Professional Documents
Culture Documents
Tim CDB
i
KATA PENGANTAR
Teknologi upgrading batubara merupakan salah satu pilihan untuk pemanfaatan batubara
peringkat rendah dengan jalan menurunkan kandungan air dan menaikkan nilai kalori
batubara tersebut. Dengan diaplikasikannya teknologi upgrading batubara maka
pemanfaatan LRC akan semakin bertambah besar, sehingga industri pertambangan
batubara di Indonesia dapat berperan sebagai pemasok energi dalam negeri dan ekspor
dimasa mendatang. Dalam rangka menciptakan teknologi upgrading yang terjangkau serta
efisien, maka dilakukan penelitian peningkatan nilai kalor batubara melalui proses
pengeringan yang diberi nama Coal Drying and Briquetting (CDB). Diharapkan penelitian
ini akan menghasilkan teknologi upgrading batubara yang merupakan hasil karya sendiri.
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu sehingga
kegiatan Tim Pengembangan Teknologi Proses Upgrading Batubara Peringkat Rendah
(Coal Drying and Briquetting) Tahun Anggaran 2011 dapat berjalan dengan baik. Mudah-
mudahan kegiatan ini bermanfaat bagi semua pihak.
ii
SARI
Teknologi upgrading batubara merupakan salah satu pilihan untuk pemanfaatan batubara
peringkat rendah. Penelitian penurunan kandungan air batubara melalui proses pengeringan
dan pembriketan yang diberi nama Coal Drying and Briquetting (CDB) telah dilakukan
oleh Puslitbang tekMIRA sejak tahun 2010, yaitu penelitian skala laboratorium dan
percobaan menggunakan peralatan rotary dryer di pilot plant UBC. Kegiatan
pengembangan CDB pada tahun ini adalah menyiapkan peralatan pulverized coal burner
(tungku pembakaran batubara bubuk) dan rotary dryer sebagai bagian dari peralat pilot
plant CDB yang akan dibangun secara bertahap sampai tahun 2013.
Pulverized coal burner dan rotary dryer telah tersedia di sentra pengolahan dan
pemanfaatan batubara, Puslitbang tekMIRA di Palimanan, Cirebon. Modifikasi peralatan
tersebut telah selesai dikerjakan untuk digunakan sebagai bagian dari pilot plant CDB.
Pulverized coal burner telah dimodifikasi dan ditambah dengan ruang pengencer gas buang
agar cocok digunakan sebagai media pengeringan batubara basah. Rotary dryer juga sudah
dimodifikasi menjadi tipe aliran co-current yang cocok digunakan untuk proses
pengeringan batubara. Bahan bakar untuk proses pengeringan juga sudah diganti
menggunakan batubara yang diperoleh dari produk batubara hasil pengeringan.
Pengeringan batubara menggunakan rangkaian alat Pulverized coal burner dan rotary dryer
telah dilakukan dengan kesimpulan bahwa Pulverized coal burner dapat beroperasi dengan
baik saat dioperasikan secara terpisah dari ruang pengencer gas dan rotary dryer, sedangkan
jika dioperasikan secara bersamaan menimbulkan tekanan balik gas ke pulverized coal
burner. Hal ini menyebabkan suhu di rotary dryer tidak mencapai sebagaimana diharapkan
(400oC). Modifikasi perlu dilakukan untuk mengatasi masalah tekanan balik dengan
memperbesar sambungan antara pulverized coal burner dan ruang pengencer gas panas dan
sambungan antara ruang pengencer gas panas dan rotary dryer yang terlalu kecil.
iii
DAFTAR ISI
2.2.2 Resiko Ledakan Debu Batubara (Coal Dust Explosion Risk) ............. 15
2.2.3 Manfaat Pengeringan Batubara untuk bahan bakar PLTU ............... 19
2.3 Status Beberapa Teknologi Upgrading ............................................ 21
2.3.1 Evaporative Drying .................................................................... 21
2.3.2 Pengeringan Non-Evaporative ..................................................... 35
2.4 Evaluasi Keekonomian Pengeringan Batubara dibandingkan
dengan Pencampuran Batubara (Blending) .................................... 38
III. Tahapan Kegiatan Pengembangan Teknologi Pengeringan Batubara
Coal Drying And Briquetting (CDB) ……………………………………………...... 43
3.1 Tahapan persiapan …………………………………………………………………… 43
3.2 Modifikasi/Fabrikasi dan konstruksi peralatan …………………………….. 43
3.3 Tahapan percobaan pengeringan batubara …….…………………………… 44
3.4 Tahapan penulisan laporan ………………………………………………………… 44
IV. Hasil Kegiatan Pengembangan Teknologi Pengeringan Batubara
Coal Drying And Briquetting (CDB) ..................................................... 45
iv
4.1. Perhitungan Neraca Massa dan Neraca Panas …………………………………….. 45
4.2. Modifikasi/Fabrikasi dan Konstruksi Peralatan Tungku Pembakaran
Batubara Bubuk (Pulverized Coal Burner) …………………………………………… 46
4.3. Modifikasi/Fabrikasi dan Konstruksi Peralatan Rotary Dryer …………………… 49
4.4. Uji Coba Pengeringan Batubara ………………………………………………………… 51
V. Penutup .....................…………………………………………………………………….. 53
5.1 Kesimpulan ..................................................………………………………. 53
5.2 Saran .................................................................................………… 53
5.3 Modifikasi/Fabrikasi dan Konstruksi Rotary Dryer ………………………. 19
Daftar Pustaka ………………………………………………………………………………… 54
v
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
vi
Gambar 2.6 Hubungan antara suhu penyalaan dan kandungan zat terbang .... 17
Gambar 2.7 Pengering Putar (Rotary Dryer) ................................................. 22
Gambar 2.8 Kondisi dan hasil percobaan pengeringan batubara
menggunakan steam tube rotary dryer ...................................... 24
Gambar 2.9 Sketsa Peralatan Flash Dryer ................................................... 25
Gambar 2.10 Photo pabrik BCB di Tabang, Kalimantan Timur ......................... 26
Gambar 2.11 Sketsa peralatan pengeringan batubara dengan reaktor
fluidized bed ........................................................................... 29
Gambar 2.12 Skema peralatan di pembangkit listrik setelah penambahan
peralatan pengeringan batubara (warna hijau)........................... 30
Gambar 2.13 Performance tungku fluidized bed untuk pengeringan batubara
dengan energi dari waste heat ................................................... 31
Gambar 2.14 Diagram alir proses UBC .......................................................... 32
Gambar 2.15 Pengeringan batubara teknologi coldry ...................................... 35
Gambar 2.16 Diagram Alir Proses CHTD ........................................................ 36
Gambar 2.17 Skema proses MTE .................................................................. 37
Gambar 4.1 Diagram T – Q proses pengeringan batubara ............................ 46
Gambar 4.2 Peralatan tungku pembakaran batubara bubuk ......................... 47
Gambar 4.3 Kalibrasi laju alir batubara pada screw feeder ............................ 48
Gambar4.4 Pembakaran batubara dalam ruang bakar .................................. 49
Gambar 4.5 Rotary dryer tipe aliran co-current ............................................. 50
Gambar 4.6 Penentuan kapasitas rotary dryer dan waktu tinggal batubara ..... 51
Gambar 4.7 Hubungan suhu rotary dryer terhadap skala putaran screw feeder 52
vii
I. PENDAHULUAN
Puslitbang tekMIRA bekerjasama dengan JCOAL dan Kobe Steel Jepang telah sukses
mengembangkan teknologi upgrading batubara yaitu teknologi UBC. Berbekal
pengalaman dalam pengembangan UBC, maka akan dilakukan pengembangan proses
upgrading baru yang sesuai untuk diaplikasikan pada perusahaan tambang berskala
menengah kebawah. Proses baru ini diberi nama Coal Drying and Briquetting (CDB).
Proses CDB direncanakan menggunakan reaktor rotary dryer suatu reaktor yang
berkapasitas besar tetapi murah, dengan energi pemanasan berasal dari gas hasil
1
pembakaran batubara atau uap air. Proses CDB diharapkan mempunyai biaya investasi
lebih kecil karena tidak menggunakan residu dan media minyak tanah. Walaupun demikian
proses CDB diharapkan menghasilkan briket batubara yang lebih kuat karena kadar airnya
masih tinggi dan tahan terhadap spontaneous combustion.
Pada tahun 2010 proses CDB telah di uji coba menggunakan peralatan pada pilot plant
UBC milik JCOAL Jepang. Hasil uji coba menunjukkan bahwa batubara Indonesia dapat
di keringkan sampai kandungan air 7% tanpa terjadi moisture reabsorption dan
menghasilkan briket yang kuat. Mulai tahun 2011 sampai dengan tahun 2013 akan
dibangun pilot plant proses CDB dengan kapasitas 2 ton batubara umpan perhari. Akhir
tahun 2013 disamping dihasilkan pilot plant akan dihasilkan juga desain pabrik CDB
kapasitas 20-100 ton/hari, atau dalam hal ini akan dihasilkan desain peralatan dengan
scale- up ratio 10 sampai dengan 50 kali lipat kapasitas peralatan pilot plant. Tahapan
kegiatan pengembangan proses CDB setiap tahun dapat dilihat pada gambar 1 dan Tabel 1.
2
Tabel 1.1. Road map kegiatan CDB
Tahun 2010 2011 2012 2013
Target Mendapatkan data teknis Beroperasinya peralatan Beroperasinya peralatan Beroperasinya pilot plant
proses CDB pulverized burner, dan siklon dan wet scrubber CDB kapasitas 2 ton/hari
rotary dryer kapasitas 2 untuk mendukung pilot secara kontinyu (2X24 Jam)
ton/hari. plant CDB kapasitas 2
ton/hari.
Kegiatan Uji coba proses CDB Pembuatan pulverized Pembuatan siklon dan Optimasi proses CDB dan
dengan rotary dryer burner dan rotary dryer wet scrubber untuk Pengumpulan data teknis
untuk mendukung pilot mendukung pilot plant dalam rangka scale-up
plant CDB kapasitas 2 CDB kapasitas 2 peralatan
ton/hari ton/hari.
Rincian Uji laboratorium untuk Desain pulverized Desain siklon dan wet Ujicoba peralatan pilot
kegiatan pengeringan batubara burner, dan rotary dryer scrubber plant CDB
Percobaan pengeringan Fabrikasi pulverized Fabrikasi siklon dan Uji coba pengeringan
batubara burner, dan rotary dryer wet scrubber batubar
Evaluasi hasil Konstruksi pulverized Konstruksi siklon dan Karakterisasi produk
percobaan burner, dan rotary dryer wet scrubber upgrading
Uji coba operasi Uji coba operasi siklon Uji emisi dan limbah pilot
pulverized burner, dan dan wet scrubber plant CDB
rotary dryer
3
1.3 Tujuan
Tujuan jangka panjang kegiatan CDB adalah menghasilkan teknologi pengeringan
batubara dalam negeri yang efisien, murah dan ramah lingkungan yang sesuai dengan
karakteristik batubara Indonesia.
1.4 Sasaran
Tujuan kegiatan CDB pada tahun anggaran 2011 adalah membuat/modifikasi peralatan
pembakar batubara bubuk (pulverized coal burner) yang dilengkapi ruangan pengenceran
gas buang dan membuat/memodifikasi alat pengering rotary dryer dalam rangka
pembuatan pilot plant proses CDB kapasitas 2 ton batubara/hari.
4
II. KAJIAN STATUS TEKNOLOGI PENGERINGAN BATUBARA
Berbeda dengan harga minyak, harga batubara relatif tidak dipengaruhi oleh kondisi politik
negara produsen karena sumber daya batubara di dunia berada dalam kondisi lebih
tersebar. Cadangan batubara tersedia di sekitar 70 negara di dunia sedangkan minyak dan
gas alam hanya terdapat pada negara-negara dalam jumlah yang terbatas. Lebih dari 62%
minyak dan 64% cadangan gas yang terkonsentrasi di Timur Tengah dan Rusia. Pada
tingkat produksi saat ini, cadangan terbukti (proven reserve) batubara dapat dipakai untuk
memenuhi kebutuhan energi dunia sampai 119 tahun sementara itu cadangan terbukti
minyak dan gas hanya akan berumur sampai 46 dan 63 tahun.
Produksi batubara peringkat tinggi (hard coal) meningkat terus setiap tahun, pada tahun
2003 produksi batubara adalah 4 milyar 231 juta ton dan pada tahun 2009 adalah 5 milyar
990 juta ton atau terjadi peningkatan rata-rata antara 5 sampai dengan 6% per tahun.
Kebutuhan batubara terutama untuk tenaga listrik diprediksi akan terus meningkat karena
lebih dari 1,6 miliar orang (25% dari populasi dunia) tidak memiliki energi listrik.
Ketersediaan energi listrik dengan harga terjangkau, aman dan handal akan meningkatkan
pembangunan ekonomi untuk pengentasan kemiskinan. Dari tahun 2010 sampai dengan
tahun 2030, diperkirakan akan terjadi peningkatan konsumsi batubara dunia sekitar 53%.
Sebagian besar (97%) peningkatan konsumsi batubara akan terjadi di negara-negara
berkembang terutama untuk memenuhi kebutuhan listrik (http://www.worldcoal.org)
Pada tahun 2009 produksi batubara peringkat rendah/brown coal/lignit hanya sekitar 900
juta ton tetapi tingkat produksi ini diprediksi akan meningkat pada dekade mendatang
karena adanya pertumbuhan akan permintaan energi dunia dan adanya teknologi
pengeringan batubara yang andal dan cukup ekonomis untuk diterapkan. Batubara
5
peringkat rendah cukup mudah untuk ditambang dan umumnya mempunyai stripping ratio
rendah (< 3) tetapi mempunyai kadar air tinggi (>40%) sehingga memerlukan ongkos
transportasi persatuan energi yang mahal dan melepas emisi CO2 lebih banyak. Rata-rata
emisi CO2 batubara peringkat rendah adalah 1300 kg per megawatt-hour sementara itu
rata-rata emisi CO2 batubara bituminous (hard coal) adalah hanya 900 kg per megawatt-
hour. Teknologi pengeringan batubara yang handal, murah dan dapat mengurangi emisi
CO2 akan menjadi kebutuhan pada era mendatang.
Teknologi pengeringan telah dikembangkan sejak tahun 1920-an. Pada tahun tersebut di
Austria dikembangkan proses Fleissner untuk menurunkan kandungan air batubara
peringkat rendah menggunakan media dan energi dari uap air superheated. Di Indonesia
teknologi pengeringan batubara juga sedang dikembangkan misalnya teknologi UBC di
tambang batubara Arutmin, Kalimantan Selatan, teknologi BCB di tambang batubara PT.
Bayan Resources dan teknologi rotary dryer di Tambang Batubara PT. Titan Mining,
Jambi. Meskipun teknologi pengeringan batubara sudah berumur 90 tahun dan beberapa
teknologi telah dikembangkan ke skala besar tapi sampai saat ini belum ada teknologi yang
andal dan komersial.
Kajian ini dibuat dengan tujuan mengetahui hambatan-hambatan teknis yang menyebabkan
penerapan teknologi pengeringan batubara di Indonesia masih belum komersial dan
memberikan usulan tentang upaya yang harus dilakukan untuk mempercepat
komersialisasi teknologi tersebut. Pada kajian ini akan dibahas peluang penerapan
teknologi pengeringan batubara di Indonesia, karakteristik proses pengeringan batubara,
teknologi pengeringan batubara yang ada di dunia dan keekonomian aplikasi teknologi
pengeringan batubara. Kata Batubara Peringkat Rendah (BPR) dan kata lignit dalam
laporan ini mempunyai arti yang sama dan sering dipakai bergantian. Upgrading batubara
sejatinya meliputi pengertian antara lain peningkatan kualitas batubara dengan cara
menghilangkan pengotor batubara (abu, natrium dan belerang) dan dengan cara
menurunkan kandungan air. Pada laporan ini yang dimaksud dengan upgrading batubara
penghilangan kadar air batubara.
6
2.1 Karakteristik Proses Pengeringan Batubara
Air dalam batubara atau kelembaban batubara mempengaruhi karakteristik fisik dan kimia
batubara dan pemilihan teknologi pemanfaatannya. Reaksi pembakaran batubara, reaksi
gasifikasi, reaksi pengeringan, reaksi pirolisis, evolusi zat terbang, degradasi ukuran
batubara, keekonomian transportasi dan titik nyala batubara dipengaruhi oleh kandungan
air yang ada dalam batubara. Pada reaksi pembakaran, air dalam batubara menghambat laju
pemanasan batubara dan menghalangi kontak batubara dengan oksigen. Kandungan air
batubara juga mengurangi jumlah energi panas yang dapat dimanfaatkan karena sebagian
energiy panas dipakai untuk menguapkan air batubara yang endothermik.
perlu kehati-hatian dalam menangani batubara kering halus produk pengeringan/upgrading Formatted: Font: 12 pt, Italic
batubara. Pada bab ini akan dibahas mengenai wujud air dalam batubara, pelepasan air dari
batubara, penyerapan kembali air ke dalam batubara, spontaneous combustion dan coal Formatted: Font: 12 pt, Italic
Air dalam batubara sebagian terikat di permukaan batubara, dalam pori-pori batubara (pori
mikro dan pori makro) dan sisanya terikat oleh gugus fungsi hiydroksil dan karboksil.
Setelah proses pengeringan batubara, air dapat kembali ke dalam batubara bila pori-pori
batubara tidak rusak atau tidak terjadi pemutusan ikatan air dengan gugus fungsi yang ada.
Umumnya air di dalam batubara di klasifikasikan ke dalam dua jenis yaitu air bebas (free
moisture) dan air terikat (bound water/inherent moisture). Free moisture berada pada
permukaan batubara, didalam celah-celah batubara dan didalam pori-pori yang besar. Free
moisture mempunyai sifat seperti air pada umumnya yaitu dalam kondisi normal akan
menguap ke atmosfir. Inherent moisture adalah air yang terdapat dalam pori-pori batubara
yang berukuran lebih kecil dan mempunyai tekanan uap lebih rendah sehingga dalam
kondisi normal tidak menguap ke atmosfir.
Status air dalam batubara dapat diketahui dengan mengamati panas desorpsinya. Sekitar
80% air dalam batubara adalah dalam bentuk bebas dan panas yang dibutuhkan untuk
desorpsi adalah sama dengan panas latent penguapan. Dua puluh persen (20%) sisanya
adalah air yang terikat lebih kuat dalam lignit. Air ini biasanya terdapat dalam pori-pori
7
batubara ukuran kecil (micropores). Dalam proses pengeringan batubara, variasi kekuatan Formatted: Font: 12 pt, Italic
ikatan air dalam batubara akan menghasilkan perilaku penguapan yang berbeda.
Volume pori dalam batubara bituminous hampir sama dengan volume pori dalam lignit
yaitu sekitar 0,1 ml/gram. Walaupun demikian, ikatan air dalam lignit berbeda dengan
ikatan air dalam batubara bituminous. Sebagian besar pori dalam lignit adalah pori-pori
ukuran besar (macro pores) dan sebagian besar air, berada dalam macro pores tersebut. Air Formatted: Font: 12 pt, Italic
dalam pori-pori makro relatif mudah untuk dilepaskan dengan cara pemanasan sebaliknya
air dalam pori-pori mikro agak sulit dilepaskan karena ikatan dengan permukaan batubara
dan karena adanya gaya kapiler.
Kecepatan pelepasan air dari batubara dan suhu pengeringan berpengaruh pada struktur
pori, sifat fisik dan sifat kimia batubara hasil pengeringan. Sebagian besar siystem
peralatan pengeringan batubara yang ada saat ini adalah pengering dengan siystem
pertukaran panas langsung. Pada siystem ini sebagian besar panas di transfer ke batubara
melalui mekanisme konveksi. Dalam pengering, batubara basah dicampur dengan gas
panas yang dihasilkan dalam ruang bakar terpisah. Gas yang digunakan untuk pengeringan
terutama umumnya adalah udara yang tercampur beberapa gas lain produk dari proses
pembakaran. Panas akan ditransfer dari gas pengeringan ke batubara basah sehingga air
yang terkandung dalam batubara menguap.
Berdasarkan kurva pengeringan pada Gambar 2.1, proses pengeringan batubara dapat
dibagi menjadi tiga tahap. Tahap pertama (initial period) adalah tahap penghilangan air Formatted: Font: 12 pt, Italic
bebas (free moisture). Pada tahap ini laju pengeringan bertambah dengan berjalannya Formatted: Font: 12 pt, Italic
waktu. Pada tahap kedua (constant rate period), pengeringan batubara berlangsung pada Formatted: Font: 12 pt, Italic
laju yang konstan dan suhu batubara hanya sedikit meningkat. Pada tahap ini, energi
panas yang ditransfer dari gas pengeringan adalah sama dengan panas yang dipakai untuk
penguapan air pada permukaan batubara. Lebih kurang dibutuhkan 610 kkal panas untuk
menguapkan 1 kg air dari dalam batubara.
8
Gambar 2.1 Kurva Pengeringan Batubara
Pengeringan tahap ketiga dimulai setelah permukaan batubara paling luar sudah hampir
kering. Pada tahap ini pengeringan berlangsung dengan laju yang semakin lambat karena
jumlah permukaan batubara basah yang dapat kontak langsung dengan gas panas semakin
lama semakin sedikit. Uap air pada tahap ini berasal dari bagian dalam batubara dan
bergerak keluar batubara dengan menembus pori-pori yang ada. Oleh sebab itu
pengeringan batubara pada tahap ini sangat dipengaruhi oleh kharakterisktik masing-
masing batubara.
Air dapat masuk kembali ke dalam batubara setelah proses pengeringan. Seberapa besar air
dapat masuk kembali ke batubara dan apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat
masuknya air ke dalam batubara harus diketahui untuk mendapatkan produk batubara
kering sesuai yang diinginkan.
9
Gambar 2.2 menunjukkan hubungan antara waktu dan kadar air batubara dalam proses
pengeringan batubara pada suhu yang berbeda (75 °C, 100 °C dan 150°C) yang dilanjutkan
dengan kurva penyerapan kembali air (moisture) dalam suhu kamar (27oC) dan Formatted: Font: 12 pt, Italic
kelembaban 80%. Semakin tinggi suhu semakin cepat waktu pengeringan. Kadar air
batubara kering meningkat dari 0% menjadi sekitar 10 - 13% setelah penyerapan kembali
moisture dalam jangka waktu sekitar 2 sampai 4 hari. Kadar air batubara kering dapat
diatur menjadi diatas 13% dengan mengatur waktu dan suhu pengeringan. Pengurangan
kadar air batubara kering dibawah 10% agak sulit dilakukan tanpa memutus ikatan air
dengan gugus fungsi yang ada dalam batubara.
Gambar 2.2 Kurva pelepasan air dan penyerapan kembali air pada proses pengeringan
batubara Kaltim (Karthikeyan, 2007)
Pengaruh peringkat batubara pada tingkat penyerapan air dilihat pada Gambar 2.3. Sumbu
Y pada Gambar 2.3 adalah rasio antara air yang masuk ke dalam batubara setelah
pengeringan dengan air yang dilepas saat pengeringan. Pada batubara Bituminous semua
air yang dilepas saat pengeringan 100% kembali lagi ke dalam batubara sementara itu pada
batubara lignit hanya 30% dari air yang kembali ke batubara. Diperkirakan pori-pori dalam
batubara bituminous berada dalam struktur yang sangat kuat oleh sebab proses
pembatubaraan (coalification) di alam sehingga pori-pori batubara bituminous tidak rusak Formatted: Font: 12 pt, Italic
selama proses pengeringan dan air dapat kembali lagi ke dalam pori setelah proses
pengeringan.
Pengeringan batubara dapat menghasilkan produk dengan kadar air dibawah 10% bila
dilakukan pada suhu lebih tinggi sehingga gugus fungsi karboksil yang ada dalam batubara
10
terlepas. Tabel 2.1 menampilkan hubungan antara suhu pengeringan dengan kandungan air
dan kandungan gugus karboksil.
Gambar 2.3 Pengaruh peringkat batubara pada penyerapan air kembali setelah proses
pengeringan (Gorbarty, 1994).
Tabel 2.1 Pengaruh suhu pengeringan pada gugus fungsi batubara (Mukherjee, 2004)
Dengan meningkatkan suhu pengeringan batubara dari 200oC ke 350oC jumlah gugus
karboksil dapat diturunkan dari 3,9% menjadi 1,3% sementara itu kadar air batubara
setelah penyerapan kembali air pada kelembapan relatif 60% (moisture at 60% RH) adalah
menurun dari 12,3% menjadi 7,6%.
11
Walaupun suhu pengeringan menentukan jumlah moisture pada batubara kering tetapi
dalam prakteknya suhu pengeringan batubara diusahakan setinggi mungkin tetapi dalam
batas-batas aman. Dengan menggunakan suhu tinggi, volume gas pengeringan yang
dibutuhkan menjadi semakin sedikit, yang pada gilirannya mengurangi kebutuhan bahan
bakar, listrik dan jumlah debu yang dihasilkan oleh pengering. Efisiensi termal juga
semakin tinggi dengan semakin tingginya suhu pengeringan. Faktor lain yang paling
berpengaruh pada proses pengeringan batubara adalah waktu pengeringan. Tetapi
sayangnya data mengenai waktu yang dibutuhkan untuk pengeringan ini akan sesuai kalau
data tersebut diperoleh dari hasil percobaan skala pilot atau sumber empiris lainnya.
Dari fakctor-faktor yang dipertimbangkan di atas dapat disimpulkan bahwa fitur yang
diinginkan pengering termal adalah:
Harus ada pasokan gas panas pada suhu sedikit di atas suhu kritis bahan yang akan
dikeringkan.
Harus ada metode sehingga terjadi kontak yang baik antara gas panas dengan material
yang sedang dikeringkan.
Waktu tinggal bahan dalam pengering secepat mungkin tetapi dengan penguapan air
yang memadai. Peralatan pengering batubara harus memiliki kemampuan untuk
mengeringkan berbagai macam ukuran bahan tetapi tanpa menimbulkan kondisi
pengeringan yang berlebihan atau sebailknya.
Peralatan pengering batubara harus mempunyai kapasitas yang besar.
Peralatan pengering batubara harus mampu mempertahankan temperatur gas buang
pada tingkat yang cukup tinggi untuk mencegah kondensasi dalam sistem.
Peralatan pengering batubara harus mempunyai desain yang sederhana, mudah
dioperasikan dan mudah diperbaiki bila terjadi kerusakan.
Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya spontaneous combustion tetapi yang paling
utama adalah oksidasi batubara (karbon) pada suhu kamar. Oksidasi batubara, seperti
halnya semua reaksi oksidasi, adalah rekaksi eksotermik yang menghasilkan panas.
Mekanisme sebenarnya tentang bagaimana pembakaran spontan dapat terjadi sampai saat
ini masih belum dapat dipahami, tetapi para imuwan sepakat bahwa interaksi antara
batubara dengan oksigen pada suhu rendah pada awalnya adalah dalam bentuk adsorpsi
fisika yang dilanjutkan dengan adsorpsi kimia.
12
Tingkat konsumsi oksigen oleh batubara sangat tinggi selama beberapa hari pertama
(terutama beberapa jam pertama) batubara diletakkan di udara terbuka. Tingkat konsumsi
oksigen kemudian menurun dan menjadi sangat lambat bila tidak terjadi peningkatan suhu
pada batubara dan lingkungannya. Bila panas terakumulasi dan terdapat aliran oksigen
yang cukup maka proses oksidasi dapat berjalan lebih cepat dan suhu batubara semakin
meningkat. Naiknya suhu menyebabkan proses oksidasi terus berlanjut menghasilkan
ikatan karbon dan oksigen yang lebih stabil di permukaan batubara. Setelah suhu batubara
mencapai suhu kritis maka terjadilah Spontaneous Combustion.
Mekanisme spontaneous combustion sulit dipahami karena banyak facktor yang bisa
meng-inisiasi meningkatnya suhu batubara dan mempengaruhi peningkatan suhu
selanjutnya sampai terjadinya spontaneous combustion. Faktor-faktor yang dapat meng-
inisiasi dan mengembangkan fenomena spontaneous combustion antara lain sebagai
berikut:
13
Gambar 2.4 Degradasi ukuran batubara setelah diletakkan di udara terbuka
pada suhu ruangan
14
Gambar 2.5 Foto Debu Batubara
Pabrik pengeringan batubara mempunyai resiko untuk terjadinya ledakan debu batubara.
Pengeringan batubara menghasilkan produk sampingan berupa partikel halus yang panas
yang bisa menyebabkan terjadinya ledakan, oleh sebab itu keamanan pabrik ini perlu
mendapat perhatian.
Kecelakaan tambang terburuk dalam sejarah umumnya disebabkan oleh ledakan debu batu
bara. Pada tahun 1913 terjadi ledakan debu batubara di Senghenydd di South Wales yang
menelan korban jiwa 439 penambang meninggal. Pada tahun 1962 ledakan debu batubara
di tambang Courrières Prancis Utara menewaskan 1099 penambang dan di tambang
batubara Luisenthal Mine Jerman merenggut 299 nyawa.Ledakan debu batubara terburuk
adalah yang terjadi pada tahun 1942 di Benxihu Colliery, Cina, yang menewaskan 1.549
orang (sumber: Wikipedia).
Ledakan debu batubara dapat terjadi dalam kondisi sebagai berikut yaitu adanya batubara
ukuran halus, oksigen, energiy panas dan terbentuknya suspensi dalam suatu ruangan
tertutup. Berikut adalah penjelasan fakctor-faktor terjadinya ledakan tersebut.
15
a. Peringkat Batubara
Batubara peringkat rendah selalu mempunyai titik nyala yang lebih rendah (lebih mudah)
dibandingkan anthracite karena batubara peringkat rendah mempunyai jumlah zat terbang
yang lebih banyak (Gambar 2.6). Kondisi ini juga berlaku pada fenomena terjadinya
ledakan debu batubara. Semakin tinggi kandungan zat terbang dalam batubara semakin
mudah untuk terjadinya ledakan partikel halus. Rasio zat terbang (volatile ratio) yang Formatted: Font: 12 pt, Italic
didefinisikan sebagai rasio kandungan zat terbang dengan total kandungan karbon
tertambat dan kandungan zat terbang juga dapat dipakai sebagai parameter kecenderungan
terhadap ledakan batubara. Batubara dengan volatile ratio diatas 12% mempunyai Formatted: Font: 12 pt, Italic
Batubara dengan ukuran partikel lebih kecil membutuhkan energi yang lebih rendah untuk
penyalaan (ignition) dibandingkan energi yang dibutuhkan untuk penyalaan batubara Formatted: Font: 12 pt, Italic
dengan ukuran lebih besar. Batubara dengan ukuran lebih besar dari 800 mikron kurang
beresiko untuk menimbulkan ledakan debu batubara. Sebaliknya, partikel batubara dengan
ukuran lebih kecil dari 800 mikron mempunyai kecenderungan untuk terjadinya ledakan
debu batubara dan semakin kecil ukuran batubara semakin besar kecenderungannya untuk
terjadinya ledakan debu batubara. Energi untuk penyalaan tersebut semakin kecil lagi bila
batubara berukuran kecil tersebut mempunyai kandungan zat terbang yang besar.
c. Konsentrasi batubara
Debu batubara yang terbang di udara dapat terbakar bila ada energiy yang cukup untuk
menyalakannya. Tetapi kebakaran tersebut tidak akan menjalar (propagation) kemana- Formatted: Font: 12 pt, Italic
mana kalau konsentrasi debu batubara tersebut adalah rendah. Pada konsentrasi debu
rendah, ada jarak antar partikel yang cukup jauh sehingga terbakarnya satu partikel tidak
menyebabkan terbakarnya partikel lainnya. Sebaliknya pada konsentrasi debu batubara
yang tinggi, partikel batubara berada dalam kondisi saling berdekatan sehingga partikel
yang terbakar akan mampu menyalakan partikel lainnya. Konsentrasi minimum suspensi
16
debu batubara yang memungkinkan terjadinya ledakan debu batubara dinamakan Minimum Formatted: Font: 12 pt, Italic
MEC ditentukan oleh sejumlah faktor, seperti kandungan zat terbang dari batubara, ukuran
distribusi partikel batubara dan juga keberadaan gas yang mudah terbakar seperti gas
metan dalam suspensi batubara. Nilai MEC untuk batubara medium volatile bituminous
adalah 40-50 gram per meter kubik. Nilai MEC akan menurun bila jumlah zat terbang naik,
ukuran partikel lebih kecil dan konsentrasi gas methan naik.
Partikel debu batubara dapat terbakar bila terdapat energi yang cukup untuk
menyalakannya. Sumber energi panas ini dapat berasal dari udara panas di dalam mesin
pengering atau percikan api. Jumlah energi yang dibutuhkan untuk menyalakan debu
batubara adalah sekitar 60 mili joules.
Penyalaan gas membutuhkan energi yang lebih sedikit dibanding batubara. Bila debu
batubara bercampur gas seperti methan maka metan akan menyala lebih dulu dari batubara.
Energi dari pembakaran gas metane ini yang selanjutnya akan menyalakan debu batubara
dan menimbulkan ledakan.
Gambar 2.6 Hubungan antara suhu penyalaan dan kandungan zat terbang
17
Debu batubara ter-suspensi umumnya membutuhkan suhu yang relatif tinggi (>500oC)
untuk proses penyalaannya. Tetapi, debu batubara yang sama, ketika berada dalam bentuk
lapisan di lantai atau di atas peralatan memerlukan temperatur yang lebih rendah (> 170
o
C) untuk terbakar dan membara. Hubungan antara suhu penyalaan (ignition temperature) Formatted: Font: 12 pt, Italic
dan jumlah zat terbang yang terdapat dalam ditunjukkan pada Gambar 3.6.
e. Keberadaan Oksigen
Untuk terjadinya kebakaran dan ledakan diperlukan oksigen yang cukup. Berdasarkan
data-data percobaan resiko terjadinya kebakaran dan ledakan akan lebih rendah bila
kandungan ooksigen dalam gas kurang dari 12%.
f. Suspensi
Debu Batubara akan meledak hanya jika debu tersuspensi di udara. Jika debu berada dalam
bentuk lapisan diatas lantai atau diatas zat padat lainnya, debu tersebut hanya bisa terbakar
dan membara. Walaupun demikian ledakan debu batubara dapat menghasilkan tekanan
yang bisa mengangkat partikel batubara dalam lapisan menjadi dalam bentuk suspense
yang pada gilirannya akan meningkatkan intensitas ledakan.
g. Confinement (kurungan)
Partikel debu batubara bisa menimbulkan ledakan bila partikel-partikel tersebut terkurung
dalam suatu wadah sehingga jarak antar partikel menjadi lebih dekat yang memungkinkan
api menjalar dari satu partikel ke partikel lainnya. Pada pabrik pengeringan batubara
kondisi ini bisa terjadi dalam siklon dan bag house. Dalam bag house misalnya, partikel Formatted: Font: 12 pt, Italic
debu berada dalam ruangan tertutup yang memungkinkan membentuk konsentrasi debu Formatted: Font: 12 pt, Italic
Formatted: Font: 12 pt, Italic
yang sangat tinggi melebihi nilai MEC. Ledakan dalam suatu alat dapat menyebabkan
rusaknya peralatan tersebut, oleh sebab itu peralatan yang beresiko tinggi menimbulkan
ledakan perlu di lengkapi dengan safety valve yang dapat terbuka pada tekanan yang
rendah.
Untuk meminimalkan resiko akan terjadinya ledakan debu batu bara dalam sebuah pabrik
pengeringan batubara dapat dilakukan tindakan-tindakan pencegahan sebagai berikut:
Konsentrasi debu dalam udara (suspense) harus serendah mungkin. Formatted: Font: 12 pt, Italic
Kadar air produk atau dalam batubara kering hendaknya tidak terlalu rendah untuk
mengurangi jumlah partikel halus.
Suhu pengeringan sebaiknya tidak terlalu tinggi tetapi cukup untuk menguapkan air
dalam batubara.
Produk pengeringan terlebih dulu diturunkan suhunya sampai suhu aman sebelum
dilakukan penimbunan/penyimpanan batubara kering tersebut.
18
Kandungan oksigen dari gas pengering harus dikontrol pada tingkat di bawah 12%
misalnya dengan cara mensirkulasidua-pertiga gas buang ke generator gas panas.
Selalu memonitor dan mengontrol konsentrasi dari suspense debu batubara dalam
setiap peralatan.
Uraian manfaat pengeringan batubara untuk bahan bakar PLTU berikut ini di hitung
menggunakan asumsi bahwa pabrik pengeringan batubara terintegrasi dengan PLTU dan
menggunakan energi untuk pengeringan yang berasal dari condenser dan gas buang (flue
gas) di PLTU. PLTU mempunyai kapasitas 572 MW menggunakan bahan bakar lignit
dengan kadar air 38%.
Pengeringan batubara untuk PLTU akan memberikan penghematan biaya antara lain
sebagai berikut:
Pengurangan biaya pembelian batubara
Pengurangan biaya pembuangan abu batubara
Pengurangan biaya penangkapan pollutan.
Mengurangi biaya perawatan alat penggerus batubara (mill cost) dan
Memperpanjang umur pemakaian alat penggerus.
Berkurangnya kandungan moisture dalam batubara mengurangi volume gas buang dan
menurunkan suhu gas buang sehingga meningkatkan efisiensi boiler. Pengurangan kadar
air batubara dari 40% menjadi 20% meningkatkan efisiensi boiler antara 3% sampai
dengan 5%. Berkurangnya volume gas buang juga mengurangi energi yang diperlukan
oleh ID Fan sehingga menurunkan kebutuhan energi untuk pemakaian sendiri (service
power) pada PLTU. Meningkatnya efisiensi boiler dan berkurangnya service power akan
memperbaiki nilai heat rate dari pembangkit listrik. Pengurangan 20% moisture dalam
batubara dapat memperbaiki nilai heat reate sampai 3,3%. Perbaikan nilai heat rate akan
mengurangi konsumsi batubara, biaya pembuangan abu batubara dan biaya penangkapan
pollutan.
19
40% menjadi batubara dengan kandungan air 20% dapat menghemat service power sekitar
17 MW.
Batubara kering juga mengurangi biaya perawatan dan memperpanjang waktu pemakaian
alat penggerus (Mill Maintenance and Availability). Frekuensi perawatan alat penggerus
ditentukan oleh volume umpan, mineral dalam batubara dan karakteristik ketergerusan
batubara. Ketiga parameter diatas mempengaruhi tingkat keausan dinding alat penggerus
dan komponen-komponen alat penggerus seperti gear box dan poros (shaft).
Pada pembangkit listrik kapasitas 572 MW dengan bahan bakar batubara berkadar air 40%
akan dibutuhkan enam (6) alat penggerus. Bila batubara yang digunakan adalah batubara
kering dengan kadar air 20% maka hanya dibutuhkan lima (5) alat penggerus. Bila
diasumsikan setiap alat penggerus biasanya memerlukan perawatan (maintenance) dua kali
setahun dengan biaya maintenance untuk suku cadang dan tenaga kerja adalah US$ 25.000
setiap maintenance. Alat penggerus yang beroperasi secara normal juga memerlukan
overhaul sekali dalam dua tahun dengan biaya rata-rata per overhaul untuk suku cadang
dan tenaga kerja adalah US$ 235.000. Menggunakan asumsi tersebut diatas maka
penggunaan batubara kering atau tidak dioperasikannya satu alat penggerus akan
memberikan pengehematan baiaya perawatan dan overhaule sebesar US$ 167.500 per
tahun.
PLTU juga kadang mengalami penurunan jumlah listrik yang dibangkitkan (derate) karena
rusaknya alat penggerus batubara. Pada PLTU kapasitas 572 MW dengan enam alat
penggerus batubara maka kerusakan sebuah alat penggerus akan mengakibatkan penurunan
jumlah listrik yang dibangkitkan sebesar 1/6 x 572 MW. Bila perbaikan alat penggerus
memerlukan waktu dua (2) hari dan harga listrik adalah US$ 0,05/kW-hr maka biaya yang
harus dibayar karena derating tersebut adalah 1/6 x 572 MW x 2 x 24 jam x US$ 0,05 x
1000 per mW-hr = US$ 228 000. Biaya ini dapat dihindari pada pemanfaatan batubara
kering untuk PLTU karena hanya 5 alat penggerus yang dipakai sehingga satu alat
penggerus batubara dapat stand by untuk menggantikan sewaktu-waktu penggerus yang
sedang beroperasi mengalami kerusakan.
Total penghematan per tahun oleh adanya penggantian bahan bakar dari batubara basah ke
batubara kering ditampilkan pada Tabel 2.2. Untuk pembangkit listrik kapasitas 572 MW
akan didapatkan penghematan dengan nilai antara US$ 4,3 juta sampai dengan US$ 6,6
juta. Semakin rendah kandungan kadar air batubara kering semakin besar nilai
penghematan. Penghematan terbesar diperoleh dari penghematan biaya pembelian
batubara diikuti oleh penghematan biaya penangkapan SO2, penangkapan NOx,
penghematan biaya perawatan alat penggerus dan penghematan biaya pembuangan abu.
20
Tabel 2.2 Total penghematan biaya (avoided cost) oleh adanya
penggantian batubara basah menjadi batubara kering
pada PLTU kapasitas 572 MW (Levy, 2006)
Berdasarkan fasa air yang keluar saat proses, teknologi upgrading batubara dikelompokkan
menjadi proses evaporative dan non-evaporative. Pada proses evaporative, air dikeluarkan Formatted: Font: 12 pt, Italic
dalam batubara dalam fasa gas/uap sedangkan pada proses non-evaporative karena
tekanannya proses yang tinggi maka air keluar dari batubara dalam bentuk fasa cair.
Sebagian besar teknologi pengeringan batubara adalah masuk ke dalam jenis teknologi
evaporative drying seperti contoh teknologi UBC (upgraded brown coal), BCB (binderless Formatted: Font: 12 pt, Italic
coal briquetting) dan lain-lain. Teknologi yang termasuk kedalam jenis non-evaporative Formatted: Font: 12 pt, Italic
Formatted: Font: 12 pt, Italic
drying adalah technology hydrothermal dan mechanical thermal expression (MTE).
Formatted: Font: 12 pt, Italic
Peralatan utama yang digunakan pada evaporative drying antara lain adalah pengering Formatted: Font: 12 pt, Italic
Formatted: Font: 12 pt, Italic
putar (rotary dryer), flash dryer, fluidized bed dryer, slurry evaporator sedangkan
Formatted: Font: 12 pt, Italic
peralatan utama pada non-evaporative drying adalah autoclave dan hydraulic press.
Formatted: Font: 12 pt, Italic
Berikut adalah penjelasan dari teknologi-teknologi tersebut. Formatted: Font: 12 pt, Italic
Formatted: Font: 12 pt, Italic
2.3.1 Evaporative Drying
Formatted: Font: 12 pt, Italic
Formatted: Font: 12 pt, Italic
Pengeringan evaporative dapat dilakukan pada beberapa rentang suhu yaitu antara suhu
Formatted: Font: 12 pt, Italic
40oC-100oC, 100oC-200oC dan 200oC-400oC. Pengeringan dibawah suhu penguapan air (<
100oC) dilakukan dengan menggunakan udara kering (udara dengan tingkat kelembapan
rendah). Contoh proses ini adalah cold dry process dan teknologi-teknologi pengeringan Formatted: Font: 12 pt, Italic
yang memanfaatkan waste heat (panas terbuang) dari pembangkit listrik yang Formatted: Font: 12 pt, Italic
dikembangkan oleh RWE dan WTA. Proses pengeringan diatas suhu 200 oC dapat
21
menghasilkan gas-gas CO/CO2, gas hydrocarbon dan tar. Pengeringan pada suhu tinggi
memerlukan intalasi pengolahan limbah cair karena air dari batubara mengandung tar.
Berikut adalah pengelompokan teknologi pengeringan evaporative berdasarkan peralatan Formatted: Font: 12 pt, Italic
a. Pengering putar/Rotary dryer (PT. Titan Mining, Muara Kilis Jambi dan
Puslitbag tekMIRA)
Pengering putar adalah pengering bahan padat yang paling umum digunakan dalam
industri. Pengering ini terbuat dari kerangka/cangkang/shell berbentuk silinder. Gambar
2.7 menampilkan sketsa peralatan pengering putar. Komponen peralatan pengering putar
terdiri atas peratan seperti coal burner untuk menghasilkan gas panas, pengumpan batubara
(coal feeder) dan siklon. Gas panas harus disesuaikan suhunya sebelum dimasukkan ke Formatted: Font: 12 pt, Italic
dalam pengering putar dengan menambahkan udara (quench air). Posisi pengering sedikit Formatted: Font: 12 pt, Italic
miring terhadap bidang horizontal agar padatan dapat mengalir dari ujung satu ke ujung
lainnya. Dalam siystem pemanasan langsung, gas panas dialirkan pada bagian dalam
pengering putar sehingga bersentuhan dengan zat padat yang akan dikeringkan.
Gambar 2.7 Pengering Putar (Rotary Dryer) Formatted: Font: 12 pt, Italic
Untuk meningkatkan intensitas interaksi antara fasa gas dan fasa padat, pada permukaan
silinder pengering putar bagian dalam dipasang plat-plat besi sejajar (flight) yang berfungsi Formatted: Font: 12 pt, Italic
mengangkat zat padat kebagian atas dan menjatuhkannya kebagian bawah pada saat
pengering sedang berputar.
Pengering putar biasanya dapat digunakan untuk mengeringkan semua jenis partikel padat
tetapi tidak dapat digunakan mengeringkan slurry dan pasta. Partikel padat tersebut bisa Formatted: Font: 12 pt, Italic
Formatted: Font: 12 pt, Italic
dalam bentuk bubuk (powder), butiran (granules) dan agglomerate. Ukuran partikel
Formatted: Font: 12 pt, Italic
minimum yang digunakan pada pengering putar adalah sekitar 100 mikrometer. Waktu
Formatted: Font: 12 pt, Italic
22
tinggal partikel dalam pengering putar adalah antara beberapa menit sampai dengan satu
jam, tergantung pada jenis material yang akan dikeringkan dan jumlah kadar air dalam
umpan dan dalam produk. Waktu tinggal dapat diatur dengan memvariasikan kecepatan
putaran dan kemiringan dari pengering putar. Volume zat padat dalam pengering putar
adalah antara 7% sampai 25% dari volume pengering. Pengering putar cukup kuat (robust), Formatted: Font: 12 pt, Italic
mempunyai kapasitas tinggi dan harganya murah. Kelemahan pengering putar adalah bila
menggunakan umpan dengan ukuran besar mengeluarkan suara berisik, umpan mudah
pecah, dan memerlukan biaya perawatan yang tinggi.
Salah satu contoh perusahaan yang menggunakan pengering putar untuk up grading
batubara adalah PT. Titan Mining di Muara Kilis, Kabupaten Tebo, Propinsi Jambi. Di
daerah tersebut, perusahaan ini mempunyai cadangan batubara sekitar 199 juta ton dengan
kualitas sebagai berikut:
PT. Titan Mining telah mendapat kontrak pembelian batubara sebesar 3,45 juta ton/tahun
dari PLN untuk memenuhi kebutuhan batubara pada PLTU Suralaya, Labuan, Pelabuhan
Ratu, Rembang dan Parit Baru Kalimantan Barat dengan spesikasi batubara yaitu nilai
kalor =4200 kkal/kg dan kadar air total (Total Moisture/TM) maksimum 30%.
PT. Titan menggunakan pengering putar untuk mengurangi kadar air dalam batubara
sehingga memenuhi spesifikasi PLN. Energi panas pengering putar berasal dari
pembakaran batubara. Kapasitas pengering putar ditentukan oleh kandungan air dalam
batubara umpan dan kandungan air dalam batubara kering yang diinginkan. Semakin
rendah kadar air produk semakin sedikit jumlah batubara umpan tetapi semakin banyak
kebutuhan batubara untuk bahan bakar. Tabel 2.3 menampilkan kondisi umum (typical
condition) pada pengering putar di PT. Titan (Kresnawahjuesa, 2010).
23
Tabel 2.3 Kondisi operasi pengering putar PT. Titan
Gambar 2.8 Kondisi dan hasil percobaan pengeringan batubara menggunakan steam tube
rotary dryer (Rizwan, 2010)
24
moisture yang di inginkan dengan mengatur laju umpan, waktu tinggal dan ukuran
batubara dan suhu pengering putar.
b. Flash dryer (PT. Bayan Resources/Binderless Coal Briquettes dan PT Bhakti Formatted: Font: 12 pt, Italic
Pada flash dryer atau sering disebut pneumatic dryer, gas panas mengangkut sekaligus Formatted: Font: 12 pt, Italic
mengeringkan batubara. Laju gas panas dibuat cepat agar partikel batubara dapat terbawa
oleh gas. Sementara itu suhu gas panas dibuat tinggi (> 400oC) agar air dalam batubara
dapat dikeluarkan dalam waktu yang cukup singkat. Kecepatan gas panas dalam flash Formatted: Font: 12 pt, Italic
dryer sekitar 10-30 m/det atau 10 kali lebih cepat dibandingkan kecepatan gas dalam
fluidized bed atau rotary dryer. Kata “flash” dipakai disini untuk menggambarkan betapa Formatted: Font: 12 pt, Italic
cepatnya proses pengeringan yaitu mulai dari mili detik sampai beberapa detik. Ukuran Formatted: Font: 12 pt, Italic
Formatted: Font: 12 pt, Italic
partikel batubara input maksimum adalah 1-2 mm. Karena proses pengeringan berlangsung
singkat, flash dryer berukuran relative kecil tetapi mempunyai kapasitas besar. Gambar 2.9 Formatted: Font: 12 pt, Italic
Satu unit peralatan flash driyer biasanya terdiri dari blower (ID fan), pemanas gas, Formatted: Font: 12 pt, Italic
pengumpan lignite, pipa pemanas, drying duct, siklon, bag filter dan mesin briket. Formatted: Font: 12 pt, Italic
25
Bila produk kurang kering, sebagian underflow cyclone dapat dirisaikel (recycled) lagi Formatted: Font: 12 pt, Italic
dengan cara mencampur lagi ke dalam umpan. Formatted: Font: 12 pt, Italic
Sebagian besar peralatan pengeringan berkapasitas besar di dunia adalah flash dryer. Satu Formatted: Font: 12 pt, Italic
unit flash dryer mampu menguapkan air sampai dengan 20 ton/jam. Capital cost flash Formatted: Font: 12 pt, Italic
dryer kapasitas 60 ton batubara/jam adalah antara US$ 2,2 juta dan US$ 4,4 juta dengan Formatted: Font: 12 pt, Italic
PT. Kaltim Supacoal (KSC), perusahaan joint venture antara White Energy Australia Formatted: Font: 12 pt, Italic
dengan PT. Bayan Resources tbk, telah membangun pabrik pengeringan batubara kapasitas
1 juta ton per tahun di Tabang, Kalimantan Timur dengan biaya US$ 68 juta. Rencananya
akan dibangun lagi pabrik tambahan sehingga bisa mencapai kapasitas 5 juta ton/tahun.
Teknologi ini dinamakan Binderless coal briquetting (BCB) dengan peralatan utama Formatted: Font: 12 pt, Italic
adalah flash dryer dan mesin briket. Formatted: Font: 12 pt, Italic
Gambar 2.10 Photo pabrik BCB di Tabang, Kalimantan Timur (Coaltrans, 2010)
26
Teknologi BCB telah dicoba untuk mengeringkan beberapa jenis batubara Indonesia
dengan kandungan air total antara 25-40% menghasilkan produk batubara kering dengan
kandungan air antara 4-10% (Tabel 4.2). Pengembang teknologi BCB mengklaim bahwa
proses BCB mampu menghasilkan batubara kering dengan HGI tinggi (>80) dan density
tinggi yaitu 2,8 gram/ml.
Hasil uji pembakaran produk proses BCB ditampilkan pada Tabel 2.5. Upgrading batubara
sub-bituminous/lignit dengan teknologi akan meningkatkan efisiensi pembangkit listrik,
mengurangi emisi SOx dan NOx serta mengurangi jumlah abu yang dihasilkan.
Tabel 2.4 Kharakteristik batubara sebelum dan sesudah dilakukan pengeringan BCB
Indonesian Mines A B C D E F
Raw coal moisture (%) 37.6 32.3 26.0 53.6 24.5 39.6
Moisture of BCB product, (%) 5.9 7.8 4.6 9.9 4.2 7.8
Drop Shatter (% > 12.5mm) 93.9 94.1 95.1 95.6 96.6 92.2
27
Walaupun teknologi BCB telah dikembangkan cukup lama tetapi scale-up teknologi ini Formatted: Font: 12 pt, Italic
masih menghadapi kendala-kendala teknis. Pabrik BCB telah selesai dibangun pada 27
april 2009 tetapi sampai dengan april 2010 pabrik ini hanya beroperasi sekitar 30% dari
kapasitas desainnya. Pada 25 juni 2010, setelah dilakukan perbaikan pada siystem injeksi
batubara dan peralatan-peralatan penangkapan partikel halus batubara, pabrik ini baru
mampu beroperasi 50% diatas kapasitas desainnya (KSC press release, 25 Juni 2010).
PT. Bhakti Energi Persada (PT. BEP) sebuah holding company yang membawahi 7 Formatted: Font: 12 pt, Italic
Indonesia telah membuat design pabrik dan telah menguji kharakteristik pengeringan
batubara PT. BEP dalam flash dryer tetapi tidak diketahui kapan perusahaan ini akan mulai Formatted: Font: 12 pt, Italic
Pada pengeringan batubara dalam unggun terfluidakan (fluidized bed), gas panas dengan Formatted: Font: 12 pt, Italic
kecepatan tertentu dilewatkan dalam tumpukan partikel batubara sehingga partikel tersebut
dapat terangkat tetapi tidak terbang meninggalkan reakctor dan juga tidak jatuh ke lantai
reakctor. Campuran gas panas dan batubara ini dapat begerak laksana fluida sehingga Formatted: Font: 12 pt, Italic
biasanya terdiri dari plat logam berlubang. Gas panas dimasukkan ke dalam wind Formatted: Font: 12 pt, Italic
Formatted: Font: 12 pt, Italic
box/plenum chamber selanjutnya keluar melalui distributor menuju unggun (bed) batubara.
Formatted: Font: 12 pt, Italic
Jumlah dan ukuran lubang dalam distributor diatur/dihitung sehingga gas dapat
Formatted: Font: 12 pt, Italic
terdistribusi merata dan mempunyai kecepatan yang cukup untuk mencegah masuknya
partikel ke dalam plenum chamber. Dalam unggun batubara yang terfluidisasi ada Formatted: Font: 12 pt, Italic
persentuhan yang baik antara gas panas dengan partikel batubara yang dikeringkan dan
antara partikel satu dengan partikel lainnya sehingga transfer panas berjalan sangat baik.
Gambar 2.11 menampilkan diagram siystem pengeringan menggunakan pengering
fluidized bed. Formatted: Font: 12 pt, Italic
Pengeringan dengan fluidized bed dapat juga dilakukan menggunakan energi yang berasal Formatted: Font: 12 pt, Italic
dari kondensasi steam (uap air) hasil proses pengeringan batubara sebagai tambahan energi Formatted: Font: 12 pt, Italic
proses pengeringan. Teknologi ini pertama ditemukan oleh Potter dari Universitas Monash
pada tahun 1985 dan dikembangkan pada skala besar oleh Lurgi. Batubara dipanaskan
menggunakan uap air superheated (superheated steam). Uap air berfungsi untuk membuat Formatted: Font: 12 pt, Italic
batubara terfluidisasi dan sebagai sumber panas pengeringan batubara. Pada proses ini uap Formatted: Font: 12 pt, Italic
air sisa proses di tingkatkan tekanannya untuk direcycle dan dimanfaatkan energiy-nya Formatted: Font: 12 pt, Italic
28
dalam proses pengeringan. Uap air akan naik suhunya bila tekanannya di naikkan. Pada
teknologi terdapat alat tukar panas (heat exchanger) dimasukkan ke dalam unggun Formatted: Font: 12 pt, Italic
batubara. Setelah energinya dipakai untuk proses pengeringan, sebagian uap air
mengembun dalam alat tukar panas. Karena energiy yang digunakan adalah berasal dari
uap air yang diberi tekanan dan air keluar dari siystem dalam fasa cair bukan dalam fasa
gas maka proses ini diharapkan akan mempunyai efisiensi tinggi.
Gambar 2.11 Sketsa peralatan pengeringan batubara dengan reaktor fluidized bed Formatted: Font: 12 pt, Italic
Pabrik pengeringan menggunakan teknologi ini telah dibangun di Loy Yang, Australia
dengan kapasitas 150.000 ton batubara kering/tahun. Batubara kering ukuran halus dari
pabrik ini dipakai di pembangkit listrik yang jaraknya 3 km dari pabrik pengeringan.
Meskipun teknologi pengeringan ini secara teknis cukup handal, tetapi produk yang
dihasilkan masih dianggap cukup mahal sehingga tidak ada pembangkit listrik lainnya
yang membeli produk pengeringan ini. Pabrik pengeringan batubara menggunakan reaktor
fluidized bed di Loy Yang ini saat ini telah berhenti beroperasi. Formatted: Font: 12 pt, Italic
Pengembangan teknologi fluidized bed untuk pengeringan batubara menggeliat kembali Formatted: Font: 12 pt, Italic
setelah munculnya isu emisi CO2 yang menyebabkan pemanasan global dan perubahan
iklim. Penggunaan lignit banyak ditentang karena lignit mengeluarkan emisi CO2 yang
lebih banyak dibandingkan energiy yang dipakai saat ini. Dalam 100 liter minyak solar
yang dibuat dari lignit akan dikeluarkan emisi CO2 sebanyak 5,8 ton sementara itu minyak
solar yang dibuat dari minyak mentah (Petroleum crude oil) hanya menghasilkan 3,1 ton
CO2. Penggunaan lignit baik sebagai bahan bakar untuk pembangkit listrik maupun sebagai
bahan baku pada industri pencairan batubara (coal to liquids) atau sebagai bahan baku
29
industry petrokimia (coal to chemicals) menggantikan bahan bakar/ bahan baku
konvensional yang dipakai saat ini akan menjauhkan komitmen dunia untuk mengurangi
emisi CO2.
Emisi CO2 dari pembakaran lignit dapat dikurangi dengan melakukan pengeringan
menggunakan energi dari panas terbuang (waste heat). Energi jenis ini digolongkan Formatted: Font: 12 pt, Italic
sebagai energi dengan CO2 netral sehingga penggunaan energiy jenis ini tidak dihitung
dalam inventarisasi emisi CO2. Pengeringan lignit dengan waste heat menggunakan reaktor Formatted: Font: 12 pt, Italic
fluidized bed sedang dikembangkan dibanyak Negara utamanya Amerika, Jerman dan Formatted: Font: 12 pt, Italic
Australia.
Di Amerika, teknologi ini dikembangkan oleh perusahaan Great River Energy yang
disponsori oleh departemen energi Amerika. Diagram alir pemanfaatan waste heat dari Formatted: Font: 12 pt, Italic
Pada Gambar 2.12 dapat dilihat bahwa energi panas yang biasanya dibuang melalui
condenser dan cooling tower selama proses pembangkitan listrik dimanfaat untuk energy
pengeringan batubara dalam reaktor fluidized bed. Udara untuk proses fluidisasi berasal Formatted: Font: 12 pt, Italic
dari blower, udara ini terlebih dulu dilewatkan ke gas heater untuk meningkatkan suhu Formatted: Font: 12 pt, Italic
gas. Energi panas yang berada dalam pipa condenser disamping untuk memanaskan udara Formatted: Font: 12 pt, Italic
dalam gas heater juga untuk memanaskan batubara dalam tungku fluidized bed. Batubara Formatted: Font: 12 pt, Italic
kering dari fluidized bed dimasukkan ke pulverizer dan boiler untuk energi pembangkitan Formatted: Font: 12 pt, Italic
Formatted: Font: 12 pt, Italic
listrik. Suhu udara dan suhu air dalam pipa yang masuk ke dalam tungku fluidized bed
Formatted: Font: 12 pt, Italic
adalah sekitar 40-50oC. Karena suhunya yang rendah teknologi ini hanya mampu
Formatted: Font: 12 pt, Italic
menurunkan kadar air batubara dari 37% menjadi 29%. Gambar 2.13 menampilkan kadar
Formatted: Font: 12 pt, Italic
30
air batubara umpan dan kadar air batubara kering yang dihasilkan oleh proses pengeringan
dengan waste heat. Walaupun pengurangan kadar air tersebut kelihatan kecil tetapi Formatted: Font: 12 pt, Italic
manfaatnya cukup besar yaitu mengurangi energiy penggerusan batubara sekitar 4%,
menurunkan suhu gas buang sekitar delapan derajat, mengurangi emisi NOx sekitar 8%,
mengurangi emisi SOx sekitar 2% dan meningkatkan efisiensi PLTU sekitar 3%.
Gambar 2.13 Pperformance tungku fluidized bed untuk pengeringan batubara dengan Formatted: Font: 12 pt, Italic
Pengembangan teknologi pengeringan batubara menggunakan waste heat ini telah dimulai Formatted: Font: 12 pt, Italic
sejak 1997. Proyek ini mendapat bantuan dana dari Departemen Energiy Amerika Serikat
sebesar US$ 13,5 juta pada tahun 2003. Pada tahun 2005 dibangun prototype plant Formatted: Font: 12 pt, Italic
kapasitas maksimum 112,5 ton/jam dan pada tahun 2007 tambahan module pengering
batubara dibangun untuk memenuhi kebutuhan batubara pada pembangkit listrik Ccoal
Ccreek unit 2 berkapasitas 546 MW (Great River Energy Press release, February 2008).
Tahun 2010, Saat teknologi ini dilengkapi peralatan stratifikasi yang dapat memisahkan
batubara kering berdasarkan berat jenisnya dan dinamakan dryfining technology (Sumber:
Bismarck Tribune, 4 Juni 2010). Dengan demikian teknologi ini disamping dapat
mengurangi kadar air batubara juga dapat mengurangi kadar abu batubara.
Di Jerman teknologi pengeringan dengan fluidized bed ini dikembangkan oleh WTA. Formatted: Font: 12 pt, Italic
Teknologi WTA adalah pengembangan dari teknologi di Australia yang ditemukan oleh
31
Potter dari Universitas Monash. Pada teknologi ini uap air hasil pengeringan batubara
dimasukkan ke dalam pipa dan diberi tekanan menggunakan compressor sehingga suhunya
naik. Energi panas dalam pipa ini selanjutnya dipakai sebagai tambahan energiy
pengeringan batubara. Setelah suhu air diekstrak untuk pengeringan batubara selanjutnya
tekanannya dikurangi sehingga air keluar dalam fasa cair. Teknologi WTA dipakai di
Pembangkit Listrik Frechen (kapasitas 53 ton umpan/jam) dan di pembangkit listrik
Niederaussem (kapasitas 210 ton umpan/jam). Teknologi ini mampu mengurangi kadar air
batubara dari 50-60% menjadi 10-20%.
Proses pengeringan batubara teknologi UBC sangat unik karena menggunakan residu
minyak/asphalt untuk mencegah kembalinya air ke dalam batubara dan mencegah
terjadinya spontaneous combustion setelah pengeringan. Formatted: Font: 12 pt, Italic
Gambar 2.14 adalah diagram alir proses UBC. Komponen peralatan proses UBC meliputi
slurry making drum, evaporator, decanter dan steam tube rotary dryer. Batubara ukuran
halus, asphalt dan minyak tanah dicampur dalam slurry making drum pada suhu 60 oC Formatted: Font: 12 pt, Italic
sampai 80oC. Rasio minyak tanah dengan batubara adalah antara 1,2 hingga 1,5. Lumpur
(slurry) selanjutnya dimasukkan ke evaporator menggunakan pompa dan dipanaskan Formatted: Font: 12 pt, Italic
Formatted: Font: 12 pt, Italic
32
sampai diatas titik didih air tetapi dibawah titik didih minyak tanah. Dari evaporator, Formatted: Font: 12 pt, Italic
slurry di pompa ke flash drum untuk memisahkan fasa gas (uap air) dan Ffasa cair/padat Formatted: Font: 12 pt, Italic
yaitu minyak tanah dan batubara. Kondisi operasi evaporator adalah sekitar 140oC dan Formatted: Font: 12 pt, Font color: Text 1
Formatted: Font: 12 pt, Italic
350 kPa. Uap dari flash drum ini diberi tekanan menggunakan compressor dan di recycle
Formatted: Font: 12 pt, Italic
sebagai energi pada evaporator. Recycle uap dengan cara ini mirip dengan yang dilakukan
Formatted: Font: 12 pt, Italic
oleh WTA technology di Jerman atau mirip temuan Potter di Universitas Monash. Slurry
Formatted: Font: 12 pt, Italic
selanjutnya menuju decanter untuk memisahkan minyak tanah dari batubara dan asphalt. Formatted: Font: 12 pt, Italic
Asphalt tertinggal di batubara dan diharapkan menutup pori-pori batubara. Produk UBC
adalah berbentuk serbuk untuk memudahkan dalam transportasi maka dilakukan
pembriketan pada produk UBC.
Teknologi UBC pertama dikembangkan di Jepang pada tahun 1990-an. Pada tahun 2001
dibangun Pilot plant kapasitas 3 ton produk/hari di Puslitbang Teknologi Mineral dan
Batubara (tekMIRA), Palimanan, Cirebon. Pliot plant ini telah dioperasikan mulai tahun
2003-2007 menjalani 2300 jam operasi dan telah meng-upgrade sekitar 300 ton batubara
dari berbagai jenis. Tabel 2.6 adalah contoh hasil proses upgrading menggunakan
peralatan pilot plant di Palimanan, Cirebon. Proses UBC dapat menurunkan kandungan air
total (Total Moisture) dalam batubara dari 35% menjadi dibawah 10%. Dengan turunnya Formatted: Font: 12 pt, Italic
kandungan air ini nilai kalor batubara meningkat sampai diatas 6000 kkal/kg.
Tabel 2.6 Hasil proses upgrading beberapa batubara menggunakan Pilot Plant UBC
Sejak tahun 2008 sampai sekarangdengan bulan (Desember 2010) telah dioperasikan
demonstration plant teknologi UBC kapasitas 600 ton/hari di Satui, Kalimantan Selatan
menggunakan batubara Asam-asam milik PT. Arutmin dengan TM =35%. Dengan demo
plant ini telah didapat data-data teknis teknologi ini untuk scale-up ke tingkat komersial. Formatted: Font: 12 pt, Italic
33
Kegiatan lain yang telah diselesaikan adalah uji pembakaran produk UBC, uji transportasi
dan pengumpulan data untuk menghitung perkiraan biaya modal dan biaya operasi
teknologi UBC skala komersial.
Perkiraan biaya modal (capital cost) teknologi UBC kapasitas 1 juta ton/tahun adalah US$ Formatted: Font: 12 pt, Italic
100 juta sampai dengan US$ 150 juta tergantung kandungan air dari batubara dan lokasi
pabrik akan dibangun. Biaya operasi UBC adalah US$ 15/ton – US$ 20/ton tergantung dari
harga minyak tanah, harga listrik dan biaya tenaga kerja (coaltrans, 2010). Biaya modal
dan biaya operasi proses UBC dikhawatirkan terlalu mahal dibandingkan biaya yang
dikeluarkan untuk proses lainnya.
e. Coldry Process
Pelepasan moisture/air dari batubara selain dengan cara pemanasan juga dapat dilakukan Formatted: Font: 12 pt, Italic
dengan cara mengecilkan ukuran batubara sampai ukuran lebih kecil dari 10 mikro meter
sehingga pori-pori batubara terbuka dan air lepas ke atmosfir. Teknologi ini
dikembangkan oleh Environmental Clean Technologies Limited, Australia dan diberi nama
coldry process. Proses coldry dapat mengurangi kadar air batubara dari 60-70% menjadi Formatted: Font: 12 pt, Italic
sekitar 10%. Gambar 2.15 menampilkan diagram alir proses coldry. Formatted: Font: 12 pt, Italic
Formatted: Font: 12 pt, Italic
Proses coldry dapat dikelompokkan menjadi 5 tahap proses yaitu: tahap persiapan baku, Formatted: Font: 12 pt, Italic
Tahap 1. Tahap persiapan bahan baku (Raw Feed Stock). Pada tahap ini batubara ukuran Formatted: Font: 12 pt, Italic
halus dengan kadar air antara 30-70% dimasukkan ke dalam bak penampung (hopper) Formatted: Font: 12 pt, Italic
selanjutnya diayak (screened) dan dibersihkan dari benda-benda lainnya sebelum Formatted: Font: 12 pt, Italic
dilakukan penambahan sedikit air (sampai 5% tergantung pada kadar air batubara).
Tahap 2. Penggerusan dan ekstrusi (Attritioning & Extrusion). Campuran batubara dan air Formatted: Font: 12 pt, Italic
dimasukkan ke dalam sebuah "Attritioner" yang didalamnya permukaan masing-masing Formatted: Font: 12 pt, Italic
partikel batubara saling bergesekan sehingga memicu reaksi alami untuk mengeluarkan air
dari batubara. Reaksi ini dapat berjalan lebih baik pada extruder. Formatted: Font: 12 pt, Italic
Tahap 3. Pengkondisian (Conditioning Conveyor). Pada tahap ini udara hangat (suhu 35oC Formatted: Font: 12 pt, Italic
sampai dengan 40oC) memanaskan briket dari extruder sehingga briket mengeras sehingga Formatted: Font: 12 pt, Italic
Step 4. Tahap pengeringan (Pack Bed Drying). Pengeringan briket dilanjutkan dalam Pack Formatted: Font: 12 pt, Italic
Bed Dryer pada suhu yang sama. Udara hangat untuk proses pengeringan ini dapat Formatted: Font: 12 pt, Italic
34
Gambar 2.15 Pengeringan batubara teknologi coldry
dan tekanan proses yang diterapkan kondisi air berada dalam fasa cair. Berikut ini adalah
dua contoh teknologi pengeringan batubara non-evaporative. Formatted: Font: 12 pt, Italic
Di Australia teknologi Hidrotermal Dewatering (HTD) dikembangkan oleh SECV (The Formatted: Font: 12 pt, Italic
State Electricity Commission of Victoria). SECV telah membangun pilot plant teknologi Formatted: Font: 12 pt, Italic
ini dengan kapasitas 1 m3/jam. Pilot plant dibangun setelah dilakukan pengujian Formatted: Font: 12 pt, Italic
menggunakan peralatan skala lebih kecil di North Dakota’s Energy and Environmental
Research Centre.
35
Dalam proses HTD, slurry (campuran batubara dengan air) dipanaskan sampai suhu sekitar Formatted: Font: 12 pt, Italic
300ºC di bawah tekanan 100 bar sehingga air keluar dari batubara dalam fasa cair atau
bukan fasa gas. Cara seperti ini menghasilkan batubara kering yang stabil dan mirip proses
terjadinya batubara dari peringkat rendah ke peringkat tinggi oleh proses alam
(coalification), hanya saja proses dalam HTD memerlukan waktu yang sangat singkat di Formatted: Font: 12 pt, Italic
bandingkan proses di alam. Produk HTD adalah dalam bentuk slurry yang dapat Formatted: Font: 12 pt, Italic
kering yang tidak rentan terhadap spontaneous combustion. Beberapa unsur yang biasanya Formatted: Font: 12 pt, Italic
Formatted: Font: 12 pt, Italic
menimbulkan masalah pada boiler seperti belerang dan alkali (sodium/kalium) juga dapat
dihilangkan dari batubara dengan proses hydrothermal ini. Formatted: Font: 12 pt, Italic
Perusahaan Exergen telah mengembangkan proses hidrotermal yang diberi nama CHTD
(Continous Hidrothermal Dewatering). Sebuah konsorsium yang diberi nama Latrobe Formatted: Font: 12 pt, Italic
Valley Next Generation (LV-NG) beranggotakan Tata, Itochu, Thiess, Sedgman dan
Exergen telah dibentuk untuk mengembangkan teknologi CHTD ke tingkat komersial.
Saat ini CHTD mempunyai Pilot Plant kapasitas 4 ton/jam dan telah menyelesaikan studi
kelayakan Demonstration Plant kapasitas 50 ton per jam dan pabrik skala komersial
kapasitas 4000 ton per jam. Gambar 2.16 adalah diagram alir proses CHTD. Perbedaan
36
CHTD dengan proses hydrothermal lainnya adalah penggunaan hydrostatic pressure Formatted: Font: 12 pt, Italic
(gravity) sehingga dapat menghindari penggunaan compressor yang mahal. Proses CHTD
di klaim memerlukan energiy yang kecil sehingga dapat menurunkan emisi CO2.
Walaupun demikian proses CHTD perlu dibuktikan ke skala yang lebih besar karena
proses CHTD memerlukan konstruksi sumur sedalam 1000 meter untuk menghasilkan
tekanan reaksi 100 bar dengan cara gravitasi, ini adalah suatu teknologi yang belum pernah
di aplikasikan secara komersial untuk memproses batubara.
37
Clean Power from Lignite, Australia. Scale-up teknologi ini dan perubahan proses dari Formatted: Font: 12 pt, Italic
batch menjadi continue perlu menjadi perhatian. Formatted: Font: 12 pt, Italic
Formatted: Font: 12 pt, Italic
2.4 Evaluasi Keekonomian Pengeringan Batubara dibandingkan dengan
Pencampuran Batubara (Blending)
Peningkatan kalori batubara untuk pembangkitan listrik di PLTU dapat ditempuh dengan
skema:
Evaluasi ekonomi opsi pemanfaatan batubara untuk PLTU bertujuan untuk menilai tingkat
efesiensi biaya pemanfaatan batubara untuk keperluan pembangkit listrik di PLTU. Pada
kajian ini PLTU yang akan dikaji adalah PLTU Aceh yang menggunakan batubara
denganspesifikasi batubara seperti pada Tabel 2.7. Mengingat batubara di Aceh umumnya
mempunyai nilai kalor kurang dari 3700 kkal/kg maka akan dilakukan blending batubara
aceh dengan batubara Kalimantan atau sekenario kedua adalah melakukan pengeringan
batubara aceh. Beberapa perbandingan mengenai skema pemanfaatan batubara lokal di atas
dapat dilihat pada Tabel 2.8
Tabel 2.7 Spesifikasi Kualitas Batubara yang Disyaratkan oleh PLTU Aceh
Range
Parameter Typical
Minimum Maximum
Proximate Analysis (% as
received) 25 40 36
- Total Moisture 15 25 20.5
- Inherent Moisture 3 6 5
27 40 30.5
- Ash 23 41 28.5
- Volatile Matter
- Fixed Carbon
Specific Energy (as received)
3700 4300 4000
High Heating Value (kCal/kg)
Hardgrove Grindability Index (HGI) 50 65 60
38
Tabel 2.8 Perbandingan Skema Pemanfaatan Batubara lokal Untuk Pembangkit Listrik di PLTU
Dengan kata lain analisis ini bertujuan untuk mengevaluasi apakah profit yang terjadi
karena pemanfaatan batubara yang lebih murah pada proses pengeringan batubara dapat
menutupi investasinya dibandingkan dengan proses pencampuran batubara yang tidak
memerlukan investasi tambahan pada umur tertentu.
Analisis keuangan dan keekonomian ini dilakukan berdasarkan konsep aliran kas diskonto
(discounted cash flow analysis). Sebagai dasar analisis, komponen-komponen biaya
39
kapital, harga dasar batubara, dan tingkat kebutuhan batubara sebagai masukan utama.
Indikator utama yang digunakan untuk menentukan pemilihan opsi pemanfaatan batubara
lokal adalah ”Net Present Value” (NPV) inkremental. Indikator akan menunjukkan bahwa
suatu prospek bisnis layak untuk diusahakan jika prospek NPV-nya positif.
• Discount Rate menggunakan Weighted Average Cost of Capital dalam USD adalah
10.0% per tahun dengan asumsi proyek 100% dibiayai dengan menggunakan modal
sendiri.
• Harga dasar batubara menggunakan skema harga dasar minimum dan maksimum
• Analisis menggunakan asumsi dollar konstan dimana dasar batubara tidak akan
mengalami peningkatan selama umur analisis.
Analisis cash flow merupakan analisis yang berhubungan pendapatan atau keuntungan
yang ditimbulkan karena adanya pembelanjaan dan atau investasi. Apabila analisis cash
flow memperhitungkan nilai waktu dari uang maka disebut dengan Discounted Cash Flow
(DCF). Cash flow biasanya dihitung dengan basis perhitungan tahun dengan tujuan
evaluasi, yang ditentukan melalui pengurangan cash outflow dari cash inflow yang
dihasilkan dari kegiatan investasi. Model Cash Flow dalam melakukan analisis ekonomi
untuk memilih skema pemanfaatan batubara lokal dapat dilihat pada Tabel 2.9.
Hasil analisis cash flow incremental skema pengeringan batubara dibandingkan dengan
skema pencampuran batubara (blending) menunjukkan indikator keekonomian yang
menunjukkan tingkat efisiensi kedua metode tersebut adalah:
• Cash flow Incremental Blending (skenario minimum) selama 10 tahun adalah: US$ -
725.160.000 sedangkan cash flow incremental pengeringan batubara selama 10 tahun
adalah US$ -472.758.000
40
• Cash flow Incremental Blending (skenario maksimum) selama 10 tahun adalah: US$
- 853.920.000 sedangkan cash flow incremental pengeringan batubara selama 10
tahun adalah US$ - 480.282.000
Hal tersebut menunjukkan bahwa investasi pada fasilitas pengeringan batubara akan
memberikan efisiensi biaya selama 10 tahun sebesar $ -252.402.000 (skema minimum) dan
$ 373.638.000 (skema maksimum) dibandingkan jika PLTU menggunakan batubara
campuran yang berasal dari Kalimantan Selatan sepanjang waktu tersebut. Sehingga
disimpulkan bahwa skema pengeringan batubara lebih ekonomis dibandingkan skema
pencampuran
41
Tabel 2.9: Cash Flow Incremental Pemilihan Skema Pemanfaatan Batubara lokal Untuk Pembangkit Listrik di PLTU (dalam USD)
42
III. TAHAPAN KEGIATAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PENGERINGAN
BATUBARA COAL DRYING AND BRIQUETTING (CDB)
43
3.3 Tahapan Percobaan Pengeringan Batubara
Persiapan peralatan
Persiapan batubara
Percobaan proses CDB dengan variabel suhu proses, volume gas pemanas, waktu
tinggal, dll.
Karakterisasi produk CDB
Pembersihan (cleaning) peralatan
44
IV. HASIL KEGIATAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PENGERINGAN
BATUBARA COAL DRYING AND BRIQUETTING (CDB)
Perhitungan neraca massa dilakukan untuk menghitung laju alir masing-masing aliran umpan
dan produk pada proses pengeringan batubara. Perhitungan dilakukan dengan asumsi laju alir
umpan batubara basah 200 kg/jam dengan kadar air total (total moisture) 50% dan produk
batubara kering memiliki kadar air total (total moisture) sebesar 10%. Hasil perhitungan
neraca massa dapat dilihat pada Tabel 4.1.
45
140
Pemanasan uap air
120
100
Suhu Produk, OC
80
Penguapan kadar air
60
0
0 10.000 20.000 30.000 40.000 50.000 60.000
Kebutuhan Panas, kkal/jam
46
Gambar 4.2. Peralatan tungku pembakaran batubara bubuk
Laju alir bahan bakar batubara dalam screw feeder dapat diatur dengan mengubah putaran
screw yang dapat dilakukan dengan memasang inverter pada peralatan. Hasil kalibrasi laju
alir bahan bakar batubara terhadap frekuensi listrik dengan menggunakan inverter
(selanjutnya disebut skala putaran screw feeder) ditunjukan oleh Gambar 4.3. Hasil
percobaan menunjukan bahwa aliran batubara tidak konstan skala putaran screw feeder di
bawah 7. Hasil kalibrasi tersebut menunjukan bahwa laju alir bahan bakar batubara untuk
memasok panas pengeringan diperoleh pada skala putaran screw feeder 7.
47
100
Laju alir bahan bakar batubara, kg/jam
80
y = 5,150x - 6,120
60
40
20
7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Skala putaran screw feeder
Blower kapasitas motor 3,5 kW digunakan untuk menyuplai udara pembakaran. Pengaturan
laju alir udara pembakaran diatur dengan valve dan membuang kelebihan udara pembakaran
ke ruang terbuka. Orifice (RO) dengan lubang berdiameter 2 cm digunakan untuk mengukur
laju alir udara pembakaran. Hasil kalibrasi laju alir udara pembakaran dapat dilihat pada
Tabel 4.2.
48
Furnace (Ruang bakar) merupakan bagian tungku pembakaran batubara bubuk sebagai
tempat terjadinya reaksi pembakaran batubara berbentuk silinder dengan ukuran diameter
0,76 m dan panjang 1,20 m. Lubang pemasukan campuran batubara dan udara dimasukan
melalui sisi penampang dan mengalir secara aksial dalam ruang furnace dan akan keluar pada
sisi penampang yang lain.
49
Gambar 4.5. Rotary dryer tipe aliran co-current
Modifikasi lain pada rotary dryer adalah penggantian jenis bahan bahan bakar yang
digunakan, yaitu mengganti bahan bakar minyak (BBM) menjadi batubara. Hal ini dilakukan
untuk mengurangi biaya operasi dengan memanfaatkan batubara bubuk yang tersedia yaitu
produk pengeringan batubara. Modifikasi dilakukan dengan cara mengganti burner BBM
menjadi burner pembakaran batubara bubuk seperti telah dijelaskan pada sub bab 4.2.
Kapasitas rotary dryer dan waktu tinggal batubara dalam rotary dryer merupakan parameter
telah dihitung melalui percobaan. Pengumpanan batubara ke dalam rotary dryer masih
dilakukan dengan cara manual seperti terlihat dalam Gambar 4.6.a. Kalibrasi hubungan antara
waktu tinggal batubara dalam rotary dryer terhadap laju alir umpan batubara dapat dilihat
pada Gambar 4.6.b.
50
2,50
2,38
2,13
2,00
1,88
1,75
1,63
1,50
100 150 200 250 300
Laju alir umpan batubara, kg/jam
a. Penentuan kapasitas rotary dryer b. Hubungan laju alir umpan batubara dan waktu
tinggal batubara
Gambar 4.6. Penentuan kapasitas rotary dryer dan waktu tinggal batubara
Hasil kalibrasi menunjukan bahwa waktu tinggal batubara dalam rotary dryer untuk laju alir
batubara 200 kg/jam yaitu 2 jam, lebih lama dari kebutuhan waktu pengeringan batubara hasil
percobaan laboratorium yaitu sekitar 1 jam (Rijwan, I., dkk., 2010). Hal ini menunjukan
bahwa rotary dryer dapat digunakan untuk pengeringan batubara dengan baik. Pengaturan
waktu tinggal untuk percobaan selanjutnya dapat dilakukan melalui pengubahan elevasi
rotary dryer dan putara rotary dryer. Putaran rotary dryer dapat dilakukan jika rotary dryer
ditambah inverter.
Uji coba pengoperasion peralatan pulverized coal burner dan rotary dryer tanpa umpan
batubara basah telah dilakukan. Pulverized coal burner dioperasikan dengan skala putaran
screw feeder antara 7 – 10, yang setara dengan laju alir bahan bakar batubara 30 – 50 kg/jam.
Gas panas hasil pembakaran batubara kemudian dilewatkan pada rotary dryer. Pengamatan
suhu dalam ruang rotary dryer dilakukan menggunakan dua buah termokopel yang dipasang
pada bagian pengumpanan batubara (T1) dan bagian pengeluaran produk batubara kering
(T2) seperti terlihat pada Gambar 4.7.
51
160
140
Suhu Rotary dryer kosong, OC
120
T1
100
T2
80
60
7 8 9 10
Skala putaran screw feeder
Gambar 4.7. Hubungan suhu rotary dryer terhadap skala putaran screw feeder
Hasil tersebut menunjukan bahwa suhu rotary dryer dibawah suhu 140 OC, jauh dari target
yaitu suhu gas buang masuk rotary dryer 400 OC dan keluar pada suhu 140 OC. Hal ini terjadi
dikarenakan ada tekanan balik dari rotary dryer, sehingga banyak panas yang terbuang.
Tekanan balik ini terjadi karena sambungan antara pulverized coal burner dan ruang
pengencer gas panas dan sambungan antara ruang pengencer gas panas dan rotary dryer
terlalu kecil. Modifikasi untuk memperbesar dua sambungan tersebut perlu dilakukan untuk
mengurangi tekanan balik gas buang, sehingga aliran gas buang ke dalam rotary dryer dapat
berlangsung dengan baik.
Percobaan selanjutnya adalah uji coba pengeringan batubara menggunakan peralatan rotary
dryer dengan sumber panas dari pembakaran batubara dalam pulverized coal burner. Data
yang akan diperoleh dari percobaan ini adalah:
- Kinerja rotary dryer: kadar air batubara kering hasil percobaan, kapasitas rotary dryer,
tingkat kehancuran batubara dalam proses pengeringan,
- Kinerja pulverized coal burner: efisiensi pulverized coal burner.
52
V. PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Kegiatan penelitian pengembangan proses coal drying and briquetting (CDB) tahun ini telah
menghasilkan rangkaian alat pulverized coal burner (burner batubara bubuk) dan rotary
dryer. Peralatan tersebut merupakan bagian dari pilot plant CDB yang akan dibangun secara
bertahap sampai dengan tahun 2013.
Pulverized coal burner dapat beroperasi dengan baik saat dioperasikan secara terpisah dari
ruang pengencer gas dan rotary dryer, sedangkan jika dioperasikan secara bersamaan akan
menimbulkan tekanan balik gas ke pulverized coal burner. Hal ini menyebabkan suhu di
rotary dryer tidak mencapai 400 OC. Modifikasi perlu dilakukan untuk mengatasi masalah
tekanan balik dengan memperbesar sambungan antara pulverized coal burner dan ruang
pengencer gas panas dan sambungan antara ruang pengencer gas panas dan rotary dryer
terlalu kecil.
5.2. Saran
Penelitian pengembangan proses coal drying and briquetting (CDB) merupakan kegiatan
multi-years yang akan menghasilkan teknologi upgrading batubara, yang mendukung
program pemerintah yaitu peningkatan pemanfaatan batubara peringkat rendah dan
peningkatan nilai tambah (PNT). Oleh karena itu dukungan dari semua pihak sangat
dibutuhkan untuk meneruskan kegiatan ini.
53
DAFTAR PUSTAKA
1. Deguchi, T., Shigehisa, T., Makino, E. and Otaka, Y., Proc. International Conference
and Exhibition on Clean and Efficient Coal Technology in Power Generation, Coal-
Tech 2002, Indonesia, 2002.
2. Umar, D. F., Daulay, B., Rijwan, I., Sodikin, I., Setiawan, L. dan Hudaya, G. K.,
Setiawan L., Hindayana H., Sulistyohadi F. Dan Sambas R, Optimasi proses
Dewatering Pada Pilot Plant Upgraded Brown Coal, Palimanan, Laporan Intern
Puslitbang Teknologi Mineral dan Batubara. 2006,.
3. Hudaya, G.K., 2008. Analisis kepekaan (Sensitivity analysis) faktor-faktor yang
mempengaruhi kelayakan financial pabrik UBC komersial. Jurnal Teknologi Mineral
dan Batubara. Bandung, Vol. 4, 33-38.
4. Wall, T. F., The Combustion of Coal as Pulverized Fuel Through Swirl Burners. In:
Principles of Conbustion Engineering for Boilers, C. J. Lawn (ed) London, UK,
Harcourt Brace Jovanovich, 197-335, 1987.
5. Gorbarty, Martin L.,Prominent Frontiers of Coal Science: Past, Present and Future.
Fuel 1994 Volume 73 Number 12, 1819 – 1828, 1994.
6. Allardice, D.J. dan Young, B.C., Utilisation of Low Rank Coals, Allardice Consulting
10 Arcady Grove, Vermont, Vic 3133, Australia
7. Gorbarty, Martin L., (1994) Prominent Frontiers of Coal Science: Past, Present and
Future. Fuel 1994 Volume 73 Number 12, 1819 – 1828.
8. Karthikeyan, M., dan Mujumdar, A.S., (2007), Factors Affecting Quality Of Dried
Low Rank Coals, Technical Report, Department of Mechanical Engineering &
Minerals, Metals and Materials Technology Centre (M3TC), National University of
Singapore.Gorbarty, Martin L.,Prominent Frontiers of Coal Science: Past, Present and
Future. Fuel 1994 Volume 73 Number 12, 1819 – 1828, 1994.
9. Allardice, D.J. dan Young, B.C., Utilisation of Low Rank Coals, Allardice Consulting
10 Arcady Grove, Vermont, Vic 3133, Australia
10. Gorbarty, Martin L., (1994) Prominent Frontiers of Coal Science: Past, Present and
Future. Fuel 1994 Volume 73 Number 12, 1819 – 1828.
11. Kadioglu, Y., Varamaz, M., (2003) The effect of moisture content and air-drying on
spontaneous combustion characteristics of two Turkish lignites, Fuel Vol 82.
12. Karthikeyan, M., dan Mujumdar, A.S., (2007), Factors Affecting Quality Of Dried
Low Rank Coals, Technical Report, Department of Mechanical Engineering &
Minerals, Metals and Materials Technology Centre (M3TC), National University of
Singapore.
13. Kraemer, I (2007), Exergen Continous Hydrothermal Dewatering (CHTD) of Brown
Coal, hiess’ Resource Development Group
14. Kresnawahjuesa, O., Permana Putra, R., (2010), Muara Kilis Coal Drying
lnvestigation by Thermal Treatment, Proceedings, Perhapi Value added Seminar.
15. Levy, E.K, Sarunac, N., Bilirgen, H., dan Caram, H.,(2006) Use Of Coal Drying To
Reduce Water Consumed In Pulverized Coal Power Plants, Final Report, Energy
Research Center Lehigh University.
16. Mukherjee, J., Singh, P., dan Sarkar, A., (2004), Studies on the chemistry of thermal
54
drying of lignite in inert atmosphere, Indian Journal of Chemical technology.
17. Rijwan, I., Huda, I., Sulistyohadi, F., dan Hudaya, G,K., (2010), Uji-coba upgrading
batubara teknologi coal drying and briquetting (CDB), Laporan Internal, Puslitbang
tekMIRA, Kementerian ESDM.
18. Schippers, F., (2010) High Efficiency with Lignite-Experience with Lignite Drying at
Niederaussem, Presentation at the IEA Workshop 25.-27. October.
19. Yanai, S., Yasumuro,M., dan Tamura,M., (2003),Conceptual Design Of Liquefaction
Plant for Berau and Mulia Coal in Kalimantan, Kobe Steel Ltd,
55