You are on page 1of 19

BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 LANSIA (LANJUT USIA)


2.1.1 Definisi Lansia
Seseorang dikatakan lansia ialah apabila berusia 60 tahun atau lebih, karena faktor
tertentu tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya baik secara jasmani, rohani maupun
sosial (Nugroho, 2012)
Secara biologis lansia adalah proses penuaan secara terus menerus, yang ditandai
dengan menurunnya daya tahan fisik yaitu semakin rentannya terhadap serangan penyakit
yang dapat menyebabkan kematian (Wulansari, 2011).
Berdasarkan definisi secara umum, seseorang dikatakan lansia apabila usianya 60
tahun ke atas,baik pria maupun wanita. Sedangkan Departeman kesehatan RI
menyebutkan seseorang dikatakan berusia lanjut usia dimulai dari usia 55 tahun keatas.
Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO) usia lanjut dimulai dari usia 60 tahun
(Kushariyadi, 2010; Indriana, 2012; Wallnce, 2007).
Lansia bukan suatu penyakit, namun merupakan tahap lanjut dari suatu proses
kehidupan yang ditandai dengan penurunan kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan
stres lingkungan. Lansia adalah keadaan yang ditandai oleh kegagalan seseorang untuk
mempertahankan keseimbangan terhadap kondisi stres fisiologis. Kegagalan ini berkaitan
dengan penurunan daya kemampuan untuk hidup serta peningkatan kepekaan secara
individual (Efendi, 2009).
Jadi, lansia merupakan suatu proses penuaan pada kehidupan seseorang baik
perempuan atau laki-laki saat berusia 60 tahun. Yang ditandai dengan menurunnya daya
tahan tubuh seseorang sehingga rentan terhadap serangan penyakit.

2.1.2 Batasan Lansia


Batasan-batasan umur yang mencakup batasan umur lansia dari pendapat berbagai
ahli yang di kutip dari Nugroho (2008) :
a. Menurut undang-undang nomor 13 tahun 1998 dalam bab I pasal 1 ayat II yang
berbunyi “lanjut usia adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun keatas”
b. Menurut WHO:
a) Usia pertengahan : 45-59 tahun
b) Lanjut usia : 60 – 74 tahun
c) Lanjut usia tua : 75- 90 tahun
d) Usia sangat tua : diatas 90 tahun
(Kushariyadi, 2010)
c. Menurut Masdani (Psikolog UI) terdapat 4 fase yaitu :
a) Fase inventus : 25-40 tahun
b) Fase virilities : 40-55 tahun
c) Fase presenium : 55-65 tahun
d) Fase Senium : 65 hingga tutup usia
d. Menurut Setyonegoro masa lanjut usia (geriatric age) > 65 tahun atau 70 tahun. Masa
lanjut usia itu sendiri dibagi menjadi 3 batasan umur yaitu :
a) Young old : 70-75 tahun
b) Old : 75-80 tahun
c) Very old : >80 tahun

2.1.3 Ciri-ciri Lansia


Ciri-ciri lansia adalah sebagai berikut :
a. Lansia merupakan periode kemunduran
Kemunduran pada lansia sebagian datang dari faktor fisik dan faktor
psikologis. Motivasi memiliki peran yang penting dalam kemunduran pada lansia.
Misalnya lansia yang memiliki motivasi yang rendah dalam melakukan kegiatan,
maka akan mempercepat proses kemunduran fisik, akan tetapi ada juga lansia yang
memiliki motivasi yang tinggi, maka kemunduran fisik pada lansia akan lebih lama
terjadi.
b. Lansia memiliki status kelompok minoritas
Kondisi ini sebagai akibat dari sikap sosial yang tidak menyenangkan
terhadap lansia dan diperkuat oleh pendapat yang kurang baik, misalnya lansia yang
lebih senang mempertahankan pendapatnya maka sikap sosial di masyarakat menjadi
negatif, tetapi ada juga lansia yang mempunyai tenggang rasa kepada orang lain
sehingga sikap social masyarakat menjadi positif.
c. Menua membutuhkan perubahan peran
Perubahan peran tersebut dilakukan karena lansia mulai mengalami
kemunduran dalam segala hal. Perubahan peran pada lansia sebaiknya dilakukan atas
dasar keinginan sendiri bukan atas dasar tekanan dari lingkungan. Misalnya lansia
menduduki jabatan sosial di masyarakat sebagai Ketua RW, sebaiknya masyarakat
tidak memberhentikan lansia sebagai ketua RW karena usianya.
d. Penyesuaian yang buruk pada lansia
Perlakuan yang buruk terhadap lansia membuat mereka cenderung
mengembangkan konsep diri yang buruk sehingga dapat memperlihatkan bentuk
perilaku yang buruk. Akibat dari perlakuan yang buruk itu membuat penyesuaian diri
lansia menjadi buruk pula. Contoh : lansia yang tinggal bersama keluarga sering tidak
dilibatkan untuk pengambilan keputusan karena dianggap pola pikirnya kuno, kondisi
inilah yang menyebabkan lansia menarik diri dari lingkungan, cepat tersinggung dan
bahkan memiliki harga diri yang rendah.

2.1.4 Klasifikasi Lansia


Menurut DepKes RI (2013) klasifikasi lansia terdiri dari :
a. Pra lansia yaitu seseorang yang berusia antara 45-59 tahun.
b. Lansia ialah seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih.
c. Lansia resiko tinggi ialah seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih dengan masalah
kesehatan.
d. Lansia potensial ialah lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan dan kegiatan
yang dapat menghasilkan barang atau jasa.
e. Lansia tidak potensial ialah lansia yang tidak berdaya mencari nafkah, sehingga
hidupnya bergantung pada bantuan orang lain.

2.1.5 Teori Penuaan


Teori penuaan secara umum menurut Lilik Ma’rifatul (2011) dapat dibedakan
menjadi dua yaitu teori biologi dan teori penuaan psikososial.
a. Teori Biologi
1) Teori seluler
Kemampuan sel hanya dapat membelah dalam jumlah tertentu dan
kebanyakan sel–sel tubuh “diprogram” untuk membelah 50 kali. Jika sel pada
lansia dari tubuh dan dibiakkan di laboratrium, lalu diobrservasi, jumlah sel–sel
yang akan membelah, jumlah sel yang akan membelah akan terlihat sedikit. Pada
beberapa sistem, seperti sistem saraf, sistem musculoskeletal dan jantung, sel
pada jaringan dan organ dalam sistem itu tidak dapat diganti jika sel tersebut
dibuang karena rusak atau mati. Oleh karena itu, sistem tersebut beresiko akan
mengalami proses penuaan dan mempunyai kemampuan yang sedikit atau tidak
sama sekali untuk tumbuh dan memperbaiki diri (Azizah, 2011)
2) Sintesis Protein (Kolagen dan Elastis)
Jaringan seperti kulit dan kartilago kehilangan elastisitasnya pada lansia.
Proses kehilangan elastiaitas ini dihubungkan dengan adanya perubahan kimia
pada komponen protein dalam jaringan tertentu. Pada lansia beberapa protein
(kolagen dan kartilago, dan elastin pada kulit) dibuat oleh tubuh dengan bentuk
dan struktur yang berbeda dari protein yang lebih muda. Contohnya banyak
kolagen pada kartilago dan elastin pada kulit yang kehilangan fleksibilitasnya
serta menjadi lebih tebal, seiring dengan bertambahnya usia (Tortora dan
Anagnostakos, 1990). Hal ini dapat lebih mudah dihubungkan dengan perubahan
permukaan kulit yang kehilangan elastisitanya dan cenderung berkerut, juga
terjadinya penurunan mobilitas dan kecepatan pada system musculoskeletal
(Azizah, 2011)
3) Keracunan Oksigen
Teori tentang adanya sejumlah penurunan kemampuan sel di dalam tubuh
untuk mempertahankan diri dari oksigen yang mengandung zat racun dengan
kadar yang tinggi, tanpa mekanisme pertahan diri tertentu. Ketidakmampuan
mempertahankan diri dari toksink tersebut membuat struktur membran sel
mengalami perubahan dari rigid, serta terjadi kesalahan genetik (Tortora dan
Anaggnostakos, 1990). Membran sel tersebut merupakan alat untuk memfasilitas
sel dalam berkomunikasi dengan lingkungannya yang juga mengontrol proses
pengambilan nutrisi dengan proses ekskresi zat toksik di dalam tubuh. Fungsi
komponen protein pada membran sel yang sangat penting bagi proses di atas,
dipengaruhi oleh rigiditas membran tersebut. Konsekuensi dari kesalahan genetik
adalah adanya penurunan reproduksi sel oleh mitosis yang mengakibatkan jumlah
sel anak di semua jaringan dan organ berkurang. Hal ini akan menyebabkan
peningkatan kerusakan sistem tubuh (Azizah, 2011).
4) Sistem Imun
Kemampuan sistem imun mengalami kemunduran pada masa penuaan.
Walaupun demikian, kemunduran kemampuan sistem yang terdiri dari sistem
limfatik dan khususnya sel darah putih, juga merupakan faktor yang berkontribusi
dalam proses penuaan. Mutasi yang berulang atau perubahan protein pasca
tranlasi, dapat menyebabkan berkurangnya kemampuan sistem imun tubuh
mengenali dirinya sendiri. Jika mutasi isomatik menyebabkan terjadinya kelainan
pada antigen permukaan sel, maka hal ini akan dapat menyebabkan sistem imun
tubuh menganggap sel yang mengalami perubahan tersebut sebagai selasing dan
menghancurkannya. Perubahan inilah yang menjadi dasar terjadinya peristiwa
autoimun. Disisi lain sistem imun tubuh sendiri daya pertahanannya mengalami
penurunan pada proses menua, daya serangnya terhadap sel kanker menjadi
menurun, sehingga sel kanker leluasa membelah-belah (Azizah, 2011).
5) Teori Menua Akibat Metabolisme
Menurut MC Kay et all., (1935) yang dikutip Darmojo dan Martono
(2004), pengurangan “intake” kalori pada rodentia muda akan menghambat
pertumbuhan dan memperpanjang umur. Perpanjangan umur karena jumlah
kalori tersebut antara lain disebabkan karena menurunnya salah satu atau
beberapa proses metabolisme. Terjadi penurunan pengeluaran hormon yang
merangsang pruferasi sel misalnya insulin dan hormon pertumbuhan.

b. Teori Psikologis
1) Aktivitas atau Kegiatan (Activity Theory)
Seseorang yang dimasa mudanya aktif dan terus memelihara keaktifannya
setelah menua. Sense of integrity yang dibangun dimasa mudanya tetap
terpelihara sampai tua. Teori ini menyatakan bahwa pada lanjut usia yang sukses
adalah meraka yang aktif dan ikut banyak dalam kegiatan sosial (Azizah, 2011).
2) Kepribadian berlanjut (Continuity Theory)
Dasar kepribadian atau tingkah laku tidak berubah pada lanjut usia.
Identity pada lansia yang sudah mantap memudahkan dalam memelihara
hubungan dengan masyarakat, melibatkan diri dengan masalah di masyarakat,
kelurga dan hubungan interpersonal (Azizah, 2011).
3) Teori Pembebasan (Disengagement Theory)
Teori ini menyatakan bahwa dengan bertambahnya usia, seseorang secara
pelan tetapi pasti mulai melepaskan diri dari kehidupan sosialnya atau menarik
diri dari pergaulan sekitarnya (Azizah, 2011).
2.1.6 Tahapan Proses Penuaan
Proses penuaan dapat berlangsung melalui tiga tahap sebagai berikut (Pangkahila,
2007):
1) Tahap Subklinik (usia 25-35 tahun)
Pada tahap ini, sebagian besar hormon di dalam tubuh mulai menurun, yaitu
hormon testosteron, growth hormon dan hormon estrogen. Pembentukan radikal
bebas dapat merusak sel dan DNA mulai mempengaruhi tubuh. Kerusakan ini
biasanya tidak tampak dari luar, karena itu pada usia ini dianggap usia muda dan
normal
2) Tahap Transisi (usia 35-45 tahun)
Pada tahap ini kadar hormon menurun sampai 25%. Massa otot berkurang
sebanyak satu kilogram tiap tahunnya. Pada tahap ini orang mulai merasa idak muda
lagi dan tampak lebih tua. Kerusakan oleh radikal bebas mulai merusak ekspresi
genetik yang dapat mengakibatkan penyakit seperti kanker, radang sendi,
berkurangnya memori, penyakit jantung koroner dan diabetes.
3) Tahap Klinik (usia 45 tahun ke atas)
Pada tahap ini penurunan kadar hormone terus berlanjut yang meliputi DHEA,
melatonin, growth hormon, testosteron, estrogen dan juga hormon tiroid. Terjadi
penurunan bahkan hilangnya kemampuan penyerapan bahan makanan, vitamin dan
mineral. Penyakit kronis menjadi lebih nyata, sistem organ tubuh mulai mengalami
kegagalan.

2.1.7 Perubahan Fisik Dan Psikososial Pada Lansia


Menurut Mujahidullah (2012) dan Wallace (2007), beberapa perubahan yang
akan terjadi pada lansia diantaranya adalah perubahan fisik,intlektual, dan keagamaan.
a. Perubahan fisik
1) Sel
Saat seseorang memasuki usia lanjut keadaan sel dalam tubuh akan
berubah, seperti jumlahnya yang menurun, ukuran lebuh besar sehingga
mekanisme perbaikan sel akan terganggu dan proposi protein di otak, otot, ginjal,
darah dan hati beekurang.
2) Sistem persyarafan
Keadaan system persyarafan pada lansia akan mengalami perubahan,
seperti mengecilnya syaraf panca indra. Pada indra pendengaran akan terjadi
gangguan pendengaran seperti hilangnya kemampuan pendengaran pada telinga.
Pada indra penglihatan akan terjadi seperti kekeruhan pada kornea, hilangnya
daya akomodasi dan menurunnya lapang pandang. Pada indra peraba akan terjadi
seperti respon terhadap nyeri menurun dan kelenjar keringat berkurang. Pada
indra pembau akan terjadinya seperti menurunnya kekuatan otot pernafasan,
sehingga kemampuan membau juga berkurang.
3) Sistem gastrointestinal
Pada lansia akan terjadi menurunya selara makan , seringnya terjadi
konstipasi, menurunya produksi air liur(Saliva) dan gerak peristaltic usus juga
menurun.
4) Sistem genitourinaria
Pada lansia ginjal akan mengalami pengecilan sehingga aliran darah ke
ginjal menurun.
5) Sistem musculoskeletal
Pada lansia tulang akan kehilangan cairan dan makin rapuh, keadaan
tubuh akan lebih pendek, persendian kaku dan tendon mengerut.
6) Sistem Kardiovaskuler
Pada lansia jantung akan mengalami pompa darah yang menurun , ukuran
jantung secara kesuruhan menurun dengan tidaknya penyakit klinis, denyut
jantung menurun , katup jantung pada lansia akan lebih tebal dan kaku akibat dari
akumulasi lipid. Tekanan darah sistolik meningkat pada lansia kerana hilangnya
distensibility arteri. Tekanan darah diastolic tetap sama atau meningkat.
7) Perubahan intelektual
Menurut Hochanadel dan Kaplan dalam Mujahidullah (2012), akibat
proses penuaan juga akan terjadi kemunduran pada kemampuan otak seperti
perubahan intelegenita Quantion ( IQ) yaitu fungsi otak kanan mengalami
penurunan sehingga lansia akan mengalami kesulitan dalam berkomunikasi
nonverbal, pemecehan masalah, konsentrasi dan kesulitan mengenal wajah
seseorang. Perubahan yang lain adalah perubahan ingatan , karena penurunan
kemampuan otak maka seorang lansia akan kesulitan untuk menerima rangsangan
yang diberikan kepadanya sehingga kemampuan untuk mengingat pada lansia
juga menurun.
8) Perubahan keagamaan
Menurut Maslow dalam Mujahidin (2012), pada umumnya lansia akan
semakin teratur dalam kehidupan keagamaannya, hal tersebut bersangkutan
dengan keadaan lansia yang akan meninggalkan kehidupan dunia.
9) Tugas perkembangan pada lanjut usia
Menurut Havighurst dalam Stanley (2007), tugas perkembangan adalah
tugas yang muncul pada periode tertentu dalam keidupan suatu individu. Ada
beberapa tahapan perkembangan yang terjadi pada lansia, yaitu
1) Penyesuaikan diri kepada penurunan kesehatan dan kekuatan fisik.
2) Penyesuaian diri kepada masa pension dan hilangnya pendapatan.
3) Penyesuaaian diri kepada kematian pasangan dan orang terdekat lainnya.
4) Pembantukan gabungan (pergelompokan) yang sesuai denganya.
5) Pemenuhan kewajiban social dan kewarganegaraan.
6) Pembentukan kepuasan pengaturan dalam kehidupan
b. Perubahan Psikososial pada Lansia
Berdasarkan beberapa evidence based yang telah dilakukan terdapat perubahan
psikososial yang dapat terjadi pada lansia antara lain:
1) Kesepian
Septiningsih dan Na’imah (2012) menjelaskan dalam studinya bahwa
lansia rentan sekali mengalami kesepian. Kesepian yang dialami dapat berupa
kesepian emosional, situasional, kesepian sosial atau gabungan ketiga-tiganya.
Berdasarkan penelitian tersebut beberapa hal yang dapat memengaruhi perasaan
kesepian pada lansia diantaranya: a) merasa tidak adanya figur kasih sayang yang
diterima seperti dari suami atau istri, dan atau anaknya; b) kehilangan integrasi
secara sosial atau tidak terintegrasi dalam suatu komunikasi seperti yang dapat
diberikan oleh sekumpulan teman, atau masyarakat di lingkungan sekitar. Hal itu
disebabkan karena tidak mengikuti pertemuan-pertemuan yang dilakukan di
kompleks hidupnya; c) mengalami perubahan situasi, yaitu ditinggal wafat
pasangan hidup (suami dan atau istri), dan hidup sendirian karena anaknya tidak
tinggal satu rumah.

2) Kecemasan Menghadapi Kematian


Ermawati dan Sudarji (2013) menyimpulkan dalam hasil penelitiannya
bahwa terdapat 2 tipe lansia memandang kematian. Tipe pertama lansia yang cemas
ringan hingga sedang dalam menghadapi kematian ternyata memiliki tingkat
religiusitas yang cukup tinggi. Sementara tipe yang kedua adalah lansia yang cemas
berat menghadapi kematian dikarenakan takut akan kematian itu sendiri, takut mati
karena banyak tujuan hidup yang belum tercapai, juga merasa cemas karena
sendirian dan tidak akan ada yang menolong saat sekarat nantinya.

3) Depresi
Lansia merupakan agregat yang cenderung depresi. Menurut Jayanti,
Sedyowinarso, dan Madyaningrum (2008) beberapa faktor yang menyebabkan
terjadinya depresi lansia adalah:
a) Jenis kelamin, dimana angka lansia perempuan lebih tinggi terjadi depresi
dibandingkan lansia laki-laki, hal tersebut dikarenakan adanya perbedaan
hormonal, perbedaan stressor psikososial bagi wanita dan laki-laki, serta
model perilaku tentang keputusasaan yang dipelajari.
b) Status perkawinan, dimana lansia yang tidak menikah/tidak pernah menikah
lebih tinggi berisiko mengalami depresi, hal tersebut dikarenakan orang
lanjut usia yang berstatus tidak kawin sering kehilangan dukungan yang
cukup besar (dalam hal ini dari orang terdekat yaitu pasangan) yang
menyebabkan suatu keadaan yang tidak menyenangkan dan kesendirian.
c) Rendahnya dukungan sosial.
REUMATOID ARTHRITIS
2.2 KONSEP MEDIS
2.2.1 Definisi
Rheumatoid Artritis (RA) merupakan penyakit inflamasi non-bakterial yang
bersifat sistemik, progresif, cenderung kronik dan mengenai sendi serta jaringan ikat
sendi secara simetris. (Nurarif, Huda Amin & Kusuma Hardhi, 2015)
Rematik (Rheumatoid Arthritis) adalah penyakit inflamasi sistem kronis,
inflamasi sistemik yang dapat mempengaruhi banyak jaringan dan organ, tetapi
terutama menyerang fleksibel (sinovial) sendi. (Bawarodi, Fera. Dkk. 2017)
Artritis Reumatoid (AR) merupakan penyakit kronik, sistemik yang menyebabkan
inflamasi sinovial sehingga menyebabkan kerusakan progresif dari kartilago artikular
dan deformitas. ( Setyohadi, Bambang. Dkk. 2017)
Rheumatoid Arthritis (RA) merupakan salah satu kelainan multissistem yang
etiologinya belum diketahui secara pasti dab dikarakteristikkan dengan distruksi
sinovitis. Penyakit RA ini merupakan kelainan autoimun yang menyebabkan
inflamasi sendi yang berlangsung kronik dan mengenai lebih dari lima sendi
(poliartritis). Kesehatan penderita RA akan menurun dikarenakan rasa nyeri kelelahan
ketidakmampuan fungsional tubuh serta ekonomi pasien yang dapat melemah akibat
perkembangan yang progresif. (Arthritis Foundation, 2017)

2.2.2 Etiologi
Rheumatoid arthritis disebabkan oleh sistem kekebalan tubuh yang keliru
menyerang diri sendiri dan masih belum diketahui pemicunya.

Sistem kekebalan tubuh yang normal seharusnya membuat antibodi yang


gunanya untuk menyerang virus dan bakteri.Tapi sistem kekebalan tubuh pada
penderita rheumatoid arthritis justru mengirim antibodi ke lapisan persendian untuk
menyerang jaringan di sekeliling sendi dan menyebabkan radang serta rasa sakit.Pada
jaringan sendi, rheumatoid arthritis menyebabkan kerusakan di sekitar tendon,
ligamen, dan tulang.
Ada beberapa teori yang dikemukakan sebagai penyebab artritis reumatoid,
yaitu :

1. Usia.
Kebanyakan penderita rheumatoid arthritis berusia 40 tahun ke atas, tapi bisa
juga menjangkiti orang pada usia berapa pun.
2. Jenis kelamin.

Pria lebih jarang terkena penyakit ini dibandingkan wanita.

3. Infeksi Streptokkus hemolitikus dan Streptococcus non-hemolitikus.


4. Endokrin
Kecenderungan wanita untuk menderita artritis reumatoid dan sering
dijumpainya remisi pada wanita yang sedang hamil menimbulkan dugaan
terdapatnya faktor keseimbangan hormonal sebagai salah satu faktor yang
berpengaruh pada penyakit ini. Walaupun demikian karena pemberian hormon
estrogen eksternal tidak pernah menghasilkan perbaikan sebagaimana yang
diharapkan, sehingga kini belum berhasil dipastikan bahwa faktor hormonal
memang merupakan penyebab penyakit ini.
5. Autoimmun
Pada saat ini artritis reumatoid diduga disebabkan oleh faktor autoimun dan
infeksi. Autoimun ini bereaksi terhadap kolagen tipe II, faktor infeksi mungkin
disebabkan oleh karena virus dan organisme mikroplasma atau grup difterioid
yang menghasilkan antigen tipe II kolagen dari tulang rawan sendi penderita.
6. Metabolik
7. Faktor genetik serta pemicu lingkungan
Faktor genetik dan beberapa faktor lingkungan telah lama diduga berperan
dalam timbulnya penyakit ini. Hal ini terbukti dari terdapatnya hubungan antara
produk kompleks histokompatibilitas utama kelas II, khususnya HLA-DR4
dengan artritis reumatoid seropositif. Pengemban HLA-DR4 memiliki resiko
relatif 4:1 untuk menderita penyakit ini.
8. Merokok.
Merokok dapat memicu berbagai macam penyakit dan kebiasaan buruk ini bisa
meningkatkan risiko terkena rheumatoid arthritis.

9. Obesitas.

Seseorang dengan berat badan lebih memiliki risiko tinggi terserang rheumatoid
arthritis, khususnya wanita berusia dibawah 55 tahun.

(Riskiyatul, Arinda. 2018)

2.2.3 Manifestasi Klinis


RA dapat ditemukan pada semua sendi dan sarung tendo, tetapi paling sering
di tangan. RA juga dapat menyerang sendi siku, kaki, pergelangan kaki dan lutut.
Sinovial sendi, sarung tendo, dan bursa menebal akibat radang yang diikuti oleh erosi
tulang dan destruksi tulang disekitar sendi (Syamsuhidajat, 2010).

Ditinjau dari stadium penyakitnya, ada tiga stadium pada RA yaitu (Nasution,
2011) :

a. Stadium sinovitis.
Artritis yang terjadi pada RA disebabkan oleh sinovitis, yaitu inflamasi pada
membran sinovial yang membungkus sendi. Sendi yang terlibat umumnya
simetris, meski pada awal bisa jadi tidak simetris. Sinovitis ini menyebabkan
erosi permukaan sendi sehingga terjadi deformitas dan kehilangan fungsi
(Nasution, 2011). Sendi pergelangan tangan hampir selalu terlibat, termasuk
sendi interfalang proksimal dan metakarpofalangeal (Suarjana, 2009).
b. Stadium destruksi
Ditandai adanya kontraksi tendon saat terjadi kerusakan pada jaringan sinovial
(Nasution, 2011).
c. Stadium deformitas
Pada stadium ini terjadi perubahan secara progresif dan berulang kali, deformitas
dan gangguan fungsi yang terjadi secara menetap (Nasution, 2011).
Manifestasi klinis RA terbagi menjadi 2 kategori yaitu manifestasi
artikular dan manifestasi ekstraartikular (Suarjana, 2009).

1. Manfestasi artikular RA

Terjadi secara simetris berupa inflamasi sendi, bursa, dan sarung


tendo yang dapat menyebabkan nyeri, bengkak, dan kekakuan sendi, serta
hidrops ringan (Sjamsuhidajat, 2010). Tanda kardinal inflamasi berupa
nyeri, bengkak, kemerahan dan teraba hangat mungkin ditemukan pada awal
atau selama kekambuhan, namun kemerahan dan perabaan hangat mungkin
tidak dijumpai pada RA kronik (Surjana, 2009). Sendi-sendi besar, seperti
bahu dan lutut, sering menjadi manifestasi klinis tetap, meskipun sendi-
sendi ini mungkin berupa gejala asimptomatik setelah bertahun-tahun dari
onset terjadinya (Longo, 2012).

Distribusi sendi yang terlibat dalam RA cukup bervariasi. Tidak


semua sendi proporsinya sama, beberapa sendi lebih dominan untuk
mengalami inflamasi, misalnya sendi sendi kecil pada tangan (Suarjana,
2009).

2. Manifestasi ekstraartikular

Jarang ditemukan pada RA (Syamsyuhidajat, 2010). Secara umum,


manifestasi RA mengenai hampir seluruh bagian tubuh. Manifestasi
ekstraartikular pada RA, meliputi (Longo, 2012):

a. Konstitusional, terjadi pada 100% pasien yang terdiagnosa RA. Tanda


dan gejalanya berupa penurunan berat badan, demam >38,3oc, kelelahan
(fatigue), malaise, depresi dan pada banyak kasus terjadi kaheksia, yang
secara umum merefleksi derajat inflamasi dan kadang mendahului
terjadinya gelaja awal pada kerusakan sendi.
b. Nodul, terjadi pada 30-40% penderita dan biasanya merupakan level
tertinggi aktivitas penyakit ini. Saat dipalpasi nodul biasanya tegas, tidak
lembut, dan dekat periosteum, tendo atau bursa. Nodul ini juga bisa
terdapat di paru-paru, pleura, pericardium, dan peritonuem. Nodul
bisanya benign (jinak), dan diasosiasikan dengan infeksi, ulserasi dan
gangrene.
c. Sjogren’s syndrome, hanya 10% pasien yang memiliki secondary
sjogren’s syndrome. Sjogren’s syndrome ditandai dengan
keratoconjutivitis sicca (dry eyes) atau xerostomia.
d. Paru (pulmonary) contohnya adalah penyakit pleura kemudian diikuti
dengan penyakit paru interstitial.
e. Jantung (cardiac) pada <10% penderita. Manifestasi klinis pada jantung
yang disebabkan oleh RA adalah perikarditis, kardiomiopati,
miokarditis, penyakti arteri koreoner atau disfungsi diastole.
f. Vaskulitis, terjadi pada <1% penderita, terjadi pada penderita dengan
penyakit RA yang sudah kronis

g. Hematologi berupa anemia normositik, immmune mediated


trombocytopenia dan keadaan dengan trias berupa neutropenia,
splenomegaly,dan nodular RA sering disebut dengan felty syndrome.
Sindrom ini terjadi pada penderita RA tahap akhir
h. Limfoma, resiko terjadinya pada penderita RA sebesar 2-4 kali lebih
besar dibanding populasi umum. Hal ini dikarenakan penyebaran B-cell
lymphoma sercara luas.
Beberapa keadaan yang diasosiakan dengan mordibitas dan
mortalitas pada pasien RA adalah penyakti kardiovaskuler, osteoporosis
dan hipoandrogenisme (Longo, 2012).

2.2.4 Patofisiologi
Inflamasi mula-mula terjadi pada sendi-sendi synovial seperti edema, kongesti
vaskuler, eksudat fibrin dan infiltrasi selular. Peradangan yang berkelanjutan,
synovial menjadi menbal, terutama pada sendi artiluar kartilago dari sendi. Pada
persendian ini granulasi membentuk panus atau penut yang menutupi kartilago. Panus
masuk ke tulang subchondria. Jaringan granulasi menguat karena radang
menimbulkan gangguan pada nutrisi kartilago artikuler. Kartilago menjadi nekrosis,
tingkat erosi dari kartilago menetukan tingkat ketidak mampuan sendi. Bila kerusakan
kartilago sangat luas maka menjadi adhesi di antara permukaan sendi, karena jaringan
fibrosa atau tulang bersatu (ankilosis). Kerusakan kartilago dan tulang menyebabkan
tendon dan ligament menjadi lemah dan bisa menimbulkan subluksasi atau dislokasi
dari persendiaan. Invasi dari tulang subchondrial bisa menyebabkan osteoporosis
setempat.
Lamanya athrtitis rheumatoid berbeda dari tiap orang. Di tandai dengan masa
adanya serangan dan tidak adanya serangan. Sementara ada orang yang sembuh dari
serangan pertama dan selanjutnya tidak terserang lagi. Dan ada juga klien terutama
yang mempunyai faktor rheumatoid (seropositif gangguan rheumatoid) gangguan
akan menjadi kronis yang progresif (Mujahidullah, 2012)

2.2.5 Klasifikasi
Buffer (2010) mengklasifikasikan rheumatoid arhtristis menjadi 4 tipe,
yaitu :
1) Rheumatoid arthritis klasik pada tipe ini harus terdapat 7 kriteria tanda dan gejala
sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu 6 minggu
2) Rheumatoid arthritis deficit pada tipe ini harus terdapat 5 kriteria tanda dan gejala
sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu 6 minggu
3) Probable rheumatoid arthritis pada tipe ini harus terdapat 3 kriteria tanda dan
gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu 6
minggu
4) Possible rheumatoid arthritis pada tipe ini harus terdapat 2 kriteria tanda dan
gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu 3
bulan

Rheumatoid arthritis juga dikelompokkan menjadi 3 stadium, yaitu :

1) Stadium sinovisis
Pada stadim ini terdapat perubahan dini pada jaringan sinovial yang ditandai
hiperemi,edema karena kongesti,nyeri pada saat istirahat maupun saat
bergerak,bengkak dan kekakuan
2) Stadium destruksi
Pada stadium ini selain terjadi kerusakan pada jaringan sinovial juga pada jaringan
sekitarnya yang ditandai adanya kontraksi tendon.
3) Stadium deformitas
Pada stadium ini terjadi perubahan secara progresif dan berulang kali ,deformitas
dan gangguan fungsi secara menetap.
(Chabib, Lutfi. 2015)

2.2.6 Komplikasi
Gangguan pertumbuhan dan perkembangan merupakan komplikasi yang serius
pada RA. Hal ini terjadi karena penutupan epifisis dini yang sering terjadi pada tulang
dagu metacarpal dan metatarsal. Kelainan tulang dan sendi lain dapat terjadi, yang
tersering adalah ankilosisi, luksasio,dan fraktur. Komplikas-komplikasi ini terjadi
tergantung berat, lama penyakit dan akibat pengobatan dengan steroid. Komplikasi yang
lain adalah faskulitis, ensefalitis. Amiloidosisi sekunder dapat terjadi walaupun jarang
dan fatal karena gagal ginjal. Rheumatoid arthtritis adalah bukan hanya penyakit
kerusakan sendi. Hal ini dapat melibatkan hamper semua organ. Masalah yang mungkin
terjadi meliputi :
a. Nodulus rheumatoid ekstra sinofial dapat terbentuk pada katub jantung atau pada
paru-paru mata atau limfa. Fungsi pernapasan dan jantung dapat terganggu.
b. Anemia karena kegagalan sumsum tulang untuk menghasilkan cukup sel-sel darah
merah baru
c. Kerusakan pada jaringan paru (paru arthtritis)
d. Cedera pada tulang belakang saat tulang leher menjadi tidak stabil sebagai akibat dari
RA.
e. Reunatouid faskulitis (radang pembuluh darah) yang dapat menyebabkan bisul dan
infeksi kulit, pendarahan tukak lambung, dan masalah saraf yang menyebabkan
nyeri, mati rasa, atau kesemutan. Faskulitas juga dapat mempengaruhi otak, saraf,
dan jantung. Yang dapat menyebabkan stroke, serangan jatung, atau gagal jaunting.
f. Pembengkakan dan peradangan pada lapisan luar jantung atau perikarditis dan dari
otot jantung (miokarditis). Kedua kondisi ini dapat menyebabkan gagal jantung
kongestif.
g. Syndrome Sjorgen yang merupakan gangguan autoimun dimana kelenjar yang
memproduksi air mata dan ludah yang hancur. Kondisi ini dapat mempengaruhi
berbagai bagian tubuh, termasuk ginjal dan paru-paru.
(Wiley J dan Blackwell,2011)

2.2.7 Penatalaksanaan
a) Obat obatan
Sampai sekarang belum ada obat yang spesifik yang khas untuk osteoartritis,
oleh karena patogenesisnya yang belum jelas, obat yang diberikan bertujuan
untuk mengurangi rasa sakit, meningkatkan mobilitas dan mengurangi ketidak
mampuan. Obat-obat anti inflamasinon steroid bekerja sebagai analgetik dan
sekaligus mengurangi sinovitis, meskipun tak dapat memperbaiki atau
menghentikan proses patologis osteoartritis.

b) Perlindungan sendi

Osteoartritis mungkin timbul atau diperkuat karena mekanisme tubuh yang


kurang baik. Perlu dihindari aktivitas yang berlebihan pada sendi yang
sakit. Pemakaian tongkat, alat-alat listrik yang dapat memperingan kerja
sendi juga perlu diperhatikan. Beban pada lutut berlebihan karena kakai
yang tertekuk (pronatio).

c) Diet

Diet untuk menurunkan berat badan pasien osteoartritis yang gemuk harus
menjadi program utama pengobatan osteoartritis. Penurunan berat badan
seringkali dapat mengurangi timbulnya keluhan dan peradangan.

d) Dukungan psikososial

Dukungan psikososial diperlukan pasien osteoartritis oleh karena sifatnya yang


menahun dan ketidakmampuannya yang ditimbulkannya. Disatu pihak pasien
ingin menyembunyikan ketidakmampuannya, dipihak lain dia ingin orang lain
turut memikirkan penyakitnya. Pasien osteoartritis sering kali keberata n untuk
memakai alat-alat pembantu karena faktor-faktor psikologis.

e) Persoalan Seksual

Gangguan seksual dapat dijumpai pada pasien osteoartritis terutama pada tulang
belakang, paha dan lutut. Sering kali diskusi karena ini harus dimulai dari dokter
karena biasanya pasien enggan mengutarakannya.

f) Fisioterapi

Fisioterapi berperan penting pada penatalaksanaan osteoartritis, yang meliputi


pemakaian panas dan dingin dan program latihan ynag tepat. Pemakaian panas
yang sedang diberikan sebelum latihan untk mengurangi rasa nyeri dan
kekakuan. Pada sendi yang masih aktif sebaiknya diberi dingin dan obat-
obat gosok jangan dipakai sebelum pamanasan. Berbagai sumber panas dapat
dipakai seperti Hidrokolator, bantalan elektrik, ultrasonic, inframerah, mandi
paraffin dan mandi dari pancuran panas. Program latihan bertujuan untuk
memperbaiki gerak sendi dan memperkuat otot yang biasanya atropik pada sekitar
sendi osteoartritis. Latihan isometric lebih baik dari pada isotonic karena
mengurangi tegangan pada sendi. Atropi rawan sendi dan tulang yang timbul
pada tungkai yang lumpuh timbul karena berkurangnya beban ke sendi oleh
karena kontraksi otot. Oleh karena otot-otot periartikular. memegang peran
penting terhadap perlindungan rawan senadi dari beban, maka penguatan otot-
otot tersebut adalah penting

You might also like