You are on page 1of 9

LUPUS / SLE (

A. PENGERTIAN
SLE (Sistemisc Lupus Erythematosus) adalah penyakti radang multisistem yang sebabnya belum
diketahui, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan fulminan atau kronik remisi dan
eksaserbasi disertai oleh terdapatnya berbagai macam autoantibodi dalam tubuh.
Lupus Eritematosus Sistemik merupakan kondisi inflamasi yang berhubungan dengan sistem
imunologi yang dapat menyebabkan kerusakan multi organ.

B. ETIOLOGI
1. Faktor genetik
Mempunyai peranan yang sangat penting dalam kerentanan dan ekspresi penyakit SLE. Sekitar
10% – 20% pasien SLE mempunyai kerabat dekat (first degree relative) yang menderita SLE.
Angka kejadian SLE pada saudara kembar identik (24-69%) lebih tinggi daripada saudara
kembar non-identik (2-9%). Penelitian terakhir menunjukkan bahwa banyak gen yang berperan
antara lain haplotip MHC terutama HLA-DR2 dan HLA-DR3, komponen komplemen yang
berperan pada fase awal reaksi pengikatan komplemen yaitu C1q, C1r, C1s, C3, C4, dan C2,
serta gen-gen yang mengkode reseptor sel T, imunoglobulin, dan sitokin (Albar, 2003) . Faktor
genetik mempunyai peranan yang sangat penting dalam kerentanan dan ekspresi penyakit SLE.
Sekitar 10% – 20% pasien SLE mempunyai kerabat dekat (first degree relative) yang menderita
SLE. Angka kejadian SLE pada saudara kembar identik (24-69%) lebih tinggi daripada saudara
kembarn non-identik (2-9%).
2. Faktor lingkungan
a. Infeksi
Risiko timbulnya SLE meningkat pada mereka yang lain pernah sakit herpes zoster (shingles).
Herpes zoster adalah penyakit yang disebabkan oleh virus varisela, virus yang juga menjadi
penyebab dari penyakit cacar air (variscela atau chiken pox).
b. Antibiotik
Hormon Kurang lebih dari 90% dari penderita SLE adalah wanita. Perbedaan hormonal antara
pria dan wanita mungkin menjadi latar belakang timbulnya lupus.
c. Faktor sinar matahari
Adalah salah satu kondisi yang dapat memperburuk gejala Lupus. Diduga oleh para dokter
bahwa sinar matahari memiliki banyak ekstrogen sehingga mempermudah terjadinya reaksi
autoimmun.
d. Stres yang berlebihan
e. Obat-obatan yang tertentu.

C. KOMPLIKASI
1. Penyakit ginjal
2. Penyakit jantung
3. Penyakit paru-paru
4. Gangguan saraf dan mental
5. Gangguan peredaran darah

D. MANIFESTASI KLINIS
1. Manifestasi kutaneus:
a. Fotosensitivitas (sun sensitivity): 2/3 pasien SLE mengeluhkan sensitif terhadap sinar
ultraviolet (UV). Reaksinya dapat berupa ruam ringan, demam, arthritis, kelelahan
sampai ke ruam yang berat.
b. Ruam malar (ruam kupu-kupu): makulo papular hiperemi di daerah malar.
c. Ulkus oral: 20% pasien SLE mengalami ulkus oral yang biasanya mengenai mukosa
bukal dan langit-langit keras, tetapi kadang-kadang juga di lidah dan langit-langit lunak.
Lesinya berbatas tegas, tepi berwarna keputihan, dan biasanya tidak nyeri.
d. Alopecia (rambut rontok)
e. Discoid Lupus
2. Manifestasi kutaneovaskular:
a. Vaskulitis kutaneus: radang pembuluh darah kecil yang terlihat di kulit pada bagian tubuh
tertentu (biasanya di tangan dan kaki). Terlihat sebagai ptekie atau purpura yang dapat
diraba, dan sangat jarang terjadi nekrosis, ulserasi, gangrene.
b. Fenomena raynaud: terjadi karena hiperplasia tunika intima dari arteriol jari-jari disertai
instabilitas vasomotor yang diperantarai syaraf autonom. Hal ini akan menyebabkan
timbulnya vasodilatasi pada keadaan hangat, dan vasokonstriksi pada keadaan dingin,
sehingga akan menimbulkan perubahan warna pada jari, dari merah, pucat sampai
kebiruan. Jika berat dapat menimbulkan ulkus atau gangren pada ujung jari (fingertip).
3. Manifestasi muskuloskeletal:
a. Arthralgia dan arthritis: Arthralgia terjadi pada 80% – 90% SLE.
b. Myalgia dan myositis: Mayalgia terjadi pada 70% pasien, sedangkan myositis pada 5-
10% pasien. Pada myositis terjadi peningkatan enzim CPK.
c. Osteopenia dan osteooporosis: Inflamasi kronik karena SLE serta obat-obatan misalnya
kortikosteroid dan methotrexate, dapat menyebabkan osteopenia dan osteoporosis pada
pasien SLE. Hal ini ditambah dengan kekurangan vitamin D karena pasien SLE harus
menghindari paparan sinar ultraviolet.
4. Manifestasi Paru dan Pleura:
a. Pleurisi: 60% SLE pernah mengalami gejala pleuritis yaitu nyeri saat inspirasi, dan
sekitar 25% pernah mengalami efusi pleura yang bermakna. Pleuritis dan efusi pleura
tidak termasuk organ threatening disease karena parenkim paru tidak terkena.
b. Lupus pneumonitis akut, Interstitial lung disease ( bersifat kronik, gejala biasanya sesak),
pulmonary hemorrhage, pulmonary emboli, pulmonary hypertension, shrinking lung
syndrom.
5. Manifestasi Kardiovaskular
a. Perikarditis: pasien mengeluh dadanya seperti ditekan, dan membaik jika dia agak
membungkuk ke depan. Sekitar 25% diantaranya, terdapat efusi pericardial
b. Myokarditis, endocarditis (Libman-Sacks endocarditis)
c. Hipertensi: terutama terjadi pada pasien dengan gangguan ginjal, juga yang dengan terapi
kortikosteroid.
d. Accelerated atherosclerosis.
6. Manifestasi Renal:
a. Lupus nephritis terjadi karena penumpukan kompleks imun di ginjal.
7. Manifestasi Hematologi:
a. Anemia karena penyakit kronik, autoimmune haemolytic anemia (AIHA).
b. Leukopenia ( < 4000/mm3), limfopenia ( < 1500/mm3), trombositopenia
c. Trombosis (APS), splenomegali, limfadenopati.
8. Manifestasi Neuropsikiatrik:
a. Susunan saraf pusat: Psikosis, kejang, aseptik meningitis, stroke, demyelinating disorder,
myelopati, anxiety disorder, mood disorder, cognitive dysfunction, sakit kepala.
b. Susunan saraf tepi: polineuropathy, Guillain Barre’ syndrome, mononeuropathy, cranial
neuropathy, myastenia gravis.
9. Manifestasi gastrointestinal:
a. Ascites, peningkatan enzim hepar, vaskulitis arteri di abdomen, pancreatitis.

E. PENATALAKSANAAN
a. Terapi Non Farmakologis :
1. pengaturan istirahat dan olah raga ringan yang teratur dan seimbang. Hal ini dalakukan
untuk mengatasi fatigue yang umumnya dialami oleh pasien SLE.
2. hindari merokok, terkait dengan kandngan hydrazine yang terkadung dalam rokok dan
dapat menjadi factor pencetus SLE serta menambah resiko terjadinya CAD
3. pemberian asupan minyak ikan, untuk menghindari terjadinya keguguran pada wanita
hamil dengan antifosfolipid antibody.
4. menghindari paparan sinar matahari langsung. Cara yang dapat dilakukan adalah dengan
menggunakan paying, topi, hingga memakai sunscreen maupun sunblok
5. menghindari hal-hal yang dapat menyebabkan stress karena dapat memicu terjadinya
SLE.
b. Terapi Farmakologi
1. OAINS
Dipakai untuk mengatasi arthritis dan artralgia. Penggunaan OAINS pada pasien dengan gejala
yang masih awal merupakan pilihan yang logis. Aspirin jarang digunakan karena memiliki
insidensi hepatotoksik tertinggi, dan sebagian pasien SLE juga mengalami gangguan pada hepar.
Pasien SLE juga memiliki resiko tinggi terhadap efek samping OAINS pada kulit, hepar, dan
ginjal, sehingga penggunaannya perlu dimonitoring.

2. Obat Antimalaria
Terapi antimalaria kadang-kadang dapat efektif apabila OAINS tidak dapat mengendalikan
gejala-gejala SLE. Biasanya anti malaria mula-mula diberikan dosis tinggi untuk memperoleh
keadaan remisi. Antimalaria dapat mengatasi beberapa manifestasi klinis, seperti arthalgia,
pleuritis, inflamasi pericardial, fatigu, dan leukopenia. Hidroksikloroquin diketahui lebih aman
dibandingkan dengan cloroquine dan merupakan pilihan pertama dalam terapi SLE.
Mekanisme antimalaria belum jelas, namun telah diketahui bahwa obat antimalaria menggangu
aktivitas limfosit T. dosis dan durasi penggunaan tergantung dari respon pasien, toleransi
terhadap efek samping, dan potensi terjadinya toksisitas renal yang dapat terjadi pada
penggunaan cloroquin jangka panjang. Dosis yang direkomendasikan adalah 200-400 mg/hari
untuk hidroksikloroquin dan 250-500 mg/hari untuk cloroquin.
Efek samping pada system CNS diantaranya adalah sakit kepala, insomnia, kegugupan, dll.
Selain itu rash, dermatitis, perubahan pigmen rambut dan kulit, mutah, dan toksisitas ocular
reversible. Karena kemungkinan adanya retinophati, evaluasi ophtalmologik harus dilakukan
diawal terapi, minimal 3 bulan untuk penggunaan cloroquin, dan setiap 6-12 bulan untuk
penggunaan hydroxicloroquin. Jika diketahui terjadi abnormalitas retina maka terapi antimalaria
harus dihentikan atau dikurangi dosisnya.

3. Kortikosteroid
Merupakan obat yang paling sering digunakan dalam terapi SLE. Beberapa pertimbangan yang
matang harus dilakukan sebelum memutuskan menggunakannya terkait dengan resiko yang
ditimbulkan, seperti kemungkinan terjadinya infeksi, hipertensi, diabetes, obesitas, osteoporosis,
dan beberapa penyakit psikiatris.
Prednison dosis rendah (10-20 mg/hari) digunakan untuk mengatasi gejala ringan SLE tetapi
apabila gejala yang terjadi termasuk gejala yang berat maka penggunaan dosis yang lebih tinggi
(10-20 mg/kg/hari) dapat diberikan. Ketika gejala telah teratasi maka dosis harus ditapering dan
dipertahankan pada dosis terendah yang dapat memberikan efek.
Terapi steroid jangka pendek dengan dosis tinggi dapat diberikan bagi pasien dengan gejala
nefritis parah, gejala pada system CNS, dan manifestasi hemolitik. Dosis yang digunakan
biasanya adalah 500-1000 mg metilprednisolon i.v berurutan selama 3-6 hari, dan diikuti dengan
1-1,5 mg/kg/hari prednison, yang kemudian ditapering sampai dosis terendah yang masih dapat
memberikan efek.
4. Obat Sitotoksik
Terapi penekan imun (siklofosfamid, azatioprin) dapat dilakukan untuk menekan aktivitas
autoimun SLE. Obat-obatan ini biasanya dipakai ketika :
1. diagnosis pasti sudah ditegakkan
2. adanya gejala-gejala berat yang dapat mengancam jiwa gangguan neurologik SSP, anemia
hemolitik akut.
3. kegagalan tindakan-tindakan pengobatan lainnya, misalnya bila pemberian steroid tidak
memberikan respon atau bila dosis steroid harus diturunkan karena adanya efek samping.
4. Tidak adanya kehamilan, infeksi, dan neoplasia.

F. PENCEGAHAN
1. Hindari merokok
2. Istirahat yang cukup
3. Hindari paparan sinar matahari
4. Hindari infeksi

G. PENGKAJIAN
 Riwayat keluarga : ada yg menderita LUPUS
 Riwayat kesehatan saat ini : Demam, kelelahan, lemah, nyeri sendi
 Sistem Integumen
Ruam eritematous, plak eritematous pada kulit kepala, muka atau leher
Ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang pangkal hidung serta pipi.
Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum.
 Sistem Kardiovaskuler
Friction rub perikardium yang menyertai miokarditis dan efusi pleura
Lesi eritematous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis (pada ujung jari tangan, siku, jari
kaki )
 Sistem Muskuloskeletal
Pembengkakan sendi
Nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak
Rasa kaku pada pagi hari
 Sistem pernafasan
Pleuritis atau efusi pleura
 Sistem Renal
Edema dan hematuria
 Sistem saraf
Gangguan Neurologis : kejang
Depresi

H. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan fungsi barier kulit
Nyeri b.d inflamasi dan kerusakan jaringan

I. PELAKSANAAN KEPERAWATAN
Diagnosa 1
1. Mengaji kulit setiap hari. Catat warna, turgor,sirkulasi dan sensasi. Gambarkan lesi dan
amati perubahan.
2. Pertahankan/instruksikan dalam membersihkan kulit, mis, membasuh kemudian
mengeringkannya dengan berhati-hati dan melakukan masase dengan menggunakan
lotion atau krim.
3. Menganjurkan untuk gunting kuku secara teratur.
4. Kolaborasi
Memberikan obat-obatan topical sesuai indikasi.

Diagnosa 2
1. Mengkaji tingkat nyeri
2. Memberikan suasan yang nyaman
3. Memberikan penjelasan mengenai nyeri
4. Berkolaborasi dalam pemberian anti nyeri
Daftar Pustaka

Smeltzer, S. 1997. Brunner & Suddarth’s Textbook of Medical-Surgical Nursing. Keperawatan


Medikal Bedah. Edisi 8. Alih bahasa: Andri H.2002. Jakarta: EGC.

You might also like