You are on page 1of 14

1

MAKALAH KEPERAWATAN JIWA I

TREND DAN ISSUE KEPERAWATAN JIWA : KEKERASAN

Dosen Pengampu : Nor Afni Oktavia, Ns., M.Kep

Di susun Oleh :

Kelompok 3

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BANJARMASIN
TAHUN AKADEMIK 2017/2018
2

NAMA KELOMPOK :

1. Muhammad Norhidayat ( 1614201110094) / Ketua


2. Emy Pratama ( 1614201110074) / Sekertaris
3. Dwi Hadisantoso ( 1614201110072)
4. Desy Iriyanti ( 1614201110070)
5. Eva herlina ( 1614201110075)
6. Farihah Febia ( 1614201110076)
7. Muhammad Fikri Khairani ( 1614201110093)
8. Nor Aimah ( 1614201110100)
9. Nurul Islamy ( 1614201110104)
10. Nurul Jannah ( 1614201110105)
11. Siti munawarah ( 1614201110115)
12. Sofyan Amin Syamsurya ( 1614201110116)
13. Sri Wahyuna ( 1614201110117)
14. Widya Febriana ( 1614201110119)
3

A. Konsep Dasar Perilaku Kekerasan


1. Definisi
a. Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang
dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain maupun
lingkungan. (Stuart dan Sunden, 1995) dalam Kumpulan materi keperawatan jiwa RSJ
Provinsi Jawa Barat 2010.
b. Perilaku kekerasan merupakan suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai
seseorang secara fisik maupun psikologis. (Berkowtz, 1993) dalam Kumpulan materi
keperawatan jiwa RSJ Provinsi Jawa Barat 2010.
c. Kekerasan Terhadap anak
Secara teoritis, kekerasan terhadap anak (Child Abuse) dapat didefinisikan sebagai
peristiwa pelukaan fisik, mental, atau seksual yang umumnya dilakukan oleh orang-orang
yang tidak mempunyai tanggung jawab terhadap kesejahteraan anak yang mana itu semua
diindikasikan dengan kerugian dan ancaman tehadap kesehatan dan kesejahteraan anak.
Contoh paling jelas dari tindak kekerasan yang dialami anak-anak adalah pemukulan atau
penyerangan secara fisik berkali-kali sampai terjadi luka goresan (srapes/scrathes).
Namun demikian, perlu didasari bahwa Child Abuse sebenarnya tidak hanya berupa
pemukulan atau penyerangan secara fisik, melainkan juga bisa berupa berbagai bentuk
eksploitasi melalui misalnya pornografi atau penyerangan seksual (seksual as-sault),
pemberian makanan yang tidak layak bagi anak atau makanan kurang gizi (malnutrion),
pengabaian pendidikan dan kesehatan (education and medical neglet) dan kekerasan yang
berkaitan dengan medis (medical abuse ). Gelles, 1985 dalam Suyanto (Masalah
sosialisasi anak 2010:28).
2. Jenis dan Kekerasan yang di lakukan orang tua terhadap anak
Dari klasifikasi yang dilakukan para ahli, tindakan kekerasan atau pelanggaran terhadap
anak tersebut dapat terwujud setidaknya dalam dua bentuk. Suyanto, dalam Masalah
sosialisasi anak ( 2010:29)
a. Kekerasan fisik.
Bentuk ini paling mudah dikenali. Terkategorisasi sebagai kekerasan jenis ini adalah :
menampar, menendang, memukul/meninju, mencekik, mendorong, menggigit,
membenturkan, mengancam dengan benda tajam dan sebagainya. Korban kekerasan jenis
ini biasanya tampak secara langsung pada fisik korban seperti : luka memar, berdarah,
patah tulang, pingsan, dan bentuk lain yang kondisinya lebih berat.
4

b. Kekerasan psikis.
Kekerasan jenis ini tidak begitu mudah dikenali. Akibat yang dirasakan oleh korban tidak
memberikan bekas yang nampak jelas bagi orang lain. Dampak kekerasan jenis ini akan
berpengaruh pada situasi perasaan tidak aman dan nyaman, menurunnya harga diri serta
martabat korban. Wujud konkret kekerasan atau pelanggaran jenis ini adalah :
penggunaan kata-kata kasar, penyalahgunaan kepercayaan, mempermalukan orang di
depan orang lain atau di depan umum, melontarkan ancaman dengan kata-kata, dan
sebagainya. Akibat adanya perilaku tersebut biasanya korban akan merasa rendah diri,
minder, merasa tidak berharga, dan lemah dalam membuat keputusan (decision making).
3. Faktor Terjadinya Perilaku Kekerasan Terhadap Anak
Menurut Lestari Basoeki, 1999 dalam Suyanto (2010:32), beberapa faktor penyebab yang
terjadi penganiayaan anak dan penelantaran anak :
a. Orang tua yang dahulu dibesarkan dengan kekerasan cenderung
meneruskan pendidikan tersebut kepada anak-anaknya.
b. Kehidupan yang seperti terlalu padat kemiskinan, sering berkaitan dengan tingkah laku
agresif, dan menyebabkan terjadinya penganiayaan fisik terhadap anak.
c. Isolasi sosial, tidak adanya dukungan yang cukup dari lingkungan sekitar, tekanan
sosial akibat situasi krisis ekonomi, tidak bekerja dan masalah perumahan akan
meningkatkan kerentanan keluarga yang akhirnya akan terjadinya penganiayaan dan
penelantaran anak.
Menurut seorang pemerhati masalah anak Fatimah, (1992) dalam Suyanto (2010:33)
mengungkapknan terdapat 5 kondisi yang menjadi faktor pendorong atau penyebab terjadinya
kekerasan atau pelanggaran dalam keluarga yang dilakukan terhadap anak :
a. Faktor ekonomi.
Kemiskinan yang dihadapi sebuah keluarga sering kali membawa keluarga tersebut pada
situasi kekecewaan yang pada gilirannya menimbulkan kekerasan. Hal ini biasanya terjadi
pada keluarga dengan anggota yang sangat besar. Problematika finansial keluarga yang
memprihatinkan atau kondisi keterbatasan ekonomi dapat menciptakan berbagai macam
masalah baik dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari, pendidikan, kesehatan, pembelian
pakaian, pembayaran sewa rumah yang kesemuanya relatif dapat mempengaruhi jiwa dan
tekanan yang sering kali akhirnya dilampiaskan terhadap anak-anak.
b. Masalah keluarga.
Hal ini lebih mengacu pada situasi keluarga khususnya hubungan orang tua yang kurang
harmonis. Seorang ayah akan sanggup melakukan kekerasan terhadap anak-anaknya semata-
5

mata sebagai pelampiasan atau upaya untuk pelepasan rasa jengkel dan amarahnya terhadap
istri. Sikap orang tua yang tidak melukai anak-anak, pemarah dan tidak mampu
mengendalikan emosi juga dapat menyebabkan terjadinya kekerasan pada anak-anak. Bagi
para orang tua yang memiliki anak yang bermasalah seperti : cacat fisik atau mental (idiot)
acap kali kurang dapat mengendalikan kesabarannya sewaktu menjaga atau mengasuh anak-
anak mereka, sehingga mereka juga merasa terbebani atas kehadiran anak-anak tersebut dan
tidak jarang orang tua menjadi kecewa dan merasa frustasi.
c. Faktor perceraian.
Perceraian dapat menimbulkan problematika kerumah tanggaan seperti persoalan hak
pemeliharaan anak, pemberian kasih sayang, pemberian nafkah dan lain sebagainya. Akibat
perceraian juga akan dirasakan oleh anak-anak terutama ketika orang tua mereka menikah
lagi dan anak harus dirawat oleh ibu atau ayah tirinya. Dalam banyak kasus tindakan
kekerasan tidak jarang dilakukan oleh pihak ayah atau ibu tiri tersebut.
d. Menyangkut permasalahan jiwa atau psikikologis.
Dalam berbagai kajian psikologis disebutkan bahwa orang tua yang melakukan tindakan
kekerasan atau penganiayaan terhadap anak-anak adalah mereka yang memiliki problem
psikologis. Mereka senantiasa berada dalam situasi kecemasan (anxiety) dan tertekan akibat
mengalami depresi atau setres. Secara tipologis ciri-ciri psikologis yang menandai situasi
tersebut anatara lain : adanya perasaan rendah diri, harapan terhadap anak yang tidak realistis,
harapan yang bertolak belakang dengan kondisinya dan kurangnya pengetahuan tentang
bagaimana cara mengasuh anak yang baik.
e. Faktor terjadinya kekerasan atau pelanggaran terhadap hak-hak anak adalah tidak
dimilikinya pendidikan atau pengetahuan religi yang memadai.
Dalam sebuah model yang disebut “The Abusive Environment Model”, Ismail, 1995
dalam Suyanto (2010:35) menjelaskan bahwa faktor penyebab terjadinya kekerasan terhadap
anak-anak sesungguhnya dapat ditinjau :
a. Aspek kondisi sang anak sendiri
Kekerasan dan pelanggaran terhadap hak anak dapat terjadi karena faktor pada anak,
seperti : anak yang mengalami premature, anak yang mengalami sakit sehingga
mendatangkan masalah, hubungan yang tidak harmonis sehingga mempengaruhi watak,
adanya proses kehamilan atau kelahiran yang sulit, kehadiran anak yang tidak dikehendaki,
anak yang mengalami cacat baik mental maupun fisik, anak yang sulit diatur sikapnya, dan
anak yang meminta perhatian khusus.
6

b. Faktor pada orang tua .


Meliputi pernah tidak orang tua mengalami kekerasan atau penganiayaan sewaktu kecil,
menganggur atau karena pendapatan tidak mencukupi, pecandu narkotika atau peminum
alkohol, pengasingan sosial atau dikucilkan, sewaktu senggang yang terbatas, karakter
pribadi yang belum matang, mengalami gangguan emosi atau kekacauan saraf yang lain,
mengidap penyakit jiwa, sering kali menderita gangguan kepribadian, berusia terlalu muda
sehingga belum matang, terutama sekali mereka yang mendapatkan anak sebelum berusia 20
tahun. Kebanyakan orang tua dari kelompok ini kurang memahami kebutuhan anak dan
mengira bahwa anak dapat memenuhi perasaannya sendiri dan latar belakang pendidikan
orang tua yang rendah.
c. Karena faktor lingkungan seperti : kondisi kemiskinan dalam masyarakat dan tekanan
nilai materialistis, kondisi sosial ekonomi yang rendah, adanya nilai dalam masyarakat
bahwa anak merupakan milik orang tua sendiri, status wanita yang rendah, sistem
keluarga patriakat, nilai masyarakat yang terlalu individualistis dan sebagainya.

Dalam pengkajian lain yaitu Vincent J. Fontana, 1973 dalam Suyanto (2010:37)
mengemukakan bahwa orang yang biasanya melakukan tindak kekerasan atau penganiayaan
terhadap anaknya adalah orang tua yang memiliki ciri berikut:
a. Secara emosional belum matang.
Orang tua yang termasuk pada ciri ini umumnya bersifat kekanak-kanakan dan menikah
belum mencapai usia sesuai tanggung jawab yang harus diemban sebagai orang tua. Sering
kali orang tua merasa tidak senang dengan kehadiran anak dan memaksa anak untuk memikul
beban peranan orang tua dimana sesungguhnya anak belum waktunya untuk melakukannya.
Untuk rasa keamanan mereka menekankan adanya aturan-aturan dirumah yang sangat ketat.
Siapa saja yang tidak mematuhi aturan yang telah ditetapkan akan mendapatkan ancaman dan
hukuman. Dengan emosi yang masih labil orang tua tipe ini lebih cenderung untuk meminta
dari pada memberi. Ada juga yang merasa terasing dengan lingkungannya sebab tidak
mampu menjalin hubungan yang harmonis baik dengan keluarga maupun anaknya.
b. Menderita gangguan emosional.
Kebanyakan dari orang tua ini tidak memiliki cara pengasuhan dan latar belakang yang
baik, sehingga tidak memiliki bekal sebagai orang tua yang bertanggung jawab. Hal ini
menyebabkan mereka tidak dapat berperan sebagaimana orang tua pada umumnya. Apabila
mengalami frustasi orang tua dengan tipe ini tidak mampu melakukan kontrol terhadap
emosinya sehingga tidak segan-segan untuk melukai siapapun yang ada didekatnya termasuk
7

juga anak-anaknya. Kondisi semacam ini menyebabkan orang tua senantiasa menyalahkan
anak-anaknya padahal anaknya tidak melakukan apapun seperti yang dituduhnya.
c. Secara mental tidak sempurna.
Pada golongan ini orang tua sulit untuk melakukan adaptasi dan menerima anak-anaknya.
Dengan masalah mental yang dihadapi mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan dan
bagaimana seharusnya berfikir. Akibatnya mereka sulit untuk memahami dirinya apalagi
orang lain termasuk anak-anaknya sendiri. Sehingga jika perilaku anak-anak menyimpang
dari tingkah laku standar normal yang mereka tentukan, maka mereka akan beranggapan
bahwa anak-anak tidak tunduk dan dengan sengaja melakukan pelanggaran. Pelanggaran
yang terjadi akan selalu di iringi dengan hukuman yang makin lama makin berat.
d. Orang tua yang terlalu berpegang pada disiplin.
Orang tua pada tipe ini beranggapan bahwa memukul dan menghajar adalah sesuatu hal
yang wajar untuk mendisiplinkan anak. Mereka menganggap bahwa hukuman fisik adalah
cara wajar untuk mendidik anak dan merupakan cara yang sangat efektif. Ada beberapa
alasan mengapa orang tua melakukannya. Pertama, karena mereka merasa bahwa orang tua
sangat bertanggung jawab dalam membesarkan anak-anaknya sesuai dengan apa yang mereka
inginkan. Kedua, mereka mencoba melakukan yang terbaik untuk anak-anak mereka. Dengan
kata lain, yang benar menurut orang tua benar untuk sang anak.
e. Orang tua yang memiliki kepribadian yang sadisme dan berperilaku kriminal.
Meskipun orang tua termasuk pada golongan ini kecil jumlahnya, tetapi perlu juga
diwaspadai. Biasanya orang tua tipe ini suka memukul, menyiksa dan kadang kala
membunuh hanya untuk kepuasan pribadi.
f. Pecandu minuman alkohol.
Orang tua yang telah kecanduan minuman keras atau minuman alkohol meski tidak
bermaksud untuk melakukan tidak kekerasan pada anaknya, tetapi karena pengaruh minuman
tersebut justru sebaliknya akan terjadi. Karena tidak sadar mereka tidak jarang melakukan
tindak kekerasan terhadap anak-anak. Kondisi kecanduan minuman keras memberikan
konsekuensi terhadap lingkungan kehidupan keluarga yang makin buruk dan mempengaruhi
proses pendidikan pada anak.
4. Dampak Tindakan Kekerasan Terhadap Anak
Secara umum dapat dikatakan bahwa tindak kekerasan pada anak adalah setiap tindakan
yang mempunyai dampak fisik yang bersifat traumatis pada anak, baik yang dapat dilihat
dengan mata telanjang atau dilihat dari akibatnya bagi kesejahteraan fisik dan mental anak.
Tindak Kekerasan terhadap anak meski diakui acap kali terjadi di masyarakat, namun
8

demikian ketika kita berbicara tentang pembuktiannya dari segi hukum, ternyata tidaklah
semudah yang dibayangkan. Dalam berbagai kasus kita tahu bahwa trauma fisik akibat tindak
kekerasan terhadap terhadap anak terdapat hilang setelah 48 jam-kecuali tindak kekerasan
yang menimbulkan bekas luka yang serius dan parah. Berikut terdapat beberapa indikator
dari WHO yang memperlihatkan tingkat keparahan (severity) dari tindak kekerasan yang
dialami anak-anak:
a. Fatal : anak meninggal: dicurigai bahwa tindak kekerasan fisik (physical abuse) yang
menyebabkan terjadinya kematian.
b. Serius : kondisi yang mengancam kehidupan atau luka yang cukup serius untuk
menyebabkan terjadinya kerusakan jangka panjang yang signifikan atau diperlukannya
penanganan Dokter untuk mencegah kerusakan jangka panjang. Contoh: hilangnya
kesadaran, kejang-kejang, patah tulang, kondisi fisik yang cukup parah sehingga butuh
penanganan Rumah Sakit.
c. Sedang : atau trauma fisik yang sedang: kondisi fisik dengan gejala-gejala teramati
(sakit/kerusakan) diharapkan sembuh paling sedikit 48 jam. Contoh: memar-memar,
lecet.
Pada anak-anak yang mengalami penelantaran dapat terjadi kegagalan dalam tumbuh
kembangnya, malnutrisi, anak-anak ini kemungkinan fisiknya kecil, kelaparan, terjadi infeksi
kronis, hygiene kurang, hormon pertumbuhan turun. Apabila kegagalan tumbuh kembang
anak tarafnya sangat berat maka anak-anak akan menjadi kerdil apabila ini terjadi secara
kronis maka anak tidak bisa tumbuh kembang meskipun kemudian diberi makan yang cukup.
Anak-anak ini proporsi tubuhnya normal, akan tetapi akan kecil untuk anak sesuainya.
Kadang ada dari mereka mengalami perbaikan hormon pertumbuhannya dan kemudian
mengejar ketinggalan pertumbuhan yang pernah dialaminya.
Dari segi tingkah laku anak-anak yang mengalami penganiayaan sering menunjukkan
seperti: penarikan diri, ketakutan, tingkah laku agresif, emosi yang labil. Mereka juga sering
menunjukkan gejala depresi, jati diri yang rendah, kecemasan, adanya gangguan tidur,
phobia, kelak bisa tumbuh menjadi penganiaya, menjadi bersifat keras, penggangguan stres
pasca trauma dan terlibat dalam penggunaan zat adiktyif.
Dari hasil penelitian dikatakan bahwa penganiayaan pada masa anak-
anak berhubungan erat dengan meningkatnya kemungkinan untuk mendapatkan pengalaman
masa kanak-kanak yang tidak baik dalam lingkungan rumah, kemungkinan besar untuk
mendapatkan gangguan kepribadian ambang dan pada gilirannya akan mendapatkan
kemungkinan yang lebih besar untuk mendapat depresi pada masa dewasanya.
9

B. Proses Terjadinya Masalah


Perilaku kekerasan atau amuk dapat disebabkan karena frustasi, takut, manipulasi atau
intimidasi. Perilaku kekerasan merupakan hasil konflik emosional yang belum dapat
diselesaikan. Perilaku kekerasan juga menggambarkan rasa tidak aman, kebutuhan akan
perhatian dan ketergantungan pada orang lain.
Perilaku kekerasan juga dapat diartikan sebagai agresi berkaitan dengan trauma pada
masa anak saat lapar, kedinginan, basah, atau merasa tidak nyaman. Bila kebutuhan tersebut
tidak terpenuhi secara terus menerus, maka ia menampakan reaksi berupa menangis, kejang,
atau kontraksi otot, perubahan ekspresi warna kulit, bahkan mencoba menahan nafasnya
(Barry, 1998). Setelah anak bertambah dewasa, maka ia akan menampakkan reaksi yang
lebih keras pada saat kebutuhan-kebutuhannya tidak terpenuhi, seperti melempar barang,
menjerit, menahan nafas, mencakar, merusak atau bersikap agresif terhadap barang
mainannya. Bila reward dan punishment tidak dijalankan, maka ia cenderung mengganggap
perbuatan tersebut benar.
Kontrol lingkungan seputar anak yang tidak berfungsi dengan baik, menimbulkan
reaksi agresi pada anak yang akan bertambah kuat sampai dewasa. Sehingga bila ia merasa
benci dan frustasi dalam mencapai tujuannya ia akan bertindak angesif. Hal ini akan
bertambah apabila ia merasa kehilangan orang-orang yang ia cintai atau orang yang berarti.
Perilaku kekerasan dianggap sebagai suatu akibat yang ekstrim dari marah atau kepanikan
(takut). Perilaku agresif dan perilaku kekerasan itu sendiri sering dipandang sebagai suatu
rentang, dimana agresif verbal disuatu sisi dan kekerasan disisi yang lain.

C. Dampak kekerasan pada anak yang perlu diketahui sejak dini agar tidak
mengganggu psikologisnya saat beranjak dewasa.
1. Membentuk mental sebagai korban
Anak – anak korban kekerasan pada umumnya sudah mengalaminya sejak kecil sehingga
mental sebagai seorang korban sudah terlanjur terbentuk di alam bawah sadarnya. Dengan
demikian, bisa saja tertanam dalam pikirannya bahwa dirinya memang hanya pantas
untuk dikorbankan. Jika memiliki pola pikir seperti itu, sang anak akan terus menerus
terjebak pada siklus menjadi korban tanpa dapat memutuskan rantai tersebut selama
hidupnya.
2. Melakukan kekerasan
Akibat dari kekerasan yang dialami bukan hanya menjadi korban semata, namun anak
yang juga menjadi korban kekerasan justru bisa berubah menjadi pelaku kekerasan
10

tersebut. Misalnya, ada penelitian yang mengungkap bahwa perilaku membully justru
banyak dilakukan oleh mereka yang dulunya pernah menjadi korban bullying, dan
kemungkinan itu sangat tinggi.
3. Rendahnya kepercayaan diri
Kepercayaan diri anak yang rendah seringkali disebabkan oleh ketakutan akan melakukan
sesuatu yang salah dan ia akan mengalami kekerasan lagi. Hal ini akan menyebabkan
perkembangan anak terhambat. Anak akan sulit menunjukkan sikap inisiatif dalam
memecahkan masalah, bahkan mengalami kesulitan bergaul.
4. Mengalami trauma
Kekerasan yang dialami anak akan menimbulkan luka hati dan juga trauma pada anak.
Dampaknya dalam kehidupan anak selanjutnya akan sangat besar, salah satunya depresi,
stress, dan gangguan psikologis lainnya yang dapat mengganggu kehidupan sosial serta
aktivitas sehari – hari. Anak juga akan menjadi takut tehadap segala bentuk kekerasan,
bahkan yang terkecil sekalipun, misalnya suara – suara keras, pembicaraan bernada
tinggi, dan lain – lain.
5. Perasaan tidak berguna
Anak- anak yang sering mengalami kekerasan dapat mengembangkan perasaan tidak
berguna di dalam dirinya. Bukan hanya itu, namun juga adanya perasaan tidak
bermanfaaat dan tidak bisa ditolong akan berkembang dalam kejiwaan anak. Pada
akhirnya, anak akan menjadi pendiam, mengucilkan diri dari lingkungannya, dan tidak
bergaul dengan teman sebayanya karena merasa hal tersebut lebih nyaman.
6. Bersikap murung
Anak – anak identik dengan keceriaan, namun tindak kekerasan akan merampas senyum
dari wajah seorang anak. Perubahan yang cukup drastis pada kondisi emosional anak
akan langsung terlihat. Anak akan terlihat menjadi pendiam, pemurung, mudah menangis.
Ia juga sama sekali tidak menunjukkan raut wajah yang ceria dalam keadaan yang
menyenangkan sekalipun. Ketidak mampuan anak untuk mencari cara menghilangkan
beban pikiran dengan efektif lah yang akan menghilangkan perasaan positif dari dirinya.
7. Sulit mempercayai orang lain
Anak yang mengalami kekerasan merasa kehilangan figur orang dewasa yang bisa
melindunginya, karena itulah sedikit demi sedikit kepercayaannya kepada orang lain akan
mulai terkikis, dan anak akan sulit menaruh kepercayaan dan keyakinan pada orang lain
lagi. Ia akan menganggap tidak ada orang yang bisa diandalkan untuk memberikan
11

perlindungan kepadanya, karena itulah maka tidak ada orang yang layak untuk dipercaya
oleh anak.
8. Bersikap agresif
Sikap agresif juga dapat ditunjukkan anak korban kekerasan sebagai hasil peniruan dari
apa yang disaksikannya sehari – hari. Anak akan belajar bahwa sikap yang penuh
kekerasan itu adalah sikap yang membuat seseorang menjadi kuat, karena itu ia juga
harus bersikap agresif agar dapat menjadi orang yang kuat dan tidak lagi menjadi korban
tindak kekerasan.
9. Depresi
Sikap murung anak yang berlanjut lambat laun bisa mengarah kepada depresi. Kehilangan
kemampuan untuk merasa bahagia perlahan akan meningkatkan perasaan yang buruk dan
depresif sehingga anak akan selalu dipengaruhi oleh perasaan yang negatif, tanpa adanya
keinginan untuk berpikir positif untuk meningkatkan semangat di dalam dirinya. Anak
juga dapat menderita gangguan kecemasan akut serta depresi kronis. Ketahuilah cara
mengatasi anxiety disorder dan terapi psikologi untuk depresi.
10. Sulit mengendalikan emosi
Kecenderungan anak yang menderita kekerasan untuk merasa kurang percaya diri dan
tidak mempercayai orang dawasa, umumnya tidak dapat mengungkapkan perasaannya
dengan benar. Anak kesulitan mengungkapkan perasaannya yang sebenarnya sehingga
mengalami kesulitan dalam mengendalikan atau menunjukkan emosinya sendiri kepada
orang lain.
11. Sulit berkonsentrasi
Tekanan akibat kekerasan yang diterima anak juga dapat merusak kemampuan anak
untuk berkonsentrasi dan fokus terhadap suatu hal. Misalnya, terhadap kegiatan sekolah
dan pelajaran sekolahnya. Bisa saja minat dan bakat anak yang tadinya tampak besar dan
menjanjikan akan menghilang secara drastis seiring dengan penurunan kemampuannya
untuk berkonsentrasi.
12. Luka, cacat fisik atau kematian
Tanda – tanda kekerasan fisik yang dilakukan pada anak bisa berupa memar, bengkak,
keseleo, patah tulang, lukaa bakar, perdarahan dalam, luka pada area kelamin, kurangnya
kebersihan dan ppenyakit menular seksual serta banyak lagi yang tidak semuanya dapat
langsung dilihat dengan jelas. Sudah pasti anak korban kekerasan akan enggan untuk
memberi tahu orang lain mengenai hal yang dialaminya.
12

13. Biasanya anak takut jika pelaku mengetahuinya, kekerasan yang terjadi akan berlangsung
lebih buruk, serta tidak ada orang yang bisa dipercaya. Kekerasan fisik yang berlangsung
dalam waktu lama bisa menyebabkan anak mengalami cacat fisik atau bahkan resiko
kematian ketika luka fisiknya telah menjadi sangat parah.
14. Sulit tidur
Tekanan pikiran yang dialami anak akan berlanjut hingga mempengaruhi pola tidur anak.
Anak akan mengalami kesulitan tidur dan bahkan bermimpi buruk sebagai hasil dari
beban pikiran yang disimpan di bawah sadarnya. Apabila anak kerap bermimpi buruk
yang sukar dijelaskan penyebabnya, waspadalah karena bisa saja anak sedang mengalami
suatu tinadk kekerasan pada saat itu yang tidak diketahui oleh Anda.
15. Gangguan kesehatan dan pertumbuhan
Anak yang mengalami kekerasan dalam waktu yang lama atau berkepanjangan biasanya
akan menunjukkan gejala fisik seperti gangguan kesehatan berupa gangguan jantung,
kanker, penyakit paru, penyakit hati, obesitas, tekanan darah tinggi, kolesterol tinggi, dan
juga kadar protein reaktif c yang tinggi. Bahkan mengalami gangguan penglihatan
pendengaran, gangguan berbahasa, mengalami perkembangan otak yang terbelakang, dan
mengalami ketidak seimbangan kemampuan sosial, emosional dan kognitif.
16. Memiliki kebiasaan buruk
Stres yang dirasakan anak sejak kecil dapat membawanya memiliki kebiasaan buruk yang
dilakukan untuk mengalihkan pikirannya dari stres tersebut . Misalnya, merokok,
menggunakan obat – obatan terlarang, ketergantungan alkohol, memilih lingkungan
pergaulan yang buruk, melakukan seks bebas, dan banyak lagi yang dilakukan sejak usia
dini apabila tidak ada pertolongan untuk anak korban kekerasan.
17. Kecerdasan tidak berkembang
Kekerasan dapat menekan proses tumbuh kembang anak. Perkembangn IQ anak akan
cenderung menjadi statis dan bahkan tingkat IQ bisa mengalami penurunan.
Perkembangan kognitif anak pun akan memburuk dan tidak seperti yang seharusnya.
Dengan kata lai, kondisi kecerdasan anaak akan terhambat dengan kekerasan yang
dialami anak secara terus menerus.
18. Menyakiti diri sendiri atau bunuh diri
Anak – anak yang mengalami kekerasan tidak dapat membela diri ataupun mencari
pertolongan kepada orang lain. Ketidak mampuan mereka untuk mencari pertolongan
tersebut akan menggiring anak kepada situasi dimana mereka sanggup menyakiti diri
sendiri sebagai tindakan meminta tolong. Misalnya, mengiris dirinya sendiri dngn maksud
13

menimbulkan luka fisik. Atau bahkan melakukan percobaan bunuh diri karena sudah
merasa sangat putus asa.
Dampak kekerasan pada anak tidak hanya berasal dari kekerasan fisik semata, melainkan
juga berasal dari kekerasan emosional, dan keduanya sama buruknya karena dapat
mengganggu perkembangan emosional serta fisik anak, dan juga dapat mengganggu
proses tumbuh kembang termasuk mengganggu perkembangan kecerdasannya. Anak –
anak yang mengalai kekerasan menurut penelitian akan tumbuh menjadi anak yang
bermasalah dengan perilakunya. Oleh karena itu, masalah ini merupakan suatu masalah
serius yang tidak dapat diabaikan begitu saja. Anda harus waspada tehadap kondisi anak,
mengetahui bagaimana depresi dalam psikologi, ciri – ciri depresi berat, tanda – tanda
depresi sebenarnya untuk mencari tanda – tanda yang tidak biasa agar anak terhindar dari
masalah kekerasan tersebut.
D. Jurnal
Jurnal Sosio Informa Vol. 01, No. 1, Januari - April, Tahun 2015 KEKERASAN
SEKSUAL TERHADAP ANAK: DAMPAK DAN PENANGANANNYA mengatakan
bahwa Dampak trauma akibat kekerasan seksual yang dialami oleh anak-anak, antara lain:
pengkhianatan atau hilangnya kepercayaan anak terhadap orang dewasa (betrayal); trauma
secara seksual (traumatic sexualization); merasa tidak berdaya (powerlessness); dan stigma
(stigmatization). Secara fisik memang mungkin tidak ada hal yang harus dipermasalahkan
pada anak yang menjadi korban kekerasan seksual, tapi secara psikis bisa menimbulkan
ketagihan, trauma, bahkan pelampiasan dendam. Bila tidak ditangani serius, kekerasan
seksual terhadap anak dapat menimbulkan dampak sosial yang luas di masyarakat.
14

Daftar Pustaka
Maramis, W.F. (2005). Ilmu Kedokteran Jiwa, Edisi 9, Airlangga University Press, Surabaya.
Stuart dan Laraia (2001). Principle and Practice of Psychiatric Nursing, Edisi 6, St. Louis
Mosby Year Book.
Stuart G.W. and Sundeen (1995). Principles and Practice of Psykiatric Nursing (5 th ed). St.
Louis Mosby Year Book.
Townsend. (1998). Diagnosis Keperawatan Pada Keperawatan Psikiatri : pedomanan Untuk
Pembuatan Rencana Keperawatan EGC, Jakarta (terjemahan).
Yosep, I. (2009). Keperawatan Jiwa, Edisi Revisi, Refika Aditama, Jakarta.

You might also like