You are on page 1of 30

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi dan Epidemiologi

Hepatitis B merupakan infeksi virus hepatitis B (VHB) pada hati yang

dapat bersifat akut atau kronis (Tanto, 2014). Virus hepatitis B menyerang hati,

masuk melalui darah ataupun cairan tubuh dari seseorang yang terinfeksi VHB,

virus tersebut tidak menyebabkan kerusakan langsung pada sel hepar. Sebaliknya,

adalah reaksi yang bersifat menyerang sistem kekebalan tubuh yang biasanya

menyebabkan radang dan kerusakan pada hepar. (Setiati et all, 2013)

Menurut Data WHO 2014, lebih dari 240 juta penduduk di dunia

mengalami infeksi VHB kronis, dan lebih dari 780.000 orang per tahun meninggal

akibat komplikasi infeksi VHB akut maupun kronis. Indonesia sendiri termasuk

negara endemis VHB dengan prevalensi HbsAg sebesar 9,4% (kisaran 2,5-36,1%)

dan pengidap karier 5-10% dari populasi umum (Tanto, 2014).

2.2 Faktor Risiko

Faktor Host (Penjamu)

Adalah semua faktor yang terdapat pada diri manusia yang dapat mempengaruhi

timbulnya penyakit hepatitis B. Faktor penjamu meliputi: (Dienstag et all, 2005)

a. Umur

Hepatitis B dapat menyerang semua golongan umur. Paling sering pada bayi

dan anak (25 - 45,9 %) resiko untuk menjadi kronis, menurun dengan

bertambahnya umur dimana pada anak bayi 90 % akan menjadi kronis, pada

anak usia sekolah 23 -46 % dan pada orang dewasa 3-10%. Hal ini berkaitan

3
dengan terbentuk antibodi dalam jumlah cukup untuk menjamin terhindar dari

hepatitis kronis.

b. Jenis kelamin

Berdasarkan sex ratio, wanita 3x lebih sering terinfeksi hepatitis B dibanding

pria.

c. Mekanisme pertahanan tubuh

Bayi baru lahir atau bayi 2 bulan pertama setelah lahir lebih sering terinfeksi

hepatitis B, terutama pada bayi yang sering terinfeksi hepatitis B, terutama

pada bayi yang belum mendapat imunisasi hepatitis B. Hal ini karena sistem

imun belum berkembang sempurna.

d. Kebiasaan hidup

Sebagian besar penularan pada masa remaja disebabkan karena aktivitas

seksual dan gaya hidup seperti homoseksual, pecandu obat narkotika suntikan,

pemakaian tatto, pemakaian akupuntur.

e. Pekerjaan

Kelompok resiko tinggi untuk mendapat infeksi hepatitis B adalah dokter,

dokter bedah, dokter gigi, perawat, bidan, petugas kamar operasi, petugas

laboratorium dimana mereka dalam pekerjaan sehari-hari kontak dengan

penderita dan material manusia (darah, tinja, air kemih).

Faktor Agent

Penyebab Hepatitis B adalah virus hepatitis B termasuk DNA virus. Virus

Hepatitis B terdiri atas 3 jenis antigen yakni HBsAg, HBcAg, dan HBeAg.

Berdasarkan sifat imunologik protein pada HBsAg, virus dibagi atas 4 subtipe

4
yaitu adw, adr, ayw, dan ayr yang menyebabkan perbedaan geografi dalam

penyebarannya. Subtype adw terjadi di Eropa, Amerika dan Australia. Subtype

ayw terjadi di Afrika Utara dan Selatan. Subtype adw dan adr terjadi di Malaysia,

Thailand, Indonesia. Sedangkan subtype adr terjadi di Jepang dan China.

Faktor Lingkungan

Merupakan keseluruhan kondisi dan pengaruh luar yang mempengaruhi

perkembangan hepatitis B. Yang termasuk faktor lingkungan adalah:

a. Lingkungan dengan sanitasi jelek

b. Daerah dengan angka prevalensi VHB nya tinggi

c. Daerah unit pembedahan: Ginekologi, gigi, mata.

d. Daerah unit laboratorium

e. Daerah unit bank darah

f. Daerah tempat pembersihan

g. Daerah dialisa dan transplantasi.

h. Daerah unit perawatan penyakit dalam

2.3 Sumber dan cara penularan

Dalam kepustakaan disebutkan sumber penularan virus Hepatitis B

berupa: (Setiati et all, 2013)

a. Darah

b. Saliva

c. Kontak dengan mukosa penderita virus hepatitis B

d. Feces dan urine

5
e. Lain-lain: Sisir, pisau cukur, selimut, alat makan, alat kedokteran yang

terkontaminasi virus hepatitis B. Selain itu dicurigai penularan melalui

nyamuk atau serangga penghisap darah.

Cara penularan infeksi virus hepatitis B melalui berbagai cara yaitu :

a. Parenteral : dimana terjadi penembusan kulit atau mukosa misalnya

melalui tusuk jarum atau benda yang sudah tercemar virus hepatitis B dan

pembuatan tattoo

b. Non Parenteral : karena persentuhan yang erat dengan benda yang

tercemar virus hepatitis B.

Secara epidemiologik penularan infeksi virus hepatitis B dibagi 2 cara

penting yaitu:

a. Penularan vertikal; yaitu penularan infeksi virus hepatitis B dari ibu yang

HBsAg positif kepada anak yang dilahirkan yang terjadi selama masa

perinatal. Resiko terinfeksi pada bayi mencapai 50-60 % dan bervariasi

antar negara satu dan lain berkaitan dengan kelompok etnik.

b. Penularan horizontal; yaitu penularan infeksi virus hepatitis B dari seorang

pengidap virus hepatitis B kepada orang lain disekitarnya, misalnya:

melalui hubungan seksual.

6
2.4 Etiologi

Gambar 1. Virus Hepatitis B

Virus hepatitis B merupakan kelompok virus DNA dan tergolong dalam

family Hepadnaviridae. Nama family Hepadnaviridae ini disebut demikian karena

virus bersifat hepatotropis dan merupakan virus dengan genom DNA. Termasuk

dalam family ini adalah virus hepatitis woodchuck (sejenis marmot dari Amerika

Utara) yang telah diobservasi dapat menimbulkan karsinoma hati, virus hepatitis

B pada bebek Peking, dan bajing tanah (ground squirrel). Virus hepatitis B tidak

bersifat sitopatik (Dienstag et all, 2005).

Gambar 2. Rantai DNA Virus Hepatitis B

7
Virus hepatitis B akan tetap bertahan pada proses desinfeksi dan sterilisasi

alat yang tidak memadai, selain itu VHB juga tahan terhadap pengeringan dan

penyimpanan selama 1 minggu atau lebih. Virus hepatitis B yang utuh berukuran

42 nm dan berbentuk seperti bola, terdiri dari partikel genom (DNA) berlapis

ganda dengan selubung bagian luar dan nukleokapsid di bagian dalam.

Nukleokapsid ini berukuran 27 nm dan mengandung genom (DNA) VHB yang

sebagian berantai ganda (partially double stranded) dengan bentuk sirkular.

Selama infeksi VHB, terdapat 2 macam partikel virus yang terdapat dalam darah

yaitu : virus utuh (virion) yang disebut juga partikel Dane dan selubung virus

yang kosong (HBsAg). Ukuran kapsul virus kosong berukuran 22 nm, dapat

berbentuk seperti bola atau filament (Isselbacher et all, 2006).

Gambar 3. Genom Virus Hepatitis B

Genom VHB terdiri dari kurang lebih 3200 pasangan basa. Telah diketahui

adanya 4 open reading frame (ORF) virus hepatitis B yang letaknya berhimpitan.

Keempat ORF itu adalah S untuk gen S (surface/ permukaan), C untuk gen C

8
(core), X untuk gen X, P untuk gen P (polymerase). Dua ORF lainnya (ORF5 dan

ORF6) telah dideskripsikan tetapi masih membutuhkan konfirmasi lebih lanjut.

Gen S dan C mempunyai hulu yang disebut pre-S dan pre-C. daerah C dan

pre-C mengkode protein nukleokapsid, HBcAg dan HBeAg. Daerah Pre-C terdiri

dari 87 nukleotida yang mengkode untuk 29 asam amino , sedangkan gen C

mengkode 212 asam amino precursor untuk HBeAg. ORF S terdiri dari bagian

pre-S2, pre-S2, dan S, mengkode untuk protein HBsAg. Gen ini terdiri dari 226

asam amino.

Gen P merupakan ORF terpanjang dan mengkode DNA polymerase, gen

ini juga berfungsi sebagai reverse transcriptase. Gen X mengkode 2 protein yang

bekerja sebagai transaktivator transkripsional, berfungsi membantu replikasi virus.

Gen ini merupakan ORF terpendek. Gen ini mengkode untuk pembentukan

protein X VHB (HBxAg) yang terdiri dari 154 asam amino. Protein ini juga

berperan pada pathogenesis karsinoma hepatoselualar (KHS) (Dienstag et all,

2005).

Adanya DNA-VHB di dalam serum merupakan baku emas untuk menilai

aktivitas replikasi virus. DNA-VHB dapat dideteksi dengan metode hibridisasi

atau dengan metode yang lebih sensitive yaitu dengan polymerase-chain-reaction

(PRC). DNA-VHB kuantitatif sangat bermanfaat untuk memperkirakan respons

penyakit terhadap terapi (Setiati et all, 2013)

9
Gambar 4. Perkembangbiakan Virus Hepatitis B di Hati

Siklus hidup Hepatitis B virus adalah kompleks. Hepatitis B adalah satu

dari beberapa non-retroviral yang menggunakan transkripsi kebalikan sebagai

sebuah bagian dari proses replikasinya. Virus meningkatkan masukan ke sel

dengan cara membuat suatu sel peka rangsangan terhadap permukaan dari sel dan

masuk ke sel tersebut dengan endocytosis. Secara parsial lilitan ganda DNA virus

kemudian membuat secara penuh lilitan ganda serta mentransformasikan ke dalam

covalently menutup DNA melingkar (cccDNA) yang bertindak sebagai satu

cetakan (template) untuk penyalinan empat mRNA virus. MRNA paling besar,

(adalah lebih panjang dari genom virus), digunakan untuk membuat copy baru

dari genom dan untuk membuat inti capsid protein serta DNA virus polymerase.

Empat catatan virus Ini mengalami pemrosesan tambahan dan meneruskan untuk

membentuk keturunan virions yang bebas dari sel atau kembali ke nukleus serta

re-cycled untuk menghasilkan lebih lagi mengcopy. MRNA lama kemudian

mengangkut kembali ke cytoplasm dimana virion P protein mensintesa DNA

melalui nya kebalikan aktivitas transcriptase (Dienstag et all, 2005).

2.5 Patofisiologi

Infeksi VHB merupakan proses dinamis yang melibatkan interaksi antara

virus, hepatosit, dan sistem imun pasien. Infeksi VHB pada dewasa muda yang

10
imunotoleran umumnya menyebabkan hepatitis B akut (≥90%), dan hanya 1%

yang menjadi infeksi kronis. Namun sebaliknya, 90% infeksi VHB secara

perinatal akan menyebabkan bayi lahir dengan infeksi VHB kronis yang bersifat

asimtomatis di kemudian hari (Tanto, 2014).

Masa Inkubasi VHB rata-rata 75 hari (rentang 30-180 hari). Pada kasus

infeksi VHB akut, penanda HbsAg serum baru dapat terdeteksi 30-60 hari pasca

infeksi VHB. Kenaikan kadar HbsAg serum akan diikuti dengan peningkatan

enzim aminotransferase akan diikuti dengan peningkatan enzim aminotransferase

dan munculnya gejala klinis (ikterik) pada 2-6 minggu setelahnya. Penanda

HbsAg jarang terdeteksi 1-2 bulan setelah awitan ikterus, dan jarang menetap

hingga 6 bulan. Hepatitis B akut pada umumnya sembuh secara spontan dan

membentuk antibodi secara alami, ditandai dengan anti-HBs positif, IgG anti-HBc

positif, dan anti-Hbe positif (Tanto, 2014).

Pada kasus infeksi VHB kronis, HbsAg ditemukan menetap minimal

selama 6 bulan. Hingga saat ini, infeksi VHB kronis tidak dapat dieradikasi

sepenuhnya karena adanya molekul covalently closed circular DNA (cccDNA)

yang permanen didalam nukleus hepatosit terinfeksi. Selain itu, VHB memiliki

enzim reverse transciptase untuk replikasi sehingga untaian genom VHB dapat

menyatu dengan DNA hepatosit, yang kemudian berpotensi menyebabkan

transformasi karsinogenik (Tanto, 2014).

Pajanan virus VHB ini akan menyebabkan dua keluaran klinis, yaitu

Hepatitis akut yang kemudianb sembuh secara spontan dan membentuk kekebalan

terhadap penyakit ini seperti penjelasan sebelumnya atau berkembang menjadi

11
kronik. Perjalanan alami infeksi VHB kronis ini dapat dibagi menjadi empat fase,

yaitu fase immune tolerant, fase immune clearence, fase pengidap inaktif, dan fase

reaktivasi. Fase immune tolerant ditandai dengan kadar DNA VHB yang tinggi

dengan kadar alanin aminotransferase (ALT) yang normal. Sedangkan, fase

immune clearence terjadi ketika sistem imun berusaha melawan virus. Hal ini

ditandai oleh fluktuasi level ALT serta DNA VHB. Fase pengidapt inaktif,

ditandai dengan DNA VHB yang rendah (≤2000 IU/ml), ALT normal, dan

kerusakan hati minimal. Seringkali pada fase pengidap inaktif dapat mengalami

fase reaktivasi dimana DNA HBV kembali mencapai ≥2000 IU/ml dan inflamasi

hati kembali terjadi (PPHI, 2012)

2.6 Manifestasi Klinis dan Diagnosis

Berdasarkan gejala klinis dan petunjuk serologis, manifestasi klinis

hepatitis B dibagi 2 yaitu :

1. Hepatitis B akut yaitu manifestasi infeksi virus hepatitis B terhadap individu

yang sistem imunologinya matur sehingga berakhir dengan hilangnya virus

hepatitis B dari tubuh kropes. Hepatitis B akut terdiri atas : (Setiati et all,

2013)

a. Hepatitis B akut yang khas

Bentuk hepatitis ini meliputi 95 % penderita dengan gambaran ikterus

yang jelas. Gejala klinis terdiri atas 3 fase yaitu :

1) Fase Praikterik (prodromal)

Gejala non spesifik, permulaan penyakit tidak jelas, demam tinggi,

anoreksia, mual, nyeri didaerah hati disertai perubahan warna air

12
kemih menjadi gelap. Pemeriksaan laboratorium mulai tampak

kelainan hati (kadar bilirubin serum, SGOT dan SGPT, Fosfatose

alkali, meningkat).

2) Fase lkterik

Gejala demam dan gastrointestinal tambah hebat disertai hepatomegali

dan splenomegali. timbulnya ikterus makin hebat dengan puncak pada

minggu kedua. setelah timbul ikterus, gejala menurun dan pemeriksaan

laboratorium tes fungsi hati abnormal.

3) Fase Penyembuhan

Fase ini ditandai dengan menurunnya kadar enzim aminotransferase.

pembesaran hati masih ada tetapi tidak terasa nyeri, pemeriksaan

laboratorium menjadi normal.

2. Hepatitis B kronis yaitu manifestasi infeksi virus hepatitis B terhadap

individu dengan sistem imunologi kurang sempurna sehingga mekanisme,

untuk menghilangkan VHB tidak efektif dan terjadi koeksistensi dengan

VHB. Kira-kira 5-10% penderita hepatitis B akut akan mengalami

Hepatitis B kronik. Hepatitis ini terjadi jika setelah 6 bulan tidak

menunjukkan perbaikan yang signifikan.

Oleh karena penderita hepatitis B seringkali tanpa gejala maka diagnosis

seringkali hanya bisa ditegakkan dengan pemeriksaan laboratorium. Kadangkala

baru dapat diketahui pada waktu menjalani pemeriksaan rutin atau untuk

pemeriksaan dengan penyakit-penyakit yang lain.

13
Tes laboratorium yang dipakai untuk menegakkan diagnosis adalah:

1. Tes antigen-antibodi virus Hepatitis B: (Setiati, 2013; PPHI, 2012)

b. HbsAg (antigen permukaan virus hepatatitis B)

Merupakan material permukaan/kulit VHB. HBsAg mengandung protein

yang dibuat oleh sel-sel hati yang terinfesksi VHB. Jika hasil tes HBsAg

positif, artinya individu tersebut terinfeksi VHB, karier VHB, menderita

hepatatitis B akut ataupun kronis. HBsAg bernilai positif setelah 6 minggu

infeksi VHB dan menghilang dalam 3 bulan. Bila hasil tetap setelah lebih

dari 6 bulan berarti hepatitis telah berkembang menjadi kronis atau pasien

menjadi karier VHB. HbsAg positif makapasien dapat menularkan VHB.

c. Anti-HBs (antibodi terhadap HBsAg)

Merupakan antibodi terhadap HbsAg. Keberadaan anti-HBsAg

menunjukan adanya antibodi terhadap VHB. Antibodi ini memberikan

perlindungan terhadap penyakit hepatitis B. Jika tes anti-HbsAg bernilai

positif berarti seseorang pernah mendapat vaksin VHB ataupun

immunoglobulin. Hal ini juga dapat terjadi pada bayi yang mendapat

kekebalan dari ibunya. Anti-HbsAg posistif pada individu yang tidak

pernah mendapat imunisasi hepatitis B menunjukkan bahwa individu

tersebut pernah terinfeksi VHB.

d. HbeAg

Yaitu antigen envelope VHB yang berada di dalam darah. HbeAg bernilai

positif menunjukkan virus VHB sedang aktif bereplikasi atau

membelah/memperbayak diri. Dalam keadaan ini infeksi terus berlanjut.

14
Apabila hasil positif dialami hingga 10 minggu maka akan berlanjut

menjadi hepatitis B kronis. Individu yang memiliki HbeAg positif dalam

keadaan infeksius atau dapat menularkan penyakitnya baik kepada orang

lain maupun janinnya.

e. Anti-Hbe

Merupakan antibodi terhadap antigen HbeAg yang diproduksi oleh tubuh.

Anti-HbeAg yang bernilai positif berati VHB dalam keadaan fase non-

replikatif.

f. HbcAg (antigen core VHB)

Merupakan antigen core (inti) VHB, yaitu protein yang dibuat di dalam

inti sel hati yang terinfeksi VHB. HbcAg positif menunjukkan keberadaan

protein dari inti VHB.

g. Anti-Hbc (antibodi terhadap antigen inti hepatitis B)

Merupakan antibodi terhadap HbcAg. Antibodi ini terdiri dari dua tipe

yaitu IgM anti HBc dan IgG anti-HBc. IgM anti HBc tinggi menunjukkan

infeksi akut. IgG anti-HBc positif dengan IgM anti-HBc negatif

menunjukkan infeksi kronis pada seseorang atau orang tersebut penah

terinfeksi VHB.

2. Viral load HBV-DNA. Apabila positif menandakan bahwa penyakitnya aktif

dan terjadi replikasi virus. Makin tinggi titer HBV-DNA kemungkinan

perburukan penyakit semakin besar.

3. Faal hati. SGOT dan SGPT dapat merupakan tanda bahwa penyakit hepatitis

B-nya aktif dan memerlukan pengobatan anti virus.

15
4. Alfa-fetoprotein (AFP), adalah tes untuk mengukur tingkat AFP,yaitu sebuah

protein yang dibuat oleh sel hati yang kanker.

5. USG (ultrasonografi), untuk mengetahui timbulnya kanker hati.

6. CT (computed tomography) scan ataupun MRI (magnetic resonance imaging),

untuk mengetahui timbulnya kanker hati.

7. Biopsi hati dapat dilakukan pada penderita untuk memonitor apakah pasien

calon yang baik untuk diterapi antivirus dan untuk menilai keberhasilan terapi.

Perjalanan alami penyakit HBV sangat kompleks, dengan adanya

kemajuan dalam pemeriksaan HBV DNA, siklus HBV, respon imun dan

pemahaman mengenai genom HBV yang lebih baik, maka perjalanan alami

penyakit HBV dibagi menjadi 4 fase, yaitu

1. Immune tolerance

Ditandai dengan keberadaan HBeAg positif, kadar HBV DNA yang tinggi,

kadar ALT yang normal dan gambaran histology hati yang normal atau

perubahan yang minimal. Fase ini dapat berlangsung 1-4 dekade. Fase ini

biasanya berlangsung lama pada penderita yang terinfeksi perinatal, dan

biasanya serokonversi spontan jarang terjadi, dan terapi untuk menginduksi

serokonversi HBeAg biasanya tidak efektif. Fase ini biasanya tidak

memberikan gejala klinis.

2. Immune clearance

Ditandai dengan keberadaan HBeAg positif, kadar HBV DNA yang tinggi

atau berfluktuasi, kadar ALT yang meningkat dan gambaran histology hati

menunjukkan keradangan yang aktif, hal ini merupakan kelanjutan dari fase

16
immune clearance. Pada beberapa kasus, sirosis hati sering terjadi pada fase

ini. Pada fase ini biasanya saat yang tepat untuk diterapi.

3. Inactive HBsAg carrier state

Fase ini biasanya bersifat jinak (70-80%), ditandai dengan HBeAg

negative, antiHBe positif (serokonversi HBeAg), kadar HBV DNA yang

rendah atau tidak terdeteksi, gambara histologi hati menunjukkan fibrosis hati

yang minimal atau hepatitis yang ringan. Lama fase ini tidak dapat dipastikan,

dan biasanya menunjukkan prognosis yang baik bila cepat dicapai oleh

seorang penderita.

4. Reactivation

Fase ini dapat terjadi pada sebagian penderita secara spontan dimana

kembalinya replikasi virus HBV DNA, ditandai dengan HBeAg negative, Anti

HBe positif, kadar HBV DNA yang positif atau dapat terdeteksi, ALT yang

meningkat serta gambaran histology hati menunjukkan proses nekroinflamasi

yang aktif (Tanto, 2014).

17
Tabel Profil serologis yang dapat ditemukan pada pasien dengan hepatitis B

18
Tabel Definisi dan kriteria diagnostik pasien dengan infeksi hepatitis B

19
Tabel Evaluasi pasien hepatitis B kronis

20
2.7 Tata Laksana

1. Hepatitis B Akut

Umumnya bersifat suportif, meliputi tirah baring, serta menjaga agar asupan

nutrisi dan cairan tetap adekuat. Sekitar 95% kasus hepatitis B akut akan

mengalami resolusi dan serokonversi spontan tanpa terapi antiviral. Bila terjadi

komplikasi hepatitis fulminant, maka dapat diberikan lamivudine 100-150 mg/hari

hingga 3 bulan setelah serokonversi atau setelah muncul anti-HBe pada pasien

HBsAg positif (EASL,2012)

2. Hepatitis B Kronis

a. Tujuan Terapi

Hingga saat ini, pengobatan hepatitis B hanya bersifat penekanan dan

stimulasi sistem imunitas, namun tidak menghilangkan (eradiksi) VHB sehingga

pasien membutuhkan pengobatan jangka panjang, bahkan seumur hidup. Oleh

sebab itu, tujuan terapi jangka panjang ialah meningkatkan kualitas hidup dan

survival, mencegah progresi penyakit sirosis, sirosis dekompesanta, dan

karsinoma hepatoseluler (KHS). Sementara, tujuan terapi jangka pendek ialah

menekan replikasi virus, menurunkan jumlah DNA VHB, serta serokoversi

HBeAg menjadi anti-HBe (PPHI,2012)

b. Inisiasi Terapi

Pengobatan harus segera dimulai pada pasien dengan penyakit hati yang akut

(ditandai dengan peningkatan ALT >2 nilai batas atas normal; dalam dua kali

pengukuran yang berbeda dengan selang waktu minimal 1 bulan), atau bila biopsy

hati menunjukkan kerusakan yang signifikan (skor inflamasi: sedang-berat, skor

21
fibrosis METAVIR ≥F2). Sebaliknya, pengobatan dapat ditunda pada fase

imunotoleransi, serta diduga memiliki risiko kecil untuk menjadi sirosis dan KHS.

Berdasarkan konsensus Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia (PPHI) tahun

2012. Algoritme terapi hepatitis B kronis dibagi menjadi dua: kelompok pasien

dengan HBeAg positif dan HBeAg negatif. Keduanya memiliki perbedaan dalam

hal perjalanan penyakit, prognosis, dan respon terapi. Pada kelompok HBeAg

positif, terapi ditujukan agar terjadi serokonversi menjadi HBeAg negative. Dan

pada kelompok HBeAg negatif, terapi diberikan hingga DNA-VHB tidak

terdeteksi lagi selama paling sedikit 2 kali pemeriksaan dalam selang waktu 6

bulan.

c. Pilihan dan Regimen Terapi

Modalitas terapi yang tersedia berupa pegylated-interferon (peg-IFN) dan

analog nukleos(t)ida.

1. Pegylated-interferon (peg-IFN)

Interferon (IFN) adalah mediator inflamasi fisiologis dari tubuh berfungsi

dalam pertahanan terhadap virus. IFN-α konvensional adalah obat pertama yang

diakui sebagai terapi hepatitis B kronik sejak lebih dari 20 tahun yang lalu.

Senyawa ini memiliki efek antiviral, immunomodulator, dan antiproliferatif.23

Interferon akan mengaktifkan sel T sitotoksik, sel natural killer, dan makrofag.

Selain itu, interferon juga akan merangsang produksi protein kinase spesifik yang

berfungsi mencegah sintesis protein sehingga menghambat replikasi virus. Protein

kinase ini juga akan merangsang apoptosis sel yang terinfeksi virus. Waktu paruh

interferon di darah sangatlah singkat, yaitu sekitar 3-8 jam. Pengikatan interferon

22
pada molekul polyethilene glycol (disebut dengan pegylation) akan memperlambat

absorbsi, pembersihan, dan mempertahankan kadar dalam serum dalam waktu

yang lebih lama sehingga memungkinkan pemberian mingguan.23 Saat ini

tersedia 2 jenis pegylated interferon, yaitu pegylated-interferon α-2a (Peg-IFN α-

2a) dan pegylated-interferon α-2b (Peg-IFN α-2b). IFN konvensional diberikan

dalam dosis 5 MU per hari atau 10 MU sebanyak 3 kali per minggu, sementara

Peg-IFN α2a diberikan sebesar 180 μg/minggu, dan Peg-IFN α2b diberikan pada

dosis 1-1.5 μg/kg/minggu. Semua pemberian terapi interferon diberikan secara

injeksi subkutan. Pada awalnya, terapi interferon, terutama interferon

konvensional diberikan selama 16-24 minggu, namun pada Peg-IFN, bukti-bukti

terbaru menunjukkan bahwa pemberian Peg-IFN α-2a dengan dosis 180

μg/minggu selama 48 minggu ternyata menunjukkan hasil lebih baik daripada

pemberian selama 24 minggu. Panduan-panduan yang terbaru juga sudah

menganjurkan penggunaan Peg-IFN α-2a dengan dosis 180 μg/minggu selama 48

minggu. Data terbaru juga ternyata menunjukkan bahwa penggunaan interferon

pada pasien sirosis terkompensasi juga memberikan hasil yang cukup baik (Van

Bommel et all,2009)

Secara umum, peg-IFN memiliki waktu pemberian yang pasti dan tidak

menimbulkan resistensi, namun pemberian dilakukan secara injeksi subkutan,

memiliki banyak efek samping dan kontraindikasi.

Kontraindikasi penggunaan peg-interferon, antara lain:

 Psikosis atau depresi tidak terkontrol, epilepsy, penyakit autoimun;

23
 Sirosis dekompensata (Skor Child-Pugh ≥7 pada koinfeksi hepatitis C atau

HIV);

 Hamil, atau tidak ingin menggunakan kontrasepsi, sementara menyusu;

 Infeksi berat;

 Hipertensi, gagal jantung, diabetes, PPOK yang tidak terkontrol; serta

 Akan menjalani transplantasi organ, kecuali transplantasi hati.

2. Analog nukleos(t)ida

a. Lamivudin

Analog nukleos(t)ida bekerja dengan menghambat tempat berikatan

polimerase virus, berkompetisi dengan nukleosida atau nukleotida, dan

menterminasi pemanjangan rantai DNA. Lamivudin (2, 3’-dideoxy-3-thiacytidine)

adalah analog nukleos(t)ida pertama yang pada tahun 1998 diakui sebagai obat

hepatitis B. Obat ini berkompetisi dengan dCTP untuk berikatan dengan rantai

DNA virus yang akan menterminasi pemanjangan rantai tersebut. Lamivudin

(LAM) diminum secara oral dengan dosis optimal 100 mg/hari. Pemberian satu

kali sehari dimungkinkan mengingat waktu paruhnya yang mencapai 17-19 jam di

dalam sel yang terinfeksi (Van Bommel et all,2009)

b. Adefovir Dipivoxil

Adefovir dipivoxil (ADV) adalah analog adenosine monophosphate yang

bekerja dengan berkompetisi dengan nukleotida cAMP untuk berikatan dengan

DNA virus dan menghambat polymerase dan reverse transcriptase sehingga

memutus rantai DNA VHB. Obat ini mulai diproduksi sejak tahun 2002 dan

diberikan secara oral sebanyak 10 mg per hari. Obat ini memiliki efek samping

24
berupa gangguan fungsi ginjal (azotemia, hipofosfatemia, asidosis, glicosuria, dan

proteinuria) yang bersifat dose-dependent dan reversibel. Efek samping ini juga

jarang sekali muncul pada dosis 10 mg/hari yang biasa digunakan, namun

hendaknya dilakukan pemantauan rutin kadar kreatinin selama menjalani terapi

(Brunton et all, 2005).

c. Entecavir

Entecavir (ETV) adalah analog 2-deoxyguanosine. Obat ini bekerja dengan

menghambat priming DNA polimerase virus, reverse transcription dari rantai

negatif DNA, dan sintesis rantai positif DNA. Penelitian in vitro menunjukkan

bahwa obat ini lebih poten daripada lamivudin maupun adefovir dan masih efektif

pada pasien dengan resistensi lamivudin walaupun potensinya tidak sebaik pada

pasien naif. Entecavir diberikan secara oral dengan dosis 0.5 mg/hari untuk pasien

naif dan 1 mg/hari untuk pasien yang mengalami resistensi lamivudin. Profil

keamanan entecavir cukup baik dengan barrier resistensi yang tinggi. Penelitian

jangka panjang pada hewan menunjukkan peningkatan risiko beberapa jenis

kanker, namun diduga kanker-kanker ini bersifat spesifik spesies dan tidak akan

terjadi pada manusia (Leung L et all, 2008)

d. Telbivudin

Telbivudin (LdT) adalah analog L-nukleosida thymidine yang efektif

melawan replikasi VHB. Obat ini diberikan secara oral dengan dosis optimal 600

mg/hari (PPHI,2012).

25
e. Tenofovir Disoproxil Fumarate

Tenofovir disoproxil fumarate (TDF) adalah prekursor tenofovir, sebuah

analog nukleotida yang efektif untuk hepadanavirus dan retrovirus. Obat ini

awalnya digunakan sebagai terapi HIV, namun penelitian-penelitian menunjukkan

efektivitasnya sangat baik untuk mengatasi hepatitis B. Tenofovir diberikan secara

oral pada dosis 300 mg/hari. Sampai saat ini masih belum ditemukan efek

samping tenofovir yang berat. Namun telah dilaporkan adanya gangguan ginjal

pada pasien dengan koinfeksi VHB dan HIV (Van Bommel et all, 2009)

d. Pemantauan dan Penghentian Terapi

Pada prinsipnya, pengobatan diberikan hingga tujuan terapi jangka pendek

tercapai. Penghentian pengobatan yang tidak tepat dapat mengakibatkan

terjadinya relaps virus (peningkatan >1 log IU/mL DNA VHB setelah 1 menjadi

terapi) dan hepatitis flare (peningkatan mendadak ALT ≥5x batas atas normal).

Pemberian interferon dilakukan dalam periode yang sudah dipastikan dan

tidak tergantung pada hasil pengobatan karena pengaruh imunologis dari

interferon dapat menetap setelah terapi dihentikan. Saat ini, peg-interferon

umumnya diberikan selama 12 bulan, baik untuk kasus HBeAg positif maupun

HBeAg negatif. Sementara pada pemberian analog nukleos(t)ida, consensus Asia

Pasifik merekomendasikan penghentian terapi pada kasus HBeAg negatif dan

anti-HBe positif bila kadar DNA VHB tidak terdeteksi (dengan pemeriksaan

PCR) selama 3 kali berturut-turut dengan selang 6 bulan.

26
e. Terapi pada Populasi Khusus

Perempuan Hamil

Terapi sebaiknya ditunda hingga trimester 3 untuk menghindari tranmisi

perinatal. Agen terapi yang direkomendasikan ialah telbuvudin dan tenofovir

(kategori keamanan kelas B), sementara lamivudine, entecavir, dan adefovir

masuk dalam kategori keamanan kelas C. Penggunaan peg-interferon

dikontraindikasikan pada kehamilan.

Pencegahan tranmisi perinatal dilakukan dengan pemberian HBIg 0,5 mg pada

fetus dalam 12 jam setelah lahir, yang dikombinasikan dengan 3 dosis vaksinasi

hepatitis B. perempuan yang sedang menjalani terapi hepatitis B sebaiknya tidak

menyusu (Liaw et all, 2012)

Petugas Kesehatan

Inisiasi terapi antiviral pada petugas kesehatan menggunakan cut-off yang

lebih rendah, yakni bila HBsAg positif dan kadar DNA VHB >2000 IU/mL .

Selain itu, direkomendasikan agar diberikan antiviral dengan potensi resistensi

yang rendah, seperti entecavir dan tenofovir, untuk mencegah transmisi VHB

melalui prosedur medis (EASL, 2012).

Ko-infeksi dengan HIV

Ko-infeksi VHB-HIV memperlukan perhatian khusus karena replikasi VHB

dan progresivitas penyakit menjadi lebih tinggi, serta risiko hepatitis flare selama

pengobatan juga semakin meningkat. Adanya ko-infeksi hepatitis B dengan

penyakit hati kronis pada pasien HIV merupakan indikasi terapi antiretroviral

(ARV) menurut WHO tahun 2014.

27
Pada pasien yang belum mendapatkan ARV, pilihan utama terapi VHB ialah

peg-interferon atau adefovir. Sementara, pemberian entecavir, lamivudine, dan

tenofovir monoterapi dikontraindikasikan karena dapat meningkatkan risiko

resistensi HIV. Pada pasien yang telah dapat ARV, pilihan utama pengobatan

VHB ialah tenofovir yang dikombinasikan dengan lamivudine atau emtricitabine.

Bila resisten terhadap lamivudine, regimen terapi anti-HIV ditambahkan tenofovir

atau mengganti salah satu agen nucleotide reverse transcriptase inhibitor (NRTI)

dengan tenofovir (Farci P, 2006).

2.8 Pencegahan

a. Imunisasi

Imunisasi adalah salah satu bentuk upaya pencegahan transmisi Hepatitis

B. Saat ini, terdapat dua bentuk imunisasi yang tersedia, yakni imunisasi aktif dan

imunisasi pasif. Imunisasi aktif dicapai dengan memberikan vaksin hepatitis B.

Vaksin Hepatitis B mengandung HBsAg yang dimurnikan. Vaksin hepatitis B

berisi HBsAg yang diambil dari serum penderita hepatitis B yang dimurnikan atau

dari hasil rekombinasi DNA sel ragi untuk menghasilkan HBsAg. Setiap mL

vaksin umumnya mengandung 10-40 μg protein HBsAg.145 Vaksin tersebut akan

menginduksi sel T yang spesifik terhadap HBsAg dan sel B yang dependen

terhadap sel T untuk menghasilkan antibodi anti-HBs secepatnya 2 minggu

setelah vaksin dosis pertama (Tanto, 2014).

Indikasi pemberian vaksinasi hepatitis B adalah kelompok individu yang

mempunyai risiko terinfeksi hepatitis B diantaranya: individu yang terpapar

produk darah pada kerjanya, staf di fasilitas untuk pasien cacat mental, pasien

28
hemodialisis, pasien penerima konsentrat VIII da IX, orang yang berumah tangga

atau kontak seksual dengan pasien hepatitis B, homoseksual/biseksual aktif,

individu yang tingal di daerah endemis hepatitis B, individu yang mengunjungi

daerah endemis hepatitis B, heteroseksual dengan partner seksual multipel,

penyalah guna obat injeksi, petugas kesehatan, dan anak yang lahir dari ibu

dengan hepatitis B kronik. Vaksin ini dapat diberikan 3 dosis terpisah, yaitu 0, 1

dan 6 bulan. Perlu dicatat bahwa panduan imunisasi yang berlaku di Indonesia

menyarankan pemberian vaksin pada saat bayi lahir, pada bulan ke-2, bulan ke-4,

dan bulan ke-6.

Pemberian 3 dosis vaksin ini akan menghasilkan respon antibodi protektif

pada 30-55% dewasa sehat berumur <40 tahun setelah dosis pertama, <75%

setelah dosis kedua dan >90% setelah dosis ketiga. Pada dewasa sehat berumur >

40 tahun, maka proporsi pasien yang memiliki antibodi setelah tiga dosis injeksi

menurun <90%, dan pada umur 60 tahun, antibodi hanya muncul pada <75%

pasien.145 Vaksinasi Hepatitis B mampu memberikan perlindungan terhadap

infeksi Hepatitis B selama lebih dari 20 tahun. Keberhasilan vaksinasi dinilai dari

terdeteksinya anti-HBs di serum pasien setelah pemberian imunisasi hepatitis B

lengkap (3-4 kali) (Setiati et all, 2013)

b. Pencegahan Umum

Hepatitis B adalah penyakit yang ditularkan lewat kontak dengan cairan tubuh

pasien, seperti darah dan produk darah, air liur, cairan serebrospinal, cairan

peritoneum, cairan pleura, cairan amnion, semen, cairan vagina, dan cairan tubuh

lainnya. Maka pencegahan umum infeksi hepatitis B dicapai dengan menghindari

29
kontak langsung degan cairan tubuh pasien. Hal ini dapat dicapai dengan

menerapkan pencegahan universal yang baik dan dengan melakukan penapisan

pada kelompok risiko tinggi. Prinsip-prinsip kewaspadaan universal, seperti

menggunakan sarung tangan ketika bekerja dengan cairan tubuh pasien,

penanganan limbah jarum suntik yang benar, sterilisasi alat dengan cara yang

benar sebelum melakukan prosedur invasif, dan mencuci tangan sebelum

menangani pasien dapat mengurangi risiko penularan, terutama pada tenaga

medis, salah satu kelompok yang paling berisiko tertular hepatitis B. Selain itu,

penapisan dan konseling pada kelompok risiko tinggi sebaiknya dilakukan.

Individu yang termasuk dalam kelompok risiko tinggi mencakup individu yang

terpapar produk darah pada kerjanya, staf di fasilitas untuk pasien cacat mental,

pasien hemodialisis, pasien penerima konsentrat VIII da IX, orang yang berumah

tangga atau kontak seksual dengan pasien hepatitis B, homoseksual/biseksual

aktif, individu yang tingal di daerah endemis hepatitis B, individu yang

mengunjungi daerah endemis hepatitis B, heteroseksual dengan partner seksual

multipel, penyalah guna obat injeksi, petugas kesehatan, dan anak yang lahir dari

ibu dengan hepatitis B kronik (WHO, 2003)

c. Pencegahan Khusus Pascapajanan

Pada individu yang tidak divaksinasi dan terpajan hepatitis B, segera berikan

kombinasi HBIg (untuk mencapai kadar anti-HBs yang tinggi dalam waktu

singkat) dan vaksinasi hepatitis B (Wedemwyer, 2009)

Pada individu yang terpajan secara perkutaneus atau seksual, status HBsAg

dan antiHBs sumber pajanan dan orang yang terpajan harus diperiksa:

30
 Bila sumber pajanan terbukti HBsAg negatif dan orang yang terpajan

memiliki kekebalan terhadap hepatitis B, profilaksis jangka panjang tidak

diperlukan;

 Bila sumber pajanan terbukti HBsAg positif dan orang yang terpajan tidak

memiliki kekebalan, berikan HBIg 0.06 Ml/kg diikuti vaksinasi;

 Bila status HBsAg sumber pajanan tidak diketahui, harus tetap dianggap

positif;

 Sebaiknya pemeriksaan HBsAg dan anti-HBs dilakukan 2 bulan setelah

pajanan.

d. Skrining dan Pencegahan Hepatitis B

Skrining dan konseling perlu dilakukan pada populasi dengan risiko tinggi,

seperti petugas kesehatan, resepien transfuse darah atau produk darah, pasien

hemodialysis, orang yang berumah tangga atau kontak seksual dengan pasien

hepatitis B, hemoseksual atau biseksual aktif, individu yang tinggal di daerah

endemis hepatitis B, individu yang mengunjungi daerah endemis hepatitis B,

heterseksual dengan multipel pasangan seksual, penyalah guna obat injeksi, dan

anak yang terlahir dari ibu hepatitis B kronis (Tanto, 2014).

Selain upaya penapisan, populasi dengan risiko tinggi tersebut perlu

mendapatkan vaksinasi hepatitis B yang diberikan dalam 3 dosis terpisah: 0, 1,

dan 6 bulan. Vaksinasi hepatitis B mampu memberikan perlindungan selama >20

tahun. Di Indonesia, seluruh bayi yang lahir telah diwajibkan untuk mendapat

imunisasi hepatitis B pada bulan ke-2, 4 dan 6. Namun, titer antibody akan

31
menurun <90% ketika dewasa usia >40 tahun dan menjadi <75% pada usia 60

tahun (PPHI, 2012)

2.9 Prognosis

Insiden kumulatif 5 tahun dari saat terdiagnosis hepatitis B kronis menjadi

sirosis hati ialah 8-20%, dan insiden kumulatif 5 tahun dari sirosis kompensata

menjadi sirosis dekompensata pada hepatitis B kronis yang tidak diobati ialah

20%. Pada kondisi sirosis dekompensata tersebut, angka survival dalam 5 tahun

hanya berkisar 14-35%. Di lain sisi, setelah terjadi sirosis hati, angka kejadian

KHS pada hepatitis B kronis ialah 2-5% (PPHI, 2012).

32

You might also like