You are on page 1of 12

MAKALAH

EPISTEMOLOGI BAYANI
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Ilmu
Dosen Pengampu: Dr. Endah Winarti, M.Pd

Oleh:

Ayyuma Jauharoh J. B. M (15630013)


Novi Mustika Sari (15630031)
Mawaddah (15630032)
Irfan Ardiansyah (15630033)

JURUSAN KIMIA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
2018
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena berkat
limpahan karunia, rahmat dan hidayah-Nya kami dapat menyusun makalah ini
sehingga selesai pada waktunya. Makalah yang berjudul “Epistimologi Bayani” ini
disusun dan dibuat berdasarkan materi yang sudah ada. Selain untuk memenuhi
tugas mata kuliah pengantar filsafat ilmu, pembuatan makalah ini bertujuan agar
dapat menambah pengetahuan bagi para pembaca. Penulis mengharapkan semoga
makalah ini dapat memberikan manfaat untuk kita semua.
Ucapan terima kasih tak lupa kami sampaikan kepada semua pihak yang
telah mendukung dalam penyusunan makalah ini. Akhir kata, kami menyadari
bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk penyusunan
maupun materinya. Oleh karena itu, diharapkan kritik dan saran yang membangun
dari para pembaca untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.
Semoga makalah ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang
berkenan.

Malang, 22 Oktober 2018

Penyusun,
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................................ i
DAFTAR ISI ....................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1
A. Latar Belakang ...................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................. 2
C. Tujuan ................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN .................................................................................... 3
A. Definisi Strategi Operasi .......................................................................3
B. Empat Perspektif dalam Strategi Operasi ............................................. 3
C. Perspektif ‘Top-Down’ .........................................................................4
D. Perspektif ‘Bottom-Up’ ........................................................................6
BAB III PENUTUP ............................................................................................ 23
A. Kesimpulan ........................................................................................... 23
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 24
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Epistemologi adalah cabang filsafat yang secara khusus membahas teori
ilmu pengetahuan. Epistemologi berasal dari bahasa Yunani, episteme, yang berarti
pengetahuan (Abdullah, 2002). Epistemologi menjangkau permasalahan-
permasalahan yang membentang seluas jangkauan metafisika, selain itu ia
merupakan hal yang sangat abstrak dan jarang dijadikan permasalahan ilmiah di
dalam kehidupan sehari-hari. Namun ia diperlukan sebagai upaya untuk
mendasarkan pembicaraan sehari-hari pada pertangungjawaban ilmiah (Hadi,
1994).
Epistemologi menempati posisi penting dalam dunia pemikiran, sebab ia
menentukan corak pemikiran dan pernyataan kebenaran yang dihasilkannya.
Bangunan dasar epistemologi berbeda dari satu peradaban dengan yang lain
(Syafrin, 2004). Perbedaan titik tekan dalam epistemologi memang besar sekali
pengaruhnya dalam konstruksi bangunan pemikiran manusia secara utuh. Oleh
karena itu perlu pengembangan empirisme dalam satu keutuhan dimensi yang
bermuatan spiritualitas dan moralitas (Abdullah, 2002).
Sehubungan dengan hal tersebut, maka di sini akan dibahas tentang salah
satu epistemologi Islam yang digagas oleh Muhammad ‘Abid al-Jabiri, yaitu
epistemologi bayani. Sebagai epistemologi paling awal dalam pemikiran Islam,
epistemologi bayani tidak muncul secara tiba-tiba. Tetapi, epistemologi ini
memiliki akar sejarah panjang dalam budaya dan tradisi pemikiran Arab.
Epistemologi ini menjadikan wahyu (teks) sebagai sumber pengetahuan dan
kebenaran dalam Islam. Konstruksi berpikir bayani adalah deduktif dengan
menjadikan nash atau wahyu sebagai sumber pengetahuan (Arif, 2008).
Bayani merupakan metode pemikiran khas Arab yang didasarkan atas
otoritas teks (nash), secara langsung atau tidak langsung. Secara langsung artinya
memahami teks sebagai pengetahuan jadi dan langsung mengaplikasikan tanpa
perlu pemikiran. Sedangkan yang dimaksud dengan secara tidak langsung adalah
memahami teks sebagai pengetahuan mentah sehingga perlu tafsir dan penalaran.
Meski demikian, hal ini bukan berarti akal atau rasio bisa bebas menentukan makna
dan maksudnya, tetapi tetap harus bersandar pada teks. Dengan kata lain, cara
berpikir bayani lebih mengandalkan pada otoritas teks (Soleh, 2010).
Menurut Imam as-Syafi’i, tiga asas epistemologi bayani adalah al-Qur’an,
as-Sunnah dan al-Qiyas. Kemudian, beliau juga menyandarkan pada satu asas lagi,
yaitu al-Ijma’ (Al-Jabiri, 2009). Berdasarkan suatu penelitian, ulama telah
menetapkan bahwa dalil-dalil sebagai dasar acuan hukum syari’ah tentang
perbuatan manusia dikembalikan kepada empat sumber, yaitu al-Qur’an, as-
Sunnah, al-Ijma’ dan al-Qiyas. Kemudian, yang dijadikan dalil pokok dan sumber
dari hukum syari’ah adalah al-Qur’an dan as-Sunnah, dimana as-Sunnah berfungsi
sebagai interpretasi bagi keglobalan al-Qur’an, dan sebagai penjelas serta
pelengkap al-Qur’an (Khalaf, 1996).

B. Rumusan Masalah
Banyak persoalan yang perlu dibahas mengenai Epistimologi Bayani.
Namun untuk membatasi ruang lingkup dalam pembahasan masalah, kami hanya
membatasi pada masalah :
1. Seperti apa pengertian dan perkembangan dari Epistimologi Bayani?
2. Apa saja syarat dalam Epistimologi Bayani?
3. Apa saja problematika dan kelemahan dalam Epistimologi Bayani?

C. Tujuan
Dengan ditulisnya makalah ini, kami berharap dapat membantu
memberikan pengetahuan mengenai Epistimologi Bayani sehingga dapat
bermanfaat bagi para pembaca.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Perkembangan Epistimologi Bayani


Pengertian dari segi terminologi, The Liang Gie dalam bukunya Pengantar
Filsagfat Ilmu mendefenisikan bahwa: “Epistemologi adalah teori pengetahuan
yang membahas berbagai segi pengetahuan seperti kemungkinan, asal mula sifat
alami, batas-batas, asumsi dan landasan, validitas dan realibilitas sampai soal
kebenaran” (Gie, 1987: 83). Lebih lanjut Ahmad Tafsir mengungkapkan bahwa
Epistemologi membicarakan sumber ilmu pengetahuan dan bagaimana cara
memperoleh ilmu pengetahuan. (Tafsir, 2000: 23).
Epistemologi atau teori pengetahuan (theory of knowledge), secara
etimologis, berasal dari kata Yunani epistemologi yang berarti pengetahuan
(knowledge), dan logos yang berarti teori tentang atau studi tentang. Jadi secara
terminologis, epistemologi merupakan cabang filsafat yang mempelajari asal mula
atau sumber, struktur, metode, dan validitas (keabsahan) pengetahuan. Dengan cara
mengetahui unsur-unsur itulah kemudian suatu pengetahuan dapat diiafirmasi
validitasnya sebagaidisiplin ilmu yang berdiri sendiri. Lawan katanya adalah doxa
yang berarti percaya, yakni percaya begitu saja tanpa menggunakan bukti (taken for
granted). (Earle, 1992: 21).
Bayani adalah metode pemikiran khas Arab yang menekankan otoritas teks
(nas), secara langsung atau tidak langsung, dan dijustifikasi oleh akal kebahasaan
yang digali melalui inferensi ( istidlal). Secara langsung artinya mamahami tes
sebagai pengetahuan jadi dan langsung mengaplikasikan tanpa perlu pemikiran.
Secara tidak langsung berarti memahami teks sebagai pengetahuan mentah
sehingga perlu tafsir dan penalaran. Meski demikian, hal ini bukan berarti akal atau
rasio bisa babas menentukan makna dan maksudnya, tetapi harus bersandar pada
teks.Dalam bayani, rasio diangggap tidak mampu memberikan penegtahuan kecuali
disandarkan pada teks.Dalam perspektif keagamaan, sasaran bidik bayani adalah
aspek esoterik (syari‟at). (Al-Jabiri, 2003: 233).
Kata bayani berasal dari bahasa Arab yaitu al-bayani yang secara harfiyah
bermakna sesuatu yang jauh atau sesuatu yang terbuka (Ahmad, 2002: 303). Namun
secara termenologi, ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan al-bayani,
ulama ilmu al-balagah misalnya, mendefinisikan al-bayan sebagai sebuah ilmu
yang dapat mengetahui satu arti dengan melalui beberapa cara atau metode seperti
tasybih (penyerupaan), majaz dan kinayah (Mustafa, 1972: 167). Ulama kalam
(theology) mengatakan bahwa al-bayan adalah dalil yang dapat menjelaskan
hukum. Sebagian yang lain mengatakan bahwa al-bayan adalah ilmu baru yang
dapat menjelaskan sesuatu atau ilmu yang dapat mengeluarkan sesuatu dari kondisi
samar kepada kondisi jelas (Al-‘Askari. 2010: 360). Sedangkan menurut Al-Jabiri,
ada lima pengertian yang paling tepat untuk arti Bayan, yaitu (Al-Jabiri, 2009: 16-
19):

1) Al-washal (sambungan, pertalian).


Keterangan tentang al-washal ini sebagaimana firman Allah SWT kepada
kaum musyrikin dalam QS. Al-An’am, 6: 94). Artinya: “Sesungguhnya kamu
datang kepada Kami sendiri-sendiri sebagaimana kamu Kami ciptakan pada
mulanya, dan kamu tinggalkan di belakangmu (di dunia) apa yang telah Kami
karuniakan kepadamu; dan Kami tiada melihat besertamu pemberi syafa’at yang
kamu anggap bahwa mereka itu sekutu-sekutu Tuhan di antara kamu. sungguh telah
terputuslah (pertalian) antara kamu dan telah lenyap daripada kamu apa yang
dahulu kamu anggap (sebagai sekutu Allah)”.

2) Al-fashl (pemisah)
Banyak sekali penjelasan tentang keterangan materi kebahasaan yang
berkaitan dengan lafazh al-fashl ini, dengan bentuk padanan kata yang bermacam-
macam, diantaranya al-bu’d (jauh), al-firqah (kelompok), al-mubayinah/al-
mufariqah (memisahkan), al-firaq (berpisah, cerai).

3) Azh-zhuhur wa al-wudhuh (jelas, nyata)


Makna kata ini sama juga dengan makna yang sebelumnya, yaitu pemisah,
berpisah/cerai dan jauh. Pengertian bayan yang disamakan dengan pengertian azh-
zhuhur wa al-wudhuh ini merupakan kesimpulan dari pengertian sebelumnya yang
menunjukkan pada arti pemisah, berpisah/cerai dan jauh. Pengertian ini
menunjukkan pada kedudukan sesuatu pada pengertian lainnya yang saling
berhubungan satu dengan yang lainnya. Sedangkan pada pengertian selanjutnya
(azh-zhuhur wa al-wudhuh), adalah mengisyaratkan pada suatu kondisi yang
dinisbatkan bagi orang yang memandangnya dari aspek kemanusiaan. Dengan kata
lain, pada pengertian awal berhubungan dengan wujud ontologi atas suatu materi,
sedangkan pengertian selanjutnya adalah berhubungan dengan wujud epistemologi.

4) Al-fashahah wa al-qudrah ‘ala at-tabligh wa al-iqna’ (kefasihan dan


kemampuan dalam menyampaikan pemahaman kepada orang lain)
Dalam hal ini, Bayan diartikan sebagai kefasihan lisan dalam
menyampaikan hal yang dimaksud, atau kemampuan yang membuat orang mau
menerima atas apa-apa yang disampaikan hingga tingkatan yang menjadikan orang
yang mendengar seolah-olah tersihir, meyakini yang benar menjadi salah, atau
meyakini yang salah menjadi benar. Diriwayatkan dari Ibn ‘Abbas dari Nabi SAW,
bahwa beliau bersabda: Inna min al-bayan lasihran wa inna min asy-
syii’r lahikman (Sesungguhnya dari Bayan bisa menjadi sihir, dan dari sya’ir bisa
memperoleh hikmah). Menurut Ibn ‘Abbas, Bayan adalah mengungkapkan maksud
melalui kata-kata yang fasih.

5) Al-insan hayawan mubin (manusia adalah hewan yang bisa menjelaskan)


Ini adalah kemampuan untuk berbicara dengan ucapan yang fasih, dan
hanya dimiliki oleh manusia.
Secara terminologi, Bayan mempunyai dua arti, yaitu:
a) Sebagai aturan-aturan penafsiran wacana (qawânin at-tafsîr al-khithâbi).
b) Syarat-syarat memproduksi wacana (syurûth intâj al-khithâb).
Berbeda dengan makna etimologi yang telah ada sejak awal peradaban
Islam, makna-makna terminologis ini baru lahir belakangan, yakni pada masa
kodifikasi. Antara lain ditandai dengan lahirnya al-Asybah wa al-Nazhâir fî al-
Qur`ân al-Karîmkarya Muqatil ibn Sulaiman (wafat tahun 767 M) dan Ma`ânî al-
Qur`ân karya Ibn Ziyad al-Farra’ (wafat tahun 823 M), yang keduanya sama-sama
berusaha menjelaskan makna atas kata-kata dan ibarat-ibarat yang ada dalam al-
Qur`an (Al-Jabiri, 1991: 20-21).
Pengertian tentang bayani tersebut kemudian berkembang sejalan dengan
perkembangan pemikiran Islam. Begitu pula aturan-aturan metode yang ada di
dalamnya. Pada masa asy-Syafi’i (767 – 820 M) yang dianggap sebagai peletak
dasar yurisprudensi Islam, bayani berarti nama yang mencakup makna-makna yang
mengandung persoalan ushûl (pokok) dan yang berkembang hingga ke cabang
(furû`). Sedang dari segi metodologi, asy-Syafi’i membagi Bayan ini dalam lima
bagian dan tingkatan, yaitu (Al-Jabiri, 2009: 23):
a) Bayan yang tidak butuh penjelasan lanjut, berkenaan dengan sesuatu yang telah
dijelaskan Tuhan dalam al-Qur`an sebagai ketentuan bagi makhluk-Nya.
b) Bayan yang beberapa bagiannya masih global sehingga butuh penjelasan as-
Sunnah.
c) Bayan yang keseluruhannya masih global sehingga butuh penjelasan as-Sunnah.
d) Bayan sunnah, sebagai uraian atas sesuatu yang tidak terdapat dalam al-Qur`an.
e) Bayan ijtihad, yang dilakukan dengan qiyas atas sesuatu yang tidak terdapat
dalam al-Qur`an maupun as-Sunnah.
Dari lima derajat bayan tersebut, asy-Syafi’i kemudian menyatakan bahwa
yang pokok (ushûl) ada tiga, yakni al-Qur`an, as-Sunnah dan al-Qiyas, kemudian
ditambah al-Ijma.
Al-Jahizh (wafat tahun 868 M) mengkritik konsep Bayan asy-Syafi’i di atas.
Menurutnya, apa yang dilakukan asy-Syafi’i baru pada tahap bagaimana
memahami teks, belum pada tahap bagaimana memberikan pemahaman pada
pendengar atas pemahaman yang diperoleh. Padahal, menurutnya, inilah yang
terpenting dari proses bayani. Karena itu, sesuai dengan asumsinya bahwa Bayan
adalah syarat-syarat untuk membuat wacana (syuruth intaj al-khithab) dan bukan
sekedar aturan-aturan penafsiran wacana (qawanin at-tafsir al-khitabi). Dari
sinilah, pendengar masuk sebagai unsur utama dalam proses bayani. Al-Jahizh
menetapkan syarat-syarat membuat wacana bayani adalah sebagai berikut (Al-
Jabiri, 2009: 25-30):

1) Al-Bayan wa Thalaqah al-Lisan (Retorika dan Kelancaran Berbicara)


Dalam hal ini, Al-Jahizh bermaksud untuk menguatkan hubungan antara
retorika dan kelancaran berbicara sebagaimana do’a Nabi Musa dalam al-Qur’an
yang diutus Allah untuk menyampaikan risalah-Nya kepada Fir’aun. Adapun
doanya sebagai berikut:
Artinya: Berkata Musa: “Ya Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku, dan
mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku (QS.
Thaha, 20 : 25-27)).

2) Al-Bayan wa Husn Ikhtiyar al-Alfazh (Retorika dan Kecerdasan dalam


Menyeleksi Kata-Kata)
Sebagaimana Bayan berada pada kebenaran ucapan dan kefasihan lisan ,
sehingga apa yang disampaikan sesuai dengan keadaan dan terlepas dari kata-kata
yang rancu.

3) Al-Bayan wa Kasyf al-Ma’na (Retorika dan Menyingkap Makna)


Dalam hal ini, Al-Jahizh memulai dengan analisa proses bayani atas dasar
kesetaraan, keterikatan dan saling mengisi antara huruf dan kata-kata. Makna harus
bisa diungkap dengan kejelasan petunjuk, kebenaran isyarat, kesimpulan yang baik,
dan kesesuaian pendekatan yang dapat mengungkapkan makna. Selanjutnya
disandarkan pada teori : wa ad-dilalah azh-zhahirah ‘ala al-ma’na al-khafi huwa
al-bayan (petunjuk yang jelas terhadap makna yang sembunyi adalah al-Bayan).

4) Al-Bayan wa al-Balaghah (Rerorika dan Balaghah)


Yang dimaksud dengan bayan dan balaghah di sini adalah adanya
kesesuaian antara kata dan makna.

5) Al-Bayan Sulthah (Retorika adalah Kekuasaan)


Dalam hal ini, Bayan ditinjau dari sudut fungsinya, yaitu adanya
kemampuan memperlihatkan sesuatu yang samar dari kebenaran,
dan menggambarkan kebatilan dalam bentuk kebenaran. Dengan kata lain,
kekuatan kata-kata untuk memaksa lawan mengakui kebenaran yang disampaikan
dan mengakui kelemahan serta kesalahan konsepnya sendiri.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Epistemology bayani adalah studi filosofis terhadap struktur pengetahuan
yang menempatkan teks (wahyu) sebagai sebuah kebenaran yang mutlak. Adapun
akal hanya menempati tingkat skunder dan bertugas hanya untuk menjelaskan teks
yang ada.
Pola fikir bayani lebih mendahulukan qiyas bukan mantik lewat sigolisme
dan premis-premis logika. Disamping itu nalar epistemology bayani selalu
mencurigai akal fikiran, karena dianggap akan menjahui kebenaran tekstual
(wahyu).

B. Saran
Demikian sedikit bahasan tentang epistemology bayani ini. Terbatasnya
referensi tentang bahasan ini membuat penulisan makalah ini sangat tidak
sempurna. Oleh karena kritik dan saran yang membangun untuk kesempurnaan
makalah ini sangat kami nantikan. Trimakasih.
DAFTAR PUSTAKA

Gie, The Liang. 1987. Pengantar Filsafat Ilmu. Bandung: The Science and
Tecnolody Stues Foundation. hal. 83.

Tafsir, A. 2000. Filsafat Umum Akal dan Hati Sejak Thales Hingga Capra.
Bandung: Remaja Rosdakarya. hal. 23.

Earle, W. J. 1992. Introduction to Philosophy. New York-Toronto : Mc. Grawhill.


hlm.21.

Muhammad Abed al-Jabiri, Bunyah al-„Aql al-„Arabi, Beirut, al-Markaz al-Tsaqafi


al- Arabi, 1991. hlm. 38, Lihat A. Khodari Sholeh (ed.), “M.Abed al-Jabiri.
2003. Model Epistemologi Hukum Islam”, dalam “Pemikiran Islam
Kontemporer”. Yogyakarta : Jendela. hlm. 233.

Ahmad, Abu al-Husain. 2002. Maqayis al-Lugah, Juz. I. Bairut: Ittihad al-Kitab al-
‘Arabi. hal. 303.

Mustafa, Ibrahim dkk. 1972. al-Mu’jam al-Wasit, Juz. I (CD-ROM al-Maktabah al-
Syamilah), hal. 167.

Al-‘Askari, Abu Hilal. 2010. al-Furuq al-Lugawiyah, (CD-ROM al-Maktabah al-


Syamilah), hal. 360.

You might also like