You are on page 1of 41

BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Perkawinan merupakan babak baru bagi individu untuk memulai suatu kewajiban dan
berbagi peran yang sifatnya baru dengan pasangannya. Fungsi peran akan menentukan tugas dan
kewajiban individu dalam suatu keluarga yang harmonis. Dengan lembaga tersebut akan
diperoleh aturan hukum yang melindungi keberadaan hubungan tersebut di dalam masyarakat.
Pada masa selanjutnya, kemudian pasangan tersebut menjadi sebuah keluarga yang di dalamnya
terdiri dari seorang ayah, ibu, dan anak atau tanpa anak sekalipun. Dalam menjalani kehidupan
berkeluarga tentunya tidak semudah dan semulus yang dibayangkan, pasti banyak lika-liku
masalah yang harus dihadapi oleh keluarga tersebut. Di sini pengertian dan rasa kebersamaan
kekeluargaan sangat dibutuhkan agar pada nantinya semua dapat dihadapi dan sesuai dengan
harapan dari masing-masing anggota keluarga tersebut.1
Pada kenyataannya bahwa tidak semua keluarga dapat berjalan mulus dalam mengarungi
bahtera rumah tangga, karena dalam keluarga tidak sepenuhnya dapat dirasakan kebahagiaan,
saling mencintai dan menyayangi, melainkan juga dapat hadir rasa ketidaknyamanan, tertekan,
atau kesedihan dan saling takut dan benci di antara sesamanya. Hal ini diindikasikan dengan
masih dijumpainya pada sejumlah rumah tangga yang bermasalah, bahkan terjadi berbagai ragam
kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Ironisnya jumlah kekerasan yang terjadi semakin hari
semakin meningkat baik secara kuantitatif maupun kualitatif.2
Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama
perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual,
psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,
pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Indonesia memiliki UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga (UU PKDRT) yang kemudian mulai diberlakukan pada tahun 2005. Kehadiran
UU PKDRT dengan tegas menyatakan tindakan kekerasan fisik, psikologis, seksual dan
penelantaran yang dilakukan di dalam lingkup rumah tangga sebagai sebuah tindakan pidana.
Bahkan Undang-Undang ini melindungi hak perempuan untuk bebas dari marital rape atau
perkosaan dalam perkawinan. Undang-Undang ini tidak hanya dilengkapi dengan pengaturan
sanksi tetapi juga tentang hukum acaranya karena KDRT adalah isu yang membutuhkan

6
penanganan khusus. Termasuk di dalamnya adalah tentang kewajiban negara memberikan
perlindungan segera kepada korban yang melapor. Ini adalah sebuah terobosan hukum yang
sangat penting bagi upaya penegakan HAM pada umumnya, mengingat sampai hari ini pun
belum ada lagi sistem perlindungan untuk sanksi dan korban.3,4

1.2 Epidemiologi
Laporan WHO tahun 2002 mengenai “Violence and Health” (Kekerasan dan Kesehatan)
menunjukkan kualitas kesehatan perempuan menurun drastis akibat kekerasan yang dialaminya.
Hal tersebut dibuktikan bahwa antara 40-70 persen perempuan yang meninggal karena
pembunuhan, umumnya dilakukan oleh mantan atau pasangannya sendiri.3 Studi yang dilakukan
WHO di 10 negara menunjukkan 15-71 persen wanita mengalami kekerasan fisik atau seksual
yang dilakukan oleh suami atau pasangannya.5
Data tahun 2007 Mitra Perempuan Women’s Crisis Center (WCC) 6 mencatat 87 persen
dari perempuan korban kekerasan yang mengakses layanannya mengalami KDRT, dimana
pelaku kekerasan terbanyak adalah suami dan mantan suaminya (82,75%). Fakta tersebut juga
menunjukkan 9 dari 10 perempuan korban kekerasan yang didampingi WCC mengalami
gangguan kesehatan jiwa, 12 orang pernah mencoba bunuh diri; dan 13,12 persen dari mereka
menderita gangguan kesehatan reproduksinya.5
Hingga saat ini Indonesia belum mempunyai statistik nasional untuk tindak KDRT.
Pencatatan data kasus KDRT dapat ditelusuri dari sejumlah institusi yang layanannya terkait
sebagaimana diatur dalam UU Penghapusan KDRT dan Peraturan Pemerintah No. 4 tahun 2006
tentang Penyelenggaraan dan Kerjasama Pemulihan Korban kekerasan Dalam Rumah Tangga.5
Kekerasan Dalam Rumah Tangga memiliki tren yang terus meningkat dari tahun ke tahun.5
Korban KDRT yang cukup menonjol adalah kekerasan terhadap istri (96%).6
Angka-angka yang dilaporkan harus dilihat dalam konteks fenomena gunung es, kekerasan
yang tercatat itu jauh lebih sedikit dari yang seharusnya dilaporkan karena tidak semua
perempuan yang mengalami kekerasan bersedia melaporkan kasusnya. Di samping itu kasus
kekerasan dalam rumah tangga dianggap persoalan privasi karena merupakan persoalan pribadi
maka masalah-masalah KDRT dianggap sebagai rahasia keluarga. Padahal, justru anggapan ini
membuat masalah ini sulit dicarikan jalan pemecahannya.7,8

7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
2.1.1 Keluarga
Menurut UU No. 23 Tahun 2004, keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang
terdiri dari suami istri, atau suami istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan
anaknya, atau keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai dengan derajat
ketiga.3
Lingkup rumah tangga, meliputi:3
a. Suami, istri, dan anak (termasuk anak angkat dan anak tiri)
b. Orang–orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud
huruf a karena karena hubungan darah perkawinan (mertua, menantu, ipar, besan),
persusuan, pengasuhan, dan perwalian yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau
c. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.
2.1.2 Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama
perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual,
psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,
pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan yang melawan hukum dalam lingkungan rumah
tangga.3

2.2 Bentuk – Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga


Mengacu kepada UU No. 23 Tahun 2004 Pasal 5 tentang Penghapusan Kekerasan dalam
Rumah tangga, kekerasan dalam rumah tangga dapat berwujud :
a. Kekerasan Fisik
Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka
berat.3,9
Kekerasan fisik yang dimaksudkan disini tidak semata-mata berkaitan dengan fisik dalam
pengertian tubuh korban, seperti melakukan kekerasan fisik (penganiayaan) seperti: ditampar,
dipukul menggunakan alat, ditinju, ditendang, membanting ke lantai, membenturkan kepala ke
tembok rumah dan ada juga yang menginjak perut korban serta ada juga yang mengancam

8
dengan menggunakan parang tetapi juga yang berhubungan dengan material/property yang
dimiliki keluarga. Hal mana dapat disebutkan bahwa pelaku melakukan tindakan
menghancurkan, memecahkan atau merusak barang – barang yang ada.10
b. Kekerasan Psikis
Kekerasan Psikis merupakan perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa
percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan
psikis berat pada seseorang.3,9
Kekerasan psikologis ini sering juga dikenal dengan kekerasan mental atau dalam beberapa
referensi ada juga yang memakai istilah tersebut dengan kekerasan verbal. Apapun istilahnya
yang dianggap lebih cocok, yang jelas kekerasan jenis ini tidak menimbulkan bukti - bukti fisik
seperti adanya memar, luka, goresan dan lain sebagainya, melainkan kekerasan psikologis ini
lebih berdampak pada kejiwaan dan umumnya pemulihannya tidaklah mudah, bahkan dapat
melampaui waktu yang cukup lama. Kekerasan psikologis dapat merusak jiwa, semangat
seseorang sebab menghilangkan kegembiraan dan vitalitas hidup.10
c. Kekerasan Seksual
Kekerasan seksual yaitu setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual yang
dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut. Pemaksaan
hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain
untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.3,9
Bentuk kekerasan seksual yang dialami oleh korban tidak bervariasi banyak sebagaimana
dengan bentuk kekerasan lainnya. Biasanya berupa adanya pemaksaan atau pemerkosaan
terhadap isteri sendiri untuk melakukan hubungan intim dan selain itu adanya pelecehan seksual
terhadap isteri.10
d. Penelantaran Rumah Tangga
Penelantaran rumah tangga yakni perbuatan menelantarkan orang dalam lingkup rumah
tangga, padahal menurut hukum yang berlaku bagi yang bersangkutan atau karena persetujuan
atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang
tersebut. Penelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan
ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak didalam atau di
luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.3,9

9
Kekerasan yang dimaksud juga merupakan bagian dari kekerasan psikis yang dapat
menimbulkan berbagai tekanan mental dan beban kerja bagi perempuan. Kekerasan penelantaran
keluarga ini terjadi ketika laki - laki atau suami tidak mempedulikan keluarga dalam rumah
tangga, suami tidak memberikan nafkah kepada isteri dan anak, suami meninggalkan isteri dan
anak - anak dalam kurun waktu yang lama.10

2.3 Fase Siklus Kekerasan Dalam Rumah Tangga11

Lingkaran kekerasan atau yang dkenal dengan cycle of abuse adalah sebuah teori sosial
yang dikembangkan oleh Lenore Walker pada tahun 1970-an untuk menjelaskan pola perilaku
dalam kekerasan yang terjadi pada sebuah hubungan. Walker berpendapat bahwa kekerasan yang
terjadi dalam sebuah hubungan biasanya terjadi secara berulang-ulang, bentuk kekerasan yang
terjadi seperti pelecehan baik secara psikis, emosional atau fisik. Walker juga menyatakan
bahwa biasanya kekerasan sceara psikologis biasanya diawali dengan kekerasan secara fisik.
Selain itu Walker juga menyatakan bahwa siklus tersebut yang jika terjadi terus menerus akan
mengakibatkan ketidakberdayaan kepada korban sehingga akan menimbulkan battered person
syndrome kepada korban. Lingkaran kekerasan ini digunakan untuk memahami konsep
kekerasan di dalam rumah tangga, namun pada perkembangannya konsep ini juga dapat
digunakan sebagai pisau analisis dalam melihat kekerasan yang terjadi di dalam pacaran.11
Fase-fase kekerasaan yang sering terjadi dalam sebuah hubungan biasanya akan terus berulang
dan tidak akan berhenti jika sudah dimulai terus menerus tanpa ada tindakan “menentang” atau
“melawan” yang dilakukan oleh korban kepada pelaku.11 Perilaku kekerasan yang dilakukan
oleh pelaku kepada pasangannya selalu akan berulang baik dalam hitungan jam, bulan, tahun
dan bahkan kondisi-kondisi yang tidak pernah di duga, pola kekerasan yang sering terjadi
dalam sebuah hubungan banyak dipengaruhi beberapa faktor, diantaranya masih timpangnya
pola relasi suatu hubungan dengan ada yang mendominasi dan didominasi, budaya patriakhi
dengan memposisikan laki-laki lebih superior daripada perempuan, pemahaman tafsiran-tafsiran
agama yang masih bias gender dengan menyatakan bahwa isteri tidak boleh membantah ataupun
menolak permintaan suami. Untuk melihat bagimana bentuk-bentuk kekerasan yang terjadi di
dalam “lingkaran kekerasan”, berikut adalah pembagian fase-fase kekerasan yang ada dalam
lingkaran kekerasan, yaitu:

10
A. Tension Building Phase (Fase Pembagunan Ketegangan)

Pada fase ini merupakan fase awal lahirnya tindak kekerasan di dalam sebuah hubungan,
biasanya bentuk-bentuk kekerasan yang timbul diawali dari komunikasi yang buruk, hinaan
kepada pasangan, pemukulan dalam bentuk tamparan dan tindakan kekerasan fisik “kecil”
lainya kepada korban. Pada fase ini biasanya korban (isteri) akan mulai menjaga jarak untuk
tidak menimbulkan konflik dengan pelaku (suami), namun pada kenyataanya modifikasi yang
dilakukan oleh korban ternyata malah membuat ketegangan yang makin memuncak kepada
pelaku dan bahkan pelaku akan melakukan tindakan yang lebih brutal. Pada fase awal korban
dapat merasakan beberapa hal, yaitu:

 Mencoba untuk menjaga dan membina keharmonisan dengan pelaku dan berusaha keluar
dari ketakutkan.
 Memanipulasi atau menjaga kondisi yang kondusif di dalam hubungan untuk mencegah
terjadinya ketegangan yang dapat memicu kekerasan.
 Mulai menarik diri untuk relaksasi dan menenangkan diri dari tekanan yang ada.
B. Acting-out phase (Fase Tindakan Kronis)

Pada fase ini, tindakan yang dilakukan oleh pelaku makin kasar dan bahkan
mengakibatkan luka fisik kepada korban, namu para isteri (korban) sering kali mengingkari
tindakan yang dilakukan oleh suami (pelaku) dan korban juga tidak mau mendapatkan
perwatan serta pengobatan atas luka yang ditimbulkan oleh tindak kekerasan tersebut. Pada
fase ini korban akan mulai merasakan beberapa hal diantaranya:

 Merasa sudah tidak bisa mengontrol diri.


 Menunggu untuk mendapatkan perawatan medis jika korban memilih untuk melakukan
hal tersebut.
 Tidak percaya terhadap hukum dan aparat penegak hukum, takut menghukum pelaku
melalui jalur hukum dan bahkan akan melindungi pelaku jika pelaku ditangkap oleh
polisi.

11
C. Honeymoon Phase/Reconsiliation Phase (Fase Bulan Madu/Fase Rekonsiliasi)

Pada fase ini, karateristik suami akan menjadi lebih baik, memohon maaf kepada isteri
dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya lagi. Jika sang isteri sedang dalam tahap
perawtan dan pengobatan dari luka yang dia derita, maka sang suami akan datang dengan
membawakan bunga, kado, benda-benda yang disenangi oleh isteri dan bahkan mengajak pihak
keluarga untuk mudah mendapatkan pengampunan kepada isteri, bahkan suami juga akan
mengatkan bahwa jika sang isteri meninggalkannya, hal tersebut akan berpengaruh kepada
perkembangan anak-anak mereka.

Dampak dari upaya yang dilakukan oleh suami dalam fase ini, pada umumnya akan
meningkatkan keyakinan isteri bahwa akan ada perbaikan kepada suami dan hubungan mereka
akan kembali menjadi lebih harmonis. Namun patut diingat bahwa pada fase ini terlihat
seperti ada upaya perdamaaian, tapi sebenarnya ini adalah suatu upaya untuk melanggengkan
tindakan-tndakan kekerasan lain lagi dikemudian hari.12

D. Calm Phase (Fase Penenangan)

Selama fase ini (fase ini sering dianggap sebagai bagian dari fase bulan madu), hubungan
antar pasangan relatif akan berjalan damai dan harmonis, namu dikarenakan tidak ada
pemotongan mata rantai di fase-fase sebelumnya maka kecenderungan untuk kembali ke fase
awal akan terjadi.

12
Diagram 1.Cycle of abuse.11
2.4 Faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Dalam mengeksplorasi penyebab kekerasan dalam rumah tangga titik awal adalah
pemeriksaan terhadap siapa yang mengalami dan melakukan kejahatan tersebut. Ada prediktor
yang kita tahu membuat kekerasan intim lebih mungkin terjadi. Seperti yang disarankan oleh
model ekologis, termasuk penggunaan alkohol atau obat-obatan terlarang, korban atau pelaku
yang lebih tua, atau lebih muda, dan dalam kasus korban perempuan, memiliki kecacatan, sedang
hamil, dan berpenghasilan rendah, walaupun penelitian tidak sepenuhnya jelas mengenai hal
terakhir ini.13

Sementara 15% wanita mengalami kekerasan pasangan intim, hanya 4,9% pria. Dari
pria yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga kemungkinan sekitar setengahnya
dilakukan oleh pasangan laki-laki. Apalagi bila rincian kejahatan tersebut dipatahkan.
Berdasarkan jenis kelamin, pola lain muncul yang selanjutnya membantah bahwa seperempat
korban adalah seorang pria di tangan seorang wanita. Misalnya, wanita jauh lebih mungkin
menggunakan kekerasan terhadap pria untuk membela diri: 75% wanita yang telah
menggunakan kekerasan terhadap pasangan pria mengatakan bahwa mereka hanya

13
melakukannya untuk membela diri, dan lebih dari separuh pasangan mereka setuju dengan ini hal
ini sebanding dengan hanya 8% laki-laki yang menggunakan kekerasan terhadap pasangan
perempuan mereka yang mengklaim bahwa hal itu dalam pembelaan diri.13

Perempuan barang kali tidak lagi memiliki ruang tersisa untuk merasa aman. Lingkup
keluarga dianggap sebagai tempat untuk meraih kebahagiaan bagi perempuan justru menjadi
tempat penyiksaaan bagi mereka yangmengalami tindak kekerasan olehsuaminya. Di dalam
rumah tangga, ketegangan maupun konflik merupakan hal yang sudah biasa terjadi. Perselisihan
pendapat, perdebatan, pertengkaran, bahkan memaki merupakan hal yang umum terjadi dalam
kehidupan rumah tangga. Kejadian-kejadian seperti itulah yang memicu ketidak harmonisan
diantara anggota keluarga. Tentunya tidak ada akibat jika tidak ada sebab yang melatarbelakangi.
Begitu juga dengan tindak kekerasan yang terjadi dalam lingkup rumah tangga, yang lebih
dikenal dengan sebutan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Lingkup rumah tangga yang
dipandang sebagai lingkungan yang sarat akan kedamaian dan kasih sayang, ternyata juga
menyisakan sekelumit kisah yang memilukan dan menimbulkan kepedihan. Melalui proses
pengkajian yang mendalam mengenai wacana kekerasan domestik, yaitu dengan melakukan
wawancara dengan korban yang telah mengalami kekerasan dalam rumah tangga(survivor),
ternyata terdapat beberapa faktor penyebab yang melatar belakangi seseorang melakukan
kekerasan, diantaranya adalah:14

a. Budaya Patriarkhi
Budaya yang mendudukan laki-laki sebagai makhluk superior dan perempuan
sebagai makhluk inferior (lemah), selain itu pemahaman yang keliru terhadap ajaran
agama sehingga mengaggap laki-laki boleh menguasai perempuan. Kekerasan juga
dapat terjjadi karena peniruan anak laki-laki yang hidup bersama ayah yang suka
memukul, biasanya akan meniru perilaku ayahnya.14
b. Perselingkuhan
Dalam hal ini perselingkuhan yang dimaksud adalah perselingkuhan yang dilakukan
oleh suami dengan perempuan lain ataupun suami menikah atau mempunyai istri lagi.
Perselingkuhan ini juga menjadi salah satu faktor seseorang melakukan tindak
kekerasan dalam rumah tangga. Setelah melakukan wawancara dengan beberapa
survivor, pada umumnya mereka telah dikhianati oleh suaminya sendiri. Perempuan

14
yang suaminya memiliki hubungan dengan perempuan lain (extra marital relationship)
mengalami trauma psikologis karena dua faktor, yaitu perempuan merasa tidak dicintai
dan posisinya diambil alih oleh orang lain serta suami menjadi berubah, yang
menunjukkan ada sesuatu yang kurang pada dirinya sebagai pasangan dan melihat
dirinya sebagai perempuan yang sudah tidak menarik lagi.14

c. Masalah Ekonomi
Kepala keluarga (suami) mempunyai tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan
rumah tangganya. Nafkah merupakan suatu hak yang dimiliki seorang istri atau anak
kepada ayahnya. Namun bila hal itu tidak diindahkan (dilakukan) oleh seorang ayah
maka dapat menjadi suatu bentuk kekerasan ekonomi, dimana hal ini dapat menjadi
penyebab terjadinya konflik (ketidakharmonisan) dalam keluarga.14

d. Bermain Judi
Judi merupakan sesuatu yang dilarang, baik oleh hukum maupun agama. Bermain judi
bagi sebagian kalangan memang sesuatu yang mengasyikkan, kadang malah membuat
segalanya menjadi lupa. Seperti yang dialami oleh Ibu I yang suaminya hobi mabuk
dan bermain judi. Awal ketidakharmonisan keluarga Ibu I dimulai saat orang tua Ibu I
membelikan menantunya, yang tak lain adalah suami Ibu I sebuah andong (dokar).
Bermaksud untuk menghidupi istri dan anakanaknya, namun pada kenyataannya uang
hasil jerih payahnya digunakan untuk berjudi dan minum minuman keras. Alhasil
orang tua Ibu I pun kecewa. Setelah mengetahui kejadian itu, suami Ibu I tersebut
meninggalkan keluarganya dan beralih ke perempuan lain. Bermula dari terlalu
menyukai hobinya yaitu berjudi dan minum-minuman keras, serta berlanjut dengan
penelantaran keluarga, akhirnya rumah tangga wawancara. Sabtu, 24 Januari 2009,
pukul 14.43. Ibu I berujung pada perpisahan. Suami Ibu I pergi meninggalkan istri
serta kedua anaknya dan memilih seorang janda yang sudah mempunyai dua orang
anak. Namun perpisahan ini hanya sebatas perpisahan, dan belum ada kata cerai
diantara mereka.14

e. Perbedaan Prinsip
Prinsip menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan asas (kebenaran yang
menjadi pokok dasar berpikir, bertindak, dan sebagainya) ataupun dasar. Seseorang

15
yang telah memiliki dasar dalam berperilaku maka akan selalu berpegang pada prinsip
yang diyakininya. Apabila ada orang lain yang mencoba untuk menggoyahkan prinsip
tersebut maka seseorang akan tersinggung dan tidak terima. Tidak terkecuali hubungan
antara suami istri dalam rumah tangga. Walaupun mereka telah menyatu dalam ikatan
pernikahan, namun tidak dapat dipungkiri jika keduanya memiliki prinsip yang
berbeda. Perbedaan prinsip inilah yang dapat menjadikan pertengkaran (kekerasan
dalam rumah tangga).14

2.5 Karakteristik Kekerasan Dalam Rumah Tangga

1. Faktor Usia
Pernikahan usia dini adalah pernikahan yang dilaksanakan pada usia yaitu perempuan
kurang dari 20 tahun dari laki-laki kurang dari 25 tahun. Dalam penelitian Lewis dan Spanier
tentang pernikahan di usia dini dan menemukan fenomena bahwa tingkat perceraian pria
yang menikah di usia remaja tiga kali lipat daripada tingkat perceraian pria yang menikah di usia
dua puluh tahun ke atas. Sedangkan pada wanita yang menikah di usia belasan tahun, tingkat
perceraiannya empat kali lipat dari pada tingkat perceraian wanita yang menikah di usia dua
puluh tahun ke atas.15
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Pasal 7, perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria mencapai umur 19tahun dan pihak wanita
sudah mencapai usia 16 tahun.16

Diagram 2. Karakteristik usia dengan jumlah pelaku dan korban KDRT tahun 2015 di
Indonesia.17

16
Berdasarkan Diagram 2, angka tertinggi kekerasan terhadap perempuan terjadi pada usia 25-
40 tahun, baik sebagai korban ataupun pelaku. Menyusul setelahnya di usia 13-18 tahun sebagai
korban, namun sebagai pelaku angka di usia ini jumlahnya lebih rendah. Urutan ketiga
tertinggi terjadi pada usia 19-24 tahun, baik sebagai pelaku ataupun korban. Ini berarti bahwa
kekerasan tertinggi terjadi pada usia nikah 25- 40 tahun dan usia nikah muda 19-24 tahun
sebagai akibat ketimpangan relasi gender antara laki-laki dan perempuan.17
2. Faktor Pendidikan

Diagram 3. Karakteristik Pendidikan dan jumlah pelaku dan korban KDRT tahun
2015 di Indonesia17
Berdasarkan Diagram 3, angka tertinggi korban dan pelaku kekerasan dalam rumah
tangga adalah berpendidikan SLTA, menyusul di bawahnya adalah mereka yang
berpendidikan SLTP dan sebagai korban berpendidikan SD. Jumlah pelaku yang berpendidikan
SD jauh lebih rendah dibanding sebagai jumlah mereka sebagai korban. Ini artinya, kekerasan
cenderung dilakukan oleh orang yang lebih tua kepada yang lebih muda. Sementara mereka yang
berpendidikan perguruan tingi relatif lebih sedikit yang menjadi korban, namun dibandingkan
dengan semua angka pada jenjang pendidikan lain, angka mereka yang berpendidikan perguruan
tinggi merupakan satu-satunya angka sebagai pelaku kekerasan yang lebih tinggi dibanding
sebagai korban. Data tersebut dapat berarti bahwa berpendidikan perguruan tinggi sedikitnya
dapat mengurangi kemungkinan menjadi korban dan sedikitnya pelaku KDRT dibanding mereka
yang berpendidikan SD-SLTA. Namun jika dibandingkan dengan mereka yang tidak sekolah dan
tidak tamat SD, baik sebagai pelaku atau korban, angka KDRT pada yang berpendidikan
perguruan tinggi jumlahnya melebihi dua kali lipat.17

17
3. Faktor Profesi

Diagram 4. Karakteristik profesi dan jumlah pelaku dan korban KDRT tahun 2015 di
Indonesia.17
Menurut Diagram 4, kekerasan di ranah rumah tangga paling banyak terjadi pada ibu rumah
tangga dan pelajar. Ini menunjukkan bahwa kekerasan terhadap perempuan terjadi karena
ketimpangan relasi gender, yaitu karena suami merasa istri bergantung secara ekonomi
kepadanya dan ketimpangan relasi kekuasaan dalam keluarga seperti dengan ayah atau orang
terdekat. Mereka yang tidak bekerja rentan menjadi pelaku atau korban yang berada di urutan
ketiga setelah ibu rumah tangga dan pelajar walau perbedaan jumlahnya lebih rendah secara
signifikan. Ini bisa berarti bahwa tidak bekerja membuat energi positifnya tidak tersalurkan
sehingga mengakibatkan stress/frustasi sehingga menjadi pelaku kekerasan.17
4. Faktor Ekonomi
Ekonomi sebagai faktor penyebab terjadinya KDRT, berhubungan dengan incame
(penghasilan) keluarga. Kebutuhan yang besar dengan penghasilan yang kecil memicu terjadinya
KDRT. Ketika kebutuhan anggota keluarga tidak dapat dia komodir, maka kekerasan akan
mulai menggeliat/merupakan senjata (ultimum remedium) untuk meredam permintaan para
anggota keluarga.12

5. Faktor Cemburu.
Cemburu selalu menghiasi kehidupan keluarga. Kecemburuan telah menjadi beban yang
berat tatkala relasi di antara suami dan istri mulai mengendor. Apalagi jika ada PIL (Pria Idaman
Lain) dan WIL (Wanita Idaman Lain) mulai menggeser cinta diantara suami-istri. Padahal
sesunguhnya kecemburuan itu terjadi bisa saja terjadi karena “komunikasi” yang kurang antara

18
suami-istri. Kecemburuan bisa diatasi jika suami-istri selalu berkomunikasi secara baik dan
terbuka, jika dalam pekerjaan ataupun relasi sosial ada teman/sahabat dan bukan PIL/WIL.12

6. Faktor Budaya.
Dalam budaya masyarakat Indonesia, anak-anak dan perempuan masih belum mendapat
tempat atau masih belum dianggap sebagai individu yang berdiri sendiri. Meningkatnya kasus
kekerasan terhadap anak dan perempuan di Indonesia dapat dikatakan sebagai akibat dari sistem
dan budaya yang berlaku dalam masyarakat Indonesia, Indonesia merupakan suatu bangsa yang
memiliki banyak sekali ragam kebudayaan, karena dari sisi historis Indonesia adalah kumpulan
dari berbagai kerajaan dan suku bangsa yang disatukan oleh Pemerintah kolonial Belanda
pada waktu itu. Dalam kehidupan masyarakat Indonesia, anak-anak selalu menjadi obyek yang
dapat diatur sekehendak hati orang yang lebih tua, terlebih lagi di dalam keluarga, anak tidak
bisa dan tidak boleh menentang perlakuan ini, karena apabila mereka berani menentang apalagi
melawan, kekerasanlah yang akan mereka dapatkan, baikdengan alasan adat, norma maupun
agama. Hal ini telah menjadi budaya sehingga sudah menjadi kelaziman di antara masyarakat
Indonesia. Dalam budaya Indonesia klasik, anak-anak hampir tidak mempunyai hak sama sekali
di dalam kehidupan mereka. Mereka tidak mempunyai hak untuk memilih apa yang akan
dilakukannya dalam kehidupan. Anak laki-laki memang relative lebih bebas dalam menentukan
nasibnya kelak, walaupun dia juga hanya menjadi obyek eksploitasi untuk pemenuhan
kebutuhan ekonomi keluarganya, sedangkan anak perempuan akan menjadi lebih seperti robot
dalam kehidupannya. Anak perempuan nyaris tidak diperbolehkan mengemukakan pendapatnya,
bahkan hal yang menyangkut tentang dirinya sekalipun. Pemaksaan perkawinan di desa-desa
merupakan salah satu contoh kekerasan terhadap anak. Banyak anak-anak yang telah dijodohkan
oleh orang tuanya bahkan sebelum dia lahir. Budaya patriarki sangat kental dimasyarakat
Makassar. Ini dibuktikan dengan pengambilan keputusan didominasi oleh suami dibandingkan
istri.12

7. Faktor Lingkungan Keluarga


Keluarga adalah lembaga pertama dan utama dalam melaksanakan proses sosialisasi pribadi
anak. Adapun faktor-faktor penyebab timbulnya tindak kekerasan sebagai akibat dari
lingkungan keluarga memang dari rumah tangga berantakan. Bila rumah terus menerus

19
dipenuhi konflik yang serius, rumah tangga tersebut akan menjadi retak, akhirnya mengalami
perceraian dan terjadilah berbagai kesulitan.12

2.6 Karakteristik Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Dalam memberikan pelayanan kesehatan pada korban, tenaga kesehatan harus memeriksa
kesehatan korban sesuai dengan standar profesinya, membuat laporan tertulis dan VeR atas
permintaan penyidik kepolisian atau Surat Keterangan Medis yang memiliki kekuatan hukum
yang sama sebagi alat bukti. Pelayanan kesehatan tersebut harus bisa didapatkan pada sarana
kesehatan milik pemerintah maupun swasta.Tenaga kesehatan memang seringkali menjadi
orang pertama yang ditemui oleh korban KDRT, karena kita selaku dokter harus mampu
mengenali kasus semacam ini mengingat sebagian akan menceritakan peristiwa yang sebenarnya
yang mereka alami, sebagian lagi tidak.18

Korban KDRT umumnya datang dengan keluhan yang bisa dikategorikan ringan,
misalnya memar atau luka lecet. Ada pula yang datang dengan keluhan non spesifik lainnya.
Pada kasus-kasus tersebut umumnya ketahanan mental mereka yang runtuh namun tidak tahu
harus ke mana sehingga sarana kesehatan lah yang mereka tuju.18

Ciri lain adalah mereka datang terlambat, dalam arti kejadian sudah satu atau dua hari
sebelum mereka datang ke sarana kesehatan. Korban dengan cedera kepala ringan atau sedang
baru datang berobat satu atau dua hari kemudian dengan alasan baru mampu (secara fisik) untuk
keluar rumah saat itu.18

Korban dengan luka cukup berat dan membutuhkan tindakan medis jarang datang sendiri.
Biasanya mereka datang didampingi oleh pelaku. Setiap pertanyaan yang kita ajukan dijawab
oleh si pengantar dan umumnya jika dianalisis terdapat ketidaksinkronan antara cerita dengan
luka yang ditemukan.

Satu contoh misalnya pasien seorang anak umur 6 tahun datang dengan memar dan
bengkak yang cukup besar pada lengan atas sisi dalam, dekat ketiak, yang kita curigai ada
fraktur. Pada saat dianamnesis, orang tua yang menjawab bahwa pasien jatuh. Saat dieksplorasi
lebih lanjut mengenai proses jatuhnya orang tua selaku (pelaku) yang sibuk menjelaskan. Saat
dokter meminta anak untuk bercerita, orangtua tidak memberi kesempatan sama sekali, padahal
kita tahu anak berumur 6 tahun sudah dapat bercerita mengenai peristiwa yang dialaminya. Dan

20
umumnya dapat kita simpulkan bahwa cerita tersebut tidak sinkron dengan luka yang
dialaminya. Pelau juga umumnya tidak memberikan kesempatan pada pemeriksa untuk berdua
saja dengan korban.18

Ciri lain dari kasus KDRT adalah luka yang berbeda umurnya, karena perilaku
abusive adalah perilaku yang berulang, maka pada korban ditemukan luka baru dan luka lama
secara bersama-sama pada saat pemeriksaan. 18

Tabel 2. Karakteristik Kekerasan Dalam Rumah Tangga.15

Data karakteristik Jumlah (%)


Jenis Kelamin
Perempuan 231 (97,5%)
Laki-laki 6 (2,5%)

Usia (tahun)
0-18 5 (2,1%)
19-30 90 (38,0%)
31-40 93 (39,2%)
41-50 1 (7,7%)

51-60 7 (3,0%)
>60 2 (0,8%)

Pekerjaan
Ibu Rumah Tangga 198 (83,5%)
Wiraswasta 25 (10,5%)
Pegawai (negeri/swasta) 6 (2,5%)
Pelajar/mahasiswa 3 (1,3%)
Lain-lain 5 (2,1%)

Sumber:Artikel Penelitian Karakteristik kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga.15

21
Tabel 3. Pola dan Bentuk Kekerasan.15

Variabel Jumlah

Jumlah luka
Tidak ada luka 13 (5,5%)
Satu jenis luka 91 (38,4%)
Lebih dari satu jenis luka 133 (56,1%)

Jumlah lokasi loka


Tidak ada luka 13 (5,5%)
Satu lokasi 87 (36,7%)
Lebih dari satu lokasi 137 (57,8%)

Lokasi luka
Kepala dan leher 73,8%

Ekstremitas 62,9%

Jenis luka
Luka memar 120 (50,63%)
Luka lecet 50 (21,1%)
Luka terbuka 0 (0%)
Luka memar dan lecet 67 (28,27%)

Kekerasan fisik
Kekerasan benda tumpul 217 (91,6%)
Kekerasan benda tajam 5 (2,1%)
Kekerasan benda tumpul dan tajam 2 (0,8%)

Tidak dapat ditentukan/tidak 13 (5,5%)


ditemukan kekerasan

Kekerasan seksual (hasil pemeriksaan


selaput darah
Utuh 4 (1,6%)

22
Robekan lama 1 (0,4%)
Tidak diperiksan 232 (98%)

Derajat Luka
Tidak ada/tidak dapat ditemukan 13 (5,5%)
Derajat ringan 219 (92,4%)
Derajat sedang 5 (2,1%)
Derajat berat 0 (0%)

Sumber: Artikel Penelitian Karakteristik kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga.15

Tabel 2 dan 3 memperlihatkan karakteristik korban KDRT serta pola luka dan bentuk
kekerasan yang ditemukan pada penelitian di RS Bhayangkara Tk. IV Pekan baru padadalam
periode 1 Januari – 31 Desember 2011. Surat Permintaan Visum (SPV), Visum et Repertum
(VeR), dan rekam medis merupakan sumber data penelitian.Besar sampel ditentukan dengan
teknik total sampling. Selama periode 1 Januari-31 Desember 2011, didapatkan237 kasus
KDRT di Rumah Sakit Bhayangkara Tk. IV Pekanbaru. Jenis kelamin korban yang terbanyak
adalah perempuan (231 orang 97,5%). Umur korban berkisar antara 5 tahun sampai 66 tahun
dengan median 32 tahun dengan golongan umur tersering berada pada rentang 19-30 (38%)
dan 31-40 tahun (39,2%). Ibu rumah tangga merupakan pekerjaan terbanyak yaitu sebesar
83,5%.15

Luka memar dan lecet merupakan jenis luka yang paling banyak ditemukan, masing-
masing sebesar 79,3% dan 49,4%, sedangkan vulnus scissum hanya ditemukan pada empat
korban dari seluruh korban. Luka paling banyak ditemukan pada daerah kepala dan leher
(73,8%) dan ekstremitas (62,9%). Lebih dari separuh total korban mendapatkan lebih dari satu
jenis luka (56,1%) serta luka di lebih dari satu lokasi (57,8%) berdasarkan hasil pemeriksaan
fisis. Bentuk kekerasan yang dapat diketahui dari hasil penelitian ini adalah kekerasan fisis dan
kekerasan seksual. Kekerasan fisis merupakan bentuk kekerasan yang dilaporkan oleh semua
korban, dengan jenis kekerasan tumpul sebanyak 90%. Bentuk kekerasan seksual hanya dialami
oleh 5 orang korban. Derajat luka terbanyak yang ditemui pada korban adalah derajat ringan
yaitu sebanyak 215. Tidak ditemukan korban dengan derajat luka berat.15

23
Korban KDRT pada umumnya adalah perempuan pada usia produktif dengan pekerjaan
utama adalah ibu rumah tangga (IRT). Karakteristik kasus KDRT meliputi pola luka, bentuk
kekerasan, dan derajat luka memiliki ciri khas yaitu jumlah luka multipel, luka yang dialami
tidak mematikan, dan luka ditemukan lebih dari satu lokasi pada tubuh korban.15

2.7 Dampak Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Dengan tingginya kejadian KDRT dapat memberi dampak buruk bagi kesehatan istri
selaku korban. Dampak tersebut meliputi rasa takut, cemas, letih, kelainan, stress post traumatik,
serta gangguan makan dan tidur yang merupakan reaksi panjang dari tindak kekerasan. Namun,
tidak jarang akibat tindak kekerasan terhadap istri juga mengakibatkan kesehatan reproduksi
terganggu secara biologis yang pada akhirnya mengakibatkan terganggunya secara sosiologis.
Pada perempuan yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga dapat menyebabkan
terganggunya kesehatan reproduksi, diantaranya gangguan menstruasi seperti menorhagia,
hipomenorhagia atau metrorhagia, bahkan wanita tersebut dapat mengalami menopause lebih
awal, mengalami penurunan libido, dan ketidakmampuan mendapatkan orgasme sebagai
akibat tindak kekerasan yang dialaminya.19

Dampak yang sangat rentan terjadi dalam kasus Kekerasan Rumah Tangga (KDRT)
antara suami dan istri adalah perceraian, yang sangat mempengaruhi kondisi psikologis anak.
Hal ini dikarenakan tidak adanya kemauan ataupun kesadaran pada suami-istri untuk sama-
sama memperbaiki dan mempertahankan biduk rumah tangga.20

A. Dampak Bagi Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga

 Korban menyalahkan atau menyalahkan diri sendiri. Wanita yang dipukuli mungkin
bertanggung jawab atas pelecehan mereka sendiri. Mereka mungkin percaya bahwa
mereka melakukan sesuatu yang salah untuk mendapatkan pelecehan tersebut."Apa yang
Anda lakukan sehingga membuat pasangan anda marah?" Adalah sebuah pertanyaan
yang sering diajukan kepada wanita korban kekerasan, bukan hanya dengan diri mereka
sendiri tapi oleh teman-teman dan petugas polisi yang menanggapi kejadian tersebut.
Kekerasan psikologis dapat berdampak istri merasa tertekan, syok, trauma, rasa takut,
marah, cemas, emosi tinggi dan meledak-ledak, mengurung diri, serta depresi yang

24
mendalam, perubahan pola tidur, perubahan pola makan, sulit konsentrasi, menghindari
pergaulan.12
 Sindrom Stockholm. Sindrom Stockholm melibatkan adanya sisi baik yang
dimunculkan pelaku pada korbannya dan korban akan memiliki harapan bahwa pelaku
akan merubah perilakunya yang kemudian memproduksi suatu ikatan yang tidak sehat
dan menjadi alasan korban sulit melepaskan diri dari hubungan tersebut.12
Sindrom Stockholm adalah suatu kondisi paradoks psikologis dimana timbul
ikatan yang kuat antara korban terhadap pelaku kekerasan, ikatan ini meliputi rasa
cinta korban terhadap pelaku, melindungi pelaku yang telah menganiayanya,
menyalahkan diri sendiri sebagai penyebab kekerasan, dan menyangkal atau
meminimalisir kekerasan yang terjadi.12
Terdapat empat kondisi dalam hubungan yang penuh kekerasan dan distorsi
kognitif yang muncul pada diri korbannya untuk mengembangkan Stockholm Syndrome.
Kondisi pertama yaitu adanya ancaman terhadap keselamatan korban, baik secara fisik
maupun psikologis yang dilakukan oleh pelaku. Kondisi kedua yaitu pelaku mengancam
korban untuk tidak melarikan diri atau pergi dari pelaku. Kondisi ketiga yaitu pelaku
melarang korban untuk berhubungan dengan orang lain di sekitarnya. Kondisi terakhir
yaitu pelaku menunjukkan kebaikan-kebaikan pada korbannya dalam bentuk apapun.
Keempat kondisi tersebut mendukung berkembangnya Sindrom Stockholm dalam
hubungan yang abusive, yang kemudian membentuk ikatan tidak sehat antara korban
dengan pelaku. Hal ini yang menjadi alasan kenapa korban sulit melepaskan diri dari
hubungan karena korban terus menerus melihat sisi baik dari perilaku pelaku.12
 Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD). Pelecehan yang didapatkan korban dapat
menyebabkan gejala stres pascatrauma, seperti mimpi buruk, kilas balik, mati rasa,
gangguan memori, dan kewaspadaan yang berlebihan. Korban mungkin menyangkal dan
meminimalkan tingkat kekerasan. Penyangkalan ini diperlukan sebagai pembelaan
terhadap kecemasan dan sebagai metode kelangsungan hidup sehari-hari.12

25
B. Dampak Bagi Pelaku Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Pemahaman mengenai kebutuhan dan karakteristik dari pelaku KDRT dapat


membantu mengidentifikasi dan memprediksi perilaku berbahaya dan menentukan target
terapi secara efektif.21

Survei menunjukkan bahwa 20 – 30% pria pernah melakukan kekerasan fisik


paling tidak satu kali dalam setahun terakhir. Laki-laki yang secara rutin melakukan
kekerasan secara psikologis dan yang bersifat mengontrol jumlahnya lebih sedikit,
kemungkinan 5% dari jumlah pria yang sudah berumah tangga. KDRT cenderung
dilakukan oleh pria pada kelompok usia yang masih muda, tidak bekerja, tidak dalam
ikatan pernikahan yang sah, kemungkinan pernah menyaksikan KDRT pada masa kanak-
kanak, serta adanya problem psikiatrik yang bervariasi, dari depresi sampai
penyalahgunaan zat berbahaya. Beberapa keadaan lain yang perlu mendapat perhatian
terhadap kemungkinan terjadinya KDRT adalah problem terkait obat-obatan dan alkohol,
situasi yang berkaitan dengan keadaan stress dan depresi. Banyak pelaku KDRT
melakukan kekerasan di bawah pengaruh alkohol. Namun, pelaku yang melakukan
kekerasan dalam kondisi sadar mengambil proporsi yang lebih besar. Database Mitra
Perempuan Tahun 2002 yang menjelaskan bahwa 74% dari kasus kekerasan terhadap
perempuan dilakukan oleh suami atau mantan suami. Pelaku KDRT dapat dibedakan
menjadi tiga tipe:

1. Cyclically emotional volatile perpetrators


Pelaku KDRT jenis ini mempunyai ketergantungan terhadap keberadaan pasangannya.
Pada dirinya telah berkembang suatu pola peningkatan emosi yang diikuti dengan aksi
agresif terhadap pasangan. Bila pelaku memulai dengan kekerasan psikologis,
kekerasan tersebut dapat berlanjut pada kekerasan fisik yang berat.

2. Overcontrolled perpetrators
Pelaku jenis ini yaitu kelompok yang pada dirinya telah terbentuk pola kontrol yang
lebih mengarah kepada kontrol psikologis daripada kekerasan fisik.

3. Psychopathic perpetrators
Pelaku yang pada dirinya tidak terbentuk hubungan emosi atau rasa penyesalan, dan

26
cenderung terlibat juga dalam kekerasan antar pria ataupun perilaku kriminal
lainnya.21

2.8 Pemeriksaan Kedokteran Forensik


Dalam menghadapi kasus dengan kecurigaan KDRT yang pertama dapat dilakukan adalah
mengupayakan anammnesis lebih mendalam terhadap korban tanpa didampingi oleh pihak
pengantar. Apabila dokter dan korban berbeda jenis kelamin, sebaiknya didampingi oleh
perawat. Yakinkan pasien bahwa ia dapat bercerita dengan aman tanpa didengar oleh pelaku
(pengantar). Setelah itu lakukan pemeriksaan fisik secara menyeluruh dan seksama untuk menilai
luka – luka yang baru serta mencari kemungkinan luka–luka lama yang dapat menunjukkan
adanya kekerasan berulang. Apabila diperlukan, lakukan pemeriksaan penunjang untuk
memastikan kecurigaan seperti pemeriksaan bone–scan pada kasus kekerasan terhadap anak.
Jangan lupa untuk membuat catatan rekam medis yang lengkap dan mudah dibaca.22
Pada pemeriksaan terhadap korban kekerasan fisik, dalam rangka pembuatan kesimpulan
visum, perlu memperhatikan klasifikasi luka yang mengacu pada pasal 44 UU PKDRT yaitu:22
a. Tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata
pencaharian atau kegiatan sehari-hari
b. Mengakibatkan jatuh sakit atau luka berat
c. Mengakibatkan mati
Pada pemeriksaan terhadap korban kekerasan seksual, dalam rangka pembuatan visum, selain
mencari bukti-bukti adanya hubungan seskual dan tanda-tanda kekerasan, harus pula dinilai
apakah korban:18
a. Mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali
b. Mengalami gangguan daya piker atau kejiwaan sekurang-kurangnya 4 minggu terus-
menerus atau 1 tahun tidak berturut-turut
c. Gugur atau matinya janin dalam kandungan
d. Akibat tindakan tersebut mengalami tidak berfungsinya alat reproduksi

27
A. Evaluasi Klinis

 Gejala klinis:
- Fraktur mandibula, hematoma peri-orbital, perforasi membrane timpani, laserasi di
sekitar mata dan bibir. Benjol pada kepala biasanya terjadi pada dahi atau area oksipital
bagian atas – bukan pada sisi-sisinya atau langsung pada puncak kepala.
Dicurigai adanya serangan fisik dengan bukti-bukti, berupa: rupture gendang telinga,
tanggalnya gigi, dan perlukaan pada scalp. Memar pada mata mungkin disembunyikan
oleh kacamata atau make-up tebal. Perlukaan lain mungkin juga disembunyikan oleh
lengan baju panjang, turtleneck, atau syal.
- Luka yang sudah lama dan memar dalam fase penyembuhan yang berbeda. Memar yang
tidak disengaja pada ekstremitas biasanya terlihat pada ekstremitas bagian luar sedangkan
perlukaan yang dilakukan secara sengaja terlihat pada bagian dalam dari lengan dan paha.
- Trauma minor, luka gigitan, dan luka bakar yang berulang.
- Perlukaan pada abdomen. Jatuh atau berbagai luka pada wanita hamil, khususnya
perlukaan pada wanita hamil, meningkatkan tingkat kecurigaan dan harus
didokumentasikan.23
Pada anak:

Anak ialah individu yang belum mencapai usia 18 tahun, termasuk anak yang
masih dalam kandungan seperti tertera dalam pasal 1 UU No 23 tahun 2002 tentang
perlindungan anak. Kekerasan pada anak adalah tindakan yang di lakukan seseorang atau
individu pada mereka yang belum genap berusia 18 tahun yang menyebabkan kondisi
fisik dan atau mentalnya terganggu. Perlukaan bisa berupa cedera kepala (head injury),
patah tulang kepala, geger otak, atau perdarahan otak. Perlukaan pada badan, anggota
gerak dan alat kelamin, mulai dari luka lecet, luka robek, perdarahan atau lebam, luka
bakar, patah tulang. Perlukaan organ dalam (visceral injury) tidak dapat dideteksi dari
luar sehingga perlu dilakukan pemeriksaan dalam dengan melakukan otopsi. Perlukaan
pada permukaan badan seringkali memberikan bentuk yang khas menyerupai benda yang
digunakan untuk itu, seperti bekas cubitan, gigitan, sapu lidi, setrika, atau sundutan
rokok. Karena perlakuan seperti ini biasanya berulang maka perlukaan yang ditemukan
seringkali berganda dengan umur luka yang berbeda-beda, ada yang masih baru ada pula
yang hampir menyembuh atau sudah meninggalkan bekas (sikatriks). Di samping itu
28
lokasi perlukaan dijumpai pada tempat yang tidak umum seperti halnya luka-luka akibat
jatuh atau kecelakaan biasa seperti bagian paha atau lengan atas sebelah dalam,
punggung, telinga, langit langit rongga mulut, dan tempat tidak umum lainnya.24

 Gejala psikologik:
- Insomnia, gangguan tidur
- Depresi dan ide bunuh diri
- Gejala kecemasan dan gangguan panik
- Gangguan makan
- Penyalahgunaan zat, termasuk tembakau
- Gangguan somatisasi
- Menggunakan jasa psikiatri sebagai korban dari pasangan.25
Pada anak:
Penelitian mengungkapkan bahwa gejala-gejala pada anak-anak ini
memperlihatkan, antara lain: kebiasaan bersikap agresif, berkurangnya kompetensi sosial,
depresi, ketakutan, kecemasan, gangguan tidur, pemasalahan dalam belajar. Masalah-
masalah yang harus digaris bawahi adalah respon emosional anak terhadap kekerasan,
seperti: teror yang hebat, ketakutan akan kematian, dan ketakutan akan hilangnya
orangtua. Sebagai tambahan, anak-anak dapat menyembunyikan kemarahan, rasa
bersalah, dan rasa tanggung jawab atas terjadinya kekerasan.26
Anak-anak yang menjadi saksi kejadian traumatic, seperti insiden kekerasan
dalam rumah tangga, dapat merasakan tak lagi adanya harapan dan dunia dirasa tidak
dapat diramalkan, bermusuhan, dan mengancam. Secara keseluruhan, data menunjukkan
bahwa anak-anak yang hidup dalam kekerasan rumah tangga dapat bertahan secara
ekstensif. 26

 Gejala kekerasan seksual:


- Tanda-tanda perkosaan / serangan seksual
Pada Anak:
- Kesulitan saat berjalan atau duduk
- Basah air mata, noda, atau darah pada pakaian
- Nyeri atau gatal pada area genital

29
- Memar atau berdarah pada genitalia eksternal, vagina, atau area anal
- Menderita penyakit menular seksual
- Hamil, terutama pada remaja muda
- Nyeri berkemih dan riwayat terkena ISK berulang
- Benda asing pada vegina atau rectum.25

 Penelantaran Rumah Tangga:


- Suami meninggalkan isteri dan anak tanpa memberikan nafkah dalam jangka waktu yang
lama
- Isteri dilarang untuk bekerja
- Isteri memiliki ketergantungan ekonomi pada suami.26
Pada Anak:
Seorang anak yang ditelantarkan bisa mengalami kekurangan gizi (malnutrisi),
lemas atau kotor atau pakaiannya tidak layak. Pada kasus yang berat, anak mungkin
tinggal seorang diri atau dengan saudara kandungnya tanpa pengawasan dari orang
dewasa. Anak yang ditelantarkan bisa meninggal akibat kelaparan. Seorang anak yang
ditelantarkan atau dianiaya mungkin perlu dirawat di rumah sakit. Dilakukan penanganan
tertentu sesuai dengan keadaan anak.27

30
Gambar 1: Memar pada wajah28 Gambar 2: Memar pada
wajah29

Gambar 3: Memar pada tubuh28 Gambar 4: Memar pada lengan atas30

Gambar 5: Memar pada paha28 Gambar 6: Memar pada kaki29

Gambar 3: Memar pada tubuh31

31
Gambar 7: Kekerasan fisik pada anak31 Gambar 8: Kekerasan fisik pada anak31

Gambar 9: Gejala Psikologis pada Gambar 10: Dampak psikologis


kasus KDRT 28 pada anak29

Gambar 11: Kekerasan seksual pada kasus KDRT30

32
B. Evaluasi Klinis

Riwayat:

- Rasa sakit kronik yang tidak bisa dijelaskan, termasuk sephalgia, nyeri perut, pelvis, atau
nyeri dada yang persisten
- Keluhan gastrointestinal kronik, irritable bowel syndrome, nyeri punggung atau nyeri
sendi kronik, kelemahan kronik, dan beberapa keluhan somatis.
- Penyakit menular seksual dan tertular HIV melalui hubungan seksual.
- Berbagai macam percobaan aborsi
- Gejala buruk dari penyakit kronik seperti diabetes dan asma.
- Perlukaan intra-oral, nyeri daerah wajah
- Tidak memenuhi pengobatan medis, sering mengingkari janji pertemuan.31

Gejala klinis dan karakteristik umum perlukaan akibat kekerasan dalam rumah tangga:

- Segala macam perlukaan, khususnya daerah wajah, kepala, leher, tenggorokan, dada,
abdomen, dan area genital
- Higien gigi yang buruk
- Trauma pada gigi atau sendi temporomandibular
- Luka bakar
- Tanda-tanda perkosaan / serangan seksual
- Distribusi perlukaan di daerah tengah tubuh, yang dapat ditutup pakaian
- Perlukaan pada berbagai area
- Memar dengan bentuk dan ukuran berbeda, menggambarkan jenis senjata yang
digunakan
- Memar-memar dalam taraf penyembuhan yang berbeda-beda.31

Tingkah laku korban :

- Menunda pengobatan
- Penanganan kegawatdaruratan berulang untuk trauma dan pertolongan pertama
- Mengelak pada anamnesa atau pemeriksaan
- Keengganan berbicara saat pasangannya hadir

33
- Pasangan menjawab semua pertanyaan-pertanyaan untuk pasien atau bersikeras tetap ada
ketika diminta meninggalkan ruangan pemeriksaan
- Perhatian yang berlebihan atau penghinaan verbal pasangan
- Memperlakukan secara kasar atau mengabaikan anak, orang cacat atau orang yang lebih
tua di rumah.
- Memperlakukan binatang peliharaan secara kasar.31

Penemuan selama kehamilan atau kelahiran:

- Sering melewatkan janji prenatal care, terlambat, atau tidak melakukan asuhan prenatal.
- Penurunan berat badan ibu
- Bermacam perlukaan termasuk “jatuh” (1/3 dari semua trauma masa kehamilan)
- Komplikasi seperti keguguran, bayi berat lahir rendah, lahir prematur, premature rupture
of membranes, dan perdarahan antepartum
- Pemenuhan kebutuhan diri yang buruk
- Penyalahgunaan zat, termasuk tembakau atau alkohol selama kehamilan.31

Penyidik, Penuntut Umum dan Hakim di dalam penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di
pengadilan, tidak terlepas dari ilmu pengetahuan lain dalam melaksanakan ketiga hal tersebut di
bidangnya masing-masing. Salah satunya adalah ilmu kedokteran kehakiman atau kedokteran
forensik. Ilmu kedokteran kehakiman adalah penggunaan ilmu kedokteran untuk kepentingan
pengadilan yang mana sangat berperan dalam membantu pihak Kepolisian, Kejaksaan, dan
Kehakiman untuk menyelesaikan segala persoalan yang hanya dapat dipecahkan dengan ilmu
pengetahuan ini. Hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh ahli kedokteran kehakiman atau dokter
atau ahli lainnya atas korban atau barang bukti yang dikirim oleh penyidik, maka ahli tersebut
akan membuat laporan dari hasil pemeriksaan yang telah dilakukannya dan kesimpulan dari ahli
yang bersangkutan berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang dimilikinya. Laporan dari
ahli ini disebut dengan istilah Visum et Repertum. Visum et Repertum sangat penting dalam suatu
perkara pidana khususnya untuk peristiwa mengenai kekerasan dalam rumah tangga ini. Karena
umumnya barang bukti untuk peristiwa tersebut sangat sulit untuk dilihat dan juga umumnya
luka yang dialami oleh korban tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga ini dapat hilang
dalam arti sembuh. Dengan adanya hasil Visum et Repertum tersebut diharapkan dapat menjadi

34
bukti yang kuat didalam persidangan dan untuk mencapai kepastian hukum bagi korban tindak
pidana kekerasan.31
Psikologi forensik adalah penerapan pengetahuan psikologi ataupun metode psikologi dalam
rangka membantu proses hukum. Salah satu cara membuktikan bahwa seseorang mengalami
kekerasan psikis adalah dengan meminta keterangan medis dari seorang psikiatris, sebagai
tenaga kesehatan yang terfokus pada kesehatan jiwa, yang memiliki dan dinyatakan berdasarkan
standar profesinya, diperlukan untuk pembuktian atas KDRT secara psikis melalui Visum et
Repertum Psikiatri.31
Adapun dasar hukum pemeriksaan psikiatri forensik mengacu pada Undang – Undang
Kesehatan nomor 36 Tahun 2009 Pasal 150:
(1). Pemeriksaan kesehatan jiwa untuk kepentingan penegakan hukum (visum et repertum
psychiatricum) hanya dapat dilakukan oleh dokter spesialis kedokteran jiwa pada fasilitas
pelayanan kesehatan.
(2). Penetapan status kecakapan hukum seseorang yang diduga mengalami gangguan kesehatan
jiwa dilakukan oleh tim dokter yang mempunyai keahlian dan kompetensi sesuai dengan standar
profesi.
Tugas profesi psikolog forensik pada proses peradilan pidana adalah membantu pada saat
pemeriksaan di kepolisisan, di kejaksaan, di pengadilan maupun ketika terpidana berada di
lembaga pemasyarakatan. Proses peradilan terkadang meminta psikolog sebagai saksi ahli untuk
memberikan keterangan terkait kasus yang sedang diproses. Hal ini sesuai dengan kategori
psikologi forensik yaitu psychology in law, yang artinya psikologi akan berperan ketika
dibutuhkan oleh hukum. Sebagai gambaran lain, proses penyelidikan oleh polisi saat ini dituntut
untuk bisa menerapkan Scientific Criminal Detection, di mana di dalamnya psikolog forensik
bisa turut serta dalam mengaplikasikan teori psikologi.31

2.9 Aspek Hukum Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga


Ketentuan pidana terhadap pelanggaran KDRT diatur oleh Undang-undang Republik
Indonesia No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT sebagai berikut :3
1. UU Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 44

35
Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(Lima) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,- (Lima belas juta rupiah).
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan korban jatuh
sakit atau luka berat, dipidanakan penjara paling lama 10 tahun atau denda paling banyak
Rp30.000.000,- (Tiga puluh juta rupiah).
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan matinya
korban, dipidana penjara paling lama 15 (Lima belas) tahun atau denda paling banyak
Rp45.000.000,-(Empat puluh lima juta rupiah).
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap
istri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan
pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-harian, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp 5.000.000,-(Lima juta rupiah).
2. UU Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 45
Setiap orang yang melakukan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau
denda paling banyak Rp 9.000.000,- (Sembilanjuta rupiah).
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap
istri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan
pekerjaan jabatan atau pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidanakan penjara paling lama 4
(empat) bulan atau denda paling banyak Rp3.000.000,- (Tiga juta rupiah).
3. UU Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 46
Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda
paling banyak Rp36.000.000,- (Tiga puluh enam juta rupiah).
4. UU Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 47
Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya melakukan
hubungan seksual sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 huruf b dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 4 (empat) tahun dan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda
paling sedikit Rp 12.000.000,00-(Dua belas juta rupiah) atau paling banyak Rp 300.000.000,00-
(Tiga ratus juta rupiah).

36
5. UU Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 48
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dan 47 mengakibatkan
korban mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, mengalami
gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurang-kurangnya selama 4 (empat) minggu terus menerus
atau 1 (satu) tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau
mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi, dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 5 (lima) tahun dan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun atau denda paling
sedikit Rp 25.000.000,00- (Dua puluh lima juta rupiah) dan paling banyak Rp 500.000.000,00-
(Lima ratus juta rupiah).
6. UU Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 49
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak
Rp15.000.000,00- (Lima belas juta rupiah), setiap orang yang:
Menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (1), Menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud Pasal 9 ayat (2).
7. UU Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 50
Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam bab ini hakim dapat menjatuhkan pidana
tambahan berupa:
Pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari korban
dalam jarak dan waktu tertentu, maupun pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku, penetapan
pelaku mengikuti program konseling di bawah pengawasan lembaga tertentu.
Kekerasan psikis, fisik serta kekerasan seksual yang terjadi di dalam hubungan antar
suami-isteri, yang berlaku adalah delik aduan. Korban dapat memberikan kuasa kepada keluarga
atau Pengacara untuk melaporkan KDRT ke kepolisian (pasal 26 ayat 2). Jika yang menjadi
korban adalah seorang anak, laporan dapat dilakukan oleh orang tua, wali, pengasuh atau anak
yang bersangkutan (pasal 27)
Undang-undang nomor 23 tahun 2004 juga berisi tentang tenaga kesehatan terhadap
kekerasan dalam rumah tangga , sebagai berikut :15
1. Pasal 21
(1) Dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada korban, tenaga kesehatan harus:
a. memeriksa kesehatan korban sesuai dengan standar profesinya;
b. membuat laporan tertulis hasil pemeriksaan terhadap korban dan visum

37
et repertum atas permintaan penyidik kepolisian atau surat keterangan
medis yang memiliki kekuatan hukum yang sama sebagai alat bukti.
(2) Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di sarana kesehatan
milik pemerintah, pemerintah daerahatau masyarakat.
2. Pasal 40
(1) Tenaga kesehatan wajib memeriksa korban sesuai dengan standar profesinya.
(2)Dalam hal korban memerlukan perawatan, tenaga kesehatan wajib memulihkan dan
merehabilitasi kesehatan korban.
3.Pasal 42
Dalam rangka pemulihan terhadap korban, tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan
pendamping dan/atau pembimbing rohani dapat melakukan kerja sama.

Selain itu,peraturan pemerintah republik Indonesia nomor 4 tahun 2006 tentang


penyelenggaraan dan kerjasama pemulihan korban kekerasan dalam rumah tangga yaitu pada:1
Pasal 8
(1) Dalam memberikan pelayanan kepada korban, tenaga kesehatan melakukan
upaya :
a. anamnesis kepada korban;
b. pemeriksaan kepada korban;
c. pengobatan penyakit;
d. pemulihan kesehatan, baik fisik maupun psikis;
e. konseling; dan/atau
f. merujuk ke sarana kesehatan yang lebih memadai bila di perlukan.
(2) Selain upaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk kasus tertentu, tenaga kesehatan
dapat melakukan :
a. pelayanan keluarga berencana darurat untuk korban perkosaan; dan
b. pelayanan kesehatan reproduksi lainnya sesuai dengan kebutuhan medis.
(3) Dalam memberikan pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) Tenaga
kesehatan harus membuat rekam medis sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

38
(4) Untuk setiap tindakan medis yang akan dilakukan oleh tenaga kesehatan harus
adapersetujuan tindakan medis (informed consent) dari korban atau keluarganya sesuai
dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
(5) Untuk keperluan penyidikan, tenaga kesehatan yang berwenang harus membuat visum et
repertum dan/atau visum et repertum psichiatricum atau membuat surat keterangan medis.

2.10 Perlindungan Saksi Dan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga


Menurut Undang-Undang No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam
Rumah Tangga Pasal 10, korban berhak mendapatkan:3
a. Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial,
atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari
pengadilan
b. Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis
c. Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban
d. Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat

2.11 Kendala Pelaporan KDRT dan Upaya Penanggulangannya


Dalam hal ada suatu pelaporan atau pengaduan atas KDRT, hal ini praktis mengalami
kebuntuan dalam penanganan proses hukumnya, karena belum ada payung hukum. Sementara
hukum yang ada (KUHP) hanya mengenal istilah penganiayaan (kekerasan fisik), sehingga
seringkali mengalami kesulitan terutama untuk pembuktian atas kekerasan non fisik, dalam hal
ini kekerasan psikis atau bentuk lain. Demikian halnya bahwa belum tersedianya mekanisme
untuk penanganan korban, karena memang tidak/ belum tersedia, sehingga korban KDRT
seringkali tidak mendapatkan perlindungan yang memadai. Hal ini sungguh merupakan bencana
bagi siapa pun yang mengalami sebagai korban KDRT, terlebih jika korban adalah perempuan
atau anak.3
Permasalahan bukan saja terletak pada langkanya aturan hukum, namun pandangan
masyarakat bahwa KDRT adalah suatu aib atau hal yang sangat pribadi juga melingkupi cara
pandang para penegak hukum, yang perspektifnya praktis sama yakni sangat patriarkhis.
Kepekaan terhadap permasalahan KDRT termasuk kepekaan gender terhadap diri korban masih
belum dihayati secara proporsional. Sehingga, harapan besar korban menjadi pupus dan harus

39
menanggung kekecewaan yang cukup berat manakala kasus yang dilaporkannya tidak
mendapatkan kepastian hukum dalam prosesnya, hanya karena aparat penegak hukum meyakini
bahwa persoalan KDRT adalah bukan permasalahan publik melainkan sebagai permasalahan
internal keluarga.3
Mereka yang datang dengan “laporan” bahwa mereka yang mengalami KDRT belum
tentu bersedia untuk melaporkan tindak pidana tersebut kepada yang berwajib. Alasan yang
sering dikemukakan adalah wilayah domestik, cinta, takut kehilangan sosok kepala keluarga,
anak, dsb. UU No. 23 Tahun 2004 pasal 15 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga (UU-PKDRT) tidak menyebutkan secara jelas bahwa tenaga kesehatan yang menemukan
kasus harus melaporkannya. Ia hanya menyatakan bahwa setiap orang yang mendengar, melihat,
atau mengetahui terjadinya KDRT wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas
kemampuannya untuk mencegah berlangsungnya tindak pidana, memberikan perlindungan
kepada korban, memberikan pertolongan darurat, serta membantu proses pengajuan permohonan
penetapan perlindungan.32
UU No.13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban memang sudah ditetapkan.
Ia memberikan perlindungan pada saksi dan korban dalam semua tahap proses peradilan pidana
dalam lingkungan peradilan. Di dalamnya terdapat pasal-pasal yang mengatur bahwa saksi,
korban, dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan,
kesaksian yang akan, sedang, dan telah diberikannya. Proses perlindungan dilakukan melalui
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang saat ini sedang dalam proses
pembentukan.32

40
BAB 3
KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
1. KDRT menurut Undang-undang (UU) No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama
perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,
seksual, psikologis dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk
melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan
hukum dalam lingkup rumah tangga.
2. Angka-angka kekerasan dalam rumah tangga terus meningkat dari tahun ke tahun.
Angka-angka tersebut harus dilihat dalam konteks fenomena gunung es, kekerasan yang
tercatat itu jauh lebih sedikit dari yang seharusnya dilaporkan karena tidak semua
perempuan yang mengalami kekerasan bersedia melaporkan kasusnya.
3. Untuk dapat menyikapi KDRT secara efektif, perlu sekali setiap anggota keluarga
memiliki kemampuan dan keterampilan mengatasi KDRT, sehingga tidak menimbulkan
pengorbanan yang fatal.
4. Jika anggota keluarga tidak memiliki daya dan kemampuan untuk menghadapi KDRT,
secara proaktif masyarakat, para ahli, dan pemerintah perlu mengambil inisiatif untuk
ikut serta dalam penanganan korban KDRT, sehingga dapat segera menyelamatkan dan
menghindarkan anggota keluarga dari kejadian yang tidak diinginkan.
3.2 Saran
Ada dua pendekatan yang dapat dilakukan untuk menangani KDRT, yaitu pendekatan
preventif dan kuratif.
1. Pendekatan prefentif :
a. Menyelenggarakan pendidikan orangtua untuk dapat menerapkan cara mendidik dan
memperlakukan anak-anaknya secara humanis.
b. Mendidik anggota keluarga untuk menjaga diri dari perbuatan yang mengundang
terjadinya KDRT.
c. Membangun kesadaran kepada semua anggota keluarga untuk takut kepada akibat yang
ditimbulkan dari KDRT.

41
d. Membekali calon suami istri atau orangtua baru untuk menjamin kehidupan yang harmoni,
damai, dan saling pengertian, sehingga dapat terhindar dari perilaku KDRT.
e. Melakukan filter terhadap media massa, baik cetak maupun elektronik, yang menampilkan
informasi kekerasan.
f. Mendidik, mengasuh, dan memperlakukan anak sesuai dengan jenis kelamin, kondisi, dan
potensinya.
g. Menunjukkan rasa empati dan rasa peduli terhadap siapapun yang terkena KDRT, tanpa
sedikitpun melemparkan kesalahan terhadap korban KDRT.
h. Mendorong dan menfasilitasi pengembangan masyarakat untuk lebih peduli dan responsif
terhadap kasus-kasus KDRT yang ada di lingkungannya.

2. Pendekatan kuratif:
a. Memberikan sanksi secara edukatif kepada pelaku KDRT sesuai dengan jenis dan tingkat
berat atau ringannya pelanggaran yang dilakukan, sehingga tidak hanya berarti bagi pelaku
KDRT saja, tetapi juga bagi korban dan anggota masyarakat lainnya.
b. Memberikan incentive bagi setiap orang yang berjasa dalam mengurangi, mengeliminir,
dan menghilangkan salah satu bentuk KDRT secara berarti, sehingga terjadi proses
kehidupan yang tenang dan membahagiakan.
c. Menentukan pilihan model penanganan KDRT sesuai dengan kondisi korban KDRT dan
nilai-nilai yang ditetapkan dalam keluarga, sehingga penyelesaiannya memiliki efektivitas
yang tinggi.
d. Membawa korban KDRT ke dokter atau konselor untuk segera mendapatkan penanganan
sejak dini, sehingga tidak terjadi luka dan trauma psikis sampai serius.
e. Menyelesaikan kasus-kasus KDRT yang dilandasi dengan kasih sayang dan keselamatan
korban untuk masa depannya, sehingga tidak menimbulkan rasa dendam bagi pelakunya.
f. Mendorong pelaku KDRT untuk sesegera mungkin melakukan pertaubatan diri kepada
Allah SWT, akan kekeliruan dan kesalahan dalam berbuat kekerasan dalam rumah tangga,
sehingga dapat menjamin rasa aman bagi semua anggota keluarga.
g. Pemerintah perlu terus bertindak cepat dan tegas terhadap setiap praktek KDRT dengan
mengacu pada UU tentang PKDRT, sehingga tidak berdampak jelek bagi kehidupan
masyarakat.

42
Pilihan tindakan preventif dan kuratif yang tepat sangat tergantung pada kondisi riil
KDRT, kemampuan dan kesanggupan anggota keluarga untuk keluar dari praketk KDRT,
kepedulian masyarakat sekitarnya, serta ketegasan pemerintah menindak praktek KDRT yang
terjadi di tengah-tengah masyarakat.

43
DAFTAR PUSTAKA

1. Manumpahi E ,Goni S, Pongoh H. Kajian Kekerasan Dalam Rumah Tangga Terhadap


Psikologi Anak Di Desa Soakonora Kecamatan Jailolo Kabupaten Halmahera Barat. 2016. e-
journal “Acta Diurna” Volume V. No.1.
2. Wahab R. Kekerasan dalam rumah tangga : Pe rspektif Psikologis dan Edukatif. 2010.
3. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23. Pengahapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga. 2004. Indonesia. [cited on 6 November 2017]. Diakses dari http://mitrawacana.
or.id/kebijakan/uu-n0-23-tahun-2004-penghapusan-kekerasan-dalam-rumah-tangga.
4. Surbakti N. Jurnal Ilmu Hukum. Problematika Penegak Hukum UU Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga. Vol. 9, No. 1, Maret 2006: 97 – 114.
5. Nurrachmawati A, Nurohma, Rini P.Potret Kesehatan Perempuan Korban Kekerasan Dalam
Rumah Tangga (Studi Kasus Di Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan Dan
Anak Kalimantan Timur) A Potrait of Health of Women Who Are The Victims of Domestice
Violence (A Case Study from The Integrated Service of Women and Child Empowerment in
East Kalimantan). 2013.[Cited on 7 November 2017].
6. Komisi Nasional Anti kekerasan Terhadap Perempuan. Catatan Tahunan Tentang Kekerasan
Terhadap Perempuan. 2010.
7. Manan, MA. Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam Perspektif Sosiologis. Jurnal
Legislasi Indonesia Vol. 5 No. 3. 2008.
8. Farouk P U. Tindak Pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga. Jakarta. [Cited on 7 November
2017].
9. Surbakti, Natangsa. Jurnal Ilmu Hukum. Problematika Penegak Hukum UU: Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Vol. 9, No. 1. 2006: 97 – 114.
10. Missa. L. Studi Kriminologi Penyelesaian Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Wilayah
Kota Kupang Propinsi Nusa Tenggara Timur. Kupang. 2010.
11. Lingkaran Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan Pacaran, https://sapaindonesia.
wordpress.com/2011/04/04/lingkaran-kekerasan, [cited on 07 November 2017].
12. Fandi, Dedi et.al. Karakteristik Kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga. J Indon Med Assoc,
Volume 62, Nomor : 11, November 2012.
13. Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

44
14. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan. Catatan Tahunan Tentang Kekerasan
Terhadap Perempuan. Kekerasan Terhadap Perempuan meluas: Negara Urgen. 2015.
15. Mantiri, SI, Siwu J, Kristanto E. Hubungan Antar Usia Waktu Menikah Dengan Kejadian
Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Manado Periode September 2012- Agustus 2013.
Manado. Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Unsrat. 2013.
16. Tedjosaputro L, Krismiyarsi. Kebijakan Penanggulangan Kejahatan Melalui Mediasi Penal
Sebagai Alternatif Penyelesaian Tindak Pidana KDRT. Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. 8
No.1. 2012 : 052 – 063.
17. Idries, A M, Tjiptomartono A L. Penerapan Ilmu Kedokteran Forensik dalam Proses
Penyidikan Edisi Revisi. 2013. Jakarta: CV.Sagung Seto.
18. Ramadani, Mery. Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Kdrt) Sebagai Salah Satu Isu Kesehatan
Masyarakat Secara Global. 2015. Jurnal Kesehatan Masyarakat Andalas. Padang.
19. New Jersey Division of Crimiinal Justice. Dynamics of Domestic Violence. [serial online].
2015. [cited on 7 November 2017]. Available from: URL: http://www.nj.gov/oag/dcj/
njpdresources/dom-violence/dv-dynamics-instr.pdf
20. Jura, Florence. Domestic Violence: Causes and Implications for the Education System.
Zimbabwe Open University, Marondera, Zimbabwe. 2015. International Journal of Research
in Humanities and Social Studies Volume 2, Issue 4, PP 4.
21. Pena M. Domestic Violence and Pregnancy: Guidelines for Screening and Referral. 2008.
Washington State Department of Health: Washington.
22. Sugiarno, I. Aspek Klinis Kekerasan pada Anak dan Upaya Pencegahannya. 2006.[cited on 7
November 2017]. Available from: URL :http://webcache.googleusercontent.com/search?q=
cache:oRUcSZqy44QJ:lowongankerjabaru.net/search/aspek%2Bklinis%2Bkekerasan%2Bpa
da%2Banak%2Bdan%2Bupaya%2Bpencegahannya+aspek+klinis+kekerasan+pada+anak&c
d=1&hl=id&ct=clnk&gl=id.
23. Nappi TM, dkk. Domestic Violence: A Guide to Screening and Intervention.2004. Boston:
Brigham’s and Women Hospital.
24. Groves, BM. Mental Health Service for Children Who Witness Domestiv Violence. 2002.
[cited on 7 November 2017]. Available from: URL: http://www.athealth.com/Pra
ctitioner/ceduc/dv_Children.html

45
25. Laboratory Consultation Service. Child Abuse Prevention Course. 2005. [cited on 7
November 2017]. Available from: URL:http://www.laboratoryconsultationservices.com
/lcs1/index.php?option=com_content&view=article&id=47&catid=901&Itemid=54&limitsta
rt=4
26. Widjanarko, B. Peranan Forensik Klinik dalam Kasus Kekerasan Terhadap Anak dan
Perempuan. 2009. [cited on 7 November 2017]. Available from: http://reproduksiumj.
blogspot.com/2009/12/peranan-forensik-klinik-dalam-kasus.html.
27. Deliz A. How to Stop the Domestic Violence. 2008. [cited on 7 November 2017]. Available
from: URL: http://www.suite101.com/view_image.cfm/539080.
28. Marc. The relation between domestic violence and cruelty against animals. 2008. [cited on 7
November 2017]. Available from: http://osocio.org/message/the_relation_between_domes
ticviolence_and_cruelty_against_animals/
29. Anonym. The Scourge That Is The Growing And Perpetuating Cycle Of Domestic Violence.
2008. Available from: http://www.rosefund.org/domestic-violence.html. 24.
30. Anonym. Stop Domestic Violence Before it Starts. 2008. [cited on 7 November 2017].
Available from: URL: http://www.rosefund.org/domestic-violence.html
31. Anonym. Sexual AssaultPractice. 2009. [cited on 7 November 2017]. Available from: URL:
http://beckawalley.deviantart.com/art/sexual-assault-practice-139616564
32. Sutherland, Rik. Causes of Domestic Violence, and Implications for Primary Prevention.
2015. [cited on 7 November 2017]. Available from: URL:https://www.vinnies.org.au/icms
docs/222951_Speech_on_domestic_violence_prevention.pdf ).

46

You might also like