Professional Documents
Culture Documents
2 Asfiksia Perinatal
Faktor risiko prekonsepsi untuk asfiksia adalah usia maternal lebih dari 35 tahun,
faktor sosial. Riwayat keluarga dengan kejang atau kelainan neurologis lainnya, pengobatan
infertilitas, dan kematian neonatus sebelumnya. Kejadian asfiksia perinatal dapat
dihubungkan dengan faktor resiko antepartum dan intrapartum. Faktor resiko antepartum
diantaranya adalah preeklampsia berat, penyakit tiroid pada kehamilan, malformasi
kongenital, pertubuhan janin terhambat, trauma, presentasi bokong, perdarahan antepartum.
Faktor resiko intrapartum termasuk denyut jantung janin abnormal selama persalinan,
korioamnionitis, ketuban mengandung mekonium, persalinan dengan bantuan alat, anestesi
umum, dan komplikasi persalinan yang berat, seperti ruptur uterus, abruptio plasenta, prolaps
tali pusat, dan fetal exsanguination. Selain itu, asfiksia juga dapat terjadi segera setelah
terjadi persalinan, yang biasanya terjadi akibat adanya kelainan sekunder pada paru-paru,
kardiovaskular, dan neurologis.2,8
2.2.6 Patofisiologi
Ketika aliran darah plasenta terganggu, tubuh janin akan mengompensasi dengan cara
meningkatkan aliran darah ke organ vital (misalnya, otak, miokardium, dan kelenjar adrenal).
Sedangkan untuk organ lainnya seperti ginjal, usus, kulit, dan otot, akan terjadi penurunan
aliran darah. Hal ini dikenal sebagai "diving reflex”, yang diatur oleh beberapa faktor.22
Gambar 7. Mekanisme adaptif dan perubahan sistemik pada gangguan aliran darah plasenta20
Fase cedera neuronal primer ini bersifat reversibel sampai pada titik tertentu.
Resusitasi yang segera dan efektif dapat menyeimbangkan kembali dan memulihkan aliran
darah yang normal ke otak. Namun demikian, asfiksia yang sedang berlangsung akan
mengakibatkan penurunan curah jantung pada miokardium dan penurunan terminal pada
perfusi serebral. Resusitasi dan pemulihan perfusi menyebabkan reperfusi di bagian yang
cedera dan penglepasan metabolit oksigen toksik yang menyebabkan apoptosis seluler,
nekrosis sel, penurunan energi dan cedera neuronal sekunder.21
Gambar 8. Patofisiologi cedera neuronal pada asfiksia perinatal21
Gejala klinis asfiksia perinatal dapat dinilai berdasarkan Skor Apgar. Skor Apgar
adalah suatu indikator klinis yang digunakan untuk menilai keadaan fisik bayi baru lahir.
Pada keadaan hipoksia-iskemia, ataupun keadaan non-asfiksia lainnya seperti prematur dan
infeksi, akan menyebabkan rendahnya skor apgar. Jika berlangsung lama, akan menyebabkan
kematian atau gangguan perkembangan otak yang berat.8
Pada asfiksia perinatal dapat terjadi ensefalopati neonatum, yaitu suatu sindrom
gangguan fungsi neurologis yang terjadi pada awal kehidupan, dengan manifestasi klinis
kesulitan memulai dan mempertahankan pernapasan, berkurangnya tonus dan refleks otot,
penurunan kesadaran, dan sering disertai dengan kejang. Ensefalopati neonatorum paling
sering disebabkan oleh keadaan hipoksia-iskemia, sehingga disebut dengan hipoksia-iskemia
ensefalopati (HIE). Robertson, dkk mendefinisikan HIE sebagai keadan akut ensefalopati
yang disebabkana oleh keadaan hipoksia-iskemia otak pada saat intrapartum dan pospartum.8
Sarnat dan sarnat mengklasifikasikan HIE kedalam 3 tahap: tingkat 1 (mild), tingkat 2
(moderate), dan tingkat 3 (severe). Bayi yang menderita HIE akan memperlihatkan
perubahan kesadaran dan kebiasaan dari iritabilitas, menjadi letargi kemudia stupor/koma.
Gangguan pada tonus otot terjadi dari perningkatan hingga penurunan tonus, yang disertai
gerakan abnormal seperti tremor hingga kejang. Manifestasi klinis lainnya adalah apnea
dengan bradikardi dan penurunan saturasi oksigen, kesulitan makan, menangis kuat,
peningkatan refleks moro dan refleks tendon dalam, serta postural dekortiksai atau desebrasi.8
Pada pemeriksaan fisik bayi baru lahir dilakukan dengan penilaian skor Apgar. Skor
Apgar dinilai pada menit pertama setelah bayi lahir lalu di lanjutkan pada menit kelima.
Interpretasi Skor Apgar terbagi 3, yaitu:2,8
Pada asfiksia perinatal, didapatkan skor apgar <5 pada penilaian yang dilakukan pada menit
ke-5 dan ke-10.2
2. Neuroimaging (Pencitraan)2,22
a. EEG
Dapat memprediksi keadaan klinis termasuk kemungkinan untuk hidup dan sekuele
neurologis jangka panjang, seperti kuadriplegia spastik atau diplegia.
b. USG
Penggunaan USG (ultrasonography) menguntungkan karena nyaman, tidak invasif,
murah, dan tanpa paparan radiasi pada neonatus yang hemodinamis tidak stabil.
Selain itu, USG Doppler kranial dapat menilai resistive index (RI), yang memberikan
informasi perfusi otak. Peningkatan nilai RI menunjukkan prognosis buruk.
c. CT-Scan
CT-scan merupakan modalitas yang paling kurang sensitif untuk menilai HIE karena
tingginya kandungan air pada otak neonatus dan tingginya kandungan protein cairan
serebrospinal mengakibatkan buruknya resolusi kontras parenkim. Selain itu, paparan
radiasinya tinggi. Namun, CT-scan dapat menscreen perdarahan pada neonatus sakit
tanpa sedasi.
d. MRI
MRI merupakan pencitraan yang paling sensitif dan spesifik untuk bayi yang diduga
cedera otak hipoksik-iskemik. Lokasi, distribusi, dan derajat keparahan lesi hipoksik-
iskemik dapat dideteksi oleh MRI (magnetic resonance imaging) dan berhubungan
dengan hasil akhir. MRI pada hari-hari pertama kehidupan juga dapat berguna untuk
prognosis dan membantu pengambilan keputusan seperti terminasi kehidupan.10
MRI juga dapat menyingkirkan penyebab ensefalopati lain, seperti perdarahan, infark
serebral, neoplasma, dan malformasi kongenital.
Gambar 10. Tanda asfiksia perinatal2
2.2.9 Tatalaksana
Prinsip tatalaksana bayi baru lahir yang asfiksia perinatal antara lain:
Perawatan intensif pada bayi baru lahir dengan asfiksia berat dilakukan di
Neonatal Intensive Care Unit (NICU), untuk mencegah komplikasi sekunder dari
keadaan hipoksia-iskemia. Diperlukan tatalaksana awal untuk mencegah kerusakan
otak lebih lanjut dengan cara mengatur suhu, memberi bantuan sistem respirasi dan
cardiovaskular, tatalaksana kejang, menjaga kadar glukosam hematokrit, elektrolit, dan
status asam basa bayi dalam batas normal.8
Beberapa syarat yang harus diperhatikan sebelum melakukan terapi hipotermi :24
2.2.10 Pencegahan
Skrining terhadap kehamilan dengan resiko tinggi merupakan salah satu cara yang
efektif untuk menurunkan resiko asfiksia perinatal. Wanita dengan hipertensi kronik,
trombofilia, penyakit ginjal dan autoimin berisiko tinggi mengalami insufisiensi plasenta.2
Pemeriksaan USG rutin pada trimester kedua (sekitar 20 minggu) merupakan waktu
yang optimal dalam mendeteksi adanya kelainan plasenta, seperti plasenta previa, akreta, atau
vasa previa. Wanita dengan kehamilan resiko tinggi dianjurkan untuk melakukan kpersalinan
dengan seksiso sesaria pada umur kehamilan aterm (37-39 minggu) atau late preterm (34-37
minggu). Adapun wanita dengan riwayat seksio sesaria harus dikonsulkan dengan reisko
ruptur uteri dan komplikasi lainnya. Namun tidak semua kejadian asfiksia perinatal dapat
diprediksi. Pada kasus tersebut diperlukan kemampuan provider untuk menilai kondisi dan
melahirkan bayi dan ibu dengan selamat.2
1. Balogun OA, Sibai BM. Counseling, Management, and Outcome in Women With
Severe Preeclampsia at 23 to 28 Weeks’ Gestation. Clinical obstetrics and
gynecology. 2017 Mar 1;60(1):183-9.
2. Herrera CA, Silver RM. Perinatal asphyxia from the obstetric standpoint: diagnosis
and interventions. Clinics in perinatology. 2016 Sep 30;43(3):423-38.
3. Dhariwal NK, Lynde GC. Update in the Management of Patients with Preeclampsia.
Anesthesiology clinics. 2016 Dec 12.
4. Hariharan N, Shoemaker A, Wagner S. Pathophysiology of hypertension in
preeclampsia. Clinical Practice (Therapy). 2016;13(2).
5. Wardhana MP, Dachlan EG, Dekker G. Pulmonary edema in preeclampsia: an
Indonesian case–control study. The Journal of Maternal-Fetal & Neonatal Medicine.
2017 Mar 1:1-7.
6. Brichant G, Dewandre PY, Foidart JM, Brichant JF. Management of severe
preeclampsia. Acta Clinica Belgica. 2010 Jun 1;65(3):163-9.
7. Aziz A, Mose JC. The Differences of Characteristic, Management, Maternal and
Perinatal Outcomes among Early and Late Onset Preeclampsia. Open Access Library
Journal. 2016 Jun 30;3(06):1.
8. Antonucci R, Porcella A, Pilloni MD. Perinatal asphyxia in the term newborn. Journal
of Pediatric and Neonatal Individualized Medicine (JPNIM). 2014 Oct
21;3(2):e030269.
9. Heida KY, Zeeman GG, Van Veen TR, Hulzebos CV. Neonatal side effects of
maternal labetalol treatment in severe preeclampsia. Early human development. 2012
Jul 31;88(7):503-7.
10. Chalak LF. Perinatal Asphyxia in the Delivery Room: Initial Management and
Current Cooling Guidelines. NeoReviews. 2016 Aug 1;17(8):e463-70.
11. Azzopardi D, Strohm B, Marlow N, Brocklehurst P, Deierl A, Eddama O, Goodwin J,
Halliday HL, Juszczak E, Kapellou O, Levene M. Effects of hypothermia for perinatal
asphyxia on childhood outcomes. New England Journal of Medicine. 2014 Jul
10;371(2):140-9.
12. SB SS, Nair CC, Madhu GN, Srinivasa S, Manjunath MN. Clinical profile and
outcome of perinatal asphyxia in a tertiary care centre. Current Pediatrics. 2015;19(1).
13. World Health Organization. WHO recommendations for Prevention and treatment of
pre-eclampsia and eclampsia. Geneva, 2011.
14. Palei AC, Spradley FT, Warrington JP, George EM, Granger JP. Pathophysiology of
hypertension in pre‐eclampsia: a lesson in integrative physiology. Acta Physiologica.
2013 Jul 1;208(3):224-33.
15. Iriyama T, Wang W, Parchim NF, Song A, Blackwell SC, Sibai BM, Kellems RE,
Xia Y. Hypoxia-Independent Upregulation of Placental Hypoxia Inducible Factor-1α
Gene Expression Contributes to the Pathogenesis of PreeclampsiaNovelty and
Significance. Hypertension. 2015 Jun 1;65(6):1307-15.
16. Zhou CC, Zhang Y, Irani RA, Zhang H, Mi T, Popek EJ, Hicks MJ, Ramin SM,
Kellems RE, Xia Y. Angiotensin receptor agonistic autoantibodies induce pre-
eclampsia in pregnant mice. Nature medicine. 2008 Aug 1;14(8):855-62.
17. Chaiworapongsa T, Chaemsaithong P, Yeo L, Romero R. Pre-eclampsia part 1:
current understanding of its pathophysiology. Nature Reviews Nephrology. 2014 Aug
1;10(8):466-80.
18. Madazli R, Yuksel MA, Imamoglu M, Tuten A, Oncul M, Aydin B, Demirayak G.
Comparison of clinical and perinatal outcomes in early-and late-onset preeclampsia.
Archives of gynecology and Obstetrics. 2014 Jul 1;290(1):53-7.
19. Bolnick JM, Kohan-Ghadr HR, Fritz R, Bolnick AD, Kilburn BA, Diamond MP,
Armant DR, Drewlo S. Altered biomarkers in trophoblast cells obtained
noninvasively prior to clinical manifestation of perinatal disease. Scientific reports.
2016 Sep 23;6:32382.
20. Rainaldi, MS, Jeffey MP. Pathophysiology of Birth Asphyxia. Clinical Perinatololgy.
2016 Sep;43(3):409-22
21. Gunn A J, Thoresen M. Hypothermic Neuroprotection. NeuroRX. 2006;3(2): 154-
169. Dalam: Baral VR, Chan D. Hipotermia Terapeutik untuk Ensefalopati Hipoksik
Iskemik pada Neonatus.
22. Anggriawan A. Tinjauan Klinis Hypoxic Ischemic Ecephalopathy. 2016. CDK-243/
vol. 43 no. 8.
23. Thoresen M,Tooley J, Liu X et al Time Is Brain: Starting Therapeutic Hypothermia
within Three Hours after Birth Improves Motor Outcome in Asphyxiated Newborns
Neonatology 2013;104:228–233
24. Douglas WP, Fernandes CJ. Infants with hypoxic-ischemic encephalopathy may need
to be transported for therapeutic cooling. AAP News 2015;36(10):15