You are on page 1of 13

PENYAKIT JANTUNG REMATIK

1. Definisi
Demam reumatik akut adalah konsekuensi autoimun dari infeksi streptokokus grup A. Demam
reumatik akut menyebabkan respon in amasi umum dan penyakit yang mengenai jantung, sendi, otak
dan kulit secara selektif. Penyakit jantung reumatik adalah lanjutan dari demam reumatik akut.
Kerusakan katup jantung, khususnya katup mitral dan aorta setelah demam reumatik akut dapat
menjadi persisten setelah episode akut telah mereda. Keterlibatan katup jantung tersebut dikenal
dengan penyakit jantung reumatik/rheumatic heart disease (RHD).
Definisi lain juga mengatakan bahwa PJR adalah hasil dari DR, yang merupakan suatu kondisi
yang dapat terjadi 2-3 minggu setelah infeksi streptococcus beta hemolyticus grup A pada saluran
nafas bagian atas (Underwood J.C.E, 2000).
Pendapat lain memberikan definisi DR atau PJR sebagai suatu sindroma klinik penyakit akibat
infeksi kuman Streptococcus beta hemolitycus grup A pada tenggorokan yang terjadi secara akut
ataupun berulang dengan satu atau lebih gejala mayor yaitu poliartritis migrans akut, karditis, korea,
nodul subkutan dan eritema marginatum (Meador R.J. et al, 2009).

2. Epidemiologi
Tidak semua penderita infeksi saluran nafas yang disebabkan infeksi Streptokokus beta hemolitik
grup A menderita DR. Demam rematik menjadi masalah kesehatan utama pada anak dan dewasa
muda di negara berkembang (WHO, 2004). Di Negara berkembang, demam rematik akut
diperkirakan mempengaruhi sekitar 20 juta orang (Michael A, 2009). Insidensi puncak penyakit ini
terjadi pada anak usia 5-15 tahun dan jarang mengenai anak usia di bawah tiga tahun dan orang
dewasa (WHO, 2004). Menurut Murray (1996), pada tahun 1994, diperkirakan terdapat 12 juta orang
yang menderita demam rematik dan penyakit jantung rematik di dunia, dan 25% di antaranya
mengalami gagal jantung kongestif. Prevalensi PJR di Indonesia sebesar 0,3-0,8 per 100.000
penduduk usia 5-15 tahun. (Suprihati, dkk, 2006).
Insidens infeksi Streptococcus beta hemolitycus grup A pada tenggorokan bervariasi di antara
berbagai negara dan di daerah didalam satu negara. Insidens tertinggi didapati pada anak usia 5 -15
tahun.

3. Etiologi & Faktor Risiko


Telah lama diketahui DR mempunyai hubungan dengan infeksi kuman Streptokokus Beta
Hemolitik grup A (S. pyogenes) pada saluran nafas atas dan infeksi kuman ini pada kulit
mempunyai hubungan untuk terjadinya glomerulonefritis akut dan tidak terbuktri menyebabkan DR.
Streptokokus grup C dan G juga dapat menyebabkan faringitis namun tidak menyebabkan demam
reumatik akut. Kuman Streptokokus Beta Hemolitik dapat dibagi atas sejumlah grup serologinya yang
didasarkan atas antigen polisakarida yang terdapat pada dinding sel bakteri tersebut. Tercatat saat ini
lebih dari 130 serotipe M yang bertanggung jawab pada infeksi pada manusia, tetapi hanya grup A
yang mempunyai hubungan dengan etiopatogenesis DR dan PJR.
Gejala demam rematik muncul 3 minggu setelah terinfeksi dan menderita faringitis yang tidak
diobati secara adekuat (Marijon et al, 2012). Bakteri ini memiliki protein permukaan yang disebut
protein M yang membantunya melekat pada epitel tenggorokan. Walaupun Streptococcus grup
B,C,G, dan F dapat menyebabkan faringitis dan memicu respon imun penjamunya, namun mereka
belum diteliti dapat menyebabkan demam rematik. Faringitis yang terjadi 25-20% disebabkan oleh
bakteri Streptococcus betahemoliticus Grup A, namun 80% disebabkan oleh infeksi virus (WHO,
2004). Streptokokus grup A menyebabkan 15-30% kasus faringitis akut pada pasien pediatrik tetapi
hanya 5-10% pada dewasa (Almazini, 2014).
Hubungan kuman Streptococcus beta hemolitycus grup A sebagai penyebab DR terjadi secara
tidak langsung, karena organisme penyebab tidak dapat diperoleh dari lesi, tetapi banyak penelitian
klinis, imunologis dan epidemiologis yang membuktikan bahwa penyakit ini mempunyai hubungan
dengan infeksi Streptococcus beta hemolitycus grup A, terutama serotipe M1, 3, 5, 6, 14, 18, 19 dan
24 (Afif. A, 2008).

Faktor Predisposisi

Faktor-faktor pada individu :


1. Faktor genetik
Adanya antigen limfosit manusia ( HLA ) yang tinggi. HLA terhadap demam rematik
menunjukkan hubungan dengan aloantigen sel B spesifik dikenal dengan antibodi monoklonal
dengan status reumatikus.
2. Jenis kelamin
Demam reumatik sering didapatkan pada anak wanita dibandingkan dengan anak laki-laki. Tetapi
data yang lebih besar menunjukkan tidak ada perbedaan jenis kelamin, meskipun manifestasi
tertentu mungkin lebih sering ditemukan pada satu jenis kelamin.
3. Golongan etnik dan ras
Data di Amerika Utara menunjukkan bahwa serangan pertama maupun ulang demam reumatik
lebih sering didapatkan pada orang kulit hitam dibanding dengan orang kulit putih. Tetapi dataini
harus dinilai hati-hati, sebab mungkin berbagai faktor lingkungan yang berbeda pada kedua
golongan tersebut ikut berperan atau bahkan merupakan sebab yang sebenarnya.
4. Umur
Umur agaknya merupakan faktor predisposisi terpenting pada timbulnya demam reumatik /
penyakit jantung reumatik. Penyakit ini paling sering mengenai anak umur antara 5-15 tahun
dengan puncak sekitar umur 8 tahun. Tidak biasa ditemukan pada anak antara umur 3-5 tahundan
sangat jarang sebelum anak berumur 3 tahun atau setelah 20 tahun. Distribusi umur ini dikatakan
sesuai dengan insidens infeksi streptococcus pada anak usia sekolah. TetapiMarkowitz
menemukan bahwa penderita infeksi streptococcus adalah mereka yang berumur 2-6tahun.
5. Keadaan gizi dan lain-lain
Keadaan gizi serta adanya penyakit-penyakit lain belum dapat ditentukan apakah merupakan
faktor predisposisi untuk timbulnya demam reumatik.
6. Reaksi autoimun
Dari penelitian ditemukan adanya kesamaan antara polisakarida bagian dinding sel streptokokus
beta hemolitikus group A dengan glikoprotein dalam katub mungkin ini mendukung
terjadinyamiokarditis dan valvulitis pada rheumatic fever

Faktor-faktor lingkungan :
1. Keadaan sosial ekonomi yang buruk
Mungkin ini merupakan faktor lingkungan yang terpenting sebagai predisposisi untuk terjadinya
demam reumatik. Insidens demam reumatik di negara-negara yang sudah maju, jelas menurun
sebelum era antibiotik termasuk dalam keadaan sosial ekonomi yang buruk sanitasi lingkungan
yang buruk, rumah-rumah dengan penghuni padat, rendahnya pendidikan sehingga pengertian
untuk segera mengobati anak yang menderita sakit sangat kurang; pendapatan yang rendah
sehingga biaya untuk perawatan kesehatan kurang dan lain-lain. Semua hal ini merupakanf aktor-
faktor yang memudahkan timbulnya demam reumatik.
2. Iklim dan geografi
Demam reumatik merupakan penyakit kosmopolit. Penyakit terbanyak didapatkan didaerah yang
beriklim sedang, tetapi data akhir-akhir ini menunjukkan bahwa daerah tropis pun mempunyai
insidens yang tinggi, lebih tinggi dari yang diduga semula. Didaerah yang letaknya agak tinggi
agaknya insidens demam reumatik lebih tinggi daripada didataran rendah.
daerah iklim sedang, daerah tropis bercuaca lembab dan perubahan suhu yang mendadak.
3. Cuaca
Perubahan cuaca yang mendadak sering mengakibatkan insidens infeksi saluran nafas bagianatas
meningkat, sehingga insidens demam reumatik juga meningkat.

4. Patofisiologi

Demam rematik merupakan respon autoimun lambat dari infeksi bakteri tersebut yang mana
gejala klinis dan tingkat keparahan penyakitnya tergantung dari kepekaan genetic host, kemiripan
molekular, virulensi bakteri, maupun faktor lingkungan yang mendukung (Guilherme, 2010).
Mekanisme patogenesis yang pasti sampai saat ini tidak diketahui, tetapi peran antigen
histokompatibilitas mayor, antigen jaringan spesifik potensial dan antibodi yang berkembang segera
setelah infeksi streptokokkus telah diteliti sebagai faktor risiko yang potensial dalam patogenesis
penyakit ini.
Terbukti sel limfosit T memegang peranan dalam patogenesis penyakit ini dan ternyata tipe M
dari Streptokokus grup A mempunyai potensi rheumatogenik. Beberapa serotype biasanya
mempunyai kapsul, berbentuk besar, koloni mukoid yang kaya dengan protein M. Protein M adalah
salah satu determinan virulensi bakteri, strukturnya homolog dengan cardiac myosin dan alpha-
helical coiled coil molecule, seperti tropomyosin, keratin, dan laminin. Laminin adalah matriks
protein ekstraseluler yang disekresikan oleh sel endothelial katup jantung dan bagian integral dari
struktur katup jantung. Lebih dari 130 protein M sudah teridentifikasi dan tipe 1, 3, 5, 6, 14, 18, 19,
dan 24 berhubungan dengan terjadinya DR.
Superantigen streptokokal adalah glikoprotein unik yang disintesa oleh bakteri dan virus yang
dapat berikatn dengan major histocompatibility complex molecules dengan nonpolymorphic V b-
chains dari T-cell receptors. Pada kasus streptokokus banyak penelitian yang difokuskan pada
peranan superantigen-like activity dari fragmen protein M dan juga streptococcal pyrogenic exotoxin,
dalam patogenesis DR.
Terdapat bukti kuat bahwa respons autoimmune terhadap antigen streptokokkus memegang
peranan dalam terjadinya DR dan PJR pada orang yang rentan. Sekitar 0,3 - 3 persen individu yang
rentan terhadap infeksi faringitis streptokokkus berlanjut menjadi DR. Data terakhir menunjukkan
bahwa gen yang mengontrol low level response antigen streptokokus berhubungan dengan Class II
Human Leukocyte Antigen, HLA.
Interaksi antara penjamu-patogen dimulai dengan pengikatan ligan permukaan bakteri kepada
reseptor spesifik pada sel penjamu, dan menyebabkan adherensi, kolonisasi, dan invasi. Ikatan dengan
sel penjamu ini diinisiasi oleh Fibronectin dan Streptococcus fibronectin binding-protein (Simpson et
al, 1987). Selain itu, Streptococcal lipoteichoic acid dan protein M juga berperan penting dalam
perlengketan bakteri (Kotb, 1993).

Patologi
DR ditandai oleh radang eksudatif dan proliferatif pada jaringan ikat, terutama mengenai jantung,
sendi, dan jaringan subkutan. Bila terjadi karditis seluruh lapisan jantung akan terkena. Perikarditis
paling sering terjadi dan perikarditis fibrinosa kadang-kadang didapati. Peradangan perikard biasanya
menyembuh setelah beberapa saat tanpa sekuel klinis yang bermakna, dan jarang terjadi tamponade.
Pada keadaan fatal, keterlibatan miokard menyebabkan pembesaran semua ruang jantung.
Pada miokardium mula-mula didapati fragmentasi serabut kolagen, infiltrasi limfosit, dan
degenerasi fibrinoid dan diikuti didapatinya nodul aschoff di miokard yang merupakan patognomonik
DR. Nodul aschoff terdiri dari area nekrosis sentral yang dikelilingi limfosit, sel plasma, sel
mononukleus yang besar dan sel giant multinukleus. Beberapa sel mempunyai inti yang memanjang
dengan area yang jernih dalam membran inti yang disebut Anitschkow myocytes. Nodul aschoff bisa
didapati pada spesimen biopsi endomiokard penderita DR. Keterlibatan endokard menyebabkan
valvulitis rematik kronis. Fibrin kecil, vegetasi verrukous, berdiameter 1-2 mm bisa dilihat pada
permukaan atrium pada tempat koaptasi katup dan korda tendinea. Meskipun vegetasi tidak didapati,
bisa didapati peradangan dan edema dari daun katup. Penebalan dan fibrotik pada dinding posterior
atrium kiri bisa didapati dan dipercaya akibat efek jet regurgitasi mitral yang mengenai dinding
atrium kiri. Proses penyembuhan valvulitis memulai pembentukan granulasi dan fibrosis daun katup
dan fusi korda tendinea yang mengakibatkan stenosis atau insuffisiensi katup. Katup mitral paling
sering dikenai diikuti katup aorta. Katup trikuspid dan pulmonal biasanya jarang dikenai.

5. Manifestasi Klinis
Menurut National Heart Foundation of Australia (2006), gambaran klinis dari demam rematik
tergantung dari apakah dia manifestasi mayor atau minor. Pada manifestasi mayor yang dapat diamati
adalah adanya :
1. Poliarthritis
Merupakan gejala yang paling sering dari demam rematik. Gejala ini merupakan radang pada
sendi yang sangat nyeri, biasanya mengenai sendi besar seperti sendi lutut dan pergelangan.
Biasanya asimetris dan bermigrasi penjalaran nyerinya. Biasanya berespon dalam 3 hari saat
mulai terapi NSAID.
2. Sydenham’s chorea
Gejala seperti gerakan menyentak dan tidak terkontrol dari tangan, kaki, lidah, dan wajah.
3. Karditis
Penyakit jantung rematik sering mempengaruhi katup jantung terutama katup mitral dan aorta.
Selain itu, gagal jantung kongestif disebabkan karena disfungsi katup jantung akibat peradangan
pada katup tersebut. Adanya suara bising holosistolik, dengan atau tanpa bising mid-diastolik,
atau bising diastolik awal di bagian bawah jantung.
4. Subcutaneous nodules
Nodul dengan ukuran 0,5-2 cm, bulat, kenyal, mobile, dan tidak nyeri yang terdapat di siku,
pergelangan tangan, lutut, pergelangan kaki, tendon Achilles, prosesus spinalis vertebra posterior
dan oksipital. Muncul setelah 1-2 minggu setelah timbulnya gejala lain dan sering bersamaan
dengan karditis.
5. Erythema marginatum
Gambaran makula merah muda yang menjadi memucat setelah ditekan. Gambaran makula ini
tidak gatal maupun nyeri, dan didapati di punggung dan ekstremitas tetapi jarang di wajah.
Pada manifestasi minor dapat diamati adanya :
1. Poliarthralgia
Diagnosis kepada demam rematik jika memiliki pola yang sama dengan arthritis akibat demam
rematik, yaitu bermigrasi, asimetris, dan menyerang sendi besar.
2. Demam
Suhu oral, timpani, maupun rectal di atas 380C yang terjadi selama penyakit rematik.
3. Elevated acute phase reactants
Peningkatan serum CRP > 30 mg/L, laju endap darah >30mm/24 jam
4. Pada gambaran EKG terdapat pemanjangan interval PR
Perjalanan klinis penyakit DR/PJR dapat dibagi dalam 4 stadium:

Stadium I
Stadium ini berupa infeksi saluran napas bagian atas oleh kuman beta-Streptococcus hemolyticus
grup A. Keluhan biasanya berupa demam, batuk, rasa sakit waktu menelan, tidak jarang disertai
muntah dan bahkan pada anak kecil dapat terjadi diare. Pada pemeriksaan fisik sering didapatkan
eksudat di tonsil yang menyertai tanda-tanda peradangan lainnya. Kelenjar getah bening
submandibular seringkali membesar. Infeksi ini biasanya berlangsung 2-4 hari dan dapat sembuh
sendiri tanpa pengobatan.
Para peneliti mencatat 50-90% riwayat infeksi saluran napas bagian atas pada penderita demam
reumatik/penyakit jantung reumatik, yang biasanya terjadi 10-14 hari sebelum manifestasi pertama
demam reumatik/penyakit jantung reumatik.

Stadium II
Stadium ini disebut juga periode laten, ialah masa antara infeksi Streptococcus dengan permulaan
gejala demam reumatik, biasanya periode ini berlangsung 1-3 minggu, kecuali korea yang dapat
timbul 6 minggu atau bahkan berbulan-bulan kemudian.

Stadium III
Merupakan fase akut demam reumatik, saat timbulnya berbagai manifestasi klinik demam
reumatik/penyakit jantung reumatik. Manifestasi klinik tersebut dapat digolongkan dalam gejala
peradangan umum (gejala minor) dan manifestasi spesifik (gejala mayor) demam reumatik/penyakit
jantung reumatik.

Stadium IV
Disebut juga stadium inaktif. Pada stadium ini penderita demam reumatik tanpa kelainan jantung atau
penderita penyakit jantung reumatik tanpa gejala sisa katup tidak menunjukkan gejala apa-apa.
Pada penderita penyakit jantung reumatik dengan gejala sisa kelainan katup jantung, gejala yang
timbul sesuai dengan jenis serta beratnya kelainan. Pada fase ini baik penderita demam reumatik
maupun penyakit jantung reumatik sewaktu-waktu dapat mengalami reaktivasi penyakitnya.

6. Diagnosis & Diagnosis Banding


Diagnosis
● Didahului dengan faringitis akut sekitar 20 hari sebelumnya, yang merupakan periode laten
(asimtomatik), rata-rata onset sekitar 3 minggu sebelum timbul gejala.
● Diagnosis berdasarkan Kriteria Jones (Revisi 1992). Ditegakkan bila ditemukan 2 kriteria mayor,
atau 1 kriteria mayor + 2 kriteria minor, ditambah dengan bukti infeksi streptokokus Grup A
tenggorok positif + peningkatan titer antibodi streptokokus.

KRITERIA MAYOR KRITERIA MINOR


● Karditis ● Artralgia
● Poliartritis ● Demam
● Korea ● Lab:
● Eritema marginatum ○ ASTO >
● Nodul subkutan (EKG: PR ○ LED >, CRP +
interval memanjang)

Diagnosis Banding

7. Penatalaksanaan
Klasifikasi derajat penyakit (berhubungan dengan tatalaksana)
1. Artritis tanpa karditis
2. Artritis + karditis, tanpa kardiomegali
3. Artritis + kardiomegali
4. Artritis + kardiomegali + gagal jantung

Tatalaksana
Tatalaksana komprehensif pada pasien dengan demam rematik meliputi:

● Pengobatan manifestasi akut, pencegahan kekambuhan dan pencegahan endokarditis pada pasien
dengan kelainan katup.
● Pemeriksaan ASTO, CRP, LED, tenggorok dan darah tepi lengkap. Ekokardiografi untuk
evaluasi jantung.
● Antibiotik: penisilin, atau eritromisin 40 mg/kgBB/hari selama 10 hari bagi pasien dengan alergi
penisilin.
● Tirah baring bervariasi tergantung berat ringannya penyakit.
● Anti inflamasi: dimulai setelah diagnosis ditegakkan:
○ Bila hanya ditemukan artritis diberikan asetosal 100 mg/kgBB/hari sampai 2 minggu,
kemudian diturunkan selama 2-3 minggu berikutnya.
○ Pada karditis ringan-sedang diberikan asetosal 90-100 mg/kgBB/hari terbagi dalam 4-6
dosis selama 4-8 minggu bergantung pada respons klinis. Bila ada perbaikan, dosis
diturunkan bertahap selama 4-6 minggu berikutnya.
○ Pada karditis berat dengan gagal jantung ditambahkan prednison 2 mg/kgBB/hari
diberikan selama 2-6 minggu.

Saat ini, tidak ada pengobatan yang spesifik untuk PJR. Selain itu penyakit ini juga berkomplikasi
ke gagal jantung, fibrilasi atrium, emboli sistemik, dan endokarditis. Pengobatan secara medis sedikit
memberikan bukti dapat memperlambat progresifitas dari penyakit. Pada pasien gagal jantung dapat
diberikan beta bloker, ACE Inhibitor, maupun diuretik. Pada fibrilasi atrium perlu kontrol ritme
jantung dan pemberian warfarin untuk mencegah emboli. Sedangkan untuk mencegah endokarditis
dapat diberikan antibiotik profilaksis (Marijon et al, 2012).
Indikasi operasi pada penyakit jantung rematik tergantung tingkat keparahan dan jika terdapat
gangguan dari fungsi jantung. Tindakan operasi ini penting untuk mencegah kerusakan irreversibel
dari jantung kiri dan hipertensi paru (WHO, 2004).
Indikasi operasi pada stenosis mitral jika luas katup mitral <1,5 cm2, adanya trombus di atrium
kiri dan hipertensi paru. Indikasi operasi pada insufisinesi mitral jika fraksi ejeksi ventrikel kiri
<50%, end-systolic ventrikel kiri >55mm3, dan adanya hipertensi pulmonal. Indikasi operasi pada
aorta stenosis jika luas katup aorta <0,8 cm2, maximum jet velocity >4 m/det, fraksi ejeksi ventrikel
kiri <50%. Indikasi operasi insufisinesi aorta jika fraksi ejeksi ventrikel kiri <50% dan end-systolic
ventrikel kiri <50%. Sedangkan pilihan operasi yang dapat dilakukan berupa ballon valvotomy,
memperbaiki katup ataupun mengganti katup (valvuloplasti) (WHO, 2004).

Pengobatan lain
Pengobatan Karditis
Pengobatan karditis reumatik ini tetap paling kontroversial, terutama dalam hal pemilihan pasien
untuk diobati dengan aspirin atau harus dengan steroid. Meski banyak dokter secara rutin
menggunakan steroid untuk semua pasien dengan kelainan jantung, penelitian tidak menunjukkan
bahwa steroid lebih bermanfaat daripada salisilat pada pasien karditis ringan atau sedang.
Rekomendasi untuk menggunakan steroid pada pasien pankarditis berasal dari kesan klinis bahwa
terapi ini dapat menyelamatkan pasien3.
Digitalis diberikan pada pasien dengan karditis yang berat dan dengan gagal jantung; digoksin lebih
disukai dipakai pada anak. Dosis digitalisasi total adalah 0,04 sampai 0,06 mg/kg, dengan dosis
maximum 1,5 mg. Dosis rumatnya adalah antara sepertiga samapai seperlima dosis digitalisasi total,
diberikan dua kali sehari. Karena beberapa pasien miokarditis sensitif terhadap digitalis, maka
dianjurkan pemberian diitalisasi lambat. Penggunaan obat jantung alternatif atau tambahan
dipertimbangkan bila pasien tidak berespons terhadap digitalis3.
Tirah baring dianjurkan selama masa kariditis akut, seperti tertera pada tabel 11-9. pasien kemudian
harus diizinkan untuk melanjutkan kembali aktivitasnya yang normal secara bertahap. Hindarkan
pemulihan aktivitas yang cepat pada pasien yang sedang menyembuh dari karditis berat. Sebaliknya,
kita harus mencegah praktek kuno yang mengharuskan tirah baring untuk waktu yang lama sesudah
karditis stabil dan gagal jantung mereda, karena takut memburuk atau kumatnya karditis. Meskipun
telah ada pedoman tirah baring, namun dalam pelaksanaannya harus disesuaikan kasus demi kasus3.

Pengobatan Korea Sydenham


Pasien korea yang ringan pada umumnya hanya memerlukan tirah baring. Pada kasus yang lebih
berat, obat antikonvulsan mungkin dapat mengendalikan korea. Obat ini sangat bervariasi.
Fenobarbital diberikan dalam dosis 15-30 mg tiap 6 sampai 8 jam. Haloperidol dimulai dengan dosis
rendah (0,5 mg), kemudian dinaikkan sampai 2 mg tiap 8 jam. Obat antiradang tidak diperlukan pada
korea, kecuali pada kasus yang sangat berat, dapat diberi steroid3.

8. Komplikasi
Komplikasi yang sering terjadi pada Penyakit Jantung Reumatik (PJR) diantaranya adalah gagal
jantung, pankarditis (infeksi dan peradangan di seluruh bagian jantung), pneumonitis reumatik
(infeksi paru), emboli atau sumbatan pada paru, kelainan katup jantung, dan infark (kematian sel
jantung).

9. Pencegahan
Pencegahan Sekunder
Pecegahan sekunder ini dilakukan untuk mencegah serangan ulang dengan mencegah menetapnya
infeksi streptococcus beta hemolyticus grup A pada bekas pasien DR. Pencegahan tersebut dilakukan
dengan cara, diantaranya :
1. Eradikasi kuman Streptococcus beta hemolyticus grup A
Pemusnahan kuman Streptococcus harus segera dilakukan setelah diagnosis ditegakkan, yakni
dengan pemberian penisilin dengan dosis 1,2 juta unit selama 10 hari. Pada penderita yang alergi
pada penisilin, dapat diganti dengan eritromisin dengan dosis maksimum 250mg yang diberikan
selama 10 hari. Hal ini harus tetap dilakukan meskipun biakan usap tenggorokan negative, kerana
kuman masih ada dalam jumlah sedikit di dalam jaringan faring dan tonsil.
2. Obat anti radang
Pengobatan anti-radang amat efektif dalam menekan manifestasi radang akut demam reumatik,
sedemikian baiknya sehingga respons yang cepat dari artritis terhadap salisilat dapat membantu
diagnosis.
Pasien dengan artritis yang pasti harus diobati dengan aspirin dalam dosis total 100 mg/kgBB/
hari, maximum 6 g per hari dosis terbagi selama 2 minggu, dan 75 mg/kgBB/ hari selama 2-6
minggu berikutnya. Kadang diperlukan dosis yang lebih besar. Harus diingatkan kemungkinan
keracunan salisilat, yang ditandai dengan tinitus dan hiperpne1,2,3.
Pada pasien karditis, terutama jika ada kardiomegali atau gagal jantung aspirin seringkali tidak
cukup untuk mengendalikan demam, rasa tidak enak serta takikardia, kecuali dengan dosis toksik
atau mendekati toksik. Pasien ini harus ditangani dengan steroid; prednison adalah steroid
terpilih, mulai dengan dosis 2 mg/kgBB/hari dengan dosis terbagi, maximum 80 mg per hari.
Pada kasus yang sangat akut dan parah, terapi harus dimulai dengan metilprednisolon intravena
(10-40 mg), diikuti dengan prednison oral. Sesudah 2-3 minggu prednison dapat dikurangi
terhadap dengan pengurangan dosis harian sebanyak 5 mg setiap 2-3 hari. Bila penurunan ini
dimulai, aspirin dengan dosis 75 mg/kgBB/hari harus ditambahkan dan dilanjutkan selama 6
minggu setelah prednison dihentikan. Terapi ’tumpang tindih’ ini dapat mengurangi insidens
rebound klinis pascaterapi, yaitu munculnya kembali manifestasi klinis segera sesudah terapi
dihentikan, atau sementara prednison diturunkan, tanpa infeksi streptokokus baru. Steroid
dianjurkan untuk pasien dengan karditis karena kesan klinis bahwa pasien berespons lebih baik,
demikian pula gagal jantung pun berespons lebih cepat daripada dengan salisilat.
Pada sekitar 5-10% pasien demam reumatik, kenaikan LED bertahan selama berbulan-bulan
sesudah penghentian terapi. Keadaan ini tidak berat, tidak dapat dijelaskan sebabnya, dan tidak
perlu mengubah tata laksana medik. Sebaliknya kadar PCR yang tetap tinggi menandakan
perjalanan penyakit yang berlarut-larut; pasien tersebut harus diamati dengan seksama. Apabila
demam reumatik inaktif dan tetap tenang lebih dari dua bulan setelah penghentian antiradang,
maka demam reumatik tidak akan timbul lagi kecuali apabila terjadi infeksi streptokokus baru.
3. Diet
Bentuk dan jenis makanan disesuaikan dengan keadaan penderita. Pada sebagian besar kasus
diberikan makanan dengan kalori dan protein yang cukup. Selain itu diberikan juga makanan
mudah cerna dan tidak menimbulkan gas, dan serat untuk menghindari konstipasi. Bila kebutuhan
gizi tidak dapat dipenuhi melalui makanan dapat diberikan tambahan berupa vitamin atau
suplemen gizi. Bila terdapat gagal jantung, diet disesuaikan dengan diet untuk gagal jantung yaitu
cairan dan garam sebaiknya dibatasi.
4. Tirah baring
Semua pasien DR Akut harus tirah baring, jika memungkinkan di rumah sakit. Pasien harus
diperiksa tiap hari untuk menemukan valvulitis dan untuk mulai pengobatan dini bila terdapat
gagal jantung. Karditis hampir selalu terjadi dalam 2-3 minggu sejak dari awal serangan, hingga
pengamatan yang ketat harus dilakukan selama masa tersebut. Sesudah itu lama dan tingkat tirah
baring bervariasi. Hal penting adalah bahwa tata laksana harus disesuaikan dengan manifestasi
penyakit, sedang pembatasan aktivitas fisik yang lama harus dihindari.
Selama terdapat tanda-tanda radang akut, penderita harus istirahat di tempat tidur. Untuk
artritis cukup dalam waktu lebih kurang 2 minggu, sedangkan untuk karditis berat dengan gagal
jantung dapat sampai 6 bulan. Mobilisasi dilakukan secara bertahap.
Istirahat mutlak yang berkepanjangan tidak diperlukan mengingat efek psikologis serta
keperluan sekolah. Penderita demam reumatik tanpa karditis atau penderita karditis tanpa gejala
sisa atau penderita karditis dengan gejala sisa kelainan katup tanpa kardiomegali, setelah sembuh
tidak perlu pembatasan aktivitas. Penderita dengan demam kardiomegali menetap perlu dibatasi
aktivitasnya dan tidak diperkenankan melakukan olahraga yang bersifat kompetisi fisik.

Pencegahan Tersier
Pencegahan ini dilakukan untuk mencegah terjadinya komplikasi, di mana penderita akan mengalami
kelainan jantung pada PJR, seperti stenosis mitral, insufisiensi mitral, stenosis aorta, dan insufisiensi
aorta.

10. Prognosis
Prognosis penyakit jantung rematik tergantung pada stadium saat diagnosis ditegakkan, umur, ada
tidaknya dan luasnya kelainan jantung, pengobatan yang diberikan, serta jumlah serangan
sebelumnya. Prognosis pada umumnya buruk pada penderita dengan karditis pada masa kanak-kanak.
Serangan ulang dalam waktu 5 tahun pertama dapat dialami oleh sekitar 20% penderita dan
kekambuhan semakin jarang terjadi setelah usia 21 tahun. Kira-kira 75% pasien dengan demam
reumatik akut sembuh kembali setelah 6 minggu, dan kurang dari 5 % tetap memiliki gejala korea
atau karditis yang tidak diketahui lebih dari 6 bulan setelah pengobatan rutin.

You might also like