Professional Documents
Culture Documents
Antidepresan
Obat yang digunakan untuk pengobatan ansietas ialah sedatif atau obat-obatan yang
secara umum memiliki sifat yang sama dengan sedatif. Antiansietas yang terutama ialah
golongan benzodiazepin. Banyak golongan depresan SSP yang lain telah digunakan
untuk sedasi siang hari pada pengobatan ansietas, namun penggunaannya saat ini
telah ditinggalkan. Alasannya ialah obat-obat tersebut antara lain golongan barbiturat
dan memprobamat, lebih toksik pada takar lajak (Defartik, 2007).
Antiansietas terbagi dua kelas: hipnosedatif dan sedatif otonomik. Hipnosedatif dapat
digunakan pada dosis yang lebih tinggi sebagai pil tidur dan dosis yang lebih rendah
untuk menghilangkan kecemasan. Semuanya dapat menyebabkan ketergantungan.
Obat yang lebih tua, kecuali benzodiazepin, dapat digunakan untuk bunuh diri, lebih
efektif sebagai antiansietas, dan bertahan lebih lama. Efek terapi dapat berlanjut
beberapa jam setelah dosis tunggal, yang membuat obat ini berguna mengatasi gejala
akibat penghentian konsumsi alkohol. Efek samping terutama adalah sedasi dan lebih
jarang berupa malkoordinasi dan atau ataksia. Seperti penggunaan alkohol, dapat
mengganggu proses mengemudi kendaraan. Pada dosis rendah, hal ini tentunya
bukanlah masalah. Kadang, obat ini dapat menyebabkan pasien neurosis menjadi
agresif dan cepat marah. Hal ini hampir sama dengan efek penggunaan alkohol
sekalipun pada praktisnya dianggap tidak terlalu menimbulkan masalah (Mahmudin,
2000).
Sedatif otonomik lebih menyerupai antidepresan dan anti psikosis. Yang dapat
mengurangi kecemasan jika diberikan dengan dosis rendah. Obat ini menyebabkan
sedasi yang kurang menyenangkan dan sering menyebabkan penurunan aktivitas. Efek
otonomik seperti mulut kering lebih sering muncul dan kadang kurang efektif
dibandingkan dengan benzodiazepin (Mahmudin, 2000).
Keputusan untuk meresepkan suatu obat pada pasien dengan gangguan kecemasan
campuran anxietas dan depresi hams jarang dilakukan pada kunjungan pertama.
Karena sifat gangguan yang berlangsung lama, suatu rencana pengobatan hares
dengan cermat dijelaskan. Dua golongan obat utama yang dipakai dalam pengobatan
gangguan anxietas adalah Benzodiazepine dan Non-Benzodiazepine, dengan
Benzodiazepine sebagai pilihan utama (Ashadi, 2008).
Beberapa efek samping penggunaan obat antiansietas, yaitu:
– Sedative (rasa mengantuk, kewaspadaan menurun, kerja psikomotorik menurun, dan
kemampuan kognitif melemah)
– Rasa lemas dan cepat lelah
– Adiktif walaupun sifatnya lebih ringan dari narkotika. Ketergantungan obat biasanya
terjadi pada individu peminum alkohol, pengguna narkoba (maksimum pemberian obat
selama 3 bulan)
Penghentian obat secara mendadak memberikan gejala putus obat (rebound
phenomenon) seperti kegelisahan, keringat dingin, bingung, tremor, palpitasi atau
insomnia (Anonim1, 2009).
Golongan Benzodiazepin
Benzodiazepine (Diazepam). Benzodiazepin telah merupakan obat terpilih untuk
gangguan kecemasan umum. Benzodiazepin dapat diresepkan atas dasar jika
diperlukan, sehingga pasien menggunakan benzodiazepin kerja cepat jika mereka
merasakan kecemasan tertentu. Pendekatan alternatif adalah dengan meresepkan
benzodiazepin untuk suatu periode terbatas, selama mans pendekatan terapetik
psikososial diterapkan (Defartik, 2007).
Benzodiazepin yang dianjurkan sebagai antiantisietas ialah: klordiazepoksid, diazepam,
oksazepam, klorazepat, lorazepam, prazepam, alprazolam dan halozepam. Sedangkan
klorazepam dianjurkan untuk pengobatan panic disorder (Defartik, 2007).
Contoh Antiansietas : Alprazolam, Diazepam, Clobazam, Lorazepam
a. Farmakodinamik. Klordiazepoksid dan diazepam merupakan prototip derivat
benzodiazepin yang digunakan secara meluas sebagai antiansietas.
b. Mekanisme kerja. Mekanisme kerja benzodiazepin merupakan potensial inhibisi
neuron dengan GABA sebagai mediatornya. Efek farmakodinamik derivat
benzodiazepin lebih luas daripada efek meprobamat dan barbiturat. Klordiazepoksid
tidak saja bekerja sentral, tetapi juga perifer pada susunan saraf kolinergik, adrenergik
dan triptaminergik (Defartik, 2007).
Klordiazepoksid lebih berguna untuk mengatasi sifat agresif hewan coba (monyet)
daripada penobarbital, meprobamat dan CPZ. Berbeda dengan CPZ, klordiazepoksid
dan diazepam bersifat nonselektif dalam menghambat respon terkondisi. Setelah
pemberian per oral, klordiazepoksid mencapai kadar tertinggi dalam 8 jam dan tetap
tinggi sampai 24 jam. Ekskresi klordiazepoksid melalui ginjal lambat; setelah pemberian
satu dosis, obat ini masih ditemukan dalam urin beberapa hari (Defartik, 2007).
c. Efek Samping dan Kontraindikasi. Pada penggunaan dosis terapi jarang
menimbulkan kantuk; tetapi pada takar lajak benzodiazepin menimbulkan depresi SSP.
Efek samping akibat depresi susunan saraf pusat berupa kantuk dan ataksia merupakan
kelanjutan efek farmakodinamik obat-obat ini. Efek antiansietas diazepam dapat
diharapkan terjadi bila kadar dalam darah mencapai 300-400 ng/mL; pada kadar yang
sama terjadi pula efek sedasi dan gangguan psikomotor. Intoksikasi SSP yang
menyeluruh terjadi pada kadar di atas 900-1.000 ng/mL. Kadar terapi klordiazepoksid
mendekati 750-1.000 ng/mL (Defartik, 2007).
Peningkatan hostilitas dan iritabilitas dan mimpi–mimpi hidup (vivid dreams) dan
mengganggu kadang-kadang dikaitkan dengan pemberian benzodiazepin, mungkin
dengan kekecualian oksazepam. Hal yang ganjil adalah sesekali terjadi peningkatan
ansietas. Respon semacam ini rupa-rupanya terjadi pada pasien yang merasa
ketakutan dan terjadi penumpulan daya pikir akibat efek samping sedasi antiansietas.
Dapat ditambahkan bahwa salah satu penyebab yang paling sering dari keadaan
bingung yang reversibel pada orang-orang tua dalah pemakaian yang berlebihan
berbagai jenis sedatif, termasuk apa yang biasanya disebut sebagai benzidiazepin
“dosis kecil”. Efek yang unik adalah perangsangan nafsu makan, yang mugkin
ditimbulkan oleh derivat benzodiazepin secara mental (Defartik, 2007).
Umumnya, toksisitas klinik benzodiazepin rendah. Bertambahnya berat badan, yang
mungkin disebabkan perbaikan nafsu makan terjdi pada beberapa pasien. Banyak efek
samping yang dilaporkan untuk obat ini tumpang tindih dengan gejala ansietas, oleh
karena itu perlu anamnesis yang cermat untuk mengetahui apakah yang dilaporkan
adalah benar sustu efek samping atau gejala ansietas. Diantara reaksi toksik
klordiazepoksid yang dijumpai adalah rash, mual, nyeri kepala, gangguan fungsi
seksual, vertigo, dan kepala rasa ringan. Agranulositosis dan reaksi hepatik telah
dilaporkan, namun jarang. Ketidakteraturan menstruasi dilaporkan terjadi dan wanita
yang sedang menggunakan benzodiazepin dapat mengalami kegagalan ovulasi
(Defartik, 2007).
Obat ini sering digunakan untuk percobaan bunuh diri oleh pasien dengan mental yang
labil, tetapi intoksikasi benzodiazepin biasanya tidak berat dan tidak memerlukan terapi
khusus. Beberapa kematian pernah dilaporkan dengan dosis di atas 700 mg
klordiazepoksid atau diazepam. Tidak jelas apakah hanya karena obat ini, kombinasi
dengan antidepresi lainnya atau kondisi tertentu pasien. Derivat benzodiazepin
sebaiknya jangan diberikan bersama alkohol, barbiturat atau fenotfazin. Kombinasi ini
mungkin menimbulkan efek depresi yang berlebihan. Pada pasien gangguan
pernafasan benzodiazepin dapat memperberat gejala sesak nafas (Defartik, 2007)
d. Indikasi dan sediaan. Derivat benzodiazepin digunakan untuk menimbulkan
sedasi, menghilangkan rasa cemas dan keadaan psikosomatik yang ada hubungan
dengan rasa cemas. Selain sebagai ansietas, derivat benzodiazepin digunakan juga
sebagai hipnotik, antikonvulsi, pelemas otot dan induksi anestesi umum. Sebagai
ansietas, klordiazepoksid dapat diberikan secara oral atau bila sangat diperlukan
suntikkan, suntikan dapat diulang 2-4 jam dengan dosis 25-100 mg sehari dalam 2 atau
4 pemberian. Dosis diazepam adalam 2-20 mg sehari; pemberian suntikan dapat
diulang 3-4 jam. Klorazepat diberikan sebagai oral 30 mg sehari dalam dosis terbagi.
Klordiazepoksid tersedia sebagai tablet 5 dan 10 mg. Diazepam berbentuk tablet 2 dan
5 mg. Diazepam tersedia sebagai larutan untuk pemberian rektal pada anak dengan
kejang demam (Departik, 2007).
Untuk pengobatan kecemasan, biasanya memulai dengan obat pada rentang rendah
terapetiknya dan meningkatkan dosis untuk mencapai respon terapetik. Pemakaian
benzodiazepin dengan waktu paruh sedang (8 sampai 15 jam) kemungkinan
menghindari beberapa efek merugikan yang berhubungan dengan penggunaan
benzodiazepin dengan waktu paruh panjang. Pemakaian dosis terbagi mencegah
perkembangan efek merugikan yang berhubungan dengan kadar plasma puncak yang
tinggi. Perbaikan yang didapatkan dengan benzodiazepin mungkin lebih dan sekedar
efek antikecemasan. Sebagai contohnya, obat dapat menyebabkan pasien memandang
berbagai kejadian dalam pandangan yang positif. Obat juga dapat memiliki kerja
disinhibisi ringah, serupa dengan yang dilihat setelah sejumlah kecil alkohol. Untuk
diazepam sediaan tab. 2-5mg, ampul 10 mg/2cc dosis anjuran l0-30mg/hari 2-3xsehari,
i.v./i.m 2-10mg /3-4 jam (Ashadi, 2008).
Non-Benzodiazepine (Buspiron)
Buspiron merupakan contoh dari golongan azaspirodekandion yang potensial berguna
dalam pengobatan ansietas. Semua golongan obat ini dikembangkan sebagai
antipsikosis. Buspiron memperlihatkan farmakodinamik yang berbeda dengan
benzodiazepine, yaitu tidak memperlihatkan aktivitas GABA-ergik dan antikonvulsan,
interaksi dengan antidepresi susunan saraf pusat minimal. Buspiron merupakan
antagonis selektif reseptor serotonin (5-HTIA); potensi antagonis dopaminergiknya
rendah, sehingga resiko menimbulkan efek samping ekstrapiramidal pada dosis
pengobatan ansietas kecil (Departik, 2007).
Studi klinik menunjukkan, buspiron merupakan ansietas efektif yang efek sedatifnya
relatif ringan. Diduga resiko timbulnya toleransi dan ketergantungan juga kecil. Obat ini
tidak efektif pada panic disorder. Efek antiansietas baru timbul setelah 10-15 hari dan
bukan antiansietas untuk penggunaan akut. Tidak ada toleransi silang antara buspiron
dengan benzodiazepin sehingga kedua obat tidak dapat saling menggantikan (Departik,
2007).
Buspiron kemungkinan besar efektif pada 60 sampai 80 persen pasien dengan
gangguan cemas. Data menyatakan bahwa buspiron adalah lebih efektif dalam
menurunkan gejala kognitif dari gangguan kecemasan umum dibandingkan dengan
menurunkan gejala somatik. Bukti-bukti juga menyatakan bahwa pasien yang
sebelumnya telah diobati dengan benzodiazepin kemungkinan tidak berespon dengan
pengobatan buspiron. Tidak adanya respons tersebut mungkin disebabkan oleh tidak
adanya efek nonansiolitik dari benzodiazepin (seperti relaksasi otot dan rasa kesehatan
tambahan), yang terjadi pada terapi buspiron. Namun demikian, rasio manfaat-risiko
yang lebih balk, tidak adanya efek kognitif dan psikomotor, dan tidak adanya gejala
putus that menyebabkan buspiron merupakan obat lini pertama dalam pengobatan
gangguan kecemasan umum. Kerugian utama dari buspiron adalah bahwa efeknya
memerlukan dua sampai tiga minggu sebelum terlihat, berbeda dengan efek ansiolitik
benzodiazepin yang hampir segera terlihat. Buspiron bukan merupakan terapi efektif
untuk putus benzodiazepin. Sediaan tab. 10mg dosis anjuran 3×25mg/h (Ashadi, 2008).
Interaksi Obat Ansietas
Interaksi Obat pada Gelisah dan Cemas / Ansietas
1. Trankulansia (semua jenis) – Depresan lain
Trankulansia adalah depresan susunan saraf pusat. Obat akan menekan atau
mengganggu fungsi seperti koordinasi dan kewaspadaan. Penekanan yang berlebihan
dan gangguang fungsi dapat terjadi bila suatu trankulansia diberikan bersamaan dengan
depresan susunan saraf lainnya. Akibatnya : mengantuk, pusing, hilang koordinasi otot
dan kewaspadaan mental; dalam kasus berat terjadi gangguan peredaran darah dan
fungsi pernapasan yang menyebabkan koma dan kematian (Harkness, 1989).
Kelompok depresan yang berinteraksi dengan trankulansia adalah antikolinergik,
antikonvulsan, antidepresan (jenis siklik), antihistamin, antipsikotika, fenfluramin,
antihipertensi, pelemas otot, narkotika, propoksifien, sedative (Harkness, 1989).
2. Golongan benzodiazepin – Obat asma (golongan Teofilin)
Efek obat asma dapat berkurang. Obat asma digunakan untuk membuka jalan udara di
paru-paru dan untuk mempermudah pernapasan penderita asma, sedangkan
benzodiazepin melemaskan otot sehingga otot tidak dapat berfungsi dengan baik.
Akibatnya asma tidak sembuh sempurna (Harkness, 1989).
3. Benzodiazepin – pil KB
Efek pil KB dapat berkurang. Akibatnya : resiko hamil meningkat kecuali jika digunakan
cara kontrasepsi lain. Perdarahan sekonyong-konyong adalah gejala kemungkinan
terjadi interaksi. Efek beberapa trankulansia dapat meningkat (klordiazepoksid,
diazepam); efek trankulansi benzodiazepine lainnya dapat berkurang (Harkness, 1989).
4. Benzodiazepin – simetidin (Tagamat)
Efek trankulansia dapat meningkat. Akibatnya timbul efek samping yang merugikan
karena terlalu banyak trankulansia. Gejalanya berupa sedasi berlebihan, mengantuk,
pusing, hilang koordinasi otot dan kewaspadaan mental; pada kasus berat terjadi
gangguan perdarahan dan fungsi pernapasan yang menyebabkan koma dan kematian.
Lorazepam dan oksazepam tidak berinteraksi (Harkness, 1989).
5. Benzodiazepin – estrogen (hormone wanita)
Efek estrogen dapat meningkat. Estrogen digunakan untuk mengatasi kekurangan
estrogen selama haid dan sesudah histerektomi, untuk mencegah pembengkakan
payudara yang nyeri sesudah melahirkan karena ibu tidak menyusui bayinya, dan untuk
mengobati amenore. Akibatnya kondisi yang sedang diobati mungkin tidak terobati
dengan baik. Efek beberapa trankulansia dapat meningkat (klordiazepoksid, diazepam);
efek trankulansi benzodiazepine lainnya dapat berkurang (Harkness, 1989).
6. Benzodiazepine – Levodopa
Efek levodopa dapat berkurang karena levodopa digunakan untuk mengobati penyakit
Parkinson (antikolinergik). Akibatnya kondisi yang dialami mungkin tidak terkendali
dengan baik. Interaksi yang terjadi hanyalah pada turunan diazepam, tetapi
benzodiazepine lainnya mungkin menunjukkan interaksi yang sama (Harkness, 1989).
7. Benzodiazepin – Rifampin
Efek trankulansia dapat berkurang. Akibatnya kegelisahan dan kecemasan mungkin
tidak hilang sebagaimana yang diharapkan. Trankulansia turunan lorazepam dan
oksazepam mungkin tidak berinteraksi (Harkness, 1989).
8. Hidrokzin – Antikolinergika
Kombinasi ini menimbulkan efek samping antikolinergik yang berlebihan. Akibatnya
penglihatan kabur, mulut kering, sembelit, palpitasi jantung, bicara tidak jelas, sulit
kencing, rangsangan pada lambung, mungkin keracunan psikosis (agitasi, nanar,
meracau). Beberapa antikolinergik menimbulkan efek samping yang berlebihan.
Akibatnya mengantuk, pusing, hilang koordinasi otot dan kewaspadaan mental; pada
kasus berat terjadi gangguan perdarahan darah dan fungsi pernapasan yang
menyebabkan kematian dan koma (Harkness, 1989).
Interaksi obat turunan benzodiazepine
1. Diazepam
a. Peningkatan efek oleh obat – obat penekan SSP lain dan alcohol.
b. Eliminasi dihambat oleh cimetidin, dizulfiram, INH, kontrasepsi oral.
c. Eliminasi dipercepat oleh rifampicin dan obat penginduksi enzim lainnya.
2. Alprazolam
a. Peningkatan efek oleh obat – obat penekan SSP lain dan alcohol.
b. Eliminasi dihambat oleh cimetidin, dizulfiram, INH, kontrasepsi oral.
c. Eliminasi dipercepat oleh rifampicin dan obat penginduksi enzim lainnya.
3. Bromazepam
a. Peningkatan efek oleh obat – obat penekan SSP lain dan alcohol.
b. Eliminasi dihambat oleh cimetidin, dizulfiram, INH, kontrasepsi oral.
c. Eliminasi dipercepat oleh rifampicin dan obat penginduksi enzim lainnya.
4. Chlordiazepoksid
1. Peningkatan efek oleh obat – obat penekan SSP lain dan alcohol
2. Eliminasi dihambat oleh cimetidin, dizulfiram, INH, kontrasepsi oral.
3. Eliminasi dipercepat oleh rifampicin dan obat penginduksi enzim lainnya.
4. Kontrasepsi oral, alcohol, dan heparin menurunkan ikatan protein plasma pada
chlordiazepoksid.
5. Clonazepam
1. Peningkatan efek oleh obat – obat penekan SSP lain dan alcohol.
2. Eliminasi dihambat oleh cimetidin, dizulfiram, INH, kontrasepsi oral.
3. Eliminasi dipercepat oleh rifampicin, phenytoin, Phenobarbital, dan obat penginduksi
enzim lainnya.
6. Clorazepat
a. Peningkatan efek oleh obat – obat penekan SSP lain dan alcohol.
b.Pemberian bersama dengan antikonvulsi dan merokok mempercepat eliminasi.
c. Pemberian bersama dengan antasida dan H2-Bloker menghambat reabsorbsi
d. Pemberian bersama dengan cimetidin dapan menghambat pemecahannya.
7. Flunitrazepam
a. Peningkatan efek oleh obat – obat penekan SSP lain dan alcohol.
b. Eliminasi dipercepat bila ada induksi enzim
8. Lorazepam
1. Peningkatan efek oleh obat – obat penekan SSP lain dan alcohol.
2. Eliminasi dipercepat dengan adanya induksi enzim.
3. Pada pemberian bersama dengan pyremethamin, dilaporkan terjadi tes fungsi hati
yang patologik.
9. Lormetazepam
a. Peningkatan efek oleh obat – obat penekan SSP lain dan alcohol.
b. Eliminasi dipercepat dengan adanya induksi enzim
10.Midazolam
a. Peningkatan efek oleh obat – obat penekan SSP lain dan alcohol.
b. Eliminasi dipercepat dengan adanya induksi enzim
11.Nitrazepam
a. Peningkatan efek oleh obat – obat penekan SSP lain dan alcohol.
b. Eliminasi dipercepat dengan adanya induksi enzim
12.Oxazepam
a. Peningkatan efek oleh obat – obat penekan SSP lain dan alcohol.
b. Eliminasi dipercepat dengan adanya induksi enzim
13.Temazepam
a. Peningkatan efek oleh obat – obat penekan SSP lain dan alcohol.
b. Eliminasi dipercepat dengan adanya induksi enzim
14.Triazolam
a. Peningkatan efek oleh obat – obat penekan SSP lain dan alcohol.
b. Eliminasi dipercepat dengan adanya induksi enzim
(Harkness, 1989).
Terapi Non farmakologi
Terapi pertama yang disarankan untuk penderita AD adalah dengan terapi non-
farmakologi (terapi tanpa menggunakan obat-obatan), pilihan terapi non-farmakologi
yang dapat dilakukan antara lain:
1. Supportive/ Dinamic Psycotherapy
Yaitu terapi berkomunikasi dengan pasien dengan memberikan perhatian langsung
terhadap pasien
2. Terapi kognitif
Pasien akan diajak memecahkan masalah-masalah menjadi beberapa bagian:
– Masalah sebagaimana orang melihatnya
– Pikiran seseorang mengenai masalah tersebut
– Emosi seseorang yang mengelilingi masalah tersebut
– Perasaan fisik seseorang pada saat itu
– Tindakan seseorang sebelum, selama, dan setelah masalah muncul
3. Terapi Behavioral
Konseling behavioral yang memfokuskan pada kegiatan (tindakan) yang dilakukan
pasien.
4. Relaxation Training
Meningkatkan pemahaman tentang variabilitas dan signifikasi klinis hasil reduksi
kecemasan.
Nah, setelah membaca penjelasan diatas, sudah mengertikan apa itu ansietas??
Teman-teman, kebanyakan dari kita bila merasa cemas, langsung khawatir jangan-
jangan terkena ansietas nih.. jangan takut, kecemasan yang ada penyebabnya itu wajar,
setiap manusia pasti pernah merasa cemas, jadi itu tidak bisa dikatakan terkena
ansietas ya.. hehe.. Ansietas itu kecemasan yang tidak ada penyebabnya dan terjadi
berulang-ulang kali, sehingga mengganggu aktivitas sehari-hari penderita.. Nah ini yang
disebut mengalami ansietas.. bila sudah seperti itu segera ditangani ya.. Tenang
InsyaAllah penyakit ini bisa disembuhkan kok..