You are on page 1of 74

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat, karunia serta taufik dan
hidayah-Nya, kami dapat menyelesaikan hasil diskusi kelompok tentang “Multiple
Trauma”

Dalam penulisan laporan diskusi kelompok ini penulis mengucapkan terimakasih


kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan hasil laporan diskusi
kelompok ini, khusunya kepada :

1. Ibu Dr. Yayat S. S. Kp., M. Kep yang telah memberikan tugas dan petunjuk kepada
penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas ini.
2. Kedua orangtua kita yang telah memberi dukungan dan do’a.
3. Rekan-rekan Tutorial IV F Ilmu Keperawatan (S-1) Sekolah TinggiI lmu Kesehatan
Jenderal Achmad Yani Cimahi.

Dalam penulisan laporan tutorial ini penulis menyadari kekurangan baik secara
teknis penulisan maupun materi, mengingatakan kemampuan yang penulis miliki. Untuk
itu kritik dan saran dari semua pihak demi penyempurnaan pembuatan laporan diskusi
kelompok ini. Penulis berharap semoga Allah SWT memberikan imbalan yang setimpal
kepada mereka yang telah memberikan bantuan dan semoga apa yang telah kami
sampaikan dalam laporan diskusi kelompok ini bisa memberikan manfaat khususnya bagi
kami yang masih dalam tahap belajar dan umumnya bagi semua pembaca.

Cimahi, November 2018

Penyusun,

1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................................................. 1
BAB I ............................................................................................................................................ 3
PENDAHULUAN ........................................................................................................................ 3
A. Latar Belakang .......................................................................................................... 3
B. Batasan Masalah ...................................................................................................... 4
C. Tujuan .......................................................................................................................... 4
D. Metode Penulisan ..................................................................................................... 4
BAB 2 ........................................................................................................................................... 5
PEMBAHASAN .......................................................................................................................... 5
A. Kasus ........................................................................................................................... 5
B. Pembahasan .............................................................................................................. 5
1. Step 1 (Klarifikasi istilah) ........................................................................................... 5
2. Step 2 (Identifikasi masalah) ................................................................................... 6
3. Step 3 (Analisis Masalah).......................................................................................... 7
4. Step 4 (Hipotesis) ....................................................................................................... 9
5. Step 5 (Learning Issue) ........................................................................................... 10
6. Step 6 (Belajar Mandiri) ........................................................................................... 10
7. Step 7 (Hasil Sintesis/ Solusi/ Evaluasi) ............................................................... 12
BAB 3 ......................................................................................................................................... 73
PENUTUP .................................................................................................................................. 73
A. Kesimpulan .............................................................................................................. 73
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................ 74

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kata bencana merupakan istilah yang tidak asing lagi, bahkan sangat
akrab dengan masyarakat kita. Bencana diartikan sebagai suatu kejadian, secara
alami maupun karena ulah manusia, terjadi secara mendadak atau berangsur
angsur, menimbulakan akibat yang merugikan, sehingga masyarakat dipaksa
untuk melakukan tindakan penanggulangan. Bencana dapat di klafisikasikan
menjadi dua kategori yaitu bencana alam ( natural disaster ) dan bencana akibat
ulah manusia ( Man – disaster ).
Karakteristik geologis dan geografis menempatkan indonesia sebagai
salah satu kawasan rawan bencana seperti dibuktikan oleh berbagai bencana
yang telah menimpada Indonesia. Bencana merupakan musibah yang menimpa
masyarakat, karena itulah sebenarnya bencana menjadi tanggung jawab kita
semua. Pencegahan jauh lebih penting dari pada penanggulangan karena itu
upaya pencegahan akan memberikan dampak positive berupa menekan
seminim mungkin korban jiwa dan harta benda dari kejadian bencana.
Multiple trauma adalah istilah medis yang menggambarkan kondisi
seseorang yang telah mengalami beberpa luka traumatis, seperti cedera kepala
serius selain luka bakar yang serius. Multiple trauma atau poli trauma adalah
apabila terdapat dua atau lebih kecederaan secara fisikal atau region atau organ
tertentu, dimana salah satunya bisa menyebabkan kematian dan memberi
dampak pada fisik, kognitif, psikologik, atau kelainan psikososial dan disabilitas
fungsional. (Lamichhane P, et al., 2011)
Multiple trauma atau poli trauma adalah suatu istilah yang biasa
digunakan untuk menggambarkan pasien yang mengalami suatu cedera berat
yang diikuti dengan cedera yang lain, misalnya dua atau lebih cedera berat yang
dialami pada minimal dua area tubuh. (Kroupa J., 1990)
Fraktur adalah patah tulang atau terganggunya kesinambungan jaringan
tulang yang disebabkan oleh trauma langsung maupun trauma tidak langsung.

3
Fraktur lengkap terjadi apabila seluruh tulang patah, sedangkan fraktur tidak
lengkap tidak melibatkan seluruh ketebalan tulang. Fraktur juga dikenal dengan
istilah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik,
kekuatan, sudut, tenaga, keadaan tulang, dan jaringan lunak disekitar tulang aka
menentukan apakah fraktur yang terjadi disebut lengkap atau tidak lengkap
(Prise dan Wilson, 2006)

B. Batasan Masalah
1. Step 1: Klarifikasi Masalah
2. Step 2 : Identifikasi Masalah
3. Step 3 : Analisis Masalah
4. Step 4 : Hipotesis
5. Step 5 : Learning issue
6. Step 6 : Belajar mandiri
7. Step 7 : Sintesis
C. Tujuan
1. Mahasiswa mampu mengetahui mengenai konsep penanggulangan
bencana
2. Mahasiswa mampu memahami mengenai konsep dasar multiple trauma
3. Mahasiswa mampu memahami mengenai konsep dasar fraktur
D. Metode Penulisan
Penyusunan makalah ini menggunakan sistematika yaitu dengan cara
mengkaji teori dari referensi buku yang telah kami baca.

4
BAB 2

PEMBAHASAN

A. Kasus
Beberapa jam yang lalu pada pukul 6 pagi di kabupaten Bandung telah
terjadi longsor di Desa N. Tebing setinggi 20 meter tiba-tiba runtuh akibat
guyuran hujan yang sangat lebat dalam beberapa hari ini. Material batu dan
tanah menimpa beberapa rumah yang berada di bawahnya. Terdapat 6 rumah
yang tersapu material longsoran, bersama dengan tim penanggukangan
bencana setempat anda menuju lokasi kejadian. Korban tewas yang
terindentifikasi berada di dalam rumah berjumlah 4 orang dalam keadaan
tertimbun dan 1 orang (Tn. C) ditemukan dalam kondisi selamat dengan
beberapa luka dtubuhnya. Pada saat ditemukan Tn. C ditemukan dalam keadaan
tidak sadar dengan luka kuranglebih 5 cm di daerah kepala di region
Temporoparietal sisnistra disertai hematom di bagian frontal yang cukup besar.
Di daerah leher juga terdapat jejas akibat hantaman benda tumpul. Pada saat
ditemukan Tn. C dalam kondisi terhimpit tembok rumahnya. Saat diangkat
terdapat jejas di daerah thorax sinistra dengan pengembangan dada terlihat tidak
simetris, trachea tampak mengalami deviasike arah kanan dan terdapat distensi
vena jugularis Tn. C juga terdapat deformitas dan bengkak di daerah tibia sinistra
dengan perdarahanyang cukup banyak (± 500 cc). Hasil pemeriksaan awal Tn.
C didapatkan tens 90/40 mmHg, Nadi 130x/menit, RR 40x/ menit, pernafasan
dangkal, selain itu terdapat serpihan kayu yang tertancap di bagian abdomen
Tn.C.

B. Pembahasan

1. Step 1 (Klarifikasi istilah)

a. Region temporoparietal sinistra (ramdani)


b. Jejas (indrastata)
c. Deformitas (windi)
d. Distensi Vena Jugularis (Silvani)
e. Deviasi (Lisa)
f. Tibia sinistra (Neng parida)

5
Jawaban :

a. Area di otak tempat bertemunya temporal dan lobus parietal bertemu.


(Farida)
b. Luka sedikit atau tergores pada kulit (Vika)
c. Suatu jenis Dv yang ditandai dengan bentuk/ posisi abnormal dari suatu
bagian tubuh (Riki)
d. Yaitu JVP tampat hingga setinggi leher jauh lebih tinggi darpada normal
(Imanudin)
e. Deviasi trakea berarti bahwa trakea (batang tenggorokan) telah
bergeser ke satu sisi baik kiri/ kanan (Kania)
f. Tulang kering bagian kiri (Chika)

2. Step 2 (Identifikasi masalah)

a. Apa masalah yang mungkin muncul? (Imanudin)


b. Pertolongan apa yang dilakukan tim penanggulangan bencana pada Tn.
C? (Ramdani)
c. Bagaimana tindakan untuk menangani luka terbuka di daerah kepala di
Region Tempoparietal sinistra disertai hemato dibagian frontal yang
cukup besar? (neng Parida)
d. Apa yang menyebabkan hasil pemeriksaan awal TD: 90/40, Nadi:
130x/menit, RR: 40x/menit, pernafasan cepat dan dangkal? (Kania)
e. Tindakan apa yang dilakukan pada luka di abdomen yang tertancap
serpihan kayu (Silvani)
f. Apa yang menyebabkan Distensi Vena Jugularis pada Tn.C? (Nur liza)
g. Apa saja masalah keperawatan yang mungkin muncul pada kasus (Vika)
h. Jelaskan mengapa pengembangan dada Tn. C terlihat tidak simestris?
(Indrastata)
i. Label apakah yang dberikan pada pasien tersebut oleh petugas Triage
(Farida)
j. Mengapa tralea klien mengalami Deviasi ke arah kanan ? (Windi)
k. Apa saja tanda-tanda longsor dan apa tindakan pemerintahan untuk
mengurangi jumlah korban? (Salma)

6
3. Step 3 (Analisis Masalah)
a. Multiple Trauma (All)
b. Pertolongan pertama:
- Perhatikan area lika tubuh
- Cari pertolongan medis
- Jangan dicabut atau melepaskan benda yang tertancap
- Singkirkan atau lepaskan pakaian atau bendalain disekitar luka
(Imanudin)
c. Tindakan:
- Deep menggunakan kassa/ kain bersih disertai luka
- Balut dengan balutan sebelum di bawa ke RS (Lisa)
d. Penyebab:
- Karena terjadi perdarahan sehingga darah akan banyak keluar yang
dapat menurunkan cardiac Output mengakibatkan tensi turun
(90/40mmHg)
- Dalam keadaan CardiacOutput yang kurang, jantung harus tetap
memompakan darah keseluruh tubuh dengan cara jantung memompa
darah dengan cepat agar semua organ dapat terpenuhi yang disebut
takikardi (130x/m)
- Pernafasan : udara terperangkap di oaru-paru dan sulit keluar pada sisi
paru-paru sehingga paru-paru sehat akan berusaha akan meningkatkan
(memenuhi oksigen tubuh dengan cara meningkatkan ventilasi takipnea)
(windi)
e. Tindakan :
- Membuat balutan seperti donat kemudian masukkan disekitar serpihan
tancapa kayu, pastikan balutan tidak longgar, kemudian balut yang rapih
jangan dibuka sebelum tiba di RS atau penanganan medis (Neng parida)
f. Biasanya DVJ terjadi karena tension pneumothorax dan tamponade jantung
yang menyebabkan kontraksi jantung untuk menyalurkan darah ke seluruh

7
tubuh menurun termasuk otak untuk mengkompensasinya tubuh
meningkatkan vena Jugularis (Chika)
+ Vena jugularis terletak dileher yang mengalirkan darah dari kepala,
otak,wajah, leher, menuju menuju jantung karena adanya luka terbuka
kurang lebih 5 cm dikepala bagian region temporoparietal sinistra disertai
hematom dibagian frontal yang cukup besar. Ada juga terdapat lecet akibat
hantaman yang menyebabkan distensi vena jugularis (Vika)
g. Penyebab:
- Nyeri
- Syok Hipovolemik
- Infeksi (Lisa)
- Gangguan perfusi jaringan otak
- Hambatan Mobilitias fisik
- Ketidakefektifan pola nafas ( Windi)
h. Adanya jejas pada thorax sinistra yang memungkinkan fraktur iga sehingga
menyebabkan pergerakan dada tidak simestris (Ramdani)
i. Label merah (Riki)
+ karena Tn. C dalam keadaan gawat darurat dengan adanya trauma Thorax
dan syok (Indrastata)
j. Karena udara dapat masuk keparu tapi tidak dapat keluar sehingga paru-paru
pada sisi yang terkena akan kolaps dan akan mendorong mediastinum ke sisi
yang sehat itu juga terjadi pada trakea (Kania)
k. Tanda-tanda longsor
- Pergerakan tanah
- Mata air baru
- Ada retakan Tanah (Silvani)
- Intensitas hujan yang tinggi (Putri Israene)
Tindakan pemerintah
- Himbauan peringatan dini adanya bencana
- Evakuasi ke tempat yang lebih aman
- Himbauan tidak membangun rumah di bawah tebing
- Di larang penebangan pohon liar
- Reboisasi (Farida)

8
4. Step 4 (Hipotesis)

Terjadi longsor di desa N


tebing setinggi 20 meter

Terdapat 6 rumah yang tersapu material


longsoran

Tim penanggulangan bencana menuju lokasi


bencana longsor

Terdapat 4 orang 1 orang ditemukan selamat


dalam keadaan
tertimbun tanah

Anamnesa: Pemeriksaan fisik:

Kondisi pasien - TD: 90/40 mmHg


tidak sadar - N: 130x/ menit
- RR: 40x/ menit
- Luka terbuka ± 5cm
di region
temporoparietal +
hematom di bagian
frontal yang cukup
besar
- Dileher terdapat jejas
akibat benda tumpul
(thorax sinistra)
- Pengembangan
Multiple trauma dan fraktur dada tidak simetris
- Trachea tampak
deviasi ke kanan
- Vena jugularis
- Deformitas dan
Triage Penatalaksanaan Asuhan bengkak di daerah
medis keperawatan tibia sinistra dengan
perdarahan ± 500cc
- Terdapat serpihan
kayu tertancap di
abdomen

9
5. Step 5 (Learning Issue)
Mahasiswa mampu mengetahui dan memahami:
a. Konsep dasar penanggulangan bencana :
1) Assessment
2) Triage
3) Primay survey
4) Secondary survey
b. Konsep dasar
1) Multiple trauma
a) Definisi multiple trauma
b) Eiologi multiple trauma
c) Klasifikasi multiple trauma
d) Patofisiologi multiple trauma
e) Manifestasi multiple trauma
f) Pemeriksaan diagnostik multiple trauma
g) Penatalaksanaan multiple trauma
h) Komplikasi multiple trauma
2) Fraktur
a) Definisi fraktur
b) Etiologi fraktur
c) Patofisiologi fraktur
d) Manifestasi fraktur
e) Pemeriksaan diagnostik fraktur
f) Penatalsanaan fraktur
g) Komplikasi fraktur
c. Konsep asuhan keperawatan

6. Step 6 (Belajar Mandiri)


Waktu Kegiatan Keterangn

Selasa , 14 Step 1 s/d 5 dan pembagian Seluruh


November 2018 tugas mahasiswa
09.00 s.d. 11.00 hadir

10
Rabu, 15 Pengumpulan materi dan Seluruh
November 2018 pembuatan makalah mahasiswa
09.00-15.00 hadir

11
7. Step 7 (Hasil Sintesis/ Solusi/ Evaluasi)
A. Konsep Dasar Penanggulangan Bencana
1) Definisi Penanggulangan Bencana
Assessment / asesmen tempat kejadian adalah suatu
tindakan yang dilakukan oleh paramedis saat ditempat kejadian.
Asesmen pasien gawat darurat adalah suatu proses yang
dilakukan secara sengaja, sistematis dan terencana untuk mendapat
informasi dari seorang individu yang datang ke rumah sakit sesegera
mungkin untuk mengidentifikasi kondisi yang mengancam nyawa,
melakukan intervensi secepat mungkin dan menatalaksana cidera
yang tidak mengancam nyawa serta manajemen transfer di Instalasi
Gawat Darurat.
Banyak faktor-faktor eksternal eksternal seperti iklim, cuaca,
bahan-bahan berbahaya dan lain-lainnya yang bisa mempengaruhi
tindakan yang dilakukan. Informasi dan pengetahuan yang cukup
sangat diperlukan dalam kondisi ini. Informasi mengenai keadaan
pasien, keadaan lingkungan sekitar, lokasi dan posisi pasien bisa
sangat membantu perencanaan tindakan yang akan dilakukan.
Informasi yang didapatkan di kasus adalah :
Asesmen lokasi : Telah terjadi longsor, di Desa N Kabupaten
Bandung, pukul 06.00 WIB. Tebing setinggi 20 meter runtuh akibat
guyuran hujan yang sangat lebat dalam beberapa hari. Material batu
dan tanah menimpa 6 rumah dan tersapu material longsoran. Tim
penanggulangan bencana setempat mengidentifikasi adanya korban
diantaranya 4 orang tertimbun dan 1 orang (Tn.C) ditemukan dalam
kondisi selamat dengan beberapa luka ditubuh pasien.

Initial Assessment / Asesmen pasien gawat darurat adalah


proses penilaian awal pada penderita trauma disertai pengelolaan
yang tepat guna untuk menghindari kematian. Pengertian lain initial
assessment adalah proses evaluasi secara tepat pada penderita
gawat darurat yang langsung diikuti dengan tindakan resusitasi.
Waktu berperan sangat penting, oleh karena itu diperlukan cara yang

12
mudah, cepat dan tepat. Proses awal ini dikenal dengan initial
assessment (penilaian awal).
Informasi yang didapatkan di kasus adalah :
Asesmen pasien : Tn.C ditemukan dalam kondisi tidak sadar
dengan luka terbuka kurang lebih 5 cm di daerah kepala di region
temporoparietal sinistra disertai hematom dibagian frontal yang
cukup besar, didaerahleher terdapat jejas akibat hantaman benda
tumpul. Saat ditemukan Tn. C dalam keadaan terhimpit tembok
rumahnya. Saat diangkat terdapat jejas didaerah thorax sinistra
dengan pengembangan dada terlihat tidak sinmetris, trachea tampak
mengalami deviasi kearah kanan dan terdapat distensi vena
jugularis. Tn. C juga terdapat deformitas dan bengkak didaerah tibia
sinistra dengan perdarahan yang cukup banyak (+- 500c ). Hasil
pemeriksaan awal Tn.C didapatkan Tensi 90/40 mmHg Nadi 130 x
permenit , RR 40 kali permenit pernafasan cepat dan dangkal , selain
itu terdapat serpihan kayu yang tertancap dibagian abdomen Tn. C.

a) Proses Initial Assessment


Proses initial assessment meliputi :
1. Persiapan
2. Triage
3. Survey primer
4. Resusitasi
5. Survey Sekunder
6. Pengawasan dan evaluasi ulang
7. Terapi definitif

b) Langkah-langkah pada initial assessment :


1. Persiapan Penderita
Persiapan pada penderita berlangsung dalam dua fase yang
berbeda, yaitu fase pra rumah sakit / pre hospital, dan fase kedua
adalah fase rumah sakit / hospital.

13
a. Fase pra rumah sakit
Merupakan fase yang cukup menentukan untuk keselamatan
pasien, mulai dari penanganan awal hingga rujukan pasien ke
RS yang tepat. Di Indonesia pelayanan pra rumah sakit ini
merupakan bagian yang sangat terbelakang dari pelayanan
penderita gawat darurat secara menyeluruh.
Prinsip Do No Further Harm : Keadaan yang ideal adalah
dimana Unit Gawat Darurat (UGD) yang datang ke penderita,
bukan sebaliknya, karena itu ambulans yang datang sebaiknya
memiliki peralatan yang lengkap. Petugas / paramedis yang
datang membantu penderita sebaiknya mendapatkan latihan
khusus, karena pada saat menangani penderita mereka harus
menguasai ketrampilan khusus yang dapat menyelamatkan
nyawa.

b. Fase rumah sakit


1) Pada fase rumah sakit perlu dilakukan perencanaan sebelum
penderita tiba, sebaiknya ada ruangan khusus resusitasi serta
perlengkapan airway (laringoskop, endotracheal tube) yang
sudah dipersiapkan.
2) Evakuasi Penderita : Dalam keadaan dimana penderita
trauma di rumah sakit yang dibawa tanpa persiapan pada pra-
rumah sakit maka sebaiknya evakuasi dari kendaraan ke
brankar dilakukan oleh petugas rumah sakit dengan berhati-
hati. Selalu harus diperhatikan kontrol servikal.
3) Perlu dipersiapkan cairan kristaloid (mis : RL) yang sudah
dihangatkan, perlengkapan monitoring serta tenaga
laboratorium dan radiologi. Semua tenaga medik yang
berhubungan dengan penderita harus dihindarkan dari
kemungkinan penularan penyakit menular dengan cara
penganjuran menggunakan alat-alat protektif seperti
masker/face mask, proteksi mata/goggle, baju kedap air,
sepatu dan sarung tangan kedap air.
4) Ingat prinsip “Do No Further Ham”

14
2. Triage
Triage adalah tindakan untuk mengelompokkan penderita
berdasar pada beratnya cedera yang diprioritaskan berdasarkan
ada tidaknya gangguan pada A (Airway), B (Breathing) dan C
(Circulation). Triage adalah usaha pemilahan korban sebelum
ditangani, berdasarkan tingkat kegawatdaruratan trauma atau
penyakit dengan mempertimbangkan prioritas penanganan dan
sumber daya yang ada. Penderita yang mengalami gangguan
jalan nafas (airway) harus mendapatkan prioritas penanganan
pertama mengingat adanya gangguan jalan nafas adalah
penyebab tercepat kematian pada penderita.
Dalam prinsip triage diberlakukan sistem prioritas, prioritas
adalah penentuan / penyeleksian mana yang harus didahulukan
mengenai penanganan yang mengacu pada tingkat ancaman
jiwa yang timbul dengan seleksi pasien berdasarkan : 1)
Ancaman jiwa yang dapat mematikan dalam hitungan menit, 2)
Dapat mati dalam hitungan jam, 3) Trauma ringan, 4) Sudah
meninggal. Pada umumnya penilaian korban dalam triase dapat
dilakukan dengan :
- Menilai tanda vital dan kondisi umum korban
- Menilai kebutuhan medis
- Menilai kemungkinan bertahan hidup
- Menilai bantuan yang memungkinkan
- Memprioritaskan penanganan definitif
- Tag warna

a. Macam-macam korban :
- Multiple Casualties
Musibah massal dengan jumlah penderita dan beratnya
perlukaan tidak melampaui kemampuan rumah sakit. Dalam
keadaan ini penderita dengan masalah yang mengancam jiwa
dan multi trauma akan dilayani terlebih dahulu.

15
- Mass Casualties
Musibah massal dengan jumlah penderita dan beratnya luka
melampaui kemampuan rumah sakit. Dalam keadaan ini yang
akan dilakukan penanganan terlebih dahulu adalah penderita
dengan kemungkinan survival yang terbesar, serta
membutuhkan waktu, perlengkapan dan tenaga yang paling
sedikit.

b. Prinsip-prinsip triage :
“Time Saving is Life Saving (respon time diusahakan sependek
mungkin), The Right Patient, to The Right Place at The Right
Time serta melakukan yang terbaik untuk jumlah terbanyak”
dengan seleksi korban berdasarkan :
1) Ancaman jiwa mematikan dalam hitungan menit
2) Dapat mati dalam hitungan jam
3) Trauma ringan
4) Sudah meninggal

c. Menentukan prioritas dari korban yang hidup


Prioritas adalah penentuan mana yang harus didahulukan
mengenai penanganan dan pemindahan yang mengacu pada
tingkat ancaman jiwa yang timbul
Tingkat prioritas :
1) Prioritas I (prioritas tertinggi) warna merah untuk berat
dan biru untuk sangat berat. Mengancam jiwa atau fungsi
vital, perlu resusitasi dan tindakan bedah segera,
mempunyai kesempatan hidup yang besar. Penanganan
dan pemindahan bersifat segera yaitu gangguan pada jalan
nafas, pernafasan dan sirkulasi. Contohnya sumbatan jalan
nafas, tension pneumothorak, syok hemoragik, luka
terpotong pada tangan dan kaki, combutio (luka bakar)
tingkat II dan III > 25%
2) Prioritas II (medium) warna kuning. Potensial
mengancam nyawa atau fungsi vital bila tidak segera

16
ditangani dalam jangka waktu singkat. Penanganan dan
pemindahan bersifat jangan terlambat. Contoh: patah tulang
besar, combutio (luka bakar) tingkat II dan III < 25 %, trauma
thorak/abdomen, laserasi luas, trauma bola mata.
3) Prioritas III(rendah) warna hijau. Perlu penanganan
seperti pelayanan biasa, tidak perlu segera. Penanganan
dan pemindahan bersifat terakhir. Contoh luka superficial,
luka-luka ringan
4) Prioritas 0 warna Hitam. Kemungkinan untuk hidup sangat
kecil, luka sangat parah. Hanya perlu terapi suportif. Contoh
henti jantung kritis, trauma kepala kritis.
d. Penilaian dalam triage
1) Primary survey (C, A, B / A, B, C) untuk menghasilkan
prioritas I dan seterusnya
2) Secondary survey (Head to Toe) untuk menghasilkan
prioritas I, II, III, 0 dan selanjutnya
3) Monitoring korban akan kemungkinan terjadinya perubahan-
perubahan pada C, A, B / A, B, C derajat kesadaran dan
tanda vital lainnya.
4) Perubahan prioritas karena perubahan kondisi korban

e. Perencanaan triage
1) Persiapan sebelum bencana
2) Pengorganisasian personal (bentuk tim triage)
3) Pengorganisasian ruang/tempat
4) Pengorganisasian sarana/peralatan
5) Pengorganisasian suplai
6) Pelatihan
7) Komunikasi

f. Pemimpin triage
Hanya melakukan :
1) Primary survey
2) Menentukan prioritas

17
3) Menentukan pertolongan yang harus diberikan
Keputusan triage harus dihargai. Diskusi setelah tindakan.
Hindari untuk tidak memutuskan sesuatu. Pemimpin triage
tidak harus dokter, perawat pun bisa atau orang yang terlatih
tergantung sumber daya manusia di tempat kejadian.
g. Tim triage
1) Bertanggung jawab
2) Mencegah kerusakan berlanjut atau semakin parah
3) Pilah dan pilih korban
4) Memberi perlindungan kepada korban.
h. Dokumentasi / rekam medis triage
1) Informasi dasar : nama, umur, jenis kelamin, cedera,
penyebab cedera, pertolongan pertama yang telah diberikan
2) Tanda-tanda vital : tensi, nadi, respirasi, kesadaran
3) Diagnosis singkat tapi lengkap
4) Kategori triage
5) Urutan tindakan preoperatif secara lengkap

i. Perhatian
1) Jika fasilitas kurang memadai maka lebih diutamakan yang
potensial selamat. Contoh : jika korban label merah lebih
potensial selamat maka label biru dapat berubah menjadi
label hitam
2) Dalam keadaan bencana, lebih baik memberi bantuan lebih
daripada kurang
3) Pikirkan kemungkinan yang paling buruk sehingga dapat
mempersiapkan lebih baik.

3. Survey Primer (Primary Survey)


Survey primer atau primary survey adalah pemeriksaan
secara cepat fungsi vital pada penderita dengan cedera berat
dengan prioritas pada CABD / ABCD, fase ini harus dikerjakan
dalam waktu singkat dan kegawatan pada penderita sudah harus
dapat ditegakkan pada fase ini. Pada primary survey dilakukan

18
usaha untuk mengenali keadaan yang mengancam nyawa
terlebih dahulu dengan berpatokan pada urutan berikut :

A : Airway
Yang pertama kali harus dinilai adalah kelancaran jalan
nafas. Hal ini meliputi pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas
yang disebabkan oleh benda asing, fraktur tulang wajah, fraktur
mandibula atau maxilla, fraktur laring/trakhea. Usaha untuk
membebaskan airway harus melindungi vertebra servikal
(servical spine control), dimulai dengan melakukan chin lift atau
jaw trust. Jika dicurigai ada kelainan pada vertebra servikalis
berupa fraktur maka harus dipasang alat immobilisasi serta
dilakukan foto lateral servikal. Pemasangan airway definitif
dilakukan pada penderita dengan gangguan kesadaran atau
GCS (Glasgow Coma Scale) ≤ 8, dan pada penderita dengan
gerakan motorik yang tidak bertujuan.
B : Breathing
Airway yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik.
Ventilasi yang baik meliputi fungsi yang baik dari paru, dinding
dada dan diafragma. Dada penderita harus dibuka untuk melihat
ekspansi pernafasan dan dilakukan auskultasi untuk
memastikan masuknya udara ke dalam paru. Perkusi dilakukan
untuk menilai adanya udara atau darah dalam rongga pleura.
Sedangkan inspeksi dan palpasi dapat memperlihatkan kelainan
dinding dada yang mungkin mengganggu ventilasi.
Trauma yang dapat mengakibatkan gangguan ventilasi yang
berat adalah tension pneumothoraks, flail chest dengan kontusio
paru dan open pneumotoraks. Sedangkan trauma yang dapat
mengganggu ventilasi dengan derajat lebih ringan adalah
hematothoraks, simple pneumothoraks, patahnya tulang iga, dan
kontusio paru.
Pengelolaan yang dilakukan :
1. Pemberian oksigen konsentrasi tinggi (nonrebreather mask
11-12 liter/menit)

19
2. Ventilasi dengan Bag Valve Mask
3. Menghilangkan tension pneumothorax
4. Menutup open pneumothorax
5. Memasang pulse oxymeter

C : Circulation
1. Volume darah dan cardiac output
Perdarahan merupakan sebab utama kematian yang dapat
diatasi dengan terapi yang cepat dan tepat di rumah sakit.
Suatu keadaan hipotensi pada trauma harus dianggap
disebabkan oleh hipovolemia sampai terbukti sebaliknya.
Dengan demikian maka diperlukan penilaian yang cepat dari
status hemodinamik penderita yang meliputi :
a. Tingkat kesadaran
Bila volume darah menurun, perfusi otak dapat
berkurang yang mengakibatkan penurunan kesadaran.
b. Warna kulit
Wajah pucat keabu-abuan dan kulit ekstremitas yang
pucat merupakan tanda hipovolemia.
c. Nadi
Perlu dilakukan pemeriksaan pada nadi yang besar
seperti arteri femoralis atau arteri karotis kiri dan kanan
untuk melihat kekuatan nadi, kecepatan, dan irama.
Nadi yang tidak cepat, kuat, dan teratur, biasanya
merupakan tanda normovolemia. Nadi yang cepat dan
kecil merupakan tanda hipovolemia, sedangkan nadi
yang tidak teratur merupakan tanda gangguan jantung.
Apabila tidak ditemukan pulsasi dari arteri besar maka
merupakan tanda perlu dilakukan resusitasi segera.
2. Perdarahan
Perdarahan eksternal dihentikan dengan penekanan pada
luka. Sumber perdarahan internal adalah perdarahan dalam
rongga thoraks, abdomen, sekitar fraktur dari tulang

20
panjang, retroperitoneal akibat fraktur pelvis, atau sebgai
akibat dari luka dada tembus perut.

D : Disability / neurologic evaluation


Pada tahapan ini yang dinilai adalah tingkat kesadaran,
ukuran dan reaksi pupil, tanda-tanda lateralisasi dan tingkat atau
level cedera spinal. GCS / Glasgow Coma Scale adalah sistem
skoring sederhana dan dapat meramal outcome penderita.
Penurunan kesadaran dapat disebabkan oleh penurunan
oksigenasi atau/dan penurunan perfusi ke otak, atau disebabkan
trauma langsung.
Menilai adanya gangguan fungsi otak dan kesadaran
(penurunan suplai oksigen ke otak). Bertujuan untuk dapat
mengetahui fungsi otak/ kesadaran dengan metode AVPU dan
GCS
Metode AVPU :
1) Penilaian sederhana ini dapat digunakan secara cepat
A = Alert/Awake : sadar penuh
V = Verbal stimulation :ada reaksi terhadap perintah
P = Pain stimulation : ada reaksi terhadap nyeri
U = Unresponsive : tidak bereaksi
2) Dan penilaian ukuran serta reaksi pupil :
-Ukuran dalam millimeter
-Respon terhadap cahaya / reflek pupil : ada / tidak, cepat atau
lambat
-Simetris / anisokor

E : Exposure / environmental
Exposure / environmental adalah pemeriksaan pada seluruh
tubuh penderita untuk melihat jejas atau tanda-tanda kegawatan
yang mungkin tidak terlihat dengan menjaga supaya tidak terjadi
hipotermi. Penderita harus dibuka keseluruhan pakaiannya,
biasanya dengan cara menggunting dengan tujuan memeriksa

21
dan mengevaluasi penderita. Setelah pakaian dibuka penderita
harus diselimuti agar tidak kedinginan.

4. Resusitasi
Selama survey primer, keadaan yang mengancam nyawa
harus dikenali dan resusitasinya dilakukan pada saat itu juga.
Resusitasi yang agresif dan pengelolaan yang cepat dari
keadaan yang mengancam nyawa merupakan hal yang mutlak
bila ingin penderita tetap hidup. Prioritas penanganan kegawatan
dilakukan berdasarkan urutan diatas, namun bila memungkinkan
dapat juga dilakukan secara simultan. Prioritas penanganan
untuk pasien usia muda maupun usia lanjut adalah sama. Salah
satu perbedaanya adalah bahwa pada usia muda ukuran organ
relative lebih kecil dan fungsinya belum berkembang secara
maksimal. Pada ibu hamil, prioritas tetap sama, hanya proses
kehamilan membuat proses fisiologis berubah karena adanya
janin. Pada orang tua, karena proses penuaan fungsi tubuh
menjadi lebih rentan terhadap trauma karena berkurangnya daya
adaptasi tubuh.
Resusitasi yang agresif dan pengelolaan cepat pada yang
mengancam nyawa merupakan hal yang mutlak bila ingin
penderita tetap hidup.
- Chest Compressions
pemeriksaan nadi korban sebaiknya tidak lebih dari 10 detik jika
lebih dari waktu tersebut tidak didapatkan denyut nadi yang
definitive maka petugas sebaiknya memulai RJP dengan
kompresi dada.
Resusitasi Jantung Paru dini. Berbeda dengan panduan BLS
AHA 2005, kompresi dada dilakukan terlebih dahulu sebelum
adanya dua kali ventilasi awal sehingga membentuk algoritma
“C-A-B”. Kompresi dada dilakukan sebanyak satu siklus (30
kompresi, sekitar 18 detik). Untuk mendapatkan kompresi dada
yang efektif dalam algoritma tersebut terdapat dua kata kunci
yaitu “push hard, push fast” yang berarti “tekan kuat, tekan cepat”

22
hal ini memudahkan penolong non petugas kesehatan dalam
melakukan kompresi seefektif mungkin. Dalam RJP yang efektif,
kecepatan kompresi diharapkan mencapai sekitar 100
kompresi/menit dengan kedalaman sekitar 5 cm (2 inchi). Lokasi
kompresi dilakukan pada tengah dada pasien.
Setelah kompresi dada dilakukan sebanyak satu siklus
dilanjutkan dengan ventilasi mulut ke mulut sebanyak dua kali
ventilasi. Hal yang perlu diperhatikan adalah berikan jarak 1 detik
antar ventilasi, perhatikan kenaikan dada korban untuk
memastikan volume tidal yang masuk adekuat, dan
perbandingan kompresi dan ventilasi untuk satu siklus adalah
30 : 2.Bila ada gangguan sirkulasi harus dipasang minimal dua
IV line. Kateter IV yang dipakai harus berukuran besar. Pada
awalnya sebaiknya menggunakan vena pada lengan. Selain itu
bisa juga digunakan jalur IV line yang seperti vena seksi atau
vena sentralis. Pada saat memasang kateter IV harus diambil
contoh darah untuk pemeriksaan laboratorium rutin serta
pemeriksaan kehamilan pada semua penderita wanita berusia
subur.
Pada saat datang penderita diinfus cepat dengan 2-3 liter cairan
kristaloid, sebaiknya Ringer Laktat. Bila tidak ada respon,
berikan darah segulungan atau (type specific). Jangan
memberikan infus RL dan transfusi darah terus menerus untuk
terapi syok hipovolemik. Dalam keadaan harus dilakukan
resusitasi operatif untuk menghentikan perdarahan.
- Airway
Pada penderita yang masih sadar dapat dipakai nasofaringeal
airway. Bila penderita tidak sadar dan tidak ada refleks batuk
(gag refleks) dapat dipakai orofaringeal airway.
- Breathing
Kontrol jalan nafas pada penderita yang airway terganggu
karena faktor mekanik, ada gangguan ventilasi dan atau ada
gangguan kesadaran, dicapai dengan intubasi endotrakheal baik
oral maupun nasal. Surgical airway / krikotiroidotomi dapat

23
dilakukan bila intubasi endotrakheal tidak memungkinkan karena
kontraindikasi atau karena masalah teknis.

5. Tambahan pada primary survey dan resusitasi


1) Monitor EKG : dipasang pada semua penderita trauma.
2) Kateter urin dan lambung
a. Kateter uretra
Produksi merupakan indikator yang peka untuk menilai keadaan
perkusi ginjal dan hemodinamik penderita. Kateter urin jangan
dipasang jika dicurigai ada ruptur uretra yang ditandai dengan :
1. Adanya darah di orifisium uretra eksterna (metal bleeding)
2. Hematom di skrotum atau perineum
3. Pada Rectal Toucher, prostat letak tinggi atau tidak teraba.
4. Adanya fraktur pelvis.
Bila dicurigai ruptur uretra harus dilakukan uretrogram terlebih
dahulu.
b. Kateter lambung atau NGT
Kateter lambung dipakai untuk mengurangi distensi lambung dan
mengurangi kemungkinan muntah. Isi lambung yang pekat
mengakibatkan NGT tidak berfungsi, lagipula pemasangannya
sendiri dapat mengakibatkan muntah. Darah dalam lambung
dapat disebabkan darah tertelan, pemasangan NGT yang
traumatik atau perlukaan lambung. Bila lamina kribosa patah
atau diduga patah, kateter lambung harus dipasang melalui
mulut untuk mencegah masuknya NGT dalam rongga otak.
Dalam keadaan ini semua pipa jangan di masukkan lewat jalur
naso-faringeal.

Monitor
Monitoring hasil resusitasi sebaiknya didasarkan pada
penemuan klinis seperti laju nafas, nadi, tekanan nadi, tekanan
darah, ABG (Arterial Blood Gases), suhu tubuh dan keluaran

24
(output) urin hasil pemeriksaan di atas harus didapat secepatnya
setelah menyelesaikan survei primer.
1. Laju nafas dan ABG dipakai untuk menilai airway dan breathing.
ETT dapat berubah posisi pada saat penderita berubah posisi.
Alat pengukur CO2 secara kolorimetrik mengukur End-Tidal CO2
dan merupakan cara yang baik untuk menetapkan bahwa posisi
ETT dalam trakhea, dan bukan dalam esofagus. Penggunaan
alat ini tidak dapat menentukan bahwa letak ETT sudah tepat.
2. Penggunaan Pulse oximetri mengukur kadar O2 saturasi, bukan
PaO2. Suatu sensor diletakkan pada ujung jari atau cuping
telinga, dan kemudian mengukur saturasi O2, biasanya sekaligus
tercatat denyut nadi.
3. Pada penilaian tekanan darah harus disadari bahwa tekanan
darah ini merupakan indikator yang kurang baik guna menilai
perfusi jaringan.
d. Pemeriksaan rontgen dan pemeriksaan tambahan lainnya
Pemeriksaan foto rontgen harus selektif, dan jangan
menghambat proses resusitasi. Foto toraks dan pelvis dapat
mengenali kelainan yang mengancam nyawa, dan foto pelvis
dapat menunjukkan adanya fraktur pelvis. Pemeriksaan DPL
(Diagnostic Peritoneal Lavage) dan USG abdomen merupakan
pemeriksaan bermanfaat untuk menentukan adanya perdarahan
intraabdomen.

6. Survey Sekunder / Secondary Survey


Survey sekunder baru dilakukan setelah survey primer
selesai dan dipastikan airway, breathing, dan sirkulasi penderita
dipastikan membaik. Prinsip pada survey sekunder adalah
memeriksa seluruh tubuh dengan lebih teliti dari mulai ujung
rambut sampai ujung jari kaki (head to toe) baik pada tubuh
bagian depan maupun belakang dan evaluasi ulang terhadap
pemeriksaan tanda vital penderita. Dimulai dengan anamnesa
singkat meliputi AMPLE (allergy, medication, past illness, last
meal, dan event of injury). Pemeriksaan penunjang yang

25
diperlukan dapat dilakukan pada fase ini diantaranya foto
thoraks.
Survey sekunder hanya dilakukan apabila penderita stabil.
Sedikit mengenai pengertian stabil : penderita stabil berarti
bahwa keadaan penderita sudah tidak menurun. Mungkin masih
ada tanda syok, namun tidak bertambah berat. Ini berbeda
dengan keadaan normal, dimana penderita kembali ke keadaan
normal.

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik : meliputi inspeksi, auskultasi, palpasi, dan
perkusi
1. Kulit kepala
Seluruh kulit kepala diperiksa. Cukup sering terjadi bahwa
penderita yang nampaknya cedera ringan, tiba-tiba ada darah di
lantai yang berasal dari tetesan luka di belakang kepala. Lakukan
inspeksi dan palpasi seluruh kepala dan wajah untuk adanya
laserasi, kontusi, fraktur, dan luka termal.
2. Wajah
Ingat prinsip: ‘look-listen-feel’. Apabila cedera sekitar mata
jangan lalai memeriksa mata, karena pembengkakan di mata
akan menyebabkan pemeriksaan mata selanjutnya menjadi sulit.
Re-evaluasi tingkat kesadaran denagn skor GCS.
- Mata : periksa kornea ada cedera atau tidak, pupil mengenai
isokor serta reflex cahaya, acies visus dan acies campus.
- Hidung : apabila ada pembengkakan. Lakukan palpasi akan
kemungkinan krepitasi dari suatu fraktur.
- Zygoma : apabila ada pembengkakan jangan lupa mencari
krepitasi akan adanya fraktur zygoma.
- Telinga : periksa dengan senter mengenai keutuhan membrane
timpani atau adanya hemotimpanum.
- Rahang atas : periksa stabilitas rahang atas
- Rahang bawah : periksa akan adanya fraktur
3. Vertebra servikalis dan leher

26
Pada saat memeriksa leher, kolar terpaksa dilepas. Jangan lupa
untuk seorang pembantu tetap melakukan fiksasi pada kepala.
Periksa adanya cedera tumpul atau tajam, deviasi trakea, dan
pemakaian otot tambahan. Palpasi akan adanya nyeri,
deformitas, pembengkakan, emfisema subkutan, deviasi trakea,
dan simetri pulsasi. Tetap jaga imobilisasi segaris dan proteksi
servikal. Jaga airway, pernafas, dan oksigenasi. Kontrol
perdarahan, cegah kerusakan otak sekunder, dan lepaskan
lensa kontak.
4. Toraks
 Pemeriksaan dilakukan dengan look-listen-feel.
 Inspeksi dinding dada bagian depan, samping dan belakang
untuk adanya trauma tumpul/ tajam, pemakaian otot pernafasan
tambahan dan ekspamsi thoraks bilateral.
 Auskultasi pada bagian depan untuk bising nafas (bilateral) dan
bising jantung.
 Palpasi seluruh dinding dada untuk adanya trauma tajam/tumpul,
emfisema subkutan, nyeri tekan dan krepitasi.
 Perkusi untuk adanya hipersonor dan keredupan.
 Ingat bahwa setiap cedera di bawah puting susu, ada
kemungkinan cedera intra-abdominal pula.
5. Abdomen
Cedera intra-abdomen kadang-kadang luput terdiagnosis,
misalnya pada keadaan cedera kepala dengan penurunan
kesadaran, fraktur vertebra dengan kelumpuhan (penderita tidak
sadar akan nyeri perutnya dan gejala defans otot dan nyeri
tekan/lepas tidak ada).
 Inspeksi abdomen bagian depan dan belakang untuk adanya
trauma tajam, tumpul, dan adanya perdarahan internal.
 Auskultasi bising usus, perkusi abdomen untuk mendapatkan
nyeri lepas (ringan). Palpasi abdomen untuk nyeri tekan, defans
muskuler, nyeri lepas yang jelas, atau uterus yang hamil.

27
Bila ragu-ragu akan adnya perdarahan intra-abdominal dapat
dilakukan pemeriksaan DPL (diagnostic peritoneal lavage),
ataupun USG.
Ingat bahwa pada perforasi organ berlumen misalnya usus halus
gejala mungkin tidak akan nampak dengan segera, karena itu
memerlukan re-evaluasi berulang kali.
Pengelolaan : transfer penderita ke ruang operasi bila diperlukan
6. Pelvis
Cedera pada pelvis yang berat, akan nampak pada pemeriksaan
fisik (pelvis menjadi tidak stabil). Pada cedera berat ini
kemungkinan penderita akan masuk dalam keadaan syok, yang
harus segera diatasi. Bila ada indikasi pasang PASG/ gurita
untuk control perdarahan dari fraktur pelvis.
7. Ekstermitas
Pemeriksaan dilakukan dengan ‘look-feel-move’. Pada saat
inspeksi, jangan lupa untuk memeriksa adanyaluka dekat daerah
fraktur (fraktur terbuka), pada saat palpasi jangan lupa untuk
memeriksa denyut nadi distal dari fraktur, pada saat
menggerakkan, jangan dipaksakan bila jelas fraktur.
Sindroma kompartemen (tekanan intra kompartemen dalam
ekstrimitas meninggi sehingga membahayakan aliran darah)
mungkin luput terdiagnosis pada penderita dengan penurunan
kesadaran atau kelumpuhan.
8. Bagian punggung
Memeriksa punggung dilakukan dengan ‘log roll’ (memiringkan
penderita dengan tetap menjaga kesegarisan tubuh). Pada saat
ini dapat dilakukan pemeriksaan punggung.

7. Re-evaluasi Penderita
Penilaian ulang penderita dengan mencatat, melaporkan setiap
perubahan pada kondisi penderita dan respon terhadap
resusitasi. Monitoring dari tanda vital dan jumlah urin mutlak
dilakukan. Jangan lakukan pemeriksaan yang tidak perlu apabila
penderita akan dirujuk ke RS lainnya

28
8. Terapi Definitif dan Rujukan
Terapi definitive pada umunya merupakan porsi dari dokter
spesialis bedah. Tugas dokter yang melakukan penanganan
pertama adalah untuk melakukan resusitasi dan stabilisasi serta
menyiapkan penderita untuk dilakukannya tindakan definitive
atau untuk dirujuk. Proses rujukan harus sudah mulai saat alasan
untuk merujuk ditemukan, karena menunda rujukan akan
meninggikan morbiditas dan mortalitas penderita.
Keputusan untuk merujuk penderita didasarkan atas data
fisiologis penderita, cedera anatomis, mekanisme perlukaan,
penyakit penyerta serta faktor-faktor yang dapat mengubah
prognosis. Idealnya dipilih rumah sakit terdekat yang cocok
dengan kondisi penderita.
Pertimbangkan perlunya diadakan pemeriksaan tambahan:
seperti foto tambahan, CT scan, USG, endoskopi, dsb.
Tentukan indikasi rujukan, prosedur rujukan, kebutuhan
penderita selama perjalanan, dan cara komunikasi dengan
dokter yang akan dirujuk.

B. Konsep Dasar Multiple Trauma


1. Definisi Multiple Trauma
Trauma yang terjadi pada kecelakaan lalu-lintas memiliki banyak bentuk,
tergantung dari organ apa yang dikenai. Trauma semacam ini, secara
lazim, disebut sebagai trauma benda tumpul ( trauma multiple). Ada tiga
trauma yang paling sering terjadi dalam peristiwa ini, yaitu cedera kepala,
trauma thorax ( dada) dan fraktur ( patah tulang).

Trauma pertama yaitu trauma kepala, terutama jenis berat, merupakan


trauma yang memiliki prognosis (harapan hidup) yang buruk. Hal ini
disebabkan oleh karena kepala merupakan pusat kehidupan seseorang.
Di dalam kepala terdapat otak yang mengatur seluruh aktivitas manusia,
mulai dari kesadaran, bernapas, bergerak, melihat, mendengar, mencium
bau, dan banyak lagi fungsinya. Jika otak terganggu, maka sebagian atau

29
seluruh fungsi tersebut akan terganggu. Gangguan utama yang paling
sering terlihat adalah fungsi kesadaran. Itulah sebabnya, trauma kepala
sering diklasifikasikan berdasarkan derajat kesadaran, yaitu trauma
kepala ringan, sedang, dan berat. Makin rendah kesadaran seseorang
makin berat derajat trauma kepala.

Trauma kedua yang paling sering terjadi dalam sebuah kecelakaan


adalah fraktur (patah tulang). Fraktur atau patah tulang adalah
terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya disebabkan oleh
tekanan atau rudapaksa. Fraktur dibagi atas fraktur terbuka, yaitu jika
patahan tulang itu menembus kulit sehingga berhubungan dengan udara
luar, dan fraktur tertutup, yaitu jika fragmen tulang tidak berhubungan
dengan dunia luar.

Secara umum, fraktur terbuka bisa diketahui dengan melihat adanya


tulang yang menusuk kulit dari dalam, biasanya disertai perdarahan.
Adapun fraktur tertutup, bisa diketahui dengan melihat bagian yang
dicurigai mengalami pembengkakan, terdapat kelainan bentuk berupa
sudut yang bisa mengarah ke samping, depan, atau belakang. Selain itu,
ditemukan nyeri gerak, nyeri tekan dan perpendekan tulang.

2. Etiologi Multiple Trauma


Untuk mengetahui mengapa dan bagaimana tulang mengalami
kepatahan, kita harus mengetahui keadaan fisik tulang dan keadaan
trauma yang dapat menyebabkan tulang patah. Tulang kortikal
mempunyai struktur yang dapat menahan kompresi dan tekanan
memuntir. Kebanyakan fraktur terjadi karena kegagalan tulang menahan
tekanan terutama tekanan membengkok, memutar dan tarikan. 11,12
Trauma dapat bersifat:
a) Trauma langsung
Trauma langsung menyebabkan tekanan langsung pada tulang dan
terjadi fraktur pada daerah tekanan.
b) Trauma tidak langsung

30
Disebut trauma tidak langsung bila trauma dihantarkan ke daerah yang
lebih jauh dari daerah fraktur misalnya jatuh dengan tangan ekstensi
dapat menyebabkan fraktur pada klavikula.
3. Klasifikasi Multiple Trauma
Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis
dikenal 3 deskripsi klasifikasi yaitu berdasarkan mekanisme, berat dan
morfologi.
Berdasarkan mekanismenya cedera kepala dibagi atas:
a. Cedera kepala tumpul
Biasanya berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas, jatuh atau
pukulan benda tumpul. Pada cedera tumpul terjadi akselerasi dan
deselerasi yang cepat menyebabkan otak bergerak di dalam rongga
cranial dan melakukan kontak pada protuberans tulang tengkorak.
b. Cedera tembus
Biasanya disebabkan oleh luka tembak ataupun tusukan.
Berdasarkan morfologinya cedera kepala dikelompokkan menjadi:
a. Fraktur tengkorak
Fraktur tengkorak dapat terjadi pada atap dan dasar tengkorak.
Fraktur dapat berupa garis/linear, multipel dan menyebar dari satu titik
(stelata) dan membentuk fragmen-fragmen tulang (kominutif). Fraktur
tengkorak dapat berupa fraktur tertutup yang secara normal tidak
memerlukan perlakuan spesifik dan fraktur tertutup yang memerlukan
perlakuan untuk memperbaiki tulang tengkorak.
Fraktur basis tengkorak tidak selalu dapat dideteksi oleh foto
rontgen, karena terjadi sangat dasar. Tanda-tanda klinik yang dapat
membantu mendiagnosa adalah Battle sign (warna biru/ekhimosis
dibelakang telinga di atas os mastoid), ekimosis daerah kedua periorbital
(racoon eyes), Rhinorrhoe (liquor keluar dari hidung), Otorrhoe ( liquor
keluar dari telinga) , paresis nervus facialis dan kehilangan pendengaran.
pemulihan peresis nervus facialis lebih baik daripada paresis nervus VIII.
Fraktur dasar tengkorak yang menyilang kanalis karotikus dapat merusak
arteri carotis.
b. Lesi intrakranial4
Dapat berbentuk lesi fokal

31
- Perdarahan epidural Disebabkan oleh robeknya arteri meningea media
akibat fraktur tengkorak. Perdarahan epidural 0,5% dari cedera otak. Dari
CT scan didapatkan gambaran bikonveks atau menyerupai lensa
cembung.
- Perdarahan subdural
Disebabkan robeknya vena-vena kecil di permukaan korteks cerebri.
Perdarahan ini biasanyanya menutup seluruh permukaan hemisfer otak.
Prognosis perdarahan subdural lebih buruk daripada perdarahan
epidural.
- Kontusio dan peradarahan intraserebral
Kontusio serebri sering terjadi (20-30% dari cedera kepala berat). Area
tersering adalah frontal dan temporal. Dalam beberapa jam atau hari
kontusio dapat berubah menjadi perdarahan intraserebral yang
membutuhkan operasi.
- lesi difus
cedera otak difus yang erat biasanya diakibatkan hipoksia, iskemia dari
otak akibat syok yang berkepanjangan atau periode apneu yang terjadi
segera setelah trauma. Hasil CT scan dapat menunjukkan hasil yang
normal, edema otak dengan dengan batas area putih dan abu abu yang
kabur. Pada beberapa kasus yang jarang ditemukan bercak bercak
perdarahan diseluruh hemisfer otak yang dikenal dengan cedera akson
difus yang memberikan prognosis yang buruk.

c. Trauma Toraks

Trauma adalah penyebab kematian terbanyak diseluruh kota


besar didunia dan diperkirakan 16.000 kasus kematian akibat trauma per
tahun yang disebabkan oleh trauma toraks. Insiden penderita trauma
toraks di Amerika Serikat diperkirakan 12 penderita per seribu populasi
per hari dan menyebabkan kematian sebesar 20-25% . Canadian Study
dalam laporan penelitiannya selama 5 tahun pada "Urban Trauma Unit"
menyatakan bahwa insiden trauma tumpul toraks sebanyak 96.3% dari
seluruh trauma toraks, sedangkan sisanya sebanyak 3,7% adalah trauma
tajam. Penyebab terbanyak dari trauma tumpul toraks masih didominasi

32
oleh korban kecelakaan lalu lintas (70%). Trauma toraks harus ditangani
secepatnya karena dapat menyebabkan hipoksia otak dan jantung yang
berakibat fatal. Banyak penderita meninggal setelah sampai di rumah
sakit, dan banyak diantara kematian ini dapat dicegah. Hanya 10-15%
penderita trauma tumpul toraks yang memerlukan tindakan operasi, jadi
sebagian besar hanya memerlukan tindakan sederhana untuk menolong
korban dari ancaman kematian. Kematian sering disebabkan oleh
obstruksi jalan nafas, flail chest, pneumotoraks terbuka, hemotoraks
massif, tension pnemothorax dan tamponade jantung.

4. Patofisiologi Multiple Trauma


Bencana longsor merupakan salah satu penyebab terjadinya
multiple trauma. Multiple trauma terdiri dari beberapa trauma yang terjadi
pada pasien. Proses terjadinya trauma tergantung pada organ yang
mengalami trauma. Pada kasus , pasien mengalami 5 trauma. Ketika
terjadi trauma maka terjadi diskuntinuitas jaringan akan melepaskan
mediator penyebab nyeri seperti prostaglandin dan bradikinin yang
merangsangnyeri sehingga diangkatlah diagnosa keperawatan nyeri
akut. Trauma kepala didasari oleh hantaman yang terjadi pada ekstra
kranial yang mengakibatkan terputusnya kontinuitas otot vaskular yang
merupaka porth de entry terjadinya resiko infeksi.
Trauma servikal Terjadi pada C3- C5 yang akan mengakibatkan
kerusakan nervous fremikus dan hilangnya serangkaian otot pernafasan
dan otot intrakostal sehingga mengakibatkan kelumpuhan diafragma
yang menyababkan ventilsasi paru yang secara spontan menjadi tidak
efektif , disamping itu pasien mengalami trauma toraks , trauma ini dapat
mengakibatkan fraktur pada costa yang berdampak pada rusaknya organ
didalam rongga dada seperti halnya pada paru. Yang mengakibatkan
penurunan kemampuan paru untuk mepertukaran udara dan oksigen
darah. Sehingga paruparu kolaps sebagian atau komplit yang
berhubungan dengan terisinya rongga peleura oleh darah. Volume
diruangan pleura menjadi meningkat dan mengakibatkan peningkatan
tekanan intra toraks. Jika penekanan ini terjadi maka akan terjadi

33
disstress pernafasan,penurunan ekspansi paru ditandai dengan nafas
cepat dan pendek sehingga terjadinya ketidakefektifan pola nafas.
Trauma abdomen dapat terjadi karna tertusuk benda tajam seperti
ranting pohon, pisau yang mengakibatkan perdarahan. Selain itu luka
terbuka akibat tusukan benda tajam menjadi porth de entry
mengakibatkan resiko infeksi. Akibat luka terbuka terjadi kerusakan
integritas kulit.Trauma muskulo mengakibatkan kontinuitas tulang. Pada
trauma muskulo dapat terjadi perdarahan Ketika terjadi perdarahan maka
banyak darah yang keluar sehingga cardiac output menjadi
munurun(hipotensi) jantung memompa darah sedikit dan sangat cepat
(takikardi) karna untuk memenuhi kebutuhan oksigen keseluruh tubuh
sehingga terjadi penurunan perfusi jaringan perifer yang mengakibatkan
ketidakefektifan perfusi jaringan perifer , selain itu bahaya utama dari
perdarahan dan tusukan terhadap organ mengakibatkan kekuarangan
volume cairan . Dari tauma ini juga mengakibatkan perubahan jaringan
sekitar yang mengakibatkan peradangan ketika terjadi peradangan akan
melepaskan mediator histamin yang menyebabkan vasodilatasi dan
peningkatan permeabilitas kapiler sehingga cairan akan berpindah dari
intra ke estra vaskular maka terjadi odem lokal dan perfusi jaringan perifer
akan menurun.

34
35
36
5. Manifestasi Klinis Mulitple Trauma
a. Laserasi, memar,ekimosis
b. Hipotensi
c. Tidak adanya bising usus
d. Hemoperitoneum
e. Mual dan muntah
f. Adanya tanda “Bruit” (bunyi abnormal pd auskultasi pembuluh darah,
biasanya pada arteri karotis)
g. Nyeri
h. Pendarahan
i. Penurunan kesadaran
j. Sesak
k. Tanda Kehrs adalah nyeri di sebelah kiri yang disebabkan oleh
perdarahan limfa. Tanda ini ada saat pasien dalam posisi recumbent.
l. Tanda Cullen adalah ekimosis periumbulikal pada perdarahan peritoneal
m. Tanda Grey-Turner adalah ekimosis pada sisi tubuh ( pinggang ) pada
perdarahan retroperitoneal
n. Tanda Coopernail adalah ekimosis pada perineum,skrotum atau labia
pada fraktur pelvis
o. Tanda Balance adalah daerah suara tumpul yang menetap pada
kuadran kiri atas ketika dilakukan perkusi pada hematoma limfe
6. Pemeriksaan diagnostik Multiple Trauma
a. Thorax
1) Anamnesa dan Pemeriksaan Fisik
Anamnesa yang terpenting adalah mengetahui mekanisme dan
poladari trauma, seperti jatuh dari ketinggian, kecelakaan lalu lintas,
kerusakandari kendaraan yang ditumpangi, kerusakan stir mobil /air
bag dan lainlain.
2) Radiologi : Foto Thorax (AP)
No Pemeriksaan ini masih tetap mempunyai nilai diagnostik
pada pasien dengan trauma toraks. Pemeriksaan klinis harus selalu
dihubungkandengan hasil pemeriksaan foto toraks. Lebih dari 90%

37
kelainan seriustrauma toraks dapat terdeteksi hanya dari
pemeriksaan foto toraks.
3) Analisa Gas Darah Arteri (GDA)
Digunakan sebagai pegangan dalam penanganan pasien
pasien penyakit berat yang akut dan menahun.
Pemeriksaan gasdarah dipakai untuk menilai keseimbangan asam
basa dalam tubuh, kadaroksigen dalam darah, serta kadar
karbondioksida dalam darah.Pemeriksaan analisa gas darah
dikenal juga dengan nama pemeriksaan ASTRUP, yaitu suatu
pemeriksaan gas darah yang dilakukan melalui darah arteri. Lokasi
pengambilan darah yaitu: Arteri radialis, A. brachialis, A.
Femoralis.Didalam tabel berikut ini dapat dilihat nilai normal dari
GDA dan pH,serta kemungkinan diagnosis terhadap perubahan
nilai dari hasil pemeriksaannya :
Hasil normal. Hasil analisa gas darah dikatakan normal jika:
a) pH darah arteri: 7,38-7,42.
b) Tingkat penyerapan oksigen (SaO2): 94-100%.
c) Tekanan parsial oksigen (PaO2): 75-100 mmHg.
d) Tekanan parsial karbon dioksida (PaCO2): 38-42 mmHg.
e) Bikarbonat (HCO3): 22-28 mEq/L.
Pemeriksaan AGD dan pH tidak hanya dilakukan untuk
penegakandiagnosis penyakit tertentu, namun pemeriksaan ini juga
dapat dilakukandalam rangka pemantauan hasil / respon terhadap
pemberian terapi /intervensi tertentu kepada klien dengan keadaan
nilai AGD dan pH yangtidak normal baik Asidosis maupun
Alkaliosis, baik Respiratori maupunMetabolik. Dari pemantauan
yang dilakukan dengan pemeriksaan AGDdan pH, dapat diketahui
ketidakseimbangan sudah terkompensasi atau belum / tidak
terkompensasi.Pada tabel berikut ini dapat dilihat acuan perubahan
nilai yangmenunjukkan kondisi sudah / tidak terkompensasi.

38
pH darah Bikarbonat PaCO2 Kondisi Penyebab Umum

Asidosis Gagal ginjal, syok,


<7,4 Rendah Rendah
metabolik ketoasidosis diabetik.

Alkalosis Muntah yang bersifat


>7,4 Tinggi Tinggi
metabolik kronis, hipokalemia.

Penyakit paru,
Asidosis termasuk pneumonia atau
<7,4 Tinggi Tinggi
respiratorik penyakit paru obstruktif
kronis (COPD).

Alkalosis
>7,4 Rendah Rendah Saat nyeri atau cemas.
respiratorik

4) CT-Scan
Sangat membantu dalam membuat diagnosa pada trauma tumpultoraks,
seperti fraktur kosta, sternum dan sterno clavikular dislokasi.Adanya retro
sternal hematoma serta cedera pada vertebra torakalis dapatdiketahui dari
pemeriksaan ini. Adanya pelebaran mediastinum pada pemeriksaan
toraks foto dapat dipertegas dengan pemeriksaan ini sebelumdilakukan
Aortografi.
5) Ekhokardiografi
Transtorasik dan transesofagus sangat membantu dalammenegakkan
diagnosa adanya kelainan pada jantung dan esophagus.Hemoperikardium,
cedera pada esophagus dan
aspirasi,adanyacedera pada dinding jantung ataupun sekat serta katub ja
ntung dapat diketahuisegera. Pemeriksaan ini bila dilakukan oleh
seseorang yang ahli,kepekaannya meliputi 90% dan spesifitasnya hampir
96%.

6) EKG (Elektrokardiografi)

39
Sangat membantu dalam menentukan adanya komplikasi yangterjadi
akibat trauma tumpul toraks, seperti kontusio jantung pada trauma.Adanya
abnormalitas gelombang EKG yang persisten, gangguankonduksi,
tachiaritmia semuanya dapat menunjukkan kemungkinanadanya kontusi
jantung. Hati hati, keadaan tertentu seperti hipoksia,gangguan elektrolit,
hipotensi gangguan EKG menyerupai keadaan sepertikontusi jantung.
7) Angiografi
Gold Standard’ untuk pemeriksaan aorta torakalis dengan dugaan
adanya cedera aorta pada trauma tumpul toraks.
8) Torasentesis : menyatakan darah/cairan serosanguinosa.
9) Hb (Hemoglobin) : Mengukur status dan resiko pemenuhan
kebutuhanoksigen jaringan tubuh.
b. Kepala
1)gold standar untuk morfologi cedera kepala digunakan CT-scan.
2)tes glukosa sewaktu
3)Fluoresence: letak lesi
4)Hb, diferensiasi sel, elektrolit,
5)leukositosis >14000 menunjukkan contusio
6)ureum dan kreatinin: untumeninjau pemberian kreatinin
7)analisis gas darah apabila terjadi penurunan kesadaranmenilai tanda
eksternal misalnya laserasi.
Menilai tanda tanda seperti, hemtoma,racoon eye,keluarnya
cerebrospinal, refleks pupil dan pemeriksaan GCS.
c. Abdomen
1) Trauma penetrasi
Bila ada dugaan bahwa ada luka tembus dinding abdomen, seorang ahli
bedah yang berpengalaman akan memeriksa lukanya secara lokal untuk
menentukan dalamnya luka. Pemeriksaan ini sangat berguna bila ada luka
masuk dan luka keluar yang berdekatan.
2) Skrinning pemeriksaan rongten.
Foto rongten torak tegak berguna untuk menyingkirkan kemungkinan
hemo atau Pneumotoraks atau untuk menemukan adanya udara
intraperitonium. Serta rongten abdomen sambil tidur (supine) untuk
menentukan jalan peluru atau adanya udara retroperitoneum.

40
a) IVP atau Urogram Excretory dan CT Scanning
Ini di lakukan untuk mengetauhi jenis cedera ginjal yang ada.
b) Uretrografi
Di lakukan untuk mengetauhi adanya rupture uretra.
c) Sistografi
Ini di gunakan untuk mengetauhi ada tidaknya cedera pada kandung
kencing.
d) Trauma non-penetrasi.
Penanganan pada trauma benda tumpul di rumah sakit.Pengambilan
contoh darah dan urine
e) Darah di ambil dari salah satu vena permukaan untuk pemeriksaan
laboratorium rutin, dan juga untuk pemeriksaan laboratorium khusus
seperti pemeriksaan darah lengkap, potasium, glukosa, amilase.
f) Pemeriksaan Rongten
Pemeriksaan rongten servikal lateral, toraks anteroposterior dan pelvis
adalah pemeriksaan yang harus di lakukan pada penderita dengan multi
trauma, mungkin berguna untuk mengetauhi udara ekstraluminal di
retroperitoneum atau udara bebas di bawah diafragma, yang keduanya
memerlukan laparotomi segera.
g) Study kontras Urologi dan Gastrointestinal
Dilakukan pada cedera yang meliputi daerah duodenum, kolon ascendens
atau decendens dan dubur.
7. Penatalaksanaan Multiple Trauma
a. Trauma kepala dan leher
Pemeriksaan meliputi :
1. Inspeksi adanya laserasi, kontusio, dan trauma dari zat panas.
2. Fracture
3. Evaluasi ulang pupil
4. Fungsi nervuse cranial
5. Perdarahan, penetrating injury, dislokasi, pemakaian lensa kontak
6. Inspeksi telinga dan hidung untuk mencari adanya CSF leakage
7. Inspeksi mulut untuk mencari perdarahan dan CSF
Penatalaksanaan medis
1. Pertahankan air way

41
2. Control perdarahan dengan menggunakan kassa steril
3. Hindari brain injury skunder
4. Lepaskan lensa kontak
b. Leher
Pemeriksaan meliputi :
1. Inspeksi adanya trauma tumpul dan tajam, deviasi trachea,
penggunakan otot prnafasan tambahan
2. Palpasi nyeri tekan, deformitas, pembengkakan, emfisema
subkutaneus, deviasi trachea.
3. Periksa arteri karotis
4. Lakukan X ray lateral cross table cervical spine
Penatalaksanaan
1. Pertahankan imobilisasi cervical spine in line yang adekuat.
2. Pasang neck-collar
c. Trauma dada
Pemeriksaan
1. Inspeksi trauma tumpul dan tajam, penggunaan otot pernafasan
tambahan
2. Auskultasi suara nafas dan jantung
3. Perkusi dada dull atau resonan
Penatalaksanaan medis :
1. Pasang chest tube
2. Dekompresi menggunakan jarum venule 14 G pada ICS 2
3. Tutup luka pada dada dengan benar
d. Punggung
1. Lakukan log roll pada pasien untuk mengetahui adanya deformitas
tulang dan trauma tajam atau tumpul.
e. Trauma Abdomen
1. Inspeksi trauma tumpul dan tajam
2. Auskultasi bising usus
3. Perkusi 4 kuadran
4. Palpasi
5. Lakukan x ray pelvis
Penatalaksanaan medis :

42
Pemeriksaan klinis pada trauma multiple pada abdomen diindikasikan
pemeriksaan FAST ( focuses assessment using sonoghraphy in
trauma). CT scan abdomen atau peritoneal lavage.
Pindahkan pasien ke ruang oprasi jika diperlukan.

f. Ekstremitas
Rontgen untuk mengetahiu adanya fracture pada ekstremitas atas dan
bawah

8. Komplikasi Mutiple Trauma


1. Penyebab kematian dini (dalam 72 jam)
Hemoragi dan cedera kepala
Hemoragi dan cedera kepala adalah penyebab utama kematian dini
setelah trauma multiple. Untuk mencegah kehabisan darah, maka
perdarahan harus dikendalikan. Ini dapat diselesaikan dengan operasi
ligasi ( pengikatan ) dan pembungkusan, dan embolisasi dengan
angiografi. Hemoragi berkelanjutan memerlukan tranfusi multiple,
sehingga meningkatkan kecenderungan terjadinya ARDS dan DIC.
Hemoragi berkepanjangan mengarah pada syok hipovolemik dan
akhirnya terjadi penurunan perfusi organ.
2. Penyebab Lambat Kematian (Setelah 3 hari)
Sepsis
Sepsis adalah komplikasi yang sering terjadi pada trauma multiple.
Pelepasan toksin menyebabkan dilatasi pembuluh, yang mengarah
pada penggumpalan venosa yang mengakibatkan penurunan arus balik
vena. Pada mulannya, curah jantung mengikat untuk mengimbangi
penurunan tekanan vaskular sistemik. Akhirnya, mekanisme
kompensasi terlampaui dan curah jantung menurun sejalan dengan
tekanan darah dan perfusi.
Sumber infektif harus ditemukan dan di basmi. Diberikan
antibiotik, dilakukan pemeriksaan kultur, mulai dilakukan
pemeriksaan radiologik, operasi eksplorasi sering dilakukan. Abses

43
intra abdomen merupakan penyebab sepsis paling sering . Sebagaian
abses dapat keluarkan perkuatan, sedangkan yang lainnya memerlukan
pembedahan. Setelah pembedahan drainase abses abdomen, insisi di
biarkan terbuka, dengan drainase terpasang, untuk memungkinkan
penyembuhan dan menghindari kekambuhan. Sumber - sumber infeksi
lainnya yang perlu diperhatikan adalah selang invasif, saluran kemih,
dan paru - paru. Di perkirakan bahwa pemberian nutrisi yang dini
dapat menurunkan perkembangan sepsis dan gagal organ multipel.

C. Konsep Dasar Fraktur


1. Definisi Fraktur
Fraktur adalah setiap retak atau patah pada tulang yang utuh.
Kebanyakan fraktur disebabkan oleh trauma dimana terdapat tekanan
yang berlebihan pada tulang, baik berupa trauma langsung dan trauma
tidak langsung (Sjamsuhidajat & Jong, 2005).
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan
tulang atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa
(Mansjoer, 2007). Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh
trauma atau tenaga fisik (Price dan Wilson, 2006).
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan
tulang atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh
rudapaksa.Fraktur dapat dibagi menjadi :
1. Fraktur komplit adalah patah pada seluruh garis tengah tulang dan
biasanya megalami pergeseran (bergeser dari posisi normal).
2. Fraktur tidak komplit (inkomplit) adalah patah yang hanya terjadi pada
sebagian dari garis tengah tulang.
3. Fraktur tertutup (closed) adalah hilangnya atau terputusnya kontinuitas
jaringan tulang dimana tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang
dengan dunia luar atau bila jaringan kulit yang berada diatasnya/ sekitar
patah tulang masih utuh.
4. Fraktur terbuka (open/compound) adalah hilangnya atau terputusnya
jaringan tulang dimana fragmen-fragmen tulang pernah atau sedang

44
berhubungan dengan dunia luar.Fraktur terbuka dapat dibagi atas tiga
derajat, yaitu :
a. Derajat I
1) Luka < 1 cm
2) Kerusakan jaringan lunak sedikit, tak ada tanda luka remuk
3) Fraktur sederhana, transversal, oblik, atau kontinuitif ringan
4) Kontaminasi minimal
b. Derajat II
1) Laserasi > 1 cm
2) Kerusakan jaringan lunak, tidak luas, flap/avulse
3) Fraktur kontinuitif sedang
4) Kontaminasi sedang
c. Derajat III
1) Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas, meliputi struktur kulit, otot,
dan neurovascular serta kontaminasi derajat tinggi. Fraktur derajat III
terbagi atas :
a) IIIA : Fragmen tulang masih dibungkus jaringan lunak
b) IIIB : Fragmen tulang tak dibungkus jaringan lunak terdapat
pelepasan lapisan periosteum, fraktur kontinuitif
c) IIIC : Trauma pada arteri yang membutuhkan perbaikan agar bagian
distal dapat diperthankan, terjadi kerusakan jaringan lunak hebat.
2. Etiologi Fraktur
Fraktur disebabkan oleh trauma di mana terdapat tekanan yang
berlebihan pada tulang yang biasanya di akibatkan secara langsung dan
tidak langsung dan sering berhubungan dengan olahraga, pekerjaan atau
luka yang di sebabkan oleh kendaraan bermotor.
Penyebab patah tulang paling sering di sebabkan oleh trauma
terutama pada anak-anak, apabila tulang melemah atau tekanan ringan.
Menurut (Doenges, 2000) adapun penyebab fraktur antara lain :
1. Trauma Langsung, yaitu fraktur terjadi di tempat dimana bagian tersebut
mendapat ruda paksa misalnya benturan atau pukulan pada anterbrachi
yang mengakibatkan fraktur.
2. Trauma Tak Langsung, yaitu suatu trauma yang menyebabkan patah
tulang ditempat yang jauh dari tempat kejadian kekerasan.

45
3. Fraktur Patologik
Stuktur yang terjadi pada tulang yang abnormal (kongenital,peradangan,
neuplastik dan metabolik)
Menurut Carpenito (2000) adapun penyebab fraktur antara lain :
1. Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya
kekerasan. Fraktur demikian demikian sering bersifat fraktur terbuka
dengan garis patah melintang atau miring.
2. Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh
dari tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian
yang paling lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan.
3. Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan dapat
berupa pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi
dari ketiganya, dan penarikan.
Etiologi dari fraktur menurut Price dan Wilson (2006) ada 3 yaitu :
1. Cidera atau benturan
2. Fraktur patologik
Fraktur patologik terjadi pada daerah-daerah tulang yang telah menjadi
lemah oleh karena tumor, kanker dan osteoporosis.
3. Fraktur beban
Fraktur beban atau fraktur kelelahan terjadi pada orang- orang yang
baru saja menambah tingkat aktivitas mereka, seperti baru di terima
dalam angkatan bersenjata atau orang- orang yang baru mulai latihan
lari.
3. Patofisiologi
Patah tulang biasanya terjadi karena benturan tubuh, jatuh atau
trauma. Baik itu karena trauma langsung misalnya: tulang kaki terbentur
bemper mobil, atau tidak langsung misalnya: seseorang yang jatuh dengan
telapak tangan menyangga. Juga bisa karena trauma akibat tarikan otot
misalnya : patah tulang patela dan olekranon, karena otot trisep dan bisep
mendadak berkontraksi. (Doenges, 2000).

46
Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi di sekitar tempat
patah dan ke dalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut, jaringan lunak juga
biasanya mengalami kerusakan. Reaksi peradangan biasanya timbul hebat
setelah fraktur. Sel-sel darah putih dan sel mast berakumulasi menyebabkan
peningkatan aliran darahketempat tersebut. Fagositosis dan pembersihan
sisa-sisa sel mati dimulai. Di tempat patah terbentuk fibrin (hematoma fraktur)
dan berfungsi sebagai jala-jala untuk melekatkan sel-sel baru. Aktivitas
osteoblast terangsang dan terbentuk tulang baru imatur yang disebut callus.
Bekuan fibrin direabsorbsi dan sel-sel tulang baru mengalami remodeling
untuk membentuk tulang sejati (Carpenito, 2000).
Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut saraf yang
berkaitan dengan pembengkakan yg tidak ditangani dapat menurunkan
asupan darah ke ekstremitas dan mengakibatkan kerusakan saraf perifer.
Bila tidak terkontrol pembengkakan dapat mengakibatkan peningkatan
tekanan jaringan, oklusi darah total dapat berakibat anoksia jaringanyg
mengakibatkan rusaknya serabut saraf maupun jaringan otot. Komplikasi ini
dinamakan sindrom kompartemen (Brunner & suddarth, 2002).

47
PATHWAY FRAKTUR

Trauma langsung Trauma tdk langsung Kondisi patologis

Fraktur

Diskontinuitas tulang Pergeseran fragmen tlg Nyeri Akut

Perubahan jaringan sekitar Kerusakan fragmen tlg

Pergeseran fragmen tulang Spasme otot Tekanan sumsum tulang


lbh tinggi dari kapiler
Deformitas Peningkatan tek kapiler
Melepaskan katekolamin

Ggn fungsi ekstermitas Pelepasan histamin Metabolisme asam lemak

Hambatan mobilitas fisik Protein plasma hilang Bergabung dg trombosit

Laserasi kulit Edema Emboli

Penekanan pembuluh Menyumbat pembuluh


darah darah

Mengenai jaringan kutis dan sub


Kerusakan integritas Ketidakefektifan perfusi
kutis
kulit jaringan perifer
Perdarahan
Resiko Infeksi
Kehilangan volume cairan

Resiko syok
(hipovolemik)

48
4. Manifestasi Fraktur
a. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang
diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai
alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen
tulang.
b. Deformitas dapat disebabkan pergeseran fragmen pada eksremitas.
Deformitas dapat di ketahui dengan membandingkan dengan ekstremitas
normal. Ekstremitas tidak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi
normal otot bergantung pada integritas tulang tempat melengketnya obat.
c. Pemendekan tulang, karena kontraksi otot yang melekat diatas dan
dibawah tempat fraktur. Fragmen sering saling melingkupi satu sama lain
sampai 2,5 sampai 5,5 cm
d. Krepitasi yaitu pada saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba
adanya derik tulang. Krepitasi yang teraba akibat gesekan antar fragmen
satu dengan lainnya.
Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi akibat
trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini baru terjadi
setelah beberapa jam atau beberapa hari setelah cedera.
5. Pemeriksaan Penunjang
a. Radiologi :
X-Ray dapat dilihat gambaran fraktur, deformitas dan metalikment.
Venogram/anterogram menggambarkan arus vascularisasi. CT scan untuk
mendeteksi struktur fraktur yang kompleks.
b. Laboratorium :
Pada fraktur test laboratorium yang perlu diketahui : Hb, hematokrit sering
rendah akibat perdarahan, laju endap darah (LED) meningkat bila
kerusakan jaringan lunak sangat luas. Pada masa penyembuhan Ca dan P
mengikat di dalam darah.
6. Penatalaksanaan Fraktur
a. Penatalaksanaan kedaruratan

49
Fraktur biasanya menyertai trauma. Untuk itu sangat penting untuk
melakukan pemeriksaan terhadap jalan napas (airway), proses
pernafasan (breathing) dan sirkulasi (circulation), apakah terjadi syok
atau tidak. Bila sudah dinyatakan tidak ada masalah lagi, baru lakukan
anamnesis dan pemeriksaan fisis secara terperinci. Waktu tejadinya
kecelakaan penting ditanyakan untuk mengetahui berapa lama sampai di
RS, mengingat golden period 1-6 jam. Bila lebih dari 6 jam, komplikasi
infeksi semakin besar. Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis secara
cepat, singkat dan lengkap. Kemudian lakukan foto radiologis.
Pemasangan bidai dilakukan untuk mengurangi rasa sakit dan mencegah
terjadinya kerusakan yang lebih berat pada jaringan lunak selain
memudahkan proses pembuatan foto.
Segera setelah cedera, pasien berada dalam keadaan bingung, tidak
menyadari adanya fraktur dan berusaha berjalan dengan tungkai yang
patah, maka bila dicurigai adanya fraktur, penting untuk mengimobilisasi
bagain tubuh segara sebelum pasien dipindahkan. Bila pasien yang
mengalami cedera harus dipindahkan dari kendaraan sebelum dapat
dilakukan pembidaian, ekstremitas harus disangga diatas dan dibawah
tempat patah untuk mencegah gerakan rotasi maupun angulasi. Gerakan
fragmen patahan tulang dapat menyebabkan nyeri, kerusakan jaringan
lunak dan perdarahan lebih lanjut.
Nyeri sehubungan dengan fraktur sangat berat dan dapat dikurangi
dengan menghindari gerakan fragmen tulang dan sendi sekitar fraktur.
Pembidaian yang memadai sangat penting untuk mencegah kerusakan
jaringan lunak oleh fragmen tulang.
Daerah yang cedera diimobilisasi dengan memasang bidai sementara
dengan bantalan yang memadai, yang kemudian dibebat dengan
kencang. Imobilisasi tulang panjang ekstremitas bawah dapat juga
dilakukan dengan membebat kedua tungkai bersama, dengan ektremitas
yang sehat bertindak sebagai bidai bagi ekstremitas yang cedera. Pada
cedera ektremitas atas, lengan dapat dibebatkan ke dada, atau lengan
bawah yang cedera digantung pada sling. Peredaran di distal cedera
harus dikaji untuk menntukan kecukupan perfusi jaringan perifer.

50
Pada fraktur terbuka, luka ditutup dengan pembalut bersih (steril) untuk
mencegah kontaminasi jaringan yang lebih dalam. Jangan sekali-kali
melakukan reduksi fraktur, bahkan bila ada fragmen tulang yang keluar
melalui luka. Pasanglah bidai sesuai yang diterangkan diatas.
Pada bagian gawat darurat, pasien dievaluasi dengan lengkap. Pakaian
dilepaskan dengan lembut, pertama pada bagian tubuh sehat dan
kemudian dari sisi cedera. Pakaian pasien mungkin harus dipotong pada
sisi cedera. Ektremitas sebisa mungkin jangan sampai digerakkan untuk
mencegah kerusakan lebih lanjut.
b. Penatalaksanaan bedah ortopedi
Banyak pasien yang mengalami disfungsi muskuloskeletal harus
menjalani pembedahan untuk mengoreksi masalahnya. Masalah yang
dapat dikoreksi meliputi stabilisasi fraktur, deformitas, penyakit sendi,
jaringan infeksi atau nekrosis, gangguan peredaran darah (mis; sindrom
komparteman), adanya tumor. Prpsedur pembedahan yang sering
dilakukan meliputi Reduksi Terbuka dengan Fiksasi Interna atau disingkat
ORIF (Open Reduction and Fixation). Berikut dibawah ini jenis-jenis
pembedahan ortoped dan indikasinya yang lazim dilakukan :
1) Reduksi terbuka : melakukan reduksi dan membuat kesejajaran tulang
yang patah setelah terlebih dahulu dilakukan diseleksi dan pemajanan
tulang yang patah

2) Fiksasi interna : stabilisasi tulang patah yang telah direduksi dengan


skrup, plat, paku dan pin logam

3) Graft tulang : penggantian jaringan tulang (graft autolog maupun


heterolog) untuk memperbaiki penyembuhan, untuk menstabilisasi atau
mengganti tulang yang berpenyakit.

4) Amputasi : penghilangan bagian tubuh

5) Artroplasti : memperbaiki masalah sendi dengan artroskop (suatu alat


yang memungkinkan ahli bedah mengoperasi dalamnya sendi tanpa
irisan yang besar) atau melalui pembedahan sendi terbuka

6) Menisektomi : eksisi fibrokartilago sendi yang telah rusak

51
7) Penggantian sendi : penggantian permukaan sendi dengan bahan logam
atau sintetis

8) Penggantian sendi total : penggantian kedua permukaan artikuler dalam


sendi dengan logam atau sintetis

9) Transfer tendo : pemindahan insersi tendo untuk memperbaiki fungsi

10) Fasiotomi : pemotongan fasia otot untuk menghilangkan konstriksi otot


atau mengurangi kontraktur fasia.

7.Komplikasi Fraktur

Komplikasi Awal

a. Kerusakan Arteri

Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya nadi,
CRT menurun, cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin
pada ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan emergensi splinting,
perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan.

b. Kompartement Syndrom

Kompartement Syndrom merupakan komplikasi serius yang terjadi


karena terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam
jaringan parut. Ini disebabkan oleh oedema atau perdarahan yang
menekan otot, saraf, dan pembuluh darah. Selain itu karena tekanan dari
luar seperti gips dan embebatan yang terlalu kuat.

c. Fat Embolism Syndrom

Fat Embolism Syndrom (FES) adalah komplikasi serius yang sering


terjadi pada kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi karena sel-sel
lemak yang dihasilkan bone marrow kuning masuk ke aliran darah dan
menyebabkan tingkat oksigen dalam darah rendah yang ditandai dengan
gangguan pernafasan, tachykardi, hypertensi, tachypnea, demam.

d. Infeksi

52
Sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada
trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke
dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga
karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.

e. Avaskuler Nekrosis

Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau
terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan diawali dengan
adanya Volkman’s Ischemia.

f. Shock

Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya


permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi.
Ini biasanya terjadi pada fraktur.

2. Komplikasi Dalam Waktu Lama

a. Delayed Union
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai
dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini
disebabkan karena penurunan supai darah ke tulang.
b. Nonunion
Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkkonsolidasi dan
memproduksi sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9
bulan. Nonunion ditandai dengan adanya pergerakan yang berlebih pada
sisi fraktur yang membentuk sendi palsu atau pseudoarthrosis. Ini juga
disebabkan karena aliran darah yang kurang.
c. Malunion
Malunion merupakan penyembuhan tulang ditandai dengan
meningkatnya tingkat kekuatan dan perubahan bentuk (deformitas).
Malunion dilakukan dengan pembedahan dan reimobilisasi yang baik.

53
D. Asuhan Keperawatan

1) Pengkajian
a. Data Umum

1.Namainisialklien :Tn.C

2.Umur :-

3.Alamat :-

4.Agama :-

5.TanggalmasukRS/RB :-

6.NomorRekamMedis :-

7.Bangsal :-

b. pengkajian Primer

1.Airway (jalan nafas)

Terdapat jejas didaerah leher,trakea deviasi kearah kanan dan terdapat


distensi vena jugularis.

2.Breathing

a. Inspeksi (bentukdada/simetris,polanafas,bantuannafas,dll) Terdapat jejas


didaderah thorax sinistra dengan pengembangan dada terlihat tidak
simetris, trakea deviasi kearah kanan,dan pernapasan cepat dan dangkal
dengan RR40x/menit.

b.Palpasi (totalfremitus,dll)

Terdapat nyeri tekan apa bila dipalpasi karena terdapat deviasi dijalan
napas yaitu ditrakea dan jejas didaerah dada

54
c.Perkusi (pembesaranparu,dll)

Tidak Terkaji

d.Auskultasi (suaranafas)

Tidak Terkaji

3.Circulation

a.Vitalsign:

1)Tekanandarah :90/40mmHg

2)Nadi :130x/menit

3)Suhu :-(Normalnya36,50-37,50C)

4)Respirasi :40x/menit

b.Capilarryrefill :- (Normalnya<2detik)

c.Akral :(Normalnya hangat)

4.Disability

a.GCS :Tidak sadarkandiri/koma

E:1M:1V:1

b.Pupil : (normlanya pupil kontraksi saat diberi rangsang


cahaya.)

c.Gangguan motorik :Ekstremitas kiri bawah,terdapat deformitas dan


bengkak pada tibia sinistra dengan perdarahan yang cukup banyak(-
+500cc).

d.Gangguansensorik :-

c. Pengkajian sekunder

1.HEALTH PROMOTION

55
a.Kesehatan Umum:

1)Alasan masuk rumah sakit:

Terjadi longsor diDesa N tebing setinggi20 meter akibat guyuran hujan yang
sangat lebat,Tn.C terkena reruntuhan dengan beberapa luka
ditubuhnya,kondisi tidak sadarkan diri dan terdapat luka terbuka daerah
kepala,jejas didaerah leher dan dada serta deformitastibia sinistra.

b.Keluhan Utama

Klien mengalami trauma kepala

c.Riwayat Kesehatan Sekarang

Klien mengalami luka terbuka didaerah kepala temporoparietal sinistra,luka


disertai dengan hematom dibagian frontal yang cukup besar.Didaerah leher
juga terdapat jejas akibat hantaman benta tumpul yang megkibatkan jejas
pada leher,trakea mengalami deviasi kearah kanan dan disertai dengan
distensi venajugularis ,nadi 130x/menit. Klien pun mengalami jejas pada
thorax sinistra dengan pengembangan dada tidak simetris dan pernapasan
klien cepat dan dangkal(40x/menit), klien pun mengalamideformitas dan
bengkak pada tibia sinistra dengan perdarahan yang cukup banyak(-
+500cc) dan TD 90/40mmHg. Selain itu terdapat serpihan kayu yang
tertancap dibagian abdomen.

d. Riwayat Kesehatan Dahulu (penyakit,kecelakaan,dll) Tertimbun


reruntuhan longsor

e. Riwayat Kesehatan Keluarga

Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan


salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, sepertidiabetes,
osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan, dan kanker
tulang yang cenderung diturunkan secara genetik

f. Riwayat Psikososial

56
Merupakan respon emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan
peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya
dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga atau pun dalam
masyarakat.

a. Nutrition
a. A (Antropometri) meliputi BB,TB,LK,LD,LILA,IMT:
1)BB biasanya : Tidak diketahuidanBBsekarang:Tidakdiketahui.

2)Lingkar perut : Tidak diketahui

3)Lingkar kepala : Tidak diketahui

4)Lingkar dada : Tidak diketahui

5)Lingkar lengan atas : Tidak diketahui

6)IMT : Tidak diketahui

b. B (Biochemical) meliputi data laboratorium yang abormal :


c. C (Clinical) meliputi tanda-tanda klinis rambut,turgorkulit,mukosa
bibir,conjungtivaanemis/tidak:
d. D (Diet) meliputi nafsu,jenis,frekuensi makanan yang diberikan selama
dirumahsakit:
e. E (Enegy) meliputi kemampuan klien dalam beraktifitas selama di
rumahsakit:
f. F (Factor) meliputi penyebab masalah nutrisi:(kemampuan menelan,
mengunyah,dll)
g. Penilaian Status Gizi
h. Pola asupan cairan
i. Cairan masuk
j. Cairan keluar

k. Penilaian Status Cairan(balancecairan)

l. Pemeriksaan Abdomen

57
Inspeksi : Terdapat serpihan kayu yang tertancap dibagian abdomen

Auskultasi : Normalnya terdengar suara bising usus

Palpasi : Ada nyeri tekan karna trauma akibat serpihan kayu yang
tertancap

Perkusi : Normalnya saat diperkusi suara abdomen timpani

E. ELIMINATION

a.Sistem Urinary

1)Pola pembuangan urine(Frekuensi,jumlah,ketidaknyamanan)

2)Riwayat kelainan kandung kemih

3)Polaurine(jumlah,warna,kekentalan,bau)

4)Distensi kandung kemih/retensiurine

b.Sistem Gastro intestinal

1)Pola eliminasi

2)Konstipasi dan faktor penyebab konstipasi

c.Sistem Integument

1)Kulit (integritaskulit/hidrasi/turgor/warna/suhu) Integritas kulit terganggu


akibat adanya luka

3.ACTIVITY/REST

a.Istirahat/tidur

1)Jamtidur :

58
2)Insomnia :

3)Pertolongan untuk merangsang tidur:

b.Aktivitas

1)Pekerjaan :

2)Kebiasaan olahraga :

3)ADL

a)Makan :

b)Toileting :

c)Kebersihan :

d)Berpakaian :

4)BantuanADL :

5)Kekuatanotot :

6)ROM :

7)Resikountukcidera:

c.Cardiorespons

1)Penyakitjantung :

2)Edemaesktremitas :

3)Tekanan vena jugularis :Distensivenajugularis

4)Pemeriksaanjantung

a)Inspeksi :Normlanya tidak ada pembesaran jantung

59
b)Palpasi :nadi130x/menit

c)Perkusi :Normlnya dullness

d)Auskultasi :Normlanya S1 terdengar lup danS2 terdengar dub serta tidak


terdengar suara jantung tambahan

d.Pulmonary respon

1)Penyakit sistem nafas : Trauma dada sinistra dan pengembangan dada


tidak simetris

2)Penggunaan O2 :tidak diketahui

3)Kemampuan bernafas :cepat dan dangkal

4)Gangguanpernafasan(batuk,suaranafas,sputum,dll) Tidak diketahui,


normlanya suara nafas terdengar vesikuler diseluruh lapangparu

5)Pemeriksaan paru-paru

a)Inspeksi :jejas didaerah thorax sinistra dengan pengembangan dada tidak


simetris,napas dangkal dan cepat

b)Palpasi :adanya nyeri tekan karena jejas

c)Perkusi :normalnya resonan/sonor

Auskultasi :normlanya suara nafas terdengar vesikuler diseluruh lapang


paru

4.PERCEPTION/COGNITION

a.Orientasi/kognisi

1)Tingkatpendidikan :Tidak diketahui

2)Kurangpengetahuan :Tidak diketahui

3)Pengetahuan tentang penyakit :Tidak diketahui

60
4)Orientasi(waktu,tempat,orang)

b.Sensasi/persepi

1)Riwayat penyakit jantung :Tidak diketahui

2)Sakit kepala :Trauma kepala

3)Penggunaan alat bantu :Tidak diketahui

4)Penginderaan :Tidak diketahui

c.Communication

1)Bahasa yang digunakan :Tidak diketahui

2)Kesulitan berkomunikasi :Tidak diketahui

5.SELFPERCEPTION

a.Self-concept/self-esteem

1)Perasaan cemas/takut :Tidak diketahui

2)Perasaan putus asa/kehilangan :Tidak diketahui

3)Keinginan untuk mencederai :Tidak diketahui

4)Adanya luka/cacat :Trauma kepala dengan luka terbuka disertai


hematom, jejas pada leher,deviasi trakea kearah kanan, distensi vena
jugularis, jejas daerah thorax sinistra,terdapat serpihan kayu yang tertancap
diabdomen dan terjadi deformitas pada tibia sinsitra.

6.ROLERELATIONSHIP

a.Peranan hubungan

1)Status hubungan :Tidak diketahui

2)Orang terdekat :Tidak diketahui

61
3)Perubahan konflik/peran :Tidak diketahui

4)Perubahan gaya hidup :Tidak diketahui

5)Interaksi dengan oranglain :Tidak diketahui

7.SEXUALITY

a.Identitas seksual

1)Masalah/disfungsiseksual : Tidak diketahui

8.COPING/STRESSTOLERANCE

a.Coping respon

1)Rasasedih/takut/cemas :Tidak diketahui

2)Kemampuan untuk mengatasi :Tidak diketahui

3)Perilaku yang menampakkan cemas :Tidakdiketahui

9.LIFEPRINCIPLES

a.Nilai kepercayaan

1)Kegiatan keagamaan yang diikuti :Tidak diketahui

2)Kemampuan untuk berpartisipasi :Tidak diketahui

3)Kegiatan kebudayaan :Tidakdiketahui

4)Kemampuan memecahkan masalah :Tidakdiketahui

10.SAFETY/PROTECTION

a.Alergi :Tidak diketahui

b.Penyakit auto imune :Tidak diketahui

c.Tandainfeksi :Resiko tinggi infeksi karena luka terbuka

d.Gangguan thermoregulasi :Tidak diketahui

62
e.Gangguan/resiko :immobilisasi,jatuh,disfungsi
neurovaskuler,pendarahan,syockhipovolemik.

11.COMFORT

a. Kenyamanan/Nyeri
1) Provokes (yang menimbulkan nyeri) : trauma dan fraktur
2) Quality (bagaimana kualitasnya) : Tidak diketahui
3) Regio (dimana letaknya) : kepala
temporoparietal ,leher, dadasinistra, perut dan tibiasinistra.
4) Scala(berapaskalanya) :Tidak diketahui
5) Time(waktu) :Tidak diketahui
b. Rasa tidak nyaman lainnya :Tidak diketahui
c. Gejala yang menyertai :Perdarahan

c. Data Labolatorium

Tidak diketahui

2) Analisa Data
No Data Etiologi Masalah

1. DS : - trauma thorax Ketidakefektifan


pola afas
DO : mengenai dinding paru
(paru dan rongga
- Terlihat jelas pleura)
daerah thorax
sinistra dengan Perdarahan rongga
pengembangan pleura
dada terlihat tidak
simetris Paru-paru kolaps
- TD 90/40 mmHg,
Nadi 130x/menit, Penurunan ekspansi
RR 40x/menit
paru
- Pernafasam
cepat dan Nafas cepat
dangkal
Ketidak efektifan pola
nafas

63
2. DS : Trauma abdomen
Syok hipovolemik
-
DO : Tertusuk benda tajam
- Pasien tampak tidak
sadar
- Tekanan darah 90/40 Perdarahan kurang
- Nadi takikardi 140x/ lebih 500cc
menit
Px mengalami
- Respirasi takipnea
hipotensi takikardi,
40x/menit
pucat, dingin, kolaps
Pasien mengalami vena leher
perdarahan
Syok hipovolemik

3. DS: - Cidera kepala Gangguan perfusi


DO: jaringan otak
- Adanya luka terbuka Cidera otak primer &
kurang lebih 5 cm di skunder
region
temporoparietal Kerusakan sel otak
sinistra
- Ada hematom Gangguan
dibagian frontal yang atutoregulasi
cukup besar
- TTV: Aliran darah ke otak
TD: 90/40 mmHg
N: 130 x/menit O2 gangguan
RR: 40 x/menit metabolisme

Asam laktat meningkat

Oedem otak

64
Gangguan perfusi
jaringan otak

4. DS : Bencana alam Resiko tinggi infeksi

Do : Kerusakan jaringan
- Luka terbuka
Mudahnya
kurang lebih 5 cm
mikroorganisme
didaerah kepala
masuk kedalam tubuh
diregion
temporoparietal Resiko tinggi infeksi
sinistra
- Terdapat
deformitas dan
bengkak di daerah
tibia sinistra
dengan
perdarahan yang
cukup banyak (+/-
500)
5. DS : Fraktur Hambatan mobilitas
- fisik
Diskontinuitas tulang
DO:
Perubahan jaringan
- Tn.C ditemukan
sekitar
dalam kondisi
Pergeseran fragmen
terhimpit tembok
tulang
rumahnya.
Deformitas
- Deformitas dan
bengkak di daerah Ggn fungsi
tibia sinistra ekstermitas

Hambatan mobilitas
fisik

65
3) Diagnosa keperawatan
a) Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan espansi paru yang tidak
maksimal karena trauma
b) Syok hipovolemik berhubungan dengan perdarahan abdomen
c) Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan adanya hematom
d) Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan kerusakan jaringan
e) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan
muskuloskeletal

66
6) Intervensi

NO Diagnosa Tujuan Intervensi Rasional


dx
Ketidak efektifan pola Setelah dilakukan a. Observasi a. Distress
1 pernafasan asuhan fungsi pernapasan dan
berhubungan dengan keperawatan pernafasan, perubahan tanda
catat frekuensi vital dapat terjadi
espansi paru yang diharapkan dapat
pernfasan, sebagai akibat
tidak maksimal karena mempertahankan dispnea atau stress fisiologi
trauma jalan nafas dengan perubahan dan nyeri atau
kriteria Hasil : tanda-tanda dapat
DS : - vital. menunjukkan
a. mengalami terjadinya syok
DO : perbaikan sehingga dapat
pertukaran mengontrol
- Terlihat jelas gas pada perkembangan
daerah thorax paru klien
sinistra dengan b. memperlihat
pengembangan kan b. Atur posisi klien b. Dengan
dada terlihat frekuensi semi fowler dan
tidak simetris mengubah-ubah
pernafasan miring posisi semi fowler
- TD 90/40 yang efektive kanan/kiri dan miring
mmHg, Nadi c. Tidak kanan/kiri dapat
130x/menit, RR terdapat mengurangi
40x/menit penggunaan sesak
Pernafasam cepat dan otot
dangkal pernafasan c. Latihan nafas
d. klien nyaman dalan dan c. Dengan nafas
perlahan dalam dan
perlahan dapat
memindahkan
organ abdomen
menjauh dari
paru-paru
sehingga
memungkinkan
ekspansi lebih
luas
d. Pengetahuan apa
d. Jelaskan yang diharapkan
kepada klien dapat mengurangi
bahwa ansietas dan
mengembangkan
tinedakan yang
kepatuhan klien
dilakukkan terhadap rencana
untuk menjamin teraupeutik
keamanan

67
e. Kolaborasi e. Mengkolaborasik
dengan dokter an dengan dokter
untuk tentang
pemberian pemberian
antibiotik antibiotik maka
tidak akan terjadi
infeksi

Syok Hipovolemik Setelah dilakukan 1. Anjurkan pasien 1. Peningkatan


2 berhubungan dengan tindakan untuk lebih intake cairan
pendarahan keperawatan 1 x 24 banyak minum dapat
meningkatkan
jam pendarahan
DS : volume
pasien dapat intravaskuler
teratasi , dengan yangbdapat
kriteria hasil : meningkatkam
DO : perfusi jaringan
1. Tanda – 2. Perubahan TTV
1. Pasien tampak tanda vital 2. Observasi TTV dapat merupakan
tidak sadar dalam batas indicator
2. Tekanan darah normal terjadinya
90/40 mmHg 2. Kesadaran dehidrasi secara
3. Nadi takikardia pasien 3. Observasi dini
( 140 x/menit) penuh terhadap tanda 3. Dehidrasi
4. Respirasi 3. Pasien tidak tanda dehidrasi merupakan awal
takipnea mengalami terjadinya syok
( 40x/menit) pendarahan biladehidrasi tidak
Pasien mengalami lagi ditangani dengan
baik
pendarahan yang terus
4. Intake cairan
4. Observasi
keluar sebanyak (±500 yang adekuat
intake cairan
cc) dan output dapat
mengimbangi
pengeluaran
cairan yang
berlebih
5. Kolaborasi
dalam 5. Pemberian
pemberian : cairan infus dan
- Pemberian
cairan Infus kolaborasi
atau transfuse pemberian obat
- Pemberian
Obat koagulan dapat

68
- Pemeriksaan Bj menambah
Plasma
volume darah
- Pemberian
koagulantia dan yang hilang
uterotonika
akibat
Pemasangan
perdarahan
CVP

Gangguan perfusi setelah dilakukan 1. Kaji karakteristik 1. Penurunan tanda


3
jaringan otak tindakan nyeri (intensitas, dan gejala
berhubungan dengan keperawatan selama lokasi, frekuensi neurologis atau
adanya hematom. 1x24 jam, dan factor yang kegagalan dalam
perubahan perfusi mempengaruhi). pemulihan
DS: -
jaringan otak optimal merupakan awal
DO:
secara bertahap pemulihan dalam
- Adanya luka
dengan kriteria hasil: memantau TIK.
terbuka kurang
- GCS nilai 9 atau 2. Kaji lebarnya 2. Untuk
lebih 5 cm di
lebih pupil setiap 1-4 mengobservasi
region
- TTV dalam jam respon mata
temporoparietal
batas normal pasien.
sinistra
- Reflex pupil 3. Berikan posisi 3. Memberi rasa
- Ada hematom
terhadap semifowler, nyaman bagi
dibagian frontal
cahaya baik kepala pasien.
yang cukup besar
Respon motoric atau ditinggikan 30
- TTV:
peningkatan derajat
TD: 90/40 mmHg 4. Sebagai terapi
(gerakan lengan dan 4. Kolaborasi
N: 130 x/menit terhadap
tungkai) dengan dokter
RR: 40 x/menit kehilangan
dalam
kesadaran akibat
pemberian
adanya hematom
terapi obat-
di bagian frontal.
obatan neurogis

Resiko tinggi infeksi Setelah dilakukkan Pengkajian a. Mengurangi


4
berhubungan dengan tindakkan terjadinya
a. Pantau tanda
kerusakan jaringan keperawatan selama infeksi
dan gejala
3x 24 jam masalah
infeksi(misalnya

69
DS : keperawatan Risiko suhu tubuh,
Tinggi Infeksi denyut jantung,
berhubungan dengan penampilan
kerusakan jaringan luka, lesi kulit,
teratasi dengan malaise)
Do :
kriteria hasil :
- Luka terbuka
kurang lebih 5 - Klien terbebas Perawatan luka
cm didaerah dari tanda dan insisi
kepala diregion gejala infeksi
a. Bersihkan, a. Mengurangi
temporoparietal - Klien mampu
pantau, dan terjadinya
sinistra melaporkan tanda
fasilitasi infeksi
Terdapat deformitas atau gejala
proses luka
dan bengkak di daerah infeksi serta
yang
tibia sinistra dengan mengikuti
ditutup
perdarahan yang cukup prosedur skrining
dengan
banyak (+/-500) dan pemantauan
jahitan, klip
atau staples

Perlindungan
infeksi

a. Cegah dan
a. Mengurangi
deteksi dini
terjadinya
infeksi pada
infeksi
pasien yang
berisiko

Penyuluhan untuk
pasien
a. Mengurangi

a. Intruksikan terjadinya

untuk infeksi

70
menjaga
higiene
personal
untuk
melindungi
tubuh
terhadap
infeksi

Aktifitas
kolaboratif

a. Berikan
terapi
antibiotik,
bila
diperlukan

Hambatan mobilitas Setelah dilakukan - Kaji derajat 1. Pasien mungkin


5
fisik berhubungan tindakan imobilitas yang dibatasi oleh
dengan gangguan keperawatan dihasilkan oleh pandangan diri /
musculoskeletal diharapkan cedera. persepsi diri
DS : gangguan mobilitas tentang
- fisik dapat teratasi keterbatasan fisik
DO: dengan kriteria hasil: aktual.
- Tn.C ditemukan - Beriakan papan 2. Berguna untuk
- Klien melakukan
dalam kondisi kaki, bebat mempertahankan
aktivitas secara
terhimpit tembok pergelangan posisi fungsional
mandiri
rumahnya. eksremitas
Deformitas dan tangan / kaki,
bengkak di daerah tibia mencegah
sinistra kontraktur.

71
- Berikan / bantu 3. Mobilisasi dini
mobilisasi menurunkan
dengan kursi komplikasi tirah
roda, kruk, baring,
tongkat, meningkatkan
sesegera penyembuhan
mungkin, dan normalisasi
intruksikan fungsi organ.
keamanan
dalam
menggunakan
alat mobilisasi.
- Dorong 4. Kontraksi otot
penggunaan isometrik tanpa
latihan isometrik menekuk sendi /
mulai dengan menggerakkan
tungkai yang tungkai dan
tersakit. membantu
mempertahankan
kekuatan dengan
masa otot.

- Bantu / dorong 5. Meningkatkan

perawatan diri / kekuatan otot dan

kebersihan sirkulasi,

(mandi perawatan diri

keramas).

72
BAB 3

PENUTUP

A. Kesimpulan

Initial Assessment / Asesmen pasien gawat darurat adalah proses


penilaian awal pada penderita trauma disertai pengelolaan yang tepat guna
untuk menghindari kematian. Pengertian lain initial assessment adalah proses
evaluasi secara tepat pada penderita gawat darurat yang langsung diikuti dengan
tindakan resusitasi.
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang
yang umumnya disebabkan oleh tekanan atau rudapaksa. Fraktur dibagi atas
fraktur terbuka, yaitu jika patahan tulang itu menembus kulit sehingga
berhubungan dengan udara luar, dan fraktur tertutup, yaitu jika fragmen tulang
tidak berhubungan dengan dunia luar. Trauma yang terjadi pada kecelakaan lalu-
lintas memiliki banyak bentuk, tergantung dari organ apa yang dikenai. Trauma
semacam ini, secara lazim, disebut sebagai trauma benda tumpul ( trauma
multiple). Ada tiga trauma yang paling sering terjadi dalam peristiwa ini, yaitu
cedera kepala, trauma thorax ( dada) dan fraktur ( patah tulang).
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang
atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa.Fraktur dapat
dibagi menjadi :
a. Fraktur komplit adalah patah pada seluruh garis tengah tulang dan biasanya
megalami pergeseran (bergeser dari posisi normal).
b. Fraktur tidak komplit (inkomplit) adalah patah yang hanya terjadi pada
sebagian dari garis tengah tulang.
Fraktur tertutup (closed) adalah hilangnya atau terputusnya kontinuitas jaringan
tulang dimana tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar
atau bila jaringan kulit yang berada diatasnya/ sekitar patah tulang masih utuh

73
DAFTAR PUSTAKA

American College of Surgeons. 2004. Advanced Trauma Life Support For Doctors, 7th
edition. United States of America.
Academia,https://www.academia.edu/31088806/MAKALAH_FRAKTUR. (diakses pada
tanggal : 13 November 2018 pukul 21.06)

Dewi, Ni Kadek Ita Ratna. Laporan Pendahuluan Fraktur. Diakses pada tanggal 10
November 2018. Website : www.scribd.com
Seri PPGD. Penanggulangan Penderita Gawat Darurat / General Emergency Life
Support (GELS). Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT). Cetakan
Ketiga. Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik Departemen Kesehatan R.I. 2006.
Herdman, T. Heather. (2012). Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi NANDA
International. Jakarta:EGC

Henderson, M.A. (1992). Ilmu Bedah untuk Perawat. Yogyakarta: Yayasan Essentia
Medika

RezaRahim, 2014, CEDERA KEPALA,[online],


(https://www.academia.edu/8705188/CEDERA_KEPALA_Step_1_1, di akses pada
tanggal 14 November 2018)

74

You might also like