You are on page 1of 43

REFERAT

DEMAM BERDARAH DENGUE

Disusun oleh:
T. Ariani Widiastini
142011101108

Dokter Pembimbing
dr. H. Ahmad Nuri, Sp.A
dr. B. Gebyar Tri Baskara, Sp.A
dr. Lukman Oktadianto, Sp.A
dr. M Ali Shodikin, Sp.A

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER


LAB/KSM ILMU KESEHATAN ANAK
RSD dr. SOEBANDI JEMBER
2018
DAFTAR ISI

Halaman Judul ........................................................................................................ 1


Daftar Isi .................................................................................................................. 2
1. Pendahuluan ............................................................................................... 3
2. Etiologi ........................................................................................................ 4
3. Patogenesis .................................................................................................. 6
4. Faktor Risiko .............................................................................................. 10
5. Manifestasi Klinis dan Perjalanan Infeksi Virus Dengue ....................... 10
6. Pemeriksaan Laboratorium ....................................................................... 21
7. Kriteria Diagnosis Infeksi Dengue ............................................................ 24
8. Tatalaksana ................................................................................................ 28
9. Pengendalian DBD ..................................................................................... 38
10. Komplikasi dan Penyulit ........................................................................... 39
Daftar Pustaka ......................................................................................................... 43

2
1. Pendahuluan

Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang


disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot
dan/atau nyeri sendi yang disertai leukopenia, ruam, limfadenopati,
trombosiopenia, dan diatesis hemoragik.[5] DBD banyak ditemukan
terutama di daerah tropis dan subtropis dengan sekitar 2,5 milyar
penduduk dunia mempunyai risiko untuk terjangkit penyakit ini.[6] Pada
saat ini jumlah kasus masih tetap tinggi rata-rata 10-25 per 100.000
penduduk, namun dengan angka kematian telah menurun bermakna <2%.
Umur terbanyak yang terkena infeksi dengue adalah kelompok umur 4-10
tahun, walaupun makin banyak kelompok umur yang lebih tua.[5] Pada
tahun 2015, tercatat sebanyak 126.675 penderita DBD di 34 provinsi di
Indonesia, dan 1.229 dicatat di antaranya meninggal dunia. Jumlah
tersebut mengalami peningkatan dibandingkan tahun sebelumnya, yakni
sebanyak 100.347 penderita DBD dan sebanyak 907 penderita meninggal
dunia pada tahun 2014. Hal ini dapat disebabkan oleh prubahan iklim dan
rendahnya kesadaran untuk menjaga kebersihan lingkungan. [2]

Gambar 1. Insiden rata-rata setiap provinsi pada KLB Dengue tahun


2009[1]

3
DBD disebabkan oleh virus dengue, yang termasuk dalam genus
Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Infeksi virus dengue ditularkan melalui
gigitan vektor nyamuk Stegomiya (Aedes) aegipty dan Stegomiya (Aedes)
[4]
albopictus. Berdasarkan genom yang dimiliki, virus dengue termasuk
virus RNA (positive sense single stranded). Terdapat 4 serotipe virus yaitu
DEN-1, DEN-1, DEN-3 dan DEN-4 yang semuanya menyebabkan demam
dengue atau demam berdarah dengue. Masing-masing serotype
mempunyai beberapa galur (strain) atau genotipe yang berbeda. Keempat
serotype ditemukan di Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotype
terbanyak. Transmisi virus tergantung dari faktor biotik dan abiotik.
Termasuk dalam faktor biotik adalah faktor virus, vektor nyamuk, dan
pejamu manusia; sedangkan faktor abiotik adalah suhu lingkungan,
kelembaban, dan curah hujan. [6]

Di Indonesia DBD masih merupakan salah satu masalah kesehatan


masyarakat. Jumlah penderita dan luas daerah penyebarannya semakin
bertambah seiring dengan meningkatnya mobilitas dan kepadatan
[1] –
penduduk. Upaya pengendalian terhadap faktor tersebut, termasuk
dalam kontrol vektor nyamuk harus terus diupayakan, disamping
pemberian terapi yang optimal pada penderita DBD. Prinsip utama dalam
terapi DBD adalah terapi suportif, yakni pemberian cairan pengganti.
Denngan memahami patogenesis, perjalanan penyakit, manifestasi klinis,
dan pemeriksaan laboratorium yang tepat, diharapkan penatalaksaan dapat
dilakukan secara efektif dan efisien. -

2. Etiologi

DBD disebabkan oleh virus dengue, yang termasuk dalam genus


Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Berdasarkan genom yang dimiliki, virus
dengue termasuk virus RNA (positive sense single stranded) berukuran
50nm. Virion terdiri dari nukleokapsid dengan simetri kubik yang
diselubungi oleh lipoprotin. Genom virus memiliki panjang 11.644
nukleotida dan terdiri atas tiga protein struktural yang mengkode protein
inti (C), protein terikat membran (M), protein envelope (E), dan tujuh non-

4
struktural gen protein (NS). Diantara ketujuh protein NS, NS1 dapat
digunakan untuk kepentingan diagnosis dan patologis yang berhubungan
dengan proses hemaglutinasi virus dan aktivitas neutralisasi.[6] Terdapat 4
serotipe Flavivirus yaitu DEN-1, DEN-1, DEN-3 dan DEN-4 yang
semuanya menyebabkan demam dengue atau demam berdarah dengue.
Masing-masing serotype mempunyai beberapa galur (strain) atau genotipe
yang berbeda.[5]

Infeksi virus dengue ditularkan melalui gigitan vektor nyamuk


[6]
Stegomiya (Aedes) aegipty dan Stegomiya (Aedes) albopictus. Aedes
aegipty merupakan vektor epidemik yang paling penting disamping
spesies lainnya seperti Aedes albopictus. [6]

Gambar 2. Karakteristik nyamuk Aedes aegipty dan Aedes albopictus [7]

5
3. Patogenesis

Patogenesis infeksi virus dengue berhubungan dengan 1. Faktor


virus, yaitu serotipe, jumlah, virulensi; 2. Faktor pejamu, genetik, usia,
status gizi, penyakit komorbid dan interaksi antara virus dengan pejamu; 3.
Faktor lingkungan, msim, curah hujan, suhu udara, kepadatan penduduk,
mobilitas penduduk, dan kesehatan lingkungan. [4]

Peran sistem imun dalam infeksi virus dengue adalah sebagai


berikut,

 Infeksi pertama kali (primer) menimbulkan kekebalan seumur hidup


untuk serotipe penyebab.
 Infeksi sekunder dengan serotipe virus yang berbeda (secondary
heterologous infection) pada umumnya memberikan manifestasi klinis
yang lebih berat dibandingkan dengan infeksi primer.
 Bayi yang lahir dengan ibu yang memiliki antibodi dapat
menunjukkan manifestasi klinis berat walaupun dengan infeksi
primer.
 Perembesan plasma sebagai tanda karakteristik untuk DBD terjadi
pada saat jumlah virus dalam darah menurun.
 Perembesan plasma terjadi dalam waktu singkat (24-48 jam) dan pada
pemeriksaan patologi tidak ditemukan kerusakan dari sel endotel
pembuluh darah.

Secara umum patogenesis infeksi virus dengue diakibatkan oleh


interaksi berbagai komponen dari respons imun atau reaksi inflamasi yang
terjadi secara terintegrasi. Sel imun yang paling penting dalam berinteraksi
dengan virus dengue yaitu sel dendrit, monosit/makrofag, sel endotel, dan
trombosit. Akibat interaksi tersebut akan dikeluarkan berbagai mediator
antara lain sitokin, peningkatan aktivasi sistem komplemen, serta terjadi
aktivasi limfosit T. Apabila aktivasi sel imun tersebut berlebihan, akan
diproduksi sitokin (terutama proinflamasi), kemokin, dan mediator
inflamas lain dalam jumlah banyak. Akibat produksi berlebih dari zat-zat

6
tersebut akan menimbulkan berbagai kelainan yang akhirnya menimbulkan
berbagai bentuk tanda dan gejala infeksi virus dengue. Penyakit ini
mempunyai spektrum klinis dari asimtomatis, sindrom virus, demam
dengue (DD), dan demam berdarah dengue (DBD) mencakup manifestasi
klinis yang paling berat yaitu sidrom syok dengue (SSD). [4]

2.1 Respon imun humoral

Imunopatogenesis infeksi virus dengue diperankan oleh limfosit B


dengan menghasilkan antibodi spesifik terhadap virus dengue. Antibodi
spesifik untuk virus dengue terhadap satu serotipe tertentu juga dapat
menimbulkan reaksi silang dengan serotipe lain selama enam bulan. Hal
ini bisa menguntungkan dalam artian dapat melindungi terjadinya penyakt
namun sebaliknya dapat pula menjadi pemicu terjadinya infeksi yang berat
melalui mekanisme antibody-dependent enchancement (ADE). Virus
dengue mempunyai empat serotipe yang secara antigenik berbeda. infeksi
virus dengue primer oleh satu serotipe tertentu dapat menimbulkan
kekebalan yang menetap untuk serotipe bersangkuan (antibodi homotipik).
Pada saat yang bersamaan, sebagai bagian dari kekebalan silang (cross
immunity) akan dibentuk antibodi untuk serotipe lain (antibodi
heterotipik). Apabila kemudian terjadi infeksi oleh serotipe yang berbeda,
maka antibodi heterotipik yang bersifat non atau subneutralisasi berikatan
dengan virus atau partikel tertentu dari virus serotipe yang baru
membentuk kompleks imun. Kompleks imun akan berikatan dengan
reseptor Fcγ yang banyak terdapat terutama pada monosit dan makrofag,
sehingga memudahkan virus menginfeksi sel. Virus bermultiplikasi di
dalam sel dan selanjutnya virus keluar dari sel, sehingga terjadi viremia.
Kompleks imun juga dapat mengaktifkan kaskade sistem komplemen
untuk menghasilkan C3a dan C5a yang mempunyai dampak langsung
terhadap peningkatan permeabilitas vascular. [4]

7
2.2 Respon imun selular

Respon yang berperan yaitu limfosit T. Sama dengan respon imun


humoral, respons sel T terhadap infeksi virus dengue dapat
menguntungkan sehingga tidak menimbulkan penyakit atau hanya berupa
infeksi ringan, namun juga sebaliknya dapat terjadi hal yang merugikan
bagi pejamu. Sel T spesifik untuk virus dengue dapat mengenali sel yang
terinfeksi virus dengue dan menimbulkan respons beragam berupa
proliferasi sel T, menghancurkan (lisis) sel terinfeksi dengue, serta
memproduksi berbagai sitokin. Sel T CD4 lebih banyak sebagai penghasil
sitokin dibandingkan dengan fugsi menghancurkan sel terinfeksi virus
dengue. Sebalinya, sel T CD8 lebih berperan untuk lisis sel target
dibandingkan dengan produksi sitokin. Pada infeksi sekunder oleh serotipe
yang berbeda, sel T memori mempunyai aviditas yang lebih besar terhadap
serotipe yang sebelumnya dibandingkan dengan serotipe virus yang baru.
Dengan demikian, fungsi lisis terhadap virus yang baru tidak optimal,
sedangkan produksi sitokin berlebihan. Sitokin yang dihasilkan oleh sel T
pada umunya berperan dalam memacu respons inflamasi dan meningkatka
permeabilitas sel endotel vaskular. [4]

2.3 Mekanisme Autoimun

Di antara komponen protein virus dengue yang berperan dalam


pembentukan antibodi spesifik yaitu protein E, prM, dan NS1. Antibodi
terhadap protein NS1 dengue menunjukkan reaksi silang dengan sel
endotel dan trombosit, sehingga menimbulkan gangguan pada kedua sel
tersebut serta dapat memacu respons inflamasi. Sel endotel yang diaktivasi
oleh antibodi terhadap protein NS1 dengue ternyata dapat
mengekspresikan sitokin, kemokin, dan molekul adhesi. Antibodi terhadap
prM juga dapat menyebabkan reaksi autoimun. Autoantibodi terhadap
protein prM tersebut dapat bereaksi silang dengan sel endotel. Proses
autoimun ini diduga kuat karena terdapat kesamaan atau kemiripan antara
protein NS1 dan prM dengan komponen tertentu yang terdapat pada sel
endotel dan trombosit yang disebut sebagai molecular mimicry.

8
Autoantibodi yang bereaksi dengan komponen dimaksud mengakibatkan
sel yang mengandung molekul hasil ikatan antara keduanya akan
dihancurkan oleh makrofag atau mengalami kerusakan. Aibatnya, pada
trombosit terjadi penghancuran sehingga menyebabkan trombositopenia
dan pada sel endotel terjadi peningkatan permeabilitas yang
mengakitbatkan perembesan plasma. [4]

2.4 Peran Sitokin dan Mediator Inflamasi Lain

Pada infeksi virus dengue, sitokin juga berperan dalam menentukan


derajat penyakit. Infeksi yang berat (DBD atau SSD) ditandai dengan
peningkatan jenis dan jumlah sitokin yang sering disebut sebagai badai
sitokin (cytokine storm atau cytokine tsunami). Dalam melakukan
fungsinya berbagai sitokin saling berhubungan dan saling memengaruhi
satu dengan lainnya berupa suatu kaskade. Dari beberapa penelitian sitokin
yang perannya paling banyak dikemukakan yaitu TNF-α, IL-1β, IL-6, IL-
8, dan IFN-γ. Mediator lain yang sering dikemukakan mempunyai peran
penting dalam menimbulkan derajat penyakit berat yaitu kemokin CXCL-
9, CXCL-10, dan CXCL-11 yang dipicu oleh IFN-γ. [4]

2.5 Peran Sistem Komplemen

Kompeks imun virus dengue dan antibody pada infeksi sekunder


dapat mengaktivasi sistem komplemen melalui jalur klasik. protein NS1
dapat mengaktifkan sistem komplemen secara langsung melalui jalur
alternative dan apabila berlebihan dapat menyebabkan peningkatan
permeabilitas vaskuler. [4]

Selain melalui kedua jalur tersebut, aktivasi komplemen pada


infeksi virus dengue juga dapat melalui jalur mannose-binding lectin.
Aktivasi komplemen menghasilkan peptda yang mempunyai aktivitas
biologic sebagai anafilatoksin yaitu C3a dan C5a. Komponen C5a
menginduksi produksi beberapa sitokin proinflamasi (seperti TNF-α, IL-
1β, IL-6, IL-8) dan meningkatkan ekspresi molekul adhesi baik pada

9
neutrophil maupun sel endotel, sehingga peran C5a dalam peningkatan
permeabilitas vascular sangat besar. [4]

4. Faktor Risiko

Beberapa faktor pejamu dapat menjadi faktor risiko untuk terkena


infeksi dengue yang berat, antara lain usia, status gizi, faktor genetik, dan
penyakit tertentu khususnya penyakit yang berhubungan dengan sistem
imun. Anak-anak umumnya mempunyai perjalanan penyakit yang lebih
berat dibandingkan dengan dewasa oleh karena anak mempunyai sistem
mikrovaskular yang lebih mudah untuk mengalami peningkatan
permeabiltas. Bayi usia 6-12 bulan mempunyai risiko lebih berat,
meskipun pada infeksi primer. Hal tersebut diduga melalui mekanisme
ADE yang sama dengan infeksi sekunder pada pejamu dengan usia lebih
dari satu tahun. Antibodi (IgG) antidengue yang bersifat nonneutralizing
ditransfer dari ibu pada saat kehamilan. faktor genetik sebagai faktor risiko
berhubungan dengan human leucocyte antigen (HLA) tertentu, yang
menjadi faktor risiko untuk lebih rentan atau sebaliknya lebih kebal
terhadap infeksi virus dengue. [4]

5. Manifestasi Klinis dan Perjalanan Infeksi Virus Dengue

5.1 Manifestasi Klinis Infeksi Virus Dengue

Manifestasi klinis infeksi virus dengue sangat luas dapat bersifat


asimtomatik/tak bergejala, demam yang tidak khas/sulit dibedakan dengan
infeksi virus lain (sindrom virus/viral syndrome, undifferentiated fever),
demam dengue (DD), demam berdarah dengue (DBD) dan expanded
dengue syndrome/organopati (manifestasi klinis yang tidak lazim). [4]

a. Sindrom Virus

Bayi, anak-anak, dan dewasa yang telah terinfeksi virus dengu,


terutama untuk pertama kalinya (infeksi primer), dapat
menunjukkan manifestasi klinis berupa demam sederhana yang
tidak khas, yang sulit dibedakan dengan demam akibat infeksi virus

10
lain. Ruam mkulopapular dapat menyertai demam atau pada saat
penyembuhan. Gejala gangguan saluran napas dan pencernaan
sering ditemukan. Sindrom virus akan sembuh sendiri (self
limited), namun dikhawatirkan apabila di kemudian hari terkena
infeksi yang kedua, manifestasi klinis yang diderita akan ebih berat
berupa demam dengue, demam berdarah dengue atau expanded
dengue syndrome. [4]

b. Demam Dengue

Demam dengue sering ditemukan pada anak besar, remaja, dan


dewasa. Setelah melalui masa inkubasi dengan rata-rata 4-6 hari
(rentang 3-14 hari), imbul gejala berupa demam, mialgia, sakit
punggung, dan gejala konstitusional lain yang tidak spesifik seperti
rasa lemah (malaise), anoreksia, dan gangguan rasa kecap. Demam
pada umumnya timbul mendadak, tinggi (390-400C), terus menerus
(pola demam kontinyu), bifasik, biasanya berlangsung antara 2-7
hari. Pada hari ketiga sakit pada umumnya suhu tubuh turun,
namun masih di atas normal, kemudian suhu naik tinggi kembali,
pola ni disebut sebagai pola demam bifasik. Demam disertai
mialgia, sakit punggung (breakbone fever), atralgia, muntah,
fotofobia (mata seperti silau walau terkena cahaya dengan
intensitas rendah) dan nyeri retroorbital pada saat mata digerakkan
atau ditekan. gejala lain dapat ditemukan berupa gangguan
pencernaan (diare atau konstipasi), nyeri perut, sakit tenggorok dan
depresi. [4]

pada sakit hari ke-3 atau 4 ditemukan ruam makulopapular atau


rubeliformis, ruam ini segera berkurang sehingga sering luput dari
perhatian orang tua. Pada masa penyembuhan timbul ruam di kaki
dan tangan berupa ruam makulopapular dan ptekie diselingi
bercak-bercak putih (white island in the sea of red), dapat disertai
rasa gatal yang disebut sebagai ruam konvalesens. manifestasi
perdarahan pada umumnya sangat ringan berupa uji torniquet

11
positif (>10 ptekie dalam area 2,8x2,8 cm) atau beberapa ptekie
spontan. Pada beberapa kasus demam dengue dapat terjadi
perdarahan masif. [4]

Pemeriksaan laboratorium menunjukkan jumlah leukosit yang


normal, namun pada beberapa kasus ditemukan leukositosis pada
awal demam, namun kemudian terjadi leukopenia dengan jumlah
PMN yang turun, dan ini berlangsung selama fase demam. Jumlah
trombosit dapat normal atau menurun (100.000-150.000/mm3),
jarang ditemukan jumlah trombosit kurang dari 50.000/ mm3.
peningkatan nilai hematokrit sampai 10% mungkin ditemukan
akibat dehidrasi karena demam tinggi, muntah, atau karena asupan
cairan yang kurang. pemeriksaan serum biokimia pada umumnya
norma, SGOT dan SGPT dapat meningkat. [4]

Lama sakit dan beratnya penyakit bervariasi di antara individu.


Masa konvalesens berlangsung singkat dan sembuh segera, naun
rasa lemah dan mialgia kadang berlangsung lama. Pada pasien
remaja masa penyembuhan dapat terjadi dalam waktu beberapa
minggu yang sering disertai dengan rasa letih dan depresi.
bradikardia dapat ditemukan pada masa konvalesens. Manifestasi
perdarahan berat seperti perdaharan saluran cerna, epistaksis masif,
hipermenore jarang sekali ditemukan namun apabila ditemukan
dapat menyebabkan kematian. Demam dengue dengan manifestasi
perdarahan berat harus dibedakan dari demam berdarah dengue. [4]

5.2 Perjalanan Penyakit Demam Dengue

a. Demam Berdarah Dengue

Manifestasi klinis DBD dimulai dengan demam yang tinggi,


mendadak, kontinyu, kadang bifasik, berlangsug antara 2-7 hari.
Demam disertai dengan gejala lain yang sering ditemukan pada
demam dengue seperti muka kemerahan (facial flushing),
anoreksia, mialgia, dan atralgia. Gejala lain berupa nyeri epigastrik,

12
mual, muntah, nyeri di daerah subkostal kanan atau nyeri abdomen
difus, kadang disertai sakit tenggorok. faring dan konjungtiva yang
kemerahan (pharyngeal injection dan ciliary injection) dapat
ditemukan pada pemeriksaan fisis. Demam dapat mencapai suhu
400C. [4]

Manifestasi perdarahan dapat berupa uji torniquet positif, ptekie


spontan yang dapat ditemukan di daerah ekstremitas, aksila, muka
dan palatum mole. Epistaksis dan perdarahan gusi dapat
ditemukan, kadang disertai dengan perdarahan ringan saluran
cerna, hematuria namun jarang ditemukan. [4]

Ruam makulopapular atau rubeliformis dapat ditemukan pada fase


awal sakit, namum berlangsung singkat sehingga sering luput dari
pengamatan orang tua. Ruam konvalesens seperti pada demam
dengue dapat ditemukan pada masa penyembuhan. Hepatomegali
ditemukan sejak fase demam, dengan pembesaran yang bervariasi
antara 2-4 cm di bawah arkus kosta. Perlu diperhatikan bahwa
hepatomegali sangat tergantung dari ketelitian pemeriksa.
Hepatomegali tidak disertai dengan ikterus dan tidak berhubungan
dengan derajat penyekit, namum hepatomegali lebih sering
ditemukan pada DBD dengan syok. [4]

Pada DBD terjadi kebocoran plasma yang secara klinis berbentuk


efusi pleura, apabila kebocoran plasma lebih berat dapat ditemukan
asites. pemeriksaan rontgen foo dada posisi lateral dekubitus
kanan, efusi pleura terutama di hemithoraks kanan merupakan
temuan yang sering dijumpai. Derajat luasnya efusi pleura seiring
dengan beratnya penyakit. pemerisaan USG dapat dipakai untuk
menemukan asites dan efusi pleura. Penebalan dinding kantung
empedu (gall bladder wall thickening) mendahului manifestasi
klinis kebocoran plasma lain. Peningkatan nilai hematokrit (>20%
dari data dasar) dan penurunan kadar protein plasma terutama
albumin serum (>0,5 g/dL dari data dasar) merupakan tanda indirek

13
kebocoran plasma. kebocoran plasma berat menimbulkan
berkurangnya volume intravaskular yang akan menyebabkan syok
hipovolemi yang dikenal dengan sindrom syok dengue (SSD) yang
memperburuk prognosis. [4]

Manifestasi klinis DBD terdiri atas tiga fase yaitu fase demem, fase
kritis, serta fase konvalesens.

Fase Demam

Pada kasus ringan semua tanda dan gejala tumbuh seiring dengan
menghilangnya demam. penurunan demam terjadi secara lisis,
artinya suhu tubuh menurun segera, tidak secara bertahap.
Menghilangnya demam tanpa disertai berkeringat dan perubahan
laju nadi dan tekanan darah merupakan gangguan sistem sirkulasi
ringan akibat kebocoran plasma yang tidak berat. Pada kasus
sedang sampai berat terjadi kebocoran plasma yang bermakna
sehingga akan menimbulkan hipovolemi dan bila berat
menimbulkan syok dengan mortalitas yang tinggi. (gambar
perjalanan penyekit infeksi dengue). [4]

Fase Kritis (Fase Syok)

Fase kritis terjadi pada saat demam turun (time of fever


defervescence), pada saat ini terjadi puncak kebocoran plasma
sehingga pasien mengalami syok hipovolemi. Kewaspadaan dalam
mengantisipasi kemungkinan terjadinya syok yaitu dengan
mengenal tanda dan gejala yang mendahului syok (warning signs).
Warning signs umumnya terjadi menjelang akhir fase demam, yaitu
antara hari sakit 3-7. Muntah terus-menerus dan nyeri perut hebat
merupakan petunjuk awal perembesan plasma dan bertambah hebat
saat pasien masuk ke keadaan syok. Pasien tampak semakin lesu,
tetapi pada umumnya tetap sadar. Gejala tersebut dapat menetap
walaupun sudah terjadi syok. Kelemahan, pusing atau hipotensi
posturan dapat terjadi selama syok. perdarahan mukosa spontan

14
atau perdarahan di tempat pengambilan darah merupakan
manifestasi perdarahan enting. hepatomegali dan nyeri perut sering
ditemukan. Penurunan jumla trombosit yang cepat dan progresif
menjadi di bawah 100.000sel/mm3 serta kenaikan hematokrit di
atas data dasar merupakan tanda awal perembesan plasma, dan
pada umumnya didahului oleh leukopenia (<5.000 sel/mm mm3). [4]

Peningkatan hematokrit di atas data dasar merupakan salah satu


tanda paling awal yang sensitif dalam mendeteksi perembesan
plasma yang pada umumnya berlangsung selama 24-48 jam.
peningkatan hematokrit mendahului perubahan tekanan darah serta
volume nadi, oleh karena itu, pengukuran hematokrit berkala
sangat penting apabila makin meningkat berarti kebutuhan cairan
untuk mempertahankan volume intravaskular bertambah, sehingga
penggantian cairan yang adekuat dapat mencegah syok hipovolemi.
[4]

Bila syok terjadi, mula-mula tubuh melakukan kompensasi (syok


terkompensasi), namun apabila mekanisme tersebut tidak berhasil
pasien akan jatuh ke dalam syok dekompensasi yang dapat berupa
syok hipotensif dan profound shock yang menyebabkan asidosis
metabolik, gangguan organ progresif, dan koagulasi intravaskular
diseminata. Perdarahan hebat yang terjadi menyebabkan penurunan
hematokrit, dan jumlah leukosit yang semula leukopenia dapat
meningkat sebagai respons stres pada pasien dengan perdarahan
hebat. Beberapa pasien masuk ke fase kritis perembesan plasma
dan kemudian mengalami sok sebelum demam turun, pada pasien
tersebut peningkatan hematokrit serta trombositopenia terjadi
secara cepat. Selain itu, pada pasien DBD baik yang disertai syok
atau tidak dapat terjadi keterlibatan organ misalnya hepatitis berat,
ensefalitis, miokarditis, dan/atau perdarahan hebat, yang dikenal
sebagai expanded dengue syndrome. [4]

15
Fase Penyembuhan (Fase Konvalesens)

Apabila pasien dapat melalui fase kritis yang berlangsung sekitar


24-48 jam, terjadi reabsorpsi cairan dari ruang ekstravaskular ke
dalam ruang intravaskular yang berlangsung secara bertahap pada
24-48 jam berikutnya. keadaan umum dan nafsu makan membaik,
gejala gastrointestinal mereda, status hemodinakin stabil, dan
diuresis menyusul kemudian. Pada beberapa pasien dapat
ditemukan ruam konvalesens, beberapa kasus lain dapat disertai
pruritus umum. Bradikardia dan perubahan elektrokardiografi pada
umumnya terjadi pada tahap ini. Hematokrit kembali stabil atau
mungkin lebih rendah karena efek dilusi cairan yang direabsorpsi.
Jumlah leukosit mulai meningkat segera setelah penurunan suhu
tubuh tetapi pemulihan jumlah trombosit umumnya lebih lambat.
Gangguan pernapasan akibat efusi pleura masif dan asites, edema
paru atau gagal jantung kongestif akan terjadi selama fase kritis
dan/aau fase pemulihat jika cairan intravena diberikan berlebihan.
Berikut penyulit pada fase demam, kritis, dan konvalesens. [4]

Tabel 1. Penyulit pada tiga fase DBD

Fase Gejala Klinis

Demam Dehidrasi,
Demam tinggi dapat menyebabkan gangguan
neurologi dan kejang demam
Kritis Syok akibat perembesan plasma,
Perdarahan masif,
Gangguan organ
Konvalesens Hipervolemia (jika terapi cairan intravena
diberikan secara berlebihan dan/atau dilanjutkan
sampai fase konvalesens)
Edema paru akut

16
b. Sindrom Syok Dengue

Sindrom syok dengue (SSD) merupakan syok hipovolemik yang


terjadi pada DBD, yang diakibatkan peningkatan permeabilitas
kapiler yang disertai perembesan plasma. Syok dengue pada
umumnya terjadi di sekitar penurunan suhu tubuh (fase kritis),
yaitu pada hari sakit ke4-5 (rentang hari ke 3-7), dan sering kali
didahului oleh tanda bahaya (warning signs). Pasien yang tidak
mendapat terapi cairan intravena yang adekuat akan segera
mengalami syok. [4]

Syok Terkompensasi

Syok dengue merupakan satu rangkaian proses fisiologis dimana


tubuh melalui jalur neurohumoral melakukan mekanisme
kompensasi agar tidak terjadi hipoperfusi pada organ vital. Sistem
kardiovaskular mempertahankan sirkulasi melalui peningkatan isi
sekuncup (stroke volume), laju jantung (heart rate), dan
vasokonstriksi perifer. Pada fase ini tekanan darah biasanya belum
turun, namun telah terjadi peningkatan laju jantung. Oleh karena itu
takikaria yang terjadi pada saat suhu tubuh mulai turun, walaupun
tekanan darah beum banyak menurun, harus diwaspadai
kemungkinan anak jatuh ke dalam syok. [4]

Tahap selanjutnya, apabila perembesan plasma terus berlangsung


atau pengobatan tidak adekuat, kompensasi dilakukan dengan
mempertahankan sirkulasi ke arah organ vital dengan mengurangi
sirkulasi ke daerah perifer (vasokonstriksi perifer), secara klinis
ditemukan ekstremitas teraba dingin dan lembab, sianosis, kulit
tubuh menjadi berbecak-bercak (mottled), pengisian waktu kapiler
(capilary refill time) memanjang lebih dari dua detik. Denga
adanya vasokonstriksi perifer, terjadi peningkatan resistensi perifer
sehingga tekaan diastolik meningkat sedang tekanan sistolik tetap

17
sehingga tekanan nadi (perbedaan tekanan antara sistolik dan
diastolik) akan menyempit kurang dari 20mmHg. [4]

Pada tahap ini sistem pernapasan melakukan kompensasi berupa


quite tachypnea (takipnea tanpa peningkatan kerja otor
pernafasan). Kompensasi sistem keseimbangan asam basa berupa
asidosis metabolik namun nilai pH masih normal dengan tekanan
karbon dioksida rendah dan kadar bikarbonat rendah. Keadaan
anak pada fase ini pada umumnya tetap sadar. [4]

Pemberian cairan yang adekuat pada umumnya akan memberikan


prognosis yang baik. Bila keadaan kritis tidak tertangani dengan
cepat, maka pasien akan jatuh ke dalam syok dekompensasi. [4]

Syok Dekompensasi

Pada keadaan syok dekompensasi, upaya fisiologis untuk


mempertahankan sistem kardiovaskular telah gagal, pada keadaan
ini tekanan sistolik dan diastolik menurun, disebut syok hipotensif.
Selanjutnya apabila pasien terlambat berobat atau pemberian
pengobatan tidak adekuat makan akan terjadi profound shock yang
ditandai dengan nadi tidak teraba dan tekanan darah tidak terukur,
sianosis makin jelas terlihat. Berikut rangkaian hemodinamik pada
anak dengan sirkulasi stabil, syok terkompensasi, dan syok
dekompensasi. [4]

Tabel 2. Rangkaian hemodinamik DBD[4]

Parameter Sirkulasi stabil Syok Syok Dekompensasi


Terkompensasi
Kesadaran Clear and lucid Clear and lucid
Perubahan status
mental (gelisah,
combative)
CRT Cepat (<2 detik) Memanjang (>2 Sanagat memanjang,
detik) kulit mottled
Ekstremitas Ekstremitas hangat Ekstremitas Ekstremitas dingin
dan kemerahan dingin dan lembab

18
Volume Volume baik Lemah dan Lemah atau
nadi perifer halus menghilang
HR Normal sesuai usia Takikardia Takikardia berat,
bradikardia pada syok
lanjut
TD Normal sesuai usia Sistolik normal, Hipotensi
diastolik Tekanan darah tidak
meningkat, terukur (profound
tekanan nadi shock)
menyempit
(<20mmHg)
Hipotensi
postural
RR Normal sesuai usia Quite tachypnea Asidosis
metabolik/hiperpnea/p
ernapasan Kussmaull
Diuresis Normal Cenderung Oliguria/anuria
menurun

Salah satu tanda perburukan klinis utama adalah perubahan kondisi


mental karena penurunan perfusi otak. Pasien menjadi gelisah,
bingung, atau letargi. Kejang dan agitasi mungkin terjadi
bergantian dengan letargi. Pada beberapa kasus anak-anak dan
dewasa muda pasien tetap memiliki status mental yang baik
walaupun sudah mengalami syok. Ketidakmampuan bayi dan anak-
anak untuk mengenali atau melakukan kontak mata dengan orang
tua, atau tidak memberi respons terhadap rangsang nyeri pada saat
pengambilan darah, dapat merupakan pertanda buruk yaitu awal
terjadinya hipoperfusi korteks serebri. [4]

Syok hipotensif berkepanjangan dan hipoksia menyebabkan


asidosis metabolik berat, kegagalan organ multipel serta perjalanan
klinis yang sangat sulit diatasi. Perjalanan dari ditemukannya
warning signs sampai terjadi syok trkompensasi, dan dari syok
terkompensasi menjadi syok hipotnsi dapat memakan waktu
beberapa jam. Akan tetapi dari syok hipotensif sampai terjadinya

19
kolaps kardiorespirasi dan henti jantung hanya dalam hitungan
menit. [4]

Pasien DBD berat memiliki derajat kelainan koagulasi yang


bervariasi, tetapi hal ini pada umumnya tidak sampai menyebabkan
perdarahan masif. Terjadinya perdarahan masif hampir selalu
berhubungan dengan profound shock yang bersama-sama dengan
trombositopenia, hipoksia serta asidosis dapat menyebabkan
kegagalan organ multipel dan koagulasi intravaskular diseminata.
Perdarahan masif tanpa profound shock dapat terjadi karena
penggunaan asam asetil salisilat (aspirin), ibuprofen, atau
kortikosteroid. Oleh karena itu hindari penggunaan obat-obat
tersebut. [4]

Gagal hati akut dan gagal ginjal akut serta ensefalopati mungkin
terjadi pada syok berat. Kardiomiopati dan ensefalitis juga telah
dilaporkan dalam sejumlah laporan seri kasus dengue. Namun,
sebagian besar kematian akibat dengue terjadi akibat profound
shock yang dipersulit oleh perdarahan dan/atau pemberian cairan
berlebih. Pasien dengan perembesan plasma hebat mungkin saja
idak jatuh ke keadaan syok jika telah dilakukan penggantian cairan
sesegera mungkin namun kemungkinan timbul gangguan
pernapasan akibat terapi cairan intravena yang berlebih. [4]

c. Expanded dengue syndrome

Manifestasi klinis berupa keterlibatan organ seperti hati, ginjal,


otak, maupun jantung yang berhubungan dengan infeksi dengue
dengan atau tidak ditemukannya tanda kebocoran plasma.
Manifestasi yang jarang ini terutama disebabkan kondisi syok yang
berkepanjangan dan berlanjut menjadi gagal organ atau pasien
dengan komorbiditas atau ko-infeksi. Maka dapat disimpulkan
bahwa EDS dapat berupa penyulit infeksi dengue dan manifestasi
klinis yang tidak lazim. Penyakit infeksi dengue dapat berupa

20
kelebihan cairan (fluid overload) dan gangguan elektrolit,
sedangkan yang termasuk manifestasi klinis yang tidak lazim ialah
ensefalopati dengue atau ensefalitis, perdarahan hebat (massive
bleeding), infeksi ganda (dual infections), kelainan ginjal, dan
miokarditis. [4]

6. Pemeriksaan Laboratorium

6.1 Isolasi virus

Isolasi virus dapat dilakukan dengan metode inokulasi pada


nyamuk, kultur sel nyamuk atau pada sel mamalia (vero cell LLCMK2 dan
BHK21). Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan yang rumit dan hanya
tersedia di beberapa laboratorium besae yang terutama dilakukan untuk
tujuan penelitian, sehingga tidak tersedia di laboratorium komersial.
Isolasi virus hanya dapat dilakukan pada enam hari pertama demam. [4]

6.2 Deteksi asam nukleat virus

Genome virus dengue yang terdiri dari RNA dapat dideteksi


melalui pemeriksaan reverse transcriptase polymerase chain reaction
(RT-PCR). Pemeriksaan ini hanya tersedia di laboratorium yang memiliki
peralatan biologi molekuler dan petugas laboratorium yang handal.
Memberi hasil positif bila sediaan diambil pada enam hari pertama
demam. Biaya pemeriksaan tergolong mahal. [4]

6.3 Deteksi antigen virus

Deteksi antigen virus dengue yang banyak dilaksanakan pada saat


ini adalah pemeriksaan NS-1 antigen virus dengue yaitu suatu glikoprotein
yang diproduksi oleh semua flavivirus yang penting bagi kehidupan dan
replikasi virus. Protein dapat dideteksi sejalan dengan viremia yaitu sejak
hari pertama demam dan menghilang setelah 5 hari, sensitivitas tinggi
pada 1-2 hari demam dan kemudian makin menurun setelahnya. [4]

6.4 Deteksi serum respons imun/uji serologi serum imun

21
 Haemaglutination inhibition test (Uji HI)

pemeriksaan sensitif namun kurang spesifik dan memelukan dua


sediaan serum akut dan konvalesens, sehingga tidak dapat digunakan
untuk menegakkan diagnosis dini. [4]

 Complement fixation test (Uji CFT)

tidak dipakai secara luas dalam penegakan diagnosis dan juga sulit
dilakukan. [4]

 Uji Neutralisasi

merupakan pemeriksaan yang paling sensitif dan spesifik, metode


yang paling sering dipakai adalah plaque reduction neutralization test
(PRNT). Pemeriksaan ini mahal, perlu waktu, secara teknik cukup
rumit, oleh karena itu jarang dilakukan di laboratorium klinik. Sangat
berguna untuk penelitian pembuatan dan efikasi vaksin. [4]

 Pemeriksaan serologi IgM dan IgG anti dengue

Imunoglobulin M anti dengue memiliki kadar bervariasi, pada


umumnya dapat terdeteksi pada hari sakit kelima, dan tidak terdeteksi
setelah 90 hari. Pada infeksi dengue primer, IgG anti dengue muncul
lebih lambat dibandingkan IgM anti dengue, namun pada infeksi
sekunder muncul lebih cepat. Kadar IgG anti dengue bertahan lama
dalam serum. Kinetik NS-1 antigen virus dengue dan IgG serta IgM
anti dengue, merupakan petunjuk dalam menentukan jenis
pemeriksaan dan untuk membedakan antara infeksi primer dengan
infeksi sekunder. [4]

22
Gambar 3. Respon imun terhadap infeksi dengue

 Parameter hematologi

Pada awal fase demam hitung leukosit dapat normal atau dengan
peningkatan neutrofil, selanjutnya diikuti penurunan jumlah leukosit
dan neutrofil, yang mencapai titik terendah pada akhir fase demam.
Perubahan jumlah leukosit (<5000 sel/mm3) dan rasio antara neutrofil
dan limfosit (neutrofil<limfosit) berguna dalam memprediksi masa
kritis perembesan plasma. Sering kali ditemukan limfositosis relatif
dengan peningkatan limfosit atipik pada akhir fase demam dan saat
masuk fase konvalesens. Perubahan ini juga dapat terlihat pada DD. [4]

Pada awal fase demam jumlah trombosit normal, kemudian diikuti


oleh penurunan. Trombositopenia di bawah 100.000/uL dapat
ditemukan pada DD, namun selalu ditemukan pada DBD. Penurunan
trombosit yang mendadak di bawah 100.000/uL terjadi pada akhir fase
demam memasuki fase kritis atau saat penurunan suhu.
Trombositopeni pada umumnya ditemukan antara hari sakit ketiga
sampai delapan, dan sering mendahului peningkatan hematokrit.
Jumlah trombosit berhubungan dengan derajat penyakit DBD. Di
samping itu terjadi gangguan fungsi trombosit (trombositopati).

23
Perubahan ni berlangsung singkat dan kembali normal selama fase
penyembuhan. [4]

Pada awal demam nilai hematokrit masih normal. Peningkatan ringan


pada umumnya disebabkan oleh demam tinggi anoreksia dan muntah.
Peningkatan hematokrit lebih dari 20% merupakan tanda dari adanya
kebocoran plasma. Trombositopeni di bawah 100.000/uL dan
peningkatan hematokrit lebih dari 20% merupakan bagian dari
diagnosis klinis DBD. Harus diperhatikan bahwa nilai hematokrit
dapat diakibatkan oleh penggantian cairan dan adanya perdarahan. [4]

7. Kriteria Diagnosis Infeksi Dengue

7.1 Kriteria Diagnosis Klinis

Manifestasi klinis dengue sangat bervariasi dan sulit dibedakan


dari penyakit infeksi lain terutama pada fase awal perjalanan penyakitnya.
Berikut kriteria diagnosis klinis demam dengue (DD), demam berdarah
dengue (DBD), demam berdarah dengue dengan syok (sindrom syok
dengue/SSD), dan expanded dengue syndrome. [4]

A. Diagnosis klinis demam dengue


 Demam 2-7 hari yang timbul mendadak, terus-menerus, bifasik.
 Manifestasi perdarahan baik spontan seperti ptekie, purpura, ekimosis,
epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis dan atau melena; maupun berupa
uji torniquet positif.
 Nyeri kepala, mialgia, atralgia, nyeri retroorbital.
 Dijumpai kasus DBD baik di lingkungan sekolah, rumah atau di sekitar
rumah.
 Leukopenia <4000/mm3
 Trombositopenia
Apabila ditemukan gejala demam ditambah dengan adanya dua atau lebih tanda
dan gejala lain, diagnosis kliinis DD dapat ditegakkan.

24
Demam tinggi (di atas 38,50C) bersifat terus menerus berarti perbedaan suhu
terendah dengan suhu tertinggi kurang dari 10C. Tingginya demam dapat
diperkirakan melalui pertanyaan mengenai akibat demam terhadap pasien, seperti
anak rewel/gelisah, kulit kemerahan terutama pada wajah (flushing) dan fotofobi.
efek obat penurun panas, pada umumnya hanya sebenar, paling lama sesuai
dengan masa kerja obat, setelah itu demam kembali meningkat tinggi. [4]

B. Diagnosis klinis demam berdarah dengue


 Demam 2-7 hari yang timbul mendadak, tinggi, terus-menerus (kontinyu).
 manifestai perdarahan baik yang spontan seperti ptekie, purpura, ekimosis,
epistaksis, perdarah gusi, hematemesis dan atau melena; maupun berupa
uji Torniquette yang positif.
 Nyeri kepala, mialgia, atralgia, nyeri retroorbital.
 Dijumpai kasus DBD baik di lingkungan sekola, rumah, atau di sekitar
rumah.
 Hepatomegali
 terdapat kebocoran plasma yang ditandai dengan salah satu tanda/gejala:
- peningkatan nilai hematokrit, >20% dari pemeriksaan awal atau dari
data populasi menurut umur
- ditemukan adanya efusi pleura, asies
- hipoalbuminemia, hipoproteinemia
 Trombositopenia <100.000/mm3
Demam disertai dengan dua atau lebih manifestasi klinis, ditambah bukti
perembesan plasma dan trombositopenia cukup untuk menegakkan diagnosis
DBD.

C. Tanda Bahaya (Warning Signs) untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya


syok pada DBD
Klinis Demam turun tetapi keadaan anak memburuk
Nyeri perut dan nyeri tekan abdomen

25
Muntah yang menetap
Letargi, gelisah
Perdarahan mukosa
Pembesaran hati
Akumulasi cairan
Oliguria
Laboratorium Peningkatan kadar hematokrit dersamaan dengan
penurunan cepat jumlah trombosit
Hematokrit awal tinggi

DBD dengan syok (SSD) ditemukan tanda dan gejala syok hipovolemik baik yang
terkompensasi maupun yang dekompensasi.

D. Tanda dan Gejala Syok Terkompensasi


 takikardia
 takipnea
 tekanan nadi (perbedaan antara sistolik dan diastolik) <20mmHg
 waktu pengisian kapiler (CRT) >2detik
 kulit dingin
 produksi urin (urine output) menurun, <1mL/kgBB/jam
 Anak gelisah

E. Tanda dan Gejala Syok Dekompensasi


 takikardia
 hipotensi (sistolik dan diastolik turun)
 nadi cepat dan kecil
 pernapasan Kussmaul dan hiperapnea
 sianosis
 kulit lembab dan dingin
 Profound shock : nadi tidak teraba dan tekanan darah tidak terukur

26
expanded dengue syndrome apabila kriteria DD atau DBD disertai syok maupun
tidak, dengan manifestasi klinis komplikasi infeksi virus dengue atau dengan
manifestasi klinis yang tidak basa, seperti tanda dan gejala:

 Kelebihan cairan  gagal ginjal akut


 gangguan elektrolit  haemolytic uremic syndrome
 ensefalopati (HUS)
 ensefalitis  gangguan jantung: gangguan
 perdarahan hebat konduksi, miokarditis,
perikarditis
 infeksi ganda

7.2 Kriteria Diagnosis Laboratoris

diperlukan untuk survailans epidemiologi, terdiri atas:

 Probable dengue, apabila diagnosis klinis diperkuat oleh hasil


pemeriksaan serologi anti dengue.
 Confirmed dengue, apabila diagnosis klinis diperkuat dengan
deteksi genome vius dengue dengan pemeriksaan RT-PCR, antigen
dengue pada pemeriksaan NS1, atau apabila didapatkan
serokonversi pemeriksaan IgG dan IgM (dari negatif menjadi
positif) pada pemeriksaan serologi berpasangan. [4]

27
8. Tatalaksana

Skrining dilakukan untuk menentukan pasien mana yang dapat


diperlakukan sebagai pasien rawat jalan dan pasien rawat inap, yaitu:

Tersangka Infeksi Dengue


Demam 2-7 hari mendadak tinggi kontinyu, nyeri kepala, mialgia, atralgia,
nyeri retroorbital, manifestasi perdarahan (spontan/rumple leede), leukosit
<4.000/mm3, dan kasus DBD di lingkungan In

Umum Menolak makan dan minum


Muntah persisten
Warning signs dari DBD Nyeri perut hebat, hepatomegali yang nyeri tekan,
letargi, gelisah, akumulasi cairan, hematokrit awal
tinggi, demam turun tetapi keadaan memburuk
Tanda dan gejala syok Terkompensasi dan Dekompensasi
Tanda dan gejala Ensefalitis-Ensefalopati, melena, hematemesis,
keteribatan hematokesia, hematuri, urin berwarna gelap
organ/expanded dengue (hemoglobinuria), gangguan jantung, gagal ginjal
syndrome akut, Haemolytic uraemic syndrome
Indikasi sosial Rumah jauh atau tidak ada orang tua/wali yang dapat
diandalkan untuk merawat anak di rumah

Tidak Ya

Rawat Jalan;
nasihat kepada orang
tua

Rawat Inap:
Apakah terdapat: Ya
- Demam dengue
Warning signs?
- Demam berdarah dengue
- Demam berdarah dengue
dengan syok
- Expanded dengue syndrome

Gambar 4. Skrining tersangka infeksi dengue di Triase [4]

28
8.1 Tatalaksana Rawat Jalan Demam Dengue

Pasien diberi pengobatan simptomatik berupa antipiretik seperti


parasetamol dengan dosis 10-15mg/kgBB/dosis yang dapat diulang setiap
4-6 jam bila demam. Hindarkan pemberian antipiretik berupa asetil
salisilat, antiinflamasi nonsteroid (NSAID) seperti ibuprofen. Upaya
menurunkan demem dengan metode fisik seperti kompres diperbolehkan,
yang dianjurkan adalah dengan cara “kompres hangat” (diseka dengan air
hangat suam kuku). Anak dianjurkan cukup minum, boleh air putih atau
teh, namun lebih baik jika diberikan cairan yang mengandung elektrolit
seperti jus buah, oralit atau air tajin. Tanda kecukupan cairan adalah
diuresis tiap 4-6 jam. [4]

Pasien diharuskan untuk kembali berobat (kontrol) setiap hari hal ini
mengingat tanda dan gejala DBD pada fase awal sangat menyerupai DD,
tanda dan gejala yang karakteristik baru timbul setelah beberapa hari
kemudian. Oleh karena itu pada pasien dengan diagnosis klinis DD yang
diteakkan pada saat masuk, baik yang kemudian diperlakkan sebagai
pasien rawat jalan maupun rawat inap, masih memerlukan evaluasi lebih
lanjut apakah hanya DD atau merupakan dbd fase awal. Pasien DD,
walaupun kecil, mempunyai kemungkinan untuk mengalami penyulit
seperti dehidrasi akibat asupan yang kurang misalnya arena timbul
muntah, perdarahan berat atau bahkan expanded dengue syndrome. [4]

8.2 Tatalaksana Pasien Rawat Inap Demam Berdarah Dengue (DBD)

Berbeda dengan DD, pada DBD terjadi kebocoran plasma yang


apabila cukup banyak maka akan menimbulkan syok hipovolemi (demam
berdarah dengan syok/sindrom syok dengue) dengan mortalitas yang tnggi.
Dengan demikian penggantian cairan ditujkan untuk mencegah timbulnya
syok. Perembesan plasma terutama terjadi saat suhu tubuh turun (time of
fever defervescence). pemeriksaan nilai hematokrit merupakan indikator
yang sensitif untuk mendeteksi derajat perembesan plasma, sehingga
jumlah cairan yang diberikan harus disesuaikan dengan hasil pemeriksaan

29
hematokrit. Perlu diperhatikan bahwa kebocoran plasma pada DBD
bersifat sementara, sehingga pemberian cairan jumlah banyak dan jangka
waktu lama dapat menimbulkan kelebihan cairan dengan segala akibatnya.
Terapi simtomatis diberikan terutama untuk kenyamanan pasien, seperti
pemberian antipiretik dan istirahat. [4]

Jenis cairan yang dipilih untuk DBD adalah kristaloid. Tidak dianjurkan
pemberian cairan hipotonik seperti Nacl 0,45 kecuali bagi pasien usia
<6bulan. Dalam keadaan normal setelah satu jam pemberian cairan
hipotonis, hanya 1/12 volume yang bertahan di dalam ruang intravaskular
sedangkan cairan isotonis ¼ volume yang bertahan, sisanya terdistribusi ke
ruang intraselular dan ekstraselular. Pada keadaan permeabilitas yang
meningkat volume cairan yang bertahan akan semkain berkurang sehingga
lebih mudah terjadi kelebihan cairan pada pemberian cairan hipotonis.
Cairan koloid (hiperonkotik (osmolaritas >300mOsm/L) seperti dextran 40
atau HES walaupun lebih lama bertahan dalam ruang intravaskular namun
memiliki efek samping sepeti alergi, mengganggu fungsi koagulasi, dan
berpotensi mengganggu fungsi ginjal. Jenis cairan ini hanya diberikan
pada 1) perembesan plasma masif yang ditunjukkan dengan nilai
hematokrit yang makin meningkat atau tetap tinggi sekalipun telah diberi
cairan kristaloid atau pada 2) keadaan syok yang tidak berhasil dengan
pemberian bolus cairan kristaloid yang kedua. Cairan koloid isoonkotik
kurang efektif. Pada bayi <6bulan diberikan cairan Nacl 0,45% atas dasar
pertimbangan fungsi fisiologis yang berbeda dengan anak yang lebih
besar. [4]

Volume cairan yang diberikan disesuaikan dengan berat badan, kondisi


klinis, dan temuan laboratorium. pada DBD terjadi hemokonsentrasi akibat
kebocoran plasma >20%, oleh karena itu jumlah cairan yang diberikan
diperkirakan sebesar kebutuhan rumatan (maintenance) ditambah dengan
perkiraan defisit cairan 5%. Volume cairan ditingkatkan apabila nilai
hematokrit naik dan kemudian diturunkan bertahap seiring dengan
penurunan nilai hematokrit. Pemberian cairan dihentikan bila keadaan

30
umum stabil dan telah melewati fase kritis, pada umumnya pemberian
cairan dihentikan setelah 24-48 jam keadaan umum anak stabil. [4]

Tabel 3. Kebutuhan cairan berdasarkan berat badan ideal

BB ideal (kg) Rumatan (mL) Rumatan + defisit 5% (ml)


5 500 750
10 1.000 1500
15 1.250 2.000
20 1.500 2.500
25 1.600 2.850
30 1.700 3.200

Tabel 4. Kecepatan pemberian cairan

Jumlah Cairan Kecepatan (mL/kgBB/jam)


½ rumatan 1,3
Rumatan 3
Rumatan + defisit 5% 5
Rumatan + defisit 7% 7
Rumatan + defisit 10% 10

Pemantauan pada pasien dengan DBD, meliputi:

 keadaan umum pasien, nafsu makan, muntah, perdarahan, dan


Warning sign.
 perfusi perifer dan tanda-tanda vital setiap 2-4 jam sekali.
 pemeriksaan hematokrit awal dilakukan sebelum resusitasi atau
pemberian cairan intravena, diupayakan setiap 4-6 jam sekali.
 volume urin ditampung minimal 8-12 jam
 diupayakan jumlah urin >1mL/kgBB/jam (berat badan ideal).
 pada pasien dengan risiko tinggi, seperti obesitas, komorbid diperlukan
pemeriksaan laboratorium atas indikasi.

31
 pantau: darah perifer lengkap, kadar gula darah, uji fungsi hati, dan
sistem koagulasi sesuai indikasi.
 apabila diperlukan pemeriksaan radiologi untuk mendeteksi adanya
efusi pleura, pemeriksaan yang diminta adalah foto radiologi dada
dengan posisi lateral kanan dekubitus.
 periksa golongan darah
 pemeriksaan lain atas indikasi, misalnya USG, EKG, dan lainnya. [4]

8.3 Tatalaksana Sindrom Syok Dengue

Prinsip utama tatalaksana SSD adalah pemberian cairan yang cepat dengan
jumlah yang adekuat. Selain itu bila ditemukan faktor komorbid dan
penyulit harus segera dikoreksi

 SSD Terkompensasi
- berikan terapi oksigen 2-4 lpm
- resusitasi cairan kristaloid isotonik intravena 10-20mL/kgBB
dalam waktu 1 jam. Periksa hematokrit
- bila syok teratasi, berikan cairan dengan dosis 10mL/kgBB/jam
selama 1-2 jam
- bila keadaan sirkulasi tetap stabil, jumlah cairan dikurangi secara
bertahap 7,5; 5; 3; 1,5mL/kgBB/jam. Pada umumnya setelah 24-
48 jam pasca resusitasi, cairan intravena sudah tidak diperlukan.
Pertimbangkan untuk mengurangi jumlah cairan yang diberikan
secara intravena bila masukan cairan melalui oral makin
membaik.
- bila syok teratasi, periksa analisis gas darah, hematokrit, kalsium,
dan gula darah untuk menilai kemungkinan adanya A-B-C-S
(Asidosis, Bleeding, Calcium, Sugar) yang memperberat syok
hipovolemik. Dan segera dikoreksi.
 SSD Dekompensasi

memerlukan tindakan yang cepat dan segera, pertolongan terlambat


akan mengakibatkan pasien jatuh ke dalam kondisi profound shock

32
yang mempunyai prognosis buruk. berikut tatalaksana syok
dekompensasi.

- berikan oksigen 2-4lpm


- lakukan pemasangan akses vena, apabila dua kali gagal atau lebih
dari 3-5 menit, berikan cairan melalui prosedur intraosseus
- berikan cairan kristaloid dan/atau koloid 10-20mL/kgBB secara
bolus dalam waktu 10-20 menit. Pada saat bersamaan usahakan
dilakukan pemeriksaan hematokrit, analisa gas darah, gula darah,
dan kalsium.
- bila syok teratasi, berikan cairan kristaloid dengan dosis
10mL/kgBB/jam selama 1-2 jam
- bila keadaan sirkulasi tetap stabil, jumlah cairan dikurangi secara
bertahap 7,5; 5; 3; 1,5mL/kgBB/jam. Pada umumnya setelah 24-
48 jam pasca resusitasi, cairan intravena sudah tidak diperlukan.
Pertimbangkan untuk mengurangi jumlah cairan yang diberikan
secara intravena bila masukan cairan melalui oral makin
membaik.
- apabila syok belum teratasi periksa ulang hematokrit, jika
hematokrit tinggi diberikan kembali bolus kedua. Koreksi apabila
asidosis, hipoglikemia atau hipokalsemia. Bila hematokrit rendah
atau normal dan ditemukan tanda perdarahan masif, berikan
transfusi darah segar (fresh whole blood) dengan dosis
10mL/kgBB atau fresh packed red cell dengan dosis 5mL/kgBB.
Jika nilai hematokrit rendah atau turun namun tidak ditemukan
tanda perdarahan berikan bolus kedua, apabila tidak membaik
pertimbangkan transfusi darah.

33
Sindrom Syok Dengue Terkompensasi:
Anak gelisah, takipnea, kulit dingin, tekanan nadi <20mmHg, CRT
>2detik, jumlah diuresis turun

beri oksigen 2-4L/menit


periksa hematokrit, kristaloid RL/RS 10-20mL/kgBB dalam 60 menit

Ya Syok teratasi Tidak

IVFD Periksa A-B-C-S: Ht, gas darah,


10mL/kgBB, 1-2 glukosa darah, kalsium, perdarahan
jam Koreksi bila ditemukan segera
asidosis, hipoglisemia,
hipokalsemia
TTV stabil,
turunkan IVFD
bertahap 7,5; 5; Ht meningkat Ht menurun
3; 1,5
mL/kgBB/jam
Bolus kedua kristaloid Perdarahan
atau koloid 10-
stop IVFD 20mL/kgBB dalam
maksimal 48 jam
Tidak jelas

waktu 10-20 menit


setelah syok
teratasi

Bila tidak teratasi


Koloid 10-20mL/kgBB dalam 10-
20 menit, jika syok menetap Transfusi
dilanjutkan transfusi darah darah

Gambar 5. Bagan Tatalaksana Sindrom Syok Dengue Terkompensasi[4]

34
Sindrom Syok Dengue Dekompensasi:
kulit dingin dan lembab, takikardi, syok hipotnsif (hipotensi, nadi cepat
kecil), syok dalam (nadi tidak teraba dan tekanan darah tidak terukur),
pernapasan Kussmaul, sianosis

beri oksigen 2-4L/menit


bolus kristaloid dan/atau koloid 10-20mL/kgBB dalam waktu 10-20 menit
periksa ABCS: hematokrit, analisis gas darah, gula darah, kalsium

Ya Syok teratasi Tidak

IVFD koreksi segera asidosis, hipoglisemia,


10mL/kgBB, hipokalsemia, perhatikan nilai hematokrit
1-2 jam

TTV stabil,
turunkan IVFD
bertahap 7,5; 5; Ht meningkat Ht menurun
3; 1,5
mL/kgBB/jam
Bolus kedua
stop IVFD kristaloid atau
koloid 10- Perdarahan perdarahan
maksimal 48
20mL/kgBB tidak jelas
jam setelah
syok teratasi dalam waktu
10-20 menit

Bila tidak teratasi:


Koloid 10-20mL/kgBB
dalam 10-20 menit, jika
syok menetap
pertimbanggkan transfusi Transfusi darah
darah

Gambar 6. Bagan Tatalaksana Sindrom Syok Dengue Dekompensasi[4]

35
Pemantauan DBD dengan Syok, meliputi

 TTV setiap 15-30 menit, selanjutnya setiap jam apabila syok sudah
teratasi
 Analisis gas darah, gula darah, kalsium pada saat masuk rumah sakit
terutama pada pasien syok dekompensasi atau yang mengalami syok
berkepanjangan
 Hematokrit harus diperiksa sebelum pemberian cairan resusitasi
pertama dan kedua, selanjutnya setiap 4-6 jam
 Produksi urin ditampung dan diukur
 Apabila ditemukan gangguan fungsi organ atau sistem lain, seperti
ginjal, hati gangguan pembekuan, jantung; lakukan pemeriksaan
penunjang sesuai
 Perhatian khusus harus diberikan untuk kemungkinan terjadinya edema
paru akibat kelebihan cairan. Periksa keadaan respirasi (napas cepat,
PCH, retraksi, rhonki basah), peninggian JVP, hepatomegali, asites,
efusi pleura. Edema paru yang tidak diobati akan menimbulkan
asidosis, sehingga pasien dapat kembali syok. [4]

10.4 Tatalaksana pada fase pemulihan (recovery phase)

 fase pemulihan ditandai dengan perbaikan klinis, nafsu makan


membaik, dan secara umum tampak membaik
 status hemodinamik dan perfusi perifer yang baik perlu dipantau
dengan baik
 didapatkan penurunan kadar hematokrit ke kadar basal dan volume
urin yang cukup
 pemberian cairan intravena tidak boleh dilanjutkan lagi untuk
mencegah kelebihan cairan karena pada fase pemulihan cairan dari
ekstravaskular akan kembali ke intravaskular
 pada pasien dengan efusi pleura yang luas dan asites, pada fase
pemulihan mudah terjadi kelebihan cairan, maka dapat diberikan
furosemid untuk mengurangi udem paru

36
 mungkin terjadi hipokalemia yang disebabkan oleh stres dan diuresis,
perlu segera dikoreksi dengan memberikan buah yang kaya kalium
atau suplemen
 tidak jarang dijumpai bradikardia, maka perlu pemantauan untuk
terjadinya penyulit yang jarang yaitu heart block atau ventricular
premature contraction. [4]

Tanda-tanda penyembuhan

 Frekuensi nadi, tekanan darah, frekuensi napas stabil


 suhu badan normal
 tidak dijumpai perdarahan baik eksternal maupun internal
 nafsu makan membaik
 tidak dijumpai muntah aupun nyeri perut
 volume urin cukup
 kadar hematokrit stabil pada kadar basal
 ruam konvalesens, ditemukan pada 20%-30% kasus

Kriteria pulang rawat

 Tidak demam minimal 24 jam tanpa terapi antipiretik


 nafsu makan membaik
 perbaikan klinis yang jelas
 jumlah urin cukup
 minimal 2-3 hari setelah syok teratasi
 tidak tampak distres pernapasan yang disebabkan eusi pleura atau
asites
 jumlah trombosit >50.000/mm3. apabila masih rendah namun klinis
baik, pasien boleh pulang dengan nasihat jangan melakukan aktivitas
yang memudahkan pasien mengalami trauma selama 1-2 minggu
(sampai trombosit normal). Pada umumnya apabila tidak ada penyulit
atau penyakit lain yang menyertai, trombosit akan kembali ke kadar
normal dalam waktu 3-5 hari.

37
9. Pengendalian DBD
 mengupayakan pembudayaan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN)
dengan 3M plus. Singkatan dari 3M antara lain: 1)
Menguras/membersihkan tempat yang sering dijadikan tempat
penampungan air seperti bak mandi, ember air, tempat penampungan
air minum, penampung air lemari es dan lain-lain; 2) menutup rapat
tempat-tempat penampungan air seperti drum, kendi, toren air, dan lain
sebagainya; dan 3) memanfaatkan kembali atau mendaur ulang barang
bekas yang memiliki potensi untuk jadi tempat perkembangbiakan
nyamuk penular DBD. Adapun yang dimaksud dengan Plus adalah
segala bentuk kegiatan pencegahan seperti 1) Menaburkan bubuk
larvasida (lebih dikenal dengan abate) pada tempat penampunggan air
yang sulit dibersihkan; 2) menggunakan obat nyamuk atau anti
nyamuk; 3) menggunakan kelambu saat tidur; 4) memelihara ikan
pemangsa jentik nyambuk; 5) menanam tanaman pengusir nyambuk;
6) mengatur cahaya dan ventilasi dalam rumah; 7) menghindari
kebiasaan menggantung pakaian dalam rumah yang bisa menjadi
tempat istirahat nyamuk, dal lain-lain. 3M plus diharapkan dapat
secara berkelanjutan sepanjang tahun. kegiatan pengendalian vektor
dengan pengasapan atau fogging fokus dilakukan di rumah penderita
DBD dan lokasi sekitarnya yang diperkirakan menjadi sumber
penularan. Fogging dilakukan bila hasil PE positif, yaitu ditemukan
penderita atau ditemukan tiga atau lebih penderita panas tanpa sebab
dan ditemukan jentik >5%. Fogging dilaksanakan dalam radius 200
meter dan dilakukan dua siklus dengan interval 1 minggu. penentuan
siklus ini dengan asumsi bahwa pada penyemprotan siklus pertama
semua nyamuk yang mengandung virus dengue atau nyamuk infektif,
dan nyamuk-nyamuk lainnya akan mati. Kemudian akan segera diikuti
dengan munculnya nyamuk baru yang akan menghisap darah penderita
viremia yang masih ada yang berpotensi menimbulkan terjadinya
penularan kembali, sehingga perlu dilakukan penyemprotan siklus

38
kedua. Penyemprotan yang kedua dilakukan satu minggu sesudah
penyemprotan yang pertama, agar nyamuk baru yang infektif tersebut
akan terbasmi sebelum sempat menularkan pada orang lain.[2]
 upaya promosi kesehatan dilakukan di semua sektor, termasuk
pembentukan Juru Pembasmi Jentik (Jumantik) pada anak sekolah dan
pramuka. [2]
 penyediaan logistik tatalaksana kasus DBD berupa rapid diagnostic
test (RDT) dan reagen untuk diagnosis serotype DBD. [2]
 pelaksanaan surveilans kasus DBD untuk memantau dinamika kejadian
penyakit DBD di Indonesia sehingga kemungkinan terjadinya KLB
dapat diantisipasi dan dicegah sejak dini. [2]
 pelaksanaan surveilans vektor Aedes spp. untuk memantau dinamika
vektor dengan demikian populasi Aedes spp. dapat diantisipasi dan
dicegah. [2]
10. Komplikasi dan Penyulit

10.1 Kelebihan cairan (fluid overload)

ditemukan pada saat fase kritis dan fase konvalesens. Penyulit ini
dapat menyebabkan edema paru atau gagal jantung yang akan
menyebabkan gagal napas dan kematian. Untuk mencegah penyulit
tersebut, harus dilakukan monitor ketat dengan memantau pemberian
cairan intravena dari minimal sampai rumatan. Pada fase penyembuhan
edema paru dapat terjadi karena pada fase ini terjadi reabsorbsi plasma
dari ruang ekstravaskular, sedangkan volume pemberian intravena tidak
disesuaikan. Maka pasien akan mengalami distress pernapasan, disertai
sembab pada kelopak mata, dan dijumpai gambaran edema paru pada foto
dada. [4]

Penyebab kelebihan cairan

 pemberian cairan intravena terlalu awal dengan volume yang besar


 menggunakan cairan hipotonik dengan volume yang besar

39
 tidak menurunkan jumlah volume cairan infus ataupun mengehentikannya
walaupun sudah masuk ke fase konvalesens
 tidak menggunakan cairan jenis koloid walau sudah ada indikasi
 tidak segera memberikan transfusi darah walaupun sudah jelas ada indiasi
perdarahan dan tetap menggunakan kristaloid
 pasien dengan status nutrisi overweight/obesitas diberikan cairan infus
yang tidak sesuai dengan berat badan ideal

Tanda dan gejala dari kelebihan cairan

 tampak sakit berat


 distres pernapasan, dispnea dan takipnea
 hepatomegali yang makin membesar
 abdomen cembung dengan asites masif
 nadi meningkat dengan isi dan tekanan masih kuat
 krepitasi dan atau ronki dan atau wheezing di semua lapang paru
 perfusi yang buruk didapatkan pada pasien dengan gagal napas
(respiratory failure) oleh karena efusi pleura yang masif dan atau asites

10.2 Gangguan elektrolit

Sering terjadi selama fase kritis yaitu hiponatremia dan


hipokalsemia, sedangkan hipokalemia lebih sering pada fase konvalesens.
[4]

 hiponatremia terjadi sebagai akibat dari pemberian cairan infus larutan


hipotonis yang tidak adekuat
 hipokalsemia sebagai akibat perembesan kalsium mengikuti albumin
masuk ke rongga pleura dan peritoneal
 hipokalemia disebabkan adanya kondisi stres dan pemberian diuretik

10.3 Ensefalopati – Ensefalitis dengue

Berupa keterlibatan susunan saraf pusat, yaitu kejang dan


penurunan kesadaran. Kondisi ini dapat terjadi pada keadaan syok

40
berat/syok berkepanjangan dengan perdarahan, tetapi dapat juga terjadi
pada DBD yang tidak disertai syok yang disebabkan oleh peradangan otak
(ensefalitis) atau ensefalopati. kedua keadaan ini harus dipertimbangkan
apabila pasien mengalami demam 2-7 hari disertai adanya penurunan
kesadaran atau kejang. Virus dengue diduga dapat menembus sawar darah
otak, namun dapat pula disebabkan oleh gangguan keseimbangan elektrolit
dan metabolik seperti hiperglikemia. Kejang terjadi akibat hipoksia pada
penurunan perfusi korteks serebri, atau edema otak akibat kebocoran
vaskular di jaringan otak. Pada ensefalopati dengue dapat dijumpai
peningkatan kadar transaminase (SGOT/SGPT), PT dan PTT memanjang,
kadar gula darah menurun, alkalosis, dan hiponatremia. [4]

10.4 Perdarahan masif (massive bleeding)

Perdarahan hebat umumnya disebabkan akibat KID dan gagal


multiorgan seperti disfungsi hati dan ginjal, hipoksia yang berhubungan
dengan syok yang berat dan berkepanjangan, asidosis metabolik yang
disertai dengan trombositopenia. Adanya aktivasi koagulasi yang luas
menyebabkan pembentukan fibrin intravaskular dan oklusi pembuluh
darah kecil yang mengakibatkan timbulnya trombosis. Peningkatan
penggunaan trombost pada KID menyebabkan makin menurunnya jumlah
trombosit dan faktor pembekuan sehingga memicu perdarahan hebat.
Perdarahan berat umumnya terjadi pada saluran cerna berupa
hematemesis, hematokesia, dan melena. Adanya perdarahan internal atau
tersamar pada saluran cerna harus dicurigai apabila setelah dievaluasi
klinis dan pemberian cairan yang adekuat, namun terjadi kondisi sebagai
berikut. [4]

 pasien dengan syok refrakter (syok yang tidak berhasil diatasi), dan
memiliki hemoglobin dan hematokrit rendah atau penurunan hemoglobin
dan hematokrit
 pasien dengan tekanan sistolik dan diastolik yang meningkat atau normal
namun denyut nadi masih cepat

41
 pasien dengan penurunan hematokrit lebih dari 10% selama pemberian
cairan

10.5 Infeksi ganda (dual infections)

Di daerah endemik terdapat laporan infeksi dengue terjadi


bersamaan dengan infeksi lain seperti diare akut, pneumonia, campak,
cacar air, demam tifoid, ISK, leptospirosis, dan malaria. Jika pasien infeksi
denge masih mengalami demam setelah fase kritis dan syok terlewati,
maka sumber infeksi lainnya harus segera dicari atau penyebab lain.
seperti infeksi sebelum masuk rumah sakit atau healthcare associated
infection. [4]

10.6 Kelainan ginjal

terjadi sebagai akibat dari syok yang tidak teratasi dengan baik.
Diuresis merupakan parameter yang penting dan mudah dikerjakan untuk
mengetahui apakah syok telah teratasi. Diuresis diusahakan
>1mL/kgBB/jam. Oleh karena jika syok belum teratasi dengan baik,
sedangkan volume cairan telah dikurangi dapat terjadi acute kidney injury
(AKI), ditandai penurunan jumlah urin, dan peningkatan kadar ureum dan
kreatinin. [4]

10.7 Miokarditis

disfungsi kontraktilitas miokardium dapat terjadi pada pasien


infeksi dengue yang mengalami syok berkepanjangan. Penyebabnya
terutama adalah asidosis metabolik, hipokalsemia, dan kardiomiopati.
Sehingga tata laksana pada keadaan ini selain memberikan obat-obatan
untuk miokarditis, juga segera koreksi asidosis dan hipokalsemia.
Miokarditis jarang didapatkan dan pada umumnya bukan sebagai
penyebab kematian infeksi dengue. [4]

42
DAFTAR PUSTAKA

1. [DEPKES RI] Departemen Kesehatan RI. 2010. Buletin Jendela


Epidemiologi. Jakarta: Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi Depkes RI
2. [DEPKES RI] Departemen Kesehatan RI. 2016. Situasi DBD. Jakarta:
InfoDATIN Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI.
3. IDAI. 2009. Pedoman Pelayanan Medis. Jakarta: IDAI
4. Hadinegoro, SR., Ismoedijanto M., Alex C. 2014. Pedoman Diagnosis dan
Tata laksana Infeksi Virus Dengue pada Anak. Jakarta: UKK Infeksi dan
Penyakit Tropis IDAI.
5. Suhendro, Leonard N., Khie C., Herdiman TP. 2009. Demam Berdarah
Dengue. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi V. Editor
Setiati S., A.Idrus, W.S.Aru, S.K.Marcellus, S. Bambang, dan F.S. Ari.
Jakarta: Internal Publishing.
6. [WHO]. 2011. Comprehensive Guideline for Prevention and Control of
Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever. India: WHO Regional Office for
South-East Asia.
7. CDC. 2010. Comparison between main dengue vectors. url:
https://www.cdc.gov/dengue/resources/30jan2012/comparisondenguevecto
rs.pdf [diakses pada 30 Mei 2018].

43

You might also like