Professional Documents
Culture Documents
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS
Nama : An. A
No RM : 24-35-77
Usia : 14 tahun
Agama : Islam
Pendidikan : SLTP
Pekerjaan : Pelajar
II. ANAMNESA
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamnesis (dari ibu pasien) pada
tanggal 17 Mei 2013 pukul 10.05 WIB di ruang Poliklinik Saraf dengan didukung
catatan medis.
Keluhan Utama : kejang 2 hari SMRS
Keluhan Tambahan : pusing terkadang
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang dengan diantar oleh ibunya ke Poliklinik Saraf RS Marzoeki
Mahdi dengan keluhan kejang 2 hari SMRS. Kejang terjadi saat pasien sedang dalam
keadaan istirahat. Menurut ibu pasien yang menyaksikan kejadiannya, kejang terjadi
kurang lebih sekitar 15 menit. Kejang pada seluruh tubuh disertai kaku dan kelojotan,
serta pasien dalam keadaan tidak sadar. Saat kejang juga mata memandang ke atas,
lidah sedikit tergigit tetapi tidak keluar busa dari mulut pasien. Sebelum kejang pasien
tidak mengeluhkan apa-apa. Setelah kejang, pasien mengeluh pusing dan kemudian
tertidur karena lemas. Keluhan kejang dirasakan mulai terjadi pada saat pasien berusia
12 tahun. Pasien sudah 8 bulan ini rutin berobat ke dokter spesialis saraf untuk
mengatasi keluhan kejangnya tersebut. Pasien belum pernah di rawat inap karena sakit
1
yang dideritanya. Pasien menyangkal adanya keluhan mual, muntah, dan demam saat
kejang ataupun setelah kejang.
Riwayat Penyakit Dahulu:
Pasien pernah mengalami kejang seperti ini sebelumnya. Kejang pertama saaat
pasien berusia 12 tahun. Pasien mengaku mempunyai riwayat sering jatuh saat masih
bayi. Riwayat sakit paru (flek) pada saaat pasien berusia 1 tahun dan berobat selama 6
bulan, sudah dinyatakan sembuh oleh dokter. Riwayat kencing manis, hipertensi,
asma, penyakit ginjal, penyakit liver ataupun penyakik jantung disangkal oleh pasien.
Pasien juga menyangkal memiliki riwayat alergi baik makanan ataupun obat-obatan.
Riwayat Penyakit Keluarga:
Pasien mengatakan tidak ada anggota keluarga lainnya yang menderita sakit
yang sama seperti pasien. Riwayat penyakit jantung, hipertensi, penyakit ginjal,
kencing manis, penyakit liver, dan asma disangkal oleh pasien. Riwayat alergi
terhadap makanan ataupun obat-obatan pada keluarga disangkal oleh pasien.
V. STATUS NEUROLOGI
Kesan Umum
Kesadaran : compos mentis, GCS E4V5M6 = 15
2
Pembicaraan
Disarti : tidak
Monoton : tidak
Afasia : tidak
Kepala
Besar : normocephali
Asimetris : tidak
Tortikolis : tidak
Mask (topeng) : tidak
Fullmoon : tidak
Lain-lain : tidak
Pemeriksaan Khusus
1. Tanda Rangsang Meningeal
Kaku kuduk : -
Kernig : > 135o/ > 135o
Brudzinsky I : -/-
Brudzinsky II : -/-
Brudzinsky III: -/-
Brudzinsky IV : -/-
2. Nervus Kranialis
N. Olfactorius (nervus I)
Hypo/anosmia : -/-
3
N.Trigeminus (nervus V)
Cabang motorik
Otot masseter : dalam batas normal
Otot temporal : dalam batas normal
Otot pterygoidus int/ekst : dalam batas normal
Cabang sensorik
I : baik
II : baik
III : baik
Refleks kornea langsung : +/+
Refleks kornea konsensuil : +/+
Bagian sensorik
Pengecapan 1/3 belakang lidah : tidak dilakukan
Refleks muntah : tidak dilakukan
Refleks palatum molle : tidak dilakukan
4
N.Accesorius (nervus XI)
Mengangkat bahu : baik
Memalingkan muka : baik
3. Sistem Motorik
Kekuatan Otot
Tubuh
Otot perut : baik
Otot pinggang : baik
Kedudukan diafragma
Gerak : simetris
Istirahat : simetris
Lengan
M. deltoid (adduksi lengan atas) : 5/5
M.biceps (fleksi lengan atas) : 5/5
M.triceps (ekstensi lengan atas) : 5/5
Fleksi sendi pergelangan tangan : 5/5
Ekstensi sendi pergelangan tangan : 5/5
Membuka jari-jari tangan : 5/5
Menutup jari-jari tangan : 5/5
Tungkai
Fleksi articulation Coxae : 5/5
Ekstensi artic. Coxae : 5/5
Fleksi sendi lutut : 5/5
Ekstensi sendi lutut : 5/5
Fleksi plantar kaki : 5/5
Ekstensi dorsal kaki : 5/5
Gerakan jari-jari kaki : 5/5
Besar Otot
Atrofi :-
Pseudoatrofi :-
Palpasi Otot
Nyeri :-
Kontraktur :-
Konsistensi :-
5
Tonus Otot
Hipotoni - -
Spastik - -
Rigid - -
Rebound Phenomen - -
Gerakan involunter
Tremor :-
Chorea :-
Athetose :-
Myokloni :-
Ballismus :-
Torsion spasme :-
Fasikulasi :-
Koordinasi
Jari tangan- jari tangan : baik
Jari tangan- hidung : baik
Tumit-lutut : baik
Pronasi-supinasi : baik
Tapping dengan jari-jari tangan : tidak dilakukan
Station
Romberg test : tidak dilakukan
4. Sistem Sensorik
Rasa eksteroseptif
Rasa nyeri superficial : baik
Rasa suhu : tidak dilakukan
Rasa raba ringan : baik
Rasa propioseptif
Rasa getar : tidak dilakukan
Rasa tekan : baik
Rasa nyeri tekan : baik
Rasa gerak dan posisi lengan tungkai : baik
Rasa enteroseptif
Reffered pain : tidak dilakukan
6. Refleks
Refleks fisiologis
Refleks biceps : +/+
Refleks triceps : +/+
Refleks patella : +/+
Refleks Achilles : +/+
Refleks Patologik
Tungkai
Babinski : -/-
Chaddock : -/-
Oppenhaim : -/-
Gordon : -/-
Schaefer : -/-
Rosolimo : -/-
Gonda : -/-
Lengan
Hoffman-tromner : -/-
8. Columna Vertebralis
Kelainan lokal
Skoliosis : tidak dilakukan pemeriksaan
Kifosis : tidak dilakukan pemeriksaan
Kifoskoliosis : tidak dilakukan pemeriksaan
Nyeri tekan lokal :-
Gerakan cervical vertebrae
Fleksi : baik
Ekstensi : baik
Lateral deviasi : baik
Rotasi : baik
Gerakan dari tubuh
Membungkuk : baik
Ekstensi : baik
Lateral deviasi : baik
VI. RESUME
Pasien laki-laki berusia 14 tahun datang ke Poliklinik Saraf RS Dr.
H.Marzoeki Mahdi dengan keluhan kejang 2 bulan sebelum masuk RS. Kejang terjadi
saat pasien sedang dalam keadaan istirahat. Menurut ibu pasien yang menyaksikan
7
kejadiannya, kejang terjadi kurang lebih sekitar 15 menit. Kejang pada seluruh tubuh
disertai kaku dan kelojotan, serta pasien dalam keadaan tidak sadar. Saat kejang juga
mata memandang ke atas, lidah sedikit tergigit tetapi tidak keluar busa dari mulut
pasien. Sebelum kejang pasien tidak mengeluhkan apa-apa. Setelah kejang, pasien
mengeluh pusing dan kemudian tertidur karena lemas. Keluhan kejang dirasakan
mulai terjadi pada saat pasien berusia 12 tahun. Pasien sudah 8 bulan ini rutin berobat
ke dokter spesialis saraf untuk mengatasi keluhan kejangnya tersebut. Pasien belum
pernah di rawat inap karena sakit yang dideritanya. Pasien menyangkal adanya
keluhan mual, muntah, dan demam saat kejang ataupun setelah kejang.
Pada anamnesa riwayat penyakit dahulu didapatkan pasien pernah mengalami
kejang seperti ini sebelumnya. Kejang pertama saaat pasien berusia 12 tahun. Pasien
mengaku mempunyai riwayat sering jatuh saat masih bayi. Riwayat sakit paru (flek)
pada saaat pasien berusia 1 tahun dan berobat selama 6 bulan, sudah dinyatakan
sembuh oleh dokter. Pasien mengatakan tidak ada anggota keluarga lainnya yang
menderita sakit yang sama seperti pasien.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan:
Keadaan Umum : Baik
Tanda Vital
Kesadaran : Compos mentis, GCS E4M6V5 = 15
Tekanan Darah : 100/70 mmHg
Nadi : 72 x/menit
Respirasi : 20 x/menit
Status generalis : dalam batas normal
Status neurologis : dalam batas normal
Tanda Rangsang Meningeal : tidak ditemukan
Nervus Kranialis : dalam batas normal
Sistem motorik
Lengan kanan/kiri : 5555/5555
Tungkai kanan/kiri : 5555/5555
Sistem Sensorik : dalam batas normal
Refleks Fisiologis : dalam batas normal
Refleks Patologis : tidak ditemukan
VIII. DIAGNOSIS
Diagnosis Klinis : Kejang disertai gangguan kesadaran awal kejang
Diagnosis Topis : Korteks serebri
Diagnosis Etiologi : Epilepsi serangan umum bangkitan umum tonik klonik
8
IX. PENATALAKSANAAN
Non medikamentosa:
1. Pertolongan Pertama
Pasien dan anggota keluarga harus diberitahukan dengan jelas tindakan
apa yang harus diambil bila menghadapi serangan.
Jangan memasukan sesuatu ke dalam mulut pasien atau memaksa
membuka mulut pasien
Tidak perlu diusahakan mengekang gerakan kejang karena hanya akan
berakibat timbulnya cedera
Pasien harus dibiarkan untuk mengalami kejang seperti seharusnya
Pasien harus dipindahkan ke tempat yang aman
Setelah seranghan balikkan pasien pada salah satu sisi dalam posisi
setengah telungkup untuk membantu pernafasan pasien dan pemulihan
serta berikan bantalan di kepala dengan sesuatu yang lunak
Jalan nafas harus diperiksa dan diawasi
Jangan memberikan minuman apapun setelah suatu serangan kejang
dan jangan memberikan pasien antikonvulsan oral tambahan
Setelah suatu serangan pasien harus ditemani dan diberi dukungan
hingga fase bingung yang menyertainya telah hilang seluruhnya dan
pasien memperoleh kembali keseimbangannya
Medikamentosa:
B6 ½ tablet
Fenitoin 80 mg
Dibuat dalam bentuk puyer 2 X 1
X. PROGNOSA
Ad Vitam : Ad Bonam
Ad Fungsionam : Ad Bonam
Ad Sanationam : Dubia Ad Malam
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. Definisi
Epilepsi adalah manifestasi gangguan otak dengan berbagai etiologi namun dengan
gejala tunggal yang khas, yaitu serangan berkala yang disebabkan oleh lepas muatan listrik
neuron kortikal secara berlebihan.1
Serangan epileptik adalah gejala yang timbul secara tiba-tiba dan menghilang secara
tiba- tiba pula. Serangan yang hanya bangkit sekali saja tidak boleh dianggap sebagai
serangan epileptic, tetapi serangan yang timbul secara berkala pada waktu-waktu tertentu
barulah dapat dijuluki serangan epileptik. Dalam bahasa Inggris digunakan istilah seizure.
Konvulsi atau dalam bahasa Inggris convulsion berarti gerakan otot tonik klonik
yang bangkit secara involuntar. Istilah kejang dapat digunakan sebagai sinonim dari konvulsi.
Tetapi baik kejang atau konvulsi tidak boleh digunakan sebagai sinonim dari serangan
epileptik, oleh karena serangan epileptik tidak selamanya bersifat motorik.
II. Etiologi
Berdasarkan penyebabnya epilepsi dibagi menjadi dua tipe yaitu epilepsi primer dan
epilepsi sekunder. Epilepsi primer adalah epilepsi yang penyebabnya tidak diketahui secara
pasti dan disebut juga dengan idiopatik epilepsi. Beberapa hal yang berhubungan dengan
epilepsi primer yaitu:
Adanya episode aktivitas listrik yang aibnormal di dalam otak yang menyebabkan
kejang
Ada beberapa area tertentu pada otak yang dipengaruhi oleh aktivitas listrik yan
abnormal yang menyebabkan beberapa tipe kejang.
Jika semua area otak dipengaruhi oleh aktivitas listrik yang abnormal maka kejang
menyeluruh mungkin terjadi. hal ini berarti bahwa kesadaran mungkin hilang atau
10
berkurang. Seringnya semua tangan dan kaki akan menjadi kaku kemudian menyentak
secara berirama.
Satu tipe kejang mungkin berkembang menjadi kejang tipe lain. Sebagai contoh, kejang
mungkin berawal sebagian meliputi muka atau tangan. Kemudian aktivitas otot akan
menyebar ke seluruh tubuh dan pada saat ini kejang akan menyeluruh.
Kejang yang disebabkan oleh demam tinggi pada anak mungkin tidak
dipertimbangkan sebagai epilepsi.
Epilepsi sekunder adalah kejang yang penyebabnya telah diketahui. Epilepsi sekunder
disebut juga sebagai epilepsi simptomatik. Beberapa penyebab yang biasa ditemukan pada
epilepsi sekunder adalah:
- Tumor
- Trauma Kepala
- Penggunaan obat-obatan
- Stroke termasuk perdarahan
- Ketidakseimbangan metabolism endokrin, contoh: hipoglikemia
- Trauma persalinan
IV. Patofisiologi3
Dasar dari serangan epilepsi adalah gangguan fungsi neuron-neuron otak dan
transmisi pada sinaps. Tiap sel hidup, termasuk neuron-neuron pada otak mempunyai
kegiatan listrik yang disebabkan oleh adanya potensial membrane sel. Potensial membrane
sel begantung pada permeabilitas selektif membrane neuron, yakni membrane sel mudah
dilalui oleh ion K dari ruang ekstraseluler ke intraseluler dan kurang sekali oleh ion Ca, Na,
dan Cl, sehingga di dalam sel terdapat konsentrasi tinggi ion K dan konsentrasi rendah ion
Ca, Na, dan Cl, sedangkan keadaan sebaliknya terdapat di ruang ekstraseluler. Perbedaan
konsentrasi ion-ion inilah yang menyebabkan potensial membrane.
Ujung terminal neuron-neuron berhubungan dengan dendrite-dendrit dan badan-badan
neuron lain, membentuk sinaps dan merubah polarisasi membrane neuron berikutnya. Ada
dua jenis neurotransmitter, yaknib neurotransmitter eksitasi yang memudahkan depolarisasi
atau lepas muatan listrik dan neurotransmitter inhibisi yang menimbulkan hiperpolarisasi
sehingga sel neuron lebih stabil dan tidak mudah melepaskan listrik. Diantara
neurotransmitter-neurotransmitter eksitasi dapat disebut glutamate, aspartat, dan asetilkolin
sedangkan neurotransmitter inhibisi yang terkenal ialah Gamma Amino Butyric Acid
(GABA) dan glisin. Jika hasil pengaruh kedua jenis lepas muatan listrik dan terjadi impuls
atau rangsang. Hal ini misalnya terjadi pada keadaan fisiologik apabila potensial aksi tiba di
neuron. Dalam keadaan istirahat, membran neuron mempunyai potensial listrik tertentu dan
berada dalam keadaan polarisasi. Akibat potensial akan mencetuskan depolarisasi membrane
neuron dan seluruh sel akan melepas muatan listrik.
Oleh berbagai faktor diantaranya keadaan patologik, dapat merubah atau mengganggu
fungsi membrane neuron sehingga membrane mudah dilampaui oleh ion Ca dan Na dari
ruangan ekstraseluler ke intraseluler. Influks Ca akan mencetuskan letupan depolarisasi
membrane dan lepas muatan listrik berlebihan, tidak teratur dan terkendali. Lepas muatan
listrik demikian oleh sejumlah besar neuron secara sinkron merupakan dasar serangan
epilepsi. Suatu sifat khas serangan epilepsi adalah bahwa beberapa saat serangan berhenti
12
akibat proses inhibisi. Diduga inhibisi ini karena pengaruh neuron-neuron sekitar sarang
epileptic. Keadaan lain yang dapat menyebabkan suatu serangan epilepsi terhenti ialah
kelelahan neuron-neuron akibat habisnya zat-zat yang penting untuk fungsi otak.
V. Klasifikasi4
Klasifikasi Internasional Kejang Epilepsi menurut International League Against
Epilepsi (ILAE) 1981:
1. Kejang Parsial (fokal)
A. Kejang parsial sederhana (tanpa gangguan kesadaran)
Dengan gejala motorik
13
Dengan gejala sensorik
Dengan gejala otonomik
Dengan gejala psikik
Kejang ini sangat berbeda pada setiap orang, tergantung pada bagian otak dimana
kejang ini berawal. Satu hal yang umum terjadi pada setiap penderita bahwa mereka
tetap terjaga dan dapat mengingat apa yang terjadi. Dokter sering membagi kejang parsial
sederhana kedalam beberapa kategori tergantung pada jenis gejala yang dialami oleh
pasien.
Kejang motorik
Kejang ini menyebabkan perubahan pada aktivitas otot. Sebagai contoh , seseorang
mungkin mengalami gerakan abnormal seperti jari tangan menghentak atau
kekakuan pada sebagian tubuh. Gerakan ini mungkin akan meluas atau tetap pada satu sisi
tubuh (berlawanan dengan area otak yang terganggu) atau meluas pada kedua sisi. Contoh
yang lain adalah kelemahan dimana dapat berpengaruh pada saat berbicara. Penderita
mungkin bisa atau tidak menyadari gerakan ini.
Kejang sensorik
Kejang ini menyebabkan perubahan perasaan. Orang dengan kejang sensori mungkin
mencium atau merasakan sesuatu yang sebenarnya tidak ada, mendengar bunyi
berdetak, bordering atau suara seseorang ketika suara yang sebenarnya tidak ada, atau
merasakan sensasi seperti ditusuk jarum atau mati rasa (kebas).
Kejang autonomik
Kejang ini menyebabkan perubahan pada bagian sistem saraf yang secara otomatis
mengendalikan fungsi tubuh. Kejang ini biasanya meliputi perasaan asing atau tidak
nyaman pada perut, dada dan kepala, perubahan pada denyut jantung dan pernafasan,
berkeringat.
Kejang psikis
Kejang ini merubah cara berpikir seseorang, perasaan dan pengalaman akan sesuatu.
Mereka mungkin bermasalah dengan memori, kata yang terbalik saat berbicara,
ketidakmampuan untuk menemukan kata yang tepat atau bermasalah dalam memahami
percakapan atau tulisan. Mereka mungkin dengan tiba-tiba merasa takut, depresi atau
bahagia dengan alasan yang tidak jelas.
14
B. Kejang parsial kompleks (dengan gangguan kesadaran)
Kejang parsial sederhana diikuti gangguan kesadaran
Dengan gangguan kesadaran sejak awal kejang
C. Kejang umum sekunder
Kejang parsial sederhana berkembang menjadi kejang umum
Kejang parsial kompleks berkembang menjadi kejang umum
Kejang parsial sederhana berkembang menjadi parsial kompleks, dan berkembang
menjadi kejang umum
2. Kejang umum
Absans (Lena)
Bangkitan ini ditandai dengan gangguan kesadaran mendadak (absence) dalam
beberapa detik (sekitar 5-10 detik) dimana motorik terhenti dan penderita diam
tanpa reaksi. Seragan ini biasanya timbul pada anak- anak yang berusia antara 4
sampai 8 tahun. Pada waktu kesadaran hilang, tonus otot skeletal tidak hilang
sehingga penderita tidak jatuh. Saat serangan mata penderita akan memandang jauh
ke depan atau mata berputar ke atas dan tangan melepaskan benda yang sedang
dipegangnya. Pasca serangan, penderita akan sadar kembali dan biasanya lupa
akan peristiwa yang baru dialaminya. Pada pemeriksaan EEG akan menunjukan
gambaran yang khas yakni “spike wave” yang berfrekuensi 3 siklus per detik yang
bangkit secara menyeluruh.
Mioklonik
Bangkitan mioklonik muncul akibat adanya gerakan involuntar sekelompok
otot skelet yang muncul secara tiba-tiba dan biasanya hanya berlangsung sejenak.
Gambaran klinis yang terlihat adalah gerakan ekstensi dan fleksi lengan atau
keempat anggota gerak yang berulang dan terjadinya cepat.
Klonik
Kejang klonik dapat berbentuk fokal, unilateral, bilateral dengan pemulaan dan
multifokal yang berpindah-pindah. Kejang klonik fokal berlangsung 1 – 3 detik,
terlokalisasi , tidak disertai gangguan kesadaran dan biasanya tidak diikuti oleh
fase tonik.
Tonik
15
Berupa pergerakan tonik satu ekstrimitas atau pergerakan tonik umum dengan
ekstensi lengan dan tungkai yang menyerupai deserebrasi atau ekstensi tungkai
dan fleksi lengan bawah dengan bentuk dekortikasi.
Atonik
Bangkitan ini jarang terjadi. Biasanya penderita akan kehilangan kekuatan otot
dan terjatuh secara tiba-tiba.
Tonik Klonik
Diawali hilangnya kesadaran dengan cepat pada fase tonik otot-otot berkontraksi dan
posisi tubuh pasien berubah. Pada fase klonik memperlihatkan otot yang bergantian
berkontraksi dan melemas sehingga terjadi gerakan yang menyentak. Dapat terjadi
inkontinensia uri dan alvi serta lidah tergigit akibat spasme rahang. Kejang
berlangsung selama 3-5 menit dan diikuti periode tidak sadar selama 30 menit.
Setelah sadar pasien akan tampak kebingungan, stupor, dan tidak dapat mengingat
kejangnya (periode pascaiktus).
B. Simptomatik
Lobus temporalis
Lobus frontalis
Lobus parietalis
Lobus oksipitalis
2. Umum
A. Idiopatik
Kejang neonatus familial benigna
16
Kejang neonatus benigna
Kejang epilepsi mioklonik pada bayi
Epilepsi Absans pada bayi
Epilepsi Absans pada remaja
Epilepsi mioklonik pada remaja
Epilepsi dengan serangan tonik klonik pada saat terjaga
Epilepsi dengan serangan tonik klonik pada saat acak
C. Simtomatik
Etiologi non spesifik
Ensefalopati mioklonik dini
Ensefalopati Infantil dini dengan burst suppression
Epilepsi simtomatik umu lainnya yang tidak termasuk di atas
Etiologi spesifik
Bangkitan epilepsi sebagai komplikasi penyakit lain
VI. Diagnosis
Ada 3 langkah untuk menuju diagnosis epilepsi, yaitu:
Langkah pertama : memastikan apakah kejadian yang bersifat paroksimal menunjukkan
bangkitan epilepsi atau bukan epilepsy
Langkah kedua : apabila benar terdapat bangkita epilepsi, maka tentukanlah bangkitan
yang ada termasuk jenis bangkitan apa (lihat klasifikasi epilepsi).
Langkah ketiga : pastikan sindrom epilepsi apa yang ditunjukkan oleh bangkitan tadi, atau
epilepsi apa yang diderita oleh pasien, dan tentukan etiologinya.
Diagnosis epilepsi dapat ditegakkan atas dasar adanya gejala dan tanda klinik dalam
bentuk bangkitan epilepsi berulang (minimum 2 kali) yang ditunjang oleh gambaran
epileptiform pada EEG. Secara lengkap urutan pemeriksaan untuk menuju ke diagnosis adalah
sebagai berikut: 3
1. Anamnesis (auto-anamnesis)
Pola / bentuk bangkitan
Lama bangkitan
Gejala sebelum, selama, dan setelah bangkitan
Frekuensi bangkitan
Faktor pencetus
Ada/ tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang
17
Usia pada saat terjadinya bangkitan pertama
Riwayat pada saat dalam kandungan, persalinan, dan perkembangan bayi/anak.
Riwayat terapi epilepsi sebelumnya
Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga
2. Pemeriksaan fisik dan neurologi
Hal-hal yang perlu diperiksa antara lain adalah adanya tanda-tanda dari gangguan yang
berhubungan dengan epilepsi misalnya trauma kepala, infeksi telinga atau sinus,
ganggguan congenital, gangguan neurologi fokal atau difus, kecanduan alcohol atau
obat-obatan terlarang, dan kanker.
3. Pemeriksaan penunjang, dilakukan sesuai dengan bukti-bukti klinik dan/atau indikasi
serta bila keadaaan memungkinkan untuk pemeriksaan penunjang.
Pemeriksaan Elektroensefalografi (EEG)
Rekaman EEG sebaiknya dilakukan pada saat bangun, tidur, dengan stimulasi-
stimulasi tertentu sebagai pencetus bangkitan. Indikasi pemeriksaan EEG
diantaranya adalah:
- Membantu menegakkan diagnosis epilepsi
- Menentukan prognosis pada kasus tertentu
- Pertimbangan dalam penghentian OAE
- Membantu dalam menentukan letak fokus
- Bila ada perubahanb bentuk bangkitan (berbeda dengan bangkitan
sebelumnya).
Pemeriksaan pencitraan otak (brain imaging)
Indikasi dilakukan pemeriksaan tersebut adalah:
- Semua kasus bangkitan pertama yang diduga ada kelainan structural
- Adanya perubahan bentuk bangkitan
- Epilepsi dengan bangkitan parsial
- Terdapat deficit neurologic fokal
- Bangkitan pertama di atas usia 25 tahun
- Untuk persiapan tindakan pembedahan
MRI (Magnetic Resonance Imaging) merupakan prosedur pencitraan pilihan untuk
epilepsi dengan sensitivitas tinggi dan lebih spesifik dibanding dengan Computed
Tomography Scanning (CT Scan). MRI dapat mendeteksi sklerosis hipokampus,
disgenesis kortikal, tumor dan hemangioma kavernosa. Pemeriksaan MRI diindikasikan
untuk epilepsi yang sangat mungkin dilakukan terapi pembedahan.
Pemeriksaan Laboratorium
- Pemeriksaan darah meliputi hemoglobin, leuksit, hematokrit, trombosit,
apus darah tepi, elektrolit (Natrium, kalium, kalsium, magnesium), kadar
gula darah, fungsi hati (SGOT, SGPT, Gamma GT, Alkali Fosfatase),
ureum, kreatinin, dan lain-lain atas indikasi.
- Pemeriksaan cairan serebrospinal, bila dicurigai adanya infeksi SSP.
VII. Terapi
Tujuan utama terapi epilepsi adalah tercapainya kualitas hidup optimal untuk pasien, sesuai
18
dengan perjalanan penyakit epilepsi dan disabilitas fisik maupun mental yangdimilikinya.
Untuk tercapainya tujuan tadi diperlukan beberapa upaya antara lain menghentikan bangkitan,
mengurangi frekuensi bangkitan, mencegah timbulnya efek samping, menurunkan angka
kesakitan dan kematian, mencegah timbulnya efek samping Obat Anti Epilepsi (OAE).
Prinsip terapi farmakologi obat anti epilepsi
OAE mulai diberikan bila :
- Diagnosis epilepsi telah dipastikan
- Setelah pasien dan atau keluarganya menerima penjelasan tetang tujuan
pengobatan
- Pasien dan / atau keluarganya telah diberitahu tentang kemungkinan
efek samping OAE yang akan timbul.
Terapi dimulai dengan monoterapi, menggunakan OAE pilihan sesuai dengan jenis
bangkitan
Pemberian obat mulai dari dosis rendah dan dinaikkan bertahap sampai dosis efektif
tercapai atau timbul efek samping, kadar obat dalam plasma ditentukan bilabangkitan
tidak terkontrol dengan dosis efektif.
Bila dengan penggunaan dosis maksimum obat pertama tidak dapat mengontrol
bangkitan, maka perlu ditambahkan OAE yang kedua. Bila OAE telah mencapai kadar
terapi, maka OAE pertama diturunkan bertahap (tapering off) perlahan-lahan.
Penambahan obat ketiga baru dilakukan setelah terbukti bangkitan tidak dapat diatasi
dengan penggunaan dosis maksimal kedua OAE pertama
Pasien dengan bangkitan tunggal direkomendasikan untuk diberi terapi bila:
- Dijumpai fokus epileptikus yang jelas pada EEG
- Pada pemeriksaan CT S can atau MRI otak dijumpai lesi yang
berkolerasi dengan bangkitan, misalnya neoplasma otak, AVM, abses
otak, ensefalitis herpes.
- Pada pemeriksaan neurologic dijumpai kelainan yang mengarah pada
adanya kerusakan otak.
- Terdapatnya riwayat epilepsi pada saudara kandung
- Riwayat bangkitan simtomatik
- Riwayat trauma kepala terutama yang disertai dengan penurunan
kesadaran, stroke, dan infeksi SSP.
19
Phenytoin
Phenytoin adalah salah satu obat yang biasa digunakan untuk terapi anti kejang. Phenitoin
sering dipertimbangkan sebagai obat pilihan pertama untuk terapi kejang parsial, kejang tonik
klonik (grand mal) dan status epileptikus (Gordon,2008). Bekerja dengan menekan aktivitas
listrik pada sel saraf otak. Obat ini saat pertama kali digunakan dapat secara oral atau
intravena. Bentuk oral obat ini memiliki manfaat yang baik untuk terapi dosis tunggal per
hari. Tingkat penggunaan phenitoin harus diawasi dengan pemeriksaan fungsi hati dan
pemeriksaan darah lengkap. Dosis terapi yang dianjurkan adalah 10-20 mg/L.
Anemia
Pertumbuhan rambut yang berlebihan
Letargi
Hyperplasia gusi
Neuropati jika digunakan dalam jangka waktu lama
Carbamazepin
Obat ini biasa diresepkan untuk terapi kejang parsial dan kejang tonik klonik (grand mal).
Obat ini bekerja dengan mekanisme yang kurang dapat dimengerti. Dalam bentuk oral,
carbamazepin dapat diminum 2 sampai 3 kali. Tingkat penggunaan karbamazepin harus
diawasi. Dosis terapi yang dianjurkan adalah 8-12mg/L. pemeriksaan fungsi hati dan
pemeriksaan darah lengkap harus dilakukan secara rutin. Efek samping dari karbamazepin
dapat menyebabkan rasa mengantuk, mual, anemia, neutropenia.
Phenorbital
Obat ini digunakan untuk terapi kedua jenis kejang yaitu kejang umum dan kejang
parsial.obat ini juga digunakan pada protocol setelah penggunaan phenitoin pada status
epileptikus pada bayi yang menderita epilepsi. Obat ini dapat digunakan dalam bentuk oral
atau intravena. Tingkat penggunaan obat ini harus diawasi. Dosis terapi yang dianjurkan
adalah 15-40 mg/L. pemeriksaan darah lengkap harus dilakukan secara rutin. Efek samping
dari phenorbital adalah mengantuk, kerusakan kognitif dan menyebabkan mudah marah.
Valproat
Obat ini digunakan untuk terapi kejang parsial, kejang tonik klonik (grand mal), kejang
absence (petit mal) dan kejang myoklonik. Obat ini juga diakui dapat mencegah sakit kepala
20
migren. Mekanisme aksi dari obat ini berhubungan dengan substansi otak yang disebut
GABA (Gamma Aminobutyric Acid). Obat ini dapat digunakan dalam bentuk oral dan harus
diminum 2 sampai 3 kali sehari untuk mendapatkan dosis yang adekuat. Tingkat penggunaan
obat ini harus diawasi, seperti pada pemeriksaan fungsi hati dan pemeriksaan darah. Efek
samping dari obat ini adalah kerusakan hati (hepatotoksik) mual, penambahan berat badan,
alopesia dan tremor.
Ethosuximide
Obat ini digunakan untuk terapi kejang absence (petit mal). Obat ini bekerja dengan menekan
aktivitas sel otak yang berhubungna dengan hilangnya kesadaran. Obat ini diberikan secara
oral, dapat berbentuk tablet atau syrup. Tingkat penggunaan obat ini harus diawasi untuk
memastikan dosis terapi yang digunakan adalah 40-100 mcg/mL. pemeriksaan darah lengkap,
urinalisis dan pemeriksaan fungsi hati harus dilakukan secara rutin untuk mengawasi
kemungkinan efek samping yang tidak diharapkan. Efek samping yang dapat ditimbulkan
ethosuximide yaitu:
Primidone
Obat ini adalah barbiturate yang mengandung phenorbital. Obat ini digunakan untuk terapi
kejang umum tonik klonik (grand mal) dan kejang parsial. Obat ini digunakan pada orang
dewasa dan anak-anak yang berusia lebih dari 8 tahun.
Dosis efektif pada tubuh adalag 5-12 mcg/mL. obat ini tersedia dalam tablet 250 mg yang
dapat diminum 3 sampai 4 kali sehari. Dosis dapat ditingkatkan tetapi tidak melebihi 500 mg
yang diminum 4 kali sehari.
Efek samping dari primidone adalah:
Pandangan kabur
Bingung
Mual dan muntah
Impotensi
21
Vertigo
Hilangnya berat badan
Topiramate
Obat ini digunakan dengan obat anti kejang lain pada terapi kejang parsial dan kejang umum
tonik klonik pada orang dewasa dan anak-anak yang berusia 2 sampai 16 tahun. Obat ini juga
diakui sebagai pencegah sakit kepala migraine. Obat ini tersedia dalam bentuk orang yang
dapat diminum dua kali sehari.
Gabapentin
Obat ini di indikasikan sebagai terapi tambahan pada kejang parsial dengan atau tanpa kejang
umum sekunder. Obat ini tersedia dalam bentuk oral dan diminum tiga kali sehari. Tidak ada
pemeriksaan laboraturium seperti pemeriksaan fungsi hati dan darah yang diperlukan. Efek
samping dari gabapentin adalah bingung, berkunang-kunang dan gangguan keseimbangan.
Lamotrigine
Obat ini di indikasikan sebagai terapi tambahan pada kejang parsial dan untuk terapi dosis
tunggal pada penderita epilepsi dewasa dengan kejang parsial. Obat ini tersedia dalam bentuk
oral dan diminum dua kali sehari. Tidak ada pemeriksaan laboraturium yang diperlukan. Efek
samping dari lamortrigine adalah sakit kepala, mual, berkunang-kunang dan rash kulit..
Levetiracetam
Obat ini digunakan sebagai obat tambahan pada terapi kejang parsial pada penderita epilepsi
anak-anak yang berusia 4 tahun ke atas dan dewasa. Obat ini tersedia dalam bentuk tablet dan
cairan oral yang digunakan pada anak-anak yang tidak bisa menelan tablet, diminum dua kali
sehari. Efek samping dari levetiracetam adalah bingung, gangguan keseimbangan dan
perubahan kepribadian yang biasanya menghilang setelah satu bulan pertama terapi.
22
Jenis Bangkitan OAE Lini OAE Lini OAE Lain yang OAE yang
Pertama Kedua dapat sebaiknya
dipertimbangkan dihindari
Lamotrigine
Piracetam
Bangkitan tonik Sodium Clobazam Phenobarbital Carbamazepine
Valproate
Levetiracetam Phenytoin Oxcarbazepine
Lamotrigine
Topiramate
Bangkitan atonik Sodium Clobazam Phenobarbital Carbamazepine
Valproate
Levetiracetam Acetazolamide Oxcarbazepine
Lamotrigine
Topiramate Phenytoin
Bangkitan fokal Carbamazepine Clobazam Clonazepam
dengan/tanpa
Oxcarbazepine Gabapentin Phenobarbital
umum sekunder
Sodium Levetiracetam Acetazolamide
23
Valproate Phenytoin
Topiramate Tiagabine
Lamotrigine
Penghentian OAE
Dalam hal penghentian OAE maka ada dua hal penting yang perlu diperhatikan yaitu syarat
umum untuk mernghentikan OAE dan kemungkinan kambuhnya bangkitan setelah OAE
dihentikan.
Syarat umum menghentikan OAE adalah sebagai berikut:
Penghentian OAE dapat didiskusikan dengan pasien atau keluarganya setelah
minimal 2 tahun bebas bangkitan
Gambaran EEG normal
Harus dilakukan secara bertahap, pada umumnya 25% dari dosis semula,
setiap bulan dalam jangka waktu 3-6 bulan
Bila digunakan lebih dari satu OAE, maka penghentian dimulai dari satu OAE
yang bukan utama
VIII. Prognosis
Prognosis epilepsi bergantung pada beberapa hal, di antaranya jenis epilepsi faktor penyebab,
saat pengobatan dimulai, dan ketaatan minum obat. Pada umumnya prognosis epilepsi cukup
menggembirakan. Pada 50-70% penderita epilepsi serangan dapat dicegah dengan obat-obat,
sedangkan sekitar 50 % pada suatu waktu akan dapat berhenti minum obat. Serangan epilepsi
primer, baik yang bersifat kejang umum maupun serangan lena atau absence mempunyai
prognosis terbaik. Sebaliknya epilepsi yang serangan pertamanya mulai pada usia 3 tahun
atau yang disertai kelainan neurologik dan atau retardasi mental mempunyai prognosis
relative jelek.
IX. Kesimpulan
Diagnosis epilepsi merupakan masalah tersendiri karena membuat diagnosis epilepsi secara
rutin memerlukan pengetahuan klinis dan ketrampilan yang khusus. Dengan mengenali
serangan kejang dan membuat diagnosis yang benar dapat menjadikan pengobatan lebih
efektif. Pada kebanyakan pasien yang menderita epilepsi dapat dibuat diagnosis dengan
mengetahui secara lengkap riwayat penyakit, pemeriksaan fisik dan neurologi, pemeriksaan
24
elektroensefalografi dan pencitraan otak. Gejala epilepsi dapat dikontrol dengan obat anti
kejang. Hampir delapan dari sepuluh orang dengan epilpsy gejala kejang yang mereka alami
dapat dikontrol dengan baik oleh obat antikejang sehingga diperlukan kepatuhan untuk
menjalani program terapi epilepsi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Mardjono Mahar, Sidharta Priguna. Neurologi Klinis Dasar. Cetakan 14. Jakarta:
Penerbit Dian Rakyat. 2009. P 439.
2. Epilepsy. Available at:
http://www.mayoclinic.com/health/epilepsy/DS00342/DSECTION=risk-factors.
Accessed on May 19, 2013.
3. Price dan Wilson. Patofisiologi: Konsep Klinis Prose-Proses Penyakit. Ed: 6. Jakarta:
EGC. 2006
4. The Commision on Classification and Terminology of the International League
Against Epilepsy. Proposal for revised clinical and electroencephalographic
classification of epileptic seizures. Epilepsia 1981: 22: 489-501.
25