You are on page 1of 14

Perkembangan Sistem Pernapasan Janin dan Awitan Pernapasan Udara

Agar janin dapat berhasil beradaptasi dengan kehidupan diluar rahim saat lahir, fungsi
pernapasan yang adekuat sangat penting. Pada janin, organ pertukaran gas pernapasan adalah
plasenta; pada saat lahir, paru mengambil alih fungsi ini. Untuk bertahan hidup, bayi harus
mengembangkan parunya dengan udara, melakukan pernapasan secara kontinu, dan
mempertahankan area kontak antara gas alveolus dengan darah kapiler yang cukup besar agar
efek perpindahan gas dapat memenuhi kebutuhan metabolik. Dengan demikian,
kelangsungan hidup bayi baru lahir sebagian besar bergantung pada status perkembangan
sistem pernapasannya saat lahir.1

Pertumbuhan dan Perkembangan Paru

Perkembangan paru janin dapat dibagi menjadi lima stadium deskriptif. Stadium
embrionik dimulai sekitar 28 hari pascakonsepsi, ketika paru tampak sebagai tunas pada sisi
ventral foregut. Tunas ini bercabang dua membentuk batang utama bronkus; yang kanan
terbagi menjadi tiga cabang dan yang kiri menjadi dua. Saat stadium pseudoglandular, mulai
dari minggu ke-8 sampai ke-16 kehamilan, bronkus rudimenter tumbuh dan terbagi oleh
percabangan dikotom menjadi sekitar 20 generasi bronkus. Struktur tubular ini dilapisi oleh
epitel kolumnar dan dikelilingi oleh jaringan mesenkim. Kemudian, bronkus distal bercabang
untuk membentuk unit asinar primitif paru saat stadium kanalikular, yang berlangsung
sampai kira-kira minggu ke 24-kehamilan.

Vaskularisasi paru dimulai sedikit lebih lambat daripada perkembangan jalan udara.
Arteri pulmonalis muncul dari pasangan arkus aorta ke-6 pada sekitar minggu ke-8; cabang-
cabangnya terbagi mengikuti perkembangan bronkus. Kapiler paru pertama kali dapat
dikenali saat pertengahan stadium kanalikular perkembangan paru. Selain itu juga ada
proliferasi cepat kapiler ke dalam mesenkim. Pada stadium sakular perkembangan paru,
duktus alveolaris mulai membentuk bronkiolus terminal; stadium ini berlanjut sampai
beberapa minggu sebelum lahir dan ditandai dengan formasi ruang udara distal generasi baru,
diferensiasi lapisan alveolus menjadi sel epitel tipe I dan tipe II, proliferasi jaringan kapiler,
pembentukan sawar darah udara yang tipts, dan pematangan sitem surfaktan paru. Sel
alveolus tipe I adalah sel berdinding tipis dan menutupi daerah permukaan yang luas untuk
memudahkan perpindahan gas antara alveolus dan kapiler, sel tipe II adalah sel berbentuk
kubus dan menghasilkan surfaktan paru. Proses ini berlanjut menjadi stadium alveolar, yang
dimulai sekitar 36 minggu pascakonsepsi dan berlangsung sampai paling tidak 2 tahun
setelah lahir. Stadium ini ditandai dengan pembentukan beberapa juta alveoli. Mekanisme
kompleks yang mengendalikan perkembangan paru janin belum benar-benar diketahui dan
kini masih menjadi subjek penelitian yang aktif.

Ukuran dan berat paru janin bertambah progresif selama setengah masa kehamilan
terakhir. Pertumbuhan paru sesuai dengan pertumbuhan tubug janin.

Berbeda dengan maturasi sistem surfaktan paru, yang terutama berada di bawah kendali
hormon, pertumbuhan paru terutama dikendalikan oleh faktor fisik dan mekanik. Faktor-
faktor tersebut mencakup ruang intratoraks yang adekuat, cairan amnion yang adekuat, gerak
napas janin yang normal, dan volume cairan paru janin normal dalam jalan napas dan ruang
udara yang potensial. Gangguan pada faktor-faktor fisik ini dapat mengakibatkan hipoplasia
paru.

Berkenaan dengan perkembangan paru, janin kemungkinan besar dapat hidup mulai
dari awal stadium sakular, ketika tempat pertukaran udara mulai muncul. Usia kehamilan saat
peristiwa ini terjadi bervariasi. Percepatan pematangan paru dapat diinduksi dengan
memberikan glukokortikoid pada ibu dan mungkin juga dengan adanya stres kronis. Oleh
karena itu, sukar untuk menentukan usia kehamilan minimal yang diperlukan untuk bertahan
hidup. Bayi yang lahir pada usia kehamilan 23 minggu mungkindapat bertahan hidup,
sedangkan bayi yang dilahirkan pada usia kehamilan 28 minggu mungkin tidak dapat
bertahan hidup. Selanjutnya, berkembangnya permukaan yang luas untuk pertukaran gas
dapat difasilitasi sesudah kelahiran prematur oleh pernapasan udara; proses ini telah
diuraikan sebagai persiapan paru.

Gambar 2. Sistem Pernapasan Paru Janin2


Perkembangan Surfaktan Paru

Pada awal stadium kanalikular, ruang udara yang potensial dilapisi oleh sel progenitor
tidak berdiferensiasi yang berbentuk kubus, tidak bersilia, dan mengandung glikogen dalam
jumlah besar. Selanjutnya, beberapa sel tersebut menjadi bervakuola dan timbul badan
lamelar dalam sitoplasmanya. Sel ini merupakan sel alveolus tipe II yang menyintesis,
menyimpan dan mendaur ulang surfaktan paru. Sintesis surfaktan dimulai pada sekitar
minggu ke-18 kehamilan. Ketika paru menjadi matur, jumlah surfaktan dalam jaringan paru
bertambah. Sekresi surfaktan dimulai sekitar pada usia kehamilan 28 minggu, dan
selanjutnya, surfaktan ini ditemukan di dalam cairan paru janin dan cairan amnion. Adanya
lipid surfaktan dalam cairan amnion adalah dasar uji klinis untuk menentukan maturitas
fungsional paru janin.

Surfaktan paru adalah kompleks lipid dan protein yang unik. Lipid permukaan aktif
yang utama adalah dipalmitoilfosfatidilkolin. Paling tidak ada 4 protein (yaitu A, B, C, dan
D) yang terkait dengan surfaktan dan berperan dalam metabolisme dan fungsinya. Peranan
protein tersebut yang tepat masih menjadi subjek penelitian. Tetapi meliputi fasilitas absorpsi
antara udara dan cairan, stabilisasi lapisan permukaan, mendaur ulang surfaktan kembali
menjadi sel tipe II, dan mungkin, fungsi imunologis. Sintesis dan sekresi surfaktan
dikendalikan oleh interaksi kompleks faktor hormonal, termasuk kortisol, tiroid, prolaktin,
testosteron, dan oleh ikatan untuk reseptor adrenergik-B.

Dalam paru, bahan aktif permukaan memperbesar ekspirasi pasif dengan pembentukan
tegangan permukaan yang tinggi ketika luas permukaan paru besar (yaitu, pada akhir
inspirasi). Pada volume paru rendah saat ekspirasi, surfaktan menstabilkan alveoli dengan
menurunkan tegangan permukaan ketika luas permukaan paru kecil. Pada saat lahir, epitel
paru bayi harus dilapisi dengan surfaktan agar paru tetap terisi udara pada ekspirasi-akhir.
Bila kekurangan surfaktan, atelektasis difus progresif akan terjadi dan menyebabkan sindrom
distres pernapasan.

Napas Pertama dan Awitan Pernapasan Kontinu

Rangsangan yang menyebabkan pernapasan pasca lahir pertama dan awitan pernapasan
kontinu meliputi hiperkarbia, pendinginan kulit, rangsangan taktil, dan mungkin, penurunan
kadar prostaglandin E2 atau faktor lain dari plasenta yang menghambat pernapasan janin.
Agar paru dapat berkembang dan terisi udara, upaya inspirasi pertama harus cukup kuat
untuk mengatasi tahanan cairan pekat pada jalan nafas, tahanan jaringan paru terhadap
perubahan bentuk, dan tegangan permukaan pada perbatasan udara cairan. Faktor terakhir ini
memberi tahanan besar pada pengembangan paru. Dengan napas pertama, tegangan oksigen
inspirasi dan pengembangan paru akan memfasilitasi sekresi surfaktan. Seperti yang telah
dicatat sebelumnya, surfaktan paru dalam cairan akan menurunkan tegangan permukaan dan
mempermudah pengembangan paru. Jika ada defisiensi surfaktan dan tegangan permukaan
tinggi, tekanan yang diperlukan untuk mengembangkan ruang udara terminal menjadi besar.
Karena unit respirasi paru berukuran kecil dan karena surfaktan sering mengalami defisiensi,
bayi yang lahir prematur memerlukan tekanan pengembangan yang lebih tinggi dibandingkan
bayi lahir cukup bulan.

Pada bayi lahir normal, pengembangan paru sudah lengkap dalam beberapa kali napas.
Dalam 1 jam setelah lahir, volume oparu (kapasitas residu fungsional) pada bayi cukup bulan
sudah normal ( yaitu, sekitar 30 mL/kg). Setelah pengembangan paru awal, cairan
intaalveolus bergerak kedalam interstisium, terutama ruang peribronkial dan perivaskular.
Selama beberapa jam berikutnya, cairan meninggalkan paru melalui penyerapan kedalam
pembuluh darah dan reainase limfatik. Keterlambatan pembuangan cairan paru akan
mengganggu pemindahan gas pernapasan dan menyebabkna distres pernapasan. Jika ringan,
hal ini dapat dilihat sebagai takipnea sekilas pada bayi baru lahir. Jika lebih berat, mungkin
jelas tampak distres pernapasan yang kaan merangsang penyakit membran hialin ringan.

Pengembangan paru awal bergantung pada kemampuan bayi untuk menciptakan upaya
inspirasi yang kuat dan menghasilkan tekanan transpumonal yang tinggi. Faktor yang
merangsang awitan pernapasan pascalahir bekerja melalui sistem saraf pusat, dan efeknya
akan ditumpulkan jika bayi terdepresi oleh hipoksia, obat, atau cidera neurologis. Besarnya
tekanan transulmonal ditentukan oleh aktivitas sistem saraf pusat, stabilitas dinding dada, dan
kekuatan otot pernapasan bayi tersebut. Bayi yang lahir prematur mempunyai dinding dada
yang lebih lentur, otot yang lebih lemah, paru yang lebih kaku dibandingkan bayi yang
dilahirkan cukup bulan.

Sesudah paru berkembang terisi udara, tahanan vaskular paru menurun dan aliran darah
paru meningkat. Dengan mengembangnya paru, awitan pernapasan yang kontinu, dan
terbentuknya pola sirkulasi pascalahir, bayi akan mampu memenuhi kebutuhan metaboliknya
jika tidak terlalu stres, dan jika paru dapat tetap terisi udara selama siklus pernapasan
berikutnya. Kegagalan terjadinya perubahan normal tersebut pada saat lahir menyebabkan
meningkatnya gawat napas, dan hal tersebut dapat menyebabkan hipoksia serta asidosis.

Asfiksia Neonatorum

Asfiksia neonatorum ialah suatu keadaan bayi baru lahir yang gagal bernafas secara
spontan dan teratur segera setelah lahir (Hutchinson, 1967). Keadaan ini disertai dengan
hipoksia, hiperkapnia dan berakhir dengan asidosis. Hipoksia yang terdapat pada penderita
asfiksia ini merupakan faktor terpenting yang dapat menghambat adaptasi bayi baru lahir
terhadap kehidupan ekstrauterin (Grabiel Duc, 1971). Penilaian statistic dan pengalaman
klinis atau patologi anatomis menunjukan bahwa keadaan ini merupakan penyebab utama
mortalitas dan morbiitas bayi baru lahir. Hal ini dibuktikan oleh Drage dan Berendes (1966)
yang mendapatkan bahwa skor apgar yang rendah sebagai manifestasi hipoksia berat pada
bayi saat lahir akan memperlihatkan angka kematian yang tinggi.3

Etiologi

Pengembangan paru bayi baru lahir terjadi pada menit-menit pertama kelahiran dan
disusul dengan pernapasan teratur. Bila terdapat gangguan pertukaran gas atau pengangkutan
O2 dari ibu ke janin, akan terjadi asfiksia janin atau neonates. Gangguan ini dapat timbul pada
masa kehamilan, persalinan atau segera setelah lahir. Hampir sebagian besar asfiksia bayi
baru lahir ini merupakan kelanjutan asfiksia janin, karena itupenilaian janin selama masa
kehamilan, persalinan memegang peran yang sangat penting untuk keselamatan bayi. Asfksia
yang timbul dalam masa kehamilan dapat dibatasi atau dicegah dengan melakukan
pengawasan antenatal yang adekuat dan melakukan korekasi sedini mungkin terhadap setiap
kelaininan yang terjadi. Penghentian kehamilan dapat dipikirkan bila kelainan yang timbul
tidak dapat diatasi dan keadaan bayi telah mengijinkan. Gangguan yang timbul pada akhir
kehamilan atau persalinan hamper selalu disertai anoksia/hipoksia janin dan berakhir dengan
aksfiksia neonates. Penggolongan penyebab kegagalan pernafasan pada bayi terdiri dari :

1. Faktor Ibu

Hipoksia ibu. Hal ini dapat menimbulkan hipoksia janin dengan segala akibatnya.
Hipoksia ibu ini dapat terjadi karena hipoventilasi akibat pemberian obat analgetik
atau anastesia dalam. Mengurangnya aliran darah pada uterus akan menyebabkan
berkurangnya pengaliran oksigen ke plasenta dan demikian pula ke janin. Hal ini
sering ditemukan pada keadaan :

a) Gangguan kontraksi uterus, misalnya hipertoni, hipotoni, atau tetani uterus


akibat penyakit atau obat.
b) Hipotensi mendadak pada ibu karena perdarahan
c) Hipertensi pada penyakit eklampsia dan lain lain.
2. Faktor Plasenta

Pertukaran gas antara ibu dan janin dipengaruhi oleh luas dan kondisi plasenta.
Asfiksia janin akan terjadi bila terdapat gangguan mendadak pada plasenta, misalnya
solusio plasenta dll.

3. Faktor Fetus

Kompresi umbilikus akan mengakibatkan terganggunya aliran darah dalam pembuluh


darah dalam umbilikus dan menghambat pertukaran gas antara ibu dan janin.
Gangguan aliran darah ini dapat ditemukan pada keadaan talipusat menumbung,
talipusat melilit leher, kompresi tali pusat antara janin dan jalan lahir dll.

4. Faktor Neonatus

Depresi pusat pernapasan pada bayi baru lahir dapat terjadi karena beberapa hal yaitu:

a) Pemakaian obat anastesia / analgetika yang berlebihan pada ibu secara


langsung dapat menimbulkan depresi pusat pernapasan janin.
b) Trauma yang terjadi pada persalinan, misalnya perdarahan intracranial
c) Kelainan kongenital pada bayi misalnya hernia diafragmatika, astresia/
stenosis saluran pernapasan, hypoplasia paru dan lain-lain.

Patofisiologis dan gambaran klinis

Pernapasan spontan bayi baru lahir bergantung kepada kondisi janin pada masa
kehamilan dan persalinan. Proses kelahiran sendiri selalu menimbulkan asfiksia ringan yang
bersifat sementara pada bayi (asfiksia transien). Proses ini dianggap sangat perlu untuk
merangsang kemoreseptor pusat pernapasan agar terjadi “primary gasping” yang kemudian
akan berlanjut dengan pernapasan teratur. Sifat asfiksia ini tidak mempunyai pengaruh buruk
karena reaksi adaptasi bayi dapat mengatasinya.

Bila terdapat gangguan pertukaran gas atau pengangkutan oksigen selama kehamilan
atau persalinan, akan terjadi asfiksia yang lebih berat. Keadaan ini akan mempengaruhi
fungsi sel tubuh dan bila tidak teratasi akan menyebabkan kematian. Kerusakan dan
gangguan fungsi ini dapat reversibel atau tidak bergantung kepada berat dan lamanya
asfiksia. Asfiksia yang terjadi dimulai dengan suatu periode apnu (primary apnoea) disertai
dengan penurunan frekuensi jantung. Selanjutnya bayi akan memperlihatkan usaha bernafas
(gasping) yang kemudian diikuti oleh pernapasan teratur. Pada penderita asfiksia berat, usaha
bernafas ini tidak tampak dan bayi selanjutnya berada dalam periode apnu kedua (secondary
apnoea). Pada tingkat ini disamping bradikardi ditemukan pula penurunan tekanan darah.

Disamping adanya perubahan klinis, akan terjadi pula gangguan metabolisme dan
perubahan keseimbangan asam-basa pada tubuh bayi. Pada tingkat pertama gangguan
pertukaran gas mungkin hanya menimbulkan asidosis respiratorik. Bila ganggung berlanjut,
dalam tubuh bayi akan terjadi proses metabolisme anaerobic yang berupa glikolisis glikogen
tubuh, sehingga sumber glikogen tubuh, terutama pada jantung dan hati akan berkurang.
Asam organic yang terjadi akibat metabolism ini akan menyebabkan timbulnya asidosis
metabolic. Pada tingkat selanjutnya akan terjadi perubahan kardiovaskular yang disebabkan
oleh beberapa keadaan diantaranya :

a) Hilangnya sumber glikogen dalam jantung akan mempengaruhi fungsi jantung


b) Terjadinya asidosis metabolic akan mengakibatkan menurunnya sel jaringan, termasuk
otot jantung, sehingga menimbulkan kelemahan jantung
c) Pengisian udara alveolus yang kurang adekuat akan menyebabkan tetap tingginya
resistensi pembuluh darah paru, sehingga sirkulasi darah ke paru dan demikian pula ke
system sirkulasi tubuh lain akan mengalami gangguan

Asidosis dan gangguan kardiovaskuler yang terjadi dalam tubuh berakibat buruk
terhadap sel otak. Kerusakan sel otak yang terjadi menimbulkan kematian atau gejala sisa
pada kehidupan bayi selanjutnya.

Maclaurin (1970) menggambarkan secara skematis perubahan yang penting dalam


tubuh selama proses asfiksia disertai hubungannya dengan gambaran klinis.
Pada skema tersebut secara sederhana disimpulkan keadaan-keadaan pada asfiksia yang
perlu mendapat perhatian sebaiknya, yaitu :

1. Menurunnya tekanan O2 darah (PaO2)


2. Meningginya tekanan CO2 darah (PaCO2)
3. Menurunnya pH (akibat asidosis respiratorik dan metabolic
4. Dipakainya sumber glikogen tubuh untuk metabolism anaerobic
5. Terjadinya perubahan system kardiovaskular.

Penilaian secara apgar mempunyai hubungan yang bermakna dengan mortalitas dan
morbiditas bayi baru lahir. Skor apgar ini biasanya dinilai 1 menit setelah bayi lahir lengkap,
yaitu pada saat bayi telah diberi lingkungan yang baik serta telah dilakukan pengisapan
lender dengan sempurna. Skor apgar 1 menit ini menunjukan beratnya asfiksia yang diderita.
Skor apgar perlu pula dinilai setelah 5 menit bayi lahir, karena hal ini mempunyai korelasi
yang erat dengan morbiditas dan mortalitas neonatal.

Tindakan Pada Asfiksia Neonatorum

Resusitasi pada Anak3

Langkah-langkah tindakan pada resusitasi dapat dibagi menjadi tiga tahapan, yaitu :

Tahapan I : tunjangan hidup dasar (basic life support A,B,C)

Tahapan II : tunjangan hidup lanjutan (Advanced life support D,E,F)

Tahapan III : tunjangan hidup terus menerus (prolonged life support G,H,I)

Tunjangan Hidup Dasar (Basic Life Support A – B – C )

Tunjangan hidup dasar terdiri atas usaha yang segera untuk menunjang terjaminnya
jalan nafas (Airway) yang tetap terbuka dan lancer, pernapasan buatan dan oksigenasi yang
mencukupi (Breathing) serta mengembalikan perdarahan (Circulation) yang terhenti hingga
berjalan kembali.
A – Airway (Jalan Napas)

1. Pembersihan Jalan Nafas

Jalan nafas diperiksa kemudian kepala dimiringkan ke satu sisi sehingga cairan yang
mungkin terdapat di ruang orofaring dapat keluar dengan sendirinya. Dengan bantuan
sepotong kain dan dengan menggunakan jari-jari, benda padat dapat dikeluarkan
melalui mulut. Apabila ada alat pengisap (Suction Apparatus), maka dengan
menggunakan kateter pengisap agak besar (no 10 atau 12) ruangan orofaring dan
hidung dapat dibersihkan.

2. Sniffing Position

Segera setelah yakin jalan nafas bersih, anak diletakan dalam sniffing position. Hal ini
dilakukan dengan mengganjal bahu pada penderita yang ditelentangkan, kemudian
kepala di tarik ke belakang sehingga leher dalam posisi hiperekstensi. Tindakan ini
dilakukan untuk mencegah jatuhnya lidah kebelakang sehingga menekan dinding
faring bagian belakang yang akan menutupi jalan nafas.

3. Artificial Airway

Apabila dengan cara tadi pembebasan jalan nafas masih belum memuaskan, maka
dapat dibantu dengan memasang alat jalan nafas buatan berupa nasooropharingeal
airway untuk mencegah terhalangnya jalan nafas oleh lidah. Ukuran yang digunakan
hendaknya disesuaikan pula dengan besar anak. Pemasangan oropharingeal airway
pada bayi dan anak sangat menguntungkan oleh karena lidah anak relative besar
daripada orang dewasa sehingga mudah sekali menutupi jalan nafas.

4. Intubasi Endotracheal

Langkah selanjutnya yang dapat dilakukan apabila pembebasan jalan nafas belum
memuaskan ialah dengan melakukan intubasi endotrakeal. Dalam keadaan darurat
lebih mudah dilakukan intubasi orotrakeal daripada daripada nasotrakeal. Pilihlah
laringoskop yang ukurannya sesuai dengan besar anak. Pada bayi yang keci lebih
mudah menggunakan laringoskop dengan daun yang lurus., sedangkan pada anak
besar dan dewasa dengan daun yang lengkung.

Mulut dingagakan dengan jari-jari tangan kanan dan dengan tangan kiri kemudian
ujung daun laringoskop dimasukkan di atas lidah pada sudut mulut sebelah kanan.
Daun laringoskop didorong ke dalam mulut kearah tenggorok, sambil menggeser
lidah anak ke sebelah kiri ruang mulut. Rahang bawah didorong ke bawah dengan
menarik laringoskop sesuai dengan sumbu pegangan (handle) sehingga terlihat
eoiglotis. Apabila digunakan daun laringoskop yang lurus, maka dengan ujung daun
laringoskop epiglottis diangkat kea rah anterior, dan apabila digunakan daun
laringoskop yang lengkung diletakan di sebelah depan epiglottis dan mendorongnya
lebih ke anterior. Dengan cara demikian maka akan tampak pita suara dan lubang
tenggorok. Dengan tangan kanan, tabung endotrakeal yang sesuai dengan besarnya
anak dimasukkan 5-7 cm, pada bayi 1-2 cm, pada orang dewasa dan anak besar
digunakan tabung endotrakeal dengan balon, sedang pada anak dibawah umur 5 tahun
tanpa balon.

5. Krikotirotomi

Tindakan ini dilakukan apabila pada penderita memerlukan intubasi endotrakeal


sedangkan fasilitas tidak ada atau tidak ada yang cakap melakukannya, maka suatu
pungsi membrane krikotiroid dapat dipertimbangkan sebagai salah satu jalan untuk
membuka jalan nafas dengan segera. Tindakan ini dapat dilakukan dengan
menggunakan sebuah pisau atau jarum yang cukup besar. Hal ini sangat berguna pada
penyumbatan jalan nafas sebelah atas, seperti difteria, laryngitis akut. Mengingat
bahaya yang dapat timbul sebagai akibat terlukanya laring, maka tindakan ini
merupakan cadangan apabila memang tidak ada jalan lain untuk membebaskan jalan
nafas.

6. Trakeostomi

Tindakan trakeostomi tidak dipertimbangkan sebagai tindakan untuk reoksigenasi


dalam keadaan darurat, akan tetapi merupakan suatu tindakan operasi berencana
untuk mendapatkan jalan nafas buatan untuk jangka waktu yang lebih lama.

B – Breathing (Pernapasan)

Pernapasan buatan segera harus dilakukan setelah jalan nafas bebas. Metode yang dianjutkan
pada pemberian pernafasan buatan ialah melakukan pemberian tekanan positif secara
intermiten ke dalam paru. Pernafasan buatan ini dapat diberikan dengan udara ekspirasi si
penolong, udara biasa, zat asam, atau campuran. Ada beberapa cara melakukan pernapasan
buatan yaitu :

1. Pernafasan mulut ke mulut atau hidung

Penderita di pertahankan dalam “sniffing position” si penolong menghirup nafas


dalam dan meniupkan udara melalui mulutnya ke dalam mulut atau hidung penderita.
Pernafasan buatan dengan mulut ke mulut pada anak dan remaja ini tidak berbeda
seperti pada orang dewasa, kecuali volume tiupan udara harus disesuaikan dengan
ukuran anak. Pada bayi, pernafasan dapat dilakukan dengan peniupan langsung
kedalam hidung dan mulut sekaligus; udara yang ditiupkan cukup dengan udara yang
ada di dalam mulut si penolong dengan frekuensi yang disamakan seperti yang di
perlihatkan pada table 1.

Frekuensi Bayi Anak Remaja


jantung 120 - 140 100 - 120 80 - 100
nafas 24 - 30 20 - 24 12 - 18

Peniupan ini dilakukan dengan perhatian si penolong ditujukan keatas dada untuk
mengetahui apakah dada berkembang dengan baik. Kalau dada tidak berkembang,
maka kemungkinan ada kebocoran pada hidung atau mulut atau terdapat obstruksi
jalan nafas. Dalam hal demikian maka perbaiki lagi posisi penderita, bersihkan jalan
nafas dan coba lagi meniup seperti tadi. Apabila dada tidak mengembang tetap terlihat
perut yang bertambah kembung, maka kemungkinan jalan nafas tersumbat. Perut yang
kembung ini akan sangat mengganggu ventilasi, oleh karena itu harus diusahakan
untuk dikempeskan dengan menekan perut ke belakang dan ke atas, ke arah
diafragma, sehingga udara di dalam lambung dapat dikeluarkan melalui mulut, dan
untuk mencegah regurgitasi hendaknya posisi kepala dimiringkan dan mulut dibuka.

Lakukan pernafasan buatan ini 3 – 5 kali terlebih dahulu, baru kemudian penolong
melakukan pemeriksaan nadi dan jantung untuk mengetahui apakah sirkulasi juga
terhenti. Apabila nadi teraba, pernafasan buatan ini dilanjutkan dengan kecepatan
yang sesuai dengan pernafasan normal. Untuk kepentingan hygiene dan estetika,
maka mulut atau hidung penderita dapat dilapisi dengan sehelai sapu tangan atau kain
kasa.

2. Pernafasan dari mulut ke alat penghubung

Dengan menggunakan oropharyngeal airway berbentuk S atau sebuah masker khusus,


maka pernafasan mulut ke mulut dapat dilakukan dengan lebih mudah dan lebih
estetis.

3. Pernafasan dengan balon masker

Dengan menggunakan alat pernafasan yang terdiri atas :

a) Sebuah balon atau bola yang terbuat dari karet atau plastic yang dapat di
kempeskan dan kemudian gembung kembali sendiri (self refilling, self
inflating bag)
b) Sebuah katup yang bersifat searah (non-rebreathing valve) sehingga udara
tidak dapat masuk kembali ke dalam balon dari arah katup, akan tetapi
meskipun tanpa tekanan pada balon, udara masih dapat mengalir dengan
mudah dari balon kearah katup apabila dihirup (pada penderita yang masih
bernafas spontan). Katup ini disertai system pengaman sehingga tekanan yang
dikeluarkan tidak dapat melebihi 50 cm udara bagi orang dewasa dan 30 udara
bagi bayi.
c) Sebuah masker yang menutupi hidung dan mulut, serta mempunyai bentuk
yang sesuai dengan muka penderita sehingga apabila ditutupi ke muka tidak
terdapat kebocoran. Si penolong memegang masker dengan sebuah tangan dan
menekankan masker ke muka penderita sehingga lubang hidung dan mulut
tertutup rapat. Apabila dengan cara ini masih terjadi obstruksi, maka dapat
dibantu dengan memasang oropharingeal airway dalam mulut di bawah
masker tadi. Tangan yang satu lagi digunakan untuk memijat balon
sedemikian rupa sehingga terjadi inspirasi, yaitu dengan memperhatikan
pengembangan dada.
4. Pernafasan dengan ventilator otomatik manual.

Sebuah botol oksigen digunakan dengan alat yang dibuka dan ditutup dengan
menekan dengan jari pada sebuah tombol atau alat pembuka penutup benda lain.
Lamanya pembukaan oksigen bergantung kepada lamanya menekan tombol. Oksigen
yang dialirkan ini kemudian melalui suatu katup seperti alat pernafasan dengan balon.
Inspirasi diperoleh dengan menekan tombol dan ekspirasi dengan melepas tombol.
Pada bayi kecil, alat ini agak berbahaya oleh karena sering menyebabkan pecahnya
alveoli dan terjadinya pneumotoraks.

5. Pernafasan dengan mesin pernafasan otomatik.

Pada penderita yang telah terdapat pernafasan spontan. Selanjutnya dapat di berikan
bantuan inhalasi zat asam dengan berbagai cara (kateter hidung masker zat asam,
tenda zat asam, dll) apabila masih diperlukan dapat diberikan bantuan pernafasan
dengan mesin, yaitu apabila pernafasan dianggap kurang adekuat atau tampak
dangkal. Alat ini umunya tersedia di ruang perawatan intensif.

C – Circulation (peredaran darah)

Seperti telah dikemukakan tadi, pertama kali si penolong harus memberikan dahulu
pernafasan buatan 3-4 kali, baru memeriksa apakah ada peredaran darah atau tidak. Apabila
peredaran darah terhenti pula, maka segera diberikan bantuan sirkulasi dengan tetap
mempertahankan posisi, dan memberikan bantuan pernafasan secara bergantian. Bantuan
sirkulasi buatan dapat berbentuk :

1. Kompresi jantung dari luar dengan tangan (manual external cardiac compression)

Letak jantung adalah pada ruangan yang kira-kira berada antara tulang dada (sternum)
dan tulang belakang, pada orang dewasa letaknya di 1/3 bagian bawah, sedang pada
bayi di tengah (midsternum).

Peredaran darah dilakukan dengan penekanan atau kompresi tulang dada kearah
tulang belakang sehingga jantung terjepit di antaranya dan seolah-olah diperas
sehingga isinya keluar. Pada waktu tekanan pada tulang dada dilepaskan, dinding
toraks dada yang elastis akan menyebabkan rongga dada berkembang sendiri dan
jantung akan terisi kembali dengan darah. Dalam melakukan kompresi jantung dari
luar, harus efektif dan tidak menyebabkan luka-luka dan patah tulang iga, kompresi
dilakukan dengan tetap mempertahankan jalan nafas yang terbuka.

Penderita diletakkan terlentang pada dasar yang keras di bagian punggung, misalnya
dengan meletakkan sehelai papan dibawah penderita apabila ia berada di atas kasur.
Dari samping penderita, si penolong meletakkan salah satu telapak tangannya di atas
tulang dada yang akan di tekan, dan meletakkan telapak yang lain di atas tangan yang
tadi. Kemudian dilakukan penekanan tulang dada kearah tulang punggung dengan
menggunakan tenaga berat badan si penolong dengan kedua lengan dalam posisi
lurus, pertahankan ½ detik dan kemudian lepaskan dnegan cepat. Kompresi ini
dilakukan berulang-ulang dengan kecepatan yang tidak kurang dari 80 kali/menit.

Pada anak yang kecil tidak perlu alas punggung yang keras, melainkan cukup dengan
meletakkan sebelah telapak tangan dibawah punggung penderita dan menekan
ditengah tulang dada penderita dengan telapak yang lain. Penekanan di tempat yang
terlalu rendah dapat menyebabkan rupture hepar.

Daftar pustaka

1. Abraham M. Rudolph, Julien I.E. Hoffman, Colin D. Rudolph. Buku ajar pediatri
Rudolph.ed 20, Vol 3. Jakarta; EGC. 2007. h.1725-728
2. Diunduh dari : http://raihanysm.blogspot.com/2011/01/anatomi-fisiologi-sistem-
kardiovaskuler.html pada tanggal 17 november 2018
3. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Buku
kuliah ilmu kesehatan anak. Vol 3. Jakarta; INFOMEDIKA. 1997. h.998-1017 & h.
1072-1077
4.

You might also like