You are on page 1of 3

Studi Kasus : Banjarmasin

Gambaran umum

Kota Banjarmasin adalah salah satu kota di provinsi Kalimantan Selatan, Indonesia. Kota
Banjarmasin yang dijuluki Kota Seribu Sungai ini memiliki wilayah seluas 98,46 km² yang wilayahnya
merupakan delta atau kepulauan yang terdiri dari sekitar 25 buah pulau kecil (delta) yang dipisahkan
oleh sungai-sungai di antaranya Pulau Tatas, Pulau Kelayan, Pulau Rantauan Keliling, Pulau Insan dan
lain-lain. Berdasarkan data BPSKota Banjarmasin tahun 2016, Kota Banjarmasin memiliki penduduk
sebanyak 675.440 jiwa dengan kepadatan 9.381 jiwa per km².

Banjarmasin berada di pulau Kalimantan yang yang secara geologis dibentuk oleh endapan
alluvial dari sungai Barito dan sungai Martapura. Kota Banjarmasin berjarak sekitar 23 km dari pantai
dan berada di dataran rendah pada elevasi rata-rata minus 16 cm di bawah permukaan laut, serta
dipengaruhi oleh pasang naik dan pasang surut (pasut) air laut. Bentang alam kota yang relatif landai ini
menyebabkan terbentuknya kawasan lahan basah berupa rawa yaitu rawa pasang surut dan terdapat
ratusan saluran air baik alami dan buatan berupa sungai dan terusan (kanal).

Pada saat ini, pertumbuhan kota Banjarmasin yang ditinjau dari pola permukimannya bergeser
dari berbasis sungai menjadi berbasis daratan, sehingga karakter lokal mulai lenyap dan tidak
memperhatikan kondisi lahannya. Banyak tumbuh perumahan yang tidak memperhatikan lahan berupa
rawa. Seluruh lahan diurug, kecuali pada area bangunan yang masih menggunakan struktur panggung,
sehingga mengurangi area resapan air. Kanal-kanal semakin sempit akibat pelebaran jalan darat dan
tumbuhnya permukiman di bantaran sungai. Kondisi ini mengakibatkan pasang cepat naik menggenangi
area permukiman, masuknya air laut lebih jauh ke daratan (infiltrasi airaut) dan banjir pada saat hujan
lebat dan air pasang.

Apabila kondisi ini dibiarkan berlanjut, maka karakteristik Banjarmasin sebagai kota seribu
sungai akan hilang dan lama kelamaan akan tenggelam. Ini merupakan tantangan yang harus
diselesaikan, sehingga perlu adanya pengolahan tapak yang memperhatikan lahan rawa dalam setiap
perencanaan tapak permukimannya.

Permasalahan pasang surut untuk kawasan permukiman


Pasang surut mempunyai pengaruh yang besar terhadap sistem drainase di wilayah perkotaan
yang berada di kawasan pantai, khususnya untuk daerah yang datar dengan elevasi muka tanah yang
tidak cukup tinggi. Permasalahan yang dihadapi adalah:

1. terjadinya genangan pada kawasan-kawasan yang elevasinya berada di bawah muka air
pasang,

2. terhambatnya aliran air pada saluran yang langsung berhubungan dengan laut atau sungai
(yang terpengaruh pasang surut) akibat naiknya permukaan air pada saat terjadi pasang.

3. drainase sistem gravitasi tidak bisa bekerja dengan penuh, sehingga perlu bantuan pompa
dan perlu dilengkapi dengan pintu otomatis pada outlet-outlet yang berfungsi untuk mencegah
masuknya air laut pada saat pasang, sehingga biaya konstruksi maupun operasional dan
pemeliharaan sistem drainase menjadi mahal

4. bangunan-bangunan air, khusunya yang terbuat dari metal, mudah berkarat dan rusak akibat
terkena air laut. Hal ini akan meningkatkan biaya pemeliharaan.

5. banyaknya bantaran sungai yang dipergunakan untuk bangunan seperti pengembangan


pemukiman di sepanjang alur sungai

Upaya pemerintah
Adanya aturan yang jelas dalam pembangunan pemukiman, dimana masyarakat ketika
membangun perumahan/pemukiman harus menyertakan sistem drainase rumah tangga yang jelas (
program IMB).

Upaya masyarakat
1. Konstruksi bangunan panggung
Pondasi pada rumah tradisional merupakan wujud fisik kebudayaan masyarakat yang
hidup di lingkungan lahan. Hal ini merupakan kearifan lokal untuk mengatasi
permasalahan setempat. Untuk menahan beratnya beban bangunan dan menyalurkan gaya
berat ke bumi, digunakan sistem pondasi batang. Sistem pondasi ini menggunakan batang
kayu yang diletakkan sebagai bantalan. Sifat balok kayu yang mampu “mengapungkan”
bangunan menjadikannya sangat fungsional. Sedangkan kekuatan dan keawetan kayu
secara alamiah terbentuk dari proses alami pengawetan dengan membenamkan kayu ke
lumpur/rawa.
2. Sistem urug dan keruk
Berdasarkan historisnya, pada saat membangun rumah orang dulu mengeruk tanah seluas
rumah yang akan dibangun sebelum memasang pondasi. Kerukan ini berfungsi untuk
mengurangi tanah berlumpur dan memudahkan pancangan galam mengenai tanah keras
pada saat dipancangkan. Hasil kerukan ditimbun ke depan rumah sebagai halaman.
Sistem urug dan keruk merupakan manajemen air yang sudah dilakukan sejak dulu.
Sebagian lahan di keruk untuk mengurug bagian lahan yang lain. Hasil kerukan biasanya
berfungsi sebagai kanal atau kolam, sedangkan hasil urugan berfungsi sebagai jalan
maupun halaman.

You might also like