You are on page 1of 28

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Kusta
1.1.1 Definisi
Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya ialah
Mycobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat.1,3 Saraf perifer sebagai
afinitas pertama,1,3 lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas,1,3
kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat.1,3,5
Morbus Hansen atau penyakit kusta adalah penyakit infeksi kronis yang
disebabkan oleh M.leprae dan sebenarnya tidak terlalu mudah ditularkan.4

1.1.2 Sinonim
Lepra, morbus Hansen.1,5

1.1.3 Diagnosis
Diagnosis penyakit kusta didasarkan gambaran klinis, bakterioskopis,
histopatologis, dan serologis.1
Tabel 1.1 Gambaran klinis, bakteriologik, dan imunologik kusta multibasilar
(MB)1
Sifat Lepromatosa Borderline MID
(LL) Lepromatosa Borderline
(BL) (BB)

1
LESI
− Bentuk Makula, Macula, Plakat, Dome-
infiltrat difus, plakat, papul. Shaped
papul, nodus. (kubah),
Punched-out.
− Jumlah Tidak Sukar dihitung, Dapat
terhitung, tidak masih ada kulit dihitung, kulit
ada, kulit sehat sehat. sehat jelas
− Distribusi Simetris Hampir ada.
− Permukaan Halus berkilat simetris Asimetris
Halus berkilat Agak kasar,
− Batas Tidak jelas Agak jelas agak berkilat
− Anesthesia Tidak ada Tak jelas Agak jelas
sampai tidak Lebih jelas
BTA jelas
− Lesi kulit Banyak (ada Banyak Agak banyak
globus)
− Sekret Banyak (ada Biasanya Negatif
hidung globus) negative
Biasanya
Negatif negative
Tes Negatif
Lepromin

2
Tabel 1.2 Gambaran klinis, bakteriologik, dan imunologik kusta pausibasilar
(PB)1
Sifat Tuberkuloid(TT) Borderline Indeterminate
Tuberkuloid (I)
(BT)
LESI
− Bentuk Makula saja; Macula Hanya
macula dibatasi makula.
dibatasi infiltrate;
infiltrat infiltrat saja.
− Jumlah Satu, dapat Beberapa Satu atau
beberapa atau satu beberapa
dengan
satelit
− Distribusi Asimetris Variasi
− Permukaan Kering Masih Halus, agak
bersisik asimetris berkilat
Kering
bersisik
− Batas Jelas Jelas Dapat jelas
aau dapat
tidak jelas
− Anesthesia Jelas Jelas Tak ada
sampai tidak
BTA jelas
− Lesi kulit Hampir selalu Negative
negative atau hanya Biasanya
1+ negatif

3
− TesLepromin Positif kuat Positif Dapat positif
(3+) lemah lemah atau
negatif

Tabel 1.3 Bagan diagnosis klinis menurut WHO (1995)1


PB MB
1. Lesi kulit (macula − 1-5 lesi − > 5 lesi
datar, papul yang − Hipopigmentasi/ − Distribusi lebih
meninggi, nodus ) eritema simetris
− Distribusi tidak − Hilagnya sensasi
simetris kurang jelas
− Hilangnya sensai
yang jelas

2. Kerusakan saraf − Hanya satu cabang − Banyak cabang


(menyebabkan saraf saraf
hilangnya sensasi/
kelemahan otot
yang dipersarafi
oleh saraf yang
terkena )

Gambar. 1.1 tuberkulosi leprosy.2

4
Gambar 1.2 boderline tuberkulosi.2

1.1.4 Terapi
Obat antikusta yang paling banyak dipakai pada saat ini adalah DDS
(diaminodifenil sulfon) kemudian klofazimin, dan rifampisin.1,5 Pada tahun 1998,1
WHO menambahkan 3 obat antibiotic lain untuk pengobatan alternative, yaitu
ofloksasin, minosiklin dan klaritromisin.1 Untuk mencegah resistensi,1 pengobatan
tuberculosis telah menggunakan Multi Drug Treatment (MDT) sejak 1951,
sedangkan untuk kusta baru dimulai pada tahun 1971.1
Cara pembuktiannya ialah dengan percobaan pengobatan dengan DDS 100
mg sehari selama 3 bulan sampai 6 bulan disertai pengamatan secara klinis,
bakterioskopik, dan histopatologik.1 Efek samping DDS antara lain nyeri kepala,
erupsi obat, anemia hemolitik, leucopenia, insomnia, neuropati perifer, sindrom
DDS, nekrolisis epidermal toksik, hepatitis, hipoalbuninemia, dan
methemoglobinemia.1,4
Rifampisin adalah obat yang menjadi salah satu komponen kombinasi DDS
dengan dosis 10 mg/kgBB;1 diberikan setiap hari atau setiap bulan.1,5 Rifampisin
tidak boleh diberikan sebagai monoterapi, oleh karena memperbesar kemungkinan
terjadinya resistensi,1,5 tetapi pada pengobatan kombinasi selalu diikutkan, tidak
boleh diberikan setiap minggu atau setiap 2 minggu mengingat efek sampingnya.1,5
Klofazimin (lampren) mulai dipakai sebagai obat kusta pada tahun 1962.
Dosis sebagai antikusta ialah 50 mg setiap hari, atau 100 mg selang sehari, atau 3 x

5
100 mg setiap minggu.1 Juga bersifat antiinflamasi sehingga dapat dipakai pada
penanggulangan ENL dengan dosis lebih yaitu 200 mg-300 mg/ hari namun awitan
kerja baru timbul setelah 2-3 minggu.1
Ofloksasin merupakan turunan fluorokuinolon yang paling aktif terhadap
Mycobacterium Leprae in vitro.1 Dosis optimal harian adalah 400 mg.1 Dosis tunggal
yang diberikan dalam 22 dosis akan membunuh kuman Mycobacterium leprae hidup
sebesar 99,99%.1 Efek sampingnya adalah mual, diare, dan gangguan saluran cerna
lainnya, berbagai gangguan susunan saraf pusat.1
Terapi alternatif harus diberikan pada pasien MH tipe MB yang tidak dapat
diberikan terapi Rifamicin oleh karena infeksi Rifampicin-resistant leprosy, alergi,
atau penyakit hepatitis kronis.4 Terapi alternatif yang diberikan atas indikasi tersebut
adalah Clofazimine, Ofloxacin, dan Minocycline.4

1.2 Sindrom Dapson


1.2.1 Definisi
Sindrom Dapson adalah suatu bentuk reaksi hipersensitivitas terhadap dapson
atau sulfon yang ditandai dengan demam, erupsi kulit, dan kelainan organ dalam.11
Dapson merupakan obat antibiotik dan antiinflamasi yang dapat digunakan untuk
pengobatan berbagai penyakit,7,8,12 seperti lepra, malaria,8,12 dermatosis
vesikulobulosa, vaskulitis,12 Pneumonitis carinii pneumonia.8 dan dalam beberapa
kondisi dermatologis (dermatosa bulosa, jerawat, vaskulitis kulit dan dermatitis
herpetiformis) dan purpura trombositopenik imun.12
Dapson memiliki efek samping yang jarang, namun mengancam nyawa,8 yaitu
Dapsone Hypersensitivity Syndrome (DHS) atau Sindrom Sulfon.1,8 Efek samping
yang sering ditemui pada obat ini termasuk reaksi hipersensitivitas kulit yang tidak
berhubungan (idiosynkratik) dan anemia hemolitik terkait dosis dan
methemoglobinemia.12 Sindrom hipersensitivitas sistemik idiosinkratik yang langka
dan mematikan - yaitu sindrom dapsone hypersensitivity (DHS), yang ditandai oleh
demam, ruam kulit, eosinofilia, limfadenopati, hati, paru dan manifestasi sistemik
lainnya dapat mempersulit terapi dapson,12 DHS dapat menyebabkan ireversibel

6
kerusakan organ atau bahkan kematian jika tidak dikenali sejak dini dan dikelola
dengan baik.12
Dapson (DDS) sindrom juga disebut " fifth week dapsone dermatitis."8,9,10
Karena tiba-tiba terjadi lima sampai enam minggu setelah pemberian dapson.9
Biasanya mereda pada penghentian terapi dapson.9 Sindrom hipersensitivitas yang
diinduksi obat ini juga dikenal sebagai "sindrom sulfon" terdiri dari dermatitis
eksfoliatif dan/ atau ruam kulit lainnya, limfadenopati generalisata, hepato-
splenomegali,demam dan hepatitis.9
Penggunaan sulfon pada lepra pertama kali dilaporkan dari Carville USA
pada tahun 1943.9 Dapson/DDS diperkenalkan untuk pengobatan pasien kusta oleh
Robert Cochrane pada tahun 1947 di Chingelput,9 India Selatan.9 Namun, hampir
satu dekade berlalu sebelum DDS secara luas digunakan untuk kemanjuran yang luar
biasa dalam kusta.9 Sejak itu, dapson telah digunakan secara efektif dalam berbagai
rejimen antileprosi dan banyak gangguan dermatologis lainnya.9 Sementara berbagai
efek merugikan dan beracun terkait dengan dapson, "sindrom dapson" adalah reaksi
hipersensitivitas yang berbeda.9 Laporan paling awal dari reaksi hipersensitivitas
terhadapnya diterbitkan pada tahun 1949.9 Reaksi merugikan terjadi awal selama
pengobatan dan ditandai oleh demam, limfadenitis, splenomegali, sakit kuning, tes
fungsi hati yang abnormal, mononukleosis dan dermatitis termasuk pengelupasan
umum.9
Diagnosis dikonfirmasi oleh tes Paul-Bunell dan mononucleosis negatif.9
Karena reaksi ini pada mulanya dikaitkan dengan dosis tinggi dapson, penulis
menyarankan penumpukan dapson secara bertahap hingga 300 mg setiap hari untuk
menghindari komplikasi ini.9 Pada tahun 1950, Lowe melaporkan tiga kasus
hipersensitivitas terhadap obat dan menyarankan penarikan awal dapson dan
penggunaan antihistamin diikuti oleh desensitisasi.9 Allday dan Barnes pada tahun
1951 memberinya nama "sindrom dapson".9

1.2.2 Sinonim
Dapson (DDS) sindrom juga disebut " fifth week dapsone dermatitis."8,9,10

7
1.2.3 Epidemiologi
Sindrom Dapson pertama kali dikemukakan oleh Allday, Lowe, dan Barres
sebagai reaksi hipersensitivitas vaskulitis sindrom.8 Sindrom dapson telah dikenal
sejak awal terapi sulfon pada lepra.9 Lowe dan Smith melaporkan tingginya insiden
sindrom dapson pada laki-laki dewasa tetapi episode ringan kecuali dalam beberapa
kasus dengan dermatitis eksfoliatif 9. Dari 1956 hingga 1980, hanya ada dua laporan
tentang sindrom ini.9 Insiden DHS berkisar antara 0,5- 3%,8 dengan angka mortalitas
sebesar 10%11.
Tiga fakta-fakta penting muncul dari laporan-laporan ini.9 Pertama, sindrom
dapson dapat terjadi bahkan ketika pasien menerima dosis harian 50 mg dan kedua,9
leukositosis itu tidak selalu mononucleosis9. Ketiga, kemunculan kembali sindrom
dapson, di seluruh dunia mungkin disebabkan oleh penggunaan dosis dapson yang
relatif tinggi atau hasil dari rejimen multidrug pada lepra.9 Berdasarkan survei pos,
frekuensi sindrom dapson ditemukan bervariasi dari 0 hingga 2% di antara kasus-
kasus baru yang ditangani.9 Richardus dan Smith melaporkan kejadian 0,3 hingga
0,6% selama monoterapi dan 3,6% setelah pengenalan terapi multidrug (MDT).9 Di
India Rege et al mencatat kejadian 1,3% di antara pasien kusta yang diobati dengan
MDT sesuai rekomendasi WHO.9 Namun, sebelumnya, Sharma dkk telah mengamati
insidensi rendah 0,25% di antara pengguna dapson untuk berbagai gangguan
dermatologis termasuk kusta.9

1.2.4 Patogenesis
Secara farmakokinetik, dapson diserap lambat dalam saluran cerna tetapi
hampir sempurna.8 Kadar puncak cepat turun, tetapi masih dijumpai dalam jumlah
cukup setelah 8 jam.8 Waktu paruh eliminasi berkisar antara 10-50 jam dengan rata-
rata 28 jam.8 Pada dosis berulang sejumlah kecil obat masih ditemukan hingga 35
hari setelah pemberian dihentikan.8,12 Obat ini tersebar luas diseluruh jaringan dan
cairan tubuh,8 cenderung tertahan dalam kulit dan otot,8 tetapi lebih banyak dalam
hati dan ginjal.8 Sebanyak 50-70% obat terikat pada protein plasma dan mengalami
daur enterohepatik.8 Daur ini yang menyebabkan obat masih ditemukan dalam

8
darah,8 lama setelah pemberian dihentikan.8 Dapson mengalami metabolisme di hati
dan kecepatan asetilasinya ditentukan oleh faktor genetik.8 Ekskresi melalui urin
berbeda jumlahnya bagi setiap sediaan sulfon,8 dapson dosis tunggal 70-80%
diekskresi terutama bentuk metabolitnya.8
Patogenesis sindrom dapson belum diketahui.8,9 Namun, Allday dan Barnes
melaporkan bahwa itu mungkin karena hipersensitivitas,9 karena ada selang waktu 5
hingga 6 minggu dari awal terapi dalam setiap kasus.9 Selanjutnya, Tomecki dan
Catalano menyarankan bahwa reaksi hipersensitivitas dapson tidak terkait dengan
dosis.9 Sebaliknya, hepatotoksisitas terkait dengan dosis.9 Saito dkk, atas dasar
penelitian imunohistokimia pada bahan biopsi kulit yang diartikan bahwa manifestasi
klinis seperti dermatitis, hepatitis, limfadenopati, dan mononukleosis mungkin
disebabkan oleh jenis penyakit graft-versushost yang dimodifikasi,9 kemungkinan
dimediasi oleh sel T teraktivasi.6,9 Ada beberapa bukti yang menunjukkan bahwa
perbedaan metabolisme dalam produksi dan detoksifikasi metabolit reaktif dapson
memainkan peran penting dalam reaksi hipersensitivitas sulfonamide.6,9 Dapson
dimetabolisme dalam dua jalur, N-asetilasi dan N-hidroksilasi (oksidasi).6,9
Pembentukan metabolit antara beracun seperti nitrosamine dan kemungkinan
senyawa lain melalui jalur N-hydroxylation diperkirakan bertanggung jawab untuk
anemia hemolitik, methemoglobinemia dan sindrom dapson.6,9
Patogenesis DHS belum diketahui jelas,6,8,12 beberapa penelitian menyatakan
perbedaan metabolisme produksi (peningkatan aktivitas atau kuantitas enzim
polimorfik sitokrom p450) dan detoksifikasi metabolit reaktif (defisiensi glutathione
synthetase) memainkan peranan penting dalam reaksi hipersensitivitas
sulfonamide.6,8 Mekanisme yang diusulkan melibatkan metabolit dapson,12 yang
membentuk haptens dengan produksi antibodi anti-dapson.12 Perbedaan dalam
metabolisme dapson, yang mempengaruhi produksi dan detoksifikasi metabolit
reaktifnya mungkin bertanggung jawab untuk kerentanan diferensial dari orang untuk
efek buruk dari dapson.12 Variabilitas antar-individu dalam metabolisme dapson oleh
N-hydroxylation ke hydroxylamines oleh sitomrom sitomomik P-450 sistem hati
telah terlibat dalam toksisitas hematologis (methemoglobinemia, hemolitik aaemia

9
and agranulocytosis) tetapi perannya dalam menentukan risiko DHS tidak jelas.12
Produksi metabolit toksis (hydroxylamine) akibat ketidakseimbangan metabolisme
dapson merupakan faktor risiko anemia hemolitik.8,12
Namun, produksi dan detoksifikasi metabolit beracun dapson dipengaruhi oleh
sejumlah faktor genetik dan lingkungan.9 Penyakit hati yang menua dan sudah ada
sebelumnya (sirosis) menawarkan perlindungan relatif terhadap efek merugikan
karena aktivitas enzim menurun dan oleh karena itu,9 penurunan produksi metabolit
beracun.9 Tapi ini bukan faktor protektif yang terbukti dalam terjadinya sindrom
dapson.9
Analisis kritis dari kasus-kasus yang dijelaskan sebelumnya berkaitan dengan
cedera hati pada sindrom dapson telah menunjukkan bahwa kolestasis, daripada
hepatitis menjadi pola cedera yang paling umum.9 Efek samping yang mungkin
timbul antara lain nyeri kepala, erupsi obat, anemia hemolitik, leukopenia, insomnia,
neuropati perifer, sindrom dapson, nekrolisis epidermal toksik, hepatitis,
hipoalbuminemia, dan methemoglobinemia.8 Efek samping dapson yang paling
sering adalah hemolisis yang berhubungan erat dengan besarnya dosis; dapat terjadi
pada hampir setiap pasien yang menerima 200-300 mg dapson sehari.8

1.2.5 Manifestasi klinis


Manifestasi reaksi simpang obat bervariasi dan dapat terjadi hanya pada kulit
atau merupakan bagian dari penyakit sistemik.6 Tidak seperti reaksi obat lain,9
sindrom ini dapat dimulai setelah kontak yang terlalu lama dengan obat yang
menyinggung yang dapat selama enam bulan atau lebih atau sesingkat 48 jam.9
Pasien mengalami reaksi awal berupa kulit mengelupas setelah pemakaian dapson
selama 3 bulan.8 Sindrom Sulfon atau Dapsone Hypersensitivity Syndrome (DHS)
dapat timbul 5-6 minggu hingga 6 bulan setelah terapi awal pada pasien gizi buruk.8
Gejala DHS umumnya berupa trias demam, erupsi kulit, dan keterlibatan organ
tubuh (paru, hati, sistem saraf, dan sebagainya),6,8 dapat juga disertai malaise,
dermatitis eksfoliatif, ikterus disertai nekrosis hati, limfadenopati,
methemoglobinemia, dan anemia.8 Trias klasik DHS terdiri dari demam, keterlibatan

10
organ dalam (hati, ginjal, sistem hematologi, dan sebagainya), dan erupsi kulit.6,8
Reaksi ini, disebut sindrom dapson,9 ditandai dengan munculnya onset ruam papular
atau eksfoliatif, disertai demam, malaise dan kelemahan, diikuti oleh ikterus dan
nyeri pada hati, limfadenopati dan mononukleosis (limfosit dan monosit 70%).9
Namun, semua gejala tidak perlu ada.9 Leukositosis mungkin tidak selalu
mononucleosis.9 Selain itu, anemia hemolitik, methemoglobinemia, eosinofilia,
peningkatan ESR, peningkatan kadar bilirubin serum dan peningkatan enzim hati
mungkin merupakan temuan yang menguatkan.9 Tingkat keparahan lesi kulit tidak
berhubungan dengan keparahan keterlibatan organ dalam, yang dapat asimptomatik
hingga mengancam nyawa.8 Kelainan kulit umumnya membaik setelah 2 minggu
terapi dapson dihentikan.8 Pada kasus berat, malnutrisi dan kehilangan protein dapat
memperburuk prognosis, sehingga harus dipantau ketat.8
Manifestasi kulit dari sindrom ini menunjukkan variasi yang luas termasuk
eritroderma, eritem eritematosa papular, erythema multiforme, nekrolisis epidermal
toksik dan sindrom Stevens-Johnson.9

Gambar 1. Eritema kulit dengan sekeliling yang luas pada wajah dan leher12

11
Gambar 2. Deep icterus, subconjungtival haemoraghes, angular chelilitis, lesi
berkrusta diatas bibir dengan mukosa mulut normal.12

1.2.6 Diagnosa
Diagnosis sindrom dapson didasarkan terutama pada anamnesis, pemeriksaan
klinis dan laboratorium yang mencakup kumpulan temuan di atas yang dibahas di
bawah manifestasi klinis.6,9 Diagnosis DHS didasarkan pada temuan klinis demam,12
ruam kulit, limfadenopati, hepatitis dan fitur sistemik lainnya,12 bersama dengan
riwayat paparan dapson anterior.12 Tes patch dengan tablet dapson atau bentuk injeksi
dan tes kulit intradermal tipe tertunda dengan 0,05% dapson dalam saline dapat
dilakukan.9 Tes-tes ini, bagaimanapun tidak dapat diandalkan.9,12 Jika tersedia
fasilitas, tes stimulasi limfosit dengan dapson dapat dilakukan.9
Sindrom dapson adalah reaksi idiosinkrasi terhadap dapson yang terjadi dalam 6
hingga 8 minggu setelah memulai pengobatan dengan dapson.13
Richardus dan Smith telah menyebutkan kriteria berikut untuk mendiagnosis kasus
hipersensitivitas dapson.13
1. Gejala muncul dalam 8 minggu setelah dimulainya dapson dan menghilang setelah
penghentian obat.13
2. Gejala tidak dapat dianggap berasal dari obat lain yang diberikan bersamaan
dengan dapson.13

12
3. Gejala-gejala mereka tidak disebabkan oleh reaksi lepra.13
4. Tidak ada penyakit lain yang dapat menyebabkan gejala serupa didiagnosis.13
5. Dua dari tanda-tanda berikut, gejala hadir - demam, erupsi kulit, limfadenopati,
patologi hati (hepatomegali, ikterus dan / atau LFTs abnormal).13

1.2.7 Diagnosis Banding


Rifampisin hipersensitivitas, mononukleosis menular dan adalah diagnosis
banding yang penting untuk sindrom dapson.9 Lebih penting lagi, sindrom dapson
harus dibedakan dari reaksi lepra tipe II (erythema nodosum leprosum) oleh adanya
jenis ruam yang berbeda dan awitan penyakit kuning.9

1.2.8 Terapi
Kondisi sebagian besar pasien membaik setelah penghentian terapi dapson.9,12
Pemberian kortikosteroid pada SHO bertujuan untuk mengatasi gejala dan mencegah
kerusakan lebih lanjut.6 Tata laksana pada pasien non medikamentosa yang dilakukan
adalah rencana rawat inap,6 pasien disarankan untuk istirahat dan tirah baring di
rumah,6 menghentikan semua penggunaan obat yang diduga menjadi penyebab
erupsi obat alergi atau yang berikatan silang,6 edukasi pasien untuk jaga higiene dan
kebersihan kulit,6 dan melakukan konsultasi ke bagian Hepatologi Ilmu Penyakit
Dalam.6 Terapi medikamentosa yang diberikan adalah metilprednisolon setara
prednison 50 mg (metilprednisolon 16-16-8 mg),6 Loratadine 1x10 mg,6 Ranitidin
2x150 mg.6
Manajemen melibatkan penghentian cepat dapson,9,12 steroid sistemik
(prednisolon oral 1 mg/kg/hari atau metilprednisolon intravena dalam dosis
ekuivalen) dengan perawatan suportif.12 Penurunan bertahap prednisolon(selama
lebih dari satu bulan) direkomendasikan mengingat persistensi dapsone dalam tubuh
hingga 35 hari.12 Mortalitas setinggi 12-23% telah dilaporkan pada DHS berat.12
Oleh karena itu, indeks kecurigaan yang tinggi untuk diagnosis dini,12 bersama
dengan perawatan yang cepat sangat penting untuk mencegah kematian dan
komplikasi akhir dari fibrosis pulmonal interstisial.12

13
Meskipun tidak ada studi buta ganda yang dilakukan pada keefektifan
glukokortikosteroid oral dalam sindrom dapson, pengalaman anekdotal telah
menyebabkan penggunaannya secara luas.9 Lembaga merekomendasikan
penggunaan kortikosteroid sistemik hanya pada kasus sindrom dapson yang berat.9
Prednisolon dalam kisaran 30 hingga 60 mg per hari dapat diberikan9. Prednisolon
harus secara perlahan diturunkan sementara fungsi organ yang terkena dipantau
secara ketat untuk meminimalkan kekambuhan.9 Karena dapson bertahan hingga 35
hari di organ karena pengikatan protein dan sirkulasi enterohepatik, pengurangan
prednisolon selama periode lebih dari satu bulan diperlukan.9 Dapson harus
dihindari ketika rejimen antileprosy diperkenalkan kembali.9

14
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama : Tn. M.D.I
Umur : 27 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Hamadi
Pekerjaan : Swasta
Pendidikan : SMA
Agama : Kristen Protestan
Status : Menikah
Suku : Jayapura

2.2 Anamnesa
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesa yang dilakukan pada tanggal 05
September 2018, Pukul 11.30 WIT di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD Dok
II Jayapura.
a. Keluhan Utama: bercak-bercak pada kedua lengan dan badan yang terasa gatal
ketika berkeringat.

b. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD Dok II Jayapura diantar
oleh istri dengan tujuan ingin konsultasi kelanjutan pengobatan setelah rawat inap
karena tidak cocok pada pengobatan kusta sebelumnya pada bulan Agustus 2018,
pasien juga mengeluh adanya bercak-bercak kehitaman pada area sekitar wajah
pasien.
Bercak tersebut muncul± 1 tahun yang lalu, diawali dengan bercak-bercak
kemerahan yang kemudian berubah menjadi bercak-bercak kehitaman pada wajah,
kedua lengan, dada dan punggung setelah melakukan pengobatan kusta selama 3

15
bulan. Bercak eritema tersebut diakui pasien timbul pada bulan September 2017 yang
diawali dengan bercak-bercak seperti gambaran peta pada lengan kanan dan lengan
kiri. Kemudian pasien mengaku bercak tersebut lebih tampak merah saat ia sedang
berkeringat dan terasa gatal. Kemudian disusul dengan bercak pada daerah perut dan
punggung pada bulan Oktober 2017 dan disusul pada daerah wajah disertai
penebalan pada telinga ±10 bulan yang lalu. Perubahan lesi sama, dimulai dari
bercak seperti peta kemudian menyebar bergabung membentuk bercak yang lebih
luas. Bercak terasa gatal ketika berkeringat dan akhirnya pada sekitar bulan
Desember 2017 pasien tidak merasakan adanya gatal karena mati rasa.
Pada bulan Januari 2018, pasien pergi berobat ke rumah sakit terdekat dan
melakukan beberapa pemeriksaan, salah satunya pemeriksaan BTA dan kemudian
pasien menjalani pengobatan kusta MDT MB . Pasien mengaku mengkonsumsi obat
tersebut 6 butir pada hari pertama dan 2 butir obat pada hari selanjutnya, dan berhenti
pada bulan Agustus 2018 karena pasien mengeluh badannya tiba-tiba kuning dan
perasaan lemah, nyeri pada persendian, BAK berwarna seperti teh. Pasien mengaku
sempat dirawat di Ruang Penyakit Dalam Pria Dok 2 dengan keluhan bermasalah
pada hati pada bulan Agustus 2018. Pada saat pasien dirawat di Ruang penyakit
dalam , pasien didiagnosis dengan Morbus Hansen + Drug Induced Hepaticum. Pada
saat pasien di rawat, pasien diberikan obat HepaQ, curcuma, injeksi
metilprednisolon, injeksi cefotaxime 3x1gram. Dan pada saat pasien pulang, pasien
diberikan prednisone 5mg 1x6 selama 10 hari, curcuma 3x1 selama 10 hari, dan
omeprazol 2x1 selama 10 hari.
Setelah pasien keluar dari rawat inap ± 3 minggu yang lalu, pasien kembali
berkonsultasi ke polik kulit dn kelamin. Saat ini, pasien merasakan perubahan rasa
pada area yang sebelumnya diakui pasien tidak merasa apa-apa jika disentuh.
c. Riwayat penyakit dahulu
- Riwayat penyakit seperti ini sebelumnya disangkal pasien.
- Asam urat

16
d. Riwayat pengobatan
Pasien sebelumnya sudah berobat (Januari 2018) tetapi berhenti pada bulan
Agustus 2018.
e. Riwayat penyakit keluarga
Dalam keluarga pasien, tidak terdapat penyakit yang sama dengan pasien.
f. Riwayat sosial dan kebiasaan
Pasien adalah seorang pengelola tempat usaha.

2.3 Pemeriksaan Fisik


a. Status generalis
- Keadaan umum : Tampak sakit ringan
- Kesadaran : Compos mentis
- Keadaan gizi : Cukup
- Berat badan : 60 kg
- Tinggi badan : 165 cm
- Tekanan darah : dalam batas normal
- Nadi : dalam batas normal
- Respirasi : dalam batas normal
- Suhu : dalam batas normal
1. Kepala dan Leher
 Kepala : Normocefal, simetris, tidak ada kelainan, warna rambut
hitam, kulit kepala normal, alopesia (-),squama(-),ulkus
(-).

 Muka : Simetris, paresenervus VII (-).

 Mata : Exoftalmus (-/-), konjungtiva anemis(-/-), sclera ikterik


(+/+), edema palpebra (-/-), pupil bulat isokor, reflex
cahaya (+/+), gerakan bola mata baik kesegala arah.

17
 Hidung : Deformitas (-), deviasi (-), krepitasi (-), secret (-/-),
darah (-/-), napas cuping hidung, nyeri tekan sinus (-).

 Telinga : Deformitas (-), sekret (-),nyeri tekan tragus (-), nyeri


tarik (-), tidak teraba benjolan/ pembesaran KGB lokal.

 Mulut : Mukosa bibir lembab, sianosis (-) oral candidiasis (-),


stomatitis (-), caries (-), hipertrofi gusi (-).

 Tenggorokan : Uvula ditengah, tonsil T1-T1 tenang, faring hiperemis


(-).

 Leher : Perubahan warna kulit (-), tidak tampak benjolan dan


tidak teraba benjolan/ pembesaran KGB lokal.

2. Thoraks
a. Paru  Inspeksi : Pergerakan dada simetris, Tidak
terdapat kelainan pada dinding
dada,retraksi (-/-).
 Palpasi : Ekspansi dada (+) Dextra = Sinistra.
 Perkusi : Sonor di seluruh lapang paru.
 Auskultas : Suara napas vesikuler/vesikuler,
i wheezing (-/-), rhonki (-/-).

b. Jantung  Inspeksi : Tidak tampak pulsasi.


 Palpasi : Thrill (-).
 Perkusi : Pekak, Batas jantung normal.
 Auskultas : BJ I dan BJ II reguler, murmur (-),
i gallop (-).

18
3. Abdomen  Inspeksi : Datar, jejas (-).
 Auskultasi : Bising usus (+) normal 5-6 x/menit.
 Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), turgor kulit
kembali cepat, hepar/lien tidak teraba
membesar
 Perkusi : Thimpani.

4. Ekstremitas  Inspeksi : Warna kulit normal, sianosis (-),


ikterik (-).

 Palpasi : Akral hangat, CRT < 2 detik, Udem


tungkai (+).

5. Genitalia  Sex : Laki-laki, tidak dilakukan evaluasi.

Status Dermatologis
 Distribusi: Regional
 Lokasi : Regio wajah, regio antebrachii dextra anterior dan posterior , regio
antebrachii sinistra anterior, regio abdomen.
 Efloresensi:
Tampak makula hiperpigmentasi berukuran sebesar jarum pentul sampai
lentikular dan plak. Pada regio antebrachii sekitar 2 cm x 2 cm. Pada daerah
wajah tampak macula hiperpigmentasi berukuran ± 2x2 cm.
 Bentuk: Teratur (bulat, ada yang lonjong)
 Ukuran: Plakat pada daerah wajah dan antebrachii dekstra dan sinistra, miliar
sampai lentikuler pada daerah abdomen.
 Sifat lesi: Lesi kering, berbatas tegas.

19
Gambar.2.1 Hiperpigmentasi pada Regio ekstremitas superior pada wajah

Gambar 2.2 Bercak hiperpigmentasi pada region antebrachii dextra

2.4 Diagnosis Kerja


Morbus Hansen dengan Sindrom Dapson
2.5 Diagnosis Banding
- Rifampisin hipersensitivitas9
- Mononukleosis menular9
- Reaksi lepra tipe II (erythema nodosum leprosum)9

20
2.6 Penatalaksanaan.
1) Terapi non-medikamentosa yang diberikan adalah menghentikan semua
penggunaan obat yang diduga menjadi penyebab erupsi obat alergi atau yang
berikatan silang.6
2) Terapi medikamentosa yang diberikan:6
- Metilprednisolon setara prednison 50 mg (Metilprednisolon 16-16-8mg);6
Prednisolon dalam kisaran 30 hingga 60 mg per hari dapat diberikan9. Karena
dapson bertahan hingga 35 hari di organ karena pengikatan protein dan sirkulasi
enterohepatik, pengurangan prednisolon selama periode lebih dari satu bulan
diperlukan.9
Manajemen melibatkan penghentian cepat dapson,9,12 steroid sistemik
(prednisolon oral 1 mg / kg / hari atau metilprednisolon intravena dalam dosis
ekuivalen) dengan perawatan suportif.12 Penurunan bertahap prednisolon(selama
lebih dari satu bulan) direkomendasikan mengingat persistensi dapson dalam
tubuh hingga 35 hari.12

2.7 Prognosis
 Quo ad vitam : dubia ad bonam
 Quo ad functionam : dubia ad bonam
 Quo ad sanactionam : dubia ad bonam

21
BAB III
PEMBAHASAN

Sindrom hipersensitivitas obat (SHO) merupakan salah satu reaksi simpang obat
yang berat. Sindrom hipersensitivitas obat ditandai dengan erupsi kulit, demam, dan
keterlibatan organ dalam. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis yang dilakukan di polik kulit dan
kelamin, didapatkan adanya riwayat bercak-bercak yang mati rasa dan setelah
pengobatan 3 bulan bercak terasa gatal terutama saat berkeringat di kedua lengan dan
menyebar ke area abdomen, sekitar 1 tahun yang lalu.
Bercak tersebut muncul ± 1 tahun yang lalu, diawali dengan bercak-bercak
kemerahan yang kemudian berubah menjadi bercak-bercak kehitaman pada wajah,
kedua lengan, dada dan punggung setelah melakukan pengobatan kusta selama 3
bulan. Bercak eritema tersebut diakui pasien timbul pada bulan September 2017 yang
diawali dengan bercak-bercak seperti gambaran peta pada lengan kanan dan lengan
kiri. Kemudian pasien mengaku bercak tersebut lebih tampak merah saat ia sedang
berkeringat dan terasa gatal. Kemudian disusul dengan bercak pada daerah perut dan
punggung pada bulan Oktober 2017 dan disusul pada daerah wajah disertai
penebalan pada telinga ±10 bulan yang lalu. Perubahan lesi sama, dimulai dari
bercak seperti peta kemudian menyebar bergabung membentuk bercak yang lebih
luas. Bercak terasa gatal ketika berkeringat dan akhirnya pada sekitar bulan
Desember 2017 pasien tidak merasakan adanya gatal karena mati rasa.
Pada bulan Januari 2018, pasien pergi berobat ke rumah sakit terdekat dan
melakukan beberapa pemeriksaan, salah satunya pemeriksaan BTA dan kemudian
pasien menjalani pengobatan kusta MDT MB . Pasien mengaku mengkonsumsi obat
tersebut 6 butir pada hari pertama dan 2 butir obat pada hari selanjutnya, dan berhenti
pada bulan Agustus 2018 karena pasien mengeluh badannya tiba-tiba kuning dan
perasaan lemah, nyeri pada persendian, BAK berwarna seperti teh. Pasien mengaku
sempat dirawat di Ruang Penyakit Dalam Pria Dok 2 dengan keluhan bermasalah
pada hati pada bulan Agustus 2018. Pada saat pasien dirawat di Ruang penyakit

22
dalam , pasien didiagnosis dengan Morbus Hansen + Drug Induced Hepaticum. Pada
saat pasien di rawat, pasien diberikan obat HepaQ, curcuma, injeksi
metilprednisolon, injeksi cefotaxime 3x1gram. Dan pada saat pasien pulang, pasien
diberikan prednisone 5mg 1x6 selama 10 hari, curcuma 3x1 selama 10 hari, dan
omeprazol 2x1 selama 10 hari.
Dari status dermatologinya saat ini, didapatkan bercak hiperpigmentasi regional
pada regio ekstremitas superior anterior dan posterior (telah mendapatkan pengobatan
sejak Januari 2018 tetapi putus pengobatan pada Agustus 2018 karena sindrom
hipersensitvitas dapson). Pada regio ekstremitas superior anterior dan posterior
bercak generalisata, berbentuk bulat lonjong, dengan ukuran miliar sebesar jarum
pentul sampai lentikular . Efloresensi miliar sampai lentikuler, batas tegas. Hal ini
sesuai untuk diagnosis Morbus Hansen, dimana dari anamnesis dalam teori yaitu
bercak hipopigmentasi yang mati rasa. Pada gambaran klinis juga sesuai teori yaitu
Morbus Hansen. Sindrom dapson adalah reaksi idiosinkrasi terhadap dapson yang
terjadi dalam 6 hingga 8 minggu setelah memulai pengobatan dengan dapson.
Richardus dan Smith telah menyebutkan kriteria berikut untuk mendiagnosis kasus
hipersensitivitas dapson.

1. Gejala muncul dalam 8 minggu setelah dimulainya dapson dan menghilang


setelah penghentian obat.
2. Gejala tidak dapat dianggap berasal dari obat lain yang diberikan bersamaan
dengan dapson.
3. Gejala-gejala mereka tidak disebabkan oleh reaksi lepra.
4. Tidak ada penyakit lain yang dapat menyebabkan gejala serupa didiagnosis.
5. Dua dari tanda-tanda berikut, gejala hadir - demam, erupsi kulit, limfadenopati,
patologi hati (hepatomegali, ikterus dan / atau LFTs abnormal).

Penegakan diagnosis erupsi obat alergi tipe sindrom hipersensitivitas obat (SHO)
pada pasien ini berdasarkan anamnesis berupa adanya riwayat timbul bercak
kemerahan di badan yang meluas ke lengan dan wajah disertai mata kuning dan

23
demam. terdapat juga keluhan BAK berwarna teh gelap,dan mual kurang lebih sejak
1 bulan yang lalu. Sejak 7 bulan yng lalu sebelum masuk rumah sakit (rawat inap
Agustus 2018), pasien rutin minum obat papan untuk penyakit Morbus Hansen.
Berdasarkan pemeriksaan fisik didapatkan kedua konjungtiva ikterik, pada kedua
lengan atas, dada, perut, punggung tampak makula-plak eritematosa dan
hiperpigmentasi , lentikular-plakat, dengan batas tegas-difus.
Mekanisme terjadinya SHO belum diketahui secara pasti, namun terdapat
beberapa faktor yang mempengaruhinya, yaitu:
1) Pembentukan metabolit aktif dan defek genetik pada metabolisme obat. Beberapa
obat yang menyebabkan SHO akan dimetabolisme menjadi bentuk intermediet reaktif
oksidatif. Terbentuk metabolit toksik akibat metabolisme oksidatif obat oleh enzim
sitokrom P450 dan enzim-enzim oksidatif lain. Metabolit toksik dapat mengalami
proses biotransformasi dan detoksikasi oleh enzim epoxide hydroxylase. Pada pasien
SHO dapat terjadi mutasi atau defisiensi enzim tersebut.
2) Predisposisi genetik. Reaksi SHO dapat berulang pada individu yang sama
terhadap beberapa obat golongan yang sama, contohnya beberapa obat antikonvulsan.
Terjadi peningkatan risiko terjadinya SHO pada anggota keluarga dari generasi
pertama yang dikaitkan dengan ketidakmampuan individu dalam melakukan
metabolisme dan detoksifikasi metabolit obat reaktif secara sempurna. Terdapat
beberapa variasi farmakogenetik pada metabolisme obat, antara lain adalah pada
proses metabolisme asetilasi. Enzim N-asetiltransferase merupakan enzim
metabolisme obat yang menentukan proses asetilasi obat. Variasi genetik enzim
tersebut menunjukkan variasi fenotip asetilator cepat dan lambat. Fenotip asetilator
cepat dapat mencegah individu dari efek tolsol metabolit reaktif obat tertentu,
misalnya antibiotik sulfonamide.
3) Peran sel T obat-spesifik dapat menyebabkan SHO. Obat mampu berikatan secara
kovalen dengan berbagai molekul, termasuk peptida major histocompatibility
complex (MHC).Sel CD4+ obat spesifik dan kadang CD8+ berhubungan dengan
erupsi tersebut.Klon sel CD4+ dan CD8+ menghasilkan interleukin 5 (IL-5) dan
interleukin 4 (IL-4). IL-5 dan IL-3 bersama GM-CSF berperan dalam menginduksi

24
pertumbuhan, diferensisasi, aktivasi, serta merupakan faktor kemotaktik eosinophil.
IL-5 yang dhasilkan diduga sebagai penyebab eosinofilia pada SHO.
Tata laksana erupsi obat alergi yang utama adalah mengindentifikasi obat yang
menjadi penyebab dan menghentikan penggunaan obat yang diduga menyebabkan
reaksi alergi tersebut. Obat yang dapat menjadi penyebab adalah obat yang masih
digunakan pasien dalam satu hingga tiga minggu terakhir sebelum timbul gejala. Pada
kasus ini telah dilakukan kajian penggunaan obat yang digunakan berdasarkan
kronologis waktu dalam enam minggu terakhir. Obat yang diduga menjadi penyebab
SHO adalah dapson, rifampisin, dan klofazimin.
Pengobatan sebelumnya pasien diberikan dapson, tetapi seperti pada teori,
dimana DDS memiliki efek samping salah satunya ialah sindrom DDS dan hepatitis,
maka DDS untuk pasien ini tidak diberikan lagi.
Pemberian kortikosteroid pada SHO bertujuan untuk mengatasi gejala dan
mencegah kerusakan lebih lanjut. Untuk kasus yang ringan dapat diberikan
kortikosteroid sistemik dosis 0,5 hingga 1 mg/kg/hari dan diturunkan bertahap dalam
6 hingga 8 minggu. Pada kasus berat dapat diberikan metilprednisolon 1 hingga 2
mg/kg/hari.2 Pada kasus ini pemberian metilprednisolon 0,5 hingga 1 mg/kg/hari dan
diturunkan bertahap sesuai dengan perbaikan klinis dan laboratoris pasien.

25
BAB IV
KESIMPULAN

1. Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya ialah


Mycobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat. Saraf perifer sebagai
afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas,
kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat.1,5

2. Obat antikusta yang paling banyak dipakai pada saat ini adalah DDS
(diaminodifenil sulfon) kemudian klofazimin, dan rifampisin.1,5 Pada tahun
1998, WHO menambahkan 3 obat antibiotic lain untuk pengobatan alternative,
yaitu ofloksasin, minosiklin dan klaritromisin. Untuk mencegah resistensi,
pengobatan tuberculosis telah menggunakan Multi Drug Treatment (MDT) sejak
1951, sedangkan untuk kusta baru dimulai pada tahun 1971.1

3. Sindrom Dapson adalah suatu bentuk reaksi hipersensitivitas terhadap dapson


atau sulfon yang ditandai dengan demam, erupsi kulit, dan kelainan organ
dalam.11 Dapson merupakan obat antibiotik dan antiinflamasi yang dapat
digunakan untuk pengobatan berbagai penyakit,7,8,12 seperti lepra, malaria,8,12
dermatosis vesikulobulosa, vaskulitis,12 Pneumonitis carinii pneumonia.8 dan
dalam beberapa kondisi dermatologis (dermatosa bulosa, jerawat, vaskulitis kulit
dan dermatitis herpetiformis) dan purpura trombositopenik imun.12

4. Sindrom Dapson pertama kali dikemukakan oleh Allday, Lowe, dan Barres
sebagai reaksi hipersensitivitas vaskulitis sindrom.8 Sindrom dapson telah
dikenal sejak awal terapi sulfon pada lepra.9 Lowe dan Smith melaporkan
tingginya insiden sindrom dapson pada laki-laki dewasa tetapi episode ringan
kecuali dalam beberapa kasus dengan dermatitis eksfoliatif 9. Dari 1956 hingga

26
1980, hanya ada dua laporan tentang sindrom ini.9 Insiden DHS berkisar antara
0,5- 3%,8 dengan angka mortalitas sebesar 10%11.

5. Patogenesis sindrom dapson belum diketahui.8,9 Namun, Allday dan Barnes


melaporkan bahwa itu mungkin karena hipersensitivitas,9 karena ada selang
waktu 5 hingga 6 minggu dari awal terapi dalam setiap kasus.9 Selanjutnya,
Tomecki dan Catalano menyarankan bahwa reaksi hipersensitivitas dapson tidak
terkait dengan dosis.9 Sebaliknya, hepatotoksisitas terkait dengan dosis.9

6. Pemberian kortikosteroid pada SHO bertujuan untuk mengatasi gejala dan


mencegah kerusakan lebih lanjut.6 Tata laksana pada pasien non medikamentosa
yang dilakukan adalah rencana rawat inap,6 pasien disarankan untuk istirahat dan
tirah baring di rumah,6 menghentikan semua penggunaan obat yang diduga
menjadi penyebab erupsi obat alergi atau yang berikatan silang,6 edukasi pasien
untuk jaga higiene dan kebersihan kulit,6 dan melakukan konsultasi ke bagian
Hepatologi Ilmu Penyakit Dalam.6 Kondisi sebagian besar pasien membaik
setelah penghentian terapi dapson.9,12

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Djuanda A,. 2016. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Ed. 7. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta.
2. Goldsmith, A. Lowell, et all. 2012. Fitzpatrick”s Dermatology In General
Medicine. Eight edition. The McGraw-Hill Companies, Inc.
3. Hajar, S. 2017. Morbus Hansen Biokimia dan Imunopatogenesis. Bagian Ilmu
Kesehatan Kulit dan Kelamin Universitas Syiah. Aceh.
4. Darmada,K,G,. 2014. Prevalensi dan Karakteristik Pasien Morbus Hansen Tipe
Multibasilar Yang Mendapat Terapi Clofazimine, Ofloxacin, Dan Minocycline.
Bagian Kulit dan Kelamin RSUP.Denpasar
5. Oentary,W,. 2014. Kapita Selekta Kedokteran. Media Aesculapius. Jakarta Pusat.
6. Anggraini., 2017. Erupsi Obat Alerg: Tinjauan Kasus Sindrom Hipersensitivitas
Obat pada Pasien dalam Pengobatan Morbus Hansen. Fakultas Kedokteran
Universitas Lampung
7. Chama,S., Prabhu,A,. Doddapaneni,S,. et al. 2014. Dapsone Hypersensitivity
Syndrome in a Leprosy Patient. India
8. Kusumastanto, V., Esti, K. 2015. Sindrom Dapson pada Pasien Morbus Hansen.
Indonesia
9. Thappa, DM,. Sethuraman, G. 2000. Dapsone (Sulfone)syndrome (CME). Indian
10. Tian,W,et al. 2012. Dapsone Hypersensitivity Syndrome Among Lepreosy
Patients in China. Department for Leprosy Control. China
11. Martodihardjo,S. 2010. Dapsone Syndrome in A leprosy Patient. Jakarta
12. Vinod, K,V,. Arun,K,. Dutta,K,T,. Dapsone Hypersensitivity Syndrome: A
Rare Life Threatening Complication of Dapsone Therapy.J. Pharmacol
Pharmacother
13. Gokhale, RN,. Sule,RR,. Gharpure, BM. 1992. Dapson Syndrome. Indian

28

You might also like