You are on page 1of 9

BAB II

PEMBAHASAN

1.1 Pengertian

Berdasarkan Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Dalam


Rumah Tangga (KDRT) No. 23 Tahun 2004 menjelaskan bahwa Kekerasan
dalam Rumah Tangga merupakan setiap perbuatan pada seseorang terutama
perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,
seksual, psikologis dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk
melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara hukum
dalam lingkup rumah tangga. Yang ditandai dengan hubungan antar anggota
keluarga yang diwarnai dengan penyiksaan secara verbal, tidak adanya
kehangatan.

Kekerasan dalam rumah tangga merupakan salah satu dari permasalahan


sosial yang penting sekali dimana perempuan ditempatkan dalam posisi lebih
rendah dibandingkan laki-laki. (Darmono & Diantri, 2008)

Kekerasan dalam keluarga mencakup penganiayaan fisik, emosional, dan


fisik pada anak-anak, pemukulan pasangan, pemerkosaan, dan penganiayaan
lansia. (Sheila L.Videbeck.2008)

1.2 Tipe Kekerasan


1.2.1 Kekerasa fisik : perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau
luka berat seperti menampar, menendang, mencakar, dan lain sebagainya.
1.2.2 Kekerasan psikis : perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa
percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, dan rasa tidak berdaya.
Seperti : berkata kasar, menghina, dan lain sebagainya.
1.2.3 Kekerasan seksual : setiap perbuatan yang memaksa hubungan seksual
a. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan yang menetap dalam
lingkup rumah tangga tersebut.
b. Pemaksaan hubungan seksual dengan keluarga (yang tidak serumah).
1.2.4 Penelantaran rumah tangga : yaitu seseorang yang menelantarkan org dalam
lingkup rumah tangganya.

1.3 Tipe Penganiayaan

1.3.1 Isolasi sosial

Biasanya anggota yang mengalami kekerasan cenderung menutupi apa yang


terjadi di dalam keluarga karena pelaku mengancam anggota keluarga
seperti mengancam memukul jika anggota keluarga memberi tahu kejadian
tersebut.

1.3.2 Kekuasaan dan kontrol

Pelaku kekerasan biasanya mempunyai kekuasaan yang lebih tinggi dari


anggota-anggota keluarga sehingga pelaku hampir selalu berada dalam
posisi yang berkuasa dan memiliki kendali terhadap korban.

1.3.3 Penyalahgunaan alkohol dan obat-obatan

50% - 90% pria yang memukul pasangannya dalam rumah tangga memiliki
riwayat penyalahgunaan zat.

1.3.4 Proses transmisi antar generasi

Berarti bahwa pola perilaku kekerasan diteruskan dari satu generasi ke


generasi berikutnya melalui model peran dan pembelajaran sosial. Misalnya
pelaku kekerasan dahulunya adalah korban kekerasan.

1.4 Etiologi

Secara umum faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya kejadian


kekerasan dalam rumah tangga dapat dikelompokkan menjadi :

1.4.1 Faktor individual (korban/perempuan) : kepercayaan/agama, umur, status


kependudukan, urutan anak dalam keluarga, pekerjaan diluar rumah,
pendidikan rendah, riwayat kekerasan saat masih anak-anak.

1.4.2 Faktor individual (pelaku/ laki-laki) : perbedaan umur, pendidikan rendah,


pekerjaan, riwayat mengalami kekerasan saat masih anak-anak, penggunaan
obat-obatan atau alkohol , kebiasaan berjudi, gangguan mental, penyakit
kronis, mempunyai hubungan diluar nikah dengan wanita lain.

1.4.3 Faktor sosial budaya : Menurut Helse et all, (2005) budaya patrilineal yang
menempatkan peran laki-laki sebagai pengontrol kekayaan, warisan
keluarga (termasuk nama keluarga) dan pembuat keputusan dalam keluarga
serta konflik perkawinan merupakan predictor yang kuat untuk terjadinya
kekerasan. Ada budaya yang menganggap perilaku kekerasan suami
terhadap istri adalah hal yang biasa. Perilaku kekerasan yang di lakukan
oleh suami ini di maksudkan untuk mengontrol keluarga.

1.4.4 Faktor sosio ekonomi : salah satu faktor utama terjadinya tindakan
kekerasan adalah kemiskinan. Faktor lain yang berhubungan adalah
pengangguran, urbanisasi, pengisolasian, diskriminasi, gender dalam
lapangan pekerjaan.

1.4.5 Faktor religi : pemahaman ajaran agama yang keliru : suami salah persepsi
dalam agama “memukul istri” adalah hal yang wajar untuk mendidik
istrinya dan persepsi seperti itu terjadilah kekerasan dalam rumah tangga.

1.4.6 Lingkungan dengan frekuensi kekerasan dan kriminalitas yang tinggi

1.4.7 Kehidupan keluarga yang kacau, tidak saling mencintai dan menghargai,
serta tidak menghargai peran wanita

1.4.8 Kurang adanya keakraban dan hubungan jaringan sosial pada keluarga

1.4.9 Adanya perilaku meniru yang diserap oleh anak karena terbiasa melihat
kekerasan dalam rumah tangga. Pelaku juga memiliki perilaku yang
temperamen tinggi, mudah tersinggung dan cepat marah kepada istri karena
tidak patuh terhadap suami.

1.4.10 Beban pengasuhan anak : istri yang tidak bekerja, menjadikannya


menanggung beban sebagai pengasuh anak. ketika terjadi hal yang tidak
diinginkan terjadap anak, maka suami akan menyalahkan istri sehingga
terjadi kekerasan dalam rumah tangga.
1.4.11 Kekerasan sebagai alat untuk menyelesaikan konflik : tindakan ini
merupakan faktor dominan yang dilakukan suami sebagai pelampiasan
dari ketersinggungan atau kekecewaan karena tidak dipenuhi keinginan
suami. tindakan inni juga biasanya dilakukan dengan tujuan agar istri jadi
penurut. sehingga apa kata suami dapat dituruti oleh istri.

1.4.12 Frustasi : teori frustasi - agresi menyatakan bahwa kekerasan sebagai suatu
cara untuk mengurangi ketegangan yang dihasilkan situasi frustasi. Teori
ini berasal dari suatu pendapat yang masuk akal bahwa sesorang yang
frustasi sering menjadi terlibat dalam tindakan agresif. Orang frustasi
sering menyerang sumber frustasinya atau memindahkan frustasinya ke
orang lain. Misalnya : belum siap kawin, suami belum memiliki pekerjaan
dan penghasilan tetap yang mencukupi kebutuhan rumah tangga.

1.4.13 Pendidikan yang rendah

Bagi pasangan suami-istri yaitu karna tidak ada nya pengetahuan bagi
kedua nya dalam hal bagaimana cara mengimbangi pasangan dan
mengatasi keuangan yang dimiliki pasangan dalam menyelaraskan sifat-
sifat yang tidak cocok diantara keduanya.

1.4.14 Cemburu yang berlebihan

Jika tidak adanya rasa kepercayaan antara satu dan lain maka akan timbul
rasa cemburu dan curiga dalam kadar yang sangat berlebihan. Sifat
cemburu yang terlalu tinggi ini bisa memicu terjadi nya kekerasan dalam
rumah tangga.

Menurut teori biologik :

1.4.15 Neurobiologik

Ada 3 cara pada otak yang berpengaruh terhadap proses impuls agresif.
Sistem limbic, lobus frontal dan hypothalamus, neurotransmitor, juga
mempunyai peranan dalam memfasilitasi atau menghambat proses impuls
agresif.
1.4.16 Biokimia

Berbagai neurotransmitor terapinefrine, norefinefrine, dopamine,


asetikoline, dan serotonin sangat berperan dalam memfasilitasi atau
menghambat impuls agresif.

1.5 Dampak

Dampak KDRT terhadap Anak menurut Marianne James, Senior Research


pada Australian Institute of Criminology (1994) adalah :

1.5.1 Dampak terhadap Anak berusia bayi

Usia bayi seringkali menunjukkan keterbatasannya dalam kaitannya dengan


kemampuan kognitif dan beradaptasi, menyatakan bahwa anak bayi yang
menyaksikan terjadinya kekerasan antara pasangan bapak dan ibu sering
dicirikan dengan anak yang memiliki kesehatan yang buruk, kebiasaan tidur
yang jelek, dan teriakan yang berlebihan. Bahkan kemungkinan juga anak-
anak itu menunjukkan penderitaan yang serius. Hal ini berkonsekuensi logis
terhadap kebutuhan dasarnya yang diperoleh dari ibunya ketika mengalami
gangguan yang sangat berarti. Kondisi ini pula berdampak lanjutan bagi
ketidaknormalan dalam pertumbuhan dan perkembangannya yang sering
kali diwujudkan dalam problem emosinya, bahkan sangat terkait dengan
persoalan kelancaran dalam berkomunikasi.

1.5.2 Dampak terhadap anak toddler

Dalam tahun kedua fase perkembangan, Dampak yang terjadi seperti


seringnya sakit, memiliki rasa malu yang serius, dan memiliki masalah
selama dalam pengasuhan, terutama masalah sosial, misalnya : memukul
dan menggigit.

1.5.3 Dampak terhadap Anak usia pra sekolah

Cumming (1981) melakukan penelitian tentang KDRT terhadap anak-anak


yang berusia TK, pra sekolah, sekitar 5 atau 6 tahun. Dilaporkannya bahwa
Anak-anak yang memperoleh rasa distress pada usia sebelumnya. Ini dapat
dijelaskan bahwa anak-anak prasekolah yang dipisahkan secara sosial dari
teman sebayanya, bahkan tidak berkesempatan untuk berhubungan dengan
kegiatan atau minat teman sebayanya juga, maka mereka cenderung
memiliki beberapa masalah yang terkait dengan orang dewasa.

1.5.4 Dampak terhadap Anak Sekolah

Anak-anak mengalami masalah dalam kesehatan mentalnya, termasuk


didalamnya prilaku anti sosial dan depresi, anak mengalami mimpi buruk,
ketakutan, nafsu makan menurun, lamban dalam belajar, anak akan
mengalami luka, cacat fisik, cacat mental, bahkan kematian, menunjukkan
perubahan perilaku dan kemampuan belajar, memiliki gangguan belajar dan
sulit berkonsentrasi, selalu curiga dengan orang lain.

Dampak kekerasan dalam rumah tangga pada dewasa (istri) :


1.5.5 Kekerasan fisik langsung atau tidak langsung dapat mengakibatkan istri
menderita rasa sakit fisik dikarenakan luka sebagai akibat tindakan
kekerasan tersebut.
1.5.6 Kekerasa seksual mengakibatkan menurunkan atau bahkan hlangnya gairah
seks, karena istri menjadi ketakutan.
1.5.7 Kekerasan psikologis dapat berdampak istri merasa tertekan, shock, trauma,
rasa takut, marah meningkat, meledak-ledak, depresi.
1.5.8 Kekerasan ekonomi mengakibatkan terbatasnya pemenuhan kebutuhan
sehari-hari yang diperlukan istri dan anaknya.
Dampak kekerasan dalam rumah tangga pada lansia :
1.5.9 Merasa tidak dihargai
1.5.10 Merasa gagal mendidik anak

1.6 Pencegahan
1.6.1 Pencegahan primer : dengan cara memberikan penguatan pada individu dan
keluarga dengan membangun koping yang efektif dalam menghadapi stress
dan menyelesaikan masalah tanpa menggunakan kekerasan.
1.6.2 Pencegahan sekunder : dengan cara mengidentifikasi keluarga dengan resiko
kekerasan, penelataran, atau eksploitasi terhadap anggota keluarga, serta
melakukan deteksi dini terhadap keluarga yang mulai menggunakan
kekerasan.
1.6.3 Pencegahan tersier : dilakukan dengan cara menghentikan tindak kekerasan
yang terjadi bekerja sama dengan badan hukum yang berwenang untuk
menangani kasus kekerasan.
1.6.4 Menyelenggarakan pendidikan orang tua untuk dapat menerapkan cara
mendidik dan memperlakukan anak-anaknya secara humanis.
1.6.5 Memberikan keterampilan tertentu kepada anggota keluarga untuk
secepatnya melaporkan ke pihak lain yang diyakini sanggup memberikan
pertolongan, jika sewaktu-waktu terjadi kekerasan dalam rumah tangga.
1.6.7 Mendidik anggota keluarga untuk menjaga diri dari perbuatan yang
mengundang terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.
1.6.8 Membangun kesadaran kepada semua anggota keluarga untuk takut kepada
akibat yang ditimbulkan dari kekerasan dalam rumah tangga.
1.6.9 Membekali calon suami istri atau orangtua baru untuk menjamin kehidupan
yang harmoni, damai, dan saling pengertian, sehingga dapat terhindar dari
perilaku kekerasan dalam rumah tangga.
1.6.10 Mendidik, mengasuh, dan memperlakukan anak sesuai dengan jenis
kelamin, kondisi, dan potensinya.
1.6.11 Menunjukkan rasa empati dan rasa peduli terhadap siapapun yang terkena
kekerasan dalam rumah tangga, tanpa sedikitpun melemparkan kesalahan
terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga.
1.6.12 Perlu nya keimanan yang kuat dan aklaq yang baik juga berpegang teguh
pada agama nya masing-masing, sehingg kekerasan dalam rumah tangga
tidak terjadi.
1.6.13 Harus ada nya komunikasi yang baik antar suami dan juga istri agar
tercipta sebuah rumah tangga yang rukun, harmonis.
1.6.14 Seorang istri mampu mengkoordinir berapa pun keuangan yang ada dalam
keluarga, sehingga seorang istri dapat mengatasi apabila terjadi
pendapatan keluaga yang minim, sehingga kekurangan enkonomi yang
minim dapat teratasi.
1.7 Peran Perawat
1.7.1 Peran sebagai pendidik (educator)
Meningkatkan pengetahuan ibu dan keluarga mengenai kekerasan dalam
rumah tangga khususnya mengenai pengertian, jenis, serta dampak.
1.7.2 Peran sebagai pemberi konseling (counselor)
Disini perawat maternitas dapat berperandengan fokus meningkatkan
harga diri korban, memfasilitasi ekspresi perasaan korban dan terutama
untuk memberikan informasi dan dukungan agar korban korban dapat
mengambil langkah pengamanan. konseling tidak hanya ditujukan untuk
perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga. tetapi juga untuk
pelaku. tujuannya adalah untuk mendorong pelaku untuk mengambil
tanggung jawab dalam menghentikan tindak kekerasan dan meningkatkan
kualitas hidupnya sendiri.
1.7.3 Peran sebagai pemberi pelayanan keperawatan (caregiver)
peran perawat maternitas sebagai pemberi pelayanan keperawatan adalah
memberikan asuhan keperawatan mulai dari pengkajian hingga pemberian
inteervensi dan evaluasi.perawat harus meningkatkan kepekaan dengan
tidak mengabaikan tanda- tanda bekas perlakuan kekerasan, secara cepat
dan dapat mengidentifikasikan masalah, menentukan apakah wanuta
terebut membutuhkan penanganan medis ataupun terapi khusus.
1.7.4 Peran sebagai penemu kasus dan peneliti (case finder researcher)
meningkatkan riset dan pendalaman dalam aspek prevensi, promosi dan
deteksi dini.
1.7.5 Peran sebagai pembela (advokat)
berperan sebagai advokat, perawat harus senantiasa terbuka untuk suatu
kerja sama yang baik dengan lembaga penyedia layanan pendampingan
dan bantuan hukum, mengadakan pelatihan mengenai perlindungan pada
korban tindak kekerasan dalam rumah tangga, melatih kader- kader (LSM)
untuk mampu menjadi pendampingan korban kekerasan.
1.7.6 Memeriksa kesehatan korban sesuai dengan standar profesi
(anjurkansegera lakukan pemeriksaan visum).
1.7.7 Memberikan informasi mengenai hak-hak korban untuk mendapatkan
perlindungan dari kepolisian dan penetapan perintah perlindungan dari
pengadilan.
1.7.8 Mengantarkan korban ke rumah aman atau tempat tinggal alternatif
(Ruang Pelayanan Khusus).
1.7.9 Melakukan koordinasi yang terpadu dalam memberikan layanan kepada
korban dengan pihak kepolisian, dinas sosial, serta lembaga sosoal yang
dibutuhkan korban
Sosialisasi Undang-Undang KDRT kepada keluarga dan masyarakat.

You might also like