You are on page 1of 15

I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Ternak kelinci merupakan salah satu komoditas potensial dibidang


peternakan, penghasil daging, kulit/bulu, dan produk lain yang dapat di daur ulang
untuk menghasilkan produk baru yang bermanfaat. Peternakan kelinci dapat
menimbulkan beberapa masalah antara lain dalam masalah penanganan limbah
kandang, terutama feses (kotoran padat) serta urine. Limbah kandang yang berupa
kotoran ternak, baik feses ataupun sisa pakan yang tercecer merupakan sumber
pencemaran lingkungan paling dominan di areal peternakan kelinci. Volume limbah
kandang tersebut dihasilkan dalam jumlah cukup banyak dan bau menyengat, untuk
itu perlu ditangani segera agar tidak menimbulkan ketidaknyamanan lingkungan.
Salah satu cara penanganan limbah ternak adalah dengan cara pengomposan, akan
tetapi penanganan limbah sebelu diolah juga perlu di perhatikan seperti penyimpanan,
penampungan limbah dan lain-lain.

Kotoran kelinci mengandung unsur hara yang tidak kalah bagusnya dengan
kotoran ternak lainnya. Pupuk organik untuk tanaman dari kotoran dan manure ternak
saat ini paling banyak digunakan dalam usaha pertanian. Saat ini, pemeliharaan
ternak kelinci umumnya hanya merupakan sambilan sehingga kotoran kelinci yang
dihasilkan masih terbatas. Kotoran kelinci belum umum digunakan sebagai pupuk
tanaman karena jumlahnya terbatas. Maka dengan terbatasnya pupuk kelinci maka
kualitas pupuk perlu ditingkatkan agar lebih banyak yang menggunakan.
1.2. Identifikasi Masalah
1. Apa alasanya perlu adanya penanganan limbah kelinci ?
2. Apa manfaat limbah peternakan kelinci ?
3. Apa saja teknik penanganan limbah peternakan kelinci ?

1.3. Maksud dan Tujuan


1. Mengetahui alasan kenapa perlu adanya penanganan limbah kelinci.
2. Mengetahui manfaat limbah peternakan kelinci.
3. Mengetahui teknik penanganan limbah peternakan kelinci.

II

PEMBAHASAN
2.1. Ternak Kelinci

Klasifikasi taksonomi kelinci (Orcytolagus cuniculu) menurut sistem binomial


adalah sebagai berikut:

Kelas : Mamalia

Ordo : Lagomorpha

Family : Leporidae

Sub Family : Leporine

Genus : Lepus, Oricptolagus

Spesies : Lepus spp, Oricptolagus

Sumber : Kartadisastra (1995).

Kelinci pada awalnya adalah hewan liar yang sulit dijinakkan. Tetapi sejak
dua puluh abad yang silam hewan ini sudah mulai dijinakkan. Pada umumnya tujuan
pemeliharaan kelinci adalah untuk ternak hias, penghasil daging, kulit dan untuk
hewan percobaan. Manfaat lain yang bisa diambil dari kelinci adalah hasil ikutannya
yang dapat dijadikan pupuk, kerajinan dan pakan ternak. Produk ikutan yang
dimaksud adalah produk selain produk utama. Daging dan kulit/bulu merupakan
produk utama ternak kelinci, tetapi dapat juga dikatakan bahwa salah satunya (daging
atau kulit) adalah produk ikutan. Hal ini tergantung pada sistem dan tujuan
pemeliharaan/budidaya serta jenis kelinci tersebut. Sebagai contoh, kelinci jenis Rex
atau Angora yang diternakkan untuk memproduksi bulu, maka daging adalah produk
ikutan. Beberapa produk ikutan lainnya yang diperoleh secara bersamaan adalah
kepala, darah, kaki, tulang dan ekor. Sementara itu, kotoran dan urin ternak kelinci
disebut produk sampingan (Kartadisastra, 2001).
Selama ini peternakan kelinci di Indonesia masih diusahakan sebagai
peternakan keluarga yang bersifat sambilan. Kegiatan budidaya dan manajemennya
masih sangat sederhana. Sebagai alternatif, usaha peternakan kelinci sebenarnya
dapat dikembangkan dalam bentuk perusahaan peternakan, sehingga produksi kelinci
dapat ditingkatkan sesuai dengan target, mutu dan permintaan pasar yang
berkembang (Sarwono, 2003).

Kelinci mempunyai potensi biologis yang tinggi, yaitu kemampuan


reproduksi yang tinggi, cepat berkembang biak, interval kelahiran yang pendek,
prolifikasi yang sangat tinggi, mudah pemeliharan dan tidak membutuhkan lahan
yang luas. Keuntungan lainnya yaitu pertumbuhan yang cepat, sehingga cocok untuk
diternakkan sebagai penghasil daging komersial. Kelinci penghasil daging memiliki
bobot badan yang besar dan tumbuh dengan cepat, seperti Flemish Giant, Chinchilla,
New Zealand White, English Spot dan lainnnya (Manshur, 2011).

Kotoran kelinci merupakan sumber pupuk kandang yang baik, karena


mengandung unsur hara N, P dan K yang cukup tinggi, dan karena kandungan
proteinnya yang tinggi (18% dari berat kering), sehingga kotoran kelinci masih dapat
diolah menjadi pakan ternak. Kelinci disamping bisa diharapkan menjadi penghasil
daging secara cepat, mudah dan murah, ternyata kotorannya pun dapat dimanfaaatkan
sebagai pupuk kompos yang sangat besar manfaatnya bagi tanaman (Karama, dkk,
1991).

2.2. Manfaat Limbah Ternak Kelinci

Limbah ternak adalah sisa buangan dari suatu kegiatan usaha peternakan
seperti usaha pemeliharaan ternak, rumah potong hewan, pengolahan produk ternak,
dan sebagainya. Limbah tersebut meliputi limbah padat dan limbah cair seperti feses,
urine, sisa makanan, embrio, kulit telur, lemak, darah, bulu, kuku, tulang, tanduk, isi
rumen, dan lain-lain (Sihombing, 2000). Total limbah yang dihasilkan peternakan
tergantung dari species ternak, besar usaha, tipe usaha dan lantai kandang.

Limbah peternakan umumnya meliputi semua kotoran yang dihasilkan dari


suatu kegiatan usaha peternakan, baik berupa limbah padat dan cairan, gas ataupun
sisa pakan. Limbah padat merupakan semua limbah yang berbentuk padatan atau
dalam fase padat (kotoran ternak, ternak yang mati atau isi perut dari pemotongan
ternak). Limbah cair adalah semua limbah yang berbentuk cairan atau berada dalam
fase cair (air seni atau urine, air pencucian alat-alat). Sedangkan limbah gas adalah
semua limbah yang berbentuk gas atau berada dalam fase gas (Sihombing, 2000).

Salah satu penyebab terjadinya pencemaran air adalah air limbah yang
dibuang tanpa pengelolaan ke dalam badan air. Menurut Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia nomor 82 tahun 2001, air limbah adalah sisa dari suatu usaha atau
kegiatan yang berwujud cair, air limbah dapat berasal dari rumah tangga maupun
Industri. Air limbah industri umumnya terjadi sebagai akibat adanya pemakaian air
dalam proses produksi. Air limbah industri sangat bervariasi sesuai dengan
pemakaiannya di masing-masing industri sehingga dampak yang di akibatkannya juga
sangat bervariasi (Sihombing, 2000).

Menurut Sarwono (1985) sistem pencernaan pada kelinci mencerna serat


kasar lebih rendah karena waktu transit yang cepat dalam saluran pencernaan.
Kemudian komposisi kotoran kelinci lunak dan diselaputi mukosa yang mengandung
bahan protein tinggi (28,5%) sedangkan pada kotoran kerasnya 9,2%. Farrell et al
(1984) mengemukakan bahwa tingginya protein ini disebabkan populasi mikroba
dalam sekum yang sangat aktif dalam memanfaatkan nitrogen dari urea darah yang
masuk sekum dan protein mikroba ini turut menyumbang tingginya kadar protein
dalam kotoran.
Tabel 1. Komposisi Kimia Pupuk Kelinci dan Beberapa Jenis Ternak (% total)

Jenis Pupuk N P K Ca Mg S

Domba 2.45 1.13 3.5 1.47 0.76 0.52


Sapi 2.0 1.5 2.0 4.0 1.0 0.5
Unggas 5.0 3.0 1.5 4.0 1.0 2.0
Kerbau 2.0 1.5 2.0 4.0 1.0 0.5
Guano 8.5 5.0 1.5 7.5 0.5 2.0
Kuda 2.0 1.5 1.5 1.5 1.0 0.5
Kelinci 2.62 2.46 1.86 2.08 0.49 0.36
Sumber : Karama et al. (1991)

Pada Tabel 1 terlihat nitrogen dan fosfor pupuk kandang dari kotoran kelinci
lebih tinggi dibandingkan ternak ruminansia, namun masih lebih rendah
dibandingkan dengan kotoran unggas dan guano. Lebih rendahnya ini disebabkan
faktor makanan, ternak unggas maupun burung penghasil guano dengan makanan
utama biji-bijian dan serangga yang memiliki kandungan protein lebih tinggi dari
pada serat kasarnya. Menurut Farrell et al (1984), kelinci dengan berat badan 1 kg
menghasilkan 28,0 g kotoran ternak per hari dan mengandung 3 g protein, 0,35 g
nitrogen dari bakteri atau 1,3 g protein. Farel dan Raharjo (1994) mengatakan bahwa
kelinci sapihan dapat menghasilkan kotoran sebanyak 28 gram kotoran lunak atau
setara dengan 3 gram protein/hari/ekor.
Kelinci merupakan hewan yang memiliki kebiasaan tidak pernah minum air
dan hanya mengkonsumsi tanaman hijau sehingga mengakibatkan tingginya kadar
nitrogen dalam urine kelinci. Berdasarkan hasil penelitian Badan Penelitian Ternak
(Balitnak) tahun 2005, “ Kotoran dan urine kelinci memiliki kandungan unsur N, P, K
yang lebih tinggi (2.72%, 1.1%, dan 0,5%) dibandingkan dengan kotoran dan urine
ternak lainnya seperti kuda, kerbau, sapi, domba, babi dan ayam.”
Penggunaan kotoran kelinci sebagai pupuk cair biasanya berasal dari urin
kelinci dan pemanfaatan kotoran padatnya sebagai pupuk cair masih jarang
dimanfaatkan, padahal di dalam kotoran kelinci masih mengandung sejumlah unsur
hara seperti N 2,28 %, P 2,48 %, K 1,88 %, Ca 2,08 %, Mg 0,49 %, S 0,38 %
(Sajimin, 2005), dengan penambahan bioaktivator pada pembuatan pupuk cair, proses
pemuatan pupuk menjadi lebih cepat dan dapat meningkatkan kandungan unsur hara
yang diperlukan oleh tumbuhan, sehingga diharapkan akan dapat meningkatkan
produktivitas sambiloto yang berkhasiat sebagai tanaman obat yang bebas dari bahan
kimia.
Kotoran kelinci dikenal sebagai sumber pupuk organik yang potensial untuk
tanaman hortikultura. Pemanfaatan limbah ini diduga berpengaruh signifikan dalam
suatu integrasi usaha sayuran ternak berbasis kelinci di sentra - sentra produksi
hortikultura. Pada saat ini, pupuk kandang kelinci belum pernah dimanfaatkan dan
digunakan pada pembibitan tanaman perkebunan bahkan sangat sedikit informasi
penggunaan pupuk organik dari kotoran kelinci yang hanya banyak dimanfaatkan
pada tanaman hortikultura misalnya jagung, kacang-kacangan, dan ubi.
Ternak kelinci yang merupakan ternak yang potensi untuk memenuhi
kebutuhan protein secara cepat, dengan sistem pemeliharaan ternak tradisionil.
Kelinci memiliki potensi terbesar dalam memproduksi daging. Menurut Farel dan
Rahardjo (1994) bahwa seekor induk dapat beranak 10 x per tahun dengan masa
bunting 31 hari. Ternak ini tidak bersaing dengan manusia atau ternak industri yang
intensif seperti ayam dalam memperoleh pakan. Pertumbuhan kelinci cepat dengan
memiliki bobot hidup lebih dari 2 kg pada umur 8 minggu. Karena ukuran yang kecil
dan kemampuan berkembang biaknya cepat, maka cocok untuk dipelihara dalam
skala kecil dan skala besar. Kotoran berbentuk bulat, kering, tidak berbau dan
berwarna kecoklatan hingga kehitaman. Bentuk kotoran seperti ini menandakan
kelinci dalam kondisi sehat, asupan pakan yang di konsumsi cukup seimbang.
Limbah cair, kotoran kelinci yang cair itu seperti air biasa namun warna bening
kekuningan Karama et al. (1991).
2.3. Teknik Penanganan Limbah Peternakan Kelinci
Keberhasilan pengelolaan limbah peternakan sangat dipengaruhi oleh teknik
penanganan yang dilakukan, yang meliputi teknik pengumpulan (collections), peng-
angkutan (transport), pemisahan (separation) dan penyimpanan (storage) atau pem-
buangan (disposal). Walaupun telah banyak diketahui bagaimana teknik
pengelolaan limbah, namun dikarenakan perkembangan bidang peternakan sangat
dinamik, terutama perkembangan populasi dan sistem budidaya intensif, maka perlu
dikembangkan pula aspek teknik baru yang dapat menyesuaikan dinamika tersebut
(Soehadji, 1992).

Arah kemiringan dibuat agar pada saat dibersihkan dengan air, dengan mudah
limbah mengalir menuju ke parit. Limbah ternak berbentuk cair tersebut dikumpulkan
diujung parit untuk kemudian dibuang. Pada kandang system feedlots terbuka,
sebagian besar limbah ternak menumpuk di lokasi yang terbuka di depan kandang.
Agar pengumpulan limbahnya lebih mudah, lantai pada lokasi ini biasanya ditutup
dengan bahan yang keras dan rata dengan kemiringan tertentu untuk mengalirkan
limbah cairnya, untuk membersihkan lantai digunakan pipa semprot yang kuat agar
limbah cair dapat didorong dan mengalir ke tempat penampungan. Berdasarkan
penanganannya limbah tersebut harus melalui berbagai tahapan yaitu :

1. Teknik pengumpulan (collections).


Pada peternakan tradisional pengumpulan limbah padat atau semi padat
menggunakan teknik scaraping secara manual dengan sekop.
2. Pengangkutan (transport).
Pengangkutan sering menggunakan scraping dengan sekop dan flushing serta
dengan sistem aliran steady flow pada umumnya.
3. Pemisahan (separation)
Pada peternakan tradisioanal pemisahan limbah padat dan cair dengan
menggunakan sistem pengendapan. Feces yang mengendap akan di angkut
denga sekop dan yang cair di ambil dengan ember atau dibirakn mengalir ke
penampungan.

4. Penyimpanan (storage) atau Pembuangan (disposal).


Pada peternakan sapi perah tradisional menyimpan limbahnya dengan cara
permananen membuat bak dari tanah atau dengan cara sementara untuk
menghemat biaya yakni denga ditampung bak kecil.

Berdasarkan sistem tersebut, ada tiga cara mendasar pengumpulan


(Collections) limbah menurut Kartadisastra (2001) yaitu :

a. Scraping

Scraping yaitu membersihkan dan mengumpulkan limbah peternakan kelinci


dengan cara menyapu atau mendorong/menarik (dengan sekop atau alat lain)
limbah. Scraping diduga merupakan cara pengumpulan limbah yang paling tua
dilakukan oleh para petani-peternak. Scraping dapat dilakukan dengan cara manual
ataupun mekanik. Pada dasarnya, kedua cara tersebut menggunakan alat yang terdiri
atas plat logam yang fungsinya untuk mendorong atau menarik limbah sepanjang
lantai dengan maksud agar limbah terlepas dari lantai dan dapat dikumpulkan.

Cara manual, biasanya dipakai pada kandang panggung (stanchions), yaitu


untuk membersihkan feses kelinci yang melekat di jeruji lantai kandang atau di
tempat-tempat fasilitas kandang yang lain. Cara ini juga dilakukan untuk
membersihkan limbah berupa urine dan feses kelinci yang terdapat di sepanjang parit
dan bak pengumpul terutama limbah padat yang melekat di dinding dan sukar larut
dalam air sehingga tidak dapat dialirkan. Cara ini digunakan terutama untuk
pekerjaan yang membutuhkan tenaga kerja banyak dan sebagai penyempurnaan
sistem pengelolaan limbah peternakan.
b. Free-fall

Free-fall yaitu pengumpulan limbah peternakan kelinci dengan cara


membiarkan limbah tersebut jatuh bebas melewati penyaring atau penyekat lantai ke
dalam lubang pengumpul di bawah lantai kandang. Pengumpulan limbah peternakan
kelinci dengan system free-fall ini dilakukan dengan membiarkan limbah melewati
penyaring atau penyekat lantai dan masuk ke dalam lubang penampung. Teknik ini
telah digunakan secara ekstensif dimasa lampau untuk peternakan hewan tipe kecil,
seperti ayam, kalkun, kelinci dan ternak jenis lain. Baru-baru ini juga digunakan
untuk ternak besar, seperti babi dan sapi. Pada dasarnya ada dua sistem free-fall,
yaitu sistem kandang yang lantainya menggunakan (1) penyaring lantai (screened
floor) dan (2) penyekat lantai (slotled floor).

1) Sceened floors.

Lantai kandang sistem ini dapat dibuat menggunakan kawat kasa atau besi gril
yang berukuran mes lebih besar dan rata. Kawat dapat dipasang dengan direntangkan
seluas lantai kandang agar limbah langsung jatuh ke lantai atau tempat
penampungan. Selain itu, juga dapat digunakan pada kandang batere (cage) yang
bentuknya diatur agar limbah langsung jatuh ke lantai kandang atau tempat
penampungan.

2) Slotled floors.

Slotled floor merupakan salah satu bentuk lantai bersekat (jeruji) yang
dipasang dengan jarak yang teratur dan rata sehingga ukuran dan jumlahnya
mencukupi untuk keluarnya limbah cair maupun padat dari lantai. Selain itu juga
mudah dibersihkan dari kemungkinan menempelnya limbah pada lantai. Lubang di
bawah lantai merupakan tempat untuk pengumpulan dan penampungan sementara
untuk kemudian limbah diolah dan atau digunakan. Slotled floor dapat dibuat dari
bermacam bahan, seperti kayu, beton atau besi plat.

Kayu yang digunakan sebaiknya jenis yang keras karena dapat bertahan 2 – 5
tahun. Sekat yang berasal dari kayu biasanya dibuat dengan ukuran lebar bagian atas
8 cm dan bagian bawah 6cm, ketebalan 9 cm. Jarak antara sekat biasanya 2 cm.
Apabila menggunakan bahan beton sekat dibuat dengan ukuran lebar bagian atas 12,7
cm dan bagian bawah 7,5 cm dengan ketebalan 10 cm, agar tidak mudah patah. Jarak
antara sekat dibuat sesuai dengan panjang kandang dan ukuran ternak yang
dipelihara. Sekat dari logam biasanya buatan pabrik yang telah dilapisi stainles atau
aluminium untuk mencegah terjadinya karat. Penggunaan sekat logam lebih mudah
untuk penanganan limbah, pemasangannya praktis dan mudah dipindahkan
dibandingkan dengan sekat beton.

Penggunaan lantai sistem sekat dapat meningkatkan sanitasi dan mengurangi


tenaga kerja untuk membersihkan kandang. Penggunaan sekat juga memisahkan
ternak dari limbahnya sehingga lingkungan menjadi bersih. Keuntungan lain dari
penggunaan sekat ini adalah mengurangi biaya gabungan antara pengadaan dan
penanganan alas kandang (litter). Akan tetapi dilapangan biasanya untuk peternakan
kelinci menggunakan lantai dari sekat logam, karena lebih tahan lama dari pada kayu.
Penggunaan beton pada peternakan kelinci masih jarang. Struktur rangka dengan
lantai kayu atau beton, bahkan luas lantai kedua di mana penggunaan nampan
konvensional tidak praktis. Sistem ini memungkinkan limbah yang akan dibersihkan
dapat keluar ke saluran pembuangan sanitary atau cara lain pemisahan dan
pembuangan.

c. Flushing
Flushing yaitu pengumpulan limbah peternakan kelinci menggunakan air
untuk mengangkut limbah tersebut dalam bentuk cair. Pengumpulan limbah dengan
cara flushing meliputi prinsip kerja :

1. Penggunaan parit yang cukup untuk mengalirkan air yang deras untuk
mengangkut limbah.
2. Kecepatan aliran yang tinggi.
3. Pengangkutan limbah dari kandang.

Sistem flushing telah digunakan sejak tahun 1960-an dan menjadi cara yang
makin populer digunakan oleh peternak kelinci untuk pengumpulan limbah. Hal ini
dikarenakan lebih murah biayanya, bebas dari pemindahan bagian, sama sekali tidak
atau sedikit sekali membutuhkan perawatan dan mudah dipasang pada bangunan
baru atau bangunan lama. Disebabkan frekuensi flushing, limbah ternak yang
dihasilkan lebih cepat dibersihkan, mengurangi bau dan meningkatkan kebersihan
kandang. Hal ini menjadikan sirkulasi udara dalam kandang lebih baik, yang
menghasilkan sistem efisiensi penggunaan energi.

Dua hal penting yang harus diperhatikan dalam mendesain parit flushing
adalah :

1. Lokasi Parit

Untuk keberhasilan pengelolaan limbah peternakan, lokasi parit di dalam


kandang harus dapat berfungsi untuk mengumpulkan limbah yang terdapat di seluruh
bagian kandang. Parit pembersih jarang digunakan untuk peternakan kelinci.

2. Desain Parit

Desain parit merupakan faktor penting dalam pengelolaan limbah


peternakan. Panjang parit yang efektif untuk flushing didasarkan pada asumsi bahwa
bila kedalaman aliran kurang dari 1,27 cm (0,5 in) dan kecepatan aliran kurang dari
0,46 m/detik, maka limbah tidak dapat terangkut.

Ada 3 perlengkapan yang umumnya digunakan untuk flushing, yaitu : (1)


penutup tangki penampung, (2) tangki penampung limbah dan (3) pipa untuk
membantu memindahkan limbah dalam parit. Perlengkapan flushing harus memenuhi
syarat, antara lain kuat, sederhana, mudah dioperasikan dan tahan karat. Selain itu,
akan lebih baik bila perlengkapan tersebut mudah pemasangannya pada bangunan,
tidak memakan tempat dan harus dapat dipakai juga untuk mengangkut air pada
kapasitas tertentu untuk setiap durasi flushing.

KESIMPULAN
1. Kotoran kelinci merupakan sumber pupuk kandang yang baik, karena
mengandung unsur hara N, P dan K yang cukup tinggi, dan karena kandungan
proteinnya yang tinggi (18% dari berat kering), sehingga kotoran kelinci masih
dapat diolah menjadi pupuk atau pakan ternak.
2. Berdasarkan hasil penelitian Badan Penelitian Ternak (Balitnak) tahun 2005, “
Kotoran dan urine kelinci memiliki kandungan unsur N, P, K yang lebih tinggi
(2.72%, 1.1%, dan 0,5%) dibandingkan dengan kotoran dan urine ternak lainnya
seperti kuda, kerbau, sapi, domba, babi dan ayam.”. Penggunaan kotoran kelinci
sebagai pupuk cair biasanya berasal dari urin kelinci dan pemanfaatan kotoran
padatnya sebagai pupuk cair masih jarang dimanfaatkan, padahal di dalam
kotoran kelinci masih mengandung sejumlah unsur hara seperti N 2,28 %, P 2,48
%, K 1,88 %, Ca 2,08 %, Mg 0,49 %, S 0,38 %. Kotoran kelinci dikenal sebagai
sumber pupuk organik yang potensial untuk tanaman hortikultura
3. Berdasarkan penanganannya limbah tersebut harus melalui berbagai tahapan yaitu
(1) Teknik pengumpulan (collections) limbah padat atau semi padat menggunakan
teknik scaraping secara manual dengan sekop. (2) Pengangkutan (transport)
menggunakan scraping dengan sekop dan flushing. (3) Pemisahan (separation)
antara limbah padat dan cair dengan menggunakan sistem pengendapan. Feces
yang mengendap akan di angkut denga sekop dan yang cair di ambil dengan
ember atau dibirakn mengalir ke penampungan. (4) Penyimpanan (storage) atau
Pembuangan (disposal), menyimpan limbahnya dengan cara permananen
membuat bak dari tanah atau dengan cara sementara untuk menghemat biaya
yakni denga ditampung bak kecil.

DAFTAR PUSTAKA

Farel, D.J. dan Y.C. Raharjo. 1994. Potensi Ternak Kelinci Sebagai Penghasil
Daging.Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor.
Kartadisastra, H. R. 1995. Beternak Kelinci Unggul. Kanisius. Yogyakarta.

Kartadisastra, H.R. 2001. Ternak Kelinci Teknologi Pascapanen. Kanisius.


Yogyakarta.

Manshur, F. 2011. Kelinci I. Nuansa. Bandung

Karama, A.S., A.R. Marzuki dan I. Manwan. 1991. Penggunaan Pupuk Organik
Pada Tanaman Pangan. Pros. Lokakarya Nasional Efisiensi Penggunaan
Pupuk V. Cisarua. Puslittanak. Bogor.

Sajimin, Y.C., Raharrdjo, Nurhayati D. Purwanti. 1994. Potensi Kotoran Kelinci


Sebagai Pupuk Organik dan Manfaatnya pada Tanaman Sayuran. Lokarya
Nasional Potensi Dan Peluang Pengembangan Usaha Agribisnis Kelinci.
Balai Penelitian Ternak Bogor

Sarwono, B. 1985. Beternak Kelinci Unggul. Penebar Swadaya. Jakarta.

Soehadji, 1992. Kebijakan Pemerintah dalam Industri Peternakan dan Penanganan


Limbah Peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian.
Jakarta.

Sihombing, D. T. H. 2000. Teknik Pengelolaan Limbah Kegiatan Usaha Peternakan.


Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Lembaga Penelitian. Institut Pertanian
Bogor.

You might also like