You are on page 1of 116

Memanen Energi Matahari

Memanen Energi Matahari

Brian Yuliarto
Cetakan 1, 2017

Hak Cipta dilindungi undang-undang


All Rights Reserved
@Penerbit ITB, 2017

Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau


seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit ITB

Penulis : Brian Yuliarto


Penyunting Bahasa : Edi Warsidi
Penyunting Isi : Ayuning Fauziah dan Ganis Sanhaji
Pendesain Jilid : Anggoro

Hak cipta pada Penerbit ITB, 2017


Data katalog dalam terbitan
YULIARTO, Brian
Memanen Energi Matahari oleh Brian Yuliarto. ― Bandung.
Penerbit ITB, 2017
8a,100., 25 cm

ISBN 978-602-7861-91-6

Penerbit ITB, Jalan Ganesa 10 Bandung,


Anggota Ikapi No. 043/JBA (1)
Telp.: 022-2504257, Faks: 022-2534155
email:itbpress@penerbit.itb.ac.id
Isi
Isi 5a
Prakata 7a

1 Pendahuluan 1
Sejarah Sel Surya 2
Cara Kerja Sel Surya 3
Efisiensi Sel Surya 5
Jenis-jenis Sel Surya 5
Perkembangan Terkini Teknologi Sel Surya 8
Pustaka 12
2 Mengenal Matahari 14
Pustaka 20
Sumber Gambar 22
3 Teori Radiasi dan Energi Matahari 23
Pustaka 32
Sumber Gambar 33
4 Teori PV Sel Surya 34
Silikon 35
Thin Film 37
DSSC 39
Pustaka 41
Sumber Gambar 41
5 Silikon Kristalin Solar PV 42
Silikon Kristal Tunggal 42
Silikon Polikristalin 45
Industri Silikon Kristalin Solar PV 51
Pustaka 54
Sumber Gambar 55
6 Thin Film Sel Surya 56

Daftar Isi 5a
Cooper Indium Gallium Selenide (CIGS) 56
Cadmium Telluride (CdTe) 62
Pustaka 65
Sumber Gambar 66
7 Sel Surya Dye Sensitized 67
Pustaka 75
Sumber Gambar 76
8 Pengujian Sel Surya 77
Pustaka 83
Sumber Gambar 83
9 Instalasi Sel Surya 84
10 Standar Instalasi Sel Surya 94
Lampiran 101
Biografi Penulis

6a Brian, Memanen Energi Matahari


Prakata
Buku ini merupakan kumpulan tulisan mengenai salah satu
pembangkit energi terbarukan, yaitu solar photovoltaic (sel
surya). Sebagai salah satu pembangkit listrik terbarukan, sel
surya dapat mengonversi energi matahari menjadi energi listrik.
Dengan sumber energi yang berasal dari matahari yang
sangat banyak jumlahnya, keinginan untuk menggunakan sel
surya menjadi sangat tinggi.
Banyak negara maju yang mulai menggunakan sel surya untuk
berbagai keperluan, seperti lampu penerang jalan, penghasil
listrik di rumah dan di gedung/Building Integrated Photovoltaic
(BIPV) ataupun pembangkit listrik berskala menengah dan
besar yang dikenal dengan taman surya/kebun surya (solar
park/solar farm). Berbagai penggunaan sel surya menunjukkan
begitu antusiasnya negara-negara maju menggunakan sel surya
ini.
Dari waktu ke waktu, jumlah sel surya yang diinstal juga
semakin meningkat, sementara harga per watt peak-nya justru
semakin turun. Fenomena ini menunjukkan bahwa sel surya
merupakan sumber energi masa depan yang sangat menjanjikan.
Melalui buku ini, penulis membahas seluruh aspek sel surya dari
energi yang dibangkitkan pada matahari, mekanisme
pembangkitan listrik pada sel surya, pembuatan sel surya, jenis-
jenis sel surya, hingga berbagai instalasi sel surya.

Buku ini disarikan dari berbagai tulisan penulis tentang sel


surya, tugas-tugas pada mata kuliah Konversi Energi di Teknik
Fisika ITB atau tugas-tugas dan bahan kuliah pada mata kuliah
Sel Surya di Program Magister Teknik Mesin ITB. Kedua mata
kuliah tersebut merupakan mata kuliah yang pernah dan
sedang diampu oleh penulis. Pengembangan modul atau tugas
yang diberikan kepada penulis pada kedua mata kuliah
tersebut sangat membantu dalam penyusunan buku ini.
Beberapa bagian dari buku ini juga diambil dari tulisan
tentang sel surya yang sebelumya pernah dipublikasikan oleh
penulis, baik di situs web (website) maupun buku mengenai
energi. Tentu berbagai tulisan yang pernah dipublikasikan
tersebut telah dimodifikasi dan diperbarui dengan data terkini.

Prakata 7a
Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada
semua pihak atas partisipasi dan bantuan, terutama peserta mata
kuliah Sel Surya di Teknik Mesin yang sangat membantu
penyelesaian buku ini. Secara khusus, penulis juga mengucapkan
terima kasih kepada mahasiswa Teknik Fisika, Ayuning Fauziah
dan Ganis Sanhaji yang telah melakukan editing isi sebelum buku
ini dicetak. Terakhir, penulis juga mengucapkan terima kasih
kepada Penerbit ITB yang telah melakukan pencetakan sehingga
buku ini dapat sampai ke tangan pembaca dengan lebih baik.

Semoga kehadiran buku ini dapat menambah pengetahuan


masyarakat terhadap sel surya dan membantu para pengambil
keputusan untuk lebih tepat dalam mengambil kebijakan tentang
energi terbarukan.

Bandung, 1 April 2017

Penulis
Brian Yuliarto

8a Brian, Memanen Energi Matahari


1 Pendahuluan

Jika kita melihat tingkat konsumsi energi di seluruh dunia saat ini,
penggunaan energi diprediksi akan meningkat sebesar 70% antara tahun
2000 dan 2030. Sumber energi yang berasal dari fosil, yang saat ini
menyumbang 87,7% dari total kebutuhan energi dunia, diperkirakan akan
mengalami penurunan cadangannya karena ada kecenderungan tidak lagi
ditemukannya cadangan baru [1]. Cadangan sumber energi yang berasal dari
fosil di seluruh dunia diperkirakan hanya akan bertahan sampai 40 tahun
untuk minyak bumi, 60 tahun untuk gas alam, dan 200 tahun untuk batu
bara [2]. Meskipun saat ini terdapat kecenderungan konsumsi energi menjadi
stagnan karena berbagai krisis yang terjadi, tren peningkatan konsumsi
energi diperkirakan akan terus terjadi. Gambaran konsumsi energi di tahun
2004 meningkat sebesar 4,3% per tahun, di tahun 2013 turun menjadi 2,1%
per tahun, dan di tahun 2014 bahkan hanya meningkat 0,8% per tahun[3].
Kondisi keterbatasan sumber energi di tengah semakin meningkatnya
kebutuhan energi dunia dari tahun ke tahun serta tuntutan untuk
melindungi bumi dari pemanasan global dan polusi lingkungan, membuat
keinginan untuk segera mewujudkan teknologi untuk bagi sumber energi
terbarukan menjadi semakin tinggi. Di antara sumber energi terbarukan yang
saat ini banyak dikembangkan, antara lain turbin angin, tenaga air (hydro
power), energi gelombang air laut, tenaga surya, tenaga panas bumi, tenaga
hidrogen, dan bioenergi.
Tenaga surya atau sel surya merupakan salah satu sumber energi yang cukup
menjanjikan. Energi yang dikeluarkan oleh sinar matahari sebenarnya hanya
diterima oleh permukaan bumi sebesar 69% dari total energi pancaran
matahari, seperti terlihat pada Gambar 1.1 [4]. Suplai energi surya dari sinar
matahari yang diterima oleh permukaan bumi sangat luar biasa besarnya,
yaitu mencapai 3 × 1024 joule per tahun, energi ini setara dengan 2 × 1017
watt [4]. Jumlah energi sebesar itu setara dengan 10.000 kali konsumsi energi
di seluruh dunia saat ini. Dengan kata lain, dengan menutup 0,1% saja
permukaan bumi dengan divais sel surya yang memiliki efisiensi 10% sudah
bisa didapatkan energi yang sama dengan konsumsi energi di seluruh
dunia[6]. Bagian ini akan memberikan gambaran awal perkembangan

Pendahuluan 1
Gambar 1.1 Komposisi sinar matahari yang dipancarkan: Diserap sebesar 69% dan
dipantulkan kembali sebesar 31% (6]

teknologi sel surya sebagai salah satu teknologi yang diharapkan akan
berperan penting dalam mengatasi permasalahan energi dunia di masa
datang.

Sejarah Sel Surya


Alat pengonversi energi surya atau dalam dunia internasional lebih dikenal
sebagai sel surya atau photovoltaic cell, merupakan sebuah divais
semikonduktor yang memiliki permukaan luas dan terdiri dari rangkaian
dioda tipe p dan n, yang mampu mengubah energi sinar matahari menjadi
energi listrik. Oleh karena itu, bidang penelitian yang berkenaan dengan
energi surya ini sering juga dikenal dengan penelitian photovoltaic. Kata
photovoltaic sendiri sebenarnya berasal dari bahasa Yunani, photos yang
berarti cahaya dan Volta yang merupakan nama ahli fisika dari Italia yang
menemukan tegangan listrik. Dengan demikian, secara bahasa photovoltaic
dapat diartikan sebagai cahaya untuk listrik [7].
Pada tahun 1839, seorang ahli fisika berkebangsaan Perancis, Alexandre
Edmond Becquesrel berhasil mengidentifikasi efek photovoltaic untuk
pertama kalinya. Atas prestasinya dalam menemukan fenomena photovoltaic
ini, Becquerel mendapat Nobel Fisika pada tahun 1903 bersama dengan
Pierre dan Marrie Currie [8]. Meskipun demikian, baru pada tahun 1883
Charles Fritts untuk pertama kalinya berhasil membuat divais sel surya.
Charles Fritts saat itu membuat semikonduktor selenium yang dilapisi
dengan lapisan emas yang sangat tipis sehingga membentuk rangkaian
seperti hubungan semikonduktor tipe p dan tipe n. Pada saat itu, efisiensi

2 Brian, Memanen Energi Matahari


yang didapat baru sekitar 1%. Pada perkembangan berikutnya, seorang
peneliti bernama Russel Ohl dikenal sebagai orang pertama yang membuat
paten tentang divais sel surya modern.

Cara Kerja Sel Surya


Meskipun cara kerja sel surya tidak persis sama untuk setiap jenisnya, dasar
kerja sel surya dapat dijelaskan dari cara kerja sel surya silikon kristal
tunggal. Silikon merupakan material yang berada dalam grup 14
berdasarkan jumlah atom yang dimilikinya. Hal ini berarti setiap atom
silikon memiliki 4 elektron valensi pada lapisan terluarnya. Atom-atom
silikon dapat berikatan secara kovalen dengan atom silikon lainnya sehingga
membentuk sebuah padatan.
Ada dua jenis silikon padat, yaitu silikon amorphous dan silikon kristalin. Tipe
amorphous berarti atom silikon tidak tersusun secara teratur, sedangkan pada
silikon kristalin atom penyusunnya tersusun secara teratur dalam rangkaian
tiga dimensi. Dalam perkembangannya dikenal beberapa jenis kristal silikon,
seperti poly-crystal silicon, single-crystal silicon, micro-structure silicon, ataupun
nano-structure silicon berdasarkan bentuk krisal dan ukuran struktur yang
menyusun padatan silikon tersebut. Sel surya sendiri dapat terbentuk dari
berbagai jenis silikon tersebut meskipun yang paling sering dijumpai adalah
jenis poly-crystal silicon.
Pada temperatur kamar, silikon murni bukan merupakan penghantar listrik
yang baik. Dalam ilmu kuantum mekanik, sifat ini dapat dijelaskan dengan
kenyataan bahwa silikon murni memiliki tingkat Fermi yang terletak pada
lebar pita terlarang. Silikon murni dapat menjadi penghantar listrik bertipe
semikonduktor dengan diberi tambahan material dari grup 13 (seperti
alumunium dan gallium) atau 15 (seperti phosphorus dan arsenic).
Atom yang ditambahkan pada silikon murni akan menempati posisi atom
silikon pada kisi kristal dan berikatan dengan atom silikon yang terdekat
posisinya. Meskipun begitu, jumlah elektron valensi atom yang berasal dari
grup 13 hanya berjumlah 3 buah, sedangkan yang berasal dari grup 15
berjumlah 5 buah. Dengan demikian, akan terdapat atom yang kekurangan
satu elektron ketika silikon ditambahkan dengan atom dari grup 13 dan
terdapat atom yang kelebihan satu elektron untuk silikon yang ditambah
dengan atom dari grup 15.
Silikon yang ditambah dengan atom yang berasal dari grup 13 inilah yang
disebut dengan silikon semikonduktor tipe p (karena kekurangan elektron),
sedangkan yang ditambah dengan atom yang berasal dari grup 15

Pendahuluan 3
merupakan silikon semikonduktor tipe n (karena kelebihan elektron).
Gabungan dua buah semikonduktor tipe n dan tipe p inilah yang dijadikan
divais sel surya.
Sebagaimana diketahui bahwa cahaya yang tampak ataupun yang tidak
tampak memiliki dua buah sifat, yaitu dapat sebagai gelombang dan dapat
sebagai partikel yang disebut dengan foton (photon). Penemuan ini pertama
kali diungkapkan oleh Einstein pada tahun 1905. Energi yang dipancarkan
oleh sebuah cahaya dengan panjang gelombang λ dan frekuensi foton v
dirumuskan dengan persamaan:
E = h.c/ λ
Dengan h adalah konstanta Plancks (6,62 × 1034 J.s) dan c adalah kecepatan
cahaya dalam vakum (3 × 108 m/s). Persamaan di atas juga menunjukkan
bahwa foton dapat dilihat sebagai sebuah partikel energi atau sebagai
gelombang dengan panjang gelombang dan frekuensi tertentu [9].

Saat foton dari cahaya matahari datang di permukaan sebuah dioda silikon,
ada dua kemungkinan yang dapat terjadi. Pertama adalah foton tersebut
hanya melewati lapisan silikon tanpa memberikan efek apa-apa. Keadaan ini
terjadi ketika energi yang dibawa oleh foton tersebut lebih rendah daripada
pita energi yang dimiliki oleh lapisan silikon tersebut. Keadaan kedua yang
dapat terjadi adalah foton yang datang tersebut diserap oleh lapisan silikon.
Secara umum, kedaan ini dapat terjadi ketika energi pada foton lebih besar
daripada lebar pita energi yang dimiliki oleh lapisan silikon sel surya. Saat
foton tersebut diserap oleh lapisan silikon, energi dari foton diserap oleh
elektron pada kisi kristal yang terdapat pada pita valensi.
Elektron ini sebenarnya sangat stabil berada pada pita valensi karena
berikatan secara kovalen dengan atom-atom tetangganya, yang membuat
elektron ini tidak bisa berpindah jauh tanpa bantuan energi dari luar. Energi
dari foton yang diterimanya tersebut membuat elektron ini mampu
berpindah ke pita konduksi sehingga membuatnya bebas bergerak dalam
semikonduktor tersebut seperti terlihat pada Gambar 1.2. Kepindahan
elektron ini meninggalkan sebuah ikatan kovalen yang kehilangan satu buah
elektron (disebut dengan hole), yang membuat elektron pada atom tetangga
bergerak pindah menuju hole ini dan kembali menyisakan satu buah hole.
Keadaan ini berlangsung terus dan tentu terjadi pada lebih dari satu elektron
sehingga energi foton yang diterima oleh lapisan silikon akhirnya
menghasilkan pergerakan untuk pasangan elektron dan hole. Medan listrik
yang terbentuk pada dioda dari hubungan semikonduktor tipe n dan tipe p

4 Brian, Memanen Energi Matahari


memungkinkan arus listrik mengalir dalam satu arah. Elektron akan
mengalir dari tipe n ke tipe p dan sebaliknya hole akan mengalir dari tipe p

Gambar 1.2 Model pembangkitan pasangan elektron-hole pada divais sel surya ketika
foton dari sinar matahari diperoleh permukaan semikonduktor p-n.

ke tipe n. Aliran arus listrik inilah yang kemudian bisa digunakan untuk
dialirkan menuju rumah-rumah pengguna sebagai sumber listrik.

Efisiensi Sel Surya


Efisiensi pada divais sel surya dan harga pembuatan sel surya merupakan
masalah yang paling penting untuk merealisasi sel surya sebagai sumber
energi alternatif. Efisiensi didefinisikan sebagai perbandingan antara tenaga
listrik yang dihasilkan oleh divais sel surya dan jumlah energi yang diterima
dari pancaran sinar matahari. Pada tengah hari yang cerah dengan posisi
tegak lurus, radiasi sinar matahari mampu mencapai 1000 W/m2. Jika sebuah
divais semikonduktor seluas 1 m2 memiliki efisiensi 10%, maka modul solar
ini mampu memberikan tenaga listrik sebesar 100 W. Saat ini modul sel surya
komersial berkisar dari 8 hingga 18% bergantung pada material
penyusunnya. Tipe kristal silikon merupakan jenis divais sel surya yang
memiliki efisiensi tinggi meskipun biaya pembuatannya relatif lebih mahal
dibandingkan dengan jenis sel surya lainnya. Susunan detail divais sel surya
dapat dilihat pada Gambar 1.3, yang pada bagian atas lapisan silikon
biasanya dipasang lapisan antirefleksi untuk meningkatkan daya serap sinar
matahari yang masuk ke lapisan silikon [10].

Jenis-jenis Sel Surya


Hingga saat ini terdapat beberapa jenis sel surya yang berhasil
dikembangkan oleh para peneliti untuk mendapatkan divais sel surya yang
memiliki efisiensi tinggi atau untuk mendapatkan divais sel surya yang

Pendahuluan 5
murah dan mudah dalam pembuatannya. Tipe pertama yang berhasil
dikembangkan oleh para peneliti adalah jenis wafer (berlapis) silikon kristal

Gambar 1.3 Struktur divais sel surya dari semikonduktor silikon tipe p dan tipe n [11]

tunggal. Tipe ini dalam pengembangannya mampu menghasilkan efisiensi


yang sangat tinggi. Masalah terbesar yang dihadapi dalam pengembangan
silikon kristal tunggal adalah harga pembuatan yang sangat tinggi sehingga
membuat panel sel surya yang dihasilkan menjadi kurang kompetitif sebagai
sumber energi alternatif. Sebagian besar silikon kristal tunggal komersial
memiliki efisiensi pada kisaran 16−17%, bahkan silikon sel surya hasil
produksi SunPower memiliki efisiensi hingga 20% [www.sunpower-corp.com].
Bersama perusahaan Shell Solar, SunPower menjadi perusahaan yang
menguasai pasar silikon kristal tunggal untuk sel surya.
Jenis sel surya yang kedua adalah tipe silikon polikristal. Saat ini, hampir
sebagian besar panel sel surya yang beredar di pasar komersial berasal dari
screen printing jenis silikon polikristal. Wafer silikon polikristal dipabrikasi
dengan cara membuat lapisan-lapisan tipis dari batang silikon dengan
metode wire-sawing. Setiap lapisan memiliki ketebalan sekitar 250–350
mikrometer. Sel surya tipe ini memiliki harga pembuatan yang lebih murah
meskipun tingkat efisiensinya lebih rendah jika dibandingkan dengan silikon
kristal tunggal. Perusahaan yang aktif memproduksi tipe sel surya ini di
antaranya adalah GT Solar, BP, Sharp, dan Kyocera Solar.
Kedua jenis silikon di atas dikenal sebagai generasi pertama dari sel surya
yang memiliki ketebalan pada kisaran 180 hingga 240 mikrometer. Penelitian
yang lebih dahulu dan telah lama dilakukan oleh para peneliti menjadikan

6 Brian, Memanen Energi Matahari


sel surya berbasis silikon ini telah menjadi teknologi yang berkembang dan
banyak dikuasai oleh peneliti atau dunia industri. Divais sel surya ini dalam
perkembangannya telah mampu mencapai usia aktif hingga 25 tahun[4].
Modifikasi untuk menekan biaya pabrikasi juga dilakukan dengan membuat
pita silikon (ribbon Si), yaitu dengan membuat lapisan dari cairan silikon dan
membentuknya dalam struktur multikristal. Meskipun tipe sel surya pita
silikon ini memiliki efisiensi yang lebih rendah (13−15%), biaya produksinya
bisa lebih dihemat mengingat silikon yang terbuang jika menggunakan
lapisan tipis silikon ini akan lebih sedikit.
Generasi kedua sel surya adalah sel surya tipe lapisan tipis (thin film). Ide
pengembangan jenis sel surya lapisan tipis adalah untuk mengurangi biaya
pembuatan sel surya mengingat tipe ini hanya menggunakan kurang dari 1%
bahan baku silikon jika dibandingkan dengan bahan baku untuk tipe silikon
wafer. Penghematan yang tinggi pada bahan baku seperti itu membuat harga
per Kwh energi yang dibangkitkan diharapkan dapat lebih murah. Metode
yang paling sering dipakai dalam pembuatan silikon jenis lapisan tipis ini
adalah dengan Plasma Enhanced Chemical Vapor Deposition (PECVD) dari gas
silane dan hidrogen. Lapisan yang dibuat dengan metode ini menghasilkan
silikon yang tidak memiliki arah orientasi kristal atau yang dikenal sebagai
amorphous silicon (nonkristal). Selain menggunakan material dari silikon, sel
surya lapisan tipis juga dibuat dari bahan semikonduktor lainnya yang
memiliki efisiensi sel surya lebih tinggi, seperti Cadmium Telluride (Cd Te) dan
Copper Indium Gallium Selenide (CIGS).
Efisiensi tertinggi hingga saat ini yang bisa dihasilkan oleh jenis sel surya
lapisan tipis ini adalah sebesar 19,5% yang berasal dari sel surya CIGS [8].
Keunggulan lainnya dengan menggunakan tipe lapisan tipis adalah
semikonduktor sebagai lapisan sel surya bisa dideposisi pada substrat yang
lentur sehingga menghasilkan divais sel surya yang fleksibel. Kedua generasi
dari sel surya ini masih mendominasi pasaran sel surya di seluruh dunia
dengan silikon kristal tunggal dan multikristal memiliki lebih dari 90% sel
surya yang ada di pasaran [18].
Penelitian agar harga sel surya menjadi lebih murah selanjutnya
memunculkan generasi ketiga dari jenis sel surya, yaitu tipe sel surya polimer
atau disebut juga dengan sel surya organik dan tipe sel surya
fotoelektrokimia. Sel surya organik dibuat dari bahan semikonduktor
organik, seperti polyphenylene vinylene dan fullerene. Berbeda dengan tipe sel
surya generasi pertama dan kedua yang menjadikan pembangkitan
pasangan elektron dan hole pada dioda tipe p dan n dengan datangnya foton
dari sinar matahari sebagai proses utamanya.

Pendahuluan 7
Pada sel surya generasi ketiga itu, foton yang datang tidak menghasilkan
aliran elektron pada dioda p dan n, tetapi membangkitkan eksitasi elektron
pada dyes. Eksitasi elektron inilah yang kemudian berdifusi pada dua
permukaan bahan konduktor (yang biasanya direkatkan dengan media dye
yang berada di antara dua keping konduktor) untuk menghasilkan pasangan
muatan dan akhirnya menghasilkan efek arus foto (photocurrent) [13-14].
Tipe sel surya fotokima merupakan jenis sel surya sintesis dye yang terdiri
dari sebuah lapisan partikel nano (biasanya titanium dioksida) yang
diendapkan dalam sebuah perendam (dye). Jenis ini pertama kali
diperkenalkan oleh Profesor Graetzel pada tahun 1991 sehingga jenis sel
surya ini sering juga disebut dengan Graetzel cell atau dye-sensitized sel surya
(DSC) [5]. Graetzel cell ini dilengkapi dengan pasangan redox yang diletakkan
dalam sebuah elektrolit (bisa berupa padat atau cairan).
Komposisi penyusun sel surya seperti ini memungkinkan bahan baku
pembuat Graetzel cell lebih fleksibel dan bisa dibuat dengan metode yang
sangat sederhana, seperti screen printing atau dr blade printing. Meskipun sel
surya generasi ketiga ini masih memiliki masalah besar dalam hal efisiensi
dan usia aktif sel yang masih terlalu singkat, sel surya jenis ini diperkirakan
akan mampu memberikan pengaruh besar dalam sepuluh tahun ke depan
mengingat harga dan proses pembuatannya yang sangat murah. Penemuan
terbaru dengan modifikasi dye berbahan perovskite bahkan mampu
menaikkan efisiensi sel surya dengan sangat signifikan di angka 15−21 %
yang membuat sel surya jenis ini sangat menjanjikan bagi pengembangan
komersial di masa depan.

Perkembangan Terkini Teknologi Sel Surya


Dalam perkembangan teknologi sel surya, peningkatan performansi sel
surya didukung dengan berbagai kemajuan teknologi lainnya, salah satu
yang cukup signifikan adalah teknologi nano. Beberapa pemanfaatan
teknologi nano untuk peningkatan sumber energi, teknologi nano pada
produksi energi surya (dari sinar matahari) merupakan penelitian yang
paling berkembang [15]. Sel surya memang diakui banyak kalangan sebagai
sumber energi yang paling menjanjikan di masa depan. Energi matahari
menjadi semakin menarik mengingat energi ini relatif bersih dari polusi
sehingga sel surya merupakan sumber energi yang mendapat julukan
sebagai green energy.
Pembangkit energi surya sebenarnya bergantung pada efisiensi mengonversi
energi dan konsentrasi sinar matahari yang masuk ke dalam sel tersebut.

8 Brian, Memanen Energi Matahari


Profesor Smalley, peraih Nobel di bidang kimia atas prestasinya menemukan
fullerene, menyatakan teknologi nano menjanjikan peningkatan efisiensi
dalam pembuatan sel surya antara 10 dan 100 kali pada sel surya. Smalley
menambahkan bahwa cara terbaik untuk mendapatkan energi surya secara
optimal telah terbukti ketika sel surya dimanfaatkan untuk keperluan satelit
ruang angkasa. Penggunaan sel surya dengan meletakkannya di ruang
angkasa dapat dengan baik dilakukan karena teknologi nano diyakini akan
mampu menciptakan material yang super kuat, ringan, dan mampu bertahan
di ruang angkasa dengan efisiensi yang baik.
Prediksi Smalley saat ini memang mulai terbukti. Salah satunya ditunjukkan
oleh peneliti dari Universitas California, Berkeley, Paul Alivisatos dan Janke
Dittmer, yang memperkenalkan generasi mendatang dari sel surya yang
disebutnya sebagai sel surya polimer-semikonduktor[16-17]. Dengan
memanfaatkan kemajuan teknologi nano, mereka membuat sel surya dari
material semikonduktor inorganik berukuran nano yang diletakkan pada
dua elektroda yang terbuat dari plastik dan aluminium hingga
menjadikannya fleksibel. Dengan tingkat fleksibilitas yang baik dan tipisnya
lapisan, sel surya jenis ini diharapkan dapat menggantikan jenis sel surya
dari bahan silikon. Yang lebih menarik dari sel surya jenis ini, pembuatannya
tidak memerlukan clean room (ruang dengan tingkat kebersihan partikel yang
tinggi) atau bejana vakum yang menjadikan sel surya jenis ini mudah dan
murah untuk diproduksi.
Sesungguhnya perkembangan teknologi sel surya di dunia berjalan dengan
sangat pesat. Perubahan dan persaingan juga terjadi dengan sangat cepat
sehingga teknologi yang pada awal tahun 2000-an didominasi oleh Amerika,
Eropa, dan Jepang (ketiga negara ini memproduksi lebih dari 90% produksi
sel surya dunia), saat ini telah digantikan oleh Cina dan Taiwan.
Perkembangan produksi sel surya sejak tahun 1997 hingga 2014 dapat
terlihat pada Gambar 1.4. Pada tahun 2014 Cina dan Taiwan telah mampu
menjadi produsen terbesar dunia dengan menguasai produksi hingga 69%.
Sementara itu Eropa hanya 6%, dan Jepang bersama Amerika/Kanada
masing-masing 4% [18]. Gambar 1.5 menunjukkan dominasi Cina dan Taiwan
yang mulai mengungguli Jepang, Eropa, dan Amerika sejak tahun 2009.
Kemampuan produksi sel surya Cina dan Taiwan terus berlanjut dan
perbedaannya semakin besar dari tahun ke tahun hingga tahun 2014.
Gambar 1.5 juga menunjukkan betapa kemampuan produksi sel surya di
seluruh dunia telah meningkat dengan sangat pesat dalam 5 tahun terakhir
yang semula hanya sekitar 4 GWp per tahun menjadi lebih dari 26 GWp per
tahun di tahun 2014.

Pendahuluan 9
Gambar 1.4 Komposisi produksi sel surya di seluruh dunia sejak tahun 1997
hingga 2014 [18].

Gambar 1.5 Perbandingan produksi sel surya di antara beberapa negara produsen
besar [18]

Gambar 1.6 menunjukkan komposisi produksi sel surya dari setiap jenis
teknologi sel surya yang ada. Terlihat bahwa teknologi kristal tunggal
(monokristalin) yang pada tahun 1980 mendominasi produksi sel surya,
jumlahnya terus turun dan dilampaui oleh jenis silikon multikristal. Pada
tahun 2014, jenis sel surya berbasis silikon ini berjumlah hingga 91% dari total
sel surya yang diproduksi di seluruh dunia. Multikristal sendiri mencapai
jumlah 56%, sedangkan sel surya berbasis lapisan tipis atau thin film hanya
mencapai 9% dari total sel surya yang ada [18].

10 Brian, Memanen Energi Matahari


Gambar 1.6 Komposisi produksi setiap jenis sel surya dari tahun 1980 hingga 2014 [18]

Meskipun teknologi sel surya yang ada di pasaran hanya didominasi jenis
silikon kristal dan lapisan tipis, sebenarnya penelitian tentang teknologi sel
surya telah sangat luas. Data yang dikeluarkan oleh National Renewable
Energy Leboratory (NREL) USA dapat dilihat pada Gambar 1.7, yang
menunjukkan perkembangan efisiensi terbaik dari berbagai teknologi sel
surya yang ada. Beberapa penelitian yang didapatkan dari berbagai
laboratorium yang ada di seluruh dunia telah mendapatkan capaian yang
cukup signifikan seperti sel surya berbasis multi- junction telah mendapatkan
efisiensi hingga 46%, kristal tunggal GaAs mencapai 27,5%, lapisan tipis
CIGS dan CdTe masing-masing 22,3% dan 21,5%, sedangkan multikristal
Silikon mencapai 20,8%. Untuk teknologi-teknologi yang baru juga telah
mendapatkan kemajuan yang cukup baik, seperti teknologi perovskite
mencapai 21%, amorphous silikon mencapai 13,6%, organik sel surya 11,5%,
dan quantum dot sel surya mencapai 10,6% [19].
Indonesia sebenarnya sangat berpotensi untuk menjadikan sel surya sebagai
salah satu sumber energi masa depannya mengingat posisi Indonesia pada
khatulistiwa yang memungkinkan sinar matahari dapat optimal diterima di
hampir seluruh wilayah Indonesia. Dalam kondisi peak atau posisi matahari
tegak lurus, sinar matahari yang jatuh di permukaan panel surya di
Indonesia seluas satu meter persegi akan mampu mencapai 900 hingga 1.000
watt [20]. Lebih jauh bahkan pakar sel surya, Wilson Wenas menyatakan
bahwa total intensitas penyinaran matahari per hari di Indonesia mampu
mencapai 4.500 watt-jam per meter persegi, yang membuat Indonesia
tergolong kaya sumber energi matahari ini [20].

Pendahuluan 11
Gambar 1.7 Perkembangan beberapa teknologi sel surya yang ada di berbagai
laboratorium dunia hingga Desember 2015 [21].

Dengan letaknya di daerah khatulistiwa, matahari di Indonesia mampu


bersinar hingga 2.000 jam per tahunnya [21]. Dengan kondisi yang sangat
potensial ini, sudah saatnyalah pemerintah dan pihak universitas membuat
suatu pusat penelitian sel surya agar Indonesia tidak kembali hanya sebagai
pembeli divais sel surya di tengah melimpahnya sinar matahari yang
diterima bumi Indonesia.

Pustaka
[1] B. Yuliarto. ”Meneropong Konsumsi Energi Dunia”, Berita IPTEK 21
Desember 2005.
[2] B. Li, L. Wang, B. Kang, P. Wang, Y. Qiu, ”Solar Energy Materials and
Sel Surya”, in press, available online 2005.
[3] 2014 ”Global Energy Trend”, www.enerdata.net, available online 2016.
[4] K. West, ”Sel Surya Beyond Silicon”, Riso International Energy
Conference, 2003.
[5] M. Gratzel, Nature 414 (2001) 338.
[6] Strahler A. dan A. Strahler. 1996. Introducing Physical Geography. John
Wiley and Sons.
[7] ”Encyclopedia Sel Surya”, 2005 available online on (http://en.wikipedia.
org/wiki/solar_cell).

12 Brian, Memanen Energi Matahari


[8] Nobelprize.org. ”Nobelprize 1903” (http://nobelprize.org/physics/
laureates/1903/index.html).
[9] S.M. Size, ”Physics of Semiconductor Devices 2nd edition, Chapter 14,
John Wiley and Sons 1981.
[10] Earth Science Australia, ”Sel Surya Materials Info”, (http://earthscience.
org/energy/solar/page3.html).
[11] http://solarcellcentral.com/solar_page.html
[12] C.J. Brabec, N.S. Saricifti, J.C. Hummelen, Advanced Functional Materials,
11 (2001) 15.
[13] B.A. Gregg, J. Physics. Chem. B 107 (2003) 4688.
[14] World Market 2001 by Techonology.
[15] B. Yuliarto, ”Teknologi Nano Solusi Kebutuhan Energi Masa Depan”,
Kompas, 18 Agustus 2005.
[16] W.U. Huynh, J.J. Dittmer, P. Alivisatos, Science, 295, 5564 (2002) 2425.
[17] http://www.see.murdoch.edu.au/resources/info/ Tech/pv/
[18] Fraunhover Institute for Solar Energy Systems, Photovoltaic Reports, 11
Maret 2016.
[19] National Renewable Energy Laboratory (NREL), Annual Report,
December 2015
[20] ”Sinar Matahari, Sumber Energi Tidak Terbatas”, Pikiran Rakyat 22
September 2005.
[21] Wilson Wenas, ”Gelisah Akan Terjadi Tragedi Sel Surya”, Kompas 20
Desember 2003.

Pendahuluan 13
2 Mengenal Matahari

Matahari merupakan salah satu bintang dalam jagat raya yang bertindak
sebagai pusat pada sistem tata surya kita. Matahari termasuk kategori
bintang karena dapat menghasilkan cahaya sendiri. Apabila dibandingkan
dengan bintang lainnya, cahaya matahari lebih terang sehingga pada waktu
siang hari tidak akan terlihat bintang lain. Matahari termasuk ke dalam
bintang deret utama G (G2V) atau lebih dikenal sebagai katai kuning karena
spektrum radiasinya kuning-merah[1].
Matahari generasi pertama terbentuk sekitar 14.000 juta tahun lalu yang
diawali oleh gelombang kejut dari suatu supernova terdekat atau lebih.
Teori ini berdasarkan kelimpahan elemen berat di tata surya, seperti emas
dan uranium. Adapun matahari yang kita kenal saat ini adalah generasi
kedua yang terbentuk dari ledakan matahari generasi pertama sekitar 4,6
miliar tahun lalu. Elemen berat yang dikandung matahari generasi kedua
jauh lebih sedikit dan dihasilkan oleh reaksi nuklir endotermik selama
supernova atau transmutasi melalui penyerapan neutron pada bintang
raksasa[2].
Gambar 2.1 menunjukkan foto matahari yang diambil oleh NASA pada
tahun 2012. Matahari adalah bintang yang bentuknya hampir sempurna
dengan perbedaan diameter antara kutub dan khatulistiwanya sebesar 10
km. Diameter matahari sekitar 1.392.684 km atau kira-kira 109 kali diameter
bumi[3] dan massanya sekitar 2×1030 kg yang mewakili 99,86% massa total
tata surya[4]. Sekitar 92,1% massa matahari berupa hidrogen dan 7,8%
helium serta terdapat elemen lain berupa oksigen, karbon, neon, besi, dan
lain-lain. Kepadatan massa matahari adalah 1,41 berbanding dengan massa
air[5]. Karakterisasi dari struktur matahari dapat dilihat pada tabel berikut.

14 Brian, Memanen Energi Matahari


Tabel 2.1 Karakteristik Matahari
Diameter 1,392 x 106 km
Massa (1991 ± 0,002) x 1030 kg
Rata-rata massa jenis (1,410 ± 0,002) x 103 kg/m3
Temperatur efektif permukaan 5672 ± 50 K
Temperatur interior 8 x 106 – 40 x 106 K
Rata-rata jarak ke bumi 1,495 x 108 ± 1,7% km
Massa jenis inti matahari 100 x 103 kg/m3
Massa jenis permukaan ≈ 10-5 kg/m3
Energi surya pada atomosfer bumi 178 x 1014 kW
Waktu sinar matahari sampai ke bumi 8 menit

Matahari terdiri dari plasma panas bercampur medan magnet sehingga


rotasi pada bagian khatulistiwa lebih cepat dibandingkan dengan rotasi
pada kutubnya. Peristiwa ini dikenal sebagai rotasi diferensial[6] dan terjadi
karena konveksi pada matahari serta gerakan massanya, yang diakibatkan
oleh gradasi suhu yang teramat jauh dari inti ke permukaan. Massa
matahari ini mampu mendorong sebagian momentum sudut matahari
sehingga berlawanan arah jarum jam apabila dilihat dari kutub utara
ekliptika. Keadaan ini mengakibatkan kecepatan sudutnya didistribusikan
kembali.

Gambar 2.1 Matahari (Sumber: Pixabay)

Periode rotasi matahari dikenal sebagai rotasi aktual yang diperkirakan


berlangsung 25,6 hari di khatulistiwa dan 33,5 hari di kutub. Akan tetapi,

Mengenal Matahari 15
akibat perbedaan sudut pandang dari bumi saat mengorbit matahari, maka
rotasi pada khatulistiwa berlangsung kira-kira 28 hari[7]. Efek sentrifugal
pada rotasi matahari ini 18 juta kali lebih lemah dibandingkan dengan
gravitasi permukaan di daerah khatulistiwa matahari.
Matahari merupakan bola gas besar yang tidak memiliki batas lapisan yang
jelas dan kepadatan gas pada bagian terluar menurun seiring dengan
bertambahnya jarak dari inti matahari. Meskipun begitu, matahari memiliki
struktur interior yang jelas. Interior matahari tidak dapat dilihat secara
langsung dan radiasi elektromagnetik tidak dapat menembus matahari.
Untuk mengukur dan menggambarkan struktur terdalam dari matahari
dilakukan dengan memanfaatkan gelombang tekanan suara infrasonik yang
melewati interior matahari.

Gambar 2.2 Struktur Matahari

Matahari tersusun oleh beberapa lapisan yang memiliki karakteristik


berbeda-beda dan dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu bagian dalam dan
atmosfer. Gambar 2.3 memperlihatkan struktur lapisan penyusun matahari.
Dimulai dari bagian dalam berupa inti yang merupakan lapisan paling
dalam dengan suhu sekitar 15 juta derajat Celcius. Ukuran inti matahari

16 Brian, Memanen Energi Matahari


(core) adalah seperempat jarak dari pusat ke permukaan dengan volume
kepadatan sekitar 150 g/cm3. Inti matahari memiliki tingkat rotasi yang
lebih cepat dibandingkan dengan zona radiatif dan inti matahari
merupakan satu-satunya lapisan matahari yang menghasilkan energi termal
yang cukup melalui fusi. Inti matahari berada pada zona 0 – 0,2R (R adalah
jari-jari matahari). Sekitar 90% tenaga tercipta di dalam 24% jari-jari
terdalam pada matahari dan sisanya dipanaskan oleh energi yang ditransfer
ke luar oleh radiasi dari inti ke layar konvektif[8]. Energi yang dihasilkan
oleh proses fusi ini bervariasi bergantung pada jarak dari pusat matahari.
Energi tersebut merupakan total dari 40% massa matahari dan 15% volume
matahari. Berdasarkan pemodelan yang telah dibuat diperkirakan besar
energi fusi pada pusat matahari[9] mencapai 276,5 Watt/m3.
Tingkat fusi pada bagian inti berada pada fase kesetimbangan, yaitu
terdapat tingkat fusi yang tinggi, mengakibatkan inti memanas dan sedikit
memuai terhadap lapisan luarnya serta terdapat tingkat fusi lebih rendah
yang mengakibatkan inti cepat mendingin dan sedikit menyusut. Pelepasan
sinar gamma (foton berenergi tinggi) dalam reaksi fusi diserap oleh beberapa
mililiter plasma matahari dan dipancarkan kembali secara acak dengan
tingkat energi yang lebih rendah. Hal ini menyebabkan waktu tempuh
radiasi untuk mencapai permukaan menjadi lebih lama sekitar 10.000
hingga 170.000 tahun[10]. Sementara itu, perpindahan energi pada matahari
membutuhkan waktu 30 juta tahun yang melibatkan foton dalam
kesetimbangan termodinamik dengan zat lain yang ada di matahari.
Daerah inti matahari terdapat zona radiatif atau zona radiasi, yaitu suatu
zona tempat energi dialirkan ke bagian luar melalui radiasi dalam

Gambar 2.3 Struktur lapisan penyusun matahari

Mengenal Matahari 17
Gambar 2.4 Bagian matahari beserta gelombang yang dihasilkan
(Sumber: Solar Physics Montana, 2016)

bentuk gelombang elektromagnetik berupa foton. Zona radiatif berada pada


0,2R – 0,7R dari pusat matahari. Materi yang ada di dalam zona radiasi
sangat padat sehingga memungkinkan foton menempuh jarak yang singkat
sebelum disebarkan oleh partikel lain. Selanjutnya terdapat zona konvektif
atau zona konveksi yang merupakan suatu zona tempat energi dialirkan
melalui proses konveksi. Zona konvektif terletak di luar zona radiatif
(berada di 0,7R – R) dan di antara kedua zona tersebut terdapat pemisah
berupa lapisan transisi yang disebut takhoklin. Lapisan ini merupakan
lapisan tempat terjadinya perubahan fenomena yang menghasilkan
perbedaan kondisi antara rotasi seragam di zona radiatif dan rotasi
diferensial di zona konvektif. Zona radiatif menyusun 32% dari volume
matahari dan 48% dari massanya, sedangkan zona konvektif menyusun
66% dari volume matahari dengan hanya 2% dari massanya[11].
Selanjutnya terdapat bagian atmosfer berupa lapisan fotosfer, kromosfer,
dan korona. Lapisan fotosfer merupakan lapisan transparan tempat foton
terlepas dalam bentuk cahaya tampak. Setiap sinar foton pada matahari
akan dikonversi menjadi beberapa juta foton cahaya tampak. Fotosfer
memiliki ketebalan sekitar 500 km dengan suhu yang mencapai 6.215°C.
Fotosfer juga merupakan lapisan yang dapat dilihat dari bumi dan
diselimuti gas merah yang dikenal sebagai kromosfer. Cahaya fotosfer
sangat terang sehingga dapat mengalahkan lapisan luar matahari, yaitu
korona. Selanjutnya terdapat lapisan tipis di atas fotosfer dengan ketebalan
2.000 km dan suhu 4.500°C yang dikenal sebagai lapisan kromosfer.
Kromosfer memiliki warna merah redup yang dipancarkan oleh atom-atom
hidrogen. Suhu kromosfer meningkat seiring dengan ketinggiannya hingga
berkisar 20.000°C di dekat puncaknya.

18 Brian, Memanen Energi Matahari


Gambar 2.5 Letak zona radiatif dan konvektif

Di atas kromosfer, terdapat daerah transisi tipis dengan ketebalan sekitar


200 km yang terbentuk di ketinggian yang berubah-ubah. Wilayah ini
memiliki suhu sekitar 20.000°C hingga 1 juta derajat Celcius. Pada wilayah
transisi, terbentuk semacam nimbus yang mengitari kromosfer menyerupai
spikula dan filamen yang bergerak tidak teratur, tetapi konstan. Spikula
memiliki jarak lintas sepanjang kira-kira 1.000 km dan tinggi mencapai
10.000 km. Pada matahari, terdapat lebih dari 60.000 spikula yang aktif,
tetapi memiliki massa aktif yang pendek, yaitu sekitar 5 menit.
Bagian terluar dari atmosfer matahari adalah korona. Korona memiliki
massa jenis yang rendah, tetapi bertemperatur tinggi hingga mencapai 1
sampai 2 juta derajat Celcius dan suhu di titik terpanasnya mencapai 8
hingga 20 juta derajat Celcius. Korona memiliki volume lebih besar
dibandingkan dengan matahari sendiri dan tebalnya mencapai 2,5 juta km.
Korona yang dekat dengan permukaan matahari memiliki kepadatan
partikel berkisar 1015−1016 partikel/m3. Walaupun belum ada teori yang
menerangkan suhu korona secara lengkap, sebagian panasnya diketahui
berasal dari rekoneksi magnetik. Warna yang mendominasi korona adalah
putih keabu-abuan yang tampak ketika terjadi gerhana matahari di bumi[12].
Matahari memiliki medan magnet yang kuat dan dapat berubah-ubah
setiap tahun serta dapat berbalik arah setiap sebelas tahun. Medan magnet
ini menjadi penyebab adanya aktivitas matahari termasuk terciptanya titik
matahari, letusan matahari, dan variasi angin pada matahari yang
mengangkut material melintasi tata surya. Kekuatan medan magnet
matahari sekitar dua kali lebih kuat dibandingkan dengan bumi, tetapi
dapat 3.000 kali lebih kuat dari keadaan biasa saat terkonsentrasi di wilayah
yang kecil.

Mengenal Matahari 19
Gambar 2.6 Sifat filamen pada plasma di permukaan matahari (Sumber: Pixabay)

Gambar 2.7 Korona matahari (Sumber: pixabay.com)

Material penyusun matahari berasal dari gas bersuhu tinggi sehingga


kondisi tersebut dapat menyebabkan rotasi di wilayah khatulistiwa lebih
cepat, yaitu sekitar 25 hari dibandingkan dengan di wilayah lintang yang
lebih lambat. Adanya rotasi diferensial lintang ini mengakibatkan jalur
medan magnet saling terikat menghasilkan lingkaran medan magnet dari
permukaan. Aktivitas ini medorong terbentuknya titik matahari dan
rekoneksi magnetik yang mempengaruhi aktivitas siklus magnetik yang
dapat mengubah arah medan magnet setiap sebelas tahun sekali[13].
Lama matahari mengorbit pada sumbunya sekitar 27 hari dalam satu kali
putaran. Matahari memiliki sumbu rotasi dengan kemiringan 7,25°C dari
sumbu rotasi bumi sehingga kutub utara matahari dapat terlihat sekitar
bulan September dan kutub selatan pada bulan Maret. Perputaran ini dapat

20 Brian, Memanen Energi Matahari


teramati dari perubahan posisi bintik matahari. Kecepatan rotasi matahari
berbeda-beda pada setiap bagiannya. Bagian inti dan zona radiatif berotasi
secara bersamaan, begitu juga dengan zona konvektif dan fotosfer, tetapi
kecepatan berbeda.

Selain melakukan rotasi, matahari juga melakukan revolusi. Kecepatan


revolusi matahari adalah 828.000 km/jam atau membutuhkan waktu sekitar
230 juta tahun untuk mengelilingi Galaksi Bimasakti[14]. Deskripsi tentang
matahari ini menunjukkan bahwa matahari merupakan sumber energi yang
sangat besar. Matahari merupakan sumber bagi kehidupan di bumi. Salah
satu bentuk pemanfaatan energi matahari adalah sebagai pembangkit listrik
tenaga surya.

Gambar 2.8 Ilustrasi medan magnet matahari

Pustaka
[1] Nick Smith, Minot, North Dakota. 2011. ”The Sun is a G2V star and
Rigel is a B8Iab. How do astronomers get the classifications this
precise?”. Astronomy Magazine. Dipublikasikan pada 29 Agustus 2011.
[2] Stanley A Rice. 2007. Encyclopedia of Evolution. New York: Facts on File,
halaman 405-407.
[3] NASA. 2008. "Solar System Exploration: Planets: Sun: Facts & Figures".
[4] Williams, D. R. (1 July 2013). "Sun Fact Sheet". NASA Goddard Space
Flight Center. Retrieved 12 August 2013.
[5] Robert J. Malcuit. 2015. The Twin Sister Planets Venus and Earth.
Switzerland: Springer International Publishing.

Mengenal Matahari 21
[6] L. L. Kitchatinov. 2011. ”Solar differential rotation: origin, models and
implications for dynamo”. First Asia-Pacific Solar Physics Meeting, ASI
Conference Series. Vol. 2, pp 71–80.
[7] Kenneth J. H. Phillips. 1995. Guide to the Sun. Cambridge University
Press. halaman 78–79.
[8] Matt Williams. 2015. ”How Does The Sun Produce Energy?”. (tersedia
secara online di http://www.universetoday.com /75803/how-does-the-
sun-produce-energy/).
[9] David J French. 2013. ”Power Equivalent To The Sun? – We Already
Have It!”. (tersedia di http://coldfusionnow.org/power-equivalent-to-
the-sun-we-already-have-it/).
[10] NASA. 2007. ”The 8-minute travel time to Earth by sunlight hides a
thousand-year journey that actually began in the core.” (tersedia
di http://sunearthday. nasa.gov/2007/locations/ttt_sunlight.php).
[11] Futurism. 2014. ”A Sunshine Holiday (How the Sun Works)”. (tersedia
di http://futurism.com/how-the-sun-works/).
[12] Erdèlyi, R.; Ballai, I. 2007. Heating of the solar and stellar coronae: a review.
Astron. Nachr. 328 (8): 726–733.
[13] Charles Q. Choi. 2014. ”Earth’s Sun: Facts About the Sun’s Age, Size
and History”. (tersedia di http://www.space.com/58-the-sun-
formation-facts-and-characteristics.html).
[14] Fraser Cain. 2012. ”Does The Sun Rotate?”. (tersedia di
http://www.universetoday.com/60192/does-the-sun-rotate/)
[15] J. A. Duffie, W. A. Beckhman, Solar Engineering of Thermal Processes,
John Willey & Sons, Inc., New Jersey: 2013.

Sumber Gambar
https://www.nasa.gov/mission_pages/sunearth/news/News111312-
m6flare.html#.VuumhdJ97IU
http://solar.physics.montana.edu/ypop/Spotlight/SunInfo/Structure.html
http://news.stanford.edu/news/2000/april5/sunspin-329.html
http://www.nasa.gov/mission_pages/sunearth/news/sumi science.html
http://www.telegraph.co.uk/news/science/space/7412572/Rare-solar-corona-
caught-on-camera.html

22 Brian, Memanen Energi Matahari


3 Teori Radiasi dan Energi
Matahari

Sampai saat ini diketahui bahwa matahari merupakan bintang terbesar di


Galaksi Bimasakti dan merupakan pusat dari tata surya kita. Luas
permukaan matahari adalah 11.990 kali dari luas permukaan Bumi[1] dan
massa matahari sekitar 330.000 kali lebih besar dari massa bumi[2], dengan
hampir tiga perempat terdiri dari hidrogen dan sebagian besarnya adalah
helium. Sementara itu jarak antara bumi dan matahari adalah sekitar 150 juta
kilometer. Dengan kecepatan cahaya pada matahari sekitar 300.000 kilometer
per detik, maka lama perjalanan cahaya dari matahari masuk ke atmosfer
bumi membutuhkan waktu 500 detik atau 8 menit 20 detik. Untuk
mengelilingi tata surya, matahari membutuhkan waktu 225−250 juta tahun
karena jarak matahari dari pusat galaksi antara 24.000 dan 26.000 tahun
cahaya[3].
Matahari memiliki suhu yang berbeda untuk setiap lapisannya. Pada
permukaannya atau lapisan photosphere, matahari memiliki suhu 6.000 K.
Sementara di bagian interior, matahari memiliki suhu 8x106 – 40x106 K. Dalam
bagian inti matahari, terjadi proses-proses reaksi inti (nuklir) dengan
kelajuan hingga mencapai 3×108 m/s dan dapat melewati ruang hampa.
Reaksi fusi (penggabungan inti) hidrogen menjadi inti helium yang terjadi
disertai dengan pelepasan energi yang besar[5]. Energi ini dihantarkan ke
ruang angkasa dalam bentuk radiasi elektromagnetik yang memiliki
kecepatan dengan total energi yang dipancarkan mencapai 9,5×1025 W[6],
sedangkan energi yang dihantarkan menuju ke atmosfer bumi mencapai
178x1014 kW[4].

Teori Radiasi dan Energi Matahari 23


Gambar 3.1 Lapisan matahari

Radiasi matahari adalah radiasi yang dipancarkan oleh matahari yang telah
ditransmisikan melalui atmosfer bumi. Radiasi disebarkan melalui ruang
hampa dalam bentuk gelombang dan sebagian aliran energi. Radiasi
matahari ini memiliki panjang gelombang dan energi yang ditransfer dalam
satuan diskrit yang disebut foton. Pada jarak tertentu, total daya matahari
yang tersebar di permukaan jauh lebih besar. Karena radiasi matahari
tersebut melalui ruang hampa, maka membuat radiasi berkurang sangat
besar pada lokasi yang jauh dari matahari.
Intensitas radiasi cahaya matahari, Ho (W/m2) pada sebuah benda yang
berjarak D dari cahaya matahari bisa dihitung dengan persamaan berikut[6]:
2 2
𝑅𝑅𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠 𝑅𝑅𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠 𝜎𝜎𝑇𝑇 4
𝐻𝐻o = 𝐻𝐻𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠 = (3.1)
𝐷𝐷 2 𝐷𝐷 2
di mana :
H sun = kerapatan daya dari permukaan matahari (W/m2)
R sun = radius matahari (m)
D = jarak benda dari matahari (m)
H sun dituliskan dalam persamaan benda hitam oleh Stefan-Boltzman.

Gambar 3.2 Jarak matahari dengan benda langit lain


(Sumber: Pixabay dengan modifikasi, 2016)

24 Brian, Memanen Energi Matahari


Gambar 3.3 Peraga untuk menentukan intensitas radiasi matahari

Gambar 3.4 Total radiasi yang terjadi di bumi


(Sumber: Global Greenhouse Warming, 2016)

Radiasi matahari ke atmosfer bumi sesungguhnya relatif konstan dan setiap


saat radiasi total yang diterima permukaan bumi selalu sama. Meskipun
begitu, di setiap belahan bumi yang berbeda terdapat perbedaan karena
beberapa hal, seperti efek atmosfer yang menyebabkan adanya perbedaan
penyerapan dan hamburan cahaya matahari serta variasi lokal di atmosfer
yang mencakup uap air, awan, dan polusi. Faktor lain yang juga
mempengaruhi adalah letak lokasi garis lintang dan perubahan musim setiap
tahun serta perubahan waktu akibat rotasi bumi. Isolasi adalah jumlah
radiasi matahari yang mencapai bumi atau disebut juga sebagai insiden
radiasi. Komponen radiasi matahari adalah radiasi langsung (direct radiation),
radiasi difusi (diffuse radiation), dan radiasi pemantulan (reflect radiation)[8].
Berdasarkan data dari NASA, Indonesia memiliki intensitas radiasi matahari
sekitar 4−5 kWh/m2/hari. Sementara intensitas matahari rata-rata tertinggi
berada di Huanceyo, Peru, yaitu sekitar 7,79 kWh/m2/hari. Bahkan, intensitas
matahari di daerah tersebut tidak pernah kurang dari 6 kWh/m2/hari
sehingga energi surya sangat potensial untuk dikembangkan di daerah

Teori Radiasi dan Energi Matahari 25


tersebut. Gambaran intiensitas cahaya matahari di dua daerah tersebut dapat
dilihat pada Gambar 3.5.
Energi matahari merupakan suatu bentuk pemanfaatan kekuatan matahari
untuk menghasilkan energi. Energi matahari merupakan energi terbarukan
yang ramah lingkungan karena tidak terdapat efek samping berbahaya
untuk lingkungan. Energi matahari juga sebenarnya merupakan energi yang
pertama kali digunakan oleh manusia untuk membantu kehidupannya.
Energi matahari berasal dari reaksi fusi termonuklir yang terjadi di dalam inti
matahari. Gelombang elektromagnetik merupakan salah satu contoh energi
yang bersumber dari matahari. Dari total energi matahari yang diterima oleh
permukaan bumi, hanya 69% yang dapat dimanfaatkan untuk dikonversi
menjadi energi listrik.

Gambar 3.5 Intensitas cahaya matahari di berbagai negara

Gambar 3.6 Energi yang digunakan bumi dari radiasi matahari

Cahaya yang kita lihat sehari-hari hanya sebagian kecil dari total energi yang
dipancarkan oleh matahari di bumi. Sinar matahari adalah bentuk radiasi

26 Brian, Memanen Energi Matahari


elektromagnetik dan cahaya tampak yang kita lihat adalah bagian kecil dari
spektrum elektromagnetik. Spektrum elektromagnetik menggambarkan
cahaya sebagai gelombang yang memiliki panjang gelombang tertentu.
Energi matahari yang dipancarkan dapat berbentuk gelombang dari partikel.
Hal ini disebut dualisme gelombang cahaya yang dijelaskan lebih lanjut
dalam kuantum mekanik. Dalam kuantum mekanik, foton terlihat seperti
cahaya atau partikel yang bergantung pada situasi. Sementara itu
berdasarkan deskripsi fisik, sifat-sifat cahaya analisisnya membutuhkan teori
mekanika kuantum cahaya.

Gambar 3.7 Bentuk gelombang yang dibawa foton

Sebuah foton ditandai dengan panjang gelombang, 𝜆𝜆, yang besarnya


sebanding dengan energi, E, yang dapat dituliskan dalam persamaan
berikut[7]:
ℎ𝑐𝑐
𝐸𝐸 = (3.2)
𝜆𝜆
di mana:
h = konstanta Planck (6.626×10-34 Joule.s)
c = kecepatan cahaya (2.998×108 m/s)

Ketika berhadapan dengan partikel seperti foton dan elektron, satuan yang
umum digunakan adalah elektron volt, yaitu untuk 1 energi foton setara
dengan 1 eV = 1.602×10-19 Joule. Terdapat hubungan sederhana terkait
panjang gelombang, frekuensi dan kecepatan cahaya yang dapat dituliskan
dalam persamaan berikut:
𝑣𝑣 = 𝜆𝜆 𝑓𝑓 (3.3)
di mana :
v = kecepatan (m/s)
λ = panjang gelombang (m)
f = frekuensi (Hz)

Teori Radiasi dan Energi Matahari 27


Gambar 3.8 Hubungan frekuensi, panjang gelombang, dan kecepatan
(Sumber: University of Arizona, 2016)

Ada beberapa hukum yang dimanfaatkan dalam teori radiasi dan energi
matahari, yaitu Hukum Perpindahan Wien dan Hukum Stefan-Boltzmann.
Hukum Perpindahan Wien (Wien’s Displacement Law) mengatakan bahwa
benda hitam pada temperatur konstan menyerap semua radiasi yang
diterima benda tersebut dan panjang gelombang maksimum yang diterima
setara dengan temperatur benda.

Adapun Hukum Stefan-Boltzman mengatakan bahwa total fluks yang


dipancarkan oleh benda hitam di semua panjang gelombang sebanding
dengan temperatur pangkat 4 dari benda tersebut dan perubahan temperatur
yang kecil akan berpengaruh terhadap besar energi yang dipancarkan
matahari.
Hubungan ini dapat ditulis dalam persamaan berikut[7].
𝐻𝐻 = 𝜎𝜎𝑇𝑇 4 (3.4)
di mana:
𝜎𝜎 = konstanta Stefan-Boltzmann (5.67×10-9 W/m2.K4)

28 Brian, Memanen Energi Matahari


Gambar 3.9 Intesitas cahaya matahari berdasarkan panjang gelombangnya

Tabel 3.1 Keuntungan dan Kerugian Energi Radiasi Matahari


Keuntungan Kerugian
• Semua bahan kimia dan polusi • Matahari tidak bersinar secara
radioaktif oleh produk dari konsisten karena pengaruh
termonuklir tetap di matahari, atmosfer, awan, dan lain
sementara hanya energi radiasi lainnya.
murni yang mencapai Bumi.
• Energi pada diffuse radioactive
• Energi radiasi matahari yang harus berkonsentrasi pada
mencapai Bumi luar biasa besar penggunaan dalam bentuk panas
setara dengan total bahan bakar dan listrik.
fosil, bahkan lebih besar dari itu.

Radiasi yang sampai ke bumi merupakan radiasi total hemispherical (beam and
diffuse radiation) pada sebuah permukaan horisontal, dapat diukur dengan
suatu alat yang disebut pyranometer atau solarimeter atau actinograph. Satuan
ukuran untuk radiasi adalah irradiance dengan standar unitnya adalah W/m2 ,
sedangkan untuk mengukur radiasi langsung yang berasal dari matahari dan
dari langit sekitar matahari (beam radiation) yang diterima pada sudut normal

Teori Radiasi dan Energi Matahari 29


digunakan alat ukur pyrheliometer atau actinometer. Secara umum, pemilihan
alat ukur untuk mengukur radiasi disesuaikan dengan panjang gelombang.
Tabel 3.2 Alat Ukur Radiasi Matahari
Parameter Alat Ukur yang Digunakan
Gelombang Pendek (0.3 – 0.4 µm)
Radiasi Langsung Angstrom and Thermoelectric Pyrheliometer
Radiasi Global Thermoelectric Pyranometer
Radiasi Difus Thermoelectric Pyranometer dengan Shading Ring
Radiasi Pantulan Inverted Pyranometer
Gelombang Panjang (4 -100 µm)
Radiasi Teresterial Angstrom Pyrgeometer

(a) (b)

Gambar 3.10 (a) Alat ukur radiasi matahari Pyrheliometer (b) Pyranometer

Untuk menentukan besarnya nilai distribusi spektrum energi matahari yang


sampai ke permukaan bumi, dapat digunakan nilai radiasi ekstraterestrial
spektral surya[9]. Hal ini dapat diperoleh dengan menggunakan persamaan
sebagai berikut:
360(𝑛𝑛 − 2)
𝐺𝐺𝑜𝑜𝑜𝑜 = 𝐺𝐺𝑠𝑠𝑠𝑠 �1 + 0.033 𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐 � (3.5)
365
di mana:
𝐺𝐺𝑜𝑜𝑜𝑜 = radiasi ekstraterestrial (W/m2)
𝐺𝐺𝑠𝑠𝑠𝑠 = radiasi konstan (1389 W/m2)
𝑛𝑛 = jumlah hari dalam 1 tahun

30 Brian, Memanen Energi Matahari


Beberapa sudut digunakan untuk menentukan arah radiasi matahari, sudut-
sudut tersebut menunjukkan hubungan geometris antara matahari relatif
terhadap bumi yang dapat dilihat pada Tabel 3.3 berikut.
Tabel 3.3 Sudut yang Menentukan Arah Radiasi Matahari
Parameter Simbol Definisi Positif Negatif
Lintang Φ Sudut terhadap ekuator Utara Selatan
Bujur λ Sudut yang menunjukkan posisi barat dan Timur Barat
timur di permukaan bumi
Deklinasi δ Sudut antara matahari dan bidang datar Utara Selatan
ekuator
Kemiringan β Sudut antara permukaan bidang dan 0 ≤ β ≤ 180o
horisontal
Sudut Azimuth γ Sudut yang terbentuk dari posisi Barat Timur
Permukaan terhadap horisontal, yaitu arah selatan
bernilai 0, arah barat bernilai positif, dan
arah timur bernilai negatif
Sudut Waktu ω Perpindahan sudut matahari dari timur Siang Pagi
ke barat akibat rotasi bumi dengan nilai
15o setiap waktunya
Sudut Datang θ Sudut antara sinar radiasi pada 0 ≤ θ ≤ 90o
permukaan dan bidang normal dari
permukaan tersebut
Sudut Zenith θz Sudut antara garis vertikal dan sinar 0 ≤ θ z ≤ 90o
radiasi
Sudut αs Sudut antara garis horisontal dan sinar 0 ≤ α s ≤ 90o
Ketinggian radiasi, θ z + α s = 90o
Matahari/
Elevasi
Sudut Azimuth γs Sudut yang terbentuk dari proyeksi Barat Timur
Matahari radiasi terhadap bidang horisontal, yaitu
arah selatan bernilai 0, arah barat
bernilai positif, dan arah timur bernilai
negatif

Teori Radiasi dan Energi Matahari 31


Gambar 3.11 Sudut Deklinasi Matahari

(a) (b)
Gambar 3.12 (a) Sudut Zenith, Kemiringan, Sudut Azimuth Permukaan, dan Sudut
Azimuth Matahari (b) Sudut Azimuth pada bidang datar

Pustaka
[1] Basu, S.; Antia, H. M. 2008. "Helioseismology and Solar Abundances".
Physics Reports 457 (5–6): 217.
[2] Williams, D. R. 2013. “Sun Fact Sheet”. NASA Goddard Space Flight
Center.
[3] Coffey, J. 2010. ”Does The Sun Rotate?”. Universe Today.

32 Brian, Memanen Energi Matahari


[4] Sayigh A. A. M. (1984), ”Solar Radiation Fundamentals”, (Proceeding 3rd
International Symposium on “Non-Conventional Energy Sources”), ACIF
Series, Vol. 3. 9 Eds Furlan G, Rodriguez H, Violini G) pp. 352-395,
Singapore: World Scientific Publ. Co., Pte. Ltd.
[5] Wikipedia. 2016. (tersedia di https://id.wikipedia.org/wiki/Matahari).
[6] ”Bahan Kuliah Magister Teknik Elektro”. 2010. (tersedia di
http://staff.unud.ac.id/~dayugiriantari/wpcontent/uploads/2010/10/lectu
re2.pdf).
[7] ”PV Education”. 2016. (tersedia
di http://www.pveducation.org/pvcdrom/ properties-of-sunlight/solar-
radiation-in-space).
[8] ”Aeron System”. 2015. (tersedia di http://www.aeronsystems.com/types-
of-solar-radiation/).
[9] J. A. Duffie, W. A. Beckhman, Solar Engineering of Thermal Processes, John
Willey & Sons, Inc., New Jersey: 2013.

Sumber Gambar
http://www.pveducation.org/pvcdrom/properties-of-sunlight/the-sun
http://www.pveducation.org/pvcdrom/properties-of-sunlight/solar-
radiation-in-space
http://www.pveducation.org/pvcdrom/properties-of-sunlight/solar-
radiation-in-space
http://www.global-greenhouse-warming.com/measuring-solar-activity.html
http://www.pveducation.org/pvcdrom/properties-of-sunlight/average-solar-
radiation
http://www.pveducation.org/pvcdrom/properties-of-sunlight/properties-of-
light
http://www.geo.arizona.edu/xtal/nats101/s04-12.html
http://encyclopedia2.thefreedictionary.com/pyranometer
http://www.itacanet.org/the-sun-as-a-source-of-energy/part-1-solar-
astronomy/

Teori Radiasi dan Energi Matahari 33


4 Teori PV Sel Surya

Saat ini kebutuhan hidup manusia semakin meningkat dari waktu ke waktu,
sedangkan alat pemenuh kebutuhan hidup justru sangat terbatas. Oleh sebab
itu, penggunaan teknologi sangat diperlukan untuk mempermudah manusia
memenuhi kebutuhan hidupnya. Pada abad ke-21 ini, semakin banyak
pilihan teknologi yang sudah berhasil dikembangkan. Oleh karena itu,
manusia harus mampu menentukan pilihan yang terbaik dengan
mempertimbangkan segala aspek dari segi ekonomi, efisiensi, keselamatan,
dan tidak memberikan efek buruk pada lingkungan. Salah satu teknologi
yang telah dan akan terus dikembangkan adalah teknologi panel surya (sel
surya) atau dikenal sebagai sel surya fotovoltaik.
Fotovoltaik adalah sebuah teknik pengubahan energi surya menjadi arus
listrik secara langsung dengan memanfaatkan sifat-sifat pada material
semikonduktor melalui efek fotovoltaik, yaitu foton yang datang dari cahaya
matahari menghasilkan lompatan elektron dalam material semikonduktor
tersebut. Fenomena ini berasal dari fenomena fotovoltaik berbasis bahan
material semikonduktor yang terdiri dari karakteristik elektrik berupa arus,
tegangan, dan hambatan yang berubah ketika terpapar sinar matahari.
Material semikonduktor yang digunakan untuk membuat sel surya harus
memiliki karakteristik mampu menyerap sinar matahari dan hanya
memantulkan sedikit sinar matahari yang diterimanya. Sel surya ini dapat
dibuat dari satu lapisan material yang dapat menyerap sinar atau beberapa
lapisan yang memungkinkan bertambahnya efisiensi dengan memanfaatkan
sifat panjang gelombang sinar matahari pada jenis material yang berbeda-
beda.
Jika melihat sejarah, kita akan mengetahui bahwa sesungguhnya fenomena
fotovoltaik telah berkembang selama lebih dari 175 tahun. Efek fotovoltaik
pertama kali ditemukan pada tahun 1839 oleh seorang peneliti Perancis yang
saat itu baru berumur 19 tahun, Alexandre Edmond Bacquerel[1]. Adapun
material yang pertama dipelajari berupa padatan seperti selenium oleh
Heinrich Hertz pada sekitar tahun 1870. Pada tahun 1883, seorang peneliti
Amerika Charles Fritts membuat solar PV pertama dari bahan wafer selenium.
Tahun 1888 Amerika pertama kali memberikan paten untuk sel

34 Brian, Memanen Energi Matahari


Gambar 4.1 Dari kiri ke kanan, Gerard Pearson, Daryl Chapin, dan Calvin Fuller,
para penemu PV dari Laboratorium BELL di tahun (sumber AT & T Bell Labs)

surya kepada Edward Weston. Pada tahun 1905, Albert Einstein berhasil
mengeluarkan publikasi paper untuk menjelaskan fenomena pada efek
fotoelektrik. Selanjutnya, pengembangan sel fotovoltaik pertama dilakukan
oleh seorang ilmuwan bernama Gerard Pearson, Daryl Chapin, dan Calvin
Fuller dari Bell Laboratories sekitar tahun 1954. Pada bab ini, akan dituliskan
beberapa teori tentang PV sel surya beserta penjelasannya.

Silikon
Sel surya Photovoltaic (PV) adalah divais yang dapat mengubah energi dari
matahari menjadi energi listrik secara langsung melalui efek fotovoltaik.
Prinsip kerja PV sel surya ini memanfatkan tumbukan oleh foton dari sinar
matahari yang datang terhadap elektron pada P-N Junction material
semikonduktor, seperti silikon, yang sudah didoping. Elektron yang
tertumbuk akan bergerak melalui hole pada arah tertentu dan pergerakannya
akan menghasilkan listrik. Prinsip kerja sel surya ini dapat dilihat pada
Gambar 4.2.
Silikon merupakan salah satu material semikonduktor yang nilai
konduktivitasnya dapat diubah dengan menambahkan suatu atom asing
atau atom pengotor. Teknik ini dikenal dengan nama sistem doping.

Teori PV Sel Surya 35


Gambar 4.2 Prinsip kerja PV sel surya yang merupakan gabungan silikon tipe p dan tipe n

Gambar 4.3 Struktur atom silikon

Proses doping pada atom silikon ini dilakukan untuk memberikan kondisi
kelebihan elektron (N-type) dan kekurangan elektron (P-type) sehingga
memungkinkan terjadinya pergerakan elektron. Pada semikonduktor tipe-N,
atom memberikan elektron bebas (berlebih) pada semikonduktor dan
material yang umum digunakan adalah fosfor. Semikonduktor tipe-P dibuat
dengan memberikan atom yang membuat kondisi atom positif atau
kekurangan elektron. Kondisi ini memungkinkan semikonduktor untuk
menerima elektron dari semikonduktor tipe-N (yang memiliki kelebihan
jumlah elektron).
Ketika terjadi kenaikan temperatur pada silikon, empat buah elektron valensi
yang berikatan secara kovalen akan memiliki cukup energi untuk
melepaskan diri dan bergerak secara bebas. Pergerakan elektron yang
meninggalkan tempat asalnya akan menghasilkan sebuah lubang atau hole.
Semakin banyak elektron yang bebas, semakin banyak lubang yang akan
terbentuk. Pada semikonduktor murni seperti silikon, jumlah hole yang
terbentuk akan sama dengan jumlah elektron yang bebas. Elektron yang
bebas bermuatan negatif sehingga berdasarkan Hukum Kekekalan
Momentum, hole akan bermuatan positif.

36 Brian, Memanen Energi Matahari


Gambar 4.4 Sistematika proses doping dari kisi krital silikon

Gambar 4.5 Proses pembentukan elektron dan hole

Pembuatan sel surya dengan memanfaatkan silikon sebagai bahan utama


dikenal sebagai teknik konvensional atau tradisional karena teknik ini
dikembangkan pertama kali dan hingga saat ini masih dapat dikenal dengan
baik. Berdasarkan keteraturan struktur kristalnya, silikon dapat dibedakan
menjadi silikon kristalin tunggal (mono-Si) dan silikon polikristalin (multi-
Si). Selain itu, metode untuk membuat sel surya tipe silikon juga berbeda.
Untuk membuat sel surya tipe mono-Si digunakan metode Chozchralski atau
Flat Zone, sedangkan untuk membuat sel surya tipe multi-Si digunakan
metode casting.

Thin Film
Thin film sel surya (TFSC) atau juga dikenal sebagai thin film photovoltaic cell
(TFPV) adalah sel surya yang dibuat dengan menyimpan satu atau lebih
lapisan tipis (thin film) dari material fotovoltaik. Ide pembuatan sel surya
berbasis thin film berasal dari masalah penyerapan sinar matahari oleh sel
surya tipe kristalin silikon yang terlalu tebal, berat, dan tidak fleksibel. Oleh
sebab itu, para ilmuwan mengembangkan sel surya generasi kedua dengan
tipe thin film yang lebih tipis, ringan, dan fleksibel. Variasi ketebalan sel surya

Teori PV Sel Surya 37


jenis ini dari ukuran nanometer hingga 10 mikrometer. Thin film pertama kali
dikenal pada akhir tahun 1970, yaitu ketika kalkulator dengan tenaga sel
surya pertama kali muncul di pasaran[2]. Saat ini, pengembangan sel surya
tipe ini masih terus berlanjut.

Gambar 4.6 Perbedaan modul sel surya silikon dengan thin film

Film disimpan dengan berbagai metode penyimpanan dari bermacam-


macam substrat. Thin film sel surya dapat dikategorikan berdasarkan material
fotovoltaiknya, seperti berikut[2]:
• Cadmium telluride sel suryas (CdTe)
• Copper indium gallium selenide sel suryas (CIS atau CIGS)
• Amorphous silicon (a-Si) dan sel thin film silikon yang lain
• Emerging photolotaics (orgamic, quantum dot, dye-sensitized, dan perovskite sel
suryas)

Pembuatan sel surya dari bahan thin film lebih murah dibandingkan dengan
sel surya yang dibuat dengan teknik konvensional, tetapi kurang efisien.
Efisiensi dari suatu sel surya tipe thin film dapat dibedakan berdasarkan
jumlah junction pada lapisan sel surya ini. Secara teori, besar efisiensi untuk
jenis homo-junction adalah 30%, sedangkan untuk hetero-junction 42% dan
untuk jenis tandem multigap-junction sebesar 76%. Thin film jenis multi-
junction lebih sering digunakan karena memilki nilai efisiensi yang tinggi dan
daya serap yang tinggi dibandingkan dengan thin film jenis lain. Selain itu,
thin film jenis ini memiliki band model tipe pertengahan yang membuatnya
mampu menghasilkan tingkat energi yang berlipat[3]

38 Brian, Memanen Energi Matahari


Gambar 4.7 Perbandingan tingkat efisiensi setiap teknologi sampai Desember 2015
(Fraunhover Report 2015)

Gambar 4.8 Perbedaan jumlah junction pada sel surya tipe thin film silicon

DSSC
Dye Sensitized Sel Surya (DSSC) merupakan sel surya generasi ketiga yang
diciptakan manusia setelah sel surya berbasis silikon dan thin film.
Pembuatan DSSC mengunakan prinsip kerja proses fotosintesis. Jika
sebelumnya pembuatan sel surya menggunakan silikon, untuk pembuatan
DSSC menggunakan klorofil yang berasal dari tumbuhan. DSSC merupakan
penggabungan bahan organik dan anorganik. Bahan organik yang berasal
dari tumbuhan diekstrak sebagai bahan warna dari kaca bening berlapis
titanium dioksida (TiO 2 ). Titanium dioksida ini berfungsi sebagai material
semikonduktor tempat berlangsungnya reaksi antarklorofil.

Teori PV Sel Surya 39


Gambar 4.9 Perbandingan proses fotosintesis dengan DSSC

Proses pembuatan DSSC dimulai dengan penyerapan sinar matahari oleh


lapisan dye. Selanjutnya akan berlangsung reaksi antara TiO 2 dan sinar
matahari pada material semikondukor yang menyebabkan terjadi aliran
elektron yang menghasilkan arus listrik. Adanya aliran elektron disebabkan
terdapat lapisan elektrolit di atas lapisan semikonduktor. Fungsi lapisan
elektrolit adalah sebagai regenerasi muatan pada lapisan dyes.
Proses perpindahan elektron yang terjadi pada sel surya tipe DSSC dimulai
dengan proses eksitasi elektron pada lapisan dye ketika sinar matahari
diserap, kemudian elektron ini akan terinjeksi ke dalam band TiO 2 dan
elektron ini akan bergerak menuju katoda melalui sirkuit eksternal. Katoda
akan mengalami reduksi, sedangkan dye mengalami reaksi regenerasi
(oksidasi) yang mengakibatkan terbentuknya energi potensial yang
menghasilkan kerja pada DSSC berupa energi listrik.

Gambar 4.10 Aliran energi pada DSSC

40 Brian, Memanen Energi Matahari


Gambar 4.11 Proses perpindahan elektron pada DSSC

Saat ini terdapat sekitar 325 industri di seluruh dunia yang mengembangkan
sel surya fotovoltaik dan total produksi PV telah mencapai 10 GWp pada
tahun 2009, tetapi hanya sekitar 3.5 GWp yang dihasilkan oleh 10 industri
terkemuka di dunia[4].

Pustaka
[1] Palz, Wolfgang. 2010. Power for the World - The Emergence of Electricity from
the Sun. Belgium: Pan Stanford Publishing. p. 6.
[2] Wikipedia. 2016. (tersedia di https://en.wikipedia.org/wiki/Thin-
film_solar_cell).
[3] Prof. K L Chopra. ”Thin Film Sel Suryas” (A Status Review). (tersedia
di http://www.kfupm.edu.sa/centers/CENT/AnalyticsReports/KFUPM-
TFSC-Dec20.pdf).
[4] David E Carlson. 2009. ”Basic Science Issues in the Development of
Photovoltaics”. BP Solar. Presentation Slides.

Sumber Gambar
http://www.geekstronaut.com/everything-you-need-to-know-about-solar-
cells/
http://asdn.net/asdn/physics/semiconductor.php
http://hyperphysics.phy-astr.gsu.edu/hbase/solids/intrin.html
http://www.cleanenergyreviews.info/blog/pv-panel-technology
Fraunhover Institute for Solar Energy Systems, Photovoltaic Reports, March
2016.

Teori PV Sel Surya 41


5 Silikon Kristalin Solar PV

Kristal silikon solar PV merupakan jenis teknologi fotovoltaik yang hingga


saat ini paling banyak digunakan untuk memproduksi sel surya.
Pembuatan sel surya dari bahan kristalin silikon dikenal sebagai teknik
konvensional karena teknologi inilah yang menjadi generasi pertama
dikembangkan, yaitu pada sekitar tahun 1950. Kristalin silikon (c-Si)
pertama kali dibuat pada saat itu hingga sekarang masih dapat ditemui[1].
Pada generasi pertama ini, sel surya dibuat dengan ketebalan 160 µm yang
lebih dikenal sebagai wafer-based sollar cells termasuk silikon kristal tunggal
(mono-Si) dan silikon polikristalin (multi-Si)[2]. Pada bab ini akan dibahas
lebih mendalam tentang kristalin silikon.

Silikon Kristal Tunggal


Silikon merupakan semikonduktor yang paling umum digunakan untuk
pembuatan sel surya karena jumlahnya yang melimpah dan mudah
didapat. Sel surya berbasis silikon kristal tunggal (Monocrystalline silicone sel
surya atau c-Si) dibuat dari potongan tipis yang berasal dari sebuah kristal
silikon homogen. Kondisi struktur molekular silikon yang seragam ini
sangat ideal untuk pergerakan elektron sehingga efisiensi sel surya silikon
kristal (mono-Si) relatif lebih tinggi dibandingkan dengan sel surya jenis
lain. Meskipun silikon kristal tunggal memiliki keteraturan yang tinggi
pada sturuktur kristalnya, silikon ini mengandung cacat kristal dengan
jumlah sedikit denga tingkat akurasi yang tinggi sehingga biaya produksi
yang diperlukan sangat mahal.

42 Brian, Memanen Energi Matahari


Gambar 5.1 Ilustrasi ikatan kovalen pada kristal silikon

Silikon banyak dikembangkan untuk solar sel mengingat persediannya di


bumi ini sangat banyak. Kandungan silikon terbanyak dijumpai pada pasir
kuarsa dalam bentuk oksida silikon (SiO 2 ) yang kemudian mengalami
proses pemurnian[3].

Reaksi pemurnian silikon[3]:

Silicon Refining : SiO2 + 2 C  Si + 2 CO


Silicon Purification : Si + 3 HCl  HSiCl3 + H2
Silicon Deposition : HSiCl3 + H2  Si + 3 HCl

Tantangan utama dalam pembuatan sel surya dari bahan silikon kristal
tunggal ini adalah pembuatan logam silikon dengan tingkat kemurnian
yang tinggi (high purity silicon ingots). Proses yang umum dilakukan untuk
menghasilkannya dikenal dengan teknik “Czochralski” atau yang sering
dikenal sebagai “Cz Process”. Proses ini dilakukan dengan memutar bibit
kristal silikon padat yang diekstrak secara perlahan dari kolam atau bejana
yang berisi silikon cair. Proses pemutaran dikontrol dengan sangat cermat
sedemikian sehingga kristal silikon tumbuh dengan keteraturan yang
sangat tinggi.

Gambar 5.2 Ilustrasi proses Czochralski

Silikon Kristalin Solar PV 43


Gambar 5.3 Silicon Crystal Ingots

Dengan melakukan proses Czochralski, akan diperoleh silikon dalam


bentuk silinder yang berukuran sekitar 1−2 meter yang kemudian dapat
dipotong hingga mencapai ratusan wafer berupa potongan tipis. Potongan-
potongan ini kemudian disesuaikan bentuknya agar diperoleh luas daerah
yang signifikan ketika disusun menjadi sebuah modul. Bentuk yang umum
adalah kotak dengan sudutnya yang tidak lancip. Beberapa pemeriksaan
terhadap performansi wafer silikon dilakukan sebelum wafer-wafer tersebut
dibuat menjadi modul sehingga antara satu wafer dan wafer lainnya tidak
memiliki perbedaan yang besar dalam satu modul.
Sel surya dari bahan silikon kristal tunggal sudah sangat banyak
dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari, seperti mainan anak, jam,
kalkulator, kipas angin, lampu penerangan, pompa air, pemanas air, hingga
satelit. Selain itu, pemanfaatan silikon kristal tunggal sebagai teknologi
fotovoltaik juga memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan
penggunaan sel surya tipe silikon kristal tunggal antara lain lebih tahan
lama dibandingkan dengan tipe lain, mampu mengubah energi surya
dengan tingkat efisiensi yang tinggi, biaya pemasangan yang murah,
jumlah energi untuk produksi yang relatif rendah sehingga heat resistance
juga relatif rendah, ramah lingkungan, dan mengurangi ketergantungan
terhadap bahan bakar fosil [4].

44 Brian, Memanen Energi Matahari


Gambar 5.4 Aplikasi sel surya tipe silikon kristal tunggal

Umur sel surya yang dibuat dari bahan silikon kristal tunggal dapat
mencapai hingga 50 tahun dengan kemungkinan penurunan efisiensi rata-
rata 0,5% setiap tahun. Sebagian besar garansi untuk sel surya tipe ini
adalah 25 tahun[5]. Akan tetapi, apabila fotovoltaik masih dalam keadaan
yang baik maka akan tetap menghasilkan listrik. Sampai saat ini
penggunaan sel surya tipe ini masih mudah dijumpai di daerah perkotaan
atau tempat yang luasnya terbatas.
Namun, penggunaan sel surya tipe ini juga memiliki kekurangan, yaitu
untuk proses manufakturnya membutuhkan temperatur dan energi yang
tinggi, bahan baku diperoleh dengan harga yang tinggi, dan mudah
mengalami kerusakan. Untuk kristal silikon dengan tipe kristal tunggal,
harga pembuatan yang lebih rumit membuat harganya lebih mahal jika
dibandingkan dengan silikon tipe multikristal. Meskipun begitu, efisiensi
yang dimiliki kristal tunggal lebih tinggi jika dibandingkan dengan
multikristal sehingga secara umum harga per energi yang dibangkitkan
relatif sama antara kristal tunggal dan multikristal.

Silikon Polikristalin
Silikon polikristalin atau lebih dikenal sebagai polisilikon (multi-Si)
merupakan silikon dengan tingkat kemurnian yang tinggi dan biasa
dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan teknologi fotovoltaik dan
industri elektronika. Produksi sel surya dengan bahan baku silikon
polikristalin memanfaatkan pemurnian pasir kuarsa (SiO 2 ) dengan sisi P-
type pada atom silikon hasil pemurnian ditambah dengan atom boron.

Silikon Kristalin Solar PV 45


Ukuran standar silikon polikristalin adalah sekitar 156 mm atau 6 inci dan
pada bagian depan dilindungi oleh material anti-reflection coating (ARC)
berupa silikon nitrida (SiN x ) dan titanium oksida (TiO x ) yang berguna
untuk mengurangi kehilangan sisi P-type akibat pantulan. Daerah N-type
ditambahkan dengan atom fosfor (P) atau arsenida (As) pada bagian atas
permukaan P-type untuk membentuk P-N junction yang merupakan jalur
aliran elektron agar terjadi aliran listrik pada sel.

Gambar 5.5 Susunan molekul silikon semikonduktor P-type dan N-type

Gambar 5.6 Tahapan pembuatan modul sel surya tipe kristalin silikon
(Sumber: Sharp©, 2010)

Sel surya tipe silikon polikristalin terbentuk dari bongkahan kristal silikon
yang dilelehkan dan kemudian dicetak menjadi sel surya. Silikon
polikristalin ini memiliki orientasi yang tidak seragam karena terdiri dari
kristal silikon yang terbagi menjadi beberapa kluster dengan setiap kluster
memiliki orientasi masing-masing.
Proses pemurnian silikon terdiri dari dua metode, yaitu secara kimia
(chemical route) dan metalurgi (metallurgical route). Dengan memanfaatkan
metode kimia, dapat dihasilkan 99,99% kandungan silikon murni. Proses
pemurniannya sebagai berikut.

46 Brian, Memanen Energi Matahari


a. Pasir kuarsa (SiO 2 ) direaksikan dengan karbon (C) yang berasal dari
kayu, arang, atau batu bara dalam arc furnace pada temperatur sekitar
1.9000C, kemudian didinginkan sehingga akan terbentuk metallurgical
grade silicon (MGS) dengan tingkat kemurnian sekitar 98%.
b. Silikon dengan tingkat kemurnian 98% ini kemudian direaksikan
dengan HCl pada kondisi fluidized bed reaction untuk menghasilkan
thrichlorosilane (HSiCl 3 ), kemudian material ini akan dimasukkan ke
dalam chemical vapor deposition (CVD).

Kristal

Reduksi Karbotermis
Metalurgical-grade silicon

Pemurnian Kimia Pemurnian Metalurgi

Polysilicon

Produksi Wafer
Monocrystalline silicon wafer
Multicrystalline silicon wafer

Produksi Sel Surya

Sel Surya Kristalin Silikon

Gambar 5.7 Diagram tahapan produksi sel surya tipe kristalin silikon

c. Di dalam CVD, batang silikon yang setengah jadi dan berbentuk huruf
U dipanaskan secara elektrik pada temperatur sekitar 1.100oC pada
ruangan yang dingin. Silikon yang terbentuk dari reaksi antara HSiCl 3
dan H 2 akan membentuk polisilikon dengan tingkat kemurnian 99,99%
pada batang silikon yang dipanaskan.
Pemurnian silikon dengan menggunakan metode kimia sangat banyak
membutuhkan energi dibandingkan dengan metode metalurgi untuk
produksi silikon. Selain itu, masalah zat berbahaya dan korosif seperti
chlorosilane dan hydrochloric acid merupakan keterbatasan metode ini,
sedangkan untuk pemurnian silikon dengan menggunakan metode

Silikon Kristalin Solar PV 47


metalurgi memiliki kelebihan dalam memurnikan material-material
tertentu sehingga metode ini memiliki potensi untuk berkembang lebih
dominan dalam menghasilkan silikon grade untuk sel surya.

Gambar 5.8 Diagram proses produksi silikon

Silikon polikristalin yang terbentuk dari proses pemurnian dengan


memanfaatkan metode kimia selanjutnya akan mengalami beberapa proses
untuk menjadi modul PV. Beberapa tahap dalam pembentukannya, yaitu:
a. proses pembentukan ingot,
b. proses pembentukan wafer,
c. proses pembentukan sel,
d. pembentukan sirkuit, dan
e. proses pembentukan modul.
Proses pembentukan ingot berfungsi untuk meminimalkan cacat yang
terjadi pada silikon sebelum menuju proses pembentukan wafer. Setelah
ingot berhasil dibentuk, perlu dipotong dengan menggunakan suatu mesin
khusus menjadi blok dengan area melintang yang sebanding dengan
ukuran wafer yang akan dibuat. Wafer yang dihasilkan kemudian
dibersihkan dalam larutan alkaline etches untuk menghilangkan kontaminasi
pada permukaan wafer. Kemudian dilakukan proses pembentukan sel dan
pembentukan sirkuit yang terdiri dari beberapa proses, seperti proses
penyusunan tekstur (texturing), proses difusi emiter dengan memperhatikan

48 Brian, Memanen Energi Matahari


formasi junction, proses isolasi pada bagian depan dan sisi belakang emiter,
serta proses pelapisan dan metalisasi kontak. Selanjutnya, sel surya
mengalami proses screen printing dan testing untuk menghasilkan suatu
modul sel surya.

Gambar 5.9 Tahapan pembentukan modul PV dari sel hingga array

Perbedaan pembentukan monokristalin dengan polikristalin terletak pada


tahapan setelah terbentuknya high purity silicon. Untuk polikristalin
dibutuhkan proses yang lebih sederhana, yaitu dengan melalui
pembentukan ingot sehingga proses produksinya akan jauh lebih murah.
Biaya produksi untuk menghasilkan sel surya tipe ini terdiri dari biaya
bahan silikon (50%), biaya produksi sel (20%), dan biaya produksi modul
(30%)[6]. Seperti halnya pembuatan sel surya dengan tipe silikon kristal
tunggal, pembuatan sel surya dengan tipe silikon polikristalin juga
memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan dari pemanfaatan sel surya
silikon polikristalin, yaitu biaya produksi yang lebih murah dibandingkan
dengan monokristalin, memiliki kontaminasi metal yang relatif sedikit, dan
struktur kristal yang lebih fleksibel dibandingkan dengan monokristalin,
daya tahan sel surya tipe silikon polikristalin mencapai 25 tahun, dan
ramah lingkungan.

Silikon Kristalin Solar PV 49


Gambar 5.10 Proses produksi silikon polikristalin

Adapun kekurangan pemanfaatan sel surya polikristalin memiliki efisiensi


yang lebih rendah dibandingkan dengan monokristalin, yaitu sekitar 13%
dan sangat mudah pecah apabila tertimpa benda berat. Pemanfaatan sel
surya tipe silikon polikristalin dalam kehidupan sehari-hari adalah untuk
kebutuhan listrik di daerah perumahan dan fasilitas umum serta untuk
pembangkit listrik tenaga surya.

Gambar 5.11 Aplikasi sel surya tipe silikon polikristalin

50 Brian, Memanen Energi Matahari


Sampai saat ini masih banyak perusahan yang mengembangkan sel surya
tipe kristalin silikon dikarenakan bahannya yang mudah diperoleh karena
jumlahnya berlimpah di alam, tidak beracun, nilai laboratorium efisiensi
tinggi, dan tingkat kerusakan rendah.

Tabel 5.1 Perbandingan Beberapa Jenis Sel Surya


Ketebalan Sel
Teknologi Sel Surya Efisiensi Lab Maks. Si Use Biaya
Surya
Mono-crystalline Silicon
27.6% ~200 µm Tinggi $$$
(c-Si)
Poly-crystalline Silicon
20.4% ~200 µm Sedang $$
(p-Si)
Amorphous Silicon Thin
12.5% <1 µm Rendah $
Film (a-Si)

Perkembangan industri pembuat modul sel surya di dunia meningkat


sebesar 46% dari tahun 2000 dan telah mencapai 1200 MW pada tahun 2004.
Target tahun 2020 industri mampu menghasilkan daya 200 GW yang setara
dengan daya yang dihasilkan oleh Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir
(PLTN) sebanyak 200 buah[7]. Sayangnya, pemanfaatan sel surya di
Indonesia masih sangat minim. Hal ini disebabkan proses pembuatan sel
surya dengan bahan aktif, seperti silikon dan galium arsenida yang dibuat
dengan teknik efitaksi diperlukan biaya produksi yang tinggi. Indonesia
saat ini terkendala masalah impor wafer untuk membuat sel surya jenis
multikristalin.

Industri Silikon Kristalin Solar PV


Teknologi pembuatan sel surya seperti perkembangan teknologi
mendorong pembuatan sel surya dalam skala industri menjadi lebih
banyak. Industri sel surya lebih banyak menggunakan bahan baku berupa
polikristalin karena polikristalin memiliki tingkat kemurnian yang tinggi
dibandingakan dengan monokristalin. Industri sel surya SCHMID dalam
proses pembuatan sel surya polikristalin silikon menggunakan proses TCS-
Siemens dan SST Monosilane.
TCS-Siemens SST Monosilane
Proses rumit Proses sederhana dan lebih efisien
Konsumsi energi tinggi Konsumsi energi lebih rendah
Kualitas polikristalin silikon yang dihasilkan Kualitas polikristalin silikon yang dihasilkan
rendah tinggi
Menghasilkan limbah Cenderung tidak menghasilkan limbah
Tabel 5.2 Perbandingan Teknologi untuk Pembuatan Sel Surya

Silikon Kristalin Solar PV 51


Gambar 5.12 Layout industri dalam memproduksi silikon

Gambar 5.13 Alur proses pembuatan sel surya silikon oleh SCHMID

52 Brian, Memanen Energi Matahari


Gambar 5.14 Reaktor dan laboratorium untuk analisis kimia dari polisilikon

Berdasarkan Tabel 5.2, dapat diketahui bahwa prose SST jauh lebih baik
dibandingkan dengan TCS. Selain itu apabila ditinjau dari segi operasi,
biaya dan lingkungan, serta kualitas produk yang dihasilkan, SST memiliki
banyak kelebihan sebagai berikut.
Operasi:
 Proses berlangsung secara sederhana dan jelas sehingga mudah
dalam start-up serta operasi sistem yang stabil.
 Tidak memerlukan vent gas pada unit recovery.
 Tidak ada tahapan yang rumit di antara aliran proses.
 Tidak ada aliran HCl dalam proses.
 Proses endothermic hydrochlorination untuk keselamatan dan waktu
pemakaian alat.
 Aliran massa yang rendah secara signifikan mengalir melalui
reaktor CVD.
Biaya dan lingkungan:
 Yield silikon yang tinggi terdapat pada kualitas produk yang baik.
 Tidak memerlukan destilasi dari cholrosilane.
 Terbuangnya silikon dan chlorine dapat diminimalkan.
 Secara signifikan suhu deposisi rendah (850 °C).
Kualitas produk:
 Grade smikonduktor (9...11N) dapat dibuat dengan prinsip kimia
dari proses yang tidak memerlukan sumber dari karbon untuk
tujuan konversi dan HCl dalam reaktor CVD dan proses pemurnian
monosilan hanya merupakan suatu pilihan.

Silikon Kristalin Solar PV 53


 Grade semikonduktor (> 9N) untuk keperluan sel dengan efisiensi
tinggi pada teknologi monokristal diperoleh ketika nilai dari
material dengan kulaitas < 9N dan akan menjadi tekanan yang berat
pada kompetisi level tinggi, penghasil dari sistem PV dengan efisien
tinggi akan menambah pangsa pasar (market share).

Gambar 5.15 Plant proses SST Monosilane dengan total biaya setiap proses

Pustaka
[1] D. M. Chapin-C. S. Fuller-G. L. Pearson. 1954. ”A New Silicon p–n
Junction Photocell for Converting Solar Radiation into Electrical
Power”. Journal of Applied Physics, vol 25 page 676
[2] Wikipedia. 2016. (tersedia di https://en.wikipedia .org/wiki/
Crystalline_silicon).
[3] Conrad T. Sorenson. 1999. ”Semiconductor Manufacturing Technology:
Semiconductor Manufacturing Processes”. Praxair, Inc. Arizona Board
of Regents for The University of Arizona. Presentation Slides.
[4] Solar Fact and Advice. “8 Good Reasons Why Monocrystalline Solar
Panels are the Industry Standard”. (tersedia di http://www.solar-facts-
and-advice.com/monocrystalline.html).
[5] Solar Fact and Advice. “Monocrystalline”. (tersedia di http://www.solar-
facts-and-advice.com/monocrystalline.html).

54 Brian, Memanen Energi Matahari


[6] Tatsuo Saga. 2010. ”Advances in crystalline silicon sel surya technology
for industrial mass production”. NPG Asia Mater volume 2 (3) 96–102.
[7] Ayi Bahtiar, Annisa Aprilia, Fitrilawati. 2011. ”Sel-Surya Polimer: State
Of Art dan Progres Penelitiannya di Universitas Padjadjaran. Jurnal
Material dan Energi Indonesia, Vol. 01, No. 01, halaman 7 – 14.
[8] Peter Woditscha and Wolfgang Kochb. ”Solar grade silicon feedstock
supply for PV Industry”. Deutsche Solar GmbH, Berthelsdorfer Street
113, D-09599 Freiberg, Sachsen, Germany and Bayer AG, Rheinuferstr.
7-9, D-47829 Krefeld, Germany.
[9] J.A. Eikelboom and M.J. Jansen. Characterisation of PV Modules of New
Generations Results of tests and simulations. June 2000.
[10] B.S. Xakalashe and M. Tangstad. Mintek, Randburg, South Africa-
NTNU, Trondheim, Norway. Silicon processing: from quartz to
crystalline silicon solar cells. Southern African Pyrometallurgy 2011,
Edited by R.T. Jones & P. den Hoed, Southern African Institute of
Mining and Metallurgy, Johannesburg, 6-9 March 2011.
[11] R.Bakowskie, H. von Wenckstern, D.Lausch, M.Müller, K.Petter,
M.Grundmann. Thermal Admittance Spectroscopy Of Multicrytsalline
Silicon Wafers And Solar Cells. Universität Leipzig, Institut für
Experimentelle Physik 2, Linnéstr.5, D-04103 Leipzig, Germany and Q-
Cells SE, Technology. R&D Silicon, OT Thalheim, Sonnenallee 17-21, D-
06766 Bitterfeld-Wolfen, Germany.
[12] Andrew Blakers, Klaus Weber and Vernie Everett. Sliver Solar Cell
Technology. Australian National University, Canberra. March 2006.

Sumber Gambar

Department of Physics and Astronomy, Arizona State University, Tempe,


AZ 85287-1504. Copyright 1995-2000 Arizona Board of Regents.
https://www.asu.edu/courses/phs208/patternsbb/PiN/info/rdg/silicon/index.
htm
http://www.azom.com/article.aspx?ArticleID=1169
Smithsonian, Jan 2000, Vol 30, No. 10
http://www.reuk.co.uk/How-Do-PV-Solar-Panels-Work.htm
http://www.hscpoly.com/content/hsc_prod/manufacturing_overview.aspx
http://www.green-the-world.net/Solar_Energy_Panels.html

Silikon Kristalin Solar PV 55


6 Thin Film Sel Surya

Teknologi sel surya dengan menggunakan lapisan tipis (thin film) mulai
dikenal pada tahun 1970 yang pada saat itu digunakan pada kalkulator surya
dengan memanfaatkan sel surya untuk menangkap sinar matahari yang
kemudian diubah menjadi sumber tenaga untuk kebutuhan kalkulator
tersebut. Sel surya dengan menggunakan teknologi thin film menggabungkan
satu atau lebih material fotovoltaik yang sangat tipis, kurang lebih 1µm di
atas sebuah substrat. Pembuatan sel surya dengan memanfaatkan teknologi
thin film merupakan teknik lebih lanjut dalam perkembangan sel surya
setelah teknologi kristalin dan wafer pada silikon. Teknologi thin film ini
menggunakan beberapa material nonsilikon seperti Copper Indium Gallium
Selenide (CIGS) dan Cadmium Telluride (CdTe). Teknologi thin film jenis ini
sering dimanfaatkan untuk aplikasi di luar ruangan. Adapun alasan
pengembangan sel surya berbasis thin film ini adalah untuk mengurangi
jumlah bahan aktif yang dibutuhkan untuk membuat sebuah modul sel
surya.
Sel surya yang berbasis kristalin silikon menggunakan sebuah lapisan gelas
tipis, sedangkan thin film memiliki berat dua kali kristalin silikon meskipun
keduanya memiliki kesamaan dalam pengaruh ekologi yang berhubungan
dengan analisis life-cycle. Kelebihan panel thin film memiliki 2-3% efisiensi
konversi yang lebih rendah dibandingkan dengan kristalin silikon. Pada bab
ini akan dibahas lebih lanjut tentang perkembangan sel surya tipe thin-film.

Copper Indium Gallium Selenide (CIGS)


Sel surya jenis Copper Iindium Gallium Selenide (CIGS cell atau CIS cell)
merupakan salah satu tipe dari sel surya yang berbasis thin film yang mampu
mengonversi sinar matahari menjadi energi listrik. Sekitar tahun 1953, sel
surya jenis CIGS mulai dikembangkan pertama kali oleh Hahn dengan cara
menyintesis CuInSe 2 . Pada tahun 1974, sel surya jenis ini diajukan sebagai
material dasar dalam proses fotovoltaik. Penelitian ini kemudian dilanjutkan
oleh Boeing Corp, hingga pada sekitar tahun 1983-1984 dihasilkan sel surya
jenis CIGS yang berhasil mencapai 10% efisiensi sel surya[1]. Sel surya jenis

56 Brian, Memanen Energi Matahari


Gambar 6.1 Struktur sel surya jenis CIGS

CIGS ini pertama kali dijual secara komersial pada tahun 1998 dan saat ini
sudah banyak industri Amerika, Eropa, dan Jepang yang telah memproduksi
sel surya jenis ini.
Pembuatan sel surya jenis CIGS ini terdiri dari lapisan semikonduktor berupa
tembaga, indium, galium, dan selenida yang diletakkan dalam sebuah
lapisan gelas atau semacam plastik yang dilengkapi dengan elektroda pada
bagian depan dan pengumpul arus pada bagian belakangnya. Lapisan CIGS
sangat tipis, yaitu sekitar 1 µm dari substrat penyusun fotovoltaik sehingga
lebih fleksibel. Sel surya CIGS umumnya menggunakan aluminium atau kaca
sebagai lapisan dasar. Penggunaan aluminium sebagai lapisan dasar
berfungsi sebagai elektroda, sedangkan apabila sel surya CIGS
menggunakan lapisan dasar berupa kaca harus dilapisi dengan Molybdenum
yang berfungsi untuk menciptakan elektroda yang efektif.

Gambar 6.2 Perbedaan CIGS dengan lapisan dasar aluminium dengan kaca

Thin-Film Sel Surya 57


Gambar 6.3 Lapisan penyusun sel surya jenis CIGS

Secara garis besar, material penyusun sel surya jenis CIGS yang paling umum
sebagai berikut[2]:
a. Subtrat kaca yang umumnya berukuran 76x76x1,1 mm Corning 7059 glass,
yang sebelumnya dibersihkan dengan sonication dalam larutan air
Liquinox Soap Hot Deionized (HI).
b. Lapisan depan (SnO 2 F) yang dipasang dengan teknik Low Pressure
Chemical Vapor Deposition (LPCVD) pada tekanan total sebesar 60 torr dan
teperatur 550 °C. Lapisan ini teridiri dari lapisan SnO 2 F dengan tebal 0.45
µm dan i-SnO 2 dengan tebal 0.25 µm.
c. Lapisan ZnO dengan ukuran tebal 0.5 µm.
d. Lapisan CdS yang ditambahkan dengan teknik Chemical-Bath Deposition
(CBD) dengan ukuran 50 µm.
e. Lapisan CdTe dengan ukuran tebal sekitar 8-10 µm.
f. Lapisan Cu(In,Ga)Se 2 dengan ukuran 2 µm.
g. Lapisan Molybdenum dengan ukuran 0.5 µm.
h. Lapisan Verre dengan ukuran 2-5 μm.
Adapun metode produksi sel surya jenis ini yang dikenal sebagai proses offset
printing yang dikembangkan oleh Nanosolar, yaitu:
a. Aluminium foil yang berupa lembaran seperti pada percetakan koran
digulung dengan alat pencetak besar. Ukuran foil dengan panjang
beberapa mil dan lebar beberapa meter akan diputar, kemudian dicetak
oleh sebuah printer raksasa.

58 Brian, Memanen Energi Matahari


Gambar 6.4 Lembaran aluminium foil pada mesin pencetak (Sumber: Nanosolar, 2009)

b. Printer ini beroperasi pada temperatur kamar dengan menggabungkan


lapisan tipis dari tinta semikonduktor ke dalam foil, sedangkan pada sel
surya tipe thin film yang menggunakan lapisan dasar kaca membutuhkan
vacuum chamber untuk memasangkan tinta semikonduktor. Metode ini
merupakan inovasi besar pada perkembangan teknologi produksi sel
surya jenis CIGS dan CdTe sehingga mengurangi biaya dan menghemat
waktu produksi.

Gambar 6.5 Proses penggabungan tinta semikonduktor dengan foil

c. Proses selanjutnya adalah menyatukan semikonduktor lapisan CdS dan


ZnO. Lapisan ZnO merupakan material nonreflektif yang berfungsi
sebagai lapisan yang menyerap sinar matahari sehingga sinar matahari
dapat mencapai lapisan semikonduktor tersebut.

Gambar 6.6 Proses pemasangan lapisan ZnO

Thin-Film Sel Surya 59


d. Langkah terakhir, yaitu foil dipotong menjadi lembaran sel surya (sorted-
cell). Pemasangan sorted-cell ini mirip dengan sel surya berbasis kristalin
silikon. Karakteristik kelistrikan dari sel surya ini sudah sesuai untuk
mendapatkan distribusi efisiensi yang tertinggi.

Gambar 6.7 Proses pemotongan sel surya

Prinsip kerja sel surya jenis CIGS yang memiliki lapisan dasar kaca
memanfaatkan lapisan Molybdenum yang bertindak sebagai elektroda efektif.
Lapisan ini menyimpan sinar yang melewati bagian belakang dan
memantulkan sinar yang tidak diserap menuju ke lapisan penyerap sinar (P-
type CIGS). Adapun untuk N-type CIGS memanfaatkan lapisan tipis
penyangga yang ditambahkan pada bagian atas lapisan penyerap sinar.
Lapisan penyangga ini berupa kadmium sulfida (CdS) yang dilapisi oleh
lapisan tipis aluminium yang didoping dengan lapisan instrinsic zinc oxide (i-
ZnO). Perpaduan lapisan ini akan berubah menjadi ZnO:Al yang berfungsi
untuk melindungi CdS dari kerusakan akibat dihasilkannya listrik DC.
Perpaduan lapisan ini akan mengalami reaksi oksidasi yang menyebabkan
adanya aliran elektron ketika sinar matahari diserap oleh sel surya jenis
CIGS. Arus listrik akan tetap dihasilkan walaupun tidak adanya cahaya
matahari yang mengenai sel surya. Ketika sel surya ini dipapar dengan
cahaya matahari yang mengandung foton, elektron akan berpindah semakin
cepat dan semakin banyak di antara lapisan temu tersebut dan menghasilkan
arus listrik yang lebih besar.

60 Brian, Memanen Energi Matahari


Gambar 6.8 Proses penyerapan sinar matahari pada sel surya jenis CIGS

Pada tahun 2013, efisiensi sel surya jenis CIGS yang dikembangkan oleh
Centre for Solar Energy and Hydrogen Research Baden Württemberg (ZSW)[3]
sudah mencapai 20,8%. Sementara itu pada saat ini, biaya produksi sel surya
jenis CIGS ini telah mencapai $1,33/Wp dan pada tahun 2012 pangsa pasar
(market share) CIGS telah mencapai 2000 MW. Dengan mengefisiensikan
waktu dan biaya produksi, CIGS diharapkan mampu mendominasi
pemakaian sel surya di masa yang akan datang.

Gambar 6.9 Perbandingan sel surya tipe thin film berdasarkan pangsa pasar (market
share)

Thin-Film Sel Surya 61


CIGS merupakan teknologi sel surya yang masih baru dan sangat berpotensi.
Saat ini CIGS ini telah banyak dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari.
Pemanfaatan sel surya jenis CIGS, antara lain pada perumahan yang biasa
dipasang pada atap yang miring, pada pertanian dengan tipe modul tembus
pandang yang biasa dipasang pada rumah kaca, gedung perkantoran
(Building Integration Photovoltaic-BIPV), pembangkit listrik tenaga surya, dan
pada mobil listrik. Keuntungan pemanfaatan sel surya jenis CIGS adalah
lebih tahan panas daripada sel surya jenis kristalin silikon, pengurangan
efisiensi lebih sedikit dibandingkan dengan sel surya jenis kristalin silikon,
dan tidak mengandung zat beracun (kadmium, Cd).

Tabel 6.1 Keuntungan dan Kelemahan Sel Surya CIGS


Keuntungan Kerugian
Efisiensi CIGS lebih tinggi dibandingkan Efisiensi CIGS masih lebih rendah dengan
dengan sel surya thin film tipe lain. sel surya silikon.
CIGS fleksibel. Pangsa pasar (market share) CIGS masih
rendah.
CIGS tidak beracun seperti CdTe. Biaya produksi CIGS lebih mahal
dibandingkan dengan sel surya thin film
lainnya.
CIGS lebih tahan panas daripada sel surya Struktur CIGS lebih kompleks dibandingkan
silikon. dengan sel surya silikon.
Perbandingan daya yang dihasilkan dan Pada daerah khatulistiwa, CIGS akan lebih
berat sel surya CIGS tinggi. cepat rusak dibandingkan dengan sel surya
CIGS mudah untuk dimobilisasi. lainnya.

Untuk masa mendatang, CIGS diharapkan dapat bersaing dengan sel surya
jenis lain. Hal ini dapat dicapai dengan menaikkan efisiensi CIGS dengan
teknik produksi yang lebih baik, mengurangi pencemaran lingkungan
dengan minimalisasi penggunaan bahan beracun dan mengurangi biaya
produksi hingga $0,5/Wp. Ketika hal-hal tersebut dapat dicapai, maka
dengan sendirinya pangsa pasar (market share) CIGS akan meningkat dan
kemungkinan CIGS menjadi sel surya yang lebih sering dimanfaatkan akan
lebih tinggi dibandingkan dengan sel surya jenis lain.

Cadmium Telluride (CdTe)


Sel surya jenis cadmium telluride (CdTe) merupakan salah satu teknologi
fotovoltaik jenis thin film yang berbahan dasar cadmium dan telluride. Sel surya
jenis CdTe termasuk ke dalam sel surya yang berbasis thin film yang biaya
produksinya jauh lebih rendah dibandingkan dengan sel surya jenis kristalin

62 Brian, Memanen Energi Matahari


silikon. Saat ini sel surya jenis CdTe menempati peringkat dua untuk jenis sel
surya yang sering digunakan setelah silikon.

Gambar 6.10 Lapisan penyusun sel surya jenis CdTe

Penelitian CdTe pertama kali dilakukan sekitar tahun 1950 karena hampir
sempurna untuk mendistribusikan foton pada spektrum surya dan
mengonversi secara optimal menjadi energi listrik[4]-[6]. Produksi pertama sel
CdS/CdTe pertama kali pada tahun 1960 oleh perusahaan General Electric
kemudian disusul oleh Kodak, Monosolar, Matsushita, dan AMETEK.
Profesor Ting L. Chu dari Universitas Florida Selatan berkontribusi dalam
meningkatkan efisiensi sel surya jenis CdTe di atas 15% pada tahun 1992. Hal
ini membuat sel surya jenis CdTe menjadi sel surya tipe thin film pertama
yang dapat mencapai tingkat ini yang kemudian diverifikasi oleh National
Renewable Energy Laboratory (NREL)[7].
CdTe merupakan sel surya yang paling dominan untuk tipe thin film, dengan
hampir 5% dunia memproduksi sel surya tipe ini dan hampir menguasai
lebih dari setengah penjualan tipe thin film di pasaran. Dengan kelebihan

Thin-Film Sel Surya 63


dalam hal efisiensi dan biaya produksi yang rendah, sel surya jenis CdTe
dapat diproduksi secara massal dengan memanfaatkan teknologi fotovoltaik.

Gambar 6.11 Proses penyerapan sinar matahari pada sel surya jenis CdTe

Perbandingan biaya listrik yang terdiri dari private cost, seperti biaya instalasi
dan semua biaya langsung untuk produksi sel surya jenis CdTe sedikit lebih
mahal dibandingkan biaya pembuatan sel surya dengan teknik
konvensional. Akan tetapi, dari segi environmetal cost sangat kecil
dibandingkan dengan sel surya jenis lain dan ramah lingkungan, bahkan
untuk biaya keseluruhan sel surya jenis CdTe merupakan yang paling
ekonomis.
Seperti jenis sel surya lain, sel surya jenis CdTe juga memiliki keuntungan
dan kerugian. Dengan memanfaatkan teknologi fotovoltaik, produksi sel
surya jenis CdTe hanya memakan biaya yang rendah dibandingkan dengan
jenis sel surya lain. Selain itu, sel surya jenis CdTe lebih mudah menyerap
sinar matahari dan lebih baik dari sel surya jenis lain karena mampu
menangkap

64 Brian, Memanen Energi Matahari


Gambar 6.12 Perbandingan Total Cost of Electricityuntuk sel surya jenis CdTe
(Sumber: P. Sinha, M. de Wild-Scholten, A. Wade, and C. Breyer, Total Cost of Electricity
Pricing of Photovoltaics, dipresentasikan pada EU PVSEC 2013)

energi pada panjang gelombang yang pendek dibandingkan dengan sel


surya jenis silikon, serta jumlah cadmium di alam yang lebih cukup membuat
produksi sel surya jenis ini dapat diproduksi secara massal. Akan tetapi,
untuk sel surya jenis CdTe ini masih memiliki kelemahan, yaitu level efisiensi
yang masih rendah yang berkisar antara 10 dan 15%, jumlah tellurium yang
sangat terbatas, dan cadmium yang bersifat racun.

Gambar 6.13 Kelebihan dan kekurangan sel surya tipe CdTe (Sumber: BP Solar, 2009)

Thin-Film Sel Surya 65


Pustaka
[1] ”Development of Cu(InGa)Se2 (CIGS) Thin Film Sel suryas”. Buletin of
Advanced Technology Research Vol. 5 No.8, Agustus 2011.
[2] Doug H. Rose et al. 1999. ”Fabrication Procedures and Process
Sensitivities for CdS/CdTe Sel suryas”. Prog. Photovolt: Res. Appl. 7, 331–
340.
[3] ZSW. 2013. ”ZSW produces world record sel surya”. (tersedia di
http://www.zsw-bw.de/en/support/news/news-detail/zsw-stellt-
weltrekord-solarzelle-her.html).
[4] R. H. Bube. 1955. ”Photoconductivity of the Sulfide, Selenide, and
Telluride of Zinc or Cadmium”. Proceedings of the IRE 43 (12): 1836–1850.
[5] D. A. Cusano. 1963. ”CdTe Sel suryas and PV Heterojunctions in II-VI
Compounds”. Solid State Electronics 6 (3): 217–218.
[6] B. Goldstein. 1958. ”Properties of PV Films of CdTe”. Phys. Rev 109 (2):
601–603.
[7] Y. A. Vodakov, G. A. Lomakina, G. P. Naumov, Y. P. Maslakovets.
1960. ”A P-N Junction photocell made of CdTe”. Soviet Physics, Solid State
2 (1): 1.
[8] R. Colman, July 28, 1964 U.S. Patent 3,142,586

Sumber Gambar
http://www.advanced-energy.com/en/FAQ.html
http://science.howstuffworks.com/environmental/green-science/thin-film-
solar-cell2.htm
Sciencedaily. 2015 ”Finding a way to boost efficiency of CIGS sel suryas”.
(tersedia di
https://www.sciencedaily.com/releases/2015/09/150928103056.htm).
http://www.geni.org/globalenergy/library/technical-
articles/generation/solar/pv-tech.org/nanosolar-uneils-640mw-utility-
scale-panel-fab-high-efficiency-cigs-cell-production/index.shtml
http://energyinformative.org/best-thin-film-solar-panels-amorphous-
cadmium-telluride-cigs/
P. Sinha, M. de Wild-Scholten, A. Wade, and C. Breyer, ”Total Cost of
Electricity Pricing of Photovoltaics”, dipresentasikan pada EU PVSEC 2013
(tersedia di http://www.firstsolar.com/en/Technologies-and-Capabilities/PV-
Modules/First-Solar-Series-3-Black-Module/CdTe-Technology.aspx).

66 Brian, Memanen Energi Matahari


7 Sel Surya Dye Sensitized

Setelah penemuan dan penggunaan jenis sel surya generasi pertama yaitu
jenis keping silikon dan jenis kedua yaitu lapisan tipis (thin film) berkembang,
para peneliti mencoba menemukan jenis lain yang berbeda dengan kedua
jenis sel surya tersebut. Pengembangan lebih lanjut dari teknologi sel surya
telah berkembang ke generasi ketiga yang disebut dengan dye-sensitized sel
suryas (DSSC). DSSC ini merupakan sel surya generasi ketiga yang diciptakan
manusia setelah sel surya berbasis silikon dan thin film. Jenis sel surya DSSC
berbeda dengan kedua tipe sel surya sebelumnya yang berbasis material
semikonduktor, tetapi jenis ketiga ini memanfaatkan eksitasi elektron dari
dyes ekstrak tumbuhan atau buah-buahan.

Cara kerja DSSC sesungguhnya memiliki dasar yang meniru proses


fotosintesis pada tumbuhan. Jika sebelumnya bahan dasar sel surya adalah
silikon, maka untuk DSSC bahan dasarnya adalah ekstrak dyes yang berasal
dari tumbuh-tumbuhan. Divais DSSC merupakan penggabungan bahan
organik dan nonorganik. Bahan organik berupa ekstrak dyes tumbuhan atau
buah-buahan yang biasanya dimanfaatkan sebagai zat warna, sedangkan
bahan nonorganik berupa kaca bening semikonduktor seperti titanium
dioksida (TiO 2 ). Titanium dioksida ini berfungsi sebagai tempat
berlangsungnya reaksi antara ekstrak tumbuhan dan sinar matahari sehingga
menghasilkan lompatan elektron dan kemudian arus listrik. TiO 2
sesungguhnya menjadi wadah atau tempat lokasi berdiamnya ekstrak
tumbuhan atau dyes berukuran mikro sehingga elektron yang melompat
dapat langsung berjalan pada semikonduktor oksida metal TiO 2 .

Sel Surya Dye Sensitized 67


Gambar 7.1 Contoh sel surya tipe DSSC dengan variasi warna yang berbeda-beda
(Sumber: Universita Degli Studi Di Torino, 2016)

DSSC pertama kali dikenalkan oleh Profesor Michael Graetzel dan Dr. Brian
O’Regan pada tahun 1991 di École Polytechnique Fédérale de Lausanne (EPFL),
Swiss. Penemuan oleh Prof. Graetzel ini kemudian membuat sel jenis ini juga
dikenal sebagai Gräetzel cell (GCell)[1]. DSSC merupakan sel surya yang lebih
canggih yang dibuat manusia dengan basis kerja menyerupai proses
fotosintesis yang menyerap sinar matahari untuk menghasilkan energi. Pada
fotosintesis, proses dimulai dengan adanya transfer foton ke dyes tumbuhan
yang menghasilkan eksitasi elektron dan selanjutnya diteruskan dengan
mengalirnya eksitasi elektron tersebut melalui saluran pigmen di daun yang
pada akhirnya menghasilkan karbohidrat dan glukosa.

Adapun pada DSSC, foton yang diterima oleh ekstrak tumbuhan dyes akan
mengeksitasi elektron yang selanjutnya dialirkan ke conducting glass (ITO)
melalui saluran TiO 2 . Oleh sebab itu, sesungguhnya TiO 2 berperan ganda
sebagai tempat bersarangnya ekstrak dye tumbuhan, juga sebagai saluran
mengalirnya elektron yang tereksitasi dari dyes tumbuhan. Dengan
menggunakan rangkaian luar yang menghubungkan antara conducting glass
dan counter electrode, akan dihasilkan arus listrik.

Tabel 7.1 Perbandingan Parameter Subsistem dalam Gratzel Sel Surya dan Fotosintesis

Subsistem Gratzel Sel Surya Fotosintesis


Akseptor Elektron Nanopartikel TiO 2 CO 2
Donor Elektron Elektrolit Triiodida Air
Photon Absorber Fruit Dye Klorofil

DSSC sangat mudah dibuat dengan menggunakan teknik roll-printing


tradisional yang semifleksibel, semitransparan, dan tidak memanfaatkan
bahan dasar kaca serta hanya memanfaatkan material yang murah. Material
penyusun DSSC yang paling umum digunakan pada lapisan dasar adalah
lapisan oksida transparan yang berperan sebagai elektroda aktif (TCO),
kemudian di atasnya terdapat lapisan oksida mesoporous, pada lapisan ketiga
terdapat lapisan oksida mesoporous dengan lapisan penutup molekul dye yang
aktif menangkap sinar matahari, pada lapisan keempat lapisan elektrolit
yang berisi redox mediators, sedangkan untuk lapisan kelima berupa lapisan
pembatas dan lapisan keenam berupa lapisan platina yang berperan sebagai
katalis, serta untuk lapisan ketujuh terdiri dari lapisan oksida transparan
yang berperan sebagai elektroda permukaan[2].

68 Brian, Memanen Energi Matahari


Gambar 7.2 Lapisan penyusun sel surya tipe DSSC

Kinerja sel surya tipe DSSC yang tinggi membutuhkan material yang
memiliki hambatan kecil dan transparan, seperti indium tin oxide (In 2 O 2 atau
ITO) dan fluorine-doped tin oxide (SnO 2 :F), sedangkan untuk bahan
semikonduktor yang digunakan harus memiliki kestabilan dalam
menghindari photo-corrosion pada band gap dan memiliki band gap yang besar,
yaitu lebih dari 3 eV untuk solar spectrum yang besar, seperti TiO 2 , ZnO, CdS,
WO 3 , Fe 2 O 3 , SnO 2 , Nb 2 O 5 , dan Ta 2 O 5 . Untuk dye yang sering digunakan,
berasal dari trinuclear Ru, N3, dan Black[3].

Gambar 7.3 Contoh model ikatan struktur pada Morin dyes

Lapisan elektrolit yang terdiri dari iodine (I-) dan triiodide (I 3 -) berfungsi
sebagai pasangan redoks serta dilengkapi dengan solvent yang berfungsi

Sel Surya Dye Sensitized 69


untuk meningkatkan sifat pada elektrolit dan kinerja DSSC. Lapisan solvent
yang sering digunakan adalah jenis acetonitrile, methoxyacetonitrile,
methoxypropionitrile, glutaronitrile, butyronitrile, ethylene carbonate, dan
propylene carbonate[4]. Untuk mencegah terjadi kebocoran elektrolit dan
penguapan dari material solvent, pada sel surya tipe DSSC ditambahkan
material sealing, yaitu surlyn atau du pont dan polimer antara etilen dan acrylic
acid.

Gambar 7.4 Bagian inti dari sel surya tipe DSSC

Prinsip kerja DSSC dimulai dengan sinar matahari yang menembus elektroda
transparan menuju lapisan dye yang menyebabkan eksitasi elektron dan
mengalir ke TiO 2 . Dye harus mampu menyerap sinar matahari dengan
panjang gelombang hingga 950 nm dengan besaran energi eksitasi berada
pada 1.35 eV dan tingkat energi yang dimiliki elektron minimal 0.2 V di atas
TiO 2 sehingga elektron dapat masuk ke dalam conduction band dengan energi
yang efisien. Elektron yang masuk ke dalam TiO 2 bukan berdasarkan proses
induksi medan listrik seperti pada tipe kristalin, melainkan melalui kinetik
pada dye yang melindungi antara permukaan semikonduktor dan elektrolit.
Kemudian dilanjutkan dengan mengalirnya elektron ke counter-electrode
(katoda) melalui jaringan luar dan terjadi proses regenerasi redoks (reduksi).
Proses regenerasi pada katoda ditandai dengan adanya proses reduksi
molekul triiodide dengan elektron yang berpindah melalui beban eksternal.
Posisi elektron yang ditinggalkan pada dye akan digantikan oleh elektron
yang dihasilkan dari elektrolit melalui proses oksidasi dari ion iodine. Proses
reduksi dan oksidasi ini akan menghasilkan perbedaan antara level Fermi
dan beda potensial reaksi redoks pada elektrolit.

70 Brian, Memanen Energi Matahari


Gambar 7.5 Ilustrasi prinsip kerja DSSC

Dye yang digunakan dalam DSSC yang sangat efisien harus memenuhi
beberapa persyaratan, antara lain harus memiliki spektrum absorpsi pada
rongga lapisan TiO 2 yang berukuran nano, level energi pada kondisi
ground/tereksitasi, laju konstan dari injeksi/rekombinasi, dan stabilitas.
Konsentrasi dye di dalam rongga elektroda TiO 2 yang berukuran nano dan
koefisien absorpsi menentukan bagian cahaya yang dapat terserap di lapisan
dengan ketebalan tertentu. Oleh karena itu, dye harus memiliki koefisien
absorpsi yang tinggi dan afinitas tinggi dengan TiO 2 untuk memastikan
lapisan permukaan yang rapat.
Prinsip kerja antara sel surya jenis DSSC dan sel surya tipe P-N Junction
terdapat perbedaan dalam hal penyerapan dan charge transport, charge
separation, serta ikatan antara elektron dan hole. Pada P-N junction, material
yang terlibat adalah material yang sama. Sementara itu pada DSSC, foton
diserap oleh dye dan charge transport oleh TiO 2 (transfer elektron) dan
elektrolit (transfer ion). Pada P-N junction, charge separation dihasilkan
melalui medan listik antar-junction. Selain itu, ikatan antara elektron dan hole
sangat lemah, sedangkan untuk DSSC dihasilkan dari proses kinetik dan
perbedaan energi serta ikatan antarelektronnya sangat kuat.
Berdasarkan grafik berikut dapat dilihat bahwa puncak absorpsi terjadi pada
540 nm dan meluas pada TiO 2 dibandingkan dengan larutan,
mengindikasikan terjadi ikatan elektronik yang kuat antara dye dan TiO 2.
Pada panjang gelombang yang lebih tinggi, absorpsi turun secara signifikan
sehingga spektrum matahari yang penting hilang.

Sel Surya Dye Sensitized 71


Gambar 7.6 Absorpsi Z907 pada larutan dengan elektroda TiO 2

Sebagai pendekatan absorpsi dari dye, dapat dijelaskan dengan Hukum


Lambert’s Beer sebagai berikut.
𝐼𝐼(𝑥𝑥)
= 10−𝛼𝛼.𝜆𝜆.𝑥𝑥.𝐶𝐶𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑 (7.1)
𝐼𝐼0
di mana:
I(x) = Intensitas cahaya pada titik x (W/m2)
I0 = Intensitas cahaya awal (W/m2)
𝛼𝛼 = Koefisien absorpsi (1/M.cm)
𝜆𝜆 = Panjang gelombang (nm)
C dye = Konsentrasi dye (M)
x = Jarak (cm)

Dengan nilai 𝛼𝛼 2.104 1/M.cm dan C dye ≈ 1/10 M, ini menunjukkan bahwa
ketebalan dari elektroda harus sebesar 5 µm untuk dapat menyerap 90%
cahaya masuk. Maksimum efisiensi konversi dapat dihasilkan menggunakan
absorber dengan band gap antara 1.1 dan 1.4 eV, yang mengacu pada panjang
gelombang antara 900 dan 1100 nm. Pada saat ini, belum ada dye pada DSSC
yang dapat menyerap pada spektrum tersebut. Hal ini merupakan salah satu
alasan efisiensi DSSC lebih rendah jika dibandingkan dengan panel surya
silikon, sedangkan untuk pengisian injeksi berlangsung dari orbit π*- grup
anchor (carboxylic atau phosponic acid) ke orbit titanium 3d-. Injeksi elektron
dari dye ke TiO 2 umumnya berlangsung dalam waktu femto-pico second dan
pengisian rekombinasi dalam mikro-mili second. Spektokropi penyerapan
laser transien digunakan untuk mengukur waktu yang sangat cepat serta
pada umumnya dye tereksitasi dapat terlihat dan absorbpsi counter-electrode
(mid-IR) atau dye teroksidasi dipantau menggunakan probe pulsa. Syarat
utama untuk pengisian injeksi yang efisien adalah reaksi kembali dari

72 Brian, Memanen Energi Matahari


counter-electrode ke dye teroksidasi adalah harus lebih lambat dari reduksi dye
teroksidasi oleh elektrolit.

Gambar 7.7 Proses pengisian injeksi dan pengisian rekombinasi

Level energi dari molekul dye yang tereksitasi harus 0.2-0.3 eV di atas band
konduksi dari TiO 2 untuk memastikan pengisian injeksi secara efisien.
Dalam kasus ini, energi aktivasi untuk reaksi kembali, reduksi dari sensitizer
yang teroksidasi oleh counter electrode adalah tinggi, lajunya konstan, dan
terlalu pelan untuk berkompetisi dengan regenerasi oleh elektrolit. Potensial
oksidasi dari kondisi tereksitasi 𝜙𝜙 0 D+/D* dapat diperkirakan dari 𝜙𝜙 0 D+/D dari
P P

kondisi ground dan energi eksitasi E 0-0 sesuai dengan persamaan sebagai
berikut.
0 0 𝐸𝐸0−0
𝜙𝜙𝐷𝐷+ / 𝐷𝐷∗ = 𝜙𝜙𝐷𝐷+/𝐷𝐷 − (7.2)
𝐹𝐹
di mana:
0
𝜙𝜙𝐷𝐷+ / 𝐷𝐷∗ = Potensial oksidasi dari kondisi tereksitasi (V)
0
𝜙𝜙𝐷𝐷+ / 𝐷𝐷 = Potensial oksidadi dari kondisi ground (V)
𝐸𝐸0−0 = Energi Eksitasi (J)
𝐹𝐹 = Konstanta Faraday (Q/mol)

Potensial oksidasi dari kondisi ground dapat diukur dengan squarewave


voltametri dari anchored dye dan energi eksitasi dapat diperkirakan dari
analisis emisi spektrum dari dye pada NIR. Energi level dari dye dapat
ditingkatkan jika terjadi aglomerasi pada permukaan TiO 2 , yang terjadi
khususnya pada cakupan dye yang padat. Pembentukan ikatan atau
perbedaan yang tinggi secara khusus merupakan masalah bagi hidrokarbon,
pthalocyanines, dan porphyrins. Hal ini dapat mengakibatkan perbedaan sifat

Sel Surya Dye Sensitized 73


elektronik dari kondisi ground dan atau kondisi tereksitasi, yang dapat
mempengaruhi efisiensi pengisian injeksi. Salah satu cara untuk mengatasi
dengan memakai jembatan kaku antara grup anchor dan molekul dye
chromophore.
Setiap sensitizer di dalam DSSC harus mempertahankan setidaknya 20 tahun
beroperasi tanpa degradasi yang signifikan. Pertimbangan DSSC standar
dengan efisiensi konversi 6% (V OC = 0.7 V, I SC = 12.2 mAcm-2, FF = 0.7)
pengisian total Qt dari ca 878000 C diinjeksi ke TiO 2 jika radiasi surya
diasumsikan 1.000 W/m2 untuk operasi 1.000 jam per tahun.

𝑄𝑄𝑡𝑡 = 𝐼𝐼𝑠𝑠𝑠𝑠 ∗ 𝑡𝑡𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠 ∗ 𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙 (7.3)


dengan:
Qt = charge/C•cm-2
I SC = short circuit current (misalnya: 1.22*102 A•cm-2)
t sun = time of AMI 1.5 irradiation per year (example: 1000 hours/year)
lifetime = expected lifetime DSSC/years
Pada sel surya tipe DSSC, cakupan dye pada permukaan TiO 2 adalah sebesar
1.10-7 mol/cm2, jumlah redox cycle per molekul dye n redox dapat dihitung
dengan persamaan sebagai berikut:
𝑄𝑄𝑡𝑡
𝑛𝑛𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟 = (7.4)
𝑒𝑒 ∗ 𝑁𝑁𝐴𝐴 ∗ �
dengan:
n redox = jumlah siklus redox
Qt = muatan/C•cm-2 (misalnya 878000 C•cm-2)
e = 1.6022*10-19 Q
NA = Konstanta Avogadro (6.023*1023 mol-1)
ᴦ = surface concentration of sensitizer (10-7 mol•cm-2)
Dengan nilai yang diberikan, ternyata setiap molekul dye mengalami 91 juta
siklus redoks dalam dua puluh tahun seumur hidup. Idealnya, injeksi
elektron dan regenerasi benar-benar reversible, tetapi dalam perangkat yang
nyata beberapa degradasi dye terjadi. Standar uji mempercepat aging
berlangsung biasanya untuk 1.000 jam, yang sesuai dengan satu tahun
aplikasi luar ruangan. Data yang tersedia pada tes outdoor selama beberapa
tahun sedikit atau bahkan tidak ada data sehingga masih sulit untuk
memperkirakan umur DSSC dapat mencapai 20 tahun.

74 Brian, Memanen Energi Matahari


Tabel 7.2 Kelebihan dan kelemahan DSSC

Kelebihan Kekurangan
Ramah lingkungan dan tidak menghasilkan Efisiensi rendah apabila dibandingkan
emisi dengan sel surya semikonduktor tradisional
Harga material murah dan pengolahannya Dye akan berkurang seiring dengan
mudah teknologi DSSC menggunakan cairan
elektrolit yang memiliki masalah
kestabilan temperatur

Dapat bekerja pada kondisi cahaya rendah, Harus berhati-hati dalam penyegelan
nilai cut off rendah sehingga karena mengandung pelarut organik yang
dipertimbangkan untuk digunakan dalam mudah menguap
ruangan
Memancarkan kalor jauh lebih mudah dan
beroperasi pada suhu internal yang lebih
rendah karena dibuat hanya dari lapisan
tipis plastik konduktif

Walaupun terlihat DSSC memiliki banyak kelebihan, pada kenyataannya ada


banyak tantangan yang harus dihadapi untuk mengembangkan DSSC
sebagai sel surya berbahan dasar material organik. Beberapa di antaranya
adalah evaporasi atau penguapan bahan organik itu sendiri, adanya
penurunan efisiensi setiap waktu, dan bagaimana mencari bahan organik
yang tepat untuk material DSSC. Pemanfaatan DSSC dapat digunakan di
dalam dan luar ruangan. Untuk penggunaan di dalam ruangan, cahaya
didapatkan dari lampu. Aplikasi yang bisa digunakan adalah kipas kecil dan
pengisian baterai pada telepon. Selain itu, DSSC saat ini juga digunakan
di Swiss Tech Convention Centers of EPFL Lausanne dengan luasan modul total
sekitar 250 m2.

Gambar 7.8 Contoh pemanfaatan sel surya jenis DSSC

Sel Surya Dye Sensitized 75


Pustaka
[1] Gcell. 2016. ”Dye Sensitized Sel suryas”. (tersedia di http://gcell.com/dye-
sensitized-solar-cells).
[2] Kuppuswamy Kalyanasundaram, Michael Grätzel. 2016. “Efficient Dye-
Sensitized Sel suryas for Direct Conversion of Sunlight to Electricity”.
Material009, 4.4, 88.
[3] Sam Zhang, Nasar Ali. 2007. Nanocomposite Thin Films and Coating.
London: Imperial College Press. halaman 410
[4] ”Studies On The Fabrication Of Dye Sensitized Solar Cells (DSSCs)”.
Chapter 7. (tersedia di
http://shodhganga.inflibnet.ac.in/bitstream/10603/54330/12/12_chapter%
207.pdf).

Sumber Gambar
http://www.sigmaaldrich.com/technical-documents/articles/material-
matters/efficient-dye-sensitized.html
http://dcwww.epfl.ch/icp/ICP-2/SolarCellE.html
Michael Grätzel. 2003. ”Dye-sensitized sel suryas”. Volume 4, Issue 2, 31
October 2003, Pages 145–153. Journal of Photochemistry and Photobiology C:
Photochemistry Reviews

76 Brian, Memanen Energi Matahari


8 Pengujian Sel Surya

Dalam proses pembuatan dan berbagai jenis tipenya, sel surya akan
menghasilkan performansi yang berbeda-beda sehingga kapasitas
pembangkitannya juga berbeda-beda. Untuk memastikan sel surya yang
dilempar ke pasar memiliki kualitas yang baik dan pada akhirnya daya
keluarannya sesuai dengan yang diharapkan, terdapat beberapa proses
pengujian dan testing yang perlu dilakukan sehingga konsumen pada
akhirnya bisa mendapatkan kualitas sel surya sesuai dengan yang
diharapkan. Efesiensi merupakan parameter yang digunakan untuk
membandingkan kinerja sel surya yang satu dengan yang lain, baik dari segi
material dasar maupun yang lain. Untuk sel surya, efisiensi dapat diukur,
baik untuk sel, panel atau modul (rangkaian sel yang tersusun dalam satu
frame), maupun setelah sel surya tersebut dirangkai menjadi beberapa panel
atau yang disebut dengan sistem pembangkit listrik sel surya. Untuk
mendapatkan hasil yang terpercaya, sel surya diukur menggunakan simulasi
matahari (solar simulator) standar dengan penerangan sumber cahaya yang
terkalibrasi. Secara umum, efisiensi sel surya diformulasikan dengan
persamaan berikut:
𝑃𝑃𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚
𝜂𝜂 = (8.1)
𝑃𝑃𝑖𝑖𝑖𝑖
di mana :
η = efisiensi sel surya
P max = daya maksimum (energi yang dihasilkan sel surya)
P in = daya masukan (energi yang diterima sel surya)
Dalam pengukuran sel surya, terdapat lima parameter utama yang harus
diperhitungkan, yaitu Short Circuit Current (I sc ), Open Circuit, Voltage (V oc ), Fill
Factor (FF) , Incident Radiation Flux (IRF) , dan Collectors Area (A c ). Short Circuit
Current (I sc ) adalah arus yang mengalir pada sel surya saat beda potensial
atau voltase pada sel surya tersebut adalah nol. I sc dihasilkan pada saat
membuat koneksi pendek pada sel surya. Besar kecilnya I sc ditentukan oleh
beberapa faktor, yaitu luas area sel surya, jumlah foton yang diterima,
spektrum cahaya yang mengenai sel surya, properti optik, dan collection
probability. Sel surya silikon dengan spektrum cahaya kurang dari 1.5 AM

Pengujian Sel Surya 77


memiliki maksimum I sc sekitar 46 mA/cm2. Beberapa peralatan laboratorium
mendapatkan nilai I sc sekitar 42 mA/cm2, dan sel surya komersil[1] memiliki
I sc antara 28 – 35 mA/cm2.[2-5]
Open circuit voltage adalah voltase maksimum yang bisa dihasilkan oleh sel
surya, yang terjadi pada saat arus sama dengan nol. V oc bergantung pada
saturation current dan light generated current8.3. Sel surya dengan bahan dasar
kristalin tunggal berkualitas tinggi memiliki V oc hingga 730 mV dengan 1.5
AM, sementara V oc sel surya komersial bisa mencapai 600 mV. Sementara fill
factor (FF) adalah parameter yang memperlihatkan energi maksimum yang
dihasilkan oleh sel surya. Pada diagram I-V, FF sangat berhungan dengan I sc
dan V oc , yaitu FF adalah rasio antara energi maksimum sel surya dan hasil
kali antara I sc dan V oc .

Gambar 8.1 Tipikal grafik hubungan arus tegangan (I-V) pada pengujian sel surya

Incident radiation flux adalah jumlah energi sinar matahari yang mengenai
permukaan bumi. IRF yang dipergunakan untuk Kondisi Tes Standar (STC)
adalah 1000 W/m2, sedangkan collector’s area adalah luas area dari sel surya
yang diuji. Dari parameter-parameter tersebut, rumus untuk menghitung
efisiensi sel surya adalah sebagai berikut:

𝑃𝑃𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 𝐼𝐼𝑠𝑠𝑠𝑠 ∗ 𝑉𝑉𝑜𝑜𝑜𝑜 ∗ 𝐹𝐹𝐹𝐹


𝜂𝜂 = = (8.2)
𝑃𝑃𝑖𝑖𝑖𝑖 𝐼𝐼𝐼𝐼𝐼𝐼 ∗ 𝐴𝐴𝑐𝑐

Selain parameter-parameter utama yang telah disebutkan, efisiensi sel surya


juga bergantung pada kehilangan energi akibat panjang gelombang sinar
matahari yang tidak terserap oleh sel surya, kehilangan energi akibat suhu
yang tinggi, kehilangan energi akibat sinar yang dipantulkan oleh sel surya,
kehilangan energi akibat penyerapan yang tidak sempurna karena tebal dari
sel surya, kehilangan energi akibat rekombinasi, kehilangan energi akibat
electrode coverage dan shading losses, kehilangan energi akibat voltage factor,
serta kehilangan energi akibat fill factor.

78 Brian, Memanen Energi Matahari


Saat sel surya selesai diproduksi, produsen biasanya akan melaksanakan tes
efisiensi pada kondisi standar.

Gambar 8.2 Diagram struktur kondisi standar pengujian (standard testing condition )

Pada umumnya, tes ini dilaksanakan di laboratorium yang sudah


mendapatkan lisensi dari badan terkait dengan kondisi standar (STC).
Struktur alat ukur standar dapat dilihat pada gambar 8.2. Pada proses
pengukuran tersebut, terdapat beberapa parameter sel surya yang harus
diperhatikan antara lain sebagai berikut8.4:
1. Spektrum air mass-nya adalah 1.5 (AM 1.5) untuk sel surya yang akan
dipakai di Bumi dan AM 0 untuk sel surya yang akan dipakai di luar
angkasa.
2. Intensitas cahaya adalah 1.000 W/m2.
3. Temperatur sel dijaga pada suhu 25°C.
4. Pengunaan four point probe, yaitu alat yang digunakan untuk mengukur
tahanan dari semi konduktor.

Pengujian Sel Surya 79


Gambar 8.3 Ilustrasi pengukuran tahanan dengan alat four point probe

Ilustrasi skema pengukuran tahanan dengan metode four point probe dapat
dilihat pada Gambar 8.3. Selain menggunakan alat four point probe untuk
mengukur tahanan, pengujian sel surya juga menggunakan alat solar
simulator. Solar simulator adalah alat yang menghasilkan berbagai besaran
iluminasi sebagai pengganti sinar matahari yang sebenarnya pada proses
pengujian. Tujuan solar simulator adalah untuk mengetahui atau menguji
peralatan surya dalam kondisi terkontrol di laboratorium. Peralatan yang
biasa diuji adalah panel surya jenis sel, panel, atau beberapa panel, dan
beberapa peralatan lainnya. Untuk uji panel surya standar, alat yang
digunakan adalah IEC 60904-9 edisi 2 dan ASTM E-927-10.

Gambar 8.4 Skema sistem kerja solar simulator

Sinar matahari yang dapat dikendalikan ada tiga jenis, yaitu jenis spektral
(spectral content), jenis keseragaman spasial (spatial uniformity), dan jenis

80 Brian, Memanen Energi Matahari


stabilitas sementara (temporal stability). Berdasarkan tipe sinar yang dapat
dikendalikan, terdapat tiga klasifikasi dengan standar ASTM sebagai berikut.

Tabel 8.1 Spesifikasi Kelas Berdasarkan Standar ASTM


Classification Spectral Match Irradiance Spatial Temporal
(each interval) Non-Uniformity Instabillity
Class A 0.75-1.25 2% 2%
Class B 0.6-1.4 5% 5%
Class C 0.4-2.0 10% 10%

Spektrum simulasi surya dijabarkan melalui radiasi terintegrasi di beberapa


interval panjang gelombang. Persentase total radiasi ditampilkan pada tabel
berikut untuk spektrum standar terestrial dari AM1.5G dan AM1.5D, serta
spektrum luar angkasa AM0.

Tabel 8.2 Radiasi Spektral untuk 3 Standar Spektra Berdasarkan ASTM

Wavelength AM 1.5D AM 1,5G AM0


Interval (nm)
300-400 no spec no spec 8.0%
400-500 16.9% 18.4% 16.4%
500-600 19.7% 19.9% 16.3%
600-700 18.5% 18.4% 13.9%
700-800 15.2% 14.9% 11.2%
800-900 12.9% 12.5% 9.0%
900-1100 16.8% 15.9% 13.1%
1100-1400 no spec no spec 12.2%

Spesifikasi tersebut terutama ditujukan untuk fotovoltaik silikon. Oleh


karena itu, rentang spektral interval didefinisikan terbatas untuk wilayah
penyerapan silikon. Definisi ini juga digunakan untuk beberapa teknologi
fotovoltaik lain, seperti sel surya tipe thin film jenis CdTe atau CIGS. Akan
tetapi untuk sementara, solar simulator tidak cukup untuk fotovoltaik
terkonsentrasi menggunakan efisiensi tinggi III-V semikonduktor sel surya
multi-junction karena bandwidth yang lebih luas dari 300-1800 nm. Saat ini
terdapat tiga tipe solar simulator, yaitu continuous untuk pengujian intensitas
rendah yang kurang dari satu hingga beberapa saja dengan industri yang
tersedia dari WACOM, Newport Oriel, Sciencetech, Spectrolab, Eternal Sun,
TS-Space Systems, Photo Emisi Tech, dan Abet Technology. Selain itu juga
terdapat tipe lain, yaitu flashed yang mirip dengan flash fotografi dan

Pengujian Sel Surya 81


menggunakan tabung flash, serta yang terakhir adalah pulsed yang
menggunakan katup yang bisa dengan cepat membuka dan menutup
sumber sinar yang terus menerus atau berasal dari gabungan tipe flash
dengan continuous.

Gambar 8.5 Kompoen solar simulator

Testing dan pengujian sel surya harus memperhatikan sifat konduktivitas


dan konsentrasi dari bahan semikonduktor penyusun sel surya. Sifat
konduktivitas dan konsentrasi ini dapat ditentukan oleh faktor 𝐸𝐸𝑔𝑔 ⁄𝐾𝐾𝐵𝐵 𝑇𝑇, yang
merupakan perbandingan celah energi dengan temperatur. Ketika
perbandingan ini besar, konsentrasi sifat instrinsik akan rendah dan
konduktivitasnya juga akan rendah. Nilai terbaik dari celah energi diperoleh
dari penyerapan optik. Celah energi (E g ) merupakan selisih antara energi
terendah pada pita konduksi (E k ) dan energi tertinggi pada pita valensi (E v ),
yang secara matematis dapat ditulis E g = E k – E v .

Gambar 8.6 Diagram pita energi pada semikonduktor

Selain bahan semikonduktor, sel surya terdiri dari grid berupa logam atau
kontak listrik lainnya untuk mengumpulkan elektron dari semikonduktor
dan mentransfernya ke beban eksternal, serta kembali ke lapisan kontak
untuk menyelesaikan sirkuit listrik.

82 Brian, Memanen Energi Matahari


Gambar 8.7 Sistematika foton sinar matahari memasuki sel surya

Pustaka
[1] TU Delft. ET3034TU: ”Sel suryas”. Slide Presentasi Kuliah. (tersedia di
http://aerostudents.com/files/solarCells/solarCellsSummary.pdf).
[2] Todd J. Kaiser. Lecture 11: ”Sel surya Parameters”. Lecture Note.
EELE408 Photovoltaics, Department of Electrical and Computer
Engineering, Montana State University - Bozeman (tersedia di
http://www.montana.edu/tjkaiser/ee408/notes/EELE408PV%2011%20Sol
arCellParameters.pdf).
[3] PV Education. 2016. ”Sel surya Operation”. (tersedia di
http://www.pveducation.org/pvcdrom/solar-cell-operation/open-circuit-
voltage).
[4] PV Education. 2016. ”Measurement of Sel surya Efficiency”. (tersedia di
http://www.pveducation.org/pvcdrom/characterisation/measurement-
of-solar-cell-efficiency).

Sumber Gambar
http://www.pveducation.org/pvcdrom/characterisation/measurement-of-solar-
cell-efficiency
http://pvcdrom.pveducation.org/CHARACT/4pp.HTM

Pengujian Sel Surya 83


9 Instalasi Sel Surya

Pada dasarnya, prinsip kerja semua jenis panel surya sama, yaitu berawal
dari terjadinya efek fotovoltaik yang ditandai dengan foton yang berada di
dalam sinar matahari akan mengenai panel surya dan diserap oleh lapisan
material semikonduktor. Kemudian, elektron yang terpisah dari inti atom
akan bergerak melalui material tersebut sehingga menghasilkan arus listrik.
Elektron bergerak hanya melewati satu arah yang sudah ditentukan. Arus
listrik yang sudah dihasilkan diubah menjadi bentuk direct current (DC),
kemudian diubah oleh inverter menjadi alternating current (AC) sehingga
dapat digunakan oleh alat-alat listrik lain yang memang memiliki arus
bolak-balik.

Gambar 9.1 Skema pembangkitan dan aliran listrik pada PV modul

Modul atau panel surya merupakan modul yang memanfaatkan cahaya


matahari sebagai sumber energi. Seiring dengan perkembangan teknologi,
pemanfaatan panel surya sebagai penghasil energi listrik mulai banyak
digunakan oleh masyarakat. Secara skala atau kapasitas produksi listrik,
pemanfaatan panel surya bisa dibagi menjadi skala besar (terpusat) atau
skala kecil (rumah tangga). Untuk skala besar, panel surya akan ditempatkan
secara terpusat dan mengalirkan listrik untuk beberapa rumah atau gedung.
Sementara untuk skala kecil, pemanfaatannya hanya pada satu rumah yang
biasa disebut solar home system (SHS). Perkembangan aplikasi sel surya saat
ini telah sangat luas mulai pengisi baterai HP (charger handphone), atap garasi
terbuka (carport), hingga atas rumah atau dinding gedung. Pada gedung atau
perumahan, panel sel surya dipasang secara terintegrasi dengan bagian
bangunan sehingga dapat mengurangi biaya instalasi serta memiliki fungsi
lainnya, seperti sebagai atap teras, atap taman, penutup parkir mobil atau

84 Brian, Memanen Energi Matahari


atap lainnya. Sistem integrasi pada bangunan gedung atau perumahan ini
sering disebut Building Integrated Photovoltaic (BIPV).
Secara sistem, aliran listrik dan penyimpanan listrik pada sistem solar PV
dibedakan menjadi dua. Pertama, sistem tersambung dengan koneksi
jaringan listrik dari PLN (on grid). Kedua, sistem yang mandiri atau tidak
tersambung jaringan listrik yang ada (off grid). Sistem pembangkit listrik PV
yang on grid biasanya dipasang pada PV yang diinstalasi di kota-kota
sehingga fungsinya sebagai pengurang konsumsi listrik dari sistem jaringan,
misalnya dari PLN. Bahkan, di beberapa negara maju sudah dapat dilakukan
pengiriman kelebihan listrik dari PV ke sistem jaringan listrik yang ada
sebagai ”ekspor” listrik.

Sistem on grid juga digunakan pada pembangkit listrik PV yang besar, seperti
solar farm atau solar park yang berperan sebagai independent power plant (IPP).
Sementara itu, sistem off grid biasanya dipasang pada PV yang ada di daerah-
daerah terpencil sebagai pembangkit listrik tunggal karena memang di
daerah tersebut belum memiliki jaringan listrik.

Sistem on grid tidak memakai baterai atau aki sebagai penyimpan listrik yang
dihasilkan, tetapi listrik dari PV langsung digunakan, sedangkan sistem off
grid menggunakan baterai atau aki sebagai sarana penyimpan energi yang
dihasilkan sehingga pada malam hari listrik yang disimpan itu dapat
digunakan, misalnya sebagai lampu penerang. Sistem off grid juga biasa
dipasang pada lampu penerang atau lampu taman.

Gambar 9.2 Aplikasi panel surya untuk skala kecil

Peralatan yang digunakan untuk skala kecil dan off grid biasanya mencakup
panel surya, kontroler, baterai, dan inverter. Baterai merupakan alat untuk
menyimpan energi listrik. Pada beberapa kondisi, energi bisa disimpan
dalam berbagai keadaan, misalnya untuk menyalakan pompa air pada siang

Instalasi Sel Surya 85


hari sehingga air naik ke tempat penyimpanannya. Untuk aplikasi ini, baterai
bukan menjadi hal yang penting untuk digunakan, melainkan pada kondisi
tertentu penggunaan baterai dibutuhkan untuk beberapa peralatan yang
digunakan di malam hari. Baterai merupakan bagian penting dari sebuah
sistem fotovoltaik surya (Solar PV System) yang berfungsi untuk menyimpan
energi listrik yang dibangkitkan dari panel surya. Baterai memungkinkan
pengguna untuk tetap mendapatkan suplai energi listrik walaupun cuaca
sedang buruk atau berawan (tidak ada sinar matahari yang cukup untuk
membangkitkan listrik). Jumlah energi yang dapat disimpan dalam baterai
bergantung pada kapasitas baterai itu sendiri.

Gambar 9.3 Skema instalasi solar PV system. Jika tersambung pada jaringan (grid), maka
baterai dapat dihilangkan

Di Indonesia, pemanfaatan solar home system (SHS) biasanya merupakan


bantuan pemerintah yang diberikan secara subsidi kepada masyarakat
pedesaan yang digunakan sebagai sarana penerangan di malam hari untuk
mengganti lampu minyak tanah. Dalam model pembangunan PLTS ini,
terlihat bahwa pendekatan yang digunakan bersifat dari atas ke bawah (top-
down) sehingga selama ini perkembangan SHS sangat bergantung pada
program pemerintah dan sejauh ini kontribusi energi listrik surya nasional
masih sangat kecil. Selain itu, masyarakat perkotaan juga justru merupakan
komponen yang cukup besar dalam komposisi populasi Indonesia.
Sebenarnya kelompok masyarakat perkotaan ini hampir semuanya berada
dalam jangkauan jaringan listrik PLN, tetapi mereka memiliki karakteristik
yang lebih baik dibandingkan dengan masyarakat pedesaan dalam
pemanfaatan PLTS. Karakteristik yang dimaksud adalah daya beli, tingkat
pendidikan, serta pemahaman tentang lingkungan dan penyelamatannya.

86 Brian, Memanen Energi Matahari


Di samping itu, peranan energi listrik dalam kehidupan masyarakat urban
sudah sangat melekat sehingga ketidaktersediaan energi tersebut akan
berpengaruh langsung terhadap kehidupan mereka, seperti produktivitas
dan kenyamanan. Pengunaan solar PV di perkotaan sangat potensial dalam
bentuk on grid yang terintegrasi sebagai bangunan atau perumahan.
Instalasi panel surya skala besar biasanya dikembangkan oleh industri,
sedangkan untuk instalasi panel surya skala kecil dapat ditanggung oleh
masing-masing pemilik rumah. Secara garis besar, paramater yang harus
diperhatikan untuk instalasi panel surya dalam skala besar ataupun kecil
sama, tetapi memiliki perbedaan dalam cakupannya. Untuk skala kecil,
instalasi sel surya bergantung pada beberapa parameter, yaitu besar beban
listrik yang harus ditanggung, selanjutnya adalah menentukan jumlah
modul yang diperlukan. Beban listrik yang dimaksud dalam pembahasan ini
adalah daya pada peralatan listrik yang terpasang di rumah dikalikan
dengan jam pemakaian. Untuk peralatan rumah tangga, seperti lampu, kipas
angin, setrika, dan peralatan listrik lainnya, daya yang dibutuhkan adalah
yang tertera pada name plate spesifikasi alat.
Peralatan listrik sendiri sesungguhnya memiliki standby mode, yaitu energi
yang dikonsumsi peralatan listrik pada kondisi peralatan listrik mati, tetapi
masih terpasang pada sumber listrik. Biasanya nilainya sangat kecil sehingga
bisa diabaikan. Akan tetapi untuk perhitungan, jika mengetahui nilai standby
mode, sebaiknya masuk dalam hitungan. Jika tidak, diasumsikan bahwa
setelah menggunakan peralatan listrik, masyarakat akan mencabut kabel dari
sumber listrik.
Setelah mengetahui daya pada peralatan listrik di rumah, selanjutnya
menghitung daya yang terpasang dikalikan jam pemakaian per hari. Total
daya dihitung dengan menggunakan persamaan 9.1.

𝑃𝑃𝑡𝑡 = � 𝑃𝑃 𝑥𝑥 𝑄𝑄𝑄𝑄𝑄𝑄 (9.1)

di mana:
Pt = total daya (Watt)
P = daya pada setiap peralatan listrik (Watt)
Qty = jumlah peralatan listrik (quantity)
Sementara itu untuk menghitung total konsumsi listrik atau total konsumsi
energi per hari, bisa dihitung menggunakan persamaan 9.2. Selanjutnya,
contoh detail perhitungan untuk seluruh kebutuhan dapat dilihat pada Tabel
9.1.

Instalasi Sel Surya 87


𝐸𝐸𝑡𝑡 = � 𝑃𝑃𝑡𝑡 𝑥𝑥 ℎ (9.2)

di mana:
Et = total konsumsi energi listrik per hari (Watt.hours)
Pt = total daya (Watt)
h = waktu penggunaan per hari (hours)

Tabel 9.1 Perhitungan Kebutuhan Energi Harian pada Suatu Rumah


Peralatan Listrik Daya Jumlah Waktu Total Total Energi
(Watt) peralatan pemakaian daya (Watthour)
listrik (Jam/hari) (Watt)
Blender 350 1 1 350 350
Komputer 70 1 1 70 70
Dispenser 350 1 12 350 4200
DVD player 40 1 1 40 40
Fan 40 1 2 40 80
Food mixer 200 1 1 200 200
Handpone charger 15 3 3 45 135
Lampu 20 5 6 100 600
Microwave 1000 1 1 1000 1000
Rice cooker (cook) 400 1 1 400 400
Rice cooker (warm) 43 1 10 43 430
Kebutuhan energi harian/konsumsi 2638 7505

Setelah mengetahui jumlah total kebutuhan energi per hari,


selanjutnya kalikan total Wattjam dengan 130% atau 1,3 sebagai asumsi
bahwa energi listrik yang dihasilkan panel surya akan mengalami
losses daya atau kehilangan daya sebesar 30%. Angka 30% ini didapat
dari pengalaman di lapangan, yang dapat berubah sesuai dengan
kondisi naik dan turunnya tegangan di setiap wilayah atau negara. Di
Indonesia, asumsi penyinaran matahari pada waktu optimum untuk
menghasilkan listrik pada panel surya adalah 5 jam per hari. Selanjutnya,
nilai total energi tersebut dibagi dengan asumsi waktu penyinaran untuk
mendapatkan jumlah daya panel surya untuk suplai kebutuhan energi
sehingga perhitungannya menjadi seperti berikut ini.

Asumsi energi yang hilang (30%)


Total energi (Watthour) = 1.3*7605 Wh = 9756.5 Watthour
Asumsi penyinaran per hari (5 jam)
Total daya (Watt) = 9756.5 Wh/5 h = 1951.3 Watt

88 Brian, Memanen Energi Matahari


Total daya yang telah diketahui melalui perhitungan, selanjutnya dibagi
dengan kapasitas daya panel yang akan digunakan. Hal ini dapat
ditunjukkan pada Tabel 9.2.

Tabel 9.2 Jumlah Panel Surya yang Dibutuhkan


Tipe panel Kapasitas (Wattpeak) Total panel yang dibutuhkan
100 20
Monokristalin
120 17
100 20
Polikristalin
120 17

Salah satu aplikasi sel surya (solar cell) yang menarik perhatian banyak
orang saat ini adalah penyediaan listrik menggunakan sel surya (on grid).
Listrik yang dihasilkan oleh sel surya selanjutnya dijual kepada penyedia
listrik, yaitu Perusahaan Listrik Negara (PLN). Karena banyaknya sel surya
yang diinstal dalam sau area dengan luas yang besar, maka instalasi seperti
ini sering juga disebut dengan istilah solar park atau solar farm. Dalam
aplikasi ini, listrik yang dihasilkan tidak langsung digunakan pada beban,
tetapi akan bersatu bersama-sama dengan pembangkit lain yang dimiliki
oleh PLN. Dengan model ini, tentu tidak dibutuhkan baterai untuk
penyimpanan listrik yang dihasilkan oleh sel surya, tetapi listrik langsung
disalurkan ke jala-jala PLN (grid). Karena listrik langsung dialirkan ke jala-
jala, maka tidak diperlukan baterai sebagai penyimpan daya yang
dihasilkan oleh sel surya. Oleh karena itu, harga instalasi dan listrik yang
dihasilkan dapat lebih rendah daripada sistem off grid atau stand alone,
yakni jika sel surya murni sebagai pembangkit listrik yang langsung
dipakai oleh penggunanya.
Adapun sistem on grid dikenal dengan feed in tarrif (FIT) atau bisa juga
disebut sebagai independent power producer/provider (IPP). Saat ini hampir di
banyak negara telah memiliki regulasi untuk sistem sel surya sebagai
pembangkit listrik, tidak terkecuali Indonesia. Skema FIT atau IPP jelas
cukup menarik banyak investor untuk dapat memasang sel surya dan
menjualnya kepada PLN jika harga yang diberikan menarik.
Sebelum masuk skema bisnis IPP dengan sel surya, maka perlu diketahui
kebutuhan apa saja dan berapa perkiraan biaya yang dibutuhkan untuk
menginstal sel surya sebagai IPP. Karena skema ini mengharapkan harga
produksi listrik yang rendah agar memberikan keuntungan bagi
pengelolanya, biasanya semakin besar kapasitas akan semakin baik. Oleh
karena itu, instalasi akan menyulitkan untuk menjual listrik kepada PLN
karena listrik yang dihasilakn akan mahal. Biasanya skala keekonomian

Instalasi Sel Surya 89


agar sel surya menghasilkan listrik yang layak jual adalah 1 MWp.
Aturan umumnya untuk pembangkit 1 MWp sel surya dibutuhkan
area seluas 1 hektare. Tabel 9.3 dan 9.4 merupakan contoh
perhitungan perangkat, volume, dan harga yang dibutuhkan untuk
membangun solar park/solar farm dengan kapasitas 1 MWp.

Tabel 9.3 Perhitungan Inventasi Solar Power Plant 1MW IPP Project
No. Item Spek Brand Jumlah Unit Harga/Unit Total Harga

A. PERANGKAT UTAMA IMPOR

1. PV Module 1 lot

a. Solar Panel 250 Wp JA Solar 4116 Modul Rp 1,666,000 Rp 6,857,256,000


Rp
2. Inverter on Grid
-
a. Inverter on Grid 30kW Sungrow 34 Unit Rp 35,280,000 Rp 1,199,520,000
Monitoring Profesional
b. Sungrow 1 lot Rp 9,800,000 Rp 9,800,000
Software Version
c. Data logger Sungrow 2 ea Rp 7,840,000 Rp 15,680,000

e. AC Combiner Box 1 set Rp 58,800,000 Rp 58,800,000


Environmental
f. Suninfo EM Sungrow 1 set Rp 29,400,000 Rp 29,400,000
Device

Total A1 Rp 8,170,456,000

B. PERANGKAT UTAMA LOKAL

1. Swithcgear 1 MW 2 Unit Rp 65,000,000 Rp 130,000,000

2. Step Up Trafo 20kV AC 1 Unit Rp 250,000,000 Rp 250,000,000

3. PV Structure 196 Lot Rp 5,000,000 Rp 980,000,000


Pondasi PV
4. 784 Lot Rp 150,000 Rp 117,600,000
Structure
Monitoring Room
5. 1 Lot Rp 65,000,000 Rp 65,000,000
+ Acc
Pembebasan
6. 8149.68 m2 Rp 65,000 Rp 529,729,200
Lahan

7. Grounding 1 Lot Rp 40,000,000 Rp 40,000,000


Solar PJU Site
8. 9 Lot Rp 23,000,000 Rp 207,000,000
Plant
Solar PJU
9. 50 Lot Rp 7,500,000 Rp 375,000,000
Transmisi Line
Tiang Line
10. 50 Lot Rp 1,500,000 Rp 75,000,000
Transmisi + Acc

Total B1 Rp 2,769,329,200

C. INSTALASI KABEL

PV - String
1. 34 Lot Rp 1,250,000 Rp 42,500,000
Inverter + Acc
String Inverter -
2. AC Combiner Box 34 Unit Rp 24,600,000 Rp 836,400,000
+ Acc
AC Comb. -
Switchgear -
3. 1 Lot Rp 7,300,000 Rp 7,300,000
Trafo -
Switchgear + Acc
Monitoring room
4. 5000 m Rp 55,000 Rp 275,000,000
- grid + Acc
PV Grounding +
5. 196 Lot Rp 160,000 Rp 31,360,000
Acc

90 Brian, Memanen Energi Matahari


Monitoring room
6. 1 Lot Rp 800,000 Rp 800,000
grounding + Acc
Monitoring Line -
7. Monitoring room 34 Lot Rp 2,940,000 Rp 99,960,000
+ Acc

Total B1 Rp 1,551,984,000

D. PEKERJAAN INSTALASI, CIVIL, MEKANIKAL

Feasibility
a. 1 Lot Rp 200,000,000 Rp 200,000,000
Studies
Design System
b. 1 Lot Rp 350,000,000 Rp 350,000,000
Cost

c. Services 1 Lot Rp 500,000,000 Rp 500,000,000

1. Pekerjaan Civil
- Site Clearing +
8149.68 m2 Rp 45,000 Rp 366,735,600
Alat berat
- Pondasi PV
1 lot Rp 13,440,000 Rp 13,440,000
Structure
- Monitoring
1 lot Rp 2,880,000 Rp 2,880,000
Room
- Jalur Wiring 1 lot Rp 25,200,000 Rp 25,200,000

Pekerjaan
2.
Mekanikal
- Pasang PV
Structure + Alat 1 Lot Rp 18,400,000 Rp 18,400,000
Berat
- Mounting
1 Lot Rp 480,000 Rp 480,000
String Inverter
- Pasang Ducting
1 Lot Rp 2,880,000 Rp 2,880,000
Kabel
- Mounting Trafo
1 Lot Rp 10,680,000 Rp 10,680,000
+ Alat Berat
- Mounting
Switchgear + 1 Lot Rp 10,680,000 Rp 10,680,000
Alat Berat
- Mounting AC
1 Lot Rp 1,680,000 Rp 1,680,000
Combiner Box
- Transmisi ke
1 Lot Rp 12,360,000 Rp 12,360,000
Grid + Alat Berat
Pekerjaan
3.
Instalasi
- Wiring PV -
1 Lot Rp 5,760,000 Rp 5,760,000
String Inverter
- Wiring String
Inverter - AC 1 Lot Rp 10,080,000 Rp 10,080,000
Combiner
- Wiring AC
Combiner Box -
1 Lot Rp 2,880,000 Rp 2,880,000
Switchgear -
Trafo - Grid
Pekerjaan
4. Pembuatan 1 Lot Rp 3,840,000 Rp 3,840,000
Grounding
5. Commissioning 1 Lot Rp 10,000,000 Rp 10,000,000

Total D1 Rp 1,547,975,600

E. PACKING + DELIVERY

1. Packing All 1 Lot Rp 60,000,000 Rp 60,000,000

2. Delivery PV 1 Lot Rp 772,800,000 Rp 772,800,000


Delivery String
3. 1 Lot Rp 25,415,000 Rp 25,415,000
Inverter + Acc
Delivery
4. 1 Lot Rp 169,050,000 Rp 169,050,000
Mekanical

5. Deivery Kabel 1 Lot Rp 28,750,000 Rp 28,750,000

Instalasi Sel Surya 91


Delivery Trafo +
6. 1 Lot Rp 11,500,000 Rp 11,500,000
Switchgear
Rp
7. 1 Lot
-

Total E1 Rp 1,067,515,000

Tabel 9.4 Perhitungan Power Produce


Keterangan Jumlah Unit

Kapasitas PV/Module Wp
250
Jumlah total PV modules
4,116
Jumlah total kapasitas PV Wp
1,029,000
Kota Kupang Gaisma

Efektif matahari/hari jam/day


5.5
Loss (sistem, temperatur, pemasangan, instalasi, dll.
0.75
Total kapasitas daya sehari dalam watt hours Wh
4,244,625
Total kapasitas daya sehari dalam kWh kwh
4,245
Harga FIT sen
22.0
Harga FIT Rp/kWh
2,156
Harga daya yang diekspor dari PLTS dalam sehari Rp/day
9,151,412
hari
30
Harga daya yang diekspor dari PLTS dalam sebulan Rp/month
274,542,345
Bulan
12
Harga daya yang diekspor dari PLTS dalam setahun Rp/year
3,340,265,198
Biaya operasional dalam setahun opp
261,376,000
Total keuntungan selama setahun Rp/year
3,078,889,198

Investasi Rp
16,617,985,780
Kisaran BEP tahun
5.40

92 Brian, Memanen Energi Matahari


Tabel 9.5 Perhitungan Operasional

Instalasi Sel Surya


93
10 Standar Instalasi Sel Surya
Pembangkit listrik tenaga surya dengan memanfaatkan panel untuk
menangkap sinar matahari dan mengonsentrasikannya ke dalam satu titik
saat ini terus dikembangkan. Ketika melakukan perancangan sistem mutu,
instalasi sel surya harus berpedoman pada suatu prinsip dasar. Prinsip dasar
secara umum dalam merancang sistem instalasi sel surya adalah sebagai
berikut.
1. Pemilihan sistem paket PV hendaknya sesuai dengan kebutuhan dan
ketersediaan sumber daya dari pemilik.
2. Bidang atap atau tempat instalasi lain harus mampu menangani ukuran
sistem yang diinginkan.
3. Semua peralatan outdoor menggunakan bahan tahan sinar matahari dan
cuaca.
4. Peletakaan array sel surya di tempat yang memiliki kemungkinan
minimal terkena bayangan dari dedaunan, pipa ventilasi, dan struktur
yang berdekatan.
5. Sistem sel surya didesain dengan menggunakan aturan bangunan dan
kelistrikan yang berlaku.
6. Sistem sel surya didesain dengan kerugian listrik minimal, baik karena
kabel, sekering, sakelar/switch, maupun inverter.
7. Penggunaan dan pengaturan baterai yang tepat jika dibutuhkan baterai.

Sistem instalasi sel surya berdasarkan interkoneksi terhadap jaringan listrik


utama (misalnya PLN) terbagi menjadi dua, yaitu sebagai berikut.
1. Sistem intalasi sel surya yang terkoneksi dengan sistem jaringan listrik
utama (misalnya PLN) atau disebut on grid.
Dalam penjelasan sistem instalasi, sel surya terkoneksi dengan jaringan
listrik utama yang hanya akan menyangkut sistem instalasi on grid untuk
pengguna perseorangan/perumahan. Berdasarkan penggunaan atau
tidaknya sistem baterai, sistem instalasi sel surya yang tersambung
dengan jaringan PLN ini terbagi menjadi dua, yaitu:

94 Brian, Memanen Energi Matahari


a. Sistem instalasi sel surya terkoneksi PLN tanpa menggunakan sistem
backup baterai.
Sistem ini hanya beroperasi jika jaringan listrik PLN tersedia setiap
saat. Karena jarang terjadi pemadaman listrik, instalasi PV berfungsi
untuk mengurangai konsumsi listrik PLN. Dalam hal pasokan listrik
kurang, sistem didesain untuk mati sampai pasokan listrik
normal/mencukupi. Komponen dari sistem instalasi sel surya
terkoneksi PLN tanpa dilengkapi backup baterai adalah sebagai
berikut.
1) PV Array, yaitu array dari modul sel surya, merupakan komponen
utama yang mengubah sinar matahari menjadi listrik. Jumlahnya
disesuaikan dengan kebutuhan.
2) Balance of system equipment (BOS) mencakup sistem peletakan
modul surya di atas rumah dan sistem kabel yang digunakan
untuk mengintegrasikan modul surya ke dalam sistem struktural
dan listrik rumah. Sistem kabel termasuk sistem untuk
memutuskan arus pada sisi DC dan sisi AC, sisi dari inverter,
perlindungan kesalahan ground, dan proteksi arus berlebih untuk
modul surya. Kebanyakan sistem juga menggunakan papan
combiner karena sebagian modul membutuhkan sekering untuk
setiap rangkaian dari modul sumber. Beberapa inverter juga
mencakup sekering dan combiner di dalam paket inverter.
3) DC-AC Inverter berfungsi mengubah arus DC (direct current) dari
modul sel surya menjadi arus AC (alternating current).
4) Metering, yaitu alat pengukur dan pendisplai dari indikasi kinerja
sistem, misalnya tentang penggunaan energi.
5) Komponen lain, yaitu sakelar/switch ke peralatan
listrik/elektronik.

Gambar 10.1 Sistem instalasi PV terkoneksi listrik PLN tanpa backup baterai

Standar Instalasi Sel Surya 95


b. Sistem instalasi sel surya terkoneksi PLN dengan menggunakan
sistem backup baterai.
Tipe sistem ini menggunakan penyimpanan energi dalam bentuk
baterai untuk menjaga ketersediaan pasokan listrik pada beban kritis
yang ada pada sebuah rumah yang harus tetap beroperasi selama
pemadaman listrik. Ketika pemadaman listrik PLN terjadi, beban
kritis ini akan tetap beroperasi dari jaringan listrik khusus dari sistem
PV yang dilengkapi baterai. Apabila pemadaman listrik pada siang
hari, maka PV membantu sistem baterai dalam menyuplai kebutuhan
listrik rumah. Jika pemadaman terjadi pada malam hari, maka hanya
baterai yang mensuplai listrik ke beban. Komponen sistem ini mirip
dengan sistem instalasi sel surya terkoneksi PLN tanpa menggunakan
baterai (sistem no. a), ditambah dengan sistem baterai, yang terdiri
dari :
1) Baterai dan rumah baterai
2) Battery charge controller, yaitu kontroler untuk mengatur charging
ke baterai agar tidak merusak baterai.
3) Subpanel terpisah untuk jaringan ke beban kritis.

Gambar 10.2 Sistem instalasi PV terkoneksi listrik PLN menggunakan backup baterai

2. Sistem instalasi sel surya yang tidak terkoneksi dengan sistem jaringan
listrik (PLN) atau disebut off grid.
Pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) off grid biasanya diterapkan untuk
tempat yang tidak terjangkau oleh jaringan listrik PLN. Terdapat dua tipe
PLTS off grid, yaitu :

96 Brian, Memanen Energi Matahari


a. PLTS terpusat
PLTS terpusat diaplikasikan bagi pelayanan listrik dengan
masyarakat pengguna/penerima yang tinggal berkelompok atau
jarak antara rumah satu dan lainnya berdekatan serta jumlahnya
minimal 30 rumah termasuk fasilitas umum. PLTS terpusat terdiri
dari bagian/komponen sebagai berikut.
1) Array modul sel surya berfungsi mengonversi sinar matahari
menjadi listrik. Array modul sel surya dipasang pada penyangga
modul surya.
2) Solar charge controller, yaitu kontroler untuk mengatur charging ke
baterai agar tidak merusak baterai.
3) Baterai (battery bank) sebagai penyimpan energi listrik.
4) Inverter berfungsi mengubah arus DC ke AC.
5) Panel distribusi berfungsi sebagi alat untuk mengontrol dan
memonitor kondisi jaringan distribusi listrik ke pengguna.
6) Rumah pembangkit berfungsi untuk penempatan baterai, panel
kontrol, dan peralatan lainnya
7) Jaringan distribusi PLTS, yaitu jaringan listrik dari pembangkit ke
rumah/pelanggan.
8) Instalasi rumah, yaitu instalasi listrik di rumah
pengguna/pelanggan.
9) Sistem pengaman, yaitu sistem pengaman jaringan listrik jika
terjadi gangguan, baik untuk alasan keselamatan, gangguan
sosial, maupun untuk memudahkan perbaikan harus menjadi
bagian dari desain sistem.
b. PLTS tersebar
PLTS tersebar diaplikasikan untuk masyarakat yang tinggal
berjauhan satu dengan lainnya atau jumlahnya kurang dari 30 rumah
dalam satu wilayah (desa/dusun). PLTS tersebar terdiri dari bagian/
komponen sebagai berikut.
1) Array modul sel surya berfungsi mengonversi sinar matahari
menjadi listrik. Array modul sel surya dipasang pada penyangga
modul surya atau di atas atap rumah.
2) Battery Control Unit (BCU), yaitu kontroler untuk mengatur
charging ke baterai agar tidak merusak baterai.
3) Baterai sebagai penyimpan energi listrik.
Standar Instalasi Sel Surya 97
4) Inverter, jika diperlukan, berfungsi mengubah arus DC ke AC.
5) Beban, yaitu lampu dan alat elektronik lainnya desertai kotak
kontak.

Gambar 10.3 Skema pengabelan sistem instalasi sel surya

Untuk instalasi sistem sel surya, rekomendasi material yang digunakan


adalah sebagai berikut.
1. Material yang digunakan untuk di luar ruangan harus tahan terhadap
sinar matahari/UV.
2. Penempatan tiang modul surya pada atap harus menggunakan seal
berbahan urethane .
3. Material harus dirancang tahan pada temperatur operasional dalam
kondisi terpapar sinar matahari.
4. Material logam yang tidak sejenis (misalnya, baja dan aluminium) harus
diisolasi menggunakan bahan yang nonkonduktif yang mengkilap.
5. Aluminium tidak boleh bersentuhan secara langsung dengan beton.
6. Material untuk pengencang harus berkualitas tinggi (disarankan
menggunakan stainless stell).
7. Bahan untuk konstruksi struktur harus terbuat dari material berikut ini.
a. Aluminium tahan korosi , 6061 atau 6063.
b. Baja celup panas galfanis , ASTM 123.
c. Baja yang dilapis atau dicat (hanya untuk lingkungan dengan tingkat
korosi yang rendah).
d. Stainless steel (digunakan untuk lingkungan dengan tingkat korosi
tinggi)
Untuk peralatan dan metode instalasi, direkomendasi seperti berikut.
1. Seluruh peralatan elektrik yang digunakan harus berada dalam range
arus dan voltase yang tersedia.

98 Brian, Memanen Energi Matahari


2. Seluruh material untuk kabel yang terpapar matahari harus material
yang tahan terhadap sinar matahari.
3. Proteksi arus berlebih harus tersedia dan mudah didapatkan untuk
pemeliharaan.
4. Seluruh terminal listrik harus kuat dan aman.
5. Seluruh peralatan yang terpasang harus diinstal sesuai dengan spesifikasi
pabrik
Untuk melakukan instalasi pada sistem sel surya, sangat diperhatikan
beberapa tahapan. Tahapan dalam melakukan instalasi sistem sel surya ada
tiga, yaitu sebagai berikut.
1. Tahap persiapan
a. Menentukan ukuran dari sistem PV berdasarkan ketersediaan
anggaran dan kapasitas yang diperlukan.
b. Menentukan ukuran fisik dan dimensi dari array PV dan komponen
utamanya. Hal ini sangat penting dalam menentukan letak array PV
dan perlengkapan tambahan akan dipasang.
2. Tahap Desain
a. Memeriksa opsi lokasi untuk pemasangan array PV (yaitu atap, teras
penutup, dan struktur lain).
b. Meninjau paket sistem yang tersedia (pre-engineered) yang berisi
opsi-opsi yang diinginkan. Membandingkan berbagai produk dan
sistem jaminan yang tersedia dari masing-masing pemasok.
c. Memastikan bahwa peralatan PV yang akan digunakan sudah sesuai
dengan standar yang berlaku.
d. Memilih alternatif sistem yang sesuai dengan pedoman dari
pemerintah setempat (misalnya PLTS yang didanai dari program
pemerintah).
e. Mengadakan paket peralatan sistem PV.
f. Membuat layout penempatan array modul PV.
g. Membuat layout dan diagram pemasangan setiap komponen sistem
PV.
3. Tahap instalasi
a. Mengajukan izin untuk pembuatan konstruksi sistem PV (untuk
skala besar /PLTS terpusat).

Standar Instalasi Sel Surya 99


b. Menerima peralatan dan mempersiapkan instalasi. Memeriksa
semua peralatan untuk memastikan bahwa semua peralatan telah
dikirim dan tidak ada yang rusak dalam pengiriman.
c. Mempelajari ulasan petunjuk instalasi untuk masing-masing
komponen.
d. Menghitung panjang untuk seluruh sistem.
e. Memeriksa ampacity (besar arus) pada setiap bagian untuk
menentukan ukuran kabel yang digunakan.
f. Menentukan ukuran array PV dengan memperhatikan faktor
efisiensi di setiap komponen.
g. Memastikan setiap komponen memiliki spesifikasi yang sesuai dan
sinkron antarkomponen.
h. Mengsinstal seluruh komponen sistem PV dengan benar.
i. Sistem PV dijalankan dan dicek kinerja seluruh sistem.
4. Tahap pemeliharaan dan operasi
a. Mencuci array PV ketika ada penumpukan kotoran/debu terlihat.
b. Melakukan pemeriksaan sistem secara berkala untuk memastikan
semua kabel dan pendukungnya tetap utuh.
c. Meninjau output dari sistem (dengan asumsi array bersih) untuk
melihat apakah kinerja sistem mendekati tahun sebelumnya.
Peninjauan dilakukan pada hari yang cerah, sekitar siang hari ketika
intensitas matahari maksimum. Melakukan pemantauan
performansi secara rutin untuk mengidentifikasi apakah kinerja
sistem konsisten atau menurun terlalu cepat ataupun sistem
bermasalah.
Untuk menjamin mutu dan melindungi konsumen pengguna sel surya,
Internatioanal Electrochemical Comission (IEC) mengeluarkan standar untuk
komponen komponen sistem sel surya. Standar IEC mencakup standar
terkait inverter PV, sistem PV, sistem hibrid, charge controller, baterai, dan
kabel.

100 Brian, Memanen Energi Matahari


Lampiran

Photovoltaic standardization International standardization -


technical committees
IEC standards
IEC standards for PV modules
IEC standards related to PV inverters
• IEC 62109-1: 2010 Safety of power converters for use in photovoltaic
power systems -Part 1: General requirements.
• IEC 62109-2: 2011 Safety of power converters for use in photovoltaic
power systems - Part 2: Particular requirements for inverters.
• IEC 62116: 2008 Test procedure of islanding prevention measures for
utility-interconnected photovoltaic inverters.
• IEC 62093: 2005 Ed. 1.0 Balance-of-system components for photovoltaic
systems - Design qualification natural environments.

IEC standards related to PV systems


• IEC 61724: 1998. Photovoltaic system performance monitoring.
• IEC 61829 (1995): On Site Measuring of IV Characteristics of Crystalline
Silicon.
• IEC 62446: 2009 Grid connected photovoltaic systems - Minimum
requirements for system documentation, commissioning tests and
inspection Ed. 1.
• IEC/TS 62727: 2013 Photovoltaic systems -Specification for solar trackers
Ed. 1.

IEC standards related to PV Hybrid Sytems


• IEC 62509: 2010 Battery charge controllers for photovoltaic systems -
Performance and functioning.
• IEC 62124: 2006 ed1.0 Photovoltaic (PV) stand alone systems - Design
verification.

Lampiran 101
• IEC/TS 62257-2, Recommendation for small renewable energy and hybrid
system for rural electrification -Part 2: From requirements to a range of
electrification systems.
• IEC/TS 62257-4, Recommendation for small renewable energy and hybrid
system for rural electrification -Part 4: System selection and design.
• IEC/TS 62257-7-1 : 2010, Recommendations for small renewable energy
and hybrid systems for rural electrification - Part 7-1: Generators -
Photovoltaic generators.
• IEC 60364-7-712 : 2002, Electrical installations of buildings -Part 7-712:
Requirements for special installations or locations -Solar photovoltaic
(PV) power supply systems.
• IEC 60439-3 : 2001, Low-voltage switchgear and controlgear assemblies -
Part 3: Particular requirements for Low-voltage switchgear and
controlgear assemblies intended to be installed in places where unskilled
persons have access for their use - Distribution boards.
• IEC 60529 : 2001, Degrees of protection provided by enclosure (IP Code).
• IEC 60664-1 : 2007, Insulation coordination for equipment within low-
voltage systems -Part 1: Principles, requirements and tests.
• IEC 60950-22 : 2005, Information technology equipment-Safety- Part 22:
Equipment to be installed outdoors.
• IEC 61000-4-5 : 2005, Electromagnetic compatibility (EMC) -Part 4-5:
Testing and measurement techniques -Surge immunity test.
• IEC 61215 : 2005, Crystalline silicon terrestrial photovoltaic (PV) modules
-Design qualification and type approval.
• IEC 61439-1 : 2009, Low-voltage switchgear and controlgear assemblies -
Part 1: General rules.
• IEC61587-1 : 2007, Mechanical structures for electronic equipment -Tests
for IEC 60917 and IEC 60297 -Part 1: Climatic, mechanical tests and safety
aspects for cabinets, racks, subracks and chassis.
• IEC61646 : 2005, Thin-Film terrestrial photovoltaic (PV) modules - Design
qualification and type approval.
• IEC61969-3 : 2001, Mechanical structures for electronic equipment -
Outdoor enclosures.
• IEC 62109-1 : 2010,Safety of power converters for use in photovoltaic
power systems -Part 1 General.

102 Brian, Memanen Energi Matahari


• IEC 62109-2 : 2012, Safety of power converters for use in photovoltaic
power systems -Part 2 Inverter.
• IEC 62109-3 : when available, Safety of power converters for use in
photovoltaic power systems -Part 3 AC Modules.
• IEC62109-4 : when available, Safety of power converters for use in
photovoltaic power systems -Particular requirements for combiner box.
• IEC 62477-1

Standards for Balance of Systems (except PV inverters): Charge Controllers:


• IEC 62509: 2010 Battery charge controllers for photovoltaic systems -
Performance and functioning.
• IEC 61643-‐31/Ed1: Low voltage surge protective devices for D.C.-specific
application -Part 31: Surge Protective Devices connected to the D.C. side
of photovoltaic installations ‐Requirements and test methods

Cables for Photovoltaic Systems


PNW 20-1442 Ed. 1.0 Electric cables for Photovoltaic systems.

Batteries
• IEC61427-1: Secondary cells and batteries for renewable energy storage -
General requirements and methods of test - Part 1: Photovoltaic off-grid
application.
• IEC 61427-2 Ed. 1.0. Secondary cells and batteries for Renewable Energy
Storage - General Requirements and methods of test -Part 2: On-grid
application

Lampiran 103
Indeks

A
Conduction band, 70
Actinograph, 29
Counter electrode, 68, 73
Actinometer, 30
Czochralski, 43-44
Alternating current, 84, 91
D
Amorphous, 3, 7, 11, 38, 51
Daya maksimum, 77
Ampacity, 96
Daya masukan, 77
Anchor, 72-73
Direct current, 84, 91
Array, 49, 90-91, 93, 95-96
DSSC, 39-41, 67-75
B
Dye, 7-8, 38-40, 67-74
Band gap, 69, 72
E
Bandwidth, 81
Efek fotoelektrik, 35
Baterai, 75, 85-86, 90-93, 96
Efisiensi sel surya, 7-8, 42, 61, 63,
C 77, 78

CdS, 58-60, 63, 69 Ekuator, 31

CdTe, 11, 38, 56, 58-59, 62-65, 81 Electrode coverage, 78

Charge controller, 92-93, 96 Elektroda, 9, 57, 60, 68, 70-72

Charge separation, 71 Elektromagnetik, 16, 18, 23, 26-27

Charge transport, 71 F

CIGS, 7, 11, 38, 56-62, 81 Fill factor, 77-79

Combiner, 91 Fullerene, 7-8

Conducting glass, 68 Foton, 17-18, 24, 27, 35, 60, 63, 77, 84

104 Brian, Memanen Energi Matahari


Fotosfer, 18, 21 Metalurgical-grade silicon, 47-48

Four point probe, 79-80 Metering, 91

Fusi termonuklir, 26 Molybdenum, 57-58, 60

G Monocrystalline, 42

Graetzel cell, 8 N

Green energy, 8 Nanopartikel, 68

H O

Heat resistance, 44 Off grid, 92

Hemispherical, 29 Offset printing, 58

I On grid, 85, 87, 90

Incident radiation flux, 77-78 Open circuit voltage, 77-78

Ingot, 43-44, 48-49 P

Inverter, 84-85, 90-91, 93-94, 96 Perovskite, 8, 11, 38

Isolasi, 25, 48, 94 Photocurrent, 8

J Photo-corrosion, 69

Junction, 11, 35, 38-39, 46, 48, 71, 81 Photovoltaic, 2, 34-35, 37, 62

K Pita silikon, 7

Khatulistiwa, 11-12, 14-16, 20, 62 Polikristalin, 37, 42, 45-46, 48-52, 89

Korona, 18-20 Polyphenylene vinylene, 7

Kromosfer, 18-19 Pyranometer, 29-30

M Pyrgeometer, 30

Medan magnet, 15, 19-21 Pyrheliometer, 29-30

Mesoporous, 68

Inde x 105
R T

Radiasi matahari, 24-26, 29-31 Temporal stability, 81

Redox mediators, 68 Thin-film, 37-39, 56, 59, 61-63, 81

Reaksi fusi, 17, 23, 26 TiO2 , 39-40, 67-74

Revolusi, 21

Rotasi, 15-18, 20-21, 25, 31 V

S Vacuum chamber, 59

Screen-printing, 6, 8, 49 Voltage factor, 79


Sensitizer, 73-74
W
Shading losses, 78
Wafer, 5-7, 34, 42, 44, 48, 51, 56
Short circuit current, 73, 77
Wire-sawing, 6
Sistem instalasi, 90-92, 94

Silikon kristalin, 3, 37, 42, 51

Solarimeter, 29

Solar home system, 84, 86

Solar park, 85

Solar simulator, 77, 80-82

Solar spectrum, 69

Sorted-cell, 60

Spatial uniformity, 80

Spectral content, 80

Spektrum air-mass, 79

106 Brian, Memanen Energi Matahari


Biografi Penulis
Brian Yuliarto menyelesaikan pendidikan S-1
pada Departemen Teknik Fisika di Institut
Teknologi Bandung pada Februari 1999.
Selanjutnya, pendidikan S-2 dan S-3 ditempuh
pada Departemen Quantum Engineering and
Systems Science (QUEST) di The University of
Tokyo Jepang pada 2000–2005.
Gelar Ph.D. diperoleh setelah melakukan penelitian bersama para
peneliti dari Natioanl Institute of Advanced Industrial Science and
Technology (AIST) di Tsukuba Jepang. Penelitian yang dilakukan
seputar nano energy material berbasis material nano pori yang
digunakan untuk sensor udara.
Sebelum kembali ke Indonesia, penulis sempat melakukan
penelitian sebagai post-doctoral dengan topik pengembangan solar cell
berbasis Dye Synthesized Solar Cell (DSSC) masih di AIST Tsukuba.
Sejak 2006, penulis kembali ke Indonesia dengan bergabung pada
Teknik Fisika, Fakultas Teknolgi Industri, Institut Teknologi Bandung.
Di ITB, penulis bersama beberapa kolega dosen di Teknik Fisika
mengembangkan Laboratorium Material Baru Fungsional (Advanced
Functional Materials Lab) dengan fokus penelitian pada aplikasi
material nano di bidang energi dan lingkungan. Di bidang energi,
fokus penelitian dilakukan dengan mengembangkan dye berbasis
tanaman unik Indonesia untuk meningkatkan efisiensi solar cell DSSC.
Selain mengembangkan penelitian, penulis juga secara aktif
terlibat dalam berbagai kegiatan pengembangan sistem sel surya
dalam berbagai aplikasi, seperti lampu penerang jalan, lampu taman,
solar cell terintegrasi pada bangunan, solar cell pada carport, dan solar
cell sebagai pembangkit berskala besar (solar park/solar farm).
Penulis juga turut mengembangkan beberapa peralatan simulasi
pendidikan untuk melatih tenaga terampil dalam memahami sel surya.
Dalam berbagai seminar tentang sel surya, penulis sering diundang
sebagai pembicara kunci untuk skala nasional dan internasional.

You might also like