, lesi terlihat
berfluoresensi merah membara (coral-red). Fluoresensi ini terlihat karena
adanya porfirin. Pencucian atau pembersihan daerah lesi sebelum diperiksa
akan mengakibatkan hilangnya fluoresensi dan memberikan hasil negatif.
Bahan untuk sediaan langsung dengan cara mengerok. Lesi dikerok dengan
skalpel tumpul atau pinggir gelas obyek. Bahan kerokan kulit ditambah satu tetes
eter, dibiarkan menguap. Bahan tersebut yang lemaknya sudah dilarutkan dan
kering ditambah biru metilen atau biru laktofenol, ditutup dnegan gelas penutup
dan dilihat di bawah mikroskop dengan pembesaran 10x100. Bila sudah
ditambah biru laktofenol, susunan benang halus belum terlihat nyata, sediaan
dapat dipanaskan sebentar di atas api kecil dan gelas penutup ditekan, sehingga
preparat menjadi tipis.
Gambaran histology menunjukkan organisme terlihat pada stratum korneum
sebagai batang pendek halus, bercabang, berdiameter 1U atau kurang, yang muda
putus sebagai bentuk basil kecil atau difteroid. Pemeriksaan harus teliti untuk
melihat bentuk terakhir ini.

Gambar 18. Eritrasma dengan pemeriksaan Lampu Wood


Tatalaksana
Tujuan dari farmakoterapi untuk eritrasma adalah untuk mengurangi
morbiditas, membasmi infeksi, dan mencegah komplikasi.4 Obat topikal,
misalnya salap tetrasiklin 3% juga bermanfaat. Demikian pula obat antijamur
yang baru yang berspektrum luas. Hanya pengobatan topikal memerlukan lebih
ketekunan dan kepatuhan penderita.
Terdapat penelitian pada 151 pasien berusia lebih dari 18 tahun secara acak
menjadi 5 kelompok dan diberi eritromisin, klaritromisin dosis tunggal, asam
fusidic topikal, krim plasebo, atau tablet plasebo. Krim asam fusidic secara
signifikan lebih efektif daripada terapi lain. Selain itu, kelompok yang
menerima klaritromisin melakukan yang lebih baik pada 48 jam daripada
kelompok yang menerima eritromisin.
 Eritromisin merupakan obat pilihan.
Eritromisin dapat menghambat pertumbuhan bakteri, kemungkinan dengan
menghambat disosiasi peptidil t-RNA dari ribosom, menyebabkan sintesa
protein yang tergantung RNA untuk menangkap. Pada anak-anak, usia, berat
badan, dan beratnya infeksi menentukan dosis yang tepat. Dosis yang
diberikan yaitu satu gram sehari (4x250mg) untuk 2-3minggu.
 Klaritromisin (Biaxin)
Menghambat pertumbuhan bakteri, kemungkinan dengan menghambat
disosiasi peptidil t-RNA dari ribosom, menyebabkan sintesa protein yang
tergantung RNA untuk menangkap.
 Asam fusidic (Zeta)
Topikal antibakteri yang menghambat sintesis protein bakteri, menyebabkan
kematian bakteri. Gunakan 2% krim.
 Miconazole topikal (Femazole, Lotrimin, Monistat)
Kerusakan membran sel jamur dinding dengan menghambat biosintesis
ergosterol. Permeabilitas membran meningkat, menyebabkan nutrisi bocor
keluar dan mengakibatkan kematian sel jamur. Lotion lebih disukai di daerah
intertriginosa. Jika krim digunakan, berlaku hemat untuk menghindari efek
maserasi. Gunakan 2% krim.
 Asam benzoat 6%, asam salisilat 3% (salep Whitfield)
Digunakan untuk infeksi dan peradangan yang terkait dengan erythrasma.
 Klindamisin (Cleocin)
Memiliki efek bakteriostatik, mengganggu sintesis protein bakteri mirip
dengan eritromisin dan kloramfenikol dengan mengikat subunit 50S ribosom
bakteri.
 Tetrasiklin (Achromycin)
Menghambat pertumbuhan sel oleh translasi penghambat mRNA. Mengikat
16S bagian dari subunit ribosom 30S dan mencegah amino-asil tRNA dari
mengikat ke situs A dari ribosom.
Daftar Pustaka :
Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Primer, 2014.

13. Erisipelas
Tingkat Kemampuan 4A
Definisi
Erisipelas adalah suatu jenis selulitis kutaneus superfisial yang ditandai
dengan keterlibatan pembuluh limfatik pada kulit. Ia disebabkan oleh bakteri
Streptococcus b-hemolytic grup A dan jarang disebabkan oleh S. aureus. Pada
bayi yang baru lahir, bakteri Streptococcus b-hemolytic grup B
bisa menyebabkan erisipelas. Limfaedema, vena stasis,dan obesitas merupakan
faktor resiko pada pasien dewasa.
Patofisiologi
Pada awalnya, erisepelas terjadi akibat inokulasi bakteri pada daerah trauma
pada kulit. Selain itu, faktor lokal seperti insufisiensi vena, ulkus, peradangan
pada kulit,infeksi dermatofita, gigitan serangga dan operasi bisa menjadi
port of the entry penyakit ini. Bakteri streptokokus merupakan penyebab umum
terjadinya erisipelas. Infeksi pada wajah biasanya disebabkan oleh bakteri
streptokokus grup A, sedangkan infeksi pada kaki disebabkan oleh bakteri
streptokokus non-grup A. Bakteri ini menghasilkan toksin sehingga
menimbulkan reaksi inflamasi pada kulit yang ditandai dengan bercak
berwarna merah cerah, plak edematous dan bulla.
Erisipelas pada wajah berawal dari bercak merah unilateral dan kemudian
terus-menerus menyebar melewati hidung sampai ke sisi sebelahnya sehingga
menjadi simetris. Nasofaring mungkin menjadi port of the entry erisipelas
pada wajah bila disertai dengan riwayat streptokokal faringitis. Pada erisipelas
didaerah ekstremitas inferior, pasien mengeluh adanya pembesaran kelenjar
limfatik femoral dan disertai demam.
Manifestasi Klinis
Terdapat gejala-gejala konstitusi seperti demam, malaise, flu, menggigil,
nyeri kepala, muntah dan nyeri sendi. Kelainan kulit yang utama adalah
eritema yang berwarna merah cerah, berbatas tegas dan pinggirnya meninggi
dengan tanda radang akut. Dapat disertai edema, vesikel dan bulla dan terdapat
leukositosis.
Lesi pada kulit bervariasi dari permukaan yang bersisik halus sampai ke
inflamasi berat yang disertai vesikel dan bulla. Erupsi lesi berawal dari satu
titik dan dapat menyebar ke area sekitarnya. Pada tahap awal, kulit tampak
kemerahan, panas, terasa sakit dan bengkak. Kemudian kemerahan berbatas tegas
dengan bagian tepi meninggi yang dapat dirasakan saat di palpasi dengan jari.
Pada beberapa kasus, vesikel dan bulla berisi cairan seropurulen. Pembengkakan
nodus limfe di sekitar infeksi sering ditemukan.Bagian yang paling sering
terkena adalah kaki dan wajah. Pada kaki, sering ditemukan edema dan lesi
bulla.
Biasanya inflamasi pada wajah bermula dari pipi dekat hidung atau didepan
cuping telinga dan kemudian menyebar ke kulit kepala. Infeksi biasanya terjadi
bilateral dan ia jarang disebabkan oleh trauma.

Gambar 19. Erisepelas

Kriteria Diagnosis
Anamnesis
Keluhanan utama bercak kemerah-merahan pada kulit wajah dan/atau kaki
disertai rasa nyeri. Keluhan lain bercak eritem pada daerah wajah, awalnya
unilateral lama-kelamaan menjadi bilateral atau diawali dengan bercak eritem
di tungkai bawah yang sebelumnya dirasakan nyeri di area lipatan paha.
Disertai gejala-gejala konstritusi seperti demam, malaise, flu, menggigil, sakit
kepala, muntah dan nyeri sendi. Riwayat penyakit faringitis, ulkus kronis pada
kaki, infeksi akibat penjepitan tali pusat yang tidak steril pada bayi. Riwayat
pengobatan pernah dioperasi dan faktor resiko yaitu vena statis, obesitas.
Pemeriksaan fisis
Inspeksi : bercak merah bilateral pada pada pipi dan kaki, bekas garukan
danabrasi, bekas luka, dan pembesaran kelenjar limfatik femoral. Effloresensi :
eritema yang berwarna merah cerah, berbatas tegas dan pinggirnya meninggi.
Sering disertai udem, vesikel dan bulla yang berisicairan seropurulen.
Pemeriksaan Penunjang
Bakteri dapat di indentifikasi melalui pemeriksaan biopsi kulit dan kultur.
Spesimen untuk kultur bisa diambil dari apusan tenggorokan, darah dan cairan
seropurulen pada lesi. Pada pemeriksaan darah rutin menunjukkan adanya
polimorfonuklear leukositosis, meningkatnya laju endap darah (LED) dan juga
meningkatnya C-reaktif protein.
Tatalaksana
Pada erisipelas di daerah kaki, istirahatkan tungkai bawah dan kaki yang
diserang ditinggikan. Pengobatan sistemik ialah antibiotik, topikal diberikan
kompres terbuka dengan larutan antiseptik.
Penicilline merupakan obat antibiotik pilihan utama dan memberikan respon
sangat bagus untuk penyembuhan erisipelas. Pemberian obat harus disesuaikan
dengan kondisi penyakitnya
a. Infeksi sedang
- Procaine penicillin (penicillin G) 600,00 IU i.m 1-2x setiap hari
- Penicillin V 250 mg p.o 4-6x setiap hari
- Jika suspek terjadi infeksi staphylococcus, berikan dicloxacillin 500-
1000 mgp.o
- Jika pasien alergi Penicillin, berikan erythromycin 500 mg p.o atau
clindamycin 150- 300 mg p.o
b. Infeksi berat
- Rawat inap, lakukan kultur dan tes sensitivitas, konsultasi penyakit
infeksi- Penicillin G 10,000,000 IU i.v
- Jika suspek terjadi infeksi staphylococcus, berikan nafcillin 500-1000 mg
i.v atau flucloxacillin 1 g i.v
- Jika pasien alergi penicillin, berikan vancomycin 1.0-1.5 g i.v setiap hari

Obat Topikal
- Kompres dengan Sodium Chloride 0,9 %.
- Salep atau krim antibiotika
(Natrium Fusidat, Mupirocin, Garamycin,Gentamycin)
Daftar Pustaka :
Najwa. Erisepelas. Makassar : Ilmu Kesehatan Kulit Dan Kelamin Fakultas
Kedokteran Universitas Hasanuddin, 2012. Diunduh pada :
https://id.scribd.com/doc/112296528/Referat-Erysipelas, 29 Januari 2017.

14. Skrofuloderma
Tingkat Kemampuan 4A
Definisi
Skrofuloderma atau yang dikenal sebagai Tuberculosis colliquativa cutis
adalah tuberkulosis subkutan yang mengarah pada pembentukan abses dingin
dan kehancuran sekunder dari kulit di atasnya. Hal ini terjadi akibat penjalaran
langsung dari suatu organ bawah kulit yang mengandung kuman TB dan
meluas melalui dermis, contohnya limfadenitis TB, TB tulang dan sendi, atau
epididimitis TB.
Patofisiologi
Skrofuloderma timbul akibat penjalaran per kontinuitatum dari organ di
bawah kulit yang telah diserang penyakit tuberkulosis, yang tersering berasal dari
kelenjar getah bening, juga dapat berasal dari sendi dan tulang. Oleh
karena itu tempat predileksinya pada tempat-tempat yang banyak didapati
kelenjar getah bening superfisialis, yang tersering pada leher, kemudian disusul
di ketiak dan yang terjarang di lipatan paha.
Porte d’entree skrofuloderma di daerah leher ialah pada tonsil atau paru.
Jika di ketiak maka kemungkinan porte d’entree pada apeks pleura, jika dilipat
paha pada ekstremitas bawah. Kadang-kadang ketiga tempat predileksi tersebut
diserang sekaligus, yakni pada leher, ketiak dan lipat paha. Pada kejadian
tersebut kemungkinan besar terjadi penyebaran secara hematogen.
Kelenjar limfe yang terinfeksi tuberkulosis akan mengalami adenitis,
kemudian periadenitis. Akibatnya satu kelenjar dengan kelenjar lain yang
bersamaan terinfeksi dapat bergabung menyebabkan perlengketan kelenjar
tersebut dengan jaringan sekitarnya. Kelenjar-kelenjar tersebut akan melunak
membentuk abses, lalu membentuk fistula dan ulkus ke permukaan kulit secara
per kontinuitatum. Sifat khas ulkus berbentuk linier atau ireguler dengan
terowongan dibawahnya, daerah sekitar berwarna merah kebiru-biruan, dasar
jaringan yang bergranulasi, dan teraba lunak. Dapat pula terbentuk jaringan parut
menghubungkan daerah yang mengalami ulserasi atau bahkan kulit normal.
Kadang-kadang di atas sikatriks (jaringan parut) tersebut terdapat jembatan kulit
(skin brigde).
Manifestasi Klinis
Skrofuloderma paling sering timbul di regio parotid, submandibula, dan
supraklavicula, serta di leher sebelah lateral. Hal ini diduga merupakan
penjalaran dari kelenjar getah bening (KGB) servikal, sedangkan lokasi lain yang
cukup sering adalah aksila dan inguinal.
Skrofuloderma diawali dengan limfadenitis tuberkulosis, setelah berbulan-
bulan, liquifaksi dan perforasi terjadi, membentuk ulkus dan sinus.
Karakteristik ulkus yaitu bentuk memanjang, serpiginosa, tidak teratur, dengan
dasar yang cekung, sekitarnya berwarna merah kebiru-biruan (livid),
menggaung, lunak dengan dasar jaringan granulasi tertutup pus seropurulen.
Terdapat saluran-saluran sinusoid di bawah kulit.
Gambar 20. Skrofuloderma pada regio klavikula: abses, ulkus, dan ekstrusi
purulen dan perkijuan

Gambar 21. Skrofuloderma pada regio aksila: plak dan nodul dengan ulkus sentral
yang mengakibatkan skar dan retraksi
Saluran sinusoid yang terbentuk dapat berhubungan langsung dengan area
infeksi organ dalam, atau membentuk saluran menuju fokus primer infeksi
terutama di leher, dinding dada, dan pelvis. Kadang-kadang terbentuk cordlike
scars atau jaringan parut. Jaringan parut ini menghubungkan area ulseratif atau
bahkan menarik kulit normal dengan proses penyembuhannya memakan waktu
yang lama.
Kriteria Diagnosis
Skrofuloderma ditegakkan diagnosisnya berdasarkan beberapa hal berikut:
1. Anamnesis
 Riwayat tinggal di daerah endemis tuberkulosis.
 Riwayat terpapar tuberkulosis dari orang sekitar penderita (rumah,
sekolah, tempat kerja, dan lain-lain).
 Riwayat mendapatkan pengobatan tuberkulosis sebelumnya.
 Riwayat penyakit sistemik yang meningkatkan faktor resiko infeksi
tuberkulosis.
 Riwayat keluhan mengarah pada tanda tuberkulosis pada penderita,
misalnya: batuk lama, berkeringat banyak di malam hari, nafsu
makan menurun, kelainan miksi, dan lain-lain
2. Pemeriksaan fisik
 Pembesaran kelenjar getah bening
 Abses dan multipel sinus
 Ulkus yang khas
 Jaringan parut
 Jembatan kulit (skin bridge)
3. Pemeriksaan penunjang
 Pemeriksaan radiologis pada posisi posterior-anterior.
Pemeriksaan ini ditujukan untuk mencari fokal infeksi terutama yang
berasal dari paru.
 Pemeriksaan bakteriologik.
Pemeriksaan bakteriologik yang dimaksud adalah pemeriksaan
basil tahan asam (BTA) dengan pengecatan Ziehl-Neelsen (ZN)
terhadap bahan yang diambil dari dasar ulkus dan biakan pada
media Lowenstein Jensen atau inokulasi pada marmut. Pada
penderita dengan skrofuloderma, hasil pemeriksaan BTA akan
ditemukan adanya bakteri penyebab skrofuloderma, misal
Mycobacterium tuberculosis.

Gambar 22. Pewarnaan Ziehl-Neelsen: kelompok kecil basil tahan asam, merah,
pada tengah lapangan pandang.
 Pemeriksaan laboratorium darah
Hasil umumnya menunjukkan peningkatan laju endap darah (LED).
 Pemeriksaan histopatologi
Saluran sinusoid pada skrofuloderma menunjukkan adanya inflamasi
akut dan kronik yang bersifat nonspesifik. Bagian tengah lesi didominasi
oleh nekrosis masif dan pembentukan abses. Namun, bagian perifer dari
abses atau batas-batas sinus mengandung granuloma tuberkuloid.5
Nekrosis perkijuan dengan bakteri dalam jumlah besar ditemukan pada
struktur kulit yang lebih dalam. Basil tb dapat diisolasi dengan mudah
melalui pus.

Gambar 23. Skrofuloderma: tampak abses dikelilingi infiltrat predominan histiosit

 Tes tuberkulin.
Biasanya hasilnya positif.
 Biakan dari bahan yang berasal dari lesi atau ulkus.
Dilakukan pada media Lowenstein-Jensen, pengeraman pada suhu
37ºC. Jika positif, koloni tumbuh dalam waktu 8 minggu, artinya
kuman tuberkulosis.
Tatalaksana
Penatalaksanaan TB kutis terdiri dari pemberian regimen obat multipel
dengan durasi yang panjang dan terapi bedah ditujukan tidak hanya untuk
membunuh mikroorganisme yang menjadi etiologi tetapi juga untuk mencegah
resistensi strain bakteri tertentu terhadap obat dan timbulnya rekurensi.
Tatalaksana TB kutis sama dengan tb sistemik. Hal ini dikarenakan jumlah
bakteri penyebab TB kutis jauh lebih sedikit dibandingkan dengan TB
sistemik. TB kutis, termasuk skrofuloderma, tergolong tb ekstra paru ringan yang
mendapat pengobatan TB kategori III.
Centers for disease control and prevention (CDC) merekomendasikan
kemoterapi TB kutis menjadi 2 fase terdiri dari:
 Fase inisial
Fase ini meliputi pemberian dosis harian regimen obat antituberkulosis
(OAT); isoniazid, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol selama 8
minggu. Terapi fase inisial dimaksudkan untuk memusnahkan bakteri
penyebab TB kutis.
 Fase lanjutan
Fase ini diberikan regimen obat isoniazid dan rifampisin dosis harian,
sebanyak 2-3xseminggu selama 16 minggu. Terapi pada fase ini ditujukan
untuk mengeliminasi sisa bakteri yang menjadi etiologi TB kutis. 7
Tabel 1. Paduan OAT Kategori III

Tablet Tablet
Tablet
Lama Tablet Pirazinami Etambut
Isoniazid Jumlah kali
Tahap pengobatan pengobata Rifampisin d ol
(5mg/kgb minum obat
n (10mg/kgbb) (25mg/kgb (18mg/k
b)
b) gbb)
Tahap inisial (dosis
8 minggu 1 1 3 1 60
harian)
2
1
Tahap lanjutan Dosis:
18 minggu Dosis: - - 54
(dosis 3xseminggu) 10mg/kgb
10mg/kgbb
b

Penatalaksanaan lebih lanjut juga harus dilakukan pada infeksi TB di organ


lain seperti tulang, kelenjar dan paru yang menjadi fokus infeksi
skrofuloderma. Regimen pengobatan yang diberikan didasarkan pada kriteria
WHO adalah sebagai berikut:
 OAT kategori I
OAT kategori I diindikasikan pada penderita baru BTA positif, penderita baru
dengan BTA negatif dengan kelainan radiologis yang luas dan penderita tb
ekstraparu berat misalnya tb ginjal, tb milier, meningitis tb, peritonitis tb,
perikarditis tb, efusi pleura bilateral, osteomielitis dan spondilitis. Regimen
pengobatan terdiri dari pemberian Isoniazid, rifamfisin, pirazinamid, dan
etambutol (2HRZE/ 4H3R3).
OAT kategori I disediakan dalam bentuk paket obat kombinasi dosis tetap
(KDT) dan bentuk kombipak, yaitu paket obat lepas yang terdiri dari isoniazid,
rifamfisin, pirazinamid, dan etambutol dalam kemasan blister.
Tabel 2. Paduan OAT KDT kategori I
Tahap Intensif Tahap Lanjutan
tiap hari selama 56 hari RHZE 3 kali seminggu
Berat (150mg/75mg/400mg/275mg) selama 16 minggu
badan RH (150mg/150mg)
30 – 37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT
38 – 54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
55 – 70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
≥ 71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT

Tabel 3. Paduan OAT kombipak kategori I


Dosis per hari/kali
Jumlah
Tahap Lama INH Rifamfisin Pirazinamid Etambutol
minum
terapi terapi (5mg/kg) (10mg/kg) (25mg/kg) (15mg/kg)
obat
@300mg @450mg @500mg @250mg
Inisial 8 minggu 1 1 3 3 56
Lanjutan 16 2 1 - - 48
minggu (10mg/kg) (10mg/kg)
 OAT kategori II
OAT kategori II diindikasikan untuk kasus gagal, kambuh dan pengobatan
setelah lalai. Regimen OAT kategori II juga tersedia dalam bentuk KDT dan
kombipak, terdiri dari isoniazid, rifamfisin, pirazinamid, sterptomisin dan
etambutol (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3).

Tabel 4. Paduan OAT KDT kategori II


Tahap Intensif tiap hari
RHZE Tahap Lanjutan
Berat (150mg/75mg/400mg/275mg) + S 3 kali seminggu
badan Selama 56 hari Selama 28 RH (150mg/150mg)
hari + E(400mg)

30-37 kg 2 tab 4KDT 2 tab 4KDT 2 tab 2KDT


+ 500 mg + 2 tab Etambutol
Streptomisin inj.
38-54 kg 3 tab 4KDT 3 tab 4KDT 3 tab 2KDT
+ 750 mg + 3 tab Etambutol
Streptomisin inj.
55-70 kg 4 tab 4KDT 4 tab 4KDT 4 tab 2KDT

Tabel 5. Paduan OAT kombipak kategori II


Tahap Lama INH Rifamfisin Pirazinamid Etambutol Streptomisin Jumla
terapi terapi (5mg/kg) (10mg/kg) (25mg/kgbb) Tab Tab injeksi minu
@300mg @450mg @500mg 250mg 400mg obat
Inisial 8 1 1 3 3 - 56
minggu 0,75gr
4 1 1 3 3 28
minggu
Lanjutan 20 2 1 - - - - 60
minggu Dosis: Dosis :
10mg/kg 10mg/kg

Penatalaksanaan operatif yakni eksisi dapat membantu menangani


skrofuloderma karena dapat mengurangi morbiditas.
Daftar Pustaka :
Permatasari S.I. Skrofuloderma. Palembang : Ilmu Kesehatan Kulit dan
Kelamin FK UNSRI/RSMH, 2010. Diunduh pada :
https://id.scribd.com/doc/62468409/SKROFULODERMA, 29 Januari 2017.

15. Lepra
Tingkat Kemampuan 4A
Definisi
Kusta adalah penyakit infeksi granulomatous kronik yang disebabkan oleh
Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler obligat. Saraf perifer sebagai
afinitas pertama, namun dapat juga terjadi sistem pernapasan bagian atas, dan
organ-organ lain kecuali susunan saraf pusat.
Patofisiologi
Cara penularan belum diketahui secara pasti hanya beranggapan dari
anggapan klasik yaitu melalui kontak langsung antar kulit yang lama dan erat.
Anggapan kedua adalah secara inhalasi, sebab M. Leprae dapat hidup beberapa
hari didalam droplet. Masa tunasnya sangat bervariasi, antara 40 hari sampai
40 tahun, rata-rata 3,5 tahun.
Pada tahun 1960 Shepard berhasil menginokulasikan M. Leprae pada kaki
mencit dan berkembang baik disekitar suntikan. Dari berbagai macam
spesimen, bentuk lesi maupun negara asal penderita, ternyata tidak ada perbedaan
spesies. Agar dapat tumbuh diperlukan jumlah minimum M. Leprae yang
disuntikan dan kalau mencapai jumlah maksimum tidak berarti meningkatkan
perkembangbiakan.
Inokulasi pada mencit yang telah diambil timusnya dengan diikuti radiasi
sehingga kehilangan respon imun selularnya, akan menghasilkan granuloma
penuh basil terutama di bagian tubuh yang relatif dingin yaitu hidung, cuping
telinga, kaki dan ekor.
Sebenarnya M. Leprae mempunyai patogenisitas dan daya invasi yang rendah,
sebab penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan
gejala yang lebih berat, bahkan dapat sebaliknya. Ketidakseimbangan derajat
infeksi dan derajat penyakit, tidak lain disebabkan karena respon imun yang
berbeda, yang mencetuskan timbulnya granuloma setempat atau menyeluruh
yang dapat sembuh sendiri atau progresif. Oleh karena itu, kusta dapat disebut
sebagai penyakit imunologik.
Area yang sering terkena kusta adalah saraf perifer superfisial, kulit, membran
mukosa dari saluran napas atas, ruang anterior mata, dan testes. Area-area
tersebut merupakan bagian yang dingin dari tubuh. Kerusakan jaringan
tergantung pada sistem simunitas selular, tipe penyebaran bakeri, adanya
komplikasi reaksi lepra, dan kerusakan saraf. Afinitas pada sel Schwann,
mycobacteria berikatan dengan Domain G rantai alpha laminin 2 yang
ditemukan di saraf perifer di lamina basal. Replikasi di dalam sel ini
menyebabkan respon sistem imunitas selular yang menyebabkan reaksi
inflamasi, yang menyebabkan pembengkakan perineureum, iskemia, fibrosis,
dan kematian akson.
Kekuatan dari sistem imun hospes mempengaruhi manifestasi klinis dari
kusta. Cell-mediated immunity (interferon-gamma, interleukin (IL)-2) yang
kuat dengan respon humoral yang lemah akan menyebabkan bentuk yang
ringan dari penyakit ini, sedangkan respon humoral yang kuat (IL-4, IL-10)
dengan cell-mediated immunity yang lemah/tidak ada, akan menyebabkan bentuk
lepromatous dengan lesi yang luas, mengenai kulit dan saraf secara ekstensif,
dan kadar bakteri yang banyak. Sistem imunitas selular (SIS) yang baik akan
tampak gambaran ke arah tuberkuloid, sedangkan SIS rendah memberikan
gambaran lepromatosa.
Pada kusta tipe LL, terjadin kelumpuhan sistem imunitas selulae, dengan
demikian makrofag tidak mampu menghancurkan kuman sehingga kuman
bermultiplikasi dengan bebas dan merusak jaringan.
Pada kusta tipe TT terjadi sebaliknya, kemampuan imunitas selular tinggi,
sehingga makrofag mampu menghancurkan kuman. Namun setelah kuman
difagositosis, makrofag berubah menjadi sel epiteloid dan kadang bersatu
membentuk sel datia Langhans. Massa epiteloid dapat menimbulkan kerusakan
saraf dan jaringan di sekitarnya.
Munculnya gejala kusta terjadi karena perkembangan granuloma, dan pasien
mungkin mengalami reactional state, yang dapat terjadi pada sekitar >50%
pasien tertentu. Spektrum granuloma lepra terdiri dari 1) a high-resistance
tuberculoid response (TT), 2) a low- or absent-resistance lepromatous pole (LL),
3) a dimorphic or borderline region (BB), 4) borderline lepromatous (BL), dan
5) borderline tuberculoid (BT). Berdasarkan dari yang paling tinggi resistensinya
hingga ke yang paling rendah resistensinya, yaitu TT, BT, BB, BL, LL.
Respon imun terhadap M. leprae dapat menghasilkan beberapa tipe reaksi
yang berhubungan dengan status klinis. Reaksi lepra tipe 1 (downgrading and
reversal reactions) terjadi pada individu dengan BT dan BL, inflamasi terjadi
diantara lesi kulit yang sudah ada. Downgrading reaction terjadi sebelum
terapi, reversal reaction terjadi karena respon terhadap terapi. Reaksi tipe 1
berhubungan dengan demam derajat rendah, lesi satelit makulopapular baru yang
kecil dan banyak, dan/ atau neuritis. Reaksi tipe 2 (Erythema Nodosum
Leprosum, ENL) terjadi pada sebagian individu dengan LL, biasanya timbul
setelah awal pemberian terapi antilepra, umumnya dalam 2 tahun pertama
terapi. Terdapat inflamasi yang hebat mirip seperti lesi eritema nodosum.
Reaksi lucio merupakan rekasi yang terjadi pada individu dengan LL yang
meluas. Pada individu tersebut terjadi ulserasi yang dangkal, large polygonal
sloughing pada kaki. Reaksi ini timbul baik sebagai varian dari ENL atau
sekunder terhadap oklusi arteriol. Ulserasi ini sulit membaik, sering rekuren,
dan distribusinya dapat general akibat infeksi bakteri sekunder dan sepsis.
Manifestasi Klinis
1. Tuberculoid Leprosy (TT, BT)
Pada TT, imunitas masih baik,dapat sembuh spontan dan masih mampu
melokalisir sehingga didapatkan gambran batas yang tegas. Mengenai kulit
maupun saraf. Lesi kulit bisa satu atau beberapa, dapat berupa makula atau
plak, dan pada bagian tengah dapat ditemukam lesi yang regresi atau central
clearing. Permukaan lesi dapat bersisik, dengan tepi yang meninggi. Dapat
disertai penebalan saraf tepi yang biasanya teraba. Kuman BTA negatif
merupakan tanda terdapatnya respon imun yang adekuat terhadap kuman kusta.
Pada BT, tidak dapat sembuh spontan, Lesi menyerupai tipe TT namun dapat
disertai lesi satelit di tepinya. Jumlah lesi dapat satu atau beberapa, tetapi
gambaran hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skuama tidak sejelas TT.
Gangguan saraf tidak berat dan asimetris.

Gambar 24. Lesi Tuberculoid leprosy, soliter, anesthetic, annular

Gambar 25 Lesi Kulit pada Tuberculoid Leprosy


Gambar 26. Borderline Tuberculoid Leprosy, gambaran anular inkomplit dengan
papul satelit
2. Borderline Leprosy
Pada tipe BB borderline,meruapakan tipe yang paling tidak stabil, disebut
juga bentuk dimorfik. Lesi kulit berbentuk antara tuberculoid dan lepromatous.
Terdiri dari macula infiltratif, mengkilap, batas lesi kurang tegas, jumlah
banyak melebihi tipe BT dan cenderung simetris. Lesi bervariasi, dapat
perbentuk punch out yang khas.. Pada tipe ini terjadi anestesia dan
berkurangnya keringat.

Gambar 27. Lesi Kulit pada Borderline BB Leprosy


3. Lepromatous Leprosy
Tipe BL, secara klasik lesi dimulai dengan makula, awalnya sedikit drngan
cepat menyebar ke seluruh badan. Makula lebih bervariasi bentuknya.
Distribusi lesi hampir seimetris. Lesi innfiltrat, dan plak seperti punched out.
Tanda-tanda kerusakan saraf berupa hilangnya sensasi, hipopigmentasi,
berkurangnya keringat dan hilangnya rambut lebih cepat muncul. Penebalan saraf
tepi teraba pada tempat predileksi. Tipe LL, jumlah lesi sangat banyak, nodul
mencapai ukuran 2 cm, simetris, permukaan halus, lebih eritematous, berkilap,
berbatas tidak tegas dan pada stadium dini tidak ditemukan anestesi
dan anhidrosis. Ditemukan juga lesi Dematofibroma-like multipel, batas tegas,
nodul eritem. Distribusi lesi khas pada wajah, mengenai dahi, pelipis, dagu,
cuping telinga. Pada stadium lanjut tampak penebalan kulit yang progresif
membentuk facies leonine. Kerusakan saraf menyebabkan gejalan stocking and
glove anesthesia.

Gambar 28. Lesi Kulit pada Lepromatous Leprosy

Pada reaksi lepra tipe 1, terjadi inflamasi akut pada lesi kulit, terdapat
edema dan nyeri, bisa ulserasi. Edema paling berat terjadi di wajah, tangan, dan
kaki. Pada reaksi lepra tipe 2, terdapat nodul yang nyeri dan berwarna merah,
bisa abses atau ulserasi. Paling sering timbul di wajah dan ekstremitas bagian
ekstensor.
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan 1) ekstremitas: neuropati sensoris,
ulserasi telapak kaki, infeksi sekunder, ulnar and peroneal palsies, sendi
Charcot, 2) hidung: kongesti kronik, epistaksis, destruksi kartilago dengan
deformitas saddle-nose, 3) mata: kelumpuhan nervus kranialis, lagoftalmus,
insensitivitas kornea. Pada LL, dapat terjadi uveitis, glaucoma, pembentukan
katarak. Kerusakan kornea dapat terjadi sekunder terhadap trichiasis dan
neuropati sensoris, infeksi sekunder, dan paralisis otot, 4) testis: terjadi
hipogonadisme pada pasien LL, 5) amiloidosis sekunder karena gangguan
hepar/ ginjal.
Tabel 6. Gambaran klinis, Bakteriologik, Imunologik Kusta Multibasile (MB)
SIFAT LL BL BB
Lesi
Bentuk Makula, Infiltrat Makula, Plakat, Plakat, Dome
Difus, Papul, Papul Shaped (Kubah),
Nodul Punched Out
Jumlah Tidak terhitung, Sukar dihitung, Dapat dihitung,
praktis tidak ada masih ada kulit kulit sehat jelas ada
kulit sehat sehat Asimetris
Distribusi Hampir simetris Agak
Permukaan Simetris Halus Berkilat Kasar/berkilat
Batas Halus Berkilat Agak Jelas Agak Jelas
Anestesia Tidak Jelas Tak Jelas Lebih Jelas
Biasanya Tak Jelas
BTA
Lesi kulit Banyak (ada Banyak Agak Banyak
Sekret hidung globus) Biasanya Negatif Negatif
Banyak (ada
globus)
Tes Negatif Negatif Biasanya negative
Lepromin

Tabel 7. Gambaran klinis, Baakteriologik, Imunologik Kusta Pausibasiler (PB)


SIFAT TT BT I
Lesi
Bentuk Makula saja, Makula dibatasi Hanya makula
makula dibatasi infiltrat
infiltrat
Jumlah Beberapa, atau Satu atau beberapa
Satu, dapat satu dengan
beberapa satelit
Distribusi variasi
Permukaan Masih asimetris halus agak berkilat
Batas asimetris Kering bersisik jelas/tidak
Anestesia kering bersisik Jelas tidak ada sampai
Jelas Tak Jelas tidak jelas
Biasanya Tak Jelas
Kriteria Diagnosis
Pada kusta, didaptkan 3 tanda kardinal, dimana jika salah satunya ada,
sudah cukup untuk menetapkan diagnosis dari penyakit kusta, yakni : Lesi
kulit yang anestesi , penebalan saraf perifer, dan ditemukannya M. leprae sebagai
bakteriologis positif. Masa inkubasinya 2 – 40 tahun (rata-rata 5 – 7 tahun). Onset
terjadinya perlahan-lahan dan tidak ada rasa nyeri. Pertama kali mengenai sistem
saraf perifer dengan parestesi dan baal yang persisten atau rekuren tanpa terlihat
adanya gejala klinis. Pada stadium ini mungkin terdapat erupsi kulit berupa
macula dan bula yang bersifat sementara. Keterlibatan sistem saraf
menyebabkan kelemahan otot, atrofi otot, nyeri neuritik yang berat, dan
kontraktur tangan dan kaki. Gejala prodromal yang dapat timbul kadang tidak
dikenali sampai lesi erupsi ke kutan terjadi. 90% psien biasanya mengalami
keluhan pafda pertama kalinya adalah rasa baal, hilangnya sensori suhu sehingga
tidak dapat membedakan panas dengan dingin. Selanjutnya, sensasi raba dan
nyeri, terutama dialami pada tangan dan kaki, sehingga dapat terjadi kompliksi
ulkus atau terbakar pada ekstremitas yang baal tersebut. Bagian tubuh lain yang
dapat terkena kusta adalah daerah yang dingin, yaitu
daerah mata, testis, dagu, cuoing hidung, daun telinga, dan lutut. 3 Perubahan
saraf tepi yang terjadi dapat berupa (1) pembesaran saraf tepi yang asimetris pada
daun telinga, ulnar, tibia posterior, radial kutaneus, (2) Kerusakan sensorik
pada lesi kulit (3) Kelumpuhan nervus trunkus tanpa tanda inflamasi berupa
neuropati, kerusakan sensorik dan motorik, serta kontraktur (4) kerusakan
sensorik dengan pola Stocking-glove (4) Acral distal symmethric anesthesia
(hilangnya sensasi panas dan dingin, serta nyeri dan raba)
Pemeriksaaan bakterioskopik, sediaan dari kerokan jaringan kulit atau
usapan mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan BTA ZIEHL
NEELSON. Pertama – tama harus ditentukan lesi di kulit yang diharapkan paling
padat oleh basil setelah terlebih dahulu menentukan jumlah tepat yang diambil.
Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat dan untuk rutin sebaiknya minimal 4 – 6
tempat yaitu kedua cuping telinga bagian bawah dan 2 -4 lesi lain yang paling
aktif berarti yang paling eritematosa dan paling infiltratif. Pemilihan cuping
telinga tanpa menghiraukan ada atau tidaknya lesi di tempat tersebut karena pada
cuping telinga biasanya didapati banyak M. leprae.
Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah sediaan
dinyatakan dengan indeks bakteri ( I.B) dengan nilai 0 sampai 6+ menurut Ridley.
0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang (LP).
1 + Bila 1 – 10 BTA dalam 100 LP
2+Bila 1 – 10 BTA dalam 10 LP
3+Bila 1 – 10 BTA rata – rata dalam 1 LP
4+Bila 11 – 100 BTA rata – rata dalam 1 LP
5+Bila 101 – 1000BTA rata – rata dalam 1 LP
6+Bila> 1000 BTA rata – rata dalam 1 LP
Indeks morfologi adalah persentase bentuk solid dibandingkan dengan
jumlah solid dan non solid.
IM= Jumlah solidx 100 %/ Jumlah solid + Non solid
Syarat perhitungan IM adalah jumlah minimal kuman tiap lesi 100 BTA, I.B
1+ tidak perlu dibuat IM karedna untuk mendapatkan 100 BTA harus
mencari dalam 1.000 sampai 10.000 lapangan, mulai I.B 3+ maksimum harus
dicari 100 lapangan.
Pemeriksaan histopatologi, gambaran histopatologi tipe tuberkoloid adalah
tuberkel dan kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya
sedikit dan non solid. Tipe lepromatosa terdpat kelim sunyi subepidermal (
subepidermal clear zone ) yaitu suatu daerah langsung di bawah epidermis
yang jaringannya tidak patologik. Bisa dijumpai sel virchow dengan banyak
basil. Pada tipe borderline terdapat campuran unsur – unsur tersebut. Sel virchow
adalah histiosit yang dijadikan M. leprae sebagai tempat berkembangbiak dan
sebagai alat pengangkut penyebarluasan.
Pemeriksaan serologik, didasarkan terbentuk antibodi pada tubuh seseorang
yang terinfeksi oleh M.leprae. Pemeriksaan serologik adalah MLPA
(Mycobacterium Leprae Particle Aglutination), uji ELISA dan ML dipstick,
PCR.
Tes lepromin adalah tes non spesifik untuk klasifikasi dan prognosis lepra tapi
tidak untuk diagnosis. Tes ini berguna untuk menunjukkan sistem imun penderita
terhadap M. leprae. 0,1 ml lepromin dipersiapkan dari ekstrak basil organisme,
disuntikkan intradermal. Kemudian dibaca setelah 48 jam/ 2hari (reaksi
Fernandez) atau 3 – 4 minggu (reaksi Mitsuda). Reaksi Fernandez positif
bila terdapat indurasi dan eritemayang menunjukkan kalau penderita bereaksi
terhadap M. Leprae, yaitu respon imun tipe lambat ini seperti mantoux test (PPD)
pada tuberkolosis.

Tatalaksana
Tujuan utama yaitu memutuskan mata rantai penularan untuk menurunkan
insiden penyakit, mengobati dan menyembuhkan penderita, mencegah timbulnya
penyakit, untuk mencapai tujuan tersebut, srategi pokok yg dilakukan
didasarkan atas deteksi dini dan pengobatan penderita.
Dapson, diamino difenil sulfon bersifat bakteriostatik yaitu mengahalangi atau
menghambat pertumbuhan bakteri. Dapson merupakan antagonis kompetitif dari
para-aminobezoic acid (PABA) dan mencegah penggunaan PABA untuk
sintesis folat oleh bakteri. Efek samping dari dapson adlah
anemia hemolitik, skin rash, anoreksia, nausea, muntah, sakit kepala, dan
vertigo.
Lamprene atau Clofazimin, merupakan bakteriostatik dan dapat menekan
reaksi kusta. Clofazimin bekerja dengan menghambat siklus sel dan transpor dari
NA/K ATPase.Efek sampingnya adalah warna kulit bisa menjadi berwarna ungu
kehitaman,warna kulit akan kembali normal bila obat tersebut dihentikan, diare,
nyeri lambung.
Rifampicin, bakteriosid yaitu membunuh kuman. Rifampicin bekerja
dengan cara menghambat DNA- dependent RNA polymerase pada sel bakteri
dengan berikatan pada subunit beta. Efek sampingnya adalah hepatotoksik, dan
nefrotoksik.
Prednison, untuk penanganan dan pengobatan reaksi kusta. Sulfas Ferrosus
untuk penderita kusta dgn anemia berat. VitaminA, untuk penderita kusta dgn
kekeringan kulit dan bersisisk (ichtyosis). Ofloxacin dan Minosiklin untuk
penderita kusta tipe PB I.
Regimen pengobatan kusta disesuaikan dengan yang direkomendasikan oleh
WHO/DEPKES RI (1981). Untuk itu klasifikasi kusta disederhanakan menjadi:
1. Pausi Basiler (PB)
2. Multi Basiler (MB)
Dengan memakai regimen pengobatan MDT/= Multi Drug Treatment.
Kegunaan MDT untuk mengatasi resistensi Dapson yang semakin meningkat,
mengatasi ketidakteraturan penderita dalam berobat, menurunkan angka putus
obat pada pemakaian monoterapi Dapson, dan dapat mengeliminasi persistensi
kuman kusta dalam jaringan.
Regimen Pengobatan Kusta tersebut (WHO/DEPKES RI).PB dengan lesi
tunggal diberikan ROM (Rifampicin Ofloxacin Minocyclin). Pemberian obat
sekali saja langsung RFT/=Release From Treatment. Obat diminum di depan
petugas. Anak-anak Ibu hamil tidak di berikan ROM. Bila obat ROM belum
tersedia di Puskesmas diobati dengan regimen pengobatan PB lesi (2-5).Bila
lesi tunggal dgn pembesaran saraf diberikan: regimen pengobatan PB lesi (2-
5).
Tabel 8. Regimen pengobatan kusta dengan lesi tunggal (ROM) menurut
WHO/DEPKES RI
Rifampicin Ofloxacin Minocyclin

Dewasa 600 mg 400 mg 100 mg


(50-70 kg)
Anak 300 mg 200 mg 50 mg
(5-14 th)
PB dengan lesi 2 – 5.Lama pengobatan 6 dosis ini bisa diselesaikan selama
(6-9) bulan. Setelah minum 6 dosis ini dinyatakan RFT (Release From
Treatment) yaitu berhenti minum obat.
Tabel 9. Regimen MDT pada kusta Pausibasiler (PB)
Rifampicin Dapson

Dewasa 600 mg/bulan 100 mg/hr diminum di


Diminum di depan rumah
petugas kesehatan

Anak-anak 450 mg/bulan 50 mg/hari diminum di


(10-14 th) Diminum di depan rumah
petugas kesehatan

MB (BB, BL, LL) dengan lesi > 5 .Lama pengobatan 12 dosis ini bisa
diselesaikan selama 12-18 bulan. Setelah selesai minum 12 dosis obat ini,
dinyatakan RFT/=Realease From Treatment yaitu berhenti minum obat. Masa
pengamatan setelah RFT dilakukan secara pasif untuktipe PB selama 2 tahun dan
tipe MB selama 5 tahun.

Tabel 10. Regimen MDT pada kusta Multibasiler (MB)


Rifampicin Dapson Lamprene

Dewasa 600 mg/bulan 100 mg/hari diminum 300 mg/bulan


diminum di depan di rumah diminum di depan
petugas kesehatan petugas kesehatan
dilanjutkan dgn 50
mg/hari diminum di
rumah

Anak-anak 450 mg/bulan 50 mg/hari diminum 150 mg/bulan


(10-14 th) diminum di depan di rumah diminum di depan
petugas petugas kesehatan
dilanjutkan dg 50 mg
selang sehari
diminum di rumah

Pengobatan reaksi kusta.


Bila reaksi tidak ditangani dengan cepat dan tepat maka dapat timbul
kecacatan berupa kelumpuhan yang permanen seperticlaw hand , drop foot , claw
toes , dan kontraktur. Untuk mengatasi hal-hal tersebut diatas dilakukan
pengobatan “Prinsip pengobatan Reaksi Kusta “ yaitu immobilisasi / istirahat,
pemberian analgesik dan sedatif, pemberian obat-obat anti reaksi, MDT
diteruskan dengan dosis yang tidak diubah.
Pada reaksi ringan, istirahat di rumah, berobat jalan, pemberian analgetik
dan obat-obat penenang bila perlu, dapat diberikan Chloroquine 150 mg 3×1
selama 3-5 hari, dan MDT (obat kusta) diteruskan dengan dosis yang tidak
diubah.
Reaksi berat, immobilisasi, rawat inap di rumah sakit, pemberian analgesik
dan sedative, MDT (obat kusta) diteruskan dengan dosis tidak diubah, pemberian
obat-obat anti reaksi dan pemberian obat-obat kortikosteroid misalnya
prednison.Obat-obat anti reaksi,Aspirin dengan dosis 600-1200 mg setiap 4 jam
(4 – 6x/hari ) , Klorokuin dengan dosis 3 x 150 mg/hari, Antimon yaitu stibophen
(8,5 mg antimon per ml ) yang diberikan 2-3 ml secara selang- seling dan dosis
total tidak melebihi 30 ml. Antimon jarang dipakai oleh karena toksik.
Thalidomide juga jarang dipakai,terutama padawanita (teratogenik ). Dosis 400
mg/hari kemudian diturunkan sampai mencapai 50 mg/hari.
Pemberian Kortikosteroid,dimulai dengan dosis tinggi atau sedang.Digunakan
prednison atau prednisolon.Gunakan sebagai dosis tunggal pada pagi hari lebih
baik walaupun dapat juga diberikan dosis berbagi. Dosis diturunkan perlahan-
lahan (tapering off) setelah terjadi respon maksimal.
Gambar 29. Regimen MDT

Daftar Pustaka :
Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Primer, 2014.

16. Sifilis Stadium 1 dan 2


Tingkat Kemampuan 4A
Definisi
Sifilis adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh Treponema pallidum.
Sifilis biasanya menular melalui hubungan seksual atau dari ibu kepada bayi,
akan tetapi sifilis juga dapat menular tanpa hubungan seksual pada daerah yang
mempunyai kebersihan lingkungan yang buruk. Treponema pallidum juga
dapat menular melalui transfusi darah.
Meskipun insidens sifilis kian menurun, penyakit ini tidak dapat diabaikan,
karena merupakan penyakit berat. Hampir semua organ tubuh dapat diserang,
termasuk sistem kardiovaskular dan saraf. Selain itu wanita hamil yang menderita
sifilis dapat menularkan penyakitnya ke janin sehingga menyebabkan sifilis
kongenital yang dapat menyebabkan kelainan bawaan dan kematian. Istilah
untuk penyakit ini yaitu raja singa sangat tepat karena keganasannya.
Patofisiologi
Stadium dini
T. pallidum masuk ke dalam kulit melalui mikrolesi atau selaput lender,
biasanya melalui sanggama. Kuman tersebut membiak, jaringan bereaksi
dengan membentuk infiltrat yang terdiri atas sel-sel limfosit dan sel- sel
plasma, terutama di perivaskular, pembuluh-pembuluh darah kecil
berproliferasi di kelilingi oleh T. pallidum dan sel-sel radang. Treponema tersebut
terletak di antara endotelium kapiler dan jaringan perivaskular di sekitarnya.
Enarteritis pembuluh darah kecil menyebabkan perubahan hipertrofik
endotelium yang menimbulkan obliterasi lumen (enarteritis
obliterans). Kehilangan pendarahan akan menyebabkan erosi, pada
pemeriksaan klinis tampak sebagai S1.
Sebelum S1 terlihat, kuman telah mencapai kelenjar getah bening regional
secara limfogen dan membiak. Pada saat itu terjadi pula penjalaran hematogen
dan menyebar ke semua jaringan di badan, tetapi manifestasinya akan tampak
kemudian. Multiplikasi ini diikuti oleh reaksi jaringan sebagai SII, yang terjadi
enam sampai delapan minggu sesudah S1. S1 akan sembuh perlahan-lahan
karena kuman di tempat tersebut jumlahnya berkurang, kemudian terbentuklah
fibroblas-fibroblas dan akhirnya sembuh berupa sikatriks. SII jugs mengalami
regresi perlahan-lahan dan lalu menghilang.
Tibalah stadium laten yang tidak disertai gejala, meskipun infeksi yang aktif
masih terdapat. Sebagai contoh pada stadium ini seorang ibu dapat melahirkan
bayi dengan sifilis kongenital.
Stadium lanjut
Stadium laten dapat berlangsung bertahun-tahun, rupanya treponema dalam
keadaan dorman. Meskipun demikian antibodi tetap ada dalam serum
penderita. Keseimbangan antara treponema dan jaringan dapat sekonyong-
konyong berubah, sebabnya belum jelas, mungkin trauma merupakan salah
satu faktor presipitasi. Pada saat itu muncullah S III berbentuk guma.
Meskipun pada guma tersebut tidak dapat ditemukan T. pallidum, reaksinya hebat
karena bersifat destruktif dan berlangsung bertahun-tahun. Setelah mengalami
mass laten yang bervariasi guma tersebut timbul di tempat-tempat lain.
Manifestasi Klinis
Sifilis primer (SI)
Sifilis primer biasanya ditandai oleh tukak tunggal (disebut chancre), tetapi
bisa juga terdapat tukak lebih dari satu. Tukak dapat terjadi dimana saja di daerah
genitalia eksterna, 3 minggu setelah kontak. Lesi awal biasanya berupa papul
yang mengalami erosi, teraba keras karena terdapat indurasi. Permukaan dapat
tertutup krusta dan terjadi ulserasi. Ukurannya bervariasi dari beberapa mm
sampai dengan 1-2 cm. Bagian yang mengelilingi lesi meninggi dan keras.
Bila tidak disertai infeksi bakteri lain, maka akan berbentuk khas dan hampir
tidak ada rasa nyeri. Kelainan tersebut dinamakan afek primer. Pada pria
tempat yang sering dikenai ialah sulkus koronarius, sedangkan pada wanita di
labia minor dan mayor. Selain itu juga dapat di ekstragenital, misalnya di lidah,
tonsil, dan anus. Pada pria selalu disertai pembesaran kelenjar limfe inguinal
medial unilateral/bilateral.
Seminggu setelah afek primer, biasanya terdapat pembesaran kelenjar getah
bening regional di inguinalis medialis. Keseluruhannya disebut kompleks primer.
Kelenjar tersebut solitar, indolen, tidak lunak, besamya biasanya lentikular, tidak
supuratif, dan tidak terdapat periadenitis. Kulit di atasnya tidak menunjukkan
tanda-tanda radang akut.

Gambar 30. Lesi sifilis primer

Afek primer tersebut sembuh sendiri antara tiga sampai sepuluh minggu.
Istilah syphilis d'emblee dipakai, jika tidak terdapat afek primer. Kuman masuk
ke jaringan yang lebih dalam, misalnya pada transfuse darah atau suntikan.
Sifilis sekunder (SII)
Biasanya S II timbul setelah enam sampai delapan minggu sejak S I dan
sejumlah sepertiga kasus masih disertai S I. Lama S II dapat sampai sembilan
bulan. Berbeda dengan S I yang tanpa disertai gejala konstitusi, pada S II dapat
disertai gejala tersebut yang terjadi sebelum atau selama S II. Gejalanya
umumnya tidak berat, berupa anoreksia, turunnya berat badan, malese, nyeri
kepala, demam yang tidak tinggi, dan artralgia.
Manifestasi klinis sifilis sekunder dapat berupa berbagai ruam pada kulit,
selaput lendir, dan organ tubuh. Dapat disertai demam, malaise. Juga adanya
kelainan kulit dan selaput lendir dapat diduga sifilis sekunder, bila ternyata
pemeriksaan serologis reaktif. Lesi kulit biasanya simetris, dapat berupa
makula, papul, folikulitis, papulaskuomosa, dan pustul. Jarang dijumpai
keluhan gatal. Lesi vesikobulosa dapat ditemukan pada sifilis kongenital.
Kelainan kulit dapat menyerupai berbagai penyakit kulit sehingga disebut
the .great imitator. Selain memberi kelainan pada kulit, SII dapat juga memberi
kelainan pada mukosa, kelenjar getah bening, mata, hepar, tulang, dan saraf.2
Gejala lainnya adalah merasa tidak enak badan (malaise), kehilangan nafsu
makan, mual, lelah, demam dan anemia.

Gambar 31. Sifilis sekunder di daerah sekitar mulut dan genital

Pada S II yang masih dini sering terjadi kerontokan rambut, umumnya bersifat
difus dan tidak khas, disebut alopecia difusa. Pada S II yang lanjut dapat
terjadi kerontokan setempatsetempat, tampak sebagai bercak yang ditumbuhi
oleh rambut yang tipis, jadi tidak botak seluruhnya, seolah-olah seperti digigit
ngengat dan disebut alopesia areolaris.
Gejala dan tanda sifilis sekunder dapat hilang tanpa pengobatan, tetapi bila
tidak diobati, infeksi akan berkembang menjadi sifilis laten atau sifilis stadium
lanjut.
Kriteria Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejalanya. Diagnosis pasti
ditegakkan berdasarkan hasil pemerikasan laboratorium dan pemeriksaan fisik.
Pada fase primer atau sekunder, diagnosis sifilis ditegakkan berdasarkan hasil
pemeriksaan mikroskopis terhadap cairan dari luka di kulit atau mulut. Bisa
juga digunakan pemeriksaan antibodi pada contoh darah.
Untuk neurosifilis, dilakukan pungsi lumbal guna mendapatkan contoh
cairan serebrospinal. Pada fase tersier, diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala
dan hasil pemeriksan antibodi
Tatalaksana
Pada pengobatan jangan dilupakan agar mitra seksualnya juga diobati, dan
selama belum sembuh penderita dilarang bersanggama. Pengobatan dimulai
sedini mungkin, makin dini hasilnya makin balk. Pada sifilis laten terapi
bermaksud mencegah proses lebih lanjut. Pengobatannya menggunakan penisilin
dan antibiotik lain.
1. Penisilin
Obat yang merupakan pilihan ialah penisilin. Obat tersebut dapat menembus
placenta sehingga mencegah infeksi Pada janin dan dapat menyembuhkan janin
yang terinfeksi; juga efektif untuk neurosifilis.
Kadar yang tinggi dalam serum tidak diperlukan, asalkan jangan kurang dari
0,03 unit/ml. Yang penting ialah kadar tersebut hares bertahan dalam serum
selama sepuluh sampai empat betas hari untuk sifilis dini dan lanjut, dua puluh
sate hari untuk neurosifilis dan sifilis kardiovaskular. Jika kadarnya kurang dari
angka tersebut, setelah lebih dari dua puluh empat sampai tiga puluh jam, maka
kuman dapat berkembang biak. Menurut lama kerjanya, terdapat tiga macam
penisilin:
a. Penisilin G prokain dalam akua dengan lama kerja dua puluh empat
jam, jadi bersifat kerja singkat.
b. Penisilin G prokain dalam minyak dengan aluminium monostearat
(PAM), lama kerja tujuh puluh dua jam, bersifat kerja sedang.
c. Penisilin G benzatin dengan dosis 2,4 juts unit akan bertahan dalam
serum dua sampai tiga minggu, jadi bersifat kerja lama.
Ketiga obat tersebut diberikan intramuskular. Derivat penisilin per
oral tidak dianjurkan karena absorpsi oleh saluran cerma kurang diban-
dingkan dengan suntikan.
Cara pemberian penisilin tersebut sesuai dengan lama kerja masing- masing;
yang pertama diberikan setiap hari, yang kedua setiap tiga hari, dan yang
ketiga biasanya setiap minggu.
Penisilin G benzatin karena bersifat kerja lama, make kadar obat dalam serum
dapat bertahan lama dan lebih praktis, sebab penderita tidak perlu disuntik setiap
hari seperti pada pemberian penisilin G prokain dalam akua. Obat ini mempunyai
kekurangan, yakni tidak dianjurkan untuk neurosifilis karens sukar masuk ke
dalam darah di otak, sehingga yang dianjurkan ialah penisilin G prokain dalam
akua. Karena penisilin G benzatin memberi rasa nyeri pada tempat suntikan,
ada penyelidik yang tidak menganjurkan pemberiannya kepada bayi. Demikian
pule PAM memberi rasa nyeri pada tempat suntikan dan dapat mengakibatkan
abses jika suntikan kurang dalam; obat ini kini jarang digunakan.
Pada sifilis kardiovaskular terapi yang dianjurkan ialah dengan penisilin G
benzatin 9,6 juta unit, diberikan 3 kali 2,4 juta unit, dengan interval seminggu.
Untuk neurosifilis terapi yang dianjurkan ialah penisilin G prokain dalam akua
18-24 juta unit sehari, diberikan 3-4 juta unit, i.v. setiap 4 jam selama 10-14 hari.
Pada sifilis kongenital, terapi anjurannya ialah penisilin G prokain dalam akua
100.000150.000 satuan/kg B.B. per hari, yang diberikan 50.000 unit/kg B.B.,
i.m., setiap hari selama 10 hari.
Reaksi Jarish-Herxheimer
Pada terapi sifilis dengan penisilin dapat terjadi reaksi Jarish- Herxheimer.6
Sebab yang pasti tentang reaksi ini belum diketahui, mungkin disebabkan oleh
hipersensitivitas akibat toksin yang dikeluarkan oleh banyak T. paffidum yang
coati. Dijumpai sebanyak 50-80% pada sifilis dini. Pada sifilis dini dapat
terjadi setelah enam sampai due betas jam pada suntikan penisilin yang
pertama.
Gejalanya dapat bersifat umum dan lokal. Gejala umum biasanya hanya
ringan berupa sedikit demam. Selain itu dapat pula berat: demam yang tinggi,
nyeri kepala, artralgia, malese, berkeringat, dan kemerahan pada muka. Gejala
lokal yakni afek primer menjadi bengkak karena edema dan infiltrasi sel, dapat
agak nyeri. Reaksi biasanya akan menghilang setelah sepuluh sampai dua betas
jam tanpa merugikan penderita pada S I.
Pada sifilis lanjut dapat membahayakan jiwa penderita, misalnya: edema
glotis pada penderita dengan gums di laring, penyempitan arteria koronaria
pada muaranya karena edema dan infiltrasi, dan trombosis serebral. Selain itu
juga dapat terjadi ruptur aneurisms atau ruptur dinding aorta yang telah
menipis yang disebabkan oleh terbentuknya jaringan fibrotik yang berlebihan
akibat penyembuhan yang cepat.
Pengobatan reaksi Jarish-Herxheimer ialah dengan kortikosteroid,
contohnya dengan prednison 20-40 mg sehari. Obat tersebut juga dapat
digunakan sebagai pencegahan, misalnya pada sifilis lanjut, terutama pada
gangguan aorta dan diberikan dua sampai tiga hari sebelum pemberian
penisilin serta dilanjutkan dua sampai tiga hari kemudian.2
2. Antibiotika Lain
Selain penisilin, masih ada beberapa antibiotik yang dapat digunakan
sebagai pengobatan sifilis, meskipun tidak seefektif penisilin.
Bagi yang alergi terhadap penisilin diberikan tetrasiklin 4 x 500 mg/hari,
atau aeritromisin 4 x 500 mg/hri, atau doksisiklin 2 x 100 mg/hari. Lama
pengobatan 15 hari bagi S I dan S II dan 30 hari bagi stadium laten. Eritromisin
bagi yang hamil, efektivitasnya meragukan. Doksisiklin absorbsinya lebih baik
daripada tetrasiklin, yakni 90-100%, sedangkan tetrasiklin hanya 60-80%.
Pada penelitian terbaru didapatkan bahwa doksisiklin atau eritromisin yang
diberikan sebagai terapi sifilis primer selama 14 hari, menunjukkan perbaikan.
Obat yang lain ialah golongan sefalosporin, misalnya sefaleksin 4 x 500 mg
sehari selama 15 hari. Juga seftriakson setiap hari 2 gr, dosis tunggal i.m. atau
i.v. selama 15 hari.
Azitromisin juga dapat digunakan untuk S I dan S 11, terutama dinegara
yang sedang berkembang untuk menggantikan penisilin.10 Dosisnya 500 mg
sehari sebagai dosis tunggal. Lama pengobatan 10 hari. Menurut laporan
Verdun dkk. Penyembuhannya mencapai 84,4%. Lama pengobatan 10 hari.
Pencegahan
 Hindari berhubungan sex dengan lebih dari satu pasangan
 Menjalani screening test bagi anda dan pasangan anda
 Hindari alkohol dan obat-obatan terlarang
 Gunakan kondom ketika berhubungan sexual
Sifilis tidak bisa dicegah dengan membersihkan daerah genital setelah
berhubungan sexual.
Daftar Pustaka :
Afyudin M. Sifilis. Jakarta : Fakultas Kedokteran Dan Kesehatan Universitas
Muhammadiyah, 2010. Diunduh pada :
https://id.scribd.com/doc/32102502/Referat-Sifilis, 29 Januari 2017.

17. Tinea
Tingkat Kemampuan 4A
Definisi
Jamur yang bisa menyebabkan penyakit pada manusia antara lain adalah
Dermatofita yang menyebabkan terjadinya infeksi jamur superfisial pada kulit,
rambut, kuku, dan selaput lendir. Dermatofita termasuk kelas fungi imperfecti
(jamur yang belum diketahui dengan pasti cara pembiakan secara generatif) yang
terbagi dalam 3 genus, yaitu Microsporum, Trichophyton, dan Epidermophyton.
Selain sifat keratolitik masih banyak sifat yang sama di antara Dermatofita,
misalnya sifat faali, taksonomis, antigenik, kebutuhan zat makanan untuk
pertumbuhannya, dan penyebab penyakit. Dermatofitosis adalah penyakit yang
disebabkan oleh kolonisasi jamur Dermatofita yang menyerang jaringan yang
mengandung keratin seperti stratum korneum kulit, rambut, dan kuku.
Klasifikasi yang paling sering dipakai oleh para spesialis kulit adalah
berdasarkan lokasi:
a. Tinea kapitis, Dermatofitosis pada kulit dan rambut kepala
b. Tinea barbe, Dermatofitosis pada dagu dan jenggot
c. Tinea kruris, Dermatofitosis pada daerah genitokrural, sekitar anus,
bokong, dan kadang-kadang sampai perut bagian bawah
d. Tinea pedis et manum, Dermatofitosis pada kaki dan tangan
e. Tinea unguium, Dermatofitosis pada kuku kaki dan tangan
f. Tinea korporis, Dermatofitosis pada badan
Patofisiologi
Tejadinya penularan Dermatofitosis adalah melalui 3 cara, yaitu :
 Antropofilik, transmisi dari manusia ke manusia. Ditularkan baik secara
langsung maupun tidak langsung melalui lantai kolam renang dan udara
sekitar rumah sakit/klinik, dengan atau tanpa reaksi keradangan (silent
“carrier”).
 Zoofilik, transmisi dari hewan ke manusia. Ditularkan melalui kontak
langsung maupun tidak langsung melalui bulu binatang yang terinfeksi dan
melekat di pakaian, atau sebagai kontaminan pada rumah/tempat tidur
hewan, tempat makanan dan minuman hewan. Sumber penularan utama
adalah anjing, kucing, sapi, kuda, dan mencit.
 Geofilik, transmisi dari tanah ke manusia. Secara sporadis menginfeksi
manusia dan menimbulkan reaksi radang.
Untuk dapat menimbulkan suatu penyakit, jamur harus dapat melawan
pertahanan tubuh non spesifik dan spesifik. Jamur harus mempunyai kemampuan
melekat pada kulit dan mukosa pejamu, dan mampu bertahan dalam
lingkungan pejamu, dan menyesuaikan diri dengan suhu dan keadaan biokimia
penjamu untuk dapat berkembang biak dan menimbulkan reaksi jaringan atau
radang. Terjadinya infeksi Dermatofita melalui 3 langkah utama, yaitu :
perlekatan pada keratinosit, penetrasi melewati dan diantara sel, serta
pembentukan respon penjamu.
Manifestasi Klinis
Genus Trichophyton dan Microsporum menimbulkan kelainain pada kulit,
rambut dan kuku mempunyai banyak spesies di antaranya T. rubrum, T.
mentagrophytes, T. tonsurans, T. violaceum, T. schoenleinii, T. ferugineum dan
T. verucosum, M. canis, M. gypseum. Genus Epidermophyton menimbulkan
kelainan pada kulit dan kuku. Genus ini hanya mempunyai satu spesies ialah E.
floccosum. Masing-masing spesies jamur mempunyai pilihan (afinitas)
terhadap hospes tertentu. Jamur zoofilik terutama menghinggapi binatang dan
kadang-kadang menginfeksi manusia. Misalnya M. canis pada anjing, kucing
dan T. verrucosum pada ternak. Jamur anthorfilik terutama menghinggapi
manusia, misalnya M. auduoini dan T. rubrum. Jamur geofilik adalah jamur
yang hidup di tanah, misalnya M. gypseum. Gejala yang disebabkan jamur
zoofilik dan geofilik pada manusia sering akut, dengan peradangan, tetapi
mudah disembuhkan. Jamur antrofofilik menyebabkan kelainan yang tenang
tanpa peradangan, menahun,tetapi lebih sulit disembuhkan. Infeksi terjadi
karena jamur terdapat padak kulit kuku atau rambut. Dermatofita menyebabkan
Tinea kapitis, Tinea korporis, Tinea favosa, Tinea imbrikata, Tinea kruris,
Tinea pedis, Tinea unguium, dan Tinea barbae. Kelainan pada kulit berbentuk
lingkaran berbatas tegas oleh vesikel+papula dengan dasar kelainan berwarna
agak merah & tertutup dengan sisik. Jamurnya terdapat di sisik tersebut dan di
dinding vesikel. Keluhan penderita ialah gatal terutama bila berkeringat.
Berdasarkan lokalisasi, dermatofitosis terdiri dari :
A. Tinea kapitis (ringworm of the scalp)

Gambar 32. Tinea Kapitis


Kelainan pada kulit dan rambut kepala yang disebabkan oleh spesies
Dermatofita. Kelainan dapat ditandai dengan lesi bersisik, kemerahan, alopesia
dan kadang-kadang terjadi gambaran klinis yang lebih berat, yang disebut kerion.
Berdasarkan bentuk yang khas Tinea Kapitis dibagi dalam 3 bentuk :
1. Gray pacth ringworm

Gambar 33. Gray pacth ringworm


Penyakit ini dimulai dengan papul merah kecil yang melebar ke sekitarnya
dan membentuk bercak yang berwarna pucat dan bersisik. Warna rambut jadi
abu-abu dan tidak mengkilat lagi, serta mudah patah dan terlepas dari akarnya,
sehingga menimbulkan alopesia setempat. Dengan pemeriksaan sinar wood
tampak flourisensi kekuning-kuningan pada rambut yang sakit melalui batas
“Grey pacth” tersebut. Jenis ini biasanya disebabkan spesies Microsporum.
Tinea kapitis yang disebabkan oleh Microsporum audouini biasanya disertai
peradangan ringan.
2. Kerion

Gambar 34. Kerion

Bentuk ini adalah yang serius, karena disertai dengan radang yang hebat
yang bersifat lokal, sehingga pada kulit kepala tampak bisul-bisul kecil yang
berkelompok dan kadang-kadang ditutupi sisik-sisik tebal. Rambut di daerah
ini putus-putus dan mudah dicabut. Bila kerion ini pecah akan meninggalkan
suatu daerah yang botak permanen oleh karena terjadi sikatrik. Bentuk ini
terutama disebabkan oleh M. canis, M. gypseum , T. tonsurans dan T. Violaceum.
3. Black dot ringworm

Gambar 35. Black dot ringworm


Terutama disebabkan oleh T. tonsurans dan T. violaceum. Infeksi jamur
terjadi di dalam rambut (endotrik) atau luar rambut (ektotrik) yang menyebabkan
rambut putus tepat pada permukaan kulit kepala. Ujung rambut tampak sebagai
titik-titik hitam diatas permukaan ulit, yang berwarna kelabu sehingga tarnpak
sebagai gambaran ” back dot”. Biasanya bentuk ini terdapat pada orang dewasa
dan lebih sering pada wanita. Rambut sekitar lesi juga jadi tidak bercahaya lagi
disebabkan kemungkinan sudah terkena infeksi penyebab utama adalah T.
tonsurans dan T. violaceum.
B. Tinea korporis (Tinea sirsinata, Tinea glabrosa, Scherende Flechte, kurap)

Gambar 36. Tinea korporis


Penyakit ini banyak diderita oleh orang-orang yang kurang menjaga
kebersihan dan banyak bekerja ditempat panas, yang banyak berkeringat serta
kelembaban kulit yang lebih tinggi. Predileksi biasanya terdapat dimuka, anggota
gerak atas, dada, punggung dan anggota gerak bawah. Bentuk yang
klasik dimulai dengan lesi yang bulat atau lonjong dengan tepi yang aktif.
Dengan perkembangan ke arah luar maka bercak-bercak bisa melebar dan
akhirnya dapat memberi gambaran yang polisiklis, arsiner, atau sinsiner. Pada
bagian tepi tampak aktif dengan tanda-tanda eritema, adanya papul-papul dan
vesikel, sedangkan pada bagian tengah lesi relatif lebih tenang. Bila tinea
korporis ini menahun tanda-tanda aktif jadi menghilang selanjutnya hanya
meningggalkan daerah-daerah yang hiperpigmentasi saja. Kelainan-kelainan
ini dapat terjadi bersama-sama dengan Tinea kruris. Penyebab utamanya adalah
: T.violaceum, T.rubrum, T.mentagrophytes, M.gypseum, M.canis, dan M.
audouinii.
C. Tinea imbrikata

Gambar 37. Tinea imbrikata


Penyakit ini adalah bentuk yang khas dari Tinea korporis yang disebabkan
oleh Trichophyton concentricum.
D.Tinea favosa

Gambar 38. Tinea favosa

Kelainan di kepala dimulai dengan bintik-bintik kecil di bawah kulit yang


berwarna merah kekuningan dan berkembang menjadi krusta yang berbentuk cawan
(skutula), serta memberi bau busuk seperti bau tikus “moussy odor”.
Rambut di atas skutula putus-putus dan mudah lepas dan tidak mengkilat lagi.
Bila menyembuh akan meninggalkan jaringan parut dan alopesia yang permanen.
Penyebab utamanya adalah T. schoenleinii, T. violaceum dan T. gypsum. Kadang-
kadang penyakit ini menyerupai Dermatitis seboroika.
E. Tinea kruris (Eczema marginatum, dhoble itch, jockey itch, ringworm of the
groin)

Gambar 39. Tinea Kruris


Penyakit ini memberikan keluhan perasaan gatal yang menahun, bertambah
hebat bila disertai dengan keluarnya keringat. Kelainan yang timbul dapat
bersifat akut atau menahun. Kelainan yang akut memberikan gambaran yang
berupa makula yang eritematous dengan erosi dan kadang-kadang terjadi
ekskoriasi. Pinggir kelainan kulit tampak tegas dan aktif. Apabila kelainan
menjadi menahun maka efloresensi yang nampak hanya makula yang
hiperpigmentasi disertai skuamasi dan likenifikasi. Gambaran yang khas adalah
lokalisasi kelainan, yakni daerah lipat paha sebelah dalam, daerah perineum
dan sekitar anus. Kadang-kadang dapat meluas sampai ke gluteus, perut bagian
bawah dan bahkan dapat sampai ke aksila.
F. Tinea pedis

Gambar 40. Tinea pedis


Tinea pedis disebut juga Athlete’s foot atau “Ring worm of the foot”. Penyakit
ini sering menyerang orang-orang dewasa yang banyak bekerja di tempat basah
seperti tukang cuci, pekerja-pekerja di sawah atau orang-orang yang setiap hari
harus memakai sepatu yang tertutup seperti anggota tentara. Keluhan subjektif
bervariasi mulai dari tanpa keluhan sampai rasa gatal yang hebat dan nyeri bila
ada infeksi sekunder.
Ada 3 bentuk Tinea pedis, yaitu :
1. Bentuk intertriginosa
Keluhan yang tampak berupa maserasi, skuamasi serta erosi, di celah-celah
jari terutama jari IV dan jari V. Hal ini terjadi disebabkan kelembaban di celah-
ceIah jari tersebut membuat jamur-jamur hidup lebih subur. Bila menahun
dapat terjadi fisura yang nyeri bila kena sentuh. Bila terjadi infeksi dapat
menimbulkan selulitis atau erisipelas disertai gejala-gejala umum.
2. Bentuk hiperkeratosis
Disini lebih jelas tampak ialah terjadi penebalan kulit disertai sisik terutama
ditelapak kaki, tepi kaki dan punggung kaki. Bila hiperkeratosisnya hebat dapat
terjadi fisurafisura yang dalam pada bagian lateral telapak kaki.
3. Bentuk vesikuler subakut
Kelainan-kelainan yang timbul di mulai pada daerah sekitar antar jari,
kemudian meluas ke punggung kaki atau telapak kaki. Tampak ada vesikel dan
bula yang terletak agak dalam di bawah kulit, diserta perasaan gatal yang
hebat. Bila vesikel-vesikel ini memecah akan meninggalkan skuama melingkar
yang disebut Collorette. Bila terjadi infeksi akan memperhebat dan
memperberat keadaan sehingga dapat terjadi erisipelas. Semua bentuk yang
terdapat pada Tinea pedis, dapat terjadi pada Tinea manus, yaitu
Dermatofitosis yang menyerang tangan. Penyebab utamanya ialah T.rubrum, T
.mentagrofites, dan Epidermophyton floccosum.
G. Tinea unguium (Onikomikosis = ring worm of the nail)
Penyakit ini dapat dibedakan dalam 3 bentuk :
1. Subungual distalis
Gambar 41. Subungual distalis
Dimulai dari tepi distal atau distolateral kuku. Proses ini menjalar ke
proksimal dan di bawah kuku terbentuk sisa kuku yang rapuh. Jika proses
berlanjut, maka permukaan kuku bagian distal akan hancur dan yang terlihat
hanya kuku rapuh yang menyerupai kapur.
2. Leukonikia trikofita
Kelainannya merupakan bentuk leukonikia atau keputihan di permukaan
kuku yang dapat dikerok untuk dibuktikan adanya elemen jamur. Kelainan ini
dihubungkan dengan T. mentagrophytes sebagai penyebabnya.
3. Subungual proksimalis

Gambar 42. Subungual proksimalis


Dimulai dari pangkal kuku bagian proksimal terutama menyerang kuku dan
membentuk gambaran klinis yang khas, yaitu terlihat kuku di bagian distal
masih utuh, sedangkan bagian proksimal rusak. Biasanya penderita Tinea
unguium mempunyai Dermatofitosis di tempat lain yang sudah sembuh
maupun belum sembuh.
H. Tinea barbae
Gambar 43. Tinea barbae
Penderita Tinea barbae ini biasanya mengeluh rasa gatal di daerah jenggot,
jambang dan kumis, disertai rambut-rambut di daerah itu menjadi putus. Ada 2
bentuk yaitu superfisialis dan kerion.
 Superfisialis
Kelainan-kelainan berupa gejala eritem, papul dan skuama yang
mula-mula kecil selanjutnya meluas ke arah luar dan memberi gambaran
polisiklik, dengan bagian tepi yang aktif. Biasanya gambaran seperti ini
menyerupai Tinea korporis.
 Kerion
Bentuk ini membentuk lesi-lesi yang eritematous dengan ditutupi
krusta atau abses kecil dengan permukaan membasah oleh karena erosi.
Kriteria Diagnosis
1. Anamnesis dan gejala klinis khas
2. Laboratorium:
Pemeriksaan langsung dgn KOH 10-20% / dapat + tinta parker
a) Dari kerokan kulit / skuama/ kuku terlihat :
- hifa bersepta: gambaran double contour (2 garis lurus sejajar, transparan)
- arthrokonidia/arthrospora: spora bersekret, merupakan pecahan-pecahan
ujung hifa.
b) Dari rambut, terlihat salah satu:
- Arthrokonidia kecil-kecil/besar pada ektothriks (diluar rambut)
- Arthrokonidia besar pada endothriks (dalam rambut)
Kultur dengan media Sabouraud’s Dextrose Agar (SDA) +
Chloramphenicol + Cyclohexamide tumbuh rata-rata 10-14 hari.
Pemeriksaan lampu Wood
Pada Tinea kapitis
 Fluoresensi positif: wana hijau terang menunjukkan spesies
Microsporum
 Fluoresensi negative: karena spesies Trichopyton, atau memang bukan
karena Tinea kapitis.
Tatalaksana
1. Topikal
Indikasi lesi tidak luas pada Tinea korporis, Tinea manum et pedis ringan
 Salep Whitfield 2x1 hari (=AAV I/Half Strengh Whitfield ointment)
(AAI → Acidum salicylicum 3% + Acidum benzoic 6%)
(dapat AAV II → Acidum salicylicum 6% + Acidum boricum 12%)
 Salep 2-4/3-10 2x1 hari
(Acidum salicylicum 2-3% + Sulfur prespitatum 4-10%)
Pengobatan umumnya minimal selama 3 minggu (2 minggu sesudah KOH
negatif/klinis membaik), untuk mencegah kekambuhan pada obat
fungistatik.
Pengobatan topikal khusus :
 Tinea kapitis
Ajuvan : Shampo Selenium sulfide 1-1,8%, shampoo Ketokonazol 1-2% 2-
3x seminggu, rambut tidak perlu dipotong/dicukur.
 Tinea unguium
Ciclopirox 8% lacquer 1x/minggu selama 6 bulan, atau
Bulan I : seminggu 3 kali
Bulan II : seminggu 2 kali
Bulan III : seminggu 1 kali
2. Sistemik
Indikasi :
Tinea kapitis, Tinea imbrikata, Tinea unguium
Tinea korporis / kruris / pedis / manum yang berat / luas / sering kambuh /
tidak sembuh dengan obat topikal / mengenai daerah rambut
Cara : Tergantung obat oral yang digunakan, lokasi dan penyebab
Lamanya :
Obat fungistatik : 2-4 minggu
Obat fungisidal : 1-2 minggu
Obat oral :
 Ketokonazol
Dosis anak : 3-6mg/kgBB/hari
Dosis dewasa : 1 tablet (200mg)/hari
 Griseofulvin
Dosis anak : 10mg/kgBB/hari (microsize)
5,5 mg/kgBB/hari (ultra microsize)
Dosis dewasa : 500-1000 mg/hari
 Itrakonazol
Dosis anak : 3-5mg/kgBB/hari
Dosis dewasa : 1 kapsul (100mg)/hari
 Terbinafine
Dosis anak : 3-6mg/kgBB/hari
10-20kg : 62,5mg (1/4tablet)/hari
20-40kg : 125mg (1/2tablet)/hari
Dosis dewasa : 1 tablet (250mg)/hari
Pengobatan sistemik khusus :
 Tinea kapitis
Griseofulvin, 6-12 minggu
20mg/kgBB/hari (microsize)
15mg/kgBB/hari (ultra microsize)
 Tinea unguium
Terbinafine : 250mg/hari
Tangan : 6-8 minggu
Kaki : 12-16 minggu
Itrakonazol : 200mg/hari/3-5 bulan atau 400 mg/hari selama seminggu
selama 3-4 bulan berturut-turut.
Tangan : 6 minggu
Kaki : 12 minggu
 Tinea unguium
Itrakonazol : 400mg 2x1/hari, 2 kapsul, selama 1 minggu
 Dermatofitosis rekalsirant
Terbinafine : 250mg/hari 2-4 minggu
Itrakonazol : 100mg/hari selama 4 minggu atau 400mg/hari selama 1
minggu (terapi denyut)
Tindak Lanjut
1. Sesudah mandi dikeringkan dan ditaburi bedak biasa/bedak anti jamur
(terutama di daerah lipatan dan kaki)
2. Pemakaian sepatu yang nyaman, tidak tertutup (kulit, sepatu sandal)
3. Pakaian longgar dan berbahan katun
4. Kaos kaki bahan katun
5. Sering merendam pakaian dan handuk di air mendidih kurang lebih 15
menit / dry cleaning
6. Desinfeksi sepatu
7. Hewan peliharaan yang terinfeksi jamur harus diobati juga.

Daftar Pustaka :
Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Primer, 2014.

18. Cutaneus Larva Migran


Tingkat Kemampuan 4A
Definisi
Cutaneus Larva Migrans merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh
Ancylostoma braziliense dan Ancylostoma caninumyang merupakan termasuk
golongan Animal Nematodes. Invasi ini sering terjadi pada anak-anak terutama
yang sering berjalan tanpa alas kaki, atau yang sering berhubungan dengan tanah
atau pasir.Infeksi dari Ancylostoma braziliense dan Ancylostoma caninum
mungkin didapatkan dari larva yang berasal dari kotoran binatang di tanah.
Demikian pula para petani atau tentara sering mengalami hal yang sama.
Istilah ini digunakan pada kelainan kulit yang merupakan peradangan
berbentuk linear atau berkelok-kelok, menimbul dan progresif, disebabkan oleh
invasi larva cacing tambang yang berasal dari anjing dan kucing.
Pada beberapa sumber lain menyebutan dengan nama Creeping eruption,
creeping verminous dermatitis, sandworm eruption, plumbers’s itch, duck
hunter’s itch. Semua nama ini lebih ditunjukan ada gejala yang timbul (gatal
dan creeping dermatitis) yang dapat juga disebabkan oleh beberapa jenis
parasite yang lain.
Patofisiologi
Penyebab utama adalah larva yang berasal dari cacing tambang binatang anjing
dan kucing., yaitu Ancylostoma braziliense dan Ancylostoma caninum. Di Asia
Timur umumnya disebabkan oleh gnatostoma babi dan kucing.Pada beberapa
kasus ditemukan Enchinococcus, Strongyloides sterconalis, Dermatobia
maxiales, dan Lucilia caesar.Selain itu dapat pula disebabkan oleh larva dari
beberapa jenis lalat, misalnya Castrophilus (the horse bot fly) dan cattle fly.
Biasanya larva ini merupakan stadium ketiga siklus hidupya.Nematoda hidup
pada hospes, ovum terdapat pada kotoran binatang dan karena kelembapan
berubah menjadi larva yang mampu mengadakan penetrasi ke kulit. Larva ini
tinggal di kulit berjalan-jalan tanpa tujuan sepanjang dermoepidermal, setelah
beberapa jam atau hari akan timbul gejala di kulit. Namun dalam case report
yang dilakukan oleh Michael Arter disebutkan bahwa larva mungkin dapat
dorman selama beberapa bulan setelah infeksi.
Manifestasi Klinis
Masuknya larva ke kulit biasanya disertai rasa gatal dan panas. Mula-mula
akan timbul papul, kemudian diikuti bentuk yang khas, yakni lesi berbentuk
linear atau berkelok-kelok, menimbul dengan diameter 2-3 mm, serta panjang
15-20 cm dan berwarna kemerahan. Adanya lesi papul yang eritomatosa ini
menunjukkan bahwa larva tersebut telah berada di kulit selama beberapa jam atau
hari.
Gambar 44. Cutaneus Larva Migrans
Perkembangan selanjutnya papul merah ini menjalar seperti benang
berkelok-kelok, polisiklik, serpinginosa, menimbul, dan membetuk terowogan
(burrow), mencapai panjang beberapa cm. Rasa gatal biasanya lebih hebat pada
malam hari. Selain itu juga dapat menimbulkan lesi vesicular dan bula.

Gambar 45. Cutaneus larva migrans dengan lesi vesicular dan bula
Tempat predileksi adalah di tungkai, telapak kaki, pinggang panggul,
pundak, plantar, tangan, anus, bokong, dan paha, juga bagian tubuh di mana
saja yang sering berkontak dengan tempat larva berada. Satu lesi yang muncul
juga dapat berhubungan beberapa saluran tempat masuknya cacing tersebut.
Selain itu ditemukan beberapa temuan klinis lainya, seperti foliculitis yang
disebakan infeksi cacing. Pasien sering mengeluhkan gatal dan adanya tanda
creeping eruption. Folikulitis ini dapat terjadi pada 20-100 folikel dan dapat
berupa papul dan pustul, sering terjadi pada beberapa bagian tubuh saja seperti
area pantat. Folikulitis ini juga dapat diikuti atau tidak diikuti dengan adanya
tanda-tanda serpiginious yang khas pada cutaneus larva migrans.
Kriteria Diagnosis
Berdasarkan bentuk khas, yakni terdapatnya kelainan seperti benang yang
lurus atau berkelok-kelok, menimbul, dan terdapat papul atau vesikel di
atasnya. Tetap harus ditemukan adanya tanda-tanda creeping eruption, dan
riwayat terpapar atau riwayat berpergian ke daerah yang mungkin dapat
menularkan infeksi cacing ini. Penegakan dari folikulitis cacing harus
berdasarkan adanya penemuan klinis berupa pruritus folikulitis yang disertai
creeping eruption. Di lain pihak, terkadang perlu adanya pemerikasaan histologis
yang akan menenumkan nematoda yang terperangkap di canal folikel,
stratum corneum, maupun lapisan dermis disertai dengan adanya infiltrat
eosinophilic. Biopsi tidak memberikan manfaat.
Tatalaksana

Tiabendazol (mintezol), ternyata efektif. Dosisnya 50 mg/kg BB/hari, sehari
2x, diberikan berturut-turut selama 2 hari.Dosis maksimum 3 gram sehari, jika
belum sembuh dapat diulangi setelah beberapa hari. Obat ini sukar didapat.
Efek sampingnya mual, pusing, dan muntah.

Obat lain ialah abendazol, dosis sehari 400 mg sebagai dosis tunggal,
diberikan 3 hari berturut-turut. Sumber lain menyebutkan dalam 5-7 hari.

Dapat juga diberikan single dose Ivermectin (200µ /kg BB) dapat membunuh
migrasi larva secara efektif dan mengurangi gatal secara cepat.

Topikal thiabendazole 10% cream, meskipun kurang efektif, namun dapat
menjadi terapi alternative pada anak-anak untuk mencegah adanya efek
potensial dari terapi sistemik.

Cara terapi ialah dengan cryotheraphy yakni menggunakan CO2 snow (dry
ice) dengan penekanan 45” sampai 1’, dua hari berturut-turut. Penggunaan
N2 liquid juga dicobakan.Cara beku dengan menyemprotkan kloretil
sepanjang lesi. Cara tersebut di atas agak sulit karena kita tidak mengetahui
secara pasti di mana larva berada, dan bila terlalu lama dapat merusak
jaringan sekitarnya. Pengobatan cara lama dan sudak ditinggalkan adalah
dengan preparat atimon.

Pengobatan cutaneous larva migrans yang menggunakan kombinasi terapi
antara albendazole (400 mg selama 7 hari) dan liquid nitrogen (1 sesi) lebih
berkhasiat dalam pengobatan
Daftar Pustaka :
Basith M.A. Cutaneus Larva Migrans. Surakarta : Ilmu Kesehatan Kulit Dan
Kelamin Fakultas Kedokteran UNS / RSUD dr. Moewardi, 2014. Diunduh
pada : https://id.scribd.com/document/240498989/cutaneus-larva-migran, 31
Januari 2017.

19. Filariasis
Tingkat Kemampuan 4A
Definisi
Filariasis adalah Infestasi dari filarial, dimana filarial adalah cacing
nematode dari superfamilia filariodea. Familia yang penting dalam
superfamilia ini adalah Dipetalonematidae yang meliputi berbagai spesies yang
hidup dalam jaringan limfoid, jaringan dan juga rongga tubuh. Spesies yang
hidup dalam jaringan limfoid adalah Wuchereria bancrofti, Brugia Malayi,
Brugia timor, sedangkan yang hidup dalam jaringan adalah Loa loa, dan
Onchocerca volvulus, dan yang hidup dalam rongga badan adalah Mansonella
ozzardi, Mansonella perstans, dan Mansonella streptocerca (hidup di kulit atau
subkutan).
Patofisiologi
Lingkaran hidup filarial meliputi :
1. Pengisapan mikrofilaria dari darah atau jaringan oleh seranggap penghisap
darah
2. Metamorfosis mikrofilaria di dalam hospes perantara serangga, dimana
mula-mula membentuk larva rabditiform lalu membentuk larva filariform
yang aktif
3. Penularan larva infektif ke dalam kulit hospes baru, melalui probosis
serangga yang menggigit, dan kemudian pertumbuhan larva setelah
masuk ke dalam luka gigitan sehingga menjadi cacing dewasa.
Tubuh yang sudah terinfeksi dari cacing filaria akan menyerang organ tertentu
sesuai dengan daerah predarannya. Jadi telah dikenal 3 bentuk daerah utama
parasite menginfeksi manusia, bisa pada limfatik yang akan berdampak pada
system saluran limfenya, onkoserkiasis yang akan menginfeksi sekitar bagian
wajah dan bahkan dapat menimbulkan kebutaan. Biasanya mikrofilaria dapat
hidup hingga 3 bulan-3 tahun, sedangkan parasit dewasa bisa hidup hingga
beberapa tahun.
Manifestasi Klinis
Filariasis adalah penyakit menular (Penyakit Kaki Gajah) yang disebabkan
oleh cacing Filariayang ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk. Penyakit ini
bersifat menahun (kronis) dan bila tidak mendapatkan pengobatan dapat
menimbulkan cacat menetap berupa pembesaran kaki, lengan dan alat kelamin
baik perempuan maupun laki-laki. Akibatnya penderita tidak dapat bekerja
secara optimal bahkan hidupnya tergantung kepada orang lain sehingga
menjadi beban keluarga, masyarakat dan negara.

Gambar 46. Filariasis

Kriteria Diagnosis
Pengujian yang dilakukan terhadap pasien adalah usaha untuk menemukan
atau memperoleh jaringan atau cairan tubuh untuk mendeteksi langsung
organisme pathogen untuk membuktikan ada tidaknya infeksi. Hasil dari
pengujian ini sangat penting untuk memandu pemilihan antibiotic untuk terapi
dan sasaran yang tepat.
Cacing dewasa sulit untuk ditemukan, sehingga yang paling mudah digunakan
untuk menegakan diagnosa adalah larvanya yang disebut sebagai mikrofilaria.
Yang digunakan untuk mendeteksi mikrofilaria di dalam darah adalah:
a. Ada tidaknya selubung (Sheath) pada mikrofilaria tadi, spesies yang memiliki
sheath adalah Wuchereria brancrofti, Brugia sp dan Loa loa, sedangkan
yang tidak memiliki sheath adalah, Onchocerca volvulus dan Mansonella
sp.
b. Jumlah dan penyebaran body nuclei( nucleus yang banyak ditemukan pada
bagian tubuh mikrofilaria, serta letak dari body nuclei tadi berjajar atau
berkelompok
c. Ada tidaknya serta ukuran cephalic space yaitu rongga yang terdapat pada
di bagian anterior tubuh yang tidak tertutupi oleh body nuclei
d. Adanya bagian yang dinamakan inner body yaitu bagian tubuh yang pada
perwarnaannya Nampak lebih berwarna merah
e. Letak dari nerve ring, excretory apparatus dan anus
f. Letak dan ukuran genital cell( g sell)
Ciri khas dari kehidupan cacing terutama mikrofilarianya adalah periodisitas
densitas mikrofilaria dalam darah yang mempunyai gambaran tertentu selama
24 jam atau dengan katas lain mikrofilaria muncul pada sel darah tepi pada
jumlah banyak pada waktu-waktu tertentu.
Sesuai dengan periodisitas mikrofilaria dikenal beberapa strain pada
spesies ini, yaitu:
a. Strain Nonperiodic. Mikrofilaria strain ini selalu ada dalam jumlah tetap
di darah tepi( Mansonella perstant, Dirofilaria witei pada burung dan
Brugia patei di pulau pate)
b. Strain Subperiodic. Mikrofilaria strain ini selalu ada dalam darah tepi,
namun pada saat-saat tertentu jumlahnya bisa meningkat dari biasanya.
 Strain nocturnal subperiodic. Mikrofilaria selalu ada dalam darah
tepi, namun jumlahnya bertambah pada malam hari (Wuchereria
bancrofti di Thailand dan Filipina, Brugia malayi dan Brugia pahagi
pada kera)
 Strain diurnal subperiodic. Mikrofilaria selalu ada di dalam darah
tepi, tetapi jumlah bertambah pada siang hari(Wuchereria
bancrofti di pasifik, Brugia pahagi pada kera)
c. Strain Periodic. Pada saat tertentu saja mikrofilaria ini dapat ditemukan
pada sel darah tepi.
 Strain nocturnal periodic. Bila mikrofilarianya ditemukan banyak
di darah tepi pada malam hari (Wuchereria bancrofti, Brugia
malayi, Brugia patei, Dirofilaria aethiops pada kera Loa loa pada
Baboon)
 Strain diurnal periodic. Bils mikrofilarianya ditemukan banyak di
darah tepi pada siang hari ( Loa loa pada manusia)
Tatalaksana
Untuk pengobatan dari Filariasis Limfatik (LF) berdasarkan recomendasi
WHO mendapat terapi kombinasi dengan albendazol atau dietilkarbmazin dan
dimulai sebelum obstruksi limfatik.
 Albendazol(oral tablet 200mg, suspensi 100 mg/5mL) dimasukan
dalam program untuk mengendalikan filariasis limfatik, tetapi
tampaknya kurang untuk mengendalikan infeksi penyakit tersebut
ketimbang dietilkarbamazin atau ivermektin.
 Benzimidazol diperkirakan berkerja melawan nematode dengan
menghambat sintesis mikrotubulus. Albendazol juga memiliki efek
larva sidal pada penyakit hidatid, sistim serkosis, askariasis, dan
infeksi cacing tambang, serta efek ovisidal pada askariasis,
ankilostomiasis dan trikuriasis.
Reaksi simpang ketika pengunaan albendazol dapat berupa distres epigastrium
yang ringan dan transien, diare, nyeri kepala, mual, pusing, kelelahan, dan
insomnia. Namun pengunaan dalam 1-3 hari efek simpang
kurang bermakna. Efek samping baru bisa terlihat pada pada penggunaan
jangka panjang. Selama terapi jangka panjang pemeriksaan hitung darah dan
fungsi hati harus dipantau. Obat ini tidak dianjurkan untuk penderita sirosis
hati dan hipersensitifitas terhadap obat benzimidazol.
 Dietilkarbamazin sitrat berperan dalam mengimobilisasi
mikrofilaria dan mengubah struktur permukaannya, kemudian
melepas mikrofilaria tersebut dari jaringan dan membuatnya lebih
rentan terhadap penghancuran oleh mekanisme pertahanan pejamu.
Pada W bancrofti dan B malayi diobati selama 2 minggu dengan obat
dietilkarbamazin, sedangkan untuk L loa selama 3 minggu.7 dengan
dosis awal yang kecil untuk mencegah reaksi alergi sebagai akibat
reaksi inflamasi dari mikrofilaria yang sekarat. Regimennya adalah
50 mg ( 1mg/kg pada anak) pada hari ke-1, tiga kali dosis
50 mg pada hari ke-2, 3 kali dosis 100mg (2mg/kg pada anak) pada
hari ke-3. Dan kemudian berikan 2 mg/kg tiga kali sehari untuk
menyelesaikan rangkaian terapi selama 2-3 minggu.7
 Dapat juga diberikan antihistamin selama beberapa hari terapi
untuk membatasi reaksi alergi. Bisa diberikan kortikosteroid
dengan dosis dietilkarbamazin diturunkan atau dihentikan jika terjadi
reaksi alergi berat. Obat ini dapat digunakan juga untuk
kemoprofilaksis dengan dosis 300 mg tiap minggu atau 300 mg
tiga hari berturut-turut setiap bulannya pada loiasis, 50 mg tiap bulan
pada filariasis Malaya dan bankrofti.
Reaksi simpang terhadap dietilkarbamazin yang umumnya ringan dan selintas
meliputi, nyeri kepala, malaise, anoreksia, kelemahan, mual, muntah dan
pusing. Reaksi simpang akibat dari cacing yang sekarat juga bisa terjadi. Pada
penyakit berupa onkosersiasis dietilkarbamazin tidak lagi digunakan karena
efektifitasnya kurang baik dibandingkan ivermektin, sehingga ivermektin
jauh lebih dipilih. Selain itu juga efek toksisitasnya menjadi salah satu bahan
pertimbangan.
 Ivermektin merupkan pilihan obat untuk strongiloidiasis dan
onkosersiasis, dan merupakan obat alternative untuk infeksi cacing
lainnya. Mekanisme kerja obat ini dengan cara memperkuat
penyampaian sinyal berperantara-asam-γ-aminobutirat(GABA)
pada saraf perifer. Untuk penyakit onkosersiasis, ivermektin
berperan sebagai mikrofilariasidal. Obat ini efektif untuk
memblokade pelepasan mikrofilaria selama beberapa bulan
pascaterapi. Setelah pemberian beberapa dosis standar, mikrofilaria
dalam kulit menghilang dalam 2-3 hari.
Untuk onkosersiasis terapi dilakukan dengan mengunakan ivermektin dosis
tunggal 150 mcg/kg yang diminum dengan air pada kondisi lambung kosong.
Obat kemudian diberikan berulang dengan regimen yang bervariasi, mulai dari
jadwal pemberian bulanan hingga lebih jarang. Pascaterapi akut, terapi diulang
dengan interval 12 bulan sampai cacing dewasa mati, yang membutuhkan masa
sekitar 10 tahun atau lebih lama. Pasien dengan mikrofilaria dalam kornea atau
camera oculi anterior dapat diobati dengan kortikosteroid hanya pada terapi
ivermektin pertama untuk menghindari reaksi peradangan mata.
Untuk penyakit strongiloidiasis, terapinya meliputi dua dosis harian sebesar
200 mcg/kg. Pada pasien luluh imun dengan infeksi desiminata, seringkali
dibutuhkan terapi berulang tetapi penyembuhannya tidak tercapai.
Efek samping, biasa muncul pada penyakit strongiloidiasis yang berupa
kelelahan, pusing, mual, muntah, nyeri, abdomen, ruam. Sedangkan untuk
onkosersiasis, efek simpangnya berasal dari reaksi Mazotti akibat
penghancuran mikrofilaria. Reaksi ini meliputi demam, nyeri kepala, pusing,
somnolen, kelemahan, ruam, pruritus yang meningkat intensitasnya, diare,
nyeri sendi dan otot, hipotensi, takikardia, limfadenitis, limfangitis, dan edema
perifer. Dimana reaksi ini dimulai pada hari pertama terapi dan memuncak
pada hari kedua. Untuk ini kortikosteroid diindikasikan untuk mengatasi reaksi
Mazotti.
Obat ini sebaiknya jangan diberikan dengan obat-obatan yang meningkatkan
aktivitas GABA, misalnya barbiturate, benzodiazepine, dan asam valproate.
Obat ini sebaiknya jangan diberikan pada wanita hamil, sedangkan pada anak-
anak dibawah 5 tahun belum ditetapkan.
Daftar Pustaka :
Kurniawan M.A. Filariasis. Nusa Tenggara Barat : Fakultas Kedokteran
Universitas Mataram, 2012. Diunduh pada :
https://id.scribd.com/doc/112099054/Filariasis, 31 Januari 2017.

20. Pedikulosis
Tingkat Kemampuan 4A
Definisi
Pedikulosis merupakan infeksi kulit dan rambut manusia yang disebabkan
oleh Pediculus dari famili Pediculidae. Pediculus ini dapat menyerang manusia
maupun hewan sehingga dibedakan Pediculus humanus untuk yang menyerang
manusia dan Pediculus animalis untuk yang menyerang hewan. Pediculus
merupakan parasit obligat yang harus menghisap darah manusia untuk dapat
mempertahankan hidup.
Pada manusia sendiri, terdapat klasifikasi pedikulosis berdasarkan spesies
pediculus yang menyerang beserta tempat predileksinya, yaitu:
1. Pediculus humanus capitis yang menyebabkan pedikulosis kapitis
2. Pediculus humanus corporis yang menyebabkan pedikulosis
korporis
3. Pthirus pubis yang menyebabkan pedikulosis pubis

a. Pedikulosis Kapitis
Definisi
Pedikulosis Kapitis merupakan infeksi kulit dan rambut kepala yang
disebabkan oleh Pediculus humanus capitis.
Gambar 47. Kutu Rambut dan Pubis Gambar 48. Telur kutu di
rambut

Gambar 49. Siklus Pediculosis Capitis

Gambar 50. Siklus hidup

Patofisiologi
Kelainan kulit yang timbul biasanya disebabkan garukan untuk
menghilangkan rasa gatal. Rasa gatal disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas
terhadap saliva yang diproduksi Pediculus humanus capitis saat menghisap
darah.
Manifestasi Klinis
Gejala mula yang dominan hanya rasa gatal, terutama pada daerah oksiput dan
temporal serta dapat meluas ke seluruh kepala. Kemudian karena garukan
dapat menyebabkan erosi, eskoriasi, dan infeksi sekunder berupa pus dan
krusta. Bila terjadi infeksi sekunder yang berat, rambut akan bergumpal karena
banyaknya pus dan krusta dan disertai perbesaran kelenjar getah bening regional.
Pada keadaan ini kepala akan memberikan bau busuk.
Kriteria Diagnosis
Cara yang paling diagnostik adalah menemukan kutu atau telur terutama
dicari di daerah oksiput dan temporal. Telur berwarna abu-abu dan berkilat.
Tatalaksana
Pengobatan bertujuan memusnahkan seluruh Pediculus humanus capitis dan
mengobati infeksi sekunder. Pengobatan yang terbaik adalah malathion 0,5%
atau 1% bentuk lotio atau spray. Cara pakainya adalah pada malam hari
sebelum tidur rambut dicuci dengan sampo kemudian diapakai lotio malathion
dan kepala ditutup dengan kain. Keesekon harinya rambut dicuci lagi dengan
sampo dan disisir dengan sisir halus dan rapat. Obat ini sukar didapat. Di
Indonesia obat yang cukup efektif dan mudah didapat adalah Gammexane 1%.
Cara pakainya dioleskan lalu didiamkan 12 jam kemudian dicuci dan disisir
agar semua kutu dan telur terlepas. Jika masih ada telur, dapat diulangi seminggu
kemudian. Obat lainnya adalah benzil benzoat 25%.
Pada keadaan infeksi sekunder yang berat sebaiknya rambut dicukur, infeksi
sekunder diobati dulu dengan antibiotika sistemik dan topical lalu disusul obat di
atas dalam bentuk sampo.Higiene merupakan salah satu sarat untuk tidak terjadi
residif.
b. Pedikulosis Korporis
Definisi
Infeksi kulit yang disebabkan oleh Pediculus humanus var corporis.
Gambar 51. Pediculosis corporis
Patofisiologi

Kelainan kulit yang timbul biasanya disebabkan garukan untuk


menghilangkan rasa gatal. Rasa gatal disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas
terhadap saliva yang diproduksi Pediculus humanus corporis saat menghisap
darah.
Manifestasi dan Diagnosis Klinis
Umumnya hanya ditemukan kelainan berupa bekas garukan pada badan
karena gatal baru dapat berkurang setelah garukan yang lebih intensif. Kadang
timbul infeksi sekunder dengan perbesaran kelenjar getah bening regional.

Tatalaksana
Di Indonesia obat yang cukup efektif dan mudah didapat adalah
Gammexane 1%. Cara pakainya dioleskan ke seluruh tubuh lalu didiamkan 24
jam kemudian penderita mandi. Jika masih belum sembuh, dapat diulangi 4
hari kemudian. Obat lain adalah bubuk malathion 2% dan benzil benzoat 25%.
Pakaian harus di setrika dengan tujuan membunuh telur dan kutu.
c. Pedikulosis Pubis
Definisi
Pedikulosis Pubis merupakan infeksi rambut pada daerah pubis dan sekitarnya
akibat Pthirus pubis.
Manifestasi Klinis
Gejala utama yang timbul adalah gatal di daerah pubis dan sekitarnya. Gatal
dapat meluas hingga ke abdomen dan dada. Dijumpai bercak-bercak yang
berwarna keabu-abuan atau kebiruan yang disebut makula serulae. Kutu ini dapat
dilihat dengan mata biasa dan biasanya susah dilepaskan karena kepalanya
dimasukkan ke dalam folikel rambut. Gejala lainnya adalah black dot yaitu
bercak-bercak hitam yang tampak jelas pada celana dalam. Bercak hitam ini
merupakan krusta dari darah yang sering salah diinterpretasikan sebagai
hematuria. Kadang-kadang terjadi infeksi sekunder dengan perbesaran kelenjar
getah bening.
Gambar 52. Pediculosis Pubis
Tatalaksana

Pengobatannya mirip dengan pedikulosis lainnya yaitu Gammexane 1%


atau benzil benzoat 25% yang dioleskan dan didiamkan selama 24 jam.
Pengobatan diulangi 4 hari kemudian jika belum sembuh. Sebaiknya rambut
kelamin dicukur. Pakaian dalam disetrika dan mitra seksual juga diperiksa.
Krotamiton 1% krim atau lotion ,dioleskan sekali sehari dan dapat diulang
sesudah satu minggu. Infeksi sekunder diobati dengan antibiotik seperti
penisilin dan eritromisin.
Daftar Pustaka :
Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Primer, 2014.

21. Dermatitis
Tingkat Kemampuan 4A
Definisi
Dermatitis adalah peradangan non-inflamasi pada kulit yang bersifat akut,
subakut, atau kronis dan dipengaruhi banyak faktor. Dermatitis adalah
peradangan kulit (epidermis dan dermis) sebagai respon terhadap pengaruh
faktor eksogen dan endogen, menimbulkan kelainan klinis berupa efloresensi
polimorfik dan keluhan gatal. Terdapat berbagai macam dermatitis, dua
diantaranya adalah dermatitis kontak dan dermatitis okupasi. Dermatitis kontak
adalah kelainan kulit yang bersifat polimorfi sebagai akibat terjadinya kontak
dengan bahan eksogen.
Dermatitis kontak ialah dermatitis yang disebabkan oleh bahan atau
substansi yang menempel pada kulit dan dikenal dua macam dermatitis kontak
yaitu dermatitis kontak iritan (DKI) dan dermatitis kontak alergik (DKA),
keduanya dapat bersifat akut maupun kronik. Dermatitis iritan merupakan
reaksi peradangan kulit nonimunologik, jadi kerusakan kulit terjadi langsung
tanpa diketahui proses sensitasi. Sebaliknya, dermatitis alergik terjadi pada
seseorang yang telah mengalami sensitasi terhadap suatu alergen.
Patofisiologi
Kelainan kulit timbul akibat kerusakan sel yang disebabkan oleh bahan
iritan melalui kerja kimiawi atau fisis. Bahan iritan merusak lapisan tanduk,
denaturasi keratin, menyingkirkan lemak lapisan tanduk dan mengubah daya ikat
air kulit. Kebanyak bahan iritan (toksin) merusak membran lemak keratinosit
tetapi sebagian dapat menembus membran sel dan merusak lisosom, mitokondria
atau komplemen inti.
Kerusakan membran mengaktifkan fosfolipase dan melepaskan asam
arakidonat (AA), diasilgliserida (DAG), faktor aktivasi platelet, dan inositida
(IP3). AA dirubah menjadi prostaglandin (PG) dan leukotrien (LT). PG dan LT
menginduksi vasodilatasi, dan meningkatkan permeabilitas vaskuler sehingga
mempermudah transudasi komplemen dan kinin. PG dan LT juga bertindak
sebagai kemotraktan kuat untuk limfosit dan neutrofil, serta mengaktifasi sel
mast melepaskan histamin, LT dan PG lain dan PAF, sehingga memperkuat
perubahan vaskuler.
DAG dan second messenger lain menstimulasi ekspresi gen dan sintesis
protein, misalnya interleukin-1 (IL-1) dan granulocyte macrophage-colony
stimulating factor (GM-CSF). IL-1 mengaktifkan sel T-helper mengeluarkan
IL-2 dan mengekspresi reseptor IL-2 yang menimbulkan stimulasi autokrin dan
proliferasi sel tersebut. Keratinosit juga mengakibatkan molekul permukaan
HLA- DR dan adesi intrasel (ICAM- 1). Pada kontak dengan iritan, keratinosit
juga melepaskan TNF-α, suatu sitokin proinflamasi yang dapat mengaktifasi
sel T, makrofag dan granulosit, menginduksi ekspresi molekul adesi sel dan
pelepasan sitokin.
Rentetan kejadian tersebut menimbulkan gejala peradangan klasik di tempat
terjadinya kontak di kulit tergantung pada bahan iritannya. Ada dua jenis bahan
iritan, yaitu: iritan kuat dan iritan lemah. Iritan kuat akan menimbulkan
kelainan kulit pada pajanan pertama pada hampir semua orang dan menimbulkan
gejala berupa eritema, edema, panas, dan nyeri. Sedangkan iritan lemah hanya
pada mereka yang paling rawan atau mengalami kontak berulang- ulang, dimulai
dengan kerusakan stratum korneum oleh karena delipidasi yang menyebabkan
desikasi dan kehilangan fungsi sawar, sehingga mempermudah kerusakan sel
dibawahnya oleh iritan. Faktor kontribusi, misalnya kelembaban udara, tekanan,
gesekan, dan oklusi, mempunyai andil pada terjadinya kerusakan tersebut.
Manifestasi Klinis
- Dermatitis kontak iritan akut biasanya timbul akibat paparan bahan kimia
asam atau basa kuat, atau paparan singkat serial bahan kimia, atau kontak fisik.
Sebagian kasus dermatitis kontak iritan akut merupakan akibat kecelakaan
kerja. Kelainan kulit yang timbul dapat berupa eritema, edema, vesikel, dapat
disertai eksudasi, pembentukan bula dan nekrosis jaringan pada kasus yang
berat.
- Dermatitis kontak iritan kronis disebabkan oleh kontak dengan iritan lemah
yang berulang-ulang, dan mungkin bisa terjadi oleh karena kerjasama
berbagai macam faktor. Bisa jadi suatu bahan secara sendiri tidak cukup
kuat menyebabkan dermatitis iritan, tetapi bila bergabung dengan faktor lain
baru mampu. Kelainan baru nyata setelah berharihari, berminggu-minggu atau
bulan, bahkan bisa bertahun-tahun kemudian. Sehingga waktu dan rentetan
kontak merupakan faktor paling penting. Gejala klasik berupa kulit kering,
eritema, skuama, lambat laun kulit tebal dan terjadi likenifikasi,
batas kelainan tidak tegas. Bila kontak terus berlangsung maka dapat
menimbulkan retak kulit yang disebut fisura. Adakalanya kelainan hanya
berupa kulit kering dan skuama tanpa eritema, sehingga diabaikan oleh
penderita. Setelah kelainan dirasakan mengganggu, baru mendapat perhatian
a) Berdasarkan manifestasinya pada kulit dapat dibagi kedalam dua
stadium, diantaranya: Stadium 1 Kulit kering dan pecah-pecah,
stadium ini dapat sembuh dengan sendirinya
b) Stadium 2 Ada kerusakan epidermis dan reaksi dermal. Kulit
menjadi merah dan bengkak, terasa panas dan mudah terangsang
kadang-kadang timbul papula, vesikula, krusta. Bila kronik timbul
likenikfiksi. Keadaan ini menimbulkan retensi keringat dan
perubahan flora bakteri.

Gambar 53. Dermatitis Kontak


Kriteria Diagnosis

Diagnosis DKI didasarkan anamnesis yang cermat dan pengamatan gambaran


klinis. DKI akut lebih mudah diketahui karena munculnya lebih cepat sehingga
penderita pada umumnya masih ingat apa yang menjadi penyebabnya.
Sebaliknya DKI kronis timbul lambat serta mempunyai variasi gambaran klinis
yang luas, sehingga kadang sulit dibedakan dengan DKA. Untuk membedakan
dan melihat anatara dermatitis akut dan kronik maka diperlukan uji tempel
dengan bahan yang dicurigai.
Pada dermatitis kontak tidak memiliki gambaran klinis yang tetap. Untuk
menegakkan diagnosis dapat didasarkan pada:
1. Anamnesis, harus dilakukan dengan cermat. Anamnesis dermatologis
terutama mengandung pertanyaan-pertanyaan: onset dan durasi, fluktuasi,
perjalanan gejala-gejala, riwayat penyakit terdahulu, riwayat keluarga,
pekerjaan dan hobi, kosmetik yang digunakan, serta terapi yang sedang
dijalani. Pertanyaan mengenai kontaktan yang dicurigai didasarkan kelainan
kulit yang ditemukan. Misalnya, ada kelainan kulit berupa lesi numular di
sekitar umbilicus berupa hiperpigmentasi, likenifikasi, dengan papul dan
erosi, maka perlu ditanyakan apakah penderita memakai kancing celana atau
kepala ikat pinggang yang terbuat dari logam (nikel). Data yang berasal dari
anamnesis juga meliputi riwayat pekerjaan, hobi, obat topikal yang pernah
digunakan, obat sistemik, kosmetika, bahanbahan yang diketahui
menimbulkan alergi, penyakit kulit yang pernah dialami, serta penyakit kulit
pada keluarganya (misalnya dermatitis atopik)
2. Pemeriksaan klinis, hal pokok dalam pemeriksaan dermatologis yang baik
adalah:
a. Lokasi dan/atau distribusi dari kelainan yang ada
b.Karakteristik dari setiap lesi, dilihat dari morfologi lesi (eritema, urtikaria,
likenifikasi, perubahan pigmen kulit)
c. Pemeriksaan lokasi-lokasi sekunder
d. Teknik-teknik pemeriksaan khusus, dengan patch test
Pemeriksaan fisik sangat penting, karena dengan melihat lokalisasi dan pola
kelainan kulit seringkali dapat diketahui kemungkinan penyebabnya. Misalnya,
di ketiak oleh deodoran, di pergelangan tangan oleh jam tangan, dan di kedua
kaki oleh sepatu. Pemeriksaan hendaknya dilakukan pada seluruh permukaan
kulit, untuk melihat kemungkinan kelainan kulit lain karena sebab- sebab
endogen.
Pada Pemeriksaan fisik didapatkan adanya eritema, edema dan papula
disusul dengan pembentukan vesikel yang jika pecah akan membentuk dermatitis
yang membasah. Lesi pada umumnya timbul pada tempat kontak, tidak berbatas
tegas dan dapat meluas ke daerah sekitarnya. Karena beberapa bagian tubuh
sangat mudah tersensitisasi dibandingkan bagian tubuh yang lain maka predileksi
regional akan sangat membantu penegakan diagnosis.
3. Pemeriksaan Penunjang
Untuk membantu menegakan diagnosis penyakit kulit akibat kerja selain
pentingnya anamnesa, juga banyak test lainnya yang digunakan untuk
membantu. Salah satu yang paling sering digunakan adalah patch test. Dasar
pelaksanaan patch test adalah sebagai berikut:
a. Bahan yang diujikan (dengan konsentrasi dan bahan pelarut yang sudah
ditentukan) ditempelkan pada kulit normal, kemudian ditutup. Konsentrasi
yang digunakan pada umumnya sudah ditentukan berdasarkan penelitian-
penelitian.
b. Biarkan selama 2 hari (minimal 24 jam) untuk memberi kesempatan absorbsi
dan reaksi alergi dari kulit yang memerlukan waktu lama. Meskipun
penyerapan untuk masing-masing bahan bervariasi, ada yang kurang dan
ada yang lebih dari 24 jam, tetapi menurut para peniliti waktu 24 jam sudah
memadai untuk kesemuanya, sehingga ditetapkan sebagai standar.
c. Kemudian bahan tes dilepas dan kulit pada tempat tempelan tersebut dibaca
tentang perubahan atau kelainan yang terjadi pada kulit. Pada tempat
tersebut bisa kemungkinan terjadi dermatitis berupa: eritema, papul, oedema
atau fesikel, dan bahkan kadangkadang bisa terjadi bula atau nekrosis.
Tatalaksana
Upaya pengobatan DKI yang terpenting adalah menghindari pajanan bahan
iritan, baik yang bersifat mekanik (gesekan atau tekanan yang bersifat terus menerus
suatu alat), fisik (lingkungan yang lembab, panas, dingin, asap, sinar matahari dan
ultraviolet) atau kimiawi (alkali, sabun, pelarut organic, detergen, pemutih, dan
asam kuat, basa kuat). Bila dapat dilakukan dengan sempurna dan tanpa komplikasi,
maka tidak perlu pengobatan topikal dan cukup dengan pelembab untuk memperaiki
kulit yang kering.
Apabila diperlukan untuk mengatasi peradangan dapat diberikan kortikosteroid
topikal. Pemakaian alat perlindungan yang adekuat diperlukan bagi mereka yang
bekerja dengan bahan iritan sebagai upaya pencegahan (Djuanda, 2007; Kampf,
2007). Pencegahan bahan iritan seharusnya menjadi diagnose primer dan edukasi
pada pasien. Penggunaan kompres basah dengan astringent alumunium asetat
dapat digunakan untuk mendinginkan dan mengeringkan lesi. Hidrokortison dan
lotion kalamin membantu untuk mengeringkan rasa gatal. Penggunaan topical
anestesi local tipe caine perlu dihindari atau diawasi karena dapat menyebabkan
kontak dermatitis yang lebih luas.
Daftar Pustaka :
Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Primer, 2014.

23. Akne Vulgaris ringan


Tingkat Kemampuan 4A
Definisi
Akne adalah penyakit kulit yang terjadi akibat peradangan menahun folikel
pilosebasea yang ditandai dengan adanya komedo, papul, pustul, nodus, dan kista
pada tempat predileksinya. Nama lainnya adalah jerawat.
Patogenesis
Ada beberapa faktor yang berkaitan dengan patogenesis panyakit
tersebut.Terdapat empat mekanisme utama terjadinya akne, yaitu:
1. Hipertrofi kelenjar sebasea dengan peningkatan penghasilan sebum (akibat
rangsangan hormon androgen)
Akne biasanya mulai timbul pada masa pubertas pada waktu kelenjar
sebasea membesar dan mengeluarkan sebum lebih banyak. Meningkatnya
produksi sebum pada penderita akne disebabkan oleh respon organ akhir yang
berlebihan (end-organ hyperresponse) pada kelenjar sebasea terhadap kadar
normal androgen dalam darah. Produksi sebum ini lebih banyak dihasilkan
pada seseorang yang menderita akne dibanding dengan yang tidak
menderita akne.
2. Hiperkeratosis epitelium folikular (pertumbuhan sel-sel yang cepat dan
mengisi ruang folikel polisebasea dan membentuk plug)
Akibat dari meningkatnya sebum pada penderita akne, terjadi penurunan
konsentrasi asam linoleik. Hal ini dapat menyebabkan defisiensi asam linoleik
setempat pada epitel folikel, yang akan menimbulkan hiperkeratosis folikuler
dan penurunan fungsi barier dari epitel. Dinding komedo lebih mudah
ditembus bahan-bahan yang dapat menimbulkan peradangan.
3. Pertumbuhan kuman, Propionibacterium acnes yang cepat (folikel
polisebasea yang tersumbat akan memerangkap sebum serta meningkatkan
pertumbuhan kuman)
Bakteri ini memproduksi porfirin yang bila dilepaskan dalam folikel akan
menjadi katalisator untuk terjadinya oksidasi skualen, sehingga oksigen dalam
folikel tambah berkurang lagi. Penurunan tekanan oksigen dan tingginya
jumlah bakteri ini dapat menyebabkan peradangan folikel.
4. Inflamasi akibat hasil sampingan kuman Propionibacterium acnes, karena
kuman ini memproduksi lipase, hialuronidase, protease, lesitinase dan
neuramidase yang diduga memegang peranan penting dalam proses terjadinya
peradangan.
Manifestasi Klinis
Erupsi kulit polimorfi, dengan gejala predominan salah satunya, komedo,
papul yang tidak beradang dan pustul, nodus dan kista yang beradang. Dapat
disertai rasa gatal, namun umumnya keluhan penderita adalah keluhan estetis.
Komedo adalah gejala patognomonik bagi akne berupa papul miliar yang di
tengahnya mengandung sumbatan sebum, bila berwarna hitam akibat
mengandung unsur melanin disebut komedo hitam atau komedo terbuka (black
comedo, open comedo) sedang bila berwarna putih karena letaknya lebih dalam
sehingga tidak mengandung unsur melanin disebut sebagai komedo putih atau
komedo tutup (white comedo, close comedo). Predileksi akne vulgaris adalah
muka, bahu, dada bagian atas, dan punggung bagian atas. Lokasi lain misalnya
leher, lengan atas, dan glutea kadang terkena.

Gambar 55. Akne Vulgaris


Gradasi yang menunjukkan berat ringannya penyakit diperlukan bagi pilihan
pengobatan. Penulis di Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin FKUI/RSUPN
Dr.Cipto Mangunkusumo membuat gradasi akne vulgaris sebagai berikut:
1. Ringan, bila :
a. Beberapa lesi tak beradang pada 1 predileksi
b. Sedikit lesi tak beradang pada beberapa tempat predileksi
c. Sedikit lesi tak beradang pada 1 predileksi
2. Sedang, bila :
a. Banyak lesi tak beradang pada 1 predileksi
b. Beberapa lesi tak beradang pada lebih dari 1 predileksi
c. Beberapa lesi beradang pada 1 predileksi
d. Sedikit lesi beradang pada lebih dari 1 predileksi
3. Berat, bila :
a. Banyak lesi tak beradang pada lebih dari 1 predileksi
b. Banyak lebih beradang pada 1 atau lebih predileksi

Catatan : sedikit < 5, beberapa 5 – 10, banyak > 10 lesi


tak beradang : komedo putih, komedo hitam, papul
beradang : pustul, nodus, kista
Kriteria Diagnosis
1. Anamnesis
Dari anamnesis dapat ditemukan keluhan yang bersifat subjektif, biasanya
pasien mengeluh timbul bintik-bintik merah, rasa sakit, dan sangat menggangu
dalam hal estetika.
2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan lesi yang khas berupa komedo, dan
bila terjadi peradangan akan terbentuk ruam berupa papul, pustul, nodul dan kista
di tempat predileksinya.
3. Pemeriksaan Histopatologi
Memperlihatkan gambaran yang tidak spesifik berupa sebukan sel radang
kronis di sekitar folikel pilosebasea dengan massa sebum dalam folikel. Pada
kista, radang telah menghilang diganti dengan jaringan ikat pembatas massa
cair sebum yang bercampur dengan darah, jaringan mati dan keratin yang
lepas.
4. Pemeriksaan Lain
Pemeriksaan ekskohleasi sebum, yaitu pengeluaran sumbatan sebum dengan
ekstraktor komedo (sendok Unna). Sebum yang menyumbat folikel tampak
sebagai massa padat seperti lilin atau massa lebih lunak bagai nasi yang ujungnya
kadang berwarna hitam.
Pemeriksaan mikrobiologis terhadap jasad renik yang mempunyai peran pada
etiologi dan patogenesis penyakit dapat dilakukan di laboratorium mikrobiologi
yang lengkap untuk tujuan penelitian, namun hasilnya sering tidak memuaskan.
Pemeriksaan susunan dan kadar lipid permukaan kulit (skin surface lipids)
dapat pula dilakukan untuk tujuan serupa. Pada akne vulgaris kadar asam
lemak bebas (free fatty acid) meningkat dan karena itu pada pencegahan dan
pengobatan digunakan cara untuk menurunkannya.
Tatalaksana
Meliputi usaha untuk mencegah terjadinya erupsi (preventif) dan usaha
untuk menghilangkan jerawat yang terjadi (kuratif). Kedua usaha tersebut
dilakukan bersamaan.
Pencegahan
a. Menghindari terjadinya jumlah lipid sebum dan perubahan isi sebum dengan
:
- Diet rendah lemak dan karbohidrat
- Perawatan kulit berupa membersihkan kulit dari kotoran dan jasad
renik yang mempunyai peranan etiopatogenesis pada akne vulgaris
b. Hindari faktor pemicu :
- Hidup teratur dan sehat, cukup istirahat, olahraga sesuai kondisi
tubuh, hindari stress.
- Penggunaan kosmetika secukupnya, baik banyaknya maupun
lamanya
- Menjauhi terpacunya kelenjar minyak, misal minuman keras, pedas,
rokok, lingkungan tidak sehat, dsb.
- Menghindari polusi debu, pemencetan lesi yang tidak lege artis,
yang dapat memperberat erupsi yang telah terjadi.
c. Memberikan informasi yang cukup pada penderita mengenai penyebab
penyakit, pencegahan dan cara maupun lama pengobatannya, serta
prognosisnya. Penting agar penderita tidak underestimate atau overestimate
terhadap usaha penatalaksanaan yang dilakukan.
PENGOBATAN
Pengobatan akne vulgaris disesuaikan dengan gradasi penyakit yang diderita
pasien. Berikut pembagian terapi akne vulgaris menurut Canadian Medical
Association Journal:
Derajat Ringan
OBAT SEDIAAN DOSIS
Retinoid Topikal Krim 0,05%, 0,1% 2x1 pagi dan sore setelah
• Adapalene Gel 0,01% mandi
• Tazarotin Solusio 0,05%
Antibiotik Topikal Krim 1%
• Oksi tetrasiklin
• Eritromisin
• Klindamisin fosfat

Derajat Sedang
OBAT SEDIAAN DOSIS
Retinoid Topikal Krim 0,05%, 0,1% 2x1 pagi dan sore setelah
• Adapalene Gel 0,01% mandi
• Tazarotin Solusio 0,05%
Bahan iritan (peeling) Krim 2x1 pagi dan sore setelah
• Peroksida benzoil 2,5 – 10% mandi
• Asam salisilat 2 – 5%
• Sulfur 4 – 8%
• Resorsinol 1 – 5%
Antibiotik Oral 250 mg 3x1
• Tetrasiklin 50 mg 2x1
• Doksisiklin 500 mg 2x1
• Eritromisin 250 mg 3 x 1 minggu
• Azitromisin

Derajat Berat
OBAT SEDIAAN DOSIS
Isoretinoid Oral 0,5 – 1 mg/kgBB/hari
Kortikosteroid Oral 5 mg 1x1
• Prednison 5 mg 1x1
• Deksametason

A. Pengobatan Topikal
Dilakukan untuk mencegah pembentukan komedo, menekan peradangan,
dan mempercepat penyembuhan lesi. Terdiri atas :
1. Bahan iritan yang dapat mengelupas kulit (peeling), misal : sulfur (4-8%),
resorsinol (1-5%), asam salisilat (2-5%), peroksida benzoil (2,5-10%),
asam vitamin A (0,025-0,1%), dan asam azeleat (15-20%). Efek samping
dapat dikurangi dengan pemakaian konsentrasi rendah.
2. Antibiotika topikal, misal: oksi tetrasiklin (1%), eritromisin (1%),
klindamisin fosfat (1%)
3. Anti radang topikal, misal: salep atau krim kortikosteroid kekuatan ringan
atau sedang (hidrokortison 1-2,5%) atau suntikan intralesi kortikosteroid
kuat (triamsinolon asetonid 10 mg/cc) pada lesi nodulo kistik
4. Lainnya, misal: etil laktat 10% untuk menghambat pertumbuhan jasad
renik.
B. Pengobatan sistemik
Terutama untuk menekan aktivitas jasad renik disamping juga mengurangi
reaksi radang, menekan produksi sebum, dan mempengaruhi keseimbangan
hormonal. Terdiri dari :
1. Anti bakteri sistemik, misal: tetrasiklin (250 mg – 1g/hari), eritromisin
(4x250 mg/hari), doksisiklin (50 mg/hari), trimetoprim (3x100 mg/hari).
2. Obat hormonal. Untuk menekan produksi androgen secara kompetitif
menduduki reseptor organ target di kelenjar sebasea, misal: estrogen (50
mg/hari selama 21 hari dalam sebulan) atau antiandrogen siproteron asetat
(2 mg/hari). Kortikosteroid misal prednison (7,5 mg/hari) atau
dexametason (0,25-0,5 mg/hari), untuk menekan peradangan dan menekan
sekresi kelenjar adrenal.
3. Vitamin A dan retinoid oral. Untuk antikeratinisasi (50.000-150.000
ui/hari). Sudah jarang digunakan karena efek sampingnya. Isotretinoin
(0,5-1 mg/kg BB/hari) merupakan derivat retinoid yang menghambat
produksi sebum sebagai pilihan pada akne nodulokistik atau konglobata
yang tidak sembuh dengan pengobatan lain.
4. Obat lainnya, misal: AINS (anti inflamasi non steroid), misal: ibuprofen
(600 mg/hari), dapson (2x100 mg/hari), seng sulfat (2x200 mg/hari).
C. Bedah Kulit
Untuk memperbaiki jaringan parut baik yang hipertrofik maupun yang
hipotrofik. Tindakan dilakukan setelah akne vulgaris sembuh.
1. Bedah skalpel dilakukan untuk meratakan sisi jaringan parut yang
menonjol atau melakukan eksisi elips pada jaringan parut hipotrofik yang
dalam.
2. Bedah listrik dilakukan pada komedo tertutup untuk mempermudah
pengeluaran sebum atau pada nodulo kistik untuk drainase cairan isi yang
dapat mempercepat penyembuhan.
3. Bedah kimia dengan asam triklor asetat atau fenol untuk meratakan
jaringan parut yang berbenjol.
4. Bedah beku dengan bubur CO2 beku atau N2 cair untuk mempercepat
penyembuhan radang.
5. Dermabrasi untuk meratakan jaringan parut hipo dan hipertrofi pasca akne
yang luas.
Daftar Pustaka :
Rahayuningsih R. Acne Vulgaris. Jawa Barat : Ilmu Penyakit Kulit Kelamin
RSUD Subang, 2010. Diunduh pada :
https://id.scribd.com/document/45861242/Referat-Acne, 2 Februari 2017.

24. Urtikaria Akut


Tingkat Kemampuan 4A
Definisi
Urtikaria adalah reaksi vaskular pada kulit, ditandai dengan edema setempat yang
cepat timbul dan dapat menghilang perlahan-lahan, berwarna pucat dan
kemerahan, meninggi di permukaan kulit, di sekitarnya terdapat halo. Keluhan
berupa gatal, rasa tersengat, atau tertusuk. Angioedema merupakan urtikaria yang
mengenai lapisan kulit yang lebih dalam dari dermis, yakni submukosa, targetnya
bias di saluran pencernaan, pernapasan. Reaksi anafilaksis dan hipotensi dapat
terjadi.
Patofisiologi
Hal yang mendasari terjadinya urtikaria yaitu eritema akibat dilatasi kapiler,
timbulnya flare akibat dilatasi yang diperantai reflex akson saraf dan timbulnya
wheal akibat ekstravasasi cairan karena meningkatnya permeabilitas vaskuler.
Vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler dapat terjadi akibat pelepasan
mediator kimia misal histamine, kinin, serotonin, slow reacting substance of
anaphylaxis(SRSA) dan prostaglandin oleh sel mas atau basofil. Selain itu terjadi
pula inhibisi proteinase oleh enzim proteolitik, misalnya kalikrin, plasmin,
tripsin, dan hemotripsin di dalam sel mast.
Efek dari histamin mengakibatkan cairan dan sel keluar dari pembuluh
darah terutama eosinofil, yang menyebabkan pembengkakan kulit local, cairan
serta sel yang keluar akan merangsang ujung saraf perifer kulit sehingga timbul
rasa gatal. Terjadilah bentol merah yang gatal.
Baik faktor imunologik maupun non-imunologik mampu merangsang sel
mas atau basofil untuk melepas mediator-mediator tersebut. Histamine
merupakan mediator terpenting pada alergi fase cepat yang diperantarai IgE pada
penyakit atopic. Histamin terikat pada reseptor histamine yang berbeda- beda.
Ada 4 jenis reseptor histamine, reseptor H1, H2, H3, dan H4 masing- masing
memiliki efek fisiologi yang berbeda.
Manifestasi Klinis
Keluhan subjektif biasanya gatal, rasa terbakar atau tertusuk. Klinis tampak
eritema dan edema setempat berbatas tegas, kadang bagian tengah tampak
lebih pucat. Eritema akan memutih bila ditekan. Bentuknya papular seperti
pada urtikaria sengatan serangga, besarnya dapat lentikular, numular sampai
plakat. Bila mengenai jaringan lebih dalam sampai dermis dan jaringan
submukosa atau subkutan juga pada saluran cerna dan napas disebut
angiodema. Urtikaria dan angiodema dapat terjadi di beberapa lokasi secara
bersamaan, atau sendiri-sendiri. Angioedema umumnya terjadi di wajah atau
bagian ekstremitas.
Pada dermografisme lesi sering berbentuk linier di kulit yang terkena goresan
benda tumpul, timbul dalam waktu lebih kurang 30 menit. Pada urtikaria
dingin dan panas, lesi akan terlihat pada daerah yang terkena dingin dan panas.
Urtikaria akibat penyinaran tampakan klinis berbentuk urtikaria papular. Lesi
urtikaria kolinergik timbul pada peningkatan suhu tubuh, emosi, pekerjaan
berat, sangat gatal, daerah warna merah dapat berkonfluen membentuk plakat,
biasanya pada daerah yang berkeringat.Untuk urtikaria akibat obat atau
makanan umumnya timbul secara akut dan generalisata.
Gambar 56. Urtikaria akut tersebar diseluruh badan
dan kedua lengan dan angiodema di wajah

Kriteria Diagnosis
A. Anamnesis
Informasi awal mengenai riwayat urtikaria sebelumnya, durasi ruam dan
gatal bermanfaat untuk mengkategorikan urtikaria sebagai akut, rekuren, atau
kronik.Beberapa pertanyaan untuk menentukan penyebab alergi atau non-alergi
adalah sebagai berikut:
- Apakah biduran berhubungan dengan makanan? Adakah makanan
baru yang ditambahkan dalam menu makan?
- Apakah pasien sedang menjalani pengobatan rutin atau menggunakan
obat baru, jika iya apa jenis obat tersebut?
- Apakah pasien mempunyai penyakit kronik atau riwayat penyakit
kronik?
- Apakah pasien sedang hamil?
- Apakah sebelumnya ada stimulus panas, dingin, tekanan atau vibrasi?
- Apakah ada senyawa yang dihirup atau kontak dengan kulit yang
mungkin timbul di tempat kerja?
- Apakah sebelumnya pasien sempat terkena gigitan serangga?
B. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan kulit pada urtikaria meliputi:
- Lokalisasi (badan, ekstremitas, kepala dan leher)
- efloresensi (eritema, edema, berbatas tegas dengan elevasi kulit kadang
bagian tengah tampak pucat, ukuran (milier hingga sentimeter), bentuk
(lentikular hingga plakat), dermografisme
C. Pemeriksaan Penunjang
Walaupun melalui anamnesis yang teliti dan pemeriksaan klinis mudah
ditegakkan diagnosis urtikaria, beberapa pemeriksaan diperlukan untuk
membuktikan penyebabnya yaitu:
- Pemeriksaan darah, urin, feses untuk menilai ada tidaknya infeksi yang
tersembunyi pada organ dalam. Cryoglobulin dan cold hemolysin perlu
diperiksan pada dugaan urtikaria dingin
- Pemeriksaan gigi, telinga hidung tenggorok, serta usapan vagina untuk
menyingkirkan dugaan infeksi fokal
- Pemeriksaan kadar IgE, eosinofil dan komplemen
- Tes kulit, uji gores (scratch test) dan uji tusuk (prick test) serta tes
intradermal dapat digunakan untuk mencari alergi inhalan, makanan,
dermatofit dan kandida
- Tes eliminasi makanan dengan cara menghentikan semua makanan yang
dicurigai, kemudian mencoba kembali sedikit demi sedikit
- Tes foto temple, pada urtikaria fisik akibat sinar.
- Tes dengan air hangat
- Tes dengan es
Tatalaksana
Penatalaksanaan yang paling ideal untuk pengobatan urtikaria tentu saja
mengobati factor penyebabnya atau bila mungkin menghindari penyebab yang
dicurigai. Urtikaria akut lebih mudah diatasi daripada urtikaria kronik, namun
prinsipnya ialah:
A. Penanganan Umum
- Menghindari factor penyebab
- Antihistamin
- Golongan adrenergic
- Kortiosteroid
B. Pengobatan penyebab
C. Pengobatan topical
Pengobatan lokal di kulit dapat diberikan secara simtomatik misalnya
antipruritus di dalam bedak kocok atau bedak.
Antihistamin
Antihistamin bekerja menghambat histamine pada reseptor-reseptor
histamine. Berdasarkan reseptor yang dihambat digolongkan menjadi 2
kelompok yaitu:
a. Antihistamin 1 (AH1)
b. Antihistamin 2 (AH2)
Secara klinis pengobatan pada urtikaria dan angioedema dipercayakan pada
efek antagonis histamine pada reseptor H1, namun sering menimbulkan efek
sedas. Golongan ini disebut antihistamin klasik. Sedangkan yang tidak
menimbulkan efek sedasi disebut dengan antihistamin non klasik.

Kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid sistemik diperlukan pada pasien urtikaria akut
tapi tidak ada manfaatnya pada manfaatnya pada urtikaria kronik, dapat pula
dberikan pada pasien yang tidak berespon dengan pemberian antihistamin
klasik. Kortikosteroid akan lebih bermanfaat bila dikombinasikan dengan AH1.
Preparat yang biasa digunakan adalah prednisone, dengan dosis 40mg/hari.
Daftar Pustaka :
Darmawan D.D. Urtikaria. Sukabumi : Fakultas Kedokteran Universitas Islam
Bandung
Ilmu Kesehatan Kulit Dan Kelamin RSUD R. Syamsudin, SH, 2014. Diunduh
pada : https://id.scribd.com/document/225975184/Referat-Urtikaria, 2 Februari
2017.
25. Exanthematous drug eruption, fixed drug eruption
Tingkat Kemampuan 4A
Definisi
Erupsi obat alergik atau allergic drug eruption ialah reaksi alergik pada kulit atau
daerah mukokutan yang terjadi sebagai akibat pemberian obat yang biasanya
sistemik. Obat masuk ke dalam tubuh secara sistemik, dapat melalui mulut,
hidung, telinga, vagina, suntikan atau infus. Juga dapat sebagai obat kumur, obat
mata, tapal gigi dan obat topical. Obat adalah zat yang dipakai untuk menegakkan
diagnosis, profilaksis, dan pengobatan. Pemberian obat secara topikal dapat pula
menyebabkan alergi sistemik, akibat penyerapan obat oleh kulit.
Patofisiologi
a. Reaksi Simpang Obat dan Reaksi Obat Alergik
Reaksi Simpang Obat (RSO) didefinisikan oleh WHO sebagai respon
terhadap obat yang berbahaya dan tidak diharapkan, serta terjadi pada dosis
normal pada penggunaan sebagai profilaksis, diagnosis atau terapi penyakit,
atau untuk modifikasi fungsi fisiologis.
Rawlin dan Thompson membagi RSO menjadi 2 kelompok yaitu tipe A dan
tipe B. Reaksi tipe A adalah reaksi yang dapat diprediksi, lazim terjadi,
bergantung pada dosis, berhubungan dengan farmakologi obat, dan dapat
terjadi pada tiap individu. Reaksi tipe A terjadi sekitar 80% dari kasus-
kasus RSO. Reaksi tipe B merupakan reaksi yang tidak dapat diprediksi, tidak
lazim terjadi, tidak bergantung pada dosis, dan sering tidak berhubungan
dengan farmakologi obat, serta hanya terjadi pada individu yang rentan.
Reaksi ini meliputi intoleransi, reaksi idiosinkrasi, reaksi alergi
(hipersensitivitas), dan pseudoalergi. Sekitar 25 - 30% reaksi tipe B
merupakan reaksi obat alergik.7
Belakangan ditambahkan beberapa tipe reaksi, yaitu reaksi yang
berhubungan dengan dosis dan waktu (tipe C), reaksi lambat (tipe D), efek
withdrawal (tipe E) dan kegagalan terapi yang tidk diharapkan (tipe F).
Reaksi tipe C tidak Iazim terjadi, dan berhubungan dengan dosis kumulatif,
misalnya pada ketergantungan benzodiazepin, nefropati analgetik serta
penekanan aksis hypothalamic - pituitary - adrenal oleh kortikosteroid. Tipe
D dapat dibagi menjadi 2 reaksi yaitu reaksi yang berhubungan dengan
waktu (yang kemudian disebut sebagai tipe D), dan efek withdrawal (tipe
E). Reaksi tipe D tidak lazim terjadi, biasanya berhubungan dengan dosis, dan
terjadi atau kadang - kadang terlihat setelah penggunaan obat, misalnya efek
karsinogenik dan teratogenik dari obat. Sedangkan reaksi tipe E tidak lazim
terjadi, dan timbul segera setelah penghentian obat, misalnya pada opiate
withdrawal syndrome. Reaksi tipe F lazim terjadi, berhubungan dengan dosis,
dan seringkali disebabkan oleh interaksi obat, misalnya pemberian dosis
kontrasepsi oral yang tidak adekuat, khususnya pada pemakaian penginduksi
enzim spesifik.
Reaksi Obat Alergik (ROA) adalah salah satu bentuk RSO yang dihasilkan
dari respons imunologik terhadap obat atau metabolitnya. ROA merupakan
bagian dari RSO (reaksi tipe B). ROA memiliki beberapa karakteristik
klinis tertentu, yaitu :
1. Reaksi alergi jarang pada pemberian obat pertama kali.
2. Reaksi alergi terbatas pada sejumlah sindroma tertentu.
3. Umumnya reaksi alergi terjadi pada populasi kecil.
4. Adanya kecendrungan pasien bereaksi terhadap obat pada dosis jauh di
bawah kisaran dosis terapeutik.
5. Adanya eosinofilia pada darah atau jaringan mendukung keterlibatan proses
alergi.
6. Reaksi alergi biasanya hilang setelah penghentian obat.
Beberapa faktor risiko dapat mempengaruhi respons imun terhadap obat,
yaitu faktor yang berhubungan dengan obat dan pengobatan (sifat obat, dan
pajanan obat), serta faktor yang berhubungan dengan pasien (usia, genetik,
reaksi obat sebelumnya, penyakit dan pengobatan medis yang menyertai).
1. Sifat Obat
Obat dengan berat molekul besar (makromolekul) misalnya antiserum,
streptokinase, L-asparaginase dan insulin, merupakan antigen kompleks
yang potensial untuk menyebabkan sensitisasi pada pasien. Obat- obatan
dengan berat molekul rendah(dibawah 1000 Dalton) merupakan imunogen
lemah atau tidak imunogenik.
2. Pajanan Obat
Pemberian obat secara topikal umumnya memiliki risiko terbesar untuk
tersensitisasi, sedangkan pemberian oral memiliki risiko paling kecil untuk
tersensitisasi. Aplikasi topikal menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe
lambat. Pemberian oral atau nasal menstimulasi produksi imunoglobulin
spesifik obat, yaitu IgA dan IgE, kadang – kadang IgM.
Dosis dan lamanya pengobatan berperan pada perkembangan respons
imunologik spesifik obat, contohnya adalah pada lupus eritematosus yang
diinduksi obat, dosis dan lamanya pengobatan hidralazin merupakan faktor
penting, demikian juga pada anemia hemolitik yang diinduksi penisilin.
Dosis profilaksis tunggal antibiotika kurang mensensitisasi dibandingkan
dengan pengobatan parenteral lama dengan dosis tinggi. Frekuensi
pemberian obat dapat berdampak sensitisasi. Kerapnya pemberian obat lebih
memicu reaksi alergi, interval pengobatan makin lama, maka reaksi alergi
lebih jarang terjadi.
3. Usia
Secara umum reaksi obat alergik dapa terjadi pada seluruh golongan, namun
umumnya anak - anak kurang tersensitisasi oleh obat dibandingkan dengan
dewasa, walaupun demikian ROA yang serius dapat juga terjadi pada anak-
anak. Bayi dan usia lanjut jarang mengalami alergi obat dan kalau pun
terjadi lebih ringan, hal tersebut dikaitkan dengan imaturitas atau involusi
sistem imun.
4. Genetik
Gen HLA spesifik dihubungkan dengan risiko terjadinya alergi obat.
Kemungkinan alergi obat familial pernah dilaporkan. Di antara individu
dewasa yang orang tuanya mengalami reaksi alergi terhadap antibiotika,
25,6 % mengalami reaksi alergi terhadap agen antimikroba; sedangkan
individu dengan orang tua tanpa reaksi alergi, hanya 1,7% mengalami reaksi
alergi.
5. Reaksi Obat Sebelumnya
Faktor risiko terpenting adalah adanya riwayat reaksi terhadap obat
sebelumnya. Hipersensitivitas terhadap obat tidak sama dalam jangka waktu
tidak terbatas. Sensitisasi silang antara obat dapat terjadi, misalnya antara
berbagai kelompok sulfonamid. Pasien dengan riwayat hipersensitivitas
memiliki peningkatan tendensi untuk terjadinya sensitivitas terhadap obat
baru, contohnya pasien dengan alergi penisilin memiliki peningkatan risiko
10 kali untuk terjadinya alergi terhadap antimikroba non-β-laktam.
Reaksinya tidak terbatas pada hipersensitivitas tipe cepat.
6. Penyakit medis yang menyertai
Pasien dengan penyakit medis yang menyertai yang mempengaruhi sistem
imun seperti HIV-AIDS meningkatkan resiko dan frekuensi terjadinya
ROA.5 Hal tersebut terjadi akibat tertekannya sistem imun sehingga tubuh
mengalami defisiensi limfosit T supresor yang mengatur sintesis antibodi IgE.
Contoh lain adalah ruam makulopapular setelah pemberian ampisilin yang
lebih sering terjadi selama infeksi virus Epstein-Barr dan di antara
pasien dengan leukemia limfatik.
7. Pengobatan medis yang menyertai
Beberapa pengobatan dapat mengubah risiko dan beratnya reaksi terhadap
obat.
b. Erupsi Obat Alergik
Erupsi obat alergik atau allergic drug eruption ialah reaksi alergik pada
kulit atau daerah mukokutan yang terjadi sebagai akibat pemberian obat
yang biasanya sistemik.
Mekanisme terjadinya erupsi obat dapat secara non imunologik dan
imunologik (alergik), tetapi sebagian besar merupakan reaksi imunologik.
Erupsi obat dengan mekanisme imunologik disebut erupsi obat alergik (EOA).
Mekanisme imunologik
EOA terjadi pada pemberian obat kepada penderita yang sudah mempunyai
hipersensitivitas terhadap obat tersebut. Obat dan metabolitnya berfungsi
sebagai hapten yang menginduksi antibody humoral. Terjadinya reaksi
hipersensitivitas karena obat harus dimetabolisme terlebih dahulu menjadi
produk yang secara kimia sifatnya reakif. Untuk memudahkan pemahaman
mengenai terjadinya erupsi obat alergik dilakukan klasifikasi secara
imunopatogenesis, yaitu :
1. Reaksi yang diperantarai oleh antibodi :
a) IgE : eritema, urtikaria, angioedema.
b) IgG : purpura, vaskulitis, erupsi morbiliformis.
2. Reaksi yang diperantarai oleh sel : fotosensitivitas
3. Reaksi yang kemungkinan didasari mekanisme imunologik
a) Eksantema fikstum /fixed drug eruption
b) Eritema multifomis (Stevens Johnson Syndrome)
c) Nekrolisis epidermal toksik
4. Reaksi tersangka alergi : reaksi Jarisch- Herxheimer.
Reaksi alergik yang secara (immediate), terjadi dalam beberappa menit dan
ditandai dengan urtikaria, hipotensi dan shok. Bila reaksi itu membahayakan
jiwa maka disebut syok anafilaksis. Reaksi yang cepat (accelerated) timbul
dari 1 sampai 72 jam sesudah pemberian obat dan kebanyakan
bermanifestasi sebagai urtikaria. Kadang-kadang berupa rash morbiliformis
atau edema laring. Reaksi yang lambat (late) timbul lebih dari 3 hari.
Diperkirakan reaksi jenis cepat dan lambat ini ditimbulkan oleh antibody IgG,
tetapi beberapa reaksi hemolitik dan exanthema dihubungkan dengan
antibody IgM.
Aspek imnunopatogenesisnya adalah:
1. Metabolisme Obat dan Hipotesis Hapten
Suatu subtansi dikatakan merupakan imunogen lemah atau tidak
imunogenik bila berat molekul kurang dari 4000 Dalton. Sebagian besar obat-
obatan merupakan senyawa kimia organik sederhana dengan berat
molekul rendah, sehingga merupakan imunogen lemah atau bahkan tidak
imunogenik. Obat-obatan dengan berat molekul rendah dapat menjadi
imunogenik bila obat atau metabolit obat berikatan dengan karier
makromolekul, seringkali melalui ikatan kovalen, membentuk kompleks
hapten-karier, sehingga pengolahan antigen menjadi efektif. Untungnya,
sebagian besar obat merupakan molekul yang stabil dan memiliki sedikit
kemampuan atau tidak mampu (tidak cukup reaktif) membentuk ikatan
kovalen dengan komponen jaringan. Hal ini menerangkan rendahnya
insidens alergi obat. Ternyata terdapat beberapa obat dengan BM rendah
(misalnya polimiksin), yang bersifat irnunogenik tanpa konjugasi dengan
jaringan. Meski mekanisme yang pasti belum diketahui, imunogenesitas suatu
obat mungkin berhubungan dengan kemampuan obat membentuk polimer
rantai panjang. Sedangkan obat-obatan dengan berat molekul tinggi
merupakan antigen lengkap yang dapat menginduksi respons imun dan
memicu reaksi hipersensitivitas. Kecenderungan obat tertentu untuk
menimbulkan sensitisasi adalah karena obat tersebut memang cenderung
membentuk metabolit yang sangat reaktif.
Pemahaman baru tentang pengenalan obat oleh sistem imun berdasarkan
pada model hapten. Potensi obat untuk menjadi alergenik sangat bergantung
pada struktur kimia obat. Peningkatan ukuran molekul dan kompleksitas
berhubungan dengan peningkatan kemampuan untuk memicu respons imun.
Umumnya obat - obatan yang menyebabkan reaksi hipersensitivitas harus
mengalami bioaktivasi atau metabolisme menjadi produk kimia yang
reaktif. Umumnya metabolisme obat dianggap sebagai proses detoksifikasi,
obat yang sebelumnya nonpolar dan larut lemak menjadi lebih polar dan
hidrofilik sehingga mudah dieksresi. Jika metabolit tidak mengalami
detoksifikasi yang adekuat, dapat menyebabkan toksisitas langsung pada sel
atau hipersensitivitas yang diperantarai imun.
Metabolisme obat dibagi menjadi 2 langkah, yaitu reaksi fase I dan reaksi fase
II. Reaksi fase I adalah oksidasi - reduksi atau reaksi hidrolisis, dan reaksi
fase II adalah reaksi konjugasi yang menghasilkan pembentukan
senyawa inaktif yang mudah diekskresi. Reaksi oksidasi membutuhkan
isoenzim sitokrom P450, prostaglandin sintetase, dan bermacam- macam
peroksidase jaringan. Reaksi fase II diperantarai oleh berbagai enzim antara
lain epoksida hidrolase, glutation S-transferase (GST), dan N-asetyl
transferase (NAT). Untuk dapat menimbulkan reaksi imunologik hapten
harus bergabung dengan protein pembawa (carrier) yang ada di dalam
sirkulasi atau protein jaringan hospes. Carrier diperlukan oleh obat atau
metabolitnya untuk merangsang sel limfosit T agar merangsang sel limfosit
B membentuk antibodi terhadap obat atau metabolitnya.
Pada umumnya metabolit reaktif yang dibentuk pada fase I seringkali
mengalami detoksifikasi dan eliminasi secara cepat. Metabolit reaktif obat
yang tidak didetoksifikasi dapat mengikat protein atau asam nukleat, sehingga
menyebabkan nekrosis sel atau menyebabkan perubahan produk gen. Reaksi
tersebut merupakan efek toksik langsung. Hal ini terjadi pada metabolit reaktif
sulfonamid. Kemungkinan lain, metabolit reaktif dapat bertindak sebagai
hapten yang terikat secara kovalen dengan makromolekul yaitu protein atau
membran permukaan sel. Pengikatan tersebut membentuk imunogen besar
dan multivalen yang dapat menginisiasi respon imun. Respon imun dapat
langsung terhadap obat atau rnetabolitnya, dapat pula terhadap determinan
antigen baru (neoantigen) yang terbentuk melalui kombinasi obat dengan
protein, misalnya trombositopelia karena kuinin, terbentuk antibodi IgG
yang spesifik untuk kuinin yang terikat pada permukaan trombosit.
Kemungkinan lain, ikatan antara obat dan protein jaringan (komponen
jaringan lain) dapat mengubah tempat pengikatan obat pada molekul protein
jauh dari tempat pengikatan yang sesungguhnya. Perubahan pada protein
jaringan ini kemudian dapat dikenali sebagai benda asing oleh sistem imun.
Mekanisme ini terjadi pada drug-induced autoimmunity. Contoh fenomena ini
adalah sindrom lupus eritematosus sistemik yang diinduksi hidralazin.
Antigen harus memiliki multipel combining site (multivalen) sehingga dapat
memicu reaksi hipersensitivitas. Hal ini menyebabkan bridging molekul
antibodi IgE dan lgG atau reseptor antigen pada limfosit. Konjugasi obat
atau metabolitnya (hapten) dengan karier makromolekul membentuk
hapten-karier yang multivalen yang penting untuk inisiasi respon imun dan
elisitasi reaksi hipersensitivitas. Ligan yang univalen (obat atau
metabolitnya) dalam jumlah besar dapat menghambat respon imun melalui
kompetisi dengan konjugat multivalen pada reseptor yang sama, oleh karena
itu konsentrasi menentukan frekuensi, berat dan angka kejadian ROA.
Kulit merupakan organ yang aktif bermetabolisme, mengandung enzim
untuk memetabolisme obat baik fase I maupun II. Isoenzim sitokrom P450
multiple berada di kulit. Netrofil, monosit dan keratinosit memiliki enzim
yang potensial yang dapat mengoksidasi obat menjadi metabolit reaktif.
Kulit juga merupakan organ imunologis yang mengandung sel Langerhans
dan sel dendritik pada pathogenesis ROA. Kombinasi aktivitas metabolik
mungkin dapat menerangkan mengapa kulit merupakan organ yang paling
sering mengalami ROA.
2. Pengenalan Obat Oleh Sel T
Berbeda dengan sel B, sel T dapat mengenali antigen peptida hanya melalui
molekul major histocornpatibitity complex (MHC). Antigen eksogen
misalnya protein ditangkap oleh antigen presenting cell (APC), diproses
melalui perencanaan enzimatik menjadi peptida kecil, yang kemudian
dipresentasikan oleh molekul MHC kelas II kepada sel T CD4+. Sedangkan
peptida pendek dari antigen endogen dipresentasikan molekul MHC kelas I
kepada se T CD 8+. Sel T tidak hanya mengenal suatu peptida tetapi juga
antigen nonpeptida baik alami atau sintetik, antara lain lemak, fenil-
pirofosfat, glukosa, logam, atau obat-obatan yang dipresentasikan melalui
MHC atau molekul sepert MHC kepada sel T.
Mekanisme imunologik erupsi obat yang terpenting adalah presentasi obat
oleh APC, yaitu sel dedritik termasuk sel Langerhans kulit, kepada limfosit
T. Hal tersebut merupakan interaksi yang kompleks antara ikatan haptenated
peptide pada molekul MHC pada APC dan reseptor sel T. Pengikatan ini
dimodulasi oleh beberapa faktor termasuk sitokin, haptenated peptide itu
sendiri dan molekul adhesi antara sel T dan APC. Beberapa kemungkinan
presentasi obat oleh APC telah dikemukakan sebagai berikut :
a) Metabolisme obat ekstra hepatik (aktivasi intraseluler)
Kebanyakan obat didetoksifikasi intraseluler melalui isoenzim sitokrom P450.
Metabolisme obat melibatkan reaktive intermediate yang dapat mengikat
protein secara langsung. Jalan ini dialami sulfametoksasol, dimana metabolit
reaktif yang terbentuk (hidroksilamin dan nitroso supranetoksasol) mengikat
protein secara kovalen.
b) Aktivasi ekstraseluler
Aktivasi ekstraseluler dapat terjadi secara spontan atau melalui metabolisme
dependent myeloperoksidase. Reaktive intermediate dapat mengikat secara
langsung kompleks peptida - MHC atau mengikat protein ekstraseluler. Ikatan
protein obat tersebut akan ditangkap APC dan diolah menjadi peptida
- obat, yang kemudian dipresentasikan molekul MHC pada permukaan.
3. Tidak ada aktivasi
Jalan ini melibatkan pengikatan obat secara langsung, dan agak labil kepada
kompleks peptida - MHC. Obat ini dapat mengikat MHC, peptida atau
keduanya. Tidak dibutuhkan pengikatan dengan protein sebelumnya,
ambilan (uptake) maupun pengolahan, serta metabolisme untuk presentasi.
Diferensiasi subset Th bergantung pada konsentrasi antigen, sifat APC, dan
faktor lingkungan mikro (misalnya hormon). Keberadaan IL-4
menyebabkan polarisasi kuat kepada Th2, sedangkan diferensiasi Th1
diinduksi oleh IFN-γ atau TGF - β, terutama tanpa keberadaaan IL-4. Th2
menstimulasi produksi sel mast, eosinofil dan antibodi IgE. IL-4
bertanggung jawab pada produksi IgE, IL-5 untuk eosinofilia, dan
kombinasi IL-3, IL-4, dan IL-10 untuk produksi sel mast. Sedangkan sitokin
yang dihasilkan Th1 memperantarai respons imun yang berbeda-beda.
Aktivasi makrofag oleh IFN-γ, dan lebih luas lagi oleh TNF dan
granulocyte macrophage colony stimulating factor. Th1 juga memperantarai
respon imflamasi seluler kompleks yang dikenal sebagai hipersensitivitas
tipe lambat, dan dengan sekresi IFNγ dan TNF, juga berefek sitotoksik
langsung ke berbagai tipe sel. Jadi, tiap subset Th menginduksi dan meregulasi
kumpulan fungsi efektor yang saling berkaitan yang bekerja pada antigen
dan patogen yang spesifik.
Aktivasi ThI menyebabkan produksi sitokin sepertiI IL-2 dan IFN-γ, yang
mengakibatkan aktivasi sel T sitotoksik, serta menyebabkan reaksi seperti
dermatitis kontak, eksim obat, NET, atau erupsi mortibiliformis. Aktivasi Th2
menyebabkan produksi IL-4, IL-5, IL-13, dan produksi antibodi IgE yang
mengakibatkan reaksi klinis seperti urtikaria anafilaksis.
4. Klasifikasi Reaksi Alergik
Reaksi Obat Alergik dibagi dalam 4 tipe reaksi hipersensitivitas oleh
Coombs dan Gell yaitu Tipe I (Reaksi hipersensitivitas cepat/reaksi
anafilaktik), tipe II (Reaksi sitotoksik), tipe III (Reaksi komplek imun), dan
tipe IV (Reaksi hipersensitivitas tipe lambat). Reaksi tipe I - III diperantarai
oleh antibodi spesifik obat, sementara reaksi tipe IV oleh limfosit T spesifik
obat. ROA pada beberapa keadaan dapat sesuai dengan salah satu dari
keempat tipe tersebut, namun pada umumnya sulit untuk mengklasifikasikan
ROA ini ke dalam sistem Coombs dan Gell, karena mekanisme yang
bertanggung jawab untuk elisitasi belum diketahui.
a) Tipe I (Reaksi Anafilaktik)
Pajanan pertama kali terhadap obat tidak menimbulkan reaksi yang
merugikan, tetapi pajanan selanjutnya dapat menimbulkan reaksi. Terjadi
jika obat atau metabolitnya mengikat sekurang - kurangnya 2 molekul IgE
yang terikat pada permukaan sel mast atau basophil sehingga
mengakibatkan degranulasi sel mast dan basofil serta pelepasan histamin
dan berbagai mediator lain (misal serotonin, bradikinin, heparin, SRSA
leukotrien dan prostaglandin) dari sel. Gambaran klinis yang khas tipe I adalah
urtikaria dengan atau tanpa angioederma. Selain itu juga bisa terjadi spasme
bronkus, muntah dan yang paling bahaya adalah reaksi anafilaktik. Penisilin
merupakan penyebab utama erupsi obat tipe cepat yang IgE dependent.
b) Tipe II (Reaksi sitotoksik)
Tipe II terjadi jika antibodi IgG atau IgM mengikat antigen di permukaan
sel. Hal ini menyebabkan efek sitolitik atau sitotoksik oleh sel efektor yang
diperantarai komplemen. Gabungan obat-antibodi-komplemen terfiksasi
pada sel sasaran. Sebagai sel sasaran ialah eritrosit, leukosit, trombosit yang
mengakibatkan lisis sel sehingga reaksi tipe ini disebut juga reaksi sitolisis
atau sitotoksik.
Reaksi sitotoksik memiliki 3 kemungkinan mekanisme ; pertama, obat
terikat secara kovalen pada membran sel dan antibodi kemudian mengikat
obat dan mengaktivasi komplemen (misalnya penisilin); kedua kompleks
obat-antibodi yang terbentuk, terikat pada permukaan sel dan mengaktivasi
komplemen (rnisalnya sefalosporin); ketiga obat yang terikat pada
permukaan sel menginduksi respons imun yang mengikat langsung antigen
spesifik jaringan (misalnya α-methyl-dopa). Contoh obat yang menimbulkan
reaksi ini adalah sedormid (sedatif) yang dapat mengikat trombosit dan
imunoglobulin yang terbentuk terhadapnya sehingga menghancurkan
trombosit (trombositopenia) dan menimbulkan pulpura. Kloramfenikol
dapat mengikat sel darah putih dan mengakibatkan agranulositosis.
Fenasetin, klorpromazin, penisilin, kina, dan sulfonamid dapat mengikat sel
darah merah, mengakibatkan anemia hemolitik.
c) Tipe III (Reaksi Kompleks Imun)
Tipe III ditandai oleh pembentukan kompleks antigen-antibodi (antibodi
IgG atau IgM) dalam sirkulasi darah atau jaringan dan mengaktifkan
komplemen. Komplemen yang teraktivasi kemudian melepaskan berbagai
mediator diantaranya enzim-enzim yang dapat merusak jaringan seperti
macrophage chermotatic factor. Makrofag dikerahkan ketempat tersebut
melepas enzim yang dapat merusak jaringan. Komplemen juga membentuk
C3a dan C5a (anafilatoksin) yang merangsang sel mast dan basofil rnelepas
granul. Komplemen juga dapat menimbulkan lisis sel bila kompleks
diendapkan di jaringan.
Mekanisme tipe III diduga terlibat pada banyak erupsi obat, meliputi urtikaria,
vaskulitis dan eritema multiforme. Lesi urtikaria dapal juga
terlihat pada awal reaksi yang diikuti demam, limfadenopati, dan artralgia.
Reaksi ini berhubungan dengan kompleks imun dalam sirkulasi terdiri atas
antibodi IgG dan obat, yang mengaktifkan kaskade komplemen, menyebabkan
pembentukan anafilatoksin (C3a, C5a). Selanjutnya terjadi pelepasan
histamin dan mediator lain dari sel mas dan basofil. Reaksi ini lebih sering
disebabkan oleh sulfonamid dan penisilin. Pada vaskulitis yang diinduksi
obat, reaksi diperkirakan disebabkan oleh deposit kompleks imun obat dan
IgG pada endotel pembuluh kulit kecil yang menyebabkan peradangan yang
diperantarai komplemen. Pada eritema multiforme, peradangan yang
diperantarai kompleks imun mungkin berperan atau metabolisme yang
diperantarai IgE yang bertanggung jawab, melibatkan elemen reaksi fase
lambat.
d) Tipe IV(Reaksi Alergi Seluler Tipe Lambat)
Reaksi ini tidak melibatkan immunoglobulin, melainkan limfosit, APC dan sel
Langerhans yang mempresentasikan antigen kepada limfosit.1 Limfosit T
yang sudah tersensitisasi mengenali antigen dan 12-48 jam setelah pajanan
terhadap antigen menyebabkan pembebasan serangkaian limfokin, antara
lain marcrophage inhibilition factor dan macrophage activation factor.
Makrofag yang diaktifikan dapat menimbulkan kerusakan jaringan. Contoh
klasiknya adalah dermatitis kontak alergik.
Erupsi eksematosa, eritroderma, dan fotoalergik merupakan reaksi tipe IV.
Reaksi tipe ini melibatkan limfosit efektor yang spesifik yang juga terlibat
pada purpura, sindrom Lyell’s, bulosa, likhenoid, dan erupsi obat yang
menyerupai lupus. Mekanisme tipe IV bersama-sama tipe III terlibat pada
erupsi makulo-papular, fixed drug eruption, dan eritema nodosum.
Pada kenyataannya, reaksi-reaksi ini tidak selalu berdiri sendiri, namun
dapat bersama sama. Limfosit T berperan pada inisiasi respons antibodi, dan
antibodi bekerja sebagai essensial link pada beberapa reaksi yang
diperantarai sel, misalnya ADCC.
Mekanisme Non-Imunologis
Reaksi “pseudo-allergik” menstimulasi reaksi alergi yang bersifat antibody
dependent. Salah satu obat yang dapat menimbulkannya adalah aspirin dan
kontras media. Ada teori yang menyatakan bahwa ada satu atau lebih
mekanisme yang terlibat, pelepasan mediator sel mast dengan cara
langsung, aktivasi langsung dari sistem komplemen , atau pengaruh
langsung pada metabolisme enzim arakidonat sel.
Efek kedua diakibatkan oleh proses farmakologik obat terhadap tubuh yang
dapat menimbulkan gangguan seperti alopesia yang timbul karena
penggunaan kemoterapi antikanker. Penggunaan obat-obat tertentu secara
progresif ditimbun di bawah kulit, dalam jangka waktu yang lama akan
mengakibatkan gangguan lain seperti hiperpigmentasi generalisata difus.
Manifestasi Klinis
ROA dapat mengenai setiap organ, seperti darah, pulmo, hepar, dan renal,
tetapi yang tersering mengenai kulit (EOA). Manifestasi EOA yang tersering
(erupsi morbiliformis, urtikaria, angioedema, fixed drug eruption), yang
terberat (sindroma Stevens – Jhonson, nekrosis epidermal toksik), serta
beberapa manifestasi lain berupa dermatitis kontak alergik, dermatitis
eksfoliative, purpura, vaskulitis, reaksi fotoalergik, eritema multiformis dan
eritema nodosum.
a. Erupsi Makulopapular atau Morbiliformis
Erupsi makulopapular atau morbiliformis atau disebut juga erupsi
eksantematosa merupakan EOA yang paling sering dijumpai dan dapat
diinduksi oleh hampir semua obat. Erupsi ini timbul generalisata dan simetris,
dan dapat terdiri atas eritema, makula yang berkonfluens, dan/atau papul yang
tersebar di wajah, telapak tangan dan kaki. Membran mukosa tidak terkena.
Lesi biasanya mucul dalam 1 – 2 minggu setelah inisial terapi, tapi kadang-
kadang dapat muncul setelah obat dihentikan. Lesi selalu diikuti dengan gejala
pruritus, dapat pula diikuti demam, edema fasial / kelopak mata, malaise, dan
nyeri sendi yang biasanya hilang dalam beberapa hari sampai minggu setelah
obat dihentikan. Erupsi dapat hilang tanpa penghentian obat, namun hal ini
sangat jarang terjadi. Sebaliknya, ruam
dapat berkembang progresif menjadi eritroderma atau dermatitis eksfoliativa
dengan melanjutkan terapi.

Gambar 57. Erupsi Eksantematosa

Tipe khusus erupsi ini adalah pustulosa eksantematosa generalisata akut


(PEGA) yang ditandai dengan erupsi bulosa yang muncul mendadak diikuti
malaise dan demam tinggi. Lesi kulit berupa vesikopapula, pustul, dan bula
yang terjadi harnpir diseluruh tubuh. Mernbran mukosa jarang terlibat.
Gambaran klinis menyerupai psoriasis pustular.
Mekanisme terjadinya erupsi makulopapular yang diinduksi obat belum
diketahui dengan jelas, nampaknya melibatkan lebih dari satu mekanisme,
yaitu mekanisme reaksi tipe III dan tipe IV. Reaksi ini terjadi setelah beberapa
hari pemberian obat dan tidak terjadi setelah pemberian dosis pertama, hal ini
menunjukkan perlunya periode sensitisasi sebelum reaksi terjadi. Beberapa
erupsi makulopapular diperantarai oleh sel T. Baru-baru ini dilaporkan
keterlibatan sel T CD8+ dalam mekanisme terjadinya erupsi obat
morbiliformis dan bulosa. Keterlibatan limfosit CD8+ dalam erupsi obat
dihasilkan dari bioaktivasi obat menjadi intemediate reaktif. Intemediate
reaktif intraseluler ini mengikat protein sitoplasma secara kovalen, kemudian
dipresentasikan oleh MHC kelas I kepada sel T CD8+.
Erupsi makulopapular sering dikaitkan dengan penggunaan ampisillin,
NSAID, sulfonamid, antikonvulsan, allopurinol, tetrasiklin, eritromisis,
fenobarbital, dan bahkan retinoid. Penyebab utama adalah antibiotika β
laktam, dan arti epilepsi. Harus diingat bahwa tidak semua eksantem
morbiliformis atau makulopapular diinduksi oleh obat. Infeksi tertentu
khususnya virus dapat menginduksi eksatem yang sukar dibedakan dengan
yang diinduksi oleh obat. Kasus PEGA kebanyakan dihubungkan dengan
penggunaan antibiotika terutama kelompok penisilin.
b. Fixed Drug Eruption (FDE)
FDE atau disebut juga exantema fikstum adalah satu-satunya EOA yang
selalu diprovokasi oleh obat atau bahan kimia. Tidak ada faktor etiologi lain
yang dapat mengelisitasi. FDE merupakan EOA yang sering dijumpai
ketiga. Gambaran FDE berupa eritema dan vesikel berbentuk bulat atau
lonjong dan biasanya numular, pada kasus yang berat dapat timbul bula.
Tempat predileksi adalah di sekitar mulut, di daerah bibir dan daerah penis
pada laki-laki sehingga sering disangka penyakit kelamin karena berupa
erosi yang kadang-kadang cukup luas disertai eritema dan rasa panas
setempat. Lesi kemudian meninggalkan bercak hiperpigmentasi yang lama
dan baru hilang bahkan sering menetap. Kelainan akan timbul berkali-kali
pada tempat yang sama.

Gambar 58. Fixed drug eruption

Obat yang sering menyebabkan FDE ialah sulfonamide, barbiturate,


trimethoprim dan analgesic. Ukuran lesi bervariasi dari beberapa milimeter
hingga sentimeter. Dengan pemberian obat inisial, lesi soliter dapat terbentuk.
Pada pemberian ulang obat penyebab, lesi terjadi tidak hanya pada lokasi
biasanya, tapi juga pada tempat lain.
Mekanisme terjadinya FDE diduga melalui reaksi tipe III dan IV.
Terdapat peningkatan jumlah limfosit T baik helper maupun supresor.
Limfosit T helper / sitotoksik epidermis ditemukan dekat dengan keratinosit
yang nekrotik. Limfosit T yang menetap di lesi kulit berperan dalam
memori imunologis dan menjelaskan rekurensi lesi pada tempat yang sama.
Ditemukannya keratinosit pada lesi kulit FDE menunjukkan peningkatan
ICAM 1 dan FILA-DR. Peningkatan ekspresi ICAM-1 menjelaskan migrasi
limfosit T ke epidermis. Beberapa obat penyebab FDE adalah sulfonamid,
tetrasiklin, barbiturat, fenazon, fenitoin, trimetoprim, dan analgesik.
Kriteria Diagnosis
Diagnosis erupsi obat berdasarkan :
a. Anamnesis : adanya hubungan antara timbulnya erupsi dengan
penggunaan obat sehingga perlu ditanyakan obat-obat/jamu yang didapat,
kelainan yang timbul akut atau beberapa hari setelah konsumsi obat, rasa
gatal yang dapat disertai demam yang biasanya subfebril.
b. Pemeriksaan Klinis (Kelainan kulit yang ditemukan) : adanya kelainan
klinis sesuai dengan jenis masing- masing reaksi. Penghentian obat yang
diikuti penurunan gejala klinis merupakan petunjuk kemungkinan erupsi
disebabkan oleh obat tersebut. Perlu diperhatikan distribusi lesi yang
menyebar, simetris atau setempat, bentuk kelainan yang timbul (urtikaria,
purpura, eksantema, papul, eritroderma, eritema nodusum).
c. Pemeriksaan khusus ; saat ini belum ditemukan cara yang cukup sensitif
dan dapat dipercaya untuk mendeteksi erupsi obat alergik.
Tatalaksana
Pengobatan erupsi obat alergik belum memuaskan, antara lain karena
kesukaran dalam memastikan penyebabnya, apakah oleh obatnya sendiri atau
metabolitnya. Pengobatan dibagi dalam:
a. Pengobatan kausal : 
 Dilaksanakan dengan menghindari obat tersangka
(apabila obat tersangka telah dapat dipastikan). Dianjurkan pula untuk
rnenghindari obat yang mempunyai struktur kimia dengan obat tersangka
(satu golongan).
b. Pengobatan simtomatik :Pengobatan dilaksanakan sesuai dengan tipe reaksi
yang mendasarinya :
 Pada reaksi anafilaksik (reaksi tipe I) : Bila terjadi syok dapat diberikan
epinefrin 1 : 1000 sebanyak 0,3 – 0,5 ml secara subkutan atau intravena.
Antihistamin dan kortikosteroid dapat diberikan, tetapi bukan merupakan
pengobatan lini pertama. Umumnya reaksi dapat diatasi dalam waktu 15
– 20 menit, meskipun penderita masih harus diamati selama 24 jam
berikutnya untuk mencegah komplikasi.
 Pada reaksi tipe yang lain : Penghentian penggunaan obat tersangka
umumnya cukup memberikan hasil yang baik. Sesuai dengan berat-
ringannya reaksi, pemberian kortikosteroid (prednison 40 – 100 mg/hari)
dan antihistamin dapat dipertimbangkan.
Pengobatan dapat diberikan secara :
1. Sistemik
a) Kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid sangat penting pada alergi obat sisteik. Obat
kortikosteroid yang sering digunakan adalah tablet prednisone(1 tablet=5mg).
Pada kelainan urtikaria, eritema, dermatitis medikamentosa, purpura, eritema
nodusum, eksantema fikstum, dan PEGA karena alergi obat, dosis standar
untuk orang dewasa adalah 3x10 mg prednisone sehari. Pada eritroderma
dosisnya adalah 3x10 mg sampai 4x 10 mg sehari.
b) Antihistamin
Antihistamin yang bersifat sedative dapat juga diberikan, jika terdapat rasa
gatal. Kecuali pada urtikaria, efeknya kurang kalau dibandingkan dengan
kortikosteroid.
2. Topikal
Pengobatan topikal bergantung pada keadaan kelainan kulit, apakah kering
atau basah. Kalau keadaan kering, seperti apda eritema atau urtikaria, dapat
diberikan bedak, contohnya bedak salisilat 2% ditambah dengan antipruritus,
misalnya menthol ½ - 1% untuk mengurangi rasa gatal. Kalau keadaan
membasah seperti dermatitis medikamentosa perlu dikompres, misalnya
kompres larutan asam salisilat 1%. Pada bentuk purpura dan eritema nodusum
tidak diperlukan pengobatan topikal. Pada eksantema fikstum jika kelainan
membasah dapat diberikan kompres dan jika kering dapat diberi krim
kortikosteroid, misalnya krim hidrokortison 1% atau 2,5%. Pada eritroderma
dengan kelainan berupa eritema yang menyeluruh dan skuamasi dapat diberi
salep lanolin 10% yang dioleskan sebagian-sebagian.
Daftar Pustaka :
Rahmawati R. Drug Eruption. Jakarta : Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin
RSAU Dr. Esnawan Antariksa Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti, 2013.
Diunduh pada : https://id.scribd.com/doc/164839522/Referat-Drug-Eruption, 2
Februari 2017.

26. Vitiligo
Tingkat Kemampuan 3A
Definisi
Vitiligo adalah gangguan depigmentasi idiopatik didapat yang ditandai
dengan gambaran makula putih tidak bersisik, hasil dari hancurnya melanosit
kulit secara selektif. Gambaran histologi pada lesi vitiligo, berupa bercak-
bercak putih, memperlihatkan akan hilangnya melanosit dan melanin dari
lapisan kulit.
Patofisiologi
Penyebab vitiligo yang pasti sampai saat ini belum diketahui. Namun, diduga
ini adalah suatu penyakit herediter yang diturunkan secara poligenik atau
secara autosomal dominan. Berdasarkan laporan, didapatkan lebih dari 30%
dari penderita vitiligo mempunyai penyakit yang sama pada orangtua, saudara,
atau anak mereka. Pernah dilaporkan juga kasus vitiligo yang terjadi pada
kembar identik.
Walaupun penyebab pasti vitiligo belum diketahui sepenuhnya. Namun,
beberapa faktor diduga dapat menjadi pencetus timbulnya vitiligo pada seseorang
:
1. Faktor mekanis
Pada 10-70% penderita vitiligo timbul lesi setelah trauma fisik, misalnya
setelah tindakan bedah atau pada tempat bekas trauma fisik dan kimiawi
2. Faktor sinar matahari atau penyinaran ultra violet A
Pada 7-15% penderita vitiligo timbul lesi setelah terpajan sinar matahari
atau UVA dan ternyata 70% lesi pertama kali timbul pada bagian kulit yang
terpajan
3. Faktor emosi / psikis
Dikatakan bahwa kira-kira 20% penderita vitiligo berkembang setelah
mendapat gangguan emosi, trauma atau stres psikis yang berat
4. Faktor hormonal
Diduga vitiligo memburuk selama kehamilan atau pada penggunaan
kontrasepsi oral. Tetapi pendapat tersebut masih diragukan.
Masih sedikit yang diketahui tentang patogenesis vitiligo, sehingga
patofisiologi penyakit ini masih menjadi teka-teki. Sampai saat ini terdapat 3
hipotesis utama tentang mekanisme penghancuran melanosit pada vitiligo,
yang masing-masing mempunyai kekuatan dan kelemahan, yaitu:
1. Hipotesis autoimun menyatakan bahwa melanosit yang terpilih dihancurkan
oleh limfosit tertentu yang telah diaktifkan. Namun, mekanisme pengaktifan
limfosit tersebut belum diketahui secara pasti. Teori ini juga berdasarkan
adanya temuan klinis terhadap hubungan antara vitiligo terhadap gangguan
autoimun. Autoantibodi organ spesifik untuk tiroid, sel parietal lambung,
dan jaringan adrenal lebih sering ditemukan pada serum pasien dengan vitiligo
dibandingkan dengan populasi umum. Antibodi terhadap melanosit orang
normal dapat dideteksi dengan menggunakan tes immunoprecipitation
spesifik yang memiliki pengaruh sitolisis. Didapati profil sel-T yang abnormal
pada pasien vitiligo dengan penurunan sel T-helper.
2. Hipotesis neurogenik didasarkan pada interaksi dari melanosit dan sel saraf.
Hipotesis ini menyatakan bahwa adanya pelepasan mediator kimiawi
tertentu yang berasal dari akhiran saraf yang akan menyebabkan
menurunnya produksi melanin. Namun, studi baru pada penanda
neuropeptida dan saraf pada vitiligo menunjukkan bahwa neuropeptida
mungkin memiliki peran dalam proses terjadinya vitiligo.
3. Hipotesis neurogenik menyatakan bahwa melanosit dihancurkan oleh zat-zat
beracun
yang dibentuk sebagai bagian dari biosintesis melanin yang alami.
Penghancuran ini merupakan mekanisme proteksi alami untuk menyingkirkan
prekursor melanin yang beracun. Hipotesis ini berdasarkan temuan klinis dari
vitiligo dan penelitan eksperimen terhadap depigmentasi kulit oleh senyawa
kimia yang memilik efek mematikan pada fungsi melanosit. Senyawa ini
juga dapat menghasilkan leukoderma yang dibedakan dengan vitiligo
idiopatik.
Sementara itu, mekanisme langsung terjadinya makula putih disebabkan
penghancuran melanosit yang progresif oleh sel-T sitotoksi, lainnya
ditentukan secara genetis melalui perubahan sitobiologika dan sitokin yang
terlibat.
Manifestasi Klinis
Vitiligo merupakan anomali pigmentasi kulit didapat. Kulit vitiligo
menunjukan gejala depigmentasi dengan bercak putih yang dibatasi oleh warna
kulit normal atau oleh hiperpigmentasi. Pada vitiligo, ditemukan makula
dengan gambaran seperti “Kapur” atau putih pucat dengan tepi yang tajam.
Progres dari penyakit ini bisa merupakan suatu pengembangan bertahap dari
makula lama atau pengembangan dari makula baru. Trichromevitiligo (tiga
warna: putih, coklat muda, coklat tua) mewakili tahapan yang berbeda dalam
evolusi vitiligo.
Tangan,pergelangan tangan, lutut, leher dan daerah sekitar lubang (misalnya
mulut) merupakan daerah-daerah yang sering ditemukan vitiligo. Kadang dapat
juga ditemukan gambaran rambut yang memutih atau uban prematur.
Gambaran rambut putih pada vitiligo, dianalogikan dengan makula putih, disebut
dengan poliosis.
Gambar 59. Vitiligo pada wajah

Kriteria Diagnosis
Diagnosis ditegakkan terutama berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
klinis, serta ditunjang oleh pemeriksaan histopatologik serta pemeriksaan dengan
lampu Wood. Biasanya, diagnosis vitiligo dapat dibuat dengan mudah pada
pemeriksaan klinis pasien, dengan ditemukannya gambaran bercak “kapur
putih”, bilateral (biasanya simetris), makula berbatas tajam pada lokasi yang
khas.
Pada pemeriksaan dengan lampu wood, lesi vitiligo tampak putih berkilau dan
hal ini berbeda dengan kelainan hipopigmentasi lainnya. Dalam kasus- kasus
tertentu, pemeriksaan histopatologik diperlukan untuk melihat ada tidaknya
melanosit dan granul melanin di epidermis.
Kelainan kulit pada vitiligo juga dapat kita temukan pada pemeriksaan dengan
mikroskop elektron. Pada pemeriksaan ini terlihat hilangnya melanosit, dan
melanosom pada keratinosit, juga terdapat perubahan dalam keratinosit:
spongiosis, eksositosis, basilarvacuopathy, dan apoptosis. Beberapa penulis
menjumpai infiltrat limfositik di epidermis.

Tatalaksana
Ada banyak pilihan terapi yang bisa dilakukan pada pasien dengan vitiligo.
Hampir semua terapi bertujuan untuk mengembalikan pigmen pada kulit.
Seluruh pendekatan memiliki keuntungan dan kerugian masing-masing, dan
tidak semua terapi dapat sesuai dengan masing-masing penderita.
1. Tabir surya
Sunscreen atau tabir surya mencegah paparan sinar matahari berlebih pada
kulit dan hal ini dapat mengurangi kerusakan akibat sinar matahari dan
dapat mencegah terjadinya fenomena Koebner. Selain itu sunscreen juga dapat
mengurangi tanning dari kulit yang sehat dan dengan demikian mengurangi
kekontrasan antara kulit yang sehat dengan kulit yang terkena vitiligo.
2. Kosmetik
Banyak penderita vitiligo, terutama jenis vitiligo fokal menggunakan
covermask kosmetik sebagai pilihan terapi. Area dengan lesi leukoderma,
khususnya pada wajah, leher, atau tangan dapat ditutup dengan make-up
konvensional, produk-produk self tanning, atau pengecatan topikal lain.
Pilihan untuk menggunakan kosmetik cukup menguntungkan pasien
dikarenakan biayanya yang murah, efek samping yang kecil, dan mudah
digunakan.
3. Repigmentasi
 Glukokortikoid topikal, sebagai awal pengobatan diberikan secara
intermiten (4 minggu pemakaian, 2 minggu tidak) glukokortikoid topikal
kelas I cukup praktis, sederhana, dan aman untuk pemberian pada makula
tunggal atau multipel. Jika dalam 2 bulan tidak ada respon, mungkin saja
terapi tidak berjalan efektif. Perlu dilakukan pemantauan tanda-tanda
awal atrofi akibat penggunaan kortikostreoid3. Pada beberapa penderita
vitiligo, terapi dengan kortikosteroid poten tinggi, misalnya betametason
valerat 0,1% atau klobetasol propionat 0,05% efektif menimbulkan
pigmen.
 Topikalinhibitor Kalsineurin. Tacrolimusdan pimecrolimusefektif untuk
repigmentasi vitiligo tetapi hanya didaerah yang terpapar sinar matahari.
Obat ini dilaporkan paling efektif bila dikombinasikan dengan UVB atau
terapi laserexcimer. Terdapat juga hasil penelitian yang menunjukkan
bahwa pimecrolimus1% topical sama efektifnya dengan klobetasol
propionate dalam memulihkan kulit akibat vitiligo.
 Topikal fotokemoterapi menggunakan topical 8-methoxypsoralen (8-
MOP) dan UVA. Prosedur ini diindikasikan untuk makula berukuran
kecil dan hanya dilakukan oleh dokter yang berpengalaman. Hampir
sama dengan psoralen oral, mungkin diperlukan ≥15 kali terapi untuk
inisiasi respon dan ≥ 100 kali terapi untuk menyelesaikannya.
 Fotokemoterapi sistemik. PUVA oral lebih praktis digunakan untuk
vitiligo yang luas. PUVA oral dapat dilakukan bersamaan menggunakan
sinar matahari (di musim panas atau di daerah yang sepanjang tahun
disinari oleh matahari) dan 5-methoxypsoralen (5-MOP) atau sinar UVA
buatan dengan 5-MOP atau 8-MOP. Adanya respon baik dari terapi dengan
PUVA ini ditandai oleh munculnya folikuler kecil yang berpigmen
diatas lesi vitiligo. Fotokemoterapi PUVA oral dengan 8- MOP atau 5-
MOP keefektifannya mencapai 85% untuk>70% pasien dengan vitiligo
dikepala, leher, lengan atas, kaki, dan di badan.
 UVB Narrow-band (311nm). Efektivitas terapi ini hampir sama dengan
PUVA, namun tidak memerlukan psoralen. UVB adalah terapi pilihan
untuk anak <6 tahun.
 Laser Excimer (308nm). Terapi ini cukup efektif. Namun, sama seperti
pada PUVA, proses repigmentasi tergolong lambat. Terapi jenis ini
sangat efektif untuk vitiligo yang terdapatdi wajah.
 Immunomudulator sistemik
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa pada anak-anak dengan vitiligo,
betamethason telah diganti dengan oral methyl prednisolon dan
dikombinasikan dengan topikal ointment fluticasone pada lesi vitiligo.
Tingkat keberhasilannya pada > 90% orang dewasa dan > 65% anak-
anak dengan vitiligo adalah dari tingkatan baik sampai sangat baik .
 Topikal analog Vitamin D
Analog vitamin D, khususnya Calcipotriol, telah digunakan untuk terapi
tunggal atau dikombinasikan dengan topikal steroid pada managemen
vitiligo. Efek Vitamn D3 ini mampu menumbuhkan dan
mendiferensiasikan melanosit dan keratinosit kembali. Ini telah
dibuktikan pada suatu demonstrasi mengenai reseptor untuk 1-alpha
dihydroxyvitamin D3 pada melanosit. Dipercaya bahwa reseptor ini
mengatur stimulasi dari melanogenesis. Analog vitamin ini juga biasa
dikombinasikan dengan sinar UV (termasuk NB-UVB) dan topikal steroid.
 Topikal 5-Fluorouracil
Topikal 5-Fluorouracil digunakan untuk menginduksi repigmentasi pada
lesi dengan vitiligo dengan memperbesar stimulasi migrasi dari folicular
melanosit ke epidermis selama proses epitelisasi. Bentuk topikal terapi
ini bisa dikombinasikan dengan titik dermabrasi dari lesi vitiligo untuk
meningkatkan respon dari repigmentasi. Didapatkan respon repigmentasi
mencapai 73,3% dengan menggunakan kombinasi ini setelah terapi
selama 6 bulan.
4. Minigrafting
Teknik pembedahan dengan metode Minigrafting (Autolog Thin
Thierschgrafting, Suction Blister grafts,autologous minipunch grafts,
transplantation of cultured autologous melanocytes) cukup efektif untuk
mengatasi vitiligo dengan makula segmental yang stabil dan sulit diatasi.
5. Depigmentasi
Tujuan dari depigmentasi adalah "kesatuan" warna kulit pada pasien dengan
vitiligo yang luasatau pasien dengan terapi PUVA yang gagal, yang tidak
dapat menggunakan PUVA, atau pasien yang menolak pilihan terapi PUVA.
Bleaching, Pemutihan kulit normal dengan krim monobenzyl ether dari
hydroquinone (MEH) 20% ini bersifat permanen, artinya proses bleaching
(pemutihan) ini tidak reversible. Tingkat keberhasilan terapi ini >90%.
Tahap Akhir warna depigmentasi dengan MEH adalah chalkwhite (kapur
putih), seperti pada makula vitiligo.Monobenzon tersedia dalam bentuk cream
20%, dioleskan 2 kali sehari selama 2 sampai 3 bulan pada daerah kulit yang
masih berpigmen. Terapi biasanya dianggap selesai setelah 10 bulan
pemberian.
Gambar 60. Algoritma penatalaksanaan vitiligo

Daftar Pustaka :
Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Primer, 2014.

27. Melasma
Tingkat Kemampuan 3A
Definisi
Melasma adalah suatu kondisi atau keadaan dimana terjadi peningkatan sel-
sel melanosit lebih dari batas normal (hipermelanosis). Pada umumnya di dapat
simetris berupa makula yang tidak merata berwarna coklat muda sampai coklat
tua, mengenai area yang terpajan sinar ultra violet dengan tempat predileksi pada
pipi, dahi, daerah atas bibir, hidung, dan dagu.
Umumnya terjadi pada wanita dan sering terkena sinar matahari. Beberapa
kasus dapat terjadi karena hamil atau penggunaan pil kontrasepsi. Melasma
dapat terlihat di daerah yang terkena langsung sinar matahari.Biasanya daerah-
daerah tersebut warnanya akan berubah menjadi warna kecoklatan.
Patofisiologi
Masih banyak yang belum diketahui, meskipun beberapa teori
mengidentikannya dengan faktor resiko seperti paparan UV langsung, faktor
genetik, keadaan hamil, penggunaan obat kontrasepsi oral . Banyak faktor yang
menyangkut proses ini, antara lain:
a. Peningkatan produksi melanosom karena hormon maupun karena sinar
ultraviolet. Kenaikan melanosom ini juga dapat disebabkan karena bahan
farmakologik seperti perak dan psoralen
b. Penghambatan dalam turnover sel malfigi, keadaan ini dapat terjadi karena
obat sitostatik.
Manifestasi Klinis
Melanin yang berlebihan pada epidermis atau dermis dapat terlihat dengan
menggunakan lampu Wood (panjang gelombang 340-400nm). Pigmen
epidermal meningkat selama pemeriksaan dengan sinar Wood sedangkan
pigmen kulit tidak. Berdasarkan pemeriksaan sinar wood, melasma terdiri dari
4 tipe, yaitu:
1. Tipe epidermal: warna lesi tampak lebih kontras (diidentifikasikan
oleh adanya melanin berlebihan di lapisan permukaan kulit)
2. Tipe dermal: warna lesi tidak bertambah kontras (diidentifikasi oleh
adanya melanofag sel yang mencerna melanin di seluruh dermis)
3. Tipe campuran: lesi ada yang bertambah kontras ada yang tidak
(meliputi jenis epidermal dan dermal)
4. Tipe tidak jelas: dengan sinar wood lesi menjadi tidak jelas, sedangkan
dengan sinar biasa jelas terlihat.
Pada melasma, gambaran histopatologi yang dapat ditemukan adalah
epidermis hiperkeratosis ringan. Pada sel-sel basal dan suprabasal ditemukan
deposit melanin. Kadang-kadang keratin ditemukan dalam keratinosit diseluruh
lapisan epidermis.
Gambar 61. Melasma

Kriteria Diagnosis
Diagnosis melasma hanya ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis.
Untuk menentukan tipe melasma dilakukan pemeriksaan sinar wood (340-
400nm), berdasarkan pemeriksaan histopatologik hanya dilakukan pada kasus-
kasus tertentu, yaitu tipe epidermal, tipe dermal, tipe campuran, tipe
indeterminate.
Dari beberapa penelitan munculnya melasma biasanya dapat dipicu oleh
beberapa faktor, antara lain ; kehamilan, factor hormone pertumbuhan, paparan
sinar matahari,dan riwayat dalam keluarga. Papran sinar Ultraviolet merupakan
faktor yang cukup sering memicu terjadinya melasma yaitu berupa
hiperpigmentasi tipe IV-VI. Selama paparan langsung sinar UV akan
mengaktivasi kerja antara sel keratin, sel fibroblast, juga termasuk
vaskularisasi dan melanosit cukup berperan penting menyebabkan terjadinya
melasma.
Melasma muncul sebagai makula hiperpigmentasi yang simetris, dapat
berbentuk konfluen atau berbelang-belang. Lesi biasanya bersifat simetris pada
daerah wajah dan biasanya terjadi pada daerah V leher. Berdasarkan pola
distribusinya, ada tiga gambaran klinis yaitu tipe sentrofasial yaitu terjadi pada
daerah dahi, bibir atas, hidung dan dagu, Tipe malar terdapat pada daerah pipi
dan hidung, tipe mandibular terdapat pada ramus mandibula. Lesi melasma
berupa macula berwarna cokelat muda atau cokelat tua berbatas tegas dengan
tepi tidak teratur. Tipe sentrofasial adalah tipe yang paling umum. Namun,
terkadang melasma dapat terjadi di tempat lain yang terpapar sinar matahari.
Tatalaksana
 Menghindari paparan UV
Lokasi geografis sering menempatkan pasien pada risiko paparan sinar UV
dari kegiatan sehari-hari. Penghindaran puncak paparan sinar UV yaitu
terutama antara jam 10 pagi dan jam 3 sore. Berjemur merupakan kontraindikasi.
Karena wanita Latin dan Afrika-Amerika banyak percaya bahwa mereka
telah memiliki kemampuan perlindungan matahari dan penelitian
menunjukkan mereka jarang dan hampir tidak menggunakan tabir surya.
 Sun Protection
Tabir surya spektrum luas dengan perlindungan UVA dan UVB dan skin
protection factor (SPF) 30 atau lebih tinggi penting untuk lini pertama terapi
melasma. Selain itu, tabir surya harus digunakan kembali setiap 2-3 jam,
terutama ketika di siang hari. Kosmetik bubuk mineral yang mengandung
physicial blocker dan mengandung SPF yang tinggi sangat baik untuk
dioleskan setelah alas bedak. Untuk menghindari kemungkinan sensitisasi tabir
surya yang dapat memperburuk melasma dalam individu akibat alergi
sangatlah perlu diperhatikan. Lalu pakaian pelindung dari matahari, terutama
topi bertepi lebar, kemeja berkerah tinggi, dan kacamata hitam.
 Hindari Photosensitizers
Obat dan suplemen yang memiliki karakteristik fotosensitisasi harus
dihindari. Bahkan obat tampaknya ringan seperti ibuprofen dapat menyebabkan
reaksi fotosensitifitas yang akan memicu melasma atau lesi gelap yang ada.
 Meminimalkan Obat yang Mempengaruh Hormonal
Pil kontrasepsi oral dan HRT memiliki peran dalam pengembangan
melasma. Selain itu, riwayat obat diperlukan untuk mengidentifikasi zat-zat yang
mungkin mempengaruhi kegiatan hormonal seperti suplemen anti-aging dan
krim buatan yang digunakan untuk mengurangi gejala menopause. Hal ini
penting untuk menghapus stimulus hormonal.
 Mencegah Produksi Melanin
Pencegahan produksi melanin dapat dicapai dengan menghambat aktivitas
melanosit dan menghambat transfer melanosomes dari melanosit ke keratinosit.
 Hipopigmentasi Agen
Ada beberapa terapi topikal yang tersedia. Paparan sinar matahari harus
dihindari dan menggunakan sunblock lengkap dengan spektrum luas harus
digunakan sehari-hari. Bleaching krim dengan hidrokuinon adalah standar
emas dan cukup efisien, mengandung 2% hingga 4%, hidrokuinon, dan
tretinoin krim dapat ditambahkan untuk meningkatkan efektifitasnya.
Walaupun dapat mengurangi melasma, retinoin juga dapat meningkatkan
pigmentasi melalui efek iritasinya. Kombinasi hidrokuinon dan tretinoin serta
steroid topikal, yang disebut "cligman formula" terbukti sangat efektif dalam
pengobatan melasma.

Hidrokuinon adalah agen yang paling efektif untuk dioleskan. Agen ini
tersedia dalam konsentrasi 2% tanpa resep (Porcelana) dan oleh resep di
3% (Melanex) dan 4% (Claripel, Eldoquin-Forte, Eldopaque-Forte, Solaquin
Forte, Lustra, Lustra-AF). Konsentrasi yang lebih tinggi dari hidrokuinon
(setinggi 10%) dapat diresepkan untuk kasus-kasus yang lebih parah. Obat
harus dioleskan dua kali sehari-sekali di pagi hari dan sebelum tidur.
Hidrokuinon merupakan iritan dan sensitizer, dan kulit harus diuji untuk
sensitivitas sebelum digunakan dengan menerapkan sejumlah kecil ke pipi
atau lengan sekali setiap hari selama 2 hari (open patch test). Timbulnya
eritema atau vesikel menunjukkan reaksi alergi dan mengharuskan
penghentian penggunaan.

Persiapan ini harus dilakukan secara bertahap selama berbulan-bulan pada
banyak kasus. Kulit harus dilindungi dengan tabir surya spektrum luas
baik selama dan setelah pengobatan. Tretinoin (Retin-A) meningkatkan
penetrasi hidroquinon ke epidermis dan sering diresepkan untuk digunakan
pada waktu yang berbeda. Mulailah dengan tretinoin konsentrasi rendah.
Lalu tingkatkan konsentrasinya sampai terjadi iritasi ringan.

Hidrokuinon krim akan berubah warna dari putih menjadi coklat setelah 3-
4 bulan, oleh karena itu, dapat diproduksi di apotik dan rumah sakit
dengan syarat bahwa telah terjadi perubahan warna. Hidrokuinon krim
adalah pengobatan untuk melasma dengan atau tanpa chemical peeling.
Hanya saja hidrokuinon tidak dapat digunakan lagi setelah terjadi perubahan
warna dan produksi ochronosis.

Tri-Luma Cream
Tri-Luma Cream adalah produk kombinasi yang mengandung
hidrokuinon 4,0%, tretinoin 0,05%, dan 0,01% acetonid fluocinolon.
Jangka waktu yang disarankan untuk terapi adalah selama 8 minggu. Hasil
yang signifikan telah terlihat setelah 4 minggu pertama pengobatan.
Setelah 8 minggu pengobatan, 13% sampai 38% dari pasien mencapai kliring
melasma. Hal ini lebih efektif daripada salah satu perawatan agen tunggal.
 Tretinoin
Tretinoin topikal yang digunakan sendirian dapat menghasilkan
perbaikan tanda klinis signifikan melasma, terutama penurunan pigmen
epidermal. Perbaikan terjadi secara perlahan dan mungkin memerlukan
hingga satu tahun pengobatan.
 Asam azelaik
Asam azelaik (Azelex) digunakan untuk mengobati jerawat dan melasma.
Asama azelaik memiliki efek selektif pada melanosit hiperaktif dan
abnormal dan efek minimal terhadap kulit manusia normal. Dilaporkan,
asam azelaic mampu seefektif hidrokuinon 4% dalam mengatasi melasma.
Asam azelaik dengan tretinoin dapat membuat perbaikan tanda-tanda klinis
setelah 3 bulan, dibandingkan bila hanya menggunakan asam azelaik saja.
 Krim Silymarin
Penelitian klinik dan histopatologi menunjukan penurunan signifikan
dalam grup pengguna silymarin. Secara klinikal semua pasien menunjukan
peningkatan pigmen signifikan yang luar biasa dan penurunan ukuran lesi
dengan perawatan silymarin dari minggu pertama. Semua pasien 100%
terpuaskan. Hasil observasi menunjukan tidak ada efek samping.
 Asam Glycolik
Asam Glycolik adalah asam alpha-hydroxy yang biasanya dikombinasi
dengan agen agen lain dalam konsentrasi 5-10% untuk tujuan pencerahan
kulit. Mekanisme dalam efek ini mungkin berdasarkan pembentukan ulang
epidermal dan mempercepat desquamasi, dimana akan menghasilkan
penyebaran pigmen yang cepat dalam lesi pigmentari. Ini juga dapat
menurunkan formasi melanin dalam melanosit oleh penghambat tyrosinase.
 Vitamin C
Topikal dan iontoporesis vitamin C telah terbukti sangat berguna. Ada
beberapa literatur dengan topik intravenous vitamin C merupakan
antioksidan yang kuat yang berperan penting dalam memelihara keaadaan
psikologikal. Dalam ilmu dermatologi, vitamin C digunakan dalam berbagai
macam masalah kulit seperti depigmentasi dari spot hiperpigmentasi.
Terapi Klinik
 Chemical Peels
Chemical peels dapat digunakan untuk mengatasi melasma and termasuk
beberapa agen seperti GA, TCA, dan larutan Jessner’s (lactid acid, triteonin,
resorcinol, dan ethanol)., salicylic acid, triteonin, dan kojic acid.
 Terapi Laser
Hasil yang lebih baik telah didapatkan melalui kombinasi laser CO2 dengan
laser Q-switched alexandrite. Prinsip dibalik perawatan ini adalah laser CO2
akan menghancurkan melanosit yang tidak normal dan laser alexandrite akan
menghilangkan bekas pigmen sisa di dalam dermis.
 Dermabrasi
Perawatan lokal dermabrasi atau dermabrasi seluruh wajah dengan 16mm
pasir berlian kasar dengan anastesi lokal didapatkan kulit terdermabrasi
(terkelupas) hingga ke level atas atau tengah dermis.
 Skin needling untuk pengikat serum depigmentasi
Pengobatan dengan menggunakan penyuntikaan serum depigmentasi
pada pasien melasma lebih efektif dari pada pengobatan topikal. Ketika
disuntikan serum yang mengandung depigmentasi di lapisan kulit akan
bereaksi menjadi edem dan kemerahan, hal ini terjadi selama 2-3 hari.
Setelah itu kulit mulai membaik dan ketika di uji adanya perubahan warna
dengan menggunakan wood lamp, hasilnya terjadi perubahan yang
signifikan.
Daftar Pustaka :
Gisnawan A, Ramadhani K, Fransiska. Melasma. Makassar : Fakultas
Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar, 2013. Diunduh pada :
https://id.scribd.com/document/162662915/MELASMA, 2 Februari 2017.

28. Kista Epitel


Tingkat Kemampuan 3A
Definisi
Kista epidermal atau juga disebut dengan kista sebasea adalah kumpulan
material seperti keratin, biasanya putih, licin, mudah digerakkan, dan cheesy di
dalam dinding kista. Jenis kista ini merupakan yang paling umum. Secara
klinis, kista epidermal muncul sebagai nodul bulat, keras berwarna daging.
Kista epidermal umumnya memiliki lubang kecil yang berhubungan dengan
kulit namun tidak selalu tampak jelas. Kista epidermal dapat terjadi di bagian
kulit mana saja, akan tetapi lebih banyak ditemui di bagian wajah, scalp,
telinga, dada, dan punggung. Tulang, payudara, genital, dan intracranial jarang
ditemukan pada kista epidermal. Mukosa okuler dan oral juga bisa terkena
serta di konjungtiva palpebra, bibir, mukosa mulut, lidah, skrotum, dan uvula.
Patofisiologi
Kista epidermal terjadi akibat proliferasi sel epidermal dalam ruang yang
sirkumskrip pada dermis. Pada analisis kista epidermal, struktur dan pola
lipidnya sama seperti pada sel epidermis. Kista epidermis mengekspresikan
sitokeratin 1 dan 10. Sumber dari epidermis ini hamper selalu dari
infundibulum dari folikel rambut.
Inflamasi dimediasi oleh bagian berkeratin pada kista epdiermal. Pada
penelitian, ekstrak keratin ini bersifat kemotaktif untuk PMN.
Penilitian menyebutkan HPV (Human Papilloma Virus) dan paparan sinar UV
berperan dalam pembentukan kista epidermal. Cara perubahan kista epidermal
menjadi bersifat kanker belum diketahui secara pasti (walaupun jarang sekali
kista epidermal berkembang menjadi tumor ganas). Pada kista epidermis dengan
karsinoma, hasil imunohistokimia untuk HPV negatif, yang dapat disimpulkan
HPV tidak mempengaruhi perubahan menjadi Karsinoma
sel skuamosa. Iritasi kronik dan trauma berulang pada batas epitel dari kista
epidermis berperan dalam transformasi keganasan, akan tetapi bagaimana
hubungannya masih belum diketahui.
Manifestasi Klinis
Kista epidermoid mungkin timbul dari sisa-sisa folikel rambut embryologic
cacat. Pada beberapa titik dalam kehidupan dewasa sel-sel epitel dari sisa-sisa
mulai membuat keratin. Beberapa kista terbuka ke permukaan melalui lubang
folikel tipis, tetapi meskipun asal folikular, kebanyakan tak ada kontinuitas
dengan permukaan. Sebuah minoritas kecil dari kista epidermoid terjadi
sebagai akibat dari implantasi traumatis fragmen epitel. Bit-bit terkubur epitel
kemudian "mengumpulkan" dan mulai memproduksi keratin. Kista seperti ini
disebut kista inklusi.
Seperti mungkin jelas pada titik ini, terminologi lama kista "sebasea" adalah
keliru, karena sel-sel yang dihasilkan kista epidermoid garis putih semipadat
keratin daripada tidak berwarna, sebum berminyak.
Kriteria Diagnosis
Pada pemeriksaan histopatologi, kista epidermal dibatasi dengan epitel
skuamosa berlapis yang mengandung lapisan granuler. Keratin terlaminisasi
ditemukan dalam kista. Respon inflamasi dapat ditemukan pada kista yang
rupture. Kista yang sudah tua dapat terkalsifikasi.
Tatalaksana
Kista tanpa gejala tidak memerlukan perhatian medis. Mereka yang secara
kosmetik tidak dapat diterima dan mereka yang berulang kali trauma dapat
diobati dalam berbagai cara. Untuk lesi kecil, eksisi elips dengan penutupan
jahit adalah tepat dan definitif. Beberapa kista, terutama yang pada kulit
kepala, dapat "disampaikan" melalui sayatan yang sederhana, tetapi kista pecah
dan penghapusan lengkap resultan dari dinding kadang-kadang mempersulit
prosedur. Untuk kista yang besar, mungkin yang terbaik untuk mengiris kista dan
mengekstrusi isi prosedur awal. Selama beberapa minggu berikutnya kista
menyusut dalam ukuran. A, berikutnya jauh lebih kecil, penghapusan
Excisional kemudian dapat dilakukan.
Daftar Pustaka :
Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Primer, 2014.
ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL

1. TRAUMA TUMPUL
KEMAMPUAN(4A)
DEFINISI
Pengertian trauma (injury) dari aspek medikolegal sering berbeda dengan
pengertian medis. Pengertian medis menyatakan trauma atau perlukaan adalah
hilangnya diskontinuitas dari jaringan. Benda tumpul yang sering mengakibatkan
luka antara lain adalah batu, besi, sepatu, tinju, lantai, jalan dan lain-lain. Adapun
definisi dari benda tumpul itu sendiri adalah :
 Tidak bermata tajam
 Konsistensi keras / kenyal
 Permukaan halus / kasar
MEKANISME LUKA TUMPUL
Variasi mekanisme terjadinya trauma tumpul adalah:
1. Benda tumpul yang bergerak pada korban yang diam.
2. Korban yang bergerak pada benda tumpul yang diam.
Sekilas nampak sama dalam hasil lukanya namun jika diperhatikan lebih lanjut
terdapat perbedaan hasil pada kedua mekanisme itu. Organ atau jaringan pada tubuh
mempunyai beberapa cara menahan kerusakan yang disebabkan objek atau alat,
daya tahan tersebut menimbulkan berbagai tipe luka yakni:
1. Abrasi
2. Laserasi
3. Kontusi/ruptur
4. Fraktur
5. Kompresi
6. Perdarahan
a. Abrasi
Abrasi per definisi adalah pengelupasan kulit. Dapat terjadi superfisial jika hanya
epidermis saja yang terkena, lebih dalam ke lapisan bawah kulit (dermis)atau
lebih dalam lagi sampai ke jaringan lunak bawah kulit. Jika abrasi terjadi lebih
dalam dari lapisan epidermis pembuluh darah dapat terkena sehingga terjadi
perdarahan. Arah dari pengelupasan dapat ditentukan dengan pemeriksaan luka. Dua
tanda yang dapat digunakan. Tanda yang pertama adalah arah dimana epidermis
bergulung, tanda yang kedua adalah hubungan kedalaman pada luka yang
menandakan ketidakteraturan benda yang mengenainya.
Pola dari abrasi sendiri dapat menentukan bentuk dari benda yang mengenainya.
Waktu terjadinya luka sendiri sulit dinilai dengan mata telanjang. Perkiraan kasar
usia luka dapat ditentukan secara mikroskopik. Kategori yang digunakan untuk
menentukan usia luka adalah saat ini (beberapa jam sebelum), baru terjadi (beberapa
jam sebelum sampai beberapa hari), beberapa hari lau, lebih dari benerapa hari. Efek
lanjut dari abrasi sangat jarang terjadi. Infeksi dapat terjadi pada abrasi yang luas.
b. Kontusio Superfisial.
Kata lazim yang digunakan adalah memar, terjadi karena tekanan yang besar
dalam waktu yang singkat. Penekanan ini menyebabkan kerusakan pada
pembuluh darah kecil dan dapat menimbulkan perdarahan pada jaringan bawah
kulit atau organ dibawahnya. Pada orang dengan kulit berwarna memar sulit
dilihat sehingga lebih mudah terlihat dari nyeri tekan yang ditimbulkannya.
Perubahan warna pada memar berhubungan dengan waktu lamanya luka, namun
waktu tersebut bervariasi tergantung jenis luka dan individu yang terkena. Tidak
ada standart pasti untuk menentukan lamanya luka dari warna yang terlihat secara
pemeriksaan fisik.
Pada mayat waktu antara terjadinya luka memar, kematian dan pemeriksaan
menentukan juga karekteristik memar yang timbul. Semakin lama waktu antara
kematian dan pemeriksaan luka akan semakin membuat luka memar menjadi
gelap.
Pemeriksaan mikroskopik adalah sarana yang dapat digunakan untuk menentukan
waktu terjadinya luka sebelum kematian. Namun sulit menentukan secara pasti
karena hal tersebut pun bergantung pada keahlian pemeriksa.
Efek samping yang terjadi pada luka memar antara lain terjadinya penurunan
darah dalam sirkulasi yang disebabkan memar yang luas dan masif sehingga dapat
menyebabkan syok, penurunan kesadaran, bahkan kematian. Yang kedua adalah
terjadinya agregasi darah di bawah kulit yang akan mengganggu aliran balik vena
pada organ yang terkena sehingga dapat menyebabkan ganggren dan kematian
jaringan. Yang ketiga, memar dapat menjadi tempat media berkembang biak kuman.
Kematian jaringan dengan kekurangan atau ketiadaaan aliran darah sirkulasi
menyebabkan saturasi oksigen menjadi rendah sehingga kuman anaerob dapat
hidup, kuman tersering adalah golongan clostridium yang dapat memproduksi gas
gangren.
Efek lanjut lain dapat timbul pada tekanan mendadak dan luas pada jaringan
subkutan. Tekanan yang mendadak menyebabkan pecahnya sel – sel lemak, cairan
lemak kemudian memasuki peredaran darah pada luka dan bergerak beserta aliran
darah dapat menyebabkan emboli lemak pulmoner atau emboli pada organ lain
termasuk otak. Pada mayat dengan kulit yang gelap sehingga memar sulit dinilai
sayatan pada kulit untuk mengetahui resapan darah pada jaringan subkutan dapat
dilakukan dan dilegalkan.
c. Kontusio pada organ dan jaringan dalam.
Semua organ dapat terjadi kontusio. Kontusio pada tiap organ memiliki karakteristik
yang berbeda. Pada organ vital seperti jantung dan otak jika terjadi kontusio dapat
menyebabkan kelainan fungsi dan bahkan kematian.
Kontusio pada otak, dengan perdarahan pada otak, dapat menyebabkan terjadi
peradangan dengan akumulasi bertahap produk asam yang dapat menyebabkan
reaksi peradangan bertambah hebat. Peradangan ini dapat menyebabkan
penurunan kesadaran, koma dan kematian. Kontusio dan perangan yang kecil
pada otak dapat menyebabkan gangguan fungsi organ lain yang luas dan kematian
jika terkena pada bagian vital yang mengontrol pernapasan dan peredaran darah.
Jantung juga sangat rentan jika terjadi kontusio. Kontusio ringan dan sempit pada
daeran yang bertanggungjawab pada inisiasi dan hantaran impuls dapat
menyebabkan gannguan pada irama jantung atau henti jantung. Kontusio luas
yang mengenai kerja otot jantung dapat menghambat pengosongan jantung dan
menyebabkan gagal jantung.
Kontusio pada organ lain dapat menyebabkan ruptur organ yang menyebabkan
perdarahan pada rongga tubuh.
d. Laserasi
Suatu pukulan yang mengenai bagian kecil area kulit dapat menyebabkan
kontusio dari jaringan subkutan, seperti pinggiran balok kayu, ujung dari pipa,
permukaan benda tersebut cukup lancip untuk menyebabkan sobekan pada kulit
yang menyebabkan laserasi. Laserasi disebabkan oleh benda yang permukaannya
runcing tetapi tidak begitu tajam sehingga merobek kulit dan jaringan bawah kulit
dan menyebabkan kerusakan jaringan kulit dan bawah kulit. Tepi dari laserasi
ireguler dan kasar, disekitarnya terdapat luka lecet yang diakibatkan oleh bagian
yang lebih rata dari benda tersebut yang mengalami indentasi.
Pada beberapa kasus, robeknya kulit atau membran mukosa dan jaringan
dibawahnya tidak sempurna dan terdapat jembatan jaringan. Jembatan jaringan, tepi
luka yang ireguler, kasar dan luka lecet membedakan laserasi dengan luka oleh
benda tajam seperti pisau. Tepi dari laserasi dapat menunjukkan arah terjadinya
kekerasan. Tepi yang paling rusak dan tepi laserasi yang landai menunjukkan arah
awal kekerasan. Sisi laserasi yang terdapat memar juga menunjukkan arah
awal kekerasan.
Bentuk dari laserasi dapat menggambarkan bahan dari benda penyebab kekerasan
tersebut. Karena daya kekenyalan jaringan regangan jaringan yang berlebihan
terjadi sebelum robeknya jaringan terjadi. Sehingga pukulan yang terjadi karena
palu tidak harus berbentuk permukaan palu atau laserasi yang berbentuk
semisirkuler. Sering terjadi sobekan dari ujung laserasi yang sudutnya berbeda
dengan laserasi itu sendiri yang disebut dengan “swallow tails”. Beberapa benda
dapat menghasilkan pola laserasi yang mirip.
Seiring waktu, terjadi perubahan terhadap gambaran laserasi tersebut, perubahan
tersebut tampak pada lecet dan memarnya. Perubahan awal yaitu pembekuan dari
darah, yang berada pada dasar laserasi dan penyebarannya ke sekitar kulit atau
membran mukosa. Bekuan darah yang bercampur dengan bekuan dari cairan
jaringan bergabung membentuk eskar atau krusta. Jaringan parut pertama kali
tumbuh pada dasar laserasi, yang secara bertahap mengisi saluran luka.
Kemudian, epitel mulai tumbuh ke bawah di atas jaringan skar dan penyembuhan
selesai. Skar tersebut tidak mengandung apendises meliputi kelenjar keringat,
rambut dan struktur lain.
Perkiraan kejadian saat kejadian pada luka laserasi sulit ditentukan tidak seperti luka
atau memar. Pembagiannya adalah sangat segera segera, beberapa hari, dan lebih
dari beberapa hari. Laserasi yang terjadi setelah mati dapat dibedakan ddengan yang
terjadi saat korban hidup yaitu tidak adanya perdarahan.
Laserasi dapat menyebabkan perdarahan hebat. Sebuah laserasi kecil tanpa adanya
robekan arteri dapat menyebabkan akibat yang fatal bila perdarahan terjadi terus
menerus. Laserasi yang multipel yang mengenai jaringan kutis dan sub kutis dapat
menyebabkan perdarahan yang hebat sehingga menyebabkan sampai dengan
kematian. Adanya diskontinuitas kulit atau membran mukosa dapat menyebabkan
kuman yang berasal dari permukaan luka maupun dari sekitar kulit yang
luka masuk ke dalam jaringan. Port d entree tersebut tetap ada sampai dengan
terjadinya penyembuhan luka yang sempurna. Bila luka terjadi dekat persendian
maka akan terasa nyeri, khususnya pada saat sendi tersebut di gerakkan ke arah
laserasi tersebut sehingga dapat menyebabkan disfungsi dari sendi tersebut.
Benturan yang terjadi pada jaringan bawah kulit yang memiliki jaringan lemak
dapat menyebabkan emboli lemak pada paru atau sirkulasi sistemik. Laserasi juga
dapat terjadi pada organ akibat dari tekanan yang kuat dari suatu pukulan seperi
pada organ jantung, aorta, hati dan limpa.
Hal yang harus diwaspadai dari laserasi organ yaitu robekan yang komplit yang
dapat terjadi dalam jangka waktu lama setelah trauma yang dapat menyebabkan
perdarahan hebat.
e. Kombinasi dari luka lecet, memar dan laserasi.
Luka leceet, memar dan laserasi dapat terjadi bersamaan. Benda yang sama dapat
menyebabkan memar pada pukulan pertama, laserasi pada pukulan selanjutnya
dan lecet pada pukulan selanjutnya. Tetapi ketiga jenis luka tersebut dapat terjadi
bersamaan pada satu pukulan.
f. Fraktur
Fraktur adalah suatu diskontinuitas tulang. Istilah fraktur pada bedah hanya
memiliki sedikit makna pada ilmu forensik. Pada bedah, fraktur dibagi menjadi
fraktur sederhana dan komplit atau terbuka.
Terjadinya fraktur selain disebabkan suatu trauma juga dipengaruhi beberapa
faktor seperti komposisi tulang tersebut. Anak-anak tulangnya masih lunak,
sehingga apabila terjadi trauma khususnya pada tulang tengkorak dapat
menyebabkan kerusakan otak yang hebat tanpa menyebabkan fraktur tulang
tengkorak. Wanita usia tua sering kali telah mengalami osteoporosis, dimana
dapat terjadi fraktur pada trauma yang ringan.
Pada kasus dimana tidak terlihat adanya deformitas maka untuk mengetahui ada
tidaknya fraktur dapat dilakukan pemeriksaan menggunakan sinar X, mulai dari
fluoroskopi, foto polos. Xero radiografi merupakan teknik lain dalam
mendiagnosa adanya fraktur.
Fraktur mempunyai makna pada pemeriksaan forensik. Bentuk dari fraktur dapat
menggambarkan benda penyebabnya (khususnya fraktur tulang tengkorak), arah
kekerasan. Fraktur yang terjadi pada tulang yang sedang mengalami
penyembuhan berbeda dengan fraktur biasanya. Jangka waktu penyembuhan
tulang berbeda-beda setiap orang. Dari penampang makros dapat dibedakan menjadi
fraktur yang baru, sedang dalam penyembuhan, sebagian telah sembuh, dan telah
sembuh sempurna. Secara radiologis dapat dibedakan berdasarkan akumulasi
kalsium pada kalus. Mikroskopis dapat dibedakan daerah yang fraktur dan daerah
penyembuhan. Penggabungan dari metode diatas menjadikan akurasi yang cukup
tinggi. Daerah fraktur yang sudah sembuh tidaklah dapat menjadi seperti tulang
aslinya.
Perdarahan merupakan salah satu komplikasi dari fraktur. Bila perdarahan sub
periosteum terjadi dapat menyebabkan nyeri yang hebat dan disfungsi organ
tersebut. Apabila terjadi robekan pembuluh darah kecil dapat menyebabkan darah
terbendung disekitar jaringan lunak yang menyebabkan pembengkakan dan aliran
darah balik dapat berkurang. Apabila terjadi robekan pada arteri yang besar terjadi
kehilangan darah yang banyak dan dapat menyebabkan pasien shok sampai
meninggal. Shok yang terjadi pada pasien fraktur tidaklah selalu sebanding
dengan fraktur yang dialaminya.
Selain itu juga dapat terjadi emboli lemak pada paru dan jaringan lain. Gejala
pada emboli lemak di sereberal dapat terjadi 2-4 hari setelah terjadinya fraktur dan
dapat menyebabkan kematian. Gejala pada emboli lemak di paru berupa distres
pernafasan dapat terjadi 14-16 jam setelah terjadinya fraktur yang juga dapat
menyebabkan kematian. Emboli sumsum tulan atau lemak merupakan tanda
antemortem dari sebuah fraktur.
Fraktur linier yang terjadi pada tulang tengkorak tanpa adanya fraktur depresi
tidaklah begitu berat kecuali terdapat robekan pembuluh darah yang dapat membuat
hematom ekstra dural, sehingga diperlukan depresi tulang secepatnya. Apabila
ujung tulang mengenai otak dapat merusak otak tersebut, sehingga dapat terjadi
penurunan kesadaran, kejang, koma hingga kematian.
7. Kompresi
Kompresi yang terjadi dalam jangka waktu lama dapat menyebabkan efek lokal
maupun sistemik yaitu asfiksia traumatik sehingga dapat terjadi kematiaan akibat
tidak terjadi pertukaran udara.
8. Perdarahan
Perdarahan dapat muncul setelah terjadi kontusio, laserasi, fraktur, dan kompresi.
Kehilangan 1/10 volume darah tidak menyebabkan gangguan yang bermakna.
Kehilangan ¼ volume darah dapat menyebabkan pingsan meskipun dalam kondisi
berbaring. Kehilangan ½ volume darah dan mendadak dapat menyebabkan syok
yang berakhir pada kematian. Kecepatan perdarahan yang terjadi tergantung
pada ukuran dari pembuluh darah yang terpotong dan jenis perlukaan yang
mengakibatkan terjadinya perdarahan. Pada arteri besar yang terpotong, akan terjadi
perdarahan banyak yang sulit dikontrol oleh tubuh sendiri.Apabila luka pada
arteri besar berupa sayatan, seperti luka yang disebabkan oleh pisau,
perdarahan akan berlangsung lambat dan mungkin intermiten. Luka pada arteri
besar yang disebabkan oleh tembakan akan mengakibatkan luka yang sulit untuk
dihentikan oleh mekanisme penghentian darah dari dinding pembuluh darah
sendiri. Hal ini sesuai dengan prinsip yang
telah diketahui, yaitu perdarahan yang berasal dari arteri lebih berisiko
dibandingkan perdarahan yang berasal dari vena.
Hipertensi dapat menyebabkan perdarahan yang banyak dan cepat apabila terjadi
perlukaan pada arteri. Adanya gangguan pembekuan darah juga dapat menyebabkan
perdarahan yang lama. Kondisi ini terdapat pada orang-orang dengan penyakit
hemofili dan gangguan pembekuan darah, serta orang-orang yang mendapat
terapi antikoagulan. Pecandu alcohol biasanya tidak memiliki mekanisme
pembekuan darah yang normal, sehingga cenderung memiliki perdarahan yang
berisiko. Investigasi terhadap kematian yang diakibatkan oleh perdarahan
memerlukan pemeriksaan lengkap seluruh tubuh untuk mencari penyakit atau
kondisi lain yang turut berperan dalam menciptakan atau memperberat situasi
perdarahan.
DIAGNOSIS
Perbedaan luka lecet ante motem dan post mortem

ANTE MORTEM POST MORTEM

1. Coklat kemerahan 1. Kekuningan


2. Terdapat sisa sisa-sisa epitel 2. Epidermis terpisah sempurna dari dermis
1. Tanda intravital (+) 3. Tanda intravital (-)
2. Sembarang tempat 4. Pada daerah yang ada penonjolan tulang

B. Luka Memar (Contusion)


Adalah kerusakan jaringan subkutan dimana pembuluh darah (kapiler) pecah
sehingga darah meresap ke jaringan sekitarnya, kulit tidak perlu rusak, menjadi
bengkak, berwarna merah kebiruan.
Memperkirakan umur luka memar :
 Hari ke 1 : terjadi pembengkakan warna merah kebiruan
 Hari ke 2 – 3 : warna biru kehitaman
 Hari ke 4 – 6 : biru kehijauan–coklat
 > 1 minggu-4 minggu : menghilang / sembuh
Perbedaan Luka Memar dan Lebam mayat
Luka Memar Lebam mayat

1. Di sembarang tempat 1. Bagian tubuh yang terendah


2. Pembengkakan (+) 2. Pembengkakan (-)
3. Tanda Intravital (+) 3. Tanda Intravital (-)
4. Ditekan tidak menghilang 4. Ditekan Menghilang
5. Diiris : tidak menghilang 5. Diiris : dibersihkan dengan kapas menjadi
bersih

C. Luka Robek, Retak, Koyak (Laceration)


Adalah kerusakan seluruh tebal kulit dan jaringan bawah kulit yang mudah terjadi
pada kulit yang ada tulang di bawahnya dan biasanya pada penyembuhan
meninggalkan jaringan parut
Kekerasan Benda Tumpul Pada Kepala
1. Kulit
 L. Lecet
 L. Memar
 L. Robek
2. Tengkorak
 Fraktur Basis Cranii
 Fraktur Calvaria
3. Otak
 Contusio Cerebri
 Laceratio Cerebri
 Oedema Cerebri
 Commotio Cerebri
4. Selaput Otak
 Epidural Haemorrhage
 Sub dural Haemorrhage
 Sub arachnoid Haemorrhage
Fraktur Calvaria
Sifat Atap Tengkorak :
 Terdiri dari tulang melengkung dan tebalnya kurang lebih sama
 Ada bagian-bagian yang lemah, yaitu : Sutura, Os temporalis
Bentuk Fraktur :
1. Fracture Linear
2. Fracture Compositum
3. Fracture Berbentuk (depressed Fracture )
4. Ring Fracture
Fraktur Basis Cranii
Gejala :
 Keluar darah dari hidung, mulut, telinga
 Brill Haematoma
Sifat Basis Cranii :
 Posisi kurang lebih mendatar
 Terdiri dari tulang-tulang yang tebalnya tidak sama
 Tulangnya tipis dan mudah patah
 Berlubang-lubang
Contusio Cerebri
Hampir seluruh kontusio otak superfisial, hanya mengenai daerah abu-abu.
Beberapa dapat lebih dalam, mengenai daerah putih otak. Kontusio pada bagian
superfisial atau daerah abu-abu sangat penting dalam ilmu forensik. Rupturnya
pembuluh darah dengan terhambatnya aliran darah menuju otak menyebabkan
adanya pembengkakan dan seperti yang telah disebutkan sebelumnya, lingkaran
kekerasan dapat terbentuk apabila kontusio yang terbentuk cukup besar, edema otak
dapat menghambat sirkulasi darah yang menyebabkan kematian otak, koma, dan
kematian total. Poin kedua terpenting dalam hal medikolegal adalah penyembuhan
kontusio tersebut yang dapat menyebabkan jaringan parut yang akan
menyebabkan adanya fokus epilepsi.
Yang harus dipertimbangan adalah lokasi kontusio tipe superfisial yang
berhubungan dengan arah kekerasan yang terjadi. Hal ini bermakna jika pola luka
ditemukan dalam pemeriksaan kepala dan komponen yang terkena pada trauma
sepeti pada kulit kepala, kranium, dan otak.
Ketika bagian kepala terkena benda yang keras dan berat seperti palu atau botol
bir, hasilnya dapat berupa, kurang lebihnya, yaitu abrasi, kontusio, dan laserasi
dari kulit kepala. Kranium dapat patah atau tidak. Jika jaringan dibawahnya terkena,
hal ini disebutcoup. Hal ini terjadi saat kepala relatif tidak bergerak.
Kita juga harus mempertimbangkan situasi lainnya dimana kepala yang bergerak
mengenai benda yang padat dan diam. Pada keadaan ini kerusakan pada kulit kepala
dan pada kranium dapat serupa dengan apa yang ditemukan pada benda yang
bergerak-kepala yang diam. Namun, kontusio yang terjadi, bukan pada tempat
trauma melainkan pada sisi yang berlawanan. Hal ini disebut kontusio
contra-coup.
Pemeriksaan kepala penting untuk mengetahui pola trauma. Karena foto dari
semua komponen trauma kepala dari berbagai tipe kadang tidak tepat sesuai dengan
demontrasi yang ada., diagram dapat menjelaskan hubungan trauma yang terjadi.
Kadang-kadang dapat terjadi hal yang membingungkan, dapat saja kepala yang
diam dan terkena benda yang bergerak pada akhirnya akan jatuh atau mengenai
benda keras lainnya, sehingga gambaran yang ada akan tercampur,
membingungkan, yang tidak memerlukan penjelasan mendetail.
Tipe lain kontusio adalah penetrasi yang lebih dalam, biasanya mengenai daerah
putih atau abu-abu, diliputi oleh lapisan normal otak, dengan perdarahan kecil
atau besar. Perdarahan kecil dinamakan ‘ball hemorrhages’ sesuai dengan
bentuknya yang bulat. Hal tersebut dapat serupa dengan perdarahan fokal yang
disebabkan hipertensi. Perdarahan yang lebih besar dan dalam biasanya berbentuk
ireguler dan hampir serupa dengan perdarahan apopletik atau stroke. Anamnesis
yang cukup mengenai keadaan saat kematian, ada atau tiadanya tanda trauma
kepala, serta adanya penyakit penyerta dapat membedakan trauma dengan kasus lain
yang menyebabkan perdarahan.
Perdarahan intraserebral tipe apopletik tidak berhubungan dengan trauma
biasanya melibatkan daerah dengan perdarahan yang dalam. Tempat predileksinya
adalah ganglia basal, pons, dan serebelum. Perdahan tersebut berhubungan
dengan malformasi arteri vena. Biasanya mengenai orang yang lebih muda dan
tidak mempunyai riwayat hipertensi.
Edema paru tipe neurogenik biasanya menyertai trauma kepala. Manifestasi
eksternal yang dapat ditemui adalah ‘foam cone’ busa berwarna putih atau
merah muda pada mulut dan hidung. Hal tersebut dapat ditemui pada kematian
akibat tenggelam, overdosis, penyakit jantung yang didahului dekompensasio
kordis. Keberadaan gelembung tidak membuktikan adanya trauma kepala.
Laceratio Cerebri (Robek Otak)
Merupakan kerusakan jaringan otak (white and grey mater) disertai robeknya
Arachnoid.
Ada 2 macam :
1. Direct Laceration (Coup)
2. Countre Coup Laceration
Bagian yang mengalami kekerasan langsung dengan benda tumpul adalah Coup
sedangkan yang berlawanan adalah Counter-Coup. Counter-Coup terjadi bila ada
Oscilasi (getaran) otak yang membentur duramater dan ini terjadi bila kepala
dalam keadaan bergerak atau bebas bergerak.
Mekanisme Terjadinya Countre-Coup :
Pada trauma tumpul kepala terdapat Acelerasi dan Decelerasi.
Pada waktu Acelerasi terjadi gerakan tengkorak ke arah impact dan gerakan otak
berlawanan dengan arah impact
Pada waktu Decelerasi kepala bergerak tiba-tiba membentur benda tumpul.
sedang otak bergerak ke arah berlawanan dgn bagian kepala yang mengalami
kekerasan tadi, sehingga otak membentur bagian berlawanan dgn bagian kepala
yang mengalami kekerasan langsung.
Oedema Cerebri
Tanda-tandanya :
 Permukaan gyri menjadi lebih rata
 Sulci menjadi lebih dangkal
 Otak bertambah berat
 Ventrikel-ventrikel mengecil
 Karena adanya kompresi maka terjadi bekas cetakan ‘Foramen Magnum’ pada
Cerebellum bagian bawah
 Mikroskopis terdapat timbunan cairan intra cellular, peri cellular, dan peri
vascular
Commotio Cerebri (Gegar Otak)
Merupakan gangguan fungsi otak akibat trauma kepala, tanpa dapat ditentukan
kelainan anatomisnya pada otak. Gegar otak merupakan pengertian klinis dengan
gejala :
1. Pingsan : sebentar s/d 15 menit
2. Muntah
3. Amnesia
4. Pusing kepala
5. Tidak ada kelainan neurologi
Cedera Kepala pada Penutup Otak
Jaringan otak dilindungi oleh 3 lapisan jaringan. Lapisan paling luar disebut
duramater, atau sering dikenal sebagai dura. Lapisan ini tebal dan lebih dekat
berhubungan dengan tengkorak kepala dibandingakan otak. Antara tengkorak dan
dura terdapat ruang yang disebut ruang epidural atau ekstradural. Ruang ini
penting dalam bidang forensik.
Lapisan yang melekat langsung ke otak disebut piamater. Lapisan ini sangat
rapuh, melekat pada otak dan meluas masuk ke dalam sulkus-sulkus otak. Lapisan
ini tidak terlalu penting dalam bidang forensik.
Lapisan berikutnya yang terletak antara dura mater dan pia mater disebut
arakhnoid. Ruang yang dibentuk antara lapisan dura mater dan arakhnoid ini
disebut ruang subdural. Kedalaman ruang ini bervariasi di beberapa tempat. Perlu
diingat, cairan otak terdapat pada ruang subarakhnoid, bukan di ruang subdural.
Perdarahan kepala dapat terjadi pada ketiga ruang yaitu ruang epidural, subdural
atau ruang subarakhnoid, atau pada otak itu sendiri.
Perdarahan Epidural (Hematoma)
Merupakan perdarahan di atas selaput tebal otak
Penyebabnya : Fraktura tengkorak yang merobek P.Darah di luar duramater.
 a. Meningica Media (tersering)
 a. Meningica anterior
 a. Meningica posterior (jarang)
 Sinus Lateralis (jarang)
Darah merembes di antara tulang dan duramater dan membeku. Timbul gejala
kompresi otak. Jumlah yang mematikan kurang lebih 125 gram. Ada : “PERIODE
LATENT”. Pada anak anak-anak/bayi : jarang dapat terjadi Epidural
Haemorrhage.
Perdarahan jenis ini berhubungan erat dengan fraktur pada tulang tengkorak.
Apabila fraktur mengenai jalinan pembuluh darah kecil yang dekat dengan bagian
dalam tengkorak, umumnya arteri meningea media, dapat menyebabkan arteri
terkoyak dan terjadi perdarahan yang cepat. Kumpulan darah akhirnya mendorong
lapisan dura menjauh dari tengkorak dan ruang epidural menjadi lebih luas.
Akibat dari lapisan dura yang terdorong ke dalam, otak mendapatkan kompresi atau
tekanan yang akhirnya menimbulkan gejala-gejala seperti nyeri kepala, penurunan
kesadaran bertahap mulai dari letargi, stupor dan akhirnya koma. Kematian akan
terjadi bila tidak dilakukan terapi dekompresi segera. Waktu antara timbulnya
cedera kepala sampai munculnya gejala-gejala yang diakibatkan perdarahan
epidural disebut sebagai “lucid interval”
Perdarahan Subdural (Hematoma)
Merupakan perdarahan di bawah selaput tebal otak.
Mekanisme terjadinya :
1. Laceratio jaringan otak dam arachnoid
2. Pecahnya pembuluh.darah di permukaan
3. Perlukaan kembali dari lacerasi lama
4. Fraktura daerah parietal dan temporal yang merobek duramater dan meningica
media
5. Jumlah perdarahan yang mematikan ± 60 gram
Perdarahan ini timbul apabila terjadi “bridging vein” yang pecah dan darah
berkumpul di ruang subdural. Perdarahan ini juga dapat menyebabkan kompresi
pada otak yang terletak di bawahnya. Karena perdarahan yang timbul berlangsung
perlahan, maka “lucid interval” juga lebih lama dibandingkan perdarahan
epidural, berkisar dari beberapa jam sampai beberapa hari. Jumlah perdarahan
pada ruang ini berkisar dibawah 120 cc, sehingga tidak menyebabkan perdarahan
subdural yang fatal.
Tidak semua perdarahan epidural atau subdural bersifat letal. Pada beberapa
kasus, perdarahan tidak berlanjut mencapai ukuran yang dapat menyebabkan
kompresi pada otak, sehingga hanya menimbulkan gejala-gejala yang ringan.
Pada beberapa kasus yang lain, memerlukan tindakan operatif segera untuk
dekompresi otak.
Penyembuhan pada perdarahan subdural dimulai dengan terjadinya pembekuan
pada perdarahan. Pembentukan skar dimulai dari sisi dura dan secara bertahap
meluas ke seluruh permukaan bekuan. Pada waktu yang bersamaan, darah
mengalami degradasi. Hasil akhir dari penyembuhan tersebut adalah terbentuknya
jaringan skar yang lunak dan tipis yang menempel pada dura. Sering kali, pembuluh
dara besar menetap pada skar, sehingga membuat skar tersebut rentan terhadap
perlukaan berikutnya yang dapat menimbulkan perdarahan kembali. Waktu yang
diperlukan untuk penyembuhan pada perdarahan subdural ini bervariasi antar
individu, tergantung pada kemampuan reparasi tubuh setiap individu sendiri.
Hampir semua kasus perdarahan subdural berhubungan dengan trauma, meskipun
dapat tidak berhubungan dengan trauma. Perdarahan ini dapat terjadi pada orang-
orang dengan gangguan mekanisme pembekuan darah atau pada pecandu alcohol
kronik, meskipun tidak menyebabkan perdarahan yang besar dan berbahaya. Pada
kasus-kasus perdarahan subdural akibat trauma, dapat timbul persarahan kecil
yang tidak berisiko apabila terjadi pada orang normal. Akan tetapi, pada orang-
orang yang memiliki gangguan pada mekanisme pembekuan darah, dapat bersifat
fatal.
Adakalanya juga perdarahan subdural terjadi akibat perluasan dari perdarahan di
tempat lain. Salah satu contohnya adalah perdarahan intraserebral yang keluar dari
substansi otak melewati pia mater, kemudian masuk dan menembus lapisan
arakhnoid dan mencapai ruang subdural.
Perdarahan Subarakhnoid
Merupakan perdarahan di bawah selaput laba-laba otak.
Dapat diakibatkan karena :
1. Trauma
2. Penyakit/spontan seperti pecahnya aneurysma circulus willisi
Penyebab perdarahan subarakhnoid yang tersering ada 5, dan terbagi menjadi 2
kelompok besar, yaitu yang disebabkan trauma dan yang tidak berhubungan
dengan trauma. Penyebabnya antara lain:
1. Nontraumatik:
1. Ruptur aneurisma pada arteri yang memperdarahi otak
2. Perdarahan intraserebral akibat stroke yang memasuki subarakhnoid
2. Traumatik:
1. Trauma langsung pada daerah fokal otak yang akhirnya menyebabkan
perdarahan subarakhnoid
2. Trauma pada wajah atau leher dengan fraktur pada tulang servikal yang
menyebabkan robeknya arteri vertebralis
3. Robeknya salah satu arteri berdinding tipis pada dasar otak yang diakibatkan
gerakan hiperekstensi yang tiba-tiba dari kepala.
Arteri yang lemah dan membengkak seperti pada aneurisma, sangat rapuh
dindingnya dibandingkan arteri yang normal. Akibatnya, trauma yang ringan pun
dapat menyebabkan ruptur pada aneurisma yang mengakibatkan banjirnya ruang
subarakhnoid dengan darah dan akhirnya menimbulkan disfungsi yang serius atau
bahkan kematian.
Yang menjadi teka-teki pada bagian forensik adalah, apakah trauma yang
menyebabkan ruptur pada aneurisma yang sudah ada, atau seseorang mengalami
nyeri kepala lebih dahulu akibat mulai pecahnya aneurisma yang menyebabkan
gangguan tingkah laku berupa perilaku mudah berkelahi yang berujung pada
trauma. Contoh yang lain, apakah seseorang yang jatuh dari ketinggian tertentu
menyebabkan ruptur aneurisma, atau seseorang tersebut mengalami ruptur
aneurisma terlebih dahulu yang menyebabkan perdarahan subarakhnoid dan
akhirnya kehilangan kesadaran dan terjatuh. Pada beberapa kasus, investigasi
yang teliti disertai dengan otopsi yang cermat dapat memecahkan teka-teki
tersebut.
Perdarahan subarakhnoid ringan yang terlokalisir dihasilkan dari tekanan terhadap
kepala yang disertai goncangan pada otak dan penutupnya yang ada di dalam
tengkorak. Tekanan dan goncangan ini menyebabkan robeknya pembuluh-
pembuluh darah kecil pada lapisan subarakhnoid, dan umumnya bukan
merupakan perdarahan yang berat. Apabila tidak ditemukan faktor pemberat lain
seperti kemampuan pembekuan darah yang buruk, perdarahan ini dapat
menceritakan atau mengungkapkan tekanan trauma yang terjadi pada kepala.
Jarang sekali, tamparan pada pada sisi samping kepala dan leher dapat
mengakibatkan fraktur pada prosesus lateralis salah satu tulang cervical superior.
Karena arteri vertebralis melewati bagian atas prosesus lateralis dari vertebra di
daerah leher, maka fraktur pada daerah tersebut dapat menyebabkan robeknya
arteri yang menimbulkan perdarahan masif yang biasanya menembus sampai
lapisan subarakhnoid pada bagian atas tulang belakang dan akhirnya terjadi
penggenangan pada ruang subarakhnoid oleh darah. Aliran darah ke atas
meningkat dan perdarahan meluas sampai ke dasar otak dan sisi lateral hemisfer
serebri. Pada beberapa kasus, kondisi ini sulit dibedakan dengan perdarahan
nontraumatikyang mungkin disebabkan oleh ruptur aneurisma.
Tipe perdarahan subarakhnoid traumatic yang akan dibicarakan kali ini
merupakan tipe perdarahan yang massif. Perdarahan ini melibatkan dasar otak dan
meluas hingga ke sisi lateral otak sehingga serupa dengan perdarahan yang
berhubungan dengan aneurisma pada arteri besar yang terdapat di dasar otak.
Akan tetapi, pada pemeriksaan yang cermat dan teliti, tidak ditemukan adanya
aneurisma, sedangkan arteri vertebralis tetap intak. Penyebab terjadinya
perdarahan diduga akibat pecahnya pembuluh darah berdinding tipis pada bagian
bawah otak, serta tidak terdapat aneurisma. Terdapat 2 bukti, meskipun tidak
selalu ada, yang bisa mendukung dugaan apakah kejadian ini murni dimulai oleh
trauma terlebih dahulu. Bukti pertama yaitu adanya riwayat gerakan hiperekstensi
tiba-tiba pada daerah kepala dan leher, yang nantinya dapat menyebabkan kolaps
dan bahkan kematian.
Kekerasan Benda Tumpul Pada Leher
Berakibat :
 Patah tulang leher
 Robek P. darah, otot, oesophagus, trachea/larynx
 Kerusakan syaraf
Kekerasan Benda Tumpul Pada Dada
Berakibat :
 Patah os costae, sternum, scapula, clavicula
 Robek organ jantung, paru, pericardium
Kekerasan Benda Tumpul Pada Perut
Berakibat :
 Patah os pubis, os sacrum, symphysiolysis, Luxatio sendi sacro iliaca
 Robek organ hepar, lien, ginjal. Pankreas, adrenal, lambung, usus, kandung
seni
Kekerasan Benda Tumpul Pada Vertebra
Dapat berakibat :
 Fraktura, dislokasi os vertebrae
Dapat karena :
1. Trauma langsung
2. Tidak langsung karena tarikan / tekukan
Kekerasan benda Tumpul Pada Anggota Gerak
Berakibat :
 Patah tulang, dislokasi sendi
 Robek otot, P.darah, kerusakan saraf
Pola Trauma Tumpul
Terdapat beberapa pola trauma akibat kekerasan tumpul yang dapat dikenali, yang
mengarah kepada kepentingan medikolegal. Contohnya :
1. Luka terbuka tepi tidak rata pada kulit akibat terkena kaca spion pada
saat terjadi kecelakaan, Ketika terjadi benturan, kaca spion tersebut akan
menjadi fragmen-fagmen kecil. Luka yang terjadi dapat berupa abrasi, kontusio,
dan laserasi yang berbentuk segiempat atau sudut.
2. Pejalan kaki yang ditabrak kendaraan bermotor biasanya mendapatkan fraktur
tulang panjang kaki. Hal ini disebut ‘bumper fractures’. Adanya fraktur
tersebut yang disertai luka lainnya pada tubuh yang ditemukan di pinggir
jalan, memperlihatkan bahwa korban adalah pejalan kaki yang ditabrak oleh
kendaraan bermotor dan dapat diketahui tinggi bempernya. Karena hampir
seluruh kendaraan bermotor ‘nose dive’ ketika mengerem mendadak,
pengukuran ketinggian bemper dan tinggi fraktur dari telapak kaki, dapat
mengindikasikan usaha pengendara kendaraan bermotor untuk mengerem
pada saat kecelakaan terjadi.
3. Penderita serangan jantung yang terjatuh dapat diketahui dengan adanya pola
luka pada dan di bawah area ‘hat band’ dan biasanya terbatas pada satu sisi
wajah. Dengan adanya pola tersebut mengindikasikan jatuh sebagai penyebab,
bukan karena dipukul.
4. Pukulan pada daerah mulut dapat lebih terlihat dari dalam. Pukulan yang
kepalan tangan, luka tumpul yang terjadi dapat tidak begitu terlihat dari luar,
namun menimbulkan edem jaringan pada bagian dalam, tepat di depan gigi
geligi. Frenum pada bibir atas kadang rusak, terutama bila korban adalah bayi
yang sering mendapat pukulan pada kepala
Pola trauma banyak macamnya dan dapat bercerita pada pemeriksa medikolegal.
Kadangkala sukar dikenali, bukan karena korban tidak diperiksa, namun karena
pemeriksa cenderung memeriksa area per area, dan gagal mengenali polanya. Foto
korban dari depan maupun belakang cukup berguna untuk menetukan pola
trauma. Persiapan diagram tubuh yang memperlihatkan grafik lokasi dan
penyebab trauma adalah latihan yang yang baik untuk mengungkapkan pola trauma.

3. KEKERASAN TAJAM
KEMAMPUAN (4A)
DEFINISI
Trauma tajam ialah suatu ruda paksa yang mengakibatkan luka pada permukaan
tubuh oleh benda-benda tajam. Ciri-ciri umum dari luka benda tajam adalh
sebagai berikut :
1) Garis batas luka biasanya teratur, tepinya rata dan sudutnya runcing
2) Bila ditautkan akan mejadi rapat (karena benda tersebut hanya memisahkan ,
tidak menghancurkan jaringan) dan membentuk garis lurus dari sedikit
lengkung.
3) Tebing luka rata dan tidak ada jembatan jaringan.
4) Daerah di sekitar garis batas luka tidak ada memar.
5) Trauma tajam dikenal dalam tiga bentuk pula yaitu luka iris atau luka sayat
(vulnus scissum), luka tusuk (vulnus punctum) dan luka bacok (vulnus caesum).
MEKANISME
a) Luka sayat (Cuts or incised wound) . Luka sayat ialah luka karena alat yang
tepinya tajam dan timbulnya luka oleh karena alat ditekan pada kulit dengan
kekuatan relativ ringan kemudian digeserkan sepanjang kulit sehingga syok
traumatic tidak terjadi kecuali ditimbulkan oleh faktor – faktor yang lain
seperti perdarahan. Komplikasi fatal dari luka iris yang paling sering terjadi
adalah perdarahan sepsis.
b) Luka iris pada kasus bunuh diri paling sering terjadi di kerongkongan dan
pergelangan tangan dan lengan bawah sisi fleksor. Seseorang biasanya
memegang senjata dengan tangan kanannya dan memulai irisan dari sisi kiri
ke sisi kanan, atau mungkin dia mengiris dari sisi kanan leher ke depan dan
ke bawah. Seseorang yang kidal akan mengiris dirinya dengan cara yang
sama , pada umumnya memulai irisan dari sisi kanan leher. Ciri luka sayat :
a) Pinggir luka rata
b) Sudut luka tajam
c) Rambut ikut terpotong
d) Jembatan jaringan ( - )
e) Biasanya mengenai kulit, otot, pembuluh darah, tidak sampai tulang
c) Luka tusuk (stab wound)
Luka tusuk ialah luka akibat alat yang berujung runcing dan bermata tajam atau
tumpul yang terjadi dengan suatu tekanan tegak lurus atau serong pada
permukaan tubuh. Efek yang terjadi pada luka tusuk tergantung dari
lokasinya pada tubuh. Luka dapat terjadi pada dada, abdomen tulang
belakang, leher, kepala dan ekstremitas. Contoh:
-Belati, bayonet, keris
-Clurit
-Kikir
-Tanduk kerbau
Ciri luka tusuk (misalnya senjata pisau / bayonet) :
 Tepi luka rata
 Dalam luka lebih besar dari panjang luka
 Sudut luka tajam
 Sisi tumpul pisau menyebabkan sudut luka kurang tajam
 Sering ada memar / echymosis di sekitarnya
d) Luka bacok (chop wound)
Luka bacok ialah luka akibat benda atau alat yang berat dengan mata tajam atau
agak tumpul yang terjadi dengan suatu ayunan disertai tenaga yang cukup
besar. Contoh : pedang, clurit, kapak, baling-baling kapal.
Ciri luka bacok :
 Luka biasanya besar
 Pinggir luka rata
 Sudut luka tajam
 Hampir selalu menimbulkan kerusakan pada tulang, dapat memutuskan
bagian tubuh yang terkena bacokan
 Kadang-kadang pada tepi luka terdapat memar, aberasi

4. TRAUMA ZAT KOROSIF


KEMAMPUAN : 3A
DEFINISI
Luka akibat zat korosif dapat diartikan sebagai perubahan kulit lokal atau
generalisata toksik akut/kronik atau degeneratif, bukan alergik yang disebabkan
oleh bahan kimia yang bersifat korosif. Luka akibat zat kimia disebut luka etsa.
MEKANISME
a. Zat kimia asam korosif
Asam bersifat korosif bila konsentrasinya pekat, bersifat iritan pada
konsentrasi yang agak pekat, dan bersifat perangsang pada konsentrasi rendah. Cara
kerja pada golongan ini dapat mengakibatkan luka dengan mengekstraksi air dari
jaringan, mengkoagulasi protein menjadi albuminat, mengubah hemoglobin
menjadi asam hematin dengan membentuk asam albuminat melalui dehidrasi
jaringan yang mengakibatkan perubahan warna hitam atau coklat. 1,5
Gejala yang dapat timbul bila seseorang meminum asam pekat antara lain: 5
1. Luka bakar pada bagian mulut, esofagus, sampai lambung.
2. Muntah yang mengandung darah, mukosa, dan bagian-bagian membran
mukosa.
3. Perasaan nyeri dan kembung.
4. Sudut mulut mengalami korosi.
5. Gigi berwarna putih kapur.
6. Lidah mengalami korosi.
7. Suara serak karena edema laring.
8. Usus mengalami gangguan peristaltik, diare, maupun konstipasi.
9. Pupil mengalami dilatasi.
10. Disfagia.
11. Oliguria dan disuria.
Sifat-sifat khas bahan korosive :
1. Tumpahan racun pada tubuh korban dapat merusak struktur kulit; hal ini
bisa membantu proses rekonstruksi untuk memperkirakan kapan racunnya
diminum. Bibir bisa terbakar dan tetesan racun bisa mengenai dagu, leher
dan dada. Pola mulut yang terbakar bisa digunakan untuk melihat racun
apa yang diminum. Korban yang meminum racun dengan posisi duduk
atau berdiri, racun akan mengalir kedada dan abdomen; bila berbaring,
racun akan mengaliri wajah dan pipi lalu keleher belakang. Tumpahan
racun bisa masuk kesaluran hidung.
2. Bagian inferior mulut bisa terkikis, lidah tertelan atau menciut tergantung
bahan racunnya. Faring, laring dan esofagus terkikis dan dalam beberapa
menit glotis akan edema. Mukosa saluran nafas bisa rusak dan terjadi
aspirasi cairan ke paru sehingga terjadi edema paru dan hemoragik.
3. Bagian bawah esofagus dan perut mengalami perubahan warna,
deskuamasi dan perforasi. Setelah beberapa menit racun bisa mengalir
lebih dalam dan dapat merusak usus halus tapi ini jarang terjadi karena faktor
waktu dan adanya spasme pilorus.
4. Tumpahan racun ke paru bisa menimbulkan edema paru dan
bronkopneumonia akibatnya terjadi kematian.
Ciri-ciri luka akibat zat korosif asam :
o Terlihat kering.
o Berwarna coklat kehitaman, kecuali yang disebabkan karena asam nitrat
berwarna kuning kehijauan.
o Perabaan keras dan kasar.
Penyebab kematian:
Segera
 Kegagalan pernafasan karena spasme dan edema glotis.
 Perforasi lambung yang menyebabkan peritonitis.
Lambat
 Lemas dan malnutrisi, karena kelaparan akibat esofagus atau pylorus
mengalami pembentukan sikatriks dan stenosis.
 Dispepsia yang sukar disembuhkan
 Asam hidroklorida
Asam hidroklorida adalah zat yang tajam dan tidak berwarna. Sumber
keracunan biasanya pada industri, laboratorium, pemakaian asam klorida sebagai
pembersih di lingkungan rumah tangga. Asam hidroklorida digunakan untuk
aborsi dengan cara disuntik pervaginam ke dalam uterus sehingga menyebabkan
kematian janin. Kasus yang sering kali terjadi pada penggunaan asam ini adalah
suicidal, dangan cara menelan cairan yang terkonsentrasi. Kasus jarang tejadi
adalah kecelakaan dan homocidal.
 Asam sulfat
Asam sulfat adalah zat kimia yang sering digunakan pada proses manufaktur
dan reagen yang penting dalam laboratorium. Sumber keracunan biasanya pada
industri dan laboratorium. Asam sulfat memiliki sifat fisik tidak berwarna, tidak
berbau, ridak mudah terbakar pada udara terbuka, jika ditambah air menghasilkan
panas, jika mengenai benda bersifat organik seperti kulit akan mengakibatkan
perubahan perubahan warna menjadi hitam seperti tebakar.
 Asam nitrat
Asam nitrat digunakan secara luas pada proses manufaktur dan reagen
yang penting dalam laboratorium. Sumber keracunan dari industri, pabrik bahan
peledak, dan laboratorium. Asam nitrat memiliki sifat fisik merupakan cairan
bening tidak berwarna. Asam nitrat yang berwarna merah kekuningan adalah asam
nitrat dipasaran yang mengandung nitrogen oksida. Dalam bentuk yang
tekonsentrasi, asam ini dapat menghancurkan bahan organik dengan cara oksidasi
dan reaksi xanthoproteic. Asam nitrat ini akan menimbulkan kerusakan mukosa dan
meninggalkan bekas berupa cetakan kuning kecoklatan di mukosa.
 Asam asetat
Sumber keracunan dari industri, laboratorium, biasanya digunakan sebagai
bahan utama dari asam cuka. Larutan asam asetat glacial 99% yang digunakan
pada laboratorium kimia, dan merupakan zat korosif kuat serta asam yang berbau
menyengat dan khas. Keracunan sering kali disebabkan karena menghirup asap
dari asam asetat. Sifat fisik asam nitrat memiliki sifat tidak bewarna, pada asam
cuka berupa cairan yang berwarna kekuningan, berbau tajam dan khas.
 Asam oksalat
Sifat Asam oksalat tidak begitu korosif tapi masih bersifat racun dan
kerjanya cepat, kematian timbul dalam beberapa menit sampai 1 jam. Asam bersifat
korosif lokal dan berefek sistemik yang dapat berakibat fatal meskipun kerusakan
lokalnya non letal. Saat otopsi bila tertelan kristal putih atau asam kuat maka akan
timbul efek pemutihan mukosa mulut, faring dan esofagus walau
perdarahan lokal juga bisa terjadi. diperut juga terjadi kerusakan mukosa dan
warnanya menjadi coklat tua atau hitam yang berasal dari asam hematin, dindingnya
erosi. kematian pada korban yang telah melewati fase akut disebabkan karena
kelainan fungsi otot (termasuk kelainan myocardium) karena hipokalemi akibat
presipitasi kalsium tubuh. Kematian terjadi setelah 2-10 hari.
2. Zat kimia basa korosif
Zat kimia basa seperti halnya asam mempunyai sifat korosif dalam
konsentrasi yang pekat, dan bersifat iritan pada konsentrasi yang lebih encer. 5
Ciri-ciri luka yang terjadi sebagai akibat bersentuhan dengan zat-zat ini adalah: 5
3. terlihat basah dan edematous
4. berwarna merah kecoklatan
5. perabaan lunak dan licin
 Ammoniak
sumber keracunan dari industri, rumah tangga dan laboratorium. Pada rumah
tangga sering kali digunakan sebagai pembersih. Ammoniak memiliki sifat alkali
kuat yang iritatif. Gas ammoniak yang digunakan di lemari es adakalanya lolos
melalui kebocoran pada pipa. Jika gas tersebut tehirup, maka inflamasi yang hebat
pada saluran pernafasan akan terjadi, yang akan mengakibatkan laringitis
pseudomembranosa, purulen dan berwarna kekuningan,trakitisbronkitis dan
bronkopneumoni.
 Kalium hidroksida
Kalium hidroksida memiliki sifat fisik berupa zat padat berwarna putih
keabuan, larut dalam air, perabaan licin dan rasanya pahit. Zat ini memiliki sifat
korosif yang kuat dan akan memberikan efek terbakar pada kulit sebagaimana
pada saluran gastrointestinal. Sumber keracunan dari laboratorium, industri
teutama pabrik sabun. Pada sebagian besar kasus adalah suicidal dan kecelakaan
dengan cara menelan zat tersebut. Pada kasus yang jarang adalah homicidal pada
anak yang dipaksa menelan zat tesebut.
 Natrium hidroksida
Sodium hidroksida, NaOH dan soda kaustik adalah nama lain dari natrium
hidroksida. Cairan konsentrat yang terdiri dari natrium hidroksida ditambah
dengan sodium hidroksida dan sodium karbonat jika ditelan pada kasus bunuh diri
atau tertelan oleh anak-anak, dapat menyebabkan kematian oleh karena kerusakan
yang parah pada saluran gastrointestinal. Dalam beberapa hal, cairan tesebut dapat
dilempar kearah wajah atau tubuh individu untuk menimbulkan luka seperti luka
bakar dan juga menimbulkan perlukaan pada kornea.
MEKANISME
Zat korosif adalah unsur yang menyebabkan kerusakan pada bagian tubuh
yang terkena zat tersebut, akibat koagulasi protoplasma, pengendapan dan
penguraian protein serta penyerapan air. Asam kuat sifatnya mengkoagulasikan
protein sehingga menimbulkan luka korosi yang kering dan keras. Basa kuat
bersifat membentuk reaksi penyabunan intrasel sehingga menimbulkan luka yang
basah, licin dan kerusakan akan berlanjut sampai dalam. Karena bahan kimia
asam atau basa terdapat dalam bentuk cair ( larutan pekat), maka bentuk luka
sesuai dengan mengalirnya bahan cair tersebut.
Satu fakta penting yang harus diingat bahwa penampakan post mortal
tidak serta merta memberikan gambaran akan waktu kematian, mengingat asam atau
basa kuat akan terus merusak jaringan sehingga perforasi akan sering didapat pada
penampakan post mortal.
Penelanan zat korosif seringkali menghasilkan efek yang merugikan pada
esofagus dan/atau lambung. Zat basa umumnya menyebabkan perlukaan esofagus,
sedangkan zat asam seringkali menyebabkan kerusakan lambung. Barisan epitel
skuamosa esofagus sensitif terharap zat basa; namun, dalam perjalanannya
menuju lambung, zat basa akan dinetralisir dengan cepat oleh keasaman lambung.
Sebaliknya, mukosa esofagus resisten terhadap zat asam, dan kemudian akan
menyebabkan peradangan hebat pada dinding lambung. Zat korosif baik asam
maupun basa dapat merusak esofagus dan lambung serta usus secara cepat. Jarang
sekali ditemukan nekrosis dari seluruh usus akibat penelanan zat korosif.
1. Asam kuat
Asam kuat bersifat korosif pada konsentrasi yang pekat, bersifat iritan
pada konsentrasi yang agak pekat dan bersifat perangsang pada konsentrasi
rendah.
Luka akibat zat asam menyebabkan “nekrosis koagulasi” pada jaringan yang
terkena, koagulum ini kemudian akan membatasi penetrasi lebih dalam ke jaringan.
Di sisi lain, luka bakar memicu “pencairan nekrosis”, sebuah proses yang
menyebabkan penguraian protein dan kolagen, saponifikasi lemak, dehidrasi
jaringan dan trombosis pembuluh darah, yang menyebabkan perlukaan jaringan
yang lebih dalam.
Luka bakar akibat zat kimia pada saluran gastrointestinal bagian atas
dikelompokkan dalam golongan yang sama dengan luka bakar pada kulit. Luka ini
dikelompokkan dalam tiga derajat berdasarkan luas dan beratnya lesi superfisial.
Penilaian kedalaman luka dapat memperbaiki penanganan luka, namun saat ini,
belum didapatkan pengukuran kedalaman yang tepat, dan penilaian derajat secara
subjektif masih dianggap yang terbaik.
Cara kerja zat kimia korosif dari golongan asam sehingga mengakibatkan luka
ialah:
 Mengekstraksi air dari jaringan, sehingga luka terlihat kering dengan
perabaan keras dan kasar.
 Mengkoagulasi protein menjadi asam albuminat.
 Mengubah hemoglobin menjadi asam hematin, sehingga berubah warna
menjadi coklat kehitaman. Kecuali yang disebabkan oleh asam nitrat
berwarna kuning kehijauan.
Gangguan post mortem luka tergantung pada:
 Kepekatan asam
 Banyaknya asam yang digunakan.
 Lamanya pasien dapat bertahan sejak meminum asam kuat tersebut.
Jika kematian dapat terjadi dengan singkat, maka ditemukan:
 Tanda-tanda korosi dan kerusakan pada mulut, tenggorokan, esofagus dan
lambung. Bentuknya bisa berupa sedikit erosi sampai merupakan bercak
kerusakan yang luas.
 Bisa dijumpai perforasi lambung yang mengakibatkan keluarnya isi
lambung kedalam rongga perineum. Dapat pula terjadi kerusakan pada
organ perineum atau pada organ-organ abdomen.
2. Basa kuat
Basa mempunyai sifat korosif dalam konsentrasi yang pekat dan bersifat
iritan pada konsentrasi yang lebih encer.
Cara kerja zat kimia korosif dari golongan basa sehingga menimbulkan luka ialah:
 Mengadakan ikatan dengan protoplasma sehingga membentuk alkalin dan
sabun, sehingga terlihat basah dan edematus dengan perabaan lunak dan
licin.
 Mengubah hemoglobin menjadi alkalin hematin, sehingga terlihat
berwarna merah kecoklatan.
Paparan zat korosif alkali seperti sodium hidroksida (NaOH), berakibat
penetrasi jaringan yang disebabkan oleh disosiasi OH- yang menimbulkan
nekrosis liquefaktif. Nekrosis liquefaktif berakibat disolusi protein, destruksi
kolagen, saponifikasi lemak, emulsifikasi membran sel, trombosis transmural dan
kematian sel.
Paparan zat alkali pada mata menyebabkan defek pada epitel kornea mata
dan menembus kedalam mata secara cepat.
Gambaran post mortem luka akibat basa meliputi:
 Tanda-tanda korosi tidak begitu jelas seperti yang disebabkan oleh asam.
 Apabila tertelan akan timbul tanda-tanda korosif pada saluran cerna
dengan gejala berupa nyeri pada mulut, esofagus dan epigastrium.
Hipersalivasi, muntah disertai bagian mukosa lambung dan darah. Seringkali
suara serak karena edema glotis.
 Sistem pencernaan menunjukkan bercak-bercak yang mengalami inflamasi
dan nekrosis.
 Bila terhirup akan mengakibatkan peradangan berat pada saluran
pernapasan. Saluran pernapasan berwarna kekuningan, purulen dan terjadi
laringitispseudomembran, trakeitis, bronkitis dan bronkopneumonia.
Gejalanya adalah nyeri dada, batuk berat, spasme glotis dan tanda-tanda
infeksi paru-paru. Terdapat bentuk basa kuat dalam bentuk gas yang
mengakibatkan iritasi kornea dan konjungtiva jika kontak dengan mata.
 Perforasi jarang sekali terjadi.
 Traktus respiratorius bagian atas mungkin mengalami kongesti.
DIAGNOSIS
1. Asam
1. Pada pemeriksaan luar didapatkan:
Tanda terbakar yang berwarna coklat kemerahan atau hitam, kering dan keras
sesuai dengan bagian yang terkena
2. Pada pemeriksaan dalam didapatkan:
 Mukosa teriritasi, memberikan gambaran merah terang atau merah
kecoklatan, mungkin didapatkan ulserasi.
 Tanda iritasi pada laring dan edema pada glotis.
 Peradangan yang memberikan gambaran pseudomembran pada trakea
dan bronkus yang mengakibatkan kerusakan epitel superfisial dan
nekrosis yang dapat terjadi sampai kelapisan submukosa.
2. Basa
1. Pada pemeriksaan luar didapatkan:
 Luka terlihat basa dan edematous berwarna merah kecoklatan,
perabaan lunak dan licin.
2. Pada pemeriksaan dalam didapatkan:
 Membran mukosa lembut, bengkak, edema dan merah dengan sedikit
bintik coklat.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan yaitu:
1. Pemeriksaan dengan menggunakan kertas lakmus yang akan menunjukkan
perubahan warna.
 Asam kuat (H2SO4)
Pada pemeriksaan jaringan akibat luka asam kuat, terjadi penebalan
pada lapisan epidermis dan adanya granul-granul pada vesikel kolagen
berbentuk gelombang dan hiperemis.
 Basa (NaOH)
Pada pemeriksaan jaringan akibat luka basa kuat akan terjadi
penebalan dan nekrosis di semua jaringan sel di lapisan epidermis dan
dermis.

4.LUKA TEMBAK
KEMAMPUAN (3A)
DEFINISI
Kulit terdiri dari lapisan epidermis, dermis dan subkutis. Jika dilihat dari
elastisitasnya, epidermis kurang elastis bila dibandingkan dengan dermis. Bila
sebutir peluru menembus tubuh, maka cacat pada epidermis lebih luas dari pada
dermis. Diameter luka pada epidermis kurang lebih sama dengan diameter anak
peluru, sedangkan diameter luka pada dermis lebih kecil. Keadaan tersebut
dikenal sebagai kelim memar (contusio ring).
Contusio ring ini didapatkan pada luka tembak masuk dan luasnya
tergantung pada arah peluru pada kulit. Peluru yang masuk tegak lurus, maka
contusio ringnya akan besar, sedangkan peluru yang masuknya miring, contusio
ringnya akan lebih lebar dibagian dimana peluru membentuk mulut yang terkecil
pada kulit. Peluru juga mengandung lemak pembersih senjata. Lemak ini juga
akan memberi gambaran pada luka tembak berupa kelim lemak yang berupa pita
hitam, tetapi kelim lemak ini tidak selalu terdapat misalnya pada senjata yang jarang
dibersihkan. Pada waktu senjata ditembakkan, maka yang keluar dari laras senjata
api adalah:
1. Api
2. Mesiu yang sama sekali terbakar (jelaga, roetneerslag)
3. Mesiu yang hanya sebagian saja yang terbakar
4. Mesiu yang tidak terbakar
5. Kotoran minyak senjata, karatan dan lain sebagainya
6. Anak pelurunya sendiri
MEKANISME
Terdapat empat teori luka yaitu:
1. Keparahan luka tembak ditentukan oleh dua faktor:
a. Kerusakan pada jaringan yang disebabkan oleh interaksi mekanik antara
peluru dan lapisan otot/jaringan.
b. Pengaruh rongga sementara yang diakibatkan oleh peluru.
2. Sekali peluru menembus tubuh, pilin yang diakibatkan oleh alur pilin
tidak memadai untuk mengkompensasi bertambahnya kepadatan jaringan.
a. Peluru mulai mengoleng, atau terhuyung-huyung pada jalur proyeksinya.
Olengannya adalah sudut antara jalur proyeksi dan poros membujur dari
peluru.
b. Saat peluru meluncur menerobosi jaringan, olengannya bertambah. Kalau
jalurnya cukup panjang, olengannya akan mencapai 90°, jadi
menonjolkan sisi pembukaan yang maksimum.
c. Kalau peluru terus meluncur, maka akan terjadi putaran balik 180° dan
meluncur dengan gerakan mundur.
3. Sebagai tambahan pada kerusakan mekanis jaringan, peluru yang bergerak
merusak tatanan lapisan jaringan sama seperti sebuah speed-boat yang merusak
ketenangan air saat meluncur di atas danau.
a. Semakin besar energi kinetis yang dikeluarkan oleh peluru,
semakin banyak energi yang hilang, dan kerusakan tatanan jaringanpun
semakin besar.
b. Jaringan terhempas dari jalur peluru yang menyebabkan terjadinya
rongga sementara.
c. Rongga yang secara alamiah bersifat sementara hanya bertahan seper-
5 sampai 10 ribu detik saja.
1) Sejak mulai terasa sampai pingsan, peluru melewati beberapa
berangsur-angsur meliwati getaran dan kontraksi yang semakin sebelum
hilang sama sekali, meninggalkan bekas luka yang permanent.
2) Rongga sementara dapat menjadi 11 kali lebih besar dari diameter
peluru.
3) Titik pelebaran maksimum rongga oleh sebuah peluru non-fragmen,
yang merusak bentuk akan terjadi bilamana peluru meluncur pada
sisinya.
d. Kerusakan paling parah pada rongga sementara terjadi pada luka tembak
di kepala. Disini struktur yang tengkorak kepala yang keras hanya dapat
mengurangi tekanan dengan cara meledak/pecah.
e. Besarnya rongga sementara dan tekanan yang dihasilkan oleh
terhempasnya jaringan hanya berperan kecil, kalaupun ada, peran
karena luka oleh peluru pistol, karena pada kenyataannya peluru
pistol hanya memiliki energi kinetik yang relatif kecil.
f. Hal ini berbeda dengan peluru senapan center fire yang oleh sifat dari
kecepatan tingginya memiliki jumlah energi kinitik yang sangat besar.
Rongga besar dan tekanan gelombang besar dapat dihasilkan yang
sebenarnya dapat mengkacaukan, memecahkan, dan juga dapat merobek
organ-organ yang tidak terkena secara langsung oleh peluru, tetapi itupun
hanya dalam jarak yang dekat dengan jalurnya. memperlihatkan
kecepatan tinggi dan energi kinetik dari aneka macam jenis amunisi.
4. Ujung yang kosong dan halus dari peluru senapan cenderung merobek tubuh yang
meninggalkan luka yang lebih parah dibanding dengan jika tidak sobek.
Sebaliknya peluru senjata militer cenderung untuk tidak merobek tubuh.
Kecuali dalam peluru M16 (5.56 x 45 mm).
Dengan pengecualian efek perlambatan pada luka yang disebabkan pada
semua trauma mekanik seperti pukulan, tusukan, atau tendangan, terjadi karena
adanya transfer energi dari luar menuju ke jaringan. Ini juga terjadi pada luka
tembak. Kerusakan yang terjadi pada jaringan tergantung pada absorpsi energi
kinetiknya, yang juga akan menghamburkan panas, suara serta gangguan mekanik
yang lainya.
Untuk menjamin transfer energi ke suatu jaringan, beberapa peluru
dimodifikasi akan berhenti atau menurun kecepatanya sesampainya di tubuh.
Anak peluru yang lunak didesain akan segera menjadi pecahan kecil saat
ditembakkan. Peluru dumdum banyak digunakan pada muncung roket yang
mempunyai ruang udara pada ujungnya diperuntukkan agar pada saat benturan akan
terjadi pengurangan kecepatan dan terjadi transfer energi yang besar dan kerusakan
jaringan yamg hebat. Ledakan peluru ini juga pernah digunakan saat usaha
pembunuhan presiden Reagen. Lintasan peluru juga dapat menilai besar dan
kecepatan dari energi yang diberikan pada suatu target.
Jumlah dari energi kinetik yang terdapat pada proyektil sesuai dari masa dan
kecepatan. Industri militer modern telah mengambil banyak manfaat untuk
pengembangan senjata dengan dasar masa yang rendah dengan kecepatan yang
tinggi sehingga menghasilkan energi kinetic yang maksimum untuk kerusakan
jaringan.Rata-rata kecepatan peluru berkisar 340m/s, dimana banyak digunakan
pada panah, senapan angin, serta revolver. Dari system mekanik ini akan
mengakibatkan daya dorong peluru ke suatu jaringan sehingga terjadi laserasi,
kerusakan sekunder terjadi kalau adanya rupture pembuluh darah atau struktur
lainnya dan terjadi luka yang sedikit lebih besar dari diameter peluru. Jika kecepatan
melebihi kecepatan udara, lintasan dari peluru yang menembus jaringan akan terjadi
gelombang tekanan yang mengkompresi jika terjadi pada jaringan seperti otak, hati
ataupun otot akan mengakibatkan kerusakan dengan adanya zona-zona disekitar
luka.
Dengan adanya lesatan peluru dengan kecepatan tinggi akan membentuk
rongga disebabkan gerakan sentrifugal pada peluru sampai keluar dari jaringan
dan diameter rongga ini lebih besar dari diameter peluru, dan rongga ini akan
mengecil sesaat setelah peluru berhenti, dengan ukuran luka tetap sama. Organ
dengan konsistensi yang padat tingkat kerusakan lebih tinggi daripada yang
berongga. Efek luka juga berhubungan dengan gaya gravitasi. Pada pemeriksaan
harus dipikirkan adanya kerusakan sekunder seperti infark atau infeksi.
DIAGNOSIS
Kepentingan medikolegal deskripsi yang adekuat dari luka senjata api
bergantung pada besarnya potensi seorang korban meninggal. Jika korban masih
hidup, deskripsi singkat dan tidak terlalu detail. Dokter mempunyai tanggung jawab
yang utama untuk memberikan penatalaksanaan gawat darurat. Membersihkan
luka, membuka dan mengeksplorasi, debridement dan
menutupnya, kemudian membalut adalah bagian penting dari merawat pasien bagi
dokter. Penggambaran luka secara detail akan dilakukan nanti, setelah semua
kondisi gawat darurat dapat disingkirkan. Oleh karena singkatnya waktu yang
dimiliki untuk mempelajari medikolegal, seringkali dokter merasa tidak mempunyai
kewajiban untuk mendeskripskan luka secara detail. Deskripsi luka yang minimal
untuk pasien hidup terdiri dari :
1. Lokasi
a. jarak dari puncak kepala atau telapak kaki serta ke kanan dan kiri
garis pertengahan tubuh
b. lokasi secara umum terhadap bagian tubuh
2. Deskripsi luka luar
a. ukuran dan bentuk
b. lingkaran abrasi, tebal dan pusatnya
c. luka bakar
d. lipatan kulit, utuh atau tidak
e. tekanan ujung senjata
3. Residu tembakan yang terlihat
a. grains powder
a. deposit bubuk hitam, termasuk korona
b. tattoo
c. metal stippling
4. Perubahan
a. oleh tenaga medis
b. oleh bagian pemakaman
5. Track
a. penetrasi organ
b. arah
- depan ke belakang (belakang ke depan)
- kanan ke kiri(kiri ke kanan)
- atas ke bawah
c. kerusakan sekunder
- perdarahan
- daerah sekitar luka
d. kerusakan organ individu
6. Penyembuhan luka tembakan
a. titik penyembuhan
b. tipe misil
c. tanda identifikasi
d. susunan
7. Luka keluar
a. lokasi
b. karakteristik
8. Penyembuhan fragmen luka tembak
9. Pengambilan jaringan untuk menguji residu
Pada korban mati, tidak ada tuntutan dalam mengatasi gawat darurat.
Meskipun demikian, tubuhnya dapat saja sudah mengalami perubahan akibat
penanganan gawat darurat dari pihak lain. Sebagai tambahan, tubuh bisa berubah
akibat perlakuan orang-orang yang mempersiapkan tubuhnya untuk dikirimkan
kepada pihak yang bertanggung jawab untuk menerimanya. Di lain pihak, tubuh
mungkin sudah dibersihkan, bahkan sudah disiapkan untuk penguburan, luka
sudah ditutup dengan lilin atau material lain. Penting untuk mengetahui siapa dan
apa yang telah dikerjakannya terhadap tubuh korban, untuk mengetahui gambaran
luka.
a. Jarak Tembakan
Efek gas, bubuk mesiu, dan anak peluru terhadap target dapat digunakan dalam
keilmuan forensik untuk memperkirakan jarak target dari tembakan dilepaskan.
Perkiraan tersebut memiliki kepentingan sebagai berikut : untuk membuktikan
atau menyangkal tuntutan; untuk menyatakan atau menyingkirkan
kemungkinan bunuh diri; membantu menilai ciri alami luka akibat kecelakaan.
Meski kisaran jarak tembak tidak dapat dinilai dengan ketajaman absolut, luka
tembak dapat diklasifikasikan sebagai luka tembak jarak dekat, sedang, dan jauh.
b. Arah Tembakan
Luka tembak yang tepat akan membentuk lubang yang sirkuler serta
perubahan warna pada kulit, jika sudut penembakan olique akan mengakibatkan
luka tembak berbentuk ellips, panjang luka dihubungkan dengan pengurangan sudut
tembak. Senapan akan memproduksi lebih sedikit kotoran, kecuali jika jarak dekat.
Petunjuk ini berguna untuk pembanding dengan shotgun. Luka tembak yang
disebabkan shotgun dengan sudut olique akan membentuk luka seperti anak tangga.
Jaringan juga berperan serta dalam perubahan gambaran luka karena adanya
kontraksi otot. Petunjuk lain yang penting untuk menginterpretasikan, yaitu :
1) Jika peluru mengenai lapisan keras tulang atau organ, dimana akan
dialihkan arah keluarnya dan lintasan peluru yang terbentuk.
2) Posisi tubuh korban secepatnya dinilai.
Telah dikatakan bahwa, pada saat penembakan ada pada sudut yang benar
dari permukaan tubuh, bentuk dari luka akan simetrris dan lingkaran. Tembakan
senjata api dengan “Sallow Cone” akan melewati setiap bagian tubuh tapi pada
bagian permukaan tangensial tubuh. Posisi yang paling sering ditemukan
kemungkinan pada samping dada, dibawah axilla.Jika lengan dinaikkan tidak
akan ikut terkena, sebaliknya akan terlihat luka pada dinding dada, dan bagian sisi
dalam lengan atas. Daerah lainnya adalah bagian samping wajah, dimana jika
terkena tembakan, bagian wajah tersebut akan terkoyak dan kemungkinan telinga
akan ikut terkoyak.
Pada dada meskipun penetrasi tembakan minimal kerusakan berat pada
pleura dan paru dapat terjadi, dan kematian dapat terjadi karena Hematothorak
dengan atau tanpa luka laserasi atau memar pada paru. Ketika bagian kepala
terkena, menghancurkan tulang tengkorak atau wajah dan dapat terjadi kerusakan
intracranial, meskipun peluru logam tidak menembus kranium. Enapan juga dapat
menyebabkan luka tangensial.1,4
Beberapa penampilan luka yang berbeda disebabkan oleh shotguns dan
rifled firearms. Perbedaan luka tersebut juga disebabkan karena adanya perbedaan
peluru saat ditembakkan. Perbedaan ini bervariasi dalam hal ukuran dengan
diameter rata-rata 22 kaliber. Bentuk dan karakteristik luka juga sangat tergantung
dari jarak tembak. Pada jarak tembak yang dekat, tembakan berupa satu bentuk
peluru silinder yang besar. Pada jarak tembak sedang, bentuk lukanya tidak
beraturan dan punya penampakan moth eaten. Dengan adanya penambahan
diameter, pecahan dari tembakan menjadi lebih besar dan terlihat defek tembakan
berupa satelit yang awalnya menutupi defek utama tetapi kemudian menyebar. Pada
tembakan jarak jauh, tidak terlihat defek yang besar dan tembakan membuat luka
kecil tunggal. Deposit tembakan dan klim tato terjadi akibat luka tembak pada
jarak dekat dan sedang.
Ada tiga jenis tembakan yakni Birdshot, buckshot, dan rifled slugs.
Birdshot digunakan untuk membunuh ungsa dan hewan yang sangat kecil.
Tembakannya sangat kecil dengan diameter 0.05 sampai 0.150 inci. Buckshot
lebih besar dari Birdshot, dengan diameter 0,24 sampai 0,33 inci. Tipe foster dari
Rifled slugs digunakan di AS. Luka akibat Rifled slugs berupa defek soliter .
Karakteristik dari luka tembak tidak dapat dilihat kecuali pada Birdshot yang
kontak dengan lukanya dekat, buckshot yang lebih besar, dan rifled slugs.
Karakteristik luka lain dari luka tembak adalah wad mark. Wad mark dapat
ditemukan pada luka tembak dengan perbedaan berdasarkan jarak tembak.
Beberapa wad dibuat dari gabus atau partikel yang menyerupai gabus,
yang akan terbentuk pada tembakan dekat. Fragmen wad yang kecil akan
menghantam kulit dan menyebabkan luka yang kecil dan tidak beraturan.

5. ASFIKSIA
KEMAMPUAN : (3A)
DEFINISI
Asfiksia adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjadinya gangguan
pertukaran udara pernapasan, mengakibatkan oksigen darah berkurang (hipoksia)
disertai dengan peningkatan karbondioksida (hiperkapneu). Dengan demikian organ
tubuh mengalami kekurangan oksigen (hipoksia hipoksik) dan terjadi kematian.
Secara klinis keadaan asfiksia sering disebut anoksia atau hipoksia.
Target organ dari asfiksia adalah otak dan didalam otak sel targetnya adalah
neuron yang memperlihatkan kerentanan yang berbeda terhadap defisiensi
oksigen. Kerentanan bergantung pada pembuluh darah dan jenis neuron yang
berbeda.
A. Etiologi Asfiksia
Dari segi etiologi, asfiksia dapat disebabkan oleh hal berikut:
a. Penyebab alamiah, misalnya penyakit yang menyumbat saluran pernapasan
seperti laringitis difteri atau menimbulkan gangguan pergerakan paru seperti
fibrosis paru.
b. Trauma mekanik yang menyebabkan asfiksia mekanik, misalnya trauma yang
mengakibatkan emboli udara vena, emboli lemak, pneumotoraks bilateral;
sumbatan atau halangan pada saluran napas, penekanan leher atau dada, dan
sebagainya.
c. Keracunan bahan kimiawi yang menimbulkan depresi pusat pernapasan,
misalnya karbon monoksida (CO) dan sianida (CN) yang bekerja pada
tingkat molekuler dan seluler dengan menghalangi penghantaran oksigen ke
jaringan.
B. Fisiologi Asfiksia
Secara fisiologi dapat dibedakan 4 bentuk anoksia, yaitu:
1. Anoksia Anoksik (Anoxic anoxia)
Pada tipe ini O2 tidak dapat masuk ke dalam paru-paru karena:
- Tidak ada atau tidak cukup O2. Bernafas dalam ruangan tertutup, kepala
di tutupi kantong plastik, udara yang kotor atau busuk, udara lembab,
bernafas dalam selokan tetutup atau di pegunungan yang tinggi. Ini di
kenal dengan asfiksia murni atau sufokasi.
- Hambatan mekanik dari luar maupun dari dalam jalan nafas seperti
pembekapan, gantung diri, penjeratan, pencekikan, pemitingan atau korpus
alienum dalam tenggorokan. Ini di kenal dengan asfiksia mekanik.
2. Anoksia Anemia (Anemia anoxia)
Di mana tidak cukup hemoglobin untuk membawa oksigen. Ini
didapati pada anemia berat dan perdarahan yang tiba-tiba. Keadaan ini
diibaratkan dengan sedikitnya kendaraan yang membawa bahan bakar ke
pabrik.
3. Anoksia Hambatan (Stagnant anoxia)
Tidak lancarnya sirkulasi darah yang membawa oksigen. Ini bisa
karena gagal jantung, syok dan sebagainya. Dalam keadaan ini tekanan
oksigen cukup tinggi, tetapi sirkulasi darah tidak lancar. Keadaan ini
diibaratkan lalu lintas macet tersendat jalannya.
4. Anoksia Jaringan (Hystotoxic anoxia)
Gangguan terjadi di dalam jaringan sendiri, sehingga jaringan atau
tubuh tidak dapat menggunakan oksigen secara efektif. Tipe ini dibedakan
atas:
- Ekstraseluler
Anoksia yang terjadi karena gangguan di luar sel. Pada keracunan
Sianida terjadi perusakan pada enzim sitokrom oksidase, yang dapat
menyebabkan kematian segera. Pada keracunan Barbiturat dan hipnotik
lainnya, sitokrom dihambat secara parsial sehingga kematian berlangsung
perlahan.
- Intraselular
Di sini oksigen tidak dapat memasuki sel-sel tubuh karena penurunan
permeabilitas membran sel, misalnya pada keracunan zat anastetik yang
larut dalam lemak seperti kloform, eter dan sebagainya.
- Metabolik
Di sini asfiksia terjadi karena hasil metabolik yang mengganggu
pemakaian O2 oleh jaringan seperti pada keadaan uremia.
C. Jenis-jenis Asfiksia
Adapun beberapa jenis kejadian yang dapat digolongkan sebagai asfiksia,
yaitu:
1. Strangulasi
a. Gantung (Hanging)
b. Penjeratan (Strangulation by Ligature)
c. Pencekikan (Manual Strangulation)
2. Sufokasi
3. Pembengkapan (Smothering)
4. Tenggelam (Drowning)
5. Crush Asphyxia
6. Keracunan CO dan SN
D. Patofisiologi Asfiksia
Dari pandangan patologi, kematian akibat asfiksia dapat dibagi dalam 2
golongan, yaitu:
1. Primer (akibat langsung dari asfiksia)
Kekurangan oksigen ditemukan di seluruh tubuh, tidak tergantung
pada tipe dari asfiksia. Sel-sel otak sangat sensitif terhadap kekurangan
oksigen. Bagian-bagian otak tertentu membutuhkan lebih banyak oksigen,
dengan demikian bagian tersebut lebih rentan terhadap kekurangan
oksigen. Perubahan yang karakteristik terlihat pada sel-sel serebrum,
serebellum, dan basal ganglia.
Di sini sel-sel otak yang mati akan digantikan oleh jaringan glial,
sedangkan pada organ tubuh yang lain yakni jantung, paru-paru, hati,
ginjal dan yang lainnya perubahan akibat kekurangan oksigen langsung
atau primer tidak jelas.
2. Sekunder (berhubungan dengan penyebab dan usaha kompensasi dari
tubuh)
Jantung berusaha mengkompensasi keadaan tekanan oksigen yang
rendah dengan mempertinggi outputnya, akibatnya tekanan arteri dan vena
meninggi. Karena oksigen dalam darah berkurang terus dan tidak cukup
untuk kerja jantung, maka terjadi gagal jantung dan kematian berlangsung
dengan cepat. Keadaan ini didapati pada:
 Penutupan mulut dan hidung (pembekapan).
 Obstruksi jalan napas seperti pada mati gantung, penjeratan,
pencekikan dan korpus alienum dalam saluran napas atau pada
tenggelam karena cairan menghalangi udara masuk ke paru-paru.
 Gangguan gerakan pernafasan karena terhimpit atau berdesakan
(Traumatic asphyxia).
 Penghentian primer dari pernafasan akibat kegagalan pada pusat
pernafasan, misalnya pada luka listrik dan beberapa bentuk
keracunan.
MEKANISME
Pada orang yang mengalami asfiksia akan timbul 4 (empat) Fase gejala klinis,
yaitu:
1. Fase Dispnea
Terjadi karena kekurangan O2 disertai meningkatnya kadar CO2
dalam plasma akan merangsang pusat pernafasan di medulla oblongata,
sehingga gerakan pernafasan (inspirasi dan ekspirasi) yang ditandai
dengan meningkatnya amplitude dan frekuensi pernapasan disertai
bekerjanya otot-otot pernafasan tambahan. Wajah cemas, bibir mulai
kebiruan, mata menonjol, denyut nadi, tekanan darah meningkat dan mulai
tampak tanda-tanda sianosis terutama pada muka dan tangan. Bila keadaan
ini berlanjut, maka masuk ke fase kejang.
2. Fase Kejang
Akibat kadar CO2 yang naik maka akan timbul rangsangan susunan
saraf pusat sehingga terjadi kejang (konvulsi), yang mula-mula berupa
kejang klonik tetapi kemudian menjadi kejang tonik dan akhirnya timbul
spasme opistotonik. Pupil mengalami dilatasi, denyut jantung menurun,
dan tekanan darah perlahan akan ikut menurun. Efek ini berkaitan dengan
paralisis pusat yang lebih tinggi dalam otak, akibat kekurangan O2 dan
penderita akan mengalami kejang.
3. Fase Apnea
Korban kehabisan nafas karena depresi pusat pernafasan, otot
pernapasan menjadi lemah, kesadaran menurun, tekanan darah semakin
menurun, pernafasan dangkal dan semakin memanjang, akhirnya berhenti
bersamaan dengan lumpuhnya pusat-pusat kehidupan. Walaupun nafas
telah berhenti dan denyut nadi hampir tidak teraba, pada fase ini bisa
dijumpai jantung masih berdenyut beberapa saat lagi. Dan terjadi relaksasi
sfingter yang dapat terjadi pengeluaran cairan sperma, urin dan tinja secara
mendadak.
4. Fase Akhir
Terjadi paralisis pusat pernapasan yang lengkap. Pernapasan berhenti
setelah berkontraksi otomatis otot pernapasan kecil pada leher. Jantung
masih berdenyut beberapa saat setelah pernapasan terhenti. Masa dari saat
asfiksia timbul sampai terjadinya kematian sangat bervariasi.
Masa dari saat asfiksia timbul sampai terjadinya kematian sangat
bervariasi. Umumnya berkisar antara 4-5 menit. Fase 1 dan 2 berlangsun g lebih
kurang 3-4 menit, tergantung dari tingkat penghalangan oksigen, bila tidak
100% maka waktu kematian akan lebih lama dan tanda-tanda asfiksia akan lebih
jelas dan lengkap.
DIAGNOSIS
Selama beberapa tahun dilakukan autopsi untuk mendiagnosis kematian akibat
asfiksia, telah ditetapkan beberapa tanda klasik, yaitu:
1. Tardieu’s spot (Petechial hemorrages)
Tardieu’s spot terjadi karena peningkatan tekanan vena secara akut
yang menyebabkan overdistensi dan rupturnya dinding perifer vena,
terutama pada jaringan longgar, seperti kelopak mata, dibawah kulit dahi,
kulit dibagian belakang telinga, circumoral skin, konjungtiva dan sklera
mata. Selain itu juga bisa terdapat dipermukaan jantung, paru dan otak.
Bisa juga terdapat pada lapisan viseral dari pleura, perikardium, peritoneum,
timus, mukosa laring dan faring, jarang pada mesentrium dan intestinum.
2. Kongesti dan Oedema
Ini merupakan tanda yang lebih tidak spesifik dibandingkan
dengan ptekie. Kongesti adalah terbendungnya pembuluh darah, sehingga
terjadi akumulasi darah dalam organ yang diakibatkan adanya gangguan
sirkulasi pada pembuluh darah. Pada kondisi vena yang terbendung, terjadi
peningkatan tekanan hidrostatik intravaskular (tekanan yang mendorong
darah mengalir di dalam vaskular oleh kerja pompa jantung) menimbulkan
perembesan cairan plasma ke dalam ruang interstitium. Cairan plasma ini
akan mengisi pada sela-sela jaringan ikat longgar dan rongga badan
(terjadi oedema).
3. Sianosis
Merupakan warna kebiru-biruan yang terdapat pada kulit dan selaput
lendir yang terjadi akibat peningkatan jumlah absolut Hb tereduksi (Hb yang
tidak berikatan dengan O2). Ini tidak dapat dinyatakan sebagai anemia, harus
ada minimal 5 gram hemoglobin per 100 ml darah yang berkurang sebelum
sianosis menjadi bukti, terlepas dari jumlah total hemoglobin.
Pada kebanyakan kasus forensik dengan konstriksi leher, sianosis
hampir selalu diikuti dengan kongesti pada wajah, seperti darah vena yang
kandungan hemoglobinnya berkurang setelah perfusi kepala dan leher
dibendung kembali dan menjadi lebih biru karena akumulasi darah.
4. Tetap cairnya darah
Terjadi karena peningkatan fibrinolisin paska kematian. Gambaran
tentang tetap cairnya darah yang dapat terlihat pada saat autopsi pada
kematian akibat asfiksia adalah bagian dari mitologi forensik. Pembekuan
yang terdapat pada jantung dan sistem vena setelah kematian adalah
sebuah proses yang tidak pasti, seperti akhirnya pencairan bekuan tersebut
diakibatkan oleh enzim fibrinolitik. Hal ini tidak relevan dalam diagnosis
asfiksia
E. Gambaran Umum Post Mortem Asfiksia
a. Pemeriksaan Luar
Pada pemeriksaan luar jenazah didapatkan:
1. Sianosis pada bibir, ujung-ujung jari dan kuku.
2. Pembendungan sistemik maupun pulmoner dan dilatasi jantung kanan
merupakan tanda klasik pada kematian akibat asfiksia.
3. Warna lebam mayat merah-kebiruan gelap dan terbentuk lebih cepat.
Distribusi lebam mayat lebih luas akibat kadar karbondioksida yang
tinggi dan aktivitas fibrinolisin dalam darah sehingga darah sukar
membeku dan mudah mengalir.
4. Terdapat busa halus pada hidung dan mulut yang timbul akibat
peningkatan aktivitas pernapasan pada fase dispneu yang disertai
sekresi selaput lendir saluran napas bagian atas. Keluar masuknya
udara yang cepat dalam saluran sempit akan menimbulkan busa yang
kadang-kadang bercampur darah akibat pecahnya kapiler.
5. Kapiler yang lebih mudah pecah adalah kapiler pada jaringan ikat
longgar, misalnya pada konjungtiva bulbi, palpebra dan subserosa lain.
Kadang-kadang dijumpai pula di kulit wajah.
6. Gambaran pembendungan pada mata berupa pelebaran pembuluh
darah konjungtiva bulbi dan palpebra yang terjadi pada fase kejang.
Akibatnya tekanan hidrostatik dalam pembuluh darah meningkat
terutama dalam vena, venula dan kapiler. Selain itu, hipoksia dapat
merusak endotel kapiler sehingga dinding kapiler yang terdiri dari
selapis sel akan pecah dan timbul bintik-bintik perdarahan yang
dinamakan sebagai Tardieu’s spot.
b. Pemeriksaan Dalam
Pada pemeriksaan dalam (Autopsi) jenazah didapatkan:
1. Darah berwarna lebih gelap dan lebih encer, karena fibrinolisin darah
yang meningkat paska kematian.
2. Busa halus di dalam saluran pernapasan.
3. Pembendungan sirkulasi pada seluruh organ dalam tubuh sehingga
menjadi lebih berat, berwarna lebih gelap dan pada pengirisan banyak
mengeluarkan darah.
4. Petekie dapat ditemukan pada mukosa usus halus, epikardium pada
bagian belakang jantung belakang daerah aurikuloventrikular,
subpleura viseralis paru terutama di lobus bawah pars diafragmatika
dan fisura interlobaris, kulit kepala sebelah dalam terutama daerah otot
temporal, mukosa epiglotis dan daerah sub-glotis.
5. Edema paru sering terjadi pada kematian yang berhubungan dengan
hipoksia.
6. Kelainan-kelainan yang berhubungan dengan kekerasan, seperti fraktur
laring langsung atau tidak langsung, perdarahan faring terutama bagian
belakang rawan krikoid (pleksus vena submukosa dengan dinding
tipis).

6.GANTUNG (HANGING)
KEMAMPUAN : (3A)
DEFINISI
Penggantungan adalah keadaan dimana leher dijerat dengan ikatan, daya jerat
ikatan tersebut memanfaatkan berat badan tubuh atau kepala. Penggantungan
merupakan suatu bentuk penjeratan (strangulasi) dengan tali ikat dimana tekanan
dihasilkan dari seluruh atau sebagian berat tubuh. Seluruh atau sebagian tubuh
seseorang ditahan di bagian lehernya oleh sesuatu benda dengan permukaan yang
relatif sempit dan panjang (biasanya tali) sehingga daerah tersebut mengalami
tekanan.
KLASIFIKASI
1. Berdasarkan Titik Gantung:
a. Penggantungan tipikal
Terjadi bila titik gantung terletak di atas daerah oksiput dan tekanan
pada arteri karotis paling besar.
b. Penggantungan atipikal
Bila titik penggantungan terdapat di samping, sehingga leher dalam
posisi sangat miring (fleksi lateral) yang akan mengakibatkan hambatan.
2. Berdasarkan Posisi Tubuh
a. Penggantungan Lengkap
Istilah penggantungan lengkap digunakan jika beban aktif adalah seluruh
berat badan tubuh, yaitu terjadi pada orang yang menggantungkan diri
dengan kaki mengambang dari lantai
b. Penggantungan Parsial
Istilah penggantungan parsial digunakan jika beban berat badan tubuh
tidak sepenuhnya menjadi kekuatan daya jerat tali, misalnya pada korban
yang tergantung dengan posisi berlutut atau berbaring. Pada kasus
tersebut, berat badan tubuh tidak seluruhnya menjadi gaya berat
sehingga disebut penggantungan parsial.
MEKANISME
Mekanisme kematian yang disebabkan oleh gantung akibat penumpuan beban
sebagian atau seluruh beban tubuh di leher diantaranya adalah
1. Asfiksia
Terjadi akibat terhambatnya aliran udara pernafasan. Merupakan penyebab
kematian yang paling sering.
2. Apopleksia
Tekanan pada pembuluh darah vena menyebabkan kongesti pada pembuluh
darahotak dan mengakibatkan kegagalan sirkulasi
3. Iskemia Serebral
Iskemia serebral disebabkan oleh penekanan dan hambatan pembuluh
darah arteri (oklusi arteri) yang menyebabkan terhambatnya aliran darah ke otak.
Gambar dibawah menunjukkan gambaran rontgen pada wanita yang berupaya
bunuh diri dengan gantung.
4. Syok Vasovagal
Perangsangan pada sinus caroticus menyebabkan refleks vagal yang
menyebabkan henti jantung.
5. Fraktur atau Dislokasi vertebra servikalis.
Fraktur vertebra servikalis sering terjadi pada hukuman gantung. Fraktur
atau dislokasi terjadi pada keadaan dimana tali yang menjerat leher cukup
panjang, kemudian korbannya secara tiba-tiba dijatuhkan dari ketinggian 1,5-2
meter maka akan mengakibatkan fraktur atau dislokasi vertebra servikalis yang
akan menekan medulla oblongata dan mengakibatkan tehentinya pernafasan.
Yang biasa terkena fraktur adalah vertebra servikalis ke-2 dan ke-3.
A. Gambaran Post Mortem Kasus Gantung
1. Pemeriksaan Luar Pada Jenazah
a. Tanda Penjeratan Pada Leher
 Tanda penjeratan jelas dan dalam. Semakin kecil tali maka tanda
penjeratan semakin jelas dan dalam
 Bentuk jeratan berjalan miring.
 Bentuk jeratan pada kasus gantung diri cenderung berjalan kiring
(oblique) pada bagian depan leher, dimulai pada leher bagian atas
antara kartilago tiroid dengandagu, lalu berjalan miring sejajar dengan
garis rahang bawah menuju belakang telinga Alur jeratan pada leher
korban penggantungan (hanging) berbentuk lingkaran (V shape). Ciri-
ciri jejas sebagai berikut :
 Alur jeratan pucat.
 Tepi alur jerat coklat kemerahan.
 Kulit sekitar alur jerat terdapat bendungan.
 Tanda penjeratan berwarna coklat gelap dan kulit tampak kering,
keras dan mengkilat
 Pada tempat dimana terdapat simpul tali yaitu pada kulit bagian
bawah telinga,tampak daerah segitiga pada kulit dibawah
telingae.Pinggiran jejas jerat berbatas tegas dan tidak terdapat tanda-
tanda abrasif.Jumlah tanda penjeratanTerkadang pada leher terlihat
dua buah atau lebih bekas penjeratan. Hal ini menujukan bahwa tali
dijeratkan ke leher sebanyak dua kali
b. Kedalaman Bekas Jeratan
Kedalaman bekas jeratan menujukan lamanya tubuh tergantung.
c. Tanda-tanda Asfiksia
Tanda-tanda umum asfiksia diantaranya adalah sianosis, kongesti
vena dan edema. Sering ditemukan adanya buih halus pada jalan nafas. Pada
kasus penggantungan tanda-tanda asfiksia berupa mata menonjol
keluar, perdarahan berupa petekia pada bagian wajah dan subkonjungtiva.
Jika didapatkan lidah terjulur maka menunjukan adanya penekanan pada
bagian bawah leher yaitu bagian bawah kartilago thyroida.
d. Lebam Mayat
Jika penggantungan setelah kematian berlangsung lama maka
lebam mayat terlihat pada bagian tubuh bawah, anggota badan distal serta
alat genitalia distalSekresi Urin dan Feses
Sekresi urin dan feses terjadi pada fase apneu pada kejadian
asfiksia. Pada stadium apneu pusat pernapasan mengalami depresi
sehingga gerak napas menjadi sangat lemah dan berhenti. Penderita
menjadi tidak sadar dan karena kontrol spingter fungsieksresi hilang akibat
kerusakan otak maka terjadi pengeluaran urin dan feses.
DIAGNOSIS
a. Lapisan dalam dan bagian tengah pembuluh darah mengalami laserasi
ataupun ruptur.
b. Tanda-tanda Asfiksia
 Terdapat bintik perdarahan pada pelebaran pembuluh darah
 Kongesti pada bagian atas yaitu daerah kepala, leher dan otak
 Ditemukan darah lebih gelap dan encer akibat kadar CO2 yang
meninggi.
c. Terdapat resapan darah pada jaringan dibawah kulit dan otot
d. Terdapat memar atau ruptur pada beberapa keadaan. Kerusakan otot ini
lebih banyak terjadi pada kasus pengantungan yang disertai dengan tindak
kekerasan.
e. Pada pemeriksaan paru-paru serig ditemui edema paru.
f. Mungkin terdapat patah tulang hyoid atau kartilago cricoid.
g. Fraktur 2 buah tulang vertebra servikalis bagian atas
Fraktur ini seringkali terjadi pada korban hukum gantung dimana korban
tergantung secara penuh dan tertitis jauh dari lantai.
Aspek Medikolegal
Perbedaan Penggantungan Bunuh Diri Penggantungan Pembunuhan
1. Usia Lebih sering terjadi pada remaja Tidak mengenal batasan usia
dan dewasa
2. Jejas Jerat Bentuk miring berupa lingkaran Lingkaran tidak terputus,
terputus mendatar, letak di tengah leher
3. Simpul Tali Biasanya satu simpul pada bagian Simpul tali lebih dari satu dan
samping leher. Simpul biasanya terikat kuat
simpul hidup
4. Riwayat Korban mempunyai riwayat Korban tidak mempunyai riwayat
Korban bunuh diri dengan cara lain upaya bunuh diri
5. Cedera Tidak terdapat luka yang Terdapat luka-luka yang
menyebabkan kematian dan tidak mengarah ke pembunuhan
terdapat tanda-tanda perlawanan
Dapat ditemukan racun dalam
6. Racun lambung korban, seperti arsen, Dapat terdapat racun berupa
sublimat, korosif. Rasa nyeri opium, kalium sianida. Racun ini
mendorong korban melakukan tidak menyebabkan efek kemauan
gantung diri bunuh diri
7. Tangan Tidak dalam keadaan terikat Tangan terikat mengarah k kasus
pembunuhan
8. Kemudahan Tempat kejadian mudah Korban biasa digantung di tempat
ditemukan yang sulit ditemukan
9. Tempat Jika tempat kejadian merupakan Bila sebaliknya ditemukan
kejadian tempat yang tertutup, atau terkunci dari luar maka
didapatkan ruangan dengan pintu penggantungan biasanya kasus
terkunci makan dugaan bunih diri pembunuhan
adalah kuat
10. Lingkar tali Jika lingkar tali dapat keluar Jika lingkar tali tidak dapat keluar
melewati kepala, maka dicurigain melewati kepala, maka dicurigai
bunuh diri peristiwa pembunuhan
Perbedaan Penggantungan Antemortem dengan Postmortem
No Penggantungan Antemortem Penggantungan Postmortem
1. Tanda jejas jerat berupa lingkaran Tanda jejas jerat biasanya berbentuk utuh
terputus (non continous) dan letaknya (continous), agak sirkuler dan letaknya pada
pada leher bagian atas bagian leher tidak begitu tinggi
2. Simpul tali biasanya tunggal, terdapat Simpul tali lebih dari satu biasanya lebih
pada sisi leher dari satu, diikatkan dengan kuat dan
diletakan pada bagian depan leher
3. Ekimosis tampak jelas pada salah satu Ekimosis pada salah satu sisi jejas
sisi dari jejas penjeratan. penjeratan tidak ada atau tidak jelas.
4. Lebam mayat tampak diatas jejas jerat Lebam mayat terdapat pada bagian tubuh
dan pada tungkai bawah yang menggantung sesuai dengan posisi
mayat setelah meninggal
5. Pada kulit ditempat jejas penjeratan Tanda parchmentisasi tidak ada atau tidak
teraba seperti kertas perkamen yaitu jelas
tanda parchmentisasi
6. Sianosis pada wajah, bibir, telinga, dll Sianosis pada bagian wajah, bibir, telinga,
sangat jelas terlihat terutama jika dll, tergantung dari penyebab kematian
kematian karena asfiksia
7. Wajah membengkak dan mata Sianosis pada bagian wajah, bibir, telinga,
mengalami kongesti dan agak menonjol, dll, tergantung dari penyebab kematian
disertai dengan gambaran pembuluh
darah vena yang jelas pada bagian
kening dan dahi
8. Lidah bisa terjulur atau tidak sama Lidah tidak terjulur kecuali pada kasus
sekali pencekikan
9. Ereksi penis disertai dengan keluarnya Ereksi penis dan cairan sperma tidak ada.
cairan sperma sering terjadi pada Pengeluaran feses juga tidak ada
korban pria. Sering ditemukan
keluarnya feses
10. Air liur ditemukan menetes dari sudut Air liur tidak ditemukan yang menetes pada
mulut, dengan arah yang vertikal kasus selain kasus penggantungan
menuju dada.

7. PENJERATAN (STRANGULATION BY LIGATURE)


A. Definisi
Penjeratan adalah penekanan benda asing berupa tali, ikat pinggang, rantai,
stagen, kawat, kabel, kaos kaki dan sebagainya, melingkari atau mengikat leher yang
makin lama makin kuat, sehingga saluran nafas tertutup. Berbeda dengan gantung
diri yang biasanya merupakan kasus bunuh diri, maka penjeratan biasanya
adalah kasus pembunuhan.
Pada peristiwa gantung, kekuatan jeratnya berasal dari berat tubuhnya, maka
pada jeratan dengan tali kekuatan jeratnya berasal dari tarikan pada kedua ujungnya.
Dengan kekuatan tersebut, pembuluh darah balik atau jalan nafas dapat tersumbat.
Tali yang dipakai sering disilangkan dan sering dijumpai adanya simpul. Jeratan
pada bagian depan leher hampir selalu melewati membran yang menghubungkan
tulang rawan hyoid dan tulang rawan thyroid.
B. Mekanisme kematian
Ada 3 mekanisme kematian pada jerat , yaitu :
1. Asfiksia
Terjadi akibat terhambatnya aliran udara pernafasan. Merupakan penyebab
kematian yang paling sering.
2. Iskemia Serebral
Iskemia serebral disebabkan oleh penekanan dan hambatan pembuluh darah
arteri (oklusi arteri) yang menyebabkan terhambatnya aliran darah ke otak.
Gambar dibawah menunjukkan gambaran rontgen pada wanita yang
berupaya bunuh diri dengan gantung.
3. Syok Vasovagal
Perangsangan pada sinus caroticus menyebabkan refleks vagal yang
menyebabkan henti jantung.
C. Cara kematian pada kasus jerat
Cara kematian pada kasus jerat diantaranya adalah:
1. Pembunuhan (paling sering).
Pembunuhan pada kasus jeratan (strangulation by ligature) dapat kita jumpai
pada kejadianinfanticide dengan menggunakan tali pusat, psikopat yang
saling menjerat, dan hukuman mati(zaman dahulu).
2. Kecelakaan
Kecelakaan pada kasus jeratan (strangulation by ligature) dapat kita
temukan pada bayi yangterjerat oleh tali pakaian, orang yang bersenda gurau
dan pemabuk. Vagal reflex menjadi penyebab kematian pada orang yang
bersenda gurau
3. Bunuh diri.
Bunuh diri pada kasus jeratan (strangulation by ligature) mereka lakukan
dengan cara melilitkan tali secara berulang dimana satu ujung difiksasi dan
ujung lainnya ditarik. Antara jeratan dan leher mereka masukkan tongkat
lalu mereka memutar tongkat tersebut
D. Gambaran Post Mortem Penjeratan
1. Pemeriksaan Luar Jenazah
Pada pemeriksaan luar hasil gantung diri didapatkan:
a. Tanda Penjeratan Pada Leher
- Tanda penjeratan jelas dan dalamSemakin kecil tali maka tanda
penjeratan semakin jelas dan dalam
- Bentuk jeratan berjalan mendatar/horizontal
Alur jeratan pada leher korban berbentuk lingkaran. Alur jerat biasa
disertai luka lecet atau luka memar disekitar jejas yang terjadi karena
korban berusaha membuka jeratan tersebut.
- Tanda penjeratan berwarna coklat gelap dan kulit tampak kering,
keras dan mengkilat
- Pada tempat dimana terdapat simpul tali yaitu pada kulit bagian
bawah telinga,tampak daerah segitiga pada kulit dibawah
telingae.Pinggiran jejas jerat berbatas tegas dan tidak terdapat tanda-
tanda abrasif.Jumlah tanda penjeratanTerkadang pada leher terlihat
dua buah atau lebih bekas penjeratan. Hal ini menujukan bahwa tali
dijeratkan ke leher sebanyak dua kali
b. Tanda-tanda Asfiksia
Tanda-tanda umum asfiksia diantaranya adalah sianosis, kongesti
vena dan edema. Sering ditemukan adanya buih halus pada jalan
nafas.
c. Lebam Mayat
Lokasi timbulnya lebam mayat tergantung dari posisi tubuh korban
setelah mati.
2. Pemeriksaan Dalam Jenazah
Pada pemeriksaan dalam akibat peristiwa jerat didapatkan :
a. Lapisan dalam dan bagian tengah pembuluh darah mengalami laserasi
ataupun ruptur.
b. Tanda-tanda Asfiksia
 Terdapat bintik perdarahan pada pelebaran pembuluh darah,
 Terdapat buih halus di mulut
 Didapatkan darah lebih gelap dan encer akibat kadar CO2 yang
meninggi.
c. Terdapat resapan darah pada jaringan dibawah kulit dan otot
a. Terdapat memar atau ruptur pada beberapa keadaan. Kerusakan otot
ini lebih sering dihubungkan dengan tindak kekerasan.
d. Pada pemeriksaan paru-paru sering ditemui edema paru.
e. Jarang terdapat patah tulang hyoid atau kartilago cricoid.
E. Aspek Medikolegal
Perbedaan kasus gantung dan kasus jerat

Kasus Gantung Kasus Jerat


(bunuh diri) (pembunuhan)
Simpul Simpul hidup Simpul mati
Simpul dapat dikeluarkan Simpul sulit dikeluarkan melalui
melalui kepala(tidak terikat kepala (terikat kuat)
kuat)
Jumlah lilitan penjerat Bisa lebih dari 1 lilitan Biasanya 1 buah lilitan
Arah Serong ke atas Mendatar/horizontal
Jarak titik tumpu- Jauh Dekat
simpul Berbentuk ‘v’ (lingkaran Berbentuk lingkaran penuh
terputus)

Lokasi jejas Lebih tinggi Lebih rendah


Jejas jerat Meninggi ke arah simpul Mendatar
Luka perlawanan - +
Luka lain-lain Biasanya ada, mungkin Ada, sering di daerah leher
terdapat luka percobaan lain
Karakteristik simpul Jejas simpul jarang terlihat Terlihat jejas simpul
Simpul hidup Simpul
Simpul dapat dikeluarkan Simpul sulit dikeluarkan melalui
melalui kepala(tidak terikat kepala (terikat kuat)
kuat)

Lebam mayat Pada bagian bawah tubuh Tergantung posisi tubuh korban
Lokasi Tersembunyi Bervariasi
Kondisi Teratur Tidak teratur
Pakaian Rapi dan baik Tidak teratur, robek
Ruangan Terkunci dari dalam Tidak teratur, terkunci dari luar

8. PENCEKIKAN
KEMAMPUAN : (3A)
DEFINISI
Pencekikan adalah penekanan pada leher dengan tangan atau lengan bawah,
yang menyebabkan dinding saluran nafas bagian atas tertekan dan terjadi
penyempitan saluran nafas sehingga udara pernafasan tidak dapat lewat.
MEKANISME
1. Asfiksia
Asfiksia adalah kumpulan dari berbagai keadaan dimana terjadi gangguan
dalam pertukaran udara pernafasan yang normal.
Gejala asfiksia :
a. Fase dyspnea :
- Frekuensi nadi meningkat
- Frekuensi nafas meningkat
- Suhu tubuh meningkat
- Tanda sianosis
b. Fase konvulsi
c. Fase apneu :
- Frekuensi nafas meningkat
- Kesadaran menurun
- Relaksasi sfingter
d. Fase akhir : Nafas berhenti.
2. Refleks vagal
Reflek vagal menyebabkan kematian segera (immediate death), hal ini
dikaitkan dengan terminologi ”sudden cardiac arrest”. Reflek vagal
dimungkinkan bila leher terkena trauma.
Refleks vagal terjadi sebagai akibat rangsangan pada nervus vagus pada
corpus caroticus (carotid body) di percabangan arteri karotis interna dan eksterna
yang akan menimbulkan bradikardi dan hipotensi. Refleks vagal ini jarang
terjadi.
Jika mekanisme kematian adalah asfiksia, maka ditemukan tanda-tanda
asfiksia. Tetapi jika mekanisme kematian adalah refleks vagal, tidak
didapatkan tanda-tanda asfiksia.
3. Cara Kematian
Terdapat 2 cara kematian pada kasus pencekikan, yaitu pembunuhan dan
kecelakaan yang biasanya mati karena vagal reflex. Selain itu, terdapat 3 cara
melakukan pencekikan (manual strangulasi), yaitu :
a. Menggunakan 1 tangan dan pelaku berdiri di depan korban.
b. Menggunakan 2 tangan dan pelaku berdiri di depan atau di belakang
korban.
c. Menggunakan 1 lengan dan pelaku berdiri di depan atau di belakang
korban.
Apabila pelaku berdiri di belakang korban dan menarik korban ke arah pelaku
maka ini disebut mugging.
DIAGNOSIS
1. Pemeriksaan Luar
Pada pemeriksaan jenazah ditemukan perbendungan pada muka dan kepala
karena turut tertekan pembuluh darah vena dan arteri yang superficial, sedangkan
arteri vertebralis tidak terganggu. Pemeriksaan luar dari otopsi kasus pencekikan
(manual strangulasi), terdapat 3 hal penting yang harus diperhatikan, antara lain :
a. Tanda asfiksia
 Sianosis
 Lebam merah kebiruan gelap
 Lebam terbentuk lebih cepat
 Distribusi lebam lebih luas
 Darah sukar membeku.
b. Tanda kekerasan pada leher
 Luka memar pada kulit di leher
 Bekas tekanan jari
 Bekas kuku
 Sidik jari
 Tangan yang digunakan
 Arah pencekikan
c. Tanda kekerasan pada tempat lain yang dapat menunjukkan bahwa korban
melakukan perlawanan.
2. Pemeriksaan Dalam Jenazah
a. Perdarahan atau resapan darah pada otot-otot di leher tiroi d,
kel enja r ludah, serta mukosa dan submukosa faring atau laring.
b. Fraktur, yang paling sering ditemukan pada os hyoid. Fraktur lain pada
kartilago tiroidea, kartilago krikoidea, dan trakea
c. Memar atau robekan membrane hipotiroidea
d. Luksasi artikulasio krikotiroidea dan robekan ligamentum pada mugging.
Perdarahan atau resapan darah dapat kita cari pada otot, kelenjar tiroid,
kelenjar ludah, dan mukosa & submukosa pharing atau laring. Fraktur yang
paling sering kitatemukan pada os hyoid. Fraktur lain pada kartilago
tiroidea, kartilago krikoidea, dantrakea
e. Tanda Asfiksia :
 Darah lebih gelap & lebih encer
 Busa dalam saluran pernafasan
 Organ tubuh lebih berat, lebih gelap, pada pengirisan banyak keluar
darah
d. Petekie pada :
 mukosa usus halus
 epikardium daerah aurikuloventrikular
 subpleura viseralis paru terutama pars diafragmatika dan fisura
interlobaris
 kulit kepala sebelah dalam terutama daerah temporal
e. Edema paru

9. PEMBEKAPAN
KEMAMPUAN : 3A
DEFINISI
Pembekapan berarti obstruksi mekanik terhadap aliran udara dari lingkungan
ke dalam mulut dan atau lubang hidung, yang biasanya dilakukan dengan
menutup mulut dan hidung dengan menggunakan kantong plastik. Pembekapan
dapat terjadi secara sebagian atau seluruhnya, dimana yang terjadi secara sebagian
mengindikasikan bahwa orang tersebut yang dibekap masih mampu untuk
menghirup udara, meskipun lebih sedikit dari kebutuhannya.
Normalnya, pembekapan membutuhkan paling tidak sebagian obstruksi baik
dari rongga hidung maupun mulut untuk menjadi asfiksia. Pembekapan
merupakan salah satu bentuk mati lemas, dimana pada pembekapan baik mulut
maupun lubang hidung tertutup sehingga proses pernafasan tidak dapat berlangsung.
Korban pembekapan umumnya wanita yang gemuk, orang tua yang lemah,
orang dewasa yang berada di bawah pengaruh obat atau anak-anak. Kelainan yang
terjadi karena Pembekapan adalah berbentuk luka lecet dan atau luka memar
terdapat di mulut, hidung, dan daerah sekitarnya. Sering juga didapatkan memar dan
robekan pada bibir, khususnya bibir bagian dalam yang berhadapan dengan gigi.
MEKANISME
Pembekapan dapat diklasifikasikan menurut cara kematiannya, yaitu :
1. Bunuh diri (suicide)
Bunuh diri dengan cara pembekapan masih mungkin terjadi misalnya
pada penderita penyakit jiwa, orang tahanan, orang dalam keadaan mabuk,
yaitu Dengan “membenamkan” wajahnya ke dalam kasur, atau menggunakan
bantal, pakaian, yang diikatkan menutupi hidung dan mulut. Bisa juga dengan
menggunakan plester yang menutupi hidung dan mulut.
2. Kecelakaan (accidental smothering)
Kecelakaan dapat terjadi misalnya pada bayi dalam bulan-bulan
pertama kehidupannya, terutama bayi prematur bila hidung dan mulut
tertutup oleh bantal atau selimut. Selain itu juga dapat terjadi kecelakaan
dimana seorang anak yang tidur berdampingan dengan orangtuanya dan
secara tidak sengaja orangtuanya menindih si anak sehingga tidak dapat
bernafas. Keadaan ini disebut overlying. Pada anak-anak dan dewasa muda bisa
terjadi kecelakaan terkurung dalam suatu tempat yang sempit dengan sedikit
udara, misalnya terbekap dengan atau dalam kantong plastik. Orang dewasa
yang terjatuh waktu bekerja atau pada penderita epilepsi yang mendapat
serangan dan terjatuh, sehingga mulut dan hidung tertutup dengan pasir,
gandum, tepung, dan sebagainya.
3. Pembunuhan (homicidal smothering)
Biasanya terjadi pada kasus pembunuhan anak sendiri. Pada orang
dewasa hanya terjadi pada orang yang tidak berdaya seperti orangtua, orang
sakit berat, orang dalam pengaruh obat atau minuman keras.
Pada pembunuhan dengan pembekapan biasanya dilakukan dengan cara
hidung dan mulut diplester, bantal ditekan ke wajah, kain atau dasi yang
dibekapkan pada hidung dan mulut.
Pembunuhan dengan pembekapan dapat juga dilakukan bersamaan
dengan menindih atau menduduki dada korban. Keadaan ini dinamakan
burking.
DIAGNOSIS
1. Pemeriksaan Luar Jenazah
a. Tanda kekerasan yang dapat ditemukan tergantung dari jenis benda yang
digunakan dan kekuatan menekan.
b. Kekerasan yang mungkin dapat ditemukan adalah luka lecet jenis tekan
atau geser, jejas bekas jari/kuku di sekitar wajah, dagu, pinggir rahang,
hidung, lidah dan gusi, yang mungkin terjadi akibat korban melawan.
c. Luka memar atau lecet dapat ditemukan pada bagian/permukaan dalam
bibir akibat bibir yang terdorong dan menekan gigi, gusi dan lidah.
Ujung lidah juga dapat mengalami memar atau cedera.
d. Bila pembekapan terjadi dengan benda yang lunak, misal dengan bantal,
maka pada pemeriksaan luar jenazah mungkin tidak ditemukan
tandatanda kekerasan. Memar atau luka masih dapat ditemukan pada
bibir bagian dalam. Pada pembekapan dengan mempergunakan bantal,
bila tekanan yang dipergunakan cukup besar, dan orang yang dibekap
kebetulan memakai gincu (lipstick), maka pada bantal tersebut akan
tercetak bentuk bibir yang bergincu tadi, yang tidak jarang sampai
merembes ke bagian yang lebih dalam, yaitu ke bantalnya sendiri. Pada
anak-anak oleh karena tenaga untuk melakukan pembekapan tersebut
tidak terlalu besar, kelainan biasanya minimal; yaitu luka lecet tekan dan
atau memar pada bibir bagian dalam yang berhadapan dengan gigi dan
rahang.
e. Pembekapan yang dilakukan dengan satu tangan dan tangan yang lain
menekan kepala korban dari belakang, yang dapat pula terjadi pada kasus
pencekikan dengan satu tangan; maka dapat ditemukan adanya lecet atau
memar pada otot leher bagian belakang, yang untuk membuktikannya
kadang-kadang harus dilakukan sayatan untuk melihat otot bagian
dalamnya, atau membuka sluruh kulit yang menutupi daerah tersebut.
Bisa didapatkan luka memar atau lecet pada bagian belakang tubuh korban.
f. Selanjutnya ditemukan tanda-tanda asfiksia baik pada pemeriksaan luar
maupun pada pembedahan jenazah. Perlu pula dilakukan pemeriksaan
kerokan bawah kuku korban, adakah darah atau epitel kulit si pelaku.
Pemeriksaan Dalam Jenazah
a. Tetap cairnya darah
Darah yang tetap cair ini sering dihubungkan dengan aktivitas
fibrinolisin. Pendapat lain dihubungkan dengan faktor-faktor pembekuan
yang ada di ekstravaskuler, dan tidak sempat masuk ke dalam pembuluh
darah oleh karena cepatnya proses kematian
b. Kongesti (pembendungan yang sistemik)
Kongesti pada paru-paru yang disertai dengan dilatasi jantung
kanan merupakan ciri klasik pada kematian karena asfiksia. Pada
pengirisan mengeluarkan banyak darah.
c. Edema pulmonum
Edema pulmonum atau pembengkakan paru-paru sering terjadi
pada kematian yang berhubungan dengan hipoksia.
d. Perdarahan Berbintik (Petechial haemorrhages)
Dapat ditemukan pada mukosa usus halus, epikardium pada bagian
belakang jantung daerah aurikuloventrikular, subpleura visceralis paru
terutama di lobus bawah pars diafragmatika dan fisura interlobaris, kulit
kepala sebelah dalam terutama daerah otot temporal, mukosa epiglottis
dan daerah subglotis. 16
e. Bisa juga didapatkan busa halus dalam saluran pernafasan.
A. Gambaran Mikroskopis
Pemeriksaan mikroskopik sangat penting dilakukan untuk melihat reaksi
intravitalitas yang merupakan reaksi tubuh manusia yang hidup terhadap luka.
Reaksi ini penting untuk membedakan apakah luka terjadi pada saat seseorang
masih hidup atau sudah mati. Reaksi vital yang umum berupa perdarahan yaitu
ekimosis, petekie dan emboli.
Gangguan jalan napas pada pembekapan akan menimbulkan suatu keadaan
dimana oksigen dalam darah berkurang yang disertai dengan peningkatan kadar
karbondioksida. Pemeriksaan secara histopatologi pada parenkim paru dapat
meminimalisir diagnosis banding dari beberapa kasus kematian yang disebabkan
karena asfiksia.

11.TERSEDAK ( CHOKING DAN GAGGING )


KEMAMPUAN : (3A)
DEFINISI
Sumbatan jalan napas oleh benda asing, yang mengakibatkan hambatan udara
masuk ke paru-paru. Pada gagging, sumbatan terdapat dalam orofaring,
sedangkan pada choking sumbatan terdapat lebih dalam pada laringofaring.
MEKANISME
Mekanisme kematian yang mungkin terjadi adalah asfiksia atau refleks vagal
akibat ransangan pada reseptor nervus vagus di arkus faring yang menimbulkan
inhibisi kerja jantung dengan akibat cardiac arrest dan kematian.
Cara Kematian
Kematian dapat terjadi sebagai akibat:
1. Bunuh diri ( suicide ). Hal ini jarang terjadi karena sulit untuk memasukan
benda asing ke dalam mulut sendiri disebabjan adanya refleks batuk atau
muntah. Umumnya korban adalah penderita sakit mental atau tahanan.
2. Pembunuhan ( homicodal choking ). Umumnya korban adalah bayi, orang
dengan fisik lemah atau tidak berdaya.
3. Kecelakaan ( accidental choking ). Pada bolus death yang terjadi bila
tertawa atau menangis saat makan, sehingga makanan tersedak ke dalam
saluran pernapasan. Mungkin pula terjadi akibat regurgitasi makanan yang
kemudian masuk ke dalam saluran pernapasan.
DIAGNOSIS
Pada pemeriksaan jenazah dapat ditemukan tanda-tanda asfiksia baik pada
pemeriksaan luar maupun pembedahan jenazah. Dalam rongga mulut ( orofaring
atau laringofaring ) ditemukan sumbatan yang biasanya bisa berupa sapu tangan,
kertas koran, gigi palsu, bahkan pernah ditemukan arang, batu dan lain-lainnya. Bila
benda asing tidak ditemukan, cari kemungkinan adanya tanda kekerasan yang
diakibatkan oleh benda asing.

12. TENGGELAM
KEMAMPUAN :(3A)
DEFINISI
Tenggelam merupakan kematian tipe asfiksia yang disebabkan adanya air
yang menutup jalan saluran pernapasan sampai ke paru-paru. Keadaan ini
merupakan penyebab kematian jika kematian terjadi dalam waktu 24 jam dan jika
bertahan lebih dari 24 jam setelah tenggelam memperlihatkan adanya pemulihan
telah terjadi ini disebut near drowning. Penelitian pada akhir tahun 1940-an
hingga awal 1950-an menjelaskan bahwa kematian disebabkan adanya gangguan
elekrolit atau terjadinya hipoksia dan asidosis yang menyebabkan aritmia jantung
akibat masuknya air dengan volume besar ke dalam sirkulasi melalui paru-paru.
MEKANISME
Mekanisme kematian dapat juga terjadi pada tenggelam adalah inhibisi
vagal dan spasme larynx. Adanya mekanisme kematian yang berbeda-beda pada
tenggelam akan member warna pada pemeriksaan laboratorium.
Tenggelam pada umumnya merupakan kecelakaan, baik kecelakaan secara
langsung berdiri sendiri maupun tenggelam yang terjadi oleh karena korban dalam
keadaan mabuk, berada di bawah pengaruh obat atau pada mereka yang terserang
epilepsy. Pembunuhan dengan cara menenggelamkan jarang terjadi, korban
biasanya bayi atau anak-anak. Pada orang dewasa dapat terjadi tanpa sengaja,
yaitu korban sebelumnya dianiaya, disangka sudah mati, padahal hanya pingsan.
Untuk menghilangkan jejak korban dibuang ke sungai, sehingga mati karena
tenggelam. Bunuh diri dengan cara menenggelamkan diri juga merupakan
peristiwa yang jarang terjadi. Korban sering memberati dirinya dengan batu atau
besi, baru kemudian terjun ke air.
Hipoxia merupakan masalah utama yang sering diakibatkan oleh trauma saat
tenggelam, tetapi dengan adanya spasme glottis yaitu jika sejumlah kecil volume air
yang memasuki laring atau trakea, ketika itu pula tiba-tiba terjadi spasme laring
akibat pengaruh reflex vagal, hal ini terjadi pada ± 10% kematian akibat tenggelam.
Mukosa yang kental, berbusa, dan berbuih dapat dihasilkan, hingga menciptakan
suatu ‘perangkap fisik’ yang menyumbat jalan napas.
‘Spasme laring’ tidak dapat ditemukan pada saat otopsi karena pada kematian
telah terjadi relaksasi otot-otot laring. Dalam situasi yang lain, terjadi peningkatan
cepat tekanan alveoli - arterial, yang terjadi pada saat air teraspirasi sehingga
menyebabkan hypoxia progresif.
Ketika seseorang terbenam di bawah permukaan air, reaksi awal yang
dilakukan ialah mempertahankan nafasnya. Hal ini berlanjut hingga tercapainya
batas kesanggupan, dimana orang itu harus kembali menarik nafas kembali. Batas
kesanggupan tubuh ini ditentukan oleh kombinasi tingginya konsentrasi
Karbondioksida dan konsentrasi rendah Oksigen di mana oksigen dalam tubuh
banyak digunakan dalam sel. Menurut Pearn, batas ini tercapai ketika kadar PC02
berada di bawah 55 mm Hg atau merupakan ambang hypoxia, dan ketika kadar
PA02 di bawah 100 mmHg ketika PC02 cukup tinggi.
Ketika mencapai batas kesanggupan ini, korban terpaksa harus menghirup
sejumlah besar volume air. Sejumlah air juga sebagian tertelan dan bisa
ditemukan di dalam lambung. Selama pernapasan dalam air ini, korban bisa juga
mengalami muntah dan selanjutnya terjadi aspirasi terhadap isi lambung.
Pernapasan yang terengah-engah di dalam air ini akan terus berlanjut hingga
beberapa menit, sampai akhirnya respirasi terhenti. Hipoksia serebral akan
semakin buruk hingga tahap irreversibel dan terjadilah kematian. Faktor-faktor
yang juga menentukan sejauh mana anoksia serebral menjadi irreversibel adalah
umur korban dan suhu di dalam air. Misalnya pada air yang cukup hangat, waktu
yang diperlukan sekitar 3 hingga 10 menit. Tenggelamnya anak-anak pada air
dengan suhu dingin yang cukup ekstrim selama 66 menit masih bisa tertolong
melalui resusitasi dengan sistem syaraf/neurologik tetap utuh. Juga, berapa pun
interval waktu hingga terjadi anoksia, penurunan kesadaran selalu terjadi dalam
waktu 3 menit setelah tenggelam.
Akan tetapi jika korban terlebih dahulu melakukan hiperventilasi saat
terendam ke dalam air. Hiperventilasi dapat menyebabkan penurunan kadar CO2
yang signifikan. Kemudian hipoksia serebral karena rendahnya P02 dalam darah,
bersamaan dengan penurunan hingga hilangnya kesadaran, dapat terjadi sebelum
batas kesanggupan (breaking point) tercapai.
a. Tenggelam dalam air tawar
Pada keadaan air tawar akan dengan cepat diserap dalam jumlah besar terjadi
absorbsi cairan masif ke dalam membran alveolus, dimana dalam waktu
3 menit dapat mencapai 72 % dari vol darah sebenarnya. Karena konsentrasi
elektrolit dalam air tawar lebih rendah daripada konsentrasi dalam darah, maka akan
terjadi hemodilusi darah, air masuk ke dalam aliran darah sekitar alveoli dan
mengakibatkan pecahnya sel darah merah (hemolisis).
Akibat terjadi perubahan biokimiawi yang serius yaitu pengenceran darah
yang terjadi, tubuh berusaha mengkompensasinya dengan melepaskan ion Kalium
dari serabut otot jantung sehingga kadar ion dalam plasma meningkat, akibatnya
terjadi perubahan keseimbangan ion K dan Ca dalam serabut otot jantung
sehingga terjadi anoksia yang hebat pada myocardium dan mendorong terjadinya
fibrilasi ventrikel dan penurunan tekanan darah, jantung untuk beberapa saat
masih berdenyut dengan lemah yang kemudian menimbulkan kematian akibat
anoksia otak hebat, ini yang menerangkan mengapa kematian dapat terjadi dalam
waktu 4-5 menit.
b. Tenggelam dalam air laut
Konsentrasi elektrolit dalam air asin lebih tinggi dibandingkan dalam
darah, sehingga air akan ditarik keluar sampai sekitar 42% dari sirkulasi pulmonal
ke dalam jaringan interstitial paru, hal ini dapat mengakibatkan terjadinya udem
pulmonal, hemokonsentrasi, hipovolemi, dan kenaikan kadar magnesium dalam
darah. Pertukaran elektrolit dari air asin ke dalam darah mengakibatkan
meningkatnya hematokrit dan peningkatan kadar natrium plasma. Fibrilasi ventrikel
tidak terjadi, Hemokonsentrasi akan mengakibatkan terjadinya anoksia pada
myocardium dan disertai peningkatan viskositas darah sehingga sirkulasi menjadi
lambat, tekanan sistolik akan menetap dalam beberapa menit dan menyebabkan
terjadinya payah jantung. Kematian dapat terjadi dalam waktu 8-12 menit setelah
tenggelam.
DIAGNOSIS
Tanda-tanda yang ditemukan pada mayat mati tenggelam :
Pemeriksaan luar
 Penurunan suhu mayat (algor mortis), berlangsung cepat, rata-rata 5⁰F per
menit. Suhu tubuh akan sama dengan suhu lingkungan dalam waktu 5 atau
6 jam.
 Lebam mayat (livor mortis), akan tampak jelas pada dada bagian depan,
leher dan kepala. Lebam mayat berwarna merah terang. Sebagai hasil dari
pembekuan OxyHb.
 Pembusukan sering tampak, kulit berwarna kehijauan atau merah gelap.
Pada pembusukan lanjut tampak gelembung-gelembung pembusukan.
 Cutis Anserina (fenomena goosefles-kulit angsa), hal ini merupakan
spasme otot erektor villi yang disebabkan rigor mortis. Gambaran ini dapat
ditentukan pada mayat yang tidak tenggelam.
 Washerwoman, penenggelaman yang lama dapat menyebabkan pemutihan
dan kulit yang keriput pada kulit. Biasanya ditemukan pada telapak tangan
dan kaki (tampak 1 jam setelah terbenam dalam air hangat). Gambaran ini
tidak mengindikasikan bahwa mayat ditenggelamkan, karena mayat
lamapun bila dibuang kedalam air akan keriput juga.
G ambar A dan B . (gam baran jari trangan ”"wa sherw
wom an”" yang ddi secbbaabkkann oollech

perm
nbbcenaman yang lama dalam air)).
• Schaumfilzffrrooth,. busa t am
rnppak p ada m ul ut at au hi dung aatrau kkeedduuannyyaa..

Masukn ya cairnan kecdalnam saluran pecrm


naafasan merangsang tteerrbbeentukknnyya

rnuukus,. substansi ini k etika bercampurr decngan ai r ddan surrffaaktan ddari pparu -
m
paru d aan trerkocok oleh kaarena adanya uuppaayaa perm
naafasan yang hhecbbamt.. B
Busa
dapat mcelu s sampai t rakea, bronkus uttama ddaan alveollii. PPaaru -paru a ka n

terisi air d an cai ran busa akan m


men eties dari bronkus kkeetika ppaaru-paruu ddii

t eckan dan dari pot ongan pecrm ukaann paru k ect ika ddiipot ing decngan ppiisa u.
• Pada lidah ditemu ka n m
rnee mar ata u bekas giiggiittan, yyaang merupaakkan ttaanda

bahwa korban b erus ah un tuk hidup at au ttaanda sedang tteerrjjaadi epilepsi,

seba ga i akibat dari m asu kn ya korbaann kecdal am airr..


• Cadaveric spasm e, ini s ecara relatiff lleebih sseerri ng tteerrjjaadi ddaan m
meerupaakkaan

reaksi in travital. Sebaga i mana ser ing terdappaatt bbeennda-banda, seperttii rruum
mpuutt
laut, dahan atau batru . Ilnii m en unojukkaann bah wa wakktruu kkoorrban mattii,,

berus aha mencari pegangan lalu terjjaadi kakuu m


rna yat.
• Luka-Iluka pada daerah wajahh,. ttangan dan t ungkai bagiian depaann ddaapat

tecrjadi ak ibat persent uhan ko rban dengan dasarr suunnggaaii aattau t ecrkkeenna bbeenndda -
b enda disekitarnya. Luka-lIuka tlersebu t seringkal i m
mengelluarkan ddarraah,

sehingga tidak jarang korban diania ya sebelum ddiitenngggelamkkaann.,


Pemer
riksaan dalam
• Paru-paru tampak mem
rnbesarr,. m em en uhi sseluruh ronggaa parruu-ppaaru

rnpresi darrii igaa-iga pa da paru-parunya. Oleh kkareennaa


sehingga tarmnpp ak iim
p em besaran
paru-paru rnasuperabaan a kan
akibat kem
ukan
air,,
m akaa
ppaada
terasa crepitasi oleh karena air. Edema dan kongesti paru-paru dapat
sangat hebat dimana bila berat paru-paru normal adalah 200-300gr, sekarang
bisa mencapai lebih dari 1 kilogram. Dalam saluran pernafasan yang besar
seperti trakea, bronkus, dan bronkhioli, dapat ditemukan benda-baenda
asing, tampak secara makroskopik misalnya tumbuhan air, pasir, lumpur,
dsb. Tampak secara mikroskopik diantaranyaa telur cacing dan diatome
(ganggang kersik).
 Pleura dapat berwarna kemerahan dan pada daerah subpleural mungkin
terdapat petehie-petechie, tapi dengan adanya air yang masuk maka hal ini
tidak lagi berupa titik-titik (karena terjadi hemolysa) melainkan berupa
bercak-bercak dan bercak-bercak ini disebut bercak-bercak paltauf, yang
berwarna biru kemerahan.
Tes untuk tenggelam :
 Pemeriksaan diatome
Umumnya diatome dikenal sebagai ganggang yang hidup di dalam
air. Setiap jenis air memiliki keanekaragaman diatome tersendiri. Diatome
merupakan organisme mikroskopik algae uniseluler yang autotropik di
alam dan memiliki berbagai macam jenis yang dapat ditemukan di air laut
dan air tawar . Diatome ini memiliki tulang silica berbentuk dua valve.
Pada diatome kelas Bacillariophyceae terbagi atas dua bagian
yaitu,central dan Pennales atas dasar kesimetritannya. Ada sekitar 10,000
jenis dan 174 jenis diatom, mempunyai ukuran dan bentuk berbeda
berkisar antara 1 ke 500 µ m. Diatoms biasanya ditemukan di dalam air
seperti kolam, danau, sungai, kanal dan lain lain, akan tetapi konsentrasinya
dapat tinggi atau rendah di dalam air tertentu, tergantung pada musim.
Berdasarkan karakteristik lain yaitu kedalaman air tidak
didapatkan bukti adanya pertumbuhan diatom di bawah 100m.(2,5)
Pada saat tenggelam berlangsung, diatom masuk ke rongga paru-
paru seseorang yang terbuka ketika air terisap, dan air yang masuk
menekan rongga paru-paru dan memecahkan alveoli. Melalui alveoli yang
pecah diatoms dapat masuk ke jantung, hati, ginjal, sumsum tulang dan
otak. Pada diameter dan ketebalan alveoli paru-paru diketahui sangat kecil
akan tetapi tidak mustahil semua diatom-diatom dapat masuk ke dalam
organ dan rongga paru-paru dimana dapat menembus melalui jaringan
kapiler ini disebut “ Drowning Associated Diatoms” (DAD).(5)
Analisa diatom yang berada di paru-paru, hati, limpa, sumsum tulang
dan darah selama bertahun-tahun dilakukan sebagai tes konfirmasi di dalam
kasus tenggelam. Meskipun, tes pada diatom menjadi kontraversi sejak
beberapa kasus menghasilkan negatif yang salah dan positif yang salah
didokumentasikan. Analisa diatom yang saksama merupakan suatu yang
dapat menentukan ya atau tidaknya kematian terjadi akibat
tenggelam. Sebelum hasil diagnosa kematian dengan korban tenggelam
haruslah diketahui morfologi dan morphometric suatu diatom dari korban
tenggelam sebab penetrasi suatu diatom di kapiler paru-paru tergantung
atas kepadatan dan ukuran diatom tersebut.(5)
Pada forensik investigasi, dalam memecahkan kasus tenggelam, salah satu
hal termudah mendeteksi adanya diatom pada viscera tubuh yang tenggelam, Pada
kasus tenggelam ante mortem maka didapatkan diatom pada putative drowning
medium. Untuk mencari diatome, paru-paru harus didestruksi dahulu dengan
asam sulfat dan asam nitrat, kemudian disentrifuse dan endapannya dilihat
dibawah mikroskop. Paru-paru, hati, ginjal, dan bone marrow telah di analisa dan
kesimpulan telah diambil berdasarkan ditemukannya atau tidak ditemukannnya
organisme ini. Saat ini penggunaan analisa diatome cenderung digunakan pada
sistem yang tertutup seperti sumsum tulang femur atau kapsul ginjal dari tubuh yang
belum membusuk. Diagnosis pada kasus tenggelam dari analisa diatome harusnya
positif tenggelam bila ditemukan diatom minimal diatas 20 diatom / 100 ul
lapangan pandang kecil (terdiri atas 10 cm dari sample paru-paru) dan 50
diatom dari beberapa organ, selanjutnya sebaiknya diatom yang ditemukan harusnya
cocok dari sumsum tulang dan tempat dimana tenggelam, ini merupakan bukti yang
kuat yang dapat mendukung dan dapat menyimpulkan seseorang tenggelam pada
saat masih hidup atau tidak. Pada beberapa literature telah berusaha untuk
mengembangkan beberapa informasi penting tentang tipe diatom
yang spesifik, dimana umumnya masuk pada bermacam organ dalam tubuh
seorang yang tenggelam.(1,2,5)
Sample air dari putative drowning memiliki beberapa ragam spesies
diatom yang berhubungan dengan tubuh korban yang tenggelam.
 Tenggelam di air laut ditemukan Fragilaria, Synedra, Coscinodiscus,
Actinoptychus undulates, Thalassiothrix sp., Diploneis splendida,
Navicula dan lainnya pada paru-paru tubuh. Campylodiscus noricus,
C. echenels pada dasar laut, Actinocyclus ehrenbergii and
Achnanthes taeniata pada air laut yang dalam.
 Tenggelam pada air tawar seperti kolam, danau, sungai dan kanal
ditemukan Navicula pupula, N. cryptocephara, N. graciloides, N.
meniscus, N. bacillum, N. radiosa, N. simplex, N. pusilla, Pinnularia
mesolepta, P. gibba, P. braunii, Nitzscia mesplepta, Mastoglia smithioi,
Cymbella cistula, Camera lucida, Cymbella cymbiformis Cocconeis
diminuta dan banyak spesies diatome lainya ditemukan pada air tawar.
Pinnularia borealis ditemukan pada air tawar yang dingin, Pinnularia
capsoleta ditemukan pada air tawar yang dangkal. Selama proses
monitor air sungai yang berterusan didapatkan adanya diatom pada air
dan tisu sel yang mana diatom yang paling sering ditemukan adalah
Navicula, Diatoma, Nitzschia, Stephanodicus, Fragilaria,
Gomphonema, Gyrosigma, Melosira, Achnanthes, Amphora,
Cocconeis, Cyclotella, dan Cymbella.
 Eunotia ditemukan di daerah yang pH air 7-8 .
 E. lunaris ditemukan di daerah yang pH air 5-6.
Penetrasi diatom pada kapiler alveoli menggunakan Transmission Elektron
Mikroskop (TEM) dan SEM (Lunette,1998). Sepanjang penemuan mereka,
mereka menemukan Diatoma Maniliformis (yang dipenetrasi di distal dinding
jalan napas), Navicula Specula (yang dipenetrasi pada khon’s pore), Tabularia
fasciculat (yang dipenetrasi dari sebagian laserasi epitel dan endotel yang sejajar
dari septum alveolar yang menegang), Nitzschia paleacea (yang dipenetrasi dari
sebagian dinding alveolar), Mastogloia smithii (yang dipenetrasi dari dinding
alveolar dengan laserasi yang terlihat bersih) dan Amphora delicatissima,dll. (5)
Pengetahuan tentang diatom berhubungan dengan tenggelam selalu
berhubungan dengan forensic dalam mengdiagnosis pada kasus tenggelam. Pada
penelitian yang lebih lanjut tentang morfologi dan kehidupan diatom yang
berbeda pada beberapa macam air di daerah yang spesifik dapat juga membantu
lebih baik memecahkan kasus tenggelam.. adanya diatome pada kasus tenggelam
ante-mortem tergantung pada tipe, ukuran dan densitas diatom yang dilihat pada
medium putative tenggelam. Tidak dapat disangkal bahwa diatom-diatom kecil
seperti (Diatoma, Cyclotella, Epithemia dll.) mempunyai peluang yang lebih
tinggi untuk memasuki organ tubuh berbanding diatom dengan ukuran yang lebih
besar (Synedra) yang mana bisa juga ditemukan di dalam organ tubuh jika mereka
mempunyai kemampuan untuk berfragmentasi yang cukup. Diatom yang sering
dijumpai pada organ tubuh pada kasus tenggelam adalah Navicula, Nitzschia,
Synedra ulna, Achnanthidium dan Cyclotella karena banyak terdapat di air dan
ukurannya yang optimum.(5)
Organ tubuh Spesies yang sering ditemukan
Paru-paru Achnanthes minutissima, Cyclotella cyclopuncta,
Fragilaria brevistriata, Navicula dll
Sumsum tulang Stephanodicus parvus, Navicula, Diatoma and
fragments of Synedra ulna
Hati Achnanthes minutissima, Cocconeis placentula,
Fragilaria ulna var. acus, Navicula lanceolata dll
Ginjal Achnanthes biasolettiana, N. seminulum dll
Lambung Achnanthes minutissima, Cyclotella cyclopuncta,
Gomphonema minutum dll
Usus Asterionella Formosa, Cyclotella comensis,
Gomphonema pumilum and Nitzscia pura dll

 Gettler chloride
Sejumlah tes telah dikembangkan dalam beberapa tahun untuk
menentukan korban tenggelam. Yang paling terkenal ialah tes Gettler chloride,
dimana darah dianalisa dari sisi kanan dan kiri jantung. Jika level chloride kurang
pada sisi kanan daripada sisi kiri, korban disangka telah tenggelam dalam air
garam. Jika lebih tinggi pada sisi kanan jantung daripada sisi kiri, maka diperkirakan
korban tenggelam dalam air tawar. Tes juga dilakukan untuk elemen lain pada darah,
seperti membandingkan grafitasi spesifik darah pada kanan dan kiri atrium. Semua
tes yang telah disebut di atas tidak pasti dan tidak mendukung
dalam menyimpulkan tenggelam.(1,2)

12. INFANTISIDA (3A)


DEFINISI
Infantisida merupakan tindak kejahatan dimana seorang wanita dengan sadar
menyebabkan kematian bayinya yang masih berumur kurang dari 12 bulan. Pada
infantisida umur kehamilan tidak menjadi masalah, karena biasanya korban
dilahirkan aterm (38-40 minggu) dan dibunuh setelah lahir hidup dan terpisah dari
ibunya.
Pembunuhan anak merupakan suatu bentuk kejahatan terhadap nyawa
yang unik sifatnya, karena pelaku pembunuhan harus ibu kandungnya sendiri,
dengan alasan takut ketahuan bahwa dirinya telah melahirkan anak. Keunikan
yang lain adalah saat dilakukan kejahatan ini adalah saat anak dilahirkan atau tak
lama kemudian. Kejahatan ini dikaitkan dengan keadaan mental emosional dari ibu,
yang memiliki rasa malu, takut, benci, dan nyeri, sehingga perbuatan ini dianggap
dilakukan dalam kondisi mental yang tidak tenang, sadar, dan dengan perhitungan
matang. Hal ini menjelasan ancaman hukuman pada kasus pembunuhan anak lebih
ringan dibandingkan kasus pembunuhan lainnya.
Menurut KUHP, pembunuhan anak sendiri adalah pembunuhan yang
dilakukan oleh seorang ibu atas anaknya ketika dilahirkan atau tidak berapa lama
setelah dilahirkan, karena takut ketahuan ia melahirkan anak.
Di Inggris dan Wales, terdapat Infanticide Act, yang ditujukan pada ibu
yang membunuh anaknya yang kurang dari 12 bulan. Undang-undang ini
menunjukkan bahwa melahirkan anak kadang menimbulkan dampak kondisi
psikologis yang tidak stabil pada ibu, sehingga hukumannya tidak seberat
pembunuhan biasa. Namun, di Skotlandia dan Amerika Serikat, ibu yang
membunuh anaknya sendiri dihukum sama beratnya dengan kasus pembunuhan
biasa.Tanda lahir hidup adalah adanya udara dalam paru-paru, lambung, usus, dan
liang telinga tengah.
DIAGNOSIS
1. Paru-paru yang sudah mengembang karena terisi udara pernapasan dapat
diketahui dengan ciri-ciri:
 Memenuhi rongga dada sehingga menutupi sebagian kandung
jantung
 Berwarna merah ungu
 Memberikan gambar mozaik karena adanya berbagai tingkat
pengisian udara
 Tepi paru-paru tumpul
 Pada perabaan teraba derik udara (krepitasi), dan bila dibenamkan
dalam air tampak gelembung udara.
 Berat sekitar 1/35 berat badan, yang berarti lebih berat bila
dibandingkan dengan berat paru-paru yang belum bernafas (sekitar
1/70 berat badan).
 Tes apung positif
 Tekstur seperti spons dan mendekati jaringan paru dewasa.
2. Adanya udara di dalam lambung dan usus merupakan petunjuk bahwa
anak menelan udara setelah dilahirkan hidup (untuk memperkuat bukti).
3. Adanya udara di dalam liang telinga tengah hanya dapat terjadi bila si
anak menelan udara, dan udara tersebut melalui tuba eustachii masuk ke
dalam telinga tengah.
Penentuan identitas bayi dan ibu bayi merupakan salah satu kesulitan lain.
Biasanya pelaku merupakan remaja yang tidak berpengalaman, bahkan bisa saja
tidak tahu sedang menjalani kehamilan sampai benar-benar akan melahirkan.
Kematian bayi bisa disebabkan dua hal, yaitu:
- Ketidakpedulian ibu pada bayi, seperti tidak melakukan pemotongan tali ari-
ari, tidak berusaha menghangatkan bayi dan tidak member makan bayi.
- Usaha membunuh bayi, seperti trauma kepala, penusukan, penenggelaman,
pencekikan pada bayi
Metode yang banyak dijumpai untuk melakukan tindakan pembunuhan
anak adalah metode yang menimbulkan keadaan mati lemas (asfiksia), seperti
penjeratan, pencekikan, pembekapan, dan pembenaman ke dalam air. Metode lain
yang juga bisa dilakukan adalah menusuk, memotong, dan melakukan kekerasan
dengan benda tumpul, tetapi jarang ditemukan.
Untuk mengetahui penyebab kematian, yang harus diperhatikan:
1. Adanya tanda-tanda mati lemas: sianosis pada bibir dan ujung jari, bintik
perdarahan pada jaringan longgar, lebam mayat yang lebih gelap dan luas, busa
halus yang keluar dari hidung atau mulut, tanda bendungan organ dalam.
2. Keadaan mulut dan sekitarnya: luka lecet di bibir, memar pada bibir bagian
dalam, adanya benda asing yang mengisi rongga mulut, tusukan pada langit-
langit sampai menembus rongga tengkorak.
3. Keadaan leher dan sekitarnya: luka lecet jejas jerat, luka lecet yang
diakibatkan tekanan kuku pencekik, luka lecet dan memar akibat tekanan
ujung jari pencekik, luka tusuk, luka sayat.
4. Adanya tanda-tanda terendam: tubuh basah dan berlumpur, telapak tangan
dan kaki pucat dan keriput, kulit berbintil-bintil seperti kulit angsa, adanya
benda asing di saluran pernapasan (misal: pasir, lumpur, tumbuhan air).

13. ABORTUS
KEMAMPUAN : (3A)
DEFINISI
Durasi normal kehamilan adalah sekitar 40 minggu, dengan masa
kehamilan paling lama mencapai 42-43 minggu. Sekitar 20% dari kehamilan
dapat terjadi keguguran. Kematian fetus yang berumur kurang dari 24 minggu
biasanya disebut aborsi spontan (spontaneous abortion) atau keguguran. Sedangkan
jika kelahiran terjadi pada umur kehamilan sudah mencapai 24 minggu
hingga sebelum aterm dapat disebut kelahiran premature. Abortus menurut
pengertian secara medis ialah gugur kandungan atau keguguran dan keguguran itu
sendiri berarti berakhirnya kehamilan, sebelum fetus dapat hidup sendiri di luar
kandungan. Batasan umur kandungan 28 minggu dan berat badan fetus yang
keluar kurang dari 1000 gram.
Abortus yang dilakukan secara sengaja (abortus provocatus) merupakan
salah satu masalah hukum yang peka yang berkaitan dengan profesi kedokteran;
paling banyak dibahas dan menimbulkan dua pendapat yang saling bertentangan.
Di satu pihak tetap menentang, di lain pihak dengan berbagai pertimbangan
mengusahakan agar terdapat pengendoran atau liberasi hukum. Terdapat pula
jenis abortus lain, akibat kecelakaan.
MEKANISME
Metode yang biasa dilakukan oleh ibu hamil untuk mengaborsi anaknya,
diantaranya adalah:
- Pada umur kehamilan sampai dengan 4 minggu:
o Mandi dengan air yang sangat panas
o Kegiatan yang berat, seperti lompat tali, melompat-lompat, berkuda, naik
sepeda. Namun cara ini jarang berhasil karena fetus biasanya melekat
sangat kuat pada rahim.
o Melakukan kekerasan pada daerah perut
o Obat-obatan, seperti pencahar, quinine, prostaglandin, colocynth,
croton oil/jalap, electric shock
o Penggunaan vaginal douche
o Racun, termasuk nanas muda yang sampai saat ini belum terbukti
dapat memicu keguguran. Kristal kalium permanganat yang dioleskan
pada vagina bagian dalam dan serviks dapat menyebabkan luka bakar
kimia dan kematian janin.
o Meminum alcohol dalam jumlah besar
- Pada umur kehamilan sampai dengan 8 minggu:
o Obat-obatan perangsang otot rahim dan pencahar agar terjadi
peningkatan “menstrual flow”, dan preparat hormonal guna
mengganggu keseimbangan hormonal
o Menyuntikan cairan ke dalam rahim agar terjadi separasi dari plasenta
dan amnion, atau menyuntikan cairan yang mengandung karbol
o Menyisipkan benda asing ke dalam mulut rahim seperti kateter atau
pinsil dengan maksud agar terjadi dilatasi mulut rahim yang dapat
berkahir dengan abortus
- Pada umur kehamilan 12-16 minggu:
o Menusuk kandungan dengan berbagai peralatan, seperti alat-alat
bedah sampai peralatan rumah sederhana, batang pohon yang dapat
membantu menggugurkan kandungan. Berbagai peralatan tersebut
dipaksa masuk melalui vagina menuju dinding rahim untuk
mengeluarkan janin dengan paksa. Metode ini sangat berisiko
menimbulkan perforasi fundus, bahkan kerusakan usus dan liver.
o Melepaskan fetus
o Memasukan pasta atau cairan sabun
o Kuret
Kemungkinan yang dapat terjadi pada abortus:
- Fetus/janin yang mati atau dirusak itu keluar tanpa mengganggu
kesehatan ibu
- Terjadi komplikasi pada ibu; kejang, diare, perdarahan dan kondisi
kesehatan yang kritis
- Kematian yang berlangsung cepat yang dimungkinkan karena
terjadinya; syok vagal, perdarahan hebat dan emboli udara
- Kematian yang berlangsung lambat (>2 hari setelah abortus), yang
pada umumnya disebabkan oleh:
o Infeksi ginjal o
Infeksi umum o
Keracunan
o Syok
o Perdarahan hebat
o emboli
- Sterilitas
DIAGNOSIS
Pemeriksaan tubuh pada seorang wanita yang mati setelah pada dirinya
dilakukan tindakan abortus, tergantung dari metode yang dipakai dalam
pengguguran tersebut.
- Abortus dengan obatobatan
Pemeriksaan toksikologik untuk mendeteksi obat yang digunakan merupakan
pemeriksaan rutin yang harus dikerjakan, obat yang biasa ditemukan umunya
obat yang bersifat dapat mengiritasi saluran pencernaan.
- Abortus dengan Instrumen
Bisa diketahui bila terjadi robekan atau perforasi dari rahim atau jalan lahir;
robekan umunya terjadi pada dinding lateral uterus, sedangkan perforasi
biasanya terdapat pada bagian posterior fornix vagina.
- Abortus dengan penyemprotan
Tampak adanya cairan yang berbusa diantara dinding uterus dengan fetal
membrane,separasi sebagian dari plasenta dapat dijumpai. Gelembung-
gelembung udara dapat dilihat dan ditelusuri pada pembuluh vena mulai dari
rahim sampai bilik jantung kanan. Pengukuran kandungan fibrinolisis dalam
darah dapat berguna untuk mnegetahui apakah korrban mati secara
mendadak. Perforasi fundus uteri dapat dijumpai bila syringe dipergunakan
untuk penyemprotan.
Penggunaan peralatan yang tidak steril yang digunakan oleh tenaga yang
tidak terlatih serta tidak dilakukannya tindakan anestesi merupakan factor penting
yang menyebabkan kematian. Berdasarkan saat terjadinya kematian, Simpson’s
membagi kematian pada abortus sebagai berikut:
- Kematian yang segera (immediate death); terutama disebabkan oleh karena
emboli udara dan inhibisi vagal; perdarahan lebih jarang dijumpai bila
dibandingkan dengan kedua hal tersebut
- Kematian yang lambat (delayed death); umunya disebabkan karena terjadi
infeksi, khususnya infeksi oleh C. welchii dan C. tetani
- Inhibisi vagal dapat terjadi oleh karena korban tidak dianestesi serta
intervensi instrument atau penyuntikan cairan secara tiba-tiba, yang mana
cairan tersebut dapat terlalu panas atau terlalu dingin.
Emboli Udara dan Abortus Provocatus
Emboli yang terjadi pada tindakan abortus provocatus akan menyebabkan
kolapsnya korban dengan segera dan disusul dengan kematian yang terjadi hanya
dalam tempo beberapa menit. Secara klinis Simonin membagi emboli udara yang
fatal menjadi tiga, yaitu:
- Kematian tiba-tiba mendadak dalam waktu beberapa menit
- Kematian antara 12-24 jam, hilangnya kesadaran dan adanya gejala awal
kejang serta kelumpuhan yang terjadi segera dan menetap untuk beberapa
waktu
- “Delayed Embolism”, yang terjadi dalam dua tahap yang dipisahkan oleh
interval waktu yang jelas; udara tidak mencapai jantung sampai suatu ketika.
Kadang-kadang beberapa jam setelah injeksi.
Emboli udara yang terjadi beberapa jam setelah tindakan, dimungkinkan
oleh karena udara yang masuk dalam uterus tertahan di dalam sampai terjadi
separasi plasenta yang membuka pembuluh darah sehingga memungkinkan
masuknya udara ke dalam sirkulasi. Adanya “mucucs plug” dapat menjelaskan
mengapa udara dalam uterus tidak dapat keluar melalui mulut rahim.
Dosis dari udara yang dapat mematikan dipengaruhi oleh berbagai factor,
diantaranya keadaan umum korban dan kecepatan masuknya udara ke dalam
tubuh. Pada umumnya jumlah udara yang dapat menyebabkan kematian minimal
100 ml, walaupun secara experimental udara yang dapat menyebabkan kematian
berikisar antara 10-480ml.
Pembuktian pada kasus abortus
Untuk dapat membuktikan apakah kematian seorang wanita itu merupakan
akibat dari tindakan abortus yang dilakukan atas dirinya, diperlukan petunjuk-
petunjuk:
- Adanya kehamilan
- Umur kehamilan, bila dipakai pengertian abortus menurut medis
- Adanya hubungan sebab akibat antara abortus dengan kematian,
- Adanya hubungan antara saat dilakukannya tindakan abortus dengan saat
kematian, dan
- Adanya barang bukti yang dipergunakan untuk melakukan abortus sesuai
dengan metode yang dipergunakan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Apuranto Hariadi. Luka Akibat Benda Tumpul. Diunduh dari
2. www.fk.uwks.ac.id/elib/Arsip/Departemen/…/LUKA%20TUMPUL.pdfTrauma
tologi Forensik. Diunduh dari
3. http://www.freewebs.com/traumatologie2/index.htmAmir Amri. Rangkaian
Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi Kedua. 1995. Medan : Percetakan
Ramadhan. Hal 72-90

You might also like