You are on page 1of 52

Daftar isi

Daftar isi .................................................................................................................................. 1


BAB I ........................................................................................................................................ 3
A. Latar belakang ............................................................................................................... 3
B. Rumusan masalah ......................................................................................................... 6
C. Tujuan ........................................................................................................................... 7
D. Manfaat ......................................................................................................................... 8
E. Penelitian terdahulu ...................................................................................................... 9
BAB II .................................................................................................................................... 13
A. Tinjauan Umum tentang Gagal Ginjal Kronik ............................................................ 13
B. Tinjauan Umum tentang Hemodialisa ........................................................................ 22
C. Tinjauan Umum tentang Rasa Haus............................................................................ 23
D. Kerangka Teori ........................................................................................................... 33
E. Kerangka Konsep ........................................................................................................ 34
F. Hipotesis ..................................................................................................................... 35
BAB III................................................................................................................................... 36
A. Desain dan Jenis Penelitian ......................................................................................... 36
B. Definisi Operasional ................................................................................................... 38
C. Populasi dan Sampel ................................................................................................... 39
D. Waktu dan Tempat Penelitian ..................................................................................... 42
E. Instrumen Penelitian ................................................................................................... 42
F. Uji Validitas dan Reliabilitas ...................................................................................... 43
G. Teknik Pengumpulan Data .......................................................................................... 43
H. Analisis Data ............................................................................................................... 45
I. Etika Penelitian ........................................................................................................... 46
J. Alur Penelitian ............................................................................................................ 49
Daftar Pustaka ...................................................................................................................... 50
Lampiran ............................................................................................................................... 52

1
2
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Gagal ginjal kronik (GGK) merupakan suatu keadaan yang mengakibatkan

ginjal kehilangan fungsi secara irreversible dan progresif (Suryono, Armiyati, &

Mustofa, 2015). Secara global lebih dari 500 juta orang mengalami penyakit

GGK, Menurut data dunia World Health Organization (WHO) dalam Ratnawati

(2014), angka kejadian GGK di Indonesia pada tahun 2011 mencapai 13.619

orang.

Angka kejadian GGK meningkat setiap tahunnya. Berdasarkan Pusat Data &

Informasi Perhimpunan Rumah Sakit (PDPERSI), jumlah penderita GGK

diperkirakan 50 orang per satu juta penduduk. Selama kurun waktu dari tahun

1999 hingga 2004, terdapat 16,8% dari populasi penduduk usia 20 tahun

mengalami penyakit GGK. Presentase ini meningkat bila dibandingkan data enam

tahun sebelumnya (Anita & Novitasari, 2014). Artinya, sekitar 1,5 juta orang

harus menjalani hidup bergantung pada terapi pengganti ginjal atau hemodialisa

(HD), dengan insidensi sebesar 8% dan terus bertambah setiap tahunnya. Terapi

hemodialisa akan merubah ritme kehidupan seseorang baik bagi pasien maupun

keluarganya. Perubahan yang terjadi meliputi pola makan, pola minum, pola tidur,

3
terapi obat-obatan, dan aktivitas kehidupannya yang terjadi di rumah serta di

masyarakat (Anita & Novitasari, 2014).

Penyakit GGK menjadi masalah besar di dunia karena sulit disembuhkan,

serta membutuhkan biaya perawatan yang lama dan mahal. Hemodialisa

merupakan salah satu terapi untuk mengatasi fungsi ginjal yang rusak, terapi

hemodialisa yang harus dilakukan pada pasien GGK biasanya berlangsung rutin

sampai mendapatkan donor ginjal melalui operasi pencangkokan. Terapi

hemodialisa dilakukan secara periodik guna mempertahankan kelangsungan

hidup pasien dan mengendalikan uremia yang terjadi (Anita & Novitasari,

2014).

Salah satu intervensi yang diberikan kepada penderita hemodialisa adalah

pembatasan asupan cairan. Tanpa adanya pembatasan asupan cairan, akan

mengakibatkan cairan menumpuk dan akan menimbulkan edema di sekitar tubuh,

studi hidrasi yang normal menjadi hal yang penting bagi pasien GGK. Status

hidrasi yang melebihi ambang batas yang di toleransi (overhidrasi) akan membuat

pasien jatuh pada kondisi yang tidak baik. Beberapa dampak dari keadaan tersebut

antara lain hipertensi, edema pulmo, dan gagal jantung kongestif. Gangguan pada

system kardiovaskuler menjadi penyebab paling banyak kematian pada kasus

GGK dengan overhidrasi, kejadian mencapai 40% kasus (Suryono et al., 2015).

Besarnya dampak yang ditimbulkan dari adanya overhidrasi terhadap hidup

pasien GGK membuat hal ini harus di tangani dengan baik. Salah satu

penatalaksanaan yang sering di lakukan di rumah sakit untuk mengatasi masalah

4
tersebut adalah dengan melakukan program pembatasan intake cairan.

Konsekuensi dari pembatasan intake cairan ini adalah munculnya rasa haus pada

pasien. Pembatasan intake cairan akan menyebapkan xerostomia (mulut kering),

sehingga pasien akan minum banyak untuk mengurangi keluhan tersebut

(Suryono et al., 2015).

Ada beberapa cara untuk mengurangi haus pada pasien yang menjalani

hemodialisis, diantaranya dengan frozen grapes, menyikat gigi, bilas mulut

dengan obat kumur dingin (tidak ditelan), mengunyah permen karet atau

permen mint atau permen bebas gula, dan menghisap es batu (Noorman

Wahyu Arfany et al., 2014).

Penelitian Yahrini (2009) yang melibatkan 40 pasien yang menjalani

hemodialisis di RSUD Kota Langsa tahun 2009 menujukkan bahwa permen karet

dapat meningkatkan jumlah sekresi saliva untuk mengurangi rasa haus dan

xerostomia dengan jumlah rata – rata 2,7 mL per menit dan 2,8 mL per menit.

Estimasi yang sama juga dikemukakan oleh Veerman, dkk, (2005) bahwa

mengunyah permen karet merupakan terapi alternatif yang dapat diberikan untuk

merangsang kelenjar ludah atau terapi paliatif pada pasien yang menjalani

hemodialisis. Pasien yang mengeluh mengalami haus, mulut kering dan

mengunyah permen karet ditemukan lebih banyak mengalami pengurangan rasa

haus (60%) dibandingkan yang mendapat terapi saliva pengganti (15%)

(Noorman Wahyu Arfany et al., 2014) .

5
Fransisca (2013) dalam artikelnya menyampaikan beberapa tips mengurangi

rasa haus yang dapat dilakukan oleh penderita GGK. Salah satu tips yang

disarankan adalah dengan berkumur dengan air dingin. Menurutnya, berkumur

dengan air dingin akan berdampak pada penurunan rasa kering di mulut akibat

program pembatasan cairan, sehingga hal tersebut akan dapat menurunkan rasa

haus yang muncul. Gerakan berkumur juga akan membuat otot-otot bibir, lidah,

dan pipi berkontraksi. Kontraksi tersebut akan merangsang kelenjar saliva di

mulut untuk menghasilkan saliva. Akumulasi saliva di mulut mencegah mulut dari

kering dan haus karena osmoreseptor mengirimkan sinyal ke hipotalamus bahwa

kebutuhan akan air terpenuhi (Suryono, Armiyati, & Mustofa, 2015).

Mempertimbangkan dari hasil penelitian yang sudah dilakukan oleh peneliti

terdahulu, maka perlu dilakukan penelitian lanjutan. Peneliti tertarik untuk

melakukan penelitian lanjutan dengan judul “Perbandingan Pengaruh Mengunyah

Permen Karet Rendah Gula dan Kumur Air Matang Terhadap Penurunan Rasa

Haus Pasien Gagal Ginjal Kronik (GGK) di ruang Hemodialisa RSUD. Abdul

Wahab Sjahrani”

B. Rumusan masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah dalam penelitian

ini adalah apakah ada perbandingan pengaruh mengunyah permen karet rendah

gula dan kumur air matang terhadap penurunan rasa haus pasien Gagal Ginjal

Kronik (GGK).

6
C. Tujuan

1. Tujuan umum

Mengetahui pengaruh mengunyah permen karet rendah gula dan kumur

air matang terhadap penurunan rasa haus pasien gagal ginjal kronik.

2. Tujuan khusus

a. Mengidentifikasi jenis kelamin dan usia responden mengunyah permen

karet rendah gula dan berkumur air matang.

b. Mengidentifikasi tingkat rasa haus pada pasien gagal ginjal kronik

sebelum dan setelah dilakukan tindakan mengunyah permen karet rendah

gula.

c. Mengidentifikasi tingkat rasa haus pada pasien gagal ginjal kronik

sebelum dan setelah dilakukan tindakan berkumur air matang.

d. Menganalisis tingkat rasa haus pada pasien gagal ginjal kronik setelah

dilakukan tindakan mengunyah permen karet rendah gula.

e. Menganalisis tingkat rasa haus pada pasien gagal ginjal kronik setelah

dilakukan tindakan berkumur air matang.

f. Menganalisis perbedaan perubahan tingkat rasa haus pada pasien gagal

ginjal kronik setelah dilakukan tindakan berkumur air matang dan

mengunyah permen karet rendah gula.

7
D. Manfaat

1. Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuann, wawasan dan

sebagai bahan perkembangan ilmu pengetahuan dibidang kesehatan

khususnya dibidang ilmu keperawatan dalam melakukan asuhan keperawatan

terhadap pasien yang menjalani hemodialisa.

2. Praktisi

a. Bagi Rumah Sakit

Penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi bagi pihak rumah

sakit serta dapat diterapkan sebagai tindakan mandiri perawat dalam

mengurangi rasa haus pasien yang menjalani pembatasan cairan dan

hemodialisa di RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda pada tahap

rehabilitasi.

b. Bagi Peneliti

Dapat memberikan pengetahuan kepada peneliti dalam melakukan

intervensi mandiri pada pasien yang menjalani pembatasan cairan dan

hemodialisa

c. Bagi Responden

Dapat memberikan manfaat pengetahuan dan keterampilan dalam

mengurangi rasa haus saat menjalani pembatasan cairan dan hemodial

8
E. Penelitian terdahulu

Tabel 1.1
Penelitian terdahulu

No Peneliti Judul Metode Hasil


1. Ni Putu Eka Pengaruh mengunyah Jenis penelitian yang digunakan Rata-rata nilai rasa haus pada
Ariani permen karet xylitol adalah quasy ekperiment dengan kelompok perlakuan sebelum
terhadap rasa haus pada rancangan nonequivalen control mengunyah permen karet
pasien ckd dengan terapi group. Metode pengambilan sebesar 32,80, dan setelah
hemodialisa sampel pada penelitian ini adalah mengunyah permen karet
non propability sampling dengan menjadi 21,7 (p=0,000) dan rata-
tehnik purposive sampling yang rata nilai rasa haus awal pada
melibatkan 20 responden dengan kelompok kontrol sebesar 33,00
10 kelompok perlakuan dan 10 dan rata-rata nilai rasa haus akhir
kelompok kontrol. Pengumpulan 32,4 (p=0,081).
data dilakukan dengan mengukur
rasa haus menggunakan Dialysis
Thirst Inventory (DTI) yang
pengukurannya dilakukan
sebelum mengunyah permen
karet xylitol dan setelah
mengunyah dua butir (3gram)
permen karet xylitol oleh pasien
dengan terapi hemodialisis
selama lima menit dengan
interval waktu empat jam sekali

9
selama satu hari
2. Agus Suryono Efektifitas mengulum es Rancangan penelitian yang Hasil penelitian menunjukkan
batu dan berkumur air digunakan dalam penelitian ini bahwa rata-rata kekuatan otot
matang terhadap adalah quasi-experimental sebelum dilakukan mobilisasi
penurunan rasa haus dengan pendekatan two group dini yaitu sebesar 13,62. Rata-
pasien penyakit ginjal pre-test-post-test desaign. rata kekuatan otot setelah
kronik (pgk) di RSUP. Kelompok subjek pertama dalam dilakukan mobilisasi dini yaitu
dr. Kariadi Semarang penelitian ini adalah kelompok sebesar 20,92. Rata-rata
yang diberikan perlakuan peningkatkan kekuatan otot
mengulum es batu. Es batu sebesar 7,308.
berasal dari air matang 10 ml
yang dibekukan menjadi es batu
dan dikulum responden sampai
mencair dan air dari es batu
ditelan sampai habis.
Kelompok subjek kedua
adalah kelompok yang diberikan
perlakuan berkumur air matang
sebanyak 25 ml dengan suhu ±
250C. Kumur dilakukan selama
30 detik setelah itu air bekas
kumur dibuang.
3. Noorman Efektifitas mengunyah Metode penelitian yang Hasil penelitian dengan Mann
Wahyu Arfany permen karet rendah digunakan dalam penelitian ini Whitney menunjukkan terdapat
gula dan mengulum es adalah quasy eksperiment dengan perbedaan efektifitas mengunyah
batu terhadap penurunan diobservasi adalah yang diberikan permen karet rendah gula dan
rasa haus pada pasien intervensi mengunyah permen mengulum es batu terhadap

10
penyakit ginjal kronis karet rendah gula dan kelompok penurunan rasa haus dimana
yang menjalani subjek yang kedua adalah yang mengulum es batu lebih efektif
hemodialisis di RSUD. diberikan intervensi mengulum es dibandingkan dengan
Tugurejo Semarang batu. mengunyah permen karet rendah
gula dengan p value 0,000.
Rekomendasi dari penelitian ini
diharapkan mengulum es batu
dapat digunakan untuk terapi
menejeman rasa haus pada
pasien penyakit ginjal kronik
yang menjalani hemodialisis.

11
Keaslian Penelitian:

Berdasarkan penelusuran terhadap judul penelitian yang ada, ditemukan 3

judul penelitian terkait tentang perbandingan pengaruh mengunyah permen karet

rendah gula dan kumur air matang terhadap penurunan rasa haus pasien Gagal

Ginjal Kronik.

Penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya. Perbedaan secara

umum terletak pada variabel penelitian, desain penelitian, lokasi dan waktu

penelitian, serta pelaksanaan tindakan mengunyah permen karet dan berkumur

air matang.

Perbedaan secara spesifik pada penelitian (Arian, Putra, & Arisusana,

2015) hanya meneliti tentang pengaruh mengunyah permen karet xylitol terhadap

rasa haus pada pasien ckd dengan terapi hemodialisa. Penelitian (Noorman

Wahyu Arfany et al., 2014) efektifitas mengunyah permen karet rendah gula dan

mengulum es batu terhadap penurunan rasa haus pada pasien penyakit ginjal

kronis yang menjalani hemodialisis. Sedangkan Penelitian (Suryono et al., 2015)

efektifitas mengulum es batu dan berkumur air matang terhadap penurunan rasa

haus pasien penyakit ginjal kronik.

Oleh karena itu, keaslian penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan dan

sesuai dengan asas-asas keilmuan yang harus dijunjung tinggi yaitu kejujuran,

rasional, objektif serta terbuka. Hal ini merupakan implikasi etis dari proses

menemukan kebenaran ilmiah untuk kritisi yang bersifat konstruktif

(membangun).

12
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum tentang Gagal Ginjal Kronik

1. Definisi

Gagal ginjal kronik merupakan suatu proses patofisiologis dengan

etiologi beragam yang mengakibatkan fungsi ginjal menurun secara

progresif dan irreversibel sehingga tubuh tidak dapat menjalankan

fungsinya dengan baik dan berakibat pada terjadinya uremia (S.C, Bare,

Hinkle, & Cheever, 2008)

Gagal ginjal kronik merupakan suatu keadaan kehilangan fungsi

ginjal yang progresif dan irreversibel. The Kidney Disease Outcomes

Quality Initiative (K/ DOQI) of the National Kidney Foundation

mendefinisikan bahwa GGK merupakan kerusakan ginjal atau penurunan

laju filtrat glomerulus (LFG) kurang dari 60 mL/ min/1,73 m2 yang

berlangsung lebih dari 3 bulan (Lewis, L., Dirksen, & R., Heitkemper, M,

& Bucher, 2011)

Berdasarkan definisi-definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa

GGK adalah suatu kondisi sakit yang disebabkan kerusakan pada ginjal

yang irreversibel, sehingga menyebabkan ginjal kehilangan fungsinya

yang terjadi lebih dari 3 bulan dengan batasan karakteristik nilai LFG

kurang dari 60 mL/mnt/1,73 m2.

13
2. Klasifikasi

Menurut National Kidney Foundation dalam (Lewis, L., Dirksen,

& R., Heitkemper, M, & Bucher, 2011) klasifikasi GGK berdasarkan

derajat LFG adalah sebagai berikut:

Tabel 2.1 Klasifikasi GGK berdasarkan derajat LFG

Derajat Penjelasan LFG (ml/mnt/1,73


m2)
1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau ↑ ≥90
2 Kerusakan ginjal dengan ↓ LFG ringan 60-
3 Kerusakan ginjal dengan ↓ LFG sedang 30-
89
4 Kerusakan ginjal dengan ↓ LFG berat 15-
59
5 GGK <15
29
Sumber: National Kidney Foundation dalam (Lewis, L., Dirksen, &
R., Heitkemper, M, & Bucher, 2011)

3. Etiologi

GGK dapat disebabkan oleh banyak faktor. Faktor utama penyebab

GGK di Indonesia menurut PERNEFRI (2011), berdasarkan prosentase

kejadian tertinggi adalah penyakit ginjal hipertensi (34%), nefropati

diabetika (27%), glumerulopati primer (14%), nefropati obstruksi (8%),

pielonefritis kronik (6%), nefropati asam urat (2%), nefropati lupus (1%),

tidak diketahui (1%), dan disebabkan karena lain-lain (6%).

4. Patofisiologi

Ginjal merupakan salah satu organ yang memiliki fungsi vital di

dalam tubuh. Fungsi tersebut adalah menyaring darah dari kelebihan

cairan, garam, dan produk sisa untuk menjaga komposisi tubuh

14
agar tetap stabil. Mengingat fungsi ginjal yang sangat penting, maka

apabila terjadi gangguan pada ginjal akan berdampak signifikan terhadap

keberlangsungan hidup manusia (Desitasari, Utami, G. T., & Misrawati.,

2013)

Adanya faktor-faktor yang menyebabkan penurunan fungsi ginjal

seperti hipertensi, diabetes mellitus, glomerulonefritis, dan lain-lain akan

menyebabkan fungsi glomerulus menurun karena adanya tekanan yang

kuat pada glomerulus sehingga glomerulus menjadi radang. Leukosit

bermigrasi ke glomerulus dan berakumulasi yang terkadang

mengisi seluruh glomerulus ketika glomerulus radang. Reaksi peradangan

ini dapat menyebabkan sumbatan total ataupun parsial glomerulus,

sehingga hal tersebut menyebabkan permeabilitas membran glomerulus

yang tidak tersumbat meningkat. Peningkatan permeabilitas membran

glomerulus memungkinkan molekul berukuran besar seperti protein ikut

keluar bersama dengan urin. Bersamaan dengan hal tersebut, ruptur terjadi

sehingga memungkinkan banyak eritrosit masuk ke dalam filtrat

glomerulus (Guyton, 2012).

Endapan fibrin mulai terbentuk di sekitar interstisium karena adanya

jejas. Mikroaneurisma terjadi karena kerusakan dinding vaskuler dan

peningkatan tekanan darah sekunder akibat obstruksi dan hipertensi.

Kerusakan nefron akhirnya terjadi yang akan memicu hiperfungsi

kompensasi pada nefron yang belum cidera. Kondisi tersebut pada

akhirnya membuat glomerulus yang sehat menanggung beban kerja

15
berlebihan, sehingga mengalami sklerosis dan nekrosis. Keadaan tersebut

membuat fungsi ginjal sebagai penyaring zat-zat toksik untuk

dieskresikan ke luar tubuh tidak berjalan. Zat-zat toksik yang

menumpuk tersebut akan berisiko membawa kematian pada semua organ

penting di dalam tubuh (Kowalak, 2012).

5. Manifestasi klinik

Surrena, Gaghardi, Scott, dkk. (2010), mengemukakan bahwa

manifestasi klinik dari GGK adalah sebagai berikut:

a. Sistem kardiovaskuler

Manifestasi klinik yang dapat muncul pada sistem ini berupa

hipertensi, pitting edema pada kaki, tangan, dan tulang duduk, edema

periorbital, perikarditis, efusi perikardial, hiperkalemia, dan

hiperlipidemia.

b. Sistem integument

Manifestasi klinik yang dapat muncul pada sistem ini antara lain

warna kulit cenderung seperti perunggu keabu-abuan, kulit kering

bersisik, pruritis berat, echymosis, purpura, kuku tipis dan rapuh,

rambut kasar dan menipis

c. Sistem pulmonal

Manifestasi klinik yang dapat muncul pada sistem ini antara lain

nyeri pleuritis, napas pendek, tachipnea, napas kussmaul.

16
d. Sistem gastrointestinal

Pada sistem gastrointestinal dapat muncul manifestasi klinik

seperti napas bau amonia, ulserasi di mulut dan perdarahan, anoreksia,

mual dan muntah, cegukkan, konstipasi atau diare, perdarahan saluran

cerna.

e. Sistem neurologic

Manifestasi klinik yang dapat muncul dari sistem ini antara lain

kelemahan dan kelelahan, bingung, ketidakmampuan konsentrasi,

disorientasi, tremor, kejang, perubahan perilaku.

f. Sistem musculoskeletal

Manifestasi klinik yang dapat muncul pada sistem ini antara lain

kram otot, kehilangan kekuatan otot, nyeri tulang, fraktur, dan foot

drop.

g. Sistem reproduksi

Manifestasi klinik yang dapat muncul dari sistem ini antara lain

amenorea, atropi testis, infertilitas, dan penurunan libido.

h. Distibusi metabolic

Tanda yang dapat muncul dari terganggunya distribusi

metabolik karena GGK antara lain akan terjadi peningkatan BUN dan

serum kreatinin yang meningkat sebagai akibat adanya penurunan

LFG.

17
i. Ketidakseimbangan elektrolit dan asam basa

GGK dapat bermanifestasi klinik seperti terjadi peningkatan

kadar kalium (hiperkalemia), sedangkan natrium cenderung rendah

atau normal. Asidosis metabolik dapat terjadi karena adanya

akumulas amonia di dalam darah.

j. Sistem hematologi

Pada sistem hematologi, GGK akan bermanifestasi klinik seperti

anemia, trombositopenia, dan lain-lain.

6. Penatalaksanaan

Penanganan awal GGK difokuskan pada pengendalian gejala,

pencegahan terhadap komplikasi, dan memperlambat terjadinya progresi

GGK. Obat dapat dipakai untuk mengendalikan hipertensi, mengatur

elektrolit, dan mengendalikan volume cairan intravaskuler (Baradero,

Dayrit, & Siswadi, 2009). Dan menurut (Azis, Witjaksono, & Rajidi,

2008) prinsip dari penatalaksanaan pasien GGK adalah sebagai berikut:

a. Mengobati penyakit dasar dari tanda dan gejala yang ada.

b. Mengobati penyakit penyerta.

c. Menghambat terjadinya progresifitas kerusakan ginjal.

d. Pencegahan dan pengobatan terhadap penyakit kardiovaskuler.

e. Pencegahan dan pengobatan terhadap komplikasi.

f. Persiapan dan pemilihan terapi pengganti ginjal.

18
Prinsip-prinsip di atas menurut Lewis et al., (2011), dapat dicapai

dengan dua pendekatan, yaitu dengan manajemen farmakolologi (dengan

menggunakan obat-obatan) dan manajemen nutrisi. Manajemen tersebut,

antara lain:

a. Hiperkalemi diatasi dengan jalan membatasi asupan kalium melalui

makanan dan obat-obatan. Untuk akut hiperkalemia dapat dilakukan

koreksi dengan pemberian intra vena glukosa dioplos dengan insulin,

sedangkan untuk selanjutnya dapat diberikan kalitake.

b. Hipertensi dapat diatasi dengan mengurangi berat badan jika pasien

mengalami obesitas, menjalani pola hidup yang sehat dengan

olahraga dan tanpa alkohol, diet rendah garam, dan dengan obat-

obatan antihipertensi seperti ACE inhibitor dan Angiotensin receptor

blocker.

c. Anemia dapat diatasi dengan pemberian exogenous erytropoietin

(EPO), pemberian tablet besi, atau dengan tranfusi darah.

d. Pembatasan asupan protein.

Protein yang dianjurkan untuk pasien GGK adalah protein yang

memiliki nilai biologis tinggi, seprti produk susu, telur, daging, dan

produk hewani lainnya (Surrena, Gaghardi, Scott, dkk., 2010).

Jumlah protein harian yang direkomendasikan adalah 1,2 gram/Kg

berat badan ideal (Lewis et al., 2011)

19
e. Pembatasan cairan.

Pembatasan cairan hanya dilakukan pada pasien ESRD. Program

pembatasan cairan tidak diberlakukan sebelum ESRD.

Penatalaksanaan overhidrasi pada kasus ini biasanya menggunakan

obat diuretik (Lewis et al., 2011) Jumlah cairan yang diizinkan masuk

dalam 24 jam untuk penderita GGK yang menjalankan program

pembatasan cairan adalah sebanyak urin out put dalam 24 jam

terakhir +500 sampai 600 ml (Insensible Water loss/IWL)

(Tanujiarso, Ismonah, & Supriadi., 2014) Salah satu bentuk

kehilangan cairan tubuh adalah melalui IWL. IWL meliputi

kehilangan cairan dari evaporasi yang terjadi melalui kulit dan paru

selama respirasi. Jumlah cairan yang dikeluarkan adalah 600 ml dari

kulit, 300 ml dari paru, dan 200 ml dalam bentuk feses yang berasal

dari saluran gastrointestinal (Taylor, Lillis, LeMone, dkk., 2011).

Berdasarkan teori tersebut, (Lewis et al., 2011) merumuskan jumlah

cairan yang boleh masuk dalam 24 jam pada penderita GGK

sebanyak urin out put + 600 sampai 1000 ml

f. Pembatasan natrium dan kalium serta fosfat.

1) Pembatasan natrium

Jumlah natrium yang boleh dikonsumsi oleh penderita GGK

setiap harinya adalah 2 sampai 4 gram. Perlu diperhatikan bahwa

natrium dengan garam natrium klorida tidak sama kandungan

20
natriumnya. Satu gram natrium klorida mengandung 400 mg

natrium.

2) Pembatasan kalium

Pembatasan kalium untuk penderita GGK tergantung

kemampuan ginjal dalam mengekskresikan kalium. Pembatasan

kalium dalam sehari adalah 2 sampai 3 gram, yang mana 39 mg

kalium sama dengan 1 mEq kalium. Beberapa jenis makanan yang

banyak mengandung kalium antara lain jeruk, pisang, melon,

tomat, buah-buahan yang berwarna kuning, dan sebagainya.

3) Pembatasan fosfat

Pembatasan fosfat dalam sehari adalah 1 gram. Beberapa

contoh makanan yang banyak mengandung fosfat antara lain

daging, susu, es krim, keju, yogurt, dan lain sebagainya. Banyak

makanan yang mengandung tinggi fosfat mengandung tinggi

protein. Semenjak program hemodialisis dilakukan dan pasien

dianjurkan untuk mengkonsumsi makanan yang mengandung

protein, maka pengikat fosfat penting diberikan untuk

mengontrol jumlah fosfat yang beredar dalam tubuh.

7. Komplikasi

Masalah umum yang sering dihadapi pasien GGK adalah

ketidakpatuhan dalam pengobatan. Salah satu ketidakpatuhan yang paling

sering ditemui pada pasien GGK adalah ketidakpatuhan terhadap

21
pembatasan intake cairan. Ketidakpatuhan terhadap pembatasan intake

cairan akan mengakibatkan berbagai masalah antara lain: edema, sesak

napas, hipertensi, dan gangguan jantung, serta yang paling serius adalah

kematian (N. W. Arfany, Armiyati, & Kusuma, 2015)

B. Tinjauan Umum tentang Hemodialisa

Hemodialisis merupakan salah satu cara untuk mengerluarkan produk

sisa metabolisme berupa larutan dan air yang ada pada darah melalui membran

semipermeabel atau yang disebut dengan dialyzer. Prinsip kerja perpindahan

cairan pada hemodialisis adalah difusi, osmosis, ultrafiltrasi dan konveksi.

Melalui proses difusi molekul dalam darah dapat berpindah ke dialisat. Proses

perpindahan ini terjadi karena adanya perbedaan konsentrasi larutan, dimana

konsentrasi darah lebih tinggi dari pada konsentrasi dialisat. Osmosis adalah

perpindahan air dari tekanan tinggi (darah) ke tekanan yang lebih rendah

(dialisat). Hemodialisis tidak dapat menyembuhkan atau memulihkan penyakit

ginjal karena tidak mampu mengimbangi hilangnya aktivitas metabolik

penyakit ginjal atau endokrin yang dilaksanakan oleh ginjal dan dampak dari

gagal ginjal serta terapi terhadap kualitas hidup pasien. Oleh karena itu pada

pasien yang menderita penyakit ginjal kronik harus menjalani dialisa

sepanjang hidupnya (Noorman Wahyu Arfany et al., 2014)

Menurut Price & & Wilson (2007) dialisa adalah suatu proses dimana

solute dan air mengalami difusi secara pasif melalui suatu membran

22
berpori dari kompartemen cair menuju kompartemen lainnya.

Hemodialisa dan dialisa peritoneal merupakan dua tehnik utama yang

digunakan dalam dialisa. Prinsip dasar kedua teknik tersebut sama yaitu

difusi solute dan air dari plasma ke larutan dialisa sebagai respon terhadap

perbedaan konsentrasi atau tekanan tertentu. Sedangkan menurut Tisher dan

Wilcox (1997) hemodialisa didefinisikan sebagai pergerakan larutan dan air

dari darah pasien melewati membran semipermeabel (dializer) ke dalam

dialisat. Dializer juga dapat dipergunakan untuk memindahkan sebagian besar

volume cairan. Pemindahan ini dilakukan melalui ultrafiltrasi dimana

tekanan hidrostatik menyebabkan aliran yang besar dari air plasma (dengan

perbandingan sedikit larutan) melalui membran. Dengan memperbesar jalan

masuk pada vaskuler, antikoagulansi dan produksi dializer yang dapat

dipercaya dan efisien hemodialisa telah menjadi metode yang dominan dalam

pengobatan gagal ginjal akut dan kronik di Amerika Serikat (Tisher &

Wilcox, 1997).

C. Tinjauan Umum tentang Rasa Haus

1. Definisi

Haus merupakan istilah yang sudah tidak asing lagi bagi kita. Para

ahli memiliki pendapat mengenai definisi haus. Beberapa pendapat ahli

tentang definisi haus, antara lain:

a. Haus adalah keinginan individu untuk memenuhi kebutuhan cairan

tubuh yang dilakukan secara sadar (Guyton A C, 2012)

23
b. Haus adalah keinginan akan cairan yang menghasilkan naluri dasar

untuk minum (Said & Hanan, 2013).

c. Haus merupakan sensasi yang disebabkan oleh mulut dan

tenggorokan yang kering berhubungan dengan keinginan akan cairan

(Kara, 2013)

d. Berdasarkan definisi-definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa

haus adalah keinginan akan air (minum) yang muncul sebagai akibat

tubuh mengalami kekurangan cairan.

2. Faktor yang mempengaruhi rasa haus (dipsogenic factor)

Rasa haus akan muncul karena pusat rasa haus tubuh distimulasi oleh

beberapa faktor. Faktor yang dapat mempengaruhi munculnya rasa haus

antara lain karena adanya peningkatan konsentrasi plasma, penurunan

volume darah, membran mukosa dan mulut yang kering, angiotensin II,

kehilangan kalium, dan faktor-faktor psikologis (A Potter, & Perry,

2010)

(Kara, 2013) juga menyampaikan faktor-faktor yang dapat

menyebabkan munculnya rasa haus. Menurutnya berdasarkan berbagai

literatur, haus muncul karena adanya restriksi cairan, berkurangnya

sekresi saliva, adanya perubahan biokimia dan biologi tubuh, abnormalitas

hormonal, dan penggunaan obat-obatan, tetapi Kara (2013), tidak dapat

menjelaskan secara pasti bagaimana rasa haus dapat muncul.

24
3. Fisiologi munculnya rasa haus

Munculnya rasa haus merupakan fenomena penting yang dialami

tubuh manusia sebagai salah satu sinyal akan kebutuhan air di dalam

tubuh. Jumlah air dalam tubuh harus seimbang antara yang masuk dan

yang keluar. Jika jumlah air yang keluar lebih banyak dibanding yang

masuk, maka rasa haus akan muncul (Guyton A C, 2012)

Peningkatan konsentrasi plasma dan penurunan volume darah

merupakan stimulus utama munculnya rasa haus. Osmoreseptor yang

merupakan sel-sel reseptor yang berada di pusat pengendali rasa haus di

hipotalamus akan memantau osmolalitas darah secara terus menerus.

Apabila tubuh kehilangan cairan terlalu banyak, maka osmoreseptor akan

mendeteksi kehilangan tersebut dan akan mengaktifkan pusat rasa haus.

Akibat adanya rangsangan tersebut, maka seseorang akan merasakan haus

dan kemudian mencari air. Selain itu, kondisi membran mukosa mulut dan

faring yang kering, pembentukan Angiotensin II, kehilangan kalium, dan

kondisi psikologis seseorang juga mempengaruhi rasa haus yang

dirasakan seseorang (A Potter, & Perry, 2010)

Rasa haus segera akan hilang ketika seseorang minum air bahkan

sebelum air tersebut diabsorpsi dari traktus gastrointestinalis. Seseorang

yang memiliki fistula esofagus (esofagus yang memiliki lubang sehingga

air tidak akan pernah sampai tepat di traktus gastrointestinalis), rasa haus

akan tetap berkurang setalah tindakan minum yang dilakukan

seseorang, tetapi rasa haus akan datang kembali setelah 15 menit atau

25
lebih. Apabila air benar- benar masuk ke lambung, maka peregangan

lambung dan bagian traktus gastrointestinalis bagian atas masih akan

memberikan efek pengurangan rasa haus lebih lanjut untuk sementara

waktu (Guyton A C, 2012)

4. Manajemen rasa haus

Rasa haus merupakan salah satu indikator normal tubuh dalam

merangsang adanya ketidakseimbangan yang terjadi di dalam tubuh.

Orang yang sehat, respon untuk mengurangi hal tersebut adalah dengan

minum sehingga rasa haus hilang (A Potter, & Perry, 2010 ; Guyton A C,

2012). Namun, hal tersebut tidak berlaku bagi penderita GGK, yang mana

penderita harus melaksanakan pembatasan asupan cairan agar kualitas

hidup tetap terjaga dengan terhindar dari komplikasi yang ditimbulkan

karena adanya cairan yang berlebihan (Sulistyaningsih, 2011).

(DeBruyne, Pinna, & & Whitney, 2012) menyebutkan beberapa cara

untuk mengurangi rasa haus pada pasien yang menjalani program

pembatasan cairan, diantaranya adalah dengan menghisap es batu, frozen

grapes, menyikat gigi, mengunyah permen karet atau permen mint atau

permen bebas gula, dan bilas mulut dengan obat kumur dingin

a. Mengulum Es Batu

Mengulum es batu merupakan salah satu dari banyak metode

manajemen rasa haus pada pasien GGK. Penelitian yang dilakukan

(N. W. Arfany et al., 2015), menyebutkan bahwa dengan mengulum

26
es batu selama 5 menit akan dapat menurunkan rasa haus pasien GGK.

Dia memberikan alasan bahwa dengan mengulum es batu, lama

kelamaan es batu akan mencair. Es batu yang telah mencair tersebut

menurutnya akan memberikan efek dingin dan menyegarkan sehingga

keluhan haus pasien berkurang. (Conchon & & Fonseca, 2014) dalam

penelitiannya menyebutkan, 10 ml es batu yang dikulum oleh pasien

postoperasi efektif mengurangi rasa haus pasien pada periode

pemulihan di recovery room (RR). Dia juga menambahkan bahwa

es lebih efektif daripada air dalam menurunkan rasa haus. Jumlah es

yang dikulum pada manajemen rasa haus tetap harus dipertimbangkan

sebagai jumlah cairan yang dikonsumsi

b. Frozen grapes

Menurut (Dudek, 2014) salah satu tindakan yang dapat

dilakukan oleh penderita GGK untuk mengurangi rasa haus yang

muncul adalah dengan mengulum frozen grapes. Anggur menurutnya

merupakan salah satu buah yang sedikit kandungan kaliumnya,

sehingga aman untuk dikonsumsi bagi penderita GGK. Frozen grapes

memiliki kesamaan dengan es batu. Sensasi dingin yang diberikan oleh

frozen grapes akan memberikan efek dingin dan segar di mulut.

Kandungan air dalam buah anggur juga akan lebih bertahan lama di

mulut ketika dibekukan, sehingga sensasi rasa haus akan berkurang.

27
c. Sikat gigi

Menyikat gigi merupakan prosedur rutin yang dapat dilakukan

oleh setiap orang. Tujuan dari menyikat gigi antara lain untuk

memelihara kesehatan mulut terutama gigi dan gusi, menimbulkan rasa

segar di mulut dengan menambahkan pasta gigi, mencegah

tertumpuknya sisa-sisa makananpada sela-sela gigi yang dapat menjadi

karies gigi, dan menyikat gigi dengan pasta gigi dapat membantu

melembabkan permukaan mulut, sehingga dapat mencegah terjadinya

xerostomia.

Xerostomia merupakan salah satu gejala yang sering muncul

pada pasien GGK. Xerostomia didefinisika sebagai perasaan mulut

kering. Gejala ini muncul karena menurunnya aliran saliva di rongga

mulut. Xerostomia dilaporkan sering membuat pasien meningkatkan

frekuensi minum. Xerostomia juga dapat menyebabkan gangguan

kesehatan mulut dari pasien seperti bau mulut dan stomatitis (Bruzda-

Zwiech, Szczepanska, & & Zwiech, 2013)

d. Mengunyah permen karet rendah gula

(Bots et al., 2007) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa

mengunyah permen karet dapat digunakan untuk mengurangi rasa haus

yang disebabkan oleh mulut kering karena berkurangnya saliva di

mulut. Permen karet yang dikunyah selama lebih dari 10 menit dan

dilakukan 6x per hari dapat merangsang sekresi saliva oleh kelenjar

28
saliva di mulut. Saliva yang terakumulasi di mulut akan membasahi

mulut, sehingga hal ini dapat menurunkan sensasi rasa haus yang

muncul akibat mulut kering (Said & & Mohammed, 2013)

Proses mastiktasi dan rasa permen karet dapat merangsang

sekresi saliva. Kelenjar saliva yang tidak dirangsang akan

menghasilkan saliva sebanyak 0,4 ml/menit. Adanya proses

mengunyah dapat meningkatkan sekresi saliva sebanyak 10-12 kali

lipat, sehingga merupakan keuntungan tersendiri mengunyah permen

karet dalam usaha menurunkan rasa haus yang muncul akibat program

pembatasan cairan (N.W.Arfany et al., 2015)

Salah satu tehnik mengunyah yang baik adalah dengan

mengunyah permen karet xylitol. Xylitol merupakan gula alkohol atau

gula polialkohol tipe pentitol karena di dalam molekulnya xylitol

mengandung lima rantai atom karbon atau lima golongan hidroxil.

Xylitol dimetabolisme di hati dan dikonversikan menjadi D-xylulose

dan glukosa oleh polyol dehydrogenase (Khairunissa, 2010).

Xylitol merupakan pemanis yang aman bagi penderita diabetes

dan hiperglikemia, sehingga banyak digunakan bertahun-tahun di

Amerika, Rusia, dan Eropa. Xylitol diabsorbsi lebih lambat daripada

gula biasa karena memiliki indeks glikemik yang sangat rendah yaitu

tujuh sedangkan, gula memiliki indeks glikemik sampai 90 dan

dilepaskan ke dalam darah 13 kali lebih cepat dibanding xylitol. Hal ini

menyebabkan xylitol tidak memberi kontribusi terhadap meningkatnya

29
gula darah dan juga tidak memberi efek hiperglikemik yang

disebabkan respon insulin yang tidak cukup (Rachima, 2008).

Seluruh permen karet jenis gula alcohol dapat digunakan untuk

meningkatkan produksi saliva, namun salah satu permen karet jenis

xylitol lebih sesuai karena mengandung kadar gula lebih rendah,

karena permen karet yang mengandung xylitol mampu meningkatkan

kuantitas saliva dan meningkatkan pH mukosa mulut lebih tinggi

dibandingkan permen karet non xylitol (Arian et al., 2015).

e. Berkumur

Salah satu fungsi berkumur adalah untuk membersihkan rongga

mulut. Akan tetapi pada keadaan GGK, berkumur berguna membasahi

rongga mulut yang berfungsi menghindarkan mulut kering yang pada

akhirnya mengurangi rasa haus. Gerakan berkumur juga berfungsi

untuk merangsang otot-otot bibir, lidah, dan pipi untuk berkontraksi.

Adanya kontraksi otot-otot tersebut, maka kelenjar saliva akan

terangsang untuk menghasilkan saliva. Adanya saliva di mulut akan

mencegah mulut dari erosi dan kering, serta mengurangi rasa haus

(Pratama, 2014).

Menurut Nirmaladewi, Handajani & Tandelilin (2008), berkumur

yang dilakukan secara efisien dan disertai dengan kemauan yang besar,

dan dengan cara yang baik akan dapat memberikan dampak yang baik

bagi otot-otot yang ada di mulut. Dia menambahkan bahwa

30
berkumur dapat dilakukan dengan media aquabidest sebanyak 5 ml

dan dilakukan selama 30 detik.

5. Instrumen pengukuran rasa haus

Penelitian tentang rasa haus sudah banyak dilakukan oleh

pendahulu. Peneliti pendahulu menggunakan bermacam-macam instrumen

dalam mengukur rasa haus. Beberapa instumen yang dapat digunakan

untuk mengukur rasa haus, antara lain:

a. Thirst Distres Scale (TDS)

Instrumen ini sudah dilakukan uji validitas dan reliabilitas. Uji

reliabliitas menunjukkan nilai Cronbach’s alpha coefficient= 0,78

(Kara, 2013)

Item yang ditanyakan dalam TDS adalah sebagai berikut.

Tabel 2.2
Thirst Distres Scale
No Item pertanyaan
1. Rasa haus saya menyebabkan saya merasa tidak nyaman
2. Rasa haus saya membuat saya minum sangat banyak
3. Saya sangat tidak nyaman ketika saya haus
4. Mulut saya terasa sangat kering ketika saya haus
5. Saliva saya sangat sedikit ketika saya haus
6. Ketika saya kurang minum, saya akan sangat kehausan
Sumber: (Kara, 2013)

TDS digunakan untuk mengukur haus pasien yang dihubungkan

dengan ketidaknyamanan pasien sejak dialisis terakhir. Masing-masing

item pertanyaan TDS diberikan skala Likert dengan rentang dari 1

(sangat tidak setuju) sampai 5 (sangat setuju). Jumlah skor yang

31
mungkin didapatkan adalah 6-30, yang mana semakin tinggi skor

berarti sangat stres terhadap rasa haus.

b. Dialysis Thirst Inventory (DTI)

Instrumen ini dapat digunakan untuk mengukur haus sebelum dan

sesudah dilakukan tindakan hemodialisis. DTI merupakan sebuah

kuesioner yang telah divalidasi yang terdiri dari 5 item, yang mana

setiap item memiliki 5 point yang berasal dari skala Likert (tidak

pernah=1 sampai sangat sering=5). Respon dari kelima item tersebut

kemudian dijumlahkan, yang mana hasilnya berupa skor sebagai

berikut: 5= tidak pernah haus, 10 hampir tidak pernah haus, 15=

kadang-kadang, 20= hampir sering haus, dan 25= sangat sering

haus (Said & & Mohammed, 2013) Beberapa pertanyaan DTI dapat

dilihat pada tabel berikut.

Tabel 2.3
Dialysis Thirst Inventory
No Item pertanyaan
1. Haus adalah masalah untuk saya
2. Saya merasa haus sepanjang hari
3. Saya merasa haus sepanjang malam
4. Kehidupan sosial saya dipengaruhi oleh haus saya
5. Saya haus sebelum sesi dialysis
6. Saya haus selama sesi dialysis
7. Saya haus setelah sesi dialisis
Sumber: Said & Mohammed (2013)
Masing-masing dari item pertanyaan diberikan skala Likert dengan
tipe skala (1= tidak pernah hingga 5= sangat sering). Laporan pasien
yang mengatakan “tidak pernah dan “hampir tidak pernah”

32
dikategorikan “tidak ada haus”, “kadang-kadang” hingga “sangat
sering” dikategorikan sebagai “ada haus” (Said & Mohammed, 2013).

D. Kerangka Teori

Gagal ginjal Overhidrasi Retriksi cairan


kronik

Rasa haus Munculnya


berkurang rasa haus

Mengulum es batu

Frozen grapes

Sikat gigi

Mengunyah permen
karet rendah gula

Berkumur air matang

Skema 2.1
Kerangka Teori
(Lewis, Dirksen, Heitkemper, dkk., 2011; Sulistyaningsih, 2011; Guyton, 2012;
DeBruyne, Pinna & Whitney, 2012)

33
E. Kerangka Konsep

Variable independen Variable dependen

Mengunyah permen
karet rendah gula
Penurunan rasa haus

Berkumur air
matang

Skema 2.2
kerangka konsep
Variabel-variabel yang diteliti meliputi:

1. Variabel independent (bebas)

Variabel independent dalam penelitian ini adalah manajemen rasa

haus yang terdiri dari mengunyah permen karet rendah gula dan berkumur

air matang.

2. Variabel dependent (terikat)

Variabel dependent dalam penelitian ini adalah penurunan rasa

haus pasien Gagal Ginjal Kronik (GGK) di ruang Hemodialisa RSUD.

Abdul Wahab Sjahrani

34
F. Hipotesis

Peneliti mengajukan beberapa hipotesis penelitian pada penelitian ini.

Hipotesis disesuaikan dengan tujuan khusus penelitian. Hipotesis alternatif

(Ha) dalam penelitian ini, antara lain:

1. Ada perbedaan skor haus sebelum dan sesudah Mengunyah Permen Karet

Rendah Gula

2. Ada perbedaan skor haus sebelum dan sesudah Berkumur Air Matang.

3. Ada perbedaan Perbandingan Pengaruh Mengunyah Permen Karet

Rendah Gula dan berkumur air matang terhadap penurunan rasa haus

pasien Gagal Ginjal Kronik (GGK) di ruang Hemodialisa RSUD. Abdul

Wahab Sjahrani.

35
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain dan Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian

experiment semu atau Quasy experiment dengan rancangan penelitian pre test

and post test nonequivalent control group. Pada penelitian ini, responden

penelitian dibagi menjadi 3 kelompok dan tidak dilakukan randomisasi.

Kelompok satu adalah kelompok perlakuan Mengunyah Permen Karet

Rendah Gula, kelompok kedua adalah kelompok perlakuan Berkumur Air

Matang dan kelompok ketiga sebagai kontrol sebagai pembanding.

Sebelum perlakuan pada semua kelompok, dilakukan pengukuran awal

(pre test) untuk menentukan kemampuan atau nilai awal responden sebelum

perlakuan (uji coba). Selanjutnya pada kelompok perlakuan dilakukan

intervensi sesuai dengan protokol ujicoba yang telah direncanakan, sedangkan

pada kelompok kontrol tidak dilakukan intervensi atau dilakukan intervensi

selain yang diujicobakan. Setelah perlakuan dilakukan pengukuran akhir (post

test) pada semua kelompok untuk menentukan efek perlakuan pada

responden.

36
Adapun, rancangan pre and post test nonequivalent control group

adalah seperti bagan berikut:

R1:O1 X1 02

R
111 R2:O1 X2 02

R3:O1 X0 02

Gambar 3.1
Skema Desain Penelitian

Keterangan :

R : Responden penelitian

R1 : Responden kelompok dengan Mengunyah Permen Karet Rendah

Gula

R2 : Responden kelompok dengan Berkumur Air Matang

R3 : Responden kelompok control

01 : Pre test pada kelompok perlakuan

02 : Post test setelah perlakuan

X1 : Intervensi Mengunyah Permen Karet Rendah Gula

X2 : Intervensi Berkumur Air Matang

X0 : Kelompok kontrol tanpa intervensi

37
B. Definisi Operasional

Tabel 3.1
Tabel Definisi Operasional

No Variabel Definisi operasional Hasil ukur Alat Ukur Skala


Independen
1. Menguyah Latihan yang dilakukan 1. Ya Prosedur Nominal
permen xylitol dengan menguyah dua 0. Tidak Menguyah
butir permen karet permen Xylitol
xylitol selama 5 menit Menggunakan
dengan interval waktu 4 lembar
jam dalam sehari. observasi
2. Kumur Air Latihan yang diberiakan 1. Ya prosedur Nominal
Matang untuk merangsang otot 0. Tidak Kumur Air
otot bibir, lidah, dan pipi Matang
untuk berkontraksi, Menggunakan
adanya kontraksi otot lembar
otot tersebut maka observasi
kelenjar saliva untuk
untuk menghasilkan
saliva, berkumur
dilakukan dengan
menggunakan air
matang sebanyak 5 ml
dan dilakukan selama 30
detik
Dependen
3. Rasa Haus keinginan akan air 1. 5 Lembar Rasio
(minum) yang 2. 10 Kuesioner

muncul sebagai 3. 15 DTI


4. 20

38
akibat tubuh 5. 25
mengalami
kekurangan cairan

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh penderita Gagal Ginjal

Kronik (GGK) di ruang Hemodialisa RSUD. Abdul Wahab Sjahrani.

2. Sampel penelitian

Sampel dalam penelitian ini adalah pasien Gagal Ginjal Kronik

(GGK) yang memenuhi karakteristik melalui kriteria inklusi dan eksklusi

yang sudah ditetapkan peneliti.

Kriteria Inklusi

a. Bersedia menjadi responden

b. Pasien yang telah didiagnosa menderita Gagal Ginjal Kronik (GGK)

c. Penderita Hipertensi yang berusia 25 – 67 tahun

Kriteria eksklusi

a. Pasien yang tidak bersedia menjadi responden

b. Pasien Gagal ginjal kronik yang mengalami kelemahan pada otot

wajah

39
c. Pasien Gagal ginjal kronik yang mengalami nyeri pada bagian mulut

3. Metode sampling

Metode sampling yang digunakan yaitu Non Probability Sampling

dengan metode Consecutive Sampling

4. Besar sampel

Penelitian ini termasuk penelitian analitik kontinyu 3 populasi

dengan komparasi sehingga rumus Lemeshow yang digunakan untuk

menentukan besar sampel sebagai berikut:

(𝑍𝑖−𝛼 + 𝑍1−𝛽 )2
2
N = 2σ2
(µ1 − µ2)2

Di mana:

N : Jumlah sampel kelompok yang mendapat kan intervensi

mengunyah permen karet rendah gula dan berkumur air

matang

𝑍𝑖−𝛼/2 : Derajat tingkat kemaknaan untuk 95% adalah Z𝛼 = 1,96

𝑍1−𝛽 : Kekuatan uji dari penelitian yakni 90% adalah Z𝛽 =

1,282

µ0 : Perbedaan yang diinginkan pada kelompok kontrol

yakni 10,6

40
µ2 : Perbedaan yang diinginkan pada kelompok intervensi

yakni 13,1

S2 : Simpangan baku diambil dari penelitian sebelumnya

yaitu 2,73

Parameter yang berasal dari kepustakaan adalah S (simpangan

baku), sedangkan yang ditetapkan peneliti adalah 𝑍𝑖−𝛼/2 𝑑𝑎𝑛 𝑍1−𝛽 dan µ0

dan µ2. Adapun besar sampelnya yaitu:

2σ2 (1,96 + 1,282)2


N=
(10,6 − 13,1)2

2 x 1,652 (3,242)2
N=
(−2,5)2

2 x 2,75 (10,510)
N=
6,25

N = 9,18 ≈ 9 Orang

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan koreksi atau penambahan jumlah

sampel berdasarkan prediksi sampel drop out dari penelitian. Adapun

perhitungan yang digunakan adalah:

𝑛
n′ =
1−𝑓

dimana :

n’ : Besar sampel setelah dikoreksi

N : Jumlah sampel berdasarkan estimasi sebelumnya : 9

41
F : Prediksi persentase sampel drop out : 15% = 0,15

𝑛
n′ =
1−𝑓

9
n′ =
1 − 0,15

n′ = 10,59 = 11 orang

Jadi jumlah sampel per kelompok yaitu 11 orang, maka total seluruh sampel

adalah 33 orang.

D. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan di ruang Hemodialisa RSUD. Abdul

Wahab Sjahrani pada bulan Maret - April 2018

E. Instrumen Penelitian

Alat dan bahan

Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian adalah permen karet

xylitol atau permen karet rendah gula, air matang dan lembar kuesioner DTI,

lembar pengkajian dan lembar observasi.

42
F. Uji Validitas dan Reliabilitas

Uji validitas dan reabilitas tidak dilakuakn karna peneliti

menggunakan instrument yang telah baku yaitu Dialysis Thirst Inventory

(DTI).

G. Teknik Pengumpulan Data

1. Tahap persiapan

a. Mengurus surat izin penelitian ke kantor Program Studi D-IV

Keperawatan Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan

Kalimantan Timur.

b. Melakuakn survei pendahuluan di rekam medik RSUD. Abdul Wahab

Sjahrani

c. Melakukan survei pendahuluan ke ruang Hemodialisa RSUD. Abdul

Wahab Sjahrani

2. Tahap pelaksanaan

Pada penelitian ini, tahap pengumpulan data menggunakan metode

wawancara dan observasi. Peneliti melakukan wawancara dan observasi

responden di Ruang Hemodilisa RSUD Abdul Wahab Sjahranie

Samarinda dengan menanyakan nama, jenis kelamin, tanggal lahir, alamat,

No.Handphone, serta mengobservasi tingkat rasa haus responden. Pada

43
saat pelaksanaan penelitian, peneliti melakukan intervensi menguyah

permen karet Xylitol sebnyak 2 butir selama 5 menit dengan interval

waktu 4 jam sekali dalam sehari pada kelompok intervensi 1. Pada

kelompok intervensi 2 peneliti melakukan intervensi berkumur air matang

sebanyak 25 ml selama 30 detik dan setelah itu air kumur dibuang,

intervensi ini dilakukan dengan interval waktu 4 jam sekali dalam sehari

dan pada kelompok kontrol yang mendapatkan terapi permen karet biasa

di ruang Hemodilisa RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda. Pada

keesokan harinya peneliti kembali melakukan pengukuran akhir nilai rasa

haus menggunakan DTI. Mentabulasi data pengkajian melalui wawancara

dan hasil observasi untuk dilakukan analisis data.

3. Tahap akhir

Data yang telah terkumpul diolah dengan software statistic melalui

beberapa tahap. Menurut Hastono (2007), pengolahan data dapat

dilakukan dengan empat tahap yaitu :

a. Editing : pada tahap ini peneliti melakukan pengecekan isian formulir

atau lembar observasi yaitu melakukan pengecekan nama, usia,

alamat, jenis kelamin dan tingkat pendidikan.

b. Coding : pada tahap ini peneliti merubah data berbentuk huruf menjadi

angka/bilangan. Dimana data jenis kelamin laki – laki diberi kode 1

dan jenis kelamin perempuan diberi kode 2. Pada kategori usia, usia

44
26 - 35 tahun memiliki kode 1, usia 36 - 45 tahun memiliki kode 2,

usia 46 – 55 tahun memiliki kode 3, usia 56 – 65 tahun memiliki kode

4.

c. Processing : pada tahap ini peneliti mengentri data yang sudah

dilakukan pengkodean ke komputer, dan dimasukan dalam master

tabel.

d. Cleaning : pada tahap ini peneliti melakukan pengecekan kembali data

yang sudah dientry pada master tabel apakah ada kesalahan atau tidak.

H. Analisis Data

Dalam penelitian ini semua data hasil penelitian dianalisis dengan

menggunakan program software statistic pada komputer. Analisis data

dilakukan secara sistematik antara lain.

1. Uji Normalitas

Uji normalitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji

Shapiro Wilk, dikarenakan data yang akan diuji jumlah sampelnya

dibawah 50 responden dan berskala rasio. Jika nilai p value > 0,05 maka

dikatakan data terdistribusi normal sedangkan, jika nilai p value < 0,05

maka dikatakan data tidak terdistribusi normal.

45
2. Uji Homogenitas

Pada penelitian ini peneliti melakukan uji homogenitas dengan

menggunakan uji Levene statistics, dimana jika nilai Levene statistic >

0,05 maka dapat dikatakan bahwa variasi data adalah homogen.

I. Etika Penelitian

Dalam melakukan penelitian ini, peneliti mengajukan ethical

clearance di Poltekkes Kaltim. Selanjutnya peneliti akan mengajukan

permohonan izin kepada instansi tempat penelitian dalam hal ini Kepala

Puskesmas Bengkuring Samarinda.

Setelah mendapat persetujuan, peneliti akan melakukan penelitian

dengan menerapkan tiga prinsip etik umum (Dahlan, 2008) :

1. Prinsip Menghormati Harkat dan Martabat Manusia

Pada prinsip ini peneliti menghormati otonomi responden, yaitu

menghormati keputusan responden dalam menerima ataupun menolak

dalam menjadi responden penelitian. Disini peneliti menyadari bahwa

responden memiliki hak untuk menentukan dan mengambil keputusan

sendiri (self-determination) untuk menjadi responden atau tidak. Peneliti

menghormati harkat dan martabat manusia/responden dengan memberikan

kebebasan kepada responden untuk memilih dan mementukan sendiri

46
keikutsertaannya dalam penelitian ini. Peneliti tetap menghormati

responden yang tidak bersedia ikut serta dalam penelitian ini.

2. Prinsip Etik Berbuat Baik (Beneficience)

Pada prinsip ini peneliti memberikan manfaat semaksimal

mungkin dan risiko seminimal mungkin. Pada prinsip ini peneliti berbuat

baik ini juga mencakup tidak melakukan hal yang berbahaya bagi

responden. Prinsip etik berbuat baik meliputi: risiko penelitian harus wajar

dibandingkan dengan manfaat yang diharapkan dan desain penelitian

harus memenuhi persyaratan ilmiah; peneliti mampu menjamin

kesejahteraan responden saat melakukan penelitian; serta tidak merugikan

orang lain (non-maleficience). Pada prinsip non-maleficience, peneliti

memberikan manfaat, yautu pengetahuan mengenai mengunyah permen

karet rendah gula dan berkumur air matang, serta manfaat setelah

melakukan mengunyah permen karet rendah gula dan berkumur air

matang.

3. Prinsip Etik Keadilan (Justice)

Pada prinsip ini peneliti memberikan perlakuan yang sama, benar,

dan pantas pada semua responden dan memberikan distribusi seimbang

antara beban dan keikutsertaan responden dalam penelitian. Peneliti

menjaga kerahasian responden beserta jawabannya (confidential).

47
Jawaban responden hanya digunakan untuk penelitian, tidak

disalahgunakan, dan tidak mempengaruhi jabatan pekerjaan responden.

4. Persetujuan Menjadi Responden (Informed Consent)

Pada prinsip ini peneliti terlebih dahulu membagikan lembar

persetujuan menjadi responden penelitian (informed consent) kepada

responden. Peneliti juga menjaga kerahasiaan identitas dan jawaban

responden hanya untuk kepentingan ilmu serta metodologi keperawatan.

48
J. Alur Penelitian

Kriteria inklusi dan Populasi


eksklusi
Sampel

Informed consent

Setuju Tidak Setuju

Stop

Pre test

Progressive Muscle Kontrol


Slow Deep Breathing
Relaxation

Post test

Analisa data

Pelaporan

Gambar 3.2
Bagan Alur Penelitian

49
Daftar Pustaka

A Potter, & Perry, A. G. (2010). Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep,


Proses, Dan Praktik ,edisi 4, Volume.2. Jakarta: EGC.

Anita, D. C., & Novitasari, D. (2014). Kepatuhan Pembatasan Asupan Cairan


Terhadap Lama Menjalani Hemodialisa, 104–112.
Arfany, N. W., Armiyati, Y., Argo, M., Kusuma, B., Mengunyah, E., Karet, P., …
Arfany, N. W. (2014). Efektifitas Mengunyah Permen Karet Renda Gula Dan
Mengulum Es Batu Terhadap Penurinan Rasa Haus Pada Pasien Penyakit Ginjal
Kronis Yang Menjalani Hemodialisis, 1–9.
Arfany, N. W., Armiyati, Y., & Kusuma, M. A. B. (2015). Efektifitas mengunyah
permen karet rendah gula dan mengulum es batu terhadap penurunan rasa haus
pada pasien Penyakit Ginjal Kronis yang menjalani hemodialisis di RSUD
Tugurejo Semarang. Jurnal Ilmu Keperawatan Dan Kebidanan, 1, 6.
Arian, N. P. E. i, Putra, Y. I. D. P. G., & Arisusana, I. M. (2015). Pengaruh
Mengunyah Permen Karet Xylitol Terhadap Rasa Haus Pada Pasien CKD
Dengan Terapi Hemodialisa.
Azis, M., Witjaksono, J., & Rajidi, I. (2008). Panduan Pelayanan Medik : Model
Interdisiplin Penatalaksanaan Kanker Serviks dan Gangguan Ginjal. Jakarta:
EGC.
Baradero, Dayrit, & Siswadi. (2009). Seri Asuhan Keperawatan : Klien Gangguan
Ginjal. Jakarta: EGC.
Bots, C. P., Brand, H. S., Veerman, E. C. I., Korevaar, J. C., Valentijn-Benz, M.,
Bezemer, P. D., & Dkk. (2007). Chewing gum and a saliva subtitute alleviate
thirst and xerostomia in patient on haemodialysis. Nephrol Dial Transplant 20
(2007), 578–584.
Bruzda-Zwiech, A., Szczepanska, J., & & Zwiech, R. (2013). Sodium gradient,
xerostomia, thirst and inter-dialytic excessive weight gain: a possible
relationship with hyposalivation in patients on maintenence hemodialysis : Int
Urol Nephrol (2014) 56, 1411–1417.
Conchon, M. F., & & Fonseca, L. F. (2014). Ice and water efficiency in the
management of thirst in the immediate post operative period. Randomized
Clinical Trial. J Nurs UFPE on Line 8(5), 1435–40.
DeBruyne, L. K., Pinna, K., & & Whitney, E. (2012). Nutrition & diet therapy.

50
Boston: Cengange Learning.
Desitasari, Utami, G. T., &, & Misrawati. (2013). Hubungan tingkat pengetahuan,
sikap, dan dukungan keluarga terhadap kepatuhan diet pasien Gagal Ginjal
Kronik yang menjalani. Hemodialisa.
Dudek, S. G. (2014). Nutrition essentials for nursing practice. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins.
Guyton A C, H. J. E. (2012). Fisiologi manusia dan mekanisme penyakit. Jakarta:
EGC.
Kara, B. (2013). Validity and reliability of the Turkish version of the Thirst Distress
Scale in patients on hemodialysis. Asian Nursing Reaserch 7 (2013), 212–218.
Lewis, S., L., Dirksen, S., & R., Heitkemper, M, & Bucher, L. (2011).
Medicalsurgical nursing: assesment and management of clinical problems.
Missouri: Elsevier Mosby.
Price, L., & & Wilson, L. (2007). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit (Edisi 6 vo). Jakarta: EGC.
S.C, S., Bare, B. ., Hinkle, J. ., & Cheever, K. . (2008). Brunner & Suddarth’s
Textbook of medical surgical nursing. Philadelphia: Lippincott William &
Wilkins.
Said, H., & & Mohammed, H. (2013). Effec of chewing gum on xerostomia, thirst
and interdialytic weight gain in patients on hemodialysis. Life Science Journal
2013; 10(2), 1768.
Sulistyaningsih, D. R. (2011). Efektivitas training efikasi diri pada pasien Penyakit
Ginjal Kronik dalam meningkatkan kepatuhan terhadap intake cairan. Majalah
Ilmiah Sultan Agung, 50, No. 128.
Suryono, A., Armiyati, Y., & Mustofa, A. (2015). Effectiveness between sucking ice
cube and gurgling with drinking water toward thirst reduction in chronic kidney
disease (ckd) patients at rsup. dr. kariadi semarang, 1–13.
Tanujiarso, B. A., Ismonah, & Supriadi., &. (2014). Efektifitas Konseling Diet Cairan
Terhadap Pengontrolan Interdialitic Weight Gain (IDWG) Pasien Hemodialis di
Rs Telorejo Semarang. Jurnal Keperawatan Dan Kebidanan.

51
Lampiran

52

You might also like