You are on page 1of 3

BAB 1

PENDAHULUAN

World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa pada tahun 2012 penyakit

kardiovaskuler lebih banyak menyebabkan kematian daripada penyakit lainnya. Sindrom

Koroner Akut (SKA) merupakan masalah kardiovaskuler utama karena menyebabkan angka

perawatan rumah sakit dan angka kematian yang tinggi. SKA merupakan suatu spektrum

mulai dari Unstable Angina Pectoris (UAP), Non ST Elevation Myocardial Infarction

(NSTEMI), dan ST-Elevation Myocardial Infarction (STEMI). Lebih dari 90% SKA

diakibatkan oleh rupturnya plak aterosklerosis, sehingga terjadi agregasi trombosit dan

pembentukan trombus coroner.

Di Amerika Serikat, 1,36 juta penyebab rawat inap adalah kasus SKA, 0,81 juta di

antaranya adalah kasus infark miokardium, dan sisanya angina tidak stabil (Myrtha, 2012).

Sebanyak 715.000 orang di Amerika Serikat diperkirakan menderita infark miokard pada

tahun 2012 (Li Yulong dkk., 2014). Sebanyak 478.000 pasien di Indonesia terdiagnosis

penyakit jantung coroner. menurut Departemen Kesehatan pada tahun 2013 menyatakan

bahwa prevalensi infark miokard akut dengan ST-elevasi saat ini meningkat dari 25% ke 40%

(Depkes, 2013).

ST Elevasi Miokardial Infark (STEMI) merupakan suatu kondisi yang mengakibatkan

kematian sel miosit jantung karena iskhemia yang berkepanjangan akibat oklusi koroner akut.

STEMI terjadi akibat stenosis total pembuluh darah koroner sehingga menyebabkan nekrosis

sel jantung yang bersifat irreversible. Diagnosis harus ditegakkan secara cepat dan tepat

untuk mencegah mortalitas dan morbiditas, meliputi anamnesis nyeri dada tipikal,

pemeriksaan EKG, dan pemeriksaan penanda jantung (PERKI, 2015). Adapun komplikasi

STEMI biasanya terjadinya karena adanya remodeling ventrikel yang pada akhirnya akan
mengakibatkan shock kardiogenik, gagal jantung kongestif, serta disritmia ventrikel yang

bersifat lethal aritmia (Darliana, 2017).

STEMI sering menyebabkan kematian mendadak, sehingga merupakan suatu

kegawatdaruratan yang membutuhkan tindakan medis secepatnya yaitu tindakan reperfusi, berupa

terapi fibrinolitik maupun Percutaneous Coronary Intervention (PCI), yang diberikan pada pasien

STEMI dengan onset gejala <12 jam. Pada pasien STEMI yang datang terlambat (>12 jam) dapat

dilakukan terapi reperfusi bila pasien masih mengeluh nyeri dada yang khas infark (ongoing chest

pain.
DAFTAR PUSTAKA

1. Darliana, D. 2017. Manajemen Pasien ST Elevasi Miokardial Infark (STEMI). Idea Jurnal.
Volume 1, Nomor 1
2. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. Pedoman tatalaksana
sindrom koroner akut. PERKI. 2015;3:43-70
3. Mrytha, R. 2012. Patofisiologi Sindrom Koroner Akut. CDK-192/ vol. 39 no. 4

You might also like