You are on page 1of 27

1.1.

PENDAHULUAN
Warga usia lanjut yang tercantum dalam Undang-Undang no. 13/1998
tentang Kesejahteraan Usia lanjut adalah seseorang yang telah mencapai usia 60
tahun atau lebih. Pada usia 60 tahun ke atas terjadi proses penuaan yang bersifat
universal berupa kemunduran dari fungsi biosel, jaringan, organ, bersifat progesif,
perubahan secara bertahap, akumulatif, dan intrinsik. Proses penuaan
mengakibatkan terjadinya perubahan pada berbagai organ di dalam tubuh seperti
sistem gastrointestinal, sistem genitourinaria, sistem endokrin, sistem
immunologis, sistem serebrovaskular, sistem saraf pusat dan sebagainya. Dengan
bertambahnya usia maka tidak dapat dihindari terjadinya perubahan kondisi fisik
baik berupa berkurangnya kekuatan fisik yang menyebabkan individu menjadi
cepat lelah maupun menurunnya kecepatan reaksi yang mengakibatkan gerak-
geriknya menjadi lamban. Selain itu timbulnya penyakit yang biasanya juga tidak
hanya satu macam tetapi multipel, menyebabkan usia lanjut memerlukan bantuan,
perawatan dan obat-obatan untuk proses penyembuhan atau sekadar
mempertahankan agar penyakitnya tidak bertambah parah.
Terapi pengobatan pada pasien usia lanjut secara signifikan berbeda dari
pasien pada usia muda, karena adanya perubahan kondisi tubuh yang disebabkan
oleh usia, dan dampak yang timbul dari penggunaan obat-obatan yang digunakan
sebelumnya. Keputusan terapi untuk pasien usia lanjut harus didasarkan pada
hasil uji klinik yang secara khusus didesain untuk pasien usia lanjut. Pasien usia
lanjut memerlukan pelayanan farmasi yang berbeda dari pasien usia muda.
Penyakit yang beragam dan kerumitan rejimen pengobatan adalah hal yang sering
terjadi pada pasien usia lanjut. Faktor-faktor inilah yang menyebabkan pasien
mengalami kesulitan dalam mematuhi proses pengobatan mereka sendiri seperti
menggunakan obat dengan indikasi yang salah, menggunakan obat dengan dosis
yang tidak tepat atau menghentikan penggunaan obat.
Untuk mengatasi hal-hal tersebut diatas maka peran profesi apoteker perlu
diubah paradigmanya dari daug oriented menjadi patient oriented yang dikenal
dengan istilah Pharmaceutical Care yang merupakan tanggung jawab profesi
apoteker dalam hal farmakoterapi dengan tujuan meningkatnya kualitas hidup
pasien.

1.2 Tujuan
a. Tujuan umum
Tersedianya Pedoman Pelayanan Farmasi (Tatalaksana Terapi Obat) dalam
penanganan pasien geriatri.

b. Tujuan khusus
- Memandu apoteker dalam melakukan kegiatan pharmaceutical care.
- Memandu dokter dalam memberikan terapi obat yang sesuai.
BAB II

KARAKTERISTIK PASIEN GERIATRI

BERKAITAN DENGAN TERAPI OBAT

Farmakokinetika dan farmakodinamika pada pasien geriatri akan berbeda


dari pasien muda karena beberapa hal, yakni terutama akibat perubahan komposisi
tubuh, perubahan faal hati terkait metabolisme obat, perubahan faal ginjal terkait
ekskresi obat serta kondisi multipatologi. Selain itu, perubahan status mental dan
faal kognitif juga turut berperan dalam pencapaian hasil pengobatan. Tidak dapat
dipungkiri bahwa aspek psikososial juga akan mempengaruhi penerimaan pasien
dalam terapi medikamentosa.

2.1. PERUBAHAN FARMAKOKINETIKA


Oral bioavailability
Sejak 60 tahun yang lalu Vanzant dkk (1932) telah melaporkan terjadinya
aklorhidria (berkurangnya produksi asam lambung) dengan bertambahnya usia
seseorang. Aklorhidria terdapat pada 20-25% dari mereka yang berusia 80 tahun
dibandingkan dengan 5% pada mereka yang berusia 30 tahun-an. Maka obat-obat
yang absorbsinya di lambung dipengaruhi oleh keasaman lambung akan
terpengaruh seperti: ketokonazol, flukonazol, indometasin, tetrasiklin dan
siprofloksasin.
Akhir-akhir ini dibicarakan pengaruh enzim gut-associated cytochrom P-
450. Aktivitas enzim ini dapat mempengaruhi bioavailability obat yang masuk per
oral. Beberapa obat mengalami destruksi saat penyerapan dan metabolisme awal
di hepar (first-pass metabolism di hepar); obat-obat ini lebih sensitif terhadap
perubahan bioavailability akibat proses menua. Sebagai contoh, sebuah obat yang
akibat aktivitas enzim tersebut mengalami destruksi sebanyak 95 % pada first-
pass metabolism, sehingga yang masuk ke sirkulasi tinggal 5 %; jika karena
proses menua destruksi obat mengalami penurunan (hanya 90 %) maka yang
tersisa menjadi 10% dan sejumlah tersebut yang masuk ke sirkulasi. Jadi akibat
penurunan aktivitas enzim tersebut maka destruksi obat berkurang dan dosis yang
masuk ke sirkulasi meningkat dua kali lipat. Obat dengan farmakokinetik seperti
kondisi tersebut di atas disebut sebagai obat dengan high first-pass effect;
contohnya nifedipin dan verapamil.

Distribusi obat (pengaruh perubahan komposisi tubuh & faal organ akibat
penuaan)
Sesuai pertambahan usia maka akan terjadi perubahan komposisi tubuh.
Komposisi tubuh manusia sebagian besar dapat digolongkan kepada komposisi
cairan tubuh dan lemak tubuh. Pada usia bayi, komposisi cairan tubuh tentu masih
sangat dominan; ketika beranjak besar maka cairan tubuh mulai berkurang dan
digantikan dengan massa otot yang sebenarnya sebagian besar juga berisi cairan.
Saat seseorang beranjak dari dewasa ke usia lebih tua maka jumlah cairan tubuh
akan berkurang akibat berkurangnya pula massa otot. Sebaliknya, pada usia lanjut
akan terjadi peningkatan komposisi lemak tubuh. Persentase lemak pada usia
dewasa muda sekitar 8-20% (laki-laki) dan 33% pada perempuan; di usia lanjut
meningkat menjadi 33% pada laki-laki dan 40-50% pada perempuan. Keadaan
tersebut akan sangat mempengaruhi distribusi obat di dalam plasma. Distribusi
obat larut lemak (lipofilik) akan meningkat dan distribusi obat larut air (hidrofilik)
akan menurun. Konsentrasi obat hidrofilik di plasma akan meningkat karena
jumlah cairan tubuh menurun. Dosis obat hidrofilik mungkin harus diturunkan
sedangkan interval waktu pemberian obat lipofilik mungkin harus dijarangkan.
Kadar albumin dan a1-acid glycoprotein juga dapat mempengaruhi distribusi obat
dalam tubuh. Hipoalbuminemia sesungguhnya tidak semata-mata disebabkan oleh
proses menjadi tua namun juga dapat disebabkan oleh penyakit yang diderita.
Tinggi rendahnya kadar albumin terutama berpengaruh pada obat-obat yang
afinitasnya terhadap albumin memang cukup kuat seperti naproxen.
Kadar naproxen bebas dalam plasma sangat dipengaruhi oleh afinitasnya
pada albumin. Pada kadar albumin normal maka kadar obat bebas juga normal;
pada kadar albumin yang rendah maka kadar obat bebas akan sangat meningkat
sehingga bahaya efek samping lebih besar.
Metabolic Clearance
A. Faal hepar
Massa hepar berkurang setelah seseorang berumur 50 tahun; aliran darah
ke hepar juga berkurang. Secara umum metabolisme obat di hepar
(biotransformasi) terjadi di retikulum endoplasmik hepatosit, yaitu dengan
bantuan enzim mikrosom. Biotransformasi biasanya mengakibatkan molekul obat
menjadi lebih polar sehingga kurang larut dalam lemak dan mudah dikeluarkan
melalui ginjal.
Reaksi kimia yang terjadi dibagi dua yaitu reaksi oksidatif (fase 1) dan
reaksi konyugasi (fase 2). Reaksi fase satu dapat berupa oksidasi, reduksi maupun
hidrolisis; obat menjadi kurang aktif atau menjadi tidak aktif sama sekali. Reaksi
fase 1 (melalui sistem sitokhrom P-450, tidak memerlukan energi) biasanya
terganggu dengan bertambahnya umur seseorang. Reaksi fase dua berupa
konyugasi molekul obat dengan gugus glukuronid, asetil atau sulfat; memerlukan
energi dari ATP; metabolit menjadi inaktif. Reaksi fase 2 ini tidak mengalami
perubahan dengan bertambahnya usia. Reaksi oksidatif dipengaruhi pula oleh
beberapa hal seperti: merokok, indeks ADL's (= Activities of Daily Living)
Barthel serta berat ringannya penyakit yang diderita pasien geriatri. Keadaan-
keadaan tersebut dapat mengakibatkan kecepatan biotransformasi obat berkurang
dengan kemungkinan terjadinya peningkatan efek toksik
obat.

B. Faal ginjal
Fungsi ginjal akan mengalami penurunan sejalan dengan pertambahan
umur. Kalkulasi fungsi ginjal dengan menggunakan kadar kreatinin plasma tidak
tepat sehingga sebaiknya menggunakan rumus Cockroft-Gault,
CCT = (140-umur) x BB (kg) (dalam ml/menit)
––––––––––––––––
72 x [kreatinin] plasma
dikali 0,85 untuk pasien perempuan.
GFR dapat diperhitungkan dengan mengukur kreatinin urin 24 jam;
dibandingkan dengan kreatinin plasma. Dengan menurunnya GFR pada usia lanjut
maka diperlukan penyesuaian dosis obat; sama dengan pada usia dewasa muda
yang dengan gangguan faal ginjal. Penyesuaian dosis tersebut memang tak ada
patokannya yang sesuai dengan usia tertentu; namun pada beberapa penelitian
dipengaruhi antara lain oleh skor ADL’s Barthel. Pemberian obat pada pasien
geriatri tanpa memperhitungkan faal ginjal sebagai organ yang akan
mengekskresikan sisa obat akan berdampak pada kemungkinan terjadinya
akumulasi obat yang pada gilirannya bisa menimbulkan efek toksik.
Patokan penyesuaian dosis juga dapat diperoleh dari informasi tentang
waktu paruh obat.
T 1/2 = 0,693 x volume distribusi
––––––––––––––
clearance
contoh: antipyrine, distribusi plasma menurun, clearance juga menurun
sehingga hasil akhir T 1/2 tidak berubah. Sebaliknya pada obat flurazepam,
terdapat sedikit peningkatan volume distribusi dan sedikit penurunan clearance
maka hasil akhirnya adalah meningkatnya waktu paruh yang cukup besar.

2.2. PERUBAHAN FARMAKODINAMIKA


Sensitivitas jaringan terhadap obat juga mengalami perubahan sesuai
pertambahan umur seseorang. Mempelajari perubahan farmakodinamik usia lanjut
lebih kompleks dibanding farmakokinetiknya karena efek obat pada seseorang
pasien sulit di kuantifikasi; di samping itu bukti bahwa perubahan
farmakodinamik itu memang harus ada dalam keadaan bebas pengaruh efek
perubahan farmakokinetik. Perubahan farmakodinamik dipengaruhi oleh
degenerasi reseptor obat di jaringan yang mengakibatkan kualitas reseptor
berubah atau jumlah reseptornya berkurang.
Berikut ini disampaikan beberapa contoh obat yang sering digunakan pada
usia lanjut dengan beberapa pertimbangan sesuai respons yang bisa berbeda:
1. Warfarin: perubahan farmakokinetik tak ada, maka perubahan respon yang ada
adalah akibat perubahan farmakodinamik. Sensitivitas yang meningkat adalah
akibat berkurangnya sintesis faktor-faktor pembekuan pada usia lanjut.
2. Nitrazepam: perubahan respons juga terjadi tanpa perubahan farmakokinetik
yang berarti. Hal ini menunjukkan bahwa pada usia lanjut sensitivitas terhadap
nitrazepam memang meningkat. Lebih lanjut data menunjukkan bahwa pemberian
diazepam intravena pada pasien usia lanjut memerlukan dosis yang lebih kecil
dibandingkan pasien dewasa muda, selain itu efek sedasi yang diperoleh memang
lebih kuat dibandingkan pada usia dewasa muda.
3. Triazolam: pemberian obat ini pada warga usia lanjut dapat mengakibatkan
postural sway-nya bertambah besar secara signifikan dibandingkan dewasa muda.
Sensitivitas obat yang berkurang pada usia lanjut juga terlihat pada pemakaian
obat propranolol. Penurunan frekuensi denyut nadi setelah pemberian propranolol
pada usia 50-65 tahun ternyata lebih rendah dibandingkan mereka yang berusia
25-30 tahun. Efek tersebut adalah pada reseptor b1; efek pada reseptor b2 yakni
penglepasan insulin dan vasodilatasi akibat pemberian isoprenalin tidak terlihat.
Perubahan sensitivitas menunjukkan bahwa terdapat perubahan pada
pasca-reseptor intraselular.

2.3. KARAKTERISTIK LAIN YANG BERKAITAN DENGAN TERAPI


OBAT
Selain jenis penyakit yang berbeda, pada kelompok pasien berusia lanjut
juga terjadi apa yang disebut sebagai multipatologi; satu pasien menderita
beberapa penyakit. Keadaan ini bisa lazim terjadi pada kelompok populasi pasien
berusia lanjut mengingat pada perjalanan hidup mereka bisa menderita suatu
penyakit yang akan cenderung menahun, dan disusul oleh penyakit lain yang juga
cenderung menahun akibat pertambahan usia, demikian seterusnya. Di tengah
perjalanannya bukan tidak mungkin seorang pasien mengalami kondisi akut
seperti pneumonia atau infeksi saluran kemih yang mengakibatkan ia harus
dirawat. Kondisi akut yang terjadi pada seseorang dengan berbagai penyakit
kronik degeneratif acap kali menambah daftar obat yang harus dikonsumsi pasien.
Pada beberapa situasi memang jumlah obat yang diberikan kepada pasien
bisa lebih dari dua macam, lebih dari tiga macam, ataubahkan lebih dari empat
macam. Hal ini terkait dengan multipatologi yang merupakan salah satu
karakteristik pasien geriatri. Namun demikian tetap harus diingat bahwa semakin
banyak obat yang diberikan maka semakin besar pula risiko untuk terjadinya efek
samping; dan yang lebih berbahaya lagi adalah bertambah pula kemungkinan
terjadinya interaksi di antara obat-obat tersebut. Faktor lain yang dapat
dikemukakan di sini adalah bahwa masih terdapat banyak kecenderungan untuk
secepat mungkin mengatasi semua gejala, yang sayangnya tanpa sengaja mungkin
telah melanggar prinsip cost effectiveness.
Keadaan multipatologi di atas sebenarnya tidak boleh diidentikkan dengan
multifarmasi atau yang lebih lazim dikenal dengan istilah polifarmasi. istilah
polifarmasi sendiri sebenarnya masih diartikan secara beragam oleh beberapa ahli.
Beberapa definisi antara lain: 1) meresepkan obat melebihi indikasi klinik; 2)
pengobatan yang mencakup setidaknya satu obat yang tidak perlu; 3) penggunaan
empiris lima obat atau lebih (Michocki,2001). Apapun definisi yang digunakan,
yang pasti adalah polifarmasi mengandung risiko yang lebih besar dibandingkan
dengan manfaat yang dapat dipetik sehingga sedapat mungkin dihindari
(Barenbeim,2002). Beberapa data dapat dikemukakan di sini: Linjakumpu (2002)
mendapatkan dari dua survey sepanjang tahun 1990-1991 dan 1998-1999 bahwa
terjadi peningkatan persentase pasien dengan polifarmasi yaitu dari 19% menjadi
25% (p=0.006). Jumlah obat yang dikonsumsi juga meningkat dari 3 obat menjadi
4 obat (p=0,0001); obat tersering digunakan adalah obat kardio-vaskuler, terutama
pada kelompok berusia 85 tahun ke atas, khususnya perempuan.
Penelitian lain (Hohl, 2001) mendapatkan bahwa dari 283 kasus (terpilih
secara acak) gawat darurat pada pasien berusia lanjut ternyata saat itu
menggunakan rata-rata lebih dari 4 obat. Efek samping obat merupakan 10,6%
dari seluruh penyebab datangnya pasien ke unit gawat darurat tersebut. Lima
puluh persennya setidaknya meminum satu obat yang potensial menimbulkan efek
samping membahayakan. Jenis obat tersering digunakan (yang mengakibatkan
efek samping) adalah NSAID, antibiotik, antikoagulan, diuretik, obat
hipoglikemik dan penyekat beta. Di Poliklinik Geriatri Departemen llmu
Penyakit Dalam RS Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM), tercatat sebanyak 32,3%
pasien menggunakan lebih dari lima obat pada tahun 1999; di tahun berikutnya,
terdapat 21,8% pasien dengan polifarmasi, dan pada tahun 2001 turun menjadi
15,6%. Masalah yang dapat timbul akibat pemberian obat pada pasien geriatri
adalah sindroma delirium atau acute confusional state. Tune (1999) menyebutkan
bahwa drug induced delirium adalah penyebab tersering dari sindroma ini yang
mekanismenya:1) akibat perubahan metabolisme obat terkait usia; 2) polifarmasi;
3) interaksi beberapa obat; 4) kekacauan pengobatan karena pasien sulit
mengingat; 5) penurunan produksi dan turnover neurotransmiter terkait usia.
Disebutkan pula bahwa efek kumulatif obat antikolinergik paling sering
menimbulkan sindroma delirium; seperti diketahui bahwa neurotransmisi
kolinergik memang menurun sejalan dengan penambahan umur seseorang.
Ternyata, beberapa obat yang sebenarnya bukan tergolong antikolinergik namun
jika diberikan pada usia lanjut akan memberikan efek antimuskarinik; beberapa
diantaranya adalah simetidin, ranitidin, prednisolon, teofilin, digoksin, lanoksin,
furosemid, isosorbid-dinitrat dan nifedipin. Semakin banyak obat yang diberikan
maka semakin besar pula kemungkinan efek antikolinergik yang bisa muncul.
Selain masalah di atas, kemungkinan interaksi di antara berbagai obat
yang digunakan juga harus diwaspadai. Semakin banyak obat yang digunakan
maka semakin banyak pula kemungkinan interaksi obat. Jumlah kemungkinan
interaksi pada N obat dapat dihitung dengan menggunakan rumus N x (N 1)/2.
Jadi, enam obat saja dapat menimbulkan 15 interaksi. Suatu penelitian
melaporkan jumlah pasien dengan kemungkinan interaksi sebanyak 2,4% dengan
2 obat, 8,8% dengan 3 obat, 22,7% dengan 6 obat dan 55,8% dengan 12 obat.
Tidak semua kemungkinan interaksi obat menunjukkan gejala klinik (Smonger,
Burbank, 1995)
Mekanisme interaksi obat yang sudah dikenal terutama berhubungan
dengan metabolisme obat di hepar. Metabolisme obat ini melalui jalur yang
dibantu oleh sistem enzim sitokrom P-450 (CYP) dengan berbagai isoenzimnya.
Beberapa contoh dapat dikemukakan di sini: pemberian rifampisin akan
meningkatkan kerja CYP sehingga asetaminofen yang diberikan akan lebih cepat
dimetabolisme, maka efektifitasnya menurun; hal yang sama pada pemberian
lansoprazol atau omeprazol yang juga meningkatkan CYP, pada gilirannya akan
mempercepat metabolisme teofilin yang diberikan bersamaan sehingga dosis
lazim teofilin menjadi tak efektif. Sebaliknya, jika pasien menerima obat
simetidin, fluoroquinolon, verapamil atau amiodaron yang semuanya bersifat
menghambat CYP, maka pemberian bersamaan dengan asetaminofen, teofilin,
diazepam, haloperidol, penyekat beta, antidepresan trisiklik dan SSRl (= Selective
Serotonin Reuptake Inhibitor) akan meningkatkan toksisitas obat-obat yang
disebutkan terakhir (Schwartz, 1999).

Beberapa gejala iatrogenesis (gejala atau penyakit yang muncul akibat


tindakan tenaga medis, antara lain meresepkan obat) yang sering muncul adalah
perdarahan lambung (tersering akibat NSAID dan bisfosfonat, terutama jika tanpa
penjelasan yang memadai, dan diberikan bersamaan dengan warfarin atau aspirin),
mual muntah dan aritmia akibat intoksikasi digitalis (terutama jika diberikan
bersama diuretik tanpa memantau kadar elektrolit maupun digitalis plasma),
hipotensi ortostatik sampai jatuh dan fraktur (terutama akibat pemberian teofilin
bersamaan dengan antihipertensi kerja sentral yang diberikan pagi hari),
perubahan atau gangguan kesadaran akibat obat hipnotik sedatif (pemberian obat
kerja panjang atau yang diberikan bersamaan dengan antidepresan golongan non
SSRI, antagonis H-2, atau diuretik kuat) (Flaherty, 2000).
Pada tahun 2001, ruang rawat akut geriatri Departemen llmu Penyakit
Dalam RSCM merawat dua pasien hematemesis melena akibat bifosfonat dan
warfarin, dua orang pasien hematemesis melena akibat aspirin dan NSAID, satu
orang pasien hematemesis melena akibat steroid dan warfarin, tiga orang pasien
sindroma delirium (dua pasien akibat diuretik dan diet terlalu ketat rendah garam
ditambah susu formula, satu pasien akibat pemakaian antibiotik), empat orang
pasien instabilitas dan jatuh akibat obat (benzodiazepin, furosemid, klonidin). Dua
orang pasien berobat jalan masing-masing berusia 68 tahun dan 74 tahun
melaporkan keluhan insomnia, asthenia, perubahan suasana hati seperti depresi
setelah meminum obat antihipertensi golongan penyekat jalur kalsium (calcium
channel blocker) dan golongan penghambat ACE (angiotensin converting
enzyme).
Kondisi lain yang patut dicermati adalah, gejala dan tanda pada pasien
geriatri sering sekali menyimpang dari yang klasik. Dalam berbagai kepustakaan
disebutkan bahwa sindroma delirium, jatuh, inkontinensia urin, vertigo, muntah
dan diare sering merupakan gejala yang mengakibatkan keluarga membawa
pasien geriatri ke rumah sakit. Saat diagnosis ditegakkan ternyata masalahnya
tidak berhubungan dengan keluhan utama. Kondisi seperti ini mengakibatkan
dokter yang kurang berpengalaman akan memiliki kecenderungan mengobati
semua gejala dan tanda yang muncul sehingga menambah daftar obat menjadi
lebih panjang lagi.
Jika dicermati lebih lanjut sesungguhnya akan terlihat bahwa dengan
mengobati penyakit atau masalah utamanya maka beberapa gejala dan tanda lain
yang semula diduga sebagai masalah terpisah akan teratasi dengan sendirinya.
Dalam hal ini dibutuhkan kejelian, ketelitian dan pengendalian keinginan untuk
senantiasa mengobati semua gejala secepatnya-sebuah fenomena yang sering
terjadi baik pada dokter maupun pasien tanpa memperhatikan prinsip cost
effectiveness. Pengaruh kondisi mental dan kognitif: depresi dan penurunan faal
kognitif (atau sampai demensia) akan mempunyai dampak antara berupa tidak
akuratnya informasi obat-obat apa yang selama ini dikonsumsi. Di sisi lain,
informasi obat-obat yang dipakai adalah sangat penting dalam rangka
menghindarkan diri dari kecenderungan polifarmasi dan efek interaksi obat. Pada
kondisi ini maka kehadiran pendamping (keluarga atau pelaku rawat) menjadi
penting karena bisa menjembatani antara minimnya informasi dan keperluan data
lengkap. Jika pasien telah mendapatkan obat yang diperlukan, masalahnya belum
selesai, compliance atau kepatuhan minum obat akan sangat dipengaruhi oleh
tingkat gangguan faal kognitif maupun emosi seseorang.
Depresi dan kepikunan akan mempengaruhi kepatuhan minum obat
sehingga efek maksimal yang diharapkan bisa terganggu. Telah dibicarakan
beberapa perubahan fisiologik dan kondisi multipatologi yang bisa berpengaruh
terhadap hasil pengobatan pasien geriatri. Aklorhidria, perubahan first-pass
metabolism, afinitas terhadap albumin, metabolisme oksidatif dan konyugatif di
hepar serta penurunan faal ginjal akan mempengaruhi farmakokinetika obat.
Perubahan komposisi tubuh di usia lanjut juga besar pengaruhnya terhadap efek
obat. Perubahan reseptor obat di jaringan akan banyak berpengaruh terhadap
farmakodinamika obat yang sampai saat ini masih sulit dikuantifikasi. Beberapa
aspek yang juga harus diperhatikan adalah adanya pengaruh faktor emosi dan
penurunan faal kognitif terhadap hasil pengobatan secara keseluruhan.
BAB III

PEDOMAN TATALAKSANA PELAYANAN FARMASI

UNTUK PASIEN GERIATRI

3.1. PEDOMAN KERJA TIM TENAGA KESEHATAN


Tujuan: Terciptanya suatu tim terpadu dengan konsep interdisiplin dalam
penanganan pasien geriatri.
Mengelola pasien geriatri yang kompleks permasalahannya memerlukan
kiat-kiat tertentu; setidaknya diperlukan kinerja yang efektif melalui sebuah Tim
Tenaga Kesehatan. Tim Tenaga Kesehatan yang bekerja di rumah sakit harus
memahami bahwa hasil kerja yang diharapkan senantiasa berorientasi kepada
pasien dan dalam mencapainya tidak terjebak ke dalam persaingan antar disiplin
ilmu yang terkait. Harus disadari bahwa hasil yang dicapai melalui kinerja tim
akan lebih baik dari pada jika masing-masing pihak yang terlibat bekerja sendiri
sendiri (terkotak-kotak). Sekali Tim Tenaga Kesehatan telah terbentuk maka
sebenarnya tidak serta merta akan diperoleh hasil kerja yang baik; dalam tim yang
bekerja dengan menerapkan konsep interdisiplin dibutuhkan pemahaman yang
mendalam perihal aturan main yang disepakati bersama, koordinasi dan batas
otoritas untuk menyampaikan ekspertise keilmuan masing-masing.
Tim Tenaga Kesehatan untuk pasien geriatri di rumah sakit lazim disebut
sebagai Tim Terpadu Geriatri yang terdiri atas internis, dokter spesialis
rehabilitasi medik, psikiater, dokter gigi, ahli gizi, apoteker, perawat dan tim
rehabilitasi medik. Keanggotaan Tim Terpadu Geriatri dan kelengkapan disiplin
ilmu yang terlibat bisa disesuaikan dengan kondisi setiap rumah sakit.
Pembentukan Tim Terpadu Geriatri merupakan proses yang berlangsung
dimana tugas atau tanggung jawab setiap anggota dijabarkan; kemudian peran dan
kewajiban masing-masing juga dielaborasi dan disepakati bersama. Setiap tahap
dalam pembentukan sebuah tim harus menilik kepada penjabaran peran setiap
anggotanya; terutama jika ada anggota tim yang baru. Karena karakteristik pasien
geriatri maka jenis tim yang dibentuk mengacu kepada konsep tim interdisiplin
dimana orientasi pada kepentingan pasien benar-benar terjamin untuk
diimplementasikan.
a. Beberapa tahap pembentukan Tim Terpadu Geriatri:
Tahap 1 (Forming): anggota yang akan bergabung berkumpul untuk pertama
kalinya; menyatakan kesepakatan bersama tentang pentingnya pembentukan tim
ini. Seluruh ide dasar/ide awal dijabarkan; semua keinginan dan impian tiap
anggota diuraikan dengan jelas agar masing-masing memahami buah pikiran
setiap anggota.
Tahap 2 (Norming): mulai melakukan pendefinisian, penjabaran, penguraian lebih
rinci tentang peran, kewajiban dan tugas masingmasing. Setiap anggota akan
melihat kemungkinan terdapatnya tumpang tindih dari berbagai peran masing-
masing sehingga konflik bisa terjadi. Proses pemahaman tentang kemungkinan
perselisihan akibat tumpang tindih tugas dapat diatasi manakala terungkap adanya
tujuan bersama yang harus dicapai, yakni kesembuhan dan pemulihan pasien
secara paripurna. Konflik masih potensial timbul karena masing-masing disiplin
merasa paling memiliki kompetensi (atau setidaknya lebih kompeten dari pada
disiplin lainnya). Perbedaan latar belakang pendidikan/pelatihan dan
kuranglancarnya komunikasi disadari merupakan hal yang harus diselesaikan
dengan bijak. Keadaan ini diatasi dengan mengedepankan pengertian dan
pendekatan interdisiplin serta pentingnya komunikasi antara anggota sebagai
landasan tercapainya pengertian bersama. Kesepakatan tercapai karena masing-
masing anggota temyata mempunyai visi yang sama. Akhimya Tim Terpadu
Geriatri yang kompak bisa melakukan konsolidasi, keberadaan Ketua Tim lebih
bersifat fungsional. Tujuan, visi, misi dan program kerja serta rencana kerja dapat
segera disusun bersama; selanjutnya agenda kerja dan cara mengukur keberhasilan
kerja Tim Terpadu Geriatri mulai dijabarkan secara rinci.
Tahap 3 (Performing): Ketua Tim menegaskan kembali pengertian pendekatan
interdisiplin yang berbeda dari multidisiplin, paradisiplin maupun pandisiplin.
Selain itu, perbedaan yang ada dapat disikapi dengan tingkat toleransi yang tinggi
dan dianggap sebagai aset positif. Setiap anggota saling membantu dan saling
mendukung; mereka berpartisipasi aktif dan self-initiated. Pertemuan teratur,
secara berkala dapat dilaksanakan dengan baik dan tingkat kehadiran yang tinggi.
Hubungan antar anggota semakin baik; rasa saling percaya tumbuh semakin kuat.
Konflik yang kadang-kadang bisa muncul maupun kritikan tajam dianggap
sebagai sarana untuk meningkatkan keberhasilan program kerja. Tingkat
produktivitas dan aktivitas problem solving semakin meningkat.
Tim Terpadu Geriatri yang sudah terbentuk harus tetap mampu melibatkan
diri secara aktif dalam berbagai upaya di rumah sakit maupun program lain yang
berbasis komunitas. Hal tersebut penting mengingat keberadaan tim ini tidak
boleh hanya sebatas formalitas. Penting pula untuk dipahami beberapa aspek yang
berperan menunjang keberadaan Tim Terpadu Geriatri rumah sakit. Berikut ini
disampaikan beberapa aspek yang berperan pada pembentukan /berlangsungnya
kinerja Tim Terpadu Geriatri:
a. Aspek profesional/personal
b. Aspek intra-tim
c. Aspek organisasi/institusional
d. Mempertahankan tim (team maintenance)

Aspek profesional/personal:
a. Menyangkut bagaimana keinginan dan komitmen setiap anggota untuk
bergabung ke dalam tim ini dan meningkatkan kinerjanya.
b. Komitmen untuk memahami dan mempelajari ranah pengetahuan disiplin lain.
c. Komitmen di atas ditujukan untuk mempererat jalinan hubungan kerja yang
seimbang dan memperkecil jurang perbedaan serta mempermudah komunikasi
karena diharapkan setiap anggota mempunyai bahasa yang sama dalam
menanggapi persoalan pasien secara bersama.
d. Keterbukaan pikiran untuk senantiasa menerima hal-hal baru.
e. Memadukan ekspertise disiplin dengan kebutuhan pasien dan keluarga.
f. Pengembangan pendekatan interdisiplin bersama-sama dengan anggota tim
yang lain.
Aspek intra-tim:
a. Kesepakatan tentang tempat kerja bersama dan interaksi formal maupun
informal.
b. Memaksimalkan komunikasi (pertemuan rutin; teknologi komunikasi).
c. Kepemimpinan fungsional secara kolektif.
d. Pencapaian tujuan bersama.
e. Memaksimalkan pendekatan secara interdisiplin.
f. Masing-masing memahami peran setiap anggota.
g. Manajemen konflik yang efektif; setiap konflik adalah sehat dan membangun.

Aspek organisasi/institusional:
a. Organisasi/institusi tempat kerja (rumah sakit) memahami konsep penanganan
pasien secara interdisiplin.
b. Dukungan yang konsisten dari rumah sakit.
c. Organisasi di luar tim ini mengenal keberadaan Tim Terpadu Geriatri dan
bersedia bekerja sama untuk kepentingan pasien.

Aspek mempertahankan tim:


a. Tim memperbaiki kinerjanya secara terus menerus dan berkesinambungan
(prosesnya, protokol-protokol, produk-produk lain).
b. Tim berupaya mendorong minat dan kinerja anggota (yang baru maupun yang
lama).
c. Tim menunjukkan kinerja kepemimpinan fungsional kolektif kepada anggota
baru.
d. Harus ada umpan balik secara jujur, terbuka dan obyektif dari setiap
anggota/eksternal.

Jika filosofi dan tahap-tahap pembentukan Tim Terpadu Geriatri di rumah


sakit telah dipahami maka langkah selanjutnya adalah bagaimana menerapkannya
dalam praktik sehari-hari. Pedoman peresepan yang akan disampaikan kemudian
merupakan salah satu bentuk contoh produk yang seharusnya muncul setelah Tim
tersebut terbentuk.

3.2. PEDOMAN PERESEPAN


Tujuan: Pasien mendapatkan obat yang sesuai dengan indikasi klinik,
efektif, aman dan mudah untuk dipatuhi rejimennya.
Bagaimana meresepkan obat untuk pasien geriatri? Mungkinkah
menghindari polifarmasi? Bagaimana menentukan prioritasnya? Jawabannya tidak
semudah yang dibayangkan. Pertimbangan akan kebutuhan, indikasi,
kontraindikasi dan keperluan serta tujuan pengobatan menjadi penting. Tujuan
pengobatan tidak selalu harus berdasarkan sudut pandang dokter, namun selain
penemuan obyektif, perlu pula diingat akan pentingnya pendapat pasien dan
keluarga tentang tujuan pengobatan sebelum dokter memutuskan memberikan
rejimen pengobatan.
Dokter yang menangani pasien geriatri lazimnya tidak bekerja sendiri
karena kompleksitas masalah medik dan non medik yang ada. Beberapa dokter
dan tenaga kesehatan lain akan bekerja bersama dan sebaiknya di dalam sebuah
tim terpadu yang bekerja dengan prinsip interdisiplin dan bukan sekadar
multidisiplin apalagi paradisiplin. Kelebihan sistem interdisiplin ini antara lain
adalah memungkinkannya pemantauan terus menerus jumlah dan jenis obat yang
diberikan sehingga berbagai pihak akan secara otomatis mempunyai
kecenderungan saling mengingatkan. Pencapaian tujuan bersama sangat
memungkinkan terjalinnya kerja sama yang baik demi kepentingan pasien. Saling
keterlibatan yang intens dari masing-masing disiplin akan memperbesar peluang
rejimen pengobatan yang lebih efisien sehingga pada gilirannya akan mampu
menekan polifarmasi. Setiap dokter yang terlibat senantiasa dituntut untuk
mengevaluasi pengobatannya secara rutin; obat yang sudah tidak diprioritaskan
akan diganti dengan obat lain yang lebih utama atau dapat dihilangkan dari daftar
obat manakala masalah lain menjadi lebih tinggi skala prioritasnya. Dengan
demikian maka efektivitas dan keamanan pengobatan bagi setiap pasien akan
lebih terjamin .
Beberapa langkah praktis berikut ini mungkin dapat lebih memudahkan
bagi setiap dokter dan tenaga kesehatan lain yang terlibat:
a. Mencatat semua obat yang dipakai saat ini (resep dan nonresep, termasuk jamu)
b. Mengenali nama generik dan golongan obat
c. Mengenali indikasi klinik untuk setiap obat
d. Mengetahui profil efek samping setiap obat
e. Mengenali faktor risiko sesuatu efek yang tak terduga (misalnya interaksi)
f. Menyederhanakan rejimen pengobatan
g. Menghentikan pemberian obat tanpa manfaat penyembuhan
h. Menghentikan pemberian obat tanpa indikasi klinik
i. Mengganti dengan obat yang lebih aman, bila perlu
j. Tidak menangani efek tak terduga suatu obat dengan obat lagi
k.Menggunakan obat tunggal bila cara pemberiannya tidak sering
l. Membiasakan untuk melakukan evaluasi daftar obat secara berkala.

Setiap dokter (internis, psikiater atau anggota tim lain) harus mampu
menekan arogansi disiplin masing-masing dan bersedi menghentikan obat yang
diresepkannya apabila obatnya sudah bukan lagi merupakan prioritas untuk
diberikan.

3.3. PEDOMAN TELAAH ULANG REJIMEN OBAT


Tujuan:
Memastikan bahwa rejimen obat diberikan sesuai dengan indikasi
kliniknya, mencegah atau meminimalkan efek yang merugikan akibat penggunaan
obat dan mengevaluasi kepatuhan pasien dalam mengikuti rejimen pengobatan.
Kriteria pasien yang mendapat prioritas untuk dilakukan telaah ulang
rejimen obat:
a. Mendapat 5 macam obat atau lebih, atau 12 dosis atau lebih dalam sehari
b. Mendapat obat dengan rejimen yang kompleks, dan atau obat yang berisiko
tinggi untuk mengalami efek samping yang serius
c. Menderita tiga penyakit atau lebih
d. Mengalami gangguan kognitif, atau tinggal sendiri
e. Tidak patuh dalam mengikuti rejimen pengobatan
f. Akan pulang dari perawatan di rumah sakit
g. Berobat pada banyak dokter
h. Mengalami efek samping yang serius, alergi

Tatalaksana telaah ulang rejimen obat:


a. Apoteker yang melakukan kegiatan ini harus memiliki pengetahuan tentang
prinsip-prinsip farmakoterapi geriatri dan ketrampilan yang memadai.
b. Melakukan pengambilan riwayat penggunaan obat pasien:
- Meminta pasien untuk memperlihatkan semua obat yang sedang digunakannya.
- Menanyakan mengenai semua obat yang sedang digunakan pasien, meliputi:
obat resep, obat bebas, obat tradisional/jamu, obat suplemen.
- Aspek-aspek yang ditanyakan meliputi: nama obat, frekuensi, cara penggunaan
dan alasan penggunaan.
- Melakukan cek silang antara informasi yang diberikan pasien dengan data yang
ada di catatan medis, catatan pemberian obat dan hasil pemeriksaan terhadap obat
yang diperlihatkan pasien.
- Memisahkan obat-obat yang seharusnya tidak digunakan lagi oleh pasien.
- Menanyakan mengenai efek yang dirasakan oleh pasien, baik efek terapi
maupun efek samping.
- Mencatat semua informasi di atas pada formulir pengambilan riwayat
penggunaan obat pasien.
c. Meneliti obat-obat yang baru diresepkan dokter.
d.Mengidentifikasi masalah yang berkaitan dengan penggunaan obat (lihat
lampiran daftar masalah yang berkaitan dengan penggunaan obat)
e. Melakukan tindakan yang sesuai untuk masalah yang teridentifikasi:
Contoh: menghubungi dokter dan meminta penjelasan mengenai pemberian obat
yang indikasinya tidak jelas.
3.4 PEDOMAN PENYIAPAN DAN PEMBERIAN OBAT
Tujuan:
Pasien mendapatkan obat yang tepat dengan mutu baik, dosis yang tepat,
pada waktu yang tepat dan untuk durasi yang tepat.
Tatalaksana penyiapan dan pemberian obat:
a. Menerima resep/instruksi pengobatan
b. Meneliti kelengkapan dan kebenaran resep/instruksi pengobatan dari aspek
administratif, farmasetik dan klinik. Yang termasuk aspek administratif antara
lain: tempat dan tanggal resep/instruksi pengobatan dibuat, nama dan
alamat/nomor telepon dokter yang dapat dihubungi, nama pasien, umur, nomor
registrasi, nama ruang rawat / poliklinik, alamat / nomor telepon pasien yang
dapat dihubungi. Persyaratan administratif lain disesuaikan dengan ketentuan
institusi yang bersangkutan. Yang termasuk aspek farmasetik: nama obat (nama
generik / nama dagang), bentuk sediaan, jumlah obat yang harus disiapkan, cara
pembuatan (jika diperlukan peracikan). Yang termasuk aspek klinik: dosis,
duplikasi obat, interaksi obat (untuk menilai aspek ini diperlukan data profil
penyakit dan semua obat yang sedang digunakan pasien).
c. Jika ditemukan ada masalah yang berkaitan dengan peresepan, menghubungi
dokter pembuat resep/instruksi pengobatan.
d. Jika ditemukan masalah dalam hal kelengkapan administratif, menghubungi
pihak yang terkait (perawat, petugas administrasi).
e. Menjaga agar stok obat-obatan selalu tersedia saat dibutuhkan, terutama untuk
kelangsungan penggunaan obat kronik pasien, sebagai contoh: obat antihipertensi.
f. Menyiapkan/meracik obat sesuai resep/instruksi pengobatan:
- Jika dilakukan peracikan dengan bentuk sediaan kapsul, maka dipilih ukuran
kapsul yang sesuai.
- Jika dilakukan peracikan dengan bentuk sediaan puyer atau sirup, maka perlu
diperhatikan kontraindikasi bahan pembantu dengan penyakit pasien (contoh:
penggunaan saccharum lactis pada pasien diabetes mellitus)
- Menggunakan wadah yang mudah dibuka oleh pasien,
- Jika memungkinkan menggunakan wadah transparan (kecuali obat yang harus
terlindung dari cahaya).
g. Memberi penandaan pada obat yang telah disiapkan:
- Penandaan meliputi: nomor/kode resep, nama obat, kekuatan sediaan, aturan
pakai, jumlah obat yang ada di dalam wadah, instruksi khusus (contoh: diminum
sebelum makan), tanggal obat disiapkan, tanggal kadaluarsa.
- Penandaan harus ditulis dengan jelas, jika memungkinkan diketik, dengan
ukuran huruf yang besar dan warna hitam/gelap dengan warna latar belakang
kontras dengan warna huruf.
- Penandaan, baik berupa tulisan, simbol atau gambar tidak boleh mudah terhapus,
hilang atau lepas dari wadah.
- Instruksi penggunaan harus jelas, singkat dan dapat dipahami, tidak
menggunakan singkatan atau istilah yang tidak lazim. Penerima obat harus
diberikan informasi secara lisan mengenai hal-hal yang tercantum pada penandaan
untuk menghindari salah penafsiran.
h. Menyusun obat sedemikian rupa sehingga memudahkan pasien/keluarga untuk
mengingat waktu makan obat dan memudahkan pasien mengambil obat dengan
tepat. Contoh: meletakkan obat pada kotak/kantong obat yang sudah ditandai
waktu minumnya.
i. Menyerahkan obat kepada perawat, pasien atau keluarga sesuai dengan sistem
distribusi obat yang berlaku.
j. Memberikan informasi yang jelas kepada penerima obat mengenai hal-hal yang
berkaitan dengan obat yang akan digunakan oleh pasien, antara lain: nama obat,
kegunaan obat, aturan pakai, cara penyimpanan, apa yang harus dilakukan jika
terlupa minum atau menggunakan obat, meminta pasien untuk melaporkan jika
ada keluhan yang dirasakan selama penggunaan obat. (Untuk lebih rinci lihat
Pedoman Pemberian Informasi dan Edukasi)
k. Mendokumentasikan temuan masalah dan penyelesaiannya pada formulir yang
dibuat khusus.
3.5. PEDOMAN PEMBERIAN INFORMASI DAN EDUKASI
Tujuan:
Pasien/keluarga memahami penjelasan yang diberikan, memahami
pentingnya mengikuti rejimen pengobatan yang telah ditetapkan sehingga dapat
meningkatkan motivasi untuk berperan aktif dalam menjalani terapi obat.
Tatalaksana pemberian informasi dan edukasi:
a. Apoteker yang melakukan kegiatan ini harus memiliki pengetahuan tentang
prinsip-prinsip gerontologi dan farmakoterapi geriatri, memiliki rasa empati dan
ketrampilan berkomunikasi secara efektif.
b. Pemberian informasi dan edukasi dilakukan melalui tatap muka dan berjalan
secara interaktif, dimana kegiatan ini bisa dilakukan pada saat pasien dirawat,
akan pulang atau ketika datang kembali untuk berobat.
c. Kondisi lingkungan perlu diperhatikan untuk membuat pasien/keluarga merasa
nyaman dan bebas, antara lain:
- Dilakukan dalam ruang khusus atau yang dapat menjamin privacy.
- Ruangan cukup luas bagi pasien dan pendamping pasien untuk kenyamanan
mereka.
- Penempatan meja, kursi atau barang-barang lain hendaknya tidak menghambat
komunikasi.
- Suasana tenang, tidak bising dan tidak sering ada interupsi (contoh: apoteker
menerima telepon atau mengerjakan pekerjaan lain)
d. Pada pasien yang mengalami kendala dalam berkomunikasi, maka pemberian
informasi dan edukasi dapat disampaikan kepada keluarga/pendamping pasien.
e. Apoteker perlu membina hubungan yang baik dengan pasien/keluarga agar
tercipta rasa percaya terhadap peran apoteker dalam membantu mereka.
f. Mendapatkan data yang cukup mengenai masalah medis pasien (termasuk
adanya keterbatasan kemampuan fisik maupun mental dalam mematuhi rejimen
pengobatan.
g. Mendapatkan data yang akurat tentang obat-obat yang digunakan pasien,
termasuk obat non resep.
h. Mendapatkan informasi mengenai latar belakang sosial budaya, pendidikan dan
tingkat ekonomi pasien/ keluarga.
i. Informasi yang dapat diberikan kepada pasien/keluarga adalah: nama obat,
kegunaan obat, aturan pakai, teknik penggunaan obat-obat tertentu (contoh: obat
tetes, inhaler), cara penyimpanan, berapa lama obat harus digunakan dan kapan
obat harus ditebus lagi, apa yang harus dilakukan jika terlupa minum atau
menggunakan obat, kemungkinan terjadinya efek samping yang akan dialami dan
bagaimana cara mencegah atau meminimalkannya, meminta pasien/keluarga
untuk melaporkan jika ada keluhan yang dirasakan pasien selama menggunakan
obat.
j. Cakupan dan kedalaman informasi, serta bagaimana cara penyampaiannya
haruslah disesuaikan dengan mempertimbangkan tingkat pengetahuan dan
pemahaman pasien/keluarga serta jenis masalah yang dihadapi. Selain
mendapatkan informasi dari pasien/keluarga, masukan dari anggota tim tenaga
kesehatan lain juga diperlukan untuk menentukan informasi dan edukasi apa yang
dibutuhkan pasien/ keluarga.
k. Untuk meningkatkan pemahaman, maka pemberian informasi secara lisan
sebaiknya ditunjang oleh informasi tertulis (contoh: brosur) dan peragaan (contoh:
bagaimana menggunakan inhaler secara benar).
l. Selain komunikasi secara verbal, digunakan juga komunikasi secara non verbal
(gerak-gerik tubuh, ekspresi wajah dan isyarat lain) yang dapat mendukung
penyampaian informasi dan edukasi kepada pasien/keluarga, demikian pula
komunikasi non verbal yang ditunjukkan oleh pasien/keluarga harus diperhatikan
untuk menangkap pesan tersembunyi yang tidak terucap.
m. Pasien/keluarga diberi kesempatan yang cukup untuk menanyakan hal-hal
yang berkaitan dengan penggunaan obat dan untuk menyampaikan masalah-
masalah yang dihadapi selama menggunakan obat.
n. Masalah-masalah pasien/keluarga yang berkaitan dengan penggunaan obat
harus diupayakan penyelesaiannya, jika perlu melibatkan anggota tim tenaga
kesehatan lain (contoh: dokter mengubah rejimen obat yang diberikan menjadi
lebih sederhana)
o. Sebelum pertemuan diakhiri, harus dipastikan bahwa pasien/keluarga telah
memahami informasi yang diberikan.
p. Mendokumentasikan temuan masalah dan penyelesaiannya pada formulir yang
dibuat khusus.

3.6. PEDOMAN PEMANTAUAN PENGGUNAAN OBAT


Tujuan:
Mengoptimalkan efek terapi obat dan mencegah atau meminimalkan efek
merugikan akibat penggunaan obat.
Tatalaksana pemantauan penggunaan obat:
a. Apoteker yang melakukan kegiatan ini harus memiliki pengetahuan tentang
patofisiologi, terutama pada pasien geriatri, prinsip-prinsip farmakoterapi geriatri,
cara menafsirkan hasil pemeriksaan fisik, uji laboratorium dan diagnostik yang
berkaitan dengan penggunaan obat, dan ketrampilan berkomunikasi yang
memadai.
b. Mengumpulkan data pasien, yang meliputi:
- Deskripsi pasien (nama, umur, jenis kelamin, berat badan, tinggi badan, nama
ruang rawat/poliklinik, nomor registrasi)
- Riwayat penyakit terdahulu
- Riwayat penggunaan obat (termasuk riwayat alergi penggunaan obat non resep)
- Riwayat keluarga dan sosial yang berkaitan dengan penyakit dan penggunaan
obat.
- Data hasil pemeriksaan fisik, uji laboratorium dan diagnostik
- Masalah medis yang diderita pasien
- Data obat-obat yang sedang digunakan oleh pasien Data/informasi dapat
diperoleh melalui:
- wawancara dengan pasien / keluarga
- catatan medis
- kartu indeks (kardeks)
- komunikasi dengan tenaga kesehatan lain (dokter, perawat)
c. Berdasarkan data/informasi pada (b), selanjutnya mengidentifikasi adanya
masalah-masalah yang berkaitan dengan penggunaan obat (lihat lampiran daftar
masalah yang berkaitan dengan penggunaan obat)
d. Memberikan masukan/saran kepada tenaga kesehatan lain mengenai
penyelesaian masalah yang teridentifikasi.
e. Mendokumentasikan kegiatan pemantauan penggunaan obat pada formulir yang
dibuat khusus.
BAB IV

KESIMPULAN

Pedoman Pelayanan Farmasi (Tatalaksana Terapi Obat) Untuk Pasien


Geriatri, merupakan suatu panduan yang diharapkan dapat membantu para tenaga
kesehatan terutama yang bekerja di sarana pelayanan kesehatan dalam melayani
pasien geriatri.
Dengan telah disusunnya Pedoman Pelayanan Farmasi (Tatalaksana
Terapi Obat) Untak Pasien Geriatri ini, diharapkan akan lebih terjalin suatu kerja
sama antar profesi kesehatan yang bersifat interdisiplin berbentuk Tim Terpadu
Geriatri. Dengan demikian pasien geriatri yang mempunyai karakteristik
tersendiri akan mendapatkan pelayanan kesehatan yang optimal.
Mudah-mudahan Buku Pedoman Pelayanan Farmasi (Tatalaksana Terapi
Obat) Untuk Pasien Geriatri ini dapat bermanfaat dalam melayani pasien geriatri,
sehingga diharapkan akan meningkatkan kualitas hidup pasien geriatri di
Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA

Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian Dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan


Ri. 2006. Pedoman Pelayanan Farmasi (Tata Laksana Terapi Obat)
Untuk Pasien Geriatri.

Survey Kesehatan Rumah Tangga. Departemen Kesehatan Republik Indonesia.


Jakarta, 1995.
Supartondo. Penatalaksanaan Terpadu Pasien Geriatri: Pendekatan Interdisiplin.
Siang Klinik Penyakit Dalam FKUI / RSUPN CM, Jakarta 1999.
De Bono A. Ageing: A world perspective – The longevity revolution The 1st
ASEAN course in Gerontology. Singapore, 2000.
Troisi J. Demographic characteristics, trends and determinants of population
ageing. The 1st ASEAN course in Gerontology. Singapore, 2000.
Kalache A, Keller I. Population ageing in developing countries: demographic
aspects. Dalam: Evans JG, Beattie BL,Williams TF, Michel J-P, Wilcock
GK, eds. Oxford Textbook of Geriatric Medicine. Oxford: Oxford
University Press, 2000 :26-8.
Soejono CH, Suhardjono. Prinsip pemberian obat pada pasien usia lanjut.
Dalam: Buku Ajar llmu Penyakit Dalam, edisi lIl jilid II. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI; 2001: 281-285.
Michocki RJ. Polypharmacy and principles of drug therapy. Dalam:Adelman
AM, Daly MP, eds. 20 Common problems in geriatrics.Boston:McGraw
Hill,2001:69-81.
Berenbeim DM. Polypharmacy: overdosing on good intentions. Manag Care
2002;10(3):1-5.
Linjakumpu T, Hartikainen S, Klaukka T, et al. Use of medications and
polypharmacy are increasing among the elderly. J of Clinical
Epidemiology 2002;55:809 -16.

You might also like