You are on page 1of 12

PENGARUH AKLIMATISASI TERHADAP KISARAN TOLERANSI

PADA KELOMPOK JENIS LEBISTES (Poeclia reticulata)


LAPORAN PRAKTIKUM

disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Biokimia yang diampu
oleh Drs. Suhara, M.Pd dan Dr. Mimin Nurjhani, M.Pd

Oleh:
Mutmaina Bauw 1404471
Pinka Alisa D. S. 1404352
Rai Irtifaul F 1401296
Reza Ahmad T. 1405622
Rila Nadhira D. 1401415

PROGRAM STUDI BIOLOGI


DEPARTEMEN PENDIDIKAN BIOLOGI
FAKULTAS PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
2017
A. Judul
Pengaruh aklimatisasi terhadap kisaran toleransi pada kelompok jenis Lebistes
(Poeclia reticulata)

B. Tujuan
1. Mengetahui kisaran toleransi suhu Lebistes sp. kelompok jantan setelah
aklimatisasi.
2. Mengetahui kisaran toleransi suhu Lebistes sp. kelompok juvenile setelah
aklimatisasi.
3. Mengetahui kisaran toleransi suhu Lebistes sp. kelompok gravid setelah
aklimatisasi.
4. Mengetahui kisaran toleransi suhu Lebistes sp. kelompok betina setelah
aklimatisasi.

C. Waktu dan Tempat Pelaksanaan


Hari, tanggal : Kamis, 14 September 2017
Waktu : 07.00 – Selesai
Tempat : Laboratorium Ekologi FPMIPA

D. Landasan Teori
Setiap organisme harus menyesuaikan diri terhadap kondisi
lingkungannya agar bisa bertahan hidup dan melanjutkan keturunannya.
Makhluk hidup mempunyai kelenturan dalaam batas tertentu. Kelenturan ini
memungkinkan makhluk itu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya
(Sumarwoto, dll, 2001). Faktor lingkungan merupakan sumber rangsangan bagi
hewan yang kemudian akan ditanggapi atau direspon oleh hewan tersebut baik
oleh individu secara sendiri-sendiri dan akhirnya akan menjadi respon
kelompok. Jika perubahan tersebut tidak menguntungkan bagi hewan, maka
respon yang akan diberikan olehhewan adalah penyesuaian diri hewan dengan
perubahan tersebut. Adaptasi tersebut berupa respon morfologi, fisiologis dan
tingkah laku. Pada lingkungan perairan, faktor fisik, kimiawi dan biologis
memiliki peran dalam pengaturan homeostatis yang diperlukan bagi
pertumbuhan dan reproduksi mahluk hidup perairan (Tunas, 2005)
Temperatur atau suhu merupakan salah satu faktor penting dalam
ekosistem perairan, Kenaikan suhu air menimbulkan kehidupan biota air
terganggu (Kanisius, 1992). Menurut Soetjipta (1993), air memiliki sifat termal
yang mengakibatkan perubahan suhu dalam air berjalan lebih lambat dari pada
udara. Suhu merupakan pembatas utama bagi kehidupan di air sehingga
mahluk hidup akuatik sering memiliki toleransi yang sempit.
Kenaikan suhu air akan dapat menimbulkan beberapa akibat sebagai
berikut (Kanisius, 2005):
a. Jumlah oksigen terlarut di dalam air menurun.
b. Kecepatan reaksi kimia meningkat
c. Kehidupan ikan dan hewan air lainnya terganggu.
d. Jika batas suhu yang mematikan terlampaui, ikan dan hewan air lainnya
mungkin akan mati.
Selanjutnya menurut Munro (1978 dalam Tunas), Peningkatan suhu air
dapat menyebabkan penurunan kelarutan gas-gas, tetapi meningkatkan
solubilitas senyawa-senyawa toksik seperti polutan minyak mentah dan
pestisida, serta meningkatkan toksisitas logam berat, sebagai contoh bahwa
pada air tawar (salinitas 0%) peningkatan suhu dari 25 menjadi 30°C
menyebabkan penurunan kelarutan oksigen dari 8,4 menjadi 7,6 mg/liter.
Sebagai hewan air, ikan memiliki beberapa mekanisme fisiologis yang
tidak dimiliki oleh hewan darat. Perbedaan habitat menyebabkan
perkembangan organ-organ ikan disesuaikan dengan kondisi lingkungan
(Yushinta, 2004).
Secara kesuluruhan ikan lebih toleran terhadap perubahan suhu air,
beberapa spesies mampu hidup pada suhu air mencapai 29°C, sedangkan jenis
lain dapat hidup pada suhu air yang sangat dingin, akan tetapi kisaran toleransi
individual terhadap suhu umumnya terbatas (Sukiya,2005).
Menurut Kuz’mina et al. (1996 dalam Tunas. 2005) menunjukkan bahwa
suhu perairan sangat berpengaruh terhadap laju metabolisme dan proses-proses
biologis ikan. Ditunjukkan bahwa aktivitas enzim pencernaan karbohidrase
sangat dipengaruhi oleh suhu,aktivitas protease tertinggi dijumpai pada musim
panas, adapun aktivitas amilase tertinggi dijumpai pada musim gugur.
E. Metode Kerja
1. Alat dan Bahan
Tabel 4.1 Alat yang Digunakan

No Alat Jumlah
1 Kompartemen 4 buah
2 Gelas ukur 4 buah
3 Thermometer 5 buah
raksa
4 Tali kasur 5 meter
5 ember 4 buah
6 statif 8 buah
Tabel 4.2 7 gunting 1 buah Bahan yang
Digunakan 8 Bunsen 5 buah

No Bahan Jumlah

1 Lebistes 30 ekor
betina
2 Lebistes 30 ekor
jantan
3 Lebistes 30 ekor
gravid
4 Lebistes 30 ekor
Juvenile
5 Es batu Secukupnya
6 Air sumur Secukupnya

2. Langkah Kerja
Lebistes disiapkan kedalam 4 jenis kelompok yang berbeda yaitu
betina, jantan, gravid dan juvenile sebanyak 90 ekor setiap kelompoknya
kedalam gelas kimia. Setelah dipisahkan kemudian masing-masing
kelompok di aklimatisasi selama 24 jam dalam suhu ruangan. Kemudian
kelompok yang sudah diaklimatiasasi masing-masing dipisahkan menjadi
3 kelompok yang masing-masing berjumlah 30ekor dan dilakukan proses
aklimatisasi kembali dengan 3 jenis suhu, panas (36-37⁰C), dingin(18-
21⁰C) dan ruangan (24⁰C) selama 2 jam. Jadi ada 12 kelompok yaitu
Jantan panas, jantas dingin, jantan ruangan, betina panas, betina dingin,
betina ruangan, gravid panas, gravid dingin, gravid ruangan, juvenile
panas, juvenile dingin dan juvenile ruangan.
Kompartemen diisi air kemudian diatur agar ada gradasi suhu dari
panas ke dingin sebanyak 5 titik dengan cara meletakan Bunsen disalah
satu ujung dan es batu di ujung lainnya. Termometer digantungkan di 5
titik kompartemen agar bias memonitoring suhu, Setelah aklimatisasi
masing-masing suhu selesai kemudian dari masing-masing kelompok
dimasukan kedalam kompartemen sebanyak 10 ekor. Setiap 15x5 menit
dicatat suhu dan lokasi penyebaran lebistes. Pengamatan dilakukan pada
semua jenis kelompok. Catat hasilnya.

F. Hasil dan Pembahasan


Tabel 5.1. Tabel Hasil Aklimatisasi Suhu

Suhu(⁰C) PANAS BETINA JANTAN GRAVID JUVENIL


26 0 0 0 0
27,62 1 3 1 0
28,69 0 4 0 1
29,71 0 1 2 1
30,42 9 1 0 3
31,3 0 1 7 5
33 0 0 0 0

Grafik 5.1 Grafik Hasil Aklimatisasi Suhu Panas

Pada table dan grafik diatas didapatkan informasi bahwa Lebistes Jantan
memiliki rentang toleransi lebih panjang dengan lebih banyak mengisi suhu
dibawah 30⁰C sedangkan Lebistes gravid cenderung lebih menyukai suhu
yang tinggi dengan kisaran toleransi yang fluktuatif. Pada grafik diatas juga
diketahui rentang toleransi terpendek dimilliki betina.

Tabel 5.2. Tabel Hasil Aklimatisasi Suhu Dingin

Suhu(⁰C) DINGIN BETINA JANTAN GRAVID JUVENIL


26 0 0 0 0
27,62 2 1 1 2
28,69 0 2 1 4
29,71 0 1 1 2
30,42 0 1 4 1
31,3 8 2 1 1
33 0 0 0 0
Grafik 5.2 Grafik Hasil Aklimatisasi Suhu Dingin

Pada grafik 5.2 dimana semua Lebistes sebelumnya telah diaklimatisasi


pada air bersuhu dingin dengan rentang temperature 17-21⁰C terlihat bahwa
panjang rentang toleransi jantan, gravid dan juvenil hampir sama. Sebaran
jantan lebih rata hampir disetiap rentang suhu dan jika dibandingkan dengan
grafik 5.1 grafik jantan setelah diaklimatisasi suhu panas dan suhu dingin
tidak menunjukan perbedaan yang jauh. Adapun betina menunjukan rentang
toleransi suhu yang fluktuasi. Grafik diatas juga memberikan keterangan
bahwa betina memiliki rentang toleransi suhu yang lebih pendek dibanding
yang lain.

Tabel 5.3 Tabel Hasil Aklimatisasi Suhu Ruangan

Suhu(⁰C) RUANG BETINA JANTAN GRAVID JUVENIL

26 0 0 0 0
27,62 2 0 1 8
28,69 0 1 2 0
29,71 3 3 2 0
30,42 3 1 2 2
31,3 1 5 3 0
33 0 0 0 0
Grafik 5.3 Grafik Hasil Aklimatisasi Suhu Dingin

Hasil pengamatan pada Grafik 5.3 kisaran toleransi suhu juvenil lebih
fluktuatif dan cenderung lebih menyukai suhu dibawah 29⁰C. Lebistes gravid
memiliki rentang toleransi yang lebih panjang dibanding dengan grafik-grafik
sebelumnya. Pada garfik ini juga ditemukan bahwa jatan memberikan rentang
toleransi yang berbeda dibanding dua grafik sebelumnya.
Johansen (1979) mengatakan Lebisten jantan lebih menyukai suhu yang
lebih rendah (24.3°C) dibanding betina (28.2⁰C) dan Juvenil(28 °C). Johansen
juga menyatakan bahwa Juvenil yang diberi treatment pemberian pakan
berupa tetosteron selama beberapa hari memunculkan tanda-tanda seksual
sekunder dan berubah menjadi menyukai suhu yang lebih dingin dibanding
sebelumnya.
Perbedaan terkait seks dalam ketahanan panas telah ditemukan yang
menyarankan peran hormon seks dalam beberapa aspek hubungan termal ikan.
Juvenil berkembang lebih baik pada temperatur antara 22.5-26⁰C.
(Karayucel et al., 2008). Adapun Gravid dalam penelitian Karayucel et al.,
(2008) cenderung memilih suhu yang lebih hangat untuk mencapai
pematangan telur yang optimum, gravid female lebih banyak menghasilkan
telur pada temperatur air kisaran 21-26⁰ C.
Dari penelitian diatas dapat diketahui bahwa Lebistes yang telah
diaklimatisasi pada tiga kondisi berbeda memiliki preferensi yang berbeda dari
preferensi biasanya. Meskipun pada penelitian ini masih banyak faktor lain
yang juga ikut mempengaruhi preferensi Lebistes seperti human error dan
ketidakstabilan suhu akibat thermometer yang sudah tidak akurat.

G. Kesimpulan
 Pada ketiga perlakuan aklimatisasi, aklimatisasi panas yang paling
dekat hubungannya dengan penelitian Johansen Johansen (1979) dan
Karayucel et al., (2008)
 Aklimatisasi mempengaruhi rentang toleransi suhu Lebistes pada
semua kelompok jenis.
 Terdapat faktor lain yang juga ikut mempengaruhi preferensi Lebistes
yakni human error dan ketidakstabilan thermometer.

DAFTAR PUSTAKA

Campbell. 2004. Biologi, Edisi Kelima-Jilid 3. Jakarta. Penerbit Erlangga


Kanisius. 1992. Polusi Air dan Udara. Penerbis Kanisius: Yogjakarta.
Soetjipta. 1993. Dasar-dasar Ekologi Hewan. Penerbit Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan: Yogjakarta.
Sukiya. 2005. Biologi Vertebrata. Penerbit Universitas Negeri Malang: Malang.
Sumarwoto, Otto. 2001. Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan.Jakarta:
Djambatan.
Tunas, Arthama Wayan. 2005. Patologi Ikan Toloestei. Penerbit Universitas
Gadjah Mada. Yogjakarta.
Johansen et. al. 1979 .Effects of sexual maturation and sex steroid hormone
treatment on the temperature preference of the guppy, Poecilia reticulata
(Peters). Department of Biology, Queen's University, Kingston, Ont.,
Canada K7L 3N6
Karayucel et.al. Effect of Temperature on Some Reproduction Parameters of
Gravid Females and Growth of Newly Hatched Fry in Guppy, Poecilia
reticulate (Peters, 1860). Journal of Animal and Veterunary Advances &
(10); 126-1266, 2008

You might also like