Professional Documents
Culture Documents
Brian Yuliarto
Cetakan 1, 2017
ISBN 978-602-7861-91-6
1 Pendahuluan 1
Sejarah Sel Surya 2
Cara Kerja Sel Surya 3
Efisiensi Sel Surya 5
Jenis-jenis Sel Surya 5
Perkembangan Terkini Teknologi Sel Surya 8
Pustaka 12
2 Mengenal Matahari 14
Pustaka 20
Sumber Gambar 22
3 Teori Radiasi dan Energi Matahari 23
Pustaka 32
Sumber Gambar 33
4 Teori PV Sel Surya 34
Silikon 35
Thin Film 37
DSSC 39
Pustaka 41
Sumber Gambar 41
5 Silikon Kristalin Solar PV 42
Silikon Kristal Tunggal 42
Silikon Polikristalin 45
Industri Silikon Kristalin Solar PV 51
Pustaka 54
Sumber Gambar 55
6 Thin Film Sel Surya 56
Daftar Isi 5a
Cooper Indium Gallium Selenide (CIGS) 56
Cadmium Telluride (CdTe) 62
Pustaka 65
Sumber Gambar 66
7 Sel Surya Dye Sensitized 67
Pustaka 75
Sumber Gambar 76
8 Pengujian Sel Surya 77
Pustaka 83
Sumber Gambar 83
9 Instalasi Sel Surya 84
10 Standar Instalasi Sel Surya 94
Lampiran 101
Biografi Penulis
Prakata 7a
Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada
semua pihak atas partisipasi dan bantuan, terutama peserta mata
kuliah Sel Surya di Teknik Mesin yang sangat membantu
penyelesaian buku ini. Secara khusus, penulis juga mengucapkan
terima kasih kepada mahasiswa Teknik Fisika, Ayuning Fauziah
dan Ganis Sanhaji yang telah melakukan editing isi sebelum buku
ini dicetak. Terakhir, penulis juga mengucapkan terima kasih
kepada Penerbit ITB yang telah melakukan pencetakan sehingga
buku ini dapat sampai ke tangan pembaca dengan lebih baik.
Penulis
Brian Yuliarto
Jika kita melihat tingkat konsumsi energi di seluruh dunia saat ini,
penggunaan energi diprediksi akan meningkat sebesar 70% antara tahun
2000 dan 2030. Sumber energi yang berasal dari fosil, yang saat ini
menyumbang 87,7% dari total kebutuhan energi dunia, diperkirakan akan
mengalami penurunan cadangannya karena ada kecenderungan tidak lagi
ditemukannya cadangan baru [1]. Cadangan sumber energi yang berasal dari
fosil di seluruh dunia diperkirakan hanya akan bertahan sampai 40 tahun
untuk minyak bumi, 60 tahun untuk gas alam, dan 200 tahun untuk batu
bara [2]. Meskipun saat ini terdapat kecenderungan konsumsi energi menjadi
stagnan karena berbagai krisis yang terjadi, tren peningkatan konsumsi
energi diperkirakan akan terus terjadi. Gambaran konsumsi energi di tahun
2004 meningkat sebesar 4,3% per tahun, di tahun 2013 turun menjadi 2,1%
per tahun, dan di tahun 2014 bahkan hanya meningkat 0,8% per tahun[3].
Kondisi keterbatasan sumber energi di tengah semakin meningkatnya
kebutuhan energi dunia dari tahun ke tahun serta tuntutan untuk
melindungi bumi dari pemanasan global dan polusi lingkungan, membuat
keinginan untuk segera mewujudkan teknologi untuk bagi sumber energi
terbarukan menjadi semakin tinggi. Di antara sumber energi terbarukan yang
saat ini banyak dikembangkan, antara lain turbin angin, tenaga air (hydro
power), energi gelombang air laut, tenaga surya, tenaga panas bumi, tenaga
hidrogen, dan bioenergi.
Tenaga surya atau sel surya merupakan salah satu sumber energi yang cukup
menjanjikan. Energi yang dikeluarkan oleh sinar matahari sebenarnya hanya
diterima oleh permukaan bumi sebesar 69% dari total energi pancaran
matahari, seperti terlihat pada Gambar 1.1 [4]. Suplai energi surya dari sinar
matahari yang diterima oleh permukaan bumi sangat luar biasa besarnya,
yaitu mencapai 3 × 1024 joule per tahun, energi ini setara dengan 2 × 1017
watt [4]. Jumlah energi sebesar itu setara dengan 10.000 kali konsumsi energi
di seluruh dunia saat ini. Dengan kata lain, dengan menutup 0,1% saja
permukaan bumi dengan divais sel surya yang memiliki efisiensi 10% sudah
bisa didapatkan energi yang sama dengan konsumsi energi di seluruh
dunia[6]. Bagian ini akan memberikan gambaran awal perkembangan
Pendahuluan 1
Gambar 1.1 Komposisi sinar matahari yang dipancarkan: Diserap sebesar 69% dan
dipantulkan kembali sebesar 31% (6]
teknologi sel surya sebagai salah satu teknologi yang diharapkan akan
berperan penting dalam mengatasi permasalahan energi dunia di masa
datang.
Pendahuluan 3
merupakan silikon semikonduktor tipe n (karena kelebihan elektron).
Gabungan dua buah semikonduktor tipe n dan tipe p inilah yang dijadikan
divais sel surya.
Sebagaimana diketahui bahwa cahaya yang tampak ataupun yang tidak
tampak memiliki dua buah sifat, yaitu dapat sebagai gelombang dan dapat
sebagai partikel yang disebut dengan foton (photon). Penemuan ini pertama
kali diungkapkan oleh Einstein pada tahun 1905. Energi yang dipancarkan
oleh sebuah cahaya dengan panjang gelombang λ dan frekuensi foton v
dirumuskan dengan persamaan:
E = h.c/ λ
Dengan h adalah konstanta Plancks (6,62 × 1034 J.s) dan c adalah kecepatan
cahaya dalam vakum (3 × 108 m/s). Persamaan di atas juga menunjukkan
bahwa foton dapat dilihat sebagai sebuah partikel energi atau sebagai
gelombang dengan panjang gelombang dan frekuensi tertentu [9].
Saat foton dari cahaya matahari datang di permukaan sebuah dioda silikon,
ada dua kemungkinan yang dapat terjadi. Pertama adalah foton tersebut
hanya melewati lapisan silikon tanpa memberikan efek apa-apa. Keadaan ini
terjadi ketika energi yang dibawa oleh foton tersebut lebih rendah daripada
pita energi yang dimiliki oleh lapisan silikon tersebut. Keadaan kedua yang
dapat terjadi adalah foton yang datang tersebut diserap oleh lapisan silikon.
Secara umum, kedaan ini dapat terjadi ketika energi pada foton lebih besar
daripada lebar pita energi yang dimiliki oleh lapisan silikon sel surya. Saat
foton tersebut diserap oleh lapisan silikon, energi dari foton diserap oleh
elektron pada kisi kristal yang terdapat pada pita valensi.
Elektron ini sebenarnya sangat stabil berada pada pita valensi karena
berikatan secara kovalen dengan atom-atom tetangganya, yang membuat
elektron ini tidak bisa berpindah jauh tanpa bantuan energi dari luar. Energi
dari foton yang diterimanya tersebut membuat elektron ini mampu
berpindah ke pita konduksi sehingga membuatnya bebas bergerak dalam
semikonduktor tersebut seperti terlihat pada Gambar 1.2. Kepindahan
elektron ini meninggalkan sebuah ikatan kovalen yang kehilangan satu buah
elektron (disebut dengan hole), yang membuat elektron pada atom tetangga
bergerak pindah menuju hole ini dan kembali menyisakan satu buah hole.
Keadaan ini berlangsung terus dan tentu terjadi pada lebih dari satu elektron
sehingga energi foton yang diterima oleh lapisan silikon akhirnya
menghasilkan pergerakan untuk pasangan elektron dan hole. Medan listrik
yang terbentuk pada dioda dari hubungan semikonduktor tipe n dan tipe p
Gambar 1.2 Model pembangkitan pasangan elektron-hole pada divais sel surya ketika
foton dari sinar matahari diperoleh permukaan semikonduktor p-n.
ke tipe n. Aliran arus listrik inilah yang kemudian bisa digunakan untuk
dialirkan menuju rumah-rumah pengguna sebagai sumber listrik.
Pendahuluan 5
murah dan mudah dalam pembuatannya. Tipe pertama yang berhasil
dikembangkan oleh para peneliti adalah jenis wafer (berlapis) silikon kristal
Gambar 1.3 Struktur divais sel surya dari semikonduktor silikon tipe p dan tipe n [11]
Pendahuluan 7
Pada sel surya generasi ketiga itu, foton yang datang tidak menghasilkan
aliran elektron pada dioda p dan n, tetapi membangkitkan eksitasi elektron
pada dyes. Eksitasi elektron inilah yang kemudian berdifusi pada dua
permukaan bahan konduktor (yang biasanya direkatkan dengan media dye
yang berada di antara dua keping konduktor) untuk menghasilkan pasangan
muatan dan akhirnya menghasilkan efek arus foto (photocurrent) [13-14].
Tipe sel surya fotokima merupakan jenis sel surya sintesis dye yang terdiri
dari sebuah lapisan partikel nano (biasanya titanium dioksida) yang
diendapkan dalam sebuah perendam (dye). Jenis ini pertama kali
diperkenalkan oleh Profesor Graetzel pada tahun 1991 sehingga jenis sel
surya ini sering juga disebut dengan Graetzel cell atau dye-sensitized sel surya
(DSC) [5]. Graetzel cell ini dilengkapi dengan pasangan redox yang diletakkan
dalam sebuah elektrolit (bisa berupa padat atau cairan).
Komposisi penyusun sel surya seperti ini memungkinkan bahan baku
pembuat Graetzel cell lebih fleksibel dan bisa dibuat dengan metode yang
sangat sederhana, seperti screen printing atau dr blade printing. Meskipun sel
surya generasi ketiga ini masih memiliki masalah besar dalam hal efisiensi
dan usia aktif sel yang masih terlalu singkat, sel surya jenis ini diperkirakan
akan mampu memberikan pengaruh besar dalam sepuluh tahun ke depan
mengingat harga dan proses pembuatannya yang sangat murah. Penemuan
terbaru dengan modifikasi dye berbahan perovskite bahkan mampu
menaikkan efisiensi sel surya dengan sangat signifikan di angka 15−21 %
yang membuat sel surya jenis ini sangat menjanjikan bagi pengembangan
komersial di masa depan.
Pendahuluan 9
Gambar 1.4 Komposisi produksi sel surya di seluruh dunia sejak tahun 1997
hingga 2014 [18].
Gambar 1.5 Perbandingan produksi sel surya di antara beberapa negara produsen
besar [18]
Gambar 1.6 menunjukkan komposisi produksi sel surya dari setiap jenis
teknologi sel surya yang ada. Terlihat bahwa teknologi kristal tunggal
(monokristalin) yang pada tahun 1980 mendominasi produksi sel surya,
jumlahnya terus turun dan dilampaui oleh jenis silikon multikristal. Pada
tahun 2014, jenis sel surya berbasis silikon ini berjumlah hingga 91% dari total
sel surya yang diproduksi di seluruh dunia. Multikristal sendiri mencapai
jumlah 56%, sedangkan sel surya berbasis lapisan tipis atau thin film hanya
mencapai 9% dari total sel surya yang ada [18].
Meskipun teknologi sel surya yang ada di pasaran hanya didominasi jenis
silikon kristal dan lapisan tipis, sebenarnya penelitian tentang teknologi sel
surya telah sangat luas. Data yang dikeluarkan oleh National Renewable
Energy Leboratory (NREL) USA dapat dilihat pada Gambar 1.7, yang
menunjukkan perkembangan efisiensi terbaik dari berbagai teknologi sel
surya yang ada. Beberapa penelitian yang didapatkan dari berbagai
laboratorium yang ada di seluruh dunia telah mendapatkan capaian yang
cukup signifikan seperti sel surya berbasis multi- junction telah mendapatkan
efisiensi hingga 46%, kristal tunggal GaAs mencapai 27,5%, lapisan tipis
CIGS dan CdTe masing-masing 22,3% dan 21,5%, sedangkan multikristal
Silikon mencapai 20,8%. Untuk teknologi-teknologi yang baru juga telah
mendapatkan kemajuan yang cukup baik, seperti teknologi perovskite
mencapai 21%, amorphous silikon mencapai 13,6%, organik sel surya 11,5%,
dan quantum dot sel surya mencapai 10,6% [19].
Indonesia sebenarnya sangat berpotensi untuk menjadikan sel surya sebagai
salah satu sumber energi masa depannya mengingat posisi Indonesia pada
khatulistiwa yang memungkinkan sinar matahari dapat optimal diterima di
hampir seluruh wilayah Indonesia. Dalam kondisi peak atau posisi matahari
tegak lurus, sinar matahari yang jatuh di permukaan panel surya di
Indonesia seluas satu meter persegi akan mampu mencapai 900 hingga 1.000
watt [20]. Lebih jauh bahkan pakar sel surya, Wilson Wenas menyatakan
bahwa total intensitas penyinaran matahari per hari di Indonesia mampu
mencapai 4.500 watt-jam per meter persegi, yang membuat Indonesia
tergolong kaya sumber energi matahari ini [20].
Pendahuluan 11
Gambar 1.7 Perkembangan beberapa teknologi sel surya yang ada di berbagai
laboratorium dunia hingga Desember 2015 [21].
Pustaka
[1] B. Yuliarto. ”Meneropong Konsumsi Energi Dunia”, Berita IPTEK 21
Desember 2005.
[2] B. Li, L. Wang, B. Kang, P. Wang, Y. Qiu, ”Solar Energy Materials and
Sel Surya”, in press, available online 2005.
[3] 2014 ”Global Energy Trend”, www.enerdata.net, available online 2016.
[4] K. West, ”Sel Surya Beyond Silicon”, Riso International Energy
Conference, 2003.
[5] M. Gratzel, Nature 414 (2001) 338.
[6] Strahler A. dan A. Strahler. 1996. Introducing Physical Geography. John
Wiley and Sons.
[7] ”Encyclopedia Sel Surya”, 2005 available online on (http://en.wikipedia.
org/wiki/solar_cell).
Pendahuluan 13
2 Mengenal Matahari
Matahari merupakan salah satu bintang dalam jagat raya yang bertindak
sebagai pusat pada sistem tata surya kita. Matahari termasuk kategori
bintang karena dapat menghasilkan cahaya sendiri. Apabila dibandingkan
dengan bintang lainnya, cahaya matahari lebih terang sehingga pada waktu
siang hari tidak akan terlihat bintang lain. Matahari termasuk ke dalam
bintang deret utama G (G2V) atau lebih dikenal sebagai katai kuning karena
spektrum radiasinya kuning-merah[1].
Matahari generasi pertama terbentuk sekitar 14.000 juta tahun lalu yang
diawali oleh gelombang kejut dari suatu supernova terdekat atau lebih.
Teori ini berdasarkan kelimpahan elemen berat di tata surya, seperti emas
dan uranium. Adapun matahari yang kita kenal saat ini adalah generasi
kedua yang terbentuk dari ledakan matahari generasi pertama sekitar 4,6
miliar tahun lalu. Elemen berat yang dikandung matahari generasi kedua
jauh lebih sedikit dan dihasilkan oleh reaksi nuklir endotermik selama
supernova atau transmutasi melalui penyerapan neutron pada bintang
raksasa[2].
Gambar 2.1 menunjukkan foto matahari yang diambil oleh NASA pada
tahun 2012. Matahari adalah bintang yang bentuknya hampir sempurna
dengan perbedaan diameter antara kutub dan khatulistiwanya sebesar 10
km. Diameter matahari sekitar 1.392.684 km atau kira-kira 109 kali diameter
bumi[3] dan massanya sekitar 2×1030 kg yang mewakili 99,86% massa total
tata surya[4]. Sekitar 92,1% massa matahari berupa hidrogen dan 7,8%
helium serta terdapat elemen lain berupa oksigen, karbon, neon, besi, dan
lain-lain. Kepadatan massa matahari adalah 1,41 berbanding dengan massa
air[5]. Karakterisasi dari struktur matahari dapat dilihat pada tabel berikut.
Mengenal Matahari 15
akibat perbedaan sudut pandang dari bumi saat mengorbit matahari, maka
rotasi pada khatulistiwa berlangsung kira-kira 28 hari[7]. Efek sentrifugal
pada rotasi matahari ini 18 juta kali lebih lemah dibandingkan dengan
gravitasi permukaan di daerah khatulistiwa matahari.
Matahari merupakan bola gas besar yang tidak memiliki batas lapisan yang
jelas dan kepadatan gas pada bagian terluar menurun seiring dengan
bertambahnya jarak dari inti matahari. Meskipun begitu, matahari memiliki
struktur interior yang jelas. Interior matahari tidak dapat dilihat secara
langsung dan radiasi elektromagnetik tidak dapat menembus matahari.
Untuk mengukur dan menggambarkan struktur terdalam dari matahari
dilakukan dengan memanfaatkan gelombang tekanan suara infrasonik yang
melewati interior matahari.
Mengenal Matahari 17
Gambar 2.4 Bagian matahari beserta gelombang yang dihasilkan
(Sumber: Solar Physics Montana, 2016)
Mengenal Matahari 19
Gambar 2.6 Sifat filamen pada plasma di permukaan matahari (Sumber: Pixabay)
Pustaka
[1] Nick Smith, Minot, North Dakota. 2011. ”The Sun is a G2V star and
Rigel is a B8Iab. How do astronomers get the classifications this
precise?”. Astronomy Magazine. Dipublikasikan pada 29 Agustus 2011.
[2] Stanley A Rice. 2007. Encyclopedia of Evolution. New York: Facts on File,
halaman 405-407.
[3] NASA. 2008. "Solar System Exploration: Planets: Sun: Facts & Figures".
[4] Williams, D. R. (1 July 2013). "Sun Fact Sheet". NASA Goddard Space
Flight Center. Retrieved 12 August 2013.
[5] Robert J. Malcuit. 2015. The Twin Sister Planets Venus and Earth.
Switzerland: Springer International Publishing.
Mengenal Matahari 21
[6] L. L. Kitchatinov. 2011. ”Solar differential rotation: origin, models and
implications for dynamo”. First Asia-Pacific Solar Physics Meeting, ASI
Conference Series. Vol. 2, pp 71–80.
[7] Kenneth J. H. Phillips. 1995. Guide to the Sun. Cambridge University
Press. halaman 78–79.
[8] Matt Williams. 2015. ”How Does The Sun Produce Energy?”. (tersedia
secara online di http://www.universetoday.com /75803/how-does-the-
sun-produce-energy/).
[9] David J French. 2013. ”Power Equivalent To The Sun? – We Already
Have It!”. (tersedia di http://coldfusionnow.org/power-equivalent-to-
the-sun-we-already-have-it/).
[10] NASA. 2007. ”The 8-minute travel time to Earth by sunlight hides a
thousand-year journey that actually began in the core.” (tersedia
di http://sunearthday. nasa.gov/2007/locations/ttt_sunlight.php).
[11] Futurism. 2014. ”A Sunshine Holiday (How the Sun Works)”. (tersedia
di http://futurism.com/how-the-sun-works/).
[12] Erdèlyi, R.; Ballai, I. 2007. Heating of the solar and stellar coronae: a review.
Astron. Nachr. 328 (8): 726–733.
[13] Charles Q. Choi. 2014. ”Earth’s Sun: Facts About the Sun’s Age, Size
and History”. (tersedia di http://www.space.com/58-the-sun-
formation-facts-and-characteristics.html).
[14] Fraser Cain. 2012. ”Does The Sun Rotate?”. (tersedia di
http://www.universetoday.com/60192/does-the-sun-rotate/)
[15] J. A. Duffie, W. A. Beckhman, Solar Engineering of Thermal Processes,
John Willey & Sons, Inc., New Jersey: 2013.
Sumber Gambar
https://www.nasa.gov/mission_pages/sunearth/news/News111312-
m6flare.html#.VuumhdJ97IU
http://solar.physics.montana.edu/ypop/Spotlight/SunInfo/Structure.html
http://news.stanford.edu/news/2000/april5/sunspin-329.html
http://www.nasa.gov/mission_pages/sunearth/news/sumi science.html
http://www.telegraph.co.uk/news/science/space/7412572/Rare-solar-corona-
caught-on-camera.html
Radiasi matahari adalah radiasi yang dipancarkan oleh matahari yang telah
ditransmisikan melalui atmosfer bumi. Radiasi disebarkan melalui ruang
hampa dalam bentuk gelombang dan sebagian aliran energi. Radiasi
matahari ini memiliki panjang gelombang dan energi yang ditransfer dalam
satuan diskrit yang disebut foton. Pada jarak tertentu, total daya matahari
yang tersebar di permukaan jauh lebih besar. Karena radiasi matahari
tersebut melalui ruang hampa, maka membuat radiasi berkurang sangat
besar pada lokasi yang jauh dari matahari.
Intensitas radiasi cahaya matahari, Ho (W/m2) pada sebuah benda yang
berjarak D dari cahaya matahari bisa dihitung dengan persamaan berikut[6]:
2 2
𝑅𝑅𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠 𝑅𝑅𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠 𝜎𝜎𝑇𝑇 4
𝐻𝐻o = 𝐻𝐻𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠 = (3.1)
𝐷𝐷 2 𝐷𝐷 2
di mana :
H sun = kerapatan daya dari permukaan matahari (W/m2)
R sun = radius matahari (m)
D = jarak benda dari matahari (m)
H sun dituliskan dalam persamaan benda hitam oleh Stefan-Boltzman.
Cahaya yang kita lihat sehari-hari hanya sebagian kecil dari total energi yang
dipancarkan oleh matahari di bumi. Sinar matahari adalah bentuk radiasi
Ketika berhadapan dengan partikel seperti foton dan elektron, satuan yang
umum digunakan adalah elektron volt, yaitu untuk 1 energi foton setara
dengan 1 eV = 1.602×10-19 Joule. Terdapat hubungan sederhana terkait
panjang gelombang, frekuensi dan kecepatan cahaya yang dapat dituliskan
dalam persamaan berikut:
𝑣𝑣 = 𝜆𝜆 𝑓𝑓 (3.3)
di mana :
v = kecepatan (m/s)
λ = panjang gelombang (m)
f = frekuensi (Hz)
Ada beberapa hukum yang dimanfaatkan dalam teori radiasi dan energi
matahari, yaitu Hukum Perpindahan Wien dan Hukum Stefan-Boltzmann.
Hukum Perpindahan Wien (Wien’s Displacement Law) mengatakan bahwa
benda hitam pada temperatur konstan menyerap semua radiasi yang
diterima benda tersebut dan panjang gelombang maksimum yang diterima
setara dengan temperatur benda.
Radiasi yang sampai ke bumi merupakan radiasi total hemispherical (beam and
diffuse radiation) pada sebuah permukaan horisontal, dapat diukur dengan
suatu alat yang disebut pyranometer atau solarimeter atau actinograph. Satuan
ukuran untuk radiasi adalah irradiance dengan standar unitnya adalah W/m2 ,
sedangkan untuk mengukur radiasi langsung yang berasal dari matahari dan
dari langit sekitar matahari (beam radiation) yang diterima pada sudut normal
(a) (b)
Gambar 3.10 (a) Alat ukur radiasi matahari Pyrheliometer (b) Pyranometer
(a) (b)
Gambar 3.12 (a) Sudut Zenith, Kemiringan, Sudut Azimuth Permukaan, dan Sudut
Azimuth Matahari (b) Sudut Azimuth pada bidang datar
Pustaka
[1] Basu, S.; Antia, H. M. 2008. "Helioseismology and Solar Abundances".
Physics Reports 457 (5–6): 217.
[2] Williams, D. R. 2013. “Sun Fact Sheet”. NASA Goddard Space Flight
Center.
[3] Coffey, J. 2010. ”Does The Sun Rotate?”. Universe Today.
Sumber Gambar
http://www.pveducation.org/pvcdrom/properties-of-sunlight/the-sun
http://www.pveducation.org/pvcdrom/properties-of-sunlight/solar-
radiation-in-space
http://www.pveducation.org/pvcdrom/properties-of-sunlight/solar-
radiation-in-space
http://www.global-greenhouse-warming.com/measuring-solar-activity.html
http://www.pveducation.org/pvcdrom/properties-of-sunlight/average-solar-
radiation
http://www.pveducation.org/pvcdrom/properties-of-sunlight/properties-of-
light
http://www.geo.arizona.edu/xtal/nats101/s04-12.html
http://encyclopedia2.thefreedictionary.com/pyranometer
http://www.itacanet.org/the-sun-as-a-source-of-energy/part-1-solar-
astronomy/
Saat ini kebutuhan hidup manusia semakin meningkat dari waktu ke waktu,
sedangkan alat pemenuh kebutuhan hidup justru sangat terbatas. Oleh sebab
itu, penggunaan teknologi sangat diperlukan untuk mempermudah manusia
memenuhi kebutuhan hidupnya. Pada abad ke-21 ini, semakin banyak
pilihan teknologi yang sudah berhasil dikembangkan. Oleh karena itu,
manusia harus mampu menentukan pilihan yang terbaik dengan
mempertimbangkan segala aspek dari segi ekonomi, efisiensi, keselamatan,
dan tidak memberikan efek buruk pada lingkungan. Salah satu teknologi
yang telah dan akan terus dikembangkan adalah teknologi panel surya (sel
surya) atau dikenal sebagai sel surya fotovoltaik.
Fotovoltaik adalah sebuah teknik pengubahan energi surya menjadi arus
listrik secara langsung dengan memanfaatkan sifat-sifat pada material
semikonduktor melalui efek fotovoltaik, yaitu foton yang datang dari cahaya
matahari menghasilkan lompatan elektron dalam material semikonduktor
tersebut. Fenomena ini berasal dari fenomena fotovoltaik berbasis bahan
material semikonduktor yang terdiri dari karakteristik elektrik berupa arus,
tegangan, dan hambatan yang berubah ketika terpapar sinar matahari.
Material semikonduktor yang digunakan untuk membuat sel surya harus
memiliki karakteristik mampu menyerap sinar matahari dan hanya
memantulkan sedikit sinar matahari yang diterimanya. Sel surya ini dapat
dibuat dari satu lapisan material yang dapat menyerap sinar atau beberapa
lapisan yang memungkinkan bertambahnya efisiensi dengan memanfaatkan
sifat panjang gelombang sinar matahari pada jenis material yang berbeda-
beda.
Jika melihat sejarah, kita akan mengetahui bahwa sesungguhnya fenomena
fotovoltaik telah berkembang selama lebih dari 175 tahun. Efek fotovoltaik
pertama kali ditemukan pada tahun 1839 oleh seorang peneliti Perancis yang
saat itu baru berumur 19 tahun, Alexandre Edmond Bacquerel[1]. Adapun
material yang pertama dipelajari berupa padatan seperti selenium oleh
Heinrich Hertz pada sekitar tahun 1870. Pada tahun 1883, seorang peneliti
Amerika Charles Fritts membuat solar PV pertama dari bahan wafer selenium.
Tahun 1888 Amerika pertama kali memberikan paten untuk sel
surya kepada Edward Weston. Pada tahun 1905, Albert Einstein berhasil
mengeluarkan publikasi paper untuk menjelaskan fenomena pada efek
fotoelektrik. Selanjutnya, pengembangan sel fotovoltaik pertama dilakukan
oleh seorang ilmuwan bernama Gerard Pearson, Daryl Chapin, dan Calvin
Fuller dari Bell Laboratories sekitar tahun 1954. Pada bab ini, akan dituliskan
beberapa teori tentang PV sel surya beserta penjelasannya.
Silikon
Sel surya Photovoltaic (PV) adalah divais yang dapat mengubah energi dari
matahari menjadi energi listrik secara langsung melalui efek fotovoltaik.
Prinsip kerja PV sel surya ini memanfatkan tumbukan oleh foton dari sinar
matahari yang datang terhadap elektron pada P-N Junction material
semikonduktor, seperti silikon, yang sudah didoping. Elektron yang
tertumbuk akan bergerak melalui hole pada arah tertentu dan pergerakannya
akan menghasilkan listrik. Prinsip kerja sel surya ini dapat dilihat pada
Gambar 4.2.
Silikon merupakan salah satu material semikonduktor yang nilai
konduktivitasnya dapat diubah dengan menambahkan suatu atom asing
atau atom pengotor. Teknik ini dikenal dengan nama sistem doping.
Proses doping pada atom silikon ini dilakukan untuk memberikan kondisi
kelebihan elektron (N-type) dan kekurangan elektron (P-type) sehingga
memungkinkan terjadinya pergerakan elektron. Pada semikonduktor tipe-N,
atom memberikan elektron bebas (berlebih) pada semikonduktor dan
material yang umum digunakan adalah fosfor. Semikonduktor tipe-P dibuat
dengan memberikan atom yang membuat kondisi atom positif atau
kekurangan elektron. Kondisi ini memungkinkan semikonduktor untuk
menerima elektron dari semikonduktor tipe-N (yang memiliki kelebihan
jumlah elektron).
Ketika terjadi kenaikan temperatur pada silikon, empat buah elektron valensi
yang berikatan secara kovalen akan memiliki cukup energi untuk
melepaskan diri dan bergerak secara bebas. Pergerakan elektron yang
meninggalkan tempat asalnya akan menghasilkan sebuah lubang atau hole.
Semakin banyak elektron yang bebas, semakin banyak lubang yang akan
terbentuk. Pada semikonduktor murni seperti silikon, jumlah hole yang
terbentuk akan sama dengan jumlah elektron yang bebas. Elektron yang
bebas bermuatan negatif sehingga berdasarkan Hukum Kekekalan
Momentum, hole akan bermuatan positif.
Thin Film
Thin film sel surya (TFSC) atau juga dikenal sebagai thin film photovoltaic cell
(TFPV) adalah sel surya yang dibuat dengan menyimpan satu atau lebih
lapisan tipis (thin film) dari material fotovoltaik. Ide pembuatan sel surya
berbasis thin film berasal dari masalah penyerapan sinar matahari oleh sel
surya tipe kristalin silikon yang terlalu tebal, berat, dan tidak fleksibel. Oleh
sebab itu, para ilmuwan mengembangkan sel surya generasi kedua dengan
tipe thin film yang lebih tipis, ringan, dan fleksibel. Variasi ketebalan sel surya
Gambar 4.6 Perbedaan modul sel surya silikon dengan thin film
Pembuatan sel surya dari bahan thin film lebih murah dibandingkan dengan
sel surya yang dibuat dengan teknik konvensional, tetapi kurang efisien.
Efisiensi dari suatu sel surya tipe thin film dapat dibedakan berdasarkan
jumlah junction pada lapisan sel surya ini. Secara teori, besar efisiensi untuk
jenis homo-junction adalah 30%, sedangkan untuk hetero-junction 42% dan
untuk jenis tandem multigap-junction sebesar 76%. Thin film jenis multi-
junction lebih sering digunakan karena memilki nilai efisiensi yang tinggi dan
daya serap yang tinggi dibandingkan dengan thin film jenis lain. Selain itu,
thin film jenis ini memiliki band model tipe pertengahan yang membuatnya
mampu menghasilkan tingkat energi yang berlipat[3]
Gambar 4.8 Perbedaan jumlah junction pada sel surya tipe thin film silicon
DSSC
Dye Sensitized Sel Surya (DSSC) merupakan sel surya generasi ketiga yang
diciptakan manusia setelah sel surya berbasis silikon dan thin film.
Pembuatan DSSC mengunakan prinsip kerja proses fotosintesis. Jika
sebelumnya pembuatan sel surya menggunakan silikon, untuk pembuatan
DSSC menggunakan klorofil yang berasal dari tumbuhan. DSSC merupakan
penggabungan bahan organik dan anorganik. Bahan organik yang berasal
dari tumbuhan diekstrak sebagai bahan warna dari kaca bening berlapis
titanium dioksida (TiO 2 ). Titanium dioksida ini berfungsi sebagai material
semikonduktor tempat berlangsungnya reaksi antarklorofil.
Saat ini terdapat sekitar 325 industri di seluruh dunia yang mengembangkan
sel surya fotovoltaik dan total produksi PV telah mencapai 10 GWp pada
tahun 2009, tetapi hanya sekitar 3.5 GWp yang dihasilkan oleh 10 industri
terkemuka di dunia[4].
Pustaka
[1] Palz, Wolfgang. 2010. Power for the World - The Emergence of Electricity from
the Sun. Belgium: Pan Stanford Publishing. p. 6.
[2] Wikipedia. 2016. (tersedia di https://en.wikipedia.org/wiki/Thin-
film_solar_cell).
[3] Prof. K L Chopra. ”Thin Film Sel Suryas” (A Status Review). (tersedia
di http://www.kfupm.edu.sa/centers/CENT/AnalyticsReports/KFUPM-
TFSC-Dec20.pdf).
[4] David E Carlson. 2009. ”Basic Science Issues in the Development of
Photovoltaics”. BP Solar. Presentation Slides.
Sumber Gambar
http://www.geekstronaut.com/everything-you-need-to-know-about-solar-
cells/
http://asdn.net/asdn/physics/semiconductor.php
http://hyperphysics.phy-astr.gsu.edu/hbase/solids/intrin.html
http://www.cleanenergyreviews.info/blog/pv-panel-technology
Fraunhover Institute for Solar Energy Systems, Photovoltaic Reports, March
2016.
Tantangan utama dalam pembuatan sel surya dari bahan silikon kristal
tunggal ini adalah pembuatan logam silikon dengan tingkat kemurnian
yang tinggi (high purity silicon ingots). Proses yang umum dilakukan untuk
menghasilkannya dikenal dengan teknik “Czochralski” atau yang sering
dikenal sebagai “Cz Process”. Proses ini dilakukan dengan memutar bibit
kristal silikon padat yang diekstrak secara perlahan dari kolam atau bejana
yang berisi silikon cair. Proses pemutaran dikontrol dengan sangat cermat
sedemikian sehingga kristal silikon tumbuh dengan keteraturan yang
sangat tinggi.
Umur sel surya yang dibuat dari bahan silikon kristal tunggal dapat
mencapai hingga 50 tahun dengan kemungkinan penurunan efisiensi rata-
rata 0,5% setiap tahun. Sebagian besar garansi untuk sel surya tipe ini
adalah 25 tahun[5]. Akan tetapi, apabila fotovoltaik masih dalam keadaan
yang baik maka akan tetap menghasilkan listrik. Sampai saat ini
penggunaan sel surya tipe ini masih mudah dijumpai di daerah perkotaan
atau tempat yang luasnya terbatas.
Namun, penggunaan sel surya tipe ini juga memiliki kekurangan, yaitu
untuk proses manufakturnya membutuhkan temperatur dan energi yang
tinggi, bahan baku diperoleh dengan harga yang tinggi, dan mudah
mengalami kerusakan. Untuk kristal silikon dengan tipe kristal tunggal,
harga pembuatan yang lebih rumit membuat harganya lebih mahal jika
dibandingkan dengan silikon tipe multikristal. Meskipun begitu, efisiensi
yang dimiliki kristal tunggal lebih tinggi jika dibandingkan dengan
multikristal sehingga secara umum harga per energi yang dibangkitkan
relatif sama antara kristal tunggal dan multikristal.
Silikon Polikristalin
Silikon polikristalin atau lebih dikenal sebagai polisilikon (multi-Si)
merupakan silikon dengan tingkat kemurnian yang tinggi dan biasa
dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan teknologi fotovoltaik dan
industri elektronika. Produksi sel surya dengan bahan baku silikon
polikristalin memanfaatkan pemurnian pasir kuarsa (SiO 2 ) dengan sisi P-
type pada atom silikon hasil pemurnian ditambah dengan atom boron.
Gambar 5.6 Tahapan pembuatan modul sel surya tipe kristalin silikon
(Sumber: Sharp©, 2010)
Sel surya tipe silikon polikristalin terbentuk dari bongkahan kristal silikon
yang dilelehkan dan kemudian dicetak menjadi sel surya. Silikon
polikristalin ini memiliki orientasi yang tidak seragam karena terdiri dari
kristal silikon yang terbagi menjadi beberapa kluster dengan setiap kluster
memiliki orientasi masing-masing.
Proses pemurnian silikon terdiri dari dua metode, yaitu secara kimia
(chemical route) dan metalurgi (metallurgical route). Dengan memanfaatkan
metode kimia, dapat dihasilkan 99,99% kandungan silikon murni. Proses
pemurniannya sebagai berikut.
Kristal
Reduksi Karbotermis
Metalurgical-grade silicon
Polysilicon
Produksi Wafer
Monocrystalline silicon wafer
Multicrystalline silicon wafer
Gambar 5.7 Diagram tahapan produksi sel surya tipe kristalin silikon
c. Di dalam CVD, batang silikon yang setengah jadi dan berbentuk huruf
U dipanaskan secara elektrik pada temperatur sekitar 1.100oC pada
ruangan yang dingin. Silikon yang terbentuk dari reaksi antara HSiCl 3
dan H 2 akan membentuk polisilikon dengan tingkat kemurnian 99,99%
pada batang silikon yang dipanaskan.
Pemurnian silikon dengan menggunakan metode kimia sangat banyak
membutuhkan energi dibandingkan dengan metode metalurgi untuk
produksi silikon. Selain itu, masalah zat berbahaya dan korosif seperti
chlorosilane dan hydrochloric acid merupakan keterbatasan metode ini,
sedangkan untuk pemurnian silikon dengan menggunakan metode
Gambar 5.13 Alur proses pembuatan sel surya silikon oleh SCHMID
Berdasarkan Tabel 5.2, dapat diketahui bahwa prose SST jauh lebih baik
dibandingkan dengan TCS. Selain itu apabila ditinjau dari segi operasi,
biaya dan lingkungan, serta kualitas produk yang dihasilkan, SST memiliki
banyak kelebihan sebagai berikut.
Operasi:
Proses berlangsung secara sederhana dan jelas sehingga mudah
dalam start-up serta operasi sistem yang stabil.
Tidak memerlukan vent gas pada unit recovery.
Tidak ada tahapan yang rumit di antara aliran proses.
Tidak ada aliran HCl dalam proses.
Proses endothermic hydrochlorination untuk keselamatan dan waktu
pemakaian alat.
Aliran massa yang rendah secara signifikan mengalir melalui
reaktor CVD.
Biaya dan lingkungan:
Yield silikon yang tinggi terdapat pada kualitas produk yang baik.
Tidak memerlukan destilasi dari cholrosilane.
Terbuangnya silikon dan chlorine dapat diminimalkan.
Secara signifikan suhu deposisi rendah (850 °C).
Kualitas produk:
Grade smikonduktor (9...11N) dapat dibuat dengan prinsip kimia
dari proses yang tidak memerlukan sumber dari karbon untuk
tujuan konversi dan HCl dalam reaktor CVD dan proses pemurnian
monosilan hanya merupakan suatu pilihan.
Gambar 5.15 Plant proses SST Monosilane dengan total biaya setiap proses
Pustaka
[1] D. M. Chapin-C. S. Fuller-G. L. Pearson. 1954. ”A New Silicon p–n
Junction Photocell for Converting Solar Radiation into Electrical
Power”. Journal of Applied Physics, vol 25 page 676
[2] Wikipedia. 2016. (tersedia di https://en.wikipedia .org/wiki/
Crystalline_silicon).
[3] Conrad T. Sorenson. 1999. ”Semiconductor Manufacturing Technology:
Semiconductor Manufacturing Processes”. Praxair, Inc. Arizona Board
of Regents for The University of Arizona. Presentation Slides.
[4] Solar Fact and Advice. “8 Good Reasons Why Monocrystalline Solar
Panels are the Industry Standard”. (tersedia di http://www.solar-facts-
and-advice.com/monocrystalline.html).
[5] Solar Fact and Advice. “Monocrystalline”. (tersedia di http://www.solar-
facts-and-advice.com/monocrystalline.html).
Sumber Gambar
Teknologi sel surya dengan menggunakan lapisan tipis (thin film) mulai
dikenal pada tahun 1970 yang pada saat itu digunakan pada kalkulator surya
dengan memanfaatkan sel surya untuk menangkap sinar matahari yang
kemudian diubah menjadi sumber tenaga untuk kebutuhan kalkulator
tersebut. Sel surya dengan menggunakan teknologi thin film menggabungkan
satu atau lebih material fotovoltaik yang sangat tipis, kurang lebih 1µm di
atas sebuah substrat. Pembuatan sel surya dengan memanfaatkan teknologi
thin film merupakan teknik lebih lanjut dalam perkembangan sel surya
setelah teknologi kristalin dan wafer pada silikon. Teknologi thin film ini
menggunakan beberapa material nonsilikon seperti Copper Indium Gallium
Selenide (CIGS) dan Cadmium Telluride (CdTe). Teknologi thin film jenis ini
sering dimanfaatkan untuk aplikasi di luar ruangan. Adapun alasan
pengembangan sel surya berbasis thin film ini adalah untuk mengurangi
jumlah bahan aktif yang dibutuhkan untuk membuat sebuah modul sel
surya.
Sel surya yang berbasis kristalin silikon menggunakan sebuah lapisan gelas
tipis, sedangkan thin film memiliki berat dua kali kristalin silikon meskipun
keduanya memiliki kesamaan dalam pengaruh ekologi yang berhubungan
dengan analisis life-cycle. Kelebihan panel thin film memiliki 2-3% efisiensi
konversi yang lebih rendah dibandingkan dengan kristalin silikon. Pada bab
ini akan dibahas lebih lanjut tentang perkembangan sel surya tipe thin-film.
CIGS ini pertama kali dijual secara komersial pada tahun 1998 dan saat ini
sudah banyak industri Amerika, Eropa, dan Jepang yang telah memproduksi
sel surya jenis ini.
Pembuatan sel surya jenis CIGS ini terdiri dari lapisan semikonduktor berupa
tembaga, indium, galium, dan selenida yang diletakkan dalam sebuah
lapisan gelas atau semacam plastik yang dilengkapi dengan elektroda pada
bagian depan dan pengumpul arus pada bagian belakangnya. Lapisan CIGS
sangat tipis, yaitu sekitar 1 µm dari substrat penyusun fotovoltaik sehingga
lebih fleksibel. Sel surya CIGS umumnya menggunakan aluminium atau kaca
sebagai lapisan dasar. Penggunaan aluminium sebagai lapisan dasar
berfungsi sebagai elektroda, sedangkan apabila sel surya CIGS
menggunakan lapisan dasar berupa kaca harus dilapisi dengan Molybdenum
yang berfungsi untuk menciptakan elektroda yang efektif.
Gambar 6.2 Perbedaan CIGS dengan lapisan dasar aluminium dengan kaca
Secara garis besar, material penyusun sel surya jenis CIGS yang paling umum
sebagai berikut[2]:
a. Subtrat kaca yang umumnya berukuran 76x76x1,1 mm Corning 7059 glass,
yang sebelumnya dibersihkan dengan sonication dalam larutan air
Liquinox Soap Hot Deionized (HI).
b. Lapisan depan (SnO 2 F) yang dipasang dengan teknik Low Pressure
Chemical Vapor Deposition (LPCVD) pada tekanan total sebesar 60 torr dan
teperatur 550 °C. Lapisan ini teridiri dari lapisan SnO 2 F dengan tebal 0.45
µm dan i-SnO 2 dengan tebal 0.25 µm.
c. Lapisan ZnO dengan ukuran tebal 0.5 µm.
d. Lapisan CdS yang ditambahkan dengan teknik Chemical-Bath Deposition
(CBD) dengan ukuran 50 µm.
e. Lapisan CdTe dengan ukuran tebal sekitar 8-10 µm.
f. Lapisan Cu(In,Ga)Se 2 dengan ukuran 2 µm.
g. Lapisan Molybdenum dengan ukuran 0.5 µm.
h. Lapisan Verre dengan ukuran 2-5 μm.
Adapun metode produksi sel surya jenis ini yang dikenal sebagai proses offset
printing yang dikembangkan oleh Nanosolar, yaitu:
a. Aluminium foil yang berupa lembaran seperti pada percetakan koran
digulung dengan alat pencetak besar. Ukuran foil dengan panjang
beberapa mil dan lebar beberapa meter akan diputar, kemudian dicetak
oleh sebuah printer raksasa.
Prinsip kerja sel surya jenis CIGS yang memiliki lapisan dasar kaca
memanfaatkan lapisan Molybdenum yang bertindak sebagai elektroda efektif.
Lapisan ini menyimpan sinar yang melewati bagian belakang dan
memantulkan sinar yang tidak diserap menuju ke lapisan penyerap sinar (P-
type CIGS). Adapun untuk N-type CIGS memanfaatkan lapisan tipis
penyangga yang ditambahkan pada bagian atas lapisan penyerap sinar.
Lapisan penyangga ini berupa kadmium sulfida (CdS) yang dilapisi oleh
lapisan tipis aluminium yang didoping dengan lapisan instrinsic zinc oxide (i-
ZnO). Perpaduan lapisan ini akan berubah menjadi ZnO:Al yang berfungsi
untuk melindungi CdS dari kerusakan akibat dihasilkannya listrik DC.
Perpaduan lapisan ini akan mengalami reaksi oksidasi yang menyebabkan
adanya aliran elektron ketika sinar matahari diserap oleh sel surya jenis
CIGS. Arus listrik akan tetap dihasilkan walaupun tidak adanya cahaya
matahari yang mengenai sel surya. Ketika sel surya ini dipapar dengan
cahaya matahari yang mengandung foton, elektron akan berpindah semakin
cepat dan semakin banyak di antara lapisan temu tersebut dan menghasilkan
arus listrik yang lebih besar.
Pada tahun 2013, efisiensi sel surya jenis CIGS yang dikembangkan oleh
Centre for Solar Energy and Hydrogen Research Baden Württemberg (ZSW)[3]
sudah mencapai 20,8%. Sementara itu pada saat ini, biaya produksi sel surya
jenis CIGS ini telah mencapai $1,33/Wp dan pada tahun 2012 pangsa pasar
(market share) CIGS telah mencapai 2000 MW. Dengan mengefisiensikan
waktu dan biaya produksi, CIGS diharapkan mampu mendominasi
pemakaian sel surya di masa yang akan datang.
Gambar 6.9 Perbandingan sel surya tipe thin film berdasarkan pangsa pasar (market
share)
Untuk masa mendatang, CIGS diharapkan dapat bersaing dengan sel surya
jenis lain. Hal ini dapat dicapai dengan menaikkan efisiensi CIGS dengan
teknik produksi yang lebih baik, mengurangi pencemaran lingkungan
dengan minimalisasi penggunaan bahan beracun dan mengurangi biaya
produksi hingga $0,5/Wp. Ketika hal-hal tersebut dapat dicapai, maka
dengan sendirinya pangsa pasar (market share) CIGS akan meningkat dan
kemungkinan CIGS menjadi sel surya yang lebih sering dimanfaatkan akan
lebih tinggi dibandingkan dengan sel surya jenis lain.
Penelitian CdTe pertama kali dilakukan sekitar tahun 1950 karena hampir
sempurna untuk mendistribusikan foton pada spektrum surya dan
mengonversi secara optimal menjadi energi listrik[4]-[6]. Produksi pertama sel
CdS/CdTe pertama kali pada tahun 1960 oleh perusahaan General Electric
kemudian disusul oleh Kodak, Monosolar, Matsushita, dan AMETEK.
Profesor Ting L. Chu dari Universitas Florida Selatan berkontribusi dalam
meningkatkan efisiensi sel surya jenis CdTe di atas 15% pada tahun 1992. Hal
ini membuat sel surya jenis CdTe menjadi sel surya tipe thin film pertama
yang dapat mencapai tingkat ini yang kemudian diverifikasi oleh National
Renewable Energy Laboratory (NREL)[7].
CdTe merupakan sel surya yang paling dominan untuk tipe thin film, dengan
hampir 5% dunia memproduksi sel surya tipe ini dan hampir menguasai
lebih dari setengah penjualan tipe thin film di pasaran. Dengan kelebihan
Gambar 6.11 Proses penyerapan sinar matahari pada sel surya jenis CdTe
Perbandingan biaya listrik yang terdiri dari private cost, seperti biaya instalasi
dan semua biaya langsung untuk produksi sel surya jenis CdTe sedikit lebih
mahal dibandingkan biaya pembuatan sel surya dengan teknik
konvensional. Akan tetapi, dari segi environmetal cost sangat kecil
dibandingkan dengan sel surya jenis lain dan ramah lingkungan, bahkan
untuk biaya keseluruhan sel surya jenis CdTe merupakan yang paling
ekonomis.
Seperti jenis sel surya lain, sel surya jenis CdTe juga memiliki keuntungan
dan kerugian. Dengan memanfaatkan teknologi fotovoltaik, produksi sel
surya jenis CdTe hanya memakan biaya yang rendah dibandingkan dengan
jenis sel surya lain. Selain itu, sel surya jenis CdTe lebih mudah menyerap
sinar matahari dan lebih baik dari sel surya jenis lain karena mampu
menangkap
Gambar 6.13 Kelebihan dan kekurangan sel surya tipe CdTe (Sumber: BP Solar, 2009)
Sumber Gambar
http://www.advanced-energy.com/en/FAQ.html
http://science.howstuffworks.com/environmental/green-science/thin-film-
solar-cell2.htm
Sciencedaily. 2015 ”Finding a way to boost efficiency of CIGS sel suryas”.
(tersedia di
https://www.sciencedaily.com/releases/2015/09/150928103056.htm).
http://www.geni.org/globalenergy/library/technical-
articles/generation/solar/pv-tech.org/nanosolar-uneils-640mw-utility-
scale-panel-fab-high-efficiency-cigs-cell-production/index.shtml
http://energyinformative.org/best-thin-film-solar-panels-amorphous-
cadmium-telluride-cigs/
P. Sinha, M. de Wild-Scholten, A. Wade, and C. Breyer, ”Total Cost of
Electricity Pricing of Photovoltaics”, dipresentasikan pada EU PVSEC 2013
(tersedia di http://www.firstsolar.com/en/Technologies-and-Capabilities/PV-
Modules/First-Solar-Series-3-Black-Module/CdTe-Technology.aspx).
Setelah penemuan dan penggunaan jenis sel surya generasi pertama yaitu
jenis keping silikon dan jenis kedua yaitu lapisan tipis (thin film) berkembang,
para peneliti mencoba menemukan jenis lain yang berbeda dengan kedua
jenis sel surya tersebut. Pengembangan lebih lanjut dari teknologi sel surya
telah berkembang ke generasi ketiga yang disebut dengan dye-sensitized sel
suryas (DSSC). DSSC ini merupakan sel surya generasi ketiga yang diciptakan
manusia setelah sel surya berbasis silikon dan thin film. Jenis sel surya DSSC
berbeda dengan kedua tipe sel surya sebelumnya yang berbasis material
semikonduktor, tetapi jenis ketiga ini memanfaatkan eksitasi elektron dari
dyes ekstrak tumbuhan atau buah-buahan.
DSSC pertama kali dikenalkan oleh Profesor Michael Graetzel dan Dr. Brian
O’Regan pada tahun 1991 di École Polytechnique Fédérale de Lausanne (EPFL),
Swiss. Penemuan oleh Prof. Graetzel ini kemudian membuat sel jenis ini juga
dikenal sebagai Gräetzel cell (GCell)[1]. DSSC merupakan sel surya yang lebih
canggih yang dibuat manusia dengan basis kerja menyerupai proses
fotosintesis yang menyerap sinar matahari untuk menghasilkan energi. Pada
fotosintesis, proses dimulai dengan adanya transfer foton ke dyes tumbuhan
yang menghasilkan eksitasi elektron dan selanjutnya diteruskan dengan
mengalirnya eksitasi elektron tersebut melalui saluran pigmen di daun yang
pada akhirnya menghasilkan karbohidrat dan glukosa.
Adapun pada DSSC, foton yang diterima oleh ekstrak tumbuhan dyes akan
mengeksitasi elektron yang selanjutnya dialirkan ke conducting glass (ITO)
melalui saluran TiO 2 . Oleh sebab itu, sesungguhnya TiO 2 berperan ganda
sebagai tempat bersarangnya ekstrak dye tumbuhan, juga sebagai saluran
mengalirnya elektron yang tereksitasi dari dyes tumbuhan. Dengan
menggunakan rangkaian luar yang menghubungkan antara conducting glass
dan counter electrode, akan dihasilkan arus listrik.
Tabel 7.1 Perbandingan Parameter Subsistem dalam Gratzel Sel Surya dan Fotosintesis
Kinerja sel surya tipe DSSC yang tinggi membutuhkan material yang
memiliki hambatan kecil dan transparan, seperti indium tin oxide (In 2 O 2 atau
ITO) dan fluorine-doped tin oxide (SnO 2 :F), sedangkan untuk bahan
semikonduktor yang digunakan harus memiliki kestabilan dalam
menghindari photo-corrosion pada band gap dan memiliki band gap yang besar,
yaitu lebih dari 3 eV untuk solar spectrum yang besar, seperti TiO 2 , ZnO, CdS,
WO 3 , Fe 2 O 3 , SnO 2 , Nb 2 O 5 , dan Ta 2 O 5 . Untuk dye yang sering digunakan,
berasal dari trinuclear Ru, N3, dan Black[3].
Lapisan elektrolit yang terdiri dari iodine (I-) dan triiodide (I 3 -) berfungsi
sebagai pasangan redoks serta dilengkapi dengan solvent yang berfungsi
Prinsip kerja DSSC dimulai dengan sinar matahari yang menembus elektroda
transparan menuju lapisan dye yang menyebabkan eksitasi elektron dan
mengalir ke TiO 2 . Dye harus mampu menyerap sinar matahari dengan
panjang gelombang hingga 950 nm dengan besaran energi eksitasi berada
pada 1.35 eV dan tingkat energi yang dimiliki elektron minimal 0.2 V di atas
TiO 2 sehingga elektron dapat masuk ke dalam conduction band dengan energi
yang efisien. Elektron yang masuk ke dalam TiO 2 bukan berdasarkan proses
induksi medan listrik seperti pada tipe kristalin, melainkan melalui kinetik
pada dye yang melindungi antara permukaan semikonduktor dan elektrolit.
Kemudian dilanjutkan dengan mengalirnya elektron ke counter-electrode
(katoda) melalui jaringan luar dan terjadi proses regenerasi redoks (reduksi).
Proses regenerasi pada katoda ditandai dengan adanya proses reduksi
molekul triiodide dengan elektron yang berpindah melalui beban eksternal.
Posisi elektron yang ditinggalkan pada dye akan digantikan oleh elektron
yang dihasilkan dari elektrolit melalui proses oksidasi dari ion iodine. Proses
reduksi dan oksidasi ini akan menghasilkan perbedaan antara level Fermi
dan beda potensial reaksi redoks pada elektrolit.
Dye yang digunakan dalam DSSC yang sangat efisien harus memenuhi
beberapa persyaratan, antara lain harus memiliki spektrum absorpsi pada
rongga lapisan TiO 2 yang berukuran nano, level energi pada kondisi
ground/tereksitasi, laju konstan dari injeksi/rekombinasi, dan stabilitas.
Konsentrasi dye di dalam rongga elektroda TiO 2 yang berukuran nano dan
koefisien absorpsi menentukan bagian cahaya yang dapat terserap di lapisan
dengan ketebalan tertentu. Oleh karena itu, dye harus memiliki koefisien
absorpsi yang tinggi dan afinitas tinggi dengan TiO 2 untuk memastikan
lapisan permukaan yang rapat.
Prinsip kerja antara sel surya jenis DSSC dan sel surya tipe P-N Junction
terdapat perbedaan dalam hal penyerapan dan charge transport, charge
separation, serta ikatan antara elektron dan hole. Pada P-N junction, material
yang terlibat adalah material yang sama. Sementara itu pada DSSC, foton
diserap oleh dye dan charge transport oleh TiO 2 (transfer elektron) dan
elektrolit (transfer ion). Pada P-N junction, charge separation dihasilkan
melalui medan listik antar-junction. Selain itu, ikatan antara elektron dan hole
sangat lemah, sedangkan untuk DSSC dihasilkan dari proses kinetik dan
perbedaan energi serta ikatan antarelektronnya sangat kuat.
Berdasarkan grafik berikut dapat dilihat bahwa puncak absorpsi terjadi pada
540 nm dan meluas pada TiO 2 dibandingkan dengan larutan,
mengindikasikan terjadi ikatan elektronik yang kuat antara dye dan TiO 2.
Pada panjang gelombang yang lebih tinggi, absorpsi turun secara signifikan
sehingga spektrum matahari yang penting hilang.
Dengan nilai 𝛼𝛼 2.104 1/M.cm dan C dye ≈ 1/10 M, ini menunjukkan bahwa
ketebalan dari elektroda harus sebesar 5 µm untuk dapat menyerap 90%
cahaya masuk. Maksimum efisiensi konversi dapat dihasilkan menggunakan
absorber dengan band gap antara 1.1 dan 1.4 eV, yang mengacu pada panjang
gelombang antara 900 dan 1100 nm. Pada saat ini, belum ada dye pada DSSC
yang dapat menyerap pada spektrum tersebut. Hal ini merupakan salah satu
alasan efisiensi DSSC lebih rendah jika dibandingkan dengan panel surya
silikon, sedangkan untuk pengisian injeksi berlangsung dari orbit π*- grup
anchor (carboxylic atau phosponic acid) ke orbit titanium 3d-. Injeksi elektron
dari dye ke TiO 2 umumnya berlangsung dalam waktu femto-pico second dan
pengisian rekombinasi dalam mikro-mili second. Spektokropi penyerapan
laser transien digunakan untuk mengukur waktu yang sangat cepat serta
pada umumnya dye tereksitasi dapat terlihat dan absorbpsi counter-electrode
(mid-IR) atau dye teroksidasi dipantau menggunakan probe pulsa. Syarat
utama untuk pengisian injeksi yang efisien adalah reaksi kembali dari
Level energi dari molekul dye yang tereksitasi harus 0.2-0.3 eV di atas band
konduksi dari TiO 2 untuk memastikan pengisian injeksi secara efisien.
Dalam kasus ini, energi aktivasi untuk reaksi kembali, reduksi dari sensitizer
yang teroksidasi oleh counter electrode adalah tinggi, lajunya konstan, dan
terlalu pelan untuk berkompetisi dengan regenerasi oleh elektrolit. Potensial
oksidasi dari kondisi tereksitasi 𝜙𝜙 0 D+/D* dapat diperkirakan dari 𝜙𝜙 0 D+/D dari
P P
kondisi ground dan energi eksitasi E 0-0 sesuai dengan persamaan sebagai
berikut.
0 0 𝐸𝐸0−0
𝜙𝜙𝐷𝐷+ / 𝐷𝐷∗ = 𝜙𝜙𝐷𝐷+/𝐷𝐷 − (7.2)
𝐹𝐹
di mana:
0
𝜙𝜙𝐷𝐷+ / 𝐷𝐷∗ = Potensial oksidasi dari kondisi tereksitasi (V)
0
𝜙𝜙𝐷𝐷+ / 𝐷𝐷 = Potensial oksidadi dari kondisi ground (V)
𝐸𝐸0−0 = Energi Eksitasi (J)
𝐹𝐹 = Konstanta Faraday (Q/mol)
Kelebihan Kekurangan
Ramah lingkungan dan tidak menghasilkan Efisiensi rendah apabila dibandingkan
emisi dengan sel surya semikonduktor tradisional
Harga material murah dan pengolahannya Dye akan berkurang seiring dengan
mudah teknologi DSSC menggunakan cairan
elektrolit yang memiliki masalah
kestabilan temperatur
Dapat bekerja pada kondisi cahaya rendah, Harus berhati-hati dalam penyegelan
nilai cut off rendah sehingga karena mengandung pelarut organik yang
dipertimbangkan untuk digunakan dalam mudah menguap
ruangan
Memancarkan kalor jauh lebih mudah dan
beroperasi pada suhu internal yang lebih
rendah karena dibuat hanya dari lapisan
tipis plastik konduktif
Sumber Gambar
http://www.sigmaaldrich.com/technical-documents/articles/material-
matters/efficient-dye-sensitized.html
http://dcwww.epfl.ch/icp/ICP-2/SolarCellE.html
Michael Grätzel. 2003. ”Dye-sensitized sel suryas”. Volume 4, Issue 2, 31
October 2003, Pages 145–153. Journal of Photochemistry and Photobiology C:
Photochemistry Reviews
Dalam proses pembuatan dan berbagai jenis tipenya, sel surya akan
menghasilkan performansi yang berbeda-beda sehingga kapasitas
pembangkitannya juga berbeda-beda. Untuk memastikan sel surya yang
dilempar ke pasar memiliki kualitas yang baik dan pada akhirnya daya
keluarannya sesuai dengan yang diharapkan, terdapat beberapa proses
pengujian dan testing yang perlu dilakukan sehingga konsumen pada
akhirnya bisa mendapatkan kualitas sel surya sesuai dengan yang
diharapkan. Efesiensi merupakan parameter yang digunakan untuk
membandingkan kinerja sel surya yang satu dengan yang lain, baik dari segi
material dasar maupun yang lain. Untuk sel surya, efisiensi dapat diukur,
baik untuk sel, panel atau modul (rangkaian sel yang tersusun dalam satu
frame), maupun setelah sel surya tersebut dirangkai menjadi beberapa panel
atau yang disebut dengan sistem pembangkit listrik sel surya. Untuk
mendapatkan hasil yang terpercaya, sel surya diukur menggunakan simulasi
matahari (solar simulator) standar dengan penerangan sumber cahaya yang
terkalibrasi. Secara umum, efisiensi sel surya diformulasikan dengan
persamaan berikut:
𝑃𝑃𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚
𝜂𝜂 = (8.1)
𝑃𝑃𝑖𝑖𝑖𝑖
di mana :
η = efisiensi sel surya
P max = daya maksimum (energi yang dihasilkan sel surya)
P in = daya masukan (energi yang diterima sel surya)
Dalam pengukuran sel surya, terdapat lima parameter utama yang harus
diperhitungkan, yaitu Short Circuit Current (I sc ), Open Circuit, Voltage (V oc ), Fill
Factor (FF) , Incident Radiation Flux (IRF) , dan Collectors Area (A c ). Short Circuit
Current (I sc ) adalah arus yang mengalir pada sel surya saat beda potensial
atau voltase pada sel surya tersebut adalah nol. I sc dihasilkan pada saat
membuat koneksi pendek pada sel surya. Besar kecilnya I sc ditentukan oleh
beberapa faktor, yaitu luas area sel surya, jumlah foton yang diterima,
spektrum cahaya yang mengenai sel surya, properti optik, dan collection
probability. Sel surya silikon dengan spektrum cahaya kurang dari 1.5 AM
Gambar 8.1 Tipikal grafik hubungan arus tegangan (I-V) pada pengujian sel surya
Incident radiation flux adalah jumlah energi sinar matahari yang mengenai
permukaan bumi. IRF yang dipergunakan untuk Kondisi Tes Standar (STC)
adalah 1000 W/m2, sedangkan collector’s area adalah luas area dari sel surya
yang diuji. Dari parameter-parameter tersebut, rumus untuk menghitung
efisiensi sel surya adalah sebagai berikut:
Gambar 8.2 Diagram struktur kondisi standar pengujian (standard testing condition )
Ilustrasi skema pengukuran tahanan dengan metode four point probe dapat
dilihat pada Gambar 8.3. Selain menggunakan alat four point probe untuk
mengukur tahanan, pengujian sel surya juga menggunakan alat solar
simulator. Solar simulator adalah alat yang menghasilkan berbagai besaran
iluminasi sebagai pengganti sinar matahari yang sebenarnya pada proses
pengujian. Tujuan solar simulator adalah untuk mengetahui atau menguji
peralatan surya dalam kondisi terkontrol di laboratorium. Peralatan yang
biasa diuji adalah panel surya jenis sel, panel, atau beberapa panel, dan
beberapa peralatan lainnya. Untuk uji panel surya standar, alat yang
digunakan adalah IEC 60904-9 edisi 2 dan ASTM E-927-10.
Sinar matahari yang dapat dikendalikan ada tiga jenis, yaitu jenis spektral
(spectral content), jenis keseragaman spasial (spatial uniformity), dan jenis
Selain bahan semikonduktor, sel surya terdiri dari grid berupa logam atau
kontak listrik lainnya untuk mengumpulkan elektron dari semikonduktor
dan mentransfernya ke beban eksternal, serta kembali ke lapisan kontak
untuk menyelesaikan sirkuit listrik.
Pustaka
[1] TU Delft. ET3034TU: ”Sel suryas”. Slide Presentasi Kuliah. (tersedia di
http://aerostudents.com/files/solarCells/solarCellsSummary.pdf).
[2] Todd J. Kaiser. Lecture 11: ”Sel surya Parameters”. Lecture Note.
EELE408 Photovoltaics, Department of Electrical and Computer
Engineering, Montana State University - Bozeman (tersedia di
http://www.montana.edu/tjkaiser/ee408/notes/EELE408PV%2011%20Sol
arCellParameters.pdf).
[3] PV Education. 2016. ”Sel surya Operation”. (tersedia di
http://www.pveducation.org/pvcdrom/solar-cell-operation/open-circuit-
voltage).
[4] PV Education. 2016. ”Measurement of Sel surya Efficiency”. (tersedia di
http://www.pveducation.org/pvcdrom/characterisation/measurement-
of-solar-cell-efficiency).
Sumber Gambar
http://www.pveducation.org/pvcdrom/characterisation/measurement-of-solar-
cell-efficiency
http://pvcdrom.pveducation.org/CHARACT/4pp.HTM
Pada dasarnya, prinsip kerja semua jenis panel surya sama, yaitu berawal
dari terjadinya efek fotovoltaik yang ditandai dengan foton yang berada di
dalam sinar matahari akan mengenai panel surya dan diserap oleh lapisan
material semikonduktor. Kemudian, elektron yang terpisah dari inti atom
akan bergerak melalui material tersebut sehingga menghasilkan arus listrik.
Elektron bergerak hanya melewati satu arah yang sudah ditentukan. Arus
listrik yang sudah dihasilkan diubah menjadi bentuk direct current (DC),
kemudian diubah oleh inverter menjadi alternating current (AC) sehingga
dapat digunakan oleh alat-alat listrik lain yang memang memiliki arus
bolak-balik.
Sistem on grid juga digunakan pada pembangkit listrik PV yang besar, seperti
solar farm atau solar park yang berperan sebagai independent power plant (IPP).
Sementara itu, sistem off grid biasanya dipasang pada PV yang ada di daerah-
daerah terpencil sebagai pembangkit listrik tunggal karena memang di
daerah tersebut belum memiliki jaringan listrik.
Sistem on grid tidak memakai baterai atau aki sebagai penyimpan listrik yang
dihasilkan, tetapi listrik dari PV langsung digunakan, sedangkan sistem off
grid menggunakan baterai atau aki sebagai sarana penyimpan energi yang
dihasilkan sehingga pada malam hari listrik yang disimpan itu dapat
digunakan, misalnya sebagai lampu penerang. Sistem off grid juga biasa
dipasang pada lampu penerang atau lampu taman.
Peralatan yang digunakan untuk skala kecil dan off grid biasanya mencakup
panel surya, kontroler, baterai, dan inverter. Baterai merupakan alat untuk
menyimpan energi listrik. Pada beberapa kondisi, energi bisa disimpan
dalam berbagai keadaan, misalnya untuk menyalakan pompa air pada siang
Gambar 9.3 Skema instalasi solar PV system. Jika tersambung pada jaringan (grid), maka
baterai dapat dihilangkan
di mana:
Pt = total daya (Watt)
P = daya pada setiap peralatan listrik (Watt)
Qty = jumlah peralatan listrik (quantity)
Sementara itu untuk menghitung total konsumsi listrik atau total konsumsi
energi per hari, bisa dihitung menggunakan persamaan 9.2. Selanjutnya,
contoh detail perhitungan untuk seluruh kebutuhan dapat dilihat pada Tabel
9.1.
di mana:
Et = total konsumsi energi listrik per hari (Watt.hours)
Pt = total daya (Watt)
h = waktu penggunaan per hari (hours)
Salah satu aplikasi sel surya (solar cell) yang menarik perhatian banyak
orang saat ini adalah penyediaan listrik menggunakan sel surya (on grid).
Listrik yang dihasilkan oleh sel surya selanjutnya dijual kepada penyedia
listrik, yaitu Perusahaan Listrik Negara (PLN). Karena banyaknya sel surya
yang diinstal dalam sau area dengan luas yang besar, maka instalasi seperti
ini sering juga disebut dengan istilah solar park atau solar farm. Dalam
aplikasi ini, listrik yang dihasilkan tidak langsung digunakan pada beban,
tetapi akan bersatu bersama-sama dengan pembangkit lain yang dimiliki
oleh PLN. Dengan model ini, tentu tidak dibutuhkan baterai untuk
penyimpanan listrik yang dihasilkan oleh sel surya, tetapi listrik langsung
disalurkan ke jala-jala PLN (grid). Karena listrik langsung dialirkan ke jala-
jala, maka tidak diperlukan baterai sebagai penyimpan daya yang
dihasilkan oleh sel surya. Oleh karena itu, harga instalasi dan listrik yang
dihasilkan dapat lebih rendah daripada sistem off grid atau stand alone,
yakni jika sel surya murni sebagai pembangkit listrik yang langsung
dipakai oleh penggunanya.
Adapun sistem on grid dikenal dengan feed in tarrif (FIT) atau bisa juga
disebut sebagai independent power producer/provider (IPP). Saat ini hampir di
banyak negara telah memiliki regulasi untuk sistem sel surya sebagai
pembangkit listrik, tidak terkecuali Indonesia. Skema FIT atau IPP jelas
cukup menarik banyak investor untuk dapat memasang sel surya dan
menjualnya kepada PLN jika harga yang diberikan menarik.
Sebelum masuk skema bisnis IPP dengan sel surya, maka perlu diketahui
kebutuhan apa saja dan berapa perkiraan biaya yang dibutuhkan untuk
menginstal sel surya sebagai IPP. Karena skema ini mengharapkan harga
produksi listrik yang rendah agar memberikan keuntungan bagi
pengelolanya, biasanya semakin besar kapasitas akan semakin baik. Oleh
karena itu, instalasi akan menyulitkan untuk menjual listrik kepada PLN
karena listrik yang dihasilakn akan mahal. Biasanya skala keekonomian
Tabel 9.3 Perhitungan Inventasi Solar Power Plant 1MW IPP Project
No. Item Spek Brand Jumlah Unit Harga/Unit Total Harga
1. PV Module 1 lot
Total A1 Rp 8,170,456,000
Total B1 Rp 2,769,329,200
C. INSTALASI KABEL
PV - String
1. 34 Lot Rp 1,250,000 Rp 42,500,000
Inverter + Acc
String Inverter -
2. AC Combiner Box 34 Unit Rp 24,600,000 Rp 836,400,000
+ Acc
AC Comb. -
Switchgear -
3. 1 Lot Rp 7,300,000 Rp 7,300,000
Trafo -
Switchgear + Acc
Monitoring room
4. 5000 m Rp 55,000 Rp 275,000,000
- grid + Acc
PV Grounding +
5. 196 Lot Rp 160,000 Rp 31,360,000
Acc
Total B1 Rp 1,551,984,000
Feasibility
a. 1 Lot Rp 200,000,000 Rp 200,000,000
Studies
Design System
b. 1 Lot Rp 350,000,000 Rp 350,000,000
Cost
1. Pekerjaan Civil
- Site Clearing +
8149.68 m2 Rp 45,000 Rp 366,735,600
Alat berat
- Pondasi PV
1 lot Rp 13,440,000 Rp 13,440,000
Structure
- Monitoring
1 lot Rp 2,880,000 Rp 2,880,000
Room
- Jalur Wiring 1 lot Rp 25,200,000 Rp 25,200,000
Pekerjaan
2.
Mekanikal
- Pasang PV
Structure + Alat 1 Lot Rp 18,400,000 Rp 18,400,000
Berat
- Mounting
1 Lot Rp 480,000 Rp 480,000
String Inverter
- Pasang Ducting
1 Lot Rp 2,880,000 Rp 2,880,000
Kabel
- Mounting Trafo
1 Lot Rp 10,680,000 Rp 10,680,000
+ Alat Berat
- Mounting
Switchgear + 1 Lot Rp 10,680,000 Rp 10,680,000
Alat Berat
- Mounting AC
1 Lot Rp 1,680,000 Rp 1,680,000
Combiner Box
- Transmisi ke
1 Lot Rp 12,360,000 Rp 12,360,000
Grid + Alat Berat
Pekerjaan
3.
Instalasi
- Wiring PV -
1 Lot Rp 5,760,000 Rp 5,760,000
String Inverter
- Wiring String
Inverter - AC 1 Lot Rp 10,080,000 Rp 10,080,000
Combiner
- Wiring AC
Combiner Box -
1 Lot Rp 2,880,000 Rp 2,880,000
Switchgear -
Trafo - Grid
Pekerjaan
4. Pembuatan 1 Lot Rp 3,840,000 Rp 3,840,000
Grounding
5. Commissioning 1 Lot Rp 10,000,000 Rp 10,000,000
Total D1 Rp 1,547,975,600
E. PACKING + DELIVERY
Total E1 Rp 1,067,515,000
Kapasitas PV/Module Wp
250
Jumlah total PV modules
4,116
Jumlah total kapasitas PV Wp
1,029,000
Kota Kupang Gaisma
Investasi Rp
16,617,985,780
Kisaran BEP tahun
5.40
Gambar 10.1 Sistem instalasi PV terkoneksi listrik PLN tanpa backup baterai
Gambar 10.2 Sistem instalasi PV terkoneksi listrik PLN menggunakan backup baterai
2. Sistem instalasi sel surya yang tidak terkoneksi dengan sistem jaringan
listrik (PLN) atau disebut off grid.
Pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) off grid biasanya diterapkan untuk
tempat yang tidak terjangkau oleh jaringan listrik PLN. Terdapat dua tipe
PLTS off grid, yaitu :
Lampiran 101
• IEC/TS 62257-2, Recommendation for small renewable energy and hybrid
system for rural electrification -Part 2: From requirements to a range of
electrification systems.
• IEC/TS 62257-4, Recommendation for small renewable energy and hybrid
system for rural electrification -Part 4: System selection and design.
• IEC/TS 62257-7-1 : 2010, Recommendations for small renewable energy
and hybrid systems for rural electrification - Part 7-1: Generators -
Photovoltaic generators.
• IEC 60364-7-712 : 2002, Electrical installations of buildings -Part 7-712:
Requirements for special installations or locations -Solar photovoltaic
(PV) power supply systems.
• IEC 60439-3 : 2001, Low-voltage switchgear and controlgear assemblies -
Part 3: Particular requirements for Low-voltage switchgear and
controlgear assemblies intended to be installed in places where unskilled
persons have access for their use - Distribution boards.
• IEC 60529 : 2001, Degrees of protection provided by enclosure (IP Code).
• IEC 60664-1 : 2007, Insulation coordination for equipment within low-
voltage systems -Part 1: Principles, requirements and tests.
• IEC 60950-22 : 2005, Information technology equipment-Safety- Part 22:
Equipment to be installed outdoors.
• IEC 61000-4-5 : 2005, Electromagnetic compatibility (EMC) -Part 4-5:
Testing and measurement techniques -Surge immunity test.
• IEC 61215 : 2005, Crystalline silicon terrestrial photovoltaic (PV) modules
-Design qualification and type approval.
• IEC 61439-1 : 2009, Low-voltage switchgear and controlgear assemblies -
Part 1: General rules.
• IEC61587-1 : 2007, Mechanical structures for electronic equipment -Tests
for IEC 60917 and IEC 60297 -Part 1: Climatic, mechanical tests and safety
aspects for cabinets, racks, subracks and chassis.
• IEC61646 : 2005, Thin-Film terrestrial photovoltaic (PV) modules - Design
qualification and type approval.
• IEC61969-3 : 2001, Mechanical structures for electronic equipment -
Outdoor enclosures.
• IEC 62109-1 : 2010,Safety of power converters for use in photovoltaic
power systems -Part 1 General.
Batteries
• IEC61427-1: Secondary cells and batteries for renewable energy storage -
General requirements and methods of test - Part 1: Photovoltaic off-grid
application.
• IEC 61427-2 Ed. 1.0. Secondary cells and batteries for Renewable Energy
Storage - General Requirements and methods of test -Part 2: On-grid
application
Lampiran 103
Indeks
A
Conduction band, 70
Actinograph, 29
Counter electrode, 68, 73
Actinometer, 30
Czochralski, 43-44
Alternating current, 84, 91
D
Amorphous, 3, 7, 11, 38, 51
Daya maksimum, 77
Ampacity, 96
Daya masukan, 77
Anchor, 72-73
Direct current, 84, 91
Array, 49, 90-91, 93, 95-96
DSSC, 39-41, 67-75
B
Dye, 7-8, 38-40, 67-74
Band gap, 69, 72
E
Bandwidth, 81
Efek fotoelektrik, 35
Baterai, 75, 85-86, 90-93, 96
Efisiensi sel surya, 7-8, 42, 61, 63,
C 77, 78
Charge transport, 71 F
Conducting glass, 68 Foton, 17-18, 24, 27, 35, 60, 63, 77, 84
G Monocrystalline, 42
Graetzel cell, 8 N
H O
J Photo-corrosion, 69
Junction, 11, 35, 38-39, 46, 48, 71, 81 Photovoltaic, 2, 34-35, 37, 62
K Pita silikon, 7
M Pyrgeometer, 30
Mesoporous, 68
Inde x 105
R T
Revolusi, 21
S Vacuum chamber, 59
Solarimeter, 29
Solar park, 85
Solar spectrum, 69
Sorted-cell, 60
Spatial uniformity, 80
Spectral content, 80
Spektrum air-mass, 79