You are on page 1of 4

PERTUSIS

Definisi
Pertusis (batuk rejan) disebut juga whooping cough, tussis quinta, violent cough, dan di Cina
disebut batuk seratus hari. Sydenham yang pertama kali menggunakan istilah pertussis (batuk
kuat) pada tahun 1670. Istilah ini lebih disukai dari batuk rejan (whooping cough) karena
kebanyakan individu yang terinfeksi tidak berteriak (whoop artinya berteriak). Pertusis yang
berarti batuk yang sangat berat atau batuk yang intensif, merupakan penyakit infeksi saluran
nafas akut yang dapat menyerang setiap orang yang rentan seperti anak yang belum diimunisasi
atau orang dewasa dengan kekebalan yang menurun.

Etiologi
Penyebab pertusis adalah Bordetella pertusis. B. pertussis cirinya kecil, tidak bergerak,
cocobacillus gram (-). Ada enam spesies dari Bordetella yaitu B. parapertussis, B.
bronchiseptica, B. avium, B. hinzii, B. holmesii, dan B. trematum. B. pertusis dan B.
parapertussis adalah dua patogen yang paling umum ditemukan pada manusia.

Patogenenis
Bordetella pertusis setelah ditularkan melalui sekresi udara pernapasan kemudian melekat pada
silia epitel saluran pernapasan. Mekanisme patogenesis infeksi oleh Bordetella pertusis terjadi
melalui empat tingkatan yaitu perlekatan, perlawanan terhadap mekanisme pertahanan pejamu,
kerusakan lokal dan akhirnya timbul penyakit sistemik. Filamentous Hemaglutinin (FHA),
Lymphosithosis Promoting Factor (LPF)/ Pertusis Toxin (PT) dan protein 69-Kd berperan pada
perlekatan Bordetella pertusis pada silia. Setelah terjadi perlekatan, Bordetella pertussis
kemudian bermultiplikasi dan menyebar ke seluruh permukaan epitel saluran napas. Proses ini
tidak invasif oleh karena pada pertusis tidak terjadi bakteremia. Selama pertumbuhan Bordetella
pertusis, maka akan menghasilkan toksin yang akan menyebabkan penyakit yang dikenal dengan
whooping cough.
Toksin terpenting yang dapat menyebabkan penyakit disebabkan karena pertusis toxin. Toksin
menyebabkan peradangan ringan dengan hyperplasia jaringan limfoid peribronkial dan
meningkatkan jumlah lendir pada permukaan silia, maka fungsi silia sebagai pembersih
terganggu, sehingga mudah terjadi infeksi sekunder (tersering oleh Streptococcus pneumonia, H.
influenzae dan Staphylococcus aureus). Penumpukan lendir akan menimbulkan plak yang dapat
menyebabkan obstruksi dan kolaps paru. Namun terkadang Bordetella pertusis hanya
menyebabkan infeksi yang ringan, karena tidak menghasilkan toksin pertussis.

Manifestasi Klinis
Masa inkubasi pertusis 6-20 hari, rata-rata 7 hari, sedangkan perjalanan penyakit ini berlangsung
antara 6 – 8 minggu atau lebih. Gejala timbul dalam waktu 7-10 hari setelah terinfeksi. Bakteri
menginfeksi lapisan tenggorokan, trakea dan saluran udara sehingga pembentukan lendir
semakin banyak. Pada awalnya lendir encer, tetapi kemudian menjadi kental dan lengket. Infeksi
berlangsung selama 6 minggu, dan berkembangan melalui 3 tahapan
1. Tahap Kataral
Mulai terjadi secara bertahap dalam waktu 7-10 hari setelah terinfeksi, ciri-cirinya menyerupai
flu ringan yaitu bersin-bersin, mata berair, nafsu makan berkurang, lesu, batuk (pada awalnya
hanya timbul di malam hari kemudian terjadi sepanjang hari)
2. Tahap Paroksismal
Mulai timbul dalam waktu 10-14 hari (setelah timbulnya gejala awal) 5-15 kali batuk diikuti
dengan menghirup nafas dalam dengan pada tinggi. Batuk bisa disertai pengeluaran sejumlah
besar lendir vang biasanya ditelan oleh bayi/anak-anak atau tampak sebagai gelembung udara di
hidungnya). Muka anak akan merah atau sianosis, mata menonjol, lidah menjulur, lakrimasi,
salivasi dan distensi vena leher selama serangan. Pada stadium paroksismal dapat terjadi petekia
pada kepala dan leher atau perdarahan konjungtiva. Batuk atau lendir yang kental sering
merangsang terjadinya muntah. Serangan batuk bisa diakhiri oleh penurunan kesadaran yang
bersifat sementara. Pada bayi, apnea (henti nafas) dan tersedak lebih sering terjadi dibandingkan
dengan tarikan nafas yang bernada tinggi.
3. Tahap Konvalesen
Mulai terjadi dalam waktu 4-6 minggu setelah gejala awal. Batuk semakin berkurang, muntah
juga berkurang, anak tampak merasa lebih baik. Kadang batuk terjadi selama berbulan-bulan,
biasanya akibat iritasi saluran pernafasan.
Diagnosis

1. Anamnesis
Dalam anamnesis ditanyakan identitas, keluhan utama serta gejala klinis pertusis lainnya,
faktor resiko, riwayat keluarga, riwayat penyakit dahulu, dan riwayat imunisasi.
2. Pemeriksaan fisik
Gejala klinis yang didapat pada pemeriksaan fisik tergantung dari stadium saat pasien
diperiksa.
3. Pemeriksaan laboratorium
Pada minggu pertama dapat terjadi leukopenia seperti gambaran infeksi virus. Pada
minggu kedua, hitung limfosit absolut >10.000. Isolasi B.pertussis dari secret nasofaring
dipakai untuk membuat diagnosis pertussis. Biakan positif pada stadium kataral 95-
100%, stadium paroksismal 94% pada minggu ke-3 dan menurun sampai 20% untuk
waktu berikutnya. Tes serologi berguna pada stadium lanjut penyakit dan untuk
menetukan adanya infeksi pada individu dengan biakan.
4. Pemeriksaan penunjang
Pada pemeriksaan foto toraks dapat memperlihatkan infiltrat perihiler, atelektasis atau
emfisema.

Penatalaksanaan
Pada kasus ringan, umumnya anak-anak umur ≥ 6 bulan, dilakukan pengobatan rawat jalan.
Sedangkan pada anak < 6 bulan perlu dirawat di Rumah sakit. Selain itu, anak dengan penyulit
juga perlu dirawat, misalnya pada anak dengan pneumonia, kejang, dehidrasi, gizi buruk, henti
napas lama, atau kebiruan setelah batuk. Pengobatan suportif yang bisa dilakukan diantaranya
menghindarkan faktor-faktor yang menimbulkan serangan batuk, mengatur hidrasi dan nutrisi,
oksigen dapat diberikan pada distres pernapasan akut/kronik, dan penghisapan lendir terutama
pada bayi dengan pneumonia dan distres pernapasan. Beberapa agen terapeutik atau
medikamentonsa yang digunakan pada pasien pertussis adalah sebagai berikut
1. Agen Antimikroba
Agen antimikroba selalu diberikan bila pertussis dicurigai atau diperkuat karena
kemungkinan manfaat klinis dan membatasi penyebaran infeksi. Eritromisin, 40-50 mg/kg/24
jam, secara oral dalam dosis terbagi empat (maksimum 2 g/24 jam) selama 14 hari merupakan
pengobatan baku. Beberapa pakar lebih menyukai preparat estolat tetapi etilsuksinat dan stearat
juga manjur. Penelitian kecil eritromicin etilsuksinat yang diberikan dengan dosis 50 mg/kg/24
jam dibagi menjadi dua dosis, dengan dosis 60 mg/kg/24 jam dibagi menjadi tiga dosis, dan
eritromicin estolat diberikan dengan dosis 40 mg/kg/24 jam dibagi menjadi dua dosis
menunjukkan pelenyapan organisme pada 98% anak. Azitromisin, Claritomisin, Ampisillin,
Rifampin, Trimethoprim-Sulfametoksasol cukup aktif tetapi sefalosporin generasi pertama dan
ke-2 tidak. Pada penelitian klinis, eritromicin lebih unggul daripada amoksisilin untuk
pelenyapan B. pertussis dan merupakan satu-satunya agen dengan kemanjuran yang terbukti.
2. Salbutamol
Sejumlah kecil trial klinis dan laporan memberi kesan cukup pengurangan gejala-gejala dari
stimulan 2-adrenergik salbutamol (albuterol). Tidak ada trial klinis tepat yang telah
menunjukkan pengaruh manfaat, satu penelitian kecil tidak menunjukkan pengaruh. Pengobatan
dengan aerosol memicu paroksismal.
3. Kortikosteroid
Tidak ada trial klinis buta acak cukup besar yang telah dilakukan untukan mengevaluasi
penggunaan kortikosteroid dalam manajemen pertussis. Penelitian pada binatang menunjukkan
pengaruh yang bermanfaat pada manifestasi penyakit yang tidak mempunyai kesimpulan pada
infeksi pernafasan pada manusia. Pengguanaan klinisnya tidak dibenarkan.

You might also like