You are on page 1of 49

Tekanan Intrakranial, Trauma Kapitis dan Computed Tomography Scan

Disusun Oleh:

Harun Gani 11.2016.359

Amuza lechimi Kanthan 11.2016.400

Manisah Binti Mohd Aroff 11.2016.186

Dokter pembimbing : dr. Fadhil Sp.BS

Kepaniteraan Klinik Bedah


Periode 05 Febuari 2018- 14 April 2018
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
RSUD Tarakan
2018

1
Pendahuluan

Menurut Brain Injury Association of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada
kepala, bukan bersifat congenital ataupun degenerative, tetapi disebabkan oleh serangan atau
benturan fisik dari luar yang dapat mengurangi atau mengubah kesedaran yang mana
menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik. Menurut American
Aaccreditation Health Care Commission terdapat 4 jenis fraktur yaitu simple fracture, linear
hairline fracture, depressed fracture, compound fracture. Terdapat juga fraktur yang
berdasarkan lokasi anatomis yaitu terjadinya retak atau kelainan pada bagian fraktur. Pada
trauma kapitis dapat juga menyebabkann terjadinya perdarahan yaitu perdarahan epidural,
subdural, subarachnoid, intracerebral dan intraparenkimal. Pelbagai pemeriksaan yang
dibutuhkan pada trauma kapitis terutamanya CT scan. Pemeriksaan pada penderita – penderita
cedera kepala hendaklah ditekankan pada pemeriksaan neurologi yang meliputkan kesadaran
penderita dengan menggunakan Skala Koma Glasgow, diameter kedua pupil ,defisit motorik dan
tanda – tanda peningkatan tekanan intrakranial. Adanya jejas – jejas di kepala menjadikan dokter
waspada terhadap adanya lesi – lesi intrakranial.

2
Anatomi Kepala

Gambar 1. Anatomi kulit kepala. (Dikutip dari: Mung S. Scalp Layers. Available at:
http://medic4u.webs.com/anatomy.htm)

a. Kulit Kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisanyang disebut sebagai SCALP yaitu:
 Skin atau kulit. Skin bersifat tebal dan mengandung rambut serta kelenjar sebasea
(keringat).
 Connective tissue atau jaringan penyambung. Merupakan jaringan lemak yang memiliki
septa-septa, kaya akan pembuluh darah terutama diatas galea. Pembuluh darah tersebut
merupakan anastomosis antara arteri karotis interna dan eksterna, tetapi lebih dominan
arteri karotis eksterna.

3
 Aponeuris atau galea aponeurotika yaitu jaringan ikat yang berhubungan langsung
dengan tengkorak. Aponeurosis galea merupakan lapisan terkuat, berupa fascia yang
melekat pada tiga otot, yaitu m.frontalis (anterior), m.occipitalis (posterior),
m.temporoparietalis (lateral). Ketiga otot ini dipersarafi oleh N. VII.
 Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar. Loose areolar tissue, lapisan
ini mengandung vena emissary yang merupakan vena tanpa katup, menghubungkan
SCALP, vena diploica, dan sinus vena intrakranial. Jika terjadi infeksi pada lapisan ini,
akan dengan mudah menyebar ke intrakranial. Avulsi SCALP bisa terjadi pada lapisan
ini. Hematoma yang terjadi pada lapisan ini disebut Subgaleal hematom, merupakan
hematoma yang paling sering ditemukan setelah cedera kepala, terutama anak-anak.
 Perikranium, merupakan periosteum yang melapisi tulang tengkorak, melekat erat
terutama pada sutura karena melalui sutura ini periosteum akan langsung berhubungan
dengan endosteum. Jaringan penunjang longgar memisahkan galea aponeurotika
dari perikranium dan merupakan tempat yang biasa terjadinya perdarahan subgaleal.
Kulit kepala memiliki banyak pembuluh darah sehingga bila terjadi perdarahan akibat
laserasi kulit kepala akan menyebabkan banyak kehilangan darah terutama pada anak-
anak atau penderita dewasa yang cukup lama terperangkap sehingga membutuhkan waktu
lama untuk mengeluarkannya.3

b. Tulang Tengkorak
Terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang tengkorak terdiridari beberapa
tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital. Kalvaria khususnya diregio temporal
adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot temporalis. Basis cranii berbentuk tidak rata
sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan
deselerasi. Ronggatengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu fosa anterior tempat lobus
frontalis,fosa media tempat temporalis dan fosa posterior ruang bagi bagian bawah batang
otak dan serebelum.3,4

c. Meninges3,4
Selaput meninges menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan, yaitu:

4
Gambar 2. Lapisan Pelindung Otak. (Dikutip dari: Wexner Medical Center. Available at:
http://medicalcenter.osu.edu/patientcare/healthcare_services/nervous_system/meningitis/Page
s/index.aspx)

1) Duramater
Duramater, secara embriologi berasal dari mesoderm. Terletak paling luar, terdiri
atas dua lapisan yaitu lapisan luar (lapisan periosteal) langsung melekat pada
endosteum tabula interna dan lapisan dalam (lapisan meningeal). Duramater
merupakan selaput yang keras,terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang melekat erat pada
permukaan dalam dari kranium. Karena tidak melekat pada selaput arachnoid di
bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial (ruang subdura) yang terletak antara
duramater dan arachnoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural.
Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak
menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Vein, dapat
mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior
mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari
sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat. Diperdarahi oleh arteri
meningea anterior, media, dan posterior. Masing-masing merupakan cabang dari
arteri opthtalmika untuk yang anterior, arteri carotis eksterna untuk yang media, dan
arteri vertebralis untuk yang posterior.

5
Arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam dari kranium
(ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada
arteri-arteri ini dan menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami
cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa temporalis.1,3,4

2) Arakhnoid
Arakhnoid, secara embriologi berasal dari ektoderm. Terletak tepat dibawah
duramater. Lapisan ini merupakan lapisan avaskuler, mendapatkan nutrisi dari CSS
(Cairan Serebospinal). Ke arah dalam, lapisan ini memiliki banyak trabekula yang
melekat pada lapisan epipial dari piamater. Selaput ini dipisahkan dari dura mater
oleh ruang potensial, disebut spatium subdural, dan dari pia mater
oleh spatium subarakhnoid yang terisi oleh liquor serebrospinalis. Perdarahan
subarakhnoid umumnya disebabkan akibat cedera kepala.

3) Pia mater
Pia mater secara embriologis dan histologis sama dengan arachnoid, hanya pada
lapisan ini sel-selnya tidak saling tumpang tindih. Terdiri dari dua lapisan yaitu
lapisan epipial (luar) dan lapisan pia-glia (dalam). Melekat erat pada permukaan
korteks serebri. Pia mater adalah membrana vaskular yang dengan erat membungkus
otak, meliputi gyri dan masuk ke dalam sulci yang paling dalam. Membrana ini
membungkus saraf otak dan menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang
masuk ke dalam substansi otak juga diliputi oleh pia mater.3,4

6
d. Otak

Gambar 3. Bagian otak (Dikutip dari: University of Maryland. Available at:


http://www.umm.edu/patiented/articles/what_brain_tumors_000089_1.htm)

Otak merupakan suatu struktur gelatin dengan berat pada orangdewasa sekitar 14 kg.
Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu proensefalon (otak depan) terdiri dari serebrum dan
diensefalon, mesensefalon (otak tengah) dan rhombensefalon (otak belakang) terdiri dari
pons,medula oblongata dan serebellum. Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus. Lobus
frontal berkaitan dengan fungsi emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara. Lobus
parietal berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal mengatur
fungsi memori tertentu. Lobus oksipital bertanggung jawab dalam proses penglihatan.
Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi retikular yang berfungsi dalam
kesadaran dan kewapadaan. Pada medulla oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik.
Serebellum bertanggung jawabdalam fungsi koordinasi dan keseimbangan.4

e. Cairan serebrospinalis
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengankecepatan produksi
sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari ventrikel lateral melalui foramen monro menuju
ventrikel III, dari akuaduktus sylvius menuju ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi ke dalam
sirkulasi vena melalui granulasio arakhnoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya

7
darah dalam CSS dapat menyumbat granulasio arakhnoid sehingga mengganggu penyerapan
CSS dan menyebabkan kenaikan takanan intracranial. Angka rata-rata pada kelompok populasi
dewasa volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS per hari.4

Gambar 4. Aliran Cairan Cerebrospinal. (Dikutip dari: http://medic4u.webs.com/anatomy.htm)

f. Tentorium
Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supratentorial (terdiri dari
fosa kranii anterior dan fosa kranii media) dan ruang infratentorial (berisi fosa kranii
posterior).4

g. Vaskularisasi Otak
Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis. Keempat arteri ini
beranastomosis pada permukaan inferior otak dan membentuk sirkulus Willisi. Vena-
vena otak tidak mempunyai jaringan otot didalamdindingnya yang sangat tipis dan tidak
mempunyai katup. Vena tersebut keluar dari otak dan bermuara ke dalam sinus venosus
cranialis.4

8
Tekanan Intrakranial4

Autoregulasi, cerebral perfusion pressure (CPP), Mean arterial pressure (MAP) and intracranial
pressure (ICP) merupakan faktor yang mempengaruhi peredarahan darah di cerebral. Pada
keadaan normal, autoregulasi, mengregulasi peredarah pembuluh darah lokal untuk
mempertahankan keseimbangan natara oksigen dan metabolism. Faktor-faktor sistemik lain yang
boleh mempengaruhi peredaran darah cerebral adalah hipertensi, hipocarbia, alkalosis yang
menyebabkan vasokonstriksi.

Pada keadaan yang normal, autoregulasi hanya mempertahankan CPP antara 50 hingga 150
mmHg untuk mempertahankan kebutuhan oksigen pada jaringan lokal. Pada cedera kepala,
autoregulasi mengalami gangguan, jadi penurunan tekanan darah akan menyebabkan penurunan
perfusi di jaringan otak dan menyebabkan hipoksia jaringan seluler. CPP yang kurang dari
60mmHg adalah nilai terendah yang bisa ditoleransi oleh manusia. Hipotensi pada trauma
menyebabkan iskemia pada beberapa bagian otak yang cedera, dan resusitasi cairan yang agresif
diperlukan untuk menghindari hipotensi dan secondary brain injury.

Tabel 1. Faktor yang mempengaruhi aliran darah di otak4

Cranium merupakan bagian yang tertutup dengan volume yang tetap. Sebarang perubahan
volume pada intrakranial sebagai contoh perdarahan akan mempengaruhi intracranial pressure
(ICP). Peningkatan ICP akan menurunkan CPP. ICP dipengaruhi oleh 3 kompartmen yaitu
parenkim otak (< 1300 mL padaorang dewasa), cairan cerenrospinal (100-150mL) dan darah
intravaskular (100-150 mL). Jika satu kompartmen membesarm akan menyebabkan reduksi pada
volume di kompartmen lain. Peningkatan ICP merupakan mengancam nyawa dan menyebabkan

9
suatu fenomena yaitu Cushing reflex (Hypertensi, bradikardia dan pernafasan ireguler). Nilai
ICP normal bervariasi menurut usia.4

Tabel 2. Nilai tekanan intrakaranial berdasarkan usia4

Etiologi peningkatan TIK

1. Etiologi
Penyebab terjadinya peningkatan ICP dapat diklasifikasikan berdasarkan mekanisme
terjadinya, yaitu :6

● Efek dari adanya massa seperti tumor otak, infark disertai edema, kontusio, perdarahan
subdural atau epidural, atau abses yang kesemuanya dapat menambah ukuran dari otak.

● Edema otak yang luas dapat muncul pada kondisi iskemik-anoksia, hipertensi ensefalopati,
pseudotumor cerebri,dan hiperkarbia. Kondisi ini dapat menyebabkan menurunnya tekanan
perfusi otak tapi dengan pendorongan minimal terhadap jaringan.

● Peningkatan tekanan pada vena akibat dari trombosis sinus venosus, gagal jantung atau
obstruksi dari vena jugular superior dan vena mediastinalis superior.

● Obstruksi dari aliran CSF dan/atau gangguan pada absorpsi yang dapat muncul pada
hidrosephalus, penyakit pada meningen, atau bostruksi pada sinus sagitalis superior.

● Peningkatan produksi dari CSF yang bisa terjadi pada meningitis, perdarahan subarakhnoid,
atau tumor pleksus koroid.

● Idiopatik (idiopathic intracranial hypertension)

10
Definisi Trauma Kepala

Trauma kepala adalah trauma yang mengenai calvaria dan atau basis cranii serta organ-
organ di dalamnya, dimana kerusakan tersebut bersifat non-degeneratif/non-kongenital, yang
disebabkan oleh gaya mekanik dari luar sehingga timbul gangguan fisik, kognitif maupun sosial
serta berhubungan dengan atau tanpa penurunan tingkat kesadaran.2

Menurut Dawodu (2003) insidensi Trauma kepala tertinggi pada kelompok umur 15-45
tahun dengan insidens sebanyak 32,8/100.000. Perbandingan antara lelaki dan perempuan ialah
3,4 : 1. Penyebab utama terjadinya trauma kepala adalah kecelakaan lalu-lintas (bermotor) di
mana pada setiap tahun diperkirakan 1 juta meninggal dan 20 juta cedera. Insiden trauma kepala
karena kecelakaan lebih 50% meninggal sebelum tiba di RS, 40% meninggal dalam 1 hari dan
35% meninggal dalam 1 minggu perawatan.. GCS digunakan untuk menenntukan derajat
keparahan dari trauma kepala selama 48 jam setelah cedera kepala.

Tabel 3. Glassglow Coma Scale

Klasifikasi trauma kepala berdasarkan GCS (Glassglow coma scale4

1. Ringan

11
 GCS 14 – 15
 Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari1 jam
 Tidak ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur cerebral, hematoma.
 CT Scan normal.

2. Sedang

 GCS 9 – 13
 Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 1 jam tetapi kurang dari 24 jam.
 Dapat mengalami fraktur tengkorak.
 CT Scan abnormal.
 Mortalitas pasien dengan adalah <20%

3. Berat

 GCS 3 – 8
 Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 7 hari.
 Juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma intrakranial.

Patofisiologi 1

Trauma secara langsung akan menyebabkan cedera yang disebut lesi primer. Lesi primer
ini dapat dijumpai pada kulit dan jaringan subkutan, tulang tengkorak, jaringan otak, saraf otak
maupun pembuluh-pembuluh darah di dalam dan di sekitar otak.

Pada tulang tengkorak dapat terjadi fraktur linier (±70% dari fraktur tengkorak), fraktur
impresi maupun perforasi. Penelitian pada lebih dari 500 penderita trauma kepala menunjukkan
bahwa hanya ± 18% penderita yang mengalami fraktur tengkorak. Fraktur tanpa kelainan
neurologik, secara klinis tidak banyak berarti.

12
Fraktur linier pada daerah temporal dapat merobek atau menimbulkan aneurisma pada
arteria meningea media dan cabang-cabangnya; pada dasar tengkorak dapat merobek atau
menimbulkan aneurisma a. karotis interna dan terjadi perdarahan lewat hidung, mulut dan
telinga. Fraktur yang mengenai lamina kribriform dan daerah telinga tengah dapat menimbulkan
rinoroe dan otoroe (keluarnya cairan serebro spinal lewat hidung atau telinga.

Fraktur impresi dapat menyebabkan penurunan volume dalam tengkorak, hingga


menimbulkan herniasi batang otak lewat foramen magnum. Juga secara langsung menyebabkan
kerusakan pada meningen dan jaringan otak di bawahnya akibat penekanan. Pada jaringan otak
akan terdapat kerusakan-kerusakan yang hemoragik pada daerah coup dan countre coup, dengan
piamater yang masih utuh pada kontusio dan robek pada laserasio serebri. Kontusio yang berat di
daerah frontal dan temporal sering kali disertai adanya perdarahan subdural dan intra serebral
yang akut.

Tekanan dan trauma pada kepala akan menjalar lewat batang otak kearah kanalis spinalis;
karena adanya foramen magnum, gelombang tekanan ini akan disebarkan ke dalam kanalis
spinalis. Akibatnya terjadi gerakan ke bawah dari batang otak secara mendadak, hingga
mengakibatkan kerusakan-kerusakan di batang otak.

Saraf otak dapat terganggu akibat trauma langsung pada saraf, kerusakan pada batang
otak, ataupun sekunder akibat meningitis atau kenaikan tekanan intrakranial. Kerusakan pada
saraf otak I kebanyakan disebabkan oleh fraktur lamina kribriform di dasar fosa anterior maupun
countre coup dari trauma di daerah oksipital. Pada gangguan yang ringan dapat sembuh dalam
waktu 3 bulan.

Dinyatakan bahwa ± 5% penderita tauma kapitis menderita gangguan ini. Gangguan pada
saraf otak II biasanya akibat trauma di daerah frontal. Mungkin traumanya hanya ringan saja
(terutama pada anak-anak) , dan tidak banyak yangmengalami fraktur di orbita maupun foramen
optikum.

Dari saraf-saraf penggerak otot mata, yang sering terkena adalah saraf VI karena letaknya
di dasar tengkorak. Ini menyebabkan diplopia yang dapat segera timbul akibat trauma, atau
sesudah beberapa hari akibat dari edema otak.

13
Gangguan saraf III yang biasanya menyebabkan ptosis, midriasis dan refleks cahaya
negatif sering kali diakibatkan hernia tentorii. Gangguan pada saraf V biasanya hanya pada
cabang supra-orbitalnya, tapi sering kali gejalanya hanya berupa anestesi daerah dahi hingga
terlewatkan pada pemeriksaan.

Saraf VII dapat segera memperlihatkan gejala, atau sesudah beberapa hari kemudian.
Yang timbulnya lambat biasanya cepat dapat pulih kembali, karena penyebabnya adalah edema.
Kerusakannya terjadi di kanalis fasialis, dan sering kali disertai perdarahan lewat lubang telinga.
Banyak didapatkan gangguan saraf VIII pada. trauma kepala, misalnya gangguan pendengaran
maupun keseimbangan. Edema juga merupakan salah satu penyebab gangguan.

Gangguan pada saraf IX, X dan XI jarang didapatkan, mungkin karena kebanyakan
penderitanya meninggal bila trauma sampai dapat menimbulkan gangguan pada saraf- saraf
tersebut. Akibat dari trauma pada pembuluh darah, selain robekan terbuka yang dapat langsung
terjadi karena benturan atau tarikan, dapat juga timbul kelemahan dinding arteri. Bagian ini
kemudian berkembang menjadi aneurisma. Ini sering terjadi pada arteri karotis interna pada
tempat masuknya di dasar tengkorak. Aneurisma arteri karotis interim ini suatu saat dapat pecah
dan timbul fistula karotiko kavernosa.

Aneurisma pasca traumatik ini bisa terdapat di semua arteri, dan potensial untuk nantinya
menimbulkan perdarahan subaraknoid. Robekan langsung pembuluh darah akibat gaya geseran
antar jaringan di otak sewaktu trauma akan menyebabkan perdarahan subaraknoid, maupun intra
serebral. Robekan pada vena-vena yang menyilang dari korteks ke sinus venosus (bridging
veins) akan menyebabkan suatu subdural hematoma.

Klasifikasi 1

Cedera Primer dan Sekunder

1. Primer
Di induksi oleh kekuatan mekanik dan terjadi pada saat cedera; 2 mekanisme utama
yang menyebabkan cedera primer adalah kontak (misalnya, benda yang menyerang kepala atau
otak yang menabrak bagian dalam tengkorak) dan percepatan-pelambatan (acceleration-
deceleration).

14
2. Sekunder
Tidak diinduksi oleh proses mekanik dari trauma namun merupakan efek lambat yang
tertunda dari cedera mekanis sebelumnya.

Gambar 5. Cedera kepala Primer dan cedera kepala sekunder

Focal dan Diffuse

1. Focal
Termasuk cedera kulit kepala, fraktur tengkorak, dan kontraksi permukaan; umumnya
disebabkan oleh kontak.
2. Diffuse
Termasuk cedera aksonal difus (DAI), kerusakan hipoksia-iskemik, meningitis, dan
cedera vaskular; Biasanya disebabkan oleh akselerasi-deselerasi kekuatan.

Fraktur Basis Cranii


Suatu fraktur basis cranii adalah suatu fraktur linear yang terjadi pada dasar tulang
tengkorak yang tebal. Fraktur ini seringkali disertai dengan robekan pada duramater. Fraktur
basis cranii paling sering terjadi pada dua lokasi anatomi tertentu yaitu regio temporal dan regio
occipital condylar. Fraktur basis cranii dapat dibagi berdasarkan letak anatomis fossa-nya
menjadi fraktur fossa anterior, fraktur fossa media, dan fraktur fossa posterior.6

Jenis fraktur lain pada tulang tengkorak yang mungkin terjadi yaitu :

15
a. Fraktur linear yang paling sering terjadi merupakan fraktur tanpa pergeseran, dan umumnya
tidak diperlukan intervensi.

b. Fraktur depresi terjadi bila fragmen tulang terdorong kedalam dengan atau tanpa kerusakan
pada scalp. Fraktur depresi mungkin memerlukan tindakan operasi untuk mengoreksi
deformitas yang terjadi.

c. Fraktur diastatik terjadi di sepanjang sutura dan biasanya terjadi pada neonatus dan bayi
yang suturanya belum menyatu. Pada fraktur jenis ini, garis sutura normal jadi melebar.

d. Fraktur basis merupakan yang paling serius dan melibatkan tulang-tulang dasar tengkorak
dengan komplikasi rhinorrhea dan otorrhea cairan serebrospinal (Cerebrospinal Fluid).

Suatu fraktur tulang tengkorak berarti patahnya tulang tengkorak dan biasanya terjadi
akibat benturan langsung. Tulang tengkorak mengalami deformitas akibat benturan terlokalisir
yang dapat merusak isi bagian dalam meski tanpa fraktur tulang tengkorak. Suatu fraktur
menunjukkan adanya sejumlah besar gaya yang terjadi pada kepala dan kemungkinan besar
menyebabkan kerusakan pada bagian dalam dari isi cranium.

Fraktur tulang tengkorak dapat terjadi tanpa disertai kerusakan neurologis, dan
sebaliknya, cedera yang fatal pada membran, pembuluh-pembuluh darah, dan otak mungkin
terjadi tanpa fraktur. Otak dikelilingi oleh cairan serebrospinal, diselubungi oleh penutup
meningeal, dan terlindung di dalam tulang tengkorak. Selain itu, fascia dan otot-otot tulang
tengkorak mEnjadi bantalan tambahan untuk jaringan otak. Hasil uji coba telah menunjukkan
bahwa diperlukan kekuatan sepuluh kali lebih besar untuk menimbulkan fraktur pada tulang
tengkorak kadaver dengan kulit kepala utuh dibanding yang tanpa kulit kepala.5

Fraktur tulang tengkorak dapat menyebabkan hematom, kerusakan nervus cranialis,


kebocoran cairan serebrospinal (CSF) dan meningitis, kejang dan cedera jaringan (parenkim)
otak. Angka kejadian fraktur linear mencapai 80% dari seluruh fraktur tulang tengkorak. Fraktur
ini terjadi pada titik kontak dan dapat meluas jauh dari titik tersebut. Sebagian besar sembuh
tanpa komplikasi atau intervensi. Fraktur depresi melibatkan pergeseran tulang tengkorak atau
fragmennya ke bagian lebih dalam dan memerlukan tindakan bedah saraf segera terutama bila
bersifat terbuka dimana fraktur depresi yang terjadi melebihi ketebalan tulang tengkorak. Fraktur
basis cranii merupakan fraktur yang terjadi pada dasar tulang tengkorak yang bisa melibatkan

16
banyak struktur neurovaskuler pada basis cranii, tenaga benturan yang besar, dan dapat
menyebabkan kebocoran cairan serebrospinal melalui hidung dan telinga dan menjadi indikasi
untuk evaluasi segera di bidang bedah saraf.6

Patofisiologi5,6

Trauma dapat menyebabkan fraktur tulang tengkorak yang diklasifikasikan menjadi :

• fraktur sederhana (simple) suatu fraktur linear pada tulang tengkorak

• fraktur depresi (depressed) apabila fragmen tulang tertekan ke bagian lebih dalam dari
tulang tengkorak

• fraktur campuran (compound) bila terdapat hubungan langsung dengan lingkungan luar. Ini
dapat disebabkan oleh laserasi pada fraktur atau suatu fraktur basis cranii yang biasanya
melalui sinus-sinus.

Pada dasarnya, suatu fraktur basiler adalah suatu fraktur linear pada basis cranii. Biasanya
disertai dengan robekan pada duramater dan terjadi pada pada daerah-daerah tertentu dari basis
cranii.

Fraktur Temporal terjadi pada 75% dari seluruh kasus fraktur basis cranii. Tiga subtipe dari
fraktur temporal yaitu tipe longitudinal, transversal, dan tipe campuran (mixed).

a. Fraktur longitudinal terjadi pada regio temporoparietal dan melibatkan pars skuamosa os
temporal, atap dari canalis auditorius eksterna, dan tegmen timpani. Fraktur-fraktur ini dapat
berjalan ke anterior dan ke posterior hingga cochlea dan labyrinthine capsule, berakhir di
fossa media dekat foramen spinosum atau pada tulang mastoid secara berurut.

b. Fraktur transversal mulai dari foramen magnum dan meluas ke cochlea dan labyrinth,
berakhir di fossa media.

c. Fraktur campuran merupakan gabungan dari fraktur longitudinal dan fraktur transversal.
Masih ada sistem pengelompokan lain untuk fraktur os temporal yang sedang diusulkan.
Fraktur temporal dibagi menjadi fraktur petrous dan nonpetrous; dimana fraktur nonpetrous
termasuk didalamnya fraktur yang melibatkan tulang mastoid. Fraktur-fraktur ini tidak
dikaitkan dengan defisit dari nervus cranialis.

17
Fraktur condylus occipital adalah akibat dari trauma tumpul bertenaga besar dengan kompresi
ke arah aksial, lengkungan ke lateral, atau cedera rotasi pada ligamentum alar. Fraktur jenis ini
dibagi menjadi tiga tipe berdasarkan mekanisme cedera yang terjadi. Cara lain membagi fraktur
ini menjadi fraktur bergeser dan fraktur stabil misalnya dengan atau tanpa cedera ligamentum
yakni :

a. Fraktur tipe I, adalah fraktur sekunder akibat kompresi axial yang mengakibatkan fraktur
kominutif condylus occipital. Fraktur ini adalah suatu fraktur yang stabil.

b. Fraktur tipe II merupakan akibat dari benturan langsung. Meskipun akan meluas menjadi
fraktur basioccipital, fraktur tipe II dikelompokkan sebagai fraktur stabil karena masih
utuhnya ligamentum alae dan membran tectorial.

c. Fraktur tipe III adalah suatu fraktur akibat cedera avulsi sebagai akibat rotasi yang
dipaksakan dan lekukan lateral. Ini berpotensi menjadi suatu fraktur yang tidak stabil.

Fraktur clivus digambarkan sebagai akibat dari benturan bertenaga besar yang biasanya
disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor. Sumber literatur mengelompokkannya
menjadi tipe longitudinal, transversal, dan oblique. Fraktur tipe longitudinal memiliki prognosis
paling buruk, terutama bila mengenai sistem vertebrobasilar. Biasanya fraktur tipe ini disertai
dengan defisit n.VI dan n.VII.

Gambaran Klinis

Gambar 6. Gambaran battle sign dan racoon eyes pada trauma basis cranii

18
Gambaran klinis dari fraktur basis cranii yaitu hemotimpanum, ekimosis periorbita
(racoon eyes), ekimosis retroauricular (Battle’s sign), dan kebocoran cairan serebrospinal (dapat
diidentifikasi dari kandungan glukosanya) dari telinga dan hidung. Parese nervus cranialis
(nervus I, II, III, IV, VII dan VIII dalam berbagai kombinasi) juga dapat terjadi.6

Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan Laboratorium

Sebagai tambahan pada suatu pemeriksaan neurologis lengkap, pemeriksaan darah rutin, dan
pemberian tetanus toxoid (yang sesuai seperti pada fraktur terbuka tulang tengkorak),
pemeriksaan yang paling menunjang untuk diagnosa satu fraktur adalah pemeriksaan
radiologi.

b. Pemeriksaan Radiologi

• Foto Rontgen: Sejak ditemukannya CT-scan, maka penggunaan foto Rontgen cranium
dianggap kurang optimal. Dengan pengecualian untuk kasus-kasus tertentu seperti fraktur
pada vertex yang mungkin lolos dari CT-can dan dapat dideteksi dengan foto polos maka
CT-scan dianggap lebih menguntungkan daripada foto Rontgen kepala. Diperlukan foto
posisi AP, lateral, Towne’s view dan tangensial terhadap bagian yang mengalami benturan
untuk menunjukkan suatu fraktur depresi. Foto polos cranium dapat menunjukkan adanya
fraktur, lesi osteolitik atau osteoblastik, atau pneumosefal. Foto polos tulang belakang
digunakan untuk menilai adanya fraktur, pembengkakan jaringan lunak, deformitas tulang
belakang, dan proses-proses osteolitik atau osteoblastik.

• CT scan : CT scan adalah kriteria modalitas standar untuk menunjang diagnosa fraktur pada
cranium. Potongan slice tipis pada bone windows hingga ketebalan 1-1,5 mm, dengan
rekonstruksi sagital berguna dalam menilai cedera yang terjadi. CT scan Helical sangat
membantu untuk penilaian fraktur condylar occipital, tetapi biasanya rekonstruksi tiga
dimensi tidak diperlukan.

• MRI (Magnetic Resonance Angiography) : bernilai sebagai pemeriksaan penunjang


tambahan terutama untuk kecurigaan adanya cedera ligamentum dan vaskular. Cedera pada
tulang jauh lebih baik diperiksa dengan menggunakan CT scan. MRI memberikan
pencitraan jaringan lunak yang lebih baik dibanding CT scan.

19
b. Pemeriksaan Penunjang Lain

Perdarahan melalui telinga dan hidung pada kasus-kasus yang dicurigai adanya kebocoran
CSF, bila di dab dengan menggunakan kertas tissu akan menunjukkan adanya suatu cincin
jernih pada tissu yang telah basah diluar dari noda darah yang kemudian disebut suatu
“halo” atau “ring” sign. Suatu kebocoran CSF juga dapat diketahui dengan menganalisa
kadar glukosa dan mengukur tau-transferrin, suatu polipeptida yang berperan dalam
transport ion Fe.

Kontusio Cerebri

Otak di lindungi dari cedera oleh rambut, kulit dan tulang yang membungkusnya, tanpa
perlindungan ini, otak yang lembut yang membuat kita seperti adanya, akan mudah sekali
terkena cedera dan mengalami kerusakan. Selain itu, sekali neuron rusak, tidak dapat di perbaiki
lagi. Cedera kepala dapat mengakibatkan malapetaka besar bagi seseorang. Sebagian masalah
merupakan akibat langsung dari cedera kepala. Efek-efek ini harus dihindari dan di temukan
secepatnya dari tim medis untuk menghindari rangkaian kejadian yang menimbulkan gangguan
mental dan fisik dan bahkan kematian.

Kulit kepala terdiri dari lima lapisan yang disebut sebagai SCALP, yaitu :

1. Skin atau kulit


2. Connective tissue atau jaringan penyambung
3. Aponeurosis atau jaringan ikat yang terhubung langsung dengan tengkorak
4. Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar
5. Perikranium

Tepat di atas tengkorak terletak galea aponeurotika, suatu jaringan fibrosa, padat dapat di
gerakkan dengan bebas, yang memebantu menyerap kekuatan trauma eksternal. Di antar kulit
dan galea terdapat suatu lapisan lemak dan lapisan membrane dalam yang mngandung
pembuluh-pembuluih besar. Bila robek pembuluh ini sukar mengadakan vasokontriksi dan dapat
menyebabkan kehilangan darah yang berarti pada penderita dengan laserasi pada kulit kepala.
Tepat di bawah galea terdapat ruang subaponeurotik yang mengandung vena emisaria dan

20
diploika. Pembuluh-pembuluh ini dapat membawa infeksi dari kulit kepala sampai jauh ke
dalam tengkorak, yang jelas memperlihatkan betapa pentingnya pembersihan dan debridement
kulit kepala yang seksama bila galea terkoyak.

Pada orang dewasa, tengkorak merupakan ruangan keras yang tidak memungkinkan
perluasan intracranial. Tulang sebenarnya terdiri dari dua dinding atau tabula yang di pisahkan
oleh tulang berongga. Dinding luar di sebut tabula eksterna, dan dinding bagian dalam di sebut
tabula interna. Struktur demikian memungkinkan suatu kekuatan dan isolasi yang lebih besar,
dengan bobot yang lebih ringan. Tabula interna mengandung alur-alur yang berisikan arteria
meningea anterior, media, dan posterior. Apabila fraktur tulang tengkorak menyebabkan
tekoyaknya salah satu dari arteri-arteri ini, perdarahan arterial yang di akibatkannya, yang
tertimbun dalam ruang epidural, dapat manimbulkan akibat yang fatal kecuali bila di temukan
dan diobati dengan segera.
Pelindung lain yang melapisi otak adalah meninges. Ketiga lapisan meninges adalah dura
mater, arachnoid, dan pia mater
1. Dura mater cranialis, lapisan luar yang tebal dan kuat. Terdiri atas dua lapisan:
- Lapisan endosteal (periosteal) sebelah luar dibentuk oleh periosteum yang
membungkus dalam calvaria
- Lapisan meningeal sebelah dalam adalah suatu selaput fibrosa yang kuat yang
berlanjut terus di foramen mágnum dengan dura mater spinalis yang membungkus
medulla spinalis
2. Arachnoidea mater cranialis, lapisan antara yang menyerupai sarang laba-laba
3. Pia mater cranialis, lapis terdalam yang halus yang mengandung banyak pembuluh darah.

Patofisiologi

Trauma Kepala adalah cedera mekanik yang secara langsung atau tidak langsung
mengenai kepala yang mengakibatkan luka di kulit kepala, fraktur tulang tengkorak, robekan
selaput otak dan kerusakan jaringan otak serta mengakibatkan gangguan neurologis.
Pada kontusio atau memar otak terjadi perdarahan-perdarahan di dalam jaringan otak
tanpa adanya robekan jaringan yang kasat mata, meskipun neuron-neuron mengalami kerusakan
atau terputus. Pada trauma yang membentur dahi kontusio terjadi di daerah otak yang mengalami

21
benturan. Pada benturan di daerah parietal, temporalis dan oksipital selain di tempat benturan
dapat pula terjadi kontusio pada sisi yang bertentangan pada jalan garis benturan. Lesi kedua ini
disebut lesi kontra benturan. Perdarahan mungkin pula terjadi disepanjang garis gaya benturan
ini. Pada pemeriksaan neurologik pada kontusio ringan mungkin tidak dijumpai kelainan
neurologik yang jelas kecuali kesadaran yang menurun. Pada kontusio serebri dengan penurunan
kesadaran yang berlangsung berjam-jam pada pemeriksaan dapat atau tidak dijumpai defisit
neurologik. Gejala defisit neurologik bergantung pada lokasi dan luasnya daerah lesi. Keadaan
klinis yang berat terjadi pada perdarahan besar atau tersebar di dalam jaringan otak.
Ketika kepala terbanting atau terbentur mungkin penderita pingsan sebentar dan segera
sadar kembali. Dalam waktu beberapa jam, penderita akan merasakan nyeri kepala yang
progresif memberat, kemudian kesadaran berangsur menurun. Masa antara dua penurunan
kesadaran ini selama penderita sadar setelah terjadi kecelakaan disebut interval lucid.

Gambaran Klinis

Setiap orang memiliki kumpulan gejala yang bermacam-macam akibat dari trauma
kepala. Banyak gejala yang muncul bersaman pada saat terjadi cedera kepala. Gejala yang sering
tampak :
 Penurunan kesadaran, bisa sampai koma
 Bingung
 Penglihatan kabur
 Susah bicara
 Nyeri kepala yang hebat
 Keluar cairan darah dari hidung atau telinga
 Nampak luka yang dalam atau goresan pada kulit kepala.
 Mual
 Pusing
 Berkeringat
 Pucat
 Pupil anisokor, yaitu pupil ipsilateral menjadi melebar.

22
Pada tahap kesadaran sebelum stupor atau koma, bisa dijumpai hemiparese atau serangan
epilepsi fokal. Pada perjalanannya, pelebaran pupil akan mencapai maksimal dan reaksi cahaya
pada permulaan masih positif menjadi negatif. Inilah tanda sudah terjadi herniasi tentorial.
Terjadi pula kenaikan tekanan darah dan bradikardi. Pada tahap akhir, kesadaran menurun
sampai koma dalam, pupil kontralateral juga mengalami pelebaran sampai akhirnya kedua pupil
tidak menunjukkan reaksi cahaya lagi yang merupakan tanda kematian. Gejala-gejala respirasi
yang bisa timbul berikutnya, mencerminkan adanya disfungsi rostrocaudal batang otak.7

Pemeriksaan Penunjang
Dengan CT-scan dan MRI, perdarahan intrakranial akibat trauma kepala lebih mudah
dikenali. Peralatan diagnostik yang digunakan untuk mendeteksi fraktur dari dasar tengkorak
atau rongga tengkorak. CT scan dipilih bila dicurigai terjadi fraktur karena CT scan bisa
mengidentifikasi fraktur dan adanya kontusio atau perdarahan.

Penatalaksanaan

Tindakan yang diambil pada kontusio berat ditujukan untuk mencegah meningginya
tekanan intrakranial.

1. Usahakan jalan napas yang lapang dengan :


 Membersihkan hidung dan mulut dari darah dan muntahan
 Melonggarkan pakaian yang ketat
 Menghisap lendir dari mulut, tenggorok dan hidung
 Untuk amannya gigi palsu perlu dikeluarkan
 Bila perlu pasang pipa endotrakea atau lakukan trakeotomi
 O2 diberikan bila tidak ada hiperventilasi
1. Hentikan perdarahan
2. Bila ada fraktur pasang bidai untuk fiksasi
3. Letakkan pasien dalam posisi miring hingga bila muntah dapat bebas keluar dan tidak
mengganggu jalan napas.
4. Berikan profilaksis antibiotika bila ada luka-luka yang berat.

23
5. Bila ada syok, infus dipasang untuk memberikan cairan yang sesuai. Bila tidak ada syok,
pemasangan infus tidak perlu dilakukan dengan segera dan dapat menunggu hingga
keesokan harinya. Pada hari pertama pemberian infus berikan 1,5 liter cairan perhari,
dimana 0,5 liternya adalah NaCl 0,9%. Bila digunakan glukosa pakailah yang 10% untuk
mencegah edema otak dan kemungkinan timbulnya edema pulmonum. Setelah hari
keempat jumlah cairan perlu ditambah hingga 2,5 liter per 24 jam. Bila bising usus
sudah terdengar, baik diberi makanan cair per sonde. Mula-mula dimasukkan glukosa
10% 100 cm3 tiap 2 jam untuk menambah kekurangan cairan yang telah masuk dengan
infus. Pada hari berikutnya diberi susu dan pada hari berikutnya lagi, makanan cair
lengkap 2-3 kali perhari, 2000 kalori, kemudian infus dicabut.
6. Pada keadaan edema otak yang hebat diberikan manitol 20% dalam infus sebanyak 250
cm3dalam waktu 30 menit yang dapat diulang tiap 12-24 jam.
7. Furosemid intramuskuler 20 mg/24 jam, selain meningkatkan diuresis berkhasiat
mengurangi pembentukan cairan otak.
8. Untuk menghambat pembentukan edema serebri diberikan deksametason dalam
rangkaian pengobatan sebagai berikut.
9. Pemantauan keadaan penderita selain keadaan umumnya perlu diperiksa secara teratur P
CO2 dan P O2 darah. Keadaan yang normal adalah P CO2 sekitar 42 mmHg dan P O2 di
atas 70 mmHg. Selanjutnya ialah perawatan dalam keadaan koma.

Komosio Cerebri

Komosio serebri (Commotio Cerebri) merupakan gangguan fungsi otak yang tidak
disertai kerusakan dengan kerusakna anatomi jaringan otak. Geger otak berasal dari benturan
kepala yang menghasilkan getaran keras atau menggoyangkan otak, menyebabkan perubahan
cepat pada fungsi otak , termasuk kemungkinan kehilangan kesadaran tidak lebih 10 menit yang
disebabkan cedera pada kepala.5-7

Patofisiologi6

Benturan pada kepala menimbulkan gelombang tekanan didalam rongga tengkorak yang
kemudian disalurkan kearah lobang foramen magnum kearah bawah canalis spinalis dengan

24
demikian batang otak teregang dan menyebabkan lesi iritatif/blokade sistem reversibel terhadap
sistem ARAS. Pada komosio seerebri secara komosionil batang otak lebih menderita dari pada
fungsi hemisfer. Keadaan ini bisa juga terjadi karena trauma tidak langsung yaitu jatuh terduduk
sehingga meregangkan batang otak.

Akibat proses patologi diatas maka terjadi gangguan kesadaran, bisa diikuti penurunan
tekanan darah, dan suhu tubuh. Muntah dapat juga terjadi bila pusat muntah dan di medula
oblongata terangsang.

Gejala Klinis

 Nyeri kepala/pusing
 Tidak sadar atau pinsan kurang dari 10 menit
 Amnesia retrogade : hilangnya ingatan pada peristiwa beberapa lama sebelum kejadian
kecelakaan (beberapa jam sampai beberapa hari). Hal ini menunjukkan
keterlibatan/gangguan pusat-pusat dikorteks lobus temporalis
 Post traumatik amnesia (anterogade amnesia) : lupa peristiwa beberapa saat sesudah
trauma
 Mual, muntah

Pemeriksaan Penunjang

 CT Brain
 LP. Jernih tidak ada kelainan
 EEG normal
Terapi

 Istirahat

 Pengobatan simptomatis

 Mobilisasi bertahap

 Rawat dan observasi selama 72 jam.

25
 Awasi kesadaran, pupil dan gejala neurologik fokal untuk mengantisipasi adanya lusid
interval hematom (masa sadar antara pingsan I dan pingsan II).

Epidural Hematoma (EDH)

Perdarahan epidural adalah perdarahan akibat robeknya arteri meningea media.


Perdarahan intracranial yang terjadi kerena fraktur tulang tengkorak dalam ruang antara tabula
interna kranii dengan duramater. Fraktur yang paling ringan, ialah fraktur linear.Jika gaya
destruktifnya lebih kuat, bisa timbul fraktur yang berupa bintang (stelatum), atau fraktur impresi
yang dengan kepingan tulangnya menusuk ke dalam ataupun fraktur yang merobek dura dan
sekaligus melukai jaringan otak (laserasio).Pada pendarahan epidural yang terjadi ketika
pecahnya pembuluh darah, biasanya arteri, yang kemudian mengalir ke dalam ruang antara
duramater dan tengkorak.6

Patomekanisme

Di bawah tulang tengkorak terletak duramater yang melapisi struktur leptomeningeal,


arachnoid dan piamater yang melapisi otak. Duramater terdiri dari 2 lapisan, dengan lapisan luar
berfungsi sebagai lapisan periosteal untuk permukaan bagian dalam tengkorak.

Seiring bertambahnya usia, duramater menjadi lebih lengket pada tengkorak, mengurangi
frekuensi pembentukan EDH. Pada masa kanak-kanak, tengkorak lebih lentur. EDH bisa
terbentuk saat duramater terlepas dari tengkorak saat terjadi benturan.

Daerah yang paling sering dilibatkan dengan EDH adalah daerah temporal (70-80%). Di
daerah temporal, tulangnya relatif tipis dan arteri meningeal tengah mendekati meja dalam
tengkorak. Kejadian EDH di daerah temporal lebih rendah pada pasien anak-anak karena arteri
meningeal tengah belum membentuk alur di bagian dalam tengkorak. EDH terjadi di daerah
frontal, oksipital, dan posterior dengan frekuensi kira-kira sama. EDH terjadi lebih jarang di
daerah vertex atau parasagittal.

Pada perlukaan kepala, dapat terjadi perdarahan ke dalam ruang subaraknoid, kedalam
rongga subdural (hemoragi subdural) antara dura bagian luar dan tengkorak (hemoragi

26
ekstradural) atau ke dalam substansi otak sendiri. Pada hematoma epidural, perdarahan terjadi
diantara tulang tengkorak dan dura mater. Perdarahan ini lebih sering terjadi di daerah temporal
bila salah satu cabang arteria meningea media robek. Robekan ini sering terjadi buka fraktur
tulang tengkorak di daerah yang bersangkutan. Hematom pun dapat terjadi di daerah frontal dan
oksipital.

Gejala Klinis
Gejala (trias klasik):
Gejala klinisnya adalah lucid interval, yaitu selang waktu antara pasien masih sadar
setelah kejadian trauma kranioserebral dengan penurunan kesadaran yang terjadi kemudian.
Biasanya waktu perubahan kesadaran ini kurang dari 24 jam; penilaian penurunan kesadaran
dengan GCS. 50% pasien dengan EDH mengalami lucid interval. Gejala lain nyeri kepala bisa
disertai muntah proyektil, pupil anisokor dengan midriasis di sisi lesi akibat herniasi unkal,
hemiparesis, dan refl eks patologis Babinski positif kontralateral lesi yang terjadi terlambat.
Kernohan’s notch dapat menyebabkan ipsilateral hemiparesis dengan menyebabkan kompresi
pada kontralateral cerebral peduncle oleh pinggir tentorial.

Pada gambaran CT scan kepala, didapatkan lesi hiperdens (gambaran darah


intrakranial) umumnya di daerah temporal berbentuk cembung (Biconvex). Daerah dengan
atenuasi rendah dengan gambaran speeti darah menunjukkan pendarahan aktif / ekspansi cepat
Mass effect menunjukan pergeseran garis tengah (kelenjar pineal kalsifikasi bermanfaat),
kompresi ventrikel, menghilangkan sulci, herniasi: uncal, subfalcine.

27
Gambat 7. Gambaran Ct scan pada Epidural hematom
Penanganan darurat
Dekompresi dengan trepanasi sederhana Kraniotomi untuk mengevakuasi hematom

Terapi medikamentosa6
1. Memperbaiki/mempertahankan fungsi vital Usahakan agar jalan nafas selalu babas, bersihkan
lendir dan darah yang dapat menghalangi aliran udara pemafasan. Bila perlu dipasang pipa
naso/orofaringeal dan pemberian oksigen. Infus dipasang terutama untuk membuka jalur
intravena : guna-kan cairan NaC10,9% atau Dextrose in saline
2. Mengurangi edema otak Beberapa cara dapat dicoba untuk mengurangi edema otak:
a. Hiperventilasi. Bertujuan untuk menurunkan paO2 darah sehingga mencegah vasodilatasi
pembuluh darah. Selain itu suplai oksigen yang terjaga dapat membantu menekan metabolisme
anaerob, sehingga dapat mengurangi kemungkinan asidosis. Bila dapat diperiksa, paO2
dipertahankan > 100 mmHg dan paCO2 diantara 2530 mmHg.
b. Cairan hiperosmoler. Umumnya digunakan cairan Manitol 1015% per infus untuk “menarik”
air dari ruang intersel ke dalam ruang intra-vaskular untuk kemudian 11 dikeluarkan melalui
diuresis. Untuk memperoleh efek yang dikehendaki, manitol hams diberikan dalam dosis yang
cukup dalam waktu singkat, umumnya diberikan : 0,51 gram/kg BB dalam 1030 menit. Cara ini
berguna pada kasus-kasus yang menunggu tindak-an bedah. Pada kasus biasa, harus dipikirkan
kemungkinan efek rebound; mungkin dapat dicoba diberikan kembali (diulang) setelah beberapa
jam atau keesokan harinya.

28
c. Kortikosteroid. Penggunaan kortikosteroid telah diperdebatkan manfaatnya sejak beberapa
waktu yang lalu. Pendapat akhir-akhir ini cenderung menyatakan bahwa kortikosteroid
tidak/kurang ber-manfaat pada kasus cedera kepala. Penggunaannya berdasarkan pada asumsi
bahwa obat ini menstabilkan sawar darah otak. Dosis parenteral yang pernah dicoba juga
bervariasi : Dexametason pernah dicoba dengan dosis sampai 100 mg bolus yang diikuti dengan
4 dd 4 mg. Selain itu juga Metilprednisolon pernah digunakan dengan dosis 6 dd 15 mg dan
Triamsinolon dengan dosis 6 dd 10 mg. d. Barbiturat. Digunakan untuk membius pasien
sehingga metabolisme otak dapat ditekan serendah mungkin, akibatnya kebutuhan oksigen juga
akan menurun; karena kebutuhan yang rendah, otak relatif lebih terlindung dari kemungkinan
kemsakan akibat hipoksi, walaupun suplai oksigen berkurang. Cara ini hanya dapat digunakan
dengan pengawasan yang ketat.1,12

Indikasi
Operasi di lakukan bila terdapat :
 Volume hamatom > 30 ml
 Keadaan pasien memburuk
 Pendorongan garis tengah > 5 mm
 fraktur tengkorak terbuka, dan fraktur tengkorak depres dengan kedalaman >1 cm
 EDH dan SDH ketebalan lebih dari 5 mm dan pergeseran garis tengah dengan GCS 8 atau
kurang
 Tanda-tanda lokal dan peningkatan TIK > 25 mmHg

Subdural Hematoma7-9

Subdural hematoma adalah hematom yang terletak diantara lapisan duramater dan
arhacnoid dengan sumber perdarahan dapat berasal dari vena jembatan atau bridging vein (paling
sering), A/V cortical, Sinus venosus duralis. Subdural hematoma dibagi 3:
1. Subdural hematom akut
2. Subdural hematom subakut
3. Subdural hematom kronis

29
a) Subdural akut ( < 2 hari)

Hematom subdural akut menimbulkan gejala neurologik penting dan serius dalam 24- 48
jam setelah cedera. Seringkali berkaitan dengan trauma otak berat, hematom ini juga mempunyai
mortalitas yang tinggi. Perdarahan dapat kurang dari 5 mm tebalnya tetapi melebar luas. Secara
klinis subdural hematom akut ditandai dengan penurunan kesadaran, disertai adanya lateralisasi
yang paling sering berupa hemiparese/plegi. Pada pemeriksaan radiologis (CT Scan) didapatkan
gambaran hiperdens yang berupa bulan sabit.

b) Subdural subakut ( 2-14 hari)

Hematom subdural subakut menyebabkan defisit neurologik yang bermakna dalam waktu
lebih 48 jam tetapi kurang dari dua minggu setelah cedera. Seperti hematom subdural akut,
hematom ini juga disebabkan oleh perdarahan vena dalam ruangan subdural.

c) Subdural kronik ( > 14 hari)

Biasanya terjadi setelah minggu ketiga. SDH kronis biasanya terjadi pada orang tua.
Trauma yang menyebabkan perdarahan yang akan membentuk kapsul, saat tersebut gejala yang
terasa Cuma pusing. Kapsul yang terbentuk terdiri dari lemak dan protein yang mudah menyerap
cairan dan mempunyai sifat mudah ruptur. Karena penimbunan cairan tersebut kapsul terus
membesar dan mudah ruptur, jika volumenya besar langsung menyebabkan lesi desak ruang. Jika
volume kecil akan menyebabkan kapsul terbentuk lagi >> menimbun cairan >> ruptur lagi >> re-
bleeding. Begitu seterusnya sampai suatu saat pasien datang dengan penurunan kesadaran tiba-
tiba atau hanya pelo atau lumpuh tiba-tiba. 2,4

Epidemiologi

Hematom subdural bisa terjadi pada 1/3 dari kejadian cedera kepala berat. Peningkatan
usia bisa menyebabkan peningkatan faktor resiko untuk terjadinya hematom subdural. Kejadian
ini dilaporkan sebanyak 7.35 kasus per 100.000 bagi populasi golongan yang berusia 70- 79
tahun. Penelitian yang dijalankan di UK melaporkan sebanyak 12,5 kasus per 100.000 untuk
setahun bagi populasi anak- anak yang berusia 0- 2 tahun dan sebanyak 24 kasus per 100.000

30
untuk anak- anak yang berusia 0- 1 tahun. Hasil penelitian ini juga menunjukkan kasus yang
disebabkan oleh non- accidental injury sebanyak 57%.

Penyebab lain hematom subdural yaitu:

 Komplikasi perinatal
 Meningitis
 Idiopatik
Hipotensi intrakranial spontan juga turut dilaporkan sebagai penyebab kasus hematom subdural
tetapi kejadiannya jarang. Hematom subdural kronik bisa terjadi pada golongan usia lanjut akibat
trauma atau penggunaan antikoagulan.

Etiologi

Penyebab dari hematom subdural akut adalah di bawah ini :

 Trauma kepala akibat jatuh, kecelakaan lalu lintas, atau penyerangan. Trauma yang
 terjadi bisa menyebabkan robeknya pembuluh darah vena ‘bridging veins’ yang
 berjalan di sepanjang permukaan otak.11
 Gangguan perdarahan (faktor koagulan) atau orang-orang yang mengonsumsi obat
 anti-koagulan (contoh: warfarin, heparin, hemofilia, gangguan hepar,
 trombositopenia)
 Perdarahan intrakranial non-traumatik seperti aneurisma serebri, arteri-vena
 malformasi, atau tumor
 Post-operasi (craniotomy, CSF shunting)
 Shaken baby syndrome (pada pasien pediatri)
 Spontan atau tidak diketahui (jarang)
Penyebab dari hematom subdural kronik termasuk di bawah ini:

 Trauma kepala
 Hematom subdural akut dengan atau tanpa intervensi operasi
 Spontan atau idiopatik

31
Faktor risiko kronik hematom subdural:

 Alkoholisme kronik
 Koagulopati
 Terapi Antikoagulan (termasuk aspirin)
 Penyakit Kardiovascular (contoh, hipertensi, arteriosklerosis)
 Trombositopenia
 Diabetes mellitus
Pada pasien muda, alkoholisme, trombositopenia, gangguan perdarahan, dan terapi
antikoagulan oral telah banyak ditemukan. Kista arakhnoid sering dikaitkan dengan hematom
subdural kronik pada pasien usia di bawah 40 tahun. Pada pasien lebih tua, penyakit jantung dan
hipertensi lebih banyak ditemukan. Dalam suatu penelitian, 16% pasien dengan hematom
subdural kronik tengah mendapatkan terapi aspirin. Gejala dehidrasi berat hanya ditemukan pada
2% pasien dengan kondisi hematom subdural kronik. Selain itu, pada pasien lebih tua (>60
tahun) didapatkan atrofi serebri yang menyebabkan ketegangan pada “bridging veins” yang
memungkinkan terjadinya cedera.7

Patofisiologi

Subdural hematom dapat disebabkan oleh suatu mekanisme cedera akselerasi


deselarasi(akselerasi kepala pada bidang sagittal dari posterior ke anterior dan deselarasi kepala
dari anterior ke posterior) akibat dari perbedaan arah gerakan antara otak terhadap fenomena
yang didasari oleh keadaan otak dapat bergerak bebas dalam batas-batas tertentu dalam rongga
tengkorak dan pada saat mulai gerakan (sesaat mulai akselarasi) otak tertinggal di belakang
tengkorak untuk beberapa waktu yang singkat. Akibatnya otak akan relatif bergeser terhadap
tulang tengkorak dan duramater, kemudian terjadi cerdera pada permukaan terutama pada vena-
vena penggantung (bridging veins).1,9-12

32
Manifestasi Klinik

Gejala dari hematom subdural sangat bergantung pada derajat perdarahannya:

 Pada cedera kepala yang tiba-tiba, perdarahan hebat akan menyebabkan hematom
subdural, seseorang bisa mengalami penurunan kesadaran hingga masuk dalam fase
koma.
 Seseorang yang menunjukkan keadaan normal setelah mengalami cedera kepala,
perlahan-lahan akan mengalami kebingungan kemudian penurunan kesadaran selama
beberapa hari. Hasil ini didapatkan dari perdarahan yang lambat.
 Pada hematom subdural yang sangat lambat, biasanya tidak ditemukan gejala signifikan
dalam 2 minggu setelah trauma terjadi.12
Gejala global yang dapat muncul pada pasien dengan hematom subdural adalah penurunan
kesadaran, nyeri kepala, mual, muntah, kebingungan gangguan kognitif, perubahan perilaku, dan
kadang disertai kejang. Sedangkan gejala fokal yang ditemukan adalah hemiparese kontralateral
dengan lesi, gangguan keseimbangan atau berjalan, parese N.III & VI ipsilateral dengan lesi,
serta kesulitan dalam berbicara.7

Hematom subdural Akut Hematom subdural Kronik

Gejala muncul sesaat setelah cedera kepala (ringan sampai berat), gejala muncul 2-3
minggu setelah trauma, terjadinya penurunan kesadaran dapat terjadi tetapi tidak selalu. Cedera
awal mungkin dianggap tidak berarti, terutama pada pasien tua dengan terapi antikoagulan atau
alkoholisme Kemungkinan ditemukan keadaan “lucid interval” beberapa jam setelah trauma.
Gejala cenderung bertahap-progresif Biasanya ditemukan defisit neurologis yang berkembang
seperti kelemahan pada kedua tungkai, kesulitan berbicara, kebingungan, atau perubahan
perilaku

Gejala Defisit Neurologi yang dapat ditemukan :

Keluhan pada pasien dapat timbul langsung setelah hematom terjadi atau jauh setelah
mengidap trauma kapitis. Masa tanpa keluhan itu dinamakan “latent interval” dan bias
berlangsung berminggu-minggu atau bahkan lebih dari dua tahun. Pada fase ini kebanyakan
penderita hematom subdural mengeluh tentang sakit kepala atau pening, seperti yang dikeluhkan

33
oleh pasien kontusio serebri pasca trauma kapitis. Apabila di samping itu timbul gejala-gejala
yang mencerminkan adanya proses desak ruang intrakranial, pada saat itulah terhitung mulai
muncul manifestasi hematom subdural. Gejala-gejala tersebut bisa berupa kesadaran yang makin
menurun, hemiparese ringan, hemihipestesia, terkadang ditemukan epilepsi fokal dengan tanda-
tanda papil edema.

Hemiparese yang dapat timbul adalah hemiparese kontralateral atau ipsilateral. Hemiparese
ipsilateral berkembang sebagai hasil penekanan pedunkulus serebri pada tepi tentorium di sisi
kontralateral hematom. Seseorang bisa saja memiliki gejala yang berbeda dengan yang lain.
Selain ukuran hematom subdural, usia seseorang dan kondisi medis lainnya dapat mempengaruhi
respon untuk mengalami hematom subdural.7,9

Diagnosis

Anamnesis

1. Riwayat trauma kepala baik dengan jejas atau tidak?

2. Adanya kehilangan kesadaran (pingsan) atau tidak setelah trauma?

3. Adanya keadaan pasien kembali sadar seperti semula (lucid interval)?

4. Apakah ada riwayat amnesia setelah trauma (amnesia retrograde atau amnesia anterograde)?

5. Apakah ada muntah atau kejang setelah terjadinya trauma? Kepentingan mengetahui adanya
muntah dan kejang adalah untuk mencari penyebab utama penderita tidak sadar apakah karena
inspirasi atau proses intra kranial yang masih berlanjut.

6. Apakah ada nyeri kepala atau muntah?

7. Apakah ada kelemahan anggota gerak?

8. Ditanyakan pula riwayat penyakit yang pernah diderita, obat-obatan yang pernah

dan sedang dikonsumsi, dan konsumsi alkohol(20)

34
Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan klinis meliputi pemeriksaan primer (primary survey) yang mencakup jalan
napas (airway), pernafasan (breathing), dan tekanan darah dan nadi (circulation) yang
dilanjutkan dengan resusitasi. Secara bersamaan pemantauan terhadap terjadinya syok dan
peningkatan tekanan intrakranial juga dilakukan. Jika terjadi hipotensi atau syok harus segera
diberikan cairan untuk mengganti cairan tubuh yang hilang. Terjadinya peningkatan tekanan
intrakranial ditandai dengan refleks Cushing yaitu peningkatan tekanan darah, bradikardia dan
bradipnea.

Pemeriksaan neurologik meliputi :

1. Penilaian kesadaran pasien menggunakan Skala Koma Glasgow (GCS) meliputi

kemampuan pasien membuka mata, respon verbal, dan respon motorik.

2. Penilaian fungsi kortikal luhur pasien apakah ada gangguan atau tidak (contoh:

disorientasi)

3. Pemeriksaan rangsang menings (kaku kuduk dan Kernig sign)

4. Pemeriksaan nervus cranialis untuk menilai adanya tanda-tanda defisit neurologis

fokal, hal ini bertujuan untuk mengetahui apakah telah terjadi herniasi di dalam

otak dan terganggunya sistem kortikospinal.

5. Pemeriksaan motorik untuk menilai sistem motorik pasien apakah ada parese atau

lateralisasi disertai kelumpuhan.

6. Pemeriksaan sensorik untuk menilai apakah ada hipestesi pada pasien.

7. Penilaian sistem saraf otonom pasien

Pada pemeriksaan sekunder, dilakukan pemeriksaan neurologi serial meliputi lateralisasi


dan refleks pupil. Hal ini dilakukan untuk mendeteksi dini adanya gangguan neurologis. Tanda
awal dari herniasi lobus temporal (unkus) adalah dilatasi pupil dan hilangnya refleks pupil

35
terhadap cahaya. Adanya trauma langsung pada mata bisa membuat pemeriksaan menjadi lebih
sulit.7

Pemeriksaan Penunjang

a. CT-scan

Pemeriksaan CT scan adalah modalitas pilihan utama bila ada kecurigaan suatu lesi
pasca-trauma, karena prosesnya cepat, mampu melihat seluruh jaringan otak dan secara akurat
membedakan sifat dan keberadaan lesi intra- aksial dan ekstra -aksial. Hematom subdural akut
pada CT-san kepala (non kontras) tampak sebagai suatu massa hiperdens (putih) ekstra-aksial
berbentuk “cressent sign” sepanjang bagian dalam tengkorak dan paling banyak terdapat pada
konveksitas otak di daerah parietal. Subdural hematom berbentuk cekung dan terbatasi oleh garis
sutura. Jarang sekali subdural hematom berbentuk lensa seperti epidural hematom dan biasanya
unilateral.7

Pendarahan subdural yang sedikit (small SDH) dapat berbaur dengan gambaran tulang
tengkorak dan hanya akan tampak dengan menyesuaikan CT window width. Pengeseran garis
tengah (midline shift) akan tampak pada pendarahan subdural yang sedang atau besar
volumenya. Bila tidak ada midline shift harus dicurigai adanya massa kontralateral dan bila
midline shift hebat harus dicurigai adanya edema serebral yang mendasarinya. Pendarahan
subdural jarang berada di fossa posterior karena serebelum relative tidak bergerak sehingga
merupakan proteksi terhadap ‘bridging veins’ yang terdapat di sana.

Di dalam fase subakut pendarahan subdural menjadi isodens terhadap jaringan otak
sehingga lebih sulit dilihat pada gambaran CT. Oleh karena itu pemeriksaan CT dengan kontras
MRI sering dipergunakan pada kasus pendarahan subdural dalam waktu 48-72 jam setelah
trauma kapitis. Pada pemeriksaan CT dengan kontras, vena-vena kortikal akan tampak jelas di
permukaan otak dan membatasi hematom subdural dan jaringan otak. 12

Pendarah subdural subakut sering juga berbentuk lensa (bikonveks) sehingga membingungkan
dalm membedakannya dengan epidural hematom.Normal Hematom subdural Epidural hematom

36
Gambar 8. Gambaran CT scan pada pelbagai jenis SDH

Pada fase kronik lesi subdural menjadi hipodens dan sangat mudah dilihat pada gambaran
CT tanpa kontras. Seringkali, hematom subdural kronis muncul sebagai lesi heterogen padat
yang mengindikasikan terjadinya pendarahan berulang dengan tingkat cairan antara komponen
akut (hyperdense) dan kronis (hipodense).12

b. Laboratorium

Pemeriksaan minimal laboratorium minimal meliputi pemeriksaan darah rutin,

elektrolit, dan profil hemostasis/koagulasi.

37
Penatalaksanaan

Dalam menentukan terapi apa yang akan digunakan untuk pasien SDH tentu kita akan
memerhatikan kondisi klinis dan radiologinya. Dalam masa mempersiapkan tindakan operasi,
perhatian hendaknya ditujukan kepada pengobatan medikamentosa untuk menurukan tekanan
intrakranial seperti pemberian mannitol 0,25gr/kgBB, atau furosemid 10 mg intravena,
dihiperventilasikan.12

Non-Operatif12

Pada kasus pendarahan yang kecil (volume < 30 cc) dilakukan tindakan konservatif.
Tetapi pada keadaan ini ada kemungkinan terjadi penyerapan darah pada pembuluh darah yang
rusak diikuti oleh terjadinya fibrosis yang kemudian dapat mengalami pengapuran. Pemberian
diuretik digunakan untuk mengurangi pembengkakan. Pemberian Fenitoin untuk mengurangi
risiko kejang yang terjadi akibat serangan pasca trauma, karena penderita mempunyai risiko
epilepsi pasca trauma 20% setelah SDH akut. Pemberian transfusi dengan Fresh Frozen Plasma
(FFP) dan trombosit, dengan mempertahankan prothrombine time di antara rata-rata normal dan
nilai trombosit >100.000. Pemberian kortikosteroid, seperti deksametason dapat digunakan untuk
mengurangi inflamasi dan pembengkakan pada otak.12

Operatif

Evakuasi hematom merupakan pengobatan definitif dan tak boleh terlambat karena menimbulkan
resiko berupa iskemia otak dan hiperventilasi. Pembedahan pada SDH akut dengan kraniotomi
yang cukup luas untuk mengurangi penekanan pada otak (dekompresi), menghentikan
perdarahan aktif subdural dan evakuasi bekuan darah intra parenkimal.(1,20,22)

Indikasi operatif pada kasus Hematom subdural

a. Pasien SDH tanpa melihat GCS, dengan ketebalan >10mm atau pergeseran midline shift
>5mm pada CT-scan.

b. Semua pasien SDH dengan GCS<9 harus dilakukan monitoring tekanan intrakranial

38
c. Pasien SDH dengan GCS<9, dengan ketebalan perdarahan <10mm dan pergeseran struktur
midline shift. Jika mengalami penurunan GCS >2 poin antara saat kejadian sampai saat masuk
rumah sakit.

d. Pasien SDH dengan GCS <9 dan/atau didapatkan pupil dilatasi asimetris/fixed.

e. Pasien SDH dengan GCS <9, dan/atau TIK>20mmHg.12

Tindakan operatif yang dapat dilakukan adalah kraniotomi burr hole, kraniotomi twist drill, atau
drainase subdural. Terapi operatif yang paling banyak dilakukan untuk perdarahan subdural
kronik adalah kraniotomi burr hole. Karena dengan teknik ini menunjukkan komplikasi yang
minimal. Reakumulasi dari perdarahan subdural kronik pasca kraniotomi dianggap sebagai
komplikasi yang sudah diketahui. Jika pada pasien yang sudah berusia lanjut dan sudah
menunjukkan perbaikan klinis, reakumulasi yang terjadi kembali, tidaklah perlu untuk
melakukan operasi ulang kembali.

Trepanasi atau burr holes dimaksudkan untuk mengevakuasi SDH secara cepat dengan
anestesi lokal. Pada saat ini tindakan ini sulit untuk dibenarkan karena dengan trepanasi sukar
untuk mengeluarkan keseluruhan hematom yang biasanya solid dan kenyal apabila kalau volume
hematom yang cukup besar. Lebih dari seperlima penderita SDH akut mempunya volume
hematom lebih dari 200 ml. Kraniotomi dan membranektomi merupakan tindakan prosedur
bedah yang invasive dengan tingkat komplikasi yang lebih tinggi. Luasnya insisi ditentukan oleh
luasnya hematom dan lokasi kerusakan parenkim otak. Usaha di atas adalah untuk memperbaiki
prognosa akhir SDH, dilakukan kraniotomi dekompresif yang luas dengan maksud untuk
mengeluarkan seluruh hematom, merawat perdarahan dan mempersiapkan dekompesi eksternal
dari edema serebral pasca operasi. Pemeriksaan paska operasi menunjukkan sisa hematom dan
perdarahan ulang sangat minimal dan struktur garis tengah kembali lebih cepat ke posisi semula
disbanding dengan penderita yang tidak dioperasi dengan cara ini.

39
Tabel 4.Tatalaksana operatif dan Non operatif pada pasien EDH dan SDH4

Prognosis dan Komplikasi

Prognosis bagi kasus hematom subdural akut dan hematom subdural kronik berbeda. Pasien yang
mengalami hematom subdural akut angka mortalitasnya lebih tinggi walaupun dioperasi dengan
segera. Terkadang dapat disertai cedera lain yang memperburuk prognosis kasus ini. Dalam
beberapa kasus ditemukan defisit neurologic menetap dimana pasiennya berhasil dioperasi.
Kadar mortalitas akan meningkatn hingga 50% jika ditemukan komplikasi berupa cedera
parenkim otak sedangkan pada hematom subdural akut yang tidak berkomplikasi, kadar
mortalitasnya 20%. Komplikasi yang dapat timbul dari hematom subdural adalah kematian
akibat herniasi serebri, peningkatan tekanan intracranial, dan edema serebri. Selain itu, dapat
terjadi infeksi akibat tindakan operasi yang dilakukan. Hematom yang berulang dapat terjadi

selama proses pengobatan.5

Prognosis akan menjadi lebih baik jika kondisi pasien:

 Tidak hilang kesadaran


 Defisit neurologik tidak ditemukan atau sedikit
 Usia pasien kurang dari 50 tahun
 Tidak mengkomsumsi alkohol

40
 Tidak ada cedera lain

Perdarahan Subarakhnoid

Perdarahan subaraknoid adalah perdarahan tiba-tiba ke dalam rongga diantara otak dan
selaput otak (rongga subaraknoid). Perdarahan subarachnoid merupakan penemuan yang sering
pada trauma kepala akibat dari yang paling sering adalah robeknya pembuluh darah parenkim
dan pembuluh darah subaraknoid dan terdapatnya darah di cairan serebro spinal. Perdarahan
subarachnoid secara spontan sering berkaitan dengan pecahnya aneurisma (85%), kerusakan
dinding arteri pada otak. Pada pasien dengan trauma kepala, pendarahan subarachnoid saat
muncul biasanya terbatas pada satu atau dua sulci, pendarahan subarachnoid yang luas,
menunjukkan adanya ruptur dari aneurisma atau pseudoaneurisma dan kadang merupakan
indikasi untuk pemeriksaan angiografi. Aneurisma konsenital biasanya berlokasi pada ciculus
willisi dan pseudoaneurisma berlokasi pada pembuluh darah yang dapat merengang akibat
pergeseran otak misalnya arteri cerebral anterior dibawah falxcerebri.

Gambar 9.Pada CT scan ditemukan lesi hiperdens batas sesuai girus

41
Perdarahan Intraserebral
Perdarahan intra serebral (PIS) adalah perdarahan yang primer berasal dari pembuluh darah
dalam parenkim otak dan bukan disebabkan oleh trauma. Hipertensi merupakan penyebab
terbanyak. Faktor etiologi yang lain adalah aneurisma kriptogenik, diskrasia darah, penyakit
darah seperti hemofilia, leukemia, trombositopenia, pemakaian anti koagulan dalam jangka lama,
malformasi arteriovenosa dan malformasi mikro angiomatosa dalam otak, tumor otak (primer
dan metastase) yang tumbuh cepat, amiloidosis serebrovaskuler dan eklamsia (jarang).
Gambaran patologik menunjukkan ekstravasasi darah karena robeknya pembuluh darah otak dan
diikuti adanya edema dalam jaringan otak di sekitar hematom. Akibatnya terjadi diskontinuitas
jaringan dan kompresi oleh hematom dan edema pada struktur sekitar, termasuk pembuluh darah
otak dan penyempitan atau penyumbatannya sehingga terjadi iskemia pada jaringan yang
dilayaninya, maka gejala klinis yang timbul bersumber dari destruksi jaringan otak, kompresi
pembuluh darah otak / iskemia dan akibat kompresi pada jaringan otak lainnya.

Gambaran 10.perdarahan Intracranial pada CT scan

Gejala prodromal tidak jelas kecuali nyeri kepala karena hipertensi. Serangan sering
terjadi di siang hari, waktu beraktifitas atau emosi / marah. Sifat nyeri kepala yaitu nyeri yang
hebat sekali, mual muntah, sering terdapat pada permulaan serangan. Kesadaran biasanya cepat
menurun dan cepat masuk ke keadaan koma. Tanda-tanda neurologi fokal (paralisis, hilangnya
sensorik dan defek kemampuan bicara) sering dijumpai. Kaku kuduk atau rigiditas nuchae sering
ditemukan pada perdarahan subarachnoid atau intra serebri.

42
Paralisis ekstremitas pada fase lanjut biasanya memperlihatkan tanda-tanda penyakit
upper motor neuron yaitu kelemahan otot yang bersifat spastik dengan atropi otot, reflek dalam
menjadi hiperaktif, reflek superfisial menjadi berkurang atau hilang dan timbul reflek patologis
seperti babinsky yang positif.

Computed Tomography Scan (CT scan)

Pendahuluan

Radiologi adalah cabang ilmu kesehatan yang berkaitan dengan zat-zat radioaktif dan
energi pancaran serta dengan diagnosis dan pengobatan penyakit dengan memakai radiasi
pengion (e.g. sinar-X) maupun bukan pengion (e.g. ultrasound). Neurology adalah cabang ilmu
kedokteran yang berhubungan dengan sistem saraf, baik normal maupun sakit. Neuroradiology
adalah radiologi sistem saraf.
Computed Tomography merupakan suatu metode pencitraan diagnosa yang
memanfaatkan komputer sebagai pengolah data sinar-X yang telah mengalami atenuasi dalam
tubuh pasien yang diperiksa. CT Scan mempunyai kemampuan untuk membedakan bagian-
bagian yang kecil diantara jaringan lunak dan ini lebih baik dibandingkan dengan pemeriksaan
radiologi konvensional dengan meningkatkan kontras enhancement, sehingga berbagai jaringan
lunak dan jaringan tubuh cepat dibedakan. Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk memperjelas
adanya dugaan yang kuat antara suatu kelainan, yaitu:
a. Gambaran lesi dari tumor, hematoma dan abses
b. Perubahan vaskuler: malformasi, naik turunnya vaskularisasi dan infark
c. Brain contusion
d. Brain atrofi
e. Hydrocephalus
f. Inflamasi.

43
CT Scan: Definisi
CT Scan adalah test diagnostik yang memiliki informasi yang sangat tinggi. Tujuan
utama penggunaan CT Scan adalah mendeteksi perdarahan intra cranial, lesi yang memenuhi
rongga otak (space occupying lesions/ SOL), edema serebral dan adanya perubahan struktur
otak. Selain itu CT Scan juga dapat digunakan dalam mengidentikasi infark , hidrosefalus dan
atrofi otak. Bagian basilar dan posterior tidak begitu baik diperlihatkan oleh CT Scan.
CT Scan mulai dipergunakan sejak tahun 1970 dalam alat bantu dalam proses
diagnosa dan pengobatan pada pasien neurologis. Gambaran CT Scan adalah hasil
rekonstruksi komputer terhadap gambar X-Ray. Gambaran dari berbagai lapisan secara
multiple dilakukan dengan cara mengukur densitas dari substansi yang dilalui oleh sinar X.

Indikasi Pemeriksaan CT scan4

Prinsip kerja
Pada alat konvensional sinar X berputar secara fisik dalam bentuk sirkuler.
Sedangkan pada alat elektron beam tomography (EBT) yang berputar adalah aliran
elektronnya saja.Data yang dihasilkan akan memperlihatkan densitas dari berbagai lapisan.
Pada saat sinar X melalui sebuah lapisan maka lapisan tersebut akan mengabsorbsi sinar dan
sisanya akan melalui lapisan tersebut yang akan ditangkap oleh detektor yang sensitive
terhadap elektron. Jumlah radiasi yang diabsorbsi akan tergantung pada densitas jaringan
yang dilaluinya. Pada tulang energi yang melalui (penterasi) jaringan itu lebih sedikit maka
akan muncul gambaran berwarna putih atau abu-abu yang terang.
Sedangkan pada cairan serebrospinal dan udara akan menghasilkan gambaran lebih
gelap. CT Scan dapat memberikan gambaran pada potongan 0,5 -11,3 cm dan memberikan
gambaran akurat pada abnormalitas yang sangat kecil. CT Scan digunakan di dalam

44
kedokteran sebagai alat diagnostik dan sebagai pemandu untuk prosedur intervensi. Kadang-
kadang membandingkan material seperti kontras yang diodinasi kedalam pembuluh darah. Ini
berguna bagi menyoroti struktur seperti pembuluh darah yang jika tidak akan sukar untuk
menggambarkan jaringan sekitarnya. Penggunaan material kontras dapat juga membantu ke
arah memperoleh informasi fungsional tentang jaringan/tisu.
Ukuran gambar (piksel) yang didapat pada CT scan adalah radiodensitas. Ukuran
tersebut berkisar antara skala -1024 to +3071 pada skala Housfield Unit. Hounsfileds sendiri
adalah pengukuran densitas dari jaringan. Peningkatan teknologi CT Scan adalah
menurunkan dosis radiasi yang diberikan, menurunkan lamanya waktu dalam pelaksanaan
scaning dan peningkatan kemampuan merekonstruksi gambar sebagai contoh, untuk lihat di
penempatan yang sama dari suatu penjuru/sudut berbeda) telah meningkat dari waktu ke
waktu. Meski demikian, dosis radiasi dari CT meneliti beberapa kali lebih tinggi dibanding
penyinaran konvensional meneliti. Sinar-X adalah suatu format radiasi pengion dan tentunya
berbahaya.

Gambar 1. Jaringan pada CT Scan

Pada cranial:
- Diagnosa dari cerebrovascular accidents dan intracranial hemorrhage
- Deteksi tumor; CT Scan dengan kontras lebih sensitif dari mri
- Deteksi peningkatan intracranial pressure sebelum dilakukan lumbar puncture

Atau evaluasi fungsi ventriculoperitoneal shunt.


- Evaluasi fraktur wajah atau kranial
- Pada kepala/leher/wajah/mulut ct scanning digunakan pada rencana operasi
Bagi deformitas kraniofasial dan dentofasial dan evaluasi tumor sinus, nasal, orbital, dan
rencana rekonstruksi implant dental.

45
Cara Membaca CT-Scan
Pertama yang harus diperhatikan adalah :
1. Pastikan foto yang akan dibaca adalah foto CT Scan kepala.
2. Menentukan CT Scan dengan atau tanpa kontras, biasanya kasus cedera kepala tanpa
kontras.
3. Menentukan dengan tepat identitas pasien, diagnosa, jam dan tanggal pembuatan
sesuai dengan pasien yang ada.

Lanjutkan dengan membaca hasil CT Scan:


1. Membaca CT Scan dari lapisan luar kepala menuju ke lapisan dalam, Scalp→
Tulang → parenkim.
2. Pada pembacaan Scalp, mencari adanya chephal hematom, dan tentukan dengan
tepat bagian mana yang terkena.
3. Pada pembacaan Tulang, mencari adanya tanda fraktur, impresi atau linier, bedakan
dengan garis sutura yang ada.
4. Pada pembacaan parenkim, mencari adanya perdarahan epidural, subdural,
contusional, intraserebral, intraventrikel, hidrochepalus. Pada pengukuran adanya
perdarahan, yang diperhatikan adalah ketebalan hematom pada slice yang paling
tebal, pengukuran volume = (jumlah slice x tebal x panjang) : 2 semua ukuran
dalam cm, yang di foto CT Scan biasanya mm, dikonversi menjadi cm.
Pergeseran/midline Shift dapat dihitung dengan menarik garis lurus dari crista galli
ke Protuberansia oksipitalis interna, tegak lurus dengan septum pellucidum.
5. Mencari tanda patah tulang basis, terlihat dari adanya fraktur pada os.sphenoid,
os.petrosa, os paranasalis dan perdarahan sinus.
6. Menentukan tanda edema otak, dapat terlihat dari adanya 3 hal yaitu:
a. melihat sistem ventrikel yang ada
b. melihat sistem sisterna, terutama sisterna basalis
c. melihat adanya perbedaan lapisan white matter dan grey matter
7. Kesimpulan hasil pembacan, disebutkan dari yang paling memiliki arti klinis penting
diikuti oleh hal yang lain. Contoh: EDH pada Fronto Temporo Parietal D, tebal 2
cm, vol 50cc, menyebabkan pergeseran/midline shift ke S sebesar 1cm, edema
serebri, FBC.

46
Peranan CT SCAN memiliki kelebihan:
- Pemeriksaan yang singkat dan mudah.
- Tidak merupakan invasif.
- Lebih informatif dalam mengidentifikasi / melokalisir adanya fraktur fragmentnya pada
tulang- tulang kepala.
- Dapat mengetahui adanya perdarahan extrakranial dan menghitung volumenya.
- Dapat mengetahui adanya kelaianan intrakranial/ perdarahan intracranial
(Subdural,Epidural,Sub arachnoid hemmorage)
- Infark akut, oedema cerebri, cerebral contusion.

47
DAFTAR PUSTAKA

1. Alfa AY. Penatalaksanaan Medis (Non-Bedah) Cedera Kepala. In: Basuki A, Dian
S.Kegawatdaruratan Neurologi. 2nd Ed. Bandung: Departemen/UPF Ilmu Penyakit Saraf
Fakultas Kedokteran UNPAD. 2009. p61-74.
2. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI). Trauma Kapitis. In:
Konsensus Nasional Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma Spinal. Jakarta:
PERDOSSI Bagian Neurologi FKUI/RSCM. 2006. p1-18.
3. Japardi I. Cedera Kepala: Memahami Aspek-aspek Penting dalam Pengelolaan Penderita
Cedera Kepala. Jakarta : PT Bhuana Ilmu Populer. 2004. p1-154.
4. Judith E. Tintinalli’s Emergency Medicine. edisi kelapan, Trauma kapitis. Mc Graw Hill
education, 2016. Hal 1695-1707.
5. Wilson LM, Hartwig MS. Anatomi dan Fisiologi Sistem Saraf. In: Price SA.
Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. 6th Ed. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC. 2006. p1006-1042
6. Ginsberg L. Bedah Saraf: Cedera Kepala dan Tumor Otak. In: Lecture Notes: Neurologi.
8th Ed. Jakarta: Penerbit Erlangga. 2007. p114-117
7. Kasan U. Jurnal Cedera Kepala. Available at:
http://images.neurosurg.multiply.multiplycontent.com/attachment/0/SZQ@KQoKCDUA
AGkRGyM1/CEDERA%20KEPALA.DOC?key=neurosurg:journal:9&nmid=198747111
. Accessed on: November 20 2012.
8. RSUP Nasional Dr.Cipto Mangunkusumo. Komosio Cerebri, CKR, CKS, CKB. In:
Panduan Pelayanan Medis Departemen Neurologi. Pusat Penerbitan Bagian Neurologi
FKUI/RSCM. 2007. p51-58
9. Mayo Clinic. Traumatic brain injury. Available
at:http://www.mayoclinic.com/health/traumatic-brain-injury/DS00552. Accessed on
November 21 2012.
10. Lombardo MC. Cedera Sistem Saraf Pusat. In: In: Price SA. Patofisiologi: Konsep Klinis
Proses-proses Penyakit. 6th Ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2006. p1067-
1077

48
11. Dewanto G, Suwono WJ, Riyanto B, Turana Y. Cedera Kepala. In: Panduan Praktis
Diagnosis dan Tata Laksana Penyakit Saraf. 2009. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC. 2006. p12-18.
12. Chusid JG., Neuroanatomi Korelatif & Neurologi Fungsional, Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta, 1990

49

You might also like