You are on page 1of 19

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Farmasi Fisika merupakan suatu ilmu yang menggabungkan antara ilmu
Fisika dengan ilmu Farmasi. Ilmu Fisika mempelajari tentang sifat-sifat fisika suatu
zat baik berupa sifat molekul maupun tentang sifat turunan suatu zat. Sedangkan ilmu
Farmasi adalah ilmu tentang obat-obat yang mempelajari cara membuat,
memformulasi senyawa obat menjadi sebuah sediaan jadi yang dapat beredar di
pasaran. Gabungkan kedua ilmu tersebut akan menghasilkan suatu sediaan farmasi
yang berstandar baik, berefek baik, dan mempunyai kestabilan yang baik pula.
Farmasi Fisika itu merupakan ilmu yang penting dan wajib dipelajari dalam
ilmu Farmasi. Berhubungan dengan ilmu ini, ilmu Fisika sangat mendukung dalam
memenuhi kestabilan obat yang baik. Pengetahuan mengenai sifat fisika molekul zat
obat merupakan dasar dalam penyusunan formula sediaan obat karena sifat fisika
molekul obat lah yang akan memengaruhi aspek-aspek formulasi zat obat menjadi
sebuah sediaan farmasi yang memenuhi syarat.
Begitu juga Kimia medisinal atau yang bisa disebut juga kimia farmasi
merupakan perpaduan dari beberapa cabang ilmu yang meliputi ilmu kimia, farmasi,
dan biologi. Pada awal perkembangannya, kimia medisinal dikenal dengan nama
kimia farmasi (Pharmaceutical Chemistry) atau kimia terapi (Therapeutical
Chemistry), yang menggambarkan pada sekitar abad ke sembilan belas, para ahli
kimia dan farmasi bekerja sama di dalam laboratorium untuk mempelajari dan
memurnikan obat dari bahan alam. Beberapa tugas dari ahli kimia medisinal dewasa
ini dimasukkan dalam bidang ilmu biokimia dan farmasi. Pada tahun 1876, seorang
ahli farmakologi asal Belanda, Buchheim, menulis bahwa misi dari farmakologi
adalah untuk menetapkan zat aktif (alami) dalam obat, dan menemukan sifat-sifat
kimia yang bertanggung jawab terhadap aktivitasnya serta membuat senyawa sintetik
yang lebih efektif. Untuk mempelajari perubahan obat yang berada dalam organisme,
para ahli kimia dan farmasi melakukan serangkaian isolasi dan identifikasi

19
kandungan kimia tanaman nabati dengan latar belakang pengobatan tradisional.
Secara bertahap hal ini membuka jalan untuk penelitian baru dengan memilih
senyawa organik sintesis, yang mempunyai atau tidak mempunyai hubungan khasiat
dengan obat yang didapat dari alam. Semakin banyak senyawa obat yang mempunyai
aktivitas biologi diketahui, didapatkan bahwa senyawa sintesis sering lebih berguna
secara medis bila dibandingkan dengan senyawa bahan alam, mungkin karena
metabolit dari tanaman pada umumnya tidak dimaksudkan secara alami sebagai
senyawa yang bernilai terapeutik, dalam sistem kehidupan binatang dan manusia.
Obat menurut undang – undang ialah suatu bahan atau campuran bahan yang
dimaksudkan untuk digunakan dalam menentukan diagnosis, mencegah, mengurangi,
menghilangkan, menyembuhkan penyakit atau gejala penyakit, luka atau kelainan
badaniah atau rohaniah pada manusia atau hewan, termasuk memperelok tubuh atau
bagian tubuh manusia.
Sifat fisika dan kimia obat merupakan paparan untuk mengetahui kestabilan
tercampurnya suatu obat dan aksi biologi dari obat termasuk penyerapannya pada
tubuh agar tercapai respon terapi yang maksimal. Sifat fisika dan kimia yang penting
berhubungan dengan aktivitas biologi yaitu kofisien partisi, kelarutan, absorpsi, dan
aktivitas permukaan.
Begitu pentingnya mengetahui sifat fisika dan kima obat agar ketika
melakukan peracikan dan pencampuran bahan obat agar sediaan yang dihasilkan
maksimal dan penggunaannya mendapatkan terapi yang maksimal sesuai dengan
penyakit. Oleh karena itu untuk mengetahui secara rinci sifat fisika dan kimia obat
penulis membuat makalah dengan judul “Menganalisis Sifat Fisika dan Kimia Obat”,
diharapkan dalam pembuatan makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

19
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan obat, sifat fisika dan kimia obat ?
2. Apa saja sifat fisika dan kimia obat ?
3. Apa hubungannya struktur, sifat fisika kimia dan aktivitas biologis obat ?

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui pengertian obat, sifat fisika dan kimia obat.
2. Mengetahui jenis – jenis sifat fisika dan kimia obat.
3. Mengetahui hubungan struktur, sifat fisikia kimia dan aktivitas biologis obat.

D. Manfaat Penulisan
1. Mampu memahami pengertian obat, sifat fisika dan kimia obat.
2. Mampu memahami jenis – jenis sifat fisika dan kimia obat.
3. Mampu memahami hubungan struktur, sfiat fisika kimia dan aktivitas biologis
obat.

19
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi
1. Obat
Obat menurut undang – undang ialah suatu bahan atau campuran bahan yang
dimaksudkan untuk digunakan dalam menentukan diagnosis, mencegah,
mengurangi, menghilangkan, menyembuhkan penyakit atau gejala penyakit,
luka atau kelainan badaniah atau rohaniah pada manusia atau hewan, termasuk
memperelok tubuh atau bagian tubuh manusia.
Obat adalah bahan tunggal atau campuran yang digunakan oleh semua
makhluk untuk bagian dalam maupun luar guna mencegah, meringankan, atau
bahkan menyembuhkan penyakit.
Berbagai macam penggolongan obat, berdasarkan sumbernya obat
digolongkan menjadi 3 yaitu :
 Obat Alamiah
Obat alamiah adalah obat yang berasal dari alam. Dari tanaman
contohnya quinine dan atropine. Dari hewan contohnya minyak ikan dan
hormone. Dari mineral contohnya belerang.
 Obat Semisintetik
Obat semisintetik adalah hasil sintesis yang bahan dasarnya berasal
dari bahan obat yang terdapat di alam. Contohnya morfin disintesis menjadi
kodein.
 Obat Sintetik
Obat sintetik adalah obat yang bahan dasarnya tidak berkhasiat, tetapi
setelah disintesis akan didapatkan senyawa dengan khasiat farmakologis
tertentu. Contohnya obat analgesic – antipiretik yaitu paracetamol dan
antihistamin yaitu cetirizine.

19
2. Sifat Fisika dan Kimia Obat
Sifat fisika dan kimia obat merupakan paparan untuk mengetahui
kestabilan tercampurnya suatu obat dan aksi biologi dari obat termasuk
penyerapannya pada tubuh agar tercapai respon terapi yang maksimal.
Sifat fisika dan kimia obat merupakan dasar yang sangat penting untuk
menjelaskan aktivitas biologis obat, karena dua alasan utama yaitu :
a. Sifat kimia fisika memegang peranan penting dalam pengangkutan obat untuk
mencapai reseptor. Sebelum mencapai reseptor, molekul obat harus melalui
bermacam-macam sawar membran, berinteraksi dengan senyawa-senyawa dalam
cairan luar dan dalam sel serta biopolimer. Di sini sifat kimia fisika berperan
dalam proses absorpsi dan distribusi obat, sehingga kadar obat pada waktu
mencapai reseptor cukup besar.
b. Hanya obat yang mempunyai struktur dengan kespesifikan yang tinggi saja yang
dapat berinteraksi dengan reseptor biologis. Oleh karena itu sifat kimia fisika
obat harus menunjang orientasi spesifik molekul pada permukaan reseptor.

B. Jenis – Jenis Sifat Fisika dan Kimia Obat


Sifat fisika dan kimia obat sangat diperlukan untuk mengetahui sifat –
sifat obat secara umum agar ketika bahan obat satu dicampurkan dengan bahan
obat lain tetap stabil.
Sifat Fisika
Beberapa sifat fisika antara lain :
1. Pemerian
Pemerian adalah paparan mengenai sifat – sifat dari bahan atau zat yang
diuraikan secara umum, yang diuraikan dalam pemerian meliputi wujud, rupa,
warna, rasa, bau, dan sebagainya. Biasanya dalam pemerian juga dipaparkan
petunjuk dalam melakukan peracikan bahan tersebut. Karena setiap bahan obat
mempunyai wujud, warna, dan bau yang dapat mempengaruhi stabilitas maupun
hasil sediaan jika salah dalam proses melakukan peracikan.

19
2. Uraian Fisik
Uraian fisik dari suatu obat sebelum pengembangan bentuk sediaan penting
untuk dipahami, kebanyakan zat obat yang digunakan sekarang adalah bahan
padat. Kebanyakan obat tersebut merupakan senyawa kimia murni yang
berbentuk amorf atau kristal. Obat cairan digunakan dalam jumlah yang lebih
kecil, gas bahkan lebih jarang lagi.
3. Pengujian Mikroskopik
Pengujian mikroskopik dari zat murni (bahan obat) merupakan suatu tahap
penting dalam kerja (penelitian) praformulasi. Ia memberikan indikasi (petunjuk
ukuran partikel dari zat murni seperti juga struktur kristal. Fotomikrograf dari
lot-lot batch awal dan berikutnya dari zat murni dapat memberikan informasi
penting jika masalah timbul dalam pemrosesan formulasi, diakibatkan oleh
perubahan-perubahan dalam karakteristik partikel atau Kristal dari obat tersebut.
4. Ukuran Partikel
Ukuran partikel merupakan jumlah massa dari suatu bahan atau zat.
Ukuran partikel sangat erat kaitannya dengan kelarutan, karena semakin kecil
ukuran partikel maka semakin luas permukaan dan semakin cepat melarut.
Sebaliknya jika semakin besar ukuran partikel maka semakin sempit permukaan
dan semakin lama melarut.
5. Koefisien Partisi
Koefisien partisi yakni menggambarkan konsentrasi obat yang larut
dalam fase organic (lemak) dibandingkan dengan konsentrasi obat yang larut
dalam fase cair. Koefisien partisi berguna sehubungan dengan proses ekstraksi
dan kromatografi obat – obatan. Koefisien partisi juga dapat digunakan untuk
mengetahui jumlah yang terlarut dan tersbsorbsi pada organ target dengan sifat –
sifat tertentu.

19
6. Kelarutan
Kelarutan adalah keadaan dimana jumlah ml pelarut akan larut dalam
sejumlah 1 gram zat terlarut. Pelarut tidak hanya air melainkan ada berbagai
macam pelarut antara lain fenol, eter, alcohol, dan bahan lain yang sesuai.
Penggunaan zat pelarut disesuaikan dengan bahan obat yang digunakan, karena
setiap bahan obat mempunyai kelarutan dengan pelarut tertentu.
Sifat kelarutan pada umumnya berhubungan dengan kelarutan senyawa dalam
media yang berbeda dan bervariasi diantara dua hal yang ekstrem, yaitu pelarut polar,
seperti air, dan pelarut nonpolar seperti lemak. Sifat hidrofilik atau lipofibik
berhubungan dengan kelarutan dalam air, sedang sifat lipofilik atau hidrofibik
berhubungan dengan kelarutan dalam lemak. Gugus-gugus yang dapat meningkatkan
kelarutan molekul dalam lemak disebut gugus lipofilik (hidrofobik atau nonpolar).
Sifat kelarutan pada umumnya berhubungan dengan aktivitas biologis dari senyawa
seri homolog. Sifat kelarutan juga berhubungan erat dengan absorbsi obat. Hal ini
penting karena intensitas aktivitas biologis obat tergantung pada derajat absorpsinya.
7. Stabilitas
Stabilitas yaitu kemampuan suatu bahan obat atau zat untuk bertahan dalam
batas yang ditetapkan sepanjang periode penyimpanan dan penggunaan. Stabilitas
obat sangat penting karena jika obat tidak stabil maka jika disimpan dalam waktu
yang lama akan bersifat toksik. Stabilitas suatu bahan obat atau zat dipengaruhi oleh
cahaya, panas, oksigen, kelembaban, pH, dan mikroorganisme.
8. Polimorfisme
Berbagai bentuk polimorfis bahan kimia yang sama umumnya berbeda banyak
sifat-sifat fisikanya, termasuk karekteristik kelarutan dan disolusinya. Perbedaan ini
ditunjukkan obat dalam keadaan padatnya.
Penggunaan bentuk metastabil umumnya menghasilkan kelarutan dan laju
disolusi yang lebih tinggi dari bentuk kristal stabil obat yang sama. Sebaliknya,
polimorf stabil umumnya lebih tahan terhadap degradasi kimia dan karena
kelarutannya yang rendah seringkali dipilih dalam bentuk suspensi. Sulfur dan

19
kortison asetat merupakan dua contoh obat yang memiliki lebih dari satu bentuk
kristal dan seringkali dibuat dalam bentuk suspensi.
9. Complexity (Bentuk kompleks)
Bentuk kompleks suatu bahan obat, baik dengan senyawa kimia lain maupun
dengan senyawa dalam tubuh dapat mengakibatkan aktivitas terapi yang berbeda.
Contoh :
 Insulin
Insulin merupakan suatu protein yang bila dikombinasi dengan zink
dalam dapar asetat, membentuk suatu garam zink-insulin yang tidak larut
sama sekali. Tergantung dari pH larutan dapar asetat, kompleks tersebut dapat
berupa endapan amorf atau kristal. Keadaan amorf, dikenal sebagai insulin
semilente atau suspensi zink insulin cepat (Prompt Insulin Zinc Suspension,
USP) dengan cepat diabsorpsi pada injeksi intramuskular atau injeksi
subkutan. Bahan kristal yang lebih besar disebut insulin ultralente atau
Extented Insulin Zinc Suspension, USP, diabsorpsi lebih lama dengan lama
aksi yang lebih panjang. Dengan mengkombinasi dua tipe dari berbagai
proporsi, dokter sanggup memberikan kepada pasien dengan kerja insulin baik
dari berbagai derajat onset maupun lama aksi.
10. Disolusi
Perbedaan aktivitas biologis dari suatu zat obat mungkin diakibatkan oleh laju
disolusi. Laju disolusi adalah waktu yang diperlukan bagi obat untuk melarut dalam
cairan pada tempat absorpsi. Untuk obat yang diberikan secara oral dalam bentuk
padatan, laju disolusi adalah tahap yang menentukan laju absorpsi. Akibatnya laju
disolusi dapat mempengaruhi onset, intensitas dan lama respon serta bioavailabilitas.
11. Kestabilan
Salah satu aktivitas yang paling penting dalam praformulasi adalah evaluasi
kestabilan fisika dari zat obat murni. Pengkajian awal dimulai dengan menggunakan
sampel obat dengan kemurnian yang diketahui. Adanya pengotoran akan
menyebabkan kesimpulan yang salah dalam evaluasi tersebut.

19
Sifat Kimia
Penentuan stabilitas obat penting dilakukan sedini mungkin. Studi stabilitas
preformulasi meliputi bentuk larutan dan keadaan padat pada beberapa kondisi
penanganan: formulasi, penyimpanan, dan pemberian in vivo.
Sifat kelarutan pada umumnya berhubungan dengan kelarutan senyawa dalam
media yang berbeda dan bervariasi diantara dua hal yang ekstrem, yaitu pelarut polar,
seperrti air, dan pelarut nonpolar seperti lemak. Sifat hidrofilik atau lipofobik
berhubungan dengan kelarutan dalam air, sedangkan sifat lipofilik atau hidrofobik
berhubungan dengan kelarutan dalam lemak. Gugus-gugus yang dapat meningkatkan
kelarutan molekul dalam air disebut gugus hidrofilik (lipofobik atau polar),
sedangkan gugus yang dapat meningkatkan kelarutan molekul dalam lemak
disebut gugus lipofilik (hidrofobik atau nonpolar).
Pengkajian praformulasi yang dihubungkan dengan fase praformulasi
termasuk kestabilan obat itu sendiri dalam keadaan padat, kestabilan fase larutan dan
kestabilan dengan adanya bahan penambah. Penyelidikan awal dimulai dengan
pengetahuan tentang struktur kimia obat yang mengizikan mengantisipasi reaksi
degradasi yang mungkin terjadi.
Ketidakstabilan kimia dari zat obat dapat mengambil banyak bentuk, karena
obat-obat yang digunakan sekarang adalah dari konstituen kimia yang beraneka
ragam. Secara kimia, zat obat adalah alcohol, fenol, aldehid, keton, ester-ester, asam-
asam, garam-garam, alkaloid, glikosida, dan lain-lain. Masing-masing dengan gugus
kimia relative yang mempunyai kecenderungan berbeda terhadap ketidak stabilan
kimia. Secara kimia proses kerusakan yang paling sering meliputi hidrolisis dan
oksidasi.
a. Konstanta disosiasi.
Konstanta disosiasi digunakan untuk mengetahui Ph dalam proses
pembuatan sediaan steril. Saat suatu asam HA larut dalam air, sebagian asam
tersebut terurai (terdisosiasi) membentuk ion hidronium dan basa
konjugasinya. Hubungan dengan pembuatan sediaan injeksi yaitu
sediaan harus sesuai dengan pH yang hampir sama dengan pH darah supaya

19
jika obat di suntikkan dalam tubuh dan tercampur dalam darah maka tidak
terjadi nyeri. Dan efek terapinya tercapai.
b. Kelarutan.
Semua sifat fisika atau kimia bahan aktif langsung atau tidak langsung
akan dipengaruhi oleh kelarutan. Dalam larutan ideal, kelarutan
bergantung pada suhu lebur. Hubungan dengan pembuatan
sediaan injeksi yaitu sediaan harus larut dalam pembawanya sehingga ketika
sediaan tersebut di suntikkan efek terapinya bisa tercapai dengan cepat.
c. Disolusi.
Disolusi merupakan tahap pembatas laju absorbsi suatu obat menuju
sirkulasi sistemik.Uji ini digunakan untuk mengetahui waktu zat aktif mulai
dilepaskan untuk memperoleh kadar yang tinngi dalam darah.
d. Stabilitas.
Stabilitas fisika dan kimia dari bahan aktif murni sangat perlu untuk
dievaluasi karena jika terdapat keberadaan pengotor dapat menyebabkan
kesimpulan yang salah. Hubungan dengan pembuatan injeksi karena pada
sediaan injeksi keadaan harus steril dan bebas dari keberadaan pengotor.

C. Hubungan Struktur, Sifat Fisika Kimia dan Aktivitas Biologis Obat


Sifat kimia fisika dapat mempengaruhi aktivitas biologis obat oleh karena dapat
mempengaruhi distribusi obat dalam tubuh dan proses interaksi obat-reseptor.
Beberpa sifat kimia fisika penting yang berhubungan dengan aktivitas biologis antara
lain adalah ionisasi, pementukan kelat, potensial redoks dan tegangan permukaan.
a. Ionisasi dan Aktivitas Biologis
 Obat yang aktif dalam bentuk tidak terionisasi
Sebagian besar obat yang bersifat asam atau basa lemah,
bentuk tidak terionisasinya dapat memberikan efek biologis. Hal ini
dimungkinkan bila bekerja obat terjadi di membran sel atau didalam
sel. Contohnya fenobarbital, turunan asam barbiturat yang bersifat
asam lemah, bentuk tidak terionisasinya dapat menembus sawar darah

19
otak dan menimbulkan efekpenekan fungsi sitem saraf pusat dan
pernapasan.
Obat modern sebagian besar bersifat elektrolit lemah, yaitu
asam atau basa lemah, dan derajat ionisasi atau bentuk ionisasi dan
tidak terionisasinya ditentukan oleh nilai pKa dan suasana pH
lingkungan. Hubungan antara pKa dengan fraksi obat terionisasi dan
yang tidak terionisasi dari obat yang bersifat asam atau basa lemah,
dinyatakan melalui persamaan Henderson-Hasselbech, sebagai
berikut:
Untuk asam lemah: pKa = pH + log Cu/Ci
Untuk basa lemah : pKa = pH + log Ci/Cu
Perubahan pH dapat berpengaruh terhadap sifat kelarutan dan
koefisien partisi obat. Garam dari asam atau basa lemah, bentuk tidak
terionisasinya mudah diabsorpsi oleh saluran cerna, dan aktivitas
biologis sesuai dengan kadar obat bebas yang terdapat dalam cairan
tubuh.
Pada obat yang bersifat asam lemah, dengan meningkatnya pH,
sifat ionisasi bertambah besar, bentuk tak terionisasi bertambah kecil,
sehingga jumlah obat yang menembus membran biologis semakin
kecil. Akibatnya, kemungkinan obat untuk berinteraksi dengan
reseptor semakin renda aktivitas biologisnya semakin menurun.
Pada obat yang bersifat basa lemah, dengan meningkatnya pH,
sifat ionisasi bertambah kecil, bentuk tak terionisasinya semakin besar,
sehingga jumlah obat yang menembus membran biologis bertambah
besar pula. Akibatya, kemungkinan obat untuk beriteraksi dengan
reseptor bertambah besar dan aktivitas biologisnya semakin
meningkat.
Perubahan pH juga berpengaruh terhadap kereaktifan gugus
asam atau basa pada permukaan sel atau dalam sel mikroorganisme.
Pada titik isoelektrik, kation dan anion potensial molekul protein sel,

19
misal gugus amino dan karboksilat pada alanin, selalu terdapat dalam
bentuk ion Zwitter. Dengan bertingkatnya pH atu bertambah basa
media, kadar anion sel akn bertambah besar sehingga meningkatkan
aktivitas obat yang bersifat kation aktif. Sebaliknya, dengan
menurunnya pH atau ertambah asam media, kadaar kation sel akan
menjadi lebih besar, sehingga meningkatkan afinitas obat anion aktif.

 Obat yang aktif dalam bentuk ion


Beberapa senyawa obat menunjukkan aktivitas biologis yang
makin meningkat bila derajat ionisasinya meningkat. Seperti diketahui
dalam bentuk ion senyawa obat umumnya sulit menenbus membran
biologis, sehingga diduga senyawa obat dengan tipe ini memberikan
efek biologisnya diluar sel.
Bell dan Roblin (1942), memberikan postulat bahwa aktivitas
antibakteri sulfonamida mencapai maksimum bila mempunyai nilai
pKa 6-8. Pada pKa tersebut sulfonamida terionisasi kurang lebih 50%.
Pada pKa 3-5, sulfonamida terionisasi sempurna, dan bentuk ionisasi
ini tidak dapat menembus membran sehingga aktivitas antibakterinya
rendah.
Bila kadar ion kurang lebih sma dengan kadar bentuk molekul
(pKa 6-8) , aktivitas antibaterinya akan maksimal. Pada pKa 9-11,
penurunan pKa meningkat jumlah sulfonamida yang terionisasi,
jumlah senyawa yang menembus membran kecil, sehingga aktivitas
antibakterinya rendah.
Menurut Cowles (1942), sulfonamida menembus membran sel
bakteri dalam bentuk tidak terionisasinya, dan sudah mencapai
reseptor yang bekerja adalah bentuk ion. Contoh obat yang aktif dalam
bentuk ion antara lain adalah turunan akridin dan turunan amonium
kuarterner.

19
b. Pembentukan Kelat dan Aktvitas Biologis
Kelat adalah senyawa yang dihasilkan oleh kombinasi senyawa yang
mengandung gugus elektron donor dengan ion logom, membentuk suatu
struktur cincin. Gugus-gugus kimia yang dapat membentuk kelat antara lain
adalah gugus amin primer, sekunder dan tersier, oksim, imin, imin tersubtitusi,
tioeter, keto, tioketo, hidroksil, tioalkohol, karboksilat, fosfonat dan sulfonat.
Contoh kelat dalam sistem biologis:
1. Kelat yang mengandung logam Fe. Contohnya enzim forfirin, enzim non
forfirin, dan molekul transfer oksigen.
2. Kelat yang mengandung logam Cu. Contohnya enzim oksidasi.
3. Kelat yang mengandung logam Mg. Contohya beberapa enzim proteolitik,
fosfatase, dan karboksilase.
4. Kelat yang mengandung logam Mn. Contohnya oksaloasetat dekarboksilase,
arginase, dan prolidase.
5. Kelat yang mengandung logam Zn. Contohnya insulin, karbonik anhidrase
dan laktat dehidrogenase.
6. Kelat yang mengandung logam Co. Cotohnya vit. B12 dan enzim karboksi
peptidase
Beberapa contoh kelat yang digunakan untuk pengobatan penyakit tertentu,
contohnya:
 Siplatin, cis-dikloroetilendiaminplatimum (II) merupakan senyawa
kompleks turunan Pt yang digunnakan ssebagai oabat antikanker.
Isomer trans tidak menunjukkan aktivitas. Mekanisme kerjanya
dengan membentuk liga rekatif, kemudian Pt
membentuk crosslink diantara atom N dari dua guanosin ADN,
sehingga terjadi hambatan sintesis ADN sel kanker. Siplatin
mempunyai kelarutan dalam air sangat kecil, sehingga transportasi ke
jaringan tumor relatif rendah, oleh karena itu kemudian di
kembangkan turunannya karboplatin yang menunjukkan keefektifan

19
sama dengan siplatin, dengan distribusi ke jaringan tumor yang lebih
baik.
 Kompleks tembaga, dengan masa molekul yang rendah banyak
digunakan untuk pengobatan penyakit rematik artritis dan antiradang.
 Ligam adalah senyawa yang dapat memebentuk struktur cincin dengan
ion logam karena mengandung atom yang bersifat elektron donor
seperti N, S, dan O. Struktur cincin yang umum terdapat dan cukup
stabil adalah struktur cincin dengan jumlah atom 5 dan 6.
Contoh ligan dalam sistem biologis:
1. Asam amino protein, seperti glisin, sistein, histidin, histamin, dan asam
glutamat.
2. Vitamin, seperti riboflavin dan asam folat.
3. Basa purin, seperti hipoxantin dan guanosin.
4. Asam trikarboksilat, seperti asam laktat dan asam sitrat.
Ligan mempunyai afinitas yang besar terhadap ion logam, sehingga dapat
menurunkan kadar ion logam yang toksik dalam jaringan dengan membentuk kelat
yang mudah larut dan kemudian diekskresikan melalui ginjal. Punggunaan ligan
dalam bidang bidang farmakologi antara lain adalah:
 Membunuh mikroorganisme parasit, dengan cara membentuk kelat
dengan logam esensial yang diperlukan untuk pertumbuhan sel (aksi
bakterisida, fungisida, dan virisida).
 Untuk menghilangkan logam yang tidak diinginkan atau yang
membahayakan organisme hidup (antidotum keracunan logam).
 Untuk studi fungsi logam dan metaloenzim pada media biologis.
Ligan-ligan yang digunakan untuk antidotum kera cunan logam berat atau
untuk pengobatan yang lain, dapat menimbulkan toksisitas cukup besar, karena
meningkat logam lain yang justru di perlukan untuk fungsi fisiologis normal. Oleh
karena itu penggunaan ligan harus dipilih seselektif mugkin. Contohnya seperti:
 Tiasetazon, difenilditiokarbazon, oksin, dan aloksan dapat
menimbulkan penyakit diabetes melitus karena obat dapat membentuk

19
kelat dengan Zn pada sel β- pankreas sehingga menghambat produksi
insulin.
 Hidralazi ( Apresolin) oabt penurun tekana darah, menimbulkan efek
samping anemia karena dapat membentuk kelat dengan Fe darah.
 Dimerkaprol dan isoniazid cenderung menimbulkan efek seperti
antihistamin, diduga karena membentuk kelat dengan logam cu yang
befungsi sebagai katalisator enzim perusak histamin ( histaminase).

c. Potensial Redoks dan Aktivitas Biologis


Potensial redoks adalah ukuran kuantitatif kecenderungan senyawa
untuk memberi dan menerima elektron. Hubungan kadar oksidator dan
reduktor di tunjukkan oleh persamaan Nernst sebagai berikut:
Eh = E0 – 0,06/n x log (Oksidator) / (reduktor)
Ket :Eh = potensial redoks yang di ukur
E0 = potensial redoks baru
n = jumlah elektron yang berpindah
0,06 = tetapan termodinamika pemindahan 1 elektron (30oC)
Reaksi redoks adalah perpindahan elektron dari satu atom ke atom
molekul yang lain. Tiap reaksi pada organisme hidup terjadi pada potensi
redoks optimum, dengan kisaran bevariasi, sehingga diperkirakan bahwa
potensi redoks senyawa tertentu berhubungan dengan aktivitas biologisnya.
Hubungan potensial redoks dengan aktivitas biologis secara umum hanya
terjadi pada senyawa dengan struktur dan sifat fisik yang hampir sama.

d. Aktivitas Permukaan dan Aktivitas Biologis


Surfaktan adalah suatu senyawa yang karena orientasi dan pengaturan
molekul pada permukaan larutan, dapa menurunkan tegangan permukaan.
Struktur surfaktan terdiri dari dua bagian berbeda yaitu bagian yang bersifat
hidrofilik atau polar dan bagian lipofilik atau non polar, sehingga dikatakan
surfaktan bersifat ampifilik.

19
Bila surfaktan dimasukkan ke air maka permukaan akan teratur
sedemikian rupa sehingga bagian non polar, misal rantai hidrokarbon,
berorientasi ke fasa uap, sedang bagian polar misal gugus-gugs COOH, OH,
NH2 dan NO2berorientasi pada fasa air.
Bila surfaktan dimasukkan ke dalam campuran pelarut polar dan non
polar, maka pada batas cairan polar dan non polar, bagian non polar
berorientasi ke pelarit non polar , sedang gugus polar berorientasi ke pelarut
polar. Pada orientasi ini terlibat ikan Van der Waal’s, ikatan hidrogen dan
ikatan ion-dipol.
Berdasarkan sifat gugus yang di kandungnya, surfaktan dibagi menjadi
empat kelompok, yaitu:
1. Surfaktan anionik
2. Surfaktan anionik mengandung gugus hidrofil yang bermuatan
negatif, dan dapat berupa gugus karboksil, sulfat, sulfonat, tau
fosfat.
3. Surfaktan kationik
4. Surfaktan kationik mengandung gugus hidrofil yang bermuatan
positif, dan dapat berupa gugus amonium kuarterner, biguanidin,
sulfonium, fosfonium, da iodonium.
5. Surfaktan non ionik
6. Surfaktan ini tidak terionisasi dan mengandung gugus-gugus
hidrofil dan lipofil yang lemah sehingga larut atau dapat terdispersi
dalam air, biasanya adalah gugus polioksietileneter dan poliester
alkohol.
7. Surfaktan amfoterik
8. Surfaktan amfoterik mengandung dua gugus hidrofil yang
bermuatan positif (kationik) dan negatif (anionik).

19
Aktivitas surfaktan terhadap absopsi obat tergantung pada:
a. Kadar surfaktan
b. Struktur kimia surfaktan
c. Efek surfaktan terhadap membran biologis
d. Efek farmakologis surfaktan
e. Adanya interaksi surfaktan dengan bahan-bahan pembawa atau bahan
obat.
Surfaktan mempunyai aktivitas yang nyata terhadap permeabilitas membran
sel bakteri. Surfaktan denga aktivitas ringan diabsorpsi satu lapis pada permukaan
membran sel bakteri sehingga menghalangi absorpsi bahan-bahan yang dibutuhkan
oleh mebran sel. Surfaktan dengan aktivitas kuat, dapat mengubah struktur dan fungsi
membran, menyebabkan denaturasi protein membran sehingga membran sel bakteri
menjadi rusak dan lisis.
Surfaktan pda umumnya tidak berguna secara in vivo karena mudah absorpsi
oleh protein dan menyebabkan ketidakteraturan sel serta hemolisis sel darah merah.
Srfkatan hanya terbatas untuk pemakaian setempat yaitu untuk desinfektan kulit dan
sterlisasi alat-alat.

19
BAB III
KESIMPULAN

A. Simpulan
1. Obat adalah bahan tunggal atau campuran yang digunakan oleh semua
makhluk untuk bagian dalam maupun luar guna mencegah, meringankan,
atau bahkan menyembuhkan penyakit. Sifat fisika dan kimia obat
merupakan paparan untuk mengetahui kestabilan tercampurnya suatu obat
dan aksi biologi dari obat termasuk penyerapannya pada tubuh agar
tercapai respon terapi yang maksimal.
2. Sifat fisika dan kimia antara lain pemerian, ukuran partikel, koefisien
partisi, kelarutan, stabilitas.
3. Hubungan struktur, sifat fisikia kimia dan aktivitas biologis obat. Sifat
kimia fisika dapat mempengaruhi aktivitas biologis obat oleh karena dapat
mempengaruhi distribusi obat dalam tubuh dan proses interaksi obat-
reseptor. Beberpa sifat kimia fisika penting yang berhubungan dengan
aktivitas biologis antara lain adalah ionisasi, pementukan kelat, potensial
redoks dan tegangan permukaan.

B. Saran
Mohon maaf apabila ada banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini,
karena penulis masih dalam proses pembelajaran. Masukan yang membangun dari
teman-teman yang membaca makalah ini sangat penulis harapkan demi
kemudahan untuk menjadi yang lebih baik lagi.

19
DAFTAR PUSTAKA

Ansel, C. Howard.1989. Pengantar Bentuk sediaan Farmasi, Universitas Indonesia


(UI-Press) : Jakarta.
Watson, David. 2013. Analisis Farmasi. Jakarta : EGC.
Aznam, Nurfina. 2011. Kimia farmasi. Universitas Negeri Yogyakarta.
Mutschler, Ernest. 1999. Dinamika Obat. Institut Teknologi Bandung : Jakarta.
Th, Nogrady. 2011. Kimia medisinal.
Joshita. 2008. “Obat-Obat untuk Paramedis”. UI Press : Jakarta
Jenkins. 1957. “Farmasi Fisika”. UGM Press : Yogyakarta.
Ditjen POM. 1979. “Farmakope Indonesia Edisi III”. Departemen Kesehatan RI :
Jakarta.

19

You might also like